Ksatria Putri Bintang Jatuh 3
Dewi Lestari Ksatria Puteri Dan Bintang Jatuh Bagian 3
sang Kekasih Hati -yang melalui cerminnya telah mempertemukan saya kembali dengan Kekasih Jiwa.
Eaginyalah, saya persembahkan kisah ini.
Sekarang, ijinkan saya tersungkur dalam rasa cinta...
~ D Keping4 Yang Ada Hanyalah ADA Raping1 Ksatria ARaping~ Keresahan yang Terabaikan Raping Puteri Keping* Tanda Tanya Agung Keping "Reversed Order Mechanism"
Raping Bintang Jatuh Raping 'Such a Small tilorld-, eh f"
Raping Cinta Tidak Butuh Tali Raping 10 Kekekalan adalah Chaos Raping Si Pencinta Alam Raping*^ Un Sol Em Noite Raping 13 Tuhan Maha Tidak Romantis Raping IH Sebesar Cinta itu Sendiri Keping 15 Ia Sedang Kasmaran.-A lila MenangisAARaping 17 Dua Idiot Abad 21 Roping Cyber Avatar Keping PT Tsunami Hati Raping ?B] Di Celah Pikiran H IA 3M 3b HE Hb 51 71 7M AM 12 It 1D2 107 115 122 123 13b mi ma r Titik Bifurkasi raping | Pelajaran Terbang Keping 53] Kiamat Personal j cm I Ksatria Schrtfdinger 25 Di Dasar Jurang 21 Opto i Ergo Sum a? Semesta Memutuskannya 26 Selamat Pagi-.
Koevolusi 25 Pernahkahi Supernova? lu Cermin yang Hidup 31 Jaring Laba-laba Keping 35 Individu Hanyalah Ilusi Keping 33 Segalanya Ada Padamu Bibliografi Indeks Komentar Pakar 152 Komentar Non Pakar 231 SUPERNOVA Diperuntukkan bagi Anda yang ingin HIDUP Selamat Datang* Apa yang hendak disampaikan di Supernova bukan sesuatu yang mudah dipahamiKita berusaha merangkum sejarah miliaran tahun-Kita berusaha mendeteksi gerak-gerik sesuatu yang kecepatannya melebihi cahaya-Kita berusaha memuat apa yang hanya bisa dijangkau abstraksi bernama "iman"
Ke dalam sel-sel otak kita yang usang.
Tap i n jangan terlalu cepat berkecil hatiDalam kompleksitas struktur dan mekanismenya-, ada satu pola sederhana yang bisa kita tangkap-Mungkin malah terlalu sederhanai sehingga pikiran Anda yang sudah terbiasa hidup dalam kepelikan tidak akan sanggup menerima* N amun itulah yang berusaha kita pelajari.
bagaimana satu kesederhanaan dapat memecahkan semua kompleksitas* Saya bukan Guru-Anda bukan Murid-Saya hanya pembeber fakta-Perunut jaring laba-labaPengamat simpul-simpul dari untaian benang perak yang tak terputusA Hanya ada satu paradigma di sini.
KEUTUHAN-Bergerak untuk SATU tujuan.
menciptakan hidup yang lebih baik-Bagi kita-Bagi duniaSupernova bukan okultisme-Bukan institusi religi-Bukan kursus filsafatSupernova akan mengolah apa sajaA"sejarah-A-mi tos n sains-, bahkan daftar belanjaanA"untuk menunjukkan simpulsimpul benang perak dalam jaring laba-laba kehidupan156 IbM lb7 175 160 16M 110 201 20b 213 220 22M 227 226 830 informasi ini melalui filter Anda Cirnaia.
dan transformasikanlah sesuai ^gan^.ranVda dala.
balita_ .lah TAHAN KANAK-KANAK A -AJ iniian untuk bermain dengan hidup.
Kesempatan A"A HT1>UP.
Untuk benar-benar HIDUP relatif yang serba tidak pasti ini-, 1)1 9 ha"Va~-bisa menjaminkan satu hal.
perubahan saya na y terhadap hidup akan berdampak b.rsaarPpadan9dunia...
A"lampaui apa yang bisa Anda bayangkanSUPERNOVA pKSATRIA, PUTERI, DAN BINTANG JATUH KEPING Yang Ada Hanyalah ADA Kedua pria itu duduk berhadapan.
Kehangatan terpancar dari mata mereka.
Rasa itu memang masih ada.
Masa sepuluh tahun tidak mengaratkan esensi, sekalipun menyusutkan bara.
Tidak lagi bergejolak, tetapi hangat.
Hangat yang nampaknya kekal.
Bukankah itu yang semua orang cari? Sepuluh tahun yang lalu, mereka bertemu di GeorgetownA"tepat di bawah plang Wisconsin AvenueA"
Bermandi teriknya matahari musim panas Washington DC. Masing-masing bersama rombongan teman yang berbeda, banyak yang tidak saling kenal, dan perkenalan keduanya pun berlangsung datar-datar saja. Tidak ada yang spesial.
"Dhimas, George Washington University,"
Dhimas memperkenalkan diri.
Wajahnya yang manis membuat ia selalu nampak tersipu-sipu.
Ruben menyambut tangan itu, terasa halus, sehalus paras dan penampilan orangnya yang terawat.
Berbeda dengan dirinya, guratan wajah yang tegas, setegas jabat tangannya.
"Ruben, Johns Hopkins Medical School." ^Bagaimana perjalanan dari Baltimore tadi?"
"Yah, lancar-lancar."
Yang Ada Hanyalah ADA "Saya dengar 295 North dari arah New York Ave ditutup."
"Kami lewat GW Park."
Nada itu terdengar angkuh.
Dhimas langsung tahu bahwa Ruben termasuk geng anak beasiswaA"orang-orang sinis,/ kuperA"yang cuma cocok bersosialisasi dengan buka.
Sementara dari gayanya, Ruben pun langsung tahu bahwa Dhimas termasuk geng anak orang kaya^alangan maliasiswa Indonesia berlebih harta yang tidajr^iernah ia suka.
Namun hari itu memang^rrTeda.
Semangat musim panas sanggup membuat sesedangberbuat di luar kebiasaannya.
Malam itu keduaj^iftbongan yang tidak pernah bergabung sebelumnya^akhirnya sama-sama terdampar di Watergate Coridpjnhimm, dalam satu unit apartemen mewah milik kawan ^^DMmas.
Dimulai dengan makan malam hingga ber-"pestakimia"
Kecil-kecilan, sampai semua orang terkapar tanpa terkecuali, di sofa, di atas karpet, di kasur, bahkan di kamar mandi. Tinggal alunan sayup-sayup musik trance ditambah suara dua orang bercakap-cakap.
"Ini badai serotonin1 pertamaku. Gila, rasanya luar biasa,"
Ujar Ruben. Sorot matanya menyeberang jauh.
"Badai serotonin....
"
Dhimas menyahut dengan senyum tolol.
"istilah yang bagus."
"Tapi kok ada orang-orang yang malah tidur? Aku tidak mengerti. Ini adalah momen yang tidak ada duanya. A milestone!"
"Apa yang kamu lihat?"
Ruben melihat sekeliling.
Bagaimana ia mampu menjelaskan ini semua? Ia baru saja menemukan cermin yang selama ini ia cari-cari dan sekarang sedang menikmati refleksinya.
Jangan suruh bicara dulu.
Sejak pertama kali Ruben membaca ulasan Benoit MandelbrotA"seorang matematikawan Prancis yang dengan 1 Senyawa amino yang terdapat antara lain pada darah dan otak, berfungsi sebagai hormon dan juga neuro-transmitter.
Kekurangan serotonin berimplikasi kuat pada depresi dan beragam penyimpangan emosional.
Sebaliknya, serotonin pun berperan penting dalam penciptaan rasa damai dan tenang.
Obat-obatan rekreasional seperti LSD, Mescaline, Psilocybin dan Ec stasy, bekerja langsung pada reseptor serotonin di otak.
Walaupun demikian, sejauh ini para ilmuwan meyakini bahwa konsumsi serotonin yang diproduksi secara sintetis dapat mengakibatkan saraf-saraf otak terpacu dengan berlebihan sehingga mengakibatkan kerusakan tertentu.
Supernova revolusioner membuka gerbang baru untuk memahami ilmu turbulensiA"ia pun langsung merasakan secercah keindahan harmoni antara dua sisi cermin kehidupan, antara keteraturan dan ketidakteraturan, yang tertebak dan tidak tertebak...
order dan chaos,1 Sesempurna apa pun sebuah tatanan, dapat dipastikan chaos selalu ada, membayangi seperti siluman abadi.
Begitu sistem mencapai titik kritisnya, ia pun lepas mengobrak-abrik.
Bahkan dalam keadaan yang nampaknya ekuilibrium atau seimbang, sesungguhnya chaos dan order hadir bersamaan, seperti kue lapis, yang di antaranya terdapat olesan selai sebagai perekat.
Selai itu adalah zona kuantum; rimba infinit di mana segalanya relatif; kumpulan potensi dan probabilitas.
Di kehidupan sehari-hari kehadirannya dapat terasa dalam bentuk intermittency atau ketidaksinambungan.
Keterputus-putusan.
Paradigma reduksionisme, yang telah berabad-abad mendominasi dunia sains, tidak pernah memberikan perhatian pada fenomena ini.
Dan bagi manusia yang melihat dunia hanya hitam dan putih, maka ia harus siap-siap terguncang setiap kali memasuki area abu-abu dimensi kuantum.
Karenanya, relativitas bagaikan kiamat bagi yang mengagung-agungkan objektivitas.
Sains ternyata tidak selamanya objektif.
Sains, seringkali, harus subjektif.
[ Lalu...apakah sebenarnya dirimu wahai turbulensi? Di mana engkau sembunyikan wajahmu? ] Turbulensi dapat dianalogikan sebagai pigura hitam yang membingkai setiap kepingan gambar dalam reel film, yang ketika diputar dengan kecepatan 24 frame per detik mata kita tidak akan melihat bahwa sebenarnya film tak lebih dari potonganpotongan gambar dan bukannya kontinuitas.
Dalam realita, turbulensi ibarat sebuah "Dapur Agung"
Yang transendenA"tak terikat ruang dan waktu, berinteraksi dengan sinyal-sinyal nonlokalA"tempat diraciknya semua 2 Teori tentang sistem yang deterministik tetapi pergerakannya sangat sensitif terhadap kondisi-kondisi inisial sehingga tidak memungkinkan adanya prediksi jangka panjang.
Yang ada Hanyalah ada probabilitas, potensi, serta loncatan kuantum.
Lalu dari -dapur tersebut tersajilah sup kehidupan yang nyata dan terukur, realita yang bisa dicicip ataupun dihiiup baunya.
Turbulensi hadir di mana-mana, dalam hidup organisme sesederhana bakteri sampai ke interaksi antarplanet di Bimasakti.
Tapi kehadirannya selalu dianggap sekadar keberisikan, tak lebih signifikan dari bunyi "kresekkresek"
Gelombang radio yang tak pas atau gambar statis sesudah acara televisi habis.
Namun sekarang, sudah saatnya dunia sains mengalami turbulensi yang sesungguhnya, bahwa cara pandang reduksionis dan fisika klasik para Newtonian tidak akan sanggup memblokir refleksi dari cermin kehidupan.
Keteraturan mau tak mau harus berkaca, menemukan dirinya ternyata berasal dari sebuah Maha Ketidakteraturan.
Sama halnya dengan otak yang merupakan organ nonlinear tulen, ataupun denyut jantung yang tak beraturan, telah menciptakan order untuk seorang manusia dapat hidup.
Terciptanya sebuah sistem pada dasarnya diakibatkan at r aktor3 yang terus-menerus melakukan feedback atas dirinya sendiri.
Proses arus-balik itu kemudian menyebabkan sistem teramplifikasi, hingga tiba di titik di mana ia mengalami f luks, atau disodori "pilihan"
Untuk berubah.
Fase penuh kebimbangan itu lalu mencapai kulminasinya, sampai terjadilah apa yang dinamakan bifurkasi.* Tonggak sejarah bagi sebuah sistem untuk berevolusi.
Malam itu, terjadi fluks hebat yang mengocok-ngocok solar plexus5 Ruben.
Ia dapat merasakannya, tepat di jaringan 3 Pengertian tentang "
Atraktor"
Secara sederhana kurang lebih dapat digambarkanjnelalui ayunan pendulum yang pada akhirnya berhenti di satu titik.
Titik istirahat si pendulum itulah yang disebut para matematikawan sebagai titik atraktor, atau titik baku.
Lebih tepatnya, atraktor adalah region magnetis yang memiliki kekuatan dahsyat untuk menarik seluruh sistem ke dalam dirinya.
4 Secara etimologis, bifurkasi berarti titik percabangan.
IlyaPrigogineA"salah satu ilmuwan kontemporer yang menjadi pionir dalam penelusuran tentang nature chaos dalam sistemA"
Menempatkan bifurkasi sebagai konsep esensial.
Bifurkasi dapat membawa sistem meruntuhkan dirinya menuju chaos, atau justru menstabilisasi sistem melalui perubahan yang dihadirkannya.
Sesudah menjadi stabilA-sistem yang telah melewati bifurkasi menjadi resisten terhadap perubahan hingga periode yang teramat panjang, sampai akhirnya muncul lagi titik-titik kritis yang mampu mengamplifikasi feedback dan menghadirkan bifurkasi baru.
5 Jaringan saraf dalam rongga abdomen, berlokasi tepat di depan aorta dan di belakang perut, terdiri dari ganglia yang mengirimkan impuls saraf.
Beberapa asumsi mengatakan bahwa yang disebut dengan "hati"
Atau pusat perasaan manusia sesungguhnya terdapat di solar plexus.
7 Supernova simpatis di depan aorta dan di belakang lambung, sesuatu bergolak.
Ia berada di titik bifurkasi.
Inspirasi halus yang hinggap di sukmanya telah mengamplifikasi seluruh sistem pemahaman yang ia miliki, menjadikan keping-keping teori yang selama ini terpecah-pecah tiba-tiba terekat menjadi satu.
Dan di tengah ruang tamu itu, sekelumit rahasia semesta terungkap di depan matanya.
Perlahan Ruben melihat selimut kabut yang meliputi semua benda dan sudut.
Bagaikan pixel-pixel televisi yang membentuk citra warna-warni, ia menyaksikan bagaimana Gelap dan Terang telah bekerja sama menghadirkan realita, dunia materi ini.
Dan ketika pandangannya menyeberangi selimut itu, batas-batas terangkat.
Pola-pola medan energi mendadak muncul dari bidang dinding, dan pixel-pixel itu bergerak mengarus, ia pun tertawa lebar, ternyata hidup ini cair.
Terus berjalan tanpa putus bagaikan ombak soliton6 mengarungi samudra, dan ia berada di tengah-tengahnya.
Mata Badai.
Perlahan, Ruben mengangkat kedua tangannya, dan ia pun tercekat.
Ternyata, dirinya pun diselimuti kabut itu.
Fisiknya adalah gambar proyeksi semata.
Dan apabila ia mampu mengidentifikasikan dirinya dengan pixel-pixel ituA"
Bukan tubuh seorang pria bernama RubenA"maka berarti dirinya...
immortal.
Tidak ada awal dan akhir.
Tidak ada sebab dan akibat.
Tidak ada ruang dan waktu.
Yang ada hanyalah...
Ada.
Terus bergerak, berekspansi, berevolusi.
Sia-sialah orang yang berusaha menjadi batu di arus ini, yang menginginkan kepastian ataupun ramalan masa depan, karena sesungguhnya justru dalam ketidakpastian manusia dapat berjaya, menggunakan potensinya untuk berkreasi.
Ruben ingin meledak rasanya, dalam tangis dan tawa.
"Aku melihat kejernihan... clarity,., semua sekat dan kerangkeng pikiran terbuka... tidak ingin ke mana-mana... 6 Satu ombak penyendiri yang mengarungi lautan dengan bentuk dan kecepatan konstan, tanpa pernah melebar dan terurai seperti ombak normal lainnya. Persamaan matematis yang digunakan untuk meneliti fenomenon ombak soliton juga dimanfaatkan pada riset fusi nuklir dan s u per konduktor. Yang Aoa Hanyalah ada semuanya hadir di sini..."
Ia berusaha menjelaskan, terbata.
"Tidak ada lagi pertanyaan soal waktu... kapan lulus kuliah... assignment... kuis..."
"Aaah, itu semuanya debu!"
Potong Ruben keras.
"Aku melewati itu semua. Aku me-maha-mi, ngerti? Paradoks Einstein-Podolsky-Rosen, kupu-kupu Lorenz, Dualitas Elektron, Paradoks Kucing Schrodinger..."
"Kucing setengah hidup-setengah mati itu?"
"...aku akan merekonsiliasi pertentangan para materialis dan idealis! Materi dan nonmateri! Sains dan mitos! Semuanya terbayang jelas!"
Ruben terus menyerocos penuh semangat.
"Semua gara-gara serotonin."
"Semua karena kejernihan. Kamu tahu, orang-orang yang sedang bermeditasi itu kadar serotonin di otaknya langsung meningkat."
"Jadi kita lagi meditasi? Enak juga, ya. Gampang. Tinggal telan. Nggak usah susah-susah atur napas."
"Tapi bukan itu masalahnya. Mereka memproduksi serotoninnya dengan alami, tidak pakai bantuan eksternal macam begini. Ingat, sebenarnya tidak ada yang namanya, jalan pintas. Sekarang kita boleh menganggapnya hal kecil, padahal ini ibarat utang besar yang harus dibayar tubuh kita."
"Heh, jangan bikin jadi bad-trip, dong/' "Eh, Dhimas, serotonin agaknya semacam deterjen otak, ya?"
"Mana saya tahu. Kamu yang kuliahnya di Johns Hopkins, kok. Aku kan bukan calon dokter,"
Dhimas menuding balik.
"Ah, seharusnya malam ini kamu bisa jadi apa saja."
"Aku ini seorang pujangga."
"Seorang kapiten juga boleh."
"Jika terlintas hasratmu menatap keindahan yang kami puja/Lihat ke dalam hatimu dan bayangnya pun kan nyata/ Jadikan hatimu cermin dan berkacalah di sana/Temukan keagungan Sahabat nan mulia."
Sorot mata Ruben yang tadi terbang mendadak jatuh. Ia menatap Dhimas tak percaya.
"Kamu pernah belajar teori chaos?"
"Excuse me? Teori chaos? Aku baru saja menggubah puisinya Attar, salah satu mistik Sufi..."
"Ah, ya! Sufisme, teori chaos, teori relativitas/ fisika kuantum... kadangkadang aku berpikir semua itu berasal dari satu Kotak Pandora, hanya beda zaman, beda bahasa. Kamu sadar betapa indahnya puisi itu? Dan betapa relevannya dengan apa yang kubilang tadi?"
"Memangnya kamu bilang apa?"
"Bahwa kebenaran yang utuh baru kamu, dapatkan setelah melihat kedua sisi cermin kehidupan. Tidak cuma sebelah. Dan cermin itu sangat dekat..."
"Dalam hati kita sendiri?"
"Aku lebih suka. dalam setiap atom tubuh kita."
"Mengagumkan. Cuma masalahnya, dari tadi kamu belum ngomong soal itu. Ngigau, ya?"
Ruben terperanjat.
"Mana mungkin? Bukannya tadi aku menerangkan konsep Mandelbrot? Turbulensi?"
Dhimas menggeleng dan tertawa kecil.
"Ternyata lebih parah lagi, kamu barusan mimpi."
"Wow!"
Ruben berdecak kagum.
"Janganjangan... tadi cuma percakapan dalam otakku saja, ya? Tapi kok rasanya sangat riil? Luar biasa! Oh, serotonin, kamu bagian terindah dari tubuhku1!"
Dhimas sekilas melirik Ruben yang terkapar di sebelahnya.
"Aku salut. Kamu kok mampu mengapresiasi sebegitu tinggi. Kebanyakan orang cuma menganggapnya rekreasi dangkal."
"Kalian kebanyakan duit, sih. Begitu stok habis tinggal telepon mami-papi, beres. Orang terlalu banyak uang dengan orang yang terlalu miskin akan bertemu di titik yang sama. Sama-sama krisis apresiasi."
"Jangan belagu. Mentang-mentang dapat sponsorship."
"Berani taruhan, kamu pasti anak konglomerat, atau anak jenderal, atau anak orang konsulat; ambil major marketing atau business administration; setiap summer atau vtinter bisa pulang ke Indonesia; dan -punya stok Indomie berdus-dus..."
"English Literature,"
Potong Dhimas.
"dan tidak pernah pulang waktu summer, karena aku pasti ikut summer class, atau ambil course. Jadi, jangan dipukul rata, dong." 10 Yang ada Hamkalah a "Oh, sorry."
"Ruben... katamu tadi, serotonin adalah deterjen otak?"
"Itu baru hipotesis, atau cuma metafora. Kenapa?"
"Bisa jadi kamu benar. Kepalaku juga rasanya jernih. Aku kok jadi ingin jujur tentang sesuatu. Tentang diriku,"
Terdengar suara menelan ludah.
"aku sebenarnya..."
"GayV Dhimas terlongo.
"Lho, g iman a kamu bisa...?"
Ruben tertawa keras.
"It was so obvious! Dari teman-teman hang-out kamu, apartemen kamu yang katanya di Dupont Circle... dan kamu harus fly dulu untuk ngaku?! Ha-ha-ha!"
Dhimas ikut terbahak. Merasa konyol.
"Tenang saja. Memangnya aku bukan?"
Ruben berkata enteng. Untuk kedua kalinya Dhimas terlongo.
"Tidak mungkin... kamu kelihatannya sangat..."
"Sangat 'laki? Siapa bilang jadi gay harus ktemakklemek atau ngomong pakai bahasa bencong! Gini-gini aku sudah 'coming ouf dari setahun yang lalu. Orang tuaku juga sudah tahu. Malah mereka sudah kompak, katanya kalau sampai aku dipanggang di neraka bersama para pemburit seperti nasib Sodom dan Gomorah, mereka bakal minta ke Yahweh untuk ikut dibakar. Soalnya kalau aku dianggap produk gagal, berarti mereka juga. Hebat, ya?"
Dhimas tidak mampu berkata-kata lagi. Ia serasa menemukan pahlawan sejati.
"Aku ingin membuat ikrar. Tolong jadi saksinya, ya."
Ruben sudah berhenti melayang. Pikirannya kini menjejak kokoh ke tanah.
"Ikrar apa?"
"Sepuluh tahun dari sekarang, aku harus membuat satu karya. Satu masterpiece. Satu tulisan atau riset yang membantu menjembatani semua percabangan sains."
"Sepuluh tahun? Lama amat."
"Time flies, my friend."
"Fine. Sepuluh tahun buatmu, sepuluh tahun juga buatku. Satu masterpiece. Roman yang berdimensi luas dan mampu menggerakkan-hati banyak orang."
N "So help us God."
Keduanya langsung memulai kembara imajinasi masing-masing. Lama mereka terdiam.
"Eh,"
Dhimas tiba-tiba berceletuk.
"katanya, zat keparat ini akan mengendap di sel lemak sampai bertahun-tahun."
"Berarti satu waktu kita akan kembali ke momen ini lagi? Haleluya!"
"Dan semoga, kalau saat itu datang, kita bisa mengalaminya bersamasama lagi."
Mendengar itu, kepala Ruben otomatis menoleh.
Mendapatkan Dhimas yang sedang tersenyum tulus menatapnya.
Sepuluh tahun berlalu, dan senyum itu tetap sama.
Senyum yang mengantarkannya naik ke podium dan berpidato saat diwisuda dengan predikat cum laude.
Senyum yang menyuruhnya tidur saat ia keseringan begadang karena menyusun makalah seminar.
Senyum yang tabah mengiringi suka-dukanya selama jadi dosen.
Dan Ruben pun masih tetap pahlawan Dhimas yang dulu.
Si IndoYahudi bersemangat tinggi yang selalu sibuk menggabunggabungkan ilmu psikologi dengan teori-teori kosmologi yang cuma bisa ia mengerti sendiri.
Ruben yang selalu menyebut dirinya sang Psikolog Kuantum.
Kobaran semangatnya mampu menyalakan tungku banyak orang.
Dengan ide-idenya yang segar, Ruben adalah inspirator sekaligus kritikus paling sempurna buat Dhimas.
Tak ada tulisan ataupun naskahnya yang tidak lebih dulu terplonco diskusi panjang dengan Ruben.
Malam di Watergate Condominium adalah badai serotonin mereka terahir.
Tiga bulan dan dua puluh satu hari berikutnya, mereka dilanda badai baru.
Badai endorfin.
Hormon cinta.
Uniknya, sekalipun sudah sekian lama mereka resmi menjadi pasangan, Ruben dan Dhimas tidak pernah tinggal seatap sebagaimana biasanya pasangan gay lain.
Kalau ditanya, jawabannya.
supaya bisa tetap kangen.
Tetap Yang ada Hanyalah ada "Happy 10th Anniversary, Ruben."
"Happy Anniversary to you too, dear Soulmate."
Semilir angin Ibu Kota yang hangat menyusup masuk -lewat celah jendela ruang tengah Ruben.
Sebuah rumah simpel di daerah selatan Jakarta.
Tak banyak detail estetis dalam interiornya.
Bisa dibilang, ornamen utama rumah itu adalah buku.
Jajaran rak buku dari dinding ke dinding.
Padat.
Alfabetis.
Ruben tidak menamakan rumahnya perpustakaan hanya karena ingin terdengar lebih manusiawi.
Tidak pula ada bunga.
Tidak juga boks cokelat di atas meja bundar itu.
Di hari jadi mereka yang ke-10, yang ada malah kertas dan pulpen.
"So,"
Dhimas memasang kacamatanya.
"kita sudah sepakat kalau masterpiece ini akan menjadi karya berdua. Dan tidak dalam bentuk jurnal ilmiah, tetapi sebuah cerita."
Muka Ruben langsung bereaksi, memancarkan ketidakrelaan.
"Ruben, sudahlah. Ide kamu kemarin itu terlalu mahal, butuh riset lama, dan maaf, tapi tidak akan menarik. Bisa jadi hand-out kuliah saja sudah bagus. Kita kan butuh kemasan yang populis supaya karya ini bisa dibaca banyak orang. Sebuah roman sains, yang romantis, sekaligus puitis. Sepakat?"
Ruben cuma mengangkat alis, menyusul memasang kacamatanya. Siap menulis catatan.
"Baik,"
Dhimas kembali memulai.
"kita akan membungkusnya dalam kisah cinta yang bukan biasa-biasa, kontroversial, ada pertentangan nilai moral dan sosial."
"Let me guess, pasangan homoseksual?"
"Bukan. Isu itu masih terlalu minor untuk masyarakat kita. Aku ingin mengambil pasangan hetero tapi memiliki rintangan besar, misal, yang satu sudah menikah."
"Klise. Tapi harus kuakui, banyak dimensi di sana. Agama, moralitas, institusi... hmm, okelah, aku setuju." 13 12 dibutuhkan usaha bila ingin bertemu satu sama lain. Sepuluh tahun pun bagaikan sekedip mata.
"Menurutmu, yang sudah menikahnya lebih baik si pria, atau wanita?"
"Wanita/jawab Ruben tegas.
"Kalau pria, orang dengan gampang menyudutkan dengan dalih 'laki-laki buaya' atau 'ceweknya aja kegatelan'. Poligami pun bisa dapat pembenaran agama. Tidak ada konflik."
"a/s/l?"7
"Di bawah empat puluh tahunlah. Aku ingin tokoh-tokoh kita semuanya muda, usia produktif, urban, metropolis, punya akses teknologi dan informasi yang baik. Percuma pakai tokoh geland angan atau setting desa dengan sok-sok pakai aksesori kebudayaan daerah. Pada kenyataannya para yuppies tadi yang bakal jadi corong bangsa. Yang mampu membangun sekaligus paling potensial untuk merusak."
"Usia 20-an akhir sampai 30-an awal, lokasi Jakarta, intelek, profesional...,"
Dhimas sibuk mencatat.
"Jakarta. Aku setuju. Kota ini biangnya dualisme. Antara ingin Timur dan berlagak Timur, sembari terdesak habis oleh Barat sekaligus paling keras mengutuk-ngutuk." . Mendadak Dhimas tertawa kecil.
"Lalu, bagaimana dengan kita? Look who's talking, dude. Kita juga muda, orang-orang urban, besar di metropolitan, kuliah di luar negeri, di Amerika pulaA"biangnya kapitalis. Tidakkah kita patut digolongkan ke kategori yang sama?"
"Sarana kita boleh sama, tapi tidak menjadikan ini ikut tipikal."
Ruben menunjuk kepalanya dengan penuh percaya diri.
"Mereka itu sebenarnya manusia-manusia yang beruntung karena punya kesempatan komparasi dan kontak langsung dengan budaya global. Bergelut di dalamnya. Mencari ilmu dalam sistem dan iklim yang sama sekali lain. Tapi berapa gelintir yang menjalaninya dengan makna? Di mataku, yang gagal dan cuma ngabisin duit ortu dengan yang selesai tapi cuma jadi mesin, sama-sama saja."
Lidah Ruben yang pedas mulai berpostulasi.
"Lalu kenapa cerita itu harus menampilkan seorang Avatar8 ?"
Dhimas berujar ragu.
"Aku cemas konsep itu terlalu 7 age, sex, location . .A-VV' 8 Dalam mitologi Hindu, Avatar berarti inkarnasi dari Yang Maha Tunggal. Istilah ini juga biasa disinonimkan dengan konsep "Juruselamat"
Dan sejenisnya. Ya n o Ada Hanyalah ada mewah. Avatar adalah semacam Yang Maha Kudus mengambil wujud manusia biasa. Untuk sebuah konflik kisah cinta, haruskah kapasitas seorang Avatar yang turun tangan?"
"Ingat, di dalam sistem sekompleks semesta, tidak ada perkara yang insignifikan. Skala besar-kecil hanyalah interes pikiran mayoritas manusia yang masih tergila-gila dengan ukuran. Pada titik tertentu, kisah cinta adalah cerminan kisah masyarakatnya yang lebih luas dan kolektif. Individu selalu dibangun oleh lingkungannya, bukan begitu?"
"Aku mengerti. Jadi, sang Avatar adalah pihak netral yang akan merekonsiliasi semuanya."
"Pihak di titik nol. Netral yang bersikap,"
Tambah Ruben lagi. Dhimas pun langsung bersemangat.
"Menarik! Mari kita bahas tokoh satu ini..."
"Nanti dulu. Dia harus kita simpan paling belakang. Kembali ke pasangan hetero kita, si pria. Kita mulai dari si pria."
"Dia harus ganteng!"
Sela Dhimas cepat.
"Supaya aku semangat nulisnya."
"Yang jelas dia harus pintar, dan sukses. Bukan sukses pemberian. Dan dia juga harus diberi suasana pekerjaan yang berkonflik. Sesuatu yang menekan..."
"Multinational corporation, apa lagi?"
Dhimas mengangkat bahu.
"Sesukses apa dia?"
"Sukses dengan 'S' kapital! Cream of the crop. Kasih dia jabatan tertinggi. Tekanannya lebih besar lagi, kan?"
"Padahal sesungguhnya dia berjiwa Pujangga."
"Dhimas!"
Protes Ruben seketika.
"Sebentar dulu, itu justru akan membuat segalanya menarik! Katakanlah, sebuah konflik masa kecil akhirnya memisahkan dia dengan talenta alamiahnya, dan menjadikan dia robot sukses tapi hampa. Sampai akhirnya, semua berbalik ketika dia menemukan Sang Puteri. Di situlah esensi Cinta akan dipertanyakan! Bayangkan sebuah komputer canggih yang superteratur, tiba-tiba kacau akibat disusupi virus alien. Sementara mereka terjebak kondisi yang tidak memungkinkan pula. Tidak juga tersedia Norton Anti Virus. Siapa yang harus disalahkan? Tidakkah semua pertanyaan mengenai hampir 15 supernova segalanya akan tergodok sampai mendidih? Lalu meledak?"
Papar Dhimas bersemangat.
Ruben langsung tertarik.
Ia tahu persis, sebuah sistem yang overloaded akan mencapai titik bifurkasi yang akan diikuti terbukanya cabang baru.
Persis seperti cerita klasik tentang Epimenides, seorang Kreta, yang memberikan pernyataan 'Semua orang Kreta pembohong.' Dan ketika dimunculkan pertanyaan 'Apakah Epimenides berkata sebenarnya?', maka komputer supercanggih pun akan terjebak dalam paradoks logika tak berakhir.
Bingung antara memilih jawaban 'ya' atau 'tidak' karena keduanya jawa ban yang valid.
Tapi tidak demikian dengan manusia.
Karena itu Ruben tidak pernah setuju dengan paradigma fungsionalisme yang berpaham bahwa pikiran manusia satu bangun dengan komputer.
Otak sebagai peranti keras, dan pikiran atau mind sebagai peranti lunaknya.
Kalau betul demikian, tidak ada satu orang pun sanggup menghadapi Epimenides tanpa jadi gila.
Satu-satunya cara untuk menyelesaikan paradoks tadi adalah meloncat keluar dari sistem.
Manuver kuantum.
Sesuatu yang hanya dapat dilakukan sebuah sistem berkesadaran, tidak cuma mekanis.
Ruben pun menganggukangguk kecil sambil tersenyum puas, ia melihat gerbang kuantumnya di kondisi yang ditawarkan Dhimas.
"Baiklah, seorang Pujangga. Walaupun aku tidak punya imajinasi cukup untuk mengaitkannya dengan sosok eksekutif perusahaan multinasional."
"Tenang saja. Itu urusanku."
"Kita namakan siapa dia?"
"Jangan ditentukan sekarang. Kita pasti bakalan debat panjang soal itu. Sementara sebut saja dia 'Ksatria'."
"Ksatria yang memperjuangkan cinta Sang Puten. Berusaha melawan rintangan kasta, harus membunuh naga... oh, sungguh romantis,"
Tukas Ruben setengah mengolok. Dhimas cuma tersenyum.
"Ksatria dan Puteri. Klasik, bukan?" / "Lalu, adakah tempat buat pasangan seperti kita di negeri dongeng, my love?"
"Tentu saja tidak.-Cuma sejarahlah yang layak memuat kita berdua, pen gikut-pengikut Socrates. Buat apa lagi negeri Yang Ada Hanyalah ADA dongeng?"
Kedua pria itu duduk berhadapan.
Kehangatan terpancar dari mata mereka.
Tidak lagi bergejolak, tetapi hangat.
Hangat yang nampaknya kekal.
Bukankah itu yang semua orang^atr?^ 17 Seusai memasuki garasi rumah, ia tidak langsung turun dari mobil.
Dicermatinya semua barang satu per satu.
Diambilinya dengan penuh kesaksamaan.
Ia tidak mau ada yang ketinggalan.
Tas...
kertas-kertas...
Harvard Business Review...
charger telepon genggam...
tempat kacamata...
ia masih mencari.
Barang kecil itu.
Ia menyesal tidak langsung memasukkannya ke tempat yang aman.
Terlalu banyak yang harus ia pikirkan sehingga tak mampu lagi memungut detail-detail kecil.
Perlahan ia meraba kantong kemejanya...
ternyata ada di sana.
Ia pun tersenyum, memandangi pensil kecil dan jelek itu.
Seolah-olah menemui wajah itu sekali lagi.
Telepon rumahnya berdering.
Tergopoh-gopoh ia berlari ke dalam.
"Halo? Yah, si Ale lagi. Dasar Ambon gila. Sialan, kirain siapa."
Sahabatnya, Ale, tertawa di ujung sana.
"Halo, Re. Aku juga cuma iseng. Mau jalan malam ini?"
"Nggak, makasih. Kerjaan banyak. Aku malas kalau harus berurusan lagi dengan dia minggu ini." *Si bule kunyuk?" 18 Ksatria "Yeap. Mantan vice president-mu itu. Kena kutuk apa ya perusahaan ini, kok bisa-bisanya dia direkrut jadi regional president Aku harus report ke dia langsung lagi, every fucking month!"
"But, thank God tomorrow's Friday."
"Yah, apa bedanya? Bakal ada hari Senin sampai Jumat lagi. Kans bertemu kunyuk albino itu tetap sama. Dia masih bakalan di sini seminggu penuh,"
Rutuk Re.
"Aku iri denganmu. Kadang-kadang aku berpikir untuk keluarsaiar-lalu buka bengkel juga. Tidajc^daJagi hieiaifkiTTidakada lagi rap_alrrapat-pauj Jrtg7
"Tai sapi. Itu omong kosong besar! Akui saja Re, kamu menikmati kesibukanmu. Dan kamu memang profesional sejati, the expert planner and schemer. Kamu itu kutu loncat MNC, sama kayak si kunyuk. Taruhan, begitu kamu menempati posisiku, aku yakin kamu malah kangen ingin balik ke kantor. Ke rapat-rapat panjang itu."
"Aku tidak yakin,"
Re terkekeh.
"Yang jelas, besok kita bebas pergi ke klub. Kalau kamu berminat."
"Lihat besok. Oke?"
Re cepat menyudahi pembicaraan itu.
Ia ingin buru-buru bersantai.
Berada di bawah kucuran shower, Re berdiri, memandangi tetesan-tetesan air yang bercahaya keperakan.
Melamun.
Satu hal yang dulu tidak pernah dilakukannya, tidak dengan pikirannya yang selalu padat dan terfokus.
Namun malam ini sudah lain, begitu juga malammalam terakhir selama sebulan ini.
Ale pasti tertawa kalau tahu ia sudah bisa melamun lagi.
Rana...
Re menuliskan nama itu di pintu kaca yang penuh uap.
Mendapatkan dirinya seperti anak remaja yang jatuh cinta dan selalu ingin menuliskan nama p ujaannya di mana-mana.
Ia bohong pada Ale.
Ia tak menyentuh pekerjaannya sama sekali.
Karena Rana, secara tidak langsurtg, ia kembali menghargai betapa nyamannya berdiam dalam kaus oblong dan celana pendek, menonton acara televisi, membuat teh hangat, sekali-kali memainkan dumbel sambil baca majalah.
Badan yang santai, pikiran yang santai, memampukannya untuk melamunkan Rana lebih intensif.
Re melirik jam, hampir pukul satu malam.
Jelaslah ia tak akan bisa menghubungi Rana, ke telepon genggamnya, apalagi ke rumahnya.
Itulah gunanya melamun.
Untuk membangkitkan apa-apa yang tak mampu disentuhnya langsung, membiarkan pikirannya terstimulasi dalam simulakrum, dan puas karenanya.
Re sadar ia berlari dalam pelarian monoton.
Betapa~puj^ dalamnya kebahagiaan itu, selalu ada kekecewaan yang sama dalam, membayanginya terus menerus.
Oh, Puteriku...
sedang apa kau sekarang...
Malam yang melarut pun membawanya ke pos terakhir sebelum tidur.
kamar kerja.
"Love is real,-real is Love/Love is wanting to be loved/ Love is you/You and me/ Love is knowing/You can be..."
Piringan hitam album John Lennon-nya yang sudah belasan tahun kembali diputar.
Re menengadah, berputarputar di kursi.
Di meja kerjanya terdapat carikan-carikan kertas.
Carikan-carikan yang sama setiap malam selama sebulan ini.
Puteri, Kembalilah ke puri ini.
Satu semesta mungil yang mampu melumat bumi kalau aku mau membentangkannya.
Inilah nirwana yang mampu menampung perasaan kita.
Bumi punya langit sebagai jendela terhadap galaksi mahaluas yang berjaya dalam misteri.
Jendelaku adalah carik-carik kertasA"
Berisi daftar pertanyaan tentang dunia yang tak akan habis dimengerti. Bumi menggetarkan nyali dengan palung-palung dalam. Aku cuma punya beberapa piringan hitamA"
Laut pribadiku yang di dalamnya selalu ada kamu, dan kamu lagi.
Samudra kata terbelit musik dan diudarai kenangan.
Di dalamnya aku bisa berenang selama ikan.
Bumi adalah sebuah kumparan besar yang melingkarkan semua makhluk dalam kefanaannya.
Melingkarkan engkau dan aku.
Surat pertamanya untuk Rana.
Tak ada yang tahu keberadaan surat-surat itu, tidak Ale, dan tidak juga Rana sendiri.
Tapi itu tidak penting.
Yang penting adalah evolusi yang kembali menjadikannya seorang pujangga.
Untuk pertama kalinya pula Re mengerti.
ia telah memilih jalan hidup yang sederhana...
Rana.
Aku kangen kamu.
Kangen ketidakpercayaanmu.
Pesimisme-mu.
Namun kau pilihanku.
Dan Re sanggup menghabiskan berjam-jam hanya untuk kembali mengenang.
Pertemuan itu.
Merunuti satu demi satu rantai waktu yang membelitnya hingga kini.
Untung saja ia menerima permohonan wawancara itu...
kalau tidak...
untung saja jadwal hari itu kosong...
kalau tidak...
untung saja ia bekerja di kantornya...
kalau tidak...
untung saja ia hidup...
kalau tidak...
Semua berawal dari satu gerakan.
Semua berawal dari satu ide.
Semua berawal dari satu getar sel abu-abu.
...
Re tidak pernah mau diwawancara.
Deretan majalah dan surat kabar berburu untuk memuat artikel tentang dirinya.
Dari mulai majalah bisnis betulan sampai majalah wanita yang ingin menjadikannya pria bulan ini.
Ia memang sukses, setidaknya menurut standar umum.
Baru ulang tahun ke-29 tapi sudah jadi managing director.
Tampangnya jauh dari kategori jelek.
Sampai sekarang masih banyak agency yang menawarinya jadi bintang iklan.
Tapi menurut Re, yang lebih gila adalah 21 rumah-rumah produksi yang menginginkannya main sinetron.
Agaknya mereka benar-benar tidak tahu kehidupan seperti apa yang dijalani seorang managing director sebuah perusahaan multinasional.
Banyak yang mengira ia menjalani kehidupan jet set, bergelimang wanita cantik, dan pesta-pesta gila.
Apa yang dibayangkan kebanyakan orang jauh berbeda dengan apa yang sesungguhnya ia jalani.
Ia selalu mendapatkan fasilitas nomor satu.
Terbang dengan first class, mobil dinas setidaknya harga lima ratus jutaan, dan akomodasinya hampir selalu bintang lima.
Namun ia melewati semuanya dalam keadaan berpikir, membuka-buka lembaran faks, menerima laporan ini-itu, telepon dari sana-sini yang tak mengizinkannya menikmati pemandangan jalan.
Wanita cantik ada di mana-mana.
Lebih dari tiga lusin yang pernah ditawarkan untuk 'dipakai'.
Ia menyapa semuanya dengan ramah, atau hanya memandangi dari jauh.
Terlalu banyak pekerjaan yang tak bisa ditunda.
Pesta-pesta gila.
Mungkin ada.
Dan ia sudah mengunjungi puluhan pesta.
Tapi sebelum pesta-pesta itu menjadi benar-benar gila, ia sudah tidak ada di sana.
Re harus mengatur energinya untuk hari esok.
Namun dari semua pagi yang ia jalani di kantor.
Re harus mengakui pagi satu itu memang lain.
Ia sudah merasakannya.
Pagi yang menjadi kunci pertemuan pertamanya dengan Rana.
Re agak kaget ketika mendapatkan jadwal tiga jam pertamanya di pagi itu kosong.
Ia bertanya lagi pada sekretarisnya.
"Irma, kamu yakin saya tidak ada urusan apa-apa pagi ini?"
"Tidak, Pak."
Re otomatis mengetuk-ngetukkan bolpoin.
Sebelah kakinya bergetar gelisah.
Tidak banyak telepon.
Tidak banyak e-mail.
Tidak banyak laporan baru di meja.
Re merasa ada yang salah.
Tanpa ada alasan yang jelas ia menghampiri jendela ruang kerjanya, membukanya sedikit.
Tak lama kemudian, suara Irma muncul dari speaker teleponnya.
"Pak, ada lagi majalah yang minta wawancara. Majalah baru. Ia menanyakan kesediaan Bapak."
Ksatria "Nggak ada kapoknya itu orang-orang,"
Gumam Re. Cukup terkesan akan sikapnya yang tidak langsung menolak mentah. Ia lebih memperhatikan seekor kupu-kupu yang terbang di dekat jendela. Sungguh ganjil ada kupu-kupu mungil berwarna putih terbang di ketinggian gedung seperti ini.
"Majalah apa itu?"
"Majalah wanita."
Tawa kecil spontan menyembur dari mulutnya.
"Kemarin sore mereka datang dan mengantarkan sampelnya. Itu, sudah saya taruh di meja Bapak."
Ia membongkari tumpukan di ujung kiri mejanya.
"Oh, ya, ini dia."
Re membuka-buka sekilas. Tak ada yang menarik. Program otaknya siap menolak.
"Irma..."
Kalimat itu menggantung.
Perhatian Re teralih pada kupu-kupu mungil yang terbang memasuki ke ruang kerjanya, menari lincah dan dengan polos hinggap di meja.
Dekat majalah itu.
Mendadak Re memperhatikan sesuatu; logo majalah itu adalah...
kupu-kupu.
Untuk pertama kali setelah sekian lama, timbul sebuah keheningan dalam pikirannya.
Re tercenung.
"Pak? Saya tolak saja, ya?"
"Nanti, nanti dulu."
Re sadar ia akan melakukan sebuah keputusan intuitif.
"Kasih tahu mereka kalau saya bersedia. Tapi..."
Kupukupu mungil itu terbang lagi. Berputar-putar di jendela, dan kembali menemukan jalan keluarnya. Re tercenung untuk yang kedua kali.
"Tapi kenapa. Pak?"
Programnya dengan cepat kembali normal.
"Tapi mereka hanya punya tiga jam ke depan ini. Lebih cepat mereka bisa datang lebih banyak waktu yang mereka punya. Kalau tidak bisa, ya sudah."
Intuisi.
Sudah lama Re tidak menerapkan konsep itu.
Pikirannya setajam dan serapi komputer Pentium.
Komputer tidak pernah memberikan ruang-pada intuisi.
Kurang dari dua jam, seorang wanita tergopoh-gopoh sampai di lantai gedung itu.
Napasnya masih terengah-engah.
"Saya belum terlambat, kan?"
Tanyanya setengah panik* Reporter itu cepatcepat mengatur napas.
Ia tidak punya banyak waktu untuk menenangkan diri.
Menyusun konsep wawancaranya saja belum sempat.
Tidak tahu apa jadinya nanti, sementara ia tahu persis kaliber seperti apa yang bakal dihadapi.
"Silakan."
Irma membukakan pintu. Wanita itu berusaha setengah mati untuk nampak tenang. Tidak menyangka dirinya akan langsung disambut dengan gerakan melihat jam tangan.
"Selamat siang. Anda punya waktu satu jam sepuluh menit. Ferre,"
Re menjabat tangan wanita itu. Terasa sangat dingin.
"Panggil saya 'Pak' atau 'Re', terserah."
"Rana,"
Suaranya bergetar.
Perlahan ia mengeluarkan peralatannya.
buku catatan, bolpoin, tape recorder.
Ia memberanikan untuk melirik sedikit.
Ternyata pria ini lebih tampan dari yang dibicarakan orang, dan dia pasti tidak tahu sosoknya sudah nyaris menjadi mitos.
Hasil publisitas mulut ke mulut'akan sangat dahsyat bila beredar di segmen yang tepat, dan kepenasaranan akan profil pria ini bukan cuma lingkup antar kantor lagi, tapi sudah menjadi kepenasaranan massa.
Bahan rumpian di salon atau klub kebugaran.
Rana termasuk salah satu yang termakan.
"Ada lagi yang kita tunggu?"
Re me ngusik lamunan singkatnya. Saking gugupnya. Rana malah mengeluarkan gumaman-gumaman aneh. Ia sungguh tidak tahu harus memulai dari mana. Ini sangat memalukan.
"Maaf, kalau boleh tahu, umur Anda berapa?"
Keningnya langsung berkerut.
"Dua puluh delapan. Kenapa?"
U Re tertawa renyah.
"Sori. Sori. Bukan kenapa-kenapa. Saya kira saya akan diwawancarai reporter senior yang umurnya setidaknya 3540 tahun."
Rana mulai terusik.
"Saya wakil pemimpin redaksi. Mungkin fenomenanya sama seperti Anda, hanya beda skala, beda bidang/ ia menjawab lugas. Sikap duduknya berubah santai. Suaranya memantap, pandangan menjadi berani.
"Jujur saja, akibat pemberitahuan Anda yang mendadak, saya tidak mempersiapkan apa-apa. Saya hanya membawa biodata standar untuk diisi, yang 24 Ksatria bisa juga dijadikan bahan. Atau kita bisa mulai dari udara."
"Udara?"
Badan Re langsung condong ke depan. Pertanda ia mulai tertarik. Dan wanita ini memang mulai jadi menarik.
"Itu istilah saya pribadi. Maksudnya, kita bisa mulai dari mana-mana. Pembicaraan yang tidak berskema kadang-kadang malah lebih punya bobot daripada yang direncanakan."
"Saya setuju,"
Re tersenyum.
"tapi ngomong-ngomong, ini untuk rubrik apa, ya?"
"Mungkin tidak menantang buat Anda sama sekali, rubriknya berjudul 'Impian Siang Hari'. Terjemahan harfiah dari daydreaming. Memang kenyataannya figur seperti Andalah yang sering dijadikan impian siang bolong para wanita. Artikel ini ingin menambahkan bahan bagi mereka untuk bermimpi. Mendekatkan mereka pada impiannya. Itu saja,"
Jelas Rana diiringi tawa kecil.
"Oh, jadi, di tengah masyarakat yang krisis produktivitas ini, Anda dan majalah Anda malah mendorong orang-orang untuk bermimpi siang bolong?"
Wajah lucu itu langsung mengeras.
"Di antara kepadatan aktivitas Anda, pernahkah Anda menyempatkan diri untuk berkhayal, melamun?"
Rana balik bertanya, garang.
"Syukurnya, tidak."
"Manusia bermimpi tidak hanya waktu ia tidur. Menurut saya, mimpi adalah bentuk lain dari kreativitas. Menjadi kreatif tidak kenal siang atau malam. Ada banyak pekerjaan yang masih punya ruang untuk inspirasi, namun banyak juga pekerjaan yang menyita segalanya. Pekerjaan tanpa mimpi, atau tanpa waktu untuk bermimpi, adalah pekerjaannya robot. Bukan manusia,"
Tandas Rana berapi-api. Wajah Re tidak menunjukkan reaksi, lain dengan hatinya yang tertusuk.
"Barusan adalah pertanyaan pertama Anda?"
Tanyanya datar. Diam-diam Rana menyesal. Begitu cepatnya ia terpancing.
"Mengapa kupu-kupu?"
"Ha?"
Lagi-lagi Rana tidak siap. Ia mulai bingung, siapa mewawancarai siapa. Bahkan tape recorder-nya belum dinyalakan. Di balik penampilannya yang serba charming. 25 orang ini begitu provokatif.
"Logo majalah Anda, mengapa dipilih kupu-kupu?"
Rana tidak pernah tahu persis.
"Mungkin karena kupu-kupu adalah lambang metamorfosis bagi semua orang? Atau bisa juga karena... eh... di masyarakat kita kupu-kupu merupakan pertanda kedatangan tamu? Dan majalah saya ingin menjadi tamu yang diinginkan di setiap rumah."
"Tadi pagi saya kedatangan kupu-kupu. Bayangkan, di gedung setinggi ini, ada kupu-kupu kecil yang masuk lewat celah jendela."
"Mungkin itu artinya Anda akan kedatangan saya, kupu-kupu sebesar orang berbaju putih,"
Dengan Jenaka Rana mengacungkan ujung kemeja putihnya.
"Aneh... kupu-kupu tadi juga warnanya putih,"
Re menggumam. Ini semua terlalu naif untuk disebut kebetulan.
"dan pasti Anda juga yang memilih nama rubrik itu."
"Memang betul. Kok bisa tahu?"
Rana terkesan.
"Kamu baru di ruangan ini sepuluh menit, tapi semuanya seperti jelas. Mungkin kamu memang orang yang berkepribadian kuat, signifikan. Bagus."
Re tersenyum. Hangat. Senyum dan kata kamu terasa mencairkan sesuatu. Dan Rana mulai merasa nyaman berada di hadapan Sang Mitos.."Oke, saya mulai dari awal. rumah dan keluarga."
Rana menyalakan tombol record.
"Sebesar apa peran orang tua kamu dalam pembentukan karakter, atau karier?"
"Ibu saya meninggal ketika umur saya 5 tahun. Saya sendiri belum pernah bertemu ayah saya. Akhirnya saya tinggal dengan kakek dan nenek. Waktu umur saya 11 tahun, keduanya meninggal dunia. Dan mereka telah me ninggalkan wasiat untuk menitipkan saya di keluarga sahabat kakek di San Fransisco, berikut semua biaya hidup dan sekolah saya sampai selesai. Kakek saya persiapannya luar biasa, ya?"
Re menarik napas sebentar.
"Jadi, kalau ada figur orang tua yang paling berperan, mereka adalah kakek nenek saya. Dan tentu saja, Gregory Tanner, sahabat Opa yang sudah seperti ayah saya sendiri."
Wajah itu begitu datar. Seolah tidak ada secuil pun unsur dramatis dari cerita masa kecilnya. Malah Rana yang tercenung. Di kamusnya, tidak ada air muka yang Ksatria sebrilian itu selain ekspresi Mr. Bean saat di belakang stir mobil Morrisnya.
"Re...?"
Ia pun menyebutkan nama itu seolah-olah meminta izin.
"Apa cita-cita kamu waktu kecil? Dokter? Insinyur? Ingin seperti Pak Habibie?"
Pria itu tertawa. Teringat daftar cita-cita klasik yang jadi pedoman anak-anak SD dulu.
"Kamu sendiri, Rana?"
"Bintang film,"
Rana nyengir.
"Kalau kamu?" [ Tidak ada yang tahu betapa sulitnya pertanyaan itu. Re dipaksa untuk menyusuri kelamnya gua masa kecil yang penuh lumpur. Mungkin inilah goronggorong saluran sekresi psikologis. Tidak heran Freud tergila-gila. Tak ada yang lebih menarik daripada menyaksikan seseorang menyelam ke septic tank kotorannya sendiri ] Cita-citanya adalah getarannya yang pertama. Ia alami ketika sedang membereskan rak-rak taman bacaan tua milik Opa. Di sana. Re menemukan carikan kertas perdananya. Sebuah potongan komik... ada gambar seorang ksatria dan seorang puteri. Ksatria jatuh cinta pada puteri bungsu dari Kerajaan Bidadari. Sang Puteri naik ke langit. Ksatria kebingungan. Ksatria pintar naik kuda dan bermain pedang, tapi tidak tahu caranya terbang. Ksatria keluar dari kastil untuk belajar terbang pada kupu-kupu. Tetapi kupu-kupu hanya bisa menempatkannya di pucuk pohon. Ksatria lalu belajar pada burung gereja. Burung gereja hanya mampu mengajarinya sampai ke atas menara. Ksatria kemudian berguru pada burung] elang. Burung elang hanya mampu membawanya ke puncak gunung. Tak ada unggas bersayap yang mampu terbang lebih tinggi lagi. Ksatria sedih, tapi tak putus asa. Ksatria memohon pada angin..27 Angin mengajarinya berkeliling mengitari bumi, lebih tinggi dari gunung dan awan. Namun Sang Puteri masih jauh di awang-awang, dan tak ada angin yang mampu menusuk langit. Ksatria sedih dan kali ini ia putus asa. Sampai satu malam ada Bintang Jatuh yang berhenti mendengar tangis dukanya. Ia menawari Ksatria untuk mampu melesat secepat cahaya. Melesat lebih cepat dari kilat dan setinggi sejuta langit dijadikan satu. Namun kalau Ksatria tak mampu mendarat tepat di Puterinya, maka ia akan mati. Hancur dalam kecepatan yang membahayakan, menjadi serbuk yang membedaki langit, dan tamat. Ksatria setuju. Ia relakan seluruh kepercayaannya pada Bintang Jatuh menjadi sebuah nyawa. Dan ia relakan nyawa itu bergantung hanya pada serpih detik yang mematikan. Bintang Jatuh menggenggam tangannya.
"Inilahperjalanan sebuah Cinta Sejati,"
Ia berbisik.
"tutuplah matamu, Ksatria. Katakan untuk berhenti begitif hatimu merasakan keberadaannya."
Melesatlah mereka berdua. Dingin yang tak terhingga serasa merobek hati Ksatria mungil, namun hangat jiwanya diterangi rasa cinta. Dan ia merasakannya...
"Berhenti!"
Bintang Jatuh melongok ke bawah, dan ia pun melihat sesosok puteri cantik yang kesepian.
Bersinar bagaikan Orion di tengah kelamnya galaksi.
Ia pun jatuh hati.
Dilepaskannya genggaman itu.
.Sewujud nyawa yang terbentuk atas cinta dan percaya.
Ksatria melesat menuju kehancuran.
Sementara Sang Bintang mendarat turun untuk dapatkan Sang Puteri.
Ksatria yang malang.
Sebagai balasannya, di langit kutub dilukiskan Aurora.
Untuk mengenang kehalusan dan ketulusan hati Ksatria.
28 ksatria Mata Re berkaca-kaca, ada kepedihan yang tak bisa dijelaskan.
Untuk pertama kalinya ia menangis bukan karena jatuh dari sepeda atau pohon jambu.
Bukan karena digigit anjing atau semut rangrang.
Malam itu ia pun berkeluh kesah pada neneknya, berceloteh mengenai ketidakadilan cerita itu.
Bagaimana mungkin ketulusan Ksatria dihargai hanya dengan aurora.
Memangnya aurora itu apa? Sebagus a pa pula dia? Neneknya menenangkan.
Itu hanya dongeng.
Re.
Satu dongeng sedih yang tak sengaja kamu temukan.
Masih banyak dongeng lain yang berakhir bahagia.
Sayangnya, Re tak cepat percaya.
Sampai akhirnya Oma terpaksa menceritakan puluhan dongeng yang berakhir bahagia, semalam suntuk.
Lagi-lagi, Re tak cepat puas.
Ia menanyakan dongeng lain yang lebih sedih lagi.
Ternyata tidak ada, atau Oma yang tidak tahu.
Opa juga tidak.
Cerita mengenai serdadu timpang yang jatuh cinta pada penari ballet...
tidak, keduanya saling mencintai.
Tidak ada pengkhianatan.
Dia jatuh ke api karena kehilangan keseimbangan.
Cerita puteri duyung yang akhirnya berubah jadi buih...
tidak, ia termakan sumpahnya sendiri.
Pangeran yang dicintainya pun tidak lantas direbut oleh si penyihir.
Suara kecilnya berkata lirih.
Aku ingin jadi Ksatria, Oma.
Namun ketika ditanya.
untuk apa? Re tidak bisa menjawab.
Di usianya, begitu banyak keterbatasan kata yang menghambatnya bercerita.
Bagaimana ia ingin membalikkan kisah itu.
Membuat Bintang Jatuh benar-benar jatutr ke julang galaksi yang paling dalam.
Ia ingin Puteri itu menyadari bahwa sang Ksatrialah yang terbaik.
Yang telah keluar dari kastilnya yang nyaman demi bisa terbang.
Yang mau mempertaruhkan nyawa sekadar untuk bertemu.
Tidakkah ada yang melihat? Betapa ketulusan bisa menjadi teramat konyol.
Hasrat yang berlebih tanpa persiapan bisa berakibat fatal.
Percaya membabi-buta pada pihak asing bisa jadi senjata makan tuan.
Strategi.
Kemandirian.
Itu dia kuncinya.
Ia melihat itu semua, tanpa bisa mengungkapkan.
Oma lalu membelai rambutnya.
Re yang manis, umurmu masih sepuluh tahun.
Kamu belum cukup besar untuk jadi Ksatria.
Kapan-kapan saja, ya.
Kalau kamu sudah gede.
29 Tak sampai setahun.
Oma meninggal.
Disusul Opa setahun kemudian.
Malaikat-malaikat berambut putih yang telah merawat dan membesarkannya, yang mengajarinya huruf dan angka, membacakan untuknya cerita, dan mengajaknya berdoa.
Re menganggap kejadian itu adalah konsekuensi cita-citanya.
Rupanya Tuhan mendengar ikrarnya waktu itu.
Bertahun-tahun ia telah memusingkan mereka dengan pertanyaannya yang tak ada habis, dan kehausannya akan kisah-kisah.
Kali ini ia harus membuat kisahnya sendiri.
Tidak.
Ia tidak sempat diajari untuk ingin jadi insinyur.
Jadi pilot.
Atau jadi seperti Pak Habibie.
Satu-satunya cita-cita yang ia ingat dan terus ia lakoni...
...menjadi Ksatria.
Dengan kisah yang sama sekali berbeda.
Tak termakan cinta dan percaya.
Mampu belajar terbang tanpa dibantu siapa-siapa.
Berawal dari satu getar sel abu-abu.
Lama-lama Rana menyadari jeda kosong yang tidak lagi wajar.
"Maaf, cita-cita waktu kecil?"
Ia mengulang hati-hati.
Re mendongak.
Wajah yang satu ini mengundang kejujuran.
Tidak tahu kenapa.
Konon, kita memang tidak pernah tahu akan bertemu dengan siapa hari ini atau esok lusa.
Dan di siang hari ini ia menemukan seseorang yang memaksanya kembali ke masa lalu.
Hidup memang aneh.
Banyak penjelasan dalam ketidakjelasannya.
"Saya ingin jadi... Ksatria,"
Ia menjawab pelan. Dan masih betapa jauhnya ia dari cita-cita itu.
"Maksud kamu, jadi ABRI, begitu? Atau pendekar silat?"
"Yah, kira-kira."
Rana geleng-geleng kepala.
"Saya sudah menduga, jawaban pertanyaan ini pasti penuh kejutan."
"Bagi saya, pertanyaan kamulah yang mengejutkan."
Rana menatap pria itu. Ada intensitas dalam adu pandang mereka yang hanya dua detikA-(Inilah saat suara piano akustik muncul sebagai ilustrasi) ksatrla Rana langsung salah tingkah. Saat itu ia belum sepenuhnya sadar, sebenarnya ia tidak sendirian.
"Kamu punya waktu sampai makan siang kan?"
Re bertanya.
(Inilah saatnya sekawanan biola mengalun rnasuk) Rana mengangguk.
(Terlalu cepat.
Tak ada yang bisa disembunyikan.
Termasuk cincin emas polos yang melingkar di jari manisnya) Re baru menyadari keberadaan cincin itu ketika mereka pergi makan siang berdua.
"Kamu menikah?"
"Iya..."
Suara Rana mengambang seperti awan.
"Sudah berapa lama?"
"Tiga tahun."
"Berarti, waktu kamu masih 25 tahun? Relatif cepat juga ya, untuk ukuran modern yang saya tahu sekarang. Ada alasan khusus?"
"Orang tua. Terutama mertua saya. D aripada membuka kemungkinan berzinah, katanya, lebih baik disuruh nikah cepatcepat. Toh sudah pada lulus kuliah, sudah bisa kerja."
Mata Re membelalak tak percaya.
"Oh, ya? Saya kok baru dengar alasan seperti itu."
"Buat seseorang yang dari SMP sudah pergi sekolah ke San Fransisco, mungkin jadi hal baru."
Rana tak menceritakan bagian di mana ia benar-benar mabuk cinta.
Mabuk akan imaji cinta yang terwujud dalam bahtera rumah tangga; pasangan muda, rumah milik bersama di real estat baru, kredit mobil ditanggung berdua, mendorong kereta belanja sambil bergandengan tangan di supermarket, berdebat soal deterjen merek apa, mie instan apa, dan sambal botol keluaran pabrik mana.
"Bagaimana rasanya menikah? Menyenangkan?"
Kali ini Re menyempatkan diri untuk menatap mata Rana yang nampak seperti gas helium. Sorot yang tak berpijak.
"Yaah, begitulah,"
Rana mencoba bersikap kasual.
"memang sih, tidak terlalu mirip dengan apa yang saya bayangkan dulu, tapi oke-oke saja." 3i Supernova "Sori, mungkin tidak pada tempatnya saya bertanya-tanya seperti itu. Cuma saya selalu terkesan pada orang-orang yang mampu berkomitmen tinggi soal cinta, karena saya sendiri tidak pernah punya hubungan serius."
"Maksud kamu... tidak sempat?"
"Tepat! Itu faktor utama.1"
Re tergelak.
"Separah itukah?"
Tawanya menghilang seketika.
"Sepatutnyakah itu disebut parah?"
Re bertanya sungguh-sungguh.
"Bukannya gitu?"
Rana pun terheran-heran.
"Dengan pekerjaan yang rawan stres, masa kamu tidak ingin punya seseorang yang bisa bikin kamu nyaman? Seseorang yang bisa memasakkan kamu makan malam, diajak ke bioskop, jalan-jalan, shopping..."
"Sebentar, sebentar,"
Potong Re.
"satu-satu dulu. pertama, saya tidak suka shopping. Untuk jalan-jalan atau nonton saya punya beberapa sahabat yang bisa diajak pergi. Saya punya pembantu di rumah yang jago masak, well, saya sendiri lebih sering makan di luar. Dan saya pikir saya punya kemampuan independen untuk menciptakan rasa nyaman... tapi, TAPI, kalau ternyata ada satu orang yang bisa menjalankan semua fungsi itu sekaligus, hmm, boleh juga."
Ia tersenyum.
"Itukah alasan kamu menikah, Rana? Karena menemukan paket all in one?" ^Kira-kira... iya."
Nada bicaranya semakin mirip balon gas lepas. Mengapung tanpa arah.
"Tapi, tidak seperti apa yang kamu bayangkan?"
Rana menghela napas.
"Banyak sisi yang ikut muncul, sisi yang sebenarnya pasti ada, tapi tidak pernah diharapkan. Nah, di sanalah gunanya komitmen."
"Komitmen memang alasan paling bagus untuk berkompensasi."
Rana benar-benar tidak suka pembicaraan ini.
"Mungkin itu salah satu alasan saya kenapa tidak pernah mau serius berkomitmen. Kompromi di pekerjaan bisa dihitung harganya. Tapi untuk urusan hati, saya pikir siapa pun setuju, harganya tidak ternilai,"
Ujar Re dengan ringannya.
"Cinta kan butuh pengorbanan,"
Tukas Rana pelan. Ksatria "Lalu idiot mana yang menulis. love shall set you freeV. Tadinya saya pikir, cinta seharusnya adalah tiket menuju kebebasan, bukan pengorbanan. Agaknya konsep itu terlalu utopis, ya?"
Lama mereka berdua terdiam. Terlalu lama, sehingga menyiratkan segalanya.
"Wawancara yang sangat menarik, terima kasih. Bukti terbitnya akan saya kirim."
Rana pun bangkit berdiri.
"Tidak ada kartu nama?"
"Oh, ya... sebentar,"
Dengan sigap Rana mengambil selembar, menuliskan nomor telepon genggamnya, dan merasa lega. Ia ingin meninggalkan jejak.
"Ini kartu nama saya."
Re langsung menuliskan nomor telepon genggamnya. Rana benar-benar lega. (Inilah saatnya piano itu kembali mengalun. Mengiringi langkahlangkahnya yang ringan dan penuh sukacita) "Rana..."
Gadis itu menoleh, bola matanya bersinar indah. Tak ada yang bisa memungkiri, ternyata di sanalah hati Re tertambat. Di sinar mata yang siap mendobrak kungkungan demi mimpi yang setinggi langit. Sinar mata yang mengingatkan pada dirinya sendiri.
"Kamu anak bungsu?"
"Kok tahu?"
Re cuma tersenyum kecil, mengangkat bahu.
Puteri bungsu dari Kerajaan Bidadari.
Tak kusangka akan menemukanmu secepat ini.
(Alunan biola kembali terdengar) Sampai sekarang.
Re pun masih bisa mendengarnya.
Tapi terkadang bunyinya amat sumbang.
M engoyak, dan menyayat.
Ia ingin tidur.
n KEPING Keresahan yang Terabaikan Aku masih tidak mengerti/' Dhimas memandangi catatannya.
"pria semacam Ksatria bisa mendapatkan siapa saja yang dia mau. Berarti, kalau sampai dia jatuh cinta, wanitanya harus luar biasa! Sementara yang kamu deskripsikan tadi masih biasa-biasa saja. Okelah, dia wanita karier, alumnus PTN ngetop, tampangnya lumayan, tapi itu kan tidak menjamin dia jadi sosok yang spesial..."
"Justru itu,"
Sela Ruben cepat.
"Di sanalah misteri cinta, bukan? Ketika hati dapat menjangkau kualitas-kualitas yang tidak tertangkap mata. Pria itu melihat sesuatu yang lain..."
"Sesuatu yang lain, heh? Nih, aku sudah bisa merangkum hidup Puteri.kita dengan mudah. lahir-TK-SD-SMP-SMA-kuliah-kerja-nikah-punya anak-punya cucu-matidimakan cacing. Gejolak apa yang bisa kamu harapkan dari orang yang hidupnya tipikal seperti itu?"
"Loncatan kuantuuum, Dhimaaas!"
Ruben berseru gemas.
"Tidakkah kamu lihat? Kita butuh tipikalitas itu. Kita butuh kejenuhan. Karena dengan demikian kita bisa menunjukkan ada sekrup kecil yang longgar. keresahan yang terabaikan."
"Apa?" 34 kereaahan yang Terabaikan "My love, andaikan kamu bisa membayangkan betapa kompleksnya sistem pemikiran manusia/ mata Ruben menerawang.
"dalam sistem sekompleks itu, cermin siap berbalik kapan saja. Order... chaos... semudah membalikkan tangan! Otak manusia hampir setiap saat berada di percabangan menuju bifurkasi. Satuu... saja turbulensi kecil, berasal dari kumulasi keresahan, akan membawa tokoh kita ke titik kritis yang bisa menjadikannya apa saja!"
Maksud Ruben mulai terbayang oleh Dhimas.
"Hmm, keresahan yang terabaikan, aku suka itu/ katanya sembari menggigiti ujung pulpen.
"Satu masalah abstrak, yang saking abstraknya malah jadi tidak terperhatikan. Padahal sangat-sangat esensial dan berpengaruh hebat ketika teramplifikasi."
"Bicaramu semakin mirip aku. Bagus!"
"Jangan ge-er dulu. Siapa juga yang mau jadi wong edan kayak kamu."
"Masalah apa ya kira-kira? AbstrakA"tapi sangat esensial. Merabayangimu seumur hidup seperti hantu penasaran."
Dhimas menyeringai.
"Ayolah, Ruben. Kamu tahu persis itu apa." 35 KEPING Puteri TVengan kepala bersender ke kaca, ia mengamati truk-jj truk yang lalu lalang di jalanan. Membaca hampir semua plang toko yang terlewati. Tidak juga melewatkan billboard dan spanduk yang membentang di kirikanan. Kebiasaan yang tak pernah berubah. Sayangnya, kini semua itu tidak lagi bermakna, berbeda dengan mata bocahnya dulu. Rana tidak tahu apa yang hilang. Mata yang sama, manusia yang sama, tapi pandangan yang sama sekali lain. t;>wA Mobil itu berhenti.
"Aku jemput jam tujuh?"
Suaminya, Arwin, berkata.
"Ya, Mas. Kalau ada perubahan, nanti saya telepon."
Ketika mobil itu meninggalkannya.
Rana masih tidak beranjak.
Ia berdiri tegak di lobi, kaki menjejak ke tanah, tapi tidak demikian dengan pikirannya yang sibuk mencari...
bertanya...
di mana batas itu? Batas ketahanannya untuk terus bersandiwara.
Ia iri pada dirinya yang dulu.
Rana yang tidak sadar.
Rana yang tidak terganggu dengan hidup monotonnya.
Rana yang tidak keberatan memiliki hati dingin tanpa api.
Rana yang tak pernah bertanya.
Lihat bagaimana sekarang 36 Puteri pikirannya kewalahan mencari, mengais-ngais tumpukan dokumen usang...
dan, oh, coba tengok apa yanq ia temukan.
y y ia ^ Rana yang baru lulus kuliah Setelah lima tahun mengonsumsi ilmu teknik industri yang sama sekali tak diinginkannya itu, ia akhirnya terbebas dari utang pada orang tua, sekaligus menghabisi masa lima tahun mereka membanggabanggakan anaknya yang lulus UMPTN, masuk ITB, dan kuliah teknik.
Kini Rana bebas memilih.
Terjun ke dunia jurnalistik, jadi reporter, sibuk ke sana-sini dan bertemu banyak orang.
Tapi, bukan ini titik yang ia tuju.
Rana yang barusan sudah terlampau palsu.
Luwes cuma karena polesan.
Paling-paling pekerjaannya ini cuma pelarian saja.
Pikirannya pun terus mencari...
Rana pada awal usia 20 Ia bertemu Arwin.
Pria santun dari keluarga ningrat berusia tujuh tahun lebih tua.
Bibit, bobot bebetA"dan luluhlah hati kedua orang tuanya.
Entah luluh atau justru mengencang.
Orang tua mana yang tidak ingin punya'mantu dan besan seperti itu.
Punya ini-itu, saudaranya ini dan anu, temannya si pejabat A dan pejabat B.
Awalnya semua memang menyenangkan.
Bagaimana mungkin tidak kalau seluruh umat di sekitarnya memuja-muji setiap saat, berulang-ulang mengatakan betapa beruntungnya Rana dapat pria seperti Arwin.
Dan tercucilah otak itu.
'ya, aku amat beruntung', 'apa yang kurang lagi dari Arwin?', 'senangnya didukung semua orang', 'senangnya melihat kedua keluarga sering bersilaturahmi', 'tunggu apa lagi?'.
Dan terucaplah kalimat ijab kabulA"agenda pertamanya begitu lulus kuliah.
Sejenak pikirannya berhenti di hari itu...
di resepsi pernikahan mewah dalam ballroom hotel.
Resepsi impian hampir semua orang.
fasilitas kelas satu dari mulai makanan sampai penghulu, total biaya mencapai ratusan juta tapi balik modal, danA"lebih penting lagi-sederet orang-orang penting muncul.
Entah berapa rol film yang dihabiskan untuk potret bersama, sementara ketika foto-foto itu jadi, ia tidak mengerti 37 kebanggaannya.
Mungkin ia harus mundur lebih jauh lagi...
s&-Rana remaja -tfA-Gadis belasan tahun yang aktif dan ceria.
Jarang membuat masalah.
Ia teman menyenangkan dan murid yang baik.
Tapi kemudian pikirannya mensinyalir sesuatu...
ada jejak-jejak keresahan yang tak pernah terungkap.
mengapa ia harus ikut begitu banyak les tambahan? Mengapa ibunya harus ekstra ramah pada guru-guru dan tak lupa menitipkan amplopamplop setiap pengambilan rapor? Mengapa ia harus bisa menari Bali? Mengapa ia harus ikut klub renang dengan ayahnya yang sering ikut berdiri di pinggir kolam, berteriak-teriak sambil memegang stopwatch? Mengapa nilai pelajaran eksaknya harus di atas tujuh sementara ia tidak dapat pujian apa-apa kalau Bahasa Indonesia dapat nilai sembilan? Mengapa ia harus masuk jurusan A-l dan ditertawakan waktu bilang ingin ambil A-4? Mengapa ia harus hidup begitu lama dalam pembanding-bandingan, ia dengan kakak-kakaknya, ia dengan anaknya si ini atau si anu? Dan mengapa ia tidak pernah boleh pacaran dengan laki-laki yang ia suka, semata-mata karena tipenya bukan tipe orang tuanya? Gilanya lagi, belasan tahun lewat sudah, dan Rana tetap tidak punya jawaban atas itu semua.
Harapan terakhirnya...
r> Rana bocah Sekalipun sulit, tapi pikirannya berusaha keras untuk kembali...
bermain bebas di halaman belakang yang luas dengan mainan tertabur di rumput.
Terdengar suara ibunya memanggil.
'Rana! Sudah sore.
Ayo mandi, nanti ikut belajar ngaji sama mbakmu semua, ayo Nduk!\ Dan Rana kecil pun menurut.
Berhiaskan jilbab merah jambu mungil, ia berjalan riang di samping kakak-kakaknya.
Sesampainya di rumah Ibu Haji, Rana cuma diberi kertas dan pensil warna karena katanya ia masih terlalu kecil untuk mengerti.
Dan Rana memang tidak mengerti, baginya semua * itu adalah alunan bahasa asing yang konon bernama doa.
Selebihnya ia cuma diam dan sekali-sekali mendengarkan.
Yang ia tunggu adalah kuekue kecil yang keluar saat istirahat.
Tapi sore itu ada satu keresahan hinggap, dan dirinya yang polos masih mengindahkan hal semacam itu.
Tanpa ragu ia bertanya pada Ibu Haji.
'Bu, kalau Rana mau bicara sama Tuhan, gimana caranya? Rana kan nggak bisa ngaji/ Ibu Haji pun menjawab bijak.
'Kalau buat anak sekecil Rana yang belum bisa ngaji, tinggal ngomong saja langsung sama Tuhan, pasti didengarkan.' Rana pun terpesona.
Sepanjang perjalanan pulang, dalam hatinya ia memanggil-manggil.
'Tuhan...
Tuhan'.
Di benaknya tergambar muka Mork di televisi yang memanggilmanggil Orson, lalu terdengar jawaban dengan suara besar.
'Yes, Mork/ Di luar dugaannya, ternyata suara yang menjawab sangatlah halus.
Nyaris tak terdengar.
Tapi Rana yakin itu ada.
Dan mereka terus bercakap-cakap.
Tuhan ternyata lucu, sering Rana tertawatawa dibuatnya.
Ia juga sangat baik, pernah satu waktu Rana ingin sekali gulali tapi tidak bawa uang, mendadak muncul seorang bapak yang membelikan buat anaknya tapi tidak ada kembalian, akhirnya bapak itu memutuskan untuk membeli dua, yang satu diserahkan begitu saja pada Rana.
Ia pun terbengong-bengong senang.
Rana juga tidak pernah kesepian.
Setiap kali ia ingin bermain, selalu saja Tuhan menemani.
Dikirim-Nya tupai dari pohon, anak anjing yang tiba-tiba masuk pagar, atau burung yang hinggap di kepalanya begitu saja.
Ketika ia belajar baca.
Tuhan juga ikut jadi mentor.
Ia mulai bercakap-cakap lewat huruf.
Rana pernah bertanya, apakah ia akan mendapatkan satu set mainan Lego idamannya, lalu tibatiba muncul sebuah truk yang bertuliskan "Hadiah dari Mama".
Dan benar saja, ibunya membelikan Lego sebagai kado ulang tahun.
Satu pelajaran baru pun didapatnya.
Tuhan berbicara lewat banyak hal, banyak mulut, dan banyak peristiwa.
Dan dari sanalah kebiasaan itu muncul.
membisu di dalam mobil, membaca semua tulisan yang terlewat.
Sampai akhirnya percakapan itu pudar...
tulisan tinggal tulisan tanpa makna.
Bukan lagi percakapan yang terjadi, tapi kebiasaan.
Rana sudah pintar mengaji.
Al-Gur'an sudah bolak-balik 39 dilahapnya sampai berkali-kali khatam, tapi suara itu tidak pernah kembali.
Semakin ia beranjak besar, semakin banyak yang ia pikirkan.
Bari mulai pekerjaan rumah, jadwal les yang padat sampai ngobrol tentang koleksi barangbarang New Kids on the Block.
Tak ada lagi waktu untuk menyimak keheningan.
Suara-suara di sekitarnya selalu merongrong minta perhatian, sampai akhirnya tibalah ia...
Rana yang sedang berdiri di lobi Sekarang ia tahu apa yang sekiranya hilang, tapi tetap tidak tahu cara mendapatkannya lagi.
Meja makan itu terasa lengang.
Entah karena rumah besar itu hanya dihuni mereka berdua, entah karena memang ada jarak yang tercipta.
Arwin memandangi istrinya yang sedang menunduk menghadapi piring, menunggu saatsaat tepat untuk mulai berbicara.
"Rana...,"
Panggilnya lembut.
"Ya, Mas?* "Kamu kok jadi pendiam sih akhir-akhir ini? Ada masalah yang bisa aku bantu?"
Rana menunduk lagi. Ya, Mas. Aku jatuh cinta dengan pria lain. Bisakah kita kembali ke masa lalu dan tidak perlu menikah? "Kalau Mas ada salah sama kamu, bilang saja. Jangan dipendam-pendam. Komunikasi di antara kita harus dijaga tetap lancar,"
Dengan lebih lembut Arwin berkata.
"Mas Arwin nggak ada salah apa-apa, kok."
Itulah satu-satunya kesalahanmu. Mas.
"Kamu sehat-sehat, kan? Kapan terakhir kali check-up ke dokter?"
Rana lahir dengan klep jantung yang lemah.
Ditambah karena mengalami apa yang disebut atrium septal defect (ASD), di usianya yang ke-10 ia pun menjalani operasi pertamanya.
Dan tahun-tahun berikutnya ia habiskan dengan kegiatan 40 PuTKftj check-up rutin setiap enam bulan.
Arwin paling risau akan hal ini, ia ingin Rana cukup sehat untuk mampu memiliki anak.
Bagaimanapun, tahun ini adalah rencana mereka punya momongan.
"Aku sehat. Paling-paling capek sedikit."
"Kamu memang terlalu sibuk. Kok banyak sekali event yang kamu ambil, sih? Meliputnya harus malam-malam lagi. Kamu delegasikan saja sebagian. Itu kantor kan isinya bukan kamu tok."
"Iya, Mas. Akan aku usahakan."
Kesibukanku mulai terlihat tidak wajar, ya? Hmm. Akan aku usahakan supaya lebih tidak kentara. Terima kasih untuk peringatannya.
"Ibuku tadi telepon ke kantor. Akan ada acara rame-rame di Puncak hari Sabtu ini. Kita berangkat, ya? Ibubapakmu juga diundang."
Refleks, Rana melengos. Aku capek membayangkan harus memajang senyum seharian. Bosan menjawab pertanyaan 'kapan kita bisa gendong cucu?'. Bosan dengan adeganadegan sama yang berulang-ulang terus sepanjang tahun. Bosan. Bosan. Bosan.
"Kenapa? Kamu ada kerjaan?"
Arwin membaca perubahan wajah itu. Rana pun mengangguk, ragu. Aku ingin menghilang seharian, boleh? Re tidak ada acara apa-apa hari Sabtu ini.
"Aduh, Rana. Kita kan tidak setiap hari ketemu mereka. Luangkan dong waktumu sekali-sekali. Jangan cuma kalau urusan kantor baru kamu mau stand-by 24 jam 7 hari penuh/ "Aku lihat lagi agendaku."
Meja makan itu sudah masuk pusaran waktu di mana sedetik serasa seabad.
Menggenangi Rana dengan perasaan enggan, dan membanjiri Arwin dengan pertanyaan-pertanyaan.
Tidak ada yang muncul ke permukaan.
Semuanya hanya berputar dalam pusaran itu.
41 KEPING Tanda Tanya Agung Ti engan puas Ruben meletakkan draft cerita itu di atas meja, J/ kemudia n menghirup kopi yang sudah entah keberapa cangkir.
"Manusiamanusia malang,"
Ujarnya berseri-seri.
"Bagian mana yang paling kamu suka?"
Tanya Dhimas.
"Aku senang waktu Puteri sedang merenung di lobi kantornya, kembali mengingat plot hidupnya. Kamu berhasil melukiskan usaha penelusurannya dengan baik. Memang begitulah proses bifurkasi terjadi."
"Maksudmu?"
"Efek arus-balik atau feedback terjadi karena sistem berputar kepada dirinya sendiri, putaran itu bernama loop. Ada dua jenis loop. negatif, yang menstabilkan sistem, dan positif, yang sebaliknya, mengardplifikasi. Waktu Puteri kecil, sistemnya teramplifikasi. Tapi semakin dia besar, semakin besar intervensi lingkungannya, maka yang terjadi adalah loop negatif. Hasilnya, ia pun stabil untuk sekian lama. Tapi, cintanya pada si Ksatria adalah loop positif yang kembali mengamplifikasi segalanya. Hasilnya? Badai! Semua order yang tertata rapi sekarang tinggal seujung kuku dari keruntuhan... ha-ha-ha!"
Ruben tertiwa penuh kemenangan. Dhimas garuk-garuk kepala.
"Kadang-kadang aku jadi 42 bingung siapa yang sinting di sini? Kamu yang bisa menghubungkan klSah cinta ala sinetron dengan teori-teori sains gila itu, atau justru aku si penulisnya?"
"Kita berdua gila."
"Thanks."
"Aku juga suka waktu si Ksatria teringat dongeng masa kecilnya-deskripsi apik dari proses yang serupa Tapi aku masih tidak habis pikir, bagaimana kamu terpikir mengaitkan dua hal itu. jiwa pujangga terkubur dalam sosok eksekutif muda? What a bizarre concept.
"
Dhimas tidak langsung menjawab, dengan tawa lebar ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah buku cerita anak-anak kumal dengan sampul plastik keruh, tetapi judulnya masih terlihat jelas. Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Ruben tercengang-cengang.
"Kamu benar-benar punya bukunya?! Dongeng itu sungguhan ada?!"
"Sekalipun dampaknya tidak sedramatis Ksatria, buku inilah awal ketertarikanku jadi pujangga. Kamu harus membacanya, Ruben. Kisah anak-anak paling puitis yang..."
"Ya, ya, ya,"
Potong Ruben cepat.
"tapi sekarang ini aku lebih tertarik ke pekerjaan kita."
"Terserah, deh."
Dhimas tersinggung. Wajahnya langsung tertekuk. Api kompor Ruben memang terlalu besar untuk mengindahkan. Ia malah asyik menerangkan.
"Kedua momen ituA"momen yang sudah kamu gambarkan dengan luar biasa ituA"adalah saat mereka akhirnya mengidentifikasi the strange attractor!"
"Mohon diperjelas,"
Sela Dhimas ketus.
"Atraktor adalah kode yang tinggal di sebuah ruang abstrak bernama phase space..."
"Phase space?"
Ulangnya dengan penekanan. Ruben mendecakkan lidah, gemas.
"Oke, phase space adalah peta imajiner pergerakan satu benda, terdiri dan sebanyak-banyaknya dimensi dan variabel yang dibutuhkan untuk menggambarkan skema pergerakan tadi.^Biasanya diukur berdasarkan posisiatau bisa juga velocity."
"Misalnya?"
M .."Oh, ini sangat meletihkan..."
Keluh Ruben, misalnya.
peta Jakarta-Surabaya, sekalipun sopir-sopir bis sudah hafal luar kepala setiap belokan, tapi perjalanan itu akan beda apabila ditempuh dengan pesawat.
Peta yang sama tidak bisa dipakai lagi.
Nah, phase space adalah pemetaan segala kemungkinan, bahkan faktor-faktor kecil yang bisa jadi titik kritis untuk tahu-tahu mencelatkan seseorang ke Yogyakarta.
Studi mengenai pergerakan sistem menggunakan phase space adalah cara untuk mengetahui mengapa sebuah sistem yang tadinya teratur bisa mendadak berubah jadi chaos, atau sebaliknya.
Mengerti?"
"Kembali ke strange attractor, atau... atraktor asing?"
"Atraktor asing... arrgh, aku benci terjemahan, tapi yah, terserahlah. Dia itu adalah..."
Ruben mendadak berhenti.
Dalam benaknya ada satu citra lewat seperti iklan televisi.
peta fraktal Mandelbrot.
Gambar terindah yang pernah ia lihat sepanjang hidupnya.
Ketika para fisikawan modern menyadari kekurangan pendahulunya dan mulai memperhatikan apa yang tak terperhatikan, maka mereka pun mengenal fraktal, yang di dalamnya terdapat kode rahasia menakjubkan.
strange attractor.
Dinamakan demikian karena atraktor asing adalah elemen yang mengorganisir sistem dengan cara disorganisasi.
Fraktal sendiri berarti ketidakteraturan, atau j uga dapat dikonotasikan dengan "fragmen"A"pecahan.
Fraktal adalah pola dasar yang terdiri dari variabel terukur dan tak terukurA"menjadikannya pola dasar yang tak berdasar.
Di mana ada sistem nonlinear, chaos, ataupun turbulensi, di sana pasti ada fraktal.
Dan seluruh kehidupan ini dipenuhi fraktal-fraktal, dari level materi sampai energi, fisik juga mental.
Ruben tak dapat melupakan bagaimana takjubnya ia ketika melihat peta fraktal MandelbrotA"dikenal dengan "Mandelbrot Set"A"yang jadi sampul jurnal Scientific American milik profesornya dulu.
"Mandelbrot Set"
Adalah rumusan matematis yang diklaim sebagai rumusan terkomples dalam dunia matematika, terdiri dari dua variabel.
C yang merupakan angka tetap, dan Z yang variatif.
Rumusan tersebut kemudian diaplikasikan pada sebuah pola geometris sederhana.
Untuk eksperimennya, Mandelbrot menggunakan semacam ilustrasi molekul yang terdiri dari bola-bola atom.
Tanda Tanya Aquno A Pada awalnya gambar itu terlihat sederhana, namun ketika rumus Mandelbrot diterapkan dan gambar itu diamati lagi lebih detail, sampai pembesaran miliaran kali, maka muncullah kenyataan yang amat luar Masa.
Di dalam bentuk sederhana itu ternyata ada miliaran percabangan, miliaran bentuk dalam variasi lain, namun yang menarik adalah.
pola geometris pertama itu selalu ada.
Muncul kembali bahkan dalam skala pembesaran sehalus nano.
Pola pertama tadi/ si Atraktor Asing, bagaikan memori yang begitu keras kepala dan terus bertahan.
"Aku masih menunggu,"
Ujar Dhimas lagi.
"Atraktor asing itu adalah..."
Ada bobot yang ditambahkan Ruben pada jawaban finalnya.
"tanda tanya."
"Tanda tanya?"
"Pernahkah kamu merasa kita semua terlahirkan ke dunia dengan membawa tanda tanya agung? Tanda tanya itu bersembunyi sangat halus di setiap atom tubuh kita, membuat manusia terus bertanya, dihantui, sehingga seolah-olah misi hidupnya pun hanya untuk menjawab tanda tanya itu."
"Ya... lalu?"
Dhimas masih belum menemukan relevansinya.
"Tanda tanya yang sama menggantungi setiap atom di semesta ini, bukan ekslusif milik manusia saja. Hanya ekspresinya yang berbeda-beda. Perubahan cuaca... gempa bumi... kemunculan spesies baru di dunia flora atau fauna... sampai matahari yang terbit dan tenggelam... mereka semua digulirkan oleh satu tanda tanya yang sama. Ke mana pun kita berpaling, sejauh apa pun kita berlari, kita akan selalu bertemu dengannya. Kamu tahu, Dhimas? Perasaanku mengatakan, tanda tanya itu adalah substansi dasar yang mempersatukan kita semua. Seluruh semesta ini."
"Tapi... tapi, apa yang sebenarnya yang dipertanyakan?"
"Dirinya sendiri."
KEPING "Reversed Order Mechanism11 T\ i dalam ruang kerja yang penuh dengan tumpukan J/ kertas dan buku menggunung, terdengar deru blower PC yang menggerung halus.
Ada modem yang berkelip-kelip.
Ada sepasang tangan yang tiada lelah mengetik.
Terkadang tangan itu mengetik berjam-jam, seharian.
Dan ia harus mengetik cepat.
Begitu banyak yang harus ia tulis.
Terlalu banyak.
Ia harus menulis berbagai macam artikel setiap minggu.
Melayani ratusan penanya setiap malam.
Inbox-nya selalu penuh, hanya segaris tipis dari batas kapasitas.
Andai saja lengahnya sebanyak gurita.
A .
Seiring dengan malam yang makin melarut, surat dari penanya terakhir muncul di layar komputer.
Ketika saya benar-benar muak dan bosan hidup dalam Kematian ini v kadang-kadang saya berpikir untuk Aengakhirinya saja-Benar-benar mati.
Mungkin dengan beneran mati saya akan menemukan makna hidup.
Tapi kenapa kematian yang ditentukan sendiri selalu dikecamf Kenapa mereka harus disalahkan? Saya tak henti-hentinya mengagumi orang-orang yang berani memilih untuk mati bagi dirinya sendiri A Bukan gara-gara takdir-, kuman penyakit-, atau tangan orang lain.
"Reversed Oroer mechanism"
Supernova i siapa menurutmu manusia abad ini f Pari sekian banyak patriot yang adai aku memilih Kurt Cobain.
Ini dia produk Generasi X.
Sambil tersenyum kecil, tangannya pun bergerak.
>Hungkin dengan beneran mati saya akan menemukan >makna hidupTidakkah Anda ingin menemukan makna HIDUP selagi Anda hidup? Itulah Kebahagiaan yang sesungguh nya.
>Supernova-i siapa menurutmu manusia abad inif Albert Einstein.
Dialah yang memperkenalkan konsep yang menjadikan tindakan Kurt Cobain-mu tidak benar dan tidak juga salah< s e n d > Dengan pendar monitor di wajahnya, kedua mata itu menyalang.
Penuh lintasan pikir yang kegesitannya membuat RAM komputer mana pun seperti siput tua yang sekarat.
Dhimas & Ruben Ruben masih duduk di kursi yang sama, dengan taburan buku yang tambah lama tambah banyak.
Dhimas masih berkutat di depan noreooo/c-nya.
Sekalipun tampak bertualang di alam yang berbeda, ternyata mereka menggumuli hal yang sama.
"Ruben, mengenai tokoh kita yang satu lagi..."
"Lucu. Aku juga sedang memikirkannya."
"Si Bintang Jatuh..."
"Bintang Jatuh?! Kok? Aku pikir Ular Naga."
Dhimas mendengus. Selera Ruben memang buruk dalam bervisualisasi.
"Aku sengaja menyebutnya Bintang Jatuh supaya sama dengan dongeng itu. Ring a beli? Dan maaf, tapi aku tidak bisa menuliskan tokoh jagoan yang bersisik, bertaring, dan berhidung penggorengan."
"Bintang Jatuh. Boleh juga. Unik."
"Seperti apa, ya, dia kira-kira?"
"Dia adalah... seseorang yang harus sepenuhnya mewakili area abu-abu. Ia adalah teori relativitas berjalan. Manusia yang penuh paradoks. Bukan tokoh antagonis, juga bukan protagonis. Penuh kebajikan, tapi juga penuh kepahitan."
"Dia adalah meteor di langit setiap orang. Penuh kesan, tapi dengan cepat melesat hilang."
"Tidak terbendung institusi apa-apa, organisasi mana pun, bukan properti siapa-siapa."
"Pria atau..."
"Wanita?"
Keduanya terdiam sejenak.
"Apa kata dongengmu itu?"
Tanya Ruben.
"Bintang Jatuh merebut Sang Puteri. Berarti seharusnya dia memang laki-laki, tapi kalau kita mengikuti dongeng itu seratus persen, maka semuanya bakal gampang ditebak. Lagi pula,, itu tidak sejalan dengan konflik Ksatria. Ingat, di bifurkasi masa kecilnya ia ingin mengubah kisah itu."
"Iya, dengan tidak membiarkan dirinya dibodohi si hidung belang Bintang Jatuh, kan? Mengambil sang Puteri dan hidup bahagia selamanya. Beres!"
"Ruben, jangan bikin aku kecewa. Karya kita tidak boleh sesederhana itu,"
Tukas Dhimas gusar.
"Dengar, apa pola yang muncul dengan rebut-merebut begitu? Balas dendam..Aku justru ingin meninggalkan konsep itu. Mata dibayar mata, api dibalas api... prinsip semacam itu adalah bibit peperangan. Sama kunonya dengan pandangan para reduksionis-mu itu."
Mendengar kata 'reduksionis', Ruben langsung diam. Tidak akan pernah mau ia disamakan dengan mereka.
"Mari kita sajikan sebuah evolusi emosional. Refleks emosi yang bergulir ke arah kedewasaan sejati, dan bukan balas dendam. Nyaris altruistik. Apa yang ia kira segalanya ternyata hanya satu dari lapisan multidimensi yang tak terhingga."
"Aku mulai mengerti, tapi aplikasinya bagaimana, ya?"
Ruben langsung sibuk memikirkan teori-teori.
"Itu pe-ermu belakangan. Yang jelas, Bintang Jatuh kita lebih baik seorang wanita."
"Reversed Order mechanism"
"Yang harus benar-benar lain, nyaris impersonal,"
Sambung Ruben.
"Ini pelik."
"Sangat."
Keduanya puri terdiam lagi.
"Eh, kamu ingat apa kata Abraham Maslow9?"
Cetus Ruben.
"ketika manusia sudah mengatasi semua kebutuhan dasarnya untuk bertahan hidup, maka ia pun dimungkinkan untuk mengejar pencarian lebih tinggi. aktualisasi diri, pengetahuan tentang dirinya sendiri di level yang paling dalam. Dia adalah orang di level itu."
"Yang berarti, dia sudah kaya, tidak pusing soal materi. Dia juga cantik, tidak lagi pusing soal' fisik. Dia berpengetahuan tinggi dan menghikmati ilmu, kalau tidak ia terjebak di level materi dan fisik tadi. Tapi, dia juga tidak terikat institusi atau organisasi apa-apa. Apa, ya? Wiraswasta?"
"Sejenisnya. Tapi satu hal yang penting, dia harus ada di posisi yang enak untuk menunjuk sana-sini. Mengerti maksudku?"
"Aku tidak yakin..."
"Seorang politikus akan selalu berpihak ketika ia ngomong politik. Seorang akademikus atau ilmuwan akan selalu berpijak pada bidang pengetahuannya saja. Seorang pedagang akan selalu khawatir soal untung-rugi. Seorang agamawan akan bicara soal klaim kebenarannya. Kita butuh pengamat murni, tanpa pretensi apa-apa. Tapi dia j uga bukan seorang suci, apalagi disucikan, karena orang-orang seperti itu biasanya malah tidak dibiarkan menikmati hidup."
"Seorang... pelacur."
"Apa?!"
Ruben sampai bangkit dari kursinya.
"Dengar dulu. Ketika seseorang mencapai level kemerdekaan berpikir yang sedemikian tinggi, dia tidak bakalan rela pikirannya diperjualbelikan. Satu-satunya yang layak didagangkan jadi cuma fisiknya saja. Seorang pelacur juga bisa jadi wirausahawati, tidak terikat siapa-siapa. 9 Abraham Maslow adalah penemu konsep psikologi transpersonal, yang didasari pada kerangka kerja idealis monistik (paradigma yang mengatakan bahwa otak dan pikiran berada di realita yang sama). supernova katakanlah saking hebatnya dia tidak perlu lagi mucikari...-"Tapi itu paradoks. Kalau dia bisa miku, bagaimana mungkin dia mau merendahkan harkatnya untuk jadi Pe ""itulah dia manusia paradoksmu!"
Seru Dhimas penuh kemenangan.
"Kamu tidak boleh melihatnya dengan cara nandang orang kebanyakan. Jangan memilah dengan dikotomi moral yang hitam putih. Coba pikir lagi Ruben, manusia seperti apa dia, hidup dalam dua sisi cermin sekaligus, menjalani relativitas setiap detik? Kamu bisa bayangkan bifurkasi seperti apa yang pernah ia lalui? Amplifikasi sedahsyat apa yang telah meledakkan sistemnya?"
Ruben geleng-geleng kepala.
"Aku tidak bisa membayangkan..
"Reversed order mechanism."
Mendengarnya, mekanisme pandang Ruben langsung ikut terjungkir.
"Ya... kamu benar Dhimas,"
Ujarnya perlahan, -kamu BENAR!"
"Ketika kita balikkan cara pandang-kita, maka kenyataan pun berubah. ternyata pelacuran terjadi di manamana. Hampir semua orang melacurkan waktu, jati diri, pikiran, bahkan jiwanya. Dan bagaimana kalau ternyata itulah pelacuran yang paling hina?"
Panggung itu didekorasi warna perak.
Orangorang masih terkena demam milenium.
Musik berambiensi misteri mulai menggema, menggantungi setiap atom, mengais-ngais alam khayali, mengantarkan keluar gadis-gadis itu satu demi satu.
Tubuh-tubuh tinggi di atas rata-rata.
Langsing, bahkan ada yang setipis talenan roti.
Berjalan melenggok dengan gerakan yang sepertinya akan mematahkan pinggul setiap kali mereka melangkah.
Dengan pandangan tajam mereka menantang ruang hitam di hadapan.
Namun selalu ada perbedaan menonjol'setiap kali peragawati satu itu muncul.
Satu perbedaan yang sungguh tidak sederhana.
pandangan matanya.
Tidak hanya tajam, tapi juga seketika membelah.
Yang lain ibarat pajangan sederet pisau yang berkilau, tapi tanpa aksi.
Yang satu ini langsung menghunus.
Ia tidak mencari ruang kosong.
Ia mencari mata-mata lain.
Sorotsorot lain.
Menelanjangi semuanya.
Kelihatannya ia pun lebih menikmati hal itu daripada berjalannya sendiri.
Putaran demi putaran.
Ia menjadi yang paling ditunggu-tunggu.
Semua tahu itu.
Semua ingin menyerahkan diri untuk dipenggal mata itu.
Putaran terakhir.
Ia pun menghilang di balik panggung.
"Diva..."
Gadis itu menoleh.
"Frans minta kamu yang mengiringi dia ke depan."
Adi, stage manager, memberitahunya.
"Kenapa dengan Nia?"
"Frans berubah pikiran."
"Detik terakhir?"
"Detik terakhir,"
Adi mengangguk.
Hal yang lumrah baginya.
Siapa pun tahu, tak pernah ada yang terlalu suka dengan Diva.
Gadis itu dijuluki 'Si Pahit".
Tidak pernah terlalu ramah, tidak juga selalu judes, tapi ia dingin.
Dingin yang mengerikan.
Belum lagi lidahnya yang sadis, tanpa tedeng aling-aling.
Namun ia juga seperti magnet yang akhirnya membalikkan semua kenyataan untuk berpihak padanya.
Diva laku keras.
Peragawati dan model papan atas.
Hanya mau muncul untuk acara besar-besar, dan majalah-majalah bona fide.
Tak pernah mau dibayar murah.
Tak mengenal istilah acara amal.
Tapi ia memang sangat profesional.
Tak pernah mengeluh dan selalu tepat waktu.
Bagai polimer elastis ia juga amat mudah diarahkan.
Malam itu, diiringi pandangan penuh tanya dan iri sesama rekannya.
Diva berjalan ke depan bersama sang desainer.
Sejujurnya ia tidak pernah suka tempat seperti ini.
Tidak ada yang ramah dan menyenangkan dari mata-mata liar yang menjalari tubuh dan melalap kaki jenjangnya.
Mereka semua seperti hewan buas yang seharian baru dirantai dalam kand ang sempit dan kini dilepas.
Tak tahu cara menangani kebebasan.
Getaran-getaran pikiran kotor produk pengerdilan mental seperti itu memang tak henti-hentinya menodai udara.
Diva merasakan gerahnya, namun terlalu bosan untuk peduli.
Dengan menyandang tas besar, ia menerobos kerumunan orang yang tengah meliuk-meliukA"kumpulan lidah api, sedang membakar dirinya sendiri.
"DIVA!"
Risty, agennya, berlarilari sambil mengacungkan kantong sepatu.
"Sepatu kamu! Pikun amat sih, ketinggalan melulu."
Bintang Jatuh "Thanks."
"Honor kamu bisa diambil besok. Jam makan siang, oke?"
"Sip."
"Pulang dengan siapa kamu?"
Diva mengangkat bahu.
"Taksi... mungkin. Sopir saya sakit, saya malas bawa mobil."
"Mau diantar?"
Risty berbasa-basi. Mana ada yang betah berlama-lama dengan gadis itu.
"Tapi kalau mau, tunggu saya membereskan urusan dengan orangorang di belakang dulu..."
"Nggak usah. Saya duluan. Mbak."
Diva tersenyum cepat, langsung pergi.
"Diva!"
Panggil Risty lagi.
"Jangan lupa juga besok siang, ya. Sori, tapi itu direct order dari atas,"
Ujarnya dengan gerakan menunjuk langit.
Ada kepuasan di senyumnya.
Diva melihat itu dengan jelas.
Dia memang target empuk untuk diberi pekerjaan konyol.
jadi juri kontes peragaan busana anak-anak yang disponsori agency-nya.
Itu namanya dikerjai.
Namun ia terlalu malas untuk protes.
Sekeluar dari kafe itu, alarm telepon genggamnya berbunyi.
Teringat janjinya, Diva mengeluh.
Risty benar, ia memang pikun.
Untuk itulah ia membutuhkan teknologi, sekadar jadi pembatas buku dari halaman-halaman waktu.
Mengingatkannya akan sampah-sampah yang tidak pernah mau ia ingat, tapi harus tetap dikerjakan.
Tidak sampai lima menit, teleponnya berdering.
Terdengar suara pria.
"Halo, Diva? Sudah siap? Apa? Di mana kamu... saya jemput, ya? Saya sudah dijalan. Tunggu saja."
Lima belas menit kemudian, sebuah sedan built-up datang menjemput.
"Hai, sayang."
Diva disambut seringai lebar.
Pemiliknya adalah seorang pria, bernama Dahlan, atau Bung Dahlan, awal empat puluh, di puncak karier, beristrikan seorang wanita yang dipacarinya sejak SMA, memiliki dua anak, dan mengalami kehampaan hidup yang konon menurutnya tak terdefinisikan.
Diva, adalah salah satu obat yang dipikirnya manjur.
"Hai,"
Balas Diva pendek. Supernova "Bagaimana s/iownya? Sukses? Kamu cantik sekali. Ada untungnya juga saya ketemu kamu sehabis pentas."
"Show-nya? Sukses. Saya cantik? Ya, sudah tahu. Ada untungnya? Kayaknya enggak. Saya capek, terus terang saja. Bahkan lupa kalau kita ada janji. Tapi tenang saja, saya profesional,"
Ujar Diva datar sambil menarik rambutnya ke atas. Menjepitnya. Mengipas-ngipas lehernya yang kepanasan. Dahlan semakin kebat-kebit. Mobil itu melaju makin kencang.
"Kita beruntung, Div. Hari ini kantor saya bikin acara di Hyatt. Lihat... apa yang saya dapat."
Dahlan menunjukkan kunci berbentuk kartu plastik.
"Muntahan kantor saja bangga."
Dahlan tergelak. Sama sekali tidak nampak tersinggung.
"Aku kangen kamu. Diva. Sayang fee kamu mahal sekali."
"Mahal saja banyak yang kangen, apalagi kalau saya pasang murah. Tidak terbayang repotnya seperti apa, menghadapi orang-orang seperti kamu. Kaum awam. Manusia kebanyakan."
Tawa Dahlan semakin keras.
"Oh, Diva! I love you!"
Kasur pegas yang empuk itu akhirnya beristirahat setelah rrrenandak-nandak beberapa jam yang lalu.
Sesudah itu mereka berdua hanya berbicara.
Memakai jubah handuk.
Diva mengambil air mineral dari kulkas.
Dahlan berbaring santai dengan selimut yang membungkusnya dari pinggang ke bawah.
"Coba bayangkan. Pak. Pendapatan satu bulan pekerja pabrik otomotif di Malaysia sama besarnya dengan pekerja di Illinois satu hari. Satu pekerja Perancis sama dengan 47 pekerja Vietnam. Satu montir Amerika seharga 60 montir Cina. Itulah perbandingan paling baru dari harga manusia. Tidak diumumkan di brosur saja,"
Diva berceloteh sambil menenggak minumannya.
"Pergerakan produksi akan selamanya berputar di isu yang sama. mana yang lebih murah? Mesin atau manusia? Jawabannya masih sama. manusia. Kalau lokasi pabrik di Jepang, maka harus berbasis mesin, soalnya Bintang Jatuh manusia di sana mahal. Sementara untuk apa buruburu menanamkan kapital sedemikian besar untuk mesin? Kapabilitasnya berkompetisi bisa kedodoran duluan. Jadi, intinya, siapa yang punya stok manusia paling murah? Soal kebijakan politik dan kawan-kawan bisa diatur kemudian,"
Ia terkekeh.
"Marx pasti sekarang sedang meringis di Uang kuburnya."
"Jadi, boleh dibilang institusi negara tinggal aksesori, maksudmu?"
"Atau tepatnya, kotoran hidung yang masih menganggap dirinya Grand Canyon. Kapitalisme sudah menciptakan format demokrasinya sendiri, kok. Dengan pertama-tama membuat transisi kedaulatan dari negara ke perusahaan transnasional. Dan jangan lupa magic spell-nya. dari konsumen, oleh konsumen;-untuk konsumen. Tapi, yah, setidaknya negara harus tetap kelihatan punya peran, di depan mata wargawarganya yang belum sadar dan dijaga untuk tetap tidak sadar itu. Entah sampai kapan."
"Kamu paling sebal dong dengan orang-orang pemerintahan. Memangnya klien kamu nggak ada yang pejabat?"
Tanya Dahlan setengah menggoda.
"Banyaklah. Tapi kalau saya sebal dengan pejabat, berarti saya juga sama sebalnya dengan kamuA"orang-orang korporasi internasional. Tidak, saya bukannya sebal. Apalagi suka. Apa, ya? Tidak ada namanya. Kita cuma berdagang di sini. Saya hanya mau berdagang dengan orang-orang seperti kalian. Kalian tidak patut diberi apa pun cuma-cuma, karena kalian sendiri cuma bisa bicara dengan bahasa uang. Uang tidak bisa berpuisi."
"Bullshit. Saya bisa bayar seorang seniman dari TIM atau mana pun untuk berpuisi, di sini, sekarang juga."
"Itu dia. Baru saja kamu tunjukkan. Kamu mengira bisa membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dijual. Itu delusif namanya. Tapi kamu pikir itu nyata karena mampu mengadakannya secara fisik."
Tawa Dahlan kembali berderai.
"Diva, Diva. Sadis amat, sih kamu."
"Coba jawab. Pak. Anda ini sebenarnya warga apa? Warga Indonesia atau Siemens?"
"Indonesia, dong."
"Oh, ya? Apa yang sudah Anda berikan bagi negara ini?"
"Banyak, tentunya. Saya bayar pajak, saya membuka lapangan kerja, saya memberikan teknologi yang bisa dipakai orang-orang di sini, saya melayani kebutuhan mereka..."
"Ha-ha-ha,"
Diva menatapnya geli.
"yang barusan ngomong itu Dahlan atau perusahaan Siemens?"
Dahlan terdiam.
"Kalau Siemens bangkrut dan lenyap dari muka bumi, apakah Dahlan si pemberi teknologi tadi masih ada? Anda ini siapa sih sebenarnya?"
Ia bertanya kocak.
"Knock, knock! Hello?"
Lamalama Dahlan ikut tertawa. Bahkan lebih keras.
"Gleiche Arbeit, gleicher Lohn10A"kata Helmut Kohl-mu,"
Diva mulai membereskan barang-barangnya.
"tapi itu tidak berlaku buat saya."
"Kamu sendiri warga apa. Diva darling?"
"Warga semesta, yang sekadar ikut etika setempat. Negara, bangsa, dan tetek bengeknya, sudah masuk museum dalam kamus saya. Dan terlalu naif kalau saya tidak percaya ada kehidupan lain selain dunia yang kita lihat ini."
"Jadi kamu percaya UFO?"
"Kalau kamu pikir kehidupan lain yang saya maksud hanya berbentuk piring terbang dan makhluk-makhluk cebol, kamu salah besar. Itu sama saja dengan air comberan yang terheran-heran melihat air laut. Padahal dua-duanya sama-sama air!"
Ujar Diva keras.
"Saya tidak peduli dengan format fisik. Yang saya maksudkan dengan kehidupan adalah HIDUP. Vitalitas... energi... yang masih murni, tidak tersendat-sendat seperti saluran m amp e t."
Dahlan mengernyit bingung.
"Kamu memang susah dimengerti..."
"Mungkin kamu yang terlalu ndableg."
"Div,"
Panggil Dahlan lembut.
"kadang-kadang saya pikir *A "Same work, same pay". sebuah slogan dari gerakan nasional di Jerman pada awal 1990-an. diperjuangkan salah satunya oleh Helmut Kohl, yakni penyetaraan upah buruh di Jerman Barat dan Timur. Di kampanye tersebut Kohl menyatakan, Jerman tidak mungkin sepenuhnya bersatu apabila masih ada ketimpangan upah tenaga kerja. Gerakan ini jauh dari berhasil karena bagaimanapun berlaku arbitrase upah buruh di seluruh dunia. Membuktikan bahwa nasionalisme seringkah tidak berkutik apabila dikompetisikan dengan prinsip ekonomi. Prinsip arbitrase akan selalu unggul karena menjanjikan harga paling murah, dan ini merupakan isu terpenting bagi pasar di a tas segala-segalanya. Dan kali ini komoditasnya adalah tenaga manusia. kamu lebih pintar dari CEO saya. Lalu kenapa harus berprofesi seperti ini? Dengan otak seperti itu kamu bisa mendapatkan jabatan yang lebih bagus daripada saya."
Wanita itu tersenyum mencemooh.
"Justru karena saya lebih pintar dari kamu dan CEO kamu, makanya saya tidak mau bekerja seperti kalian. Apa bedanya profesi kita? Sudah saya bilang, kita sama-sama berdagang. Komoditasnya saja beda. Apa yang kamu perdagangkan buat saya tidak seharusnya dijual. Pikiran saya harus dibuat merdeka. Toh, berdagang pun saya tidak sembarang..."
"Jadi karena itu tarif kamu dolar?"
Potong Dahlan sambil terkekeh. Ia meraih tas kantornya, dan mengambil amplop yang sudah ia siapkan. Menyerahkannya pada Diva.
"Gleiche Arbeit, versehiedener Lohn; same work, different pay. Itu baru prinsip saya,"
Diva menukas ringan.
"Tahu tidak? Sebenarnya ngobrol dengan kamulah yang layak menjadikan malam ini begitu mahal."
"Jangan munafik. Yang jelas, kamu menikmati dua-duanya, kan?"
Diva siap pergi.
"Bye."
"Jangan lupa minggu depan!"
"Kita ada janji lagi?"
Diva mengerutkan kening, kemudian mengecek daftar alarm di telepon genggamnya.
Pendekar Rajawali Sakti Intan Saga Merah Rajawali Emas Kitab Pemanggil Mayat Roro Centil Rahasia Kitab Ular