Dark Love 1
Ken Terate Dark Love Bagian 1
Cewek Berlumur dosa Rabu, 31 Desember 2008, 15.30 Usiaku 17 tahun, hampir 18.
Kelas XII.
Hampir lulus.
Dan hamil...
Aku menangis setiap malam.
Tidak benar-benar tiap malam sih, karena ada malam-malam ketika aku cukup sering melakukannya.
Menangis maksudku.
Aku juga sering berharap ini cuma mimpi.
SELALU sebenarnya.
Aku berkata pada diriku sendiri, aku mual karena salah makan.
Aku stres karena menghadapi ujian.
Tapi tentu saja tidak.
Aku bahkan nyaris tidak makan beberapa minggu ini.
Dan sebelumnya, ujian tidak pernah membuatku stres.
Tertantang iya, stres tidak.
Tuhan, aku tau aku berdosa dan layak dihukum.
Tapi aku sudah menyesal.
Aku bertobat.
Aku sudah mohon ampun berkali-kali.
Aku juga berjanji akan menyerahkan seluruh tabunganku pada fakir miskin.
Aku mau kerja sosial setahun penuh.
Aku akan rajin berdoa.
Aku akan berhenti menggosipkan temanku dan berhenti mencela dandanan mereka.
Asal kau tarik apapun yang ada diperut ini.
bukan, bukan perut, tapi rahim! Ugh, Kau pasti tau maksudku.
Tak ada yang tahu.
Sampai saat ini.
Aku kos diJakarta Pusat, bagian kota paling metropolis.
Orangtuaku tinggal diBekasi.
Sudah nyaris sebulan aku tidak pulang kerumah yang cuma satu setengah jam perjalanan itu.
Ini rekor, karena biasanya aku pulang seminggu sekali.
Paling lama dua minggu sekali bila pada hari Minggu aku harus ikut TryOut ujian atau latihan band.
Aku tidak main band, tapi...
Itu akan kuceritakan lain waktu.
Aku takut mereka tahu.
Orangtuaku.
Mereka pasti bakal tahu.
Kalau tidak dari perutku, ya dari pandangan mataku.
Pandangan orang kalah dan bersalah.
Aku sama sekali nggak ahli bohong.
Aku ingat waktu usiaku delapan tahun, aku pernah minum es dirumah temanku padahal aku sedang dilarang minum es karena baru sembuh dari pilek.
Mama tahu bahkan sebelum bertanya padaku.
Padahal aku nyaris sudah melap bibirku, memastikan tak ada tetesan sirup dibajuku atau ingus dihidungku.
Jadi entah dengan cara apa, pasti ada bagian tubuhku yang mengkhianatiku.
Dalam kasusku sekarang.
PERUTKU.
Atau rahimku.
Whatever.
Mereka pasti akan bertanya siapa yang melakukan ini padaku.
Tidak ada yang melakukan ini padaku.
Kami melakukannya berdua.
Tidak ada paksaan.
Tidak ada yang sakit atau terluka.
Sebenarnya aku cukup merasa jijik bila mengingatnya.
Nggak ada yang indah.
Nggaj ada yang romantis.
Itu hanya ....
sudahlah, aku tidak mau mengingatnya lagi.
Tapi aku ingat satu hal.
AKU SANGAT MENCINTAINYA.
SANGAT.
Hingga semua begitu murni dan wajar.
Meski sekarang cinta itu terasa jauh dan samar.
Bahkan tidak nyata.
Jadi kalau mereka bertanya siapa, aku tak akan menjawabnya.
Tak akan ada yang tau siapa dia.
Oke, kita sebut saja dia "My Prince"
Karena begitulah aku memanggilnya.
Karena itulah arti dirinya untukku.
Pangeran.
Oke? Masalahnya kalau mereka tahu, ia akan dikeluarkan dari sekolah.
Padahal dia harus terus bersekolah.
Ya ampun, dia begitu tampan dan cerdas.
Dia sangat berbakat, olahraga, musik, dan eh..juga berbakat dalam merayuku.
Dia seperti terlalu sempurna untuk jadi manusia salah satu alasan kenapa aku memujanya.
Aku mudah takluk pada otak cemerlang.
Apalagi bila terbungkus dalam kepala berwajah indah.
Ngertikan? Bila dia tidak lulus SMA, Indonesia akan kehilangan calon ilmuwan jenius atau bahkan presiden.
Oh, dia tentu saja tahu apa yang terjadi padaku.
Dia tidak jahat.
Dia bilang ia akan bertanggung jawab.
Ia akan menikahiku.
Percaya nggak sih? M.E.N.I.K.A.H.
Bukannya aku membenci pernikahan.
Come on, aku punya Ken dan Berbie versi pengantin.
Aku juga pernah menggunakan taplak sebagai cadar waktu aku dan kakakku bermain sebagai mempelai.
Dan kurasa aku masih balita waktu itu.
Tapi menikah beneran di usia tujuh belas? Aku lebih suka mengunyah ban mobil.
Waktu menikahkan Barbie dan Ken, aku hanya mengagumi gaun putih cantik dan kue pengantin bergula.
Aku tidak membayangkan Ken dan Barbie setelahnya.
Apakah mereka meributkan cucian dan siapa yang tidur mendengkur? Bahkan dengan My Prince, menikah tetap mengerikan.
Di usia yang masih sangat muda aku sudah bisa menyampaikan pelajaran yang sangat filosofis.
pacaran itu tidak sama dengan pernikahan.
My Prince bilang dia akan mengakui semuanya pada orangtuaku.
Pada orangtuanya juga.
Tapi dia tidak tahu siapa orangtuaku.
Orangtuaku adalah jenis manusia TERHORMAT yang menyebut majalah porno dengan "majalah dewasa", dan "cinta"
Dengan "suka".
Mereka bersikap seolah anaknya tidak pernah mencoba mengisap rokok (pelaku kakakku) dan nonton video porno di internet (pelaku aku).
Sementara orangtuanya aku tidak tahu.
Dan tak mau tahu.
Yang jelas orangtuanya tidak akan rela anaknya putus sekolah.
Apalagi menikah.
Apalagi menikah denganku yang menjijikkan.
Aku tidak pernah merasa aku menjijikkan.
Tapi setelah aku hamil, tentu saja aku menjijikkan.
Orangtuanya akan menganggapku cewek murahan.
Penggoda.
Mungkin mereka tidak akan percaya bahwa anaknya berbuat "itu".
Mungkin mereka seperti orangtuaku, yang menganggap anak mereka lugu dan masih benci pada lawan jenis seperti anak SD.
Jangankan mencium, melihat cewek pun merinding.
Yang terburuk, bagaimana bila mereka menuduhku berbuat itu dengan cowok lain juga? Padahal sumpah, aku bahkan tidak pernah berciuman dengan cowok lain.
HANYA dia satu-satunya.
Ya, aku pernah punya pacar waktu SMP, sembunyi-sembunyi.
Tapi paling jauh kami hanya pegangan tangan.
Mungkin pacar ingusanku itu pernah menciumku dipipi, sekilas.
Terus terang aku nggak ingat.
Tapi jelas bukan sentuhan yang membuat hamil.
Kalau kupikir lagi, memang tak akan ada yang percaya.
Bagaimana mungkin cowok sebaik dia melakukan hal sebodoh itu, senista itu.
Aku tak pernah menganggap cinta kami nista.
Tapi siapa tahu apa yang mereka pikirkan? Jadi aku bilang, tak usah saja.
Diam sajalah.
Biar aku yang menanggung semuanya.
tak akan ada yang tahu.
Tak boleh ada yang tahu.
Aku akan diam, Aku tak akan menyebut namanya.
Rabu, 31 Desember 2008, 15.33 Incoming call.
Maria.
"Kirana, elo harus ikut. Kalau elo ikut, cowok-cowok pasti juga ikut!"
Dia nyaris berteriak.
"Kayaknya ntar malam hujan,"
Aku menyahut enggan.
"Kan pentasnya indoor. Kita akan naik mobil. Jadi tidak bakal kehujanan." ......
"Ayolah."
"Sori, aku nggak bisa ikut,"
Putusku.
"Kenapa sih?"
Maria terdengar kesal.
"Setelah itu kita ke Ancol nonton pesta kembang api."
"Aku mau pulang keBekasi."
Aku jelas bohong.
"Ugh! Nggak asyik banget!"
Yah, hamil saat usiamu belum lagi delapan belas memang nggak asyik.
"Akhir-akhir ini lo aneh. Lo bolos latihan basket, nggak mau ikut main diTimezone."
Aku tidak aneh, aku hanya...
"Kitakan sudah kelas 12, Mar harus lebih banyak belajar, aku ketinggalan banyak."
"Rajin belajarpun nilai lo nggak bagus-bagus juga! Malah turun."
Maria benar dan hatiku serasa diremas.
Nilai-nilaiku yang dulu selalu sembilan, minimal delapan, kini terjun menjadi tujuh.
Semester lalu aku hanya ranking empat.
Oke, aku tahu bagimu itu bukan apa-apa.
Bagi Maria ranking empat adalah mimpi yang takkan pernah terwujud.
Tapi bagiku ini seperti kiamat.
Aku selalu juara satu.
Pernah juara dua, tapi itu karena aku sakit tifus waktu ujian.
"YA SUDAH!"
Maria menutup teleponnya.
Aku tahu dia marah.
Tapi aku tak bisa berbuat apaapa.
My Prince.
Anak2 pd ngajakin tahun baruan.
Ikut yuk.
Aku.
Gak ah.
My Prince.
Knp? Kamu sakit, sayang? Aku.
Aku malu.
My Prince.
Tdk ada yg tau.
Pliz.
Aku ingin bersamamu mlm ini.
Aku.
Aku juga, tp aku malu.
My Prince.
Klau gitu aku nggak jadi pergi.
Aku.
Jangan.
Kamu pergi aja.
My Prince.
Aku nggak mau kalau kamu nggak ikut.
Aku.
Tp nanti mereka curiga kalau kita berdua sama2 nggak ikut.
Kumohon, km pergi aja.
My Prince.
Oke, tp aku akan kangen kamu.
Aku.
Aku juga.
Diluar langit mulai gerimis dan aku mulai menangis.
Bagaimana mungkin aku membiarkannya menemaniku? Aku tahu dia sangat suka nonton pentas musik.
Meski aku sakit hati, aku harus membiarkannya pergi.
Kurasa itu artinya menjadi dewasa.
Selamat tahun baru, Kirana.
Hi Kamis, 1 Januari 2009 Tahun baru kali ini dimulai dengan mual-mual.
Seperti pagi sebelumnya.
Yup.
Aku selalu berusaha untuk muntah sepelan mungkin.
Supaya pendengar kos lain tidak mendengar penderitaanku.
Rasanya menyiksa sekali.
Aku mencoba tidur lagi setelah itu, tapi tidak bisa.
Aku mencoba membaca komik yang kupinjam dari Andra, tapi tulisannya kabur.
SMS dari My Prince masuk.
"Happy New Year, Kirana. Semalam acaranya seru. Nanti foto-fotonya aku upload di FB. Sayang kamu tidak ada."
"Selamat tahun baru juga. Glod you enjoyed it."
"Nanti siang kami mau nonton, ikut yuk."
Aku tidak ingin nonton.
Aku tidak ingin bertemu orang.
Aku tidak ingin melakukan apapun.
Aku Cuma ingin lenyap dari bumi ini.
Tapi aku udah bosen banget dikos.
Lagipula nonton bioskop tidak begitu buruk.
Cuma dudukduduk ditempat gelap.
Asal aku tidak mual, aku aman.
"Ok. Aku ikut."
"Sip. Gak sabar ketemu kamu lagi. Kumpul di Foodcourt Semanggi jam 1 ya."
"Ok." *** Jam dua belas lebih sedikit Andra menjemputku dengan motor bebek oranye noraknya. Begitu bertemu denganku dia langsung meledek aku kayak janda berkabung karena aku menggunakan sweter hitam berkerah turtle neck. Yah, sweter ini adalah salah satu bajuku yang agak longgar. Aku merasa aman didalamnya. Cuaca mendung dan dingin jadi alasanku bila ada yang bertanya mengapa aku memakai sweter di siang hari kalau-kalau ada yang peduli dan rese seperti Andra. Waktu kami sampai di Foodcourt, baru Alvin yang datang. Kami memesan makanan sambil menunggu yang lain. Andra dan Alvin memesan steak. Aku nyaris menangis karena tak sanggup makan apa-apa. Jangankan makan, bau foocourt ini pun sudah membuatku mual. Aku sungguh iri pada orang-orang yang bisa makan apapun yang mereka inginkan.
"Aku tidak lapar,"
Kataku.
"Yang bener? Peristiwa langka nih, Kirana nggak laper,"
Andra lagi-lagi meledekku.
"Beneran aku nggak laper."
Andra menatapku tak percaya, tapi lalu berkata "Kalau gitu makan es krim aja. Mau gue beliin es krim? Green tea?"
Manis sekali. Andra memang sangat mengenalku. Dia juga tahu es krim kesukaanku.
"Gue pesenin, ya?"
Aku menggeleng.
"Elo nggak sakitkan?"
Andra mengerutkan alis.
"Tumben, biasanya elo kuat makan banana split sendirian!"
"Atau elo makan aja steak gue. Kita bagi dua,"
Alvin menawariku. Dia benar-benar gentleman sejati. Terutama padaku. Hahaha, pasti cewek lain iri setengah mati. Aku diperebutkan dua cowok keren nan baik hati.
"Aku mau pesan es buah aja."
Kalau aku tidak memesan sesuatu , mereka bakal terus mendesakku. Maria, Chacha dan Banyu datang setelah itu. Maria menatapku terkejut.
"Katanya elo ke Bekasi?"
Astaga! Bagaimana aku bisa melupakannya? Bahwa kemarin aku berbohong pada Maria.
"Elo kemarin pulang?"
Tanya Andra Ya ampun! Apa yang harus aku katakan? "Iya aku kemarin memang pulang."
Kataku, berusah terdengar tenang.
"Kok sekarang udah disini?"
Maria menatapku sinis.
"Aku kembali lagi tadi pagi begitu dapat SMS kalian akan nonton bareng."
"Untunglah, kalu nggak ada elo nggak seru,"
Kata Chacha. Oh, aku sangat menyukainya. Dia nggak bawel kayak Maria.
"Lagipula, Mama-Papa ada acara hari ini. Oh iya, tugas biologiku juga belum selesai."
Aku menambahkan, tak bisa menghentikan kebohonganku sendiri.
Kenapa sih aku ini? Kurasa aku mulai terbiasa berbohong.
*** Jumat, 2 Januari 2009 Akhirnya liburan berakhir juga.
Males banget berangkat sekolah.
Aku menatap cermin.
Aku meyakinkan diri perutku biasa-biasa saja.
Tidak besar sama sekali! Tapi kayaknya lebih besar sedikit.
Oh, apakah aku tambah gendut? Aneh banget, aku bahkan tidak makan sama sekali.
Masa bisa tambah gendut? Aku sambar cardigan merah marunku.
Aku memakainya dan sekali lagi menatap cermin.
Nah, dengan begini perutku tertutupi.
Tunggu! Jangan-jangan justru dengan memakai cardigan mereka akan curiga bahwa ada yang tidak beres dengan diriku.
Lama aku memutuskan antara memakai atau tidak memakai cardigan itu.
Aku tidak bisa memutuskan.
Jadi aku bawa saja cardigan itu, buat jaga-jaga.
Aku tidak tahu jagajaga dari apa.
Aku bubuhkan sedikit bedak dan lipgloss dibibirku supaya tidak ada yang berkomentar bahwa aku pucat.
Aku harus tampil senormal dan seceria mungkin.
Sekolah terasa panjang dan membosankan banget! Apalagi akhir-akhir ini aku susah berkonsentrasi.
"Kirana, boleh pinjam catatan fisika lo?"
Maria mendekatiku saat istirahat. Aku lega ia nggak marah lagi. Kayaknya ia sudah lupa dengan segala kesalahannya padaku.
"Nih,"
Aku mengangsurkannya dengan senang hati.
"Gue bawa bentar ya."
Maria mengambil posisi duduk disampingku. Aku mengangguk.
"Sayang banget kemarin lo nggak ikut malam tahun baruan,"
Maria masih membahas soal itu.
"Iya, kalian kemarin udah cerita konser itu seru banget."
"Bukan itu sih, tapi ..."
Maria menggantung ucapannya, membuatku penasaran.
"Terus?"
"Mmm... kayaknya Alvin kehilangan elo deh."
"Alvin?"
Mataku membulat.
"Iya, dia berkali-kali nanyain kenapa lo nggak datang. Udah gue jawab lo diBekasi. Dia nggak percaya lho. Gue sampai kesel dan menyuruh dia Tanya sendiri. Dia SMS nggak?"
"Ng..nggak,"
Aku menjawab gugup.
"Andai lo datang, pasti Alvin happy."
"Memangnya kenapa?"
Maria meletakkan bolpoinnya dan menatapku nggak percaya, seolah-olah aku cewek paling tolol abad ini.
"Ya ampuunnn. Bener lo nggak ngerasa Alvin... mmm... punya feeling ke lo?"
"Stttt... Maria!"
Aku khawatir ia bicara terlalu keras. Kemudian aku berbisik.
"Masa sih?"
"Serius,"
Maria menekankan.
"Darimana kamu tahu?"
Tanyaku.
"Kelihatan lah, dari cara dia memperlakukan lo, cara dia mandang lo. Kemarin waktu nonton di Semanggi, dia nyari-nyari cara supaya duduk didekat lo, kan?"
Kemarin memang aku duduk disamping Alvin, tapi ku piker itu kebetulan saja.
"Udah deh,"
Kataku akhirnya.
"Kita udah janji nggak merusak Hi 4 dengan cinta-cintaan, pacarpacran."
"Ugh! Perjanjian konyol!"
Eh? Masih Jumat, 2 Januari 2009 Ada apa dengan Maria? Kenapa ia sekarang menyepelekan perjanjian kami? Maria adalah sahabatku sejak hari pertama masuk SMA.
Anaknya asyik, seru! Obrolan kami nyambung banget.
Kesukaannya pada fashion dan make up sangat menolong aku yang cenderung cupu.
Dia member masukan untuk model rambutku.
Dia membantuku memilih kaus, celana jins, sepatu sampai kaus kaki.
Begitu formasi band sekolah angkatan baru dibuka, dia ikut seleksi dan diterima! Ya iyalah.
Dengan suara berat dan eksotis, dia seperti terlahir sebagai vokalis.
Dan kalaupun suaranya nggak bagus, cowok-cowok nggak keberatan menonton bodinya yang berlekuk, dadanya yang penuh, kakinya yang mulus.
Dengan wajah yang "seksi", mata bulat hitam yang menantang, dia adalah daya tarik bagi Hi 4, nama band itu.
Tiga anggota Hi 4 lainnya adalah Andra, Alvin, dan Banyu.
Karena aku dekat dengan Maria, otomatis aku juga dekat dengan mereka.
Secara nggak resmi mereka bahkan mengangkat aku sebagai manager.
Aku sih suka-suka aja.
Selain mereka semua asyik, mereka adalah cowok paling keren seantero sekolah.
Oke, dunia memang tidak adil.
Tapi inilah kenyataannya.
Cewek-cewek tentu saja iri abis sama Maria.
Sebagai anggota cewek satu-satunya, dia bisa menhabiskan banyak waktu bersama tiga cowok keren itu! Tapi yeah, cewek cantik memang lebih beruntung bukan? Chacha bergabung dengan kami ditahun kedua.
Dia sepupu Alvin yang baru pindah dari Australia.
Ayahnya adalah diplomat yang selalu pindah-pindah Negara.
Tapi akhirnya dia memilih menyelesaikan SMA di Indonesia.
"Capek. Aku nggak pernah bisa menyelesaikan sekolah disatu tempat."
Katanya. Chacha tinggal dirumah keluarga Alvin. Orangtua Chacha bahkan "menitipkannya"
Pada Alvin. Alvin tertawa.
"Om itu aneh deh, jelas Chacha lebih mandiri dari aku."
Alvin benar.
Chacha mudah bergaul, temannya langsung banyak.
Dia nggak punya kesulitan menyesuaikan diri, mungkin kecuali dengan pelajaran.
Karena materi pelajaran Australia dan Indonesia berbeda, Chacha sering tergagap-gagap dan sering memintaku mengajarinya.
Awalnya ia terseok-seok, tapi dia terus berusaha.
Kurasa sampai sekarang di kelas IPS ia masih terseokseok, tapi aku tahu ia akan berhasil.
Dia punya kegigihan tingkat tinggi.
Itu yang aku suka dari Chacha.
Ia mandiri, bersemangat, dan kurasa dialah yang paling dewasa diantara kami.
Hi 4 tetap disebut Hi 4, meski kemana-mana kami berenam.
Sejak awal, ada perjanjian tidak tertulis diantara personel Hi 4, yaitu dilarang pacaran dengan sesama pemain.
Mingkin perjanjian itu dibuat karena sejak semula mereka sudah mencium bahaya begitu menyadari Maria yang cantik itu bisa menjadi sumber kekacauan."
Ketika aku dan Chacha bergabung, perjanjian itu juga berlaku untuk kami.
Selama ini berhasil sih.
Persahabatan kami berjalan oke dan seru.
Nggak ada yang berkhianat, sampai....
Sampai tahun lalu My Prince dan aku saling suka.
Serbasusah.
Kami tidak bisa mengungkapkan ini pada siapapun.
Tidak kepada orangtua kami, orangtuaku jelas tidak mengirim aku ke Jakarta buat pacaran, juga tidak kepada teman-teman kami yang sudah terikat perjanjian.
Lalu sekarang, Maria bilang Alvin mungkin naksir aku! Tolong! "Sebodolah,"
Kata Maria tak acuh.
"Kita kan tinggal lima bulan lagi bersekolah. Jadi gue rasa perjanjian itu udah nggak begitu penting."
"Justru karena tinggal lima bulan lagi kita nggak boleh merusaknya. Kalau mau pacaran ya tinggal nunggu lima bulan lagi, kan?"
Bagus sekali cewek munafik! "Terserah deh, menurut gue perjanjian itu konyol!"
Lah, kenapa dia menyetujuinya dulu? *** Sabtu, 3 Januari 2009
"Aneh kan, Cha? Tiba-tiba Maria menganggap perjanjian itu nggak penting,"
Kataku pada Chacha siang itu. Kami sedang mengerjakan modul bahasa Indonesia dikamar kosku.
"Terus dia menjodoh-jodohkan aku dengan Alvin. Dia bilang kalau aku mau pacaran sama Alvin, ya silahkan saja,"
Chacha tertawa kecil.
"Jangan-jangan justru dia yang pengen pacaran!"
Aku ternganga.
Itu tak pernah terlintas dalam pikiranku.
Maksudku Maria selalu pacaran.
Selalu ada cowok yang naksir padanya dan Maria selalu mencari korban sekedar mendapat tumpangan atau tiket nonton gratis.
Peduli amat bila akhirnya cowok-cowok itu patah hati.
Tapi sudah dua bulan ini dia jomblo.
Pengin focus pada ujian, katanya.
Aku sih nggak percaya.
Memangnya pernah ia peduli pada sekolah dan ujian? Satu-satunya alas an Maria buat jomblo adalah.
belum ada korban yang cukup empuk.
Atau jangan-jangan Chacha benar.
"Hah sama siapa?"
Tanyaku.
"Ya, salah satu cowok Hi 4 mungkin. MUNGKIN!"
Memang masuk akal sih. Jadi Maria mendorongku untuk pacaran dengan Alvin karena dia juga pengin pacaran dengan.... Andra atau Banyu! Nggak ah, itu nggak mungkin. Sepertinya hubungan Maria dengan Banyu atau Andra biasa-biasa aja.
"Tenang aja, Alvin nggak mungkin pacaran kok, sama siapapun,"
Kata Chacha sambil menelusuri modulnya.
"Eh, kenapa?"
"Dia kan mau kuliah di luar negeri."
Blaaarrr!!! "Yang bener?"
Chacha mengangkat muka.
"Elo nggak tau?"
Aku menggeleng. Alvin tidak bilang apa-apa padaku.
"Dia sudah memulai proses aplikasinya."
"Kemana?"
Tanyaku gemetar.
"Aussie. Aneh, kan? Dia akan tinggal bersama Mama Papa gue. Kami bertukar orangtua."
Chacha tertawa kecil.
Aku sama sekali tidak bisa menarik bibir.
Kupikir kami berteman.
Tapi nyatanya? Berita sebesar ini ia sembunyikan dariku.
Tapi kenapa harus gusar? Alvin tak punya kewjiban menceritakan semua hal pada kami.
Dan bukankah aku juga menyembunyikan sesuatu dari mereka? Sesuatu yang sangat besar! "Sejak kapan ia punya rencana itu?"
Tanyaku setelah terdiam beberapa saat.
"Mm, seingat gue sih waktu gue masih di Aussie dia sering kirim e-mail dan nanya-nanya gimana cara kuliah disana. Tapi kapan ia memutuskan, gue nggak tahu."
Alvin akan pergi.
Kuulang-ulang fakta dalam hati.
Rasanya absurd sekali.
Alvin begitu baik.
Ia tipe cowok yang...
you know, rela melepas jaketnya untuk melindungi cewek yang kehujanan.
Bukannya dia pernah melakukannya sih.
Tapi, tau kan maksudku? Kalau difilm komedi roman dia adalah Aston Kuchter.
imut, ramah, romantic.
Dan tau nggak? Di Hi 4 dia gitaris.
Nggak tau deh, aku menganggap gitaris adalah pemain band yang paling keren, paling romantis, dan paling bisa membuat histeris.
Kini dia akan pergi begitu saja? Tanpa bilang apapun? *** Sore harinya Mama menelpon.
Sudah kuduga.
Dia pasti tidak puas dengan pemberitahuanku lewat SMS.
Pemberitahuan bahwa aku lagi-lagi tidak pulang.
Alasanku.
belajar bersama teman.
Benarkan? Barusan aku belajar bareng Chacha.
"Kamu nggak apa-apa kan?"
Tanya Mama.
"Nggak, Ma, Nana baik-baik aja kok."
"Mama jemput kalau kamu malas naik kereta."
"Nggak kok, Ma."
"Oke, kalau gitu. Kalau ada apa-apa,bilang pada mama, ya."
"Oke."
"Minggu depan bisa pulang kan? Papa ulang tahun."
Oh, kurasa aku memang tidak bisa menghindar selamanya.
"Oh, iya. Oke, Nana akan pulang."
Pantas bila Mama mulai panic.
Tiga minggu terakhir aku berhasil menghindari kewajiban untuk pulang ke Bekasi dengan berbagai alasan.
Minggu pertama alasanku adalah ulang tahun Maria (yang ini beneran), minggu kedua aku bilang ada Try Out Ujian Masuk Perguruan Tinggi (tidak sepenuhnya salah, meski try out itu diadakan sabtu pagi hingga sebenarnya aku bisa pulang siangnya).
Dan minggu ini aku bilang aku belajar bersama teman.
Alasan...
Alasan...
Alasan...
Jatuh ke Jurang atau Terbenam ke Laut? Sabtu, 10 Januari 2009 SIAL! Bau solar dan polusi membuatku mual.
Tapi muntah didalam bus? Nggak banget deh! Meski ini sebenarnya kesempatan bagus.
Tak ada yang curiga aku muntah karena sebab lain, kan? Orang akan mengira aku mabuk kendaraan.
Titik.
Uf, seharusnya aku tadi naik KRL, tapi aku malas kestasiun.
Lebih gampang naik bus.
Aku mencengkeram buku sejarah yang niatnya akan kubaca, tapi terlalu pusing untuk melakukannya.
Jadi kukeluarkan HPku dan mulai SMS pada My Prince.
"Hi, otw Bekasi"
Tulisku.
"Hati-hati, gonna miz u babe,"
Balasnya cepat "Me 2. C u Senin"
Aku mengupdate facebook dan menulisi wall-wall teman-temanku.
Aku juga membuka foto-foto hasil jepretan Andra yang disimpannya di ipod-ku.
Dia lagi bereksperimen memotret air.
Air diember, air yang menetes, air hujan.
Lumayan, aku berhasil tidak muntah sampai Bekasi.
Ketika aku sampai rumah, Mama menyaambutku heboh.
"Mama masak rending daging kesukaanmu."
Daging! Membayangkan saja sudah bikin aku mual.
"Oke, Ma, nanti Nana makan deh. Kalau masih banyak, boleh Nana bawa ke Jakarta, kan?"
Aku harus bersikap sewajar mungkin.
"Boleh dong."
Mama tersenyum lebar. Sudah kuduga Mama mudah luluh bila masakannya dipuji. Aku mencuci muka dan tangan diwastafel dapur.
"Nanti sore ke MM yuk, Na."
"Mm, mau belanja apa, Ma?"
Tanyaku smbil mengeringkan tangan.
"Belanja bulanan. Gula, sabun, biasalah. Gimana kalau Mama juga belikan kamu baju? Persiapan kuliah."
Beli baju? Aku sama sekali nggak pengin beli baju bersama Mama. Seleranya aneh! Dan aku nggak pengin Mama mengamatiku mencoba baju yang berarti mengamati tubuhku. Tidak.
"Aduh, Ma, ngadepin ujiannya aja Nana belum siap. Ini aja Nana bawa buku kumpulan soal. Nana harus belajar, Ma."
Sebenarnya sih aku butuh alasan untuk mengurung diri dikamar.
"Ah, refresing sejam-dua jam kan tidak apa-apa."
Sejam-dua jam? Jalan ke mal sama Mama sih minimal tiga jam. Empat jam sudah termasuk beruntung tuh.
"Nggak deh, Ma. Refresingnya pas udah lulus aja."
"Oke... oke, Mama tahu. Mama juga nggak sabar liat kamu kuliah di UI."
Aku langsung terpaku dan lupa mematikan keran air. Minggu, 11 Januari 2009, pagi "Jangan-jangan kamu nggak pulang kemarin karena sudah punya someone special nih?"
Mama mengerling padaku, sok gaul, sok akrab saat kami sedang menyiapkan sarapan.
Kemarin berhasil aku lalui dengan selamat.
Dengan alasan belajar,aku makan malam dikamar.
Rending daging aku buang ke luar jendela dan mendarat dibawah semak-semak.
Tapi aku tak bisa menghindar terus-menerus.
Pagi ini setelah aku dan Mama mengucapkan selamat ulang tahun kepada Papa dan makan cheesecake mini bertiga, Mama memaksaku memperkuat ikatan "Ibu dan anak perempuan"
Dengan cara. membuat sarapan bersama, sementara Papa asyik mencuci mobil dihalaman depan.
"Apaan sih, Ma,"
Sahutku jengah.
"Saat ini yang Nana pikirkan cuma UN dan tes masuk perguruan tinggi.
"Aku cemberut. Bukan acting.
"Nggak usah gitu. Mkan pengin tahu,"
Mama mengambil mentega dan roti tawar whole-wheat.
"Kamu tahu kan, bukannya kami melarangmu..."
"Nana tahu,"
Potongku cepat sambil mengelupas daun selada satu per satu. Mama tersenyum dan mulai mengoleskan mentega.
"Tinggal lima bulan kok. Mama dan Papa pengin kamu konsentrasi. Jangan sampai yang tiga tahun ini gagal gara-gara kamu malah sibuk ngurusin cowok."
"Iya, Nana tau."
Aku cepat-cepat beranjak untuk mencuci selada.
"Baguslah, jangan seperti kakakmu,"
Kata Papa. Dia masuk dengan kaus basah. Aku menghela napas. Di mata keluarga kami, kakak ku Rani adalah bencana. Senin, 12 Januari 2009, pagi sebelum berangkar sekolah "Aq belum bilang, takut."
Aku mengetik SMS sambil meraih sepatu dengan tangan kiri. Send to My Prince.
"Kamu mau aku yang bilang?"
"NGGAK!"
Aku langsung mengetik balasan.
"Atau kamu mau aborsi?"
ABORSI! Kata di layar HP itu menampar telak! Bukan karena aku tak pernah memikirkannya. Meski sebenarnya aku selalu memikirkannya. Tapi melihat tulisan itu terpampang jelas membuatnya terasa sangat nyata.
"Kalau kamu mau. Aku nggak maksa."
SMS itu menyusul cepat. Tanganku gemetaran. Sepatu yang ku pengang terjatuh.
"Apa itu aman?"
Kuketik SMS itu dengan susah payah.
"Kita cari yang aman. Kl kamu mau."
Kalau aku mau. Dia mengulanginya lagi. APA AKU MAU? Malamnya "Apa yang kamu katakana pada cowok-cowok itu?"
Tanyaku.
Malam itu kami berdua duduk diteras kosku.
Sore tadi anak-anak Hi 4 ngeband di studio.
Sejak naik kelas 12, Hi 4 jarang latihan.
Kalaupun ngeband, itu hanya untuk main-main.
Sekedar menyalurkan rasa kangen.
Seperti tadi.
Tiba-tiba Maria mengajak kami semua ngeband.
Seharian dikelas dia uring-uringan.
Aku mencoba mencari tahu kenapa.
Tapi dia bilang.
"Nggak papa. Lagi bete aja."
Aku tidak bertanya lagi.
Dikelas 12, kami punya alasan buat bete tiap hari.
Kami semua setuju latihan band meski itu artinya aku, Chacha, dan Alvin harus bolos les.
Setelah ngeband, kami bubar.
Aku dan My Prince pura-pura bubar.
Padahal kami bertemu kembali di minimarket dekat studio.
My Prince mengantarku pulang dengan motornya.
Rasanya capek juga kucing-kucingan seperti ini, tapi sensasinya seru sih.
"Aku nggak bilang apa-apa."
"Mereka nggak curiga, kan?"
"Kurasa nggak."
Kami terdiam setelah itu. Lalu pelan, aku merasakan tangannya menyentuh jemariku.
"Soal SMSku kemarin... terserah kamu."
Aku menunduk.
"Tapi kamu harus memutuskan sekarang."
"Sekarang?"
Dia merapat padaku. Kepala kami nyaris bersentuhan.
"Katanya, makin cepat makin bagus. Resikonya makin kecil. Apalagi kalau belum tiga bulan. Belum bernyawa, kan? Jadi kita nggak membunuh...."
MEMBUNUH! Kata itu terdengar mengerikan sekali.
Aku? Jadi pembunuh? Malam itu, ditempat tidurku Aku masih memikirkan percakapan kami tadi.
Nggak! Aku nggak mau jadi pembunuh.
Aku bisa ditangkap polisi, kan? Setahuku aborsi adalah pelanggaran hukum di Indonesia.
"Secara teknis, kamu tidak membunuh. Itu kan belum bernyawa."
ITU? Jadi yang ada diperutku ini Cuma ITU? Cuma benda? Masalahnya aku selalu merasa ia benar-benar hidup. Siap menggerogotiku dari dalam. Seperti monster. Monster yang hidup dan terus membesar.
"Aku takut,"
Bisikku lirih. My Prince menggenggam tanganku. Lalu meremasnya.
"Semua terserah kamu. Aku cuma nggak mau kamu menyesal."
Menyesal apa maksudnya? Menyesal karena tidak aborsi? Atau justru menyesal bila aku aborsi? Aku pernah membaca kisah seorang perempuan yang terus-menerus merasa bersalah sepanjang hidupnya karena pernah membuang anaknya yang baru saja lahir.
Suaminya meninggalkannya atau apa gitu.
Dan dia nggak punya pekerjaan.
Ia kalut.
Tapi setelah itu, sepanjang hidupnya ia dihantui rasa bersalah dan terus-menerus mencari anaknya.
Tapi aku bukan perempuan itu! Aku masih SMA.
Aku sama sekali nggak bisa mmikirkan lima atau sepuluh tahun mendatang.
Apakah aku akan merasa bersalah atau tidak waktu usiaku tiga puluh tahun? Yang pengin aku pikirkan adalah ulangan apa besok, cat kuku apa yang pengin aku coba, film apa yang ingin aku tonton.
Bukan bagaimana cara menyusui bayi.
Bukan! "Jadi bagaimana?"
Aku hanya menggeleng. Aku tahu. Apapun keputusanku, aku akan menyesal. Sekarang pun aku sudah menyesal. Kulihat air mukanya jadi sayu.
"Kita memang tolol."
Benar! Supertolol! Sudah kubulang, kan? Ia cerdas dan lima tahun lagi kubayangkan ia akan jadi ilmuwan atau dokter.
Bukan sibuk mengurusi popok bayi.
Aku nggak bisa menggambarkan perasaanku.
Mungkin begini rasanya jatuh melayang kedasar jurang.
Jam Sembilan ia pamit pulang.
Aku berjanji untuk memikirkannya.
Meski aku tak yakin.
Aku sudah memikirkannya beberapa minggu ini dan sama sekali tidak bisa memutuskan.
Kurasa aku takkan bisa memutuskan, bahkan jika aku punya waktu seratus tahun.
Maria, The Drama Queen Rabu, 14 Januari 2009
"Maria nggak masuk?"
Tanya Andra ketika melihat bangku sampingku kosong. Aku mengangkat bahu.
"Kayaknya."
Maria biasa datang terlambat. Tapi tidak pernah seterlambat ini. Jam pelajaran kedua sudah berakhir.
"Kenapa?"
"Nggak tau. Aku udah SMS. Udah telepon. Nggak dibales."
"Payah! Padahal hari ini seharusnya dia balikin CD Java Jazz gue."
Dasar Andra! Dia sama sekali nggak khawatir Maria sakit atau ketabrak bajaj. Yang dia pikirkan cuma koleksi CDnya.
"Kok gitu sih? Siapa tahu dia sakit."
"Maria? Sakit? Nggak tau lah. Tadi malam aja dia masih telepon gue."
"Telepon kamu? Ngapain?"
"Nanya apa gitu. Gue udah lupa. Gue juga udah setengah tidur."
Hanya Andra yang bisa ngantuk ketika ditelepon Maria. Cowok lain bakal langsung melek segar bugar bila di telepon cewek seperti Maria. Tengah malam sekalipun.
"Semoga nggak ada apa-apa deh,"
Kataku akhirnya.
"Nggak ada surat ijin sama sekali?"
"Nggak."
Andra menjawab singkat. Dia ketua kelas dan paling sebel kalau ada anak yang masuk tanpa ijin. Bukan apa-apa sih, guru-guru selalu bertanya padanya bila ada murid yang menghilang.
"Nyebelin, dia yang bolos, gue yang kena getahnya,"
Andra bersungut-sungut.
"Siaapa bilang dia bolos?"
Aku tahu Maria supercuek dengan sekolahnya. Bolos pun bisa ia lakukan tanpa merasa berdosa. Tapi semenjak kelas 12, ia makin rajin. HP di saku Andra berbunyi.
"Tuh kan!"
Andra mengacungkan HP itu padaku.
"SMS dari Maria."
Maria Cantique.
Ndra, gw bolos.
Bilang aja gw sakit.
Tsrh sakit apa! Aku mengerutkan alis.
Aneh! Maria mengirim SMS pada Andra, tapi tidak membalas SMS atau teleponku? Iya, aku tahu Andra ketua kelas.
Tapi tetap saja, bukankah aku sahabatnya? Lalu nama CANTIQUE itu! Apa sih maksudnya? Di phone book Andra, namaku sepele sekali.
Kirana 12 IPA.
Seolah-olah kalau 12 IPA itu nggak ditulis, Andra akan lupa bahwa aku teman sekelasnya.
Satu lagi.
tadi malam Maria telepon Andra? Ngobrolin hal nggak penting? Kenapa nggak telepon aku kalau Cuma butuh ngobrol? Mencurigakan sekali.
"Kita bilang Maria sakit apa ya?"
Mata Andra bersinar jail.
"Diare akut? Amnesia? Muntaber? Atau oh, ketombe sampai membuat gundukan salju."
"Jahat ih,"
Komentarku, meski aku tersenyum.
"Dia sendiri yang bilang sakitnya terserah."
Andra mengantongi HP lagi, beranjak dari sampingku.
"Eh, kenapa di HPmu Maria..."
Ups, guru bahasa inggris masuk.
"Ya?"
"Nggak papa,"
Kataku cepat dan menyuruh Andra kembali kebangkunya.
"Eh, gue udah download foto pemenang World Press Award di iPod. Ntar gue tunjukin ya."
Aku berkedip dan mengangguk tergesa.
Uf, Andra dengan hobi fotografinya.
Jam istirahat Baru pada jam istirahat Maria aneh itu menelponku.
Katakana pa yang salah disini? Maria, sahabatku sejak kelas 10, menghubungi Andra pagi-pagi dan baru menghubungiku dua jam kemudian.
Dia bahkan tidak membalas SMS-ku! Satu SMS pendek, apa sih susahnya? "Kirana...
gue mau minta tolong."
Suaranya terdengar jelas. Datar. Cuek.
"Kamu kenapa, Mar? Dimana? Minta tolong apa?"
"Gue baik-baik aja. Nggak usah lebai deh. Gue cuma mau nginep di kos lo ntar malam."
Hah, apakah orangtua Maria gagal membatar cicilan apartemen mereka? Karena tidak punya rumah sendiri, keluarga Maria mengontrak satu rumah ke rumah lain.
Maria sampai sering frustasi karena harus sering pindah rumah, menata kamar lagi, menghafal jalan baru lagi.
Tapi kali ini orang tua Maria memutuskan untuk membeli apartemen.
Sederhana, katanya, tapi lumayan.
Paling nggak, mereka nggak harus banyak berhemat.
Kurasa itu juga yang membuat Maria uring-uringan akhir-akhir ini.
Tinggal diapartemen tentu terasa menyesakkan baginya.
Apalagi apartemennya jauh di Lebak Bulus sana.
Ini masih ditambah uang saku Maria menipis gara-gara cicilan apartemen itu.
Jangan-jangan ortu Maria sudah kehabisan uang dan...
"Biar ortu gue tahu rasa."
Heh? Apa? Nada Maria ringan saja. Cuek, seperti dia ngomongin bonus majalah Cosmogirl terbaru.
"Ada apa sih?"
Justru aku yang bingung.
"Ntar aja deh gue cerita. SMS ya kalau dah sampai kos."
Itu sih gampang. Tapi aku ingin tahu, sebenarnya apa yang terjadi.
"Kamu sekarang dimana?"
"Di FX, nunggu mal buika. Bye."
Eh nggak sopan amat sih. Andra tiba-tiba nongol disampingku.
"Ntar elo ketemu Maria, kan? Ingetin dia buat balikin CD gue, ya."
"Kok kamu tahu?"
Kami berjalan beriringan menuju kelas. Jam istirahat hamper habis.
"Maria SMS. Dia mau nginep dikos lo, kan?"
Lagi-lagi Maria sudah memberitahu Andra. Bahkan sebelum bicara padaku.
"Dasar drama queen. Gitu aja minggat."
"Minggat?"
Aku benar-benar kaget.
"Lho dia nggak bilang?"
"Nggak. Eh, belum."
"Ntar paling dia cerita. Bilangin aja ke dia kalau nggak ada nyawa terancam atau nggak ada penyakit ganas yang bikin seluruh umat manusia gila, itu bukan bencana,"
Kata Andra Aku sampai nggak percaya, benarkah dia cowok yang sama dengan cowok yang memanggil Maria dengan "Maria Cantique"
Di HP-nya? Nggak sikron sama sekali. Oh iya, aku jadi inget untuk menanyakan hal itu.
"Eh, Andra, aku pengin Tanya..."
Bel panjang berbunyi. Ugh.
"Yuk, Na, ntar kita telat. Fisika nih, killer abis."
Andra berlari-lari kecil. Aku menyusulnya. Mungkin pertanyaan itu bisa menunggu lain waktu. Sorenya "Gue bertengkar sama Papa."
Sudah kuduga! Pasti itu alasan Maria buat minggat.
Bukan pertama kalinya ia melarikan diri dari rumah.
Jadi aku nggak tahua apakah minggatnya kali ini cukup efektif.
Maria mengempaskan diri diranjangku.
Dia memakai kaus distro, legging hitam plus ikat pinggang blink-blink.
Terlalu elegan buat cewek yang melarikan diri.
Seharian tadi dia jalanjalan dan nonton bioskop.
Enaknya, nonton dihari sekolah.
Sementara bahkan aku terpaksa pulang sore karena ada les tambahan.
Uf, kadang aku iri dengan pemberontak seperti Maria.
Ia merasakan kenikmatan -kenikmatan yang tidak dirasakan oleh anak patuh seperti aku.
Anak patuh? Memang aku anak patuh? "Mereka nggak tahu kalau gue bolos hari ini,"
Katanya.
"Kalau begitu, seharusnya kamu masuk saja kan? Toh mereka nggak bakal tahu juga."
"Masih nanya juga? Karena jalan-jalan di mal itu, Kirana sayang,lebih menyenangkan daripada ngerjain soal fisika."
"Tinggal lima bulan lagi Mar. setelah itu kita bebas tahanlah sedikit."
Kataku.
"Bebas gimana? Mama Papa sudah mendaftarkan gue ke Akademi!"
"Oya? Keren!"
"Keren gimana? Mereka mendaftarkan gue ke akademi kesuhatan. Jurusan keperawatan! Please deh! Memangnya gue punya tampang Bunda Teresa?"
Aku kesal kepada Maria yang kekanak-kanakan. Tapi aku juga heran pada orangtuanya. Maria? Jadi perawat? Itu seperti memaksa Hannah Montana jadi peternak sapi. Nggak ada cocokcocoknya.
"Gue udah bilang gue nggak mau. Nggak bisa,"
Kata Maria.
"Terus?"
"Mereka tetaap memaksa!"
"Kamu sudah bilang kalau kamu mau masuk ke sekolah fashion design?"
"Sudah berkali-kali. Sejak dua, tiga tahun lalu mungkin. Dan tau nggak apa kata mereka?"
"Apa?"
"Kamu mau jadi PENJAHIT? Ya ampun! Kolot banget nggak sih?"
Aku bisa mengerti kemarahan Maria. Tapi aku tetap tidak menyetujui sikap kekanakkanakannya.
"Kamu masih bisa bicara baik-baik, kan?"
Tanyaku.
"Bicara baik-baik? Na, mereka bahkan nggak bicara. Mereka sudah mengambil formulir dan mengisinya!"
Hah! "Ya, jadi gue juga nggak akan bicara."
Maria mengatupkan rahang. Malamnya Menjelang jam delapan perang dimulai. HP Maria berbunyi terus. Mama dan papanya mencarinya. SMS masuk bertubi-tubi. Maria mengabaikannya. Aku sampai risi dan ingin menjawabnya.
"Apa nggak sebaiknya kamu jawab, Mar? paling nggak, bilang kamu baik-baik aja. Sebelum mereka lapor polisi."
"Biarin aja mereka bingung. Biarin aja mereka lapor polisi. Lapor CIA deh sekalian."
Oke, aku tahu orangtua Maria menyebalkan. Tapi dia sendiri juga menyebalkan. Aku mulai nggak suka Maria melibatkan aku dalam masalahnya.
"Aku akan bikin teh. Kamu mau?"
Kataku akhirnya, sudah dua jam ini aku menekuni soal-soal UN sambil mendengarkan omelan Maria. Capek! "Lo punya kopi?"
Tanyanya.
Nggak.
Aku nggak punya kopi.
Kata internet, aku nggak boleh minum kopi lagi.
Juga soda.
Meski sungguh aku berharap dua minuman itu bisa membuat isi perutku larut dan menghilang.
Akhirnya ia setuju minum teh.
Ketika aku kembali ke kamar, aku melihat Maria terbaring cengar cengir diatas bed.
"Cieee, gua nggak tahu elo punya pacar."
"Pacar?"
"Nih, baru aja My Prince telepon. Cieee, My Prince."
Pipiku langsung memanas. Antara marah dan malu. Nggak sopan bangetb sih! "Siapa sih My Prince?"
Tanya Maria penasaran. Aku meletakkasn dua mug the panas dimeja belajar, mencoba mengabaikannya.
"Pacar lo?"
Desak Maria lagi.
"Ya gitu deh. Waktu SMP."
Kurasa aku memang sudah ahli bohong sekarang. Kebohongan bisa langsung tercipta dalam otakku.
"Masih sering telepon-teleponan?"
"Nggak juga. Baru akhir-akhir ini. Aku kan sudah ganti nomor HP."
Oh, betapa ahlinya aku mengarang cerita.
"Terus?"
"Nggak tau deh darimana dia dapat nomorku yang ini,"
Terus, teruskan saja, Kirana.
"Dan lo masih memanggil dia "My Prince"?"
Tanya Maria takjub. Aku pura-pura tersenyum. Mungkin ada baiknya kalau Maria mempercayai bahwa aku kembali naksir cinta monyetku waktu SMP, jadi aku berkata.
"Ya gitu deh. First love never dies."
"Ah nggak juga. Gue udah lupa tuh dsama pacar pertama gue,"
Katanya. Yang mungkin saja ia ia pacari waktu umurnya tujuh tahun! "Terus sekarang kalian pacaran lagi?"
Maria masih menyelidiki. Oh... eng... baiknya gimana nih? "Nggak juga sih. Nggak ada feeling lagi,"
Jawabku. Ya dengan segala ujian dan sesuatu yang terus berkembang diperutku, aku bahkan nggak minat buat bernafas.
"Jadi HTS dong!"
Maria tampaknya bersemangat sekali membahas topic ini.
"Hubungan tanpa status? Mungkin. Buat lucu-lucuan aj sih. Biar nggak stress banget,"
Kataku.
"Tolong deh HP ku Mar. aku mau kirim SMS padanya."
"ciee. Bilang deh I miss you, my dear prince charming."
Aku mengabaikan Maria. Kuketik SMS cepat-cepat.
"Jangan telepon. Maria lagi nginep di kos."
Balasan datang nggak lama kemudian.
"Ups, sorry aq lupa. Ok."
Deleted! "Elo nggak pernah pacaran selain sama dia?"
Maria bertanya lagi. Ya ampun. Penting banget ya.
"Kamu tahu kan Mar."
Seperti aku tahu Maria udah ganti pacar dua belas kali selama dua setengah tahun, beberapa diantaranya dirangkap menjadi satu waktu. Efisiensi waktu, katanya.
"Padahal banyak kan yang naksir elo,"
Kata Maria. Astaga, kok masih dibahas sih? "Oya?"
"Alvin misalnya."
Ah, Alvin lagi, Alvin lagi. Maria nggak tahu apa-apa tentang Alvin.
"Alvin kan teman kita, Mar,"
Aku mengingatkan.
"Kamu sendiri gimana? Sejak putus dari Abe, kamu nggak cari cowok lagi?"
Aku mengalihkan pembicaraan.
"Nggak. Males."
"Yang bener?"
Kali ini aku memutar tubuhku menghadap Maria.
"Bagaimana dengan Andra?"
"ANDRA?"
Maria kelihatan kaget.
"Iya, Andra. Kamu sering telepon dia kan akhir-akhir ini? Sering SMS juga?"
"Dia kan teman kita, Na."
Ia memakai alasan yang sama buat menghindar. Tapi aku tahu dia salah tingkah.
"Kami biasa aja kok. Bukannya dia lebih dekat ke elo?"
Oh, dia menyelidiki atau cemburu? "Nggak tahu soal itu, tapi yang jelas, kamu lah yang dianggapnya cantik."
"Ekh!"
Maria tersedak.
"Oh ya? Si alergi-cewek itu menganggap gue cantik? Bagus deh. Perasaan dia cuek banget sama gue. Bahkan waktu gue gandeng tangannya."
"Kamu gandeng tangannya?"
Tanyaku kaget.
"Pas foto bareng. Otomatis aja."
Hah, nggak percaya.
Aku terdiam.
Andra memang berbeda dengan cowok lain.
Kalau cowok lain langsung ngiler melihat kecantikan Maria, dia adem ayem aja, bahkan ketika harus bernyanyi duet dengannya.
Mereka berdua tampil kompak dan bagus banget.
Tapi ya cuma dipanggung saja.
Di luar panggung dia cuek lagi.
Entah dia pemain band professional atau cowok mati rasa.
"Gimana elo tahu dia nganggep gue cantik?"
Tanya Maria diantara sesapan tehnya.
"Aku nggak sengaja liat HP-nya. Dia menyimpan namamu dengan MARIA CANTIQUE."
Maria tersedak.
"Huehehe, itu gue sendiri yang menulis,"
Maria berkata sambil terbatuk-batuk.
"Hah? Kenapa?"
Aku tahu banyak orang narsis dibumi ini. Tapi baru kali ini aku menjumpai penderita narsis kronis seperti Maria, hingga "memaksa"
Orang lain mengakui kecantikannya.
"Iseng aja,"
Katanya tak acuh.
Keisengan yang mencurigakan.
Kurasa itu akibatnya bila putrid cantik yang biasa dikagumi dicuekin seorang Andra yang bukan siapa-siapa.
Ini justru membuat Maria penasarandan pengen menaklukkan si Bengal.
Itu sama dengan para pendaki yang makin tertantang ketika gunung yang mereka hadapi makin terjal.
"Elo inget nggak, waktu kita berkemah pas kelas sebelas dulu?"
Tanya Maria.
"Iya,"
"Inget nggak, waktu gue kena ulat bulu dan langsung teriak?"
"Iya."
Semua orang ingat insiden "Jeritan Histeris si Ratu Lebai."
"Tau nggak, Andra lah yang pertama kali datang. Terburu-buru."
"Terus?"
"Waktu tahu gue kena ulat bulu, dia cuma bilang "Gue kira elo digigit ular", lalu pergi. Sama sekali nggak peduli gue sakit minta ampun. Please deh, itu ulat bulu gede banget, Na. gue bentolbentol tiga hari! Gatel ampun-ampunan deh."
"Aku tahu."
Maria lebai selama tiga hari itu, seolah ia adalah korban bom atom, bukannya korban sengatan ulat bulu.
"Terus inget nggak pas gue sakit usus buntu?"
Aku mengangguk.
"Cuma dia kan yang nggak jenguk gue?"
"Ya ampun, waktu itu kan opungnya meninggal dan dia harus pulang ke Medan."
"Ya, tapi setelah itu dia juga nggak menanyakan keadaan gue, kan?"
Katakana, itu Cuma pendapatku atau Maria memang manja keterlaluan? Kenapa dia menuntut semua orang memperhatikannya? Menuruti semua keinginannya? Bahkan orangtuanya pun harus menyerah pada kemauannya? "Tapi memangnya kenapa kalau Andra nggak peduli padamu?"
"Ya nggak papa sih, Cuma hm... nyebelin aja,"
Maria gelagapan.
"Jangan-jangan kamu suka padanya ya?"
Kali ini aku nggak tahan untuk tidak menggodanya. Pipi Maria langsung memerah.
"Ah, itu nggak penting. Yang penting kami nggak pacaran, nggak melanggar perjanjian."
Aha! Maria yang biasa blakblakan itu jadi muter-muter nggak jelas saat ini.
Artinya cukup jelas bagiku! Dia memang naksir Andra.
Tapi kenapa mesti Andra sih? Maria boleh naksir siapapun, pacaran dengan siapapun, bahkan dengan drakula.
Tapi tidak dengan Andra.
Karena...
ah aku nggak bisa bilang.
Ini rahasia.
Aku sudah berjanji untuk menyimpannya.
"Jadi kamu benar-benar suka pada Andra?"
Tanyaku. Please, Tuhan, jangan biarkan Maria jatuh cinta pada Andra. Aku nggak tahu apa Tuhan mau repot-repot membereskan perkara seremeh ini, tapi aku tetap berdoa.
"Kalau suka memangnya kenapa?"
Tantangnya. Aku menyilangkan kaki dan mencondongkan tubuhku.
"Ya nggak papa. Tapi kenapa harus Andra sih? Kan masih banyak cowok lain."
"Kalau gue maunya sama dia gimana?"
Maria makin ngotot. Ups, aku lupa aku sedang bicara dengan Miss-I-Must-Get-Everything-That-I-Want.
"Ada yang keberatan?"
Tanyanya lagi. Maria duduk tegak diatas ranjang dan melipat tangannya defensive.
"Bagaimana dengan perjanjian itu?"
Tanyaku. Maria mencebik.
"Udah gue bilang, itu perjanjian paling konyol yang pernah dibuat dimuka bumi."
"Oke, oke."
Aku menyerah. Jangankan perjanjian seperti itu, Maria bahkan nggak bakal peduli bila ia melanggar Konvensi HAM Internasional.
"Aku sih nggak masalah. Hanya saja aku dan Andra pernah ngobrol dulu,"
Kataku.
"Ngobrol apa?"
Maria langsung duduk tegak.
"Obrolan iseng, nggak penting."
"APA?"
Tuntutnya. Astaga! Ngotot banget sih.
"Katanya Andra nggak... nggak minat pacaran."
"Maksudnya?"
"Nggak mau pacaran artinya nggak mau pacaran. Titik."
Kukira kalimatku sudah sangat jelas. Manusia yang lebih bego dari Maria pun kurasa bisa memahaminya.
"Kenapa?"
Eh, waduh. Uh, oke tadi aku bohong dan oke ternyata aku belum jadi ahli dalam bidang ini. Andra tidak pernah bilang begitu. Tapi aku yakin Andra memang ogah pacaran. Aku tahu! "Kenapa dia nggak mau pacaran?"
Maria mendesak.
"Ehm.."
Ayo otak, cepatlah mengarang.
"dia nggak menjelaskan sih, tapi kurasa karena kita udah kelas dua belas."
Maria memutar bola matanya.
"Tapi Andra juga nggak pacaran waktu kelas sepuluh dan sebelas."
"Berarti dia memang bukan orang tipe pacaran,"
Kataku asal.
"Ada gitu orang tipe pacaran?"
"Kurasa. Aku dan Andra misalnya,"
Sahutku. Maria mengembuskan napas.
"Jadi bukan karena dia pernah patah hati, kan?"
"Mungkin juga,"
Sahutku pendek.
"Aku nggak tahu."
Kalau alasan itu yang memuaskan Maria, dia boleh ambil alasan itu.
"Masa? Tanyain dong,"
Maria masih menuntutku.
"Tanya aja sendiri,"
Kataku kesal.
"Elo lebih dekat sama Andra daripada gue."
"Iya, tapi kami bisa dekat karena aku nggak nanyain hal-hal rese."
Maria sadar nggak ya dengan sindiranku? Sudah pukul sepuluh dan aku mulai mengantuk. Tapi aku tidak bisa tidur karena HP Maria bordering setiap lima menit sekali.
"Mar, jawab atau matikan HP-mu,"
Aku berkata tegas ketika HP Maria menjerit-jerit untuk kesekian kalinya.
"Kalau dimatiin, kentara banget kalau gue menghindari mereka. Kalau nggak dijawab kayak gini, mereka bakal lebih khawatir, kan?"
Maria enteng saja berkata begitu. Baginya semua ini hanya permainan. Baginya SEMUA hal adalah permainan. Larut malam "Terus kapan kamu mau pulang, Mar?"
Tanyaku waktu kami sudah terbaring, berimpitan diranjang yang sempit.
"Kalau gue udah bosen dan mereka udah mengiba-iba pada gue."
Maria aku nggak melihat wajahnya, aku yakin Maria mengatakannya dengan seringai licik.
"Mereka sudah mengiba-iba, Mar. liat dong HPmu. Nah itu berbunyi lagi. Pasti mereka khawatir banget."
"Khawatir? Marah sih iya, tapi khawatir, kayaknya nggak deh."
Dia benar-benar keras kepala! "Mereka khawatir!"
Aku berkeras.
"Mereka pasti mikir kamu diculik, dibunuh, atau ditabrak mobil. Percaya deh."
"Oke, kalau begitu baguskan? Mereka bakal sadar gue bgitu berharga sehingga nggak bisa diinjak-injak begitu aja."
Duh. Nggak ada yang menginjak-injak dia.
"Kalau orangtuamu lapor polisi gimana?"
Tanyaku. Aku bisa merasakan Maria mengedikkan bahu.
"Asal sekalian sama ngundang wartawan infotainment sih nggak papa."
Arrrrkkgghhh! Jam dua belas akhirnya Maria tertidur.
Kelihatannya dia capek banget.
Seharian jalan-jalan di mal pasti melelahkan, bukan? Justru aku nggak bisa tidur.
Prahara Maria ini benar-benar membuatku resah.
Kembali HP Maria menerima panggilan.
Kali ini hanya bergetar karena sudah dipasang dengan silent mode.
Aku melirik kelayarnya.
"Papa Tengil memanggil."
Papa tengil.
Aku memandang HP yang tergeletak diranjang itu beberapa saat.
Bagaimana kalau kujawab? Pasti Maria bakal marah padaku.
Tapi semua ini konyol dan kalau nggak kuakhiri sekarang akan berlarut-larut.
Akan kuangkat, putusku.
Setidaknya untuk mengabarkan Maria baik-baik saja.
Aku ambil HP itu perlahan-lahan.
Ups, sudah mati.
Aku berpikir kembali.
Ya, tidak, ya, tidak, ya, tidak.
Ini melanggar privasi.ini pengkhianatan.
Tapi...
Ya ampun, kenapa sih aku repot-repot memikirkan pendapat Maria sementara Maria sama sekali tak peduli padaku? Pada orangtuanya? HP Maria bergetar lagi.
Peduli amat kalau Maria marah.
Aku berjingkat-jingkat turun dari tempat tidur, keluar kamar dan menjawab telepon itu.
"Maria! Kamu dimana?"
Yang pertama aku dengar adalah suara penuh kelegaan sekaligus kecemasan.
"Om,"
Aku berkata pelan.
"ini bukan Maria. Ini Kirana."
Kamis, 15 Januari 2009 Kami sarapan bubur ayam didekat sekolah. Aku hanya sanggup menelan beberapa suap.
"Lo nggak diet, kan?"
Tanya Maria curiga. Aku menggeleng.
"Nggak, aku tadi minum susu dulu sih, rasanya masih kenyang."
Kebohongan pertama hari ini.
"Kapan lo minum susu?"
"Tadi pas kamu mandi."
"Oh, ya udah. Asal elo nggak diet. Jangan sampai kayak Diana, ranting berjalan itu!"
"Kenapa?"
"Elo udah kurus dan gue suka orang yang santai kalau makan. Nggak kayak Shirley yang memandang gue jijik liat gue makan coklat atau Diana yang selalu ngitung berapa gula, berapa kalori, bahkan waktu minum air putih!"
"Nggak. Aku nggak diet kok."
"Tapi kok kayaknya elo lebih kurus?"
Maria mengamatiku, membuatku jengah. Kurapatkan sweterku.
"Masa sih? Mungkin stress aja."
Maria nyengir.
"Jangan belajar terlalu keras. Kalau nanti jadi juara gimana?"
Ia tertawa kecil. Sungguh lega mendengar tawanya. Sejenak aku melihat Maria yang biasa. Yang cuek, ceria, dan menyenangkan.
"Yah, HP gue mati,"
Kata Maria ketika mengecek HPnya.
"Oh, maaf, tadi malam aku matikan, habis bordering terus. Nggak papa kan?"
"Nggak papa. Gue kira baterainya habis."
Katanya sambil memencet HPnya.
Heran deh, kok dia lebih memikirkan baterai HPnya? "Hei! Lihat nih, mama gue SMS.
Katanya gue nggak harus sekolah perawat kalau nggak mau.
Katanya, yang penting gue pulang.
Mereka cemas sekali.
Hahaha.
Akhirnya.
SMS ini akan gue simpan sebagai bukti tertulis kalau mereka maksa gue lagi!"
Maria terlonjak. Aku tersenyum.
"Bagus deh."
"Kalau begitu nanti gue pulang."
Senyumku makin lebar.
"Kok mereka tahu gue kabur gara-gara itu?"
Maria bertanya-tanya.
"Analisis aja kurasa."
Dan teman yang peduli.
Masih Kamis, sore Alvin duduk disampingku dikelas bimbel.
Biasanya memang begitu.
Chacha juga belajar dibimbel ini, tapi dia dikelas IPS.
Maria juga, tapi dia lebih sering membolos daripada masuk.
Andra bimbel ditempat lain, didekat rumahnya.
Banyu tidak ikut bimbel sama sekali.
Yah, dia sih lebih pintar dibandingkan semua tentor disini, jadi buat apa? "Vin, aku dengar dari Chacha kamu mau kuliah di Australia.
Benar nggak sih?"
Tanyaku sebelum pelajaran dimulai. Alvin menoleh, kelihatan kaget, lalu pipinya bersemu merah. Kulit Alvin yang putih nggak pernah menolongnya ketika ia malu.
"Baru rencana sih."
Rencana? Kata Chacha ia bahkan sudah mengirim aplikasi.
"Mm, masih belum pasti kok,"
Alvin buru-buru meenambahkan.
"Bingung juga. Rasanya berat membayangkan hidup sendiri disana. Jauh dari keluarga. Jauh dari elo..."
Hah? Alvin sedih jauh dariku? Apakah i "Vin, aku dengar dari Chacha kamu mau kuliah di Australia. Benar nggak sih?"
Tanyaku sebelum pelajaran dimulai. Alvin menoleh, kelihatan kaget, lalu pipinya bersemu merah. Kulit Alvin yang putih nggak pernah menolongnya ketika ia malu.
"Baru rencana sih."
Rencana? Kata Chacha ia bahkan sudah mengirim aplikasi.
"Mm, masih belum pasti kok,"
Alvin buru-buru meenambahkan.
"Bingung juga. Rasanya berat membayangkan hidup sendiri disana. Jauh dari keluarga. Jauh dari elo..."
Hah? Alvin sedih jauh dariku? Apakah itu berarti... Oh, apakah itu baik? Karena aku seseorang yang berarti baginya. Atau justru buruk karena aku justru menghambat cita-citanya? "Aku juga akan sedih,"
Akhirnya itu yang kukatakan. Mau ngomong apalagi? "Kita sudah tiga tahun bersama,"
Kata Alvin, mirip desahan. Aku mengangguk sepintas. Tentor kami masuk kelas dan aku pura-pura sibuk membuka modul. Jumat, 16 Januari 2009
"Kirana! Gue bakal sekolah fashion!"
Teriakan Maria nyaris membuatku pekak. Ia menubruk dan memelukku dari samping.
"Wow, selamat!"
Selamat, pelarianmu dari rumah membuahkan hasil. Maria selalu mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cara halus maupun kasar.
"Mama Papa akhirnya setuju. Terpaksa setuju,"
Maria nyengir lebar.
"Pertama sih mereka membujuk gue buat kuliah S1, apapun itu. Terus sambil kuliah gue bisa kursus fashion design. Konyol kan? Gue pengin jadi desainer sungguhan. Bukan ibu-ibu yang mengisi waktu luang dengan menjahit."
"Gimana dengan rencana sekolah perawatnya?"
"Ke laut lah yaw. Sinting, liat darah aja gue jijik!"
Ia bergidik. Kami berdua masuk kelas dan duduk dibangku yang berdekatan seperti biasa.
"Lo sendiri gimana? Jadi ambil kedokteran? Tanya Maria. Setiap kali masalah ini dibicarakan dan itu berarti sering banget aku selalu mendapat blank. Sungguh ironis. Karena justru diantara kami berenam, akulah yang paling bersemangat kuliah dan punya rencana yang paling matang. Aku sudah les sejak tahun lalu. Aku mencari-cari informasi perguruan tinggi begitu naik kelas 11. Aku bahkan sudah merencanakan hendak mengambil S2 dan S3 dimana, menggunakan beasiswa apa. Tapi kini aku bahkan tak mampu menjawab pertanyaan Maria yang sederhana. Maria sebaliknya. Ia nggak pernah mikirin masa depan. Jangankan mau kuliah apa, tugas bust besok pagi aja nggak pernah ia pikirkan. Tapi kini lihat, begitu bersemangat seolah sudah menggenggam dunia.
"Gue akan jadi desainer. Alvin akan jadi ilmuwan. Lo akan jadi dokter,"
Maria terus meracau.
"Belum tentu,"
Tukasku.
"Yah, seenggaknya begitu rencananya. Optimis dikit napa?"
Alvin sudah mengumumkan rencananya secara resmi. Aku gundah. Terwujud atau tidak, setidaknya mereka punya rencana.
"Chacha pengen ambil akutansi UI. Terus Andra pengin kuliah fotografi, prnyutradaraan, atau seni music, pokoknya di IKJ. Cuma Banyu dan elo yang belum pasti."
Pengin banget aku mengabaikan Maria.
Pengin banget aku berteriak bahwa semua rencanaku berantakan.
Satu-satunya yang bisa kurencanakan saat ini adalah kabur dari Planet Bumi! "Tapi elo dan Banyu sih nggak usah pusing.
Tinggal tunjuk aja mana yang kalian mau.
Semua universitas bakal berebut menerima kalian."
Bahkan kalau mereka tahu aku hamil? "Gue yakin Banyu punya banyak rencana, tapi elo tahu kan keadaannya?"
Kata Maria.
Aku mengangguk.
Hidup ini nggak adil buat orang seperti Banyu.
Bagi Banyu, pilihan kuliahnya adalah jurusan apapun yang memberinya beasiswa atau tidak kuliah sama sekali.
Beda dengan anggota Hi4 lainnya, Banyu sangat "sederhana".
Oke, aku nggak pengin pakai metafora nggak jelas.
Kukatakan disini.
Banyu miskin! Maksudku, miskin beneran! Banyu bisa bersekolah disekolah elite ini disini karena beasiswa.
Otaknya cemerlang luar biasa.
Kalau Alvin dan aku rebutan posisi ranking satu dikelas kami masing-masing, Banyu jangan ditanya.
Dia ranking satu diseluruh sekolah.
Ironisnya, dia seolah tenggelam hanya karena satu hal.
kemiskinan.
Bila nama Banyu disebut-sebut sebagai pemenang lomba karya ilmiah, para siswa berbisik-bisik.
"Orangnya yang mana sih?"
Sementara Alvin dielu-elukan penggemar cewek sebagai gitaris Hi4, Banyu sebagai drummer seolah hilang diatas panggung.
Ia terkubur dibalik drum atau sengaja berembunyi.
Ia seperti menerima beasiswa miskin lainnya disekolah ini, punya masalah pergaulan.
Agak minder, enggan menonjolkan diri.
Bisa sekolah SMA saja sudah bagus bagi Banyu.
Boro-boro mikir kuliah.
Yang lebih sering ia pikirkan adalah biaya obat untuk ayahnya yang mulai sakit-sakitan.
Sepatu buat adiknya.
Baju buat ibunya.
Sewa rumahnya.
Makan untuk seluruh keluarganya.
Di SMA ini, Banyu nyaris tidak punya tempat.
Hebatnya, Banyu tak pernah mengeluh.
Padahal dia pasti juga pengin seperti anak lain, kan? Yang gonta-ganti sepatu tiap bulan, menenteng Blackberry dan iPhone, hang out disana-sini.
Banyu cukup puas dengan HP buatan Cina dua ratus ribuan itu pun hadiah dari lomba apa gitu.
Dia sudah cukup berterimakasih pada Alvin atau Andra yang bersedia membayar studio yang kami sewa.
Dia tidak pernah mengeluh, tak pernah meminta lebih.
Aku kagum melihat Banyu yang tegar.
Yang tetap jadi siswa paling pintar meski dia nggak ikut les apapun dan buku-bukunya nggak selengkap kami.
Efek dari semua itu adalah aku kadang minder didepannya.
Seperti dia minder didepanku.
Apalagi dulu.
Aku pernah melihatnya...
ah maaf, aku nggak bisa cerita.
Pokoknya aku pernah melihat dia di saat-saat terburuknya dan dia malu banget.
Bibir dan tangannya bergetar dan suaranya jadi serak melingking.
Matanya memandangku ketakutan, berkaca-kaca.
Bagiku itu isyarat agar aku tidak pernah menceritakan peristiwa itu pada orang lain.
Aku mengerti, membalas tatapannya sambil tersenyum.
Banyu mengerti bahwa aku berjanji.
Duh, aku baru sadar aku membawa rahasia banyak orang.
Aku menyimpan rahasia Andra yang kelam, rahasia Banyu yang memalukan, dan rahasia Maria yang menghebohkan.
Tentu saja, juga rahasiaku sendiri yang lebih kelam dan memalukan disbanding rahasia mana pun dimuka bumi ini.
Kak Rani dan Ikatan Saudara Perempuan yang Aneh Sabtu, 17 Januari 2009 My Prince datang! Kami minum milkshake dan makan kentang goring di kafe dekat kosku.
Yeah, beginilah seharusnya malam minggu anak SMA.
Kencan, makan sambil cekakak-cekikik, ngobrolin hal nggak penting.
Tapi kalian pasti tahu, kencan kami tidak seperti itu.
Obrolan kami selalu penting dan berat.
Mula-mula kami ngomongin sekolah, teman-teman kami, film Bed Time Stories yang lagi diputar, single Jonas Brothers yang terbaru, UN yang makin dekat.
Lalu kami kehabisan topic untuk mengulur-ulur waktu dan tak terhindarkan lagi kami membicarakan "hal itu".
"Mudah-mudahan aku busa ikut UN,"
Desahku lirih. Kulirik pengunjung-pengunjung lain, memastikan tidak ada yang mendengar kami.
"Bisa, pasti bisa. Kalau kamu nggak ikut UN, aku juga nggak mau ikut."
"Oh jangan!"
Tukasku cepat.
"Kamu harus ikut UN. Harus lulus. Aku... nggak usah kamu pikirkan."
"Jadi... kamu belum memutuskan?"
Ugh. Aku tahu cepat atau lambat kami pasti akan membicarakannya. Aku menggeleng. Aku berjanji akan memikirkannya waktu itu. Aku sudah memikirkannya berkali-kali, tapi belum bisa memutuskan.
"Sulit,"
Kataku.
"Aku tahu. Tapi kita tidak punya banyak waktu."
"Aku tahu."
Kulihat dia sudah mulai lelah.
Aku tahu dia akan mendukungku.
Apa pun yang aku pilih.
Yang dia butuhkan hanya kepastian.
Mempertahankan semua ini atau...
berhenti.
Setelah kencan My Prince mengantarku pulang sesaat setelahnya.
Dia tidak bisa tinggal lebih lama.
Aku agak kecewa.
Ini baru jam setengah Sembilan.
Tapi mau bilang apa? Kayaknya dia lagi banyak masalah.
Tentu saja! Dan aku adalah masalah terbesarnya.
Aku kembali ke kamar, melepas sandalku dan duduk menekur dimeja.
Ada berapa orang didunia ini yang hamil waktu berusia tujuh belas tahun dan tetap bisa menjalani hidup mereka? Pasti ada, kan? Masalahnya, bisakah aku tetap hidup seperti mereka? Aku kenal Kak Yohana, teman Kak Rani.
Dia hamil waktu kelas 11 dan kudengar dia sekarang kuliah diluarnegeri dengan beasiswa dan membawa anaknya.
Aku nggak tahu bagaimana cerita lengkapnya.
Tapi sepertinya dia baik-baik saja.
Aku juga kenal Winda, tetanggaku.
Dia lebih parah.
Dia lebih muda dariku, sekitar setahun.
Dia hamil dua tahun lalu dan nggak lulus SMP.
Ayah bayi itu aku nggak tau siapa tidak mau mengakui anaknya.
Dia juga kelihatannya baik-baik aja.
Tit tit tit, suara SMS masuk mengalihkan perhatianku.
Kuraih HP dari dalam tasku.
Kak Rani.
Tumben dia kirim SMS.
"Na, lo masih punya tabungan gak?"
SMS itu membuat alisku berkerut.
"Masih kenapa?"
Aku segera membalas. Firasatku mengatakan ada yang tidak beres. Hah, kenapa sih? Aku segera menelponnya. Kenapa untuk perkara kayak gini dia kirim SMS, bukannya langsung menelpon? "Nggak punya pulsa,"
Jawabnya ketika aku mencecarnya begitu ia mengangkat telepon.
"Kenapa sih, kak? Kok kakak bisa bokek kaya gini?"
"Aduh, panjang ceritanya. Yang penting elo bisa minjemin, nggak?"
"Kalau Cuma seratus ribu nggak usah pinjam, aku kasih deh. Ku transfer besok ya."
"Ugh, sekarang nggak bisa? Gue butuh cepat nih."
Eh.
"Ini kan udah malam, Kak. Aku..."
"Gue ke kos lo deh."
"Oke datang aja,"
Kataku, tak punya pilihan.
"Eh, kakak butuh uang buat apa sih? Kok mendesak banget?"
"Buat makan lah,"
Jawabnya seolah seharusnya aku tahu.
"Oke, gue kesitu. Ntar bayarin ojek gue ya."
Tut! Pembicaraan terputus.
Kak Rani memang penuh kejutan.
Kupikir dia akan bilang untuk memperbaiki computer atau membayar kos atau beli obat.
Apa pun tapi bukan makan.
Kalau sekedar makan, kupikir uang dari Mama Papa lebih dari cukup.
Kami mendapat uang saku tiap bulan.
Sekolah dan kos kami dengan sendirinya sudah dibayar oleh Papa dan Mama.
Bila kami nggak beli berlian, uang kami pasti lebih dari sekedar cukup.
Itulah kenapa aku punya tabungan lumayan banyak dan seharusnya Kak Rani juga.
Aku jadi cemas.
Apa Kak Rani baru saja diperas oleh cowoknya (cowok yang dipacarinya selalu bertampang berandal dan penangguran) atau jangan-jangan dia baru aja kemalingan atau yang paling parah dia mulai mengonsumsi narkoba? Tiga puluh menit kemudian Kak Rani lebih kurus daripada yang kuingat.
Kami jarang bertemu sejak Kak Rani kuliah di Jakarta dua tahun yang lalu.
Meski kami sama-sama tinggal di Jakarta Pusat dan kos kami berjarak tiga puluh menit dengan ojek, kami jarang banget ketemu.
Mungkin hanya dua atau tiga kali selama setahun terakhir.
Jangankan ketika kami sudah "pisah rumah"
Seperti ini.
Bahkan waktu kami masih tinggal bersama, kami jarang bertemu kok.
Waktu kecil kami cukup dekat.
Kami bermain bersama, jalan-jalan bareng, berbagi sepeda selayaknya kakak beradik yang rukun dan damai.
Tapi begitu Kak Rani SMP, semua berubah.
Aku nyaris tidak mengenalnya.
Dia berubah.
Dia jadi sibuk sekali.
Dia selalu pulang terlambat, berdandan superaneh (pernah dalam sebulan dia pakai baju serbahitam, celana birunya pun dicelup dengan pewarna hitam), dan berteman dengan cowok-cowok yang berdandan tak kalah anehnya.
Kamijadi asing satu sama lain dan mendadak sangat bertolak belakang.
Aku penurut dan kompromis, Kak Rani radikal dan pemberontak.
Aku cenderung pendiam, semeentara dia meeledak-ledak.
Aku anak rumahan, dia alergi rumah.
Begitulah.
Malam ini ia muncul dikos ku dengan kaos oblong dan celana jins selutut yang udah butut.
Satu hal yang nggak akan pernah kulakukan keluar dengan pakaian seadanya.
Ia juga nggak membawa tas.
Dompet dan HPnya tersuruk begitu aja dikantong celananya.
Mendengar Kak Rani mau pinjam uang buat makan, aku sengaja membeli nasi padang untuknya.
Sekarang ia menyantapnya dengan lahap.
Aku jadi khawatir jangan-jangan dia sudah nggak makan tiga hari.
Aku mencuri pandang kearahnya.
Aku ingat sebenarnya kami hanya terpaut dua tahun.
Nyaris sebaya.
Tapi entah bagaimana aku kadang merasa akulah yang lebih dewasa diantara kami.
Lihatlah gaya hidup Kak Rani yang masih seperti anak SMP.
Mengelola uang pun nggak becus.
"Ada masalah apa sih kak?"
Tanyaku setelah Kak Rani menghabiskan beberapa suap.
"Kenapa sih elo selalu banyak tanya?"
Lho wajar, kan? Dia mau pinjam duit. Dia makan kayak anjing kelaparan. Sinting kalau aku nggak bertanya.
"Itu yang bikin gue males pinjam duit sama lo. Tapi gimana lagi... teman-teman gue juga lagi bokek."
"Memangnya kakak ngapain aja sih? Kok sampai kehabisan uang. Kiriman Mama Papa kan harusnya udah cukup."
"Ha ha ha,"
Dia malah tertawa "Elo bener-bener lugu ya..."
Kak Rani meraih mug dengan tangan kiri dan meneguk air putih didalamnya, menggelontor nasi yang ia kunyah cepat sekali. Aku tercengang.
"Elo piker mereka masih peduli sama gue, setelah gue keluar dari Fakultas Hukum UI yang terhormat itu?"
Eh, kenapa tidak? Kuliah dimana pun Kak Rani tetap anak mereka kan? Kak Rani entah bagaimana masuk Fakultas Hukum UI setelah lulus SMA.
Itu benar-benar kejadian luar biasa mengingat Kak Rani bahkan tidak ingin kuliah.
Kalaupun kuliah, dia pengin kuliah yang praktispraktis.
desain grafis, perhotelan, semacam itu.
Yang jelas bukan dijurusan yang membuat hidungnya terkubur dalam diklat tebal.
Sayangnya Mama Papa punya kemauan yang berbeda.
Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Aku sudah mulai kos di Jakarta waktu itu.
Tapi nyatanya Kak Rani masuk UI dan aku yakin itu bukannya tanpa tekanan hebat dan pertempuran berdarah.
"Sejak gue keluar UI dan kuliah di IKJ, gue resmi dipecat sebagai anak."
Kalimat mengerikan itu diucapkan Kak Rani dengan garis bibir yang tertarik miring. Getir, sinis, sekaligus cuek. Kak Rani menyelesaikan suap-suap terakhirnya. Semuanya licin tandas.
"Kami rebut besar."
Ia meneguk habis air putihnya.
"Karena Kakak berhenti di Fakultas Hukum?"
"He-eh,"
Kak Rani mengangguk. Ia bangkit dan mencuci tangan dikamar mandi sementara aku membereskan sampahnya.
"Elo tahu sendiri kan, Na, gue kuliah disana karena dipaksa,"
Ia berteriak dari kamar mandi.
"Gue piker awalnya okelah, seberapa buruknya sih? Toh gue juga nggak punya tujuan apapun. Gue masih bisa menjalani hidup diluar kuliah, ya kan?"
Ia muncul dari kamar mandi. Air membasahi muka dan kausnya.
"Tapi gue nyerah. Gue nggak betah kuliah disitu. Isinya tai kucing semua. Belum lagi ngebayangin gue jadi jaksa atau hakim,"
Kak Rani bergidik.
"terdampar di lembah hitam."
Hah! Seolah dia sekarang sedang berada di lembah bunga saja.
"Nggak segitunya, kali. Kakak kan juga bisa jadi pengacara."
Banyak penegak hukum yang baik. Tinggal orangnya saja.
"Elo tau apa sih? Elo tinggal di dunia peri, tau nggak? Semua teman lo juga peri, sama kayak elo."
Jujur, aku nggak ngerti yang ia bicarakan. Kak Rani mengibaskan tangan.
"Yang jelas,gue nggak pernah betah dikelas. Gue nggak ngerti semua tai kucing yang mereka omongkan."
Hm, tipikal.
"Benar-benar setahun yang menyiksa,"
Ia mendesah.
"Terus?"
Kak Rani membanting tubuhnya telentang diranjangku, kakinya tergantung dibawah.
"Terus? Ya gue bolos lah. Gue gabung sama teman-teman yang udah kuliah di IKJ. Belajar bareng mereka."
"Terus ikut ujian?"
"Yup, dan diterima."
Aku baru menyadari Kak Rani sebenarnya jenius. Dengan gaya hidupnya yang nyaris tak mengenal belajar, dia bisa diterima di UI kemudian di IKJ.
"Konyol nggak sih? Gue piker itu akan jadi kelanjutan dahsyat. Yang bakal membuat Mama Papa terlonjak kegirangan! Desain IKJ! Keren abis, kan? Menurut gue... Gue naIf banget."
"Mereka nggak terkesan, ya?"
Aku menebak.
"Hahaha, jangankan terkesan. Mau dengar aja nggak. Kami beertengkar hebat. Untung elo nggak ada."
"Kok untung?"
"Kalau ada disana, elo pasti kena serangan jantung! Elo pasti nggak percaya! Papa ngatain gue anjing, bangsat, anak setan, hahaha... padahal gue kan anaknya? Terus siapa dong setannya?"
Aku terbelalak. Aku memang nggak percaya. Papa adalah manusia paling beradab yang aku kenal. Tapi kalau itu semua benar, KALAU itu benar, aku nggak ngerti bagaimana Kak Rani bisa menceritakannya sambil tertawa.
"Masa sih, kak?"
Suaraku nyaris tak terdengar. Tertelan oleh kengerian.
"Beneran. Tanya deh sama Bi Yuyun."
Bi Yuyun adalah pembantu rumah tangga kami.
"Atau Bu Rodiyah. Dia datang tepat sebelum Papa memukul kepala gue pakai mangkuk sop. Itu lho, yang bergambar bunga matahari itu."
NGGAK MUNGKIN! Kak Rani pati mengisap sesuatu sebelum kemari tadi. Itu nggak kedengeran seperti keluargaku. Papa nggak mungkin memukul. Dan nggak mungkin berkata kasar. Dia bahkan nggak tega membunuh kecoak! "Aku nggak menyangka..."
"Gue juga nggak. Ya gue sadar sih sejak dulu Papa nggak pernah suka sama gue. Tapi gue nggak nyangka sampai segitu bencinya."
"Itu nggak benar, Kak!"
Tukasku. Kak Rani menoleh, menatapku sinis.
"Ayolah, nggak perlu defensive. Daridulu juga udah ketahuan, Mama Papa lebih sayang sama elo."
"Nggak, itu nggak benar. Mereka sayang sama kita berdua kok,"
Bantahku.
"Hei, santai aja... nggak masalah buat gue. Gue nggak papa kok. Biasa aja."
"Bukan itu intinya. Maksudku, Mama dan Papa nggak pernah membedakan kita."
"Ya ampun, elo ini buta atau gimana sih?"
Kak Rani menatapku keheranan.
"Siapa yang punya HP pertama kali?"
"Kita berdua kan?"
Lagipula itu sama sekali nggak relevan. Aku mulai merasa nggak nyaman. Kami memang nggak dekat, tapi juga nggak pernah bertengkar.
"Seharusnya gue dulu kan? Waktu itu elo masih SMP! Waktu gue SMP, gue minta HP, nggak dibeliin. Alasannya gue masih SMP! Tapi elo? Begitu minta, langsung dikasih! Taruhan deh, kalau elo minta HP pas elo masih TK, pasti akan dikasih."
Oh...
hohoho.
Aku mulai mengerti apa yang merasuki Kak Rani.
Rasa IRI! Dan itu menggelikan sekali.
Karena kalau ada yang harus iri, itu adalah aku! Aku mendapatkan HP itu karena juara kelas.
Mereka sudah berjanji biala aku juara, aku boleh minta hadiah.
Aku benar-benar berusaha mendapatkannya.
Aku senang sekali waktu itu.
Meski agak kecewa, karena Mama dan Papa juga membelikan Kak Rani HP yang sama.
Padahal dia cuma ulang tahun.
Ulang tahun itu kan bukan prestasi! See, dia selalu mendapatkan sesuatu tanpa bekerja keras seperti aku.
"Gue dibelikan HP karena elo, tau nggak?"
Nada pahit Kak Rani benar-benar membuatku nggak habis pikir.
"Karena mereka pikir gue akan iri dan marah kalau elo dibeliin dan gue nggak."
Itu nggak benar.
"Gue denger sendiri. Mama meminta Papa membelikan gue juga. Katanya daripada gue ngamuk,"
Kata Kak Rani. Makin lama makin sulit bagiku untuk mempercayai Kak Rani.
"Jadi lo tahu kan, gue Cuma dapat hadiah hiburan. Tapi nggak masalah juga. Gue sadar kok gue nggak sepintar elo."
Uf, omongan Kak Rani membuatku muak.
Ini bukan siapa yang pandai, tapi siapa yang bekerja lebih keras.
Jadi kalau masalah iri, sekali lagi aku katakana, akulah yang seharusnya iri.
Sejak kecil aku hanya punya dua dunia, belajar dan belajar.
Sementara Kak Rani ngelayap kemanamana seenaknya.
Mama Papa nggak memaksa Kak Rani mengikuti les ini itu, seperti yang mereka lakukan padaku (sebenarnya mereka memaksa juga, tapi nggak berhasil).
Kak Rani bisa berteman dengan siapapun, pacaran sesuka hatinya, sementara aku? Telepon-teleponan sama cowok saja langsung diomelin.
"Jadi itu kenapa Kak Rani nggak pernah pulang? Karena Kak Rani menganggap Mama dan Papa nggak adil?"
Tanyaku.
"Udah gue bilang. Gue dipecat sebagai anak. Tapi gue nggak sedendam itu. Beberapa minggu lalu gue pulang, meski yah... dicuekin sama Papa. Gue nggak pengin kalah. Gue justru pengin menunjukkan gue tetap bisa survive, bahkan ketika gue dibuang, ditelantarkan, nggak dikirimi duit. Gue nggak sabar pengin berhasil, menunjukkan kepada mereka bahwa seni bisa menghidupi gue, bikin gue sukses."
Aku menghela nafas, duduk dikursi dan memeluk teddy bearku. Nggak pernah aku bicara seserius ini dengan Kak Rani.
"Hahaha, tapi kayaknya gue harus siap kalah. Jangankan sukses, survive aja nggak! Gue ternyata anak Mama. Nggak bisa hidup susah, nggak ulet kerja, nggak becus nyari duit."
"Jangan begitu."
Mataku memanas.
"Cari uang kan memang nggak gampang."
"Yah elo benar. Gue dulu mikir nyari duit itu gampang. Ya ampun... Bi Yuyun yang Cuma lulus SD aja bisacari duit buat keluarganya dikampung. Masa gue kagak?"
"Terus?"
"Gue kalah, Na . Gue salah. Akhir-akhir ini gue sering berfikir andai gue tetep jadi anak yang manis. Nggak keluar dari UI. Mungkin gue nggak kayak gini. Pulsa aja nggak punya..."
Kak Rani menerawang. Ia meringkuk memeluk guling erat.
"Terus gimana Kak Rani hidup selama ini?"
Aku mulai bersimpati padanya.
"Kerjalah, ngamen..."
"NGAMEN?"
"Hahaha, bukan ngamen yang kayak gitu. Tapi nyanyi di kafe, hotel, restoran. Apapun deh yang menghasilkan duit. Gue juga bikin desain iklan, web, kaus, buku, ngedit foto, tapi susah, ordernya nggak tetap. Kayaknya sekarang semua orang bisa mendesain."
"Perhitungan gue salah,"
Kata Kak Rani lagi. Ia meraih remote TV dan mulai memencet tombolnya secara acak. Suara TV membuat kamarku berisik seketika.
"Kalau gue nggak kuliah sih, uang yang gue dapat cukuplah. Tapi kuliaj itukan mahal banget. SPP, diklat, belum lagi computer, kegiatan kampus, nggak kekejar rasanya. Udah gitu karena gue kuliah, gue juga nggak bisa banyak kerja."
Kami terdiam lagi. Sama-sama menatap TV tanpa benar-benar menontonnya. Chenel bergantiganti dan kami nggak peduli. Pikiranku sibuk mengolah cerita Kak Rani.
"Aku boleh nebeng mandi, Na?"
Kak Rani bangkit. Aku mengangguk.
"Ledeng dikontrakan gue mampet. Kebiasaan deh."
Aku belum pernah kekontrakan Kak Rani. Tapi mendengar ceritanya, pasti deh bukan kos elite seperti punyaku yang punya kamar pribadi dan dilengkapi AC, TV, air hangat, dan fasilitas laundry.
"Pinjam kaus juga boleh?"
"Ya,"
Kak Rani tidak jadi melangkah ke kamar mandi.
"Kenapa Kakak nggak nurutin Mama Papa aja sih?"
Senyum Kak Rani melebar.
"Gue udah coba. Sejak dulu. Tapi nggak bisa."
Aku menggigit bibirku. Kengerian itu datang menyerang. Kalau Kak Rani yang Cuma pindah kuliah aja disiksa seperti itu, bagaimana dengan ku? "Kenapa Na?"
Aku memalingkan wajah.
"Nggak apa-apa. Cuma sekarang aku jadi takut kalau...."
Kak Rani menepuk pundakku.
"Nggak ada yang perlu elo takutkan. Asal lo tetap jadi anak baik seperti ini, nggak aka nada piring melayang ke kepala lo, sendok pun nggak."
Setelah Kak Rani pulang "Aq mau aborsi."
Message sent to My Prince.
Hari-Hari Kelam Senin, 19 Januari 2009 Aku bertemu My Prince dilorong sekolah pagi ini.
Dia tersenyum, menyapa, lalu mendekatiku.
Kami berdua berdiri berdekatan didepan pintu kelas, mengobrolkan trending topic di Twitter, Twilight Saga, dan syarat pendaftaran STAN.
Orang-orang yang melihat pasti menganggap kami sepasang remaja ceria yang nggak punya masalah apapun selain tugas sekolah atau jerawat.
Mereka nggak tahu begitu tidak ada yang memperhatikan, ia mencondongkan tubuhnya dan berbisik.
"Kamu tahu dimana tempat kita bisa melakukan itu?"
Aku menggeleng. Kugigit bibir erat-erat. Rasanya begitu menakutkan. Bagaimana kalau ada yang mendengar kami sedang merencanakan sesuatu yang buruk disini? "Kamu nggak pernah dengar dari siapa gitu, yang pernah melakukannya?"
Tanyanya. Ya ampun, memangnya selamaini aku bergaul dengan siapa? PSK Kramat Tunggak? "Juga dari internet atau apapun?"
Tanyanya lagi. Aku menggeleng lagi. Astaga, aku tidak pernah hamil sebelumnya! Cowok itu menegakkan tubuhnya kembali. Wajah tampannya menjadi serius dan muram.
"Aku akan cari informasi kalau begitu."
Aku mengedipkan mata dan menyiulkan "sstt"
Pelan ketika aku lihat Maria mendekat.
"Hi you two, selamat pagi."
"Pagi. Tumben nggak telat,"
Sahutku.
"Sekali-sekali boleh kan gue jadi anak baik? Lagi ngegosipin siapa nih? Bukan gue, kan?"
Tanya Maria.
"Kamu udah kami gosipin tadi. Sekarang kami lagi ngegosipin STAN. Bahan gossip yang seru, kan?"
Aku berkata.
"Stan? Stan apa? Di mal mana?"
Tanya Maria. Cowok itu Cuma tertawa.
"Coba ada jurusan Shopping Science di UI, kamu pasti keterima."
"Sekolah Tinggi Akutansi Negara. Nah, kamu mau belanja apa disana?"
Kataku. Maria nyengir.
"Sorry guys, gue emang udah nggak mikirin sekolah lagi. Bagi gue, yang penting lulus dan jadi desainer. Btw, siapa yang mau ke STAN? Namanya aja sudah membosankan gitu."
"Nggak ada sih, kami hanya mengobrolkan sebanyak mungkin kemungkinan. Makin banyak pilihan makin baik, kan?"
Kata My Prince.
"Kasihan deh, orang pintar seperti kalian. Terlalu banyak pilihan. Kalau gue, jangankan milih jurusan apa, ada sekolah yang masih menerima gue aja udah syukur tuh,"
Kata Maria.
Bel berbunyi.
Kami bertiga mengeluh.
Another day, batinku.
Tidak pernah sebelumnya aku menghitung hari seperti ini.
Menghitung mundur malah.
Rasanya seperti seorang tahanan yang menunggu dieksekusi.
Hukumanku datang lebih cepat.
Bu Dwi, guru fisika, membagikan hasil ulangan minggu lalu.
Shock aku melihat angka yang tertera disana.
4,1! Empat koma satu.
Nggak salah nih? Mestinya itu angka Sembilan, kan? Cuma kurang tertutup atasnya.
"Elo dapat empat?"
Maria terkejut. Sebenarnya akulah yang lebih terkejut.
"Pasti salah deh. Gue aja dapat lima!"
Maria nggak pernah dapat nilai lebih dari lima dalam ulangan fisika atau matematika.
Bagi dia, nilai empat sudah bagus.
Tapi nggak bagiku.
Meski akhir-akhir ini nilaiku memburuk, aku nggak pernah menyangka akan dapat angka empat.
Lebih rendah dari Maria! "Coba kita cocokin!"
Maria mengulurkan tangan hendak mengambil kertasku. Aku segera menarik kertas itu, kulipat dan kumasukkan tas.
"Udah deh, nggak usah dibahas,"
Kata-kataku lebih ketus daripada yang kumaksudkan. Maria memandangku keheranan.
"Ya ampun, biasa aja, lagi. Gue dapat nilai empat setiap hari dan nyatanya masih tumbuh normal kan?"
Biasa bagi Maria belum tentu biasa juga bagiku kan? "Kenapa sih nilai-nilai lo nggak karuan kayak gitu sekarang?"
Tanya Maria. Aku mengangkat bahu.
"Kurang belajar."
Hanya itu kan satu-satunya alasan? "Ah, elo tuh nggak belajar juga pasti bisa. Ada masalah apa sih?"
"Nggak ada,"
Aku menyahut ketus. Guru fisika sudah selesai membagikan hasil ulangan dan siap memulai pelajaran. Maria mengedikkan bahu.
"Emang ada hari apes kayak gitu. Bad hair day. Gue selalu dapat nilai jelek pas bete. Pas nggak bEte sish emang jelek, tapi kalau pas bEte tambah jelek lagi."
Aku tidak menyahut.
Di dalam aku remuk redam.
Aku mungkin hamil, perutku mungkin mual, dan pinggangku pegal, tapi otakku masih utuh kan? Kenapa sih aku ini? Bila kuingat-ingat, ulangan fisika itu nggak terlalu sulit sebenarnya.
Tapi mungkin yang kupikirkan waktu itu adalah "jangan muntah di kelas".
Atau waktu itu aku memikirkan bagaimana kakiku nanti membengkak dan perutku akan meledak? Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada soal-soal ujian.
Uh, setelah aku cek ternyata aku melakukan kesalahan sepele, salah hitung, kurang menambahkan tanda minus, lupa tidak mencantumkan hasil akhir.
Bodoh! Aku benci.
Benci diriku yang sekarang ini.
"Kirana,"
Bu Dwi datang ke bangkuku ketika pelajaran berakhir.
"Bisa keluar sebebtar? Ibu ingin bicara."
Aku terdiam. Maria juga. Aku gemetar, tapi langsung berdiri dan mengikuti Bu Dwi, berharap tak ada yang memperhatiakn.
"Kamu baik-baik saja kan?"
Bu Dwi bertanya ketika kami sudah berada dilorong depan kelas.
Beberapa guru dan siswa hilir-mudik, membuatku resah.
Kenapa Bu Dwi bertanya seperti itu? Apakah ia tahu aku hamil? Nggak mungkin.
Berat badanku bahkan tidak naik.
Perutku merasa rata.
Tapi bagaimana kalau ia tahu? Dari raut wajahku mungkin? Atau dari cara berjalanku? Aku yakin Bu Dwi sudah punya anak.
Dan wanita yang sudah punya anak mungkin memiliki firasat.
"Saya baik-baiksaja,"
Jawabku, berusaha bersikap tenang dan tersenyum layaknya orang yang baik-baik saja.
"Tapi nilai-nilaimu..."
"Iya saya tahu, saya akan berusaha lebih keras lagi."
"Jangan,"
Kata Bu Dwi.
"Kamu justru harus lebih rileks. Kalian sudah kelas dua belas, dan ibu tahu banyak diantara kalian yang belajar mati-matian, tapi akibatnya justru kurang tidur, nggak konsen, sakit, depresi."
Aku mengangguk.
"Itu saja kok."
Bu Dwi tersenym.
"Santai saja ya."
Aku mengucapkan terima kasih dan kembali kekelas.
"Kenapa Bu Dwi manggil elo?"
Tanya Maria. Ugh. Kenapa sih dia selalu pengin tau urusan orang lain? Tapi bila tidak kujawab, ia akan mengganggu terus.
"Nilai ulangan tadi. Dia cuma pengin tahu apa betul itu pekerjaanku, bukan pekerjaanmu."
"Hahaha, lucu,"
Maria mencebik. *** Siangnya "Hai, gue denger Bu Dwi manggil elo tadi,"
Kata Alvin sambil memantul-mantulkan bola basket. Sompret! Selain usil, Maria memang bermulut ember. Nggak ngerti deh, kenapa aku masih berteman dengannya.
"Bu Dwi siapa?"
Tanya Chacha yang duduk disampingku. Kami bertiga berkumpul di tepi lapangan basket menunggu Andra dan Banyu. Para cowok itu plus Maria memang janjian main basket, just for fun. Chacha ingin ikut, tapi sebentar lagi dia harus les.
"Guru Fisaika,"
Jawab Alvin.
"Hai!"
Maria berlari-lari mendekati kami. Ia sudah berganti kaus dan celana pendek. Semua cowok juga bakal semangat main basket kalau ada anggota tim berkaki indah dan "murah hati"
Seperti Maria.
"Oh kenapa Bu Dwi manggil elo?"
Tanya Alvin lagi.
"Banyu dan Andra mana?"
Tanyaku mengalihkan topik. Maria mulai merebut bola Alvin. Mereka berdua berlarian di sekitarku.
"Lagi ganti baju,"
Jawab Maria.
"Ada masalahkah,"
Alvin berteriak.
"dengan Bu Dwi?!"
Baguuuss!!! "Nggak ada!"
Aku balas berteriak.
"Cuma nilai ulangan yang turun!"
Maria ikut berteriak.
"Rese banget sih, padahal Cuma turun jadi empat. Gitu aja di..."
"EMPAT?"
Alvin berteriak lagi. Bagus! Sekalian aja umumkan aku adalah manusia paling bodoh dimuka bumi. Saking bodohnya aku bahkan akan punya bayi diumur 17! "Kok bisa?"
Alvin berhenti, tak mempedulikan bolanya yang langsung menggelinding.
"Hei, gue selalu dapat empat, tiga malah, elo nggak pernah peduli,"
Maria protes sambil menangkap bola.
"Kalau elo, gue nggak heran. Tapi ini Kirana, si jenius kelas 12 IPA!"
"Dia telah kehilangan kejeniusan akhir-akhir ini,"
Kata Maria, mengubah nada bicaranya jadi misterius.
"Gue lihat.... Ada aura jahat yang menyelimutinya."
Aku memandang Maria sebal. Kenapa dia sama sekali nggak punya empati? "Aku nggak papa. Nggak usah lebai. Aku memang rada pusing waktu itu. Tuh, Andra dan Banyu datang. Kalian main gih?"
Kataku.
"Biar aku dan Chacha ngerjain PR."
Alvin terdiam. Menatapku beberapa saat.
"Yakin elo nggak mau main, Na?"
Aku menggeleng.
"Nggak, udah deh. Capek, panas."
"Vin, jadi main nggak?"
Maria melemparkan bola kearahnya. Alvin berkedip menoleh pelan, dan mengambil bola yang berhenti di kakinya, kemudian berlari masuk lapangan.
"Wow,"
Kata Chacha.
"Did you see the way he looked at you?"
"Nggak, memangnya kenapa?"
Aku bilang begitu, tapi pipiku memerah. Pipi pengkhianat. Setelah itu "Kirana! Tunggu!"
Banyu berlari menyusulku. Kausnya masih basah oleh keringat dan hmmm... mencetak dadanya yang bidang dan perutnya yang rata. Seksi.
"Kamu pulang naik apa?"
"Jalan, seperti biasa,"
Jawabku. Kosku lumayan dekat. Kadang aku naik ojek bila cuaca terlalu panas. Kadang aku nebeng motor Andra atau mobil Alvin. Tapi Maria memaksa nebeng motor Andra, sementara Alvin tidak membawa mobil.
"Jalan bareng boleh, kan?"
Kerendahan hati Banyu selalu membuatku terpana. Kenapa dia harus minta izin? Bahkan untuk berjalan disampingku.
"Kayaknya managerku masih mengizinkan aku pulang bareng siapapun, tanpa kawalan bodyguard. Cuma harus hati-hati terhadap paparazzi."
Banyu tertawa, untuk menghormati usahaku melucu kurasa. Udara sore ini benar-benar sejuk. Langit bersih dan mulai memerah, membuat Jakarta begitu romantis.
"Na, aku mau Tanya,"
Kata Banyu setelah beberapa saat kami jalan dan ngobrol.
"Apa?"
"Menurutmu, gimana kalau aku belajar bareng Chacha?"
Banyu berkata. Hah? Aku tak yakin aku mengerti pertanyaannya.
"Tentu saja nggak papa. Bagus malah."
Kenapa dia harus menanyakannya? "Gini, sebenarnya Chacha memintaku sebagai... semacam tutornya. Privat,"
Kata Banyu lagi. Oh.
"Kami akan punya jadwal, aku akan dibayar. Eh, professional gitu,"
Dia menerangkan.
Hm, ada yang aneh disini.
Kenapa Banyu? Bagaimana dengan Alvin? Chacha dan Alvin kan tinggal serumah dan Alvin juga cerdas.
Lebih dari itu, kenapa Chacha tidak menyewa tutor betulan? Buat keluarganya yang punya tumpukan uang, seharusnya nggak masalah kan? Mereka bisa menyewa guru yang paling baik di kota ini.
"Kenapa Chacha nggak minta Alvin aja?"
Tanyaku.
"Udah katanya,"
Jawab Banyu.
"Tapi mereka nggak pernah bisa serius. Tau kan, karena mereka saudara. Dan kata Chacha, Alvin nggak bisa menerangkan dengan bagus. Nggak sabaran."
Oh.
"Bagaimana dengan tutor professional? Banyak, kan? Bukannya aku nggak setuju kamu jadi tutornya. Aku mendukung kok,"
Kataku.
"Aku nggak tahu tapi Chacha penginnya seperti itu. Dan... aku butuh uangnya,"
Ia berkata lirih. Aku menunduk. Seharusnya aku tahu.
"Apakah menurutmu... Chacha melakukan ini untukku?"
Gumamnya, seperti bertanya pada diri sendiri.
"Seperti katamu tadi, masih banyak tutor lain, tutor beneran."
"Nggak juga. Kamu cerdas dan aku yakin kamu bisa jadi tutor yang baik. Kurasa itu alasan Chacha."
Meski yang pertama tadi lebih masuk akal.
"Kalau kamu mau, lakukan saja,"
Sambungku.
"Nggak papa? Nggak aneh kan?"
Tanyanya.
"Kenapa aneh?"
"Ya,aku dan Chacha... berdua eh belajar, berdua..."
Banyu jadi salah tingkah. Aku terkikik geli. Wajah Banyu yang berfikir gelap itu makin gelap. Kupikir cowok pemalu seperti Banyu sudah punah dari muka bumi ini.
"Terus terang, Na. Aku rikuh sebenarnya. Sebenarnya aku... yah, nggak nyaman."
"Apa yang bikin kamu nggak nyaman? Kalian kan berteman."
"Memang, tapi... eh, sebenarnya aku mau minta tolong."
"Apa?"
Tanyaku.
"Kamu mau kan menemaniku belajar bareng Chacha?"
"Eh?"
"Kan udah ku bilang, aku rikuh sebenarnya. Kalau ada orang lain, mungkin aku jadi lebih santai."
"Apa Chacha nggak keberatan?"
Tanyaku.
"Aku akan bilang. Kurasa sih nggak. Apalagi kalau orang itu kamu. Tolong ya, satu atau dua pertemuan saja. Selanjutnya mungkin lebih gampang."
"Oke, satu atau dua pertemuan saja. Kapan?"
"Mulai besok, Rabu."
"Oke."
Rabu, 14 Januari 2009, 19.00 Kami sudah berkali-kali bermain ke rumah Alvin-Chacha.
Tapi rasa kagum kami nggak habishabis.
Rumah Alvin adalah rumah mewah di Menteng.
Bayangin, di Menteng! Daerah paling elite seindonesia.
Untuk ukuran Menteng, rumah mereka nggak luas sih.
Untuk ukuran Menteng lho, yang artinya...
ya kira-kira rumahku dikalikan lima plus kolam renang dihalaman belakang.
Begitu masuk dirumah yang adem itu, kami merasa tidak berada di Jakarta.
Semuanya nyaman, apik, dan tenang.
"Alvin lagi nganter Tante ke spa, tapi dia nggak nungguin kok. Paling bentar lagi pulang."
Kata Chacha setelah mempersilahkan kami duduk.
Ups! Pikiranku langsung teralih pada Alvin.
Itu kaki manusia apa peri sih? Chacha memakai hot pants hitam dan tank top putih.
Lumayan provokatif sebenarnya, tapi kesan yang ditimbulkan justru sederhana dan bersahaja.
Aneh ya, dia nggak kelihatan pengin pamer paha dan tungkai mulusnya.
Dia seolah-olah hanya ingin bersantai.
Cuba Maria yang pakai baju kayak gitu, mungkin udah masuk majalah Playboy.
Hm, aneh deh, bagaimana pakaian yang sama bisa menimbulkan kesan yang berbeda ketika dipakai oleh orang yang berbeda.
Aku melirik Banyu.
Meski aku menganggap Chacha bersahaja, aku yakin Banyu tidak menganggapnya demikian.
Ia terlihat agak limbung dan susah payah menelan ludah.
"Oke, aku ambil minuman, setelah itu kita bisa mulai belajar. Di teras belakang aja ya, dekat kolam,"
Kata Chacha sambil melangkah ke dapur.
Langkahnya ringan dan ceria.
Kalau aku jadi cowok, aku pasti bakal jatuh cinta rata dengan tanah saat itu juga.
Aku baru tahu, selain pintar, Banyu adalah guru yang baik.
Soal-soal matematika yang sulit bisa ia jelaskan dengan gambling.
Chacha yang awalnya tidak mengerti bisa mengerjakan soal-soal dengan lancar.
Setelah beberapa saat aku mengamati Chacha dan Banyu belajar, aku memutuskan untuk mengerjakan PR Kimia.
Banyu ku lihat sudah bisa menguasai diri.
Awalnya dia nervous.
Berkali-kali dia melirikku atau bertanya padaku, seperti "Bener kan Na? Lebih gampang dengan cara ini kan?"
Tapi sekarang, dia sudah sangat tenang dan malah terlihat bersemangat.
Dia bisa jadi dosen yang bagus nanti.
Aku tak bisa mencegah diriku untuk mencuri-curi pandang ke Banyu.
Aku suka melihat caranya menerangkan.
Suka mendengar suaranya yang tenang sekaligus member semangat.
"Hai semua!"
Alvin muncul saat kami sedang serius mengerjakan soal.
Oh, ya ampun, banyak banget godaan hari ini.
Alvin muncul dengan celana jins dan T-shirt.
Biasa aja.
Bersahaja juga, tapi dimataku.
keren abis.
Kurasa, kalau kamu anak orang kaya, baju yang simple pun bakal membuatmu berkelas.
Atau mungkin...
baju-baju simple itu memang berkelas.
Kayak Chacha misalnya.
Taruhan deh, tank topnya minimal Zara atau Mango.
Celana jins Alvin pun aku yakin branded! Original! "Udah lama kalian belajar?"
Tanya Alvin.
"Lumayan, satu jam,"
Kata Chacha.
"Gila! Jalanan macet banget tadi. Ngapain sih Mama nggak mau naik taksi?"
Alvin ngomel.
"Hahaha, soalnya dear Alvin, Tante sebenarnya mau ngajak kamu spa."
"Spa? Banci banget."
"hey, spa is not banci! It"s relaxing, good for your body and soul,"
Kata Chacha sambil tertawa.
"Whatever,"
Sahut Alvin.
"Yang jelas, gue stress nyetir ditengah kemacetan, sementara Mama dan Tante Sisil ngobrol berisik sepanjang jalan."
"That"s dear, hukuman buat lo karena nggak pernah nemenin Tante shopping,"
Goda Chacha lagi.
"Ugh! Hukuman yang sangat kejam. Gue kapok,"
Alvin mengangkat tangan dan berjalan mendekatiku.
"Hei, elo ngerjain PR kimia?"
"Iya."
"Oke, gue akan ambil PR kimia gue. Kita kerjain bareng."
Ini akan menyenangkan, tapi juga akan membuyarkan konsentrasi. Belajar dengan Banyu dan Alvin? Kayak belajar bareng Rob Pattinson dan Zac Afron. Gimana aku bisa konsen? Malamnya "Nilai-nilaimu turun, ya?"
Tanya My Prince lewat telepon ketika aku sudah sampai kos.
Terima kasih Maria untuk menyiarkan kegagalanku di seluruh dunia.
Aku capek dan nggak pengin mengingat hal buruk itu.
Bedanya, membicarakan ini dengan My Prince tidak membuatku malu.
Yang ada adalah perasaan putus asa dan bingung.
"Maaf, ini salahku,"
Kata My Prince.
"Kita udah sepakat, nggak ada yang salah,"
Kataku.
"Nilai-nilai itu adalah petunjuk."
"Petunjuk?"
"Aku... harus... a-b-o-r-s-i."
Betapa susahnya mengucapkan kata itu. Bahkan setelah kuucapkan pun, rasanya masih salah. Dia terdiam lama. Apakah dia disana menggigit jari? Berjalan mondar-mandir? "Aku... udah menemukan tempatnya,"
Katanya terbata-bata.
"Oh ya? Dimana? Aman nggak?"
"Aku dapatkan alamatnya dari temanku. Katanya sih aman,"
Suaranya makin pelan, nyaris berbisik.
"Katanya siapa?"
Tanyaku cemas.
"Temanku itu. Dia sendiri pernah aborsi disana."
"Dan dia masih hidup?"
"Iya. Katanya ia sudah dua kali melakukannya di tempat itu."
Dua kali? Dan masih hidup? Berarti aborsi nggak buruk-buruk amat. Maksudku, ternyata ada orang yang sanggup melakukannya dua kali. Berarti nggak sakit-sakit banget kan? Dan mungkin nggak seberbahaya yang aku dengar.
"Dia bilang yang melakukannya, maksudku praktik disana adalah dokter,"
Lanjutnya.
"Temanku ini... nggak curiga kamu bertanya kayak gitu?"
Aku bertanya gugup.
"Kayaknya nggak. Aku bilang ada temanku yang butuh."
Benar-benar deh, kami udah kayak maling. Segalanya perlu ditutupi dengan kebohongan.
"Dia percaya?"
"Nggak tahu. Tapi itu nggak penting. Yang penting dia nggak tahu siapa kamu. Dia nggak bakal bocorin rahasia kita."
Kurasa dia benar.
"Jadi kapan?"
Dia bertanya.
"Besok?"
"Besok? Kamu yakin? Kamu siap?"
"Lebih cepat lebih bagus. Kurasa aku nggak akan pernah siap."
Rasanya begitu nelangsa. Air mataku nyaris bercucuran. Dia nggak tahu bila aku menundanya, tiap saat selama aku menanti, aku akan cemas dan sakit. Jadi lebih baik cepat akhiri saja.
"Oke, kamu tahu aku selalu mendukungmu,"
Katanya.
"Biar aku yang urus."
Kalau dia disini, kami pasti sudah berpelukan. Kamis, 15 Januari 2009
"Kemana aja sih?"
Maria bersungut-sungut begitu aku sampai dikantin.
"Tuh, pesanan lo udah gue beliin daritadi."
"Thanks. Aku tadi balikin buku ke perpus dulu."
Aku duduk berhadapan dengan Maria dan langsung melahap bakso didepanku. Aku laper! Banget! "Hoho, santai aja,"
Maria berseru melihat cara makanku yang mirip korban kelaparan Afrika.
Padahal ini baru istirahat pertama, tapi aku makan seperti makan siang.
Aneh juga ya, kok aku jadi rakus gini? Padahal beberapa hari sebelumnya aku masih nggak doyan makan.
Pengemis Binal Kitab Sukma Gelap Raja Petir Pencuri Kitab kitab Pusaka Lewis Carroll Alice In Wonderland