Ceritasilat Novel Online

Child Called It 3


Dave Pelzer A Child Called It Bagian 3



Selesai mencuci peralatan makan yang kotor, aku membersihkan kamar mandi. Ibu duduk di tepi toilet, sementara aku membersihkan bak mandi. Saat aku menggosok lantai kamar mandi sambil merangkak, pelan-pelan Ibu berdiri di belakangku. Aku mengira ia akan berjalan ke arah depan lalu menendang wajahku. Temyata tidak. Selama mengerjakan tugasku, rasa penasaranku semakin besar. Aku tahu Ibu pasti memukulku, tapi aku tidak tahu bagaimana ia akan memukul, kapan, di mana.

   Lama sekali rasanya membersihkan kamar mandi itu sampai selesai. Ketika akhimya selesai juga tugas itu, kedua kaki dan tanganku gemetar karena takut Ibu menyerang secara tiba-tiba. Satu-satunya yang kupikirkan saat itu hanya Ibu. Setiap saat punya keberanian, aku berusaha melihat Ibu, yang membalas pandanganku dengan senyum, dan berkata, "Lebih cepat lagi, young man. Nanti kau harus bisa bergerak jauh lebih cepat lagi".

   Sampai saat makan malam, tenagaku habis karena menahan rasa takut. Hampir saja aku tertidur sambil menunggu perintah Ibu untuk membereskan meja makan dan mencuci peralatan makan yang kotor. Berdiri sendirian di basement, perutku terasa tak karuan. Ingin sekali aku berlari ke atas, mau memakai kamar mandi. Tapi tanpa perintah Ibu, aku tak diizinkan melakukan apa pun-aku seorang tahanan. "Mungkin begitulah rencana Ibu untukku", begitu pikirku. "Mungkin Ibu ingin agar aku meminum air kencingku sendiri". Pada mulanya, pikiran seperti itu kurasakan kasar sekali.

   Bagaimanapun, aku harus bersiap-siap menerima apa pun yang akan diperbuat Ibu terhadapku. Semakin keras aku menduga-duga apa yang bakal Ibu lakukan terhadapku, semakin habis tenagaku. Tiba-tiba terbersit sesuatu di otakku. aku tahu kenapa tadi Ibu mengikutiku terus. la ingin aku terus-menerus merasa tertekan, dengan membuat aku tidak bisa memperkirakan kapan atau di mana ia akan menyerangku. Belum sempat aku memikirkan suatu cara untuk mengalahkannya, Ibu berteriak memanggilku ke atas. Di dapur Ibu berkata padaku bahwa hanya kecepatan cahayalah yang bisa menyelamatkan diriku, maka ia menyarankan agar aku menyelesaikan tugasku mencuci peralatan makan yang kotor secepat kilat. "Yang jelas," katanya mendesis, "tak perlu kukatakan lagi padamu bahwa kau tak akan mendapat makan malam, tapi jangan khawatir sebab aku punya sesuatu untuk mengobati rasa laparmu".

   Setelah tugasku malam itu selesai, Ibu menyuruhku menunggu di basement. Aku berdiri dengan menempelkan punggungku ke dinding yang keras, sambil mencoba menerka rencana yang akan Ibu lakukan terhadapku. Aku tak tahu. Keringat dingin membasahi tubuhku, seakan-akan merembes keluar dari tulang-tulangku. Aku merasa begitu lelah, sampaisampai aku tertidur sambil berdiri.

   Ketika kurasakan kepalaku lunglai ke depan, aku langsung menegakkannya lagi, aku pun terbangun. Sekeras apa pun usahaku untuk tidak tertidur, aku tak mampu menahan kepalaku yang berayun-ayun naik turun seperti gabus di air. Waktu itu aku merasakan jiwaku meninggalkan badanku, dan aku merasa seperti melayang. Aku merasa seringan kapas, sampai tiba-tiba kepalaku terjatuh lagi ke depan, membuatku bangun. Lebih baik begitu daripada aku terlelap. Karena kalau ketahuan aku tertidur bisa mengakibatkan sesuatu yang mengerikan, maka kualihkan perhatian dengan mendengarkan suara mobil yang lewat di de-pan rumah atau melihat melalui jendela lampu merah berkelap kelip dari pesawat terbang yang melintas di langit. Dari lubuk hatiku, aku berharap seandainya saja aku dapat terbang lepas.

   Beberapa jam kemudian, setelah Ron dan Stan tidur, Ibu menyuruhku ke atas. Aku melangkah dengan rasa takut.

   Aku tahu saatnya telah tiba. Ibu membuatku lelah lahir batin. Aku tak tahu rencananya. Aku berharap Ibu memukuliku sampai mati.

   Begitu pintu kubuka, ada rasa tenang dalam batinku.

   Rumah dalam keadaan gelap, kecuali sebuah lampu saja yang menyala di dapur. Aku b isa melihat Ibu duduk di dekat meja makan. Aku berdiri terpaku. Ibu tersenyum.

   Dari bahunya yang tampak merosot, aku tahu Ibu mabuk.

   Anehnya, aku bisa tahu bahwa ia tidak akan memukuliku.

   Aku tak bisa berpikir. Namun aku kembali gemetar ketika Ibu berdiri dan berjalan ke arah bak cuci piring. Ia berlutut, membuka lemari kecil di bawah bak cuci piring, lalu mengeluarkan sebotol amonia. Aku tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Ia mengambil sendok makan, lalu menuangkan cairan amonia ke sendok itu. Aku sedemikian panik sampai tidak bisa berpikir-semakin keras usahaku untuk berpikir, semakin buntu otakku terasa.

   Dengan sendok berisi cairan amonia di tangannya, Ibu berjalan mendekati aku. Ada sedikit cairan amonia yang tumpah dari sendok, jatuh ke lantai. Aku mundur perlahan, sampai kepalaku membentur pinggiran kompor. Dalam hati, aku nyaris tertawa. "Cuma segitu? Cuma segitu itu? Dia Cuma ingin aku meminum cairan itu?" aku berkata dalam hati.

   Aku tidak merasa takut. Aku sudah capai sekali. Aku cu-ma bisa berpikir, "Ayolah kita mulai. Ayo kita mulai saja biar lekas selesai". Ibu membungkuk, lalu sekali lagi ia berkata bahwa hanya kecepatan yang dapat menyelamatkan aku.

   Kucoba menebak teka-tekinya, tapi otakku serasa buntu.

   Langsung kubuka mulutku, dan Ibu menyodokkan sendok tadi jauh ke dalam mulutku. Sekali lagi aku berkata pada diriku sendiri bahwa semua ini tidak seberapa. Tetapi tak lama kemudian aku tidak bisa bernapas. Tenggorokanku tercekik. Aku terhuyung-huyung di hadapan Ibu. Mataku seperti mau copot dari tengkorakku. Aku jatuh ke lantai dalam posisi merangkak. "Bubble!" otakku menjerit.

   Kuentak-entakkan tanganku ke lantai sekuat tenaga, mencoba menelan dan mencoba berkonsentrasi pada gelembung udara yang menyekat batang kerongkonganku.

   Aku jadi begitu ketakutan. Aku menangis karena panik.

   Tak lama kemudian kurasakan kekuatan pukulan kepalan tanganku melemah. Aku mencakar-cakar lantai. Mataku membelalak ke lantai. Berbagai wama tampak berjalan-jalan bersamaan. Aku mulai merasa terapung-apung. Aku tahu aku akan mati.

   Aku tersadar kembali. Kurasakan Ibu menepuk-nepuk keras punggungku. Tepukan Ibu yang begitu keras membuat aku bersendawa, lalu aku pun bisa bemapas lagi.

   Aku menarik napas panjang-panjang, mengisi lagi paru-paruku dengan udara. Ibu mengambil gelas minumannya.

   Ia menenggak banyak-banyak minumannya, memandangku yang masih di lantai, lalu mengembuskan udara ke arahku. "Tidak terlalu berat, bukan?" kata Ibu, sambil menghabiskan isi gelasnya, lalu menyuruhku turun ke basement, ke dipan lipatku.

   Pagi harinya, aku menerima perlakuan serupa. Bedanya, itu dilakukan di depan Ayah. Ibu mengumbar kata-kata.

   "Ini akan membuat jera anak ini sehingga tidak mencuri lagi!" Aku tahu, itu dilakukan Ibu demi memuaskan nafsunya yang sinting dan menyimpang. Ayah berdiri saja, tak berdaya, ketika Ibu mencekoki aku lagi dengan amonia. Tetapi kali itu aku melawan. Ibu harus bersusah payah membuka mulutku. Dengan keras kugelengkan kepalaku ke kiri ke kanan, sehingga aku berhasil menumpahkan sebagian besar cairan pembersih yang ada di sendok itu ke lantai. Tetapi temyata tidak cukup banyak. Sekali lagi aku jatuh ke lantai dalam posisi merangkak, lantai kutinju berkali-kali. Aku menengadah kepada Ayah, mencoba memanggilnya. Aku bisa berpikir jemih, namun tak sedikit pun suara keluar dari mulutku. Ayah cuma berdiri saja, tanpa emosi, padahal aku meninju-ninju lantai di dekat kakinya. Dengan posisi tubuh seolah-olah sedang memberi makan seekor anjing peliharaannya, Ibu memukul keras punggungku beberapa kali, dan aku pun pingsan. Pagi harinya, saat membersihkan kamar mandi, dengan bantuan cermin aku memeriksa lidahku yang melepuh. Ada bagian yang terkelupas, sedangkan sisanya merah dan lecet. Aku merasa bersyukur masih hidup. Sekalipun Ibu tidak lagi mencekoki aku amonia, beberapa kali ia mencekoki aku Clorox-semacam cairan penghancur kotoran. Tetapi rupanya Ibu paling senang mencekoki aku sabun cair pencuci piring. Ia memaksaku menelan sabun pencuci piring cair berwama pink itu dengan langsung menuangkannya dari botolnya, lalu menyu ruhku berdiri di basement. Mulutku terasa kering sekali, sampai-sampai aku meminum air banyak-banyak dari selang keran di situ. Tak lama kemudian aku sadar telah membuat kesalahan besar. Perutku jadi sakit sekali. Aku berteriak kepada Ibu, mohon diizinkan menggunakan toilet di atas. Ia tidak mengizinkan. Aku berdiri saja di basement, takut bergerak sebab kotoran cair mengalir keluar dari celana dalamku, terus mengalir sepanjang kakiku, lalu ke lantai. Aku merasa hina sekali aku menangis seperti bayi. Aku merasa tidak lagi punya harga diri. Aku masih ingin ke kamar mandi, tapi aku takut sekali bergerak. Karena perutku amat sakit dan seperti terpilin, dengan sekeras hati kulakukan sesuatu untuk menyelamatkan harga diriku. Dengan susah payah aku berjalan setengah berjongkok, seperti bebek, menuju tempat cucian di garasi. Kuraih sebuah ember, lalu aku jongkok di atas ember itu untuk mengeluarkan sisa kotoran. Kupejamkan mata sambil berpikir bagaimana caranya membersihkan badan dan pakaianku. Pada saat itulah tiba-tiba pintu garasi di belakangku terbuka. Aku menoleh. Kulihat Ayah berdiri di situ dengan wajah tanpa perasaan, sementara anaknya mengiba padanya bersamaan dengan mengalimya kotoran berwama cokelat ke ember. Aku merasa lebih rendah daripada anjing. Ibu tidak selalu menang. Pemah terjadi, ketika aku tidak diperbolehkan masuk sekolah, Ibu mengucurkan sabun cair pencuci piring ke mulutku langsung dari botolnya, lalu menyuruhku membersihkan dapur. Ibu tidak tahu apa yang kulakukan dengan sabun cair di mulutku, pokoknya aku tak sudi menelannya. Bermenit-menit kemudian, mulutku penuh dengan campuran sabun cair dan air ludah. Aku tidak mengizinkan diriku untuk menelannya. Ketika tugas membersihkan dapur selesai, aku bergegas ke turun untuk membuang sampah. Aku tersenyum lebar. Begitu pintu kututup, kuludahkan sabun cair berwama pink itu dari mulutku. Kemudian aku mengambil tisu bekas dari dalam salah satu tempat sampah di dekat pintu garasi. Kugunakan tisu bekas itu untuk membersihkan lidah clan mulutku dari sisa-sisa sabun cair. Setelah semua itu selesai, aku merasa bagai pemenang Olympic Marathon. Aku bangga bisa mengalahkan Ibu dalam permainan yang sangat ia kuasai. Meskipun Ibu tahu sebagian besar usahaku untuk mendapat makanan, ia tidak tahu semuanya. Setelah berbulan-bulan dikurung di basement selama beberapa jam setiap kalinya, keberanianku muncul, lalu aku mencuri makanan beku dari freezer yang ada di dekat garasi. Sepenuhnya aku sadar bahwa setiap saat bisa saja aku ketahuan dan harus membayar tindakan kriminalku itu. Maka, kunikmati setiap gigitan, seolah-olah itulah makanan terakhir yang bisa kunikmati. Dalam kegelapan basement aku memejamkan mata. Aku berkhayal sebagai seorang raja yang mengenakan jubah paling indah, yang sedang menyantap hidangan paling lezat yang bisa ditawarkan manusia. Sambil memegang pumpkin pie atau taco sheel, aku-lah sang raja, dan seperti layaknya seorang raja yang duduk di atas singgasana, aku menatap hidanganku yang lezat dan tersenyum. ******** KECELAKAAN Musim panas tahun 1971 menandai akhir dari masa kehidupanku bersama Ibu. Umurku belum genap 11 tahun, namun secara umum aku tahu seperti apa hukuman yang bakal aku terima dari Ibu. Melanggar batas waktu yang ditentukan Ibu untuk menyelesaikan macam-macam pekerjaan rumah tangga, aku diganjar hukuman tidak makan-sekalipun hanya satu saja dari pekerjaan itu yang kulanggar batas waktunya, sementara semua pekerjaan lainnya kuselesaikan tepat waktu, tetap tak ada makan untukku. Kalau aku memandang Ibu atau salah satu dari anak-anaknya tanpa seizinnya, aku diganjar hukuman tempelengan. Kalau aku ketahuan mencuri makanan, aku tahu Ibu akan mengulangi hukuman-hukuman yang pemah ia lakukan atau merancang sebuah bentuk hukuman baru yang cuma dia yang tahu. Bisa dikatakan Ibu tahu apa yang sedang dilakukannya, sementara aku pun bisa mempersiapkan diri terhadap kemungkinan tindakan yang akan diambil Ibu selanjutnya. Bagaimanapun, aku siaga setiap saat dan mempersiapkan seluruh badanku setiap kali Ibu berurusan denganku. Memasuki awal bulan Juli semangat hidupku meredup. Makanan nyaris menjadi khayalan. Bahkan sisa-sisa sarapan pagi pun aku jarang mendapatkannya. Sekeras apa pun aku bekerja menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, tidak pernah ada makan siang yang kudapat. Aku memperoleh sedikit makan malam tiga hari sekali. Pada suatu hari di bulan Juli, segala sesuatu berawal seperti hari-hari lainnya. Pada waktu itu aku sudah tiga hari tidak makan. Sekolah sedang liburan musim panas, jadi kesempatan mencuri dan mendapat makanan tidak ada. Setiap saat makan malam, seperti biasa aku duduk di bawah tangga, dengan posisi tangan di bawah pantat, sambil mendengarkan suara suasana "keluarga ini" yang sedang makan malam. Saat itu Ibu mengharuskan aku duduk di atas tanganku dengan kepala mendongak, seperti posisi "tawanan perang". Untuk kali itu aku biarkan kepalaku tertunduk, sambil setengah bermimpi aku adalah salah satu dari mereka-salah satu anggota "keluarga ini". Aku pasti tertidur waktu itu, sebab tiba-tiba aku terbangun oleh suara geram Ibu, "Bangun! Cepat naik!"

   Deretan kata pertama dari perintah Ibu langsung membuat kepalaku tegak, aku berdiri, lalu bergegas naik. Aku berdoa agar malam itu aku mendapat sesuatu, apa saja, yang bisa mengganjal perutku yang kelaparan.

   Baru saja aku mulai menyingkirkan peralatan makan dari meja makan dengan secepat kilat, Ibu sudah menyuruhku ke dapur. Kutundukkan kepala ketika ia menyerocos tentang batas waktu yang tidak boleh kulanggar.

   "Kau punya waktu 20 menit! Terlambat satu menit, satu detik, maka kau akan kelaparan lagi! Mengerti?"

   "Ya, Bu."

   "Lihat aku kalau aku sedang bicara padamu!" bentaknya. Kuturuti perintahnya, pelan-pelan kudongakkan kepalaku. Kecelakaan " 79 Saat kepalaku tegak, kulihat Russell sedang berayun-ayun di kaki kiri Ibu. Tampaknya ia sama sekali tidak terganggu oleh suara Ibu yang keras dan tajam. la memandangiku dengan sorot mata yang dingin. Sekalipun pada waktu itu usianya baru empat atau lima tahun, Russell sudah menjadi "Nazi kecil" bagi Ibu, yang mengawasi setiap tindakanku, memastikan bahwa aku tidak mencuri makanan sedikit pun. Kadang kala ia mengarang cerita yang kemudian dipercayai Ibu, dan dengan demikian ia bisa melihat aku dihukum. Tentu saja semua itu bukan salah Russell. Aku tahu Ibu sudah menanamkan kesan buruk mengenai diriku di kepalanya. Bagaimanapun, aku mulai tidak menganggap dirinya sekaligus membencinya.

   "Kau dengar aku?" teriak Ibu. "Lihat aku kalau aku sedang bicara padamu!" Waktu kulihat, Ibu baru saja menyambar pisau daging dari rak dan berteriak, "Kalau kau tidak menyelesaikan tugas-tugasmu tepat waktu, kubunuh kau!"

   Ancamannya tidak mempengaruhi aku. Sudah hampir seminggu ini Ibu terus-menerus mengeluarkan ancaman yang sama. Bahkan Russell pun tidak terpengaruh mendengamya terus saja ia berayun-ayun di kaki Ibu seakan-akan sedang naik kuda poni yang gemuk.

   Tampaknya Ibu tidak puas dengan taktik barunya itu sebab ia terus saja menyerocos, sementara jarum jam bergerak terus, menghabiskan batas waktuku. Aku berharap Ibu menutup mulutnya dan membiarkan aku terus bekerja.

   Mati-matian aku berusaha menepati batas waktu yang ditetapkan Ibu. Begitu besar keinginanku untuk mendapat sesuatu yang bisa dimakan. Aku tak tahan kalau harus tidur satu malam lagi tanpa makan.

   Kelihatannya ada sesuatu yang tidak beres. Betul-betul tidak beres! Sepenuhnya kupusatkan pandanganku ke arah Ibu. Ia mulai mengayun-ayunkan pisau daging di tangan kanannya. Aku juga tidak terlalu takut dengan sikap Ibu ini, sebab ia pemah juga bersikap seperti itu. "Mata", kataku pada diri sendiri. "Lihat matanya". Maka kulihat matanya, yang tampak seperti biasanya juga. Tetapi naluriku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

   Menurutku ia tidak akan memukulku, tapi toh tubuhku mulai menegang. Ketika kurasakan diriku semakin tegang itulah, aku tahu apa yang tidak beres itu. Karena gerakan berayun-ayun yang dilakukan Russell di kaki Ibu, juga karena gerakan lengan serta tangan Ibu yang menggenggam pisau, tubuh Ibu semakin keras bergoyang ke depan dan ke belakang. Sempat terpikir olehku bahwa Ibu akan jatuh.

   Ibu berusaha menyeimbangkan posisinya dengan menarik Russell dari kakinya, sementara ia terus saja membentak-bentakku. Saat itulah badan Ibu bagian atas limbung, seperti kursi goyang yang berayun tak terkendali. Saat selanjutnya, aku tak lagi memperhatikan ancaman-ancaman Ibu tetapi aku mulai membayangkan perempuan yang mabuk itu bakal jatuh dengan wajahnya lebih dulu membentur lantai. Kuperhatikan wajah Ibu dengan sungguh-sungguh. Dari sudut mataku, samar-samar kulihat sebuah benda melayang dari tangannya. Tiba-tiba ada rasa sakit yang perih tepat di bagian atas perutku. Aku berusaha tetap berdiri, tetapi kedua kakiku tak mampu tegak, dan semuanya jadi gelap.

   Saat sadar kembali, ada rasa hangat yang mengalir dari dadaku. Beberapa saat kemudian baru aku tahu di mana aku berada. Aku didudukkan di atas toilet. Aku menoleh ke arah Russell yang mulai bernyanyi, "David's going to die.

   The Boy's going to die". Kualihkan pandanganku ke arah perutku. Sambil berlutut, Ibu tampak tergesa-gesa menempelkan kain perban kasa tebal pada suatu tempat di bagian perutku yang mengeluarkan darah berwarna merah gelap. Aku mencoba mengatakan sesuatu. Aku tahu semua ini adalah kecelakaan. Aku ingin memberitahu Ibu bahwa aku memaafkannya, tapi aku merasa sangat pusing sehingga tak mampu berkata-kata. Berkali-kali kepalaku lunglai ke depan, dan aku selalu mencoba menegakkannya kembali. Aku kehilangan pedoman waktu, lalu kembali tak sadarkan diri.

   Saat aku sadar, Ibu masih berlutut, membalutkan kain ke sekeliling dadaku agak ke bawah. la terampil dalam bidang ini. Dulu, ketika Ron, Stan, dan aku masih kecil-kecil, Ibu sering berkata bahwa ia tadinya bercita-cita menjadi perawat, sampai akhirnya ia bertemu Ayah. Setiap kali ada kecelakaan di rumah, Ibulah yang paling menguasai keadaan. Sedikit pun tak pernah kuragukan kecakapan Ibu dalam hal merawat. Aku tinggal menunggu dibawa Ibu ke rumah sakit dengan mobil. Aku yakin ia akan melakukan itu. Tunggu saja. Aku merasakan kelegaan yang ganjil. Aku yakin bahwa semua hukuman yang selama ini kuterima berakhir sudah. Hidup bagai seorang budak tentulah keliru, dan semua itu sekarang sudah berakhir. Bahkan Ibu tidak bisa menyangkal hal itu. Aku merasa kecelakaan itu telah membebaskanku.

   Ibu membutuhkan waktu hampir setengah jam untuk mengobati dan membalut lukaku. Dalam sorot mata Ibu tidak tampak rasa sesal telah melukai anaknya dengan pisau.

   Menurutku mungkin Ibu menunjukkan rasa sesal itu dengan mencoba menenangkan diriku, bahkan caranya berbicara denganku terasa tenang. Sambil memandangku tanpa emosi, Ibu berdiri, mencuci tangannya, lalu berkata padaku bahwa aku diberi waktu 30 menit untuk menyelesaikan tugas mencuci perkakas makan. Aku menggeleng, sambil mencoba memahami apa yang barusan dikatakannya. Beberapa saat kemudian, sikap Ibu menjadi jelas. Sama seperti kejadian yang menyebabkan tulang lenganku patah beberapa tahun sebelumnya, Ibu tak akan mengakui kejadian tersebut pernah terjadi.

   Aku tak sempat mengasihani diri sendiri. Waktu terus berjalan. Aku berdiri, terhuyung beberapa saat, lalu berjalan ke dapur. Pada setiap langkah, rasa sakit menjalar dari bagian rusukku, darah merembesi T-shirtku yang lusuh. Begitu sampai di bak cuci piring, aku menyandarkan tubuh dan terengah-engah seperti anjing tua.

   Dari dapur aku bisa tahu bahwa Ayah ada di ruang keluarga, membaca koran. Aku menarik napas panjang, sakit sekali rasanya. Aku berharap bisa pergi dari dapur dan berjalan ke tempat Ayah berada. Dalam keadaan seperti ini, rupanya aku menarik napas terlalu dalam sehingga aku terjatuh. Baru kusadari bahwa aku harus menarik napas pendek-pendek. Lalu aku berjalan ke ruang keluarga dengan susah payah. Di ujung kursi panjang di ruangan itu duduklah Ayah, pahlawanku. Aku yakin Ayah akan menegur Ibu, lalu membawaku ke rumah sakit. Aku berdiri di depan Ayah, menunggunya membalik koran dan melihatku. Dan ketika akhirnya ia membalik korannya, dengan susah payah aku berkata, "Ayah... I... I... Ibu menusukku".

   Ayah bahkan tidak mengangkat alis matanya, apalagi menoleh. "Kenapa?" tanyanya.

   "Dia bilang, kalau ak u tidak menyelesaikan tugas mencuci perkakas tepat pada waktunya, dia... dia akan membunuhku". Waktu seakan berhenti. Dari balik koran aku bisa mendengar napas Ayah yang jadi berat. Ia menelan ludah, lalu berkata, "Ya... kau ah... kau lebih baik kembali ke dapur dan menyelesaikan tugasmu mencuci piring."

   Kujulurkan kepala ke depan, seolah-olah ingin mendengar lebih jelas ucapannya. Aku tak percaya apa yang baru saja kudengar. Ayah pasti menangkap kebingunganku sebab ia lalu melipat korannya, dan kudengar suaranya meninggi.

   "Astaga! Apakah Ibu tahu bahwa kau sekarang di sini sedang bicara dengan aku? Kau lebih baik kembali ke dapur dan selesaikan cucian piringmu. Astaga. Kita tidak perlu melakukan apa-apa yang bisa membuatnya lebih marah lagi! Aku tak mau bertengkar malam ini..." Ayah berhenti bicara sebentar, mengambil napas panjang, lalu berbisik, "Begini. kembalilah ke dapur dan selesaikan tugasmu mencuci piring. Aku bahkan tidak mau dia tahu bahwa aku menyuruhmu, mengerti? Ini rahasia kita berdua. Kembalilah ke dapur, dan selesaikan tugasmu mencuci piring. Ayo. Lekaslah, sebelum dia memergoki kita berdua. Sana!"

   Aku kecewa berat. Ayah bahkan tidak melihat ke arahku.

   Menurutku paling tidak ia bisa menurunkan korannya untuk melihat sorot mataku, maka ia pasti tahu ia pasti akan bisa merasakan sakitku, merasakan betapa aku membutuhkan pertolongannya. Tetapi, seperti biasanya, aku tahu Ibu mengendalikan Ayah dan mengendalikan semua persoalan yang terjadi di dalam rumah ini. Aku dan Ayah sama-sama tahu aturan main "keluarga ini" kalau kami tidak mengakui sebuah persoalan, persoalan itu memang tidak pernah ada. Waktu aku berdiri termangu di depan Ayah itu, kulihat tetesan darahku menodai karpet keluarga ini. Aku mendambakan gendongan Ayah, yang kemudian membawaku pergi dari situ. Aku bahkan membayangkan Ayah membuka kemejanya untuk memperlihatkan siapa dia sesungguhnya, lalu terbang ke angkasa-seperti Superman.

   Aku meninggalkan ruangan itu. Rasa hormatku terhadap Ayah hancur sudah. Gambaran Ayah sebagai juru selamat ternyata palsu. Rasa marahku terhadap Ayah lebih besar daripada terhadap Ibu. Aku ingin bisa terbang, tetapi rasa sakit yang kurasakan mengembalikan aku pada kenyataan.

   Kucuci peralatan makan secepat mungkin, tergantung kondisi tubuhku saat itu. Kalau kugerakkan lengan bawahku, bagian atas perutku terasa amat sakit. Kalau aku melangkah ke samping, sekujur tubuhku terasa sakit.

   Betapa lemahnya aku, tenagaku nyaris hilang semua.

   Begitu batas waktu yang ditetapkan Ibu lewat, lewat juga peluangku mendapat makanan.

   Saat itu yang kuinginkan cuma berbaring dan menyerah saja, tetapi janji terhadap diriku sendiri yang kubuat beberapa tahun sebelumnya menahanku. Ingin kutunjukkan kepada "Perempuan Jahat Itu" ia bisa mengalahkan aku hanya bila aku mati, dan aku telah berketetapan-hati untuk tidak menyerah-menyerah pada kematian pun tidak. Sambil mencuci peralatan makan itu aku belajar sesuatu mengenai keadaanku-kalau aku berdiri berjinjit dan menyandarkan pelan-pelan badan bagian atasku ke pinggiran tembok cucian piring, rasa sakit di bagian bawah dadaku agak berkurang; aku tidak sering-sering bergerak ke kiri ke kanan tapi beberapa peralatan makan kucuci sekaligus, setelah itu baru aku membilasnya sekaligus juga. Setelah semua perkakas itu kukeringkan, sampailah pada tahap yang mencemaskan-semua perkakas itu harus kutaruh di lemari dapur, padahal letak lemari dapur itu di atas kepalaku. Rasa sakit yang sangat pasti akan timbul kalau aku mencoba meraih lemari itu.

   Sambil memegang sebuah piring kecil di satu tangan, kujinjitkan kakiku setinggi mungkin dan tanganku berusaha mencapai lemari itu untuk menaruh piring kecil tadi. Hampir saja berhasil. Tapi rasa sakit yang ditimbulkan oleh usahaku itu sedemikian hebat, sehingga aku ambruk.

   Pada saat itu baju yang kukenakan sudah penuh darah.

   Waktu aku berusaha berdiri, aku merasakan tangan Ayah yang kuat membantuku. Aku menepiskannya. "Berikan piring itu kepadaku", katanya. "Biar aku yang membereskannya. Lebih baik kau ganti baju saja".

   Kutinggalkan dapur tanpa sepatah kata p un. Kulirik jam di dinding-hampir satu setengah jam waktu yang kugunakan untuk menyelesaikan tugasku itu. Waktu tertatih-tatih menuruni tangga menuju basement, tanganku mencengkeram erat pegangan tangga. Bisa kulihat dengan jelas darah merembesi baju yang kukenakan, bersama setiap langkahku.

   Ibu menyusulku turun. Di bawah tangga ia menyobek bajuku. Ia melakukan itu selembut mungkin, tetapi selain itu ia tetap bersikap dingin. Bagi Ibu, yang saat itu ia lakukan bagiku semata-mata "tugas" yang harus ia kerjakan.

   Dulu, aku pemah melihat Ibu merawat binatang dengan sikap yang jauh lebih hangat daripada sikapnya terhadapku saat itu.

   Karena badanku lemah, aku rebah ke badan Ibu saat ia mengenakan aku T-shirt tua dan longgar. Bagaimanapun aku tetap mengira lbu pasti memukulku. Temyata tidak. Ia malah membiarkan aku beristirahat sejenak di pundaknya.

   Setelah itu Ibu mengatur posisiku di bawah tangga itu, lalu meninggalkan aku. Tak lama kemudian ia kembali, membawakan aku segelas air. Cepat-cepat kuteguk air itu.

   Setelah kuhabiskan air di gelas itu, Ibu berkata bahwa ia belum bisa memberi aku makan saat itu juga. Ia akan memberiku makan beberapa jam lagi, setelah keadaanku membaik. Sekali lagi, Ibu mengucapkan semua itu secara monoton, sama sekali tanpa emosi.

   Kulihat sekilas langit California beranjak malam. Ibu berkata aku boleh bermain di luar, di depan garasi, bersama kedua saudaraku. Pikiranku sedang tidak jemih.

   Perlu waktu agak lama bagiku untuk memahami apa yang baru saja dikatakan Ibu.

   "Ayo, David. Ikutlah bermain bersama mereka", desaknya. Dengan bantuan Ibu, aku berjalan tertatih-tatih ke halaman luar di depan garasi. Kedua saudaraku memandang ke arahku, tetapi mereka lebih tertarik dengan kembang api yang mereka nyalakan untuk memperingati Fourth of July, hari kemerdekaan Amerika. Beberapa saat kemudian kurasakan sikap Ibu terhadapku semakin lembut. Ia memegang bahuku, sementara kami melihat kedua saudaraku sedang membentuk angka delapan dengan kembang api mereka.

   "Kau mau kembang api juga?" tanya Ibu. Aku mengangguk. ya. Ia memegang tanganku sambil berlutut untuk menyalakan kembang api yang kupegang. Sejenak sempat aku mengingat wangi parfum yang dulu dipakai Ibu. Tetapi Ibu sudah lama juga tidak lagi memakai parfum atau mengenakan make up. Meskipun sedang bermain bersama kedua saudaraku, aku tak bisa menepis pertanyaan yang muncul dalam benakku tentang Ibu.

   "Mengapa sikapnya terhadapku berubah?"

   "Apakah ia mencoba berbaikan denganku?"

   "Apakah hari-hariku di basement sudah berakhir?"

   "Apakah aku sudah boleh bergabung lagi sebagai keluarga ini?"

   Aku tak peduli. Kedua saudaraku menerima kehadiranku, dan ada rasa persahabatan serta kehangatan bersama mereka-suatu perasaan yang kukira sudah hilang selamanya.

   Kembang apiku mati. Kualihkan pandanganku ke matahari musim panas yang semakin terbenam. Lama sekali rasanya aku tidak melihat matahari terbenam. Kupejamkan mataku. Kucoba menikmati dan menyerap kehangatan sinarnya sepuas mungkin. Untuk sesaat rasa sakit, rasa lapar, dan rasa sedih menjalani kehidupan yang pahit hilang. Aku merasa begitu hangat. Aku merasa hidup.

   Kubuka mataku. Aku berharap bisa mengecap seluruh keindahan saat itu, di situ, yang tak mungkin kualami dua kali.

   Sebelum tidur, Ibu memberiku minum dan menyuapi aku makan. Aku merasa seperti hewan lumpuh yang sedang dirawat agar sembuh. Tapi aku tak peduli.

   Di basement aku berbaring di dipan tuaku. Aku mencoba tidak memikirkan rasa sakitku. Tidak bisa. Rasa sakit itu menjalari seluruh tubuhku. Akhirnya, rasa amat lelah mengalahkan rasa sakit. Aku tertidur juga. Beberapa kali aku bermimpi malam itu. Aku terbangun, berkeringat dingin. Kudengar suara yang menakutkan di belakangku.

   Itu Ibu. Ia membungkuk, mengompres dahiku dengan secarik kain dingin. Ia berkata bahwa aku demam tinggi.

   Aku tidak menanggapi perkataannya karena aku merasa lelah dan lemah sekali. Yang terpikirkan olehku cuma rasa sakitku. Ibu kemudian masuk ke kamar tidur saudara-saudaraku yang berada di bawah, letaknya dekat basement. Aku merasa aman karena aku tahu Ibu di dekatku, menjagai aku.

   Aku tertidur lagi. Bersama tidur yang melelahkan itu muncul mimpi yang menakutkan. Turun hujan lebat yang aimya panas dan berwama merah. Aku basah kuyup oleh hujan itu. Kucoba membersihkan darah dari badanku, tetapi dengan cepat badanku jadi merah lagi oleh darah.

   Paginya, saat terbangun, kulihat tanganku berlepotan darah kering. Kaus yang kukenakan menjadi merah di bagian dada. Di beberapa bagian wajahku kurasakan juga ada darah kering menempel. Lalu kudengar pintu kamar tidur di belakangku terbuka. Aku menoleh, kulihat Ibu berjalan ke arahku. Aku berharap mendapat simpati dari Ibu seperti yang kurasakan semalam. Tetapi harapanku itu kosong belaka. Ibu tak memberiku apa-apa. Dengan nada suara datar, Ibu menyuruhku untuk membersihkan diri dan mulai melakukan semua pekerjaan rumah tangga yang biasa kulakukan. Saat kudengar langkah-langkahnya menapaki tangga, aku sadar tak ada yang berubah. Aku tetap anak badung di keluarga ini.

   Tiga hari setelah "kecelakaan" itu badanku masih saja demam. Bahkan minta sebutir aspirin kepada Ibu pun aku takut, apalagi Ayah sedang di tempat kerjanya. Aku tahu, Ibu sudah kembali ke dirinya yang sebenarnya. Aku menduga demamku itu karena luka yang kuderita. Waktu itu luka terbuka di bagian atas perutku semakin lebar dibandingkan keadaannya di malam kejadian. Agar tidak ketahuan Ibu, pelan-pelan aku pergi ke tempat cucian di garasi. Kuambil kain paling bersih dari tumpukan pakaian rombengku. Kain itu kubasahi secukupnya dengan air dari keran di situ. Kemudian aku duduk. Kemejaku yang merah, basah, dan lengket karena darah kugulung ke atas.

   Perlahan kuraba lukaku, dan aku tersentak ke belakang karena kesakitan. Kutarik napas panjang, lalu pelan-pelan sekali kupencet luka terbuka itu. Sakit sekali rasanya, sampai-sampai aku terjatuh ke belakang, hampir pingsan.

   Ketika kuperhatikan lagi lukaku, ada bagiannya yang berwama kuning-keputihan. Aku tidak tahu banyak mengenai hal-hal seperti itu, tetapi aku tahu bahwa lukaku mengalami infeksi. Aku berdiri, bermaksud naik ke atas untuk minta tolong Ibu membersihkan lukaku. Ketika sudah setengah berdiri, aku berhenti. "Tidak!" kataku pada diri sendiri. "Aku tidak butuh pertolongan perempuan jahat itu". Pengetahuanku lumayan soal pertolongan pertama untuk membersihkan luka, jadi aku merasa percaya diri untuk melakukannya sendiri. Aku mau jadi penguasa atas diriku sendiri. Aku tak mau mengandalkan Ibu atau memberinya peluang lebih besar lagi untuk menguami diriku.

   Kubasahi lagi kain yang tadi kupakai lalu kudekatkan ke lukaku. Aku berhenti sejenak sebelum menyentuhnya, ragu-ragu. Tanganku gemetar karena takut membayangkan rasa sakit yang bakal kurasakan. Aku menangis. Aku merasa seperti bayi, dan aku tidak suka bersikap seperti bayi. Lalu aku berkata pada diriku sendiri.

   "Menangis berarti mati. Nah, rawat lukamu sendiri". Aku tahu lukaku tidak akan membuatku mati, jadi kupaksa diriku untuk mengalahkan rasa sakitnya. Aku cepat-cepat bertindak sebelum niatku lenyap. Kusambar selembar kain lagi, menggulungnya, dan menggigitnya. Perhatianku kuarahkan sepenuhnya ke jempol dan telunjuk tangan kiriku yang kugunakan untuk memencet serta membuka lukaku. Lalu kubersihkan nanah dengan kain di tangan kananku. Proses itu kuulangi beberapa kali sampai sebagian besar nanah bersih dari luka itu dan darah mengalir deras. Aku tak kuat menahan rasa sakitnya. Karena mulutku sudah kusumbat kain, jeritanku jadi teredam. Aku merasa seolah-olah sedang bergelantungan pada sebuah tebing. Saat semuanya selesai, air mata mengalir deras sampai membasahi kerah bajuku. Aku khawatir Ibu memergoki aku tidak duduk di bawah tangga seperti perintahnya, maka kubereskan segala sesuatunya, lalu berjalan tertatih-tatih sambil sesekali merangkak ke kaki tangga-ke tempat di mana seharusnya aku berada. Sebelum mengambil posisi duduk di atas tangan, kuperiksa bajuku; cuma sedikit darah yang menodai kain rombeng pembalut lukaku. Aku meniatkan diri untuk menyembuhkan luka itu. Entah bagaimana, aku merasa yakin luka itu pasti sembuh. Sungguh bangga aku terhadap diriku sendiri. Kubayangkan diriku sepe rti jagoan dalam cerita komik, yang berhasil mengatasi banyak situasi yang tidak masuk akal dan tetap hidup. Beberapa saat kemudian, sambil duduk di atas tangan, kepalaku lunglai ke depan-aku tertidur. Aku bermimpi terbang menggantang udara. Mimpi itu berwama indah dan sedemikian hidup. Aku mengenakan mantel tak berlengan berwama merah... akulah Superman. ******** SAAT AYAH TIDAK DI RUMAH Setelah kejadian dengan pisau itu, Ayah semakin jarang di rumah, dia lebih sering di tempat kerjanya. Banyak alasan diutarakan Ayah untuk menjelaskan kesibukannya itu, tetapi aku tidak mempercayainya. Sambil duduk di basement sering aku menggigil ketakutan. Aku berharap ada alasan cukup kuat yang bisa menahan kepergian Ayah. Bagaimanapun, berbagai peristiwa yang telah terjadi sama sekali tidak mematikan perasaanku bahwa Ayah adalah pelindungku. Kalau Ayah di rumah, Ibu cuma melakukan separo saja perlakuannya terhadapku dibandingkan kalau Ayah sedang tidak di rumah. Saat di rumah, Ayah punya kebiasaan membantuku mencuci peralatan makan malam. Ayah mencuci, aku mengeringkan. Sambil bekerja, kami ngobrol pelan-pelan supaya tidak kedengaran siapa pun di rumah itu. Kadang kala untuk beberapa waktu kami tak bicara apa-apa. Kami ingin keadaan betul-betul aman. Selalu Ayah yang memulai pembicaraan.

   "Bagaimana kabarmu, Tiger?" begitu biasanya ia memulai. Aku selalu tersenyum setiap kali Ayah menyapaku dengan sebutan yang sering ia gunakan ketika aku masih kecil.

   "Aku baik-baik saja", begitu biasanya aku menjawab. Ayah sering juga bertanya.

   "Kau sudah makan sesuatu hari ini?". Pertanyaan itu lebih sering kujawab dengan gelengan kepala.

   "Jangan khawatir", katanya. "Suatu hari kita berdua harus pergi dari rumah gila ini". Aku tahu Ayah tidak betah tinggal di rumah, dan itu karena salahku. Aku berjanji padanya bahwa aku akan jadi anak baik dan tidak akan mencuri makanan lagi. Aku juga berjanji padanya akan berusaha lebih keras lagi dan menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga dengan lebih baik lagi. Setiap kali aku mengatakan semua itu Ayah selalu tersenyum dan berusaha meyakinkan diriku bahwa semua itu bukan salahku. Kadang kala, sambil mengeringkan piring, aku merasakan harapan baru timbul. Aku tahu Ayah boleh dikatakan tidak akan menentang Ibu dalam bentuk apa pun, namun aku tetap merasa aman setiap kali berdiri di sampingnya. Semua hal baik yang terjadi padaku tidak berlangsung lama. Ibu melarang Ayah membantuku mencuci piring. Ia bersikeras bahwa anak itu tidak butuh bantuan. Ia berkata bahwa Ayah memberikan perhatian berlebihan kepadaku dibandingkan kepada orang-orang lain dalam keluarga itu. Ayah mengalah begitu saja. Maka, Ibu mengendalikan semua orang yang ada di rumah itu. Tak lama setelah keluar larangan Ibu itu, Ayah semakin jarang lagi ada di rumah, bahkan ketika ia sedang tidak bekerja sekalipun. Hanya beberapa menit Ayah ada di rumah. Setelah bertemu saudara-saudaraku, ia akan mencariku di mana pun aku sedang mengerjakan tugasku, mengatakan beberapa kalimat kepadaku, lalu meninggalkan rumah. Tidak lebih dari sepuluh menit Ayah di rumah, sesudah itu ia kembali ke tempatnya menyendiri-biasanya di bar. Saat bercakap-cakap sebentar denganku, Ayah mengatakan bahwa ia sedang merancang cara bagi kami berdua agar bisa pergi dari rumah itu. Aku selalu tersenyum mendengarkan ucapan Ayah itu. Namun dalam hati aku tahu itu khayalan belaka. Pada suatu hari Ayah berlutut di depanku, dan mengatakan penyesalannya. Kuperhatikan wajahnya. Perubahan yang kulihat di situ membuatku takut. Ada lingkaran di sekeliling kedua matanya. Wajah dan lehernya merah-merah. Bahunya yang dulu tegap kini tampak lunglai. Uban merusak wama rambutnya yang dulu hitam pekat. Sebelum Ayah meninggalkan rumah hari itu, kupeluk pinggangnya. Tak tahu kapan aku bisa bertemu dengannya lagi. Hari itu, setelah menyelesaikan semua tugas, aku bergegas ke basement. Aku disuruh mencuci pakaian rombengku dan setumpuk lagi pakaian rombeng yang bau. Kepergian Ayah hari itu membuatku sangat sedih. Aku menangis di atas tumpukan pakaian kotor, memohon Ayah tidak pergi dan mengajak aku bersamanya. Beberapa menit kemudian setelah menenangkan diri, aku tegar kembali, lalu mulai mengucek pakaian-pakaianku yang mirip "keju Swis". Aku mengucek sedemikian rupa sampai buku-buku jariku berdarah. Aku tak peduli lagi apakah aku dianggap ada atau tidak ada. Rumah Ibu jadi tempat yang mengerikan. Aku berharap, entah bagaimana caranya, suatu saat bisa melarikan diri dari rumah yang sejak saat itu kusebut "rumah gila". Pernah pada suatu masa ketika Ayah tidak di rumah, Ibu tidak memberiku makan sekitar sepuluh hari berturut-turut. Bagaimanapun kerasnya aku berusaha memenuhi batas waktu yang ditetapkan Ibu untuk menyelesaikan semua pekerjaanku, aku tetap tak mampu memenuhinya. Dan itu berarti tidak makan. Ibu sangat cermat dalam memastikan bahwa aku tidak punya kemungkinan sedikit pun untuk mencuri makanan. Ia sendiri yang membereskan meja makan, membuang sisa makanan ke tempat sampah. Setiap hari ia memeriksa untuk memastikan tidak ada sisa makanan di tempat sampah, sebelum aku membuangnya ke bawah. Freezer di dekat garasi ia kunci, dan kuncinya ia simpan. Aku sudah terbiasa tidak makan tiga hari beruturut-turut, namun tidak makan lebih dari tiga hari seperti kali ini sungguh tak tertahankan. Air menjadi satu-satunya penyambung hidup. Setiap kali mengisi cetakan es batu dari lemari es, aku biasa meminum aimya yang dingin dari pinggiran cetakan itu. Aku juga biasa merangkak ke bawah keran di dekat garasi, membuka keran pelan-pelan agar Ibu tidak mendengamya, kemudian memasukkan mulut keran ke dalam mulutku, dan meminum air keran sebanyak mungkin sampai perutku terasa akan meletus. Pada hari keenam tubuhku terasa amat lemah. Aku hampir tak bisa bangun dari dipan tuaku. Kukerjakan tugas-tugasku dengan amat lambat. Aku mati rasa. Kerja otakku pun jadi lamban. Aku merasa perlu waktu cukup lama untuk memahami kalimat-kalimat yang diteriakkan Ibu kepadaku. Ketika kutegakkan kepalaku perlahan-lahan untuk memandang Ibu, aku tahu Ibu menganggap semua ini permainan-sebuah permainan yang sangat ia nikmati.

   "Oh, anak kecilku yang malang", kata Ibu sambil bertingkah laku yang dibuat-buat. Lalu ia bertanya apa yang kurasakan, dan ia tertawa ketika aku minta makanan. Di akhir hari keenam itu, dan hari-hari sesudahnya, aku betul-betul berharap Ibu memberiku sesuatu yang bisa kumakan, apa pun itu aku tak peduli. Pada suatu malam, menjelang akhir "permainan"-nya, setelah aku menyelesaikan semua tugasku, Ibu membanting sepiring makanan di hadapanku. Sisa makanan dingin di piring itu tampak begitu mewah bagiku. Tetapi aku ragu-ragu; rasanya itu tidak mungkin terjadi.

   "Dua menit!" teriak Ibu. "Kau cuma punya waktu dua menit untuk menghabiskannya". Secepat kilat kusambar garpu, tapi belum lagi sisa makanan itu sampai ke mulutku, Ibu sudah menyambar piringnya lalu membuang isinya ke tempat sampah. "Terlambat!" desisnya. Aku berdiri saja di depan Ibu, bengong. Tak tahu aku harus bagaimana atau mengatakan apa. Yang sempat terpikir olehku cuma "Kenapa?" Aku tak mengerti mengapa ia memperlakukan aku seperti itu. Sisa makanan itu begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium baunya. Aku tahu ia berharap aku akan mengais-ngais tempat sampah itu, tetapi aku berdiri tegak sambil menahan diri untuk tidak menangis. Sendirian lagi di basement, aku merasa tidak punya apa-apa lagi. Aku sangat menginginkan makanan. Aku menginginkan ayahku. Tetapi yang paling kuinginkan adalah sedikit saja rasa hormat; sedikit saja harga diri. Sambil duduk di atas tanganku, aku bisa mendengar saudara-saudaraku membuka lemari es untuk mengambil hidangan penutup makan, dan aku membenci semua itu. Kupandangi diriku sendiri. Wama kulitku pucat kekuningan, otot-ototku kecil seperti serabut. Setiap kali kudengar salah seorang saudaraku menertawai adegan acara televisi yang ia tonton, aku menyumpahi namanya. "Dasar kampret bernasib baik! Mengapa Ibu tidak menggilir mereka dan sekali-sekali memukuli salah satu dari mereka?" Dengan berteriak kuungkapkan segala perasaan benciku itu, dalam hati. Sudah hampir sepuluh hari aku tidak makan. Baru saja aku menyelesaikan tugas mencuci pi ring makan malam ketika Ibu mengulangi permainannya. "kau punya dua menit untuk makan". Kali itu hanya sedikit sisa makanan yang ada di pi-ring yang ditawarkannya. Aku menduga ia akan menyambar lagi piringnya seperti yang terjadi sebelumnya, jadi kuubah gerakanku. Tak kuberi Ibu kesempatan untuk menyambar piringnya seperti yang terjadi tiga malam sebelumnya. Lang-sung kurebut piringnya dan cepat-cepat menelan sisa makanan yang ada di piring itu, tanpa mengunyahnya. Hanya dalam hitungan detik kuhabiskan semua yang ada di piring itu, lalu menjilatinya hingga tandas. "Kau makan seperti babi!" kata Ibu dengan rasa marah yang tertahan. Kutundukkan kepalaku, seakan-akan aku peduli. Tetapi, di dalam hati, aku menertawainya sambil berkata, "Rasain lu! Yang penting kan gua makan!"

   Ibu juga punya permainan lain untuk aku yang menjadi kegemarannya pada saat Ayah tidak di rumah. Ia menyuruhku membersihkan kamar mandi dengan batas waktu seperti biasanya. Tetapi kali itu ia membawa sebuah ember berisi campuran amonia dan Clorox. Di kamar mandi ada aku dan ember tadi, pintu kamar mandi ditutup.

   Saat pertama kali permainan itu dilakukannya, Ibu berkata bahwa ia tahu permainan seperti itu dari koran, dan ia ingin mencoba. Aku bersikap pura-pura ketakutan, padahal tidak sama sekali.

   Aku tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika Ibu menutup pintu kamar mandi dan melarang aku membukanya, barulah aku mulai cemas. Karena pintu ditutup, udara di dalam kamar mandi cepat berubah. Aku merangkak ke pojok kamar mandi untuk melihat isi ember tadi. Uap tipis berwama abu-abu melayang ke langit-langit kamar mandi. Ketika kuhirup udara di dekat situ, aku merasa pusing dan mual. Tenggorokanku terasa seperti terbakar. Beberapa menit kemudian tenggorokanku menjadi sangat sakit. Gas yang dihasilkan oleh campuran amonia dan Clorox membuat mataku berair. Aku jadi panik, jangan-jangan aku tidak bisa memenuhi batas waktu yang ditetapkan Ibu untuk membersihkan kamar mandi.

   Beberapa menit kemudian aku mulai merasakan mual, seperti mau muntah. Aku tahu Ibu tidak akan menghentikan permainannya di tengah jalan, lalu membuka pintu kamar mandi. Aku harus berpikir agar selamat dari permainan barunya. Aku berbaring di lantai kamar mandi, kuregangkan badanku, lalu dengan kaki kugeser ember itu sampai ke dekat pintu kamar mandi. Itu kulakukan dengan dua alasan. aku mau menyingkirkan ember itu sejauh mungkin dari diriku, dan aku berharap kalau Ibu masuk ke kamar mandi dia sendiri akan menghirup uap ciptaannya sendiri. Aku berguling ke sisi lain kamar mandi sambil menutupi mulut, hidung, dan mataku dengan kain lap. Sebelum kupakai untuk menutupi wajahku, kain lap itu kubasahi dulu dengan air dari toilet.

   Aku tidak berani menggelontorkan air sebab takut Ibu bisa mendengamya. Dari kain lap yang menutupi wajahku kuintip uap dari ember itu sedikit demi sedikit melayang ke bawah, ke arah lantai. Rasanya aku sedang berada di kamar gas. Lalu aku ingat ada ventilasi kecil untuk menyalurkan udara panas ke kamar mandi di dekat kakiku.

   Aku tahu alat pemanasnya bekerja mati dan menyala silih berganti secara teratur setiap beberapa menit. Kudekatkan wajahku ke ventilasi itu lalu menghirup udara sebanyak mungkin. Setelah setengah jam, Ibu membuka pintu kamar mandi dan menyuruhku membuang cairan di ember itu ke saluran air di garasi sebelum aku memenuhi rumah-nya dengan uap di ember itu. Di bawah, selama lebih dari satu jam, aku batuk-batuk darah. Dari semua bentuk hukuman Ibu, permainan kamar gas paling aku benci.

   Sampai menjelang akhir musim panas tahun itu tampaknya Ibu sudah bosan dengan cara-cara penyiksaannya terhadap diriku yang selama itu dilakukan di sekitar rumah.

   Pada suatu hari, setelah aku menyelesaikan semua tugasku di pagi hari, ia menyuruhku bekerja memotong rumput di rumah tetangga. Sebetulnya itu bukan pertama kalinya Ibu menyuruhku memotong rumput. Pada musim semi tahun sebelumnya, ketika sekolah libur merayakan Paskah, Ibu juga menyuruhku bekerja memotong rumput.

   Ia menetapkan target sejumlah uang yang harus kubayarkan kepadanya dari hasil kerjaku. Tentu s aja target yang ditetapkan Ibu tidak mungkin bisa kupenuhi. Maka, karena putus asa, pemah aku mencuri sembilan dolar dari celengan seorang anak tetangga. Beberapa jam kemudian, ayah anak itu mendatangi rumah Ibu. Sudah pasti Ibu mengembalikan uangnya dan berkata kepada ayah anak itu bahwa itu memang salahku. Setelah orang itu pergi, Ibu menghajarku habis-habisan. Aku mencuri uang itu semata-mata untuk memenuhi target yang ia tetapkan.


Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur Pendekar Rajawali Sakti Darah Dan Asmara Raja Petir Empat Setan Goa Mayat

Cari Blog Ini