Ceritasilat Novel Online

Ksatria Putri Bintang Jatuh 1


Dewi Lestari Ksatria Puteri Dan Bintang Jatuh Bagian 1


DE_SUPERNOVA-_BintanG_jatuH SUPERNOVA Episode.

   Ksatria, Puteri, dan BintanG jatuH A 2000 Pee H Proof Reader Prof.

   Dr.

   Fuad Hassan Hernia wan Aksan Tata Letak Muhammad Roniyadi (thatkid20@yahoo.com) Desain Sampul Tepte (teple@imatrekkie.com) Foto Dissy Ekapramudita Penerbit Truedee Books X Patrakomala no.

   57, Bandung 40113, Indonesia Tel/Fax.

   62-22-4213691
http.//www.truedee.com E-mail.

   Dooks@truedee.com Hotfine Customer Service.

   081-22141015 Pre-press Polar Repro Bandung Percetakan Gpta Cekas Grafika -Bandung Osakanl .

   Februari 2001 /CefakanU -Maret 2001 hafalan IH .

   April 2001 Cetakan IV .Juni2001 **A"anV ; November 2001 Katalog Dalam Terbitan i Afe^'S ^ Bi,Mn* BMK,un8.

   TA-*, Books; 200.

   $&96257-0-X JudulEngkaulah getar pertama yang meruntuhkan gerbang tak berujungku mengenal Hidup.Engkaulah tetes embun pertama yang menyesatkan dahagaku dalam Cinta tak bermuara.Engkaulah matahari Firdausku yang menyinari kata pertama di cakrawala aksara.

   Kau hadir dengan ketiadaan.

   Sederhana dalam ketidakmengertian.

   Gerakmu tiada pasti.

   Namun aku terus di sini.

   Mencintaimu.

   Entah kenapa.

   (catatan di satu pagi buta di atas atap rumah tetangga) Sanksi Pelanggaran Pasat 44.

   Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 Tentanq Hak Cipta Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak 8p 100.000.000 (seratus juta rupiah).

   2.

   Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana toaksud dalam ayat (l), dipidana dengan pidana penjara paung lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak AA 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).

   Divisi Produksi kami telah mengeluarkan SP3, yang memperingatkan agar kami berhenti bermain-main dengan jatah satu halaman Cuap-cuap Penerbit dan mulai menggunakannya dengan lebih serius.

   Mereka mengharapkan agar kami membuat omong kosong permanen supaya tidak gontaganti film setiap kali naik cetak.

   Terus terang, hal tersebut menimbulkan gejolak besar di dalam tubuh Srudooks alias Si Truedee Books, karena surat peringatan itu merupakan cambuk evaluatif yang teramat pedih, yang membuat kami semua merenung, menyelam bersama dalam palung kontemplasi...

   bukan, bukan masalah selama ini kanu kurang serius atau tidak, tapi satu halaman...

   SATU halaman.

   Setelah Supernova diluncurkan dan mengalami begitu banyak peristiwa, adakah satu halaman mampu memuat seluruh curahan hati kami? Dan apakah itu gerangan yang sekiranya layak menjadi pernyataan final kami? Misteri itu akhirnya membawa kami semua ke sebuah penelusuran mendalam, sesuatu yang spiritual, mendasar.

   apakah tujuan hidup kami? Lantas kami menyelenggarakan satu konferensi tingkat tinggi yang dilaksanakan di warung nasi Ibu Eha, di dalam Pasar Cihapit, Bandung (masuk pasar, lurus, belokan pertama ke kanan, langsung belok kiri lagi), yang juga dimeriahkan oleh hadirnya artis top ibu kota.

   Dewi RSD.

   Setelah menundukkan kepala dan menyanyikan lagu "Syukur"

   Sebanyak tiga putaran (pertama.

   suara penuh; kedua.

   setengah suara; ketiga.

   hanya bergumam), kemudian membentuk lingkaran dengan sebatang lilin di pusat -lengkap dengan beberapa lalat yang terbakar dan mengeluarkan suara mendesis yang menghipnotis, dan setelah itu mengungkapkan isi hati secara bergiliran, maka kami pun tercerahkan dan menemukan kembali tujuan kami yang sesungguhnya.

   Ayu Utami, di ulang tahun IKAPI tahun 2001, ketika ditanya oleh Dono Warkop yang saat itu bertugas menjadi MC.

   apakah yang akan Anda lakukan apabila ternyata Anda memenangkan Nobel Sastra? Ayu pun menjawab dalam canda.

   Rasanya saya tidak akan memenangkan Nobel Sastra, tapi Nobel Fisika 'kali, ya! Oh, saudara-saudara, bahkan kami tak memiliki kemampuan cukup untuk mengkhayalkan sebuah penghargaan Nobel di bidang fisika.

   Terlebih-lebih sastra.

   Tidak.

   Tujuan kami hanyalah satu.

   bersenang-senang.

   Sekali lagi (dengan suara mengg ema plus sedikit echo).

   BERSENANG-SENANG (nang...

   nang...

   nang).

   Maka, Anda tidak hanya mendapatkan satu halaman...

   tidak juga dua.

   Bukan pula tiga! Melainkan empat halaman Cuap-cuap Penerbit! Bukan main.

   Ini sungguh luar biasa! Bukan begitu, Mike? Demikianlah akhir dari konferensi kami.

   Ditutup dengan Supernova v menyanyikan tembang lawas namun tetap cantik.

   "Kemesraan", yang diiringi permainan gitar Kang Wawa -penjual pisang di Pasar Cihapit yang juga fans fanatik grup bertajuk singkat seperti U2, Al, dan RSD, sambil bergandengan tangan dan menggoyangkan badan ke kanan dan kiri secara kompak dan terpadu. Momen yang sungguh mengharukan.Re tak tahu cara menyarungkan pedang-pedang tajam itu. Teroris-teroris dalam otaknya. Sementara Rana masih terus berbicara dengan suara ceria.

   "Dan tahu nggak, tadi semua orang menyangka aku sedang bicara dengan Arwin di telepon. Mereka begitu yakin itu dia, saking suaraku terlalu mesra katanya. Ha-ha..."

   Ajarkan aku menjadi naif.

   Senaif dirimu yang masih bisa tertawa.

   Senaif kebahagiaan di alam kita berdua.

   Karena setiap detik di kala kenyataan mulai bersinggungan.

   Aku rasakan sakit yang nyaris tak tertahankan.

   Atau ajarkan aku menjadi penipu, Apabila ternyata kau merasakan sakit itu dalam tawamu.

   "Itu tidak lucu, Puteri,"

   Balas Re dingin. Tawa Rana membeku seketika.

   "Re... aku ingin sekali berteriak, bahwa itu kamu. Dan bukan Arwin. Itu kamu... kamu..."

   Suaranya kian mengecil.

   Dan kata 'kamu' masih terus bersambung di dalam hati.

   Re sendiri cuma bisa diam.

   Menyesali betapa banyak keterbatasan yang ia miliki.

   takdir, nasib, suratan.

   Ia teramat geram.

   Aku letih, Puteri.

   Malam itu Re batal tidur sambil tersenyum.

   Malah terjaga dalam kamar kerja, menghadapi carikan-carikan kertasnya.

   Berusaha memunguti lagi cintanya yang berantakan.

   Mencoba merasakan kembali puncak-puncak kayangannya dengan Rana.

   Dan terhibur sendiri dengan ketabahannya yang tak masuk akal.

   Re, dalam ruang simulakrum, benteng terakhirnya dalam pertempuran batin ini.

   Arwin Pelataran hotel.

   Setengah dua siang.

   Kedua manusia itu, berhadap-hadapan, terfokus habis sebesar Cinta itu sendiri seolah-olah tidak ada yang lain di mata mereka.

   Dalam segala ketersendatan akibat takut ketahuan, mereka justru kelihatan menonjol.

   Mereka tak sadar itu.

   Tentu saja, bagaimana bisa mereka sadar? Mereka begitu saling mencintai.

   Tergila-gila.

   Di dalam mobilnya, Arwin pun tepekur.

   Memandang kosong ke satu titik.

   Sementara pikirannya bagaikan spektrum konvergen, dalam pancaran hampa berusaha menggapai-gapai sebuah kesimpulan, sebuah solusi, sebuah tindakan.

   Tidak ada yang tergapai.

   Ia tetap dirinya yang dulu.

   Siapa pun dapat melihat apa yang ia lihat.

   Manis wajah berbungabunga istrinya bagai insulin yang terdongkrak dalam darah, dan Arwin rasanya terserang diabetes melihat Rana.

   Ia begitu...

   bahagia.

   Tak ada kebencian yang bisa ia keruk dari dalam hatinya untuk Rana.

   Tidak juga untuk pria itu.

   Yang ada hanyalah kebencian pada dirinya sendiri.

   Ya, aku memang tidak pernah pantas memilikinya.

   Bertahun-tahun aku tahu itu, tapi aku diam saja.

   Egois.

   Tidak pernah satu detik pun aku mampu membuat Rana bersinar bahagia seperti itu.

   Aku pikir aku telah seluruhnya mencintai, padahal aku hanyalah batu penghalang bagi kebahagiaannya.

   Maafkan aku Rana.

   Hanya sebeginilah kemampuanku.

   Andaikan aku bisa berbuat lebih...

   Dhimas & Ruben "Menakjubkan,"

   Ruben mendesah.

   "aku sama sekali tidak menyangka dia akan berpikir begitu."

   "Dia teramat mencintai istrinya. Cinta yang sampai di titik tertentu akan mengaburkan ego. Kebahagiaan istrinya berarti kebahagiaannya. Begitu pun dengan kesengsaraan."

   "Dan dia mengambil tanggung jawab di sana."

   "Ya. Sementara kebanyakan orang cuma bisa menyalahkan orang lain."

   "Cinta bisa sedahsyat itu, ya?"

   Ruben berdecak.

   "Aku bisa ngomong panjang soal teori, tapi kalau aku jadi dia, mungkin tidak bakalan punya hati sebesar itu. Hati yang cukup besar untuk menampung cinta istrinya pada pria lain.'' supernova -Berarti, bisakah kamu bayangkan, sebesar apa har menampung seluruh cinta di semesta ini?"

   Yang 'Sebesar Cinta itu sendiri."

   KE PING 15 la Sedang Kasmaran...

   Setiap pagi Diva punya ritual khusus, dimulai dengan pergi ke pasar.

   Pasar tradisional.

   Pulang dari sana, paling-paling ia hanya membawa kantong plastik kecil yang isinya kue-kue atau beberapa butir buah, namun yang sebenarnya ia nikmati adalah memandangi tumpukan buah dan sayur.

   Hanya memandangi.

   Ia bisa berdiam lama di satu sudut pasar, tersenyum sendirian.

   Dari sana.

   Diva akan pergi ke sebuah taman kanakkanak.

   Ia sudah tahu persis pukul berapa anak-anak itu keluar kelas dan bermain di luar.

   Maka ia pun akan duduk di sebuah bangku, di luar pagar, memandangi.

   Tersenyum sendirian.

   Terakhir, sebelum pulang, ia akan ke kios-kios tanaman di pinggir jalan.

   Diva sudah kenal beberapa penjual yang mengizinkannya duduk di balaibalai kecil mereka.

   Terkadang ia membawa pulang satu polybag tanaman, atau beberapa bungkus pupuk, malah kadang-kadang tidak membawa apa-apa sama sekali.

   Ia hanya ingin ada di sana.

   Memandangi.

   Tersenyum sendirian.

   Hari ini, sesudah sarapan pagi.

   Diva pun bersiap melakukan rangkaian ritualnya.

   Sambil mereguk susu hangat, ia memandang ke luar jendela.

   Menikmati pagi harinya yang sepi.

   Jauh dari kegaduhan pusat kota.

   4 115 Tiba-tiba dari rumah seberang, tampak seorang lelaki keluar.

   Diva mencibir.

   Baru pukul setengah sembilan, tapi telepon genggamnya sudah menempel di kuping.

   Mulutnya komat-kamit cepat seperti membaca jampi-jampi.

   Di kerah kemejanya, sebuah dasi tergantung menunggu untuk disimpul.

   Celananya rapi dengan garis seterika lurus seperti seutas tali.

   Tas kantornya terbuat dari kulit berwarna hitam, dan yang kalau dilihat dari puncak gunung sekalipun, mahalnya tetap kelihatan.

   Ia kenal betul tipe itu.

   Tipe orang-orang yang memberi julukan pada bosnyaA"Si Cina Gembrot, Si Bule Gendeng, Si Jepang BawelA"tertawa-tawa akan hal itu ketika jam makan siang, dan kembali merunduk-runduk seperti ayam mencari cacing ketika kembali ke kantor.

   Tipe orangorang yang ia temui hampir setiap malam.

   Memuakkan, Diva melengos.

   Ini polusi untuk matanya.

   Namun kemudian, sesuatu nampak berubah.

   'Pria itu sekonyong-konyong berhenti melakukan gerakan serba sibuknya.

   Wajahnya yang tadi kusut berubah cerah dengan drastis.

   Terlalu drastis.

   Mulutnya bergerak perlahan, mahal, seolah-olah ada butiran mutiara ikut keluar di setiap kata yang terucap.

   Mata itu memandang ke arah sembarang, sepertinya kosong, tapi tidak.

   Ia sedang melihat cinta.

   Tak peduli ke mana pun matanya berlabuh, yang ia lihat hanya cinta.

   Diva mulai tersenyum...

   pria itu sedang kasmaran.

   Benar-benar kasmaran.

   Sampai seolah-olah ia telah berubah menjadi asmara itu sendiri.

   Senyumannya...

   sinar wajahnya...

   cengkraman jemarinya di telepon genggam itu...

   setiap gerak tubuh yang terjadi...

   Diva menahan napas.

   Dalam dimensi pikirnya, waktu berhenti membanjir.

   Melainkan menetes bagai embun.

   Tetes...

   demi tetes.

   ..

   demi...

   tetes...

   de...

   mi...

   te...tes.

   atDANB kasmaran., d...

   e...

   m...

   i...

   t...

   e...

   t...

   e...

   s...

   Semuanya melambat seperti adegan s l o o o w m m m o t i o n n Hanya saat seperti ini yang mampu menggerakkannya untuk berdoa.

   Berdoa andai saja ada menit saat dunia mampu melihat refleksi dirinya sendiri dalam gerakan lambat.

   Niscaya semua akan menjadi begitu khidmat.

   Penuh makna.

   ...

   Otot yang mengejang pada kaki yang berlari...

   ...

   Lidah yang berputar lembut dalam sebuah ciuman...

   ...

   Jemari yang bergetar ketika meraih tangan kekasih...

   ...

   Lambaian anak rambut yang ditiup angin...

   ...

   Sudut bibir yang berubah dalam celah detik...

   Setiap kerut wajah akan memiliki arti.

   Kalimat yang tertunda keluar akan nampak.

   Pancaran ketulusan dapat dinikmati lebih lama.

   Dan wajah yang berbohong akan jengah dengan sendirinya.

   Tak ada yang lebih indah dari gerakan lambat.

   Diva pun menyentuhkan jemarinya pada kaca.

   Berusaha menyentuh pemandangan itu.

   Dan seandainya ia bisa memohon...

   jangan pergi.

   Tetaplah di sana, wahai kau yang sedang jatuh cinta.

   Namun Tangan Yang Tak Nampak kembali berhasil menjebol bendungan waktu.

   Setelah flip teleponnya menutup, wajah pria itu kembali berubah menjadi tukang dagang.

   Bergegas ma suk kendaraannya, dan melesat pergi.

   Balik ke barisan.

   Sejenak Diva merasa begitu kesepian.

   Supernova Ferre Malam minggu.

   Re kembali menjadi pecundang.

   Berhubung muak dengan usahanya yang sok sibuk sendiri di rumah, ia akhirnya memilih ikut dengan Ale dan pacarnya, Lala.

   Mereka pergi bertiga.

   Makan bertiga.

   Nonton ke bioskop bertiga.

   Panjang antrean tiket sudah menyamai arakarakan barongsai.

   "Kalian duduk saja, atau jalan-jalan kek. Biar aku yang ngantre,"

   Re menawarkan diri.

   "Nggak ah. Apaan sih kamu, Re. Kita ngantre bareng saja,"

   Lala langsung menolak.

   "Lho! Jangan ditolak.' Memang itu gunanya dia ikut. Supaya ada yang ngantre tiket, dan kita tetap bisa pacaran. Kalau enggak, apa untungnya kita ajak dia?"

   Tukas Ale.

   "Pergi sana..."

   Re tertawa.

   "kampret!"

   Ale tergelak-gelak.

   Pasangan itu pun berjalan pergi.

   Re memandangi dari kejauhan.

   Bagaimana Ale melingkarkan tangannya di pinggang Lala, dan Lala menyandarkan kepalanya di bahu Ale.

   Dengan posisi seperti itu mereka berdua berjalan agak terseret.

   Sepertinya ada gelimang-gelimang cinta kental yang menggenangi kaki mereka.

   Di ujung sana, ada sepasang remaja yang bergandengan tangan, terus menerus, seperti telapak tangan mereka dilem.

   Ada pria yang mengantre tiket sambil tak lepas memeluk kekasihnya dari belakang.

   Ada wanita yang lagi menyuapkan kue sus ke mulut pacarnya yang lagi asyik main Time Crisis.

   Ada pria yang setia menunggu dekat toilet, dan begitu pacarnya keluar, matanya berbinar seperti melihat bidadari merekah dari teratai kayangan.

   Kalau saja ceritanya lain, Re yakin malam ini ia dan Rana akan dinobatkan menjadi pasangan dengan jalan paling terseret.

   Kewalahan akibat banjirnya cinta mereka yang tumpah ruah.

   Bahkan Puck si peri usil akan jongkok di kaki mereka demi mengoles ujung panah-panah asmaranya.

   Ia Sedang kasmaran.

   Kalau saja aku bisa berkata 'untung saja'.

   'Untung saja, aku berkenalan denganmu dua tahun dan empat puluh tiga hari lebih awal.' Sampai di perjalanan pulang, hal yang sama masih terus mengusiknya.

   "Ale, dari lusinan pacarmu sejak dulu, ada A nggak yang tidak pernah kamu ajak nonton ke bioskop?"

   Re bertanya.

   "Bukannya itu kegiatan paling standar orang pacaran? Kalau boleh dibilA"ng. preambulel"

   Ale nyengir.

   "Kamu sebar survey aja. Aku yakin hampir semua pasangan di pelosok negeri ini pernah pergi nonton berduaan."

   "Rasanya aku tidak pernah punya keinginan muluk-muluk soal beginian. Aku termasuk orang yang cukup puas dengan sekadar mengajak pacarku nonton malam minggu, ke bioskop,' merangkul bahunya waktu sedang ngantre, atau minimal pegangan tangan. Itu saja. Tanpa takut ada siapa di belakangku, tanpa harus mengawasi kiri-kanan, tanpa harus cepatcepat berjauhan kalau ada yang kenal..."

   Suaranya makin berbeban. Ale baru mengerti arah pembicaraan ini.

   "Re..."

   "Hei, no pityl"

   Cepat Re berseru.

   "Siapa juga yang pity? Itu sih memang kamu yang tolol!"

   Timpal Ale.

   "Aku tidak simpati, apalagi kasihan. Untuk soal itu, kamu tidak perlu khawatir. Tapi aku cemas. Orang yang menurutku akal sehatnya nomor satu kok bisa-bisanya jadi penderita nasionalitas akut. Bahkan aku berani bilang, koma! Sebentar lagi mampus! Tahu?!"

   Re terdiam.

   Menyadari bahwa kata-kata temannya bisa jadi benar.

   Aku adalah manusia statistis.

   Statistik kita tidak bagus, Puteri.

   Aku adalah manusia yang butuh pengakuan.

   Tak kutemukan satu orang pun yang mengakui kita.

   Ia teringat ketika Ale menjemputnya tadi.

   Sebelum sahabatnya itu datang, Re tengah mengintip acara televisi, mencari tahu apakah sinetronnya sudah mulai atau belum.

   Sinetron tentang pria kedua.

   Kalau besok malam gilirannya Supernova Ia Sedang Kasmaran..

   sinetron tentang wanita kedua.

   Semua sedang seru-serunya.

   Tokoh-tokoh itu dikisahkan sedang bingung memilih.

   Dan setiap kedua sinetron itu naik tayang.

   Re menonton tanpa berkedip.

   Di sofanya ada sejumlah majalahA"penuh dengan tanda pembatas yang kesemuanya menandai artikel, cerpen, novelet, konsultasiA"yang menceritakan gamangnya pernikahan karena kehadiran orang ketiga.

   Dulu, baginya semua itu sampah.

   Dampak mendramatisasi hidup yang sebenarnya dibikin-bikin sendiri.

   Sakaw-ny& manusia-manusia bumi yang kecanduan tragedi.

   Namun kini ia merasa ada kedekatan batin dengan semua kisah dan orang yang terlibat di dalamnya, yang dulu pernah ia sebut malang dan bodoh itu.

   Dan dari apa yang ia baca, dengar, tonton, termasuk diomeli dan dimaki Ale, semua mengatakan.

   ia kalah.

   Institusi dan rasa bersalah selalu keluar jadi pemenang, sementara ia selamanya akan dikategorikan sebagai antagonis.

   Ada macam-macam pula sebutan untuknya.

   "pesona sesaat".

   "pelarian kejenuhan pasutri".

   "intermeso pernikahan", dan sebagainya. Ketika bel rumahnya berbunyi, Re langsung menutupi tumpukan majalah itu dengan bantal, kemudian ia lari menuju piatu. Mendadak ia teringat sesuatu... ia lari lagi, meraih remote dan memindahkan saluran. Sementara Ale sudah mulai resah di luar.

   "Re... oi! Buka dong!"

   Ketika Re membuka pintu, Ale sudah menyambutnya dengan tawa lebar.

   "Sejak kapan kamu nongkrongin sinetron?"

   "Sinetron apaan?"

   Sergahnya cepat.

   "Sekarang sih memang CNN, tapi tadi...,"

   Ale terkekeh.

   "aku kan sudah lima menit duluan di depan pintu. Parah. Kondisimu mengkhawatirkan. Kalau saja rasio bisa diinfuskan, kamu sudah kukirim ke Gawat Darurat sekarang juga."

   "Nonton sepuluh menit kan bukan berarti apa-apa,"

   Kilah Re pelan.

   "Buat apa juga nonton sinetron..."

   Sambungnya lagi lebih lirih.

   Ya, buat apa...

   Darah adalah darah, dan tangis adalah tangis.

   Tak ada pemeran pengganti yang akan menanggung A"kirmu.

   Re menepiskan lamunannya.

   Kembali hadir di detik ini.

   Cepat, ia mengalihkan pandangannya ke jalan.

   Lampu merah.

   Dari sebelah kiri, sebuah motor datang menjajari mereka.

   Motor bebek '70-an berwarna hijau dengan lampu depan yang sudah kalah terang dengan petromaks warung.

   Pengemudinya adalah pria muda yang mengenakan helm butut, tampangnya sederhana, dengan kumis tebal dan sinar mata yang ramah.

   Ia membonceng seorang wanita, yang juga sederhana, dengan rambut panjang dijepit dan baju bermotif buifgf kecil-kecil.

   Wanita itu mengenakan jaket kebesaran yang jelas bukan miliknya.

   Pasti milik pria itu.

   Dan kehangatan wajah mereka berdua, seperti di atas tungku asmara yang apinya sudah mulai stabil.

   Tenang, tak lagi meledak-ledak.

   Mungkin mereka sedang merencanakan punya anak tahun ini.

   Re kembali terusik.

   Di sisi lain jalan, ada lagi sepasang kekasih, menunggu bus yang sudah tinggal satu-dua.

   Mereka tak berkendaraan apa-apa, tapi lihat wajah wanita itu...

   Re tercekat.

   Ia hanya berpegangan erat pada lengan kekasihnya, dan betapa kuat rasa percaya di wajahnya.

   Dengan dekapan itu ia tabah menghadapi udara malam dan bus yang tak kunjung datang.

   Apa ini semua? Pasar malam kasih sayang? Cinta diobral dan dicucigudang? Yang kudamba juga sederhana.

   Bukan cinta antik dan berukiran rumit.

   Namun ia memang terlahir menjadi manusia mahal.

   Di tengah pesta obral pun ia harus rela menggigit jari.

   Menyaksikan semua orang bergelimang dengan apa yang paling ia dambakan.

   Sementara Re duduk di sudut, ditempeli tulisan "Dilihat boleh dipegang jangan".

   Semua perjalanan hidup adalah sinema.

   it One, two, three, four...

   roll! Ya! Silam, silam! Ayo, Wanda, Henny...

   lebih cepet dong, say.

   One, two...

   pose!" .

   Diva duduk di samping panggung, menguruti tumitnya yang pegal sambil memandangi Adi yang sibuk memberikan aba-aba dengan seluruh tubuhnya yang ikut bergoyang.

   SBOEJ Seorang peragawati tiba-tiba terjatuh tepat di depan matanya.

   Suara orang yang ikut mengaduh sama banyaknya dengan yang tertawa.

   Tentu saja Diva salah satu dari yang ikut tertawa.

   Cepat, ia membantu gadis itu berdiri.

   "Cuma hak sepuluh senti, tapi sakitnya lumayan, ya? Atau lebih sakit malunya?"

   Ujarnya ringan. Yang dibantu tidak tahu harus bilang apa, menggerutu atau berterima kasih.

   "Kamu tega banget, sih ngomong gitu. Kan kasihan."

   Teman di sebelahnya menegur. * Diva menoleh.

   "Terus, kenapa bukan kamu yang paling cepat nolong?"

   Muka perempuan itu kontan tidak keruan.

   "Kapan sih omongan kamu enak didengar?!"

   Semprotnya sebal.

   "Emang enak pakai sepatu hak sepuluh senti terus jatuh?"

   Diva menatapnya terheranheran.

   "Bukannya kamu yang tadi paling pertama ketawa? Paling keras lagi." 1 V) "Kamu tuh punya masalah apa, sih sebenarnya?!"

   Perempuan itu makin sewot, seketika berdiri dan pergi.

   "Masalah Diva cuma satu. tidak punya belas kasihan,"

   Celetuk Risty, diikuti cekikikan yang lain.

   Diva memang tak merasa kasihan sedikit pun.

   Ada batas ketinggian maksimum untuk hak sepatu.

   Yang menurutnya patut dikasihani adalah orang-orang yang berupaya untuk mencuat dengan berjinjit di atas kemunafikan.

   Yang haus akan elu-eluan tak bermakna.

   Yang meletakkan harga dirinya di sewujud tubuh molek, atau di seraut wajah cantik tapi mati.

   Yang menggantungkan jati dirinya di gedung ' perkantoran mewah bertingkat 40, di besar kecil kucuran kredit bank, atau di sebuah titel yang memungkinkan mereka membodoh-bodohi sekian banyak orang bodoh lain.

   Lalu mereka semua tak henti-hentinya merasa lebih.

   Bagaimana juga nasib monyet-monyet korporasi yang tengah merambati pohon karier dengan otak mereka yang semakin gersang? Apa rasanya tersandung dari ketinggian seperti itu? Ia yakin tak akan sanggup tertawa.

   Diva mengurut keningnya.

   Penat.

   Seharusnya pertanyaannya adalah.

   mengapa begitu banyak kebobrokan yang mesti ia lihat? Mengapa cuma ia sendirian? Mengapa hanya dirinya yang ingin hidup? Ia lelah.

   Ia rindu kebun kecilnya.

   "Div, ayo honey. Kita ulangi dari lagu yang pertama... hap, hap!"

   Suara Adi yang cempreng menggugahnya.

   "Adi, saya nggak enak badan. Saya izin pulang, ya? Kita ketemu langsung besok malam?"

   Adi sedikit terkejut.

   Anak ini pasti sakit beneran, pikirnya.

   Tak pernah sekali pun Diva melewatkan latihan walaupun itu bukan masalah untuk peragawati sekalibeinya.

   Ia merasa tak punya pilihan lain selain membiarkannya pergi.

   Diva memang merasa sakit sungguhan.

   Kepenatan tersebut adalah sakit yang baginya lebih nyata daripada kena flu atau cacar air.

   Kadangkadang ia memang tak kuat menahan.

   Inilah saat ia ingin memaki semua orang sekaligus KEPING memeluk semua orang.

   Menyatakan kesedihannya sekaligus cintanya yang mendalam.

   "Pak Ahmad, kita langsung ke rumah, ya."

   "Ya, Non."

   Pak Ahmad melirik majikannya dari spion.

   Wajah cantik itu terlihat agak muram.

   Kemuraman yang ganjil.

   Sudah lebih dari empat tahun lamanya ia bekerja pada Diva.

   Ia tidak melihat banyak hal.

   Majikannya hampir tidak pernah membawa siapa pun ke dalam mobil ini.

   Apalagi ke rumah.

   Setiap kali di jalan, selain berbicara di telepon 'genggamnya, ia hanya memandang ke luar jendela.

   Diam, kadang menggigiti bibir.

   Diva bukan jenis orang ekstra hangat yang tak pernah lupa mengajaknya ngobrol atau melempar guyonan, tapi ia tahu majikannya amat peduli.

   Diva tak pernah memberinya baju lebaran atau menyumbangkan hewan kurban, tapi Diva menanggung biaya sekolah ketiga anaknya, bahkan membayari mereka ikut berbagai macam kursus.

   Belum lagi suplai buku-buku yang selalu datang membanjir.

   Istri Pak Ahmad dikursuskannya menjahit, dan disuruh membuka taman bacaan untuk konsumsi lingkungannya.

   Tentu saja, semua modal ditanggung Diva.

   Nona besarnya itu pernah berkata.

   "Kalau saya cuma menggaji Bapak tok, sama saja kayak Bapak pelihara kambing. Biarpun dikasih makan rumput segentong, kambing tetap nggak bisa nolongin istri Bapak masak, atau bantu anak-anak Bapak bikin pe-er. Kalau besok lusa saya jatuh miskin dan nggak bisa gaji Bapak lagi, nanti Bapak terpaksa nganggur, cari-cari orang lain lagi yang bisa menggaji. Saya ingin Bapak bisa maju sekalipun nggak ada saya. Atau majikan mana pun. Makanya saya nggak mau Bapak pusing soal bayar ini-itu. Bagaimana anak Bapak bisa jadi juara kelas kalau perutnya keroncongan? Buku nggak punya, alat tulis nggak ada. Jangan lupa rumah Bapak harus dijaga tetap bersih, jangan lupa pelihara banyak tanaman di pot, air minum direbus benar-benar, ya Pak."

   Diva memang majikan yang aneh.

   Ia begitu peduli akan hal-hal yang menurutnya remeh.

   Sangat peduli.

   Bekerja untuknya bagi Pak Ahmad adalah berkah besar.

   Diam-diam, ia memberanikan diri melirik spion lagi..Ternyata majikannya...

   menangis.

   Tangisan bisu.

   Hanya saja air mata itu terlihat jelas membanjir.

   Turun tanpa henti dari kedua matanya.

   Tak ada isak.

   Hanya air mata, turun, danturun terus.

   Da da Pak Ahmad ikut sesale, tapi tak tahu harus berbuat apa selain terus menyetir.

   Di kamarnya, memakai kaos oblong putih dan celana pendek, Diva duduk menghadap jendela.

   Tak ada lagi yang dapat ia lakukan selain memeluk bantal kecil, dan terus menangis.

   Ia ingin membiarkan semuanya lepas.

   Kepenatan itu.

   Tubuhnya masih cukup peka untuk memberikan sinyal bahwa ia tidak mampu menanggung semua.

   Karena itulah ia menangis.

   Bagaimanapun, kepedihan ini tetap terasa tajam.

   Menjadikannya terisak dan tersengal sampai lemas.

   Tapi ia harus membiarkan semua ini lewat...

   kembali bersih...

   tercuci.

   Dirinya diciptakan bukan untuk jadi tempat sampah yang menampung keusangan.

   Ferre Sesampainya di'rumah.

   Re tak berhenti merenung.

   Menjelang tidur pun, ia masih duduk tegak dan berpikir, substansi apa yang mampu meyakinkannya bahwa ia dan Rana memang berbeda.

   Ia punya segalanya.

   Kekasihnya tidak perlu naik motor dan kenal risiko hujan-hujanan.

   Mereka tak perlu jalan kaki di malam Jakarta yang buas untuk menunggu bus kota.

   Tapi ketenangan tadi...

   keteguhan tadi...

   bukan miliknya dan Rana.

   Mendadak Re dikagetkan oleh tiupan angin kencang.

   Menyapu begitu cepat dengan suara seperti siulan.

   Buru-buru ia bangkit dan menutup jendela.

   Tiga tahun ia tinggal di rumah ini, belum pernah ada angin sekencang itu, berseruling pula.

   Aneh, pikirnya.

   Angin itu lewat tanpa bekas.

   Re melongok melihat dedaunan di pohon.

   Mereka nyaris tak bergoyang.

   Namun angin ajaib tadi telah meniupkan arah matanya untuk tertumbuk pada sebuah jendela.

   Tepat di seberang rumahnya.

   Ada seseorang di sana...

   seorang gadis, duduk menekuk memeluk lutut, setengah menunduk.

   Cantik.

   Dengan bingkai malam yang penuh bintang, ia malah kelihatan tidak nyata Seperti lukisan.

   Re mendapatkannya sangat indahA"seluruh lukisan iniA"teramat lekat, ia memandanginya.

   Menit demi menit pun berlalu.

   Tanpa terasa, sudah sangat lama ini berlangsung.

   Namun Re tetap tak bergerak, begitu pula lukisan itu.

   Sampai akhirnya sang objek lukisan sekonyong-konyong mendongakkan kepala.

   Mungkin ingin menatap langit.

   Sinar lampu jalan pun mendapatkan wajah cantik itu tepat di bawah sorotnya.

   Memberikan kejelasan pada air mata yang mengalir rapi.

   Lukisan ini menjadi semakin sempurna saja.

   Dengan saksama Re mulai memperhatikan mata gadis itu, pandangannya mengarah ke sesuatu.

   Perlahan...

   matanya ikut tergiring melihat langit.

   Lukisannya berganti menjadi hamparan bintang.

   Tiba-tiba, Re berseru kaget.

   Nyaris tak percaya akan apa yang ia lihat.

   Dari ribuan kali ia memandangi langit, dan dari ribuan kali ia mendengar namanya, baru malam inilah ia bertemu langsung dengannya...

   bintang jatuh.

   Melesat begitu cepat, dengan keindahan yang mencengangkan.

   Re sungguh-sungguh terpesona.

   Mendadak ia teringat akan lukisan cantiknya...

   napasnya pun tertahan, kecewa.

   Tirai itu tertutup sudah.

   Re mundur perlahan dengan sejuta satu kesan.

   Ia tak pernah menyangka, musuh yang dicari-carinya selama ini ternyata begitu indah dan menakjubkan.

   Dhimas & Ruben Emosi Dhimas bergelora seakan-alcan setengah nyawanya telah menghidupkan kedua tokoh itu.

   "Mereka akhirnya bertemu,"

   Desisnya. -Lalu, mau kauapakan mereka?"

   RUDen vann , Až.lakangnya sambil menghirup kopi, ikut pe* ldili di bela A"Aku tidak tahu!"

   Seru Dhimas bersemanqTn Atu aku tidak tahu!"

   Man9at-Justru KEPING Dua Idiot Abad 21 Sudah lama Rana tidak berbicara dengan wanita itu. Ibunya sendiri. Benar-benar bicara, dan bukannya tanya-jawab rutin seputar "apa kabar".

   "sudah positif atau belum".

   "kapan kita belanja ke Makro".

   "ada big sale di Metro, antar yuk?".

   "ayo temani Ibu ke Bandung, belanja ke toko sisa ekspor dan bawa oleh-oleh brownies atau kue sus Merdeka kesenangan mertuamu".

   "Ada apa. Ran?"

   Tanya ibunya, setelah menyadari Rana telah lama menatapinya dengan pandangan aneh.

   "Aku mau bicara, Bu. Soal aku dan Mas Arwin."

   Rana menelan ludah.

   "Kalian ada masalah? Bukan soal baby, kan?"

   "Bukan... tapi, mungkin ada kaitannya juga, tapi enggak juga, sih..."

   Rana bingung sendiri. Ini benar-benar sulit baginya.

   "Kalian bertengkar? Arwin macam-macam sama kamu? ibunya mulai penuh selidi k.

   "Aku cuma mau tanya,"

   Rana semakin hati-hati.

   "selama Ibu menikah dengan Bapak, pernahkah sekali saja Ibu merasa jenuh, atau seperti ada yang salah, seperti ada yang kurang"Ooh, itu toh,"

   Potong ibunya. Otot mukanya langsung mengendur.

   "Kejenuhan itu hal*wajar sekali dalam pernikahan. fflUa orang juga pasti mengalami. Yang pentina hA-Až A Stan pintar-pintar menyegarkan suasana. l^JTA"** ka Rana tidak yakin ibunya mengerti.

   "Bukan keienA">, yang begitu. Tapi leMh ke... sepertinya ada yang safa^a I ng karang-seperti ada yang semestinya tidak terjadi A"

   Arnya lagi-penuh penekanan. jaQlUJ A"Maksudmu, kamu menyesal menikah dengan Arwin? oegitu?"

   A"Tidakkah Ibu pernah satu kaliii saja, merasa menyesal telah memutuskan menikah dengan Bapak?"

   "Apanya yang kurang dengan Arwin? Baik, tanggunq jawab, saleh, pekerjaannya bagus, dari keluarga baik-baik.."

   "Bukan itu pertanyaan saya. Bu."

   Kali ini wanita itu terdiam. Lama sampai ia bisa mencerna pertanyaan Rana dan menyusun kesimpulan dalam nada bijak.

   "Setiap pernikahan punya pasang surut, sama seperti hal-hal lain. Tapi khusus yang satu ini, kamu tidak bisa begitu saja lepas tangan dan menyisihkan apa-apa yang menjadi ketidaknyamananmu. Sebagai seorang istri, kamu harus sadai suamimu bukan orang sempurna. Kalian harus saling memaklumi dan mau memaafkan satu sama lain setiap hari. Kuncinya satu, komunikasi. Jangan lupa, segala sesuatunya diselesaikan dengan kepala dingin."

   Rana merasa mereka berbicara di dua level yang berbeda.

   Bukan itu yang ia cari dari percakapan ini.

   Apa yang ibunya omongkan sudah kenyang ia baca di tips-tips majalah, dan di rubrik-rubrik konsultasi.

   Panduan standar yang sudah seperti boks P3K-nya pernikahan yang wajib hadir di lemari obat setiap rumah tangga.

   Bukan itu.

   Ini bukan problem porsinya P3K.

   Rana sudah ingin masuk ICU rasanya.

   "Apakah Ibu bahagia? Sekarang? Dulu?"

   Tanyanya lagi.

   "Ya, tentu saja, Nak. Pertanyaan apa itu. Ibu bahagia melihat kamu, kakak-kakakmu, sudah berhasil jadi orang. Semua sudah menikah. Apa lagi yang Ibu cari?"

   Tandasnya yakin. Ia belum puas.

   "Bukan itu, tapi di luar itu semua. I* l"ar keberhasilan anak-anak Ibu. Apakah Ibu-secara pribadi. Personal, individu-benar-benar bahagia di dalam Pernikahan?"

   Rana mengeja, tajam. Wanita itu lamat-lamat tersenyum.

   "Sekarang Ibu mengerti maksudmu."

   Ujarnya lembut.

   "Nanti, setelah kau menjalani pernikahanmu sepuluh atau lima belas tahun, kau akan mengerti sendiri. Kebahagiaan yang kau maksud sekarang tidak akan kau pertanyakan lagi nanti. Mengerti? Akan ada satu masa ketika kebahagiaanmu pribadi tidak lagi berarti banyak."

   Itu dia! Rana berseru dalam hati.

   Ke arah sanalah dirinya dibawa bermutasi.

   Dan selama ini ia melihat mutan-mutan yang kebanyakan sudah tidak bisa lagi mewakili dirinya sendiri.

   Wanita di hadapannya bukan lagi Raden Ajeng Widya Purwaningrum Sastrodhinoto.

   Entah siapa dia.

   Yang ia tahu wanita itu adalah seorang Istri.

   Seorang Nyonya anu.

   Seorang ibu dari anak yang bernama A, B, C..[ Kebahagiaan yang ingin kucapai ini akan bermutasi menjadi kebahagiaan lain.

   Akan ada saatnya diriku lebur dalam identitas baru.

   Orang-orang dan bahkan diriku sendiri akan lupa pada Rana yang hari ini.

   Rana mana yang sebenarnya kuinginkan terus hidup? Masih belum terlambatkah? ] Rana menatap wajah ibunya, yang sontak menghadirkan berantai wajah lain.

   Jantungnya terasa menciut.

   Menyadari bahwa dirinya pun sudah mulai bermutasi.

   Rantai itu telah menyatu tanpa tahu lagi cara melepaskannya.

   Mampukah ia, atau haruskah ia lepaskan, benarkah itu, salahkah itu...

   dadanya sesak lagi.

   Ferre Ada kalanya Pujangga diam.

   Homunculus"

   Dalam otaknya yang gemar berpuisi itu kadang-kadang mogok berkarya. Sebagai gantinya, Ale menjadi korban.

   "Aku rindu tetek-bengek klasik itu,"

   Re memulai curhatnya, yang lama-lama membasi seperti naskah pidato, 21 Sebutan untuk "manusia kedi"

   Di dalam kepala kita yang dihipotcsislcan sebagai penentu dan deierminator setiap tindakan. Dua idiot abao 2 1

   "makan malam di restoran bagus, pilih meja yang untuk dua orang, kasih kado ulang tahun, tapi masuk ke rumahnya saja aku tidak bisa."

   Dan Ale memang tidak sehalus pujangga. Ia malah tidak tahan kalau tidak memberikan bonus caci-maki.

   "Sekarang kepalamu rasanya lebih ringan, ya?! Sejak kamu mengaku jatuh cinta, berat otakmu pasti berkurang minimal setengah ons! Menurutku, kamu masih terpikir untuk pergi saja sudah luar biasa bodoh. Menyiksa diri sendiri... ah, dasar bego!"

   Serunya membabi-buta.

   "Dia malah mengusulkan supaya mengajakmu ikut,"

   Re tersenyum kecil.

   "Apa?!"

   Ale terbahak.

   "Kalau kita sampai ada di rumahnya, maka... hadirin sekalian, resmilah Bapak Ferre dan Bapak Rafael menjadi Dua Idiot Abad 21!"

   "Silaken Bapak Rapael, diguntingken pita peresmiannya..."

   "GONG!!"

   Mereka berdua bertepuk tangan, dan kemudian terpingkal-pingkal sendiri. Dua bocah laki-laki yang terlepas dari kerangkeng tubuh pria dewasa. Ale, yang berdiri di dekat jendela, iseng menyingkapkan tirai sedikit.

   "Naah... kalau untuk yang itu, aku rela jadi idiot untuk dia,"

   Ujarnya sambil memandang ke luar. Re ikutan melihat. Sedan perak itu baru dinyalakan, siap berangkat. Seorang wanita melangkah masuk, kemudian duduk di bangku belakang.

   "Re, aku akui Rana-mu itu manis kayak permen. Tapi kenapa mesti jauh-jauh, sementara pabrik gula di pelupuk mata malah nggak kelihatan?"

   "Iya, kok lucu, ya?"

   Re malah ikut bertanya. Ale tertawa.

   "Selama ini kamu tinggal di mana, sih? Pertanyaan itu membuat Re termenung. Mungkin Ale benar. Rumah sebagus ini... tapi ia tak pernah benar-benar meninggalinya. Terdengar sahabatnya menghela napas.

   "Andaikan saja aku belum punya Lala, dan punya 2000 dolar yang bisa kulepas begitu saja."

   "Maksudmu?"

   Ale kembali menatap Re, geli setengah heran.

   "Kamu Supernova benar-benar tidak tahu siapa tetanggamu itu, ya?"

   "Memangnya kamu tahu?* tanya Re polos.

   "Oh, Bapa di surga, ampunilah temanku Ini. Karena dia benar-benar ketinggalan zamaaan!"

   Ale meratap.

   "Sini, dengar, cewek itu model, peragawati top, namanya Diva. Ready stock, man. Asal rela melepas... yah, sekitar 1500 sampai 2000 dolan Mungkin lebih."

   "Kamu serius?"' "Aku tidak tahu detailnya. Entah itu tarif short-time, long-time, sekali pukul, satu ronde, 24 jam... yang pasti, dari dulu nona satu itu memang pasang tarif dolar. Tapi semenjak krismon, dengardengar ada penyesuaian juga. Konon, dulu malah bisa sampai 50006000 dolar."

   "Kok kamu bisa tahu, sih Le?"

   "Karena aku bukan kamu. Kuper, cuma tahu kerja melulu,"

   Ale tersenyum lebar.

   "dan sekalinya jatuh cinta mati-matian, eeh... malah istri orang!"

   "Shut up."

   "Re,"

   Nada Ale berubah serius.

   "sampai kapan pun jangan kira aku bakal setuju tentang yang satu itu. Tapi sampai kapan pun, jangan pernah ragu juga kalau aku akan selalu mendukungmu. Setolol apa pun keputusan yang akhirnya kamu ambil nanti/ "Dua Idiot Abad 21.* Re tersenyum.

   "Satu,"

   Ale meralat.

   "tapi untukmu, aku rela direkrut jadi idiot."

   Dan saat seperti ini membuat Re berpikir ulang.

   apakah ini yang disebut Cinta? Tidakkah seharusnya ia dan Ale menikah saja? Kesetiaan tanpa batas ini...

   tanpa syarat apa-apa...

   tanpa menghambat langkah hidup masingmasing...

   tanpa perlu satu atap...

   tanpa perlu daftar belanja bulanan bersama...

   dan ia yakin betul persahabatannya dengan Ale tak akan lekang dimakan waktu.

   Lalu, cinta seperti apa yang orangorang itu miliki? Yang konon menjadi dasar sebuah komitmen institusi mahamegah bernama Pernikahan? Mengapa mereka begitu bernafsu menguasai satu sama lain, seperti sekumpulan tunawisma berebutan lahan dan dengan membabi-buta berlomba untuk menancapkan plang tanda hak miliknya masing-masing? Bisakah cinta yang sedemikian agung hidup terkapling-kapling? Berarti apa artinya semua itu? Hanya legalisasi bercintakah? SIM resmi untuk kegiatan ranjang? Kepentingan sensus penduduk? Bentuk kontrol negara? Apa itu komitmen? Apa itu janji? Mendadak Re merasa begitu aneh, hingga nyaris limbung.

   "Kamu kenapa?"

   Tanya Ale heran.

   "Kamu boleh bilang aku gila, tapi kok rasanya aku ingin melamarmu..."

   "Kamu positif gila!"

   Ale mengangguk pasti.

   "dan sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari sini... DAH!"

   Ale terbiritbirit menghilang di balik pintu. Dhimas & Ruben "Apakah ka mu merasakannya?"

   "Ya. Gerbang bifurkasimu sudah dekat. Tentu saja, dengan tambahan beberapa turbulensi lagi."

   "Loncatan kuantum sebentar lagi jadi olahraga favorit mereka. He-he-he..."

   Kedua pria itu sejenak mengambil posisi bersantai.

   "Hei, jangan bilang kamu bakal bikin kopi lagi,"

   Celetuk Dhimas begitu melihat gelagat Ruben yang mulai resah.

   "Dan jangan bilang juga kamu bakal baca majalah itu lagi,"

   Ruben tidak mau kalah.

   "Habis mau bagaimana? Ini satu-satunya bacaan ringan di rumah ini! Mengerikan,"

   Tukas Dhimas sembari membolak-balik halaman.

   "Lama*lama aku hafal seluruh isinya."

   "Kita bikin ujiannya saja sekalian. Coba, apa isi halaman 107?"

   Tanya Ruben asal.

   "Get a life,"

   Sahut Dhimas ketus.

   "nggak ada kerjaan amat, sih."

   "Oke, oke, ganti pertanyaan. Mungkin yang tadi terlalu sulit,"

   Ruben malah keterusan. Ia paling senang memperolok Dhimas.

   "Coba yang*ini. siapa nama model sampul depannya?"

   "Ha! Kalau itu sih aku tahu! Hamanya Diva. Semua orang juga tahu kali, yah, tentu saja, kecuali kamu."

   "Biarin. Dia kan bukan presiden."

   Ruben mengangkat bahu, tak acuh. Dalam hati ia bertanya-tanya, sekuper itukah dirinya.

   "Dia cantik sekali, ya."

   Ruben terkekeh.

   "Kalau dia mau sama kamu, kamu bakal berubah jadi hetero, nggak?"

   "Mungkin,"

   Dhimas nyengir.

   "kamu?"

   "Enggak...,"

   Tapi nada itu terdengar ragu.

   "Benar?"

   "Kecuali, mmm... kalau dia sepintar si Bintang Jatuh,"

   Jawab Ruben, malu-malu.

   "Ini gawat. Kita bisa pensiun jadi homo."

   Rana Gita memandangi wajah gelisah sahabatnya.

   Ia kenal Rana sejak SMA dan belum pernah dilihatnya Rana seperti ini, wanita yang dulu tegar dan selalu ceria.

   Sekarang, setiap kali mereka bertemu, pasti selalu diakhiri dengan mata merah, bengkak, dan ingus yang tak henti-hentinya mengalir.

   "Dadaku sering sesak lagi sekarang,"

   Keluh Rana.

   "Itu gara-gara kamu stres. Seharusnya kamu tahu risiko keputusanmu jatuh cinta."

   Rana tersenyum tawar.

   "Andaikan benar keputusan itu ada di tanganku,"

   "Perceraian bukan hal yang simpel. Rana."

   "Tapi kan aku tidak akan menuntut apa-apa dari Arwin. Bawa badan saja jadi,"

   Rana terisak lagi.

   "Kalau soal finansial, aku tidak akan meragukan Ferre-mu. Tapi apakah kamu siap? Menghadapi keluargamu, keluarganya, lingkungan kerjamu, orang-orang lain. Ferre itu sudah jadi public figure. Jangan kamu lupa,"

   Gita lagilagi mengingatkan.

   "dan keluarga Arwin bukan keluarga sembarangan. Nama baik bagi mereka adalah segalanya."

   "Bagi Re juga, sekalipun ia tidak pernah mengungkit-ungkit,"

   Sela Rana.

   "dan aku tahu diri untuk tidak gegabah mencoreng reputasinya begitu saja."

   "Perasaan keluargamu sendiri nanti bagaimana?"

   Gita menambahkan satu lagi ke dalam daftar absen mereka berdua. Daftar yang, kalau mau, tidak akan ada habisnya. 134 Rana merasa semakin tersudut. Sambil menatap kosong ia berkata.

   "Rasanya aku ingin kabur... jauh..."

   "Ke mana? Timbuktu?"

   "Bahkan kalau masih ada yang lebih jauh..."

   Ada satu planet.

   Tidak usah besarbesar.

   Cukup sebesar Gili Terawangan.

   Ada pantai seindah foto kalender.

   Ada gunung salju.

   Ada taman tropis yang besar.

   Ada sungai dan air terjun.

   Ada satu rumah yang cukup besar untuk ia dan Re tidak merasa bosan, dan bisa bercinta di mana-mana.

   Tidak ada lagi sandiwara.

   Tidak ada lagi keinginan orang banyak.

   Tidak ada lagi tradisi yang mengungkung.

   Itulah nirwananya.

   Gambaran yang telah lama hilang dan dihadirkan lagi begitu saja oleh makhluk bernama Ferre.

   Ferre adalah sejenis alien yang suatu hari muntah dari langit, lalu menyadarkan dirinya betapa sumpek dan membosankan bumi yang ia tinggali ini.

   Sayangnya Rana tidak terlalu yakin apakah sanggup pindah ke planet itu, di atas begitu banyak kekecewaan orang lain.

   Namun ia juga lelah kembali ke jalan buntu alam mimpinya.

   Gita merasa sudah saatnya ia melakukan sesuatu.

   Jemarinya bergerak-gerak, resah.

   "Rana,"

   Panggilnya hati-hati.

   "rasanya aku punya sesuatu untukmu."

   Rana mendongak, heran melihat Gita yang sekonyong-konyong mengeluarkan kertas dan bolpoin. Menuliskan sesuatu. ' m'i "Git, aku tidak butuh pergi ke psikiater, konsultan perkawinan, atau apa pun..."

   "Bukan. Ini bukan seperti itu. Sama sekali,"

   Git a menggeleng.

   "Aku sendiri tidak tahu apa namanya. Lebih baik kamu lihat sendiri. Mungkin bisa membantu. Mungkin dia... bisa membantu."

   "Dia?"

   Rana tak mengerti.

   "Supernova." 05 KEPING IA Cyber Avatar Keduanya berbaring telentang, menatap langitlangit kamar. Entah sudah berapa lama mereka di sana. Gelisah.

   "Dia sudah harusnyaA-muncul, Ruben."

   "Aku tahu... aku tahu."

   Tetap tidak ada solusi.

   "Mungkin aku harus minum kopi lagi,"

   Cetus Ruben, bersiap bangkit.

   "Nanti dulu!"

   Tahan Dhirnas.

   "Kita harus memikirkannya sampai tuntas, baru boleh ada kegiatan lain."

   "Ah, menyerahlah, Dhimas. Ini bagian paling sulit. Dan kita harus mengakui kalau kita buntu. Mungkin dengan begitu akhirnya ide muncul."

   Akhirnya ia pasrah, membiarkan Ruben minggat ke dapur untuk menemui pacar keduanya. kafein. '"Menciptakan sosok seorang Avatar bukan pekerjaan biasa. Beda kalau kamu menciptakan tokoh-tokoh lain."

   Terdengar suara Ruben dari kejauhan.

   "Nenek-nenek ompong juga tahu,"

   Gerutu Dhimas pelan.

   "Avatar abad 21 tidak bisa lagi digambarkan naik keledai, atau pakai kostum mencolok seperti jubah putin panjang, atau terompah Aladin, atau pelihara janggut sampai . Ažnang. nia harus melebur, pergi ke bioskon * flvwo d, nonton televisi, punya komite -0nt0n Holly^Makan di McDonald's."

   P P* "pergi ke mal."

   A"Tembak-tembakan di Timezone."

   "Mmm... mungkin tfdak harus seekstrem itu "

   A"Avatar dengan asktetika22 modern.

   Tidak terisolasi di hutan." .

   A"ya.

   Bukan pertapa ceking yang menghabiskan setenqah hidupnya jadi patung/ sambung Ruben seraya mengaduk kopinya terakhir kali, siap mereguk.

   Tiba-tiba ia berhenti menatap pusaran butir kopi di gelas itu.

   Satu sinyal nonlokal telah menjentik bola lampu di kepalanya.

   Ide! "Aku tahu!!"

   Teriakan Ruben membahana dari dapur. Dan seketika ia menerobos 4cembali ke kamar kerja, mendapatkan Dhimas yang sudah terduduk saking kagetnya. Wajah Ruben berbinar secerah lampu halogen, dan dengan mantap ia berkata.

   "Dia adalah seorang... Cyber Avatar." 1*^-2. Supernova Komputer itu kembali menyala. Tangan itu kembali menari di panel keyboard. Pikiran itu kembali mengarus;. SUPERNOVA A Diparuntukkan bagi Anda yang ingin HIDUP Selamat Datang Hari ini Supernova akan menelaah sesuatu yang disebut RECTOVERSO... Rectoverso adalah gambar yang saling mengisi antarmuka belakang dan depan-Salah satu contoh rectoverso yang bisa kita temui sehari-h"i adalah ikon gambar di lembar uang kertas-Asalkan, ada sebuah rectoverso yang secar Pertapaan atau tapabrata utuh berupa lingkaran yang di dalamnya ada lima kelopak-i berjajar teratur dan berpusat pada satu titik tengahDi satu sisi kertas-? gambar yang dimunculkan adalah lingkaran dengan tiga kelopak-Di sisi laini adalah gambar lingkaran dengan dua kelopaki yang apabila disatukan dengan sisi baliknya akan menampilkan rectoverso yang utuhi lingkaran dengan lima kelopak yang teratur dan berpusat pada satu titik tengah. Perspektif kita yang parsial tidak akan melihat bahwa diri kita sebenarnya adalah rectoverso-Terlalu banyak manusia yang menghabiskan seumur hidupnya dalam perasaan hampai seakanakan ada sesuatu yang hilang dari dirinya dan tidak tahu apa-Lalu mereka mencari-, dan mencari-Keluar dari inti mereka s e n d i r i i dan kemudian tersesat-Dengan bermacam-macam cara mereka lalu memeras keringat dan otak untuk mendefinisikan "sesuatu"

   Yang hilang itui yang kebanyakan mereka anggap berada di "luar11 sana -fl a n u s i a memang seolah didesain untuk menunaikan satu misi.

   mencari tahu asal usul mereka-Demi kembali merasakan keutuhan itu-i yang niscaya akan membuat mereka berhenti merasa kecil dan teralienasi di tengah megahnya jagat rayaLalui bagaimana kalau ternyata apa yang kita kira selama ini sebagai ketidaklengkapan sebenarnya hanya rectoverso belaka? Yang art i nya i kita tidak perlu ke mana-mana* Yang artinya lagi i untuk merasa utuh kita hanya perlu mengubah perspektif kita-Ketika kita berhasil mengambil jarak dari benih-benih pemecah belah dalam pikiran kita-A-maka rectoverso akan tampil-Yang artinya lagi (dan lagi)-, apa yang Anda ingin cari tidak berada di luar sanaSebaliknya-i sangat dekati tak berjarak-Temukan kenop Andai dan putar.

   Lihat dengan cara yang lainBerhentilah merasa hampaBerhentilah minta tolong untuk dilengkapi.

   Berhentilah berteriakteriak ke sesuatu di luar sana-Berhentilah bertingkah seperti ikan di dalam kolam yang malah mencari-cari air-Apa yang Anda butuhkan semuanya sudah tersedia-Tidak ada seorang pun mampu melengkapi apa yang sudah utuh-Tidak ada sesuatu pun dapat mengisi apa yang sudah penuh-Tidak ada satu pun yang dapat berpisah satu sama lain-Tinggal kemauan Anda untuk mampu menyadar inya-t atau t i dak -% Temukan kenop Andai dan putarSampai jumpa berikutnya A <sen d > Dhimas & Ruben di simpul benang perak "Jadi, maksudmu.

   Avatar kita khotbah di internet, begitu?"

   "Khotbah? Tentu lebih dari sekadar khotbah! Dia adalah turbulensi yang bisa diakses kapan saja, di mana saja. Dia akan mengamplifikasi sistem pemahaman orangorang tanpa hierarki, tanpa bayang-bayang institusi atau dogma apa pun. Benar-benar nonlinear! Dan internet adalah teknologi yang tak kenal batas teritori. Cocok, kan?"

   "Avatar kita akan mempraktekkan apa yang dijuluki 'Aquarian Conspiracy', sistem kerja berdasarkan jaringan."

   "Tepat. Yang diramalkan Naisbitt dan Toffler akan menjadi sistem paling efektif di masa depan."

   Ruben manggut-manggut sendirian.

   Dari awal, teori chaos telah memberinya sinyal untuk jauh-jauh dari prediksi, dari hierarki, karena tidak ada elemen yang tidak penting dalam sebuah sistemA"sekalipun saling terkait namun masing-masing SUPERNOVA anggota memiliki potensi individual untuk berkembang.

   Dan seperti itulah cara kerja sistem saraf kita; kumpulan serat acak yang dipandu oleh semacam molekul perekat.

   Lewat proses feedback, molekul ini memandu serat-serat tersebut mendekat dan membentuk pasangan-pasangan kolom saraf yang saling berhubungan satu sama lain.

   Uniknya, tidak ada pasangan yang ikatannya persis sama.

   Mereka adalah individu yang mengorganisasi dirinya sendiri, namun tetap terikat dalam jaringan.

   SEaJKa Kesadaran serupa rupanya mulai terjadi di level ekonomi sosial.

   Menyukai chaos adalah kunci untuk manajemen masa depan.

   Dengan menciptakan lingkungan nonlinear di dalam perusahaan maka semua orang di semua lini akan dibiarkan berperanserta mewujudkan terobosan-terobosan kreatif.

   Amnesty International dan Greenpeace, dua contoh jaringan kerja global yang sangat efektif, terbukti tidak terikat pada batasan negara atau hierarki sosial.

   Bahkan sudah banyak yang bervisi bahwa pemerintahan masa depan akan berbentuk jaringan-jaringan multidimensional yang kaya pilihan bagi setiap orang, sehingga setiap individu dapat berpartisipasi mengontrol dunia melalui peran dan kemampuannya masing-masing.

   "Ruben, apakah berarti dia juga sosok yang virtual?"

   "Entahlah. Bagaimana menurutmu?"

   Ruben malah bertanya balik. *" .

   "Aku ingin dia nyata,"

   Desis Dhimas, kali ini bohlam di otaknya yang menyala.

   "Aku ingin dia menyentuh langsung kehidupan tokoh-tokoh kita. Sehingga tanpa mereka sadari, mereka semua telah bercermin bersama-sama."

   Rana Setiap malam, selama berminggu-minggu, Rana menghabiskan waktunya setiap malam menongkrongi layar komputer.

   Menunggu artikel-artikel itu.

   Mencari kekuatan di sana.

   Awalnya, ia mengira telah dijebak berlangganan suplemennya psikopat.

   Mungkin orang di balik itu semua memang psikopat.

   Psikopat berkemampuan mengerikan yang LTBER AVATAH mampu membalikkan semuanya, sehingga mendadak Rana merasa berada di dunia sakit jiwa dan orang itu adalah satu-satunya yang waras.

   Lama kelamaan, artikel-artikel tersebut berubah menjadi oase.

   Penyegaran.

   Dia bisa tertawa di sana, meringis ngilu, atau jatuh tertampar.

   Yang jelas, ia melihat dunia yang lain dari hari ke hari.

   Tetapi ia juga dibuat lelah.

   Berkali-kali Rana mencoba mengirim pertanyaan, tidak ada satu pun yang dibalas.

   Mungkin ia yang belum mengerti celahnya.

   Pertanyaan apa yang kira-kira layak dianggap pertanyaan dan dijawab oleh sang Supernova.

   Pertama kali ia menulis.

   Supernova^ saya benar-benar tersentuh dengan semua tulisan Anda-Kalau bolehi saya sendiri ingin berbagi cerita.

   Saya adalah wanitai Bfl tahuni istri dari seorang pria yang baik dan sukses-Kalau dilihat sekilas-, tidak ada yang kurang dari rumah tangga saya-Tapi beberapa bulan yang lalu-, saya bertemu pria lain-Dan kami berdua jatuh cinta-Ia adalah orang paling luar biasa yang saya temui-Tapi sepertinya ada yang lebih dari sekadar itu-Ia adalah orang yang PAS-Semoga Anda mengerti maksud saya.

   Dia juga tidak sempurnai sama halnya saya atau suami saya-Tapi dia seperti kepingan puzzle yang begitu pasnya menempati ruang kosong saya.

   Kami ingin bersama-sama.

   Yang i berarti i saya bercerai dari suami saya-Tapi beban keputusan itu berat sekali* Pertamai keluarga suaai saya adalah kalangan priyayi lama yang punya reputasi moral yang sangat luar biasai tokoh masyarakati yang menganggap perceraian itu dianggap aib besari dan...

   Sampai enam poin disusun secara sistematis oleh Rana.

   Tapi tidak dibalas.

   Supernovai saya amat kagum dengan tulisan-tulisan Anda.

   Saya ada.

   sedikit masalah dan saya yakin Anda bis* membantu* Beginii saya sudah menikah dan mencintai pria lain.

   Sangat mencintainya.

   Salahkah itu? Saya hanya meminta sudut pandang seorang Supernova-Itu saja.

   Tidak dibalas.

   Supernova i katakanlah kamu sudah menikahi lalu suatu hari kamu bertemu pria/wanita lain kemudian jatuh cinta* Sangat dalam* Akankah kamu meninggalkan suami/ istrimu demi diaf Pertanyaan yang konyol, Rana tidak jadi mengirimkannya.

   Polemik tersebut tidak mungkin terjadi pada seorang Supernova.

   Problema yang dihadapinya pasti bukan lagi di level seperti itu.

   Supernova-, banyak keputusan besar yang telah saya ambil dalam hidupi tanpa terlebih dahulu mengenal diri saya yang sebenarnya* Kinii ketika saya tahui apakah saya harus merombak semuanya? Melepaskan semua konsekuensi-! tanggung jawabi bahkan sumpah atau ikrar saya yang dahului untuk meraih impian baru sekalipun harus mengecewakan banyak orangf Atau saya harus bertahan dan menerima semuanya sebagai bagian dari pelajaran itu sendiri? Tidak dibalas.

   Supernova i aku ingin kembali ke masa lalu.

   Aku ingin menebus kesalahanku* Aku ingin mengubah garis takdir* Aku menyesal tidak pernah terlalu berani menghadapi hidup* Aku ingin kembali mengenal diriku-Aku ingin bebas mencintai* Bantulah aku*** Tidak dibalas.

   Supernovai apakah kamu A ada di sana? Surat-surat saya tidak pernah kamu balasMasih juga tidak dibalas.

   Sampai akhirnya Rana benar-benar gemas dan geram.

   Ia merasa tidak diperhatikan.

   Di balik sloganslogan manisnya, mungkin psikopat itu cuma tertarik pada masalahmasalah besar.

   hak asasi manusia, ekonomi global, soal ekologi, dan lain-lain.

   Dan ia, dengan problem "kecil"-nya ini, sama sekali tidak menarik perhatian seorang Supernova.

   Omong kosong, umpatnya geram.

   Mungkin psikopat itu tidak lebih dari filsuf arogan yang berdiri di atas awan lalu main tunjuk sana-sini mengecam kesalahan dunia.

   Sementara jeritan hati yang riil malah tidak dianggap ada.

   Hei Supernova-, siapa pun kamu sebenarnya-kamu tidak lebih dari sebongkah kesombongan* Sebongkah ketidakpedulian.

   Bisanya cuma ngomong tinggi* Saya dan masalah saya cuma kamu anggap remeh-remeh kuei sementara kamu sibuk melalap potongan kue yang lebih besar.

   Kamu munafik! Sama munafiknya dengan orang-orang atau institusi yang kamu tudingtuding A Kamu pikir kamu itu siapaf! Dan apa kekuranganku sampai tidak layak kamu dengar?! Tidak juga ada balasan.

   Kemarin, Rana pun mengirimkan surat terakhirnya.

   E-mail tak berjudul.

   Dan ia pun sudah tidak tahu apa yang harus ia tulis.

   Aku lelah*** apa artinya ini semuaf Apa artinya aku di sinii.

   mempertanyakan kebodohan-kebodohanku sendirif A"Apa artinya kau di sana , yang tidak mendengarkan? Malam ini, tidak ada yang lebih mengagetkannya ketika sebuah pesan datang, hanya.

   From.

   Supernova.

   Saya di sini* Membaca semua surat Anda* Membalasnya dengan menjadikan Anda terus bertanya* Menunggu Anda untuk akhirnya mempertanyakan satu-satunya Pertanyaan yang ada* Selamat Datang* Pukul sebelas siang.

   Teleponnya berdering.

   Re mengerutkan kening.

   "Halo, ya, bisa telepon lagi nanti? Saya sedang meeting."

   "Re..."

   Suara Rana begitu lemah, b erbisik lirih.

   "aku masuk rumah sakit."

   Wajahnya seketika pucat.

   "Bukan... jantungmu, kan?"

   Tanya Re tegang.

   "Jantungku, sayang,"

   Suara lemah itu kian mengibakan.

   Di dekat belahan dadanya.

   Rana memiliki bekas jahitan operasi.

   Re sering menyentuh bekas jahitan tersebut dan berkata.

   'Kalau ada apa-apa dengan jantung ini, aku rela bernapas untukmu/ Sulit dipercaya kalau rayuan metaforis itu harus menjadi kenyataan.

   "Ada apa? Apa kata dokter? Kamu harus dioperasi lagi?"

   "Jantungku... katanya, aku jatuh cinta. Terlalu dalam."

   Terdengar Rana tertawa kecil.

   "Puteri... jangan mainmain..."

   Re benar-benar kacau balau. * Tiba-tiba suara itu berubah sedikit panik.

   "Re, aku tidak bisa telepon lagi. ffp-ku akan dipegang Arwin. Doakan saja, ya."

   Hat, Pembicaraan berhenti sampai di sana m dalam tsunami batin.

   Lama ia terdiam di gerbang rumah saku mulai salah tingkah.

   Tidak pernah ia setersiksa telePon genggamnya, dan dengan tatapan kosong ia nomor telepon Ale Tidak disambungkan.

   Ia hanya bka a sendiri di dalam hati.

   y DlcaA"

   Ale, tolong aku.

   Aku cuma bisa menemuinya lima menit itu pun bersama sembilan orang lain.

   Aku tak tahan denaan tatapan orang-orang yang seperti mempertanyakan keberadaanku di situ.

   Lima menit, Le! Melihatnya tergolek tanpa bisa memeluknya.

   Aku cuma bisa bilang 'semoga cepat sembuh' dan mesem-mesem dari ujung tempat tidur.

   Aku ingin terus di sini, menungguinya semalam suntuk.

   Tapi kenapa jadinya harus mencurigakan? Kenapa harus nampak tidak wajar? Kenapa aku tidak boleh di sini? Le, tolong...

   "Pak Ferre! Kok masih belum pulang? Tunggu teman, ya?"

   Seseorang menyapanya. Re terkejut. Ternyata salah satu reporter Rana, memandang dengan tatapan haus gosip.

   "Oh, saya baru mau pulang. Kebetulan tadi sekalian menengok teman saya di blok D,"

   Jawab Re dengan tenang.

   Tak akan ia kehilangan wibawanya, bahkan dalam situasi genting seperti ini.

   Tidak juga kedoknya.

   Satu jam kemudian, dua orang berlalu dan menanyakan hal yang sama.

   ^ Tiga jam kemudian, hanya perawat-perawat yang melewatinya dengan tatapan curiga.

   Terkadang kerabatnya Rana, yang juga menatap aneh.

   Mungkin mereka mengenalinya sebagai salah seorang pembesuk Rana yang dengan misterius bercokol terus seperti satpam rumah sakit.

   Memasuki jam yang keempat, suaminya berjalan melintas.

   Re tidak yakin keberadaannya disadari atau tidak.

   Yang jelas, wajah pria itu nampak letih.

   B Re jadi tersada'r, mukanya sendiri pasti lebih kacaui lagi.

   Setidaknya suami Rana tidak menghadapi cobaan lain selain kondisi istrinya.

   145 Aku tak mengenalmu, kita bukan teman.

   Namun aku tak ingin menyakitimu, demi Tuhan.

   Apa yang kaumiliki sekarang amatlah aku inginkan.

   Dan untuk mengertinya tidaklah sulit.

   Kami adalah jalinan satelit yang saling membelit.

   Mengelilingi satu planet yang menarik kami laksana magnet Tak ada lagi tempat di orbit inif bahkan untuk bayangan kami sendiri Jadi, relakan kami untuk saling memiliki.

   Re tidak tahan lagi.

   "Halo? Le? Aku masih di rumah sakit. Rana dioperas' malam ini. Dan sebentar lagi kepalaku bakal meletus." 1

   "Apa-apaan kamu di sana?! Cepat pulang!"

   "Tapi mana bisa..."

   "Tempat kamu bukan di sana."

   "Mana mungkin? Yang terbaring itu RANA, bukannya..."

   "Apa perlu aku sebutkan nama belakang Rana-mu tercinta itu? Knock, knock! Re! Ayo, bangun!"

   Ia ingin teriak rasanya.

   "Jangan mulai dengan bahasan basi itu..."

   "Basi? Itulah kenyataan yang kamu pilih sendiri.-Kamu jatuh cinta pada orang yang salah."

   Mulut Re langsung menganga lebar.

   "Oke... aku ralat, bukan orangnya yang salah, tapi kondisinya!"

   Ale cepatcepat menambahkan.

   "Hell with it"

   Re pun menutup flip telepon genggamnya dengan kasar.

   Kondisi...

   kondisi.

   Lagi-lagi si keparat satu itu.

   Tak lama kemudian, teleponnya kembali berdering.

   Ale.

   Berusaha sekuat tenaga untuk menyuntikkan logika ke dalam pikiran sahabatnya.

   Re juga sudah letih, kali ini ia lebih banyak diam.

   Dibiarkannya Ale terus mengoceh.

   "Jadi kamu setuju untuk pulang sekarang, kan?"

   "Tidak yakin."

   "Aduuuh, maunya kamu apa, sih?!"

   Aku bosan diam.

   Aku ingin berteriak lantang* Menembus segenap celah dan semua lubang, Merasuk ke ujung gendang telinga semua orang..-Aku mencintainya.

   Tiba-tiba mata Re menangkap sosok A di luar ruangan sambil menyandar ke fe^u Ugi' be<diri gemetar memegang sebatang rokok.

   Asaum ta*9A"mA-keluar, gugup.

   Pemandangan yang jss\ hamburi* pun.

   terenyuh siapa "Aku akan pulang sekarang u A-T akhirnya memutuskan.

   , c* wamat berat ia Di saat seperti ini izinkanlah aku mA-* m mana engkau leta^ZT"^ Adakah aku seberharga cincin yang melingkar Ataukah aku senyaman sepatu tuamu yang tak ter "T"

   Jarimu' Akankah kaupertahankan aku selayaknya ^ ^ dipakai? Ataukah namaku hanya akan melintas sekilas di detfS".

   $TH Untuk kemudian menyublim seperti arwah tersedot Mengertikah kinif Puteri"* ***** Karena itulah aku ingin hidup nyata.

   Ia pun mengedarkan pandangan untuk terakhir kali, mendapatkan kelengangan rumah sakit yang begitu dingin.

   Re merasa terbuang.

   KEPING Di Celah Pikiran Pria itu kembali hadir di pojok yang sama, dengan cuaca hati yang tampak sedang buruk-buruknya.

   Ia seperti kapal yang tergulung jadi lemper dalam lipatan ombak yang mengamuk.

   Kerutan di pangkal alisnya.

   Sinar mata yang berkecamuk.

   Rahang yang mengeras.

   Namun di dalam kegundahan sekalipun, semua tetap indah.

   Dan tangan itu terlihat mulai menulis...

   dalam irama yang tak tentu.

   Nampak pikirannya tengah bersandar pada arus inspirasi, yang terkadang mengalir deras, tetapi terkadang juga hanya menitik jatuh.

   Ia berserah.

   Persis seperti pelukis yang tak mempertanyakan mengapa ia melukis, dan apa itu yang dicoretnya di kanvas.

   Diva menyentuhkan tangannya ke'kaca.

   Wahai kau yang sedang dimabuk cinta, berikanlah padaku setetes apa yang kau reguk.

   Di kala kau terjatuh nanti, aku akan tahu apa rasanya limbung tanpa harus ikut terpuruk.

   Diva mulai menggigiti bibirnya pelan-pelan.

   Tak akan ada yang mengerti, apa yang ia lihat sesungguhnya melebihi badai itu sendiri.

   Di sebelah ranjang tempat istrinya terbaring, Arwin duduk tepekur.

   Masih terbayang jelas ketika ia memandangi punggung itu berjalan menjauh.

   Langkah-langkah yang nampak berat.

   Ia mengerti betul susahnya mencabut sebuah jangkar yang sudah terpaut dalam.

   Mereka sepertinya tidak terpisahkan.

   Rana telah menjangkarkan hatinya untuk pria itu.

   Arwin dapat langsung mengetahuinya ketika melihat tatapan istrinya pada Ferre yang berdiri jauh di ujung tempat tidur.

   Tak ada lagi kehadiran yang lebih berarti.

   Dan dirinya adalah debu yang paling ingin cepat dikibas.

   Aku'berjanji, Rana.

   Begitu engkau sembuh nanti, aku akan menjadikanmu wanita paling bahagia di dunia.

   Mungkin itulah satu-satunya kesempatanku.

   Aku janji...

   Ferre Aku bukan orang yang lemah.

   Kalau aku lemah, sudah kubersembunyi di dasar lembah.

   Namun aku orang yang kuat.

   Dengan dagu tercuat, menggenggam kejujuran erat-erat.

   Tapi kalau cuma jadi hantu, maka aku pun tak tahu.

   Re meringis getirv.

   ia menangis.

   Entah kapan terakhir kali ada air keluar dari matanya.

   Ada yang bilang, mampu menangis menunjukkan kekuatan.

   Tapi kenapa yang ia rasakan justru sebaliknya, ia merasa amat lemah.

   Bola .pingpong.

   Ya, ia tak lebih dari sebuah bola pingpong.

   Dilempar dari satu sisi pertimbangan ke sisi lainnya, tanpa bisa memutuskan apa-apa.

   Diva Diva masih berdiri di sana.

   Melihat semuanya.

   Hanyut dalam keterkesimaan.

   Sudahkah kau benar-benar jatuh, wahai yang sedang jatuh cinta? Masih kutunggu engkau di dasar jurangmu sendiri Di titik engkau akan berbalik dan benar-benar menjadi pencinta sejati.

   Ferre Lamat-lamat muncul perasaan bahwa ia sedang diamati.

   Re mendongakkan kepala dan mulai mencari.

   Matanya berhenti di jendela.

   Perlahan, ia pun bangkit berdiri.

   Dalam bingkai kusen kayu, terlapis kaca jendela, dan terarsir teralis, keduanya saling menatap.

   Tatapan yang mengisap ruang di antara mereka.

   Tatapan dalam dimensi waktu yang bergerak penuh makna.

   Dan, dunia bukan lagi milik berdua.

   Dunia telah membelesak lenyap.

   Meninggalkan mereka berdua, tanpa bumi itu sendiri.

   Bintang Jatuh.

   Sejernih kristal, Re mendengar hatinya berbisik.

   Hai, pemabuk asmara.

   Diva menyapa.

   Dhimas & Ruben "Oh, aku tidak tahan..."

   Dhimas menariki rambutnya sendiri.

   "Ayo, kamu harus kuat. Jangaji jadi cengeng gitu, dong,"

   Te gas Ruben galak.

   "Penulis boleh berpihak nggak, ya?"

   "Eksperimen sains saja dijalani dengan tendensi, kok. Bahkan subjektivitas si peneliti akan mempengaruhi hasil penelitiannya. Apalagi ini, ya, jelas ada keberpihakan."

   "Kalau begitu, boleh nggak aku..."

   "Tapi di atas segalanya, kita tetap membawa misi. Dan misi ini tidak boleh dikompromikan cuma garagara fantasi romanmu atas tokoh-tokoh tertentu."

   "Coba aku bisa sesaklek kamu,"

   Keluh Dhimas.

   "Kalau kamu sesaklek aku, tidak bakalan kamu jadi penulis. Paling jadi peneliti sinting. Sama juga kalau aku selembek kamu, tidak bakalan ada yang tahan membuat kerangka sains dari cerita romantis berbunga-bunga ini."

   "Jadi kamu bilang aku lembek?!"

   "Bukan, bukan begitu,"

   Ralat Ruben cepat-cepat.

   "kamu adalah manusia paling sensitif yang pernah kutahu."

   "Terima kasih untuk usahamu memperhalus bahasa,"

   Sahut Dhimas ketus.

   "Cengeng-lembek-sensitif... percayalah, katakata itu maksudnya sama, cuma beda kasta saja."

   "Tapi aku serius. Kamu... kamu adalah manusia nuansa,"

   Kata Ruben lagi, tidak menyerah begitu saja.

   "Imajinasi kamu begitu kaya seperti fraktal di area infinit Peta Mandelbrot."

   Dhimas mengernyit.

   "Apa pula itu?!"

   "Eh... nuansa berada di celah pikiran, sebuah ruang fraktal yang tidak tersentuh cortex. Seluruh dunia ini dipenuhi potensi nuansa, tapi karena perhatian kita tersita oleh pengkategorian logika, pengkotak-kotakan, maka sering kita mengabaikan keindahannya. Padahal dari nuansa justru lahir tema besar penemuan-penemuan terhebat dunia. Misalnya, Einstein, nuansa kontinuum yang ia tangkap waktu umurnya lima tahun adalah inspirasi awal teori relativitas. Atau... atau justru karena nuansa adalah affair yang sangat pribadi antara kita dan domain lain, banyak orang sulit sekali mengungkapkannya. Termasuk aku,"

   Tergagap Ruben berusaha menjelaskan.

   "Kamu mau ngomong apa, sih?"

   Dhimas geleng-geleng kepala.

   "Kamu... orang yang mengagumkan, Dhimas,"

   Akhirnya kata-kata itu meluncur keluar.

   "Tanpa kamu, ide-ide di otakku seperti mulut tanpa lidah. Tidak ada artinya. Kamu adalah pesawat yang menyeberangkan nuansa dalam kepalaku ke format yang bisa dimengerti. Dan..."

   Ruben menelan ludah.

   "aku sadar, tidak banyak orang yang bisa tahan denganku. Tapi kamu begitu baik dan tabah. Aku minta maaf. Maaf atas semua sikapku yang kasar ataupun kata-kataku yang kejam selama ini."

   Dhimas terdiam. Matanya berkaca-kaca. Namun tibatiba ia berseru dengan suara tercekat.

   "Memang! Cuma wong edan yang pakai teori fisika dulu kalau minta maaf! Dan kalau ada yang mau sama orang kayak begitu, berarti orangnya lebih edan lagi!"

   Muka Ruben pucat pasi. ^juS "Berarti aku lebih edan daripada kamu,"

   Sambung Dhimas, lirih.

   KEPING Kesempatan itu hanya setengah jam.

   Untuk pertama kalinya pula ia mengendalikan jadwal Re.

   Memaksanya untuk menjadi pencuri waktu dari belasan jam yang harus ia persembahkan untuk perusahaan, dan mencocokkan kesemuanya dengan setengah jam yang ia punya.

   Di kesempatan itu, mereka berpelukan.

   Lama sekali.

   Dan Rana merasa jauh lebih baik dalam dekapan Re dibandingkan obat atau infus apa pun yang dicerapkan ke dalam tubuhnya.

   "Kamu di sini saja, jadi obatku,"

   Bisik Rana.

   Di luar dari cintanya yang semakin terbakar oleh ucapan romantis itu.

   Re selalu merasakan paradoks yang sama.

   [ Ya Puteri, tentu saja aku bersedia jadi obatmu.

   Aku relakan diriku untuk kau telan, kau minum, kau kunyah, atau kau emut.

   Strategic Business Development Plan yang seharusnya menjadi rencana terbesar hidupku akan kuganti dengan menungguimu semalam suntuk.

   Bersamamu 24 jam, Puteri,adalah rencana terbesarku kini ] Titik bifurkasi [ Nah, masih kurang kuatkah tekadku? Komitmenku? Aku siap setiap detik kau siap.

   Tapi kau tak pernah siap.

   Semua berhenti di tahap 'wishful thinking' belaka.

   Tak ada yang terealisasi ) "Rana...

   aku tak bisa terus begini."

   Rana tahu saat ini akan tiba. Persimpangannya.

   "Ketika kamu sakit begini, dan kalau ada lagi saat-saat semacam ini, aku adalah orang yang paling tidak berdaya. Ini terlalu menyakitkan." 'Aku mengerti. Aku mengerti sekali..."

   Mata itu bak kaca -yang merapuh. Siap pecah.

   "Jangan, tolong, omonganku jangan dijadikan beban. Aku tak bermaksud begitu. Tapi... semua ini..."

   Re terduduk lunglai.

   "Apa yang kamu inginkan?"

   Tanya Rana, menatapnya lurus-lurus.

   Aku hanya ingin kau mengatakannya Re, agar aku punya kekuatan cukup untuk menempuhnya.

   Ayo...

   Bagi Re, itulah pertanyaan tersulitnya tahun ini.

   Ironis, dibandingkan dorongan yang begitu kuat, ia tak menemukan satu pun kata yang tepat.

   [ 'Aku ingin kau bercerai' ] [ Bukan.

   Bukan itu.

   Terlalu dangkal, atau terlalu jujur, entahlah, yang jelas tidak mengenakkan ] [ 'Aku ingin kau yang memutuskan dan bukannya malah memberikan bola panas kepadaku dengan bertanya seperti itu' ] [ Mendekati, tapi terlalu kasar ] Layakkah cinta hidup semu laksana hantu? Yang melayang bagai bulu panah.

   Aku ingin menjejak tanah.

   Mengambang membuatku lelah.

   Aku ingin memiliki.

   Aku ingin diakui.

   "Aku ingin memilikimu..."

   Akhirnya kalimat itu yang terucap.

   "Kamu ingin aku pisah dari Arwin, begitu?"

   Re ditinju telak oleh paradoks yang sama. Ia benar-benar muak.

   "Tidakkah itu sama saja bertanya 'satu tambah satu' padahal kita sudah sampai ke hitungan seratus juta lima ratus dikali empat ribu tiga puluh lima koma sekian?! Kenapa kamu malah bolak-balik bertanya apa yang kuinginkan dan bukannya menyatakan apa yang KAMU inginkan. Rana!"

   Rana terenyak. Ia tidak menyangka akan diberi reaksi sekeras itu.

   "Kita berdua tahu betul perangkap apa yang menanti kita begitu aku minta kamu cerai dari suamimu, atau kamu minta aku untuk membawamu pergi. Sama saja! Kita berdua sebenarnya takut, lalu mencadangkan satu sama lain untuk dijadikan kambing hitam kalau-kalau keadaan nanti berubah kacau. Begitu, kan?! Supaya kita bisa saling tuding. 'ini semua permintaanmu', 'aku begini karena kamu bilang begitu'... this is major bullshit! Kesiapan kita menghadapi kenyataan ternyata nol besar."

   Semua omongan Re benar-benar menyakitkan, tapi Rana merasakan kebenarannya.

   "Kamu benar,"

   Ia menunduk.

   "kita telah berputar-putar di satu lingkaran. Rasa takut. Selain itu, kita tidak melakukan apa-apa."

   Re menghela napas.

   "Tapi tidak berarti aku akan pergi dari sini dengan kenihilan yang sama lagi. Kita harus memutuskan sesuatu. Dan aku siap dengan segala keputusanmu."

   Keputusan. Dengan seketika, kata itu mengasosiasikannya dengan banyak wajah, banyak kondisi, banyak probabilitas... Rana terlalu lelah untuk menimbang-nimbang. Ia juga muak. ;

   "Aku akan pergi denganmu. Re."

   Sekonyong-konyong ia menukas. Tegas. Re melongo.

   "Sepulang dari sini, aku akan bicara dengan Arwin,"

   Jelas Rana lagi. Penuh keyakinan. Sayup-sayup Re kembali mendengar suara biolanya. Kali ini bergemuruh, seolaholah ada simfoni akbar yang siap meledak dengan megahnya.

   "Le..."

   "Kamu tahu sekarang jam berapa?"

   Terdengar suara Ale yang parau dan mengantuk. Sayup suara azan subuh melatarbelakangi pembicaraan itu.

   "Aku tahu kamu pasti sudah tidur. Tapi aku... aku tidak bisa tidur."

   "Lalu? Bukan berarti aku juga harus ikutan tidak tidur, kan? Hanya gara-gara mengeloni seorang bayi besar lewat telepon?"

   "So.ri. Sori. Aku seharusnya memberitahumu sejak sore tadi. Le..."

   "Hmm?"

   Kedua matanya sudah nyaris terpejam lagi.

   "Akhirnya Rana memutuskan untuk bicara dengan suaminya. Dia akan jujur soal kami berdua. Dan dia memutuskan untuk ikut denganku."

   "Selamat."

   "That's it?"

   "Well, what do you expect? Selamat, Anda akan mendapatkan janda kembang yang masih gres dari oven? What?!"

   "Aku serius!"

   "Oke. Aku tahu itu adalah hal yang paling kamu inginkan. Tapi apakah kamu siap? Bagaimana kalau nanti ada pembunuh bayaran yang mengintai rumahmu, atau menembakmu di kantor, atau suaminya datang dalam keadaan mabuk berat sambil bawa parang buat membacok lehermu, atau ada berondongan teror dari keluarga-keluarga yang merasa disakiti, atau ada yang sukarela jadi informan buat tabloid gosip lalu wajahmu muncul di halaman depan sebagai si perusak rumah tangga milenium? Menurutku kamu harus lebih hati-hati lagi lihat kiri-kanan, belakang-depan, atas-bawahmu, Re. Hidupmu mungkin lebih tersiksa dibandingkan kemarin-kemarin ini."

   "Wow. Untuk seseorang yang baru bangun tidu r, analisis situasimu itu luar biasa. Berapa banyak koran merah yang tadi kamu baca sebelum tidur?"

   "Re... aku hanya ingin memastikan kamu siap. Aku yakin kamu juga tahu kalau prosesnya tidak bakalan instan. Jadi, waspadalah terhadap segala kemungkinan di tengah jalan. Ah, jangankan itu. Aku sendiri tidak seratus persen yakin Rana berani bicara. Mungkin saja dia cuma berusaha menyenangkan hatimu doang."

   "Tidak mungkin."

   "Jangan bilang tidak mungkin. Aku juga pasti bilang 'tidak mungkin' kalau dulu ditanya apakah Ferre, sahabatku tercinta yang sangat pintar dan rasional itu, akan memilih seorang wanita, yang sudah terikat padahal dia punya seribu satu pilihan lain yang jauh lebih feasible. Nah, kenyataannya?"

   Ale tertawa kecil.

   "segalanya mungkin, Re/ "Aku tidak peduli. Aku tidak takut."

   "Bravo. Patriot kita. Maju terus pantang mundur/ "Kenapa kamu harus sesinis itu?"

   Tukas Re gusar.

   "Aku tidak bermaksud sinis. Yah, kamu tahu sendiri apa opiniku soal ini. Tapi aku turut mendoakan yang terbaik... apa pun itu."

   "Besok hari Minggu, kan Le?"

   "Iya."

   "Kamu ke gereja?"

   "Mungkin."

   "Pergilah. Please. Nanti doakan aku. Jangan lupa."

   "Aku tidak yakin Tuhan merestui perselingkuhan, atau perceraian-/ "Aku juga tidak yakin Adam dan Hawa menikah. Sepertinya mereka itu samen leven."

   Mau tak mau, Ale terkekeh.

   "Kamu memang sudah sinting, Ferre. But you've got a point there."

   Supernova Begitu nama itu masuk ke chat room ICQ, kontan puluhan yang lain menyapanya.

   "TNT". Dinamit yang ditunggu-tunggu. Sang Supernova. Namun dari sekian banyak, ada satu yang nampak menarik baginya malam itu. <guest> Supernovai saya mulai gila* <T NT > Bagus. Bukankah sudah waktunya? <guest> Sepanjang hidup saya-i hanya ada satu wanita yang saya cintai sungguh-sungguh* Istri' saya sendiri* Dan dia menyeleweng. Anehnya-, saya tidak sanggup marah. Bahkan untuk menyalahkan sedikit p un tidak bisa. Kamu mau tahu kenapaf <TNT> Kenapaf <guest> Ia kelihatan sangat bahagia bersama lelaki itu-Rasanya ia menjadi manusia yang sama sekali barui bukan lagi wanita yang bertahun-tahun saya kenal sebagai istri sayaA Dan yang jelas saya lebih senang melihatnya beg i tu A <TNT> Sekalipun Anda tersiksaf <guest> Saya lebih tersiksa justru ketika melihatnya bersama saya* <TNT> Bagaimana dengan diri Anda sendiri? <guest> Saya*.* tidak tahu* Tapi saya tidak terlalu peduli* Untuk apa mempertahankan sesuatu yang bukan milik. saya lagi? <TNT> Anda memang tidak memiliki apa-apa* Kecuali diri Anda sendiri* Dan diri Anda sesungguhnya amat besari agung* Ia mampu menampung apa saja i lebih dari yang Anda duga-* andaikata Anda tidak mengikatkannya pada sesuatu* Semakin banyak yang Anda ralakani semakin besar keluasan diri yang Anda rasakan* <guest> Gilakah saya. A . kalau saya lepaskan istri saya untuk orang lainf <TNT> Mungkin itu adalah kala pertama Anda mencicipi kewarasan. KEPING Pelajaran Terbang Berhari-hari Rana terbangun dengan bersimbah keringat dingin. Berbagai macam adegan seram kerap muncul di pikirannya. Arwin yang mengamuk... Arwin yang gelap mata lalu berbuat entah apa... ibunya yang menangis histeris... mertuanya yang terpingsanpingsan... puluhan sanak saudara yang akan mencemooh habishabisan... Gambaran-gambaran itu bagaikan monster kelaparan yang mengonsumsi habis semua keberanian yang ada, menjadikan benaknya kosong dan tak termotivasi. Dan ia tak mungkin lagi meminta dorongan pada Re. Ketegasannya hari itu sudah berarti banyak. Tak sampai hati ia membongkar kelemahan yang nantinya malah akan mengendurkan semangat mereka berdua. Luka jahitan di dadanya terasa bertambah perih. Satu-satunya harapan yang tersisa... Rana pun menanti cemas. Setelah mencari-cari setengah mati, akhirnya ia mendapatkan sebuah nomor ICQ yang diyakini adalah Supernova. Namun kehadiran sang Supernova di chat room ICQ benar-benar tidak tertebak.

   "Ayo... di mana kamu?"

   Desis Rana. Tiba-tiba ia terpekik pelan. Nama itu on-line.

   "TNT". IW dia, tidak salah lagi. Terban -Aku tahu kamu pasti datang untukku "

   Pndirian. Mendadak segal a penat dan perih [J?*** Rana gantikan oleh secercah ^nW\^^^ langsung"

   Mengirim pesan.

   Berkali-kali, samuai ^ na Supernova merespons tulisannya.

   mpai akhirnya <guest> Supernova, aku ingin terbang Amenutup kuping terhadap raungan bumi di V *ku nanti-Ajari aku percaya pada kekuatan ,hkU Ajari aku percaya bahwa aku BISA TERBANG <TNT> Bahkan seekor burung yang meniliki kasat mata bisa jatuh ketika belajt,r terban^ Bagaimana dengan Anda yang sayapnya dibentuk* oleh rasa percaya? Tidak ada cara untuk belajar percaya selain PercayaRana berhenti di sana.

   Berusaha mengerti dan meresapi kalimat-kalimat tersebut.

   Apa maksudnya itu semua, apakah ia harus menanggalkan semua pertimbangan dan perhitungan untuk lalu lepas landas begitu saja? Hidup berdasarkan momentum? Persis seperti waktu ia melontarkan ucapan itu di depan Re, dan kembali tertelan begitu momennya lewat.

   <guest> Maksudmu A> mengejar momentum? <TNT> Momentum tidak dapat dikejar-flomentum hadir* Begitu ia lewati ia tidak lagi sebuah momentum.

   Ia menjadi kenangan.

   Dan kenangan tidak akan membawa Anda ke mana-manaKenangan adalah batu-batu di antara aliran sungai-Anda seharusnya menjadi arus-A-bukan batu<guest> Aku tidak mengerti.bukankah kita seharusnya bisa memperbaiki kesalahan masa lalu? Menghidupkan kembali momentum yang lewat-, untuk kemudian merancang masa depan yang baru-Aku hanya tidak ingin menyesal di kemudian hari.

   Aku ingin yakin dengan pilihanku.

   Itu saja.

   <TNT> Anda memang tidak mengertiA Rana mulai panik.

   Biasanya, Supernova akan menghilang kalau sudah begini..

   <guest> Supernova-Jangan disconnect dulu.

   Tolong akuJelaskan sekali lagi.

   <TNT> Ada perbedaan besar antara memperbaiki dan menyesali, tapi Anda saparti tidak melihatnyaApa bedanya memperbaiki sesuatu di atas penyesalan-i atau di atas parasaan sesal yang bahkan belum terjadif Tidak ada-Selama Anda masih terbayang-bayang oleh dua katakutan itu-* Anda tidak akan ke mana-mana-<TNT> Pembaharuan hadir dalam setiap detik-Perbaikan terjadi satiap saati tapi ketakutan-ketakutan Anda tadilah yang justru menghancurkanSatiap saat Anda bisa terbang, asalkan Anda percaya akan pembaharuan yang hadirflenikmati momentum yang datang-Tanpa ekspektasi apa-apa.

   <TNT> Segalanya terjadi tak terduga-duga* Hanya ada satu yang pasti dalam hidup-, yaitu ketidakpastian-Hanya satu yang patut Anda harapkan datangi yaitu yang tidak diharapkan.

   Berhenti memilah antara apa yang diinginkan dan tidak, lalu stagnasi hanya karena Anda berkaras atas sasuatu yang sebenarnya harus berubah-Berhenti juga menilai baik-buruk dari apa pun-Bukan untuk itu Anda hidup-Anda adalah pengamat dan penikmat-Bukan hakim"Rana..."

   Seperti disengat tawon, ia terlonjak dari tempat duduknya. Tawon itu adalah suara Arwin. Dengan sigap ia pun menutup program di layar komputer.

   "Ada apa, Mas?"

   Rana berlagak pilon.

   Suaminya hanya diam.

   Menatapnya dengan tatapan yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

   Ada kedukaan di sana.

   Luar biasa dalam.

   Tanpa satu potong pun kata, Rana sudah bisa membaca semua.

   Bahasa tak mampu lagi membungkus apa yang tengah bersaling-silang keluar dari benak mereka.

   Lama keduanya bertatapan.

   Seperti orang asing.

   Dengan khidmat pria itu pun akhirnya beranjak mendekat.

   Merengkuh istrinya dari belakang.

   Begitu hening.

   Begitu anggun.

   Rana belum pernah mengalami momen seorisinal ini.

   Bertahun-tahun hidup dengan Arwin dalam ketertebakan, Rana kini merasa terapung dalam suasana yang sangat misterius.

   Satu momen terbentang menuju jalan yang tak tahu berakhir di mana.

   Satu sensasi yang sama sekali baru.

   "Aku tahu semuanya."

   Suara Arwin mengalir bagaikan gletser.

   Membekukan lereng hati.

   Arwin Gelap.

   Suara gerimis.

   Embusan sekali-sekali napas-napas berat.

   Bahkan denyut nadi pun dapat terdengar kalau disimak benar.

   Perlahan...

   ada isakan lirih.

   Mengambil porsi dalam malam yang rasanya tak bergerak.

   "Jangan menangis. Aku mohon."

   Isakan itu tetap tidak berhenti.

   "Kalau kamu benar-benar mencintainya, aku rela kamu pergi. Aku tidak akan mempersulit keadaanmu. Keadaan kita. Kita s ama-sama sudah terlalu sakit. Bukan begitu?"

   Tidak ada jawaban.

   "Aku mencintaimu. Terlalu mencintaimu. Kamu tidak akan pernah tahu betapa besar perasaan ini..."

   Isakan itu malah menjadi.

   "Perasaan ini, cukup besar untukku kuat berjalan sendirian tanpa harus kamu ada."

   Terdengar suara menelan ludah.

   "Tidak akan mudah, tapi aku tidak mau membuatmu tersiksa lebih lama lagi. Hanya saja, tolong..."

   Napas itu tercekat.

   "jangan menangis lagi. Aku sudah terlalu sering mendengar kamu menangis diam-diam, dan itu sangat menyakitkan. Aku mohon."

   Hatinya malah tersayat lebih melesak.

   "Lama aku berusaha menyangkal kenyataan ini, tapi sekarang tidak lagi. Kamu memang pantas mendapatkan yang lebih. Maafkan aku tidak pernah menjadi sosok yang kamu inginkan. Tidak menjadikan pernikahan ini seperti apa yang kamu impikan. Tapi aku teramat mencintaimu, istriku... atau bukan. Kamu tetap Rana yang kupuja. Dan aku yakin tidak akan ada yang melebihi perasaan ini. Andaikan saja kamu tahu."

   SUPERNOVA Kalimat itu membawa Rana ke dimensi yang sama sekali Menggerakkannya untuk melihat wajah pria yang dinikah' ^ tiga tahun lalu dengan pandangan baru, tidak lagi ta^* Ada satu makna yang secara aneh terungkap.

   cinta membebaskan.

   Ternyata Arwin yang punya itu.

   Bukan diri ^ bahkan bukan pula kekasihnya.

   Giliran Arwin yang terenyak ketika istrinya m menghambur jatuh, mendekapnya erat-erat.

   Rasanya ' bukanlah pelukan perpisahan, melainkan sebaliknya, peluk seseorang yang kembali.

   Di dalam sarang kecilnya yang pengap.

   Rana justr mendapatkan makna kebebasan.

   Ia terbang...

   di saat v U sama sekali tidak diduganya.

   n9 <guQSt> Supernovai saya benarbenar tidak menyangka* Bagaimana mungkin sesuatu yang tadinya berusaha saya pertahankan mati-matian justru kembali ketika saya lepaskanf Perasaan ini sangat luar biasa* Rasanya saya terlahir kembal i A I <TNT> Sesungguhnya Anda memang tidak perlu berusaha memiliki apa-apa* Anda adalah segalanya* Sekarang-* tidakkah Anda heran dengan orang-orang yang menguras seluruh energinya untuk mempertahankan sesuatuf Mencoba memiliki apa yang sebenarnya sudah milik mereka? Justru ketika Anda Melepaskan keterikatan pada sesuatu i Anda semakin dekat dengan Keutuhan.

   <TNT> Mencintai sesuatu atau seseorang dengan keutuhan diri adalah satu-satunya cara mencinta* Sementara perasaan tidak lengkap atau ketergantungan adalah refleksi jarak Anda dengan diri sendiri* <guest> Dan saya baru sadar -i saya amat .

   mencintainya tapi saya lebih mencintai diri saya sendiri.

   Saya mencintai diri saya yang mencintaA <TNT> Itulah satu-satunya Cinta yang ada* Arwin mengembuskan napas ie h sinar.

   Bahkan bernapas terasah*' *aJahn*a berkiu itas baA"

   T6lah men9aUri **uruh t9ubuh?mat Se^ah sekaligus perasaan terbang h adalah v sayap AA KEPING Kiamat Personal Kedua pria itu mematung di depan komputer.

   "Aku tidak mengira akan jadi seperti itu..."

   Gumam Ruben berat.

   "Aku juga. Semuanya mengalir begitu saja,"

   Dhimas mengusap wajahnya, berusaha mengenyahkan kebingungan.

   "Kamu tidak merencanakan plotnya bakal demikian?"

   "Tidak,"

   Dhimas menggelengkan kepala.

   "sudah kubilang, semuanya mengalir begitu saja. Aku hanya langsung mengetik apa yang terbersit di kepalaku."

   "Aneh. Seolaholah cerita itu memiliki otonominya sendiri."

   "Lebih parah. Sepertinya aku menjalani sebuah kehidupan, bukan cuma naskah. Kehidupan dalam kehidupan... mungkinkah itu?"

   Tanya Dhimas linglung.

   "Entahlah. Yang jelas, masih ada satu yang harus kita khawatirkan."

   "Ksatria."

   Ferre Kiamat adalah lidah kehancuran yang menjilati tandas sebuah piring tanpa sisa.

   Tak ada lagi remah.

   Tak ada dedak yang dibiarkan bertengger.

   Semua bersatu dalam maha enzim Kiamat personal yang mencerna jagat.

   Kiamat adalah ledakan sunyi yang mengisap semua, termasuk jejak kehancuran yang dibuatnya.

   Dan ternyata kiamat punya edisi khusus.

   Kiamat personal.

   Semenjak Rana menghilang tak bisa dihubungi seminggu lewat ini.

   Re tahu ada yang tidak beres.

   Sampai akhirnya surat itu tibaA"kiamatnya.

   Tidak ada yang saya sesali.

   Saya harap kamu juga demikian.

   Tidak ada cara yang mudah untuk menga takan ini semua.

   Saya yakin kamu mengerti.

   Dan tidak ada yang saya cintai lebih dalam selain perasaan indah yang pernah kita miliki (dan semoga masih akan terus kita miliki,).

   Tapi saya bukan Puteri yang kamu cari.

   Di satu titik, perasaan indah itu telah mengkristal, dan saya akan menyimpannya.

   Selamanya.

   Kamu adalah yang teristimewa, Ferre.

   Kamu telah memberi saya kekuatan untuk mendobrak belenggu itu.

   Sekarang saya bebas.

   Tapi, tidak berarti kita harus berjalan bersama.

   Izinkan aku kembali berjalan di setapak kecilku.

   Rana.

   Surat di sehelai folio putih polos itu nampak seperti Lucifer yang menyamar jadi domba tak berdosa.

   Reaksi pertama Re adalah tercenung kosong.

   Lama sekali.

   Dan yang kedua adalah, ia tertawa.

   Dan itulah puncak dari rangkaian paradoks yang telah menyerangnya dari awal kisah ini dimulai.

   Sebuah tawa, dalam duka dan kepahitan yang tak terperi.

   Sejenak ia merasa telah disuguhi pertunjukan dagelan.

   Kekonyolan panjang nan tragis, dibumbui dramatisasi ala opera sabun yang memuakkan, dengan ambisi ala sinetron bersekuel-sekuel yang membuat mual perut.

   Penonton pun tak bisa membedakan lagi air mata apa yang berlinang di pipi mereka.

   Tangiskah...

   atau malah tawa.

   Yang jelas, pipinya bersih.

   Tak ternoda air apa Pun Kelenjar air matanya mengeras, seiring dengan hatinya yang membatu.

   Perlahan, runutan getaran sel abu-abunya kembali terhampar.

   Kalau saja ia tidak mengajaknya makan siang...

   Kalau saja ia punya lebih banyak kesibukan di pagi itu...

   Kalau saja ia menolak wawancara itu...

   Kalau saja hari itu tidak perlu ada...

   Kalau saja ia tak perlu ADA...

   Bagaimana sebuah piring bisa tahu dirinya piring apabila tidak ada yang diwadahi? Kiamat juga berarti amnesia abadi.

   Dan Ferre adalah piring kosong yang tak mampu merasakan apa pun selain kehampaan.

   Tidak juga dirinya.

   Ia terlalu benci dirinya.

   Sang Ksatria tidak lagi eksis.

   Ia mati, bersama cintanya yang membutakan bumi.

   Ia hancur, seperti serbuk meteor yang membedaki langit.

   Ia tamat.

   KEPTNG Ksatria Schrodinger -a himas cuma bisa melipat tangannya, menggeleng-J/ gelengkan kepala.

   "Aku tak tahu lagi jadinya bagaimana..."

   Ia berkata lemas.

   "Ia telah mendapatkan kepingan dirinya yang hilang, Pujangga, homunculus, si manusia kecil, figur bawah sadar yang dulu terlupakan tapi sekarang kembali hidup. Dan betapa ia menyukai dirinya lagi. Tapi sekarang semuanya direnggut... hilang. Ksatria kita baru kerampokan harta insaninya yang paling besar. makna. Tanpa makna, buat apa lagi kita menjalankan hidup?"

   "Hidup memang tidak boleh kehilangan makna..."

   Desis Ruben.

   "Dan makna apa lagi yang masih berarti untuk menyalakan hidup si Ksatria? Aku tidak tahu!"

   Seru Dhimas. Kening Ruben berkerut-kerut, kakinya diketuk-ketuk, pertanda ia berpikir keras.

   "Kamu tahu apa yang sedang kita hadapi?"

   Tanyanya. Dhimas tahu pertanyaan itu tidak perlu dijawab, bohlam yang menyala ada di otak Ruben.

   "Kita sedang mengalami dilema terbesar para fisikawan. Dilema yang disuguhkan Schrodinger dengan eksperimen kucingnya. Inilah dia. Paradoks kucing Schrodinger! "Look, honey, sekarang ini kita sedang meneru*A"

   Hidup mati tokoh kita sendiri. Bukannya menyiapKan Pertunjukan sulap,"

   Komentar Dhimas kesal.

   "Aku bukan asal ngomong, kamu sendiri kan tahu paradoks itu."

   "Ya, tapi apa relevansinya?!"

   "Sebentar, sebentar... beri aku waktu."

   Ruben memejamkan mata, berusaha menerjemahkan sinyal nonlokal yang barusan hinggap di otaknya.

   "Begini, kamu tahu tujuan Erwin Schrodinger dengan percobaannya itu?"

   Dhimas merasa lebih baik ia menggeleng.

   "Tujuannya adalah untuk mendeteksi perjalanan partikel kuantum, baik itu arah lintasannya maupun destinasinya. Ia tidak menggunakan geiger counter melainkan kucing sebagai detektor. Kucing ini ditempatkan di boks tertutup bersama sebuah kapsul berisi racun sianida, dan sebuah pemicu yang akan aktif ketika satu isotop radioaktif menembakkan sebuah elektron. Peluangnya fifty-fifty. Apabila elektron mengenai tombol on, maka kapsul itu pecah, dan kucing mati. Kalau elektron tidak menyentuh pemicu itu, maka si kucing tetap hidup. Dalam waktu satu jam, baru akan ada pengamat yang membuka boks dan melihat hasilnya. Pertanyaannya, apa yang terjadi pada si kucing selama boks itu tidak dibuka? Apabila kita menghitung secara matematis maka kucing mati dan kucing hidup adalah hasil yang sama-sama valid, tapi karena kucing tersebut adalah objek kuantum di mana semua kemungkinan bisa terjadi, maka hasil itu bisa kita gabungkan menjadi kucing yang setengah hidup dan setengah mati! Sampai kotak itu dibuka maka kucing tersebut dipastikan berada dalam kondisi kuantum mati suri."

   "Oke, kucing zombie, singkatnya. Mati enggak, hidup enggak,"

   Dhimas mulai tidak sabar.

   "sekarang, apa hubungannya dengan Ksatria kita yang mengurung diri entah sedang apa itu?"

   Mata Ruben membelalak.

   "Tidakkah kamu lihat? Dia seperti kucing Schrodinger di dalam boks tertutup! Berada di gerbang keputusan untuk menghabisi hidupnya atau tidak, atau entah apa lagi. Katakanlah, peluangnya fifty-fifty dia keluar dari rumah itu dalam keadaan hidup atau mati. Ini fenomena yang serupa dengan dualitas partikel.

   "Begini, partikel mempunyai aspek lain/ yaitu gelombang, yang kemudian diberi nama wavicle. Tapi wavicle 168 hanya ada di domain kuantum. Sementara di realita, kehadiran seorang pengamatlah yang akan menentukan aspek mana yang terpilih. Partikel atau gelombang. Sebelum pilihan ditentukan oleh pengamat, maka wavicle akan selamanya mengambang dalam keadaan dikotomis."

   "Kamu tidak membuatnya lebih mudah,"

   Keluh Dhimas.

   "Coba, aku sederhanakan. Kamu dan aku taruhan memakai koin, pilihan kita hanya dua. gambar atau angka. Peluangnya sama. Ketika koin dilempar lalu ditutup, maka sebelum dibuka koin itu tetap berada di kondisi setengah angka dan setengah gambar. Betul begitu?"

   "Seratus! Kok aku tidak pernah kepikir, ya?"

   "Jadi... maksudmu. Ksatria kita sekarang berada dalam keadaan setengah hidup dan setengah mati? Memangnya dia zombie?"

   "Hei, demikianlah menurut perhitungan matematis."

   "Omong kosong! Pasti ada jalan lain untuk menyelesaikan paradoks itu."

   Ferre 24 jam pertama dalam hidupnya di mana ia merasa begitu sendiri, tanpa dunia.

   Semua hiruk-pikuk di luar sana sudah tidak kuasa lagi menyentuhnya.

   Hanya ia dan dia.

   Pistol kaliber 9 mm yang tidak pernah digunakan.

   Barang itu sebenarnya cuma suvenir pemberian, ia sendiri selalu menganggapnya pajangan sampai...

   malam ini.

   Dulu, Re mengisi selongsongnya dengan satu peluru.

   Sambil tertawatawa ia berkata, siapa tahu satu saat nanti ia harus bermain rolet Rusia.

   Re tersenyum tipis.

   Firasat itu ternyata sudah ada sejak dulu.

   Tak pernah ia sangka, hidupnya akan diakhiri oleh sebuah permainan.

   Jangan-jangan kelahirannya ke dunia ini juga cuma permainan.

   Ekses humor Tuhan yang kebablasan.

   Re menyesal ia terlalu serius menempuh hidup.

   Keseriusan ternyata tidak membawanya ke mana-mana.

   Tapi semuanya sudah terlambat.

   169 Dhimas & Ruben "Oke, oke, sabar sedikit,"

   Ruben cepat-cepat menenangkan Dhimas yang sudah unjuk rasa.

   "Masih ada aliran Copenhagen yang berinterpretasi bahwa dengan menggunakan prinsip komplementer, kondisi setengah hidup dan setengah mati itu hanya abstraksi yang cuma eksis sebagai potensi transendental, namun observasi kitalah yang menjadikan salah satu kemungkinan kolaps, membuat kondisi dikotomis itu akhirnya menjadi kondisi tunggal di dimensi tempat kita mengobservasi."

   "Sebentar dulu, maksudmu bisa ada Ksatria lain di dimensi lain yang hidup, lalu ada juga versi Ksatria mati? Begitu?"

   "Well, faktanya memang observasi dari kondisi dikotomis akan memaksa semesta untuk bercabang menjadi dua dimensi paralel,"

   Ruben mulai ikut bingung.

   "Wah! Itu ide yang luarrrr... biasa. Kita akan menulis dua kisah dari dua dimensi paralel!"

   Seru Dhimas meledakledak.

   "Tapi... tenang, tenang, tidak sesederhana... eh, maksudku, tidak sekompleks itu,"

   Redam Ruben buru-buru.

   "Sayangnya, ide itu terlalu mahal. Dalam arti, butuh materi dan energi dalam jumlah ganda untuk setiap observasi. Benar-benar pemborosan. Lagipula, semesta paralel tidak berinteraksi satu sama lain. Interpretasi ini terlalu sulit untuk dijadikan eksperimen sehingga tidak ada gunanya dari sudut pandang sains. Tentu saja, science fiction selalu tergila-gila dengan ide interaksi antardimensi. Kalau tidak, mana seru? Tapi, memangnya kamu niat bikin science fiction? Plus bumbu-bumbu fantasi ilmiahnya? Bukan, kan?"

   "Bukan,"

   Jawab Dhimas pelan. Kecewa.

   "Coba, diingat lagi, apa yang ingin kamu buat?"

   "Roman sains, romantis, puitis..."

   "Dan riil!"

   Sambung Ruben.

   "Aku ingin mengungkapkan fakta penelitian yang sebenar-benarnya. Jangkauan sains yang sejauh ini telah dicapai, dan aplikasinya di level kehidupan sosial manusia."

   "Baiklah. Dimensi paralel... batal. Silakan teruskan,"

   Dhimas mengalah dalam gerutu. Terpaksa membanjur lagi kobaran idenya.

   "Aku sedang memikirkan gambar gestalt. Kamu tahu apa itu?"

   "Bahasamu selalu susah. Itu menjebak, tahu nggak? Kadang-kadang yang kamu maksud cuma hal umum tapi bahasamulah yang tidak umum."

   "Salah sendiri tidak tahu,"

   Balas Ruben tidak mau kalah.

   "Gambar gestalt adalah gambar beranak gambar, dan yang paling umum adalah gambar gestalt nenek tua dan gadis cantik. Kedua citra itu hadir sekaligus, dan merupakan satu gambar, tapi kamu tidak bisa melihat keduanya secara bersamaan. Kamu harus memilih satu antara dua sudut pandang untuk menentukan apakah itu nenek tua atau gadis cantik. Setiap kamu melihat gambar gestalt, kamu harus memilih."

   "Tuh, kan? Aku tahu gambar yang kamu maksud. Tapi tidak pernah tahu namanya gestalt."

   "Makanya, salah sendiri,"

   Ruben masih tidak mau kalah.

   "Aku teruskan. realita ini termanifestasi sama seperti gambar gestalt. Kita tidak merobek gambar itu jadi dua, atau membolak-balik kertasnya. Tapi Kesadaran kita memilih, dan mengenali pilihan yang kita buat. Nah, sama juga dengan sang Ksatria, Kesadaranlah yang memilih dan menentukan nasibnya."

   "Aku jadi tidak mengerti. Kita sering sekali bicara 'kesadaran', tapi kesadaran seperti apa yang kamu maksud barusan?"

   Tanya Dhimas, benar-benar tersesat.

   "Itu dia! Persis seperti kasus Epimenides. Kalau kita bicara kesadaran di level lokal, maka kita akan terjebak di dikotomi tak ada habisnya itu. Artinya, kesadaran yang kumaksud harus berada di luar sistem, di luar order realitas materi."

   Ruben menjawab mantap. Dhimas membisu, lama. Berusaha mengasosiasikan pemahaman baru itu.

   "Kenapa? Masih ada konsep yang belum jelas?"

   Ruben menangkap tanda tanya yang beterbangan di sekitarnya.

   "Ya, sebenarnya ada,"

   Ujar Dhimas penasaran.

   "Apa yang kamu bilang tadiA"bahwa di realita materi ini Kesadaran menggagalkan aspek gelombangA"benar-benar terdengar logis dan akademis. Lalu, apakah ada situasi di mana ada pengamat, tapi tidak dalam keadaan sadar? Kamu tahu betapa paradoksnya hal itu?"

   Ruben tersenyum tenang, sepertinya ia sudah mengantisipasi munculnya pertanyaan barusan.

   "Di sinilah pentingnya pemilahan antara Consciousness dan Awareness. Sadar dan Terjaga. Kesadaran selalu bersih, tidak tersentuh, di domain nonlokal. Tapi untuk menggagalkan salah satu aspek kuantum, dibutuhkan keterjagaan. Sementara keadaan 'tidak sadar' dalam istilah psikologi yang umum kita tahu adalah keadaan semacam tidur, pingsan, atau mati suri. Itulah kira-kira sadar tanpa terjaga."

   "Tapi, coba terangkan lagi, apa sih yang dimaksud dengan istilah nonlokal? Kenapa aku menangkapnya semacam sinyal-sinyal misterius dari pesawat UFO?"


Pengemis Binal Malaikat Bangau Sakti Rajawali Emas Dewi Karang Samudera Rajawali Emas Kitab Pemanggil Mayat

Cari Blog Ini