Ceritasilat Novel Online

Ksatria Putri Bintang Jatuh 4


Dewi Lestari Ksatria Puteri Dan Bintang Jatuh Bagian 4



"Oh, iya,"

   Gumamnya pendek.

   Wanita itu pergi begitu saja, tanpa menyentuhnya lagi.

   Semua begitu cepat berlalu bersama sang Diva.

   Seolah-olah ia memiliki dimensi waktu sendiri, dan mengisap semua orang untuk masuk ke dalamnya.

   Kini Dahlan kembali terdampar dalam padang waktu yang bergerak lamban.

   Untungnya, masih bisa dirasakannya lamat-lamat vitalitas itu...

   kehidupan itu.

   Di dalam taksi.

   Diva mene'kuri jalan dengan hampa.

   Betapa kota ini tidak pernah istirahat barang semenit pun.

   Bandul waktu memacunya untuk menjadi robot yang bekerja nonstop.

   Dan tangan ituA"tangan tak nampak yang menggerakkan semua orang untuk bangkit dari tempat tidur lalu memeras keringatA"masih bergerak menyapu semua sudut kota.

   Tangan yang sama mengantarkan mereka kembali ke tempat tidur dengan beban dan mimpi gelisah.

   Tangan tak nampak yang akan menggebuk siapa pun yang kelihatan 57 bersantai dan tak ikut irama.

   Adam Smith11 melihat tangan itu.

   Hingga akhirnya diajarkan di sekolah-sekolah.

   Tapi terkadang Diva merasa dirinya sendirian.

   Mengapa hanya ia yang masih melihat tangan itu, dan main kucing-kucingan dengannya.

   Yang lain teraup begitu rapi, bekerja begitu mekanis.

   Dan ketika matahari terbit nanti, mereka masih berani-beraninya menyebut diri manusia.

   Diva menghela napas panjang.

   Penat.

   Baginya, dunia begitu usang dan pengap bersimbah peluh.

   Dengan poros berkarat yang tak pernah diganti, dunia mengira dirinya tumbuh berkembang.

   Tak ada lagi yang baru di sini.

   Semua tawa beralaskan derita lama, dan semua tangis berawalkan tawa yang melapuk.

   Ia sadar betapa berat usahanya untuk menggeliat dan mencoba hidup.

   Melawan kematian ini.

   Di tengah-tengah mayat-mayat yang tak sadar mereka telah mati.

   Diva melangkah masuk ke dalam mal.

   Hiruk-pikuk.

   Suasana mal di akhir pekan selalu memberikan sensasi terbakar di sekujur tubuhnya.

   Gerah luar biasa.

   Belum apa-apa, Diva sudah ingin pulang.

   Di atrium, panggung itu berdiri dengan dekorasi bak kue tart murahan.

   Dentuman house mix lagu anak-anak saling berburu dengan suara manusia.

   Persis seperti di dalam rumah lebah.

   "Mbak Diva!"

   Seorang wanita dengan kartu panitia bergantung di leher menyambutnya.

   "Makasih sekali sudah datang, ya, Mbak. Silakan, perlombaannya sebentar lagi dimulai."

   Diva hanya tersenyum sopan, dan langsung duduk di tempat yang disediakan.

   "Selamat sore, Mbak. Kenalkan, nama saya Hari, juri dua." 11 Bapak Ekonomi Dunia asal Skotlandia ini dikenal karena pemikirannya menjadi tonggak perekonomian modern, dan karyanya menandai titik balik kehancuran merkantilisme dan mulai tersebarnya konsep laissezfaire. Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation (1776) adalah bukunya yang paling sohor, memberikan berbagai terobosan daiam masalah perburuhan, distribusi, upah, harga, dan memperkenalkan perdagangan bebas serta interfensi pemerintah seminimal mungkin. bintang jatuh Seorang pria berkaca mata mendadak muncul dan menyuguh kan tangan.

   "Mbak Divaa... haloo, saya Ibu Tetty, dari Yayasan Bina Ceria. Ini anakanak asuhan saya semua lho, Mbak. Oh ya, saya jadi juri tiga. Aduh, Mbak Diva ternyata lebih cantik aslinya, ya?"

   "Memang, Bu,"

   Sahut Diva datar.

   Mendadak siang itu ia merasa jabatan juri lebih penting daripada presiden.

   Ia memandangi wajah-wajah cilik itu.

   Kepolosan yang hari ini akan dicorengi ambisi untuk menjadi yang paling cantik.

   Wajah mereka semuanya dipulasi make-up yang seharusnya tidak ada di sana.

   Menurutnya, make-up diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang beranjak jelek, atau tepatnya, merasa jelek.

   Bagi mereka itulah patut ada usaha ekstra.

   Tapi bukan anak-anak ini.

   Diva memandangi kaki-kaki kecil mereka.

   Rata-rata memakai sepatu boots hak tinggi, rok supermini, tank top, dan jaket bermotif kulit binatang.

   Bahkan sekecil mereka sudah belajar berdandan seperti tukang jagal.

   Ketika perlombaan dimulai, bolpoin dan kertas berisi kolom penilaian tak disentuhnya sama sekali.

   Diva hanya melipat tangan, bersandar pada kursi, memandangi tiap anak lekat-lekat.

   Menjadikan para panitia di sekitarnya mulai berbisik-bisik curiga.

   Begitu juga dengan Ibu Tetty dan Hari yang saling lirik-lirikan, mencemaskan Ketua Juri mereka yang tidak menulis apa-apa.

   Diva tahu itu semua, tapi tak peduli.

   Mereka tak akan mengerti kecemasannya.

   Anak-anak itu melangkah, berputar, dan berpose dengan senyum artifisial.

   Sesekali mereka melirik ke arah orang tuanya yang sama cemasnya, takut-takut anak mereka lupa hitungan langkah atau pose yang sudah dilatih berhari-hari.

   Anak-anak ini mungkin akan jadi gembrot di usia 17, tingginya mandek di usia 15, pemenang hari ini mungkin berubah pikiran dan jadi peneliti di LIPI, anak yang diklaim paling jelek hari ini mungkin akan menjadi top model di usia 20.

   Segala probabilitas dan ketidakpastian hidup tidak memberinya sedikit pun alasan untuk memilih pemenang.

   Menang akan apa? Untuk kemudian beberapa anak menjadi minder dan merasa dirinya jelek? Lalu kedua orang tua mereka setengah mati berusaha menghibur, mengirim mereka kembali ke berbagai perlombaan, kali ini dengan "persenjataan"

   Lebih lengkap.

   Lebih direncanakan.

   Lebih dibuat-buat.

   Seharusnya hari ini menjadi pesta sukaria bagi mereka, kesempatan untuk bertemu temanteman sebaya sebanyak ini.

   Seharusnya mereka berlarian telanjang sesuka hati.

   Tertawa terbahak-bahak.

   Menari.

   Terjatuh.

   Bermain tanpa aturan.

   Oiva sungguhan cemas akan apa yang ia lihat.

   Seorang anak dengan kuncir setinggi menara berjalan ke arahnya bak peragawati profesional.

   Matanya menantang, mengerlingi para juri, berusaha meninggalkan kesan di sana.

   Bajunya berwarna menyala seperti stabilo, belum lagi syal bulu yang dilambai-lambaikannya genit.

   Sebagai aksi penutup, ia mendadak meliuk seperti ular.

   Kemudian ia memonyongkan bibirnya centil, seolah-olah mencium mereka semua.

   Kontan penonton kaget, mereka pun berteriak kagum.

   Suara tepuk tangan meriuh.

   "Luar biasa, ya anak sekarang,"

   Hari mencondongkan badan, berbisik padanya.

   Diva menelan ludah.

   Ini cara terbaik untuk mengeluarkan makan siangnya.

   Total ada 17 peserta.

   17 obat pencahar yang kalau sampai Aditambah lagi niscaya akan menguras total isi lambung.

   Mereka bertiga pun disuruh rapat .

   "Gimana Har, berapa jumlahnya? Kalau aku sih suka sama yang no. 11 itu, lho. Kalau Mbak Diva gimana?"

   Bu Tetty nampak masih bersemangat. Ia harus memuaskan para orang tua yang telah membayar mahal untuk klub ciliknya.

   "Punya saya--dilihat belakangan saja, Bu,"

   Jawab Diva kalem. Hari sibuk menjumlahjumlah.

   "Bu Tetty, nampaknya hasil penilaian kita sama."

   "Ya sudah! Beres kalau begitu!"

   Diva langsung menyambar kertas tersebut.

   "Kalau boleh... saya yang umumkan?"

   Bintang Jatuh Di panggung itu Diva berdiri.

   "Selamat sore adik-adik semua, bapakbapak dan ibu-ibu. Di tangan Kakak sudah ada pengumuman para pemenang fashion show dari kedua kategori. Baik, Kakak mulai, ya,.."

   Satu per satu pemenang yang dipanggil naik ke atas pentas. Semuanya berseri-seri. Setelah semua lengkap berkumpul. Diva kembali angkat suara.

   "Adik-adik yang manis. Teman-temanmu yang di depan ini dipilih karena merekalah yang paling pintar meniru orang dewasa. Dan mereka terpaksa dipilih karena papamama kalian sudah bayar uang pendaftaran, dan sudah beli bajubaju mahal untuk kalian pakai. Sebenarnya hari ini tidak ada yang menang, dan tidak ada yang kalah. Kalian sekarang semua lucu dan manis, biarpun nanti kalian bisa jadi gendut, pendek, dan jerawatan.

   "Nanti kalau sudah sampai di rumah, adik-adik jangan lupa untuk terus bermain, ya. Nggak usah pakai sepatu tinggi, apalagi pakai-pakai lipstik mama. Percaya sama Kakak, nanti kalian juga bakalan bosan jadi orang gede. Bermain saja yang puas. Kalau adik-adik mau cantik, jangan tunggu dikasitahu orang. Kakak punya mantra ajaib. Begini caranya, adik-adik pergi ke cermin, dan bilang begini. 'Saya cantikA"saya cantikA"sayaA"cantik', begitu. Kakak jamin, kalian semua pasti akan cantik-cantik. Sampai kapan pun. Selama-lamanya. Amin! Ngerti semuanyaaa?"

   Atrium yang tadinya bising, mendadak senyap.

   Anak-anak mendengarkan dengan mulut menganga.

   Para orang tua saling berpegangan tangan, mencari kekuatan.

   Badut-badut di pinggir panggung menghentikan aksinya.

   Pembawa acara kehilangan kata-kata.

   Para panitia menundukkan kepala cemas.

   Acara mereka hancur sudah.

   Sementara wajah itu tidak berubah.

   Sama sekali tidak terpengaruh gejolak hebat di sekelilingnya.

   Dengan langkah tenang dan anggun, Diva turun dari panggung.

   Langsung menuju pintu keluar.

   "Pulang langsung, Non?"

   Sopirnya. Pak Ahmad, bertanya.

   "Langsung, Pak."

   Sepanjang jalan.

   Diva menggigiti bibir.

   Ia selalu begitu ketika ada sesuatu yang menggairahkannya.

   Ia memikirkan anak-anak tadi, yang mendengarkan dan mungkin mengerti.

   Mungkin ia telah memperbaiki sesuatu dalam konstruksi berpikir mereka.

   Semoga saja.

   Diva teringat akan tubuh tingginya yang seceking kelingking.

   Badannya yang sudah membentuk kurva-kurva ketika tubuh teman-temannya masih kotak.

   Rambutnya yang lurus dan membosankan, sementara rambut teman-temannya mekar seperti kembang sepatu.

   Wajah tirusnya yang seperti orang kelaparan.

   Kakinya yang terlalu panjang menjadikannya tak pernah kebagian jatah sepatu ketika boks-boks sumbangan datang ke Panti Asuhan.

   Di antara semua orang yang mengejeknya aneh dan jelek, hanya satu yang sanggup berkata lain.

   dirinya sendiri.

   Dan lihatlah ia kini.

   Ini bukan hasil pujian kiri-kanan, melainkan usahanya sendiri untuk tahu dirinya cantik.

   Tahu, tanpa perlu banyak usaha lagi.

   Semua tumbuh dengan sendirinya.

   Semoga saja mereka mengerti...

   Diva memasuki rumahnya, masih menggigiti bibir.

   Radio RRIA"beritaA"harga sayur-mayur.

   Cabe keriting merangkak naik.

   Disusul merosotnya bawang merah.

   Kentang meluncur drastis.

   Kol membanjiri pasar.

   Terung menjadi primadona.

   Jahe dengan stabil berjalan meniti tali harga.

   Sirkus komoditas.

   Padahal di dalam tanah sana, semua berjalan tanpa gejolak yang dibuat-buat.

   Tomat tak pernah keberatan buahnya dihuni ulat, juga tak berbuat apa-apa bila dilekati pestisida.

   Ia rela mati, untuk hidup kembali.

   Sementara petani bertahan matimatian untuk hidup.

   Tak ada yang ingat kapan terakhir menanam karena suka.

   Sekadar merawat kehidupan berwarna hijau yang menembusi lapisan-lapisan tanah.

   Pergi menuju pasar dan mendapatkan segalanya dengan cuma-cuma.

   Buah dan sayuran hadir di sana bintang Jatuh diakibatkan kebanggaan petani yang berhasil membesarkan, untuk kemudian mereka ambil secukupnya.

   Kelebihan hanya akan mengakibatkan keindahan itu busuk dan siasia.

   Telepon rumahnya berdering.

   Diva pun mengecilkan suara radio.

   "Ya, halo?"

   "Hi, babe."

   Mendengar suara Nanda, salah satu kliennya, kening Diva langsung berkerut.

   "Memangnya kita punya janji?"

   Tembaknya langsung.

   "Bisa dibuat sekarang?"

   Diva tertawa, melengos.

   "Kamu ternyata memang pemboros. Fee saya yang masih kurang mahal atau kamu yang mulai nagih?"

   Nanda tergelak. Ia amat menyukai selera humor Diva yang sadis. Mendapatkannya bagai oase di tengah padang basa-basi.

   "Diva, jujur saja, saya cuma mau ajak kamu makan malam. Tidak lebih."

   "Lebih juga nggak apa-apa kalau memang dananya ada."

   Tawa Nanda kembali terdengar dari ujung sana. Diva membuka dafta r alarmnya.

   "Kamu beruntung, jadwal saya kosong. Jemput saya jam delapan? Bye."

   Teringat pohon jeruknya yang baru berumur enam bulan.

   Diva pun menuju taman belakang, menggenggam botol semprotan berisi pupuk cair.

   Air liur pria itu langsung terbit begitu melihat Diva melangkah keluar dari pintu.

   Tanpa bisa memutuskan mana yang lebih merangsang.

   baju berbahan lycra warna hitam yang melekat seperti kulit kedua, atau sepasang mata yang menghunus tajam seperti samurai haus darah.

   "Saya lapar. Sanggup makan kamu hidup-hidup."

   Ucapan pertama Diva mengalir tanpa beban.

   Mendengarnya, Nanda benar-benar berjuang menahan tumpah air liur.

   Bagaimanapun Diva seorang profesional, sama seperti dirinya.

   Diva menyatakan tegas bahwa tubuhnya terbebas dari sentuhan sekecil apa pun, sampai ada kesepakatan.

   Sampai ada pembicaraan nominal.

   Nanda tidak mau merusak malam ini dengan buru-buru membicarakan soal itu.

   Karena begitu itu terjadi, semuanya tak akan sama lagi.

   Ia lebih butuh Diva untuk hal yang lain.

   Setengah jam yang lalu restoran itu menutup pesanan terakhirnya.

   Lima belas menit lagi menuju tutup total.

   Para pelayan berdiri tabah dalam ketidaksabarannya, menatap kedua orang yang tak kunjung beranjak itu.

   "Kamu sinthiiing... sinthiing!! Kamu bilang begitu di depan orang tua mereka?.'"

   Kalimat Nanda menyembur-nyembur di tengah gelakan tawanya.

   "Ngomong-ngomong, enak bener ya jadi kamu, orang sinting yang bisanya cuma ketawa-ketawa sambil bilang orang lain sinting."

   "Hei, tapi aku tidak pernah bawa bayiku ke mal. Kalau istriku sih sering, dengan mertuaku."

   "Tenang saja, tidak perlu membela diri. Aku tidak mengatakan kalau itu dosa. Yang jelas, mal di akhir pekan adalah hari eksibisi balita kelas menengah, sekaligus pelajaran pertama mereka untuk jadi konsumtif. Itulah hari ketika ibu-bapak bermain Barbie dan Ken, sama seperti anaknya. Bedanya, boneka mereka adalah anaknya sendiri."

   "Apa yang salah dengan itu semua?"

   Sergah Nanda.

   "Tidak ada, asalkan mereka sadar dan tidak munafik. Saya hanya sebal dengan orang-orang yang menjadikannya excuse, bukti pada khalayak umum bahwa mereka telah membesarkan anaknya dengan baik, padahal itu justru karena mereka tidak tahu cara lain. Mereka mengambil tugas sebagai pendidik sebelum berhasil mendidik diri mereka sendiri. Begitulah jadinya. Atau bisa juga, main Barbie dan Ken adalah kompensasi dari repotnya mengurus anak."

   "Kamu memang luar biasa kejam, sayang."

   Nanda mendecakkan lidah.

   "Kamu yang luar biasa buta,"

   Balas Diva tenang.

   "Coba, siapa yang memutuskan untuk memiliki anak di antara kalian Bintang Jatuh berdua? Jujur."

   "Kami berdua memang sepakat. Tapi yang jelas, orang tua kami tak sabar menggendong cucu. Katanya, jangan ditunda-tunda, nanti malah nggak dapatdapat, karier bisa diatur, anak bawa rezekinya sendiri**"

   Diva terkekeh.

   "Mereka nggak tahu, ternyata kelakuan anaknya masih seperti bayi, pakai ditambah bayi sungguhan pula."

   "Dan kalau anakku lagi lucu-lucunya, dia pasti bakal didominasi kakekneneknya. Eeh... begitu giliran kencing, e'ek, langsung pindah tangan! Sialan! Ha-ha-ha!"

   "Sudah ah, capek."

   Diva berbenah, siap bangkit.

   "Sedari tadi, kamu tidak tahu sebenarnya siapa yang menghibur siapa."

   Mereka berdua pun berdiri, diiringi embusan napas lega para pelayan.

   Tak lama kemudian jip mewah itu kembali melaju di jalanan yang melengang.

   Sunyi, ditandai suara deru ban yang berkumandang tanpa iringan musik atau obrolan.

   Putaran ban melambat ketika mendekati sebuah hotel.

   "Kamu serius?"

   Diva melirik.

   "saya pikir benar-benar cuma makan malam."

   Mobil itu memasuki pelataran parkir hotel, dan berhenti di sana. Muka Nanda tertekuk.

   "Jangan jadi beban. Untuk kesenangan sendiri saja, kok jadi beban."

   Mendengarnya, wajah Nanda malah makin berat.

   "Hidup kamu itu gimana, sih? Sudah saya bilang, jadi orang sinting itu harusnya gampang. Jadi, nggak usah berlagak waras dengan pasang muka begitu."

   Pria itu seketika mendongak. Ada yang bergolak di dalam sana. Diva agak terkejut melihat sorot seperti itu untuk pertama kalinya keluar.

   "Diva, kalau saya harus mengeluarkan uang untuk... sebuah kesenangan... saya lebih suka membayar kamu untuk makan malam seperti tadi, daripada... daripada... ah, kamu tahu sendiri. Mungkin ini kedengarannya bodoh, tapi saya ingin kamu men-charge saya malam ini, biarpun sebenarnya kita tidak..."

   A Diva menggelengkan kepala, pelan.

   "Saya masih belum gila, Nanda. Sekalipun kamu sudah. Dan belum ada rencana ke arah sana juga. Ketulusan bukan ketulusan lagi kalau kita mulai memperjualbelikannya. Saya memang punya dagangan, sama seperti kamu. Kita sama-sama harus begitu untuk bertahan di dunianya tukang dagang. Tapi jangan cemari satusatunya jalan pulangmu untuk keluar dari semua sampah ini, kembali ke diri kamu sebenarnya. Sorot mata yang hidup tadi, digerakkan kejujuran yang berontak dari dalam sana. Terkutuklah Diva si Pelacur begitu ia mulai memunguti uang di atasnya. Ya, terkutuklah dia,"

   Gadis itu menunduk sambil memainkan ujung baju. Diakhiri suara kunci mobil berputar, Nanda memutuskan menghabisi kegaduhan alam pikirnya.

   "Yuk, kita turun,"

   Ia menggamit tangan Diva.

   Di kamar hotel yang sunyi, Nanda mendekap lembut tubuh Diva yang tergolek polosA"mumpung ia masih punya hak melakukannya.

   Uap keringat yang panas tadi tak membekas di hati.

   Sama sekali.

   Semuanya bahkan seperti mimpi buruk.

   Ia serasa bermimpi baru saja memperkosa ibunya, atau adik perempuannya.

   Demi untuk bisa menyerahkan amplop itu.

   Nanda membenamkan wajahnya semakin dalam, tenggelam dalam tengkuk Diva.

   Selelah orang disuruh menggusur gunung, ia pun tidak tahan lagi.

   Mulai menangis.

   Amat pelan.

   Lelah mencari bahasa yang sanggup mengungkapkan perasaannya.

   Lelah mendapati kenyataan bahwa bahasa yang ia cakapkan hanyalah angka.

   Andaikan ia mampu mengganti isi amplop itu dengan surat cinta.

   Surat penuh syukur.

   Tanpa perlu satu pun huruf.

   Hari bergulir cepat bagi seorang Diva.

   Walau seringkali ia harus menghambarkan rasa, seperti malam ini.

   "Halo, cantik."

   Pria beruban itu cengengesan sambil melepas kacamata tebalnya. Namanya Margono, tapi selalu berkeras ingin dipanggil MargoA"nama gaulnya waktu muda dulu. Usianya sudah lewat 50 tahun. Seorang guru besar ilmu sosial universitas top di Jakarta.

   "Halo juga,"

   Jawab Diva tenang.

   "apa kabar pendidik bangsa kita satu ini?"

   Pria itu tertawa.

   "Aku suka sindiranmu itu. Pendidikmu tersayang ini sedang kangen berat. Kangen kamu!"

   "Untung juga Bapak nyambi ngajar di program-program magister pengeruk uang itu, ya? Gaji dosen beneran mana bisa bayar saya, Pak! Atau lagi ada proyek pendidikan yang bisa dicatut?"

   F "Pendidikan sekarang sudah jadi bisnis, Non. Dunia ini semakin mahal, ilmu tidak tekecuali."

   "Yang penting, jangan sampai kembali ke Kramat Tunggak, ya. Pak?"

   "Nona Manis, tua-tua begini aku masih punya selera tinggi. Kalau bukan kamu, ya aku mana mau."

   "Jangan harap saya tersanjung mendengarnya."

   "Mana G-string pesantfnku tadi? Sudah kamu pakai, cantik?"

   Diva mengangguk kecil.

   "Kalau Bapak ingin lihat saya pakainya di depan Bapak, itu akan kena charge tambahan. Saya nggak kepingin malam ini Bapak jadi bangkrut."

   Lelaki itu menggosok-gosokkan tangannya, terbakar gairah. Dengan penuh semangat ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah botol obat, lalu menelan dua butir pil.

   "Div, katanya bakal keluar saingannya Viagra. Lebih tokcer. Viagra kan bekerjanya terpusat di organ situ saja. Kalau yang baru ini kerjanya langsung menstimulasi otak. Nanti temanku ada yang bakalan pergi simposium ke Boston, ha-ha... aku mau titip sebotol!"

   Rupanya ia berhadapan dengan bandot gaek yang mencoba mengasah tanduk yang bahkan sudah membelesak ke dalam. Ingin rasanya Diva menghadapkan cermin. Pak Margono melihat jam tangannya.

   "Kita tunggu sepuluh menit. Katanya barang ini akan bereaksi dalam sepuluh menit, paling lama lima belas."

   Diva pun duduk, melipat tangan.

   "Sudah sampai mana Supernova proyek keroyokan resensi Das Kapital-nya, Pak?"

   "Ah, segitu-segitu sajalah. Terlalu banyak sudut pandang malah jadi pusing. Yang satu ingin menekankan kritik soal materialisme historisnyalah, ada yang ingin mengulas etika otonominyalah. Saya suruh saja mereka tulis semua yang mereka mau. Paling-paling nantinya saya car i lagi satu orang buat meramu-ramu, chief editor, semacam itu."

   "Saya mau tuh, Pak, jadi yang meramu-ramu,"

   Diva langsung menawarkan diri, bersemangat.

   "Soalnya saya tidak akan hanya mulai dari Marx lalu berhenti di Marx lagi. Saya pernah iseng-iseng merangkum pemikirannya Hegel, Feuerbach, Kant, FichteA"semuanya dalam kerangka Marx. Dan bukan cuma itu saja, juga spill-down pemikirannya Marx; Gramsci, sampai ke neo-Gramscian. Oh ya, juga kritiknya Habermas. Saya pernah baca ulasan tentang itu, menarik sekali, apalagi yang menyangkut faktor emansipatoris masyarakat. Tapi yang lebih penting lagi adalah relevansinya dengan kondisi sekarang, dan pemicu awal ide Marx itu sendiri, apa yang sebenarnya ia lihat..."

   Pak Margono memotongnya dengan tawa mafhum.

   "Manisku, saya tahu kamu lebih cerdas dari dosendosen itu semua, tapi kamu itu siapa? Maaf lho, tanpa bermaksud menyinggung."

   Diva mengangkat bahu ringan.

   "Maksudku, kamu kan tidak punya latar belakang civitas akademika sama sekali. Kamu tidak punya titel apa-apa, mmm... bukan berarti kamu tidak mampu, lho,"

   Beliau sibuk meralat.

   "Memangnya penikmat ilmu seperti saya ini tidak bisa diakui ya, Pak?"

   "Ya, parameter pengakuannya apa? Kan mesti ada kurikulum, ada sistem pengujian, ada pertanggungjawaban hasil akhir. Titel kan ndak dikasih sembarang."

   "Masalahnya, saya tidak percaya dengan sistem pendidikan Bapak itu. Orang-orang diajari untuk berpikir parsial, tidak menyeluruh, timpang. Makanya kalau ngomong suka ngaco, dan bikin keputusan simpang siur. Arogansi pengetahuan yang berlebih, arogansi agama yang berlebih, arogansi budaya yang berlebih, itu semua karena pendidikan yang basisnya parsial. Sementara konteks utamanya malah ditenggelamkan,"

   Tukasnya berapi-api.

   "Walaah, yo uwis, wis, kamu beli izasah, saja deh. Nanti biar bisa jadi dosen! Ada kenalanku yang bisa mengurus sertifikasinya. Langsung S-3 juga bisa,"

   Kata Pak Margono, kewalahan.

   "Sudahlah, Pak,"

   Potong Diva malas.

   "tunggu sampai saya bikin sekolah sendiri saja. Sekolah yang kasih ilmu, bukan kasih titel."

   "Asyik, nanti Bapak boleh dong mengajar di sana,"

   Celetuknya genit.

   "Ya, mana boleh. Produknya nanti kayak Bapak semua, dong. Mau jadi apa bangsa ini..."

   "Panggil aku Margo, cantik."

   Diva makin tidak habis pikir. Pak Margono mulai gelisah. Bolak-balik lihat jam.

   "Div, ini sudah sebelas menit kok belum ada apa-apaan ya?"

   "Nggak usah dipaksakan. Pak,"

   Diva nyengir.

   "saya bisa pergi dari sini. Full refund."

   "Aduh, piye iki? Mungkin kamu mesti bugil dulu! Atau apalah! Bikin apa 'gitu sama aku..."

   Lelaki itu panik sungguhan. Dengan santai. Diva menurut. Melucuti bajunya satu-satu.

   "Nih, sudah."

   Mata Pak Margono langsung membelalak seperti burung hantu. Ngiler.

   "Sini, sini kamu..."

   Panggilnya membabi-buta.

   Diva yang mendekat langsung disergap tanpa ampun.

   Jelas sekali bapak itu berusaha keras.

   Ia berusaha, dan berusaha.

   Lima belas menit lewat sudah...

   sembilan belas menit...

   dua puluh dua...

   akhirnya ia menyerah, kepayahan, dengan napas memburu yang tak menghasilkan.

   "Mungkin Bapak mesti tunggu obat titipan dari Amerika itu datang,"

   Ujar Diva seraya bangkit berdiri. Ia pun mulai berbenah. Pak Margono terkulai, persis penisnya. Tanpa sanggup lagi berkata apa-apa. Diva menghampiri amplopnya. Mengambil setengah. Supernova KEPING "Such a Small World, eh?"

   Tidakkah kamu ingin jatuh cinta padanya?"

   Tanya Ruben sambil menepukkan naskah itu ke dada. Sigap, Dhimas langsung merebutnya kembali.

   "Syukurlah dia cuma tokoh fiktif,"

   Timpalnya cepat. Ruben mesem-mesem.

   "Sengaja, ya? Bintang Jatuh itu kok banyak miripnya denganku."

   "Sablengnya iya."

   "Menurutku, dia adalah Ruben Ehud versi perempuan."

   "Terserahmulah."

   "Oh, please, jangan bilang kamu cemburu sama tokoh karanganmu sendiri."

   "Justru aku yang tidak rela kamu menyama-nyamakan diri dengan dia."

   FAM "Ha-ha! Itu lebih lucu lagi. Jadi, sekarang kitaribut gara-gara memperebutkan wanita yang bahkan tidak eksis! Ruben terbahak.

   "Dan kita ini homo!"

   Mereka terpingkal-pingkal.

   "Kayaknya kita butuh istirahat sebentar..."

   "Setuju." *Ini ongkos saya telanjang tadi. Margo,"

   Katanya sambi melangkah pergi.

   "dan biaya ganti rugi G-string saya yan kamu robek."

   Pintu itu pun menutup. supernova Dari posisinya masing-masing, keduanya pUn meregangkan badan. Tak lama kemudian, Ruben melangkah ke dapur, membuat secangkir kopi.

   "Kamu tidak takut jantungmu meledak, ya? Coba sekali-sekali hitung ada berapa bekas cangkir itu."

   "Ah, toh kita semua bakal mati. Dan aku tetap bangga dengan jasadku yang sarat kafein,"

   Sahut Ruben dari dapur.

   "Ya! Tanah liang kuburmu nanti bisa orang-orang pakai buat bikin kopi. Tinggal bekal air panas dan cangkir dari rumah."

   Sejenak mereka berdua kembali membumi. Ruben mencari-cari makanan kecil sambil meniupi kopi panasnya. Dhimas selonjoran sambil membaca majalah.

   "Kamu nggak merasa buang-buang waktu baca majalah kosmopolis begitu?"

   "Lighten up, Ruben. Aku kan masih ingin tahu dunia."

   "Ya, ya, ya. Aku memang si serius yang membosankan."

   Ruben ikut berselonjor.

   "Ada yang menarik dari dunia selebriti kita?"

   Dhimas membolak-balik majalah itu, dan tiba-tiba berhenti di satu artikel.

   "Sepertinya ada..."

   Gumamnya pelan.

   "Mana coba, manusia kuper ini kepingin tahu."

   "Lihat ini,"

   Dhimas menyorongkan artikel dengan foto seorang pria terpampang besar.

   "Kamu masih ingat dia, nggak?"

   Ruben menajamkan mata.

   "Ferre?"

   "Ya, Ferre, lulusan Berkeley. Dulu kita pernah bertemu di acara ramah tamah PERMIAS. Tahun berapa itu, ya?"

   "Oh! Aku ingat. Anak itu sempat ngobrol denganku garagara kita sama-sama tidak tertarik ikut kepengurusan. Apalagi dia, yang dari junior high sudah di Amerika, mana lagi merasa dirinya mahasiswa pendatang."

   "Geng konsulat?"

   "Lebih parah. geng imigran. Dia muncul di acara itu kan cuma gara-gara diajak sobatnya."

   "Adiknya si Miranda itu, kan? Siapa namanya..."

   "Rafael!"

   "Ale! Nama panggilannya Ale. Miranda kan tetanggaku di Kebayoran Baru. Dulu waktu masih SD-SMP, aku sering main ke rumahnya." -Such a small world, eh? Rafael itu pernah Až,lm flflt-ku waktu dia baru datang ke Balti^Ehn,I^ * tggu sudah pindah^ Nggak betah katanya,' Baltiniore nggak ada apa-apaan, akhirnya dia minggat ke SF'tatar Ruben.

   "dan temannya ini sekarang malah jadi selebriS padahal kalau dia berkarier di Amerika, paling-paling cum jadi debu di tengah gurun. Aku jamin tidak bakalan eksis " -Jangan terlalu kejam. Orang ini memang pintar, kok. Ganteng lagi."

   "Lumayan."

   Dhimas membaca artikel itu lebih saksama.

   "Hei, tahu nggak..."

   "Dia homo juga?" -Ferre ini cocok sekali dengan karakter Ksatria kita."

   "Wah."

   "Umur 29, single, sudah jadi MD... ha! Perusahaan asing! Sempurna!"

   "Tapi jangan lupa,"

   Ruben menggoyangkan telunjuknya.

   "dia itu geng imigran. Masuk sini jadi barang impor. Ekspatriat. Apa anehnya ekspatriat dapat posisi begitu di negara ini?"

   "Bisa nggak, sih kamu berhenti sinis? Sebentar saja."

   KEPING Cinta Tidak Butuh Tali Ada gambaran mereka berdua dalam benaknya.

   Di sebuah Minggu siang yang langka.

   Kala mendung dan gerimis kecil merambati jendela.

   Saat mereka bersantai di atas karpet kamar kerjanya, menghadapi hamparan komik Jepang pemberian Rana.

   Kariage Kun.

   "Kamu masih baca komik ini?"

   "Ya masih, dong!"

   Rana menjawab, dengan bangga pula.

   "Kamu?"

   "Masih juga."

   "Bukan mentang-mentang saya yang kasih, kan?"

   Bgiv "Bukan, Puteri."

   Lama tidak ada tanggapan.

   "Rana...?"

   Mata kekasihnya nanar, menahan pilu.

   "Hati saya rasanya masih meleleh setiap kali kamu memanggil saya 'Puteri',"

   Rana berkata lirih.

   "Suami kamu tidak cemburu sama si Kariage?"

   Balas Re, tidak mengindahkan.

   "Kadangkadang, apalagi kalau saya ketawanya sendirian." 'Heran, saya kok malah senang lihat kamu baca komik ini."

   Mata Rana kembali punya sinar.

   "Alasannya'"

   A"Bagi saya, adalah keindahan melihat kamu asyik di aummu sendui. Kamu benar-benar tenggelam Vud jangan, kening kamu kerat-kerut sampai IL^Z\ meledak sendirian. Lucu. Ketawa "Kamu memang mencintai saya dengan tepat, Ferre "

   Aku mencintaimu sepenuh hati, Puteri. Tak peduli lagi tepat atau tidak. Tak peduli kau menyadari aku hilang atau tampak. Tak peduli kau bahagia dengan diriku atau cuma dengan sel otak.

   "Apa ini?"

   Tanya Re heran ketika disodori sebatang pensil kayu. Sebuah pensil kayu jelek hadiah dari restoran yang ujungnya diraut sembarangan dengan pisau.

   "Kita buat taruhan, yuk!"

   "Taruhan apa, Puteri?"

   Tanya Re pasrah.

   "Tiap kali kita kangen, kita coret garis di kertas, terus kita hitung mulai dari jam kita bangun sampai tidur, baru kita saling melapor dan dihitung siapa yang paling banyak. Tapi jujur, ya! Awas kalau enggak!"

   Re berpikir sejenak, senyumnya pun melebar.

   "Boleh. Taruhannya apa?"

   "Yang kalah harus membuatkan puisi."

   "Puisi? Itu tidak adil namanya. Kamu penulis, terlalu mudah untuk kamu membuat puisi."

   "Kamu keliru, sayang. Saya memang sering menulis, tapi karena harus. Puisi membutuhkan lebih dari sekadar jam terbang. Ingat saya pernah bilang soal pekerjaan yang masih punya ruang untuk inspirasi? Penulis puisi bukan hanya mendengar ketukan inspirasi di pintunya. Ia merobohkan seluruh dinding! Inspirasi nggak perlu lagi ngomong 'permisi'."

   Inspirasi.

   Kata itu mengempaskannya kembali ke lorong-lorong gelap masa lalu.

   Kenangan beranak kenangan.

   Dulu aku adalah pujangga.

   A Seorang arwah pujangga tersasar masuk ke dalam tubuh mungiiicu.

   Dulu aku berkata-kata bak mutiara nan wangi.

   Dan mutiara sangatlah aneh di tengah batu kali.

   Pikiranku adalah seribu persimpangan dalam sekotak korek api.

   Karena itulah aku anomali.

   "Kamu pasti kalah, sayang. Jadi siap-siap merancang puisi dari sekarang,"

   Bisik Rana manja. Re menatapnya sambil memainkan pensil kayu itu.

   "Kamu tahu aku tidak bisa..."

   "Berarti dari kita tidak boleh ada yang kalah."

   Rana mengambil tangan kekasihnya, mengecupnya lembut.

   Suara gerimis kembali mengambil alih.

   Sudah kumenangkan taruhan ini, bahkan dengan amat adil.

   Jauh sebelum kau menyerahkan kertas dan pensil.

   Karena rinduku menetas sebanyak tetes gerimis.

   Tidak butuh kertas, atau corengan garis.

   Genggamlah jantungku dan hitung denyutannya ...

   Sebanyak itulah aku merindukanmu, Puteri.

   "Re..."

   "Ya?"

   "Saya menang."

   "Kok bisa..."

   "Saya sudah kangen duluan."

   "Menurut kamu, telepati itu ada tidak?"

   "Kenapa memangnya?"

   "Barusan saya juga memikirkan hal yang sama."

   "I love you,"

   Rana mempererat genggamannya.

   "I love you, too. Princess."

   Di tengah rapat dengan orang-orang finance-nya yang masih berjalan, pikiran Re sudah melesat pergi seliar api mercon.

   Memasuki sandwich memori nan lezat.

   Ini dia kendaraannya...

   pensil kayu pemberian Rana.

   Tak pernah lepas dati kantong.

   Diam-diam tangan kirinya mencoretkan garis-garis di selembar kertas.

   Hampir dua menit sekali.

   Karena ini ia dinamakan si jantung hati.

   Memompa lembut seperti angin memijat langit.

   Berdenyut lincah seperti buih yang terus berkelit.

   uinta 1idak butuh tau Dan darah cinta adalah udara, Dengan roh rindu yang menumpang lewat di dada.

   Orang-orang di sekitarnya mulai sadar.

   Bos mereka bolak-balik menghela napas.

   Persis sedang senam waitankung.

   Kembali melandas di hari Minggu.

   Puncak segala siksa.

   Di kantor ia selalu melamunkan hari ini, tapi di hari ini lamunannya selalu mentok ke jalan buntu.

   Gawatnya, sekarang tidak ada pekerjaan untuk mendistraksi.

   Sedan perak di rumah seberangnya sudah pulang lagi, membuatnya tersadar seharian ini ia tidak ke luar rumah sama sekali.

   Komik Kariage Kun yang jadi pelariannya juga sudah tidak lucu lagi.

   Benar-benar cuma satu yang menggugah minat.

   teleponA"deringannya atau kesempatan menelepon.

   Asal dan tujuan benar-benar spesifik.

   Rana.

   Telepati itu bualan, umpatnya, makanya Alexander Graham Bell ditakdirkan jadi penemu telepon.

   Re melirik ke luar jendela lagi.

   Hamparan rumah mewah model townhouse yang tertata apik.

   Hunian ideal bagi para lajang sukses.

   Dalam satu geliat nasib, mendadak rumah ini terasa begitu sepi dan.ia adalah si lajang loser.

   Lima menit kemudian Re tersadar betapa konyol ini semua.

   Ia, yang dikenal sebagai pengguna waktu yang efisien dan efektif, telah membuang setengah hari untuk melakukan sesuatu yang tak bermakna.

   Berlari di tempat.

   Hanya dalam waktu hitungan bulan.

   Bahkan beberapa minggu yang lalu, ia masih berusaha keras menyangkal semuanya, yang juga perbuatan yang tolol, karena ia hampir tak mampu menutupi apa pun.

   Satu malam ketika pergi makan dengan A le, telepon genggamnya berdering.

   Pertama kali ia tertangkap basah.

   "Hei, Rana? Oh, ya? Sudah terbit? Pasti! Kapan saya bisa baca..."

   Re memutar posisi duduknya, memunggungi Ale.

   "Rana? Reporter itu?"

   Ale langsung bertanya begitu Re berbalik.

   "Yup."

   "Kamu suka sama dia."

   "Sok tahu."

   "Aku melihatnya sejelas melihat sendok ini."

   "Gila. Dia sudah bersuami, tahu!"

   Re berkata, defensif.

   "Lalu? Suka is suka. Sejak kapan pakai pilih-pilih?"

   Re tergelak.

   "Le, kita bukan freshmen lagi. Umurku berkepala tiga dalam beberapa bulan lagi. Aku tahu banyak sekali bandot nggak pernah gede di usianya yang ke-50 sekian. But sorry, not me."

   Tiba-tiba telepon genggam Re berbunyi lagi.

   "Halo..."

   Ujarnya ragu-ragu.

   "Hai!"

   Suara enerjik dan penuh vitalitas itu lagi, menyapanya dengan keceriaan murni. Refleks, Re melangkah menjauh sambil meneruskan percakapan. Ale tersenyum sendiri. Lima menit kemudian, sahabatnya kembali berjalan mendekat.

   "Rana lagi?"1

   "Ya,"

   Jawab Re pendek.

   "Kamu benar-benar suka sama dia."

   "Jangan asal."

   Makanan mereka datang. '-^.

   "Re,".panggil Ale di antara kunyahannya.

   "penerangan di sini remang-remang. Apalagi di tempat kamu berdiri tadi. Tapi saking bersinarnya mukamu, semua orang di sini sampai silau."

   "Ngaco,"

   Dumel Re pelan.

   Kepalanya makin merunduk mendekati piring.

   Semua orang menyimpan sebongkah matahari dalam dirinya.

   Ada yang terbit dan ada yang terbenam.

   Matahariku bersinar nonstop dua puluh empat jam..

   Masih adakah cucian yang belum kering? Adakah sampah yang ingin kalian bakar? Mari, dekatkan pada wajahku.

   Baginya, gejolak 24 jam itu adalah kemajuan.

   Bagi Ale, itu dekadensi besar dan sudah kenyang Re dimakinya.

   Pembuangan waktu seperti ini juga akan jadi bahan omelan empuk.

   Rp mplirilr iam .

   npmac Cinta Tidak butuh Tali Ayo Puteri, cambuklah kuda waktuku, agar ia sedikit berlari, dan berarti.

   Mendadak ia tercenung.

   Mungkin memang begini ini adanya...

   Cinta tidak membebaskan.

   Konsep itu memang utopis.

   Cinta itu tirani.

   Ia membelenggu.

   Menggiringnya ke lorong panjang pengorbanan.

   Kini ia mengerti.

   Bahkan reputasi emasnya, karier platinumnya, tidak ada yang punya arti di saat seperti ini.

   Dengan tak berdaya kesemuanya itu berlutut di hadapan mahligai agung sebuah hipercandu bernama Cinta.

   Membuat dirinya terasa sangat remeh.

   Tak berarti.

   Rana Arwin hafal benar siklusnya dan Rana sangat menyesali hal itu.

   Ia sudah mencoba berbagai cara, dari mulai pura-pura tidur sampai mengaku keputihan.

   Dan kini ia kehabisan akal.

   Ia sadar, semakin lama ini berjalan, ia malah menjadikan suaminya singa kelaparan yang siap menyerang begitu ada kesempatan.

   Yang lebih penting lagi, semua ini akan menimbulkan kecurigaan.

   Apalagi dengan program yang sudah mereka sepakati; punya anak tahun ini.

   Sudah sewajarnya kegiatan tersebut justru diintensifkan.

   Rana benar-benar tersiksa.

   Arwin keluar dari pintu kamar mandi, siap berbaring.

   Rana menatap suaminya.

   Ia kenal betul ekspresi itu.

   Apa maunya.

   Dan seperti kucing basah kuyup, Rana makin meringkuk di sisi kiri tempat tidur.."Kamu sudah tidak minum pil KB lagi, kan sayang?"

   "Tidak, Mas,"

   Rana menelan ludah.

   Setiap hari.

   Microgynon lebih penting dari makan siang.

   Tak pernah lewat Tak akan kubiarkan diriku alpa.

   Lampu dipadamkan.

   Rana balik badan seketika.

   Menguap berkali-kali.

   Demonstratif.

   Ia lalu memejamkan mata kuat-kuat, dan menajamkan telinga penuh siaga.

   Setiap bunyi gemerisik Supernova seprai membuat jantungnya berdegup kencang.

   Perlahan ia mulai merasakannya, tangan Arwin yang merangkulnya dari belakang.

   Napas hangatnya yang meniupi tengkuk.

   Sapuan-sapuan penuh maksud yang membelai kulitnya.

   "Rana.../ Arwin berbisik.

   "kok tangan kamu dingin kayak es?"

   "Masa, sih?"

   Gugup Rana menjawab, suaranya bergetar.

   "Kamu sehat-sehat kan, sayang?"

   "Agak nggak enak badan. Mas. Mungkin masuk angin."

   Jangan, jangan lakukan itu. Aku mohon.

   "Mau dibuat enak sama Mas?"

   Rayu Arwin.

   Biasanya rayuan itu selalu berhasil.

   Dan malam ini ia harus berhasil.

   Sudah lama sekali ia tidak...

   Hanya tembok dan langit-langit yang tahu, bagaimana Rana meringis dan mengernyit jengah.

   Dalam titik kepasrahannya.

   Rana berteriak sunyi...

   Re, tolong aku.

   Aku diperkosa.

   Dhimas & Ruben "Apa kabar Ksatria dan Puteri kita?"

   Ruben menepuk bahu Dhimas yang masih tekun mengetik.

   "Malang... tambah malang."

   "Seberapa malang?"

   "Kamu bisa bayangkan apa rasanya ketika statusmu bagaikan penjara dan tempat tidurmu adalah neraka?" .

   "Mendadak surgamu jadi super simpel. Cukup satu 'halo' di telepon, atau satu 'hai' di tengah keramaian,"

   Ruben tertawa. Tiba-tiba Dhimas berhenti mengetik, memutar duduknya, dan memandang Ruben.

   "Menuliskan kisah orang-orang ini membuatku sadar, ternyata aku sangat beruntung,"

   Ucapnya sungguh-sungguh.

   "Kamu membuatku merasa bangga dengan diriku sendiri, Ruben. Kamu memberi hubungan ini suatu visi. Dan lihat, kita tidak lari dari kenyataan. Kita juga bukan pasangan gay umbar libido seperti yang orang banyak kira. Kita... adalah sahabat terbaik. Partner hidup."

   "Kemerdekaan. Itu kuncinya,"

   Ucap Ruben perlahan. Cinta Tidak Butuh Tau "Pernahkah kita berikrar untuk mengikatkan diri? Cinta kan tidak butuh tali. Ia membebaskan. Jadi, buat apa kita melawan arusnya dan malah saling menjajah?"

   Lamat-lamat Dhimas tersenyum, meraih tangan kekasihnya dan menggenggamnya erat.

   Supernova Ia mengklik inbox-nya.

   Merayapi surat demi surat yang masuk.

   >Supernovai saya mulai malas pergi melayat* Saya sedih >melihat orangorang berdukacita akan sesuatu yang >seharusnya membahagiakan.

   Saya juga malas.

   Dengan alasan yang sama* Tapii pergilah untuk orang-orang yang merasa ditinggalkan itu.

   Anggaplah mereka menangis karena diri mereka belum terbangun dari mimpi-A-sementara yang mati sudah A Sama malasnya saya pergi ke resepsi pernikahan* Kebanyakan dari mereka tidak tahu apa yang mereka perbuatA Dan orang-orang malah turut bersukacitaA Yang jelas mereka memang membutuhkan doa.

   Banyak doa-Datanglah untuk berdoa* < s e n d> >Supernovai saya suka sekali membaca artikel Anda >tentang budaya pop dan post-modernismeA Dari >artikelartikal Anda selama ini i apakah Anda sadar >bahua Anda adalah seorang post-strukturalisf >Anda menentang semua struktur* Saya '-post1 terhadap apa pun yang Anda pegang tahun lalu-, kemarin i bahkan detik yang barusan lewat A Kita sedang ber-evolusi* Anda bisa memperlancar prosesnya dengan berhenti menggolong-golongkan* Jangan repot-repot* < s e n d > >Supernovai kebencian dan ketakutan saya pada ortu saya >tidak tertolong lagi* Saya tidak tahu mesti ngapain.

   >Saya baru sadar-, saya TIDAK TAHU APA-APA* Tidak >bertujuanA Tidak punya cita-cita* Bertahun-tahun saya >dibesarkan-i dan saya cuma bisa menghabiskan oksigen* >Entah apa saja yang mereka jejalkan dalam otak saya* >P1ungk in cuma kentut* >Jangan salahkan saya kalau saya lebih doyan drugs.

   >Mereka yang marah-marah itu tidak tahu enaknya drugs >dan sucks-nya hidup-Bisanya cuma masuk in anak ke RSKO* >Bolehkah saya ketemu kamui Supernova? Saya mau kerja >apa saja untuk kamu* Saya ingin jadi bermanfaat* Di RSKOi badan kamu didetoksif ikasi * Di Supernova-, pikiran kamu didisinfeksi-Infeksi pertama yang harus kamu sembuhkan adalah.

   kebencian dan ketakutan kamu* Bukan pada orang tua kamu* Tapi pada diri kamu sendiri* Satu-satunya yang tidak diajarkan padamu adalah mengenal diri sendiri* Karena itu kamu benci dan takut terhadap hidup* Satu-satunya hal yang dilakukan drugs untuk kamu adalah meminjamkan seremah surga dengan bayaran segumpal sel otak* Transaksi yang sama sekali tidak sepadan* Solusi yang benar-benar destruktif* Otak kamu dapat disegarkan i tanpa harus dirusak fungsinya* Tergantung apa yang kamu pikirkan-* yang kamu MAU pikirkanA-Satu-satunya manfaat yang bisa kamu berikan pada Supernova adalah meledak bersama* Ledakkan pikiranmu* Segarkanlah ia dari virus-virus yang membuat arus hidup ini mampat* Supernova ada di .mana-mana* Saya*** kamu*** kita lebih LUAS dari yang kamu duga* Jadi-, percayalah-, kehadiranmu di sini adalah manfaat terbesar* Tanpa kita harus bertemu muka A < s e n d > >Supernovai kamu adalah VIRUS!! Memang * Baru sadar.? < s e n d > >Super novai saya adalah fans fanatik taman kanak-kanakmu* Tapi kamu harus hati-hati* >Tidak sedikit orang yang akan menjegal kegiatanmuA-> II e reka menganggap pengetahuan dalam jaring laba-laba >ini membahayakan* Tidak sesuai dengan konstitusi dan >ideologiA-Tidak sesuai dengan apa pun yang kita kenal >kebanyakan di tengah masyarakat-Saya khawatir* Saya >tidak ingin TK ini sampai dibredel* siht banyak terima kasih untuk perhatian feri*3 tapi pernahkah saya menentang sesuatuf Saya k^a' errawarkan perspektif baru* Mengolah simpul^ny3 ang saya lihat bagi Anda semua* Andalah yang simPu* kan selanjutnya* Zaya tidak punya kepentingan a*1**.

   pun atas cocok tidaknya pengetahuan ini gedi^1 ^onstitusii norma-A-budaya-, atau ideologi apa den9an Anda dan orang banyak percaya* Tujuan saya pun ^anerlgkomparasi A Saya menawarkan analogi untuk buka"

   Fieksikani demi kehidupan dan wajah dunia Anda lebih baik* Itu saja* Adakah semua itu merusak v3"? Anda? Atau sebaliknya*.

   Anda merasa lebih Kel^UPSilakan jawab sendiri* baik" <sA"nd> 10 Kekekalan adalah Chaos nendekati pukul delapan malam, hidup kembali bergulir untuknya.

   Dengan langkah sigap dan mata awas bagaikan elang.

   Re menjemputnya di venue tempat ia meliput.

   "Re... aku tidak bisa lama. Setidaknya antarkan aku lagi subuh-subuh."

   LlpPteS-' Re mengangguk cepat.

   Begitu tangan mereka terpaut, Sang Waktu pun kembali menyusutkan tubuhnya.

   Membuat kedua insan itu berlari, terburu, tergesa, liarA"karena dipaksa menggandakan intensitas.

   APSp Malam banjir akan adrenalin.

   Malam panas akan cinta yang menggila ketika pintu penjara itu dibuka.

   Kebebasan dalam episode singkat.

   Terkutuklah Jakarta yang memaksa warganya tua di jalan raya.

   Ferre Ada saat tatkala kata terasa sia-sia.

   Di tempat tidur Re yang nyaman, mereka berdua menatap jendela.

   Hanya mengingat rasa.

   Alam begitu murung, sekaligus indah BA-A" .

   , raPat di hamparan lapangan golf itu.

   Rasanya ?a ."JJ* ijerkaca-" 113 Aku merasa begitu kecil di tengah keluasanku Rintikmu raksasa dalam mungil tetesmu Engkau menyelimuti dengan dingin.

   Dan semakin kau merapat, semakin membara alam ini Jutaan engkau kini turun membanjiriku Tak akan pernah aku meluap, Puteri.

   AKugali tanahku lebih dalam dan kubuka semua celah untuk menyerapmu.

   "Rana... jangan pulang."

   Ia tidak menjawab. Tapi tubuh itu mengirimkan getaran-getaran yang sudah sangat ia hafal.

   "Rana... jangan menangis."

   "Kamu baru saja mengatakan dua permintaan yang sama-sama mustahil."

   "Jangan pernah bilang 'mustahil'. Aku ngeri mendengarnya."

   "Tapi kita bisa apa...?"

   Pelukan itu perlahan mengendur.

   "Pertanyaan itu untuk kamu, Puteri. Bukan untuk saya."

   "Kamu memang tidak mengerti, tidak akan ada yang bisa."

   Re mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Mereka akan memasuki gerbang debat kusir, dan ia tak mau itu.

   "Ikatan saya banyak. Bukan hanya pernikahan dua orang, tapi saya juga menikah dengan keluarganya. Dengan segenap lapisan sosialnya. Saya tidak seperti kamu yang punya banyak kebebasan. Kamu tidak bisa membandingkan... Re memutar tubuh Rana, menatapnya luruslurus. Saya tidak membandingkan, karena saya tahu persis pembandingan tidak akan membawa kita ke mana-mana. Tapi saya ms melihat kamu memilikinya. Kekuatan untuk mendosa*. Membebaskan diri kamu sendiri." ; hidAž "Mendobrak apa? Moralitas? Norma sosial. Kita ni di dalamnya. Re. Saya cuma ingin mencoba iealisti ... KEPING "Tidakkah kamu menyakiti dirimu sendiri dengan menempatkannya demikian? Apa yang jahat di sini, Rana? Jahatkah saya mencintai kamu mati-matian? Begitu amoralkah semua perasaan ini?"

   Rana mendapatkan dirinya dalam dilema yang sama, lagi dan lagi. Ia lelah.

   "Mungkin lebih baik saya pulang,"

   Rana berkata lirih.

   "Ya, mungkin lebih baik begitu."

   Re pun bangkit.

   Kebahagiaan dan kesedihan kejar mengejar bagai dua hantu penasaran.

   Sedangkan mereka berdua adalah lintasan yang letih dilewati, tapi tak bisa bergerak ke mana-mana.

   Dan Waktu...

   adalah si Pak Tua yang cuma diam mengamati, angkuh memegangi bandul detiknya yang tak berkompromi.

   Dhimas & Ruben Dhimas yang pegal-pegal punggung akhirnya bangkit dari kursi kerjanya.

   Diambilnya back roller dan sibuklah ia meregangkan badan dengan per besar itu.

   Ruben mengamati kegiatan pasangannya.

   Tercenung.

   "Apa lihat-lihat?"

   "Kamu tahu apa yang dikatakan Einstein tentang waktu?"

   "Waktu juga berolahraga punggung?"

   Cetus Dhimas asal.

   "Ya."

   "Apa?!"

   "Waktu bukan cuma bisa dipahami lewat detik jam. Memangnya apa, sih itu detik? Apa itu jam? Apa itu hari? Sekadar istilah buat dikotomi langit terang dan langit gelap, kan?"

   "Jangan sok dekonstruktif. Memangnya kamu bisa bayangkan apa jadinya dunia ini kalau tidak ada detik dan jam."

   "Hanya tidak ada satuan. Waktu sendiri... apa sih itu waktu?"

   "Pikir sana sendiri.' Kamu yang nanya, kok aku yang suruh jawab."

   "Itu pertanyaan retoris, you silly."

   "Whatever."

   "24 jam, 365 hari, itu cuma satuan. Bagian dari sistem kalender yang bukan cuma satu di dunia. Tapi coba kita lebih akrab sedikit dengan waktu, bukan cuma lihat sisi mekanisnya saja, tapi dari sisi yang lebih pribadi. Kalau kata Einstein, waktu itu seperti karet. Elastis. Contohnya, di rumah orang tuamu, sedetik rasanya satu eon"

   Buatku. Tapi di Barnes & Noble, rasanya kalau perlu bumi tidak usah berputar,"

   Ruben menjelaskan.

   "Selain menghina orang tuaku, poin apa lagi yang kamu ingin sampaikan, heh?"

   "Oke, oke, ada tiga perspektif di sini."

   Ruben menggosokkan tangannya bersemangat.

   "Pertama, waktu yang mekanis. tik-tok-tik-tok jam di dinding. Kedua, waktu yang relatif...."

   Ftjpf "Waktu di rumah orang tuaku dan waktu yang di Barnes & Noble,"

   Potong Dhimas mangkel.

   "Pintar. Dan waktu yang ketiga. waktu ilusif. Bertolak dari premis bahwa sesungguhnya waktu tidak ada."

   "Lalu hubungannya dengan back roller ini?"

   "Lebih dari sekadar per yang menyusut dan meregang. Per-per itu bahkan tidak ada."

   "Jadi, kemarin adalah ilusi... tahun lalu cuma ilusi... hari ini juga ilusi..."

   "Dengar, otak kita adalah generator bipolar. Setiap input yang masuk langsung terbagi ke dua jalur. Jalur pertama diterima oleh cortex, yang fungsinya adalah menerjemahkan stimulus ke dalam siklus atraktor yang terbatas, atau disederhanakan sedemikian rupa sehingga menjadi informasi yang terkategori, entah itu bau, rasa, dan sebagainya. Dengan kata lain, cortex mengorganisasi chaos. Sementara jalur kedua, input ditampung oleh semacam generator acak. Input di situ bersifat nonspesifik, tidak terstruktur. Atau saking kompleksnya tidak ada informasi yang bisa diterjemahkan. Matti Bergstrom, ilmuwan Finlandia yang meneliti.masalah ini, bilang bahwa generator acak itu bisa kita rasakan waktu kita benar-benar baru bangun tidur. Kosong dan tidak ingat apa-apa, sampai akhirnya cortex kembali membanjiri kita u Kesatuan jangka waktu sepanjang seribu juta (109) tabun dengan informasi. Mengingatkan namamu siapa, sejarah hidupmu bagaimana, hartamu apa saja, pacarmu yang mana..."

   "Ya. Aku ingat saat kosong itu. Begitu cepat. Mungkin kurang dari sedetik/ sela Dhimas.

   "Waktu adalah konsep hasil terjemahannya cortex. Dan ingat, otak kita melakukannya di bawah sadar, semacam servis cuma-cuma, karena kita tidak sanggup mengerti chaos yang sebenarnya." -^aitu?"

   "Kekekalan. Kekekalan adalah chaos, Dhimas. Dan cortex menerjemahkannya menjadi masa lalu, masa sekarang, dan masa depan."

   "Tapi... untuk apa?"

   "Untuk apa?.1"

   Tawa Ruben menyembur.

   "Agar kita tahu apa rasanya tumbuh, berkembang... berevolusi. Mati dan hidup tak lebih dari sekadar gerbang pengalaman. Kita memilih mengalami keduanya dari detik pertama kita jadi embrio. Ingat, yang penting bukan dua ujung itu, tapi proses di tengahnya. Dalam hidup ini, fisik kita pun melalui berbagai suksesi ritme. tubuh yang tumbuh, sel yang terus berganti, dan ritmis suksesi yang sama juga berlaku untuk seluruh penghuni alam raya ini. Waktu adalah catatan penunjang dari suksesi alam."

   "Tapi lucunya, konsep waktu dimunculkan manusia di level pikirannya. Bukan fisik. Sel sendiri tidak kenal konsep Waktu. Ia hanya memperbaharui diri, terus-menerus, tanpa ada sangkutpautnya dengan hitungan sekon. Manusia sendirilah yang mengadakan linearitas waktu dan setuju untuk mengikutinya." * "Bingo! Konsep Wa ktu lahir dari keinginan fundamental manusia untuk punya kendali atas hidup, termasuk mengendalikan dirinya sendiri. Masa sekarang, masa lalu, dan masa depan, sesungguhnya hanya satu gerakan tunggal. Kekekalan."

   "Nah, kalau masa depan 'cuma ilusi, lalu bagaimana dengan ramalan, clairvoyance, horoskop, dan sejenisnya itu?"

   "Dalam kekekalan hadir segalanyaA"medan matriks yang tak terhingga berisi segala probabilitas dan potensi. Pada akikatnya, semua ramalan berbicara di level potensi. Namun kita menjalaninya dengan tendensi. Tendensimu akan memanifestasikan potensi tertentu. Tidak ada kemutlakan. Tapi poinnya adalah, potensi yang termanifestasi dan tidak, nilainya sama-sama saja. Tidak menjadikan yang satu lebih penting dari yang lain. Itulah dahsyatnya kekekalan1."

   "Berarti ada dua aspek dalam memahami realita. Pertama, aspek lokal, yang berkenaan dengan otak sebagai organ yang empiris. Lalu aspek global, yakni Kesadaran yang mencakup semua pengalaman empiris, temasuk pengalaman memiliki organ otak itu sendiri."

   "Ck-ck-ck, analisis yang bagus. Aku benar-benar terkesan."

   "Lalu bagaimana dengan masa lalu? Apa yang kita perbuat kemarin pasti memiliki jejak, kan?"

   Ruben mengangkat bahunya enteng.

   "Kalau kamu memang doyan koleksi sampah, ya iya."

   "Aku serius..Itu yang selalu menjadi kebingunganku dengan objek kuantum. Misalnya bulan itu..."

   Dhimas menunjuk ke luar jendela.

   "bulan sebagai objek kuantum hanya bisa diamati apabila ada aku sebagai pengamat, betul begitu?"

   "Betul."

   "Lalu kalau aku membalikkan badan, maka bulan seharusnya bisa ada, bisa tidak. Tapi kenyataannya satu dunia juga tahu kalau bulan tetap ada, terserah aku mau tidur, kek... pingsan, kek..."

   "Begini, sama halnya dengan otak, tubuh kita dan semua benda lain pun memiliki dua aspek. Ia memiliki elemen-elemen nonlokal yang menjadikannya objek kuantum, tapi di satu pihak ia juga objek klasik yang punya massa dan penyebaran gelombang kuantumnya cenderung lambat. Kelambatan itu menyebabkan lintasan dari pusat masa objek jadi sangat tertebak, yang akhirnya menciptakan semacam aura kontinuitas. Inilah yang disebut sebagai 'konsensus'. Bulan itu tetap ada di posisinya sekalipun kamu atau aku menunggingi langit. Kompleksitas dari benda makro membutuhkan regenerasi waktu yang panjang untuk sampai bisa diterjemahkan. Inilah yang kemudian membentuk memori."

   "Jadi, memori hanyalah residu?"

   "Kurang lebih. Sekarang bayangkan, sebuah otak memproduksi rata-rata 14.000 pemikiran per hari, lima juta per tahun, dan 350 juta selama hidupnya. Untuk tetap waras maka mayoritas pemikiran itu hanya berupa pengulangan, atau gema,"

   Jelas Ruben.

   "Dari sudut pandang fisikawan, semesta tak lebih dari sup kuantum yang membombardir indra kita dengan miliaran data setiap menitnya. Jumlah itu adalah chaos, dan harus bisa diorganisir ke dalam angka yang terkendalikan. Di situlah otak mengambil peran. Dengan tujuh respons dasarnya, otak tidak hanya menjaga kewarasan, tapi juga mampu menyuguhkan seluruh semesta."

   "Tujuh?"

   Ruben menarik napas.

   "Siap-siap. Ini bakalan panjang."

   "Tolong dibuat sependek mungkin. Terima kasih sebelumnya."

   "Pertama, respons hidup dan mati. Respons paling dasar. . Bahkan kutu rambut pun memilikinya. Lewat respons ini, hidup diproyeksikan sebagai rimba perjuangan, dan tujuanmu satu; bertahan hidup. Kedua, respons reaktif. Ini adalah upaya otak untuk menciptakan identitas. Setelah melewati tahap pertama, muncul kebutuhan yang lebih kompleks, yakni. ke-aku-an, kepemilikan. Ini jugalah perkenalan pertama kita dengan konsep kekuasaan, aturan, dan hukum. Ketiga, respons relaksasi. Di tengah hiruk-pikuk dunia' materi, otak yang senantiasa aktif pun menginginkan kedamaian. Ia ingin tenang, dan ia ingin yakin bahwa dunia luar bukanlah sumber segalanya. Nah, ketika ia mulai berpaling ke dalam, muncul respons keempat. respons intuitif. Otak mencari info ke luar dan juga ke dalam. Pengetahuan eksternal bersifat objektif, dan yang internal bersifat intuitif. Pada tahap ini ia mulai bersandar pada apa yang ada di 'dalam'.

   "Kelima, respons kreatif, manusia dimampukan untuk mencipta , mengeksplorasi fakta. Kemampuan ini datang dalam momen yang penuh keajaiban, yang sering kita sebut inspirasi. Kita berkaca pada Sang Pencipta, dan melalui refleksinya kita mencicipi peran sebagai kreator. Keenam, respons visioner. Otak memiliki kemampuan kontak langsung engan Kesadaran Murni yang sama sekali tidak ditemukan di dunia materi. Pada level inilah terjadi apa yang namanya mukjizat, atau fenomena-fenomena magis.

   "Ketujuh, respons murni. Otak kita berawalkan dari satu sel yang tidak memiliki fungsi-fungsi otak. Ia berawal dari satu cercah kehidupan. Tak terkategori. Sekalipun ada sistemasi biliunan saraf yang bergantung pada otak, tapi otak sendiri tidak kehilangan akarnya pada kemurnian. Itulah sumber yang sesungguhnya. Sesuatu yang tidak perlu berpikir, namun ada.

   "Melalui ketujuh respons ini, manusia melihat dunia terbentang untuknya. Dan apa yang ia lihat tergantung dari respons mana yang ia pergunakan. Otak adalah alat yang disediakan bagi kita untuk bermain dengan hidup. Permainannya sendiri... terserah Anda."

   "Aku sekarang mengerti arti 'momen' yang para spiritualis maksud. Mereka bilang, masa lalu dan masa depan hanyalah distraksi, menarik kita ke dalam abstraksi mental yang tidak nyata. Tidak ada yang lebih penting daripada saat ini."

   "Karena itulah momen di mana potensi teimanifestasi. Hanya pada saat ini kita mampu merasakan masa lalu dan mewujudkan masa depan. Saat ini selalu memperbaharui dirinya tanpa batas. Tapi begitu kita terjebak dalam linearitas, maka kita selamanya mengambang di pemahaman hidup yang paling dangkal."

   "Jadi, untuk apa kita menyesali masa lalu dan mencemaskan masa depan?"

   "Betul!"

   "Tapi bagaimana kalau sepuluh tahun lagi kamu jadi profesor botak/ jelek, pikun, berantakan..."

   "Jangan bicara soal itu."

   "Sori."

   "Satu pertanyaanku, Dhimas. Kalau mati dan hidup cuma pengalaman, berarti di manakah kita waktu tidak menjalani keduanya?"

   "Bersama Yang Tak Pernah Hidup dan Tak Pernah Mati."

   Ruben tersenyum lebar.

   "Itu kalimat terindah yang kudengar hari ini."

   KEPING Si Pencinta Alam Garagara aksinya di perlombaan fashion show anak-anak waktu itu, Diva diskors dari catwalk sebulan penuh.

   Tapi ia malah merasa diuntungkan, karena lebih punya banyak waktu di kebun kecilnya.

   Secara finansial, itu pun tidak berarti apa-apa.

   Alarmnya dengan rajin terus berbunyi, dan lembaran-lembaran dolar mengalir lancar ke rekeningnya.

   Kegiatannya tidak berubah.

   Seperti biasa, sehabis yoga, dengan tertib ia pun menyelesaikan latihannya di treadmill.

   Minum jus dua gelas, sambil melenturkan otot.

   Di bawah pancuran, dengan saksama ia menggosokkan scrub ke seluruh tubuhnya.

   Mencuci rambutnya dua kali dan mengoleskan vitamin.

   Membaluri seluruh kulitnya dengan pelembab.

   Ia tahu, pekerjaannya membutuhkan fisik yang selalu fit, penampilan yang prima.

   Tapi semua itu dilakukannya semata-mata karena ia merasa berkewajiban mengurus jasadA"

   Kendaraannya untuk menghadapi hidup.

   Dan kendaraan ini bukan kendaraan rombeng.

   Ia tidak akan pernah memperlakukannya demikian.

   Setiap tubuh adalah perangkat yang luar biasa menakjubkan.

   Namun malam ini Diva lebih cepat siap dari alarmnya sendiri.

   Sebuah fenomenon yang jarang-jarang terjadi.

   Yang satu ini tidak termasuk golongan klien t , erti sahabat, sekaligus satu-satunya pria yang dL niva untuk mencium bibirnya.

   Satu-satunya pula ort Sh diizinkan masuk ke ruang tamunya walau* -9 Jaar itu tidak.

   Diva pantang menjadikan tempat 1A" ^ SU pasar tempat orang berjual-beli.

   XiPu ^ tidak akan berdagang dengan yang satu ini.

   Tak lama kemudian, ada suara mobil memasuki pekarangannya.

   Diva langsung melonjak dari kursi menghambur keluar.

   "Gio! Como vai, queridoV'13 sapanya ceria.

   "Estb tudo bem, meu amor."1* Mereka berciuman hangat.

   "Kamu makin cantik. Kelihatannya kamu bahagia."

   Gio mengusap wajahnya lembut.

   "Memangnya kapan saya pernah sedih?"

   "Ah, ya. Kamu pasti masih Matahari yang dulu. Minha sol bonita."1* Gio mengecup keningnya penuh kesungguhan. Gio adalah peranakan Tionghoa-Portugal, ganteng bukan main. Ia telah lama pindah dari Jakarta ke Rio de Janeiro, dan kini baru saja pulang dari pegunungan Andes. Kulitnya masih menyala. Tubuhnya nampak semakin tegap.

   "Kamu mau makan malam dulu? Tapi jujur saja, buat saya, kamu lebih appealing dari makanan apa pun malam ini."

   "Keluar dari mulut seorang Diva, berarti saya anggap itu pujian besar."

   "Atau gara-gara kita cuma ketemu setahun sekali, ya? Kalau kamu masih nangkring di Jakarta seperti dulu, sekarang ini saya pasti memilih makan malam sendirian."

   Gio tergelak.

   "Nah, kan?! Kamu memang tidak mungkin berubah."

   "fntao..."16 Diva melingkarkan tangannya di pinggang Gio, menjatuhkan berat tubuhnya hingga mereka berdua terdorong ke tembok.

   "makan malam... atau makan saya.

   "Bisa dua-duanya?"_____. 11 Apa kabar, kekasih Baik-baik saja, sayangku Matahariku yang cantik A "Jadi . Mereka berciuman lagi. Lebih lama, lebih dalam menikmati setiap detikA"mengingat ia hampir tak per Va melakukannya. Mungkin itulah yang paling ia tunggu-tunn dari malam ini.

   "u "Minha sol.,, aku bisa bercinta denganmu, esta hora. A-Sekarang, di sini, saat ini juga..."

   Bisik Gio.

   "Sayangnya, aku yang tidak bisa,"

   Diva balas membisik "Ayo, kita pergi!"

   Ia pun menggamit tangan Gio.

   "paka"

   Mobilku, dengan sopir. Biar kita bisa melanjutkan yang tadi A Gio pun tertawa, menyaksikan Mataharinya, cintanya yang terpendam. Dhimas & Ruben "Oh, ini benar-benar cobaan berat!"

   Mendengar teriakan Dhimas, Ruben tergopoh-gopoh datang ke ruang kerja.

   "Ada apa? Komputernya mati? Belum disave?"

   Tanyanya panik.

   "Baca ini..."

   Dhimas menyodorkan naskah yang masih hangat dari printer. Ruben membaca sekilas.

   "Hmm. Mau improvisasi, nih?" -"Aku tahu pasti kamu nggak setuju."

   "Sebenarnya aku tidak keberatan dengan bumbu-bumbu romantis. Asal tujuannya jelas."

   "Oh jelas, kok!"

   Cepat-cepat Dhimas berkata.

   "Coba dibaca ulang."

   Ruben pun membaca lebih saksama.

   "Rupanya kamu ingin menyajikan sisi lain dari Bintang Jatuh. Ternyata dia tidak melulu pahit. Dia masih punya emosi, passion, blablabla. Lalu?"

   "Tokoh itu... si... si Pencinta Alam! Aku ingin terus menghidupkannya,-tapi... tapi tidak perlu, ya?"

   Tanya Dhimas malumalu. Ruben bingung, antara menahan geli dan gusar.

   "Dengan sangat menyesal, jawabannya. tidak."

   "Tapi aku tidak tega melenyapkannya begitu saja... rang juga 81

   "*A-c,mt. Alah "Kita kan baru saja membahas kai roentransendensi ruang dan waktu. Jadi sebaik-1 Cinta tidak terpancing emosi, berkubanq daiA-A"

   Yakltaiuga berkepanjangan."

   S Qalara A"mantisme "Sedikiiit... saja! Ceritanya dia datang setelah h v , dari mana kek, lalu untuk terakhir kali berusai? .ana Bintang Jatuh, cinta sejatinya..."

   Ha memmang "Pemborosan tinta!"

   "Payah! Tidak romantis!"

   Romantisme itu cuma metafora, dan metafora adalah saput yang melapisi inti kebenaran."

   "Tidak setuju! Romantisme adalah aspek penting dari cinta.

   "Cinta yang mana dulu..."

   "Kamu tidak merasa Tuhan itu romantis?"

   "Kok Tuhan, sih contohnya. Tuhan kan maha segalanya Ya, jelas Dia Maha Romantis juga,"

   Protes Ruben.

   "That's the point."

   KEPING U n Sol E m Noite Semenjak bertemu Diva, Gio memiliki persepsi lain tentang malam.

   Andaikan Diva sebuah matahari yang membakar bumi di siang hari, maka gelap malam bukan berarti ia pergi.

   Justru langit menjadi hitam karena matahari berhasil menghanguskannya.

   Menjadikannya arang.

   Dan masih banyak lagi pandangannya yang berubah sejak Diva hadir.

   Seperti membaca pikirannya, Diva, yang terbenam dalam pelukannya, mendongak sedikit.

   "Aku sudah tahu, ini akan menjadi malam yang indah."

   Suara itu membisik halus, tulus. Gio menahan napas. Sebersit emosi sentimentil menyusupi hatinya, mengusik kenangan-kenangan lama.

   "Div, kamu masih ingat malam pertama kita?"

   "Oh! Ampun! Kamu membuatnya terdengar seperti malam pernikahan,"

   Diva menggeliat, gerah.

   "Mungkin artinya memang sama besar buatku." .

   "Dan kamu masih menyimpan kunci itu?" ^.'4% "Claro1*, querida. Aku tahu mungkin kedengarannya konyol buatmu, tapi aku tidak peduli."

   Diva terdiam.

   Berusaha ikut mengingat.

   Tak banyak peristiwa yang ia kenang, karenanya Gio u Tentu saja sol EA-No,Tt beruntung, malam itu adalah salah satu momen vann .

   ertahankan dalam memorinya.

   yan9 masi h dlP Waktu itu Gio masih nampak ingusan waiaA"n, sebaya-Wajah tampannya memancarkan kepoWZ t "dibohongi.

   Entah dari mana Gio J^Zl dirinya, namun tanpa perlu ditanyakan, Diva bui fflenebak apa yang kira-kira anak itu dengar.

   Yang jelas A"ku! membuat Gio nekat membobol tabungan pribadinya ' Awalnya, Diva menganggap Gio tak lebih dari anak orana kaya brengsek yang cuma ingin menambah panjana A"portofolio"

   Pengalaman seksualnya untuk kemudian diobral ke teman-teman.

   "Itu tabungan saya, seratus persen. Jadi, saya harap malam ini tidak mengecewakan,"

   Ujar Gio takut-takut saat itu. Diva tertawa.

   "Dari pertama kamu muncul, saya sudah berani menobatkan kamu sebagai klien saya yang paling ganteng. Sekarang, saya mulai menominasikan kamu sebagai klien saya terlucu. Tidakkah lebih baik uang itu dipakai buat beli buku, kek; pergi jalan-jalan ke mana kek, atau membelikan pacar kamu cincin kek..."

   Suara Gio nyaris tidak terdengar.

   "Saya tidak punya pacar."

   "Tidak?! Potongan kayak kamu tidak punya pacar?"

   Diva terbelalak.

   "Maksudnya... tidak pernah ada yang serius, malah hampir tidak ada."

   "Oh, ya? Kenapa?"

   Diva duduk santai, sambil menyilangkan kaki.

   "Tidak terpikir. Saya tidak ada waktu."

   "Kerja?" .

   "Ekspedisi. Naik gunung. Rafting. Tapi kalau lagi santai pun biasanya saya pergi hiking." .

   "Bertualang..."

   Desis'Diva, duduknya menegak.

   Pernan ke mana saja?" ..,..Až,..AžAž Sorot mata Gio berubah-sesuatu yang <$*ggg telah disentuh.

   Dan dengan semangat ia wA-.***! d A"m.

   Peng.Un.anny,.

   W -A"jESjSS menyusur sunoai dalam negen, sampai ia mm* ke tiga rangkai sungai.

   Yuat, Watut, dan Waghi di Papua Nugini.

   Setelah itu Gio hampir tidak pernah pulang, bumi terlalu luas untuk didiamkan.

   Ia mulai hiking ke Tiger Leap Gorge di Cina, mencoba Gletser Rekiak di Tibet, dan menemukan makna profesionalisme dalam bertualang.

   Ia adalah penakluk sungai, penakluk gunung, bermain-main di batas pencapaian manusia menyentuhkan jejaknya atas alam.

   Sampai akhirnya sekarang ia menjadi anggota ekspedisi Sobek internasional.

   Diva mendengarkan semuanya dengan takjub.

   "Saya ingin sekali bertualang, naik gunung, rafting,"

   Gumamnya menerawang. Ia sudah jauh meninggalkan ruangan itu. Ikut bertengger di sol sepatu Gio. Menapaki setiap kerikil dan batu di tempat-tempat menakjubkan tadi.

   "Bisa saja. Tapi saya ragu, kalau melihat kaki kamu yang sekecil wortel." 'Diva terbahak, spontan. Di antara seliweran puja-puji kagum tentang kakinya yang ia dengar setiap hari, baru kali ini ada yang menganggapnya seperti wortel.

   "Kamu menyenangkan, Gio. Selalu menyenangkan bertemu seseorang yang masih punya hidup."

   "Kamu kelihatan begitu hidup,"

   Ucap Gio tulus.

   "Kamu mengingatkan saya pada Sungai Tatshenshini."

   "Alaska? Kamu pernah ke sana?"

   Diva terlonjak lagi.

   "Baru dua minggu yang lalu,"

   Gio tersenyum polos.

   "Di sana sedang musim panas, malamnya terang, dan waktu itu saya berdiri di atas tebing. Tatshenshini ada di bawah, terbentang membelah bukit pinus yang sangat rapat. Pinus terbanyak yang pernah saya lihat. Di langit ada awan-awan nebula yang tadinya kehijauan, tapi terus berubah setiap detik, sampai semua langit jadi oranye. Seperti api. Dan arus sungai di bawah saya..."

   Gio menggelengkan kepala takzim, seperti masih berada di sana.

   "... emas. Emas yang paling berkilau, bercampur buih putih yang mengamuk. Kamu bisa bayangkan? Sebuah ketenangan... yang deras. Dan entah kenapa, kamu memberi kesan yang sama."

   Diva hanyut, terpesona sekaligus resah. Teringat akan tugas yang masih harus diembannya. Ia mulai menggigiti bibir.

   "Agaknya kamu akan membuat perdagangan kali ini lebih menyenangkan."

   Dan Diva benar-benar tak menyangka Gio sepolos itu. Lukisan ekspresi wajah Gio melampaui batas verbal, sampai-sampai membuatnya terkesima untuk yang kedua kali.

   "Kamu tidak apa-apa?"

   Tanyanya lembut seraya memegang badan Gio yang gemetar dan berbulir keringat.

   Keringat itu keringat dingin.

   Gio sendiri sepertinya linglung.

   Bagaimana ia harus mengungkapkannya...

   bahwa Diva yang kini duduk'di hadapannya dengan rambut tergerai tanpa tabir tubuh apa pun adalah pemandangan terindah yang pernah ia lihat...

   bahwa malam ini ia merasakan magi yang membuat segenap sel tubuhnya memekar bagai bunga di musim semi...

   bahwa semua indranya mengecap tempat-tempat ternikmat dan terindah yang pernah ia tahu...

   bahwa ia telah menjadi lelaki...

   bahwa Diva bagaikan...

   terbenamnya matahari di Tatshenshini...

   un sol em noite.

   Matahari di kala malam.

   Matahari itu lalu bangkit, membawakannya air putih.

   "Nih, minum."

   Ia nampak benar-benar cemas. Setelah sekian lama, Gio akhirnya mampu bicara.

   "Saya nggak apa-apa, kok. Hanya saja... ini... ini adalah yang pertama buat saya."

   Diva pun terkesiap. Pernyataan tadi merangkum semua.. Menjawab segala keheranannya. Refleks, Diva merengkuh lembut pemuda itu. Menariknya masuk ke dalam lapisan hangat selimut, mendekapnya lama.

   "Seharusnya kamu tidak melakukannya dengan saya... tidak seperti ini."

   "Tidak ada yang saya sesali. Tidak juga nanti. Saya yakin itu,"

   Gio menjawab pelan.

   Tidakkah kau mengerti.

   Aku baru saja menemukan mahadewi.

   Dan Diva pun merasa ngeri.

   Ngeri akan kesungguhan dalam ucapan tersebutA"membuat ia tersadar, betapa ia sudah tak terbiasa menghadapi apa yang sungguhan hidup.

   Refleks berikutnya, Diva mulai menggigiti bibir.

   Melihatnya Gio langsung menyergah.

   "Nio fazer istb."

   Jangan..."

   Ia berbisik.

   Perlahan dan tenang, Gio menyentuh lembut dagunya, |Q Jangan lakukan itu memisahkan kedua bibirnya, untuk kemudian menciumnya tenang.

   Ia bukan lagi anak lelaki gugup beberapa jam yang lalu.

   Seakan-akan ia telah bermetamorfosis dengan sempurna.

   Tak pernah Diva membiarkan hal itu terjadi sebelumnya, namun malam ini ia yakin telah mengambil keputusan yang tepat; membiarkan bibir itu di sana.

   Membiarkan dirinya bermanja dalam pengalaman yang jarang ia dapatkan.

   Mengetahui lagi rasa jutaan saraf kecil yang memercikkan listrik-listrik bening ketika dua bibir bertemu.

   Diva menikmati setiap detik.

   Uang Gio tak disentuhnya sama sekali.

   Mereka sama-sama membawa kenangan.

   Diva membawa kenangan ciuman pertamanya.

   Gio membawa pulang kunci kamar hotel itu.

   "Diva..."

   Suara Gio menariknya dari vakum memori.

   "Kamu rhasih 'Si 5000 dolar?"

   "Dengan kurs sekarang? 1500, at least,"

   Diva menambahkan sambil tertawa kecil.

   "Kamu pikir dari mana saya bisa punya rumah di real estat itu? New Eyes, lengkap dengan sopir?"

   Selorohnya lagi. Gio tak berkomentar. Namun ada vibrasi keresahan yang terdeteksi.

   "Tenang, sayang, saya tetap tidak terikat atau tergantung pada siapa pun. Tidak ada yang menghidupi saya, saya bukan peliharaan orang, dan bukan peliharaan perusahaan. Saya entrepreneur murni."

   "Ikut dengan saya, Diva."

   Gio mendekapnya erat.

   "Kamu tahu saya tak akan pernah merenggut kebebasanmu. Tidak akan ada yang berubah."

   Diva mengecup lengan Gio yang menyelimuti tubuhnya.

   "Dan kamu tahu betul jawaban saya."

   Lelaki itu mengatupkan mat ari y a, gemas.

   "Aku mencintaimu/' bisiknya tertahan.

   "tidak juga pernah berubah sejak dulu, apa pun harapan kamu."

   Seketika Diva-membalik badan.

   "Saya tidak pernah berharap apa-apa. Detik ini berarti karena ia detik ini. Kita tidak bisa menyeretnya hanya karena kita begitu terikat dengan keindahannya. Ia akan tetap berarti kalau kita membiarkannya lewat. Apa adanya. Kamu manusia yang masih punya hidup, Gio. Manusia yang hidup tahu bahwa ketidaksabaran hanya akan membuatnya merencanakan masa depan secara tidak alami. Menjadikan detik-detik berharga tadi usang, lalu menghabiskan hidup mereka untuk menghiasi keusangan itu dengan paksa, menjadikannya seperti kain perca. Buruk, tak berguna, sekaligus sudah terlalu berat untuk ditanggalkan. Percayalah, kamu tak akan mau hidup dalam belenggu seperti itu."

   "Kenapa kamu harus begitu pesimis?"

   "Saya tidak pesimis. Ada perbedaan besar antara pesimis dan jujur. Saya barusan berkata jujur, tidak lebih, tidak kurang."

   Gio mengerti semua, tapi berat rasanya ia melepaskan pelukan itu. Meninggalkan malam ini.

   "Manusia tidak diciptakan untuk terikat pada apa pun. Jangan pernah takut dengan kebebasan. Jangan pernah juga memanipulasi kebebasan. Buat semua detik baru, dan berarti."

   "Minha sol..."

   Gio bergerak pelan, wajahnya kini berhadap-hadapan dengan Mataharinya.

   "Izinkan akubeisatu denganmu. Semampuku."

   "Meu vem, Langitku/ sang Diva berbisik.

   "Matahari membakar siang, dan malam, apa bedanya? Bagi matahari tidak ada siang atau malam. Yang ada hanyalah... ada. Jadi, sesungguhnya tidak pernah sekali pun kita berpisah."

   KEPIM6 Tuhan Maha Tidak Romantis Secara kebetulan mereka berdua sama-sama sedang ada di kota Bandung.

   Dan demi sebuah kebersamaan, lagi-lagi Rana berkutat serius dengan agendanya, menghitung-hitung kira-kira di mana dan jam berapa ia bisa menyelipkan Re ke menu acara.

   Telepon genggam mungilnya berbunyi.

   "Ya?"

   "Bagaimana?"

   Rana tidak suka ini. Mereka seperti sedang transaksi ganja. 'Mungkin bisa, sejam lagi, ya."

   "Sejam? Tapi saya sudah di jalan."

   "Saya usahakan setengah jam. Paling lama 45 menit. Bagaimana?"

   "Saya cuma punya waktu sampai jam enam."

   Re setengah mengingatkan, setengah memaksa.

   "Saya usahakan,"

   Ulang Rana dengan nada ditekan. M tidak adil, kalau saja ia boleh komplain. Seringnya ialah yang bermain sirkus dengan waktu berhubung jadwal Re yang padat gizi itu sulit sekali diajak kompromi. Mungkin kita tak perlu bertemu...

   "I'll see you, Princess."

   ".Re..;

   "Ya?" *tM A"jangan jemput saya di sana lagi. Ternyata itu tA"A-1 peaA"0h,"

   Jawab Re, enggan.

   Mungkin kita tak perlu bertemu-AA Kebimbangan itu bergolak perlahan di bawah permukaan Sepertinya ada yang salah, kenapa juga harus selalu terbirit-birit? Mengapa tidak bisa membiarkan satu kesempatan lewat begitu saja dengan santai? Mengapa mereka bertingkah seperti pialang saham di bursa? Haruskah demikian? Ferre Semua ketegangan tadi lumer ketika dua manusia itu akhirnya bertemu.

   Tak dirasa lagi lelah akibat permainan petakumpet.

   Tiga jam yang berharga.

   "Padahal janji wawancaraku baru mulai jam tujuh nanti, lho,"

   Gumam Rana sambil membelai rambut Re.

   "Ya, sih. Tapi saya benar-benar harus muncul di dinner meeting satu ini."

   "Kalau saya jadi istri kamu, pasti sering ditinggal-tinggal, ya?"

   "Tapi setidaknya kita bisa berduaan tanpa pakai strategi. Tanpa lihat belakang, atau kiri-kanan."

   Rana seketika menunduk. Merasa bersalah. Bunyi telepon genggam berdering. Milik Rana. Keduanya tersentak.

   "Oops, tadi saya lupa matiin."

   Rana menggeliat bangun.

   "Nggak usah diangkatlah,"

   Rajuk Re. Tapi kemudian mereka sama-sama melihat nama yang muncul.

   "Sori..."

   Suara Rana nyaris tidak terdengar.

   Re mengangguk kecil.

   Ekpresi wajahnya bertahan sama.

   Bergegas Rana menuju kamar mandi, dan menutup pintu Suaranya terdengar sayup-sayup dalam ruang yang menggema itu.

   Re menghela napas.

   Masih terdengar jelas, Puteri.

   Dan kenapa aku ditempatkan di hotel dengan kamar "back to nature"

   Sehingga tidak ada televisi di sini? Dengan gelisah Re menyebarkan pandangan, mencari-cari perangkat apa yang kirakira bisa berbunyi dan menutup gema-gema dari kamar mandi itu.

   Nihil.

   Suara Rana yang tertawa.

   Suara Rana yang menasihati.

   Suara Rana yang menyimak.

   Rasanya ia mau merelakan semua miliknya ...semua...

   demi sepasang penyumbat telinga nomor satu di dunia.

   Yang mampu memblokir suara apa saja, dari mulai suara biasa, suara infrasonik, ultrasonik, sampai suara hatinya sendiri.

   Puteri,.aku ingin sekali tuli.

   Sekawanan samurai terbuat dari huruf datang menyerang.

   Mencacah harga diriku seperti daging cincang.

   Mereka menghinaku, karena aku cuma bisa diam.

   Mereka menyumpahiku, karena aku rela diabaikan.

   Setelah sekian lama, pintu kamar mandi itu terbuka.

   Tepat waktu.

   A Sebentar lagi Re sudah-mau memotong kupingnya.

   Sekalipun wajah itu nampak dingin tak terpengaruh, Rana dengan tahu diri berusaha menebus "kesalahan"-nya.

   Mereka berjanji ketemu lagi malam ini.

   Dengan berbagai alasan, Rana pun berbohong pada rekan-rekannya.

   Mendadak ia punya saudara sepupu yang harus dikunjungi dan akan menginap di sana.

   Namun demi satu kebersamaan...

   satu kesempatan menyambut kekasihnya pulang kerja, menyaksikannya sikat gigi sebelum tidur.

   "Kamu cakep kalau lagi sikat gigi."

   Busa putih di mulut Re muncrat keluar.

   "Apa??"

   Serunya setengah tertawa, dengan suara kumur-kumur.

   "Rana, itu sangat orisinil! Kamu cari di seluruh pelosok bumi, nggak akan ada lagi yang melihat begitu!"

   Rana tergelak-gelak.

   "Kamu ngomong apa, sih? Nggak jelas! Tapi kamu makin-makin cakep..."

   Tiba-tiba terdengar telepon genggamnya kembali berdering.

   "Sebentar ya, palingpaling Gita,"

   Ujarnya sambil berlari kecil. Re masih tertawa-tawa. Busa odolnya sudah berpencar ke mana-mana.

   "Oh, no."

   Terdengar keluh Rana.

   "Halo, ya, saya baru mau pergi, cari makan, ya, ramerame, kamu belum di rumah, Mas?..."

   Rana berjalan menjauh.

   Tawa Re langsung punah.

   Dengan penuh kesadaran, pelan-pelan ditutupnya pintu kamar mandi itu.

   Dua kali dalam satu malam.

   Ini sudah seperti minum racun yang dijadwal.

   Keran air langsung dihidupkan, ia pun membasuh mulutnya.

   Berkumur-kumur amat keras.

   Aku tak mau mendengar apa-apa.

   Dibersihkannya percikpercik busa di kaca, di pinggiran wastafel, dan mendadak ia merasa sangat bodoh.

   Puteri, benakku siap memaki lagi...

   Re menghidupkan semua keran air.

   Dari shower sampai kloset.

   Suara kucuran air membahana di ruang kecil itu.

   Namun ia tahu, dibutuhkan gemuruh air yang lebih besar untuk membungkam suaranya sendiri.

   Dhimas & Ruben Ruben masih tidak mau kalah.

   "Tapi kalau Tuhan maha segalanya, berarti Tuhan juga Maha Tidak Romantis."

   "Oke, oke, titik tengah. romantisme hanya bentuk ekspresi."

   "Setuju,"

   Ruben mengacungkan jempolnya.

   "Aku selalu merasa Cinta itu dipromosikan dengan salah. Satu item dengan setumpuk katalog yang berbeda. Mubazir! Yang ada malah orang-orang miskonsepsi tentang apa itu Cinta."

   Dhimas jadi merenung.

   "Iya, ya. Ada cinta pacar, cinta orang tua, cinta tanah air..."

   "Eros, Philia..."

   "Kalau semua itu kita rangkum, berarti Cinta itu apa?"

   "Tahan dulu!"

   Ruben sontak duduk tegak.

   "Jangan sampai kita terjebak membuat prekonklusi dari data yang tidak lengkap."

   "Data yang tidak lengkap bagaimana?"

   Dhimas setengah mengeluh. Tadinya ia pikir ini hanya obrolan sore hari yang ringan-ringan saja.

   "Kita ingin berbicara tentang Cinta di level substansi. Bukan praktek. Cinta pacar, sahabat, kucing, tikus, dan seterusnya itu sudah merupakan format turunan. Coba, berapa banyak format yang harus kita telaah kalau begitu? Karena kenyataannya. Cinta bisa dipraktekkan macam-macam."

   "Ada yang saling membenci karena Cinta."

   "Ada yang bunuh-bunuhan karena Cinta."

   "Peperangan atas nama Cinta."

   "Gila. Jadi substansi apa itu sebenarnya?!"

   "Menurutku, Cinta adalah energi dasar. Tunggal. Kebencian pun berasal dari energi yang sama, hanya ia mengalami proses saturasi. Dan semua pemilahan kategori cinta sesungguhnya adalah satu zat yang sama dengan kadar polusi berbeda-beda. Polusi itu tercipta di pikiran kita. Jadi, apabila pemilahan-pemilahan tadi lenyap, maka yang ada hanyalah..."

   Dhimas terenyak.

   "... mengalami."

   Mengalami? Ruben tercenung.

   "Cinta adalah mengalami,"

   Ulang Dhimas lebih mantap.

   "Bukankah itu inti semuanya? Mengapa ada hidup, mengapa kita mati, mengapa kita jatuh cinta, berkeluarga, beranak-pinak, mengapa ada ini dan itu... semuanya adalah pengalaman. Ingin mengalami adalah hasrat yang paling dasar."

   Sejenak keduanya membisu. Terbungkus momen yang tak terkatakan. Perlahan Dhimas berkata.

   "Sesuatu yang agung dan substansial ingin mengalami, dan jadilah ini semua. Ia mengalami melalui kita, Ruben."

   "Atraktor asing. Feedback adalah hasil arus balik dari atraktor asing yang berputar kepada diri sendiri. Mempertanyakan dirinya."

   "Satu-satunya pertanyaan yang ada."

   KEPING ^ Sebesar Cinta itu Sendiri Hari ini Rana berulang tahun.

   Sementara suaminya, kontraktor yang sedang mengerjakan proyek masjid raya di Surabaya itu, tidak ada di rumah.

   Namun Re tidak melihatnya sebagai satu peristiwa yang membuat hari indah.

   Justru sebaliknya, ia merasa tidak karuan sekarang.

   Konsentrasinya berantakan.

   Rana akan mengadakan pesta kecil di rumahnya nanti malam, dan ia mengundang Re datang.

   Mentahmentah, Re menolak, kendati ia menyampaikannya dengan halus.

   "Re, itu cuma acara biasa. Bakal ada puluhan orang lain juga di sana. Jadi apa salahnya, sih?"

   Tanya Rana memelas.

   "Tidak ada yang salah, Puteri. Tapi aku tetap tidak bisa."

   "Justru aku ingin kasih lihat kalau kita berteman. Semua orang juga sudah tahu itu. Jadi kamu nggak usah paranoid begitu, dong,"

   Bujuk Rana lagi.

   "Aku bukannya paranoid."

   "Kalau kamu canggung, ajak saja Ale..."

   "Bukan itu masalahnya,"

   Kali ini Re spontan tertawa. Ale bisa mengikatnya ke tiang listrik kalau tahu ia akan pergi ke rumah Rana.

   "Kamu ini, jangankan masuk, mengantarkan saya pulang ke rumah saja nggak pernah mau. Padahal saya kan tahu tempat tinggal kamu. Apa salahnya kamu juga tahu tempat tinggal saya sehari-hari itu seperti apa,"

   Rana merajuk mania. supernova "Tidak bisa kamu samakan, Puteri,"

   Sergahnya halus.

   "Apanya yang tidak bisa?"

   "Kadang-kadang kamu memang terlalu naif."

   "Datang, ya?"

   Re diam.

   "Pleeeeease..."

   "Aku usahakan. Tidak janji, tapi aku usahakan."

   Di jalan itu, ada sebuah mobil yang berhenti dengan aneh.

   Selain posisi berhentinya yang serampanganA"antara mau belok atau tidakA"mobil itu pun sudah berhenti di sana lebih dari setengah jam .

   Ada Re di dalamnya, menatap plang jalan itu dengan resah.

   Ia yakin.

   Rana akan mencak-mencak kalau tahu ia tidak datang hanya karena...

   karena...

   Re menjatuhkan kepalanya ke atas kemudi.

   Karena cemburu.

   Kecemburuan aneh yang hanya ia mengerti sendiri.

   Sejenak Re mengangkat matanya dan melirik ke jalan itu sekali lagi.

   Mobil-mobil banyak yang mulai datang.

   Rumah Rana pasti salah satu dari jajaran itu.

   Kekasihnya begitu dekat secara nyata, bukan lagi di alam simulakrum20.

   Paling-paling cuma dua atau tiga puluh langkah berjalan kaki, tapi bergerak seinci pun Re tak bisa.

   Tak kan kuhadirkan kakiku ke sana, tak kan pula kuhadapkan mataku untuk melihatnya.

   Aku akan dirasuki jutaan imaji mengenai dirimu dengannya.

   Bagaimana kalian makan bersama, atau bercinta di atas meja.

   Dan betapa seharusnya engkau tidak di sana.

   Maaf, saya sedang tidak berselera untuk disiksa.

   Re menyalakan mesin mobilnya.

   Pergi tanpa ragu lagi.

   20 Simulakrum adalah ruang yang disarati oleh duplikasi dan daur ulang berbagai fragmen yang berbeda-beda di dalam satu ruang dan waktu yang sama (Baudrillard).

   Dalam konteks ini bisa diartikan juga bah wa alam simulakrum adalah alam meleburnya realita dan ilusi, diakibatkan oleh fantasi yang diduplikasi berulang-ulang dan berlipat-lipat ganda, hingga akhirnya objek yang nyata pun tak jelas lagi.

   Sebesar Cinta itu Sendiri Rasa memiliki itu hidup seperti sel.

   Semula satu dan kemudian terpecah jadi seribu satu.

   Dan aku menyimpan sel-sel yang sangat sehat, Puteri.

   Ia akan terpecah di luar kendali cinta itu sendiri.

   Sel ini terus bertambah dan merambah.

   Mereka hidup melingkari kita, semenjak kita saling mencinta.

   Suka tak suka.

   Ia cuma bisa berharap Rana mau mengerti.

   Arwin Grafiti berwarna ceria menghiasi setiap bidang dinding kafe itu.

   Namun semuanya menjadi suram apabila disandingkan dengan aura kelam yang menyorot dari batin Arwin.

   Temannya tahu itu, dan ia turut prihatin.

   Tapi tidak ada jalan lain.

   "Bukan untuk pertama kalinya aku melihat mereka, tanpa bermaksud mengambil kesimpulan apaapa, tapi lebih baik kamu cek lagi kegiatan-kegiatan istrimu."

   Segalanya memang menjadi jelas.

   Rana yang menjadi pendiam, dingin, mengambil jarak.

   Kegiatannya yang seabrek.

   Selalu menghindari acara keluarga.

   Rana yang pelamun, pemurung, dan muram.

   Dan yang satu itu...

   kebiasaan menangis diam-diam.

   Tangisan lirih yang seperti sayatan silet.

   Lebih-lebih sehabis mereka bercinta.

   "Aku tahu siapa dia. Namanya Ferre. Sepupuku teman seangkatannya di Berkeley dulu."

   Arwin menghela napas, berat.

   "Tapi Rana memang pernah bilang kok, kalau dia sedang membuat profil tentang pria itu,"

   Ucapnya dengan nada sewajar mungkin.

   "Artikel itu sudah bulanan yang lalu dimuat. Aku baru melihat mereka berduaan tiga hari yang lalu. Sebelumnya lagi di Shangri La, hari Senin minggu kemarin. Desi juga bilang dia melihat Rana di Bandung, makan malam di Chedi bersama pria yang ciri-cirinya persis sama dengan Ferre."

   "Tapi Rana pasti hanya berteman baik dengan orang itu. Aku yakin. Kamu juga kenal Rana, mana mungkin, sih."

   Muka Arwin ditegar-tegarkan. Lagi-lagi, temannya tahu itu. Tapi ia tak mau membuat Arwin lebih terbanting.

   "Ya, mungkin mereka memang cuma berteman,"

   Ia mengangguk-angguk.

   "Maaf kalau aku terlampau curiga dan membuatmu malah tidak enak. Aku hanya concern."

   Rasanya Arwin ingin membabi-buta lari ke atap gedung dan menjatuhkan diri. Dhimas & Ruben Persis seperti nonton film laga, keduanya nampak tegang menontoni salah satu adegan puncak.

   "Kenapa juga harus dibikin ketahuan?"

   Komentar Ruben gemas.

   "Ya harus. Kalau tidak, seluruh cerita ini berlalu begitu saja tanpa pelajaran untuk semua orang. Semua harus kebagian. Tapi kira-kira apa yang bakal dia lakukan ya? Pria malang. Dia sangat mencintai isterinya."

   "Well, selayaknya semua peristiwa hanyalah semata-mata peristiwa, tapi cara kita menyikapinyalah yang kemudian memberikan label. Entah itu diberi judul tragedi atau keberuntungan. Dia bisa melihat dirinya sebagai korban, atau sebaliknya. Semoga saja dia sadar kalau sedang berpijak di semesta yang serba relatif."

   "Label apa yang dia pilih kira-kira?"

   Tanya Dhimas lagi.

   Jemarinya mematung di atas tuts keyboard.

   Bersiap-siap.

   Mereka saling pandangpandangan.

   Ferre Rana sedang keluar meliput.

   Maka terciptalah percakapan itu, yang cukup sepuluh menit, tapi bisa mengantar Re tidur tersenyum sampai pagi.

   "How's it going, dear? Kamu senangsenang dong, bisa ketemu banyak artis,"

   Re mengolok.

   "Jangan mengejek. Kamu tahu aku paling malas disuruh meliput ajang anugerah semacam ini, tapi sekarang memang lain cerita."

   "Oh, ya? Berhasil bertemu dengan seseorang yang menarik? Among a bunch of airheads?"

   Re tambah mengolok.

   "Kalau soal itu sih jawabannya pasti 'tidak',"

   Rana tertawa manja.

   "tapi di acara seperti ini aku kan bisa santai, jadi penonton, bisa telepon kamu..."

   Mendengarnya, Re tertohok.

   Telepon kekasih sebelum tidurA"betapa mahal dan kompleksnya kesempatan itu.

   Harus menunggu satu ajang akbar dan persetujuan rapat redaksi.

   Harga dirinya kembali tergigit.

   Kepahitan pun merambat naik seperti bisa ular.

   [ Ini keterlaluan! Mengapa harus begini? Mengapa harus kamu.

   Rana? Mengapa harus aku? Mengapa perasaan ini? Perasaan sesat! Irasional! RACUN! ] Re setengah mati menekan kata-kata itu untuk tidak keluar.

   Kata-kata yang selalu bermunculan namun ia bendung hanya karena tidak mau Rana sakit hati.

   Bukankah ia sudah cukup menderita? [ Ya.

   "Menderita". Dia punya semuanya. Seorang suami yang harus dipertahankan demi stabilitas status sosial, dan seorang kekasih gelap yang mencintainya setengah mampus ] l Sepasang sepatu mentereng yang sakit kalau dipakai dan sepasang sepatu tua nyaman yang setia ] [ Kabarmu sendiri bagaimana, Sepatu Tua? Senangkah kau di sana? Di gudang gelap yang hanya dibuka sekali-sekali, dan dilihat kalau ada kesempatan? Sorry kalo kurang bagus edit nya... Selamat membaca aja ya,,,

   

   

   

Satria Lonceng Dewa Perawan Sumur Api Rajawali Emas Sumpah Iblis Kubur Pengemis Binal Kitab Sukma Gelap

Cari Blog Ini