Ceritasilat Novel Online

Dia Tanpa Aku 2


Esti Kinasih Dia Tanpa Aku Bagian 2



"Nggak. Gimana bisa lecek kalo duduk lo nggak yandar ke jok? Sibuk megangin kembang. Tenang aja. Penampilan lo udah oke banget kok. Kalo gue cewek, gue pasti udah naksir elo!"

   Ucap Andika sungguh-sungguh. Ronald tertawa lebar tanpa suara. Ditepuknya satu bahu Andika.

   "Thanks banget, Dik,"

   Ucapnya, dengan ketulusan yang terlihat jelas dalam suara dan cara menatap sahabatnya itu. Andika jadi terharu.

   "It"s okay,"

   Andika tersenyum lebar. Diserahkannya buket bunga itu pada Ronald, kemudian ganti ditepuknya bahu sahabatnya itu.

   "Mudah-mudahan sukses. Gue pengin liat elo bahagia."

   Sesaat mereka bertatapan. Kemudian Ronald balik badan dan berjalan menjauh sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan.

   "Good luck!"

   Seru Andika.

   Ronald menoleh, kembali tersenyum lebar.

   Kemudian ia acungkan jempol kirinya.

   Andika membalas.

   Ia acungkan kedua jempolnya.

   Sambil tersenyum, terus ditatapnya tubuh Ronald yang menjauh.

   Bisa dirasakannya kegugupan sahabatnya itu.

   Kegelisahannya.

   Kecemasannya.

   Ketakutannya.

   Seluruhnya memuncak di hari ini, setelah penantian yang begitu panjang, yang tidak bisa dirasakan Andika, bahwa itu tidak akan lama lagi.

   Tidak akan lama....

   Semua rasa itu telah menghilangkan konsentrasi dan kewaspadaan Ronald terhadap apa pun di sekelilingnya.

   Fokus pada tujuan, ia benar-benar tenggelam dalam semua rasa yang telah mengepungnya begitu lama itu.

   Tidak dipedulikannya hal lain.

   Tidak dirasakannya "sesuatu"

   Datang. Tidak juga Andika. Yang masih mengiringi Ronald dengan tatapan mata. Tidak dirasakannya "sesuatu"

   Itu bergerak semakin dekat.

   Tidak juga pengemudi sedan itu, yang memanfaatkan kelengangan jalan dengan langsung menambah kecepatan.

   Sama sekali tidak diduganya bahwa seseorang akan muncul begitu saja dari antara mobil-mobil yang terparkir di pinggir jalan.

   Seseorang yang sibuk membawa buket bunga besar kemudian menyeberang tanpa menoleh kiri-kanan.

   Dan "sesuatu"

   Itu kemudian melakukan tugasnya.

   Rem berdecit sia-sia! Semua bisa mendengar kerasnya bunyi hantaman itu.

   Logam yang beradu dengan daging dan tulang.

   Hanya beberapa detik.

   Tidak ada yang bisa dilakukan.

   Orang-orang hanya bisa tersentak.

   Terkesima.

   Menatap dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

   Tubuh itu rebah.

   Tanpa sedikit pun suara.

   Darah mengalir.

   Buket bunga itu terlepas dari tangan.

   Terlempar.

   Menghantam aspal jalan dengan keras.

   Rebah dan...

   patah! Namun satu kuncup tertinggal.

   Tergenggam erat dalam jemari Ronald.

   Mawar putih.

   Warna tanpa warna, hingga segala macam warna yang diinginkan bisa diimpikan.

   Andika berlari seperti kesetanan.

   Sesaat sebelum tubuh Ronald menghantam kerasnya aspal jalan, ia menangkap tubuh itu dan memeluknya kuat-kuat.

   Namun sekuat apa pun pelukan, tidak bisa menghalangi kematian.

   Andika duduk bersimpuh di tengah jalan, dengan Ronald dalam pelukan.

   Sepasang mata yang tadi menatapnya dengan sarat kecemasan namun begitu hidup dalam nyala semangat dan harapan, kini telah tertutup.

   "Sesuatu"

   Itu telah selesai melakukan tugasnya.

   H.C.

   Andersen pernah menyebutkan namanya.

   Elmaut! BAB BANGKU itu telah kosong.

   Sia-sia Andika terus menatap ke ambang pintu.

   Sahabatnya takkan pernah datang.

   Sia-sia dia berusaha menipu diri dengan menganggap realita itu adalah bagian dari mimpi.

   Namun di saat ia terjaga, saat mata itu telah terbuka, mimpi itu tidak berakhir.

   Di bangkunya, Andika duduk mematung seperti orang yang tak sadarkan diri.

   Terjatuh dalam mimpi yang takkan berakhir itu.

   Mulai hari ini ia akan duduk sendiri.

   Ronald sudah pergi, takkan pernah bisa ditemukan walaupun betapa keras Andika mencari.

   Tinggal dalam kenangan.

   Hanya dalam ingatan.

   Semua tawa dan pertengkaran.

   Semua lelucon dan keisengan konyol.

   Semua cerita dan rahasia.

   Semua dukungan dan pengertian.

   Sampai kesedihan ini akhirnya hilang.

   Sampai kekosongan ini berangsur-angsur tersembuhkan.

   Andika mengatupkan rahangnya kuat-kuat.

   Berusaha keras agar sakit dan sesak di dadanya tidak meledak keluar.

   "Gue duduk sini ya, Dik?"

   Ical tiba-tiba saja sudah berada di samping meja. Andika mendongak kaget.

   "Gue duduk sini, ya?"

   Ical mengulangi permintaannya. Seketika Andika menolak.

   "Nggak. Jangan! Biarin aja ini bangku kosong!"

   Sesaat Ical menatap Andika, kemudian kembali ke bangkunya sendiri tanpa bicara apa-apa lagi.

   Ia tidak berusaha untuk memaksa.

   Begitu juga temanteman sekelas yang lain.

   Mereka biarkan Andika tenggelam dalam kesedihannya.

   Karena, meskipun rasa itu juga dialami seisi sekelas, Andika merasakannya jauh lebih pekat dan lebih dalam.

   Karena dia dan Ronald sudah bersama-sama sejak mereka bertemu di tahun pertama SMP dulu.

   Menjelang bel pelajaran pertama berbunyi, Andika justru meninggalkan kelas.

   Tidak satu pun teman-temannya berusaha menghalangi.

   Tapi sebelum pergi ia sempat berpesan.

   "Gue minta jangan ada yang duduk di bangkunya Ronald!"

   Ucapnya dingin.

   Dengan wajah kaku dan kedua rahang mengeras, ia melangkah keluar kelas, menuju sisa-sisa bangunan lama yang masih berdiri.

   Andika kemudian memasuki salah satu ruangan.

   Dipandanginya ruangan yang dulu pernah menjadi ruang kelas itu.

   Kini ruangan ini kosong, berdebu, lengang, dan ditinggalkan.

   Tetapi dulu ruangan ini pasti penuh siswa yang kini sudah bergelar alumni dan entah tersebar di mana saja.

   Pasti banyak sekali kenangan di ruangan ini.

   Milik para alumnus itu.

   Berapa banyak dari mereka yang pernah tertangkap menyontek di ruangan ini? Berapa banyak yang telah kena marah guru? Berapa banyak yang pernah naksir teman sekelasnya sendiri? Seberapa konyol keisengan-keisengan yang pernah mereka lakukan? Seberapa riuh dan ingar-bingar keributan yang pernah mereka ciptakan? Dan kenangan yang ditinggalkan Ronald di ruangan ini adalah hari pertama ketika anak itu terpaksa harus membawa bekal makanan ke sekolah.

   Lontong dan bakwan udang.

   Yang dikeluarkannya dari dalam tas pinggang sambil berpromosi, bahwa judulnya memang "bakwan", makanan rakyat, tapi rasa dan kualitasnya standar hotel berbintang.

   Jadi, meskipun mereka berdua tidak bisa jajan di kantin dan terpaksa kembali ke zaman TK -membawa bekal dari rumah-itu sama sekali bukan kondisi yang tragis atau mengenaskan.

   Ada sebentuk senyum muncul di mata sedih Andika yang menerawang.

   Namun kenangan-kenangan itu kemudian membuatnya tidak sanggup lagi menahan kepedihan.

   Karena tak mungkin berteriak, akhirnya Andika melepaskan rasa sesaknya dengan meninju dinding, kemudian menendang keras-keras meja-kursi rusak yang ditumpuk di salah satu sisi ruang.

   Tendangan itu menyebabkan kursi yang ditumpuk paling atas jatuh berdebam.

   Salah satu kaki kursi yang sudah rusak seketika patah.

   Andika meraih kusri itu dan mematahkan ketiga kakinya yang lain.

   Dibantingnya patahan-patahan kaki kursi itu kuat-kuat ke lantai.

   Cowok itu mengamuk diluar kesadaran, dan baru berhenti setelah benarbenar lelah dan kedua kaki-tangannya terasa sakit.

   Tubuhnya kemudian meluruh lunglai.

   Jatuh terduduk di lantai.

   Sama sekali tidak peduli dengan tebalnya debu dan kotoran.

   Ke mana perginya orang-orang yang sudah meninggal? desis hatinya perih.

   Tanya yang tanpa jawab.

   Atau bisa jadi justru punya begitu banyak jawaban.

   Hingga akhirnya percuma saja ditanyakan.

   Karena hanya akan membingungkan hingga akhirnya berujung dengan -lagi-lagi-tanpa jawaban.

   Kepala Andika tertunduk dalam.

   Susah payah ia menelan ludah.

   Tangis yang mati-matian ditahan membuat tenggorokannya sakit.

   Dengan letih ia menyandarkan tubuh dan kepalanya ke dinding.

   Perlahan kedua matanya terpejam.

   Dalam kegelapan, ia paksakan hatinya untuk berhenti bertanya ke mana perginya orang-orang yang sudah meninggal.

   Namun gagal, karena sederet pertanyaan baru kemudian justru bermunculan.

   Tidakkah mereka, orang-orang yang sudah "pergi"

   Itu, juga merasakan kepedihan yang sama? Apakah meraka juga tetap mengingat dan menyimpan semua kenangan? Senyum terakhir orang-orang yang mereka tinggalkan.

   Pelukan terakhir.

   Tawa terakhir.

   Percakapan, pertengkaran, kemarahan, kesedihan.

   Canda dan tangis.

   Apakah mereka juga berusaha menembus bagian yang terputus itu? Berusaha menggapai kembali orang-orang yang mereka cinta.

   Berusaha bicara.

   Sama seperti orang-orang yang masih hidup, yang mereka tinggalkan, berusaha terus "mencari"

   Dan "menghidupkan kembali"

   Mereka yang telah pergi.

   Dengan segala cara.

   Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab lainnya, yang luruh bersama air mata, akhirnya membuat Andika jatuh tertidur.

   Cowok itu baru muncul kembali di kelas setelah jam istirahat pertama berakhir.

   Melihat kedua matanya yang agak memerah dan baju seragamnya yang kotor, tidak satu pun teman sekelasnya sampai hati untuk bertanya.

   Begitu juga para guru, ketika mereka mendapati Andika lebih banyak melamun daripada menyimak pelajaran.

   Beberapa guru menegurnya dengan lembut.

   Beberapa membiarkan.

   Mereka memahami.

   Tanya yang sama juga menekan dada Reinald sebelum Ronald dimakamkan.

   Ketika tubuh sang kakak yang terbujur kaku dan diam dalam peti mati itu masih bisa ditatapnya.

   Masih bisa disentuh dan diraba.

   Ketika dirinya sudah letih menangis.

   Ketika telah terhenti semua histeria dan reaksi gila.

   Pertanyaan itu pun muncul.

   Ke mana perginya jiwa-jiwa yang lepas dari badan? Satu tanya tanpa jawaban.

   **** Kematian Ronlad diumumkan pihak sekolah Reinald dengan pengeras suara.

   Namun karena baru satu hari bersama-sama dalam satu kelas, belum begitu saling kenal, hanya segelintir teman sekelas Reinald yang datang melayat.

   Citra tidak datang.

   Sempat timbul kemarahan dalam hati Reinald saat sampai malam menjelang larut, cewek itu tidak juga kelihatan.

   Bahkan keesokan harinya, saat Ronald dimakamkan, Citra tetap tidak datang.

   "Dia yang matiin kakak gue, dan dia nggak dateng!"

   Desisnya berang.

   "Kurang ajar tu cewek!"

   Andika, yang duduk di sebelahnya, menepuk bahu Reinald pelan.

   "Citra nggak kenal Ronald,"

   Bisiknya.

   "Jadi lo nggak bisa nyalahin dia."

   "Katanya waktu itu udah sempet kenalan?"

   "Udah lama banget. Gue nggak yakin Citra masih inget."

   Dua hari kemudian, ketika Reinald kembali masuk sekolah, teman-teman sekelas yang tidak datang melayat satu per satu mendatangi Reinald untuk mengucapkan belasungkawa.

   Ketika Citra mendatanginya, tanpa sadar raut wajah Reinald mengeras.

   Ia masih marah karena cewek itu tidak datang untuk melihat Ronald terakhir kali, sebelum tubuhnya disatukan dengan bumi.

   Citra, yang bisa melihat kemarahan Reinald dengan jelas, dengan rasa bersalah menerangkan penyebab dirinya tidak datang.

   "Maaf, bukannya gue nggak mau dateng. Tapi temen-temen yang gue tanyain pada nggak tau alamat rumah lo. Gue telepon HP lo berkali-kali, tapi nggak aktif."

   Amarah Reinald sedikit meluruh. Malas berkali-kali menjawab pertanyaan seputar kematian Ronald, Reinald mematikan ponselnya, bahkan sampai pagi ini.

   "Nanti pulang sekolah lo ke rumah gue ya. Mau, ya?"

   Tanyanya. Reinald buru-buru menyambung kalimatnya melihat Citra ragu.

   "Sebentaaar aja. Nanti pulangnya gue anter."

   Citra tidak sampai hati menolak.

   Meskipun dalam hati dia bingung, kenapa hanya dirinya yang diminta Reinald untuk ke rumahnya.

   Sementara temanteman sekelas yang lain tidak.

   Sepanjang perjalan, keheningan mendominasi di dalam taksi.

   Citra merasa canggung, juga bingung.

   Sementara Reinald tenggelam dalam pikirannya sendiri.

   Ia tidak lupa dengan cewek yang duduk di sebelahnya.

   Hanya sama sekali tidak ingin mengajaknya bicara.

   Ronald tewas di jalan raya gara-gara cewek satu ini.

   Semua orang bilang itu takdir yang tragis.

   Tapi bagi Reinald, itu sama sekali bukan tragis.

   Tapi konyol! Sia-sia! Karena rumahnya masih agak rame dengan kedatangan saudara dan para tetangga, Reinald membawa Citra ke teras samping.

   "Mau minum apa?"

   Tanyanya. Nada suaranya tetap dingin.

   "Apa aja. Nggak usah juga nggak apa-apa,"

   Jawab Citra pelan. Reinald berjalan ke dalam. Tak lama ia muncul dengan segelas sirop dingin dan sebuah foto berbingkai.

   "Ini kakak gue, yang meninggal dua hari lalu."

   Reinald mengulurkan foto Ronald. Citra menerimanya, lagi-lagi dengan bingung.

   "Kejadiannya ternyata di jalan raya di depan gang rumah gue,"

   Ucap Citra pelan.

   "Gue sama sekali nggak nyangka kalo itu kakak lo. Tetangga-tetangga gue sih banyak yang keluar, ke jalan. Tapi gue nggak berani."

   "Dia meninggal di tempat kejadian,"

   Ucap Reinald dengan nada yang tibatiba jadi getas.

   Rasa ingin menyalahkan Citra atas peristiwa itu kembali muncul.

   Citra jadi bingung harus bagaimana.

   Akhirnya ia menunduk, memperhatikan foto Ronald.

   Melihat itu, kemarahan Reinald menguap.

   Berganti dengan rasa penasaran.

   Dengan tatap tajam, diperhatikannya wajah tertunduk Citra.

   "Kakak lo nggak mirip elo, Ren,"

   Ucap Citra sambil mengembalikan foto itu dengan gerakan terburu-buru.

   Bukan apa-apa.

   Bulu kuduknya merinding.

   Kakak Reinald itu, dari fotonya jelas orangnya asyik banget.

   Kayaknya kocak dan suka iseng.

   Matanya bandel.

   Tapi dia sudah meninggal...

   Lagi pula gue nggak kenal, Citra berkata dalam hati.

   Reinald menerima foto Ronald yang diulurkan Citra.

   Perasaannya campur aduk mendapati kenyataan bahwa ternyata Citra memang tidak mengenal Ronald.

   "Dia mirip adik gue, Raina. Di antara kami bertiga, cuma gue yang mukanya beda."

   "Oooh."

   Citra mengangguk-angguk. Kemudian dengan perasaan tidak enak, ia mohon diri.

   "Mmm... gue pamit ya, Ren. Nggak apa-apa, nggak usah dianter. Gue bisa pulang sendiri."

   Reinald menggeleng tegas.

   "Tadi gue udah janji mau nganter lo pulang, kan? Bentar gue ganti baju dulu."

   Begitu Reinald menghilang ke dalam, Citra menarik napas panjang.

   Di luar suasana duka di rumah ini, dia merasa ada suasana yang lain.

   Yang aneh.

   Yang beda.

   Tak lama Reinald kembali, sudah berganti dengan T-shirt dan celana jins.

   Namun bukan itu yang membuat Citra semakin merasakan adanya suasana yang aneh itu.

   Melainkan buket bunga ditangan Reinald, juga ekspresi mukanya yang kelam.

   Reinald meletakan buket bunga yang sudah mulai layu itu di meja, persis di depan Citra.

   Dengan bingung Citra menatapnya.

   Yang pasti, buket bunga itu tadinya bagus.

   Kemudian mungkin membentur atau terbentur sesuatu, atau jatuh, karena beberapa tangkainya patah dan berusaha ditegakkan kembali dengan selotip.

   Sesaat Reinald menatap Citra tanpa bicara.

   Sorot matanya yang pekat dengan kesedihan membuat Citra tak tega bertanya.

   "Gue minta, mohon malah, please banget, Cit, tolong lo terima buket bunga itu. Dan jangan tanya apa-apa. Nanti kalo gue udah siap, gue akan cerita,"

   Ucap Reinald lirih. Citra mengangguk. Reinald terlihat lega."Yuk, gue anter pulang."

   Keduanya kembali menempuh perjalan yang dibalut keheningan total.

   Untuk Reinald, perjalanan kalu ini membuatnya emosional.

   Pergi ke tempat saat-saat terakhir hidup Ronald.

   Dan Reinald benar-benar tidak sanggup meneruskan.

   Menjelang taksi berbelok ke ruas jalan tempat Ronald tewas terkapar, cowok itu minta taksi berhenti.

   Dadanya sakit, dia tidak sanggup lagi menahan.

   "Stop di sini sebentar, Pak!"

   Suaranya bergetar.

   "Gue turun di sini, Cit. Berani kan, sendirian? Udah deket kok."

   Belum sempat Citra menjawab, Reinald sudah membuka pintu di sebelahnya. Setelah meletakan beberapa lembar uang sebesar jumlah argo berikut tip di kursi depan yang kosong, cowok itu segera turun.

   "Lho, kok? Ren..."

   Kalimat Citra tidak sempat selesai, karena Reinald sudah menutup pintu dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

   Citra menatap kepergian cowok itu dengan kening berkerut, kemudian membuat sopir taksi melanjutkan perjalanan.

   Di sisa perjalanan yang tinggal sepuluh menit itu, Citra tepekur menatap buket bunga cacat dipangkuanya.

   Bingung.

   Tidak mengerti.

   **** Malamnya Reinald menelpon Andika.

   "Gue tunjukin foto Ronald ke Citra tadi sore."

   "Trus?"

   "Kayaknya dia nggak inget pernah kenalan."

   "Ya wajarlah. Cuma satu kali mereka pernah sama-sama. Udah lama banget pula."

   "Tapi gue nggak rela. Dia harus tau!"

   Di seberang, Andika menghela napas.

   "Trus kalo dia udah tau, lo mau apa? Biar dia merasa bersalah, gitu? Padahal dia sama sekali nggak salah."

   Reinald terdiam.

   "Pokoknya dia harus tau!"

   Ucapnya kemudian.

   Final! ***** Ketika kemudian diawasinya Citra tanpa kentara namun dengan kesiagaan setara sipir penjara, Reinald sadar, ini kemarahan-tidak terima dan keinginan untuk menyalahkan cewek itu atas kematian kakaknya.

   Citra harus mengenal Ronald.

   Tidak bisa tidak! Harus!!! Andika berusaha memberikan pengertian bahwa itu sama sekali bukan kesalahan Citra.

   Sedikit pun cewek itu tidak bersalah.

   Tidak ada yang bisa disalahkan atas peristiwa tragis itu.

   Bahkan pengemudi sedan itu pun tidak bersalah.

   Namun Reinald tidak mau mendengar.

   Pembicaraan mereka kemudian berubah menjadi tarik urat sengit.

   "Si Citra itu nggak kenal Ronald, Ren!"

   "Ronald sering nongkrongin SMP-nya, kan? Masa tu cewek masih nggak kenal juga? Nggak mungkin! Pasti dia cuma lupa!"

   "Ronald nongkrongnya di luar, bukan di dalem sekolahkan!"

   "Mau di luar atau di dalem, Ronald itu bukan laler. Dia orang, manusia. Jadi, nggak mungkin kalo nggak keliatan!"

   "Elo tau? Di depan sekolahnya Citra itu ada taman. Banyak orang dagang di situ. Jadi banyak orang nongkrong tiap hari. Mana mungkin tuh cewek merhatiin?"

   "Jumlah orang yang nongkrong di taman itu sebanyak jumlah orang yang lagi demo, nggak? Atau sebanyak suporter persija yang baru pulang nonton bola?"

   Reinald tetap ngotot.

   "Si Citra itu nggak bisa disalahin, Ren!"

   Bentak Andika, mulai putus ada menghadapi kekeraskepalaan Reinald.

   "Dia salah!"

   Reinald balas membentak.

   "Meskipun nggak sadar, nggak sengaja, dia salah!"

   Tandasnya.

   "Udah deh. Nggak usah ikut campur. Yang meninggal bukan kakak lo!"

   "Apa lo bilang!?"

   Andika berang. Tapi tak lama kemudian, suara Andika melunak. Ia sadar saat ini Reinald sedang labil.

   "Ren, denger ya? Gue sebangku sama kakak lo udah hampir enam taun! Dari hari pertama kami masuk SMP. Lo sekarang sekamar sendirian. Gue semeja sendirian. Biasa ada orang yang lo ajak berantem. Gue juga begitu. Biasanya ada kepala yang bisa gue jitakin begitu sampe sekolah. Sekarang nggak ada lagi."

   Kemudian, tanpa sadar Andika jadi emosional. Suaranya mulai bergetar.

   "Kalo gue lagi bete di kelas, pengin cabut, biasanya ada orang yang matimatian ngotot ke guru. Bilang kalo gue sebenernya lagi sakit parah, dam menurut petunjuk dokter, meskipun di sekolah kudu tetep sering-sering istirahat. Lebih sering istirahat lebih bagus. Ada orang yang mati-matian belagak nggak tau di mana gue nongkrong kalo lagi cabut. Sekarang tu orang sudah nggak ada lagi, Ren. Jadi bukan cuma elo yang sedih. Gue juga sedih. Gue juga ngerasa ditinggal. Malah gue ngerasa bersalah, karena gue yang ngedukung perburuan kakak lo. Ngikutin setiap perkembangannya. Dengerin semua ceritanya."

   Rentetan kalimat panjang Andika itu tanpa sadar telah membuat Reinald terbungkam. Saat Andika menarik napas. Panjang dan dalam. Kemudian ia melanjutkan dengan nada berat...

   "Balik ke masalah Citra. Oke kalo lo tetep ngotot, mau dia tau soal kelak lo. Tapi nggak perlu sampe dia harus tau semuanya,"

   Sesaat Andika terdiam.

   "Kasian." **** Setelah pembicaraan dengan Andika lewat telepon itu, Reinald duduk tepekur di depan meja belajar Ronald. Dipandanginya secarik kertas yang ditempelkan Ronald berbulan-bulan yang lalu di dinding di depannya. Di kertas itu, bersebelahan dengan kertas berisi ke-16 formula tense bahasa Inggris, semua data tentang Citra tertulis lengkap. Tempat tinggal lahir, golongan darah, alamat rumah, hobi, warna favorit, pelajaran favorit, makanan dan minuman favorit, acara teve favorit, lagu dan group band favorit, sampai binatang peliharaan favorit. Paragraf-paragraf seterusnya berisi tentang data-data Citra yang lebih spesifik lagi. Uraian karakternya panjang dan rinci. Usil, jail, periang, gampang ketawa, bawel, dstdst. Uraian fisik Citra juga tercatat lengkap. Tinggi badan sedang, kulit langsat, rambut hitam agak bergelombang. Punya poni. Mata bulat, bola matanya berwarna cokelat tua. Kalau ketawa sepasang mata itu berbinar-binar dan membentuk sudut yang memperlihatkan dengan jelas karakter usil dan iseng pemiliknya. Dst-dst. Reinald kemudian menarik salah satu laci meja, tempat Ronald menyimpan setumpuk foto Citra yang di-shoot dari kejauhan. Karena sasaran bidik tidak menyadari, seluruh pose cewek itu terlihat natural. Alami. Reinald menutup kembali laci itu dengan empasan keras. Kedua rahangnya mengatup rapat. Kesepuluh jarinya bertaut kuat. Kedua mata Reinald meredup. Kembali ditatapnya tulisan tangan Ronald tentang Citra. Perlahan kelopak matanya menutup. Beberapa saat ia tetap dalam posisi itu. Duduk diam dengan kedua mata terpejam dan rahang terkatup. Dadanya turun-naik dengan cepat. Sudahlah! Sudahlah! SUDAHLAH!!! Itu takdir! Nasib! Garis hidup! Suratan! Dan hak Tuhan, yang sama sekali tidak boleh dipertanyakan! Ada begitu banyak kata untuk peristiwa itu. Untuk cara Ronald meninggalkan keluarga dan semua temannya. Namun tetap, kemarahan Reinald tidak berkurang. Tidak bisa keluar! Tidak bisa hilang! Tidak bisa dilupakan! Kemarahan ini... tidak bisa dienyahkan!!! Tidak ada cara lain. Satu-satunya cara, Citra harus menerima kemarahan ini. Mau cewek itu tidak mengerti atau bahkan tidak tahu, Reinald tidak peduli! Mata Reinald terbuka mendadak. Cowok itu menarik napas dan mengembuskannya kuat-kuat. Setelah mengambil keputusan itu, hatinya langsung terasa lega. Seakan telah mendapatkan legitimasi untuk memperlakukan Citra sepeti keinginannya. ***** Keesokan paginya, untuk pertama kalinya sejak kematian Ronald, Reinald berangkat ke sekolah dengan perasaan ringan karena ada seseorang yang bisa dijadikannya sebagai sasaran untuk melampiaskan semua kesesakan. Cowok itu sama sekali tidak menyadari bahwa tindakannya menyalahkan Citra dan mengharuskan cewek itu "mempertanggung jawabkan perbuatannya"

   Sebenarnya adalah caranya untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

   Karena Reinald sebenarnya membutuhkan sandaran untuk mengatasi rasa kehilangan itu.

   Sesuatu atau seseorang, yang akan mengingatkannya pada sang kakak.

   Atau bahkan bagian dari sang kakak.

   Dan Citra memenuhi keduanya.

   Begitu sampai kelas, Reinald langsung menghampiri Citra dan duduk di depannya.

   "Lo tau nggak kalo kakak gue itu satu-satunya saudara cowok yang gue punya!?"

   Tanyanya, dengan intonasi yang langsung terasa getas.

   "Mmm.... iya,"

   Citra menjawab dengan jeda cukup lama.

   "Lo udah pernah cerita, waktu gue ke rumah lo itu."

   "Bagus kalo udah tau,"

   Tandas Reinald.

   Kemudian cowok itu berdiri dan pergi begitu saja.

   Meninggalkan Citra terbengong-bengong sendirian.

   Namun cewek itu segera memaklumi.

   Reinald baru saja kehilangan kakaknya.

   Jadi kesimpulan Citra untuk keanehan Reinald tadi...

   tu cowok masih sedih.

   Besoknya terjadi lagi.

   Begitu datang, Reinald langsung menghampiri Citra dan menjulangkan tubuh di depannya.

   "Buket bunga yang waktu itu gue kasih, masih lo simpen?"

   Tanyanya, dengan intonasi suara persis seperti kemarin. Getas. Tajam. Sambil mengerut kening, Citra mengangguk.

   "Masih."

   "Bagus! Awas kalo sampe gue denger lo berani buang tu buket bunga!"

   Setelah melontarkan ancaman itu, Reinald langsung pergi.

   Kerutan di kening Citra semakin rapat.

   Dengan bingung terus dipandanginya Reinald sampai cowok itu duduk di bangkunya.

   Citra memang masih menyimpan buket bunga itu, walaupun sekarang sudah layu dan mengering, hanya karena satu alasan.

   aneh! Dan hari ini keanehan itu terbukti.

   Sudah lebih dari seminggu yang lalu ia terima buket bunga itu, sekarang ia ditanya buket bunga itu masih ada atau nggak.

   Aneh banget, kan? Kesimpulan Citra atas keanehan Reinald di hari kedua ini.

   pasti tu cowok nggak sempet sarapan dan sekarang udah terlalu mepet buat turun ke kantin.

   Jadi sekarang si Reinald itu lagi kelaperan, makanya jadi emosi membabi buta gitu.

   Besoknya, Reinald baru menghampiri Citra saat istirahat kedua, karena baru saat itulah Citra benar-benar sedang sendirian.

   Begitu melihat Reinald datang menghampiri dengan ekspresi dingin, Citra langsung tahu bakalan mendapat pertanyaan aneh lagi.

   "Kalo lo diperhatiin orang, meskipun diem-diem, meskipun tu orang berbaur diantara kerumunan, kira-kira lo akan merasa, nggak?"

   Bener, kan? Citra lansung kesal.

   "Ng... nggak deh kayaknya."

   Pertanyaan itu juga dijawabnya dengan sopan, meskipun sambil menahan dongkol.

   "Kalo tu orang merhatiinya hampir setiap hari?"

   Kejar Reinald.

   "Ooh, kalo tiap hari sih pasti akan terasa, lah. Meskipun sedikit."

   "Pasti terasa, ya? Meskipun sedikit."

   Reinald menegaskan jawaban Citra.

   "Oke!"

   Ia mengangguk.

   Lalu seperti kemarin-kemarin, ia pergi begitu saja.

   Karena kelas mereka baru saja belajar matematika selama empat jam pelajaran, full tanpa jeda, dicekoki rumus-rumus dan angka-angka, Citra mengambil keputusan bahwa...

   Reinald mabok! Dan itu juga berarti, tu cowok IQnya dibawah rata-rata alias kurang cerdas.

   Karena baru belajar matematika 2 x 45 menit aja langsung ngaco.

   Besoknya Reinald kembali mendatangi Citra.

   Dengan pertanyaan aneh yang lain lagi.

   Begitu juga besoknya dan besoknya.

   Sampai pada akhirnya, hari ini, Citra kehabisan stok kesabarannya.

   Pertanyaan Reinald dinilainya sudah kelewatan.

   Bukan cuma makin aneh, tapi juga mulai menganggu banget.

   "Lo udah punya cowok?"

   Reinald mengajukan pertanyaan yang sangat sensitif itu, tetap dengan tampang dingin.

   "Hah!?"

   Citra ternganga. Mata bulatnya yang memandang Reinald terbelalak maksimal.

   "Belom,"

   Jawabnya kemudian dengan polos, saking kagetnya.

   "Bagus!"

   Reinald mengangguk puas.

   "Lo jangan punya cowok dulu ya. Daripada ntar tu cowok gue gamparin!"

   Kemudian seperti biasa, Reinald pergi begitu saja.

   Citra mengikuti kepergiannya dengan mata yang perlahan mulai menyipit.

   Marah! Begitu sampai di rumah, Citra buru-buru ganti baju kemudian makan siang.

   Selesai makan siang, cewek itu mengurung diri di kamar.

   Mamanya memperhatikan keanehan anaknya itu dengan heran, namun memilih untuk tidak mengusik, karena biasanya nanti Citra akan bercerita dengan sendirinya.

   Di kamarnya, Citra tidur telentang di tempat tidur.

   Kedua matanya menerawang menatap langit-langit.

   Ia sibuk berpikir bagaimana cara membalas keanehan Reinald.

   Ia sama sekali tidak tertarik memikirkan penyebab keanehan cowok itu.

   Jangan-jangan memang Reinald orangnya aneh.

   Kalaupun tadinya bukan orang aneh terus sekarang jadi aneh, itu sama sekali bukan urusannya.

   Karena tidak juga menemukan ide, akhirnya Citra menemui mamanya dan menceritakan masalah yang sedang dihadapinya.

   "Yah, dia masih sedih mungkin. Kakaknya kan baru meninggal."

   "Trus apa hubungannya sama aku?"

   "Mama juga bingung. Kamu tanya dia dong. Tapi tanyanya pelan-pelan. Baikbaik. Kalo perlu kamu ajak makan. Trakir dia di mana, gitu."

   "Iiiih, rugi banget! Mama kok tumben sih sarannya nggak oke banget?"

   "Lho, nggak oke gimana? Justru karena kamu nggak tau masalahnya, makanya kamu tanya dia baik-baik. Perlakukan dia baik-baik juga. Siapa tau kamu nggak sengaja udah bikin salah sama dia. Bisa aja, kan?"

   "Aku salah apa sama dia, Ma? Jadi temen selekas juga belom ada sebulan."

   "Makanya tanya baik-naik. Ngeyel! Nggak ada ruginya ngalah sedikit. Lagipula pasti ada alasan kuat kenapa dia, siapa namanya tadi? Reinald? Aneh begitu."

   Citra terdiam.

   Tapi tampak jelas ia tidak setuju saran mamanya itu.

   Kalau harus menanyakan akar permasalahannya ke Reinald, ia setuju.

   Tapi sambil nraktir? No way! Bisa nahan diri untuk nggak menganiaya tu cowok aja udah bagus banget.

   Besoknya Citra bersiap-siap menunggu kedatangan Reinald.

   Cewek itu duduk di bangkunya tegak-tegak.

   Sebelum Reinald sempat marah-marah nanti, ia akan marah-marah duluan.

   Enak aja, tiap hari dapet omelan.

   Salahnya apa nggak dikasih tau.

   Apalagi masalahnya.

   Gelap! Kalo abis diomelin trus ditraktir atau dikasih duit sih nggak apa-apa, gerutu Citra dalam hati.

   Citra tidak perlu menunggu terlalu lama.

   Dua menit kemudian Reinald muncul di ambang pintu kelas.

   Citra langsung bersiap-siap.

   Namun ternyata Reinald langsung melangkah ke bangkunya sendiri.

   Jangankan menghampiri Citra, menoleh ke arah cewek itu pun tidak.

   Lho? Citra menatap heran.

   Bingung terhadap ketidakbiasaan Reinald itu.

   Tapi ia tetap menunggunya.

   Paling-paling nanti jam istirahat pertama atau kedua.

   Citra menunggu penuh keyakinan.

   Tapi ternyata Reinald tetap tidak menemuinya.

   Sampai bel pulang berbunyi, Citra masih menunggu, masih belum kehilangan semangat untuk ganti marahmarah.

   Tapi kemudian dilihatnya Reinald berjalan ke luar kelas bersama cowok-cowok yang duduk di deretan bangku paling belakang.

   Lagi-lagi tanpa menoleh sedikit pun.

   Kurang ajar! desis Citra berang.

   Giliran gue siap perang, dia malah mundur! Sebenarnya Reinald bukan mundur.

   Ia hanya kehabisan stok intimidasi.

   Lagipula yang terpenting baginya adalah Citra nggak punya cowok.

   Jangan sampai punya cowok.

   Jadi, selama dilihatnya cewek itu masih sendirian, Reinald memutuskan tidak perlu marah-marah atau bersikap galak setiap hari.

   BAB BESOKNYA, Citra menunggu kedatangan Reinald dengan sengaja duduk di bangku cowok itu, di barisan kedua belakang.

   Dengan begitu tu cowok nggak bisa cuek pagi.

   Enak banget dia, pas mau dilabrak balik malah pura-pura cuek.

   Curang banget! Ketika muncul, Reinald kaget banget mendapati bangkunya sudah berpenghuni.

   Ia surprise begitu tahu siapa tang sedang menghuni bangkunya itu.

   Dengan langkah cepat dan kening berkerut, dihampirinya Citra.

   Sementara Citra segera bersiap-siap begitu dilihatnya Reinald muncul di ambang pintu, dan langsung menyambut cowok itu dengan kata-kata ketus.

   "Kemaren kenapa lo nggak marah-marah? Lupa? Apa udah bosen?"

   "Itu pertanyaan buat gue?"

   Tanya Reinald, kembali merasa surprise. Soalnya sampai terakhir kali ia marah-marah dua hari lalu, reaksi Citra cuma bingung atau diam. Kalaupun mengeluarkan suara, pilihan kata dan intonasi suaranya begitu hati-hati.

   "Iya, elo! Orang yang sekarang bangkunya lagi gue dudukin!"

   Jawab Citra.

   Semua rasa yang ditahannya selama berhari-hari muncul sekaligus.

   Marah, kesal, dongkol, heran.

   Terlihat jelas dari ekspresi muka dan cara kedua matanya menatap Reinald.

   Namun Citra juga berusaha agar tidak satu pun teman sekelasnya menyadari pertengkaran mereka.

   Ia segera mengubah air muka dan memunculkan senyum manis instan tiap kali seseorang mendekat atau melewati mereka berdua.

   "Berdiri cepet! Pindah ke bangku lo sendiri sana!"

   Perintah Reinald. Citra jadi tambah marah.

   "Nggak mau. Gue mau duduk di sini!"

   Jawabnya. Sesaat Reinald tercengang dengan jawaban kasar dan ketus itu.

   "Gitu ya? oke, nggak masalah,"

   Ucap Reinald enteng. Cowok itu lalu sedikit membungkukkan sedikit tubuhnya, melongok laci meja Roni. Dilihatnya teman sebangkunya itu udah datang karena tasnya ada. Reinald lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana.

   "Ron, kayaknya lo harus pindah. Soalnya ada yang pengin semeja sama gue."

   Tidak berapa lama Roni datang. Melangkah masuk kelas dengan ekspresi kesal.

   "Siapa yang mau duduk di bangku gue!?"

   Tanyanya.

   "Gue. Soalnya bangku gue ada yang nempatin,"

   Jawab Reinald.

   "Siapa?"

   "Tuh."

   Reinald menunjuk Citra dengan dagu.

   "Elo, Cit?"

   Kekesalan Roni seketika menghilang. Ditatapnya Citra yang terbingung-bingung dengan mata melebar dan alis terangkat tinggi.

   "Iya, dia!"

   Reinald yang menjawab.

   "Serius lo mau duduk di belakang? Di sini nggak ada cewek lho."

   "Serius!"

   Lagi-lagi Reinald yang menjawab.

   "Udah dari tadi dia duduk di bangku gue. Gue suruh pergi, nggak mau. Terpaksa gue duduk di bangku lo, Ron. Dan elo...,"

   Reinald tersenyum.

   "terpaksa duduk sama cewek-cewek."

   Ia menunjuk tempat duduk Citra, di baris kedua dari depan, dengan pandangan mata.

   Selain baris terdepan, baris kedua juga dihindari para cowok.

   Roni sudah akan menolak mentah-mentah, tapi kemudian tatapan Reinald membuatnya ingat akan sesuatu.

   Sesuatu yang beberapa kali dibicarakan dengan Reinald, yang awalnya rahasia tapi kemudian Roni mengatakannya terus terang.

   Sesuatu yang ditahannya mati-matian, bingung akan terus maju atau tidak, dalam tanda tanya besar akan kemungkinan sang topik pembicaraan masih sendirian atau sudah...

   Ya, Roni naksir Loni, teman semeja Citra! "Oke!"

   Roni langsung menyetujui pertukaran bangku itu. Mukanya mendadak sumringah. Berseri-seri. Gila, ini dream come true banget! "Sekarang kan pindahnya?"

   Tanyanya penuh semangat, sambil menarik keluar ranselnya dari laci meja.

   "Iya, sekarang,"

   Reinald menjawab sambil tersenyum geli.

   "Sekalian bawain ke sini tasnya Citra, ya."

   "Oke!"

   Roni melangkah menuju bangku barunya dengan girang.

   Sementara Citra mengikuti renteten kejadian itu dengan agak-agak nggak sadar.

   Soalnya ini benar-benar di luar dugaannya.

   Begitu juga Loni.

   Cewek itu kaget banget karena mendadak sebangku sama cowok, yang datang dengan wajah bahagia pula.

   "Elo yang dateng ke sini ya, Cit. Bukan gue yang ngundang, apalagi ngajak. Jadi kalo lo ntar kenapa-kenapa, gue nggak tanggung jawab."

   Peringatan pertama itu diucapkan Reinald dengan tenang. Cowok itu memasukkan ranselnya ke laci kemudian duduk di sebelah Citra, di bangku Roni yang baru ditinggalkan pemilik sahnya. Citra jadi mengernyitkan kening mendengar itu.

   "Kenapa-kenapa gimana maksudnya?"

   "Di belakang sini nggak ada cewek. Semua cewek ngumpulnya di barisan tengah sama depan. Jadi kalo ntar lo digodain, diisengin, dijailin, jangan ngambek apalagi nangis, ya? Gue paling males sama cewek-cewek kayak gitu."

   Mulai terlihat keragu-raguan di muka Citra.

   "Jadi gue kasih tau dari sekarang. Jangan dikira kalo lo duduk di tempat gue, trus gue bakalan peduli atau harus peduli kalo lo kenapa-kenapa!"

   Tandas Reinald. Wah, kayaknya gawat nih! desis Citra dalam hati.

   "Cit, lo duduk di belakang sekarang?"

   Tanya Loni. Kedua matanya menatap Citra lebar-lebar.

   "Iiih. Di situ kan serem. Isinya perampok sama penyamun doang."

   Kalimat Loni itu membuat Citra menoleh ke Reinald. Cowok itu mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Tersenyum tipis tapi penuh kemenangan.

   "Cit, bener sekarang lo duduk di belakang?"

   Tanya Loni lagi.

   "Kok nggak bilang-bilang sih? Jadi kita udah nggak sebangku lagi nih?"

   Ada nada kesal dalam suaranya.

   Juga sedih dan tersinggung.

   Citra sudah akan bangkit berdiri dan kembali ke bangkunya, tapi Reinald menangkap pergelangan tangannya dan menahan geraknya.

   Peristiwa itu tidak terlihat oleh Loni dan Roni karena terhalang meja.

   "Lo yang dateng ke sini, kan?"

   Reinald berbisik tajam.

   "Jangan pergi seenaknya!"

   Citra menoleh dan tertegun. Wajah Reinald... Ia melihat kemarahan di sana. Kemarahan dan kebencian. Dan genggaman tangan cowok itu di pergelangan tangannya benar-benar kuat hingga terasa menyakitan.

   "Jangan seenaknya!"

   Sekali lagi Reinald mendesis tajam, tatapannya menghunjam lurus ke kedua bola mata Citra. Tapi saat ia menoleh ke Loni, semua ekspresi itu lenyap. Berganti senyum dan wajah ramah.

   "Iya, Lon. Sekarang Citra duduk sama gue. Biar ada cewek di belakang sini. Jadi nggak garing-garing amat. Roni duduk sama elo. Biar di situ juga nggak garing-garing amat. Ada cowok kerennya gitu."

   Cowok keren? Loni langsung menoleh ke cowok di sebelahnya. Seketika Roni menampilkan senyum yang -menurut cowok itu-paling manis. Juga ekspresi muka yang menurutnya paling ganteng dan paling charming.

   "Ron, mana tas Citra? Bara ke sini dong. Kok jadi lupa sih?"

   Tanya Reinald.

   "Oh, iya!"

   Roni menepuk kening.

   "Iya nih, jadi lupa!"

   Dikeluarkannya tas Citra, yang terdesak oleh ranselnya, dari dalam laci. Kemudian Roni menghampiri Reinald dan Citra dengan seringai malu dibibirnya.

   "Iya, sori lupa. Soalnya gue lagi bahagia banget. Tengkyu ya, Cit."

   Ia menyerahkan tas itu kepada pemiliknya. Lalu buru-buru kembali ke tempat duduk barunya. Citra memerhatikan tingkah Roni dengan bingung. Ia menoleh ke Reinald dengan pandang bertanya.

   "Roni udah naksir Loni dari MOS kemaren,"

   Ucap Reinald tak acuh.

   "Oh!"

   Citra tercengang.

   ***** Dua deret bangku paling belakang itu isinya memang cowok doang.

   Dan cowok deret belakang yang pertama kali menyadari ada member baru, cewek pula, adalah Ian.

   Dari Ian-lah Citra menerima ucapan selamat datang yang pertama, dalam bentuk ungkapan keheranan.

   "Eh, ada Citra? Sekarang lo duduk di belakang, Cit? Kereeen! Ini baru cewek pemberani!"

   Ucapan selamat datang dengan intonasi keheranan yang persis sama bertubi-tubi di terima Citra lima menit menjelang bel masuk.

   "Eh, ada Citra? Lo sekarang duduk di sini, Cit?"

   Ucap para cowok itu sambil menuju bangku masing-masing. Tapi ucapan welcome dari Derry agak mengundang kecemasan.

   "Eh, ada Citra? Lo duduk di belakang sekarang, Cit? Asyiiik, sekarang di belakang ada ceweknya!"

   Citra menatap muka sumringah Derry.

   Kenapa ya, tu cowok seneng banget gitu? batinnya bingung.

   Dan seharian itu Citra jadi bahan godaan cowok-cowok deret belakang.

   Sampai sejauh ini godaan-godaan itu bentuknya masih verbal dan dilakukan saat pergantian jam pelajaran.

   Bentuk godaan verbalnya juga masih yang basi-basi.

   "Citra rumahnya di mana? Kasih tau dong."

   "Iya dong. Biar kita bisa main. Boleh kan kapan-kapan main ke rumah?"

   "Citra udah punya cowok, belom?"

   "Citra rambutnya bagus deh. Pake sampo apa sih?"

   Godaan yang dilemparkan Derry malah jadul banget. Kayaknya sudah ada zaman bokap-nyokap anak-anak itu masih pada ABG. Bahkan mungkin sudah ada sejak para ABG di zaman penjajahan Belanda.

   "Citraaa. Citraaa. Dipanggilin kok diam aja? Citra sombong atau budek sih?"

   Citra mendesis geram.

   Sumpah, basi banget.

   Asli jayus.

   Tapi tetep aja nyebelin.

   Cowok-cowok itu tertawa geli begitu Citra menoleh dan menatap mereka dengan muka cemberut.

   Reinald, yang duduk di sebelah Citra, ternyata benarbenar tidak peduli.

   Ia mengikuti peristiwa itu dengan senyum, bahkan ikut tertawa.

   Sementara Roni kebagian godaan.

   "Cieeeh, yang sekarang duduk sama cewek. Langsung lupa deh sama-sama yang di belakang sini!"

   Seru Didot disaat kelas kosong karena pergantian pelajaran.

   Roni menoleh kebelakang lalu menyeringai lebar-lebar.

   Kemudian tanpa rasa malu, ia mengatakan bahwa itu takdir.

   Karena akhirnya dia bisa duduk semeja dengan Loni, cewek yang langsung dia sukai begitu melihatnya pertama kali di MOS kemarin.

   Masih kata Roni, mereka berdua kayaknya udah jodoh, soalnya nama mereka mirip.

   Cuma beda satu huruf.

   "Toni, kaliii?"

   Kata Ian.

   "Salah lo!"

   "Loni, man!"

   Ralat Roni langsung.

   "Sumpah, Loni. Bukan Toni! Tragis amat nasib gue, jodohan sama si Toni!"

   Saat melihat teman-temannya tertawa, termasuk si Toni, Roni menegaskan sekali lagi.

   "LONI!."

   Loni ternganga! Ya jelaslah.

   Kalau cowok naksir cewek atau sebaliknya, kan harus ngomong dulu sama orang yang ditaksir, baru setelah itu buat pengumuman.

   Bukan begini, langsung diumumkan besar-besaran.

   Orang yang ditaksir sama orang yang mendengarkan pengumuman jadi sama kagetnya.

   Teman-teman sekelas lainnya tadinya bingung saat mendadak Citra pindah ke belakang.

   Mereka lansung berasumsi Citra naksir Reinald dan pingin dekatdekat cowok itu, atau Reinald naksir Citra tapi malas duduk di depan, jadi Citra yang disuruh pindah.

   Tapi sekarang mereka mengerti bahwa Citra pindah ke belakang karena Roni naksir Loni.

   Lini nggak mau disuruh pindah, jadi terpaksa Citra yang pindah.

   Begitu.

   Tapi lalu muncul asumsi baru.

   Citra nggak akan mungkin mau pindah kalau sama sekali nggak ada feeling sama Reinald.

   Jadi pasti Citra juga naksir Reinald! Jadi kesimpulannya -ajaib banget opini ini bisa terbentuk di benak setiap kepala tanpa melalui musyawarah mufakat sebelumnya-perpindahan itu terjadi karena Roni naksir Loni, dan Citra naksir Reinald! Jadi ruwet! Tidak ada kesempatan bagi Citra kembali ke bangkunya, karena Roni bercokol di sana seakan cowok itu bagian dari bangku itu sendiri.

   Sepertinya dia sedang mempersiapkan rohnya jadi penunggu tetap bangku itu, kalau nanti mendadak mati.

   Roni sama sekali tidak pergi! Dua kali jam istirahat, Reinald yang membelikan Roni makanan.

   Setelah mengenyangkan perutnya sendiri di kantin, cowok itu kembali ke kelas dengan membawa pesanan mantan teman sebangkunya itu.

   Hal yang sama juga dilakukan Citra.

   Jam istirahat pertama ia tetap nongkrong di kelas, berharap Roni akan beranjak ke kantin.

   Tapi cowok itu tidak bergerak sedikit pun.

   Untuk meredam perut laparnya, Citra titip somay pada Loni, plus air mineral.

   Di jam istirahat kedua, menyadari Roni tidak akan meninggalkan bangku barunya, akhirnya Citra keluar kelas menuju kantin.

   "Makan tu bangku!"

   Desisnya ketika melewati Roni, cowok itu tertawa geli.

   Sampai kantin, Citra memesan semangkuk es campur lalu mencari tempat kosong.

   Ia tidak ingin bergabung dengan siapa pun karena sedang malas bicara.

   Tapi baru saja ia akan duduk, terdengar panggilan Loni.

   Mantan teman sebangkunya itu sedang menyantap bakso.

   Sendiri.

   "Lo makan sendirian?"

   Tanya Citra sambil meletakan mangkuk es campurnya di depan Loni.

   "Iyalah!"

   Loni menjawab kesal.

   "Lo kira gue mau bilang apa kalo ditanyatanya soal Roni? Sarap tu cowok. Kok bisa mendadak ada kejadian begini sih, Cit?"

   "Aduh, nggak tau deh, Lon. Gue juga bingung. Ya gara-gara si Reinald aneh gitu, makanya gue tunggu dia di bangkunya tadi pagi. Cuma pengin minta penjelasan. Eh, jadi duduk sebangku."

   "Nggak bisa balik lagi?"

   "Lo liat sendiri, si Roni nggak ninggalin bangku gue sama sekali. Kalau dia mau ke toilet, pas jam pelajaran, kan ada guru. Jadi Nggak mungkib gue serobot lagi tuh bangku."

   "Iya sih..."

   Loni mengangguk.

   "Besok lo dateng pagi-pagi aja."

   "Gue juga udah mikir gitu."

   Citra mengaduk es campurnya.

   "Makan tuh bakso. Keburu dingin."

   Keduanya lalu terdiam.

   Menikmati bakso dan es campur tanpa mengeluarkan suara lagi.

   ***** Siang itu dua manusia pulang ke rumah masing-masing dalam kebingungan yang sama.

   Kok bisa ya, mereka tiba-tiba jadi teman sebangku? Teman sebangku yang ke depannya bakalan kisruh.

   Bakalan runyam.

   Dan dipastikan bakalan bikin omosi.

   Turun dari bus, Citra berjalan menuju rumahnya dalam keadaan setengah sadar.

   Ia sama sekali tak menyangka tindakannya menduduki bangku Reinald, supaya keanehan cowok itu yang bikin kesal cepat mendapatkan penjelasan, malah berakibat mereka jadi duduk sebangku begini.

   Dan ternyata, selain aneh, Reinald juga galak banget.

   Citra menarik napas lalu mengembuskannya kuat-kuat.

   Terpaksa besok ia datang ke sekolah pagi-pagi banget untuk merebut kembali bangkunya dari Roni.

   Cuma itu satu-satunya cara agar cukup hari ini dirinya sebangku dengan Reinald.

   Cukup hari ini! Di saat yang sama, ditempat berbeda, begitu turun dari bus Reinald berjalan ke rumah dalam kondisi setengah sadar.

   Tiba-tiba saja ia sebangku dengan Citra, cewek yang sangat ingin ia maki-maki sampai rasa sesak di dadanya berkurang.

   Atau kalau itu telalu kejam, akan digantinya dengan memeluk cewek itu sampai semua tulang-tulangnya patah.

   Yang jelas, Citra harus tetap jomblo sampai ia mengizinkan cewek itu punya pacar.

   Untuk satu hal ini Reinald merasa perlu mengatakannya secara lisan, dengan kata-kata tang jelas dan gamblang, agar tidak alasan bagi Citra untuk berlagak tidak paham.

   Reinald tidak mau menunggu.

   Ia langsung menegaskan soal itu tadi, dihari mendadak Citra hagi teman sebangkunya.

   "Inget ya, Citra. Lo jangan berani-berani punya cowok tanpa izin gue!"

   Citra kontan ternganga.

   "Bokap gue, yang ngasih gue duit jajan aja nggak ngelarang kok."

   "Itu urusan bokap lo. Yang jelas gue ngelarang!"

   Waaaah, sakit jiwa nih orang! desis Citra dalam hati.

   Tapi ia berusaha tidak membantah lagi.

   Bukan karena takut, tapi kalau ia tetap ngotot protes, dijamin mereka berdua akan saling teriak dan saling bentak.

   Males banget belombelom udah punya musuh.

   Besoknya, Citra tiba di sekolah pagi sekali, untuk merebut bangkunya kembali.

   Tapi ternyata ada yang datang lebih pagi lagi.

   Di bangku barunya, Roni menyambut kedatangan Citra dengan senyum geli yang segera berubah jadi tawa terkekeh.

   Citra tercengang mendapati kenyataan itu.

   Dihampirinya Roni dengan langkah-langkah cepat.

   "Elo nginep ya? Masa jam segini udah sampe sekolah?"

   Tanyanya.

   "Nah elo juga, jam segini udah sampe sekolah,"

   Balas Roni.

   "Elo pasti disuruh Reinald datang pagi-pagi. Iya, kan?"

   "Nggak. Gue sendiri yang mau."

   "Bohong!"

   "Iya. Gue udah tau lo hari ini pasti bakalan dateng pagi-pagi. Makanya gue dateng pagi-pagi juga."

   Kalimat itu membuat Citra jadi cemberut. Roni ketawa geli melihatnya.

   "Kan elo sendiri yang kemaren sukarela pindah ke belakang? Berarti ini udah bukan bangku lo lagi, Cit."

   "Siapa bilang? Reinald aja tuh yang maksa."

   "Ya kalo gitu kita tunggu Reinald aja. Nanti kita tanya dia, boleh nggak lo balik ke bangku lo lagi. Kalo gue sih mau aja pindah ke belakang lagi, asal Loni pindah juga."

   "Itu mah sama aja, lagi. Tetep aja judulnya gue semeja sama Reinald. Kenapa sih mesti nunggu tuh orang dateng? Lo takut dimarahin ya?"

   "Bukan. Itu sih nggak masalah. Gue takut dipeluk trus dicium! Hiiiyyy!"

   Ucap Roni dengan ekspresi sungguh-sungguh. Kembali ia ketawa geli ketika dilihatnya Citra makin cemberut. Cewek itu sudah akan menjatuhkan diri ke bangku Loni, tapi Roni buru-buru menghalangi dengan meletakan kedua telapak tanganya di sana.

   "Eh! Eh! Ini bangkunya yayang gue."

   Yayang? Ih, cuih cuih cuih! Citra menatap Roni dengan ekspresi agak-agak gimana gitu, mendengar satu kata itu.

   "Gue mau nungguin Loni,"

   Citra beralasan.

   "Ya nunggunya di bangku lo sendiri dong sana. Jangan di sini, ntar kalo udah duduk, jangan-jangan lo nggak mau pindah lagi."

   "Rese!"

   Desis Citra.

   Gagal! Citra berjalan ke bangku barunya tanpa semangat.

   Percuma gue bangun sebelum subuh! gerutunya dongkol.

   Reinald ternyata juga punya pikiran yang sama.

   Roni memengikuti langkah Citra dengan tatapan dan senyum geli.

   Ia tidak tahu ada masalah apa antara Reinald dan Citra.

   Reinald tidak mau bercerita banyak.

   Reinald cuma bilang, ada vendetta yang harus dikelarin sama si Citra.

   Yang pasti, Roni memang melihat Reinald benar-benar marah sama Citra.

   Tak lama Reinald datang.

   Cowok itu berjalan masuk kelas sambil menatap Roni sekilas.

   Dari seringai geli Roni yang menyambutnya, Reinald tahu dugaannya kemarin benar.

   Tapi tidak perlu melihat tanda yang diberikan Roni pun jawabannya sudah terpampang jelas.

   Di bangku barunya, Citra duduk tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

   Tampangnya marah.

   Begitu Reinald muncul di pintu kelas, Citra sudah langsung menatapnya tajam-tajam, dan terus mengikuti langkah cowok itu.

   Begitu Reinald tiba di samping meja, Citra langsung menyambutnya dengan pertanyaan.

   "Lo pasti nyuruh Roni dateng pagi-pagi, kan? Supaya gue nggak bisa balik ke bangku gue. Iya, kan?"

   Reinald tidak langsung menjawab. Dengan tenang ia memasukan dulu ranselnya ke laci. Kemudian cowok itu duduk di bangkunya, di sebelah Citra, baru kemudian ia menoleh. Ditatapnya Citra tepat di manik mata.

   "Iya!"

   Reinald menjawab tandas.

   "Kenapa? Mau protes?"

   Tantangnya kemudian. Tampang marah Citra seketika berkurang. Reinald mengubah posisi duduknya jadi benar-benar menghadap Citra.

   "Gue kasih tau rencana gue, ya. Gue udah minta Roni dateng pagi-pagi sampe hari sabtu nanti. Setelah itu terserah dia. Jadi lo baru bisa balik ke bangku lo lagi hari senin. Tapi itu pun lo bisa duduk di sana lagi paling-paling cuma selama gue belom dateng. Begitu gue udah dateng, lo akan gue seret balik ke sini...."

   Ekspresi marah di muka Citra sekarang benar-benar hilang. Berganti dengan ketercengangan. Tadinya Reinald mau menyudahi kalimatnya, tapi ekspresi citra membuatnya ingin meneruskan.

   "Lo pasti mau tanya kenapa. Iya, kan?"

   Citra mengangguk. Saking tercengangnya, ia sampai lupa dengan niatnya mau marah-marah. Reinald tersenyum tipis.

   "Pertama, lo akan menganggu usaha PDKT temen gue. Itu juga bakalan bikin gue marah, Cit. Kedua, lo yang dateng ke sini. Jadi lo nggak bisa pergi seenaknya!"

   Setelah menyelesaikan kalimatnya dan puas karena Citra tidak bisa memb antah, baru Reinald mengubah posisi duduknya.

   Citra bukan saja tidak bisa membantah, tidak bisa bicara lagi malah.

   Spechlees! Karena itu, selama beberapa saat cewek itu hanya mampu memandang Reinald yang mulai sibuk mengeluarkan alat tulis dan buku-buku untuk jam pelajaran pertama.

   Tapi ketika ketercengangannya sudah hilang, Citra tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

   "Kenapa sih lo suka marah-marah?"

   Reinald tidak menjawab. Sibuk memeriksa kembali PR biologi yang baru dikerjaannya subuh-subuh tadi. Citra menunggu beberapa saat. Ketika Reinald tidak juga menjawab, ia ulangi pertanyaannya.

   "Hei! Halo? Halo! Kenapa sih lo suka marah-marah?"

   Baru Reinald menoleh dan sorot matanya langsung tidak menyenangkan.

   "Gue lagi ngecek PR nih, Cit. Jangan ganggu. Ntar gue marah."

   "Ya itu maksud gue. Kenapa lo doyan banget marah sih? Duit jajan lo dikit, ya? Atau lo sebenernya anak pungut, jadi di rumah teraniaya. Disuruh kerja melulu. Kayak Cinderella. Soalnya gue masih inget, lo bilang muka kakak sama adik lo mirip. Muka lo doang yang beda. Jadi bisa aja lo ini sebenernya anak pungut. Jadinya teraniaya, dalam tanda kutip lho. Kurang kasih sayang gitu. Dan kerena di rumah lo nggak berani protes, jadi lo marah-marahnya ke gue. Iya, kan? Pasti begitu!"

   Citra menyerocos panjang dan diakhiri dengan mengambil kesimpulan. Reinald meletakan bolpoinnya dengan geram.

   "Pagi-Pagi udah bikin fitnah!"

   Ia menoleh sambil mendesis. Mulai marah.

   "Kalo tiba-tiba gue marah-marah, mending lo terima. Dengerin aja. Nggak usah nanya macem-macem. Apalagi balik marah-marah!"

   "Kok gitu? Enak aja. Mana bisa begitu?"

   "Supaya gue nggak tambah marah, tau!"

   Bentak Reinald. Belum-belum sudah marah-marah. Wah!? Citra tercengang.

   "Yang namanya marah atau kesel, pasti ada alasannya, tau! Ntar lo keselnya sama orang lain, trus gue yang kena, lagi!"

   "Nggak. Kalo gue marah-marah, udah pasti itu gara-gara elo. Jadi mending terima aja. Jangan tanya-tanya lagi. Jadi gue nggak tambah marah!"

   Citra dan Reinald tidak menyadari bahwa sebentar lagi bel masuk berbunyi dan semua penghuni kelas sudah menempati bangku masing-masing, jadi seisi kelas menyaksikan pertengkaran mereka.

   Dan pertengkaran terbuka itu jelas merupakan tontonan menarik sebelum dua jam pelajaran biologi disusul dua jam pelajaran kimia yang bisa bikin rambut ngejagrik.

   Citra sibuk melotot dan setengah mati berusaha agar kejengkelannya tidak meledak.

   Sementara itu Reinald juga sibuk menahan diri agar kemarahan dan kebenciannya pada Citra yang sudah dalam bentuk lahar, mendidih, dan merah, tidak menggelegak keluar.

   Mereka baru berhenti bersitegang setelah menyadari suasana kelas yang hening.

   Senyap.

   Keduanya lalu menatap berkeliling dan mendapati semua mata sedang tertuju lurus-lurus ke arah mereka berdua.

   Penuh perhatian dan ketertarikan.

   "Apa liat-liaaaat!?"

   Seru Reinald.

   "Seneng ya liat orang berantem?"

   Seruan Reinald itu membuat semua teman sekelasnya, terutama yang cowok, menyeringai lebar.

   Sementara yang cewek-cewek memberikan beragam reaksi.

   Ada yang tertawa kecil, ada yang senyum-senyum, tapi ada juga yang geleng-geleng kepala dengan ekspresi yang seolah mengatakan.

   "Nggak tau malu banget sih berantem di kelas!" **** Besoknya, Citra sudah tidak berusaha lagi datang ke sekolah pagi-pagi. Begitu tiba di kelas, cewek itu langsung menuju bangku barunya. Sepertinya ia sudah bisa menerima takdirnya, yaitu duduk di belakang. Sambil berjalan menuju bangkunya, Citra menarik napas panjang-panjang.

   "Home sweet home...,"

   Desahnya pelan, lalu menjatuhkan diri di sana. Dikeluarkannya ponsel dari tas dan dicarinya nama Loni dari daftar kontak.

   "Lon, lo di mana?"

   "Koperasi. Bolpoin gue abis. Kenapa?"

   "Pinjem PR matematik dong. Nyontek nomer delapan sama sepuluh doang. Susah banget."

   "Di tas. Ambil sendiri gih."

   "Oke. Tengkyu, ya!"

   "Eh! Eh! Citra. Tunggu dulu!"

   Citra batal akan mematikan ponselnya.

   "Apa?"

   "Lo jangan berantem kayak kemaren lagi, ya? Malu-maluin banget, tau!"

   "Bukan gue yang cari gara-gara. Reinald tuh!"

   Citra langsung bete.

   "Udah, ah. Jangan diingeitin. Bikin broken morning aja. Gimana perkembangan lo sama si Roni?"

   "Jangan diingeitin. Bikin broken morning aja!"

   Ganti Loni yang jadi bete.

   Keduanya tertawa.

   Citra mematikan ponselnya lalu bangkit berdiri dan berjalan ke bangku Loni.

   Dikeluarkannya buku PR matematika Loni dari tasnya.

   Dan saat didapatinya Roni mengamati dengan pandang curiga, Citra langsung berkata.

   "Gue udah izin sama Loni. Ntar lo tanya dia aja kalo nggak percaya."

   Kemudian segera kembali ke bangkunya. Ketika datang, Reinald melihat Citra sedang menunduk serius di bangkunya. Pasti PR matematika, gumamnya dalam hati. Tiba-tiba saja Reinald merasa senang, karena ada alasan untuk memarahi cewek itu.

   "Ngerjain PR tuh di rumah. Bukan di sekolah,"

   Tegurnya tajam.

   "Ngapain aja lo di rumah semalem?"

   Citra mendongak dan kaget mendapati Reinald sudah ada di samping meja.

   Ia juga kesal karena cowok itu baru datang langsung marah-marah.

   Citra sudah hendak membuka mulut, mau balik marah-marah, tapi batal.

   Bukan saja karena pagi-pagi marah-marah bikin jauh dari rezeki, tapi juga bikin dia jadi nggak selesai menyalin PR.

   "Urus aja urusan lo sendiri deh!"

   Jawab Citra ketus. Reinald tidak peduli.

   "PR siapa yuh yang lo sontek? Banyakan salahnya daripada benernya."

   Citra diam, tidak bereaksi, sibuk menyalin. Reinald melanjutkan kecamannya.

   "Lo kalo nyontek nggak pernah sambil mikir ya?"

   Baru Citra terusik. Ia berhenti menulis. Ditariknya napas panjang lalu diembuskannya dengan kesal.

   "Lo tau definisi nyontek nggak sih?"

   Ditatapnya Reinald.

   "Nyontek itu sinonimnya nyalin. Menyalin itu artinya menduplikasi, atau membuat sesuatu yang persis sama. Jadi jelas nggak perlu pake mikir, tau!"

   Sepasang mata Citra menatap Reinald tepat di manik mata.

   "Rese!"

   Mata Reinald sontak berkilat.

   "Kayaknya gue udah pernah ngomong deh. Kalo gue lagi marah, terima aja. Jangan tanya-tanya apalagi balik marah. Ntar gue jadi tambah marah!"

   Intonasi suara Reinald mulai naik.

   "Alasannya!? Orang marah tuh pasti ada alasannya!"

   "Nggak perlu alasan kalo udah menyangkut elo!"

   "Emang gue kenapa?"

   "Karena elo selalu bikin gue pengin marah!"

   "Alasannya!? Orang marah tuh pasti ada alasannya, tau!"

   "Nggak perlu alasan kalo udah menyangkut elo!"

   Balik lagi. Lingkaran setan, kayaknya. Apaan tuh begitu? Citra menggerutu dalam hati.

   "Bukan elo aja, gue juga bisa marah!"

   "Gue bisa jadi tukang jagal, Citra!"

   Bentak Reinald.

   "Lo kira gue takut sama elo!?"

   Citra tidak mau kalah, ganti membentak.

   "Nggak sama sekali!"

   Pertengkaran memanas! Padahal saat ini jarum jam menunjukan angka sepuluh menit menjelang bel masuk berbunyi.

   Dan pada jam segitu biasanya isi kelas sudah lengkap.

   Sebagian menunggu bel di dalam kelas, sebagian lagi di koridor.

   Dan pertengkaran yang memanas itu jelas merupakan tontonan yang asyik banget, sebelum delapan jam pelajaran yang bikin boooring.

   "Cepet! Cepet! Beli cemilan!"

   Seru Ian.

   "Nggak asyik nih kalo nggak sambil ngemil!"

   "Patungan, oi! Patungan! Ceceng-ceceng!"

   Seru Derry sambil mengeluarkan selembar seribuan dari kantongnya sendiri. Kemudian ia berkeliling di antara cowok-cowok untuk meminta seribu per orang.

   "Buruaaaan! Sebelum pertunjukan dramanya kelar nih!"

   Seru ia tak sabar. Derry berlari ke luar kelas menuju kantin. Sementara itu Didot, yang belum masuk kelas, cepat-cepat meraih tasnya. Dikeluarkannya keripik singkong dari sana. Seplastik gede! "Gue ada nih!"

   Serunya.

   "Ini sebenernya buat ntar, jam kosong. Tapi nggak apa-apa, ntar beli lagi!"

   Ia melempar keripik singkong ke Ian. Ian menangkapnya dengan sigap kemudian berteriak keras.

   "DERRY, WOOOIIII! NGGAK JADI! UDAH ADA!!!"

   Derry yang sudah berlari sampai melewati kelas sebelah, cepat-cepat balik lagi dan langsung bergabung dengan teman-temannya yang sudah asyik menikmati pertengkaran Reinald-Citra.

   Kubu cowok berada di pihak Citra, bukan Reinald.

   Iyalah....

   Ngapain juga belain sesama cowok? Rugi! Sementara yang cewek-cewek menyaksikan kejadian itu dengan ekspresi bingung.

   Ada tanda tanya besar di kepala mereka.

   Baru jadian kok berantem melulu? Nggak ada mesra-mesranya.

   Berantemnya di kelas, lagi.

   Nggak peduli banyak orang, lagi.

   Teriak-teriak, lagi! Namun kemudian muncul tanda tanya baru.

   Kali ini sampai terlontar dari muluk salah satu cewek.

   "Emang mereka udah jadian, ya? Apa baru PDKT? Baru PDKT aja berantemnya udah parah gitu, apalagi kalo udah jadian? Bunuh-bunuhan, kali!"

   Sementara para cowok pendukung Citra, tidak peduli dan sama sekali tidak ingin tahu alasan di balik pertengkaran itu. Yang penting ada tontonan seru. Dengan riuh mereka memberikan support untuk Citra. Dan tak lupa, sambil ngemil keripik.

   "Lawan aja, Cit!"

   Seru Ian.

   "Ntar kalo lo kalah, gue belain!"

   "Iya. Hajar aja si Reinald, babe!"

   Teriak Didot.

   "Kalo Reinald mukul, pukul balik, Cit!"

   Teriak Toni.

   "Kalian teriaknya jangan kenceng-kencang dong! Jadi nggak kedengeran nih!"

   Teriak Derry, dengan volume suara mengalahkan teman-temannya.

   "Nah elo, sendirinya juga teriak. Paling kenceng malah!"

   Kepala Derry kemudian dijitakin dari segala arah.

   Sambil meringis, cowok itu cepat-cepat melindungi kepalanya dengan kedua tangan.

   Dari bangku mereka, Roni dan Loni menyaksikan pertengkaran Citra dan Reinald dengan mulut ternganga.

   Reinald tidak pernah cerita dan Citra juga tidak bilang apa-apa sebelumnya.

   Jadi keduanya benar-benar tidak tahu, persoalan apa sebenarnya yang terjadi di antara mantan teman-teman sebangku mereka itu.

   Bel masuk berbunyi dan tidak ada satu pun yang menyadari.

   Teriakan riuh dan kasak-kusuk itu baru berhenti setelah sseseorang dari kelas sebelah mendatangi kelas mereka lalu berteriak di pintu.

   "UDAH BEL, WOOOI! JANGAN BERISIK! MAU PADA BELAJAR NGGAK SIHHH!?"

   Kelas langsung hening.

   Semua bergegas kembali ke bangku masing-masing.

   Reinald dan Citra juga menghentikan pertengkaran mereka.

   Sesaat keduanya saling tatap dengan sorot kesal, dongkol, marah, benci, juga malu karena sudah jadi objek tontonan seisi kelas.

   "Aduh, leher gue seret nih!"

   Ian terbatuk-batuk.

   "Ada minum nggak?"

   Setelah berhenti teriak-teriak memberikan support, baru cowok-cowok itu sadar kalau tenggorokan mereka kering. Semuanya lalu ribut mencari minum.

   "Lo gimana sih, Dot? Bawa keripik nggak bawa minum. Se-ret niiih!"

   Semuanya lalu menyalahkan Didot. Tidak ada cara lain, cowok-cowok suporter Citra terpaksa menahan haus sampai jam istirahat pertama nanti.

   "Ssst! Bu ning dateng!"

   Seru Rinda, yang duduk dekat pintu.

   Kelas langsung hening.

   Semua duduk manis dibangku masing-masing.

   Tanpa sadar, Reinald dan Citra duduk di ujung bangku masing-masing, berusaha sejauh-jauhnya menjaga jarak.

   Namun dua kali pertengkaran terbuka itu kemudian memunculkan asumsi baru seputar perpindahan bangku tersebut.

   Roni pindah ke bangku Citra karena naksir Loni.

   Itu udah pasti, karena cowok itu sudah mengumumkan perasaanya.

   Dan meskipun sudah duduk sebangku, seisi kelas tahu status mereka masih PDKT.

   Dari pihak Roni, pastinya.

   Sementara Loni sendiri, sepertinya cewek itu sedang berusaha (dengan sangat keras) menerima kondisi itu, dan berusaha menjalaninya dengan ikhlas.

   Karena sudah tidak ada lagi bangku kosong di kelas, maka pilihan Loni memang cuma dua.

   tabah atau nggak sekolah! Asumsi berikutnya adalah Citra pindah ke bangku Reinald karena dia naksir cowok itu.

   Tapi sayangnya Reinald sama sekali nggak naksir Citra.

   Makanya tu cowok jadi galak sama Citra.

   Citra jadi balik galak juga, karena dia frustasi dan patah hati.

   Nah, makin ruwet, kan? BAB BEGITU bel istirahat berbunyi, cowok-cowok suporter Citra langsung melejit keluar dari kelas menuju kantin.

   Cari minum.

   Mereka berlarian begitu saja.

   Sementara cewek-cewek teman sekelas berjalan keluar sambil menatap Citra sesaat.

   Citra jadi kesal.

   "Apa sih liat-liat? Berantemnya udah kelar, juga!"

   Gerutunya. Citra melirik orang di sebelahnya, masih dengan rasa marah. Kemudian dia berdiri dan berjalan ke luar kelas. Ketika melewati Loni, ditepuknya lengan temannya itu.

   "Ke kantin yuk!"

   Loni memasukkan buku-bukunya Ke laci, bangkit berdiri, lalu mengejar Citra.

   Sambil membereskan buku-bukunya, Reinald mengikuti Citra dengan pandangan mata.

   Sementara Roni, begitu kedua cewek itu hilang dibalik tembok kelas sebelah, segera bangkit berdiri dan menghampiri Reinald dengan langkah cepat.

   "Sebenernya ada masalah apa sih antara lo sama Citra?"

   Tanyanya sambil menjatuhkan diri di sebelah Reinald.

   "Berantem kok sampe kayak gitu."

   "Udah, nggak usah tanya-tanya deh."

   Reinald berdecak malas.

   "Yuk, ke kantin. Gue laper."

   "Citra juga lagi ke kantin. Bisa-bisa ntar lo berdua berantem lagi di sana."

   "Ya kalo dia cari gara-gara lagi...,"

   Reinald bangkit berdiri.

   "apa boleh buat!" **** Di depan salah satu meja panjang di kantin, Citra dan Loni duduk berhadapan. Masing-masing dengan sepiring gado-gado dan segelas es teh manis.

   "Sebenernya lo ada apa sih sama Reinald? Berantem sampe kayak gitu."

   Loni membuka percakapan dengan topik yang membuat kekesalan Citra jadi berkelanjutan.

   "Aduuuuuh, ck!"

   Citra mengeluh.

   "Elo tu ya. Kalau gue tau masalahnya, gue nggak akan teriak-teriak kayak tadi pagi, lagi."

   "Masa sih lo nggak tau masalahnya? Kalo ngeliat tadi pagi Reinald marahnya sampe kayak gitu, kayaknya masalahnya serius, Cit."

   "Nggak tau, ah."

   Citra menggeleng, lalu memerhatikan gado-gado di piringnya.

   "Tadi kayaknya gue udah bilang sama ibu itu nggak pake tempe deh,"

   Katanya, lalu mulai memisahkan potongan-potong an kecil tempe dari gado-gadonya.

   "Lo tanya deh, Cit, sama Reinald, apa sih masalahnya?"

   "Udah. Tadi pagi itu gue kan tanya, trus jadinya berantem kayak gitu."

   "Baik-baik nanyanya."

   "Udah, Loniiii..."

   Citra menghela napas lalu mengembuskannya kuat-kuat. Ia memandang Loni, capek dan putus asa.

   "Tadi pagi itu gue nanyanya udah baikbaik. Kemaren juga gitu. Lo kira gue nanyanya baru tadi trus langsung maen bentak-bentak, gitu? Nggak, lagi. Udah deh, nggak usah dibahas. Bikin gue jadi nggak nafsu nih. Atau gini aja, kalo lo penasaran, lo aja gih yang nanya. Ntar kasih tau gue."

   "Nggak mungkin gue yang nanya, lagi."

   Akhirnya Loni menyudahi pembicaraan itu dan mulai menyantap gado-gadonya.

   "Lagian juga kalo lo mau dapet jawaban, kayaknya nanyanya kudu pake gebukan kasur,"

   Kata Citra sambil mengunyah. Loni jadi ketawa. Namun tawa itu langsung langsung lenyap begitu dilihatnya Reinald dan Roni memasuki kantin.

   "Dia ke sini, Cit. Si Reinald,"

   Bisik Loni, langsung jadi tegang. Tapi Citra tetap santai dan sama sekali tidak menoleh ke arah pintu kantin.

   "Ya iyalah. Mau nggak mau dia ke sini. Nggak mungkin dia ke kantinnya anak kelas dua, apalagi kelas tiga."

   Begitu melihat Citra dan Loni, Roni langsung mengajak Reinald duduk di depan meja panjang yang paling dekat dengan pintu.

   "Ren, kita duduk sini aja. Lo mau makan apa? Gue pesenin."

   "Gue mau duduk di situ,"

   Tunjuknya dengan dagu ke sebuah meja panjang yang berjarak dua meja dari meja tempat Citra makan. Dari meja itu, Reinald bisa leluasa memerhatikan Citra.

   "Gue somay aja. Nggak pake kentang, ya. Minumnya es teh tawar."

   Roni langsung melesat ke sisi kanan kantin, tempat konter-konter makanan terletak berjajar.

   Tak lama ia kembali sambil membawa pesanan Reinald dan pesanannya sendiri.

   Diambilnya tempat di depan Reinald.

   Tapi begitu ia menyadari ke mana sepasang mata temannya itu tertuju, ia segara berdiri dan pindah posisi.

   "Ngapain lo pindah?"

   Tanya Reinald.

   "Pencegahan,"

   Jawsb Roni tandas.

   "Dari cara lo ngeliatin Citra, kayaknya kejadian tadi pagi di kelas bakalan terulang di sini,"

   Sambungnya. Reinald tidak membantah. Dalam hati ia justru membenarkan apa yang diucapkan Roni.

   "Lo sengaja duduk sini biar bisa ngeliatin dia, kan?"

   "Iya,"

   Reinald terus terang.

   "Kenapa sih? Dia duduk di sebelah lo, kan? Masih kurang?"

   Saking herannya, Roni sampai menatap Reinald dangan kening berkerut rapat.

   "Karena dia duduk di sebelah gue, jadi gue nggak bisa ngeliatin. Lain kalo dia duduk di depan gue,"

   Reinald menjawab santai, lalu mulai menyuapkan potongan somay ke mulutnya.

   Sementara itu Loni, yang juga cemas kalau-kalau pertengkaran Reinald-Citra bakalan berlanjut di kantin, mengajak Citra buru-buru kembali ke kelas.

   Citra setuju karena tidak bisa makan dengan tenang di bawah tatap tajam Reinald yang sebentar-sebentar terarah padanya.

   Tanpa menghabiskan gado-gado di piring masing-masing, keduanya berdiri dan bergegas berjalan ke luar kantin.

   Di ambang pintu, tanpa sadar Loni menoleh ke kedua cowok itu.

   Di saat bersamaan Roni juga tengah menatap mereka.

   Cowok itu tersenyum tipis, memandang Loni dengan sorot berterima kasih.

   Sesaat Loni terkesima.

   Ini pertama kalinya ia melihat Roni dalam ekspresi serius begitu.

   Nggak norak dan geblek seperti biasanya.

   Cowok itu jadi kelihatan berbeda.

   Lain sama sekali.

   Dengan kikuk dibalasnya senyum itu.

   Begitu kedua cewek itu sudah hilang, Roni mengembalikan tatapannya pada Reinald, yang sedang menikmati somaynya dengan santai, tapi jelas tahu bahwa Citra sudah pergi.

   "Gue balik ke bangku gue, ya? Kasian Citra duduk di belakang gitu. Nggak ada temennya. Pasti bakalan jadi korban iseng anak-anak belakang pula."

   "Kan ada gue?"

   Kata Reinald tenang.

   "Boleh aja sih kalo lo pengin balik. Tapi duduk bertiga, ya? Dan si Citra harus di tengah."

   Mata Roni membulat lebar. Tapi ia tidak juga mengeluarkan suara, saking bingungnya mau ngomong apa. Reinald jadi tertawa.

   "spechlees lo, ya?"

   Tanyanya dengan nada geli. Tapi kemudian ia menggeleng kuat dan berkata tegas, jelas tidak ingin dibantah sama sekali.

   "Jangan! Gue mau dia duduk di sebelah gue."

   "Biar bisa berantem terus, gitu?"

   "Ya!"

   Reinald tersenyum lebar dan memainkan alisnya sesaat, sambil memandang muka bingung Roni.

   "Dan elo nggak usah tanya-tanya sebabnya. Nggak bakal gue jawab. Nggak sekarang-sekarang. Soalnya gue nggak bakalan bisa cerita tanpa emosi, tanpa marah-marah. Dan kalo lo tetep maksa gue untuk cerita juga, bisa-bisa abis cerita, gue bisa menyerang si Citra lebih ganas!"

   Roni ternganga. *** Begitu sampai rumah, Reinald langsung masuk kamar dan berdiri di depan tempat tidur Ronald.

   "Tadi pagi cewek lo gue marahin, gue bentak-bentak. Sampe gue puas!"

   Setelah mengatakan itu, Reinald berganti baju.

   Disambarnya salah satu komik dari rak koleksi komiknya lalu berjalan di keluar kamar.

   Sambil tiduran di ruang tamu, Reinald membaca komik itu sampai jatuh tertidur.

   Namun malam harinya, setelah mengerjakan PR untuk besok dengan konsentrasi yang cuma setengah, Reinald duduk tercenung di depan meja belajar Ronald.

   Kalau mau berpikir tanpa menyertakan emosi, dan terus terang mau mengakui, sebenarnya jawabannya jelas.

   Hanya puas sesaat.

   Hanya melegakan sementara.

   Setelah itu semuanya kembali seperti semula.

   Tidak ada yang berubah.

   Tetap sedih.

   Tetap sesak.

   Tetap kosong.

   Tetap terasa Ronald sudah tidak ada.

   Dan tetap kesepian begitu hanya sendirian di kamar begini.

   Kecuali kalau saat ini juga dikontaknya Citra lalu kembali dibentak-bentaknya cewek itu seperti tadi pagi.

   Dangan mata nanar Reinald menatap sepotong kertas yang dulu ditempelkan Ronald di dinding di depannya.

   Barisan kalimat itu, tulisan tangan Ronald, madih bisa terbaca, walaupun tampak kabur karena Reinald membaca dengan pikiran menerawang.

   Kalimat-kalimat tentang Citra.

   Hanya tentang cewek itu.

   Sebenarnya ingin sekali dilepasnya kertas itu dari dinding.

   Tapi tidak tega, kerana kertas itu usaha Ronald selama berbulan-bulan.

   Karena kertas itu adalah kegembiraannya selama berbulan-bulan juga.

   Sekaligus kecemasannya.

   Kegelisahannya.

   Ketidaksabarannya.

   Yang pasti, kertas itu kenangan Reinald dan seluruh isi rumah ini pada bulanbulan terakhir hidup Ronald.

   Cuma selembar kertas yang disobek dari buku tulis sekolah, tapi sangat berharga bagi sang kakak saat dia masih hidup.

   Dan kini sangat berharga untuk orang-orang yang dia tinggalkan.

   "Suka banget warna biru,"

   Desis Reinald pelan, membaca salah satu poin di kertas itu dalam keadaan setengah sadar.

   "Usil banget. Tukang ngisengin orang."

   Reinald membaca poin di bawahnya.

   Poin yang lain...

   Kalau ada yang marah-marah karena udah jadi korban keisengannya, Citra suka njulingin mata.

   Bikin tuh orang ditambah marah lagi.

   Poin yang lain lagi...

   Bego olahraga.

   Nggak ada satu pun olahraga yang dia bisa.

   Kecuali lari atau kabur.

   Karena biasanya kalo abis ngisengin orang, dia suka dikejar-kejar.

   Poin yang lainnya lagi...

   Kalo ngiket rambut nggak pernah rapi.

   Asal keiket.

   Tapi dengan rambut yang keiket asal-asalan gitu, berantakan, dia jadi tambah manis.

   Cakep! "Masa?"

   Reinald tertawa mendengus.

   Tidak yakin dan sama sekali tidak percaya dengan kebenaran kalimat-kalimat itu.

   Terutama yang terakhir.

   Namun tak lama tawanya menghilang.

   Cowok itu kemudian menghela napas dalam-dalam.

   Tercenung dalam keterdiaman yang lama.

   *** Di saat yang sama, di kamarnya, Citra juga sedang duduk dalam diam.

   Tercenung dalam.

   Tapi untuknya, tidak ada yang perlu di pikirkan tentang Reinald.

   Sama sekali.

   Percuma saja, ia nggak akan dapat jawabannya.

   Yang ada malah jadi emosi lagi kalau ingat kejadian tadi pagi.

   Yang sedang dipikirkan Citra dengan serius saat ini adalah, gimana caranya agar ia bisa nyaman duduk di deretan belakang yang sama sekali nggak ada ceweknya itu.

   Ditambah sebelahan sama cowok stres yang kayaknya bakalan sakit jiwa beneran.

   Tapi, sampai matanya meredup, karena kantuk, Citra tidak juga mendapatkan ide.

   Udah deh.

   Liat gimana situasinya aja nanti, putusnya kemudian.

   Ia bangkit berdiri sambil menguap lebar-lebar sambil menuju.

   Tempat tidurnya, menjatuhkan diri di sana, dan tak lama kemudian ia jatuh terlelap.

   *** Keesokan paginya, sambil menyiapkan diri berangkat ke sekolah, Citra meneruskan berpikir soal semalam.

   Ketika akhirnya cewek itu membuka pintu rumah, siap berangkat ke sekolah, ia telah mengambil satu keputusan.

   "Cuekin aja si Reinald. Daripada gue ketularan sarap!"

   Meskipun begitu, belajar dari pengalaman kemarin, Citra telah menyiapkan langkah pencegahan. Semua PR untuk hari ini telah ia kerjakan. Jadi Reinald tidak bisa lagi mengatakan.

   "Ngerjain PR tuh di rumah, bukan di sekolah. Ngapain aja lo di rumah semalem?"

   Citra juga telah menyiapkan langkah pencegahan tambahan, kalau-kalau langkah pertama tidak berhasil. Ia sengaja berangkat ke sekolah dalam waktu yang benar-benar mepet. Yang kira-kira nanti sampai sekolah udah mau bel.

   "Kalau perlu kurang semenit dari bel. Jadi tuh orang nggak punya kesempatan buat ngomel,"

   Katanya, ngomong sendiri sambil berjalan dengan langkah cepat ke halte bus.

   Akibat berangkat terlalu mepet itu, jarum jam sudah menunjukan tujuh kurang lima saat bus yang ditumpanginya sampai ditujuan.

   Susah payah Citra menyeruak di antara para penumpang yang menyesaki perut bus, resiko kalau berangkat siang, dan berusaha mencapai pintu bus secepat mungkin.

   Begitu berhasil mencapai pintu, Citra langsung melompat turun dan berlari secepat-cepatnya menuju sekolah.

   Cewek itu sampai di ambang pintu kelas dalam keadaan mandi keringat dan napas terengah.

   Dan tepat seperti dugaannya, waktu sudah menujukkan jam tujuh kurang satu menit! Sambil mengatur napas, Citra cepat-cepat berjalan ke bangkunya dan langsung mengempaskan tubuhnya di sana.

   Capek.

   Selain habis berlari, selama di bus dia juga terus berdiri, nggak dapat duduk.

   "Baru dateng jam segini!?"

   Reinald menyambut kedatangan Citra dengan teguran galak.

   "Lo kira emang bisa, belajar dalam kondisi keringetan begitu? Pasti tadi dari halte ke sini lari. Iya, kan? Lo berangkat dari rumah jam berapa sih? Besok berangkat lebih pagi dong!"

   Citra terkesima. Bibirnya sampai melongo.

   "Gue udah ngerjain PR di rumah,"

   Lapornya. Akibat ketersimaan itu, Citra mendadak jadi polos dan bego.

   "Bagus!"

   Ucap Reinald singkat.

   Tak lama kemudian Citra tersadar.

   Ngapain juga gue lapor ke dia kalo udah ngerjain PR, ya? desisnya dalam hati.

   Emang apa urusannya? Gue mau dateng jam berapa kek, terserah gue, kan? Tapi baru saja Citra membuka mulut, mau balik marah-marah, bel masuk sudah berbunyi.

   Terpaksa cewek itu mengatupkan kembali mulutnya.

   Dalam hati ia bertekad, nanti jam istirahat pertama akan ia balas.

   Tapi tekad baru itu hanya bertahan sepuluh menit.

   Citra segera teringat kembali tekad awalnya yang ia putuskan saat berangkat sekolah tadi.

   Cuekin aja si Reinald! Kemudian ia memutuskan dalam hati, kali ini dengan niat bulat.

   Ya, cuekin aja! Soalnya kalo nggak gitu, kayaknya bakalan panjang urusannya.

   Sekarang aja, selagi masalahnya masih benar-benar gelap dan status mereka juga masih teman baru, mereka udah bentak-bentakan sampe parah banget gitu.

   Gimana nanti? Ih, serem! Citra bergidik tanpa sadar.

   "Kenapa?"

   Bisik Reinald tajam. Lamunan Citra memang tertangkap jelas olehnya, karena seisi kelas saat ini sedang sibuk mencatat dan cuma Citra satusatunya yang sibuk menggigit ujung bolpoinnya. Dengan serius pula.

   "Ketahuan nggak nyatet, bisa abis lo diomelin...,"

   Bidik Reinald lagi.

   Jenis bisikan yang merupakan volume minimalis dari bentakan.

   Citra cemberut.

   Tapi tidak berusaha membantah.

   Iyalah.

   Meladeni orang gila di saat kelas sedang sunyi senyap begini berarti dirinya sama nggak warasnya.

   Dangan senyum puas tertahan, Reinald melirik cewek di sebelahnya.

   Citra mencatat dengan bibir cemberut maju beberapa senti.

   Reinald jadi semangat menunggu jam istirahat pertama.

   Karena ia yakin, pertengkaran mereka akan berlanjut.

   Jadi bisa dibentak-bentak dan dimarahinya Citra seperti kemarin.

   Tapi kali ini, ia tidak ingin pertengkaran mereka terlalu terbuka.

   Tidak perlu terlalu heboh.

   Yang penting bisa membuat hatinya lega.

   Puas.

   Tidak peduli meskipun cuma sesaat.

   Reinald tidak tahu Citra sudah tidak ingin lagi bertengkar.

   Sama sekali.

   Karena itu, saat bel istirahat pertama berbunyi dan Reinald langsung mengubah posisi duduknya jadi benar-banar menghadap ke arahnya, Citra sudah tahu cowok itu pasti mau ngomel lagi.

   Dan dugaannya seratus persen tepat! "Lo nggak punya beker, ya? Kok bisa telat banget kayak tadi!?"

   Pacing Reinald.

   Citra langsung bersyukur.

   Meskipun intonasi suara Reinald tinggi, volumenya sama sekali tidak tinggi.

   Jadi tidak sampai mengundang perhatian temanteman sekelas.

   Dan sesuai tekadnya, Citra memilih diam.

   Sebenarnya ia pingin langsung kabur ke kantin, tapi Loni ada urusan sama anak kelas sebelah.

   "Pasti lo nggak sempet sarapan,"

   Lanjut Reinald. Tetap dengan nada menusuk. Citra tetap diam. Dimasukkannya buku-buku pelajaran di atas meja ke dalam tasnya. Reinald tidak memedulikan kebungkaman Citra. Justru ada perasaan senang karena Citra tidak membantah kata-katanya.

   "Emang bisa ya, belajar dalam kondisi perut laper dan badan keringetan? Gue jamin nggak!"

   Citra tidak tahan lagi, tapi tetap tidak ingin buka mulut.

   Dan Reinald tetap meneruskan kalimatnya.

   Cowok itu semakin senang.

   Tanpa ia sadari, perasaan senang itu muncul karena ia dalam keadaan benar-banar dapat melupakan kesedihannya, bukan karena sedang memarahi Citra.

   "Lo bangun kesiangan karena semalem ngerjain PR, ya?"

   Ucap Reinald lagi, lalu tertawa geli.

   "Gue jadi nggak tau mendingan yang mana. Lo datang nggak telat tapi begitu sampe sekolahan langsung nyontek PR, atau lo ngerjain PR di rumah tapi jadi dateng telat...,"

   Reinald terdiam sejenak, kemudian meneruskan kalimatnya dengan anda yang kembali tajam.

   "Menurut gue duaduanya nggak bener!"

   Niat banget sih nih cowok ngomelnya! desisnya Citra dalam hati.

   Akhirnya ia memutuskan untuk cepat-cepat pergi.

   Daripada kesabarannya habis lalu ia langgar tekadnya dan akhirnya mereka saling bentak dan saling teriak seperti kemarin pagi.

   Citra menoleh ke arah Reinald dengan gerakan tiba-tiba, dan sikap garang Reinald sontak menghilang.

   Cowok itu menatap pemandangan di depannya dalam ketersentakan hebat.

   Citra menjulingkan kedua matanya! Hanya itu....

   Ya, hanya itu...

   tapi itulah yang ditulis Ronald! Itulah yang ditinggalkannya dalam catatan! Citra berdiri lalu berlari ke luar kelas.

   Ia tidak memedulikan ekspresi kaget di wajah Reinald.

   Tidak memedulikan kondisi Reinald yang mendadak berubah jadi arca hidup.

   Sendirian di kelas yang terasa lengang, mendadak Reinald merasa di tempat yang asing.

   Rasa lega sesaat yang tadi dirasakannya saat memarahi Citra tadi kini juga hilang.

   Sampai menjelang bel pulang, Reinald masih mencoba memancing kemarahan Citra.

   Mencoba membuat cewek itu merespons setiap kata-kata tajamnya.

   Tapi Citra benar-benar melaksanakan tekadnya, sama sekali tidak mengacuhkan Reinald dan semua pancingannya.

   Cukup di kelas aja gue sebangku sama dia.

   Gue nggak mau menemani dia sampe ke rumah sakit jiwa gara-gara barengan gila! desis Citra dalam hati.

   Citra lebih memusatkan perhatiannya pada cowok-cowok yang duduk di belakang.

   Mana yang asyik diajak temenan, mana yang mendingan say hello doang.

   Hari ini ia juga tahu ternyata cowok-cowok itu asyik-asyik.

   Sesaat sebelum istirahat kedua berakhir, Ian, Didot, Toni dan semua cowok yang duduk di deretan paling belakang, kompakan menyembunyikan buku catatan Bahasa Indonesia Toto, yang duduk di deretan yang sama dengan Citra.

   "Iseng aja,"

   Kata Ian, sang pencetus ide.

   Citra yang baru saja balik dari kantin tidak sengaja mendengarkan perkataan Ian itu dan langsung tertarik.

   Pelajaran apa pun, kalau itu ada di dua jam tarakhir, selalu memerlukan kemauan yang lebih keras.

   Tekad yang lebih kuat dan semangat yang lebih membaja.

   Kedengarannya memang hiperbolis, tapi itu kenyataan.

   Fakta.

   Boleh tanya sama semua pelajar yang masuk pagi pulang siang.

   SMP maupun SMA.

   Dijamin nggak ada yang masih fresh di jam-jam itu.

   Kalaupun ada, cuma sebagian keciiil.

   Mungkin di jam pelajaran sebelumnya dia sukses cabut, atau berhasil mikir tanpa ketahuan.

   Jam setengah satu siang, saat matahari sedang terik-teriknya, saat kerja otak sudah menurun tajam karena belajar sejak jam tujuh pagi, wajar kalau niat iseng Ian itu langsung mendapat sambutan antusias.

   Bisa hahahihi -minimal nyengir lebar selama sepuluh menit sebelum memulai belajar lagi sampai tepat jam dua siang-jelas merupakan anugerah terindah.

   Karena masih jam istirahat, kelas nyaris kosong, dengan leluasa Ian menarik keluar tas Toto dati dalam laci lalu mengeluarkan buku cetak Bahasa Indonesia dari sana.

   Dilemparnya buku itu ke Derry, yang menangkapnya dengan sigap dan langsung menyembunyikannya di dalam laci.

   Toto ternyata langsung tahu.

   Begitu membuka tas hendak menyiapkan buku-buku dan mendapati buku cetak Bahasa Indonesia-nya raib, ia sudah bisa menebak oknumnya pasti anak-anak yang duduk di bangku deretan paling belakang.

   Cuma ia tidak tahu pasti siapa pelakunya.

   Cowok itu kemudian berdiri dan bertolak pinggang.

   "Siapa yang ngumpetin buku gue? Elo, Yan?"

   "Nggaaaaak!"

   Ian menggeleng kuat-kuat.

   "Elo, Ton?"

   Pandangan Toto beralih ke Toni. Kedua matanya mulai melotot.

   "Nggaaaaak!"

   Toni membeo jawaban Ian, juga sambil menggelengkan kepala kuat-kuat.

   "Nggaaak!"

   Belum ditanya, Didot sudah menjawab. Teman semejanya, Derry, jadi tetawa geli. Citra. yang menyaksikan jalannya peristiwa itu sejak awal jadi terkikik juga, semenatara sebagian teman-teman yang lain tidak menyadari peristiwa itu. Toto mulai gusar.

   "Mana buku gue? Balikin cepet! Bentar lagi Bu Lis dateng nih!"

   "Emangnya siapa sih yang ngumpetin buku lo? Jangan asal nuduh dong,"

   Kata Derry. Sampai Bu Lis memasuki ruangan, tetap tidak ada satu pun yang mau mengaku.

   "Buku gue, woi! Buruan! Bu Lis udah dateng tuh!"

   Seru Toto dengan suara tertahan.

   Cowok-Cowok yang duduk di deretan paling belakang itu tetap tidak ada yang mau mengaku.

   Mereka memandangi Toto sambil senyum-senyum.

   Didot malah memeletkan lidahnya.

   Toto jadi semakin kesal.

   Akhirnya cowok itu mengempaskan tubuh ke bangkunya lalu berseru lantang, tepat di saat Bu Lis akan membuka mulut untuk meminta murid-muridnya membuka buku.

   "BUUUU...! BUKU SAYA DIUMPETIN SAMA ANAK-ANAK BELAKANG....!!!!"

   Cowok-cowok di deretan paling belakang kontan tercengang, kemudian tertawa gelak-gelak. Seisi kelas ikut tertawa. Semua mata menatap ke arah Toto dengan penuh minat.

   "Toto tukang ngadu! Jangan ditemenin!"

   Seru Derry, ikut mengimbangi tingkah Toto yang kayak anak SD.

   "BUUUU! KATA DERRY SAYA TUKANG NGADU, TRUS NGGAK BOLEH DITEMENIN!!!"

   Seru Toto lagi.

   Seisi kelas tertawa lagi.

   Tapi tawa mereka kali ini terdengar berbeda.

   Mata mereka juga memandang Toto dengan sorot berbeda, sedikit menerawang.

   Bila dipastikan, sebagian besar murid kelas itu jadi ingat waktu zaman-zaman SD dulu.

   Ngadu ke guru gara-gara buku, bolpoin, atau barang-barang mereka yang lain disembunyikan teman dan nggak ada satu pun yang mengaku telah melakukan.

   "Apa sih kalian ini?"

   Bu Lis memandang ke belakang dengan kening berkerut.

   "Kayak anak SD aja. Kembalikan buku Toto. Kita akan memulai pelajaran. Jangan buang-buang waktu!"

   Derry mengeluarkan buku cetak Bahasa Indonesia milik Toto dari dalam laci mejanya. Diopernya buku itu pada Didot, yang kemudian memberikannya pada Toto.

   "Toto tukang ngadu!"

   Katanya.

   "Biarin, wee!"

   Toto menyambar bukunya dari tangan Didot lalu menjulurkan lidahnya.

   Citra terkekeh.

   Ia teringat teman-teman dan hari-harinya di SMP dulu.

   Kejadian itu membuatnya merasa lega.

   Berarti musibah yang dialaminya cuma satu.

   sebangku dengan Reinald.

   Lainnya nggak ada.

   Malah kayaknya duduk di belakang, bareng cowok-cowok iseng tadi, bakalan bikin hari-harinya di sekolah jadi seru.

   Karena itu -setelah pelajaran Bahasa Indonesia usai dan Bu Lis berjalan ke luar kelas-Citra tidak peduli saat didengarnya Reinald bicara dengan nada tajam.

   "Jangan tidur malem-malem, jadi besok nggak telat kayak tadi!"

   Citra menjawab dengan menghadapkan mukanya ke arah Reinald lalu menjulingkan kedua matanya.

   Kemudian cewek itu bangkit berdiri dan berjalan ke luar kelas dengan langkah cepat.

   Reinald mengikuti kepergian Citra dengan pandangan mata.

   Sikap garangnya langsung hilang.

   Kembali ia merasakan itu.

   Perasaan asing yang tidak dikenalnya, namun membuatnya gelisah.

   BAB KEESOKAN harinya, dengan berbagai cara Reinald berusaha memancing kemarahan Citra.

   Minimal membuat cewek itu kesal dan akhirnya mau buka mulut.

   Sering alasan kemarahan Reinald itu seakan dicari-cari, tapi Citra berusaha keras menahan diri tidak terpancing.

   Sabar, sabar.

   Orang sabar disayang Tuhan, katanya dalam hati saat Reinald menegurnya tajam hanya gara-gara ia menggigiti tutup bolpoinnya.

   Sabar, sabar.

   Orang sabar disayang Tuhan, Citra berkata lagi dalam hati saat Reinald menegurnya ditengah pelajaran sejarah.

   Merasa bosan, cewek itu mengabaikan penjelasan guru di depan dan memilih sibuk mencoreti buku catatannya.

   Jelas Reinald langsung memanfaatkan peluang itu.

   Ditegurnya Citra dengan kata-kata tajam -tentu saja berupa bisikan karena kelas sedang hening dan guru sedang menjelaskan di depan.

   Cowok itu mengakhiri tegurannya dengan memerintahkan Citra untuk menyimak pelajaran dan mencatat apa yang ada di papan tulis.

   Daripada omelan Reinald ada bagian keduanya, Citra memilih menuruti perintah itu.

   Tentu saja dengan tidak lupa menggumamkan kalimat andalannya dalam hati.

   Orang sabar disayang Tuhan.

   Amin! Amin! Amin! Tidak sampai satu jam kemudian, di tengah pelajaran kimia, kembali Citra harus mengumandangkan kalimat andalannya itu dalam hati.

   Reinald memarahinya dengan suara pelan, karena mengira Citra sedang bengong saat jam pelajaran.

   Walaupun kelihatannya tidak peduli, tak urung Citra menggerutu juga.

   Nih cowok nggak bisa bedain orang bengong sama orang yang lagi mikir sih! Secara keseluruhan, hasil akhir untuk hari ini -meskipun mati-matian menahan marah-Citra sukses menahan diri dari semua pancingan Reinald dan tidak satu pun teman-teman sekelas mereka menyadari bahwa di antara Reinald dan Citra sedang terjadi peristiwa "anjing menggonggong, kafilah masa bodo".

   Begitu bel pulang berbunyi, Citra menarik napas lega.

   Dibereskannya buku dan alat tulisnya lalu segera kabur.

   Cewek itu pulang ke rumah dengan perasaan lega dan tanpa beban.

   Semua kejengkelan dan kekesalannya lenyap begitu ia kabur dari sebelah Reinald dan memutuskan takkan memikirkan keanehan cowok itu.

   Justru Reinald yang semakin emosi.

   Dengan geram, ditatapnya Citra yang berjalan keluar kelas dengan langkah cepat.

   Sambil membereskan buku dan alat tulisnya, serta sesekali membalas lambaian tangan teman sekelas, Reinald bertekad besok harus bisa memaksa Citra membuka mulut dan merespons semua tindakannya.

   Di saat Citra bisa pulang dengan perasaan lega, Reinald justru sebaliknya.

   Lagi-lagi ia merasakan suasana asing yang membuatnya gelisah.

   Keesokan harinya, Reinald berangkat sekolah dengan tekad "harus bisa membuat Citra buka mulut".

   Harus! Kebetulan hari ini ada mata pelajaran olahraga di jam pertama dan kedua.

   Jadi ada banyak kesempatan memaksa Citra menghadapi dirinya tanpa menarik perhatian teman-teman sekelas.

   Setelah mengganti seragam dengan kaus olahraga dan celana pendek, Reinald turun ke lapangan bersama cowok-cowok sekelas lainnya.

   Otaknya berpikir keras, mencari cara agar tekadnya bisa terlaksana.

   Semakin cepat semakin baik.

   Tapi belum lagi cara itu ditemukan, Reinald keburu mematung di tengah anak tangga.

   Ia berhenti melangkah dan berdiri dengan tatapan tertuju luruslurus ke satu titik di lapangan.

   Kalo ngiket rambut nggak pernah rapi.

   Asal keiket.

   Tapi itu malah bikin dia jadi tambah manis.

   Salah satu poin dalam catatan yang ditinggalkan Ronald, kini ada di depan mata.

   Menghantam Reinald dangan keras dan membuatnya kembali mengalami perasaan asing itu.

   Dengan kedua rahang terkatup rapat, Reinald menghampiri Citra yang sedang berada di lapangan voli bersama cewek-cewek sekelas lainnya.

   Tanpa bicara, ditariknya karet pengikat kucir rambut Citra sampai terlepas sehingga rambut cewek itu terurai.

   Citra menoleh kaget.

   Reinald menyambut tatapan kaget itu dengan harapan akan keluarnya protes dari mulut Citra, minimal gerutuan, sehingga ada alasan bagi dirinya untuk terus menyerang cewek itu dengan kata-kata.

   Namun Citra tidak mengeluarkan suara sedikit pun.

   Bukan saja karena cewek itu ingat dengan tekadnya sendiri untuk tidak terpancing, tapi juga karena kaget dengan tindakan Reinald itu.

   Beberapa detik terlewat, dan Reinald merutuk dalam hati saat sadar Citra tetap bungkam.

   Akhirnya ia meraih satu tangan Citra dan meletakkan karet pengikat rambut itu di telapaknya.

   Kemudian Reinald balik badan dan pergi begitu saja.

   Citra hanya bisa menatap dengan mulut ternganga.

   Begitu juga temanteman sekelas yang menyaksikan itu.

   Ketika kesadarannya telah kembali, Citra menggerutu dalam hati sambil mengikat kembali rambutnya.

   Tetap dengan gaya khasnya.

   Asal mengikat.

   Berantakan.

   "Ayo, lanjut! Giliran gue yang serve, kan?"

   Serunya ke arah teman-temannya yang masih berdiri diam, terpesona dengan kejadian tadi. Mereka tersadar. Keenam cewek yang jadi tim lawan Citra segera bergeser jauh-jauh ke luar lapangan.

   "Kok pada mencar!?"

   Seru Citra heran.

   "Elo kan biasa, Cit. Lapangannya di mana, serve-nya ntar ke mana!"

   Seru Indah. Citra terkikik. Sejak SMP, Citra memang terkenal bego olahraga. Kecuali lari. Apalagi kalau olahraga itu berbentuk kerja sama tim, seperti basket atau voli. Teman-teman yang kebagian satu tim dengan Citra biasanya langsung patah semangat.

   "Yaah, ada Citra. Pasti kalah deh...,"

   Ucap mereka setiap kali selesai dilakukan pembentukan tim. Seterusnya yang biasanya akan terdengar adalah seruan-seruan yang seperti saat ini sedang dilontarkan teman-temannya.

   "Citra jangan disuruh serve deh. Bolanya ke mana-mana!"

   "Netnya dinaekin aja deh. Atau diturunin aja sampai menempel di tanah. Citra nih, kalo nggak bolanya nabrak net, pasti lewat kolong."

   Itu kalau voli. Kalau basket biasanya...

   "Bolanya ditendang aja, Cit. Abis lo kalo drible ngaco."

   "Khusus buat Citra, kalo dia bisa ngelempar bola sampe setinggi tiga perempat tiang, anggap aja tuh bola hampir masuk ring. Minimal kena bibirnya ring deh."

   Citra sih cuma ketawa-ketawa mendengarnya, soalnya sudah biasa.

   Namun di sisi lain lapangan, seseorang sama sekali tidak mengganggap itu sebagai sesuatu yang lucu.

   Justru sebaliknya.

   Reinald berdiri mematung.

   Kembali dirasakannya sensasi asing yang menggelisahkannya.

   Hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, satu poin lagi dalam catatan yang ditinggalkan Ronald, ada di depannya.

   Bego olahraga.

   Nggak ada satu pun olahraga yang dia bisa.

   Kecuali lari atau kabur.

   Dengan geram kembali dihampirinya Citra.

   Ada satu cara agar cewek itu tidak menjadi cewek yang disebutkan Ronald dalam catatannya itu.

   "Sori! Sori! Break sebentar, yaaa!?"

   Seru Reinald, sambil mengangkat kedua tangannya membentuk huruf T dan tersenyum lebar.

   Reinald memasuki lapangan.

   Cewek-cewek itu seketika menghentikan permainan.

   Tidak peduli dengan tatapan teman-temannya, Reinald menghampiri Citra.

   Tanpa bicara, dirapikannya ikatan rambut Citra.

   Benar-benar rapi, sampai tidak ada satu helai rambut pun yang tidak terikat kecuali poni.

   "Kalo ngiket rambut yang bener!"

   Reinald menegur tajam dan dengan ekspresi galak.

   Reinald sangat berharap Citra mau buka mulut.

   Ia tidak lagi berminat memperpanjang pertengkaran mereka seperti kemarin-kemarin.

   Ia hanya ingin Citra bicara.

   Namun Citra tetap bungkam.

   Meskipun dari ekspresi wajahnya jelas terlihat cewek itu benar-benar kesal, juga malu.

   Ini di lapangan, dan yang olahraga bukan cuma kelas mereka doang.

   Bikin malu aja! Sementara itu teman-teman mereka menyaksikan adegan itu dengan ternganga dan pandangan bertanya.

   Tapi mereka juga harus mengakui, untuk pasangan tukang berantem model Reinald sama Citra, sumpah, tadi itu adegan yang romantis abis! Tidak ada satu pun yang tahu bahwa alasan Reinald melakukan itu adalah karena Citra melancarkan aksi diam, juga karena kali ini Reinald sadar usahanya kembali galal.

   Setelah sekali lagi meyakinkan ikatan rambut cewek itu benar-benar rapi, Reinald berbisik di telinga Citra dan mengancam pelan.

   "Kalo lo nggak mau gue dateng terus ngiket rambut lo lagi, jangan dilepas!"

   Ancamnya pelan. Kemudian dia balik badan.

   "Oke, silakan lanjut!"

   Serunya sambil meninggalkan lapangan.

   "Bego olahraga"-nya Citra memang hopelees. Tidak bisa dibenahi saat ini juga. Tapi paling tidak, ikatan rambutnya kini rapi. Jadi ini bukan Citra yang dilihat Ronald. *** Sekali lagi kali ini Citra pulang dengan perasan lega dan tanpa beban. Ternyata kalau nggak ditanggepin dan nggak dipikirin memang nggak bikin emosi ya? Katanya dalam hati. Cewek itu berjalan menuju halte dengan langkah ringan. Sementara Reinald justru semakin emosi, dan tambah emosi lagi saat melihat Citra berdiri diantara kerumunan siswa yang sedang menunggu bus di halte. Lewat sudut mata, Citra juga mengetahui kehadiran Reinald. Cewek itu bersyukur banget karena bus yang ditanggungnya sudah datang. Jadi ia bisa selamat. Begitu bus berhenti di hadapan,Citra buru-buru naik dan menghilang di dalam perut kendaraan umum yang sarat penumpang itu.

   "Kurang ajar tuh cewek! Sialan!"

   Reinald memaki pelan.

   Tetapi begitu bus yang ditumpangi Citra melaju pergi, entah kenapa lagi-lagi Reinald merasakan itu...

   rasa asing yang selalu membuatnya gelisah.

   Kegelisahan itu ternyata bertahan.

   Menemaninya selama perjalanan pulang.

   Menyertainya saat menyantap makan siang, hingga Reinald nyaris tidak merasakan apa yang sedang disantapnya.

   Menjelang malam, kegelisahan itu membuat Reinald semakin kacau dan meledak tepat di saat hari tengah gelap.

   Dan Reinald terenyak.

   Kini ia tahu pasti apa yang membuatnya gelisah belakangan ini.

   Karena Citra sudah tidak lagi mengeluarkan suara.

   Karena cewek itu benar-benar bungkam.

   Karena cewek itu terang-terangan bersikap seakan ia tak terlihat, seakan ia tak ada.

   Kini Reinald juga yakin, perasaan asing yang merambati hatinya belakangan ini, karena Citra telah membuatnya berdiri di tempat yang sama seperti Ronald! Menempatkannya di luar lingkaran.

   Hanya bisa melihat.

   Hanya bisa mengawasi.

   Dan hanya bisa diam.

   Kemudian Reinald menyadari dirinya mulai dikecam ketakutan.

   Ketakutan yang ternyata membuat kemarahannya menyurut sampai benar-benar ke titik terendah, dan akhirnya hilang.

   Tidak bisa! Reinald menggeleng kuat tanpa sadar.

   Citra tidak bisa menempatkan gue di tempat yang sama seperti Ronald, pikir Reinald.

   Ronald sudah pergi.

   Dia sudah tidak ada lagi.

   *** Keesokan harinya Reinald berangkat sekolah kembali dengan tekad harus bisa membuat Citra buka mulut.

   Namun kali ini tidak dengan kemarahan.

   Sengaja Reinald datang lebih pagi, berharap akan ada lebih banyak kesempatan sebelum penghuni kelas keburu berdatangan.

   Tapi tidak berguna.

   Citra datang hanya sepuluh menit menjelang bel, dan langsung membuat Reinald terpaku di bangkunya.

   Ada begitu banyak warna biru melekat pada Citra pagi ini.

   Reinald mematung menatap nuansa biru itu, dan seketika teringat pada satu kalimat yang tertulis pada lembar catatan tentang Citra yang ditinggalkan Ronald.

   Suka banget warna biru.

   "Lo suka warna biru ya, Cit?"

   Mulut Reinald terbuka begitu saja.

   Citra belagak tidak mendengar.

   Ia juga tidak mau menoleh.

   Setelah memasukkan tasnya ke laci, cewek itu langsung berjalan lagi ke luar kelas.

   Karena tidak mau menoleh itulah Citra jadi tidak tahu perubahan yang terjadi pada Reinald.

   Yang jelas-jelas tertangkap di otaknya adalah Reinald belum menyerah.

   Bel masuk berbunyi.

   Citra melangkah masuk dengan malas.

   Selalu begitu.

   Momen-momen menjelang dirinya harus berada di sebelah Reinald selalu bikin Citra bete.

   Apalagi saat berada di sebelah Reinald, bikin bete lagi.

   Dan, benar saja.

   Baru juga dua detik ia duduk, Reinald sudah menyambutnya dengan pertanyaan.

   "Cit, lo suka warna biru ya?"

   Lagi-lagi Citra tidak menoleh, apalagi menjawab, karena di kepalanya sudah muncul berbagai dugaan. Reinald pasti mau bilang.

   "Apaan tuh? Selera jelek! Warna yang keren tuh silver. Warna milenium. Warna kuat. Biru? Norak! Pasti orangnya melankolis nggak jelas. Sensi. Suka berkhayal. Gampang tersinggung!"

   "Iya? Lo suka warna biru?"

   Tanya Reinald lagi, suaranya terdengar lunak. Di saat yang bersamaan, Citra teringat tiga buah stabilonya -kuning, hijau dan biru-yang kemarin dipinjam Ian. Cewek itu langsung merasa lega karena ada alasan untuk tidak mengacuhkan Reinald.

   "Ian, stabilo gue mana? Gue mau pake nih!"

   Serunya, bangkit berdiri dan menghampiri meja Ian.

   Kemudian Citra sengaja berlama-lama di sana, dan baru kembali ke bangkunya setelah guru datang.

   Reinald menabrak dinding! Tiba-tiba cowok itu menyadari ia melakukan tindakan yang persis seperti yang dulu dilakukan Ronald.


Putri Bong Mini Iblis Pulau Neraka Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur Raja Petir Empat Setan Goa Mayat

Cari Blog Ini