Ceritasilat Novel Online

Dark Love 2


Ken Terate Dark Love Bagian 2



Tadi malam aku makan nasi goring seporsi penuh.

   Tadi pagi aku makan sandwich isi telur, lalu bubur kacang ijo, dan masih ikut menghabiskan cheese cake yang dibawa Yulia.

   Kenapa sih aku ini? Kemarin-kemarin aku nggak doyan makan, sekarang rakus banget.

   Ah, apapun itu nggak penting deh, karena nanti malam semua ini akan hilang.

   Besok pagi aku nggak perlu mengkhawatirkan apapun.

   "Nanti soremau jalan ke Semanggi. Ikut yuk,"

   Kata Maria.

   "Ngapain?"

   "Cari kado buat Andra. Dia besok ulang tahun, kan?"

   Ups! Aku sama sekali lupa. Akhir-akhir ini aku hanya memikirkan diriku, nggak sempat memikirkan orang lain.

   "Maaf, aku nggak bisa,"

   Kataku.

   "Kenapa? Elo ada acara? Hari ini elo nggak ada les kan?"

   "Nggak sih, tapi aku ada janji."

   Maria tampak kesal.

   "Janji sama siapa sih? Penting banget?"

   "Iya, penting banget."

   Menyangkut hidup-mati seseorang. Secara harfiah! "Kakakku akan datang,"

   Kataku akhirnya. Bohong makin gampang bagiku.

   "Ajak aja sekalian. Ayolah, emangnya elo udah nyiapin kado buat Andra?"

   "Belum."

   Aku menggeleng.

   "Kalau aku titip aja, boleh nggak?"

   "Ih, nggak seru! Gue ngajak elo supaya ada yang dimintain pendapat."

   Maria merengut.

   "Maaf, Mar, tapi aku benar-benar nggak bisa,"

   Kataku, lalu bangkit untuk memesan siomay.

   Sorenya Inialah hari mengerikan itu.

   Itu yang aku ingat begitu aku bangun tadi.

   Kepalaku agak pusing karena semalam aku dihantui mimpi buruk dan nyaris nggak bisa tidur.

   Tapi mungkin juga ini hari menyenangkan.

   Besok semua ini akan hilang.

   Aku akan kembali menjadi Kirana yang dulu lagi! Ceria, pintar dan bukan pembohong.

   Oke, dosa ini mungkin tak akan hilang, tapi setidaknya, bila setelah ini aku bertobat, aku bisa bersih lagi kan? Tuhan Maha Pengampun, bukan? Malam itu datang lebih cepat, meski aku sangat ingin menundanya.

   "Kamu nggak takut kan?"

   My Prince bertanya lirih didalam taksi. Aku menggeleng. Jelas aku bohong. Kurasa dia tahu, tapi tidak mendesak. Dia berpaling, memandang keluar jendela.

   "Kamu?"

   Dia tidak menjawab, mungkin tidak mendengar atau mungkin tidak lihai bohong separti aku.

   Ia menatap lalu lintas yang bergerak perlahan.

   Malam ini aku memang sengaja naik taksi.

   Aku tidak ingin ia mengendarai kendaraan disaat kami takut dan gugup begini.

   Alasanku yang lain, aku takut orang lain tahu.

   Yah, siapa tahu ada orang yang mengenali pelat nomornya.

   "Klinik"

   Yang kami tuju lumayan jauh.

   Agak dipinggir kota.

   Bagiku itu lebih baik.

   Kemungkinan bertemu orang yang kami kenal makin kecil.

   Kurasa tangan My Prince meremas jari tanganku.

   Kami sama-sama membisu, tapi kami tahu apa yang berkecamuk dibenak kami masing-masing.

   Apakah ini benar-benar aman? Yang berpraktik dokter sungguhan kabarnya.

   Apa ada dokter sungguhan yang berpraktik sekotor ini? Apa menyakitkan? Seberapa sakit? Apakah aku akan dibius? Bagaimana bila pembiusan itu bermasalah? Apakah bayi itu akan benar-benar gugur? Bagaimana bila tidak? Dan malah cacat? Apakah...

   aku...

   akan...

   selamat? Air mataku nyaris menetes memikirkannya.

   Jangan pikirkan, Kirana.

   Jalani saja.

   Dua atau tiga jam lagi semua ini akan selesai, tidak akan lama.

   "Kita sudah sampai, Na."

   Oh, cepat sekali! Padahal aku sempat berharap perjalanan ini takkan berakhir. Saat aku turun, baru kusadari kakiku gemetaran. Ini lebih menakutkan daripada yang kukira.

   "Klinik"

   Itu tersembunyi dibalik tembok tinggi.

   Dari luar aku bisa melihat rumah ini berlantai dua, atau tiga, seperti rumah kebanyakan sebenarnya.

   Tapi mengingat apa yang terjadi didalamnya, rumah ini sama mengerikannya dengan kamp Nazi.

   My Prince meremas tanganku lebih kuat.

   "Kamu tidak apa-apa, Na?"

   Ia memeluk tubuhku yang limbung.

   Aku mengangguk, menggigit bibirku erat.

   Aku tidak boleh menangis.

   Ia membimbingku mendekati bangunan itu, lalu memencet bel.

   Seorang satpam membukakan pintu gerbang.

   Mereka berdua bicara beberapa saat.

   Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

   Saat ini seluruh indraku tertutup.

   Tertutup oleh ketakutan.

   Begitu masuk kedalam, suasana mengerikan itu makin terasa.

   Cahaya lampu yang remangremang sama sekali tidak menolong.

   Seorang wanita menyilakan kami menunggu.

   *** Tik.

   Tik.

   Tik.

   Penantian itu teramat menyiksa.

   Seorang perempuan keluar dari satu ruangan, tampak lemah dan pucat, tertatih, nyaris tak bisa berdiri tegak.

   Astaga, apakah dia...

   habis aborsi juga? Aku merinding.

   Perempuan itu berjalan pelan dan keluar tanpa sekalipun mengangkat wajah.

   Gigiku gemeletuk.

   Sing! Tiba-tiba tercium olehku bau anyir.

   Apakah memang ada bau darah disini? Atau itu cuma imajinasiku saja? Mendadak aku merasa mual, pusing, dan lemas.

   Jadi aku duduk bersandar dibahu My Prince.

   Ia memelukku tanpa sanggup mengatakan apa pun.

   Kesunyian di klinik itu mendadak mencekik.

   Nafasku sesak.

   Aku...

   sekarat.

   Bayangan-bayangan mengerikan berkelebat dibenakku dengan cepat.

   Darah, daging, jerit kesakitan.

   Kematian.

   Tuhan! Tidak! Aku belum mau mati.

   Aku bahkan tidak sanggup menahan sakit.

   MEMBAYANGKAN saja tak sanggup.

   Mendadak tubuhku dingin.

   Aku menggigil.

   Kini kesunyian itu begitu keras hingga bising.

   Aku menutup telinga.

   Apakah aku mendengar jerit kesakitan? Apakah aku mendengar lengkingan tangis bayi.

   Ya Tuhan, aku tak sanggup mendengarnya.

   Aku...

   tak tahan lagi.

   Sebelum aku sadari aku berlari.

   "Kirana... kenapa?"

   My Prince mengejarku, mencekal tanganku dari belakang.

   "Aku mual,"

   Kataku tersengal. Di mana? Aku di mana? "Mbak, mau kemana...? Jadi tidak...? Kenapa...? Tidak apa-apa..."

   Samar-samar aku mendengar suara, entah suara siapa. Suara wanita. Mungkin si wanita penerima tamu tadi.

   "Kami mau, eh, dia pusing,"

   Samar-samar aku mendengar suara My Prince.

   Makin samar karena rasanya aku hamper pingsan saat ini.

   Aku mencari pegangan dalam gelap.

   Dapat.

   Oh, tiang listrik.

   Terima kasih, kami sudah keluar dari klinik itu.

   Ternyata aku tadi lari kejalan.

   Air mata memenuhi mataku.

   "Aku nggak mau melakukannya,"

   Aku sesenggukan. My Prince memelukku erat sampai nafasku terasa sesak.

   "Tenang, nggak papa kalau kamu belum siap."

   "Ya ampun, memangnya diapain sih?"

   Aku masih terisak-isak.

   "Dipijat, diurut, dibedah? Diapakan?!"

   Aku berteriak frustasi.

   "Sttt."

   Kami sudah sampai dijalan di luar klinik iblis itu. Dan aku bersumpah, aku tidak akan kembali. Jeritan itu masih terngiang-ngiang dikepalaku. Onggokan sprai berdarah itu masih menghantuiku.

   "Kita bisa kembali kap..."

   "Aku nggak mau kembali!"

   Tukasku marah. Bisa-bisanya dia berfikir untuk mengirimku kembali ke sini. Dia mau menyetorkan nyawaku? "Kamu jahat, kamu mau membunuhku?"

   Aku memukul-mukulkan tanganku ketubuhnya. Ia tidak menolak, tidak mengelak. Kami terus berjalan di jalan yang gelap. Aku terus marah-marah, dan ia terus membisu.

   "Maaf, maafkan aku, Kirana,"

   Suaranya yang mendalam serasa menamparku.

   Aku terdiam seketika.

   Kata-katanya seperti menyadarkanku.

   Siapa yang jahat? Apakah dia bersalah? Dia juga sama tidak tahunya dengan aku.

   Bahkan dialah yang melakukan semua ini.

   Dia adalah orang yang berusaha menyelesaikan masalah kami.

   Sementara aku Cuma bisa marah-marah tanpa alasan, kecuali...

   ketakutan! Ya, pangkal semua ini adalah aku dan kepengecutanku, bukan? "Maaf, Kirana.

   Katakana padaku, apa yang kamu mau?"

   Aku terenyak. Aku yang menyakitkan dalam nada suaranya. Mungkin ia memang merasa bersalah, tapi ia juga marah dan lelah. Dan itu karena sikapku yang kekanakan.

   "Maaf,"

   Aku berkata lirih. Nggak seharusnya aku menimpakan semua kesalahan ini padanya.

   "Bisakah kita pulang?"

   Ia melepaskan pelukannya, berjalan mengikutiku, tapi tidak berkata apa-apa.

   Masalahku, Teman-Temanku.

   Dan Lain-Lain Jumat, 16 Januari 2009 Tidak ada SMS.

   Tidak ada telepon setelah kami berpisah malam itu, meski aku menelponnya berkali-kali dan menimbuninya dengan balasan SMS.

   Esoknya kami juga tidak saling menyapa di sekolah.

   Ketika bertemu, ia pura-pura tidak melihatku atau menganggapku tidak ada.

   Nggak adil! Oke aku salah.

   Tapi seharusnya ia mengerti kalau aku ketakutan! Atau dia memang ingin aku mati? Mana simpatinya? Mana pengertiannya? Atau ia sudah lelah dengan semua ini? Memikirkan kemungkinan itu, jantungku mencelos.

   Selama ini aku melihatnya sebagai laki-laki yang bertanggung jawab, tapi aku lupa bahwa ia tetaplah seorang bocah.

   Remaja.

   Seberapa kuat ia bertahan? Ia pasti jenuh dan ingin lari.

   Tengkukku jadi dingin menyadarinya.

   Ia bisa saja lari! Ia bisa saja tidak mengakui semua ini.

   Toh tidak ada bukti kecuali aku melakukan tes DNA yang rasanya rumit dan buat apa? Mungkin juga ia tidak mencintaiku lagi.

   Pikiran itu membuat tubuhku terasa tersiram air es.

   Melihat reputasinya yang nyaris tak tercela, kurasa orang-orang bakal mempercayainya.

   Jadilah, aku yang paling tertinggal sebagai cewek jalang hina-dina.

   "Pagi, Kirana! Andra ingin mentraktir kita sepulang sekolah,"

   Kata Maria sambil meletakkan tasnya dimeja.

   "Asyiikk,"

   Aku mencoba terlihat gembira.

   "Hei, mata lo bengkak. Elo habis nangis ya?"

   Maria memandangku penuh selidik.

   "Ngg... nggak,"

   Aku mengelak.

   "Tadi malam aku begadang."

   "Yang bener?"

   Maria masih nggak percaya. Aku mengangguk mantap.

   "Yakin? Elo bisa cerita ke gue kalau elo punya masalah."

   Aku menghela nafas.

   Aku akan senang sekali menceritakan masalahku kepadanya kalau ini Cuma masalah Papa tidak mengizinkan aku nonton konser Rihana.

   Tapi masalahku tidak seremeh itu.

   Jadi maaf aja, sampai abad depan pun, aku nggak bakal cerita padanya.

   "Nggak, nggak ada apa-apa kok, cuma biasalah, nggak bisa tidur."

   Maria menatapku tak percaya, tapi sedetik kemudian ia memilih untuk tidak mendesakku.

   "Gue mau ngasih kado T-shirt ke Andra,"

   Bisiknya bersemangat. Oh, jadi karena itu Maria tidak lagi peduli dengan masalahku? "Menurut elo terlalu... romantic nggak?"

   Tanya Maria.

   "Kaus apa yang akan kamu berikan?"

   "T-shirt Damn I Love Indonesia. Warna hitam."

   Sepertinya Maria tahu betul selera berpakaian Andra. Aku jadi bertanya-tanya, sejak kapan Maria begitu memperhatikan Andra.

   "Menurutku oke sih,"

   "Dia nggak pernah merasa gue eh... punya feeling padanya kan?"

   "Bukannya lebih bagus dia tahu?"

   Maria tiba-tiba salah tingkah.

   "Gue rasa eh, belum saatnya."

   Hah, sejak kapan Maria jadi pemalu kayak gini? Mungkinkah kali ini Maria benar-benar jatuh cinta? You know, yang beneran jatuh hati, dan bukannya sekedar pengin punya cowok.

   "Gue nggak mau Andra merasa terintimidasi atau menganggap gue agresif. T-shirt nggak terlalu agresif kan?"

   Hah, benarkah Maria cemas? Capek supercuek itu? Sebersit perasaan tidak nyaman melandaku. Ini Andra yang kita bicarakan.

   "Lo sendiri mau ngasih apa?"

   Aku menggeleng lemah.

   Aku belum membeli kado apapun untuk Andra.

   Yah, bagaimana lagi? Semalam aku bertarung dengan maut, nyaris bertarung.

   Mana mungkin aku sempat memikirkan kado ulang tahun untuk temanku? Meski temanku itu Andra? Cowok yang paling akrab denganku.

   "Aku akan membelikannya komik,"

   Kataku kemudian. Tahun lalu Andra menghadiahi aku novel New Moon. Andra tahu persis keinginanku. Selalu.

   "Komik apa?"

   Kalau saja perhatianku tidak tercurah ke masalahku sendiri, tentu aku juga akan tahu komik apa yang ia inginkan. Aku mengangkat bahu.

   "Dia boleh memilih."

   "Komik ya? Harusnya gue tahu, Andra kan suka komik! Pasti deh dia lebih suka hadiah lo,"

   Maria cemberut. Ya ampun, please deh, Maria cemburu lagi? "Dia pasti suka hadiah dari kita semua. Oya, nanti jam berapa makan-makannya?"

   Tanyaku.

   "Sepulang sekolah. Pizza Hut." *** Terus terang aku tidak ingin datang ke acara ulang tahun Andra. Ada perasaan malu yang menggumpal didadaku. Entah bagaimana, aku merasa mereka semua mengetahui hal kotor yang nyaris kulakukan semalam. Aku juga enggan bertemu dengan cowok itu. Tahu kan? My Prince alias pacarku yang pengecut itu! Tapi kalau aku tidak datang, mereka semua akan bertanya-tanya dan justru semakin mencurigaiku. Aku sudah kehabisan akal untuk mengarang alasan. Ketika akhirnya kami berempat berkumpul di Pizza Hut, aku merasa sedikit lega. Kelihatannya semua baik-baik saja. Semua anggota Hi 4 tampak bahagia. Maria langsung mengambil tempat disamping Andra. Ia membawa cake kecil ditancapi lilin berbentuk angka 18. Ia justru yang lebih heboh dibanding yang ulang tahun. Ia sibuk mengatur pesanan. Ia juga sibuk mencari korek api untuk menyalakan lilin. Ia yang paling bersemangat memanggil waiter dan meminta semua orang untuk menyanyikan Happy Birthday. Padahal Andra yang berulang tahun aja tidak sengebet itu.

   "Ah, sudahlah, nggak usah pakai nyanyi segala. Norak."

   Andra menolak.

   "Tapi harus make a wish dong,"

   Maria mendesak. Ia sudah mendapatkan korek api dari salah seorang waiter dan mulai menyalakan lilin. Andra memutar bola matanya, jelas bete.

   "kenapa sih harus make a wish segala? Langsung makan aja kenapa? Gue udah laper nih!"

   Andra lagi-lagi mengelak.

   "Ya ampun, apa sih susahnya make a wish? Sayang nih kuenya kalau elo nggak make a wish,"

   Maria merajuk.

   "Ye, siapa juga yang minta elo bawa kue?"

   Andra berkata seenaknya tanpa peduli pada Maria yang sudah bersusah payah.

   "Ayolah, Ndra, berdoa dihari ulang tahunmu nggak ada salahnya kan?"

   Aku membujuk. Aku capek melihat perdebatan mereka berdua.

   "Oke,"

   Andra langsung mengalah.

   "karena elo yang minta, Na."

   Maria melirik padaku. Apakah itu lirikan sebal? Atau justru lirikan terima kasih? Lilin diatas kue sudah menyala. Andra menangkupkan tangan.

   "Kalian sudah tahu kan kalau gue pengin..."

   "Ssttt,"

   Maria memotong.

   "Elo nggak boleh mengatakannya. Nanti bisa nggak terkabul lho!"

   Andra melotot.

   "Siapa yang bilang?"

   "Ya kata orang gitu."

   Kata Maria.

   "Orang siapa?"

   Aduh, mulai lagi deh.

   "Banyak orang. Semua tahu aturannya gitu. Wish harus dirahasiakan,"

   Maria ngotot.

   "Terus kalau gue rahasiakan, harapan gue pasti terkabul gitu? Bahkan kalau gue pengin Ferarri?"

   Andra masih belum puas.

   "Ya nggak gitu sih, tapi..."

   Maria kebingungan.

   "Sudahlah, terserah kamu, Ndra,"

   Lagi-lagi aku yang terus melerai. Lagi-lagi Andra menurut.

   "Oke, gue make awish, tapi kalian juga. Mari kita make a wish bersama."

   Andra memejamkan mata. Kami mengikuti. Semoga ia nggak marah lagi padaku, harapku dalam hati. Semoga bayi didalam tubuhku ini hilang begitu saja. Oh, semoga tragedy ini Cuma mimpi.

   "Amin,"

   Andra mengumumkan.

   Kami membuka mata kembali.

   Astaga, tadi aku bahkan tidak berharap supaya aku diterima di perguruan tinggi.

   Aku yakin teman-temanku berharap diterima di perguruan tinggi pilihan mereka, kecuali mungkin Maria yang berharap Andra mau jadi pacarnya.

   Jelas harapan Maria tak bakal terkabul, bahkan bila ia merahasiakan serapat mungkin.

   "Tiup lilinnya, tiup lilinnya!"

   Maria mulai bernyanyi.

   Andra lagi-lagi melotot sebal.

   Beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami.

   Andra memang pemain band, tapi selain dipanggung, dia nggak suka jadi pusat perhatian.

   Andra cepat-cepat meniup lilin.

   Bukan karena ingin kurasa, tapi supaya Maria cepat diam.

   Setelah lilinnya padam, lagi-lagi Maria yang bertepuk tangan heboh.

   Seolah-olah Andra baru saja memenangkan Grammy Award dan bukannya meniup lilin diatas cake kecil.

   "Happy birthday to tou, happy..."

   Andra mengangkat tangan, menyuruh Maria diam. Benar-benar gerakan yang menyinggung.

   "Yuk, makan!"

   Andra mencomot pizza yang sudah terhidang.

   "Mari,"

   Chacha mengambil sepotong garlic bread.

   Hari ini Chacha tampil cantik sekali.

   Dengan rambut bergelombang yang diikat sebagian kebelakang, ia layaknya Barbie yang manis.

   Kebetulan sekali ia duduk disamping Banyu.

   Atau, sama seperti Maria, ia juga sengaja mendekati cowok yang ia taksir.

   Ups, emangnya Chacha naksir Banyu? Nggak kan? Mereka Cuma belajar bersama kan? Ku dengar mereka sudah dua atau tiga kali belajar bareng dan aku tidak mendengar apapun dari Banyu, jadi kurasa semua berjalan lancar.

   "Kirana, lo mau makan apa?"

   Alvin bertanya. Ah, aku benar-benar lega mendengarnya. Suara Alvin yang ramah langsung membuaku ceria. Aku tersenyum padanya. Alvin tetaplah Alvin yang baik hati dan selalu peduli padaku.

   "Elo mau spageti? Atau pizza?"

   Tanyanya.

   "Spageti, dikit saja,"

   Kataku.

   "Gue ambilin,"

   Kata Alvin.

   Benar-benar pria sejati! Setelah makan, tibalah saat membuka kado.

   Maria lagi-lagi paling semangat, seolah dialah yang mendapat kado-kado itu dan bukan Andra.

   Sementara aku merasa berkecil hati, aku satu-satunya orang yang tidak punya apapun untuk Andra saat ini.

   "Buka puny ague dulu!"

   Maria berseru sambil mengacung-acungkan kadonya.

   Andra memandangnya nggak nyaman, tapi tidak mendebat.

   Ia menerima kado dari Maria yang dibungkus manis, pakai pita segala.

   Saat ini aku benar-benar kasihan pada Maria.

   Ia sudah mengirim segala sinyal kepada Andra, tapi jelas Andra tidak berniat menangkap sinyal itu.

   "Wow, thanks, Maria!"

   Andra tersenyum lebar saat menerima T-shirt belel itu dari Maria.

   "Pas banget buat gue."

   Ia menempelkan T-shirt itu dibadannya.

   "Wah, elo tahu ukuran tubuh Andra, Mar,"

   Chacha mengedip menggoda.

   "Oke, next, ini dari gue dan Banyu."

   APA? Chacha dan Banyu? Mereka sudah menjadi satu item saat ini? Aku memang penasaran kado apa yang akan diberikan Banyu.

   Ia paling tidak punya diantara kami.

   Kami kadang tidak tega membebani Banyu dengan kewajiban member kado kayak gini.

   Kami juga maklum bila Banyu tidak mentraktir kami saat ulang tahun seperti anggota Hi 4 lainnya.

   Tapi entah bagaimana Banyu selalu bisa memberi kami kado yang manis, meski tidak mahal.

   Ia pernah memberiku buku harian yang cantik.

   Kotak pensil buatan sendiri untuk Chacha, dan pick gitar buat Alvin.

   "Ini,"

   Chacha menyerahkan bungkusan kado kecil buat Andra.

   "Apa ini?"

   Andra membukanya tergesa.

   "Wow, makasih banget, Chacha, Banyu. Gue memang butuh SD Card cadangan."

   Andra menimang kotak kecil yang terbungkus plastic itu.

   "Delapan giga, bisa menyimpan lebih dari 400 foto,"

   Chacha menerangkan.

   "Gue tahu! Keren. Ini benar-benar gue butuhkan. Thanks banget guys,"

   Andra bersemangat.

   Chacha tersenyum.

   Banyu juga.

   Maria agak cemberut, tapi biar saja.

   Aku memandang Chacha dan Banyu.

   Mereka serasi.

   Chacha baik banget mau membeli kado bareng Banyu.

   Aku yakin iuran Chacha lebih besar atau malah ia membayar semuanya.

   Alvin menghadiahi CD Jason Mraz yang langsung membuatnya girang.

   Ketika tiba giliranku, aku memberinya selembar amplop.

   "Selamat ulang tahun, Andra,"

   Andra membaca keras-keras surat yang terselip didalamnya.

   "Kamu berhak membeli dua buah komik yang bisa kamu pilih sendiri sebagai ungkapan persahabatan. Oh, makasih banget, Kirana."

   Andra memandangku penuh rasa terima kasih.

   "Banyak banget komik yang pengin gue beli. Yakin jatahnya cuma dua nih?"

   Andra tertawa.

   "Gue bisa beli yang mahal lho."

   "Aku tahu kamu bakal beli yang mahal, jadi Cuma ku jatah dua,"

   Sahutku.

   Tawa kembali berderai.

   Sejenak aku begiu bahagia, berada ditengah-tengah teman-teman yang menyenangkan.

   Aku bisa melupakan pengalaman traumatisku tadi malam.

   My Prince-ku juga banyak tertawa sore ini.

   Hanya saja kalau kami bertatapan, tawanya menjadi samar dan pandangan matanya mendadak muram.

   Penjahat yang Jahat Kamis, 29 Januari 2009 SUDAH seminggu sejak peristiwa "mengerikan"

   Itu, My Prince masih belum bicara padaku.

   Jahat banget kan? Pengin benar aku melabraknya disekolah.

   Memaki-makinya didepan semua orang.

   Mengatainya PENGECUT! SMS ku tidak dibalas.

   Begitu juga telepon ku.

   Bila aku menghubunginya dengan nomor lain, dia akan menjawab, tapi lalu dimatikan begitu tahu itu aku.

   JAHAT! Aku nggak ngerti kenapa dia bisa berubah secepat itu.

   Apa salahku? Oke, aku salah.

   Tapi...

   itu bukan jenis kesalahan yang menyebabkan aku harus diabaikan seperti ini kan? Pengin banget aku berteriak didepan semua orang.

   Mengatainya pengecut! Agar semua orang tahu dia yang sempurna sebenarnya punya kebusukan tersembunyi.

   Akan mengerikan menjalani semua ini sendiri, tapi aku berani.

   Lagi pula masalahku sudah cukup berat tanpa harus ditambahi debgan mengurusi cowok kekanak-kanakan kayak dia.

   Aku cuma ingin kejelasan.

   Apakah kami putus? Atau kami masih mau melanjutkan hubungan ini? Asalkan semua jelas, aku akan menjalaninya.

   Kurasa.

   Hari ini sepulang sekolah, ia dan anggota Hi 4 lainnya ngeband di studio.

   Bagiku itu menggelikan.

   Dia kayak pengin pamer bahwa dia bisa bersenang-senang meski kami sedang punya masalah besar.

   Aku menolak ikut dengan alasan harus kedokter gigi.

   Yang lain sontak membujuk-bujuk aku untuk ikut.

   Sementara ia hanya diam saja.

   Cuek abis.

   Mungkin ia malah senang aku tidak ikut.

   Ia bisa bebas dariku.

   Aku tak peduli.

   Kalau dia bisa menganggapku nggak penting, aku juga bisa menganggapnya nggak lebih dari kutu.

   Aku pulang dan belajar.

   Mengubur diriku dalam buku dan soal-soal.

   Saat belajar, aku merasa lebih baik.

   Aku bisa melupakan kebrengsekan cowok itu.

   Hebat! Malam ini aku bisa menyelesaikan berlembar-lembar soal.

   Saat aku cocokkan dengan kunci jawaban, aku lebih girang.

   Jawabanku banyak yang benar! Aku jadi lebih bersemangat.

   Akhir-akhir ini kesehatanku membaik.

   Aku tidak lagi pusing atau mual.

   Aku tidak pernah muntah lagi.

   Sebagai gantinya, aku lebih sering merasa lapar.

   Ini bahaya, karena aku tidak boleh menjadi gendut.

   Nanti orang-orang akan curiga.

   Aku juga tidak mau bayi ini tumbuh.

   Kadang aku berfikir, bisakah aku berhenti makan hingga bayi ini mati tapi aku tetap hidup? Pikiranku buyar saat HP dimeja belajarku berbunyi.

   Maria.

   "Hai, Mar."

   "Hai, Kirana. Tadi latihannya seru lho..."

   Aku mendengus. Maria menelponku kapan pun ia pengin ngobrol, nggak peduli obrolan itu penting atau nggak buatku.

   "Elo sih, nggak datang. Ada kejadian menarik lho..."

   Katanya mencoba memancing.

   "Oya? Apa?"

   Delapan puluh persen kejadian yang diklaim menarik oleh Maria tidak menarik minatku sama sekali, contohnya sale Hush Puppies.

   "Hm, tau nggak, Chacha minta diajarin main drum sama Banyu."

   Tuuuh kan, menariknya dimana coba? Aku juga pernah diajarin ngedrum oleh Banyu dan diajarin main gitar oleh Alvin. Dipaksa main bas sama Andra. Biasa aja deh.

   "Gila deh dua orang itu,"

   Maria berceloteh dengan semangat.

   "Gilanya di mana?"

   "Masa sih elo nggak merhatiin? Kentara banget, lagi. Mereka lengket gitu lho akhir-akhir ini."

   "Mereka kan belajar bareng, jadi wajarlah kalau dekat."

   Aku tahu Banyu bahkan dibayar untuk mengajari Chacha, jadi semua murni professional.

   Bisa jadi pelajaran drum ini juga nggak gratis.

   Cuma aku nggak mungkin mengatakan itu pada Maria.

   Banyu minta aku merahasiakannya.

   Hhh, aku sudah capek dengan rahasia.

   "Ah, itukan cuma alasan Chacha biar bisa pedekate sama Banyu. Gue tau kok dari caranya memandang Banyu, caranya ngomong sama Banyu. Lenjeh abis. Taruhan deh, Chacha pasti naksir Banyu!"

   Maria yakin sekali.

   Dadaku berdesir mendengarnya.

   Dugaan itu pernah terlintas dalam pikiranku, tapi aku menepisnya.

   Aku percaya pada Banyu.

   Tapi mendengar pernyataan Maria, keraguanku mulai timbul.

   Aku merasa tidak nyaman.

   Aneh, kenapa aku harus merasa tidak nyaman? Banyu dan Chacha berhak saling menyukaikan? "Coba kamu liat gayanya waktu minta diajarin main drum.

   Wuih kedoknya aja minta diajarin main drum, padahal sebenarnya cuma pengin duduk nempel-nempel.

   Dipeluk dari belakang.

   Tangannya dipegang."

   Aku kehilangan kata.

   Gambaran itu tercetak jelas dalam pikiranku.

   Punggung Chacha yang menempel di dada Banyu.

   Jemari Banyu yang menggenggam pergelangan tangan Chacha.

   Mungkin Banyu dengan leluasa juga bisa menikmati tungkai Chacha.

   Taruhan, Chacha pasti pakai hot pants, pakaian kebesarannya.

   "Tapi nggak papa deh kalau mereka pacaran. Baguslah. Toh kita hamper lulus juga. Perjanjian itu nggak berguna lagi,"

   Lanjut Maria.

   "Ye, kamu bilang gitu karena kamu sendiri naksir Andra kan?"

   Aku nggak tahan lagi. Maria bisa benar-benar manipulative.

   "Alah, nggak usah sok suci deh lo. Kayak elo nggak naksir Alvin aja."

   Dadaku berdesir lagi. Dan tuduhan Maria itu... menusuk sekali. Bukan tuduhan soal Alvin, tapi tuduhan sok suci. Maria benar, aku memang sok suci.

   "Bukankah itu bagus? Gue sama Andra, elo sama Alvin, dan Chacha sama Banyu. Three hottest dates of the year."

   Bleh.

   "Ngomong-ngomong soal Andra,"

   Maria berkata pelan setelah diam sejenak.

   "Sabtu besok kami nge-date."

   "KENCAN? KAMU DAN ANDRA?"

   Aku nggak bisa menyembunyikan kekagetanku.

   "Yang bener?"

   Ini nggak mungkin.

   Andra nggak mungkin naksir Maria.

   Beberapa hari yang lalu mereka masih bertengkar.

   Andra kelihatan banget nggak suka sama Maria.

   Kenapa kini mereka justru akan berkencan? Apakah manusia bisa berubah begitu cepat? Nyatanya bisa.

   Seperti pangeran brengsek yang bisa berubah jadi iblis dalam sekejab itu.

   "Iya. Andra ngajak gue."

   "Kencan kayak apa?"

   Desisku. Makan bareng? Ke toko buku? Aku tahu betul Andra suka pergi ke toko buku. Andra bisa ngajak siapapun ke toko buku, bahkan neneknya. Jadi, pergi ketoko buku bareng bukanlah definisi kencan versi Andra.

   "Dia ngajak gue ketoko buku. Memanfaatkan voucher dari elo tempo hari."

   Tuuuhh kan, bener. Ya ampun, mudah-mudahan Maria nggak ke GR-an.

   "Terus setelah itu kami akan nonton."

   Nonton? Ini diluar kebiasaan.

   "Sama siapa?"

   Tanyaku kelu.

   "Kami berdua aja. Eh, elo mau ikut? Elo bisa bareng Alvin. Kita double date."

   Mana mungkin aku ikut? Mana mungkin aku sanggup menyaksikan mereka kencan? Ciuman itu...

   Biasa? Selasa, 3 Februari 2009 AKU masih sulit mempercayai bahwa Andra kencan dengan Maria.

   Tapi kurasa aku harus percaya.

   Kencan Maria dan Andra tidak berhenti sampai nonton film saja.

   Hari Minggu mereka datang berdua saat kami ikut try out UN di Senayan, seperti mengumumkan status mereka kepada seluruh pelajar DKI.

   Hari Senin kemarin Andra mengantar Maria pulang dengan motornya.

   Pemandangan itu begitu menggangguku.

   Mereka seolah mau pamer keseluruh dunia.

   Tapi memamerkan apa? Siang ini aku dan Maria duduk-duduk dibangku taman sekolah menunggu jam les.

   Aku berusaha mengerjakan beberapa soal modul.

   Tapi aku nggak bisa konsentrasi karena Maria terus dan terus bicara.

   Tentang Andra, Andra, dan Andra lagi.

   "Andra bla bla bla... terus dia bla bla... bla... bla... rasanya bla... bla... bla dan ciumannya oke banget."

   APA! Serta-merta aku menjatuhkan pensilku. Mereka ciuman? Tunggu, Andra mencium Maria atau Maria mencium Andra? "Ciuman di mana?"

   Tanyaku dengan jantung berdebar.

   "Di bibir."

   Ya ampun.

   "Maksudku... di mana... lokasi... tempat kalian...,"

   Kata ku terbata-bata.

   "Oh,"

   Maria tersipu sejenak, lalu semangat lagi.

   "diruang ganti Centro."

   HA? "Gue pura-pura mau beli baju. Terus pura-pura nyobain di kamar pas. Terus Andra ikut masuk dan kami..."

   Oke! Stop! Aku tidak mau dengar terlalu jauh.

   "Kamu pura-pura aja, kan? Maksudku pura-pura mencoba baju?"

   "Hahaha, penginnya sih mencoba baju beneran, biar Andra bisa liat."

   "Maria!"

   Aku menegurnya keras. Bisa-bisanya Maria berpikir sejorok itu.

   "Ah, memangnya kenapa sih? Cuma buka baju. Pengin aja godain Andra. Dia pernah liat gue renang juga. Ingat kan, pas kita renang dirumah Alvin?"

   Itu beda! Itu kan dikolam renang! Maria memang pakai bikini waktu itu. Tapi bikini kan bukan bra. Yeah, yang benar saja. Cuma pengin godain Andra, katanya. Aku meragukannya. Pastilah Maria yang menginginkannya. Dia tipe cewek penggoda.

   "Tanpa begitu pun, Andra pasti mau mencium kamu kan?"

   Sidirku tajam. Ada kepahitan yang kurasakan. Ini nggak benar. Ini nggak mungkin. Pipi Maria bersemu merah. Bukan karena malu kurasa, tapi karena bergairah.

   "Hehe, ciumannya hot. Lebih hot daripada mantan-mantan gue."

   Ha? "Sehebat itukah?"

   Tanyaku gemetar.

   Maria mengangguk bersemangat.

   Ciuman dengan coeok bukan sesuatu yang baru bagi Maria.

   Entah bibir siapa saja yang telah menempel dibibirnya, menular segala macam bakteri dan penyakit.

   Herannya, Maria tampak biasa-biasa saja.

   Aku membayangkan ciuman-ciumanku dengan My Prince.

   Nggak munafik, aku menikmatinya, meski awalnya aku merasa jijik.

   Mula-mula sih kami melakukannya karena penasaran, setidaknya AKU penasaran.

   Ya sih, tetap menjijikkan.

   Terlalu basah, terlalu lengket.

   Dan yang ku bayangkan adalah penyakit hepatitis yang bisa menular lewat air ludah.

   Ciuman jadi menyenangkan akhirnya, setelah aku terbiasa.

   Tapi, setelah beberapa kali jadi nggak istimewa.

   Tetap saja aku tidak bisa membayangkan berciuman dengan banyak cowok.

   Seperti Maria.

   "Gimana ya kalau dia menciumku dibagian lain?"

   Kata Maria sambil mengedip dan jantungku seakan mencelos.

   "Maria!"

   Kali ini justru wajahku yang memerah.

   Ya, aku sudah berbuat yang lebih gila dari Maria.

   Astaga, aku bahkan sudah melakukan "itu", chapter paling akhir hubungan fisik.

   Tapi mendengar detail ciuman orang lain, sama sekali berbeda.

   Kedengerannya menjijikkan banget dan membuat kupingku panas.

   Aku nggak pengin mendengar "bagian lain"

   Yang dimaksud Maria. Jelas yang dimaksud Maria bukan pipi atau kening. Lagi pula ini Andra. Andra yang kami bicarakan! Andra teman kami! "Ya ampun, elo tuh kolot banget sih? Elo nggak pernah ciuman dengan pacar-pacar lo dulu?"

   Pacar-pacar? Memangnya aku kayak Paris Hilton gitu? Yang bisa ganti pacar tiap kali mode berganti? Aku bingung. Apakah aku harus bilang "nggak pernah"

   Yang berarti mengakui kecupuanku, atau "pernah"

   Yang menunjukkan aku sama jalangnya dengan Maria.

   "Ya, sium biasa aja,"

   Akhirnya aku menjawab.

   "di pipi."

   Mengatakan hal itu pun sudah membuat wajahku terbakar. Malu dank arena muak dengan kebohonganku sendiri.

   "Hihihi, beneran deh elo lugu banget. Sekali-sekali elo mesti rasain deh. Cobain dulu, sama Alvin, misalnya."

   Astaga! Kali ini wajahku pasti sudah gosong kepanasan. Aku menunduk dan ini membuat Maria makin ngakak.

   "Nggak ah!"

   Aku spontan berseru. Lebih keras daripada yang kuniatkan. Hingga anak-anak yang sedang berlalu-lalang didepan kami menoleh.

   "Siapa yang mau ciuman sama dia?"

   Aku mati-matian menolak ide gila Maria.

   "Apa salahnya? Alvin kan cakep."

   "Dia cakep dan dia teman kita!"

   "Terus apa salahnya? Teman juga bisa berciuman kan? Gue dan Andra juga... teman."

   Kalimat Maria membuatku tersentak.

   "Kalian... nggak... pacaran?"

   Ini aku yang aneh atau dunia di sekelilingku yang gila? Maria menggeleng lemah.

   "Nggak. Andra nggak pernah bilang apa-apa. Maksud gue seperti I love you atau Maukah kamu jadi pacarku. Tapi... whatever lah. Gue juga nggak peduli. Hubungan tanpa status sekarang lagi ngetren kan?"

   "Tapi kalian sudah kencan dan ciuman dan... kurasa itu berarti kalian pacaran."

   "Nggak tahu lah. Gue pikir begitu, tapi gue nggak tahu apa yang dipikirkan Andra. Dia... nggak kayak... pacar,"

   Kata Maria sambil menerawang.

   "Nggak kayak pacar?"

   Ganti aku yang heran.

   Mereka nonton berdua, pulang bersama, berciuman, dan sebagainya.

   Kalau itu nggak kayak pacar, terus yang kayak pacar itu seperti apa? "You know, nggak ada SMS remeh atau hadiah kecil.

   Kartu romantis.

   Kami jalan bareng, terus...

   udah.

   Jalan lagi, udah lagi."

   Ini semakin aneh.

   "Mungkin Andra cuma segan. Dia kan memang bukan tipe romantis,"

   Kataku, merasa wajib menghibur Maria. Nggak tahu deh aku malah kasihan padanya.

   "Andra mau kencan denganmu, berarti dia tertarik padamu. Tapi kamu tahu kan, cowok suka susah mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata."

   "Begitu ya? Cowok-cowok gue yang dulu nggak segitunya. Yang paling cuek dan nggak romantic pun minimal kirim SMS."

   Yeah, aku lupa aku bicara dengan Maria. The Master of pacaran! "Mar..."

   "Ya."

   "Apakah kalian nggak terlalu... cepat?"

   Aku mengalihkan topik pembicaraan.

   "Maksud lo?"

   Maria memandangku tak mengerti.

   "Kamu dan Andra. Kalian kan baru deket beberapa hari saja?"

   Aku pernah mendengar, tapi aku lupa dari siapa. Mungkin dari Mama atau dari salah satu tanteku. Jangan berikan "semuanya"

   Kepada pria. Taukan arti "semua yang kita miliki"? bila sudah mendapatkan "semuanya", laki-laki tidak akan penasaran lagi dan akan pergi. Bahkan ketika mereka bersumpah akan setia bila mendapatkan "semuanya"

   Itu tadi.

   Itu semua cuma trik laki-laki, supaya lita menyerahkan "semua yang kita miliki".

   Mereka akan mengobral janji, melontarkan segala bujuk rayu, omong kosong.

   Tapi kenyataannya...

   begitu mendapatkan yang mereka inginkan, kita akan ditinggal, dibuang.

   Alasan bisa dibuat.

   Tapi alasan yang sebenarnya, itu tadi, mereka sudah mendapatkan "semuanya"! Kini aku percaya itu benar.

   Aku sudah mengalaminya.

   Well, si brengsek (aku tak sudi menyebutnya My Prince lagi.

   Kini dia tidak lebih dari sekedar cowok bejat!) sudah mengabaikan aku bukan? Saat aku sudah menyerahkan segalanya.

   Aku nggak beda dari ampas jus, yang dibuang ketika semua sariku sudah terisap! Memang dia tidak membujuk rayu atau bagaimana.

   Tidak ada tipu muslihat, paksaan, atau obat bius (andai saja begitu).

   Tapi akhirnya tetap saja.

   aku terbuang! "Hm...

   nggak tahu deh, terlalu cepat atau nggak.

   Memang ada ukurannya? Gue rasa sih semua alami saja,"

   Ujar Maria. HAH! ALAMI SAJA? Itu juga yang aku rasakan! Semua terasa normal dan oke. Tapi nggak! Nggak ada yang alami! "Elo pernah enggak sih penasaran seks itu rasanya kayak apa?"

   APA? Rasanya aku mau pingsan mendengar pertanyaan Maria. Kata itu aku dengar di TV, aku baca di majalah dan internet, tapi tidak sanggup aku ucapkan. S.e.k.s. rasanya terlalu vulgar dan jorok.

   "Ng... nggak sih."

   Aku nggak pernah penasaran lagi maksudku.

   "Masa sih? Kalau baca-baca dan liat film, kayaknya seks itu hebat banget."

   "Hebat apanya?"

   Cibirku.

   "Maria, nggak semuanya yang ditulis dan difilmkan itu nyata. Mereka itu melebih-lebihkan!"

   "Kayak elo tau aja,"

   Maria membalas mencibirku.

   "Ciuman aja elo belum pernah."

   Aku terdiam.

   Bagaimana aku bisa mengatakan pada Maria bahwa aku MEMANG TAHU? Aku memang tahu bahwa manusia terlalu berlebihan memuja seks? Ya, itu menyenangkan.

   Tapi nggak sedasyat itu! Bahkan rasanya...

   agak menyakitkan dan menjijikkan.

   Dan setelahnya membuatku ketakutan dan merasa kotor.

   "Kalau ciuman aja dasyat banget... apalagi seks!"

   Maria menggunakan kata itu lagi! Kok dia tidak risi ya? "Udahlah, Mar!"

   Tukasku.

   "Kamu nggak benar-benar berfikir akan melakukannya kan?"

   Maria cuma mengedikkan bahu.

   "Nggak tahu. Kalau harus menunggu menikah, bukannya itu masih terlalu lama? Itu pun kalau kita menikah. Kalau nggak?"

   Aku kehilangan kata-kata.

   Yang mengherankan adalah aku tidak berniat menghalangi Maria.

   Aku justru ingin dia melakukan "semuanya".

   Jahat memang.

   Dan itu membuatku ngeri.

   Tapi aku tidak ingin menjadi satu-satunya pezina disini.

   Bila Maria "melakukannya", aku akan punya sekutu sesame pendosa.

   Apalagi bila dia juga...

   hamil! Aku jahat, jahat sekali.

   Tapi aku tidak bisa mengingkari perasaanku sendiri.

   Antara Perasaan dan Janji SORE ini kami berenam berkumpul di tepi lapangan basket sekolah.

   Alvin yang mengusulkan pertemuan ini.

   Menurutnya sudah saatnya Hi 4 membicarakan perkara serius ini.

   Kami semua sudah tahu apa yang dimaksud Alvin dengan perkara serius.

   hubungan Andra dengan Maria.

   Lepas dari mereka pacaran resmi atau tidak, anggota Hi 4 menganggap mereka pacaran.

   Titik.

   Dan itu artinya mereka melanggar kesepakatan.

   Bagi kami tidak ada istilah Teman Tapi Mesra.

   Pilihannya.

   pacaran atau temenan.

   Itu aja.

   "Perasaan kamu deh yang paling semangat waktu bikin perjanjian itu,"

   Alvin menuding Andra.

   "Nggak usah lebai deh, undang-undang aja bisa direvisi,"

   Maria membela Andra.

   "Lagian kita juga udah hamper lulus."

   "Jadi maksudmu, sebaiknya peraturan itu dibatalkan?"

   Bany bertanya dengan tenang, seperti biasa.

   "Ya kalau semua setuju. Lagi pula itu peraturan konyol, kan? Mana mungkin kita ngatur perasaan?"

   Maria berapi-api. Alvin menghela napas.

   "Dulu kita bikin perjanjian itu supaya Hi 4 nggak dicampuri tetek-bengek urusan pacaran. Pas waktunya latihan, malah pacaran, misalnya. Repot lagi kalau yang lagi pacaran bertengkar, semua anggota kecipratan getahnya kan?"

   "Sekarang kita bahkan nggak pernah ngeband."

   Maria lagi-lagi nyolot. Ia benar, sejak kami naik kelas 12, otomatis semua kegiatan "nggak penting"

   Kami kurangi, termasuk ngeband. Terhitung sejak naik kelas, kami tidak pernah pantas sama sekali.

   "Bukan berarti kita bakal berhenti sama sekali, kan? Bisa aja kan setelah lulus kita main lagi? Kenapa nggak? Bukankah itu keinginan kita? Nggak sekedar jadi band SMA? Kita pengin rekaman dan bikin album."

   Alvin mengingatkan kami akan semua mimpi yang pernah kami khayalkan. Aku ingat betapa manisnya kala itu. Aku akan menjadi manajer mereka. Dan Chacha yang bergabung belakangan langsung berkhayal akan jadi produser album Hi 4.

   "Yeah, kayak elo nggak bakal ke Sydney aja,"

   Andra menyerang Alvin. Alvin salah tingkah.

   "Itu baru rencana, oke? Dan kalau itu benar, Hi 4 bisa tetap berjalan tanpa gue kan? Kalian bisa cari pengganti."

   Terus terang aku mengagumi Alvin saat ini. Dia bijaksana banget.

   "Hm, oke. Gampang kok cari pengganti lo. Kirana, Chacha, kalian berdua bisa main gitar kan?"

   Andra berujar sinis. Wajah Alvin menggelap. Kami jadi resah.

   "Gini aja deh, perjanjian itu kan dibuat berdasarkan kesepakatan,"

   Banyu menengahi.

   "kalau mau dibatalkan juga harus berdasarkan kesepakatan. Nah, pertanyaannya, kita sepakat nggak nih?"

   Kami semua berpandangan, menebak-nebak apa yang dipikirkan masing-masing.

   Kalau kami sepakat membatalkan aturan itu, rasanya kami semua jadi pecundang yang nggak mampu menaati peraturan yang kami buat sendiri.

   Beberapa saat tidak ada yang bersuara sampai kemudian Chacha bicara.

   "Gue nggak pengin kita bertengkar gara-gara masalah ini. Tinggal sebentar lagi kita bareng-bareng di SMA."

   Benar juga. Kenapa harus rebut-ribut di saat seperti ini? "Nggak usah munafik deh lo berdua,"

   Tiba-tiba Maria nyolot lagi. Chacha memucat, tapi matanya melotot.

   "Apa maksudnya tuh?"

   "Memangnya elo sama Banyu ngapain aja?"

   "Hah? Apa sih maksud lo?"

   Chacha berdiri, menentang Maria. Banyu langsung berdiri, menenangkannya.

   "Kami berteman. Itu saja."

   Hanya kalimat itu yang butuh diucapkan Banyu dan Maria langsung tertunduk. Kelegaan aneh menyiramku. Tidak ada yang istimewa di antara mereka. Sepintas kulihat Chacha dan apakah benar aku melihat ada kekecewaan dan kesedihan di sana.

   "Jangan membuat gossip nggak mutu,"

   Lanjut Banyu.

   "Kami hanya berteman, seperti aku berteman denganmu, dengan kalian semua."

   Maria membuang muka, tidak menyahut.

   "Chacha benar,"

   Kata Andra di sela ketegangan.

   "Tinggal sebentar lagi, jadi kenapa mesti diributkan? Toh gue juga nggak yakin Hi 4 bisa bertahan."

   "Maksudmu?"

   Aku tak mengerti.

   "Gue berencana kuliah di Jogja."

   Hah? "APA?"

   Sontak Maria berteriak. Andra memalingkan muka acuh tak acuh.

   "Kok elo nggak bilang sih?"

   Protes Maria. Aku melihatnya sebagai protes cewek pada cowoknya.

   "Ini gue bilang."

   Yeah, didepan semua orang dan membuat Maria tampak konyol.

   "Tapi lo bilang lo akan kuliah di IKJ!"

   "Gue berubah pikiran. Boleh kan? Lagian apa urusan lo kalau gue mau kuliah di Jogja?"

   Sahut Andra cuek.

   "Elo jahat!"

   Tiba-tiba Maria beranjak. Mukanya merah padam. Ia berbalik dan berlari meninggalkan kami. Aku terpana, tapi langsung bangkit untuk mengejar Maria. Aku masih sempat mendengar Alvin berujar.

   "Tuh kan, jadi rumit kalau ada yang pacaran!"

   Lalu aku mendengar Andra menyahut.

   "Siapa yang pacaran?" *** Aku mengejar Maria sampai belakang aula. Maria tidak begitu cepat berlari. Malah kesannya melambat-lambat, meski ia mengentakkan kakinya keras-keras. Mungkin ia ingin Andra mengejarnya.

   "Mar, tunggu! Please,"

   Aku meraih tangannya. Seperti sudah kuduga, ia menyentakkannya dan terus berlari.

   "Maria!"

   Akhirnya dia berhenti setelah aku berhasil menahan bahunya.

   Kupeluk dia dan kulihat air mata sudah menggenangi matanya.

   Aku menuntunnya kedalam aula.

   Ada ruang kosong di belakang layar panggung.

   Mulanya Maria menolak, tapi akhirnya ia menurut sambil terisak-isak.

   Kami duduk berdua di tangga panggung.

   Aku biarkan dia mengatasi tangisnya.

   Aku biarkan hingga napasnya tak tersengal-sengal lagi.

   "Kamu marah karena Andra akan kuliah di Jogja?"

   Tanyaku setelah isaknya reda.

   "Nggak!"

   "Terus?"

   "Gue cuma nggak suka dia nggak bilang ke gue. Memangnya selama ini kami ngapain? Aku ini siapa?"

   Aku menghela napas.

   Bagaimana aku harus menjelaskan bahwa Andra sama sekali tidak menganggap Maria pacarnya? Aku juga marah pada Andra.

   Tidak seharusnya dia mempermainkan Maria.

   Ya ampun, mereka bahkan nonton berdua, pulang sekolah bersama, dan astaga, mereka sudah berciuman! "Dia sama sekali nggak menghargai gue,"

   Keluhnya. Aku mengangguk, membenarkannya sekali ini.

   "Dia memang cowok brengsek, Andra itu,"

   Bisikku.

   Semua cowok memang brengsek.

   Beruntunglah Maria.

   Paling nggak dia tidak hamil.

   Malamnya Malam itu hujan turun deras.

   Aku mencium aroma khas tanah basah dan menghirup udara dalam-dalam.

   Sudah Februari.

   Alangkah cepatnya waktu berlari.

   Dan semua justru tambah kacau.

   Aku dan cowok itu masih belum berkomunikasi.

   Aku nggak mau menghubunginya.

   Aku nggak mau mengemis-ngemis dan menjatuhkan harga diriku.

   Maria memusuhi Andra.

   Alvin akan ke Australia dan Andra akan ke Jogja.

   Banyu dan Chacha tidak ku mengerti.

   Aku dan cowokku tidak saling bicara.

   Apakah ada hal baik yang masih tersisa? Kamis, lupa tanggal berapa Huh, semuanya berjalan muram dan membosankan akhir-akhir ini.

   Hingga malam itu aku merasakan sesuatu.

   Aku sedang belajar, lalu perutku seperti ditonjok dari dalam.

   Tapi nggak sakit.

   Oh! Ya Tuhan.

   Apakah...

   ia bergerak? Tubuhku kontan membeku.

   Rasanya ada bongkahan es yang mengunci seluruh tubuhku seketika.

   Aku menunggu adanya gerakan lagi.

   Lama, tapi nggak ada apa-apa.

   Lalu, ada lagi, lebih halus kali ini.

   Kuletakkan pensilku.

   Untuk pertama kali aku mengakui kenyataan bahwa memang ada makhluk lain dalam tubuhku.

   My Prince! (Mereka Tidak Tahu) Sabtu, 7 Februari 2009 SABTU adalah hari yang menyenangkan.

   Kami hanya belajar sampai jam setengah sebelas.

   Anak-anak kelas 10 dan 11 libur atau hanya datang buat ekskul.

   Kelas 12 harus mengikuti kelas tambahan persiapan UN dan ujian masuk perguruan tinggi yang membuat bete.

   Tapi toh tidak mengubah perasaanku terhadap hari Sabtu.

   Aku lebih mudah berbahagia pada hari Sabtu.

   Kecuali Sabtu ini karena hari Sabtu ini Hi 4 berakhir.

   Kami mengadakan pertemuan lagi setelah pelajaran tambahan selesai.

   Minus Maria.

   Ia tidak masuk hari ini.

   Kepada guru ia bilang ia mengurus pendaftaran di sekolah fashion design.

   Kepadaku ia mengaku tidak mau bertemu Andra.

   Keputusan pertemuan ini adalah Hi 4 resmi membubarkan diri.

   Mengagetkan dan menyedihkan.

   Tapi itulah keputusan kami.

   Bagaimana lagi, kata Andra, kami akan berpisah dan terpencarpencar setelah lulus.

   Alvin tampak keberatan, tapi kemudian dia berkata berkata toh Hi 4 dulu dibentuk sebagai band sekolah.

   Jadi ketika sekolahnya bubar, wajar saja bila Hi 4 ikut bubar.

   Banyu masih sama dengan sebelumnya, berpendapat bahwa band ini, seperti larangan pacaran, dibuat berdasarkan kesepakatan.

   Kalau kini kami semua sepakat bubar ya sudah, tidak masalah.

   Bukan berarti kami tidak bisa ngeband bareng lagi.

   Teetap bisa kok.

   Tapi tidak dibawah bendera Hi 4.

   Tidak ada kewajiban lagi.

   Tidak ada aturan buat latihan bareng.

   Tidak ada iuran rutin atau larangan pacaran.

   Kalau ada anggota yang mau bergabung dengan band lain, silahkan saja.

   Aku menelpon Maria saat itu juga, dan tanggapannya adalah "Terserah."

   Kami anggap dia setuju.

   Aku sebenarnya tidak setuju.

   Tapi aku cuma manajer.

   Manajer band tidak berguna bila bandnya saja tidak eksis.

   Kalau mereka sudah sepakat membubarkan diri, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

   Hidup ini ironis ya.

   Saat akhirnya aturan tidak boleh pacaran itu terhapus, hubunganku dengan cowok itu justru nggak jelas dan Maria bermusuhan dengan Andra.

   Meski tidak tampak, aku yakin bubarnya Hi 4 membawa kesedihan bagi kami semua.

   Selama ini kami disatukan oleh band itu.

   Sekarang setelah band itu bubar, persahabatan kami seakan ikut lenyap juga.

   Alvin bilang tidak begitu.

   Kami akan terus bersahabat.

   Meski Hi 4 tidak ada, Andra, Alvin, Banyu, Maria, Kirana, dan Chacha tetap ada kan? Percuma.

   Kata-kata Alvin tidak sanggup menghiburku.

   Setelah pertemuan berakhir.

   Alvin mendekatiku dan berbisik.

   "Hei, rileks, ujian tinggal tiga bulan lagi. Lebih baik kita konsen ke situ. Elo pengin mengungguli nilai gue kan?"

   Aku tersenyum. Alvin juga sedih saat ini, aku tahu. Tapi dia berusaha menghiburku.

   "Thanks, Vin."

   Dia memang cowok yang paling baik. Tentu saja, di luar itu, kesedihanku lebih berat daripada kesedihan mereka semua. Mereka cuma kehilangan "band"

   Kan? Bukannya kehilangan seluruh masa depan.

   Mereka juga tidak ditelantarkan oleh orang yang mereka sayangi kan? Setelah kami bubar, aku bingung.

   Bila kami berkumpul, cowok "itu", mendadak jadi baik dan perhatian.

   Di depan semua orang, ia bersikap manis padaku.

   Tapi dibelakang itu, ia berubah 180 derajat.

   Sikapnya asing dan ganjil.

   Bertatapan denganku saja dia tidak mau.

   Serius, komunikasi kami benar-benar buntu.

   Kamis, 12 Februari 2009 Aku benci hari Kamis.

   Kamis benar-benar membuatku malas bangun dan melangkah ke sekolah.

   Mau tau alasanku? Ada pelajarn olahraga di hari Kamis.

   Bukan, bukan aku benci olahraga.

   Olahraga adalah kegemaranku.

   Di sekolah, olahraga adalah salah satu pelajaran favoritku.

   Dulu.

   Sebelum ada "ini"

   Didalam tubuhku. Setelah "dia"

   Ada dalam tubuhku, aku berusaha sebanyak mungkin membolos pelajaran olahraga.

   Tubuhku bersikap aneh.

   Ia menolak diajak olahraga.

   Rasanya terlalu capek.

   Sekarang tambah masalah lagi, tubuhku bermusuhan dengan kaus olahraga.

   Ketika melihat dicermin pagi ini, aku mendadak shock dan ketakutan.

   Kaus itu ketat dibagian perut! Tentu saja, seharusnya aku tahu ini akan terjadi, tapi aku tetap tak bisa percaya.

   Ini musibah.

   Seberapapun aku berusaha mengempiskannya, perut itu tetap tak mau rata.

   Aku terpaksa memegangi kaus supaya tidak menempel ditubuhku.

   Oh! Sepertinya lebih baik aku membolos saja.

   Tapi apa alasannya? Minggu lalu aku bilang aku lagi mens, masa sekarang mens lagi? Beberapa minggu lalu, aku bilang aku sakit.

   Masa sekarang sakit lagi? Bisa-bisa Bu Welas, guru olahragaku, curiga.

   Uf, kok aku jadi iri pada Jeni yang baru saja jatuh dari motor dan kakinya digips? Ia boleh tidak mengikuti pelajaran olahraga sebulan lebih.

   Susahnya lagi aku adalah anak rajin.

   Aku merasa berdosa besar bila membolos.

   Beda banget deh dengan Maria yang menganggap membolos adalah hak asasi.

   Jadi aku paksakan juga masuk lapangan pagi itu.

   Bila ada orang yang memperhatikan perutku, yah...

   semoga mereka Cuma menganggap aku tambah gemuk.

   Come on, perut Nayla bahkan lebih besar daripada perutku! "Hari ini pelajaran olahraga terakhir untuk kalian!"

   Bu Welas mengumumkan begitu semua cewek sudah masuk lapangan. Disekolahku cewek dan cowok berolahraga secara terpisah. Asyiiikk!!! Semua bersorak. Sorakanku memang bukan yang paling keras, tapi jelas akulah yang paling bahasia atas pengumuman ini.

   "Mulai minggu depan, jam olahraga akan diganti try out."

   Yes! Bagiku try out jelas jauh lebih menyenangkan, meski Maria mengeluh.

   "Yah, try out. Mending sit up seratus kali."

   "Tapi ingat, bulan depan ujian akhir olahraga. Nggak usah cemas, gampang kok. Selama kalian bisa lari dan melempar bola, kalian pasti lulus."

   Bu Welas tersenyum.

   Aku merasa lebih enteng.

   Pagi itu kami bermain basket.

   Kelompokku mendapatkan giliran kedua.

   Wow, rasanya aku jadi bersemangat.

   Sejenak aku lupa keadaan tubuhku.

   Yang aku inginkan hanyalah berlari, melompat, melempar bola.

   Aku tidak pernah merasa sesehat ini.

   Tapi aku keliru.

   Di tengah pertandingan, mendadak aku merasakan sesuatu yang aneh.

   Aku mendadak sangat letih.

   Tiba-tiba aku merasa susah bernafas.

   Aku berdiri mematung.

   Jangan, jangan pingsan.

   Pandanganku berkunang-kunang.

   Dan sebelum aku sadari, aku terkulai.

   Setelah itu "Kirana...

   Kirana..."

   Sayup-sayup aku mendengar namaku dipanggil. Aku membuka mata. Semuanya terlihat kabur dan berputar. Oh, aku pusing sekali. Begitu aku mencoba bangkit, rasa pusing itu kembali menyerang. Seolah bumi yang aku pijak berputar puluhan kali lebih cepat.

   "Kirana kamu baik-baik saja?"

   Itu suara Bu Welas. Ia menepuk-nepuk pipiku. Aku mengangguk.

   "kamu bisa dengar Ibu?"

   Aku mengangguk lagi.

   "Kamu harus ke dokter."

   Apa? Dokter? Nggak akan! "Biar saya antar dia ke dokter, Bu."

   Suara cowok! Suaranya! Itu suara My Prince. Pangeranku. Samar-samar kulihat ia berdiri dibelakang Bu Welas.

   "Yakin?"

   Bu Welas bertanya padanya.

   "Iya, saya dulu pernah ngantar Kirana waktu dia sakit. Saya tahu dokternya."

   Suara itu kembali terdengar. Bagaimana ia bisa sampai kemari? Samar-samar aku juga melihat Maria dan beberapa anak cewek lain.

   "Saya sudah memanggil taksi,"

   Lanjutnya. Akhirnya Bu Welas mengizinkan. Aku dituntun keluar oleh Maria dan My Prince. Seseorang memberiku botol air mineral dan jaket. Lalu aku mendengar cowok itu berkata pada Maria, setengah ngotot.

   "Udah, Mar. Biar aku aja. Sungguh. Iya nggak papa. Nanti aku telepon."

   Beberapa saat kemudian ku dengar pintu taksi ditutup dan cowok itu berkata.

   "Ke belakang sekolah ini, Pak, muter aja jalan itu."

   Ketika taksi sudah berjalan, ia membukakan botol air yang ku pegang dan menyuruhku minum.

   Aku menurut.

   Rasanya aneh.

   Sudah berhari-hari kami tak saling bicara.

   Dan sekarang ia memutuskan untuk muncul menjadi penyelamatku? Kalau aku tidak lemah, aku akan menanyainya banyak hal.

   "Kamu nggak ingin ke dokter kan?"

   Aku mendengarnya bertanya. Aku menggeleng, masih dengan mata terpejam. Ia tahu apa yang ku inginkan. Hanya lima menit, kami sudah sampai di kos. Ia menuntunku menuju kamar. Aneh sekali berada di kos ini Kamis pagi. Kos benar-benar sepi.

   "Nanti barang-barangmu aku antarkan, sepulang sekolah."

   Aku mengangguk.

   "Thanks."

   Aku ingin bertanya tentang banyak hal, tapi disaat yang sama aku tak ingin bicara padanya.

   "Kok kamu tahu aku pingsan?"

   Akhirnya itu yang kutanyakan, bukan "Kenapa kamu mengabaikanku berhari-hari?"

   "Kebetulan lewat. Dari lab fisika."

   Kebetulan. Cuma kebetulan.

   "Aku akan kembali ke sekolah. Kamu butuh sesuatu?"

   Tanyanya. Aku mengeleng. Aku butuh kamu sebenarnya. Tapi kamu tidak bisa memberikannya, bukan? Ia duduk ditepi ranjang.

   "Jangan buat cemas lagi,"

   Ia menggenggam tanganku.

   "Kamu... cemas?"

   "Tentu saja aku cemas, Kirana..."

   Wow, sudah lama aku tidak mendengar ia menyebut namaku.

   "Apakah tidak lebih kalau kamu... ke dokter?"

   Saran macam itu? Ia tahu betul apa "penyakitku". Dokter juga akan tahu begitu melihatku! Aku tidak mau ada orang lain tahu! Aku menggeleng kuat-kuat. Aku gigit bibirku supaya tidak menangis.

   "Kirana,"

   Ia bangkit.

   "ambil keputusan. Kalau kamu ingin mempertahankan ini, jaga kesehatanmu. Jaga kesehatan... anak... kita."

   ANAK KITA? Kata-kata itu menghantamku bagai petir. Selama ini kami tidak pernah mengucapkan itu. Kami mengubur semuan ya. Menghibur diri kami bahwa ini semua akan berlalu. Dan entah bagaimana semua akan baik-baik saja.

   "Aku membaca... ibu ham... maksudku seseorang seperti kamu harus banyak mengonsumsi asam folat, juga vitamin-vitamin yang lain. Ada susu khusus untuk... kamu tahu,"

   Ia terbatabata. Kali ini aku menggigit kukuku. Aku benar-benar nervous. Haruskah aku melakukan semua itu? Setelah susu kehamilan, apa lagi? Senam hammil? Kenapa nggak sekalian pakai daster dan menempelkan tulisan di dadaku.

   "Aku 17 tahun dan HAMIL"? Mudah saja dia mengatakan itu. Bukan dia yang menjalani semua ini. Bukan dia yang napasnya sesak dan payudaranya membengkak. Bukan dia yang harus minum susu yang rasanya yuck.

   "Tapi kalau kamu tidak mau melakukan semua itu... lebih baik... gugurkan saja, bukan?"

   Meski suaranya pelan, aku bisa mendengarnya dengan jelas, termasuk bibirnya yang gemetar.

   "Daripada ia lahir dan sakit-sakitan?"

   Kali ini air mata benar-benar membasahi pipiku. Aku teringat malam mengerikan itu. Saat kami ke klinik aborsi. Aku bahkan masih bisa mencium bau amisnya.

   "Terserah kamu, kita bisa mencari klinik... yang lebih baik."

   Apa ada hal seperti itu? Aborsi yang baik? "Aku takut...,"

   Aku merintih. Ia duduk dikursi dan meraih tanganku.

   "Kalau memang begitu, kita harus konsekuen, Na."

   "Kita?"

   Aku tak bisa menahan kemarahanku. Kemana aja dia selama ini? "Sori...,"

   Ia memalingkan muka.

   "kalau aku... menjauh dari kamu beberapa hari."

   Menjauh? Dia nggak sekedar menjauh. Dia menghindar, melarikan diri.

   "Aku butuh memikirkan semua ini."

   "Seharusnya kamu bilang, biar aku nggak kayak orang tolol, bertanya-tanya kenapa kamu mendadak aneh kayak gitu."

   Aku masih tak bisa menerima alasannya.

   "Maaf. Aku juga ketakutan."

   "Ketakutan?"

   "Sejak malam itu, aku dihantui mimpi buruk,"

   Dia tidak menatapku.

   "Aku juga."

   "Aku merasa bersalah, Na."

   "Bukan berarti kamu harus menjauhiku kan?"

   "Memang nggak. Tapi aku... aku capek sekali, Na. Kayaknya nggak ada solusi. Kamu menolak semua yang aku tawarkan. Aku nggak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Aku capek, dan... kecewa."

   Ini adalah kalimat terpanjang yang ia ucapkan dalam beberapa hari terakhir. Uf, rasanya sudah lama sekali kami tidak bicara seperti ini.

   "Kadang aku berpikir kamu nggak perlu aku. Aku adalah masalah baru bagimu kan?"

   "Nggak, itu nggak benar!"

   Air mataku makin tak terbendung. Bagaimana ia bisa berfikir seperti itu? Aku nyaris tak punya siapa-siapa lagi dalam masalah ini.

   "Tapi ini semua salahku kan? Andai aku tidak... andai kita tidak, maksudku... andai kita tidak pernah..."

   Pertahananku runtuh. Aku mengerang dalam tangisku. Ia jadi nervous dan salah tingkah.

   "Aku sudah menghancurkanmu, Na. Aku nggak pantas buatmu."

   Nggak pantas? Bukankah itu jurus cowok kalau mau melarikan diri? Menyalahkan diri supaya mudah pergi? "Kita udah sepakat... nggak... membahas... siapa yang bersalah kan?"

   Tersedat aku mengingatnya.

   "Nggak setelah malam itu. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku telah membuat kamu sengsara, dan mungkin membuat kamu... maksudku, kalau itu tidak berhasil, kamu bisa..."

   "Shhhh..."

   Aku benar-benar tak mau membicarakannya. Terlalu mengerikan. Kami terdiam lagi. Suara detak jarum jam dari bekerku sampai terdengar memekakkan.

   "Lalu kita harus bagaimana?"

   Tanyanya untuk kesekian kali. Ia menyusut air mata dan melepas pelukannya.

   "Kita lihat saja nanti,"

   Kataku. Ia terpekur.

   "Terserah kamu."

   Keputusanku tidak muluk-muluk.

   Aku membiarkan semua mengalir mengikuti waktu.

   Yang terjadi, terjadilah.

   Nyatanya sudah sekitar empat bulan, dan aku masih baik-baik saja kan? Aku berpikir sederhana.

   Kalau aku tidak bisa membuat keputusan untuk diriku sendiri, serahkan saja pada takdir untuk mengaturnya.

   Lebih gampang kan? "Aku benar-benar harus kembali ke sekolah.

   Ada ulangan kimia setelah ini."

   Ia bangkit.

   "Oke."

   Aku tidak ingin dia pergi, tapi aku tidak bisa menahannya. Orang-orang akan curiga bila dia tidak kembali ke sekolah.

   "Aku akan bilang kamu butuh istirahat,"

   Katanya sebelum akhirnya melambai dan keluar dari kamar.

   Aku menghela napas.

   Kepalaku masih sedikit pusing, tapi nggak separah tadi.

   Secara mental aku jauh lebih baik.

   Dan Hidup Terus Berlanjut Minggu, 15 Februari 2009 Aku merenungkan opsiku kembali.

   Sehari setelah Valentine! Di saat pasangan lain masih mengenang-ngenang kencan dan makan malam romantic mereka.

   Yeah, aku tak butuh makan malam romantis.

   Dengan perut yang seperti ini, sebenarnya aku tak butuh makan malam sama sekali.

   Oke, kayaknya adopsi bukan ide yang baik.

   Di film Juno, Juno memutuskan untuk menyerahkan bayinya ketika ia masih hamil.

   Ia berkenalan dengan pasangan yang akan mengadopsi anaknya jauh hari sebelum ia melahirkan.

   Ia bahkan mengunjungi pasangan itu dari waktu ke waktu sampai ia sempat naksir pada lelaki yang akan mengadopsi anaknya.

   Jadi ia tahu banyak tentang orang yang akan mengasuh anaknya nanti, memastikan mereka pasangan yang baik dan sebagainya.

   Tapi aku nggak yakin itu bisa dilakukan disini.

   Ya ampun, bagaimana aku bisa menemukan orangtua angkat ketika bahkan aku tidak bisa menunjukkan kehamilanku? Itu terlalu rumit.

   Kembali kepada opsi pertama.

   aborsi.

   Kayaknya ini solusi yang paling masuk akal sejauh ini.

   Mungkin tidak juga.

   Mengingat yang aku baca kemarin pagi.

   Maksudku aborsi mungkin masuk akal, tapi juga MEMATIKAN.

   Tapi ya ampun, tersedak kacang pun bisa menyebabkan kematian kan? Tapi aku masih nggak yakin itu benar.

   Maksudku, itu memang terjadi.

   Tapi hanya pada satu atau dua orang saja kan? Kayaknya nggak deh.

   Aku tadi surfing di internet dan yang aku temukan sama sekali tidak menolong.

   Google bilang sekitar delapan ribu wanita meninggal tiap tahun akibat aborsi.

   Google juga bilang aborsi tetap bisa menyebabkan kematian, bahkan jika dilakukan dengan legal dan steril.

   Eh, melahirkan juga bisa menyebabkan kematian sih.

   Astaga, tersedak pun bisa membuat orang tewas, tapi kamu tahu maksudku kan? Agak pahit aku menyadari bahwa aku tak punya pilihan lain kecuali melahirkan anak ini, menikah, tidak kuliah, dan mungkin harus sambil bekerja sebagai SPG di mal! Di atas semua itu, aku akan dibuang oleh orangtuaku, decemooh oleh tetangga-tetanggaku, dan kehilangan temantemanku (siapa yang mau hang out bareng cewek yang harus mengganti popok bayi setiap beberapa menit sekali? Belum lagi menyusui.

   Ya ampun, benarkah aku juga harus menyusui seperti sapi? Dan kambing?) Aku benar-benar tidak menyukai pilihan ini.

   Tapi pendosa memang tidak bisa memilih kan? Aku menarik napas.

   Mencoba menenangkan diriku sendiri.

   Tak ada gunanya dipikirkan sekarang.

   Lebih baik aku berlatih soal lagi.

   SIMAK, ujian masuk UI, akan diadakan dua minggu lagi.

   Aku, Alvin, Chacha, Banyu sudah mendaftar.

   Di hari yang sama Andra akan mengikuti ujian masuk UGM.

   Kalau tidak ingin tertinggal dari mereka, aku harus melupakan keadaanku saat ini dan mengikuti apa yang mereka lakukan.

   belajar mati-matian.

   Siangnya Hari ini akmi sekelas pergi ke kawasan Kota Tua, berfoto bersama untuk dipasang di buku tahunan.

   Rasanya kami benar-benar jadi anak kelas 12.

   Seru banget.

   Kami berdandan abisabisan, berpose gila-gilaan, bercanda tanpa henti.

   Kelas kami mengambil tema "tempo doeloe", kami berdandan ala zaman colonial.

   Ada yang memakai surjan, ada yang memakai kebaya.

   Ada pula yang bergaya sebagai sinyo Belanda, lengkap dengan topinya yang khas.

   Andra tentu saja jadi fotografer kami.

   Fotografer yang amat serius, cerewet, dan perfeksionis.

   Berkali-kali dia minta kami mengulang bila dia menilai cahayanya kurang pas, posenya kurang oke, atau ada anak yang bergerak pas dijepret.

   Sementara Maria tentu saja jadi stylist kami semua.

   Dia dan Andra berusaha cuek dan menjalankan tugas masing-masing dengan professional, meski tak saling bicara.

   Maria sangat bergairah memilih kostum dan membubuhikan make up ke wajah kami.

   Dia juga menjadi pengarah gaya.

   Benar-benar meriah.

   Kapan terakhir kali aku sesenang ini? Aku tidak ingat lagi.

   Akuj dan Maria memilih menjadi noni Belanda.

   Aku suka dengan tema ini.

   Dengan gaun yang panjang dan megar seperti ini, perutku bisa kusembunyikan.

   Andra sangat suka denganku, atau eh, gayaku.

   Berkali-kali dia memotret ku sendirian.

   "Elo itu camera face, tau nggak? Enak difoto. Elo bisa jadi model. Tapi model wajah aja, soalnya elo kan bantet. Kurang seksi, lagi."

   Nggak sopan deh.

   Sorenya aku, Maria, Andra, Tania dan Denis memilah-milah foto yang akan kami serahkan ke panitia buku tahunan.

   Dengan memakai laptop Andra dan Denis, kami memilah foto dan menuliskan komentar-komentar konyol.

   Beberapa anak sudah menyumbangkan ide.

   Kami tinggal memanipulasinya saja.

   Nggak gampang, tapi mengasyikkan.

   Aku tidak sabar melihat buku ini selesai dicetak.

   Buku tahunan! Hanya untuk siswa yang lulus SMA.

   Termasuk aku.

   Tiba-tiba ada perasaan yang asing.

   Campuran antara bahagia, bersemangat, tegang dan sedih.

   Ujian Kehidupan Minggu, 1 Maret 2009 Sesiap apa pun, aku merasa nervous ketika memasuki ruang ujian.

   Aku mendapat tempat ujian di fakultas kedokteran UI.

   Kebetulan sekali.

   Ruang ini akan menjadi ruang kuliahku bila aku diterima disini.

   Aku berdoa memohon ketenangan dan ingatan yang kuat.

   Setelah pengawas menyatakan kami boleh memulai, ruangan mendadak sunyi sampai-sampai bunyi detik jam dinding begitu memekakkan.

   Tapi beberapa saat kemudian, aku tak mendengar apa pun.

   Aku tenggelam.

   Aku bisa mengerjakan sebagaian besar soal.

   Semua rumus datang ke otakku saat aku memanggil mereka.

   Ada satu-dua soal yang sulit.

   Tapi berhubung aku sudah terbiasa ikut try out, aku cepatcepat melewatinya.

   Untung aku masih punya waktu untuk kembali mengerjakannya disaat-saat terakhir.

   Seharian kami tes dan satu hal yang aku syukuri, aku baik-baik saja.

   Perutku tidak bertingkah, kepalaku tidak pusing, dan aku tidak kelelahan atau lemas.

   Ketika Mama menelpon menanyakan ujian itu, aku menjawab.

   "Oke. Nana sih merasa bisa mengerjakannya."

   "Syukurlah. Mudah-mudahan kamu diterima."

   "Hm, Nana nggak yakin deh, Ma. Saingannya kan banyak banget."

   "Berdoa, Na. Kamu sudah berusaha, nggak ada lagi yang bisa kamu lakukan selain berdoa."

   "Mama ikut berdoa doing,"

   Kataku, soalnya aku tak yakin doa pendosa sepertiku akan dikabulkan.

   "Pasti. Kamu mau ikut tes dimana lagi, Na?"

   "Tunggu yang UI ini dulu deh, Ma. Kalau nggak keterima, baru cari yang lain."

   "Buat cadangan aja."

   "Iya sih, tapi Nana mau focus UN dulu."

   "Mama mengerti, yang penting lulus dulu."

   Mama tidak mengerti.

   Aku malas mengikuti ujian di universitas lain karena aku bahkan tidak yakin aku akan kuliah.

   Sabtu, 7 Maret 2009 Gawat-gawat-gawat.

   Gawat darurat tingkat 1! Mama dan Papa akan datang ke Jakarta.

   Pertama karena aku tidak pernah pulang selama berminggu-minggu.

   Kedua, karena kebetulan ada undangan pernikahan yang harus mereka hadiri di Jakarta.

   Yang kulakukan pertama kali begitu mendengar rencana mereka adalah.

   mencari baju yang paling longgar.

   Terima kasih untuk desainer mode, baju longgar ala gamis Timur Tengah sedang trendi sekarang.

   Mama Papa mengajakku belanja dan makan di Plaza Semanggi.

   Andai tidak ketakutan, tentu aku bisa menikmati semua ini.

   Tapi yang terjadi adalah aku tegang sepanjang waktu.

   Aku tidak menunjukkan minat ketika Mama menawariku belanja sepatu atau baju.

   Untung bagiku, Papa juga nggak begitu antusias belanja.

   Aku lega ketika akhirnya Mama memutuskan untuk makan setelah jalan-jalan kira-kira sejam.

   Akhirnya aku bisa rileks ketika kami duduk karena lebih mudah bagiku untuk menyembunyiakn tubuhku.

   Perutku praktis tertutup meja.

   "Kamu yakin nggak pengin beli baju? Anggap aja sebagai hadiah. Kamu kan sudah belajar keras untuk ujian UI,"

   Mama masih mendesakku.

   "Ya, kan belum lolos, Ma,"

   Aku mengingatkan sekaligus mengelak. Aku memang merasa tes itu tidak begitu sulit, tapi jangan-jangan banyak juga yang merasakan hal yang sama. Atau malah merasa tes itu gampang banget.

   "Kamu past lolos,"

   Kata Papa.

   "Rani yang seenaknya gitu aja bisa lolos."

   Perasaanku saja atau Papa memang mengatakannya dengan getir sekaligus kesal? "Tapi ya gitulah, kakakmu itu, nggak bisa bersyukur,"

   Sambung Papa.

   "Udahlah, Pa,"

   Mama kelihatan nggak nyaman.

   "Mau pesan apa nih?"

   "Papa cuma mengingatkan supaya Kirana nggak seperti dia, Ma,"

   Kata Papa.

   "Seperti apa?"

   Aku bertanya, pura-pura tidak mengerti. Secara "resmi"

   Aku memang tidak seharusnya mengetahui apa yang terjadi diantara mereka.

   "Sudahlah, Pa. Kamu mau pesan apa, Na?"

   Mama menyodorkan bukun menu. Aku tidak menggubris.

   "Seperti apa? Kak Rani kan baik-baik saja,"

   Aku terus menuntut.

   "Baik bagaimana? Kamu kan tahu dia keluar dari UI. Sudah susah-susah Papa membayar biaya ini-itu."

   "Jadi ini cuma soal uang...?"

   Tanyaku.

   "Papa, kenapa sih masih dibahas?"

   Mama menukas jengkel.

   "Nggak, bukan masalah uang. Tapi Rani mengorbankan masa depannya. Mau jadi apa dia nanti? Dia sama sekali nggak menghargai orangtua,"

   Papa melanjutkan.

   "Andai kamu tahu..."

   Aku tahu, batinku.

   "Sudah!"

   Mama membentak.

   "Mama nggak suka membicarakan ini! Lagi pula Kirana jelas bukan Rani. Sekarang cepat tentukan mau makan apa."

   Aku dan Papa memilih tidak berkonflik dengan Mama.

   Kami memilih menu, kemudian makan sambil mengobrolkan hal-hal yang nggak penting (siapa yang akan mencalonkan diri jadi presiden di pemilu nanti, mal mana yang belum pernah kami kunjungi, rencana Papa untuk menukar Avanza kami dengan mobil baru).

   Bleh, pembicaraan basa-basi.

   Orang lain tidak akan melihat keanehan kami.

   Di mata mereka kami tampak seperti keluarga normal yang baik-baik saja.

   Padahal semua ini palsu! Benar-benar palsu.

   Kak Rani tak bersama kami.

   Ibarat foto, ada gambar yang hilang disini.

   Oke, memang Kak Rani sudah sering hilang dari "foto"

   Keluarga kami. Tapi seharusnya tidak begitu. Saat akhirnya kami harus berpisah, Mama menciumku. Papa menepuk bahuku.

   "Belajar yang baik, Kirana. Papa tahu Papa bisa mengandalkanmu."

   Lalu Mama bilang.

   "Jaga kesehatan, Na."

   Tiba-tiba ada sesuatu yang menusuk hatiku.

   Cara Papa memandangku.

   Begitu sayu sekaligus penuh harap.

   Tiba-tiba aku sadar mereka begitu menyayangiku.

   Selalu memanjakanku.

   Masalahnya, mereka juga sangat mengandalkanku, mengharapkanku jadi anak kebanggaan mereka.

   Tidak pernah satu kali pun mereka mengecewakanku.

   Mereka pasti juga mengharapan imbalan yang sama.

   Jangan pernah mengecewakan mereka.

   Tersesat dan Hilang Kamis, 12 Maret 2009 Tak ada kejadian menarik akhir-akhir ini.

   Semua orang fokus ke UN, UN, dan UN.

   Rasanya ada dementor disekitar kami yang mengisap hawa kesenangan.

   Kami lupa cara bergembira.

   Kami bahkan tak peduli film apa yang sedang diputar dibioskop.

   Alvin dan Andra melewatkan konser Jason Mraz-padahal mereka ngefans banget pada penyanyi satu itu.

   Parah banget.

   Aku bahkan nggak membaca majalah remaja langgananku (biasanya langsung aku baca sampai habis begitu datang).

   Maria sama saja.

   Ia kaya lupa kukunya tidak dicat atay ditempeli sesuatu berhari-hari.

   Oya, bicara tentang Maria, hubungannya dengan Andra jadi kikuk sekarang.

   Aku tahu maria terpuruk, tapi ia berusaha tampil cuek-khas Maria, nggak mau kelihatan kalah.....

   Jumat, 13 Maret 2009

   "Elo gemukan ya?"

   Tiba-tiba saja Maria mengatakan itu. Kami sedang mengerjakan tugas biologi di laboratorium dan Maria jadi partnerku.

   "Agak,"

   Kataku berusaha tetap tenang meski sebenarnya kaget dan cemas.

   "Kalau stres aku makan. Dan aku stres truz gara-gara UN."

   Di hari-hari yang lain, aku tidak akan mempedulikan ucapan Maria.

   Maria sangat peduli pada penanampilan.

   Ia memperhatikan bentuk badan orang lain.

   Dan terutama bentuk badannya sendiri.

   Ia benci pada orang-orang obesitas.

   Menurutnya mereka adalah orang-orang yang payah.

   Mengendalikan diri sendiri saja nggak bisa.

   Tapi, ia juga benci pada orang yang terobsesi pada diet.

   Ia muak pada cewek-cewek berbadan sekurus rantting.

   Mereka lebih parah, katanya, karena itu berarti mereka sakit mental.

   Jadi komentarnya tentang tubuhku biasa saja sebetulnya.

   Tapi, kali ini tak urung membuatku gelisah.

   Apakah perubahan tubuhku begitu kentara? Uh, kenapa sih aku lahir sebagai perempuan? Kenapa perempuan mesti hamil? Oke, aku tahu kenapa.

   Tapi kenapa tubuh kami harus ikut menanggungnya, mual, gatal-gatal, bengkak, keram kaki? Kenapa manusia tidak membelah diri saja atau berkembang biak dengan spora seperti jamur yang sedang kuamati dibawah mikroskop.

   Kini giliran Maria mengamati.

   Aku mundur dan duduk sedemikian rupa untuk menyembunyikan perutku.

   Kudengar Maria mendesah panjang.

   "Ih, untung deh, bentar lagi gue nggak perlu mengamati jamur kayak gini."

   Ya kamu sangat beruntung.

   Maria.

   Minggu, 15 Maret 2009 Kadang aku ingin semua ini segera berlalu.

   Maksudku ujian dan semuanya.

   Kalau ujian bisa dipercepat dan dimulai besok, itu akan lebih baik.

   Somehow aku punya perasaan bila waktu berjalan lebih cepat, mereka tidak akan menyadari apa yang terjadi padaku.

   Aku bakal seperti pelari cepat dan berlari didepan mereka yang...

   sreeet...

   menghilang dalam sekejab, sebelum mereka sempat memperhatikan perutku yang membuncit.

   Disisi lain aku ingin waktu berjalan lebih lambat, kalau perlu berhenti.

   Aku belum siap menghadapi UN.

   Aku takut menghadapi...

   Apa yang akan terjadi.

   Waktu membuat segalanya jadi lebih buruk.

   Waktu membuat perutku makin besar.

   Waktu membuatku lebih dekat pada hari UN, dan hal-hal mengerikan lain.

   Tadi pagi Mama telepon.

   Menanyakan kenapa aku lagi-lagi tidak pulang ke Bekasi.

   Aku bilang besok senin UAS akan dimulai.

   Aku nggak mau terlalu capek.

   Mama percaya saja.

   Entah mereka yang terlalu naif atau memang aku sudah menjadi pembohong ulung.

   Aku tidak bohong sepenuhnya.

   Mulai senin besok Ujian akhir olahraga akan dimulai.

   Kelasku mendapat giliran hari kamis.

   Terus terang aku cemas sekali.

   Apakah aku akan bisa lompat jauh? Apakah lari sprint aman untukku? Apakah mereka akan melihat sesuatu dibalik kaos olahragaku? Rabu, 18 Maret 2009 Ugh, aku merasa letih banget.

   Kepalaku pusing sampai-sampai aku tak kuat menatap buku kimia.

   Aku putuskan untuk minum teh hangat dan tidur cepat.

   Tapi baru tengah malam aku berhasil terlelap.

   Aku bermimpi buruk.

   Tapi lupa apa.

   Kamis, 19 Maret 2009 Benar-benar hari yang buruk untuk ujian olahraga.

   Subuh tadi hujan turun.

   Meski hujan sudah reda pagi ini, lapangan terlanjur becek.

   Kepalaku masih bermasalah, meski tidak sesakit tadi malam.

   Ya ampun, aku ini kenapa sih? Apa aku sakit tifus? Ada temanku yang pernah sakit tifus dan ia bilang kepalanya terasa melayang dan badannya lemas.

   Susahnya, aku tidak bisa periksa ke dokter.

   Bahkan kurasa dokter gigi pun bisa tahu bahwa aku hamil, apalagi dokter umum! Sialnya, ujian olahraga ini membuatku terpaksa masuk sekolah.

   Yeah, tak apalah, akan menjadi olahraga terakhirku di SMA.

   Segera setelah kami siap Bu Welas meminta kami melakukan pemanasan.

   Mata ujian pertama adalah lari.

   Kami harus lari keliling lapangan lima kali secepat mungkin.

   Bu Welas siap dengan stopwatchnya.

   Perutku sama sekali tidak membantu.

   Aku memang bukan pelari cepat, tapi jelas bukan yang paling lambat.

   Namun hari ini, Vania yang bobotnya lebih dari tujuh puluh kilo pun bisa lari lebih cepat daripada aku.

   Baru satu putaran, aku sudah tersengal-sengal.

   Keram diulu hati mulai menyerang.

   Sakitnya menusuk.

   Sampai-sampai lariku makin melambat, melambat dan akhirnya aku berjalan kaki.

   Gila! Ini kan ujian, tapi aku tak kuat lagi.

   Rasanya pengin menangis.

   "Kirana, kamu baik-baik saja?"

   Bu Welas menanyaiku saat aku melewatinya pada putaran ketiga.

   Aku tersenyum, mengacungkan jempolku, seolah ini detik-detik terbaikku.

   Tiga putaran terakhir serasa tidak pernah berakhir.

   Tapi akhirnya aku berhasil menyelesaikannya meski tersaruk-saruk dan nyaris pingsan di akhir putaran.

   Aku langsung menepi untuk mengakhiri pandangan Bu Welas.

   Bu Welas pasti kecewa padaku.

   Aku berlari lebih dari dua puluh menit! Tapi bukan itu alasanku menghindarinya.

   Sejak tadi ia memandangku dengan aneh.

   Kayak curiga, kayak prihatin, kayak cemas.

   Aku tidak tahu.

   Tapi aku merasa dia mengamatiku.

   "Hei, elo baik-baik aja kan?"

   Maria menepuk pundakkudan membuat jantungku melonjak. Ia mengulurkan sebotol air mineral. Aku cepat-cepat meneguknya.

   "Iya, aku... Oke,"

   Sahutku.

   Cuma keras perut parah, sesak nafas, nyaris semaput, dan...baru saja menjadi pecundang.

   Ujian berikutnya adalah lompat jauh.

   Aku tak sepenuhnya memahami apa yang terjadi.

   Aku seperti melihat bayang-bayang.

   Ketika berdiri, aku bahkan tak merasa menginjak bumi.

   Kepalaku berputar sampai aku merasa berhalusinasi.

   Aku tahu Bu Welas memberi instruksi, tapi aku tidak bisa mendengar apa yang ia katakan.

   Lalu aku bisa melihat satu per satu temanku lari dan melompat dibak pasir.

   Tapi rasanya mereka begitu jauh.

   Kayak terbang.

   "Kirana..."

   Bahkan suara Bu Welas yang memanggil namaku pun terasa datang dari dimensi lain.

   Aku tak yakin apakah ini saatnya untuk lari dan melompat.

   Aku hanya menuruti instingku saja.

   Aghhrrrhh! Jiwaku terasa meninggalkan badanku.

   Tapi aku harus berlari.

   Ayolah, sekali ini saja, setelah itu aku bisa berhenti.

   Kutahan rasa sakitku, kukerahkan seluruh sisa tenagaku, aku berlari, lalu melompat, lalu...

   GELAP.

   Tak tahu kapan, dimana Rasanya aku tidur bertahun-tahun.

   Tapi anehnya aku bisa mengingat hal-hal yang baru saja terjadi.

   Praktikum biologi dengan Maria, berangkat les bareng Alvin, telepon Mama.

   Rasanya seperti melihat diriku sendiri bergerak dalam mimpi.

   Lalu dalam mimpi itu aku menangis.

   Aku tidak tahu kenapa.

   Tapi aku memang merasa sedih, amat sangat sedih.

   Lalu aku melihat cahaya, terang, tapi agak kabur karena air mata menghalangi pandanganku.

   Aku bisa merasakannya.

   Mata basah.

   Aku benar-benar menangis.

   Bukan dalam mimpi.

   "Kirana..."

   Samar-samar aku mendengar namaku disebut, lalu kurasa seseorang menggenggam tanganku.

   "Kamu nggak apa-apa, Nak?"

   Kali ini aku merasakan dahiku diusap.

   Nak? Siapa yang memanggilku "Nak"? Aku membuka mata lebih lebar Bu Welas.

   Kenapa ia bisa sampai disini? Ini dimana? Lalu aku melihat semuanya.

   Ranjang berseprai biru muda, tiang infus, tombol-tombol didinding, ini...

   Rumah sakit.

   Samar-samar, ingatan itu mulai datang; ujian olahraga, tubuhku yang lemas...

   OH, TIDAK! AKU TIDAK BOLEH BERADA DISINI.

   TIDAK MAU! Reaksi pertamaku adalah lari.

   Kabur.

   Tapi sedetik kemudian aku sadar itu tidak mungkin.

   Dengan infus dan entah apa lagi, aku praktis terikat.

   Air mata berleleran.

   Aku terisak, pelan awalnya, lalu tersedu-sedu, hingga akhirnya tersengalsengal.

   Bu Welas memelukku.

   "Shhh, semuanya akan baik-baik saja."

   Tidak! Tidak akan ada yang baik.

   Aku tidak tahu berapa lama aku menangis, tapi mestinya lama sekali, karena mataku bengkak dan perih.

   Bongkahan tisu menggunung dimeja sampingku.

   Kurasa, kalau akhirnya aku berhenti menangis, itu pasti karena air mataku habis.

   Dunia Akan Tahu Masih tak ingat ini hari apa "Kirana,"

   Bu Welas duduk disamping tempat tidur.

   "Kamu tahu apa yang terjadi kan?"

   Ya dan tidak. Aku tahu sesuatu yang buruk telah terjadi. Yang aku tidak tahu adalah seburuk apa.

   "Kamu mengalami anemia dan tekanan darahmu terlalu tinggi. Keadaan yang sering terjadi pada wanita hamil."

   Oh, tidak! Dia tahu! "Tapi tidak apa-apa, tidak parah. Sudah ditangani. Dokter bilang semuanya baik-baik saja."

   Aku tak sanggup mengatakan apapun.

   "Termasuk bayimu."

   BAYIKU? Aku terbelalak. Ini bencana. Seluruh dunia sudah tahu. Kututup muka dengan kedua belah tangan. Semua SUDAH BERAKHIR.

   "Dua puluh lima minggu. Sehat, meski agak kecil."

   Aku hilang rasa.

   "Kirana. Kita harus bicara. Kamu harus bicara."

   Lidahku kelu. Mungkin siang, agak sore "Keluargamu? Ada yang tahu?"

   Aku menggeleng.

   "Kirana. Ibu yakinkan hanya Ibu yang tahu masalah ini. Ibu yang mengantarmu kesini. Ibu jamin. Sampai sekarang tidak ada yang tahu selain Ibu dan dokter. Tapo cepat atau lambat kamu harus memberitahu orangtuamu. Kirana, ada yang ingin kamu katakan?"

   Aku hanya bisa menunduk.

   "Kirana, Ibu tahu kamu bingung. Tapi kita harus menghadapi ini. Sekarang menurutmu, apa yang harus kita lakukan? Ibu akan bantu."

   Aku menggeleng lemah, masih menunduk.

   "Baik, mungkin Ibu bisa menyarankan. Hubungi keluargamu."

   Haruskah? Tid... tidak. Aku tak ingin menghubungi siapapun. Apalagi keluargaku! Bu Welas menggenggam tanganku lagi.

   "Ibu tahu ini berat, tapi semua ada jalan keluarnya. Jangan takut."

   Aku masih terdiam. Bibirku bergetar. Jangan taku? Justru itu satu-satunya yang kurasakan saat ini. Ketakutan yang sangat parah.

   "Tidak apa-apa bila kamu masih butuh waktu, ibu akan disini menunggumu. Kalau kamu sudah memutuskan siapa yang akan kamu hubungi, bilang ya."

   "Kak Rani."

   Tiba-tiba aku memutuskan. Aku tak tahu harus menyebut siapa. Aku terlalu takut menghubungi Papa, terlalu malu menghubungi Mama. Kurasa Kak Rani akan mengerti, paling tidak ia tidak akan kena serangan jantung.

   "Kak Rani?"

   "Kakak saya,"

   "Baik,"

   Bu Welas beranjak.

   "Berapa nomornya?"

   Aku menggeleng, tidak ingat.

   "Tak apa, Ibu akan minta Maria mencari di HPmu. Didalam tasmu kan?"

   Aku mengangguk.

   "Baik. Sekarang Ibu akan panggilkan dokter untukmu."

   Oh, jangan! "Tidak apa-apa Kirana. Dokternya baik kok."

   Ketika Bu Welas keluar, aku bisa merasakan dunia disekelilingku runtuh satu per satu.

   Malamnya Kak Rani langsung mendekapku begitu melihatku.

   Lalu kurasa ia menangis dipundakku.

   Aku jadi terbawa.

   Air mataku berderai kembali.

   Sudah lama kami tidak berpelukan seperti ini.

   Tapi sama sekali tidak ada kejanggalan.

   Rasanya begitu wajar.

   Ini seperti waktu kami kecil dulu, ketika belum ada iri dan cemburu.

   "Kirana, aku bawakan semua pesananmu. Baju, piama, bantal kesukaanmu. Aku juga bawa cokelat. Kamu suka cokelat kan? Kalau tidak, sebutkan apa yang kamu suka, nanti aku carikan."

   Kak Rani membongkar tasnya. Dia bahkan tidak bergue elo. Aku menggeleng. Aku tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin mimpi buruk ini berakhir.

   "Aku berusaha datang kemari secepatnua begitu ditelepon... Ibu siapa? Gurumu."

   "Bu Welas."

   "Kirana, kamu bikin aku cemas. Aku khawatir banget."

   Aku jauh lebih cemas dan berlipat-lipat lebih khawatir.

   "Sekarang gimana? Rasanya gimana? Dokter bilang apa?"

   "Baik. Udah nggak sakit lagi. Aku harus menginap disini beberapa hari. Ada obat yang harus kuminum, dan beberapa suntikan."

   "Yang penting kamu baik,"

   Tukas Kak Rani. Ucapannya sama seperti Bu Welas. Padahal aku sama sekali tidak baik. Bagaimana Kak Rani bisa tenang? Sementara ia tahu ini adalah masalah besar. Ini hanya awal. Akhirnya pasti akan jauh lebih buruk.

   "Kak...aku tidak tahu harus bilang apa pada Mama dan Papa,"

   Kataku.

   "Itu urusanku. Tenang saja. Yang penting kamu harus cepat sehat."

   "Tapi, Kak, mereka pasti marah besar."

   Air mataku bersembulan lagi.

   "Hei, mereka juga marah padaku. Dengar, Kirana, kamu masih punya aku. Kalau mereka tidak bisa menerima kamu, kita hidup berdua. Ya? Kamu mau kan hidup bersamaku?"

   Kak Rani menepuk pipiku tersenyum kecil. Mau tak mau aku balas tersenyum. Ah, rencana yang indah, tapi konyol.

   "Kirana,"

   Kak Rani naik keranjang dan duduk disisiku.

   "siapa yang melakukannya padamu?"

   Ah! Akhirnya. Betapa aku benci mendengarnya. Aku tahu pertanyaan itu pasti akan datang. Kurasa Bu Welas pun ingin mengetahuinya daritadi. Tapi tidakkah mereka mengerti? Tidak ada yang MELAKUKANNYA padaku. Kami melakukannya. KAMI.

   "Aku nggak bisa bilang."

   "Kenapa? Dia juga harus ikut bertanggung jawab, Na."

   Aku menggigit bibir, menggeleng lagi.

   "Kenapa Na? Hah, dia bukan suami orang kan?"

   "Bukan,"

   Tukasku cepat.

   "Terus kenapa? Apa ia seorang napi? Pecandu? Cowok yang nggak kamu kenal? Cowok yang nggak mau bertanggung jawab? Kamu diperkosa?"

   "Nggak. Dia baik kok. Dia mau tanggung jawab."

   "Terus masalahnya apa? Papa Mama akan menanyakan itu."

   "Kalau gitu, bilang saja dia cowok yang nggak aku kenal."

   "Kirana...!!!"

   "Kak, please. Aku TIDAK MAU mengatakannya."

   Kak Rani terdiam sejurus. Tapi lalu ia berkata.

   "Baiklah. Itu hakmu."

   Sudah kuduga. Ia pasti mengerti. Bu Welas melongok dari pintu lalu melangkah masuk.

   "Maria menelpon Ibu. Teman-teman ingin menjenguk kamu. Bolehkah?"

   Aku menghela napas. Aku tidak ingin bertemu seorang pun saat ini.

   "Mereka mencemaskanmu dan berharap kamu lekas sembuh,"

   Kata Bu Welas lagi.

   "Saya cuma mau ketemu Maria,"

   Kataku akhirnya.

   "Yakin? Bagaimana dengan Andra dan teman-temanmu yang lain? Mereka juga ingin menjengukmu."

   "Hanya Maria."

   Bu Welas mengangguk.

   "Ibu akan telepon dia. Oya, ibu akan meminta Maria membawakan tasmu."

   Kira-kira satu jam kemudian Bu Welas sudah pulang.

   Maria datang.

   Cepat sekali.

   Ia berbasa-basi dengan Kak Rani.

   Mereka cepat akrab.

   Lalu Kak Rani pamit pulang.

   Ia harus ke Bekasi untuk mengabarkan tragedi ini pada orangtua kami.

   Oh, aku benar-benar tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi.

   "Titip Kirana bentar ya,"

   Kata Kak Rani sambil menepuk bahu Maria.

   "Iya. Ati-ati kak."

   Maria membawa segala macam barang seolah ia membawa titipan dari orang sekampung.

   "Ini tas lo. HP dan dompet lo ada disitu. Ini bunga dari Alvin,"

   Katanya sambil meletakkan buket bunga mawar dan lili dimeja.

   "Andra meminjamkan iPod-nya. Supaya elo nggak bosan. Dan Chacha menitipkan ini."

   Aku melirik. Sabun cair The Body Shop. Chacha banget.

   "Terima kasih, kalian baik banget."

   "Mereka kecewa banget nggak bisa ikut menjenguk elo. Kenapa sih Na?"

   "Aku... belum... siap bertemu mereka."

   Maria terdiam mendengar jawabanku. Kurasa ia mengerti.

   "Ini novel dari Banyu. Ada suratnya. Dan ini dari gue. Lucu kan?"

   Maria mengeluarkan boneka kucing berbulu lembut. Aku tak bisa menahan rasa haruku.

   "Teman-teman yang lain nitipin ini."

   Maria menyerahkan satu kantong plastik. Ketika aku buka, aku mendapatkan permen, cokelat, kartu ucapan, pembatas buku, kartu remi, pita, sampai gelang.

   "Kirana... elo sakit apa sih sebenarnya?"

   Tanya Maria sambil menata hadiah-hadiah tadi diatas meja.

   "Apa yang terjadi?"

   Aku balas bertanya.

   "Waktu ujian olahraga tadi?"

   Maria memalingkan muka. Sepertinya ia juga enggan bercerita.

   "Elo pingsan. Waktu lompat jauh."

   Itu saja? Aku memandang Maria, memintanya bercerita lagi. Ia salah tingkah hingga lagi-lagi memalingkan muka. Tahulah aku, aku nggak bakal suka mendengar ceritanya, tapi aku berhak tahu. Aku ingin tahu! "Elo pingsan dibak pasir."

   Nggak penting.

   "Terus Bu Welas membawa lo kesini."

   Bagian itu aku sudah tahu.

   "Ujiannya berhenti,"

   Maria meneruskan. Oh, aku tak percaya ini. Aku, siswi teladan, mengacaukan sebuah ujian.

   "Lalu?"

   Tiba-tiba tenggorokanku terasa sangat kering. Aku tahu Maria teramat ingin mengatakan sesuatu. Tapi tak sanggup melakukannya. Aku juga tidak akan sanggup mendengarnya. Matanya berputar gelisah.

   "Kirana...,"

   Maria berkata terbata-bata.

   "apa benar... elo... elo...?"

   Aku memandangnya ciut, sementara ia menatapku takut.

   "Yusti bilang elo... eh, perut lo seperti..."

   "Seperti apa?"

   Tenggorokanku makin kering. Maria menggeleng.

   "Nggak, nggak sih. Bu Welas bilang elo nggak apa-apa kok. Sakit biasa."

   Aih, siapa yang percaya! "Gue sih yakin Yusti nggak benar! Gue kan sahabat lo!"

   Bahkan Maria pun tak bisa menyembunyikan kebimbangannya.

   "Gue tahu elo nggak mungkin seperti itu!"

   "Seperti apa?"

   Maria menarik napas.

   "Elo jangan marah ya! Elo lagi sakit. Oke? Gue nggak mau elo stres. Mulut Yusti emang kayak comberan! Nggak perlu didengerin."

   "Emangnya Yusti bilang apa?"

   Maria tampak bimbang.

   "Jangan dipikirin oke?"

   "Dia bilang apa?"

   Maria tertawa kecut.

   "Dia bilang elo hamil... hahaha... mana mungkin lah. Gue bilang ke mereka ciuman aja elo nggak pernah. Jangan tersinggung, Na, gue nggak menghina elo atau gimana, hanya saja elo kan emang culun... Sori elo nggak papa kan? Udah gue bilang, jangan dipikirin."

   Maria menatapku yang duduk terpaku.

   "Terus?"

   Tanyaku.

   "Yusti ngotot. Katanya dia tahu. Kakaknya tiga perempuan semua, sudah pernah hamil semua. Tapi ini Yusti, Na. Yusti yang bilang dia pernah pacaran dengan Teuku Wisnu. Yusti yang bilang dia pernah menang undian mobil, tapi akhirnya dia sumbangkan ke panitia. Dasar cewek sinting."

   Maria memandangku.

   "Na, eh, elo nggak papa kan? Elo sakit?"

   Dia mulai panik. Aku menggeleng. Maria jadi khawatir.

   "Maaf. Yang penting elo sembuh dulu, gosip itu biar gue yang tanganin."

   Aku hanya bisa menggeleng, menggigit bibir dan menangis, tangisku yang kesepuluh ribu selama tujuh jam terakhir.

   "Itu benar,"

   Kataku lirih.

   Buat apa kupendam lagi? Mereka akhirnya akan tahu.

   Dan aku sudah capek.

   Maria terkejap kaget, menatapku tak percaya.

   Ia berdiri gamang, lalu kemudian memelukku, ikut menangis.

   Larut malam, jam dua belas lebih Aku tidak bisa tidur.

   Maria sudah tidur lelap dikasur tambahan.

   Dia memaksa menginap meski aku bilang nggak perlu.

   Aku nggak mau merepotkannya.

   Tapi untung dia memaksa.

   "Nggak repot, nggak repot. Malah enak begini, gue nggak usah pulang,"

   Sehingga aku punya teman.

   Setidaknya rumah sakit ini jadi nggak begitu mengerikan.

   Tentu saja Maria menanyakan pertanyaan yang sama, siapa pelakunya.

   Ia pengin mendengar cerita yang lebih detail.

   Tapi aku tak mau cerita.

   Jadi kami nonton TV sepanjang malam, sampai ia tertidur.

   Mataku masih belum mampu terpejam, meski aku amat sangat ingin tidur agar bisa melupakan kepahitan ini barang sejenak.

   Tapi susah sekali.

   Pikiranku dipenuhi pertanyaan, apakah Kak Rani sudah bilang pada Mama Papa? Apa reaksi mereka? Apa mereka murka? Apakah mereka akan membunuhku? Mataku tertumbuk pada buku diatas meja, novel Bilangan Fu karya Ayu Utami yang dititipkan oleh Banyu.

   Ia selalu membaca novel-novel serius seperti itu.

   Yang anak-anak lain pun nggak paham.

   Untung aku membaca semua jenis buku.

   Jadi untuk urusan novel serius, Banyu biasa membahasnya denganku.

   Banyu bilang buku itu bagus.

   Aku meraihnya.

   Ketika aku membukanya, sepucuk surat jatuh dipangkuanku.

   Oh ya, tadi Maria bilang Banyu menitipkan surat.

   Segera kurobek sampulnya.

   Hai, Kirana, Kamu nggak bakal ngerti betapa cemasnya perasaanku ketika mendengarmu sakit.

   Rasanya jauh lebih cemas dibanding aku sendiri yang sakit.

   Please, berjanjilah padaku untuk cepat sembuh.

   Aku bakal kesepian tanpa kamu.

   Aku nggak punya teman diskusi nih.

   Sebentar lagi UN.

   Aku mau bersaing denganmu.

   Salam, Banyu.

   Surat yang sederhana, tapi sangat menyentuh perasaanku.

   Begitu khas Banyu.

   Aku bahkan bisa mendengarnya mengatakan kalimat-kalimat itu dengan suaranya yang berat dan pelan.

   Ia tidak pernah bicara banyak.

   Seolah tiap kata yang keluar dari bibirnya seperti harus dihemat dan dipilih yang penting-penting saja.

   Aku melipat kertas itu pelan-pelan dan menyimpannya kembali.

   Lalu aku mulai membuka novel itu.

   Halaman satu, halaman dua...

   Lalu tiba-tiba aku tersentak.

   Novel itu terenggut begitu saja dari genggamanku.

   Mataku terbuka lebar.

   Oh, aku ketiduran, sekarang jam berapa? Aku dimana? Brak! Novel tebal itu terenggut dan terbanting kelantai.

   Dan sebelum aku tahu siapa yang melakukannya...

   Plakkk! Pipiku tertampar sedemikian keras.

   "Dasar anjing!"

   Tragedi Ya Tuhan! Apa yang terjadi? Masih belum tersadar spenuhnya, masih belum mengerti apa yang sesungguhnya tengah terjadi, mataku menatap sosok itu dengan samar.

   Tinggi menjulang dan menakutkan.

   Papa.

   Lalu disampingnya Mama menangis, meratap, menahan tangan Papa.

   "Jangan, Pa, jangan..."

   Kak Rani berlaku sama. Ia berdiri diantara ranjangku dan Papa. Menghalangi Papa sebisanya. Maria terlonjak bangun dan berdiri gemetar disudut ruangan.

   "Biar aku menghajarnya. Anak tidak tahu malu! Anjing!"

   Papa menyemburkan semuanya dengan kasar. Tangannya mengepal, siap menyerangku lagi. Jadi Kak Rani benar, pikirku pilu, Papa bisa menganjing-anjingkan kami.

   "Pa, jangan, Pa!"

   Mama melolong-lolong.

   Sekarang seluruh dunia pasti mendengar apa yang terjadi.

   Benar saja.

   Dua orang perawat langsung menghambur masuk.

   Kali ini semua orang kecuali Maria memegangi Papa, mencegahnya untuk menjangkauku.

   Orang-orang itu menariknarik Papa keluar dari kamar, meski ia melawan sekuat tenaga.

   Aku merasa remuk, lalu hampa.

   Bila Papa ingin membunuhku, silahkan saja.

   Aku juga nggak ngerti hidup ini buat apa.

   Setelah Papa keluar, Maria melompat memelukku.

   Tanpa kusadari air mataku sudah mengalir lagi.

   Pipiku masih nyeri.

   Telingaku berdenging.

   Tapi itu semua tidak lebih menyiksa daripada nyeri yang kurasakan didalam.

   Begitu menyakitkan sampai napasku sesak.

   Lama setelahnya entah lama entah tidak, aku kehilangan persepsi waktu Mama masuk.

   Maria tahu diri.

   Ia cepat-cepat menyingkir keluar.

   Langkah Mama rapuh, tapi terasa mengintimidasi.

   Setiap jengkalnya serasa menyeretku lebih dekat pada kematian.

   Ia duduk ditepi ranjang.

   Ketika jari-jarinya tanpa sengaja menyentuh tanganku, aku merasa tersengat dan secara refleks menarik diri.

   Air mataku masih terus mengalir.

   Saat aku melirik, aku melihat mata Mama tidak beda dari mataku.

   Lembap dan bengkak.

   Meski banyak sekali yang ingin kuungkapkan, tak sepatah kata pun bisa keluar.

   Sudah lama aku mempersiapkan diri menghadapi ini.

   Aku selalu memikirkan saat-saat rahasiaku terbongkar.

   Dimana, kapan, bagaiman kejadiannya.

   Aku sudah menduga Papa bakal kalap, Mama bakal putus asa.

   Tapi aku tidak membayangkan, saat "itu"

   Terjadi disini. Ditempat yang asing dan berbau alkohol. Aku juga tidak menyangka Mama hanya akan duduk termenung. Seolah pikirannya hilang entah kemana. Lama kami berdiam. Aku tak berani memulai. Bukankah aku adalah terdakwa disini? "Maafkan Mama..."

   Ucapan itu begitu lirih sampai aku nyaris tak percaya.

   "Maafkan Mama..."

   Kalimat itu terulang lagi. Aku terperangah. Kenapa? Kenapa Mama harus minta maaf? "Mama yang mendorongmu sekolah di Jakarta. Jauh dari kami. Mama yang membuatmu begini,"

   Mama bicara tanpa memandangku. Tanpa memandang apapun.

   "Papamu selalu ragu melepasmu... apalagi melihat Rani..."

   Kak Rani yang mirip begundal itu justru baik-baik saja kan? Hidup memang ironis.

   "Tapi Mama meyakinkan kamu bukan Rani... Maafkan Mama. Semua ini salah Mama."

   "Bukan, bukan salah Mama,"

   Ujarku gemetar.

   "Nana yang salah Ma. Nana!"

   Air mataku menderas kembali.

   "Maaf..."

   Meski aku tahu seribu maaf pun nggak bakal cukup.

   Hari itu menjadi hari yang sangat panjang dan melelahkan.

   Mama tidak bicara apa-apa lagi.

   Tapi dari matanya, aku tahu ia amat sangat kecewa dan tidak sanggup menerima ini semua.

   Papa masih murka.

   Ketika masuk lagi, ia memaki-maki.

   "Siapa laki-laki bajingan itu? Siapa? Katakan? Biar Papa bunuh!"

   Jantungku terasa terobek-robek mendengarnya.

   Kak Rani lah yang paling tenang.

   Ia melindungiku, menenangkan Papa tiap kali ia kalap.

   Siangnya Bu Welas datang lagi, ia membawakanku hadiah.

   Aku tidak begitu memperhatikan apa hadiahnya.

   Kurasa aku tidak memperhatikan apa pun.

   Bu Welas berbasa-basi sebentar padaku.

   Apa aku merasa baikan? Apa aku sudah makan? Aku tidak ingat apa saja yang ia tanyakan.

   Pertanyaan-pertanyaan tidak penting kurasa.

   Kurasa Bu Welas juga tidak berniat bicara padaku karena sesaat kemudian ia keluar untuk bicara dengan orangtuaku.

   Mungkin mereka membicarakan hukuman apa yang layak untuk siswa pendosa sepertiku.

   Tiba-tiba aku merinding.

   Bagaimana bila aku dikeluarkan dari sekolah? Aku tidak akan lulus SMA.

   Di CV ku nanti yang tertulis adalah Kirana, pendidikan tertinggi.

   SMP.

   MENAKUTKAN.

   Tapi disisi lain aku juga tidak berani menginjak sekolah lagi.

   Tidak setelah mereka semua menyaksikan tragedi itu dan mulai bergosip.

   Tidak setelah mereka tahu mengapa perutku lebih besar dan aku lebih gemuk.

   "Kirana, elo akan mempertahankan bayi lo?"

   Pertanyaan Kak Rani membuatku tersentak. Oh, selama ini Kak Rani selalu mendampingiku, tapi aku tidak selalu menyadarinya.

   "Apa?"

   Kak Rani tersenyum dan duduk di sampingku.

   "Elo akan mempertahankan bayi lo?"

   "Aku... nggak tahu, Kak."

   "Dari dokter gue dengar usia kandungan lo udah dua puluh lima minggu, sekitar enam bulan."

   Uh, baru kali ini aku membicarakan kandunganku dengan orang lain, dengan cara yang terbuka. Rasanya kikuk. Malu dan jijik. Seperti membicarakan tentang menstruasi atau kontrasepsi.

   "Gue nggak tahu masih bisa diaborsi atau nggak. Tapi kalau elo..."

   Aku menggeleng cepat-cepat.

   "Dengar, Kirana, merawat bayi itu nggak gampang."

   Aku tahu. Aku tahu. Bahkan hamil saja sudah sulit sekali.

   "Belum lagi elo masih pengin kuliah kan?"

   Kuliah? Apakah kuliah penting untuk orang seperti aku? Aku mengangkat bahu.

   "Hei, ini hidup elo, Na!"

   Kak Rani menekankan. Ia terlihat yakin.

   "Tapi aku nggak tahu apa yang harus kulakukan, Kak."

   Aku putus asa.

   "Ikuti aja perasaan lo,"

   Kata Kak Rani.

   "Mungkin nggak bakal enak, seperti gue, tapi paling nggak, lo bebas dari tekanan batin."

   Uh, dia tidak mengerti. Ini tidak sama dengan drop out dari UI! "Aku juga belum bisa mengurus diriku sendiri,"

   Kataku.

   "Bisa. Elo pasti bisa! Ada beberapa teman gue yang kuliah sambil punya anak. Mereka bisa kok menjalaninya."


Pengemis Binal Kitab Sukma Gelap Goosebumps Napas Vampir Kathleen Mcgowan The Expected One

Cari Blog Ini