Ceritasilat Novel Online

Malaikat Dan Iblis 1


Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 1


MALAIKAT & IBLIS (Angels & Demons) DAN BROWN http.//dhianhumm.blogspot.com ? Dan Brown, 2000 Copyright arranged with. Sanford J. Greenburger Associates 55 Fifth Avenue, New York, NY 10003, USA through Tuttle-Mori Agency Co., Ltd.

   Diterjemahkan dari Angels & Demons karangan Dan Brown, terbitan Pocket Books, New York, Cet. 9, t.t.

   Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Penerjemah. Isma B. Koesalamwardi Penyunting. Vitri Mayastuti dan Zaki Peaba Pewajah Isi. Tim Artistik Serambi PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730 www.serambi.co.id; info@serambi.co.id Edisi Soft Cover.

   Cetakan XI. Agustus 2006 M Cetakan X. Mei 2006 M Cetakan I. Februari 2005 M ISBN. 979-16-0029-5 Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, tempat, dan peristiwa adalah hasil imajinasi penulis dan bersifat khayalan. Setiap kesamaan dengan peristiwa, tempat, atau tokoh nyata, yang masih hidup maupun yang sudah mati, adalah kebetulan belaka.

   Dicetak oleh Percetakan PT SUN, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan Pembaca yang terhormat, Berkat Anda, The Da Vinci Code menjadi laris luar biasa. Terima kasih. Buku di tangan Anda sekarang adalah "prekuel" dari The Da Vinci Code, bercerita tentang pemalangan simbolog Robert Langdon di Vatican City satu tahun sebelum kunjungannya ke Louvre yang menggemparkan itu.

   Dalam -lah saya pertama kali menciptakan karakter Langdon dan membangun hasratnya atas seni. simbologi, kode, kelompok rahasia, dan wilayah abu-abu antara kebajikan dan kejahatan. Saya rasa Anda akan menemukan teka teki dalam semenarik teka teki dalam lukisan-lukisan Da Vinci. Apa pun citarasa seni Anda, saya jamin Anda akan menemukan limpahan teka-teki, sejarah misterius, ketegangan, dan alur cerita tak terduga dalam buku ini.

   Saya berharap Anda bisa membaca novel pertama saya ten-tang Robert Langdon ini senikmat saya menulisnya.

   Salam hangat dan terima kasih, Untuk Blythe...

   FAKTA FASILITAS PENELITIAN ILMU pengetahuan terbesar di dunia-Conseil Europeean pour la Recherche Nucleaire (CERN) di Swiss-baru-baru ini berhasil membuat partikel antimateri pertama. Antimateri sama dengan materi yang kita kenal, tapi tersusun dari partikel-partikel dengan muatan listrik yang berlawanan dengan yang terdapat di materi biasa.

   Antimateri adalah sumber energi terkuat yang pernah dikenal manusia. Dia bisa menghasilkan energi dengan efisiensi sebesar 100% (efisiensi pembelahan nuklir hanya 1,5%). Antimateri tidak menimbulkan polusi atau radiasi, dan setetes antimateri dapat menghasilkan listrik untuk New York City sepanjang hari.

   Tapi, ada satu kekurangannya ....

   Antimateri sangat tidak stabil. Dia akan langsung terbakar begitu bersentuhan dengan apa saja ... bahkan dengan udara sekalipun. Padahal, satu gram antimateri saja mengandung kekuatan setara dengan 20 kiloton bom nuklir atau seukuran dengan bom yang dulu dijatuhkan di Hiroshima. Hingga kini, antimateri hanya diciptakan dalam jumlah sedikit (hanya beberapa atom). Tapi CERN berhasil membuat terobosan dengan penemuan terbarunya yang bernama Antiproton Decelerator-fasilitas untuk memproduksi antimateri dengan teknologi yang lebih maju sehingga menjanjikan kemampuan untuk membuat antimateri dalam jumlah yang jauh lebih besar.

   Satu pertanyaan penting muncul. Apakah zat yang sangat tidak stabil ini akan menyelamatkan dunia, ataukah malah digunakan untuk menciptakan senjata paling berbahaya yang pernah dibuat manusia? CATATAN PENULIS SEMUA REFERENSI mengenai benda-benda seni, beberapa makam, terowongan, dan arsitektur di Roma adalah betul-betul nyata (tepat sesuai dengan tempatnya) dan dapat disaksikan hingga kini.

   Persaudaraan Illuminati juga nyata.

   PROLOG LEONARDO VETRA, seorang ahli fisika, mencium aroma daging terbakar. Dia tahu yang terbakar itu adalah tubuhnya sendiri. Dengan penuh ketakutan dia menatap sosok hitam yang membungkuk kepadanya. "Apa maumu?"

   "La chiave," jawabnya dengan suara parau. "Kata kuncinya."

   "Tetapi ... aku tidak-"

   Penyusup itu menekankan benda itu lebih kuat sehingga benda panas itu masuk lebih dalam lagi ke dada Vetra. Terdengar suara mendesis yang keluar dari daging yang terpanggang.

   Vetra menjerit kesakitan. "Tidak ada kata kuncinya!" Dia merasa dirinya sebentar lagi hampir pingsan.

   Mata orang itu melotot, "Ne avevo paum. Itu yang kutakutkan."

   Vetra berusaha untuk tetap sadar, namun kegelapan telah menyelimutinya. Satu-satunya hal yang membuatnya senang adalah dia tahu orang yang menyerangnya itu tidak akan memperoleh apa yang dicarinya. Sesaat kemudian, sosok itu mengeluarkan sebilah pisau dan mendekatkannya ke wajah Vetra. Pisau itu terayun dengan cermat dan menyayat seperti pisau bedah.

   "Demi kasih Tuhan!" jerit Vetra. Sayang, sudah terlambat.[] TINGGI DI ATAS puncak anak tangga Great Pyramid Giza, seorang perempuan muda tertawa dan berseru ke bawah kepada seorang lelaki. "Robert, cepatlah! Aku tahu aku semestinya menikah dengan lelaki yang lebih muda!" Senyum perempuan itu begitu memesona. Robert berjuang untuk mengimbanginya, tapi tungkai kakinya seperti terpaku. "Tunggu," pintanya. "Kumohon .... "

   Ketika lelaki itu berusaha mendaki, pandangannya mulai mengabur. Dia seperti mendengar suara-suara di telinganya. Aku harus menangkap perempuan itu! Tapi ketika dia mendongak lagi, perempuan itu telah menghilang. Di tempat di mana perempuan itu sebelumnya berada, berdiri seorang lelaki tua dengan gigi yang berwarna kecokelatan. Lelaki tua itu menatap ke bawah, ke arahnya, dan tersenyum penuh kesedihan. Kemudian dia menjerit keras penuh penderitaan sehingga menggema ke seluruh padang pasir.

   Robert Langdon tersentak bangun dari mimpi buruknya. Telepon di samping tempat tidurnya berdering. Dengan linglung dia mengangkatnya.

   "Halo?"

   "Aku mencari Robert Langdon," suara seorang lelaki berkata. Langdon duduk tegak di atas tempat tidurnya dan mencoba menjernihkan pikirannya. "Ini Robert Langdon." Dia menyipitkan matanya ketika menatap jam digitalnya. Pukul 5.18 pagi.

   "Aku harus bertemu denganmu segera."

   "Siapa ini?"

   "Namaku Maximilian Kohler. Aku seorang ahli fisika partikel."

   "Apa?" Pikiran Langdon masih kacau. "Kamu yakin saya Langdon yang kamu cari?"

   "Kamu dosen ikonologi religi di Harvard University. Kamu menulis tiga buku tentang simbologi dan-"

   "Kamu tahu jam berapa sekarang?"

   "Maafkan aku. Tapi aku mempunyai sesuatu yang harus kamu lihat. Aku tidak dapat membicarakannya lewat telepon."

   Langdon mendesah maklum. Ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Salah satu risiko menjadi penulis buku-buku tentang simbologi religi adalah telepon dari para penganut sebuah agama yang fanatik yang ingin agar ia membenarkan keyakinan mereka kalau mereka baru saja menerima pertanda dari Tuhan. Bulan lalu, seorang penari telanjang dari Oklahoma menjanjikan pelayanan seks habis-habisan kalau Langdon mau terbang ke rumahnya untuk memeriksa keaslian dari bentuk salib yang secara ajaib muncul di atas sprei tempat tidurnya. Kain Kafan dari Tulsa, begitu Langdon menyebutnya.

   "Bagaimana kamu mendapatkan nomor teleponku?" tanya Langdon mencoba bersikap sopan walau orang itu meneleponnya pada waktu yang sungguh tidak sopan.

   "Dari internet. Dari situs bukumu."

   Langdon mengerutkan keningnya. Dia sangat yakin situs bukunya tidak mencantumkan nomor teleponnya. Lelaki itu pasti berbohong.

   "Aku harus bertemu denganmu," desak orang itu. "Aku akan membayarmu dengan harga yang pantas."

   Sekarang Langdon mulai kesal. "Maafkan aku, tetapi aku betul-betul-"

   "Jika kamu segera berangkat, kamu akan tiba di sini pada-"

   "Aku tidak mau pergi ke mana-mana! Ini jam lima pagi!" Langdon menutup teleponnya dan menjatuhkan dirinya lagi di atas tempat tidur. Dia menutup matanya dan mencoba tidur kembali. Tidak ada gunanya. Mimpi itu masih membayanginya. Dengan enggan, dia mengenakan jubah kamarnya dan turun ke lantai bawah. Robert Langdon berjalan mondar-mandir dengan bertelanjang kaki di rumah bergaya zaman Victoria miliknya yang lengang di Massachusetts dan menikmati r amuan "sulit tidur" kesukaannya-secangkir besar Nestles Quik panas. Sinar rembulan di bulan April tampak menembus masuk dari jendela rumahnya yang menjorok ke luar dan memberikan sentuhan tersendiri pada permadani oriental yang terhampar di lantai. Rekan-rekan Langdon sering mengoloknya dengan mengatakan rumahnya lebih mirip sebuah museum antropologi daripada sebuah rumah. Rak bukunya dipenuhi oleh berbagai artifak religius dari seluruh penjuru dunia, seperti ekuaba dari Ghana, salib emas dari Spanyol, patung berhala dari Aegean Selatan, dan bahkan tenunan langka bernama boccus dari Kalimantan yang merupakan simbol keabadian usia muda milik seorang ksatria. Ketika Langdon duduk di atas peti kuningan Maharesi-nya dan menikmati minuman cokelat hangat kesukaannya, kaca jendela yang menjorok itu memantulkan bayangan dirinya. Bayangan itu tampak berubah dan pucat ... seperti hantu. Hantu tua renta, katanya seperti mengejek dirinya sendiri dengan berpikir jiwa mudanya telah berlalu meninggalkannya. Walaupun tidak terlalu tampan menurut ukuran biasa, Langdon yang berusia empat puluh tahun ini memiliki apa yang disebut rekan kerja perempuannya sebagai daya tarik "seorang terpelajar"-rambut cokelat tebal yang mulai tampak beruban, mata biru yang tajam menyelidik, suara yang berat sekaligus menawan, dan senyuman menggoda milik seorang atlet kampus. Sebagai mantan anggota regu selam di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, Langdon masih memiliki tubuh yang gagah setinggi 180 sentimeter dan tetap terjaga berkat latihan renang yang dilakukannya setiap hari sebanyak lima puluh putaran di kolam renang kampus. Teman-teman Langdon selalu menganggapnya sebagai orang yang agak membingungkan-seseorang yang terperangkap di antara abad yang satu dengan abad yang lainnya. Pada akhir pekan, Langdon sering terlihat mengenakan jeans, duduk-duduk santai di alun-alun kampus sambil berdiskusi tentang grafik komputer atau sejarah agama dengan para mahasiswa; di lain waktu dia terlihat mengenakan jas wol rancangan Harris, dan rompi dari wol halus seperti yang terlihat dalam berbagai foto di halaman majalah seni ternama ketika hadir dalam pembukaan museum untuk memberikan pidato. Walau dianggap sebagai dosen yang keras dan sangat disiplin, Langdon juga dipuji sebagai orang yang suka bergembira. Dia sangat menyukai kegiatan rekreasi sehingga diterima di lingkungan mahasiswanya dengan baik. Julukannya di kampus adalah "si Lumba-lumba" karena sifatnya yang ramah dan karena kemampuannya yang legendaris dalam menyelam dan berenang ketika bertanding dalam pertandingan polo air. Ketika Langdon duduk sendirian dan menatap ke dalam kegelapan, kesenyapan rumahnya terusik lagi. Kali ini oleh suara dering mesin faksnya. Merasa terlalu lelah untuk diganggu, Langdon hanya berusaha untuk tertawa sendiri. Umat Tuhan ini, katanya dalam hati. Sudah dua ribu tahun menunggu Mesiah untuk menyelamatkan mereka, masih saja keras kepala seperti batu. Dengan letih dia mengembalikan cangkir besarnya ke dapur dan berjalan perlahan menuju ruang kerjanya yang memiliki dinding yang berlapis kayu ek. Lembaran faks yang baru tiba itu tergeletak di atas meja. Sambil mendesah, dia memungut kertas itu dan mengamatinya. Tiba-tiba dia merasa mual. Gambar yang tertera pada lembaran itu adalah gambar sesosok mayat manusia. Mayat itu ditelanjangi, dan kepalanya diputar hingga sepenuhnya mengarah ke belakang. Ada luka bakar yang parah di dada mayat itu. Lelaki itu diberi cap ... hanya satu kata yang tertera di sana. Langdon mengenalinya dengan baik. Sangat baik. Dia menatap huruf ornamen itu dengan rasa tidak percaya.

   "Illuminati," dia tergagap, jantungnya berdebar keras. Tidak mungkin .... Dengan gerak lambat, karena takut akan apa yang bakal dia lihat, Langdon memutar kertas itu sebesar 180 derajat. Lalu dia menatap huruf yang terbalik itu dan membacanya perlahan-lahan. Dia langsung terkesiap seolah baru saja dihajar oleh truk. Dia hampir tidak dapat memercayai penglihatannya. Kemudian dia memutar kertas faks itu kembali, membaca huruf itu sekali lagi dalam posisi yang benar, lalu diputar balik lagi.

   "Illuminati," bisiknya. Merasa sangat terguncang, Langdon jatuh terduduk di atas kursinya. Sesaat dia merasa sangat kebingungan. Dengan perlahan matanya menatap ke arah lampu merah yang berkedip di mesin faksnya. Siapa pun orang yang mengiriminya faks masih berada di sana ... menunggunya untuk berbicara. Langdon menatap lampu mesin faksnya yang masih terus berkedip-kedip. Kemudian dengan gemetar, dia mengangkat gagang telepon.

   "APAKAH KAMU MEMERHATIKANKU sekarang?" suara seorang lelaki berkata ketika akhirnya Langdon mengangkat teleponnya.

   "Ya. Saya benar-benar memerhatikan Anda sekarang. Siapa diri Anda sesungguhnya?" "Aku sudah berusaha untuk mengatakannya kepadamu tadi." Suara itu terdengar kaku seperti mesin. "Aku seorang ahli fisika. Aku mengelola sebuah fasilitas penelitian. Salah seorang staf kami dibunuh. Kamu sendiri sudah melihat gambar mayat itu."

   "Bagaimana Anda dapat menemukan saya?" Langdon hampir tidak mampu memusatkan perhatiannya. Pikirannya masih tertuju pada gambar yang terpampang di kertas faks.

   "Aku sudah mengatakannya padamu. Dari internet. Dari situs bukumu, The Art of The Illuminati."

   Langdon mencoba mengingat-ingat. Bukunya itu sesungguhnya tidak begitu terkenal di lingkungan penerbitan konvensional, tetapi ternyata cukup ngetop juga di dunia maya. Walau demikian, pengakuan orang yang meneleponnya ini sungguh tidak masuk akal. "Situs itu tidak mencantumkan informasi tentang alamat saya," tan tang Langdon. "Saya yakin akan hal itu."

   "Staf saya di lab sangat ahli dalam menemukan informasi pengguna internet dari sebuah situs."

   Langdon menjadi ragu. "Sepertinya lab Anda tahu banyak tentang situs."

   "Memang harus begitu," sahut lelaki itu ketus. "Kami yang menciptakannya."

   Dari suaranya, Langdon tahu lelaki itu tidak bergurau. "Aku harus bertemu denganmu," desak lelaki yang meneleponnya itu. "Ini bukan masalah yang dapat dibicarakan lewat telepon. Labku hanya satu jam penerbangan dari Boston."

   Langdon berdiri di dalam keremangan cahaya di ruang kerjanya dan memeriksa lembaran faks di tangannya. Gambar yang sangat memengaruhinya itu bisa menjadi penemuan terbesar abad ini. Penelitiannya selama berpuluh-puluh tahun kini ditegaskan hanya oleh satu simbol saja.

   "Ini mendesak," suara itu berkata dengan nada memaksa. Mata Langdon terpaku pada tanda itu. Illuminati, dia membacanya berulang kali. Pekerjaannya selama ini bisa dibilang berdasarkan pada fosil masa lalu seperti dokumen-dokumen kuno dan kisah-kisah sejarah. Tapi gambar yang berada di hadapannya itu diambil pada masa kini. Langdon merasa seperti seorang ahli paleontologi yang bertemu muka dengan seekor dinosaurus hidup.

   "Aku sudah mengirimkan sebuah pesawat terbang," lelaki berkata lagi. "Pesawat itu akan tiba di Boston dalam waktu dua puluh menit."

   Langdon merasa tegang. Satu jam penerbangan ....

   "Aku harap Anda mau memaafkan kelancangan saya," lanjutnya. "Aku memerlukanmu di sini."

   Langdon kembali menatap kertas faks di tangannya dan merasa sebuah mitos kuno telah diperjelas dengan gambar hitam-putih itu. Dampaknya mungkin saja menakutkan.

   Dia lalu menatap kosong ke luar jendela. Tanda-tanda fajar menyingsing mulai tampak dari pepohonan birch di halaman belakang rumahnya, tapi pemandangan itu tampak berbeda pagi ini. Dengan perasaan takut dan gembira yang campur aduk di dalam dirinya, Langdon tahu dia tidak punya pilihan.

   "Kamu menang," katanya. "Katakan di mana aku dapat menemukan pesawatmu itu."

   RIBUAN MIL JAUHNYA dari rumah Langdon, dua orang lelaki bertemu. Ruangan itu gelap. Bergaya abad pertengahan. Berdinding batu.

   "Benvenuto," sambut lelaki yang berwenang itu. Dia duduk di dalam kegelapan, jauh dari cahaya. "Kamu berhasil?"

   "Si," kata si lelaki berkulit gelap. "Perfettamente." Kata-katanya terdengar sekeras dinding batu ruangan itu.

   "Dan dapat dipastikan tidak akan terlacak siapa yang bertanggung jawab?"

   "Tidak seorang pun."

   "Hebat. Kamu mendapatkan apa yang kuminta?"

   Mata pembunuh itu berkilap, hitam seperti minyak. Dia kemudian mengeluarkan sebuah alat elektronik berat da n meletakkannya di atas meja.

   Lelaki yang duduk dalam kegelapan tampak senang. "Kamu bekerja dengan baik."

   "Melayani persaudaraan merupakan kehormatan bagiku," kata si pembunuh.

   "Bagian kedua akan segera dimulai. Beristirahatlah. Malam ini kita akan mengubah dunia."

   MOBIL SAAB 900S yang dikemudikan Langdon keluar dari Terowongan Callahan dan muncul di sisi timur Pelabuhan Boston, tak jauh dari pintu masuk Bandara Logan. Ketika memeriksa tujuannya, Langdon menemukan Aviation Road. Dia kemudian membelok ke kiri dan melewati gedung Eastern Airlines. Setelah 300 yard melewati jalan masuk, terlihat sebuah hanggar berdiri di balik kegelapan dengan nomor "4" berukuran besar dicat di atas atapnya. Dia memarkir mobilnya, lalu keluar.

   Seorang lelaki berwajah bulat mengenakan setelan jas pilot berwarna biru muncul dari gedung itu. "Robert Langdon?" serunya. Suaranya terdengar ramah. Dari aksennya, Langdon tidak dapat menerka dari mana lelaki itu berasal.

   "Benar," kata Langdon sambil mengunci pintunya.

   "Sangat tepat waktu," ujar lelaki itu. "Saya baru saja mendarat. Mari ikuti saya."

   Ketika mereka mengelilingi gedung itu, Langdon merasa tegang. Dia tidak terbiasa dengan telepon yang tidak jelas tujuannya dan pertemuan rahasia dengan orang yang belum dikenalnya. Karena dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya, dia hanya mengenakan pakaian yang biasa dikenakan ketika mengajar; celana panjang khaki dari bahan katun, kaus turtleneck, dan jas wol rancangan Harris. Ketika mereka berjalan, Langdon memikirkan faks yang berada di dalam saku jasnya. Dia masih belum dapat memercayai gambar yang terpampang dalam kertas tersebut.

   Pilot itu tampaknya merasakan kecemasan Langdon. "Terbang bukan masalah bagi Anda, 'kan, Pak?"

   "Sama sekali tidak," sahut Langdon. Mayat yang diberi cap, itu baru masalah bagiku. Kalau hanya terbang aku masih bisa mengatasinya. Lelaki itu membawa Langdon berjalan di sepanjang hanggar. Mereka membelok di sudut dan menuju ke landasan pacu pesawat terbang. Langdon berhenti dan menjadi kaku di atas landasan pacu. Dia melongo ketika menatap pesawat yang diparkir di tempat parkir pesawat. "Kita akan naik itu?"

   Lelaki itu tersenyum. "Suka?"

   Langdon menatap benda itu, lama. "Suka? Benda apa itu?"

   PESAWAT DI DEPAN mereka besar sekali. Benda itu hampir menyempai pesawat ulang-alik, tetapi bagian atasnya dipangkas sehingga meninggalkan sisa yang sangat rata. Terpakir seperti itu, pesawat tersebut tampak seperti bongkahan kayu yang besar sekali. Kesan pertama Langdon adalah, dia pasti sedang bermimpi. Kendaraan !tu tentunya masih bisa terbang seperti sebuah Buick. Kedua sayapnya hampir tidak tampak, hanya menyerupai sirip-sirip gemuk di bagian belakang tubuh pesawat tersebut. Sepasang sirip belakangnya mencuat ke luar di bagian buritan. Bagian lain dari pesawat itu adalah lambung yang panjangnya sekitar 200 kaki dari depan ke belakang. Tidak ada jendela, hanya lambung pesawat.

   "Bobotnya 250 ribu kilogram dengan bahan bakar terisi penuh," jelas si pilot dengan gaya seorang ayah yang membanggakan bayinya yang baru lahir. "Bahan bakarnya berupa hidrogen cair. Rangkanya terbuat dari titanium matriks dengan serat silikon karbit. Pesawat ini memiliki rasio daya tolak/berat sebesar 20.1, tidak sebanding dengan kebanyakan rasio jet biasa yang hanya sebesar 7.1. Pak Direktur pasti sangat ingin bertemu dengan Anda. Tidak biasanya beliau "mengirimkan bocah besar ini."

   "Benda ini bisa terbang?" tanya Langdon. Pilot itu tersenyum. "Oh, tentu." Kemudian dia membawa Langdon menyeberangi landasan pacu menuju pesawat tersebut. "Saya tahu Anda terkejut, tapi sebaiknya Anda membiasakan diri. Lima tahun lagi Anda akan melihat pesawat-pesawat semacam ini yang disebut HSCT atau High Speed Civil Transport. Laboratorium kamilah yang pertama kali memilikinya."

   Pasti sejenis laboratorium yang tergila-gila dengan kecepatan, pikir Langdon.

   "Ini adalah prototipe Boeing X-33," pilot itu melanjutkan, "tetapi masih ada belasan jenis lainnya seperti National Aero Space Plane, Scramjet milik Rusia, dan HOTOL milik Inggris. Masa depan it u berada di sini. Tidak lama lagi pesawat-pesawat seperti ini akan menjadi kendaraan umum. Anda boleh mengucapkan selamat tinggal pada jet-jet kuno."

   Langdon memandang pesawat itu dengan hati-hati. "Rasanya saya lebih menyukai jet kuno saja."

   Pilot itu memberi isyarat ke arah tangga pesawat. "Ke arah sini, Pak Langdon. Hati-hati."

   Beberapa menit kemudian, Langdon sudah duduk di dalam kabin pesawat yang kosong. Pilot itu memasangkan sabuk pengaman untuknya di barisan kursi depan, kemudian dia sendiri menghilang ke bagian depan pesawat.

   Kabin itu sendiri tampak luas seperti kabin di pesawat komersial biasa. Perbedaannya hanyalah, pesawat itu tidak punya jendela, dan hal itu membuat Langdon merasa tidak nyaman. Dia sudah lama dihantui oleh perasaan takut kepada tempat tertutup atau claustrophobia; kenangan akan kejadian di masa kecil yang tak pernah berhasil disingkirkannya.

   Ketidaksukaan Langdon pada ruang tertutup tidak membuatnya sakit, tetapi hal itu selalu membuatnya frustrasi. Perasaan itu muncul tanpa dia sadari. Karena itulah Langdon menghindari olah raga di dalam ruangan tertutup seperti racquetball atau squash. Dia juga rela mengeluarkan uang ekstra untuk membuat langit-langit tinggi yang sanggup memberikan udara lebih banyak di rumah bergaya Victoria miliknya, walaupun perumahan sederhana bagi para dosen sudah tersedia untuknya. Langdon sering menduga ketertarikannya di masa muda pada dunia seni muncul karena dia sangat menyukai ruangan luas dan terbuka yang terdapat di berbagai museum.

   Mesin pesawat menyala dan menderu di bawahnya sehingga membuat lambung pesawat bergetar. Langdon merasa sesak. Dia menunggu. Langdon merasakan pesawat tersebut mulai berjalan. Musik country mulai terdengar lirih dari bagian atas kabin pesawat.

   Pesawat telepon yang menempel di dinding di sisinya berbunyi dua kali. Langdon pun mengangkatnya.

   "Halo?" sapanya. Anda merasa nyaman, Pak Langdon?" tanya sang pilot.

   "Tidak juga," jawab Langdon. Santai saja. Kita akan tiba di sana satu jam lagi."

   "Dan ke mana sebenarnya di sana itu?" tanya Langdon ketika sadar dia tidak tahu ke mana tujuan mereka.

   "Jenewa," jawab sang pilot sambil menambah daya mesin pesawatnya. "Laboratoriumnya berada di Jenewa."

   "Jenewa," ulang Langdon. Dia merasa agak lebih baik sekarang. "Di utara New York? Saya sebenarnya memiliki saudara di dekat Danau Seneca. Saya tidak tahu kalau Jenewa memiliki laboratorium fisika."

   Pilot itu tertawa. "Bukan Jenewa New York, Pak Langdon. Jenewa di Swiss."

   Langdon membutuhkan waktu cukup lama untuk mencerna kalimat itu. "Swiss?" Langdon merasa denyut nadinya menjadi lebih cepat. "Saya kira tadi Anda mengatakan bahwa perjalanan ini hanya memakan waktu satu jam!"

   "Memang, Pak Langdon." Pilot itu terkekeh. "Pesawat ini memiliki kecepatan 15 mach."

   DI SEBUAH JALAN yang sibuk di Eropa, si pembunuh menyelinap di antara kerumunan orang. Dia lelaki yang kuat, berkulit gelap dan perkasa. Dia juga luar biasa tangkas. Otot-ototnya masih terasa keras karena ketegangan pertemuannya tadi.

   Pekerjaanku sudah berlangsung dengan baik, katanya dalam hati. Walau bosnya tidak pernah memperlihatkan wajahnya, si pembunuh sudah merasa terhormat boleh berhadapan langsung dengannya. Bukankah baru 15 hari sejak bosnya pertama kali menghubunginya? Si pembunuh itu masih dapat mengingat dengan jelas tiap kata dalam pembicaraan telepon mereka ...

   "Namaku Janus," kata orang yang meneleponnya waktu itu. "Kita masih sanak saudara atau semacam itu. Kita memiliki musuh yang sama. Aku dengar orang bisa menyewa keahlianmu."

   "Tergantung kamu mewakili siapa," sahut si pembunuh. Orang yang meneleponnya itu kemudian memberitahunya. "Kamu sedang bercanda?"

   "Tampaknya kamu pernah mendengar nama kami," jawab lelaki yang meneleponnya itu.

   "Tentu saja. Persaudaraan itu adalah sebuah legenda."

   "Tapi, kamu tidak percaya kalau aku mewakili organisasi yang asli."

   "Semua orang tahu kalau persaudaraan itu sudah punah."

   "Itu hanya akal-akalan kami saja. Musuh yang paling berbahaya adalah sesuatu yang tidak ditakuti oleh seorang pun." Pembunuh itu ragu-rag u. "Persaudaraan itu masih ada?"

   "Semakin tersembunyi daripada sebelumnya. Akar kami menyusup ke semua tempat yang kamu lihat ... bahkan ke dalam benteng suci milik musuh bebuyutan kami."

   "Tidak mungkin. Mereka tidak dapat dilukai."

   "Jangkauan kami jauh."

   "Tidak seorang pun dapat menjangkau sejauh itu."

   "Kamu akan segera memercayainya. Sebuah demonstrasi kekuatan persaudaraan yang sulit untuk dibantah telah terjadi. Satu tindakan pengkhianatan dan pembuktian."

   "Apa yang kamu lakukan."

   Orang yang meneleponnya itu mengatakannya. Mata si pembunuh membelalak. "Itu tugas yang tidak masuk akal."

   Keesokan harinya, koran-koran di seluruh dunia menampilkan berita utama yang sama. Si pembunuh pun akhirnya memercayai keberadaan persaudaraan itu.

   Kini, lima belas hari kemudian, keyakinan pembunuh itu semakin kuat sehingga tidak ada keraguan lagi. Persaudaraan itu masih ada, pikirnya. Malam ini mereka akan menunjukkan kekuasaan mereka.

   Ketika dia menyusuri jalan itu, mata hitamnya berkilauan oleh gambaran masa depannya. Salah satu dari persaudaraan yang paling tertutup dan paling ditakuti yang pernah ada telah meneleponnya untuk meminta bantuannya. Mereka sudah memilih dengan bijaksana, pikirnya. Reputasinya dalam menjaga kerahasiaan hanya bisa dikalahkan oleh reputasinya dalam memenuhi tenggat waktu.

   Sejauh ini, dia sudah melayani mereka dengan rasa hormat. Dia telah melakukan pembunuhan dan menyampaikan barang seperti yang dikehendaki oleh Janus. Sekarang terserah Janus mau ditempatkan di mana benda tersebut.

   Penempatan ...

   Si pembunuh bertanya-tanya bagaimana Janus dapat menangani tugas yang begitu pelik seperti itu. Lelaki itu pasti memiliki koneksi orang dalam. Sepertinya dominasi persaudaraan itu tidak terbatas.

   Janus, pikir sang pembunuh. Pasti itu hanya sebuah nama sandi. Dia bertanya-tanya apakah itu mengacu pada nama dewa Romawi yang memiliki dua wajah ... atau pada bulan Saturnus? Baginya tidak ada bedanya. Janus memiliki kekuasaan yang luar biasa. Dia telah membuktikannya.

   Ketika pembunuh itu berjalan, dia membayangkan nenek moyangnya tersenyum padanya dari atas sana. Hari ini dia telah bertempur untuk memperjuangkan tujuan mereka. Dia memerangi musuh yang sama yang sudah mereka perangi selama berabadabad sejak sebelas abad silam ... ketika tentara salib musuh mereka itu pertama kali menjarah tanah mereka, memerkosa dan membunuh rakyatnya, menuduh mereka sebagai orang-orang yang tidak suci, lalu menghancurkan kuil-kuil dan dewa-dewa mereka.

   Nenek moyangnya telah membentuk pasukan kecil tetapi mematikan untuk melindungi diri mereka sendiri. Pasukan itu mulai terkenal di seluruh negeri sebagai pelindung-penghukum handal yang menjelajahi seluruh negeri untuk membunuhi setiap musuh yang mereka temukan. Mereka terkenal tidak hanya karena pembunuhan-pembunuhan brutal yang mereka lakukan, tetapi juga karena mereka merayakan pembantaian itu dengan cara mabukmabukan. Pilihan mereka adalah minuman keras yang sangat memabukkan yang mereka sebut hashish.

   Ketika nama buruk mereka mulai tersebar, kelompok pembunuh itu menjadi terkenal dengan satu sebutan saja, hassassin, yang makna harfiahnya berarti "pengikut hassish". Nama hassassin sendiri memiliki makna yang sama dengan kematian dalam hampir tiap bahasa di muka bumi ini. Kata itu masih digunakan hingga karang, bahkan dalam bahasa Inggris modern ... namun seperti juga keahlian mereka untuk membunuh, kata itu lambat laun mengalami sedikit perubahan.

   Sekarang kata itu diucapkan sebagai assassin.

   ENAM PULUH EMPAT menit telah berlalu ketika Robert Langdon, yang masih tidak percaya dan mabuk udara, menuruni tangga pesawat dan berjalan di landasan yang disinari cahaya matahari. Angin dingin membuat kerah jas wolnya berkibar. Udara terbuka membuatnya senang. Dia menyipitkan matanya ketika menatap lembah hijau subur yang menjulang ke puncak berselimut salju di sekeliling mereka.

   Aku sedang bermimpi, katanya dalam hati. Sebentar lagi aku akan terjaga.

   "Selamat datang di Swiss," seru sang pilot keras untuk mengalahkan deru mesin pesawat X-33 yang bising dan berb ahan bakar HEDM yang menimbulkan kabut di belakang mereka. Langdon memeriksa jam tangannya. Pukul 7.07 pagi. Anda baru saja melintasi enam zona waktu," jelas sang pilot tanpa diminta. "Di sini pukul satu siang lebih sedikit." Langdon menyesuaikan jam tangannya. "Bagaimana perasaan Anda?"

   Langdon mengusap perutnya. "Seperti baru saja menelan styrofoam."

   Pilot itu mengangguk. "Mabuk ketinggian. Kita tadi terbang di ketinggian 60 ribu kaki di atas permukaan laut. Berat tubuh Anda 30% lebih ringan. Untunglah kita hanya terguncang-guncang sedikit. Kalau kita pergi ke Tokyo, aku harus menerbangkan pesawat itu lebih tinggi lagi, beberapa ratus mil lagi. Pada saat itulah baru Anda akan merasa perut Anda jungkir balik."

   Langdon mengangguk lesu dan menganggap dirinya beruntung. Semuanya terasa seperti penerbangan yang biasa-biasa saja. Kecuali percepatan yang mereka alami ketika mengudara, gerakan pesawat itu hampir sama dengan pesawat lainnya-kadang-kadang mengalami sedikit turbulensi, lalu mengalami beberapa perubahan tekanan udara ketika mereka mulai menanjak, tetapi tidak terasa kalau mereka sedang melesat di udara dengan kecepatan luar biasa sebesar 11.000 mil per jam.

   Sejumlah teknisi bergegas menuju landasan untuk mengurus pesawat X-33 itu. Sang pilot kemudian menemani Langdon menuju ke sebuah sedan Peugeot hi tarn yang diparkir di samping menara pengawas. Beberapa saat kemudian mereka sudah meluncur cepat menyusuri jalan aspal yang terbentang di atas dataran lembah. Sekelompok gedung tampak samar menjulang di kejauhan. Di luar mobil mereka, Langdon melihat padang rumput tampak kabur karena kecepatan mobil mereka.

   Langdon menatap pilot itu dengan tatapan tidak percaya ketika dia menaikkan kecepatan menjadi sekitar 170 kilometer per jam-lebih dari 100 mil per jam. Ada masalah apa antara orang ini dengan kecepatan? Langdon bertanya-tanya.

   "Lima kilometer lagi kita akan tiba di laboratorium," kata si pilot. "Saya akan mengantar Anda ke sana dalam waktu dua menit."

   Langdon berusaha mencari sabuk pengaman dengan sia-sia. Mengapa tidak tiga menit saja dan tiba di sana dengan selamat? Mobil itu terus melesat seperti berpacu.

   "Anda suka Reba?" tanya si pilot sambil memasukkan sebuah kaset ke dalam mesin pemutar kaset. Terdengar suara perempuan mulai menyanyi. "Itu hanya ketakutan akan kesendirian ... "

   Tidak ada ketakutan di sini, pikir Langdon. Rekan kerjanya yang perempuan sering mengolok-olok dirinya dengan mengatakan bahwa koleksi artifaknya yang setara dengan koleksi museum itu tak lebih dari usahanya untuk mengisi rumahnya yang kosong, rumah yang menurut mereka akan tampak lebih cantik dengan kehadiran seorang wanita. Langdon selalu menertawakan gurauan itu dan mengingatkan mereka bahwa dirinya sudah memiliki tiga cinta dalam hidupnya. simbologi, polo air, dan status lajang. Yang terakhir ini berarti kebebasan yang memungkinkan dirinya untuk bepergian keliling dunia, tidur selarut yang dia kehendaki, dan menikmati malam-malam tenang di rumah sambil meneguk brandy dan membaca sebuah buku bagus.

   "Kompleks kami seperti sebuah kota kecil," kata si pilot seperti menyadarkan Langdon dari lamunannya. "Tidak hanya berisi laboratorium. Kami juga memiliki beberapa toko swalayan, sebuah rumah sakit, bahkan sebuah gedung bioskop."

   Langdon mengangguk tanpa ekspresi dan melihat ke luar, ke arah gedung-gedung yang menjulang di hadapan mereka.

   "Sebetulnya," tambah si pilot, "kami juga memiliki mesin terbesar di dunia."

   "Sungguh?" tanya Langdon sambil menyusuri pedesaan itu dengan matanya.

   "Anda tidak akan melihatnya dari situ, Pak." Pilot itu tersenyum. "Mesin itu kami tanam enam tingkat di bawah tanah."

   Langdon tidak punya waktu lama untuk bertanya. Tiba-tiba, pilot itu menginjak pedal remnya. Mobil tersebut berhenti dengan suara berdecit di luar sebuah pos penjagaan dari beton.

   Langdon membaca tulisan di depannya. SECURITE. ARRETEZ(Pos Keamanan. Berhenti.). Tiba-tiba Langdon merasakan gelombang kepanikan karena sadar di mana dia berada sekarang. "Ya Tuhan! Aku tidak membawa paspor."

   Paspor tidak diperlukan," kata sa ng pilot meyakinkannya. Kami memiliki hak istimewa dari pemerintah Swiss."

   Langdon hanya terpaku ketika supirnya memberikan sebuah kartu identitas kepada sang penjaga. Penjaga itu kemudian menggesekkannya pada sebuah alat pemeriksa. Alat itu menyala hijau.

   "Nama penumpang?"

   "Robert Langdon."

   "Tamu siapa?"

   "Pak Direktur."

   Penjaga itu menaikkan alisnya. Dia kemudian menoleh dan memeriksa kertas hasil cetakan komputer lalu membandingkannya dengan informasi yang ada di layar komputer. Dia kemudian kembali ke jendela mobil. "Nikmati kunjungan Anda, Pak Langdon."

   Mobil itu melesat lagi, meluncur sepanjang 200 yard, lalu mengitari sebuah bundaran luas yang membawa mereka di depan pintu masuk utama gedung itu. Sebuah gedung persegi bergaya ultra modern, terdiri atas kaca dan baja, menjulang di depan mereka. Langdon kagum pada rancangan tembus pandang gedung itu. Dia selalu menyukai arsitektur.

   "Katedral Kaca," jelas pengawalnya tanpa diminta.

   "Sebuah gereja?"

   "Ya ampun, bukan. Gereja adalah satu-satunya yang tidak kami miliki di sini. Fisika adalah agama di sekitar sini. Anda bisa menyebut nama Tuhan sebanyak yang Anda mau dengan sia-sia di sini," dia tertawa. "Asal Anda tidak menjelek-jelekkan quark dan meson saja."(quark. elemen dasar yang dianggap muncul secara berpasangan; meson. kelompok partikel dasar yang membentuk quark dan antiquark (istilah dalam ilmu fisika)-peny.) Langdon duduk dengan bingung ketika supirnya membelokkan mobil dan menghentikannya di depan gedung kaca tersebut. Quark dan meson? Tidak ada pemeriksaan di perbatasan? Jet berkecepatan 15 mach? Siapa orang-orang ini? Sebuah lempengan batu granit di depan gedung menunjukkan jawaban untuk pertanyaan Langdon. (CERN) Conseil Europeen pour la Recherche Nucleaire "Penelitian nuklir?" tanya Langdon yang tidak terlalu yakin dengan keakuratan terjemahannya. Supirnya tidak menjawabnya. Dia hanya mencondongkan tubuhnya ke depan dan sibuk mengatur pemutar kaset di mobilnya. "Ini tujuan Anda. Pak Direktur akan menemui Anda di pintu masuk."

   Langdon melihat seorang lelaki yang duduk di atas kursi roda, keluar dari gedung. Tampaknya lelaki itu berusia awal 60-an. Terlihat cekung, berkepala botak dan berahang keras, dia mengenakan jas lab putih dan sepatu dari kain yang tampak menyembul dari bantalan kaki kursi rodanya. Bahkan dari kejauhan, matanya tampak kosong seperti sepasang batu kelabu. "Itu Pak Direktur?" tanya Langdon.

   Supirnya mendongak. "Yah, aku akan seperti itu," dia menoleh kepada Langdon dan tersenyum menyebalkan. "Kalau bicara tentang setan."

   Dengan perasaan tidak pasti dengan apa yang akan dihadapinya, Langdon keluar dari mobil.

   Lelaki di atas kursi roda itu meluncur ke arah Langdon dan menjulurkan tangannya yang lembab.

   "Pak Langdon? Kita sudah berbicara di telepon. Namaku Maximilian Kohler."

   DI BELAKANGNYA, Maximilian Kohler, Direktur Jenderal CERN, sering disebut sebagai Konig atau Sang Raja. Julukan yang diberikan oleh para pegawainya itu lebih disebabkan oleh rasa takut dibandingkan dengan kenyataan bahwa "sang raja" memerintah ari singgasana yang berupa kursi roda. Walau hanya sedikit orang yang mengenal Kohler secara pribadi, kisah mengenai penyebab kelumpuhannya itu telah tersebar di CERN. Begitu pula dengan kisah tentang penyebab sifat dinginnya dan sumpah setianya pada ilmu-ilmu murni.

   Meski Langdon baru beberapa saat berada di depan Kohler, dia sudah dapat merasa kalau sang direktur adalah orang yang menjaga jarak. Langdon hams berlari-lari kecil agar bisa tetap berada di samping kursi roda listrik yang membawa sang direktur meluncur tanpa suara ke arah pintu masuk utama. Langdon belum pernah melihat kursi roda seperti itu. Kursi roda itu dilengkapi dengan tempat penyimpanan peralatan elektronik termasuk telepon multi saluran, sistem penyeranta, layar komputer, bahkan sebuah kamera video yang dapat dilepas. Kursi roda listrik itu sepertinya menjadi pusat kendali berjalan Raja Kohler.

   Langdon mengikutinya melewati pintu mekanis dan memasuki lobi utama CERN yang sangat luas.

   Katedral Kaca, kata Langdon senang sambil m elihat ke arah langit.

   Di atasnya, langit-langit kaca berwarna kebiruan yang berkilauan di bawah sinar matahari sore memberikan pantulan sinar dengan pola-pola geometris di udara sehingga menimbulkan kesan agung pada ruangan di bawahnya. Bayangan siku-siku terlihat seperti urat nadi dan menghiasi dinding keramik putih dan lantai pualam. Udara tercium bersih dan bebas hama. Sejumlah ilmuwan hilir mudik dengan cepat. Langdon mendengar bunyi langkah mereka menggema di ruangan kosong tersebut.

   "Ke sebelah sini, Pak Langdon." Suara Kohler terdengar hampir seperti suara dari komputer. Aksennya kaku dan tepat seperti penampilannya. Kohler terbatuk dan menyeka mulutnya dengan sapu tangan putih sambil menatap Langdon dengan mata kelabunya. "Ayo cepat." Kursi rodanya terlihat seperti melompati lantai pualam itu. Langdon mengikutinya dan melewati ribuan koridor yang bercabang ke atrium utama. Setiap koridor ramai dengan berbagai kegiatan. Para ilmuwan yang melihat Kohler tampak terkejut dan memerhatikan Langdon seolah mereka bertanya-tanya siapa gerangan tamu yang menemani pimpinan mereka.

   "Aku malu mengakui kalau saya belum pernah mendengar tentang CERN sebelumnya," Langdon berusaha untuk membangun percakapan dengan Sang Raja.

   "Tidak heran," sahut Kohler cepat. Jawabannya terdengar sangat efisien. "Sebagian besar orang Amerika memang tidak menganggap Eropa sebagai pemimpin dunia di bidang penelitian ilmiah. Mereka hanya melihat Eropa tak lebih dari sekadar distrik pertokoan kuno. Sebuah pemikiran yang aneh kalau Anda ingat dari mana Einstein, Galileo dan Newton berasal."

   Langdon tidak yakin bagaimana dia harus menjawab. Dia lalu menarik kertas faks itu dari dalam sakunya. "Orang dalam foto ini, dapatkah Anda-"

   Kohler memotong kalimat Langdon dengan mengibaskan tangannya. "Jangan di sini. Aku sedang membawa Anda untuk melihatnya." Dia kemudian mengulurkan tangannya. "Mungkin sebaiknya saya saja yang menyimpannya," katanya sambil mengambil kertas faks dari tangan Langdon.

   Langdon menyerahkan kertas faks itu dan melanjutkan melangkah tanpa berkata-kata.

   Kohler membelok tajam ke kiri dan memasuki koridor lebar yang dihiasi oleh berbagai tanda penghargaan. Sebuah plakat yang sangat besar mendominasi koridor itu. Ketika mereka melewatinya, Langdon memperlambat langkahnya untuk membaca ukiran di atas sebuah logam perunggu.

   PENGHARGAAN ARS ELECKTRONICA Untuk Inovasi Budaya Di Era Digital Diberikan kepada Tim Berners Lee dan CERN Atas Penemuan WORLD WIDE WEB Wah, kurang ajar, pikir Langdon ketika membaca tulisan tersebut. Orang ini tidak main-main. Selama ini Langdon selalu mengira kalau internet diciptakan oleh orang Amerika. Terlebih lagi, pengetahuannya tentang situs hanya terbatas pada penjelajahan online mengenai Louvre atau El Prado dengan menggunakan komputer Macintosh tuanya.

   "Internet," kata Kohler sambil terbatuk lagi lalu menyeka mulutnya, "dimulai dari sini sebagai sebuah jaringan situs komputer internal. Teknologi ini memungkinkan para ahli dari berbagai divisi untuk berbagi penemuan mereka dengan rekan kerja mereka setiap hari. Tapi tentu saja, semua orang mengira internet adalah teknologi dari Amerika."

   Langdon berusaha mengikuti kecepatan kursi roda Kohler. "Mengapa tidak meluruskan pemahaman itu?"

   Kohler mengangkat bahunya dan nampak tidak tertarik. "Kekeliruan sepele untuk sebuah teknologi yang sepele. CERN jauh lebih hebat dibandingkan dengan koneksi komputer global. Ilmuwan kami menghasilkan banyak keajaiban hampir setiap hari."

   Langdon menatap Kohler dengan tatapan tidak mengerti. "Keajaiban?" Kata "keajaiban" jelas tidak ada dalam kamus di fakultas ilmu pasti di Harvard. Keajaiban hanya untuk mereka yang belajar teologi..

   "Anda sepertinya ragu-ragu," kata Kohler. "Saya pikir Anda seorang ahli simbologi agama. Anda tidak percaya pada keajaiban?"

   "Sikap saya netral dengan keajaiban," kata Langdon. Terutama dengan keajaiban yang terjadi di lab ilmu pasti.

   "Mungkin keajaiban adalah kata yang salah. Saya hanya berusaha untuk menggunakan istilah dalam bahasa Anda."

   "Bahasa saya?" Langdon tiba-tib a merasa tidak nyaman. "Saya tidak bermaksud untuk mengecewakan Anda, Pak, tetapi saya mempelajari simbologi agama-saya seorang akademisi bukan seorang pendeta."

   Tiba-tiba Kohler memperlambat lajunya dan menoleh ke arah Langdon. Tatapannya agak melunak. "Tentu saja. Betapa bodohnya saya. Orang tidak perlu mengidap kanker untuk memahami gejala yang dimiliki oleh penyakit itu."

   Langdon belum pernah mendengar ada orang memberikan garnbaran seperti yang dikatakan oleh Kohler.

   Ketika mereka berjalan di sepanjang koridor itu, Kohler mengangguk. "Saya kira Anda dan saya bisa saling memahami dengan sangat baik, Pak Langdon."

   Entah bagaimana, Langdon meragukannya.

   Ketika mereka berjalan dengan terburu-buru, Langdon merasakan adanya getaran kuat yang berasal dari atas. Suara bising itu menjadi semakin keras setiap kali dia melangkah, dan getaran tersebut seperti bergema di dinding. Sepertinya suara itu berasal dari ujung koridor di hadapan mereka.

   "Apa itu?" akhirnya Langdon bertanya dengan suara keras. Dia merasa seakan sedang mendekati sebuah gunung api yang sedang aktif.

   "Tabung Terjun Bebas," jawab Kohler. Suaranya yang tanpa ekspresi dapat menembus kebisingan itu dengan mudah. Setelah itu dia tidak menjelaskan lebih lanjut. Langdon juga tidak bertanya lagi. Dia letih. Selain itu Maximilian Kohler juga sepertinya tidak tertarik untuk memenangkan penghargaan sebagai tuan rumah yang ramah. Langdon mengingatkan dirinya sendiri untuk apa dia berada di sini. Demi Illuminati. Dia menduga di fasilitas yang sangat besar ini ada sesosok mayat ... mayat yang dicap dengan sebuah simbol yang membuatnya terbang sejauh 3000 mil agar dapat melihatnya. Ketika mereka mendekati ujung koridor tersebut, kebisingan itu menjadi hampir memekakkan dan menggetarkan telapak kaki langdon. Mereka berbelok, dan menemukan ruangan di sisi kanan mereka. Empat pintu berlapis kaca tebal terdapat di dinding yang melengkung sehingga terlihat seperti jendela di kapal selam. Langdon berhenti dan melongok ke dalam salah satu lubang itu. Profesor Robert Langdon pernah melihat beberapa hal aneh dalam hidupnya, tapi ini adalah yang paling aneh. Dia mengejapkan matanya beberapa kali sambil bertanya-tanya apakah dia sedang berhalusinasi. Dia mengintip ke dalam sebuah ruangan bundar yang berukuran luar biasa besar. Di dalam ruangan itu dia melihat beberapa orang mengambang seolah tidak berbobot. Semuanya ada tiga orang. Salah satu dari mereka melambaikan tangannya dan berjungkir balik di udara. Ya, Tuhan, seru Langdon. Aku berada di negeri para peri! Di lantai ruangan itu terdapat jalinan yang saling bertautan seperti lembaran kawat ayam yang besar sekali. Di bawah jalinan itu samar-samar terlihat sebuah baling-baling besar dari metal.

   "Tabung Terbang Bebas," kata Kohler sambil berhenti menunggu Langdon. "Skydiving di dalam ruangan. Bagus untuk menghilangkan stres. Ini adalah terowongan angin vertikal."

   Langdon memandang dengan kagum. Salah satu dari orangorang yang melayang-layang itu adalah seorang perempuan yang sangat gemuk dan dia sekarang bergerak mendekati jendela. Perempuan itu melayang dengan ditopang hanya oleh putaran arus udara. Dia tersenyum dan memberi isyarat kepada Langdon dengan mengangkat ibu jarinya. Langdon tersenyum samar dan membalas isyarat itu sambil bertanya-tanya dalam hatinya, apakah perempuan itu tahu bahwa dia baru saja memberi simbol phalus, simbol kejantanan pria, padanya.

   Langdon melihat kalau perempuan gemuk itu adalah satusatunya orang yang mengenakan parasut kecil. Secarik bahan yang menggelembung di atas perempuan itu tampak seperti mainan. "Parasut kecil itu untuk apa?" tanya Langdon kepada Kohler. "Saya yakin diameternya tidak lebih dari satu yard."

   "Friksi," jawab Kohler. "Mengurangi aerodinamika tubuhnya sehingga baling-baling di bawah itu dapat mengangkatnya." Lalu dia mulai berjalan lagi. "Satu yard persegi parasut dapat memperlambat jatuhnya tubuh sebesar hampir dua puluh persen."

   Langdon mengangguk walau masih agak bingung.

   Dia tidak tahu kalau malam harinya, di sebuah negara yang berjarak ribuan mil jauhn ya, informasi seperti itu bisa menyelamatkan hidupnya.

   KETIKA KOHLER dan Langdon keluar dari bagian belakang kompleks utama CERN dan menyambut sinar matahari Swiss, Langdon merasa seperti dipulangkan ke rumah. Pemandangan yang baru saja dilihatnya ini seperti yang terdapat di sebuah kampus bergengsi di Amerika.

   Langdon melihat lereng yang menurun ke arah dataran luas di mana sekelompok pohon sugar maples tumbuh di lapangan persegi yang dibatasi oleh gedung asrama dari batu bata dan jalan kecil untuk pejalan kaki. Beberapa orang dengan penampilan serius dan membawa tumpukan buku, bergegas keluar masuk dari gedung itu. Seperti ingin mempertajam kesan bahwa ini adalah lingkungan orang yang terpelajar, dua orang hippies sedang main lempar-lemparan Friesbee sambil menikmati Simfoni Keempat karya Mahler yang suaranya terdengar keras dari salah satu jendela asrama.

   "Ini asrama tempat tinggal kami," jelas Kohler sambil mempercepat laju kursi rodanya di atas jalan kecil yang membawa mereka ke arah gedung-gedung tersebut. "Kami mempunyai lebih dari tiga ribu ahli fisika di sini. CERN sendiri mempekerjakan hampir separuh dari ahli fisika partikel di seluruh dunia. Mereka orangorang terpandai di dunia. Mereka berasal dari Jerman, Jepang, Italia, Belanda, dan lain-lain. Ahli-ahli fisika kami berasal dari lebih lima ratus universitas dan enam puluh bangsa."

   Langdon kagum. "Bagaimana caranya mereka berkomunikasi?"

   "Dalam bahasa Inggris tentu saja. Bahasa ilmu pengetahuan universal."

   Selama ini Langdon selalu mendengar bahwa matematikalah yang merupakan bahasa ilmu pengetahuan universal, tapi dia sudah terlalu letih untuk berdebat. Dengan patuh dia mengikuti Kohler menuruni jalan kecil itu.

   Di tengah perjalanan menuruni lereng, seorang pemuda berlari-lari kecil melewati mereka. Kausnya bertuliskan pesan. NO GUT, NO GLORY!(Tiada kemasyhuran tanpa keberanian-peny.) Langdon menatap punggung pemuda itu dengan bingung. "Gut?"

   "General Unified Theory," jelas Kohler.

   "Oh begitu," sahut Langdon tanpa memandang lawan bicaranya. Setahunya kata gut hanya berarti keberanian. "Anda tahu fisika partikel, Pak Langdon?" Langdon mengangkat bahunya. "Saya hanya tahu tentang fisika umum, seperti benda-benda yang jatuh karena gravitasi atau semacam itulah." Pengalaman Langdon dalam kegiatan loncat indah selama bertahun-tahun telah membuatnya terpesona dengan kekuatan percepatan gravitasi yang mengagumkan. "Fisika partikel adalah kajian tentang atom, bukan?"

   Kohler menggelengkan kepalanya. "Atom terlihat seperti sebuah planet kalau dibandingkan dengan apa yang kami tangani ini. Minat kami adalah pada inti atom yang berukuran 1/10.000 dari ukuran atom secara keseluruhan." Kohler batuk lagi dan suaranya terdengar seperti sakit. "Para ilmuwan di CERN berusaha mencari jawaban dari berbagai pertanyaan yang sudah ditanyakan oleh manusia sejak awal peradaban. Dari mana kita berasal? Dari elemen apa kita dibuat?"

   "Dan jawaban-jawaban itu ada di dalam lab fisika?"

   "Anda sepertinya terkejut."

   "Memang. Pertanyaan itu sepertinya lebih bersifat spritual."

   "Pak Langdon, semua pertanyaan tadi memang spiritual pada awalnya. Sejak awal peradaban, spiritualitas dan agama digunakan untuk mengisi celah-celah yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Terbit dan tenggelamnya matahari dulu pernah dihubungkan dengan dewa Helios dan kereta kuda berapi. Gempa bumi dan gelombang pasang dianggap sebagai kemarahan dewa Poseidon. Ilmu pengetahuan kini membuktikan bahwa dewa-dewa itu adalah sembahan palsu. Tidak lama lagi Tuhan juga akan terbukti sebagai sembahan palsu. Kini ilmu pengetahuan telah menemukan jawaban untuk hampir semua pertanyaan yang bisa ditanyakan oleh manusia. Hanya ada beberapa pertanyaan yang masih belum terjawab, dan itu semua merupakan pertanyaan-pertanyaan yang luar biasa sulit. Dari mana kita berasal? Apa yang kita lakukan di sini? Apa arti kehidupan dan alam semesta?"

   Langdon kagum. "Dan CERN berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?"

   "Ralat. Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang kita semua berusaha untuk menjawabnya.

   "

   Langdon terdiam ketika mereka terus berjalan ke arah kompleks asrama. Saat itulah sebuah Frisbee melayang ke arah mereka dan mendarat tepat di depan mereka. Kohler tidak memedulikannya dan terus berjalan.

   Terdengar suara berseru dari sisi lain lapangan, "S'il vous plait!" dalam bahasa Perancis. "Tolong ambilkan!"

   Langdon mencari sumber suara itu. Seorang lelaki yang sudah tidak muda lagi, berambut putih, dan mengenakan sweatshirt bertuliskan COLLEGE PARIS melambai ke arahnya. Langdon kemudian memungut Frisbee itu lalu dengan terampil melemparkannya kembali ke sana. Lelaki tua itu mengangkapnya dengan satu jari dan melambung-lambungkannya beberapa kali sebelum dia melemparkannya kembali kepada teman bermainnya. "Merci!" serunya kepada Langdon. "Terima kasih!"

   "Selamat," kata Kohler ketika Langdon kembali berjalan di lsinya lagi. "Anda baru saja main lempar-lemparan dengan seorang pemenang Nobel, Georges Charpak, sang penemu multiwire proportional chamber."

   Langdon mengangguk. Mungkin ini hari keberuntunganku.

   SETELAH TIGA MENIT berjalan, Langdon dan Kohler akhirnya sampai ke sebuah ruang duduk asrama yang terawat dengan baik di balik rerimbunan pohon aspen. Dibandingkan dengan asramaasrama lainnya, gedung ini tampak mewah. Di plakat dari batu tertulis. GEDUNG C Nama yang imajinatif, ejek Langdon.

   Walau nama itu terdengar dingin, arsitektur Gedung C yang konservatif dan kokoh itu menarik perhatian Langdon. Gedung tersebut memiliki bagian depan yang terbuat dari bata merah, kusen dengan hiasan yang menarik, dan dikelilingi oleh pagar berukir yang simetris. Ketika kedua lelaki itu menaiki tangga batu menuju ke pintu, mereka melewati gerbang yang terbentuk dari dua pilar pualam. Sepertinya seseorang memasang stiker di salah satu tiang. Di sana tertulis. PILAR INI IONIS Grafiti yang dibuat oleh ahli ilmu fisika? kata Langdon lucu sambil melihat pilar tersebut dan tertawa sendiri. "Ternyata seorang ahli fisika yang sangat pandai sekalipun bisa membuat kesalahan."


Pendekar Rajawali Sakti Iblis Tangan Tujuh Pendekar Rajawali Sakti Misteri Tabib Siluman Pendekar Rajawali Sakti Satria Pondok Ungu

Cari Blog Ini