Child Called It 4
Dave Pelzer A Child Called It Bagian 4
Bagiku, rencana untuk bekerja memotong rumput pada musim panas tahun itu ternyata tidak lebih baik daripada pada liburan Paskah sebelumnya. Aku menawarkan jasa memotong rumput dari rumah yang satu ke rumah yang lain. Tidak ada yang mau. Pakaianku yang rombeng dan tanganku yang kurus pasti menjadi pemandangan yang menyedihkan. Karena kasihan, seorang ibu memberiku makanan dalam kantong cokelat agar bisa kumakan di jalan. Setengah blok berjalan dari situ sepasang suami istri menerima tawaranku untuk memotong rumputnya. Setelah selesai, aku berlari pulang ke rumah Ibu, sambil membawa kantong cokelat berisi makanan tadi. Maksudku, kantong itu nanti akan kusembunyikan begitu aku berbelok ke arah rumah Ibu. Tapi itu tak sempat kulakukan. Aku berpapasan dengan Ibu yang sedang bermobil. Ibu berhenti, bergegas keluar dari mobil, dan menangkapku bersama kantong cokelat tadi. Sebelum Ibu menghentikan station wagon-nya dengan mendadak sehingga bannya berdecit-decit, aku sudah mengangkat tanganku tinggi-tinggi, persis seperti yang dilakukan penjahat. Aku ingat, pada saat itu aku berharap nasib baik dengan seorang ibu yang memberiku makan tidak meninggalkan aku sekali itu saja.
Ibu bergegas turun dari mobil. Dengan tangannya yang satu ia menyambar kantong cokelat dan dengan tangannya yang lain ia memukulku. Ia mendorongku masuk mobil, lalu menjalankan mobilnya menuju rumah ibu baik hati yang tadi memberiku makan siang dalam kantung cokelat.
Ibu tadi sedang tidak di rumah. Ibu yakin bahwa aku menyelinap masuk rumah itu lalu mencuri makan siang.
Aku tahu memiliki makanan merupakan tindakan kriminal berat. Dalam hati aku berteriak kepada diri sendiri karena tidak sejak awal menghabiskan atau menyembunyikan atau membuang makanan itu.
Begitu sampai di rumah, hukuman Ibu membuatku terkapar di lantai. Kemudian Ibu menyuruhku duduk di halaman belakang, sementara ia mengajak "anak-anak lelakinya" ke kebun binatang. Aku diharuskan duduk di atas batu-batu kecil yang tajam dengan posisi duduk seperti "tawanan perang". Peredaran ke seluruh tubuhku terganggu. Aku tak bisa lagi mengharapkan pertolongan Tuhan. Menurutku, Tuhan pasti membenciku. Adakah cukup alasan yang membuat hidupku seperti ini? Segala usahaku untuk sekadar bertahan hidup tampaknya sia-sia.
Semua usahaku untuk mengalahkan Ibu, untuk menghindarinya, gagal. Tampaknya bayangan hitam selalu mengikutiku.
Matahari pun tampaknya menghindari aku, dengan bersembunyi di balik awan tebal yang melayang di atas kepalaku. Aku melemaskan pundakku, mencoba menikmati kesendirian dalam khayalan-khayalanku. Aku tak memperhatikan waktu, namun akhirnya bisa kudengar suara station wagon Ibu memasuki garasi. Hukuman duduk di atas kerikil tajam sebentar lagi selesai. Aku mencoba menduga rencana Ibu selanjutnya untukku. Semoga bukan hukuman kamar gas. Dari garasi Ibu berteriak menyuruhku mengikutinya ke atas. Ia menyuruhku ke kamar mandi.
Aku takut. Aku merasa terkutuk. Menarik napas panjang-panjang mulai kulakukan, sebab pasti aku akan butuh udara segar sebanyak mungkin.
Sama sekali di luar dugaanku, tak ada satu ember atau botol pun di kamar mandi. "Apakah aku sudah lepas dari ujung tanduk?" Begitu saja? Takut-takut, kuperhatikan Ibu sewaktu ia membuka lebar-lebar keran air dingin di bak mandi. Kupikir aneh juga Ibu sampai lupa membuka keran air panas. Ketika air dingin di bak mandi hampir penuh, Ibu membuka paksa pakaianku, lalu menyuruhku masuk ke bak mandi. Aku menurut, dan berbaring di dalamnya.
Badanku menggigil ketakutan.
"Lebih masuk lagi!" bentak Ibu. "Taruh mukamu di air seperti ini!"
Ia membungkuk, mencekal tengkuk dan leherku dengan kedua tangannya, menenggelam kan kepalaku. Dengan sendirinya aku meronta, sekuat tenaga berusaha menjaga kepalaku tetap di atas permukaan air agar bisa bemapas.
Cengkeraman Ibu kuat sekali. Di dalam air kubuka mataku.
Bisa kulihat gelembung-gelembung udara keluar dari mulutku dan naik ke permukaan air ketika aku mencoba berteriak. Kugerakkan keras-keras kepalaku ke kiri ke kanan ketika kulihat gelembung-gelembung udaranya semakin kecil. Aku mulai merasa lemah. Dalam kepanikan, aku menggapai tanganku ke atas dan kucengkeram bahu Ibu. Jari-jari tanganku pasti mencengkeram bahunya sedemikian kuat sehingga Ibu melepaskan aku. Ia memandang ke bawah ke arahku sambil terengah-engah.
"Sekarang tenggelamkan kepalamu di bawah air, atau nanti aku memaksamu lebih lama lagi begitu!"
Kutenggelamkan kepalaku, tetapi kuusahakan hidungku tetap berada di atas permukaan air. Aku merasa seperti buaya di rawa. Sewaktu Ibu keluar dari kamar mandi, aku semakin tahu rencananya. Saat berendam seperti itu, airnya kurasakan sangat dingin, seakan-akan aku ada di dalam lemari es. Aku takut sekali terhadap Ibu, maka kutenggelamkan kepalaku seperti yang ia perintahkan, dan tak bergerak.
Berjam-jam kemudian kulitku jadi berkeriput. Aku tidak berani menyentuh badanku sendiri untuk membuat.nya agak hangat. Tetapi kepalaku kuangkat sehingga cukup bagiku untuk bisa mendengar suara-suara. Setiap kali kudengar ada yang berjalan di dekat kamar mandi, pelan-pelan kutenggelamkan kembali kepalaku ke air yang dingin itu.
Yang kudengar biasanya langkah-langkah saudara saudaraku yang berjalan ke kamar tidurnya. Kadang kala salah seorang di antara mereka masuk ke kamar mandi untuk memakai toilet. Mereka cuma melihat sepintas ke arahku, menolehkan kepala, lalu pergi. Kucoba membayangkan diriku berada di tempat lain, tetapi aku tidak bisa merasa rileks supaya bisa berkhayal.
Sebelum keluarga ini duduk untuk makan malam, Ibu masuk ke kamar mandi. Dengan berteriak, ia menyuruhku keluar dari bak mandi dan memakai kembali pakaianku.
Aku langsung melaksanakan perintahnya, dan menyambar handuk untuk mengeringkan badanku. "Eh, jangan!"
Bentaknya. "Pakai pakaianmu begitu saja!" Perintah yang ini juga langsung kuturuti. Pakaianku basah kuyup saat aku mengenakannya sambil berlari kembali ke halaman belakang sesuai perintah Ibu. Aku harus duduk lagi di situ.
Matahari mulai terbenam, tetapi separo halaman masih terkena sinarnya langsung. Aku duduk di bagian yang masih terkena sinar matahari, tetapi Ibu menyuruhku duduk di tempat yang terlindung. Di pojok halaman belakang itu, sambil duduk seperti tawanan perang, aku menggigil kedinginan. Aku kepingin sebentar saja kena panas, tetap keinginanku untuk mengeringkan badan itu semakin lama semakin tidak mungkin. Dari jendela ruang makan di atas kepalaku terdengar suara "keluarga ini"
Sedang saling mengoper piring yang penuh makanan.
Sesekali terdengar juga tawa. Karena Ayah sedang di rumah, aku tahu masakan apa pun yang dibuat Ibu pasti lezat. Ingin rasanya aku mendongakkan kepala dan melihat mereka makan, tapi aku tidak berani. Aku hidup di dunia lain. Sepintas melihat kepada kehidupan yang baik pun aku tak pantas.
Hukuman di bak mandi dan di halaman belakang lalu biasa dilakukan Ibu terhadapku. Kadang kala, ketika aku direndam di bak mandi, saudara-saudaraku mengajak teman-temannya untuk menonton saudara mereka yang telanjang bulat. Sering kali mereka mencemoohkan aku.
"Apa yang ia lakukan kali ini?" mereka bertanya. Biasanya saudara-saudaraku menjawab pertanyaan itu dengan "Nggak tau". Bersamaan dengan kegiatan sekolah di musim gugur, muncul harapan untuk sesekali keluar dari hidupku yang menyedihkan. Selama dua minggu pertama itu kelas tempat kami murid-murid kelas empat melaporkan kehadiran kami setiap harinya memiliki seorang ibu guru pengganti. Menurut berita yang kudengar, guru kami yang biasanya sedang sakit. Ibu guru pengganti ini lebih muda dibandingkan dengan kebanyakan guru di sekolah itu, dan tampaknya ia lebih lembut. Di akhir minggu pertama, ia memberi hadiah es krim kepada murid-murid yang selama satu minggu itu berkelakuan baik. Saat itu aku tidak mendapat hadiah. Aku berusaha lebih keras lagi untuk berkelakuan baik, dan akhimya kuperoleh juga hadiahku pada akhir minggu kedua. Ibu guru baru itu memutar sebuah lagu, dan bemyanyi bersama semua murid di kelas itu. Kami sangat menyukai ibu guru baru itu. Pada hari Jumat sore itu aku tidak mau pulang. Setelah semua murid meninggalkan kelas, ia membungkuk ke arahku dan berkata kepadaku bahwa aku harus pulang. Ia tahu aku anak bermasalah. Kukatakan padanya, aku mau bersamanya saja. Ia memegangku sebentar, lalu berdiri dan memutarkan lagu yang paling kusukai. Setelah itu baru aku pulang. Karena terlambat pulang, aku berlari sekencang mungkin, lalu langsung mengerjakan tugas-tugasku. Setelah semua tugas kuselesaikan, Ibu menyuruhku duduk di halaman belakang, di atas lantai semen yang dingin. Pada hari Jumat itu kulihat kabut menutupi matahari di langit, dan aku menangis dalam hati. Ibu guru pengganti itu baik sekali terhadapku. Ia memperlakukan diriku seperti manusia pada umumnya. Ia tidak menganggapku seperti kotoran di comberan. Sambil duduk di luar merasakan kesedihan, aku mencoba membayangkan sedang berada di mana ibu guru yang baik itu, dan apa yang kira-kira sedang ia lakukan. Pada saat itu aku tak mampu memahami perasaanku, tetapi aku mengaguminya. Aku tahu aku tidak akan mendapat makan malam itu atau malam berikutnya. Karena Ayah tidak di rumah, aku pasti mengalami akhir minggu yang buruk. Duduk di halaman belakang pada anak tangga semen yang dingin, di udara terbuka yang dingin, aku bisa mendengar suara Ibu sedang makan bersama saudara-saudaraku. Aku tak peduli. Kupejamkan mata. Aku bisa melihat wajah ibu guru baruku yang penuh senyum. Malam itu, ketika aku duduk di luar dan menggigil kedinginan, kecantikan serta kelembutannya membuatku merasa hangat. Memasuki bulan Oktober, hidupku yang tak wajar itu betul-betul habis-habisan. Di sekolah jarang ada makanan. Aku sering dijadikan mangsa empuk oleh murid-murid nakal yang badannya jauh lebih besar daripada badanku-mereka memukuli aku setiap saat, sesuka mereka. Begitu sekolah usai, aku harus berlari ke rumah dan harus memuntahkan isi perutku untuk diperiksa oleh Ibu. Kadang kala ia langsung menyuruhku mengerjakan semua tugasku. Kadang kala ia mengisi bak mandi dengan air. Kalau sedang betul-betul dalam suasana hati yang enak, ia mencampur kedua bahan kimia itu untuk kuhirup campuran gasnya di kamar mandi. Kalau ia tidak ingin aku berada di rumahnya, ia menyuruhku bekerja memotong rumput di rumah tetangga yang menginginkannya-itu pun sesudah ia memukuli aku. Beberapa kali ia mencambukku dengan rantai anjing. Kugertakkan saja gigiku untuk menahan rasa sakit yang sangat, dan menerima semua itu. Yang paling sakit adalah akibat pukulan dengan tangkai sapu lidi ke bagian belakang kaki. Kadang kala pukulan-pukulan dengan gagang sapu lidi ke bagian itu membuatku terkapar di lantai, nyaris tak bisa bergerak. Lebih dari satu kali aku berjalan terpincang-pincang sambil mendorong alat pemotong rumput berkeliling rumah tetangga, herusaha mencari uang yang harus kuserahkan kepada-nya. Akhirnya tiba juga saat ketika keberadaan Ayah di rumah pun tidak mampu meringankan penderitaanku, sebab Ibu melarangnya bertemu denganku. Harapanku pupus, dan aku mulai yakin bahwa hidupku tak akan pernah berubah. Aku pikir aku akan tetap menjadi budak Ibu selama hidupku. Hari demi hari semangat hidupku semakin lemah. Aku tidak lagi mengkhayalkan Superman atau seorang pahlawan atau jagoan yang akan datang menyelamatkan diriku. Aku tahu, janji Ayah untuk mengajakku pergi dari rumah itu sekadar janji belaka. Aku tidak lagi berdoa. Aku hanya ingin hidup sehari itu saja, pada hari itu, dan begitu seterusnya. Pada suatu pagi di sekolah, aku disuruh menghadap perawat sekolah. Wanita perawat itu menanyai aku soal pakaianku dan berbagai luka maupun memar yang kelihatan di sepanjang permukaan kedua lenganku. Pada mulanya jawabanku kepadanya adalah jawaban buatan Ibu yang harus kukatakan kepada perawat itu. Tetapi aku semakin menaruh kepercayaan pada perawat itu, maka kuceritakan kepadanya semakin ba nyak hal mengenai Ibu. Ia membuat catatan mengenai apa saja yang kukatakan, dan berpesan padaku untuk datang menghadapnya kapan saja aku membutuhkan seseorang untuk mengobrol. Baru kemudian aku tahu bahwa perawat itu menjadi tertarik akan diriku berdasarkan sejumlah laporan yang ia terima dari ibu guru pengganti, dulu pada awal tahun kegiatan sekolah. Selama minggu terakhir di bulan Oktober berlangsung tradisi di rumah Ibu bagi anak-anak lelaki membuat ukiran pada buah labu. Hak istimewa itu sudah tidak aku lakukan sejak umurku tujuh atau delapan tahun. Saat malam untuk membuat ukiran itu tiba, Ibu mengisi bak mandi begitu aku selesai mengerjakan tugas-tugasku. Seperti biasanya, ia mengancam aku untuk tetap membenamkan kepalaku di bawah permukaan air. Sebagai tanda bahwa ia tidak main-main dengan ancamannya itu, dicekalnya leherku, lalu membenamkan kepalaku. Kemudian ia bergegas keluar dari kamar mandi dan mematikan lampunya. Aku menoleh ke kiri. Dari kaca jendela kecil di kamar mandi aku bisa melihat malam mulai turun. Aku mengisi waktu dengan menghitung angka dalam hati. Aku mulai dari angka satu dan berhenti di angka seribu. Kemudian kuulangi hitungan itu. Begitu seterusnya. Jam demi jam berlalu, sampai kurasakan air di bak mandi itu menyusut. Semakin air itu menyusut, semakin kedinginan aku. Kujepitkan kedua tanganku di antara kakiku dan menempelkan tubuhku ke sisi kanan bak mandi. Bisa kudengar kaset Halloween yang dibeli Ibu untuk Stan beberapa tahun sebelumnya. Hantu-hantu dan setan-setan mengeluarkan suara yang menakutkan, sementara pintu-pintu berderit terbuka sendiri. Setelah anak-anak lelaki itu selesai mengukir buah-buah labu mereka, kudengar Ibu dengan suaranya yang lembut mulai menceritakan cerita yang menakutkan. Semakin kudengarkan cerita itu, semakin aku membenci mereka. Sungguh tidak enak menunggu seperti anjing yang duduk di atas batu-batu kerikil di halaman belakang sementara mereka menikmati makan malam, tetapi berbaring di bak mandi yang dingin dan menggigil karena berusaha tetap hangat sementara mereka menikmati popcorn sambil mendengarkan cerita Ibu membuat aku mau berteriak saja. Nada suara Ibu malam itu mengingatkan aku pada Mommy yang sangat aku cintai bertahun-tahun sebelumnya. Tetapi sekarang, semua anak lelaki itu bahkan tidak mengakui keberadaanku di rumah itu. Bagi mereka, aku tidak lebih berarti dibandingkan dengan hantu-hantu bersuara menakutkan di kaset milik Stan itu. Setelah semua anak lelaki itu naik ke tempat tidur, Ibu masuk ke kamar mandi. Ia tampak tertegun sejenak melihat aku masih berbaring di bak mandi. "Kau kedinginan?" desisnya. Aku menggigil sambil menganggukkan kepala, menunjukkan bahwa aku betul-betul kedinginan. "Nah, mengapa anak lelaki kesayanganku tidak keluar dari bak mandi dan menghangatkan badannya yang telanjang di ranjang ayahnya?"
Agak terhuyung, aku keluar dari bak mandi, mengenakan pakaian dalamku, lalu naik ke ranjang Ayah yang jadi basah karena badanku basah. Apa pun alasannya, aku tak mengerti mengapa Ibu menyuruh aku tidur di kamar tidur utama, tanpa peduli apakah Ayah sedang di rumah atau tidak. Ibu sendiri tidur di kamar atas bersama saudara-saudara lelakiku. Aku tak memedulikannya sama sekali, asalkan aku tidak tidur di dipan kain tua di basement yang dingin. Malam itu Ayah pulang, tetapi sebelum aku sempat mengatakan sesuatu kepadanya, aku sudah terlelap.
Menjelang Natal, semangat hidupku terkuras. Aku tidak diajak berlibur selama dua minggu. Aku jadi tidak sabar menunggu saat masuk sekolah lagi. Pada hari Natal aku memperoleh roller skate. Aku selalu senang mendapat hadiah Natal. Tetapi hadiah roller skate itu temyata tidak diberikan dalam semangat Natal. Hadiah itu justru menjadi alat lain bagi Ibu untuk memaksa aku berada di luar rumah dan membuat aku menderita. Pada setiap akhir minggu Ibu menyuruhku bermain roller skate di luar rumah, padahal anak-anak lain justru berdiam di dalam rumah karena udara di luar sangat dingin.
Dengan roller skate itu aku berputar-putar di sekitar wilayah tempat tinggalku, tanpa jaket untuk menahan dingin. Aku satu-sa tunya anak di wilayah itu yang bermain di luar rumah. Lebih dari sekali, Tony, salah seorang tetangga kami, keluar rumah untuk mengambil koran sorenya, dan melihat aku bermain skating. Ia tersenyum lebar kepadaku, lalu cepat-cepat masuk kembali ke dalam rumah untuk menghindari dinginnya udara di luar. Sebagai usaha agar badanku tetap hangat, aku meluncur sekencang-kencangnya. Bisa kulihat asap mengepul dari cerobong asap di rumah-rumah yang memiliki perapian.
Aku ingin sekali berada di dalam rumah, duduk-duduk dekat perapian. Biasanya Ibu menyuruhku ber-main skating selama berjam-jam. Ia memanggil aku hanya jika ia menginginkan aku menyelesaikan beberapa tugas rumah tangga.
Pada akhir bulan Maret tahun itu, ketika kami berada di rumah karena liburan Paskah, Ibu melahirkan. Ketika Ayah mengantar Ibu ke sebuah rumah sakit di San Francisco, aku berdoa agar semua itu nyata, bukan berita bohong.
Aku ingin sekali Ibu tidak ada di rumah. Aku tahu kalau Ibu tidak di rumah, Ayah akan memberiku makan. Selain itu, aku juga senang karena terbebas dari pukulan-pukulan.
Ketika Ibu sedang di rumah sakit, Ayah membolehkan aku bermain bersama saudara-saudaraku. Aku langsung saja diterima kembali oleh mereka. Kami bermain "Star Trek", dan Ron memberiku kehormatan untuk memerankan tokoh Kapten Kirk. Hari pertama Ibu di rumah sakit, Ayah menyajikan roti lapis isi, dan ia mengizinkan aku memakan roti isi yang kedua.
Saat Ayah menjenguk Ibu di rumah sakit, kami berempat bermain di rumah tetangga di seberang jalan. Nama tetangga itu Shirley. la baik terhadap kami semua dan memperlakukan kami layaknya anak-anaknya sendiri. Ia terus-menerus mengajak kami bermain, misalnya ber-main ping-pong, atau sekadar membiarkan kami bermain sepuas mungkin di halaman luar. Dalam beberapa hal, Shirley mengingatkan aku pada Ibu yang dulu, sebelum ia mulai memukuli aku.
Setelah beberapa hari di rumah sakit, Ibu pulang. Ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Kevin.
Beberapa minggu kemudian suasana rumah normal kembali. Ayah jarang sekali ada di rumah, sedangkan aku sendiri kembali menjadi pelampiasan segala rasa frustrasi Ibu.
Ibu jarang sekali bertetangga, maka aneh juga ketika ia berteman dekat dengan Shirley. Setiap hari mereka sating mengunjungi. Kalau Shirley berkunjung ke rumah, Ibu memainkan peran orangtua yang mencintai dan memperhatikan keluarganya-persis seperti ketika ia menjadi ibu pembimbing Pramuka Siaga.
Setelah persahabatan Ibu dan Shirley berjalan beberapa bulan, Shirley bertanya kepada Ibu mengapa David tidak boleh main bersama saudara-saudara yang lain atau adiknya. Shirley juga penasaran mengapa David sering sekali dihukum. Banyak alasan yang dikemukakan Ibu-David sedang terserang flu-lah, David sedang mengerjakan tugas khusus dari sekolah-lah, dan sebagainya. Tapi pada akhimya, Ibu berkata kepada Shirley bahwa David adalah anak nakal, sehingga ia pantas dihukum untuk waktu yang lama.
Lalu datanglah saat ketika persahabatan antara Ibu dan Shirley renggang. Pada suatu hari, tanpa alasan yang jelas, Ibu memutuskan segala bentuk hubungannya dengan Shirley. Anak lelaki Shirley dilarang Ibu bermain dengan anak-anak lelakinya, dan Ibu berlari-lari sekeliling rumah sambil berseru-seru menyebut Shirley "perempuan jalang".
Sekalipun aku dilarang bermain dengan semua anak lelaki itu, aku merasa lebih aman kalau Shirley dan Ibu berteman.
Pada suatu hari Minggu dalam bulan terakhir di musim panas, Ibu masuk ke ruang tidur utama. Aku sudah ada ruang tidur itu, sebab sebelumnya Ibu sudah menyuruhku masuk ke situ. Seperti biasa, aku duduk dalam posisi tawanan perang. Ibu menyuruh aku berdiri dan duduk pojok tempat tidur. Kemudian ia berkata kepadaku bahwa ia sudah lelah menjalani hubungan seperti yang terjadi antara dia dan aku. Ibu juga berkata bahwa ia menyesal dan berniat membayar saat-saat yang hilang bersamaku.
Aku tersenyum lebar dan langsung memeluknya erat-erat.
Aku menangis ketika ia mulai mengusap-usap rambutku.
Ibu juga menangis. Pada saat itu aku mulai merasa bahwa masa sengsaraku selesai. Kulepaskan pelukanku, lalu kutatap mat a Ibu. Aku merasa perlu meyakinkan diri. Aku merasa perlu mendengar Ibu mengulangi ucapannya.
"Benar-benar sudah selesai?" tanyaku takut-takut.
"Sudah selesai, Sayang. Sejak saat ini aku berharap kau sama sekali melupakan bahwa pemah terjadi hubungan yang buruk di antara kita. Kau mau mencoba menjadi anak baik, bukan?"
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, aku akan mencoba jadi ibu yang baik."
Setelah berbaikan, Ibu membolehkan aku mandi air hangat dan memakai pakaian baru yang kuperoleh sebagai hadiah Natal tahun sebelumnya. Tadinya aku tidak boleh memakai pakaian itu. Setelah itu Ibu mengajak aku dan saudara-saudaraku bermain boling, sementara Ayah di rumah menunggui Kevin. Dalam perjalanan pulang sehabis main boling, Ibu mampir ke sebuah toko kelontong dan membelikan kami masing-masing sebuah mainan. Sampai di rumah, Ibu berkata bahwa aku boleh main di luar bersama anak-anak lainnya, tapi pada waktu itu aku lebih suka bermain sendiri, maka kubawa mainanku ke tempat tidur utama dan bermain sendirian di situ.
Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun ini, kecuali pada hari-hari libur ketika rumah kami kedatangan tamu, aku makan bersama keluarga di meja makan. Sepertinya keadaan begitu bertolak belakang, terlalu cepat berubah, dan entah mengapa sulit bagiku untuk menerima semua ini begitu saja too good to be true . Betapapun senangnya rasa hatiku, aku tetap merasa seakan-akan berjalan di atas kulit telur. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa sebentar lagi Ibu akan terbangun dan kembali kepada jati dirinya.
Temyata tidak. Malam itu aku makan sekenyangku. Aku pun diizinkan nonton acara televisi bersama saudara-saudaraku sebelum kami berangkat tidur. Yang juga ganjil adalah bahwa aku didesak untuk tetap tidur bersama Ayah.
Ibu sendiri berkata bahwa ia ingin tidur bersama bayinya.
Pada siang esok harinya, saat Ayah sedang di tempat kerjanya, seorang wanita dari dinas sosial datang ke rumah. Ibu menyuruhku bermain di luar bersama saudara-saudaraku, sementara ia bercakap-cakap dengan wanita tadi. Mereka berdua bercakap-cakap lebih dari satu jam lamanya. Sebelum wanita itu pulang, Ibu memanggilku masuk rumah. Wanita itu ingin ngobrol sebentar denganku.
Wanita itu ingin tahu apakah aku bahagia. Kujawab ya. Ia ingin tahu apakah hubunganku dengan Ibu baik-baik saja.
Kujawab ya. Akhimya ia bertanya apakah Ibu pernah memukul aku. Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku memandang Ibu, yang memperlihatkan senyum ramah.
Rasanya seperti ada bom yang meledak dalam sekali di perutku. Rasanya seperti mau muntah. Tiba-tiba aku tersadar mengapa Ibu kembali sikap seratus delapan puluh derajat terhadapku sehari sebelumnya-secara tiba-tiba ia jadi begitu baik terhadapku. Aku merasa seperti orang dungu karena aku mudah terkelabui oleh sikap baiknya itu.
Aku sangat mendambakan cinta, sampai-sampai kutelan begitu saja perubahan sikapnya.
Sentuhan tangan Ibu pada bahuku mengembalikan aku pada kenyataan. "Ayo, Sayang, jawab pertanyaannya", kata Ibu, lagi-lagi sambil tersenyum. "Katakan padanya aku tidak memberimu makan dan memukulimu seperti anjing", kata Ibu dengan suara pelan, dan dengan sikapnya itu Ibu juga berharap wanita itu ikut tertawa.
Kupandang wanita itu. Kurasakan wajahku memerah, dan bisa kurasakan keringat mulai keluar di keningku. Tidak berani aku mengatakan yang sebenamya kepada wanita itu. "Tidak, sama sekali tidak seperti itu", kataku.
"Ibu memperlakukan aku sangat baik".
"Jadi, ia tidak pernah memukulimu?" tanya wanita itu.
"Tidak... emm... maksudku, hanya ketika aku dihukum... ketika aku jadi anak nakal", kataku, mencoba menutupi yang sebenamya. Dari raut wajah Ibu ketika ia mendengar jawabanku, aku tahu bahwa jawabanku itu salah. Bertahun-tahun ia "mencuci otakku" untuk mengatakan apa yang harus kukatakan, dan pada saat itu aku melakukannya dengan buruk sekali. Di lain pihak, aku juga tahu bahwa wanita itu berhasil menangkap sesuatu dari komunikasi antara Ibu dan aku.
"Baiklah", kata wanita itu. "Saya cuma mampir dan ingin tahu keadaan di sini."
Setelah mengucapkan selamat tinggal, Ibu mengantar tamunya keluar. Ketika wanita itu benar-be nar sudah pergi, Ibu menutup pintu dengan murka.
"Anak sialan!" teriaknya. Begitu Ibu mengangkat dan mengayunkan tangannya, aku langsung melindungi wajahku. Ibu memukuliku beberapa kali, lalu mengusir aku ke basement. Setelah memberi makan anak-anaknya, Ibu memanggilku ke atas untuk mengerjakan tugas-tugasku siang itu. Saat mencuci peralatan makan, aku merasakan perlakuan Ibu kali itu belum seberapa. Aku jadi tahu bahwa perlakuan baik Ibu terhadapku sekitar dua hari sebelumnya bukan karena alasan dia mencintaiku melainkan karena alasan lain. Seharusnya aku tahu itu, sebab setiap kali ada yang berkunjung ke rumah ini pada musim liburan, Nenek misalnya, sikap Ibu terhadapku jadi baik. Bagaimanapun, aku sudah menikmati dua hari yang menyenangkan. Sudah bertahun-tahun aku tidak menikmati saat menyenangkan selama dua hari berturut-turut, jadi aku pantas menikmatinya. Aku kembali menjalani segala sesuatu yang biasanya kujalani, dan mengandalkan diriku sendiri untuk bertahan hidup. Paling tidak, aku tidak lagi harus merasa seperti berjalan di atas telur yang sewaktu-waktu kulitnya yang tipis amblas terinjak. Segala sesuatu kembali normal. Aku berfungsi sebagai pembantu rumah tangga untuk keluarga ini. Sekalipun mulai bisa menerima nasibku, aku tak pemah merasa benar-benar sendirian seperti pada beberapa pagi hari saat Ayah berangkat ke tempat kerja. Pada hari kerja, Ayah bangun jam lima pagi. Ia pasti tak menyadari bahwa aku pun terbangun pada saat itu. Aku mendengar Ayah berjalan ke kamar mandi dan bercukur di sana. Aku mendengar Ayah berjalan ke dapur untuk mencari makanan. Aku tahu kalau Ayah sudah memakai sepatunya, itu berarti ia sudah siap meninggalkan rumah. Ada kalanya aku membalikkan badanku persis pada saat Ayah mengangkat tas biru tuanya yang bertuliskan Pan Am dan berisi pakaian untuk menginap. Ayah pasti mencium keningku, lalu berbisik, "Berusahalah membuat Ibu senang dan tak usahlah menghalanginya". Aku pasti menangis, walaupun sudah berusaha untuk tidak menangis. Aku tak ingin Ayah pergi. Itu tak pemah kukatakan padanya, tetapi aku yakin ia tahu. Setelah kudengar Ayah menutup pintu depan, kuhitung langkahnya dan aku tahu sampai hitungan ke berapa ia akan sampai ke trotoar. Aku masih bisa mendengar langkah-langkahnya yang semakin jauh. Dalam anganku, aku melihat Ayah berbelok ke kiri, lalu menunggu bus yang akan membawanya ke San Francisco. Ada kalanya, kalau sedang merasa cukup berani, aku turun cepat-cepat dari tempat tidur, berlari ke jendela kamar, dan dari kaca jendela aku masih sempat melihat sosok Ayah. Tapi biasanya aku berbaring saja di tempat tidur, berguling ke bagian yang ditiduri Ayah yang masih terasa hangat. Aku membayangkan masih bisa mendengar suara Ayah meskipun ia sudah lama pergi. Dan ketika aku menyadari bahwa Ayah benar-benar sudah pergi, aku mulai kedinginan, terasa ada kekosongan dalam jiwaku. Aku sangat mencintai Ayah. Aku ingin bersama dia selamanya, dan aku menangis dalam hati sebab aku tak pemah tahu kapan aku akan bertemu Ayah lagi. ******** "...DAN BEBASKANLAH AKU DARI YANG JAHAT"
Kira-kira satu bulan sebelum aku masuk ke kelas lima, aku semakin yakin, bahwa bagiku Tuhan tak ada.
Saat sedang duduk sendirian di basement atau membaca sendirian dengan bantuan cahaya matahari sore di tempat tidur orangtuaku, aku semakin yakin bahwa hidupku tidak akan berubah sampai aku mati. Tak ada Tuhan yang adil yang membiarkan aku hidup seperti ini. Aku percaya bahwa aku sendirian dalam perjuanganku dan bahwa perjuanganku adalah perjuangan mempertahankan hidup.
Ketika aku meyakini bahwa Tuhan tidak ada, rasa sakit fisik tidak kurasakan. Setiap kali Ibu menghantamku, rasanya seakan-akan ia sedang melampiaskan rasa berangnya pada sebuah boneka rombeng. Di dalam, emosiku berpusar antara rasa takut dan rasa marah yang amat sangat. Di luar, aku adalah robot yang jarang mengungkapkan emosi kecuali kalau itu akan menyenangkan Si Perempuan Jalang dan menguntungkan diriku. Aku menahan air mata, tak sudi aku menangis sebab aku tak ingin memberi dia kepuasan karena aku kalah.
Pada malam hari, aku tidak lag i bermimpi. Pada siang hari, aku tak membiarkan diriku berangan-angan. Khayalan khayalanku menjadi Superman yang dulu begitu hidup, sekarang tak ada lagi. Saat tertidur, jiwaku bagai masuk ke sebuah lubang hitam. Pada pagi hari aku tak lagi terbangun dalam keadaan segar; aku selalu merasa lelah dan berkata pada diri sendiri bahwa hidupku di dunia ini berkurang satu hari lagi.
Kuselesaikan tugasku yang satu, kemudian mengerjakan yang lainnya, lalu mengerjakan yang lainnya lagi, selalu dengan perasaan takut, setiap hari. Tanpa satu pun mimpi, kata-kata seperti harapan dan iman bagiku hanya rangkaian huruf yang tersusun begitu saja menjadi sesuatu yang tak punya artikata-kata seperti itu cuma ada dalam dongeng.
Saat mendapat makanan, aku seperti sedang berpesta.
Kulahap makanan itu seperti seekor anjing yang tak punya tuan-menggeram, siap menerkam, bersamaan dengan perintah Ibu. Tak lagi aku peduli bahwa Ibu melihat sikapku itu sebagai hal yang memuaskan dirinya-yang penting bagiku adalah melahap secepat kilat makanan yang diberikan kepadaku sampai tandas. Tak ada lagi yang lebih rendah daripada diriku.
Pada suatu hari Sabtu, saat aku sedang mencuci peralatan sarapan, kulihat Ibu menaruh sisa-sisa pancake dari sebuah piring ke tempat makan anjing peliharaannya.
Binatang peliharaannya yang terawat baik itu memakan sisa-sisa pancake tadi sampai puas, lalu pergi mencari tempat untuk tidur. Masih ada sisa pancake di tempat makan anjing itu. Beberapa saat kemudian, setelah menaruh teko dan panci di laci bawah, aku merangkak menuju tempat makan anjing tadi, lalu memakan sisa pancake yang tersisa di tempat makan itu. Saat mengunyah, aku bisa mencium bau anjing pada pancake itu, tapi tetap kumakan juga. Aku tak peduli. Aku menyadari betul kalau perempuan jalang itu memergoki aku memakan makanan yang menjadi hak anjingnya, aku harus menanggung risikonya. Bagaimanapun, mendapat makanan-entah bagaimana caranya-adalah satu-satunya cara bertahan hidup bagiku.
Jiwaku menjadi sangat dingin. Aku membenci segala sesuatu. Bahkan matahari kucemooh dengan marah, sebab aku tahu aku tak bakal bisa bermain pada saat sinamya memancar hangat. Aku diselimuti oleh kemarahan setiap kali mendengar tawa riang anak-anak lain yang sedang bermain di halaman luar. Setiap saat mencium bau makanan yang akan dihidangkan kepada orang lain, perutku serasa dipilin karena aku tahu makanan itu pasti bukan untukku. Setiap kali dipanggil untuk menjalankan fungsi budak bagi keluarga ini, aku selalu ingin melampiaskan kemarahan dengan menghantam apa saja.
Ibulah yang paling kubenci. Aku berharap dia mati saja.
Tetapi sebelum dia mati, aku ingin dia merasakan berlipat kali rasa sakit dan kesepian yang kurasakan selama bertahun-tahun. Ketika aku masih biasa berdoa kepada Tuhan, hanya sekali doaku dikabulkan. Pada suatu hari, ketika usiaku lima atau enam tahun, Ibu memukuliku di mana pun aku berada di rumah itu. Malam harinya, sebelum tidur, aku berlutut dan berdoa. Aku meminta Tuhan untuk membuat Ibu sakit supaya dia tidak memukuliku lagi. Aku berdoa dengan sangat khusyuk dan lama sekali, sampai-sampai kepalaku pening.
Esok paginya aku sangat terkejut karena Ibu benar-benar sakit. Seharian dia berbaring saja di kursi panjang, hampir tidak bergerak-gerak. Karena Ayah di tempat kerjanya, aku dan saudara-saudaraku merawat Ibu seakan-akan dia pasien kami.
Seiring berlalunya tahun dan hukuman-hukuman Ibu yang semakin intens, aku mulai berpikir tentang usia Ibu kira-kira pada umur berapa dia akan mati. Aku mendambakan saat ketika jiwa-nya diambil dan dibuang ke neraka yang paling dalam, dan baru pada saat itulah aku bisa terbebas darinya.
Aku juga membenci Ayah. Ia tahu persis bahwa aku hidup dalam neraka, tetapi ia tak punya cukup keberanian untuk membebaskan aku dari neraka itu seperti yang berkali-kali ia janjikan pada tahun-tahun sebelumnya. Kalau aku pikirkan hubunganku dengan Ayah, aku sampai pada kesimpulan bahwa ia menganggap aku sebagai bagian dari masalah. Aku yakin Ayah menganggap aku bersikap membangkang. Hampir pada setiap percekcokan antara Ibu dan Ayah, perem puan jalang itu melibatkan diriku. Ibu akan menyeretku dari mana pun aku sedang berada, lalu menyuruh aku mengulangi setiap perkataan kasar yang pernah dilontarkan Ayah dalam banyak cekcok mereka sebelumnya.
Aku tahu persis tujuan permainan Ibu, tetapi ketika aku harus memilih siapa yang harus kuturuti dalam keadaan seperti itu tidaklah sulit. Kemurkaan Ibu jauh lebih buruk bagiku. Maka, aku selalu mengangguk sambil dengan takut-takut mengucapkan kata yang Ibu ingin dengar. Di depan Ayah, Ibu meneriakkan kata-kata kasar yang pernah aku ucapkan di depan Ibu, padahal kata-kata itu aku ucapkan atas perintah Ibu.
Sering kali aku lupa kata-kata yang harus kuucapkan, dan pada saat-saat seperti itu Ibu memaksaku untuk mencari-cari kata lain. Situasi seperti itu membuat aku merasa sangat tidak enak, sebab itu berarti aku menghindari pukulan-pukulan dengan cara menggigit tangan yang selama masa itu paling sering memberiku makanan.
Mulanya aku mencoba menjelaskan kepada Ayah mengapa aku berbohong dan memusuhinya. Waktu itu Ayah mengaku bahwa ia mempercayai aku, namun akhimya aku tahu bahwa ia tidak lagi bisa mempercayai aku. Sikapnya itu bukannya membuat aku menyesal atau sedih. Aku malah semakin membenci ayah.
Anak-anak lelaki yang tinggal di lantai atas itu bukan lagi saudara-saudara kandungku. Pada awal-awal penderitaanku mereka memang pernah sesekali mencoba menguatkan diriku. Tetapi pada musim panas tahun 1972 mereka mulai bergantian memukuli aku dan tampaknya senang sekali memerintah aku untuk melakukan sesuatu bagi mereka. Jelas bahwa mereka merasa lebih berkuasa dibandingkan seorang budak di keluarga itu. Setiap kali mereka mendekati aku, hatiku mengeras seperti batu, dan aku tahu persis mereka bisa melihat rasa benci yang tergambar pada raut wajahku. Sekalipun amat jarang dan selalu dengan perasaan kosong, aku pemah merasa menang terhadap mereka. Pada saat seperti itu, dengan geram dan suara tertahan supaya tidak terdengar oleh mereka, kulontarkan kata "asshole". Aku pun jadi membenci para tetangga, para saudara, dan siapa pun yang mengenal aku dan tahu apa yang kualami. Rasa benci, tinggal itulah satu-satunya yang kumiliki.
Tetapi yang paling aku benci sebetulnya adalah diriku sendiri. Semakin hari aku semakin percaya bahwa segala sesuatu yang menimpa diriku atau terjadi di sekitarku adalah akibat kesalahanku sendiri karena aku membiarkan semua itu berlangsung sekian lama. Aku menginginkan apa yang dimiliki orang lain, tetapi aku tak bisa memilikinya, maka aku membenci semua orang yang memiliki apa saja yang tak bisa kumiliki.
Aku ingin menjadi kuat, tetapi dalam hati aku tahu aku orang yang rapuh. Aku tak pemah punya keberanian untuk melawan perempuan jalang itu, maka aku tahu sepantasnyalah aku menerima segala sesuatu yang menimpa diriku. Bertahun-tahun Ibu mencuci otakku dengan menyuruhku berteriak sekeras-kerasnya, "Aku benci diriku! Aku benci diriku!" Usahanya itu berhasil.
Beberapa minggu sebelum aku masuk ke kelas lima, aku merasa sangat membenci diriku sendiri sampai-sampai aku merasa ingin mati saja.
Bagiku, sekolah tidak lagi menarik seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku berjuang keras memusatkan perhatian pada pelajaran, tetapi rasa marah yang kupendam sering kali menggelegak di saat-saat yang tidak tepat.
Pada suatu hari Jumat siang di musim dingin tahun 1973, tanpa alasan yang jelas, aku menghambur keluar kelas, berteriak kepada siapa pun yang berpapasan denganku.
Pintu kelas kubanting keras-keras sampai-sampai aku sempat berpikir kacanya pasti pecah berantakan. Aku berlari ke kamar kecil, dan seperti kesetanan kuhantam dinding berkeramik di kamar kecil itu berkali-kali dengan tinjuku yang kecil sampai tenagaku terkuras. Sesudah itu aku terkapar, berdoa memohon ada mukjizat. Dan mukjizat itu tidak pemah datang.
Bagaimanapun, waktu-waktu di luar ruang kelas masih lebih mendingan daripada di dalam "rumah neraka" Ibu.
Karena aku ini murid yang dikucilkan oleh semua murid lain, teman-teman sekelasku sering menggantikan peran Ibu memukuli aku. Salah seorang dari mereka bernama Clifford. Clifford senang berkelahi di sekolah, dan pada waktu-waktu tertentu ia menghadangku pada saat aku sedang berlari pulang dari sekolah. Dengan memukuli aku, Clifford ingin menunjukkan kehebatannya di hadapan teman-temannya. Kalau sudah begitu, paling-paling aku menjatuhkan diri ke tanah sambil melindungi kepalaku, sementara Clifford dan gengnya menendang aku silih berganti.
Lain lagi dengan Aggie. Teman perempuan sekelasku ini sama-sama sering "menyiksa" aku, tetapi caranya berbeda. Ia selalu bisa menemukan cara baru untuk mengatakan betapa ia menginginkan aku "mati mendadak"
Dan lenyap begitu saja. Aggie selalu berpamer diri. Ia selalu ingin memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin sekelompok kecil teman-teman perempuannya. Selain mencemooh dan menyakiti aku, Aggie dan kelompoknya terlihat puas memamerkan pakaian mereka yang bagus-bagus.
Aku sendiri tahu bahwa sejak semula Aggie tidak pemah menyukaiku, namun aku tidak tahu sampai sejauh apa ia tidak menyukai aku. Dan aku mengetahui hal itu baru pada hari terakhir kami di kelas empat. Ibu Aggie mengajar aku di kelas pagi, dan pada hari terakhirku di kelas empat itu Aggie masuk kelas, bergaya seperti orang mau muntah, sambil berkata.
"David Pelzer Smellzer tahun depan akan menjadi muridku di kelas ini". Tiada hari yang ia lewati tanpa mengeluarkan cemoohan terhadap diriku di hadapan teman-temannya. Aku tidak terlalu memedulikan Aggie, sampai ketika kami murid-murid kelas lima melakukan studi wisata ke salah satu Clipper Ship di San Francisco. Ketika aku sedang sendirian berdiri di bagian lambung kapal memandangi air laut, Aggie mendekati aku dengan senyumnya yang licik dan berkata dengan suara pelan, "Loncat!" Ia membuatku terkejut. Kuperhatikan raut wajahnya, mencoba memahami apa yang ia inginkan. Sekali lagi ia berkata, pelan dan tenang.
"Aku bilang, jangan ragu-ragu, ayo meloncatlah. Aku tahu segala sesuatu mengenai dirimu, Pelzer, dan meloncat ke laut adalah satu-satunya cara bagimu untuk keluar dari masalahmu". Terdengar suara lain dari belakang Aggie, "Ya, betul itu". Itu suara John, teman kelasku juga, salah satu "pengawal"
Aggie yang bertubuh kekar. Kualihkan pandanganku dari mereka ke air laut berwama hijau yang mengempas-empas lambung kayu kapal. Sejenak kubayangkan diriku terjun ke air laut, dan aku tahu aku pasti tenggelam. Nyaman sekali rasanya punya pikiran seperti itu, sebab kalau aku mati tenggelam berarti aku terbebas dari Aggie, teman-temannya, dan semua saja yang kubenci di dunia ini.
Tetapi aku tersadar kembali, lalu aku menengadah dan kutatap langsung mata John. Kucoba untuk tidak mengalihkan tatapanku pada John. Beberapa saat kemudian, John pasti bisa merasakan kemarahanku sebab ia beranjak pergi sambil mengajak Aggie.
Pada awal tahun ajaran kelas lima, Mr. Ziegler, guruku di kelas pagi, tidak mengerti mengapa aku menjadi murid yang bermasalah. Baru kemudian perawat sekolah memberitahu Mr. Ziegler mengapa aku mencuri makanan dan mengapa pakaian yang kukenakan begitu lusuh.
Berdasarkan informasi itu, Mr. Ziegler berusaha keras memperlakukan aku sebagaimana murid normal lainnya.
Salah satu tugas Mr. Ziegler sebagai sponsor koran sekolah adalah membentuk sebuah komite yang terdiri dari murid-murid sekolah untuk mencari sebuah nama bagi koran sekolah itu. Aku mengajukan usul sebuah nama yang menarik, dan seminggu kemudian usulanku itu masuk dalam daftar usulan yang akan dipilih melalui pemilihan yang diikuti seluruh murid dan staf sekolah. Usulan nama yang kuajukan menang telak. Beberapa jam setelah pemilihan itu selesai, Mr. Ziegler memanggilku dan mengatakan betapa bangganya ia bahwa nama yang kuusulkan memenangkan pemilihan.
Aku menikmati pujian itu seperti busa kering menyerap air.
Nyaris aku menangis karena sudah sedemikian lama tak ada yang mengatakan sesuatu yang positif mengenai diriku. Usai sekolah pada hari itu, setelah menjamin bahwa aku tak akan mendapat masalah, Mr. Ziegler memberiku surat yang harus kuserahkan kepada Ibu.
Dengan perasaan bangga bercampur gembira, aku berlari kencang penuh semangat pulang ke rumah Ibu.
Seharusnya aku sudah bisa menduga bahwa kegembira anku tak akan berumur panjang.
Perempuan jalang itu dengan kasar membuka surat yang kuberikan, membacanya cepat-cepat, dan berkata dengan sikap mencemooh.
"Jadi, Mr. Ziegler berkata bahwa aku sepantasnya bangga terhadapmu karena kau berhasil memberi nama yang paling menarik untuk koran sekolah. Ia juga menyatakan bahwa kau adalah salah satu murid terpandai di kelasnya. Wah, bukankah itu berarti kau istimewa?"
Tiba-tiba suaranya berubah jadi sedingin es dan ia menuding-nudingkan telunjuknya ke wajahku dan berkata tajam.
"Terus terang kukatakan padamu, bangsat kecil! Kau tak bisa melakukan apa pun yang membuat aku terkesan! Paham? Kau bukan siapa-siapa, nobody! Kau adalah sesuatu, it! Kau tak pernah ada! Kau anak brengsek! Aku membencimu dan aku berharap kau mati! Mati! Kau dengar? Mati!"
Setelah merobek-robek surat itu menjadi potongan potongan amat kecil, Ibu meninggalkan aku, kembali asyik menikmati acara televisi. Aku berdiri tak bergerak, memandangi surat yang terserak menjadi potongan-potongan kecil seperti butiran salju di kakiku. Sekalipun aku sudah berkali-kali mendengar semua perkataan yang tadi diucapkan Ibu, kali ini kata "It" membuat diriku tertegun tidak seperti biasanya. Ibu telah menghilangkan seluruh keberadaanku. Segala sesuatu telah kulakukan sebaik mungkin untuk mendapat pengakuan dari-nya.
Tetapi, sekali lagi, aku gagal. Hatiku semakin kecil dan kecil. Ibu mengatakan semua itu bukan karena sedang mabuk; semua perkataan itu keluar dari hatinya.
Aku berlutut, mencoba menyatukan kembali surat yang sudah menjadi potongan-potongan kecil itu. Tidak mungkin. Kubuang potongan-potongan surat itu ke tempat sampah, sambil berharap hidupku cepat berakhir saja.
Pada saat itu aku yakin bahwa bagiku kematian akan lebih baik daripada kemungkinan memperoleh kebahagiaan. Aku bukan siapasiapa, bukan apa-apa. Aku sekadar "sesuatu".
"It". Semangat hidupku menjadi sedemikian rendah, sampai sampai aku berharap Ibu benar-benar membunuhku, dan kupikir pada akhirnya itu akan ia lakukan juga. Menurut perkiraanku semua itu sekadar menunggu saat kapan ia mau melakukannya. Maka aku pun mulai sengaja bertingkah yang membuatnya marah, dengan harapan ia akan terpancing untuk segera mengakhiri kesengsaraanku. Aku mulai sembarangan mengerjakan tugas-tugasku. Aku sengaja "lupa" tidak menyikat lantai kamar mandi, dengan harapan Ibu atau salah satu pangeran kecilnya terpeleset dan jatuh, kesakitan karena membentur lantai yang keras. Aku sengaja membiarkan peralatan makan malam yang kucuci sedikit kotor. Aku berharap perempuan jalang itu tahu bahwa aku tak lagi peduli akan apa pun. Sikapku berubah, aku jadi semakin memberontak. Sebuah peristiwa terjadi di sebuah toko swalayan pada suatu hari. Biasanya, setiap kali berbelanja di toko itu, aku disuruh tinggal di mobil. Tetapi pada hari itu, tanpa alasan yang jelas, lbu memutuskan mengajak aku masuk ke toko. la menyuruhku meletakkan salah satu tanganku pada kereta belanja dan menundukkan kepala ke arah lantai. Dengan terang-terangan aku menolak semua perintahnya. Aku tahu ia tidak akan menarik perhatian pembeli lain di toko itu, maka aku berjalan tidak terlalu jauh di depan kereta belanja. Kalau saudara-saudaraku menegur kelakuanku, aku balik membentak mereka. Aku sekadar mau mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tak lagi sudi menjadi budak orang lain. Ibu tahu bahwa pembeli lain di toko itu sedang memperhatikan kami dan bisa mendengar keributan yang kami buat, maka beberapa kali ia memegang tanganku dan berkata padaku dengan suara lembut agar aku tenang. Aku merasa sangat senang berada di atas angin selama berada di toko itu, tetapi aku juga sadar bahwa begitu kami berada di luar toko, aku harus membayar risikonya. Persis seperti dugaanku, Ibu membentak-bentak aku bahkan sebelum kami masuk mobil. Begitu kami masuk mobil, Ibu menyuruh anak-anak lelakinya untuk menginjak-injak aku. Kemudian begitu kami masuk rumah, Ibu langsung membuatkan aku campuran amoniak dan Clorox. Ia pasti bisa menduga bahwa aku menggunakan kain lap untuk menutupi hidung dan wajahku sebab ia menceburkan kain lap it u ke dalam ember. Begitu ia menutup pintu kamar mandi, aku langsung ke ventilasi tempat keluar masuk udara dari mesin pemanas. Mesinnya tidak menyala. Tak udara segar yang masuk dari ventilasi itu. Aku pasti sudah berada di kamar mandi lebih dari satu jam, sebab uap berwama abu-abu sudah memenuhi ruangan sampai ke lantai. Mataku berair banyak, yang tampaknya menambah daya kerja uap beracun itu. Aku mengeluarkan ingus dan megap-megap sampai rasanya mau pingsan. Begitu Ibu akhimya membuka pintu kamar mandi, aku langsung menghambur ke luar, tetapi tangannya mencengkeram leherku. la mendorong wajahku ke ember, tapi aku melawan. Ibu gagal melakukan kehendaknya. Rencanaku untuk bersikap memberontak pun gagal. Setelah kejadian di "kamar gas" yang memakan waktu lebih lama daripada biasanya itu, aku kembali menjadi pribadi yang rapuh. Tetapi jauh dalam jiwaku aku masih bisa merasakan dorongan naik yang semakin menguat seperti sebuah gunung berapi yang menunggu saatnya untuk meletus. Satu-satunya yang membuat aku tetap waras adalah adikku yang masih bayi, Kevin. Ia adalah bayi yang manis dan aku mencintainya. Sekitar tiga setengah bulan sebelum ia dilahirkan, Ibu mengizinkan aku menonton acara kartun spesial Natal. Setelah acara itu selesai, tanpa alasan yang jelas bagiku, Ibu menyuruh aku duduk di kamar saudaraku. Beberapa menit kemudian ia masuk ke kamar itu dengan begitu tiba-tiba, memiting leherku dengan tangannya, dan mencekik aku. Aku meronta tak karuan, mencoba membebaskan diri dari pitingannya. Pada saat aku merasa ingin pingsan, kudepakkan kakiku tanpa arah yang jelas, yang temyata tepat mengenai bagian tubuh di antara kedua kakinya, dan itu membuatnya melepaskan pitingannya. Di kemudian hari, aku menyesali kejadian itu. Sekitar satu bulan setelah kejadian Ibu berusaha mencekik aku itu, ia berkata padaku bahwa aku menendang perutnya keras sekali yang bisa-bisa menyebabkan bayi dalam kandungannya menderita cacat lahir permanen. Aku merasa seperti seorang pembunuh. Tidak cuma kepadaku Ibu menceritakan kejadian itu. Ia punya beberapa versi mengenai kejadian itu, yang ia ceritakan kepada siapa saja yang mendengarkan omongannya. Ibu bilang, ia mencoba memeluk aku, tetapi aku berkali-kali menendang dan memukul perutnya. Kata Ibu, itu aku lakukan karena aku iri terhadap bayi yang akan ia lahirkan. Ibu bilang, aku takut bayi itu kelak mendapat perhatian yang lebih besar dari Ibu. Aku betul-betul mencintai Kevin, tetapi karena aku tak diizinkan bahkan untuk melihat-nya atau melihat saudara-saudaraku yang lain, aku tak punya kesempatan untuk menunjukkan perasaanku. Aku ingat betul akan suatu hari Sabtu, ketika Ibu mengajak anak-anak lelakinya yang lain nonton baseball di Oakland, sementara Ayah tinggal di rumah untuk mengasuh Kevin, sedangkan aku sendiri mengerjakan tugas-tugasku. Setelah kuselesaikan semua tugasku, Ayah mengeluarkan Kevin dari tempat tidur bayinya. Aku senang memperhatikan dia merangkak berputar-putar dalam pakaiannya yang membuat dia makin menggemaskan. Menurutku, dia manis. Kalau Kevin mengangkat kepalanya dan tersenyum padaku, hatiku luluh. Ia bisa membuatku melupakan segala penderitaanku untuk sementara waktu. Kepolosannya seakan-akan menghipnotis aku, sebab aku mengikutinya terus ke mana pun ia merangkak; aku membersihkan liur yang membasahi sekitar mulutnya dan selalu berada dekat dengannya untuk menjagainya. Sebelum Ibu pulang, aku sempat bermain kue pastel dengan Kevin. Tawa Kevin membuat hatiku hangat. Sejak saat itu, setiap kali aku merasa tertekan, aku ingat Kevin. Jiwaku tersenyum setiap kali kudengar Kevin berteriak atau tertawa gembira. Perasaan hangat karena pertemuan singkatku dengan Kevin tidak bertahan lama, sebab rasa benci dalam hatiku muncul kembali. Aku berusaha keras memendam perasaanku itu, tapi tak bisa. Aku tahu aku tidak pernah ditakdirkan untuk dicintai. Aku tahu aku tak pemah menikmati kehidupan seperti yang dinikmati saudara-saudara lelakiku. Yang paling buruk, aku tahu bahwa pada saatnya nanti Kevin juga akan membenciku, seperti saudara-saudara kandungku yang lain. Menjelang akhir musim gugur tahun itu, Ibu mulai melampiaskan rasa frustrasinya ke lebih banyak lagi sasaran. Ia sangat membenciku seperti dulu, namun ia mulai memusuhi teman-temannya, suaminya, saudara kandungnya, ibunya. Sekalipun masih anak kecil, aku bisa merasakan bahwa hubungan Ibu dengan keluarganya tidak sehat. Ibu merasa semua orang berusaha menasihatinya. Ibu tidak pemah merasa nyaman, apalagi bersama ibunya sendiri yang juga berkepribadian kuat. Biasanya Nenek mengajak Ibu membeli baju baru atau pergi ke salon kecantikan. Ibu tidak sekadar menolak semua tawaran itu. Ia berteriak-teriak dan menjerit-jerit kepada Nenek, sampai akhimya Nenek meninggalkan rumah-nya. Kadang kala Nenek mencoba membantuku, tetapi itu malah membuat keadaan lebih buruk lagi. Ibu menegaskan bahwa penampilannya dan caranya mengasuh keluarganya "sama sekali bukan urusan orang lain". Setelah beberapa kali cekcok seperti itu, Nenek jadi jarang berkunjung ke rumah Ibu. Mendekati musim liburan, Ibu dan Nenek semakin sering bertengkar di telepon. Ia menyebut ibunya sendiri dengan sejumlah nama jahat yang bisa ia bayangkan. Pertengkaran antara Ibu dan Nenek berakibat buruk bagiku, sebab di akhir pertengkaran itu aku sering jadi sasaran kemarahan Ibu. Pemah aku dengar dari basement, Ibu memanggil semua saudara kandungku ke dapur, lalu berkata kepada mereka bahwa mereka tidak lagi punya Nenek, tidak ada lagi Paman Dan. Dalam hubungannya dengan Ayah pun, Ibu bersikap kejam. Pada saat Ayah pulang, entah itu sekadar untuk berkunjung atau bermalam satu hari, Ibu langsung berteriak-teriak kepada Ayah padahal Ayah baru saja masuk rumah. Akibatnya, Ayah sering pulang dalam keadaan mabuk. Agar tidak berurusan dengan Ibu, Ayah sering mengerjakan hal-hal yang ganjil di luar rumah. Kemurkaan Ibu bahkan mengejar Ayah sampai ke tempat kerjanya. Ibu sering menelepon Ayah ke tempat kerjanya dan mengatainya dengan berbagai sebutan. "Orang yang tidak berguna" dan "Pemabuk" adalah dua sebutan yang paling sering digunakan Ibu untuk mengatai Ayah. Setelah beberapa kali mendapat telepon seperti itu, seorang anggota pemadam kebakaran teman sekerja Ayah yang menerima telepon-telepon Ibu menggantungkan gagang teleponnya begitu saja dan tidak memanggil Ayah. Itu membuat Ibu murka dan, lagi-lagi, akulah sasaran kemurkaannya itu. Untuk sementara waktu Ibu melarang Ayah pulang. Kami cuma bertemu dengannya saat pergi ke San Francisco untuk mengambil bukti pembayaran gajinya. Suatu kali, dalam perjalanan mengambil bukti pembayaran gaji Ayah, kami melewati Golden Gate Park. Sekalipun diriku selalu dipenuhi kemarahan, aku sempat terkenang akan hari-hari bahagia saat taman itu memiliki arti besar bagi seluruh keluarga ini. Ketika kami melewati taman itu dalam perjalanan mengambil bukti pembayaran gaji Ayah, semua saudaraku pun terdiam. Tampaknya kami semua merasakan bahwa taman itu sudah kehilangan daya tariknya, dan bahwa hari-hari bahagia kami di taman itu tak akan pemah kembali lagi. Aku menduga saudara-saudara kandungku pun merasa bahwa hari-hari bahagia itu tidak akan pemah kembali bagi mereka juga. Sikap Ibu terhadap Ayah berubah, tetapi untuk waktu yang tidak lama. Pada suatu hari Minggu, Ibu menyuruh semua anaknya naik ke mobil. Kami diajak masuk ke toko yang satu ke toko yang lain untuk mencari rekaman lagu-lagu Jerman. Ibu ingin menciptakan suasana istimewa untuk Ayah pada saat ia pulang nanti. Sepanjang siang harinya Ibu sibuk menyiapkan sebuah pesta, dengan gairah seperti tahun-tahun sebelumnya. Berjam-jam ia membenahi rambutnya dan mengenakan make-up. Ibu bahkan mengenakan gaun yang mengingatkan orang akan pribadi Ibu dulu. Aku yakin Tuhan mengabulkan doaku. Saat Ibu sibuk menata ini itu di seluruh penjuru rumah, aku memikirkan hidangan yang dimasak Ibu. Aku pikir tentunya Ibu melunakkan hatinya untuk mengizinkan aku makan bersama keluarga. Itu harapan kosong. Waktu terus berlalu. Ayah diperkirakan sampai di rumah jam satu siang. Setiap kali mendengar suara mobil mendekati rumah, Ibu berlari ke pintu depan untuk menyambut Ayah dengan hangat. Sekitar jam empat sore Ayah sampai di rumah, sempoyongan, bersama seorang teman kerjanya. Suasana pesta di rumah membuatnya terkejut. Dari kamar tidur aku bisa mendengar suara Ibu yang tertahan saat ia berusaha keras untuk bersabar menghadapi Ayah. Beberapa menit kemudian Ayah masuk kamar tidur, masih sempoyongan. Aku memandanginya dengan heran. Belum pemah kulihat Ayah semabuk itu. Bisa kucium bau minuman keras, bahkan tanpa Ayah perlu membuka mulutnya. Sorot matanya lebih memancarkan rasa putus asa yang membuatnya tidak lagi mampu berdiri tegar. Bahkan sebelum Ayah membuka pintu lemari pakaian, aku sudah tahu apa yang akan ia lakukan. Aku tahu kenapa ia pulang. Begitu ia menyiapkan tas biru gelap-nya, aku mulai menangis dalam hati. Ingin rasanya tubuhku mengecil lalu melompat masuk ke dalam tasnya itu, dan ikut pergi bersamanya. Setelah selesai berkemas, Ayah berlutut dan menggumamkan sesuatu kepadaku. Semakin kuamati Ayah, semakin kakiku terasa lemas. Otakku jadi buntu oleh berbagai pertanyaan. Di manakah pahlawanku? Apa yang terjadi padanya? Ketika Ayah membuka pintu untuk keluar dari kamar tidur, teman kerjanya yang mabuk menabrak Ayah, hampir membuat Ayah jatuh. Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata dengan suara sedih.
Rajawali Emas Sumpah Iblis Kubur Satria Lonceng Dewa Perawan Sumur Api Pendekar Rajawali Sakti Misteri Naga Laut