Ceritasilat Novel Online

Malaikat Dan Iblis 12


Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 12



"Telepon redaksi," kata Chinita. "Kita menemukan mayat."

   Jauh sekali dari tempat itu, di CERN, Maximilian Kohler menggerakkan kursi rodanya ke dalam ruang kerja Leonardo Vetra.

   Dengan kegesitannya, dia mulai memilah-milah dokumen Vetra. Tidak menemukan apa yang dicarinya, Kohler kemudian bergerak ke kamar tidur staf seniornya itu. Laci teratas meja yang terdapat di sisi tempat tidur Vetra terkunci. Kohler berusaha membukanya dengan menggunakan pisau dapur.

   Di dalam laci itulah Kohler menemukan apa yang dicarinya.

   LANGDON MENURUNI MENARA perancah dan akhirnya meloncat turun ke tanah. Dia mengibaskan semen yang menempel di pakaiannya. Vittoria masih di sana dan menyambutnya.

   "Berhasil?" tanya Vittoria. Langdon menggelengkan kepalanya.

   "Mereka sudah meletakkan kardinal malang itu di dalam bagasi."

   Langdon melihat ke arah Olivetti dan teman-temannya. Sekarang mereka tampak sedang memegang peta yang terbentang di atas kap mobil. "Apakah mereka mencari gereja di sebelah barat daya?"

   Vittoria mengangguk. "Tidak ada gereja. Dari sini, gereja pertama adalah Basilika Santo Petrus."

   Langdon menggerutu. Setidaknya mereka sependapat. Kemudian dia berjalan mendekati Olivetti. Para serdadu memberinya jalan.

   Olivetti mendongak. "Tidak ada apa-apa. Tetapi peta ini tidak memperlihatkan semua gereja yang ada. Hanya gereja-gereja besar saja. Kira-kir a ada lima puluh gereja."

   "Kita di mana?" tanya Langdon. Olivetti menunjuk di atas peta itu, di titik Piazza del Popolo dan menarik garis lurus ke arah barat daya. Garis itu sama sekali tidak menyentuh tanda penting berupa sekumpulan persegi berwarna hitam yang menunjukkan beberapa gereja besar di Roma. Sayangnya, gereja-gereja besar itu juga merupakan gereja-gereja yang berusia lebih tua ... yang sudah ada sejak tahun 1600-an.

   "Aku harus memutuskan sesuatu," kata Olivetti. "Apakah kamu yakin dengan arah itu?"

   Langdon membayangkan patung malaikat yang sedang menunjukkan jarinya. Perasaan yakin itu datang lagi. "Ya, Pak. Aku yakin."

   Olivetti mengangkat bahunya dan menelusuri garis lurus itu lagi. Jalan itu memotong Jembatan Margherita, Via Cola di Riezo, dan melewati Piazza del Risorgimento, sama sekali tidak menyentuh satu gereja pun hingga tiba-tiba sampai di tengah-tengah Lapangan Santo Petrus.

   "Memangnya kenapa dengan Basilika Santo Petrus?" salah satu serdadu itu berkata. Lelaki itu memiliki bekas luka yang dalam di bawah mata kirinya. "Itu juga sebuah gereja."

   Langdon menggelengkan kepalanya. "Harus merupakan tempat umum. Sulit untuk mengatakan itu sebagai tempat umum pada saat ini."

   "Tetapi garis itu melewati Lapangan Santo Petrus," tambah Vittoria yang sedang memerhatikan melalui bahu Langdon. "Lapangan itu adalah tempat umum."

   Langdon telah mempertimbangkannya. "Tidak ada patung di sana."

   "Bukankah di sana ada monolit di tengah-tengahnya?"

   Vittoria benar. Ada monolit Mesir di Lapangan Santo Petrus. Langdon menatap monolit di piazza yang berada di hadapan mereka. The lofty pyramid, piramida mulia. Kebetulan yang aneh, pikirnya. Dia mengusir bayangan itu. "Monolit yang ada di Vatican bukan karya Bernini. Benda itu dibawa ke sana oleh Kaisar Caligula. Lagi pula itu tidak ada hubungannya dengan Udara." Itu satu masalah lagi. "Lagipula, puisi itu mengatakan elemen-elemen itu tersebar di seluruh Roma. Lapangan Santo Petrus ada di Vatican City. Bukan di Roma."

   "Tergantung siapa yang kamu tanya," seorang serdadu menyela. Langdon mendongak. "Apa?"

   "Hal itu selalu menjadi perdebatan. Sebagian besar peta memang memperlihatkan Lapangan Santo Petrus sebagai bagian dari Vatican City, tetapi karena lapangan tersebut berada di luar tembok kota suci itu, para pejabat kota Roma menganggapnya sebagai bagian dari kota ini selama berabad-abad."

   "Kamu bercanda," kata Langdon. Dia tidak pernah tahu tentang hal ini.

   "Aku hanya mengatakannya," penjaga itu melanjutkan, "karena Komandan Olivetti dan Nona Vetra bertanya-tanya tentang sebuah patung yang ada hubungannya dengan Udara."

   Mata Langdon terbelalak. "Dan kamu tahu patung itu ada di Lapangan Santo Petrus?"

   "Tidak begitu tepatnya. Yang kutahu itu bukan benar-benar sebuah patung. Mungkin juga tidak ada hubungannya."

   "Jelaskan," desak Olivetti. Penjaga itu mengangkat bahunya. "Satu-satunya penyebab aku tahu tentang hal itu adalah karena aku selalu bertugas di piazza itu. Aku tahu setiap sudut Lapangan Santo Petrus."

   "Patung itu," desak Langdon. "Seperti apa bentuknya?" Langdon mulai bertanya-tanya apakah Illuminati cukup berani untuk meletakkan petunjuk kedua mereka di luar Basilika Santo Petrus.

   "Aku berpatroli dan melewatinya setiap hari," kata penjaga itu. "Patung itu berada di tengah-tengah, tepat di tempat garis ini menujuk. Karena itulah aku ingat. Seperti yang tadi kukatakan, itu bukan benar-benar patung. Lebih seperti ... sebuah balok."

   Olivetti tampak marah sekali. "Sebuah balok?"

   "Ya, Pak. Balok dari pualam itu diletakkan di lapangan itu. Balok itu dapat kita temukan di dasar monolit. Tapi balok itu tidak berbentuk persegi, melainkan berbentuk elips. Dan di permukaan balok itu terukir sebuah gambar menyerupai gelombang tiupan angin." Dia berhenti. "Udara, kukira, kalau kamu ingin lebih ilmiah tentang hal itu."

   Langdon menatap serdadu muda itu dengan kagum. "Sebuah relief!" serunya tiba-tiba. Semua orang melihat ke arahnya.

   "Relief," kata Langdon, "adalah sisi lain dari patung!" Seni pahat adalah seni membentuk sosok dalam bentuk patung tiga dimens i atau dalam bentuk relief dua dimensi. Langdon sudah menulis definisi itu di atas papan tulis selama bertahun-tahun. Relief pada dasarnya adalah patung dua dimensi. Seperti profil Abraham Lincoln di uang logam. Medali karya Bernini di Kapel Chigi adalah contoh lain yang sempurna.

   "Bassorelievo?" tanya penjaga itu dengan menggunakan istilah seni dalam bahasa Italia.

   "Ya! Bas-relief." Langdon mengetuk-ngetuk atap mobil dengan buku jarinya. "Aku tidak memikirkan istilah itu! Lantai yang kamu ceritakan di Lapangan Santo Petrus tadi disebut West Ponente-Angin Barat. Juga dikenal sebagai Respiro di Dio."

   "Napas Tuhan?"

   "Ya. Udara. Dan itu diukir dan diletakkan di sana oleh arsiteknya yang asli."

   Vittoria tampak bingung. "Tetapi kukira Michelangelo yang merancang Lapangan Santo Petrus."

   "Ya, gerejanya!" Langdon berseru, ada nada kemenangan dalam suaranya. "Tetapi Lapangan Santo Petrus dirancang oleh Bernini!"

   Ketika iring-iringan Alfa Romeo itu bergerak meninggalkan Piazza del Popolo, semua orang terlalu terburu-buru sehingga tidak menyadari ada van BBC yang membuntuti mereka.

   GUNTHER GLICK MENEKAN pedal gas van BBC dalam-dalam dan meluncur menembus lalu lintas ketika mengikuti empat mobil Alfa Romeo yang melesat melintasi Sungai Tiber di Ponte Margherita. Biasanya Glick berusaha untuk menjaga jarak supaya tidak mencurigakan, tetapi hari ini dia hampir tidak dapat mengejar mereka. Orang-orang itu melesat seperti terbang.

   Macri duduk di tempat kerjanya di bagian belakang van sambil menyelesaikan sambungan telepon ke London. Setelah dia meletakkan teleponnya, dia berteriak pada Glick untuk mengalahkan suara riuh lalu lintas di sekeliling mereka. "Kamu mau dengar berita baik atau berita buruk?"

   Glick mengerutkan keningnya. Tidak ada yang mudah ketika berhubungan dengan kantor pusat. "Berita buruk."

   "Redaksi marah sekali ketika tahu kalau kita meninggalkan pos kita."' "Kejutan," sahut Glick yang sama sekali tidak terkejut. "Mereka juga berpikir kalau informan-mu itu penipu." "Tentu saja."

   "Dan bos mengatakan kepadaku kalau kamu payah dan tidak dapat diandalkan."

   Glick cemberut. "Bagus sekali. Dan berita baiknya?" "Mereka setuju untuk melihat rekaman yang baru saja kita ambil."

   Glick merasa cemberutnya berubah menjadi senyuman. Akan kita lihat siapa orang payah itu. "Jadi, ayo kita lakukan."

   "Aku tidak dapat mengirimkannya kalau kita tidak berhenti. Glick mengarahkan van itu ke Via Cola di Rienzo. "Kita tidak dapat berhenti sekarang." Dia membuntuti keempat Alfa Romeo yang sedang membelok tajam di sekitar Piazza Risorgimento. Macri memegangi komputernya ketika semua peralatan di sekelilingnya berjatuhan. "Kalau transmiter-ku patah," ancamnya, "kita harus mengirim gambar ini dengan berjalan kaki ke London."

   "Duduk sajalah, Sayang. Aku punya firasat sebentar lagi kita tiba di sana."

   Macri menatapnya. "Di mana?"

   Glick menatap ke kubah yang sudah sangat dikenalnya yang sekarang menjulang tinggi di depan mereka. Dia tersenyum. "Kita kembali ke tempat kita memulainya tadi."

   Keempat mobil Alfa Romeo itu menyelinap dengan tangkas di sela-sela lalu lintas di sekitar Lapangan Santo Petrus. Mereka berpencar dan menyebar di sekeliling piazza, dan mengeluarkan penumpangnya pada titik-titik tertentu tanpa bersuara. Para serdadu yang diturunkan itu segera bergerak masuk ke dalam kerumunan wisatawan dan mobil-mobil van pers di tepi lapangan, lalu segera menghilang. Beberapa penjaga melewati pilar-pilar yang menopang atap bangunan itu. Ketika Langdon melihat ke luar melalui kaca depan mobil, dia merasa ada ketegangan di sekitar Lapangan Santo Petrus.

   Untuk menambah jumlah orang, Olivetti telah meminta bantuan tambahan penjaga yang menyamar ke tengah lapangan tempat di mana West Ponente karya Bernini terletak. Saat Langdon mengamati Lapangan Santo Petrus, pertanyaan yang biasa muncul mulai menggoda Langdon. Bagaimana pembunuh itu bisa meloloskan diri dari ini semua? Bagaimana dia membawa kardinal itu melewati orang-orang ini dan membunuhnya di tempat terbuka? Langdon melihat jam tangan Mickey Mouse-nya. Pukul 8.5 4 malam. Enam menit lagi.

   Di bangku depan, Olivetti menoleh dan menatap Langdon dan Vittoria. "Aku ingin kalian berada di atas batu bata Bernini atau balok atau apa sajalah itu. Peran yang sama. Kalian wisatawan. Gunakan ponsel jika kalian melihat sesuatu."

   Sebelum Langdon dapat menjawab, Vittoria sudah memegang tangannya dan menariknya keluar mobil.

   Matahari musim semi mulai terbenam di balik Basilika Santo Petrus, dan bayangan besar gereja tersebut membentang dan menelan piazza di hadapannya. Langdon merinding ketika mereka berdua bergerak memasuki bayangan yang dingin dan gelap itu. Ketika menyelinap di antara kerumunan, Langdon mengamati setiap wajah yang mereka lewati sambil bertanya-tanya apakah pembunuh itu ada di antara mereka. Tangan Vittoria terasa hangat.

   Ketika mereka melintasi tempat terbuka yang luas di Lapangan Santo Petrus, Langdon merasa kalau piazza karya Bernini ini menimbulkan perasaan yang sesuai seperti pesan yang disampaikan seniman itu kepada semua orang-"membuat perasaan siapa saja yang memasuki lapangan ini menjadi rendah hati." Langdon memang merasa rendah hati saat itu. Rendah hati dan lapar. Dia baru menyadarinya dan juga heran karena pikiran yang sepele seperti itu dapat muncul dalam situasi seperti saat ini.

   "Ke obelisk itu?" tanya Vittoria. Langdon mengangguk sambil membelok ke kiri untuk menyeberangi piazza itu.

   "Jam?" tanya Vittoria sambil berjalan cepat tetapi tetap santai.

   "Lima menit lagi."

   Vittoria tidak mengatakan apa-apa, tetapi Langdon merasakan genggaman tangan perempuan itu mengeras. Langdon masih membawa pistol. Dia berharap Vittoria memutuskan untuk tidak membutuhkannya. Dia tidak dapat membayangkan Vittoria mengacungkan senjata di Lapangan Santo Petrus dan menembak seorang pembunuh ketika pers dari seluruh dunia meliput di lapangan ini. Tapi, kejadian seperti itu tidak akan sebanding dengan pembunuhan seorang kardinal dengan cap di dada yang akan terjadi di sini.

   Udara, pikir Langdon. Elemen kedua dari ilmu pengetahuan. Dia mencoba membayangkan cap itu. Lalu metode pembunuhannya. Sekali lagi, Langdon menyusuri lantai granit yang terbentang luas di sekitarnya-Lapangan Santo Petrus-sebuah tempat terbuka yang sudah dikepung oleh Garda Swiss. Kalau si Hassassin benar-benar berani melakukan ini, Langdon tidak dapat membayangkan bagaimana pembunuh itu dapat lolos.

   Di tengah-tengah piazza, terdapat obelisk Mesir yang merupakan persembahan Kaisar Caligula seberat 350 ton. Tingginya 81 kaki dengan ujung berbentuk piramida yang dipasangi sebuah salib besi yang berongga. Cukup tinggi untuk menangkap sinar matahari yang kian redup, salib itu bersinar seperti keajaiban ... konon berisi salib yang digunakan untuk menyalib Yesus.

   Dua air mancur mengapit obelisk dengan kesimetrisan yang sempurna. Para ahli sejarah seni tahu kedua air mancur itu menandai dua titik pusat piazza berbentuk elips karya Bernini ini, tetapi itu adalah keanehan arsitektur yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan Langdon. Dia merasa tiba-tiba Roma dipenuhi dengan elips, piramida dan bentuk-bentuk geometri yang mengejutkan.

   Ketika mereka mendekati obelisk tersebut, Vittoria memperlambat langkahnya. Dia bernapas dengan terengah-engah seperti membujuk Langdon agar berjalan dengan perlahan. Langdon berusaha untuk berjalan lebih lambat, menurunkan bahunya dan melemaskan rahangnya yang terkatup rapat.

   Di suatu tempat di sekitar obelisk, diletakkan dengan berani di luar gereja terbesar di dunia, berdiri altar ilmu pengetahuan yang kedua-West Ponente karya Bernini-sebuah balok berbentuk elips di Lapangan Santo Petrus.

   Gunther Glick mengamati dari balik pilar-pilar yang berada di sekitar Lapangan Santo Petrus. Pada kesempatan lain, seorang lelaki mengenakan jas wol dan seorang perempuan bercelana pendek dan bahan khaki tidak akan menarik perhatiannya sama sekali. Mereka tampak seperti wisatawan biasa yang menikmati suasana di lapangan itu. Tetapi hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini adalah hari yang berisi petunjuk lewat telepon, mayat, mobil-mobil tanpa pelat nomor yang berlomba melintasi Roma, dan seo rang lelaki mengenakan jas wol memanjat menara perancah untuk mencari sesuatu yang hanya Tuhan yang tahu. Glick terus mengamati mereka.

   Dia memandang lapangan itu dan melihat Macri. Perempuan berkulit hitam itu berada tepat di tempat yang disuruhkan kepadanya, agak jauh dari pasangan itu dan membayangi mereka. Macri membawa kamera videonya dengan santai. Tapi walaupun dia pura-pura terlihat seperti seorang wartawan yang sedang bosan, juru kamera itu terlihat begitu mencolok. Tidak ada wartawan yang berada di sisi lapangan itu, dan singkatan "BBC" yang terpasang di kameranya menarik perhatian turis-turis yang lewat.

   Rekaman gambar yang telah diambil Macri sebelumnya yang berisi mayat tanpa busana yang disimpan di dalam bagasi mobil, saat ini sedang dikirimkan melalui pemancar VCR di vannya. Glick tahu gambar itu sekarang sedang melayang di atas kepalanya menuju London. Dia bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh redaksi di kantor pusat.

   Glick berharap mereka berdua dapat tiba di tempat mayat itu sebelum tentara berpakaian preman itu ikut campur. Dia tahu tentara yang sama sekarang telah menyebar dan mengepung piazza itu. Ada sesuatu yang besar akan terjadi.

   Media pers adalah senjata terampuh bagi anarki, kata si pembunuh. Glick bertanya-tanya apakah dia sudah kehilangan kesempatan untuk meliput berita besar ini. Dia melihat ke arah van-van dari media lainnya di kejauhan dan melihat Macri mengikuti pasangan misterius itu melintasi piazza. Dia punya firasat kalau dirinya masih punya kesempatan ....

   LANGDON SUDAH BISA menemukan apa yang dicarinya dari jarak sepuluh yard, bahkan sebelum mereka sampai di sana. Di antara para wisatawan yang berlalu-lalang, balok pualam berbentuk elips karya Bernini yang disebut West Ponente itu tampak menonjol di atas lantai piazza yang terbuat dari batu granit. Sepertinya Vittoria juga sudah melihatnya. Genggaman tangannya terasa tegang.

   "Tenang," bisik Langdon. "Lakukan saja piranha-mu itu."

   Vittoria merenggangkan genggamannya.

   Ketika mereka berjalan semakin dekat dengan balok pualam itu, semuanya masih tampak sangat normal. Para wisatawan berjalan hilir-mudik, beberapa biarawati mengobrol di tepi piazza, dan seorang gadis memberi makan burung-burung dara di dasar obelisk itu.

   Langdon mengurungkan niatnya untuk melihat jam tangannya. Dia tahu, waktunya hampir tiba.

   Mereka tiba di dekat balok elips itu, dan memperlambat langkah mereka, lalu berhenti. Mereka terlihat santai dan tampak seperti dua orang wisatawan yang memang harus berhenti sejenak di tempat yang agak menarik.

   "West Ponente," kata Vittoria sambil membaca tulisan di atas batu itu. Langdon melihat ke atas relief yang terukir di batu pualam itu dan tiba-tiba merasa agak naif. Dalam buku-buku seni yang pernah dibacanya, dalam kunjungannya yang sudah dilakukannya beberapa kali ke Roma, tidak sekalipun West Ponente dianggap penting olehnya. Tidak sampai sekarang. Relief itu berbentuk elips, kira-kira panjangnya tiga kaki, dan terlihatlah ukiran kasar yang menggambarkan West Wind, Angin Barat, seperti seraut wajah malaikat. Berhembus dari mulut sang malaikat, Bernini menggambarkan desahan napas yang berhembus keras ke luar Vatican ... napas Tuhan. Ini adalah penghormatan Bernini terhadap elemen kedua ... Udara hembusan angin yang keluar dari mulut malaikat. Ketika Langdon memerhatikan relief itu, dia baru menyadari kalau makna dari relief itu sangat dalam. Bernini mengukir udara itu dalam lima hembusan yang terlihat jelas ... lima! Terlebih lagi, ada dua bintang berkilauan yang mengapit batu pualam itu. Langdon ingat pada Galileo. Dua bintang, lima hembusan udara, elips, kesimetrisan Langdon merasa kosong. Kepalanya terasa sakit. Tiba-tiba, Vittoria mulai berjalan lagi, dan menggandeng Langdon menjauh dari relief itu. "Sepertinya ada orang yang mengikuti kita," bisiknya. Langdon menatapnya. "Di mana?"

   Vittoria bergerak menjauh kira-kira tiga puluh yard sebelum berbicara. Dia berpura-pura menunjuk ke arah Vatican seolah memperlihatkan sesuatu di atas kubah gereja kepada Langdon. "Orang yang sama. Dia sud ah mengekor di belakang kita sejak menyeberangi lapangan tadi." Lalu dengan santai Vittoria melihat sekilas melewati bahunya. "Dia masih di belakang kita."

   "Kamu pikir dia itu si Hassassin?"

   Vittoria menggelengkan kepalanya. "Bukan, kecuali Illuminati menyewa seorang perempuan yang membawa kamera BBC."

   Ketika lonceng Basilika Santo Petrus berdentang keras, Langdon dan Vittoria terlonjak. Ini waktunya. Mereka tadi berjalan menjauhi West Ponente untuk menghindari wartawan yang membuntuti mereka, tetapi sekarang mereka bergerak mendekati relief itu lagi.

   Walau dentangan lonceng terdengar sangat keras, lapangan itu tampak sangat tenang. Wisatawan masih berlalu-lalang. Seorang gelandangan mabuk, tertidur dengan posisi aneh di dasar obelisk. Seorang gadis kecil memberi makan burung-burung dara. Langdon bertanya-tanya apakah wartawan itu sudah membuat si pembunuh takut. Tidak mungkin, katanya dalam hati ketika ingat dengan janji si pembunuh. Aku akan membuat kardinal-kardinal kalian menjadi pencerah media.

   Ketika gema yang berasal dari dentangan kesembilan mulai memudar, lapangan itu terasa sangat sunyi dan damai.

   Hingga kemudian ... gadis kecil itu mulai berteriak.

   LANGDONLAH YANG PERTAMA tiba di dekat gadis kecil itu.

   Anak kecil yang ketakutan itu berdiri seperti membeku sambil menunjuk ke dasar obelisk di mana gelandangan mabuk yang terlihat kumal itu terpuruk di tangga obelisk. Lelaki itu tampak kacau sekali ... kemungkinan dia adalah gelandangan Roma. Rambut kelabunya terurai di sekitar wajahnya, dan tubuhnya terbungkus pakaian kotor. Gadis kecil itu terus berteriak sambil berlari menjauh dan menerobos kerumunan orang.

   Perasaan takut yang dirasakan Langdon meningkat ketika mendekati lelaki itu. Terlihat ada noda gelap yang menyebar ke seluruh pakaian rombengnya. Ternyata itu adalah darah segar yang mengalir.

   Kemudian, semuanya seperti terjadi bersamaan.

   Lelaki tua itu tampak semakin lemas, dan terbungkuk ke depan. Langdon bergerak maju dengan cepat, tetapi terlambat. Lelaki tua itu terguling ke depan, dan menggelinding di tangga, lalu jatuh tersungkur di lantai dengan wajah mencium bumi. Setelah itu dia tidak bergerak lagi.

   Langdon berlutut. Vittoria tiba di sampingnya. Kerumunan mulai terbentuk.

   Vittoria meletakkan jemarinya di tenggorokan orang itu dari belakang kepalanya. "Masih ada denyutan," katanya. "Balikkan tubuhnya."

   Langdon langsung bergerak. Dengan memegang bahu lelaki itu, dia membalikkan tubuhnya. Ketika itu, pakaian kumal longgar yang dikenakannya tampak meluncur dari tubuhnya. Lalu lelaki itu tergeletak terlentang. Di dadanya yang telanjang terlihat luka bakar yang cukup besar.

   Vittoria terkesiap dan mundur.

   Langdon merasa lumpuh, terpaku di antara perasaan mual dan ngeri. Simbol itu tertulis sederhana namun menakutkan.

   "Udara," Vittoria seperti tersedak. "Itu ... dia."

   Beberapa orang Garda Swiss muncul entah dari mana, sambil meneriakkan perintah, kemudian berlari mengejar si pembunuh yang tidak terlihat.

   Di dekat tempat kejadian, seorang wisatawan berkata, sekitar beberapa menit yang lalu, seorang lelaki berkulit gelap berbaik hati dengan menolong gelandangan malang yang sedang mendesah-desah itu untuk menyeberangi lapangan ... lelaki itu bahkan sempat duduk sebentar di tangga dan menemani gelandangan cacat itu sebelum akhirnya menghilang di dalam kerumunan.

   Vittoria merobek sisa pakaian kumal itu di bagian perutnya. Di sana terdapat dua luka tusukan yang dalam, masing-masing berada di sisi cap itu, tepat di bawah tulang iganya. Vittoria mengangkat kepala lelaki itu dan segera memberikan pernapasan buatan dari mulut ke mulut. Langdon tidak siap untuk melihat apa yang terjadi setelah itu. Ketika Vittoria meniupkan napasnya, kedua luka di pinggang orang itu berdesis dan menyemburkan darah ke udara seperti seekor paus menyemburkan udara. Cairan asin itu menyembur ke wajah Langdon.

   Vittoria langsung menghentikan usahanya, dan tampak sangat ketakutan. "Paru-parunya ...," katanya. "Kedua paru-parunya ... ditusuk."

   Langdon mengusap matanya dan memandang dua luka yang menganga di tubuh orang itu. Lubang itu mengeluarkan suara menggelegak. Paru-paru kardinal itu hancur. Dia kemudian meninggal.

   Vittoria menutup mayat itu ketika beberapa orang Garda Swiss mendekat.

   Langdon berdiri dengan perasaan bingung. Lalu dia melihat perempuan itu. Perempuan yang sudah mengikuti mereka sejak tadi sekarang berjongkok di dekat kejadian tersebut. Kamera video BBC-nya terpanggul di bahunya, mengarah ke mayat itu dan merekamnya. Pandangannya bertemu dengan mata Langdon, dan Langdon tahu kalau perempuan itu merekam semua kejadian tadi. Lalu, seperti seekor kucing, dia menyelinap pergi.

   CHINITA MACRI MELARIKAN DIRI. Dia sudah mendapatkan cerita yang sangat penting dan bernilai dalam hidupnya.

   Kamera videonya terasa seperti sebuah jangkar yang memberati langkahnya ketika dia berlari menyeberangi Lapangan Santo Petrus sambil menguak kerumunan orang. Sepertinya semua orang bergerak berlawanan arah dengannya ... Mereka menuju ke arah kegemparan terjadi. Macri mencoba untuk berada sejauh mungkin dari tempat itu. Lelaki yang mengenakan jas wol itu telah melihatnya. Sekarang dia merasa beberapa orang lelaki lainnya mengejarnya, lelaki yang tidak dapat dilihatnya, yang mendekatinya dari segala penjuru.

   Macri masih terguncang oleh pemandangan yang baru saja direkamnya tadi. Dia bertanya-tanya apakah lelaki yang mati tadi adalah seseorang yang dikhawatirkannya. Penelepon misterius yang berbicara dengan Glick tiba-tiba saja terkesan tidak terlalu gila lagi baginya.

   Ketika Macri bergegas menuju van BBC-nya, seorang lelaki muda dengan wajah tegas seperti anggota militer, muncul dari balik kerumunan di depannya. Mata mereka saling tatap, dan keduanya berhenti. Seperti kilat, lelaki muda itu mengangkat walkie-talkie-nya kemudian berbicara. Lalu dia bergerak mendekati Macri. Macri berbalik dan kembali menembus kerumunan, jantungnya berdebar cepat.

   Sambil menyeruak kerumunan orang yang berdesak-desakan, Macri berusaha mengeluarkan kaset video yang sudah digunakannya tadi dari kameranya. Pita emas, pikirnya sambil menyelipkan kaset itu di balik ikat pinggangnya, kemudian mendorongnya lagi hingga sampai ke bagian belakang tubuhnya dan membiarkan bagian belakang jaketnya menutupi harta karunnya itu. Saat itu dia merasa beruntung karena bertubuh agak gemuk. Glick, di mana kamu! Seorang serdadu lainnya muncul dari sebelah kirinya, dan bergerak mendekat. Macri tahu dia hanya punya waktu sedikit. Dia bergerak menembus kerumunan itu lagi. Dia sempat mengeluarkan kaset kosong dari kantungnya dan memasukkannya ke dalam kamera. Kemudian dia berdoa.

   Dia berada tiga puluh yard dari van BBC ketika dua orang lelaki mendekatinya dari depan. Lengan mereka terlipat. Macri kali ini tidak dapat menghindar lagi.

   "Film," salah satunya membentak. "Sekarang."

   Macri mundur sambil memeluk kameranya erat-erat.

   "Tidak."

   Salah satu dari mereka membuka jasnya dan memperlihatkan pistolnya.

   "Tembak saja aku," kata Macri sambil merasa kagum akan keberanian dalam suaranya sendiri.

   "Film," kata serdadu pertama tadi mengulangi. Glick, di mana kamu? Macri menghentakkan kakinya dan berteriak sekuat tenaga. "Aku seorang videografer profesional yang bekerja untuk BBC! Menurut pasal 12 Undang-undang Kebebasan Pers, film ini adalah milik British Broadcasting Corporation!"

   Orang-orang itu tidak takut. Orang yang bersenjata itu melangkah ke depannya. "Aku seorang letnan Garda Swiss dan menurut Doktrin Suci kami menguasai tanah yang kamu injak sekarang. Kamu adalah orang yang harus kami selidiki dan kami tangkap."

   Kerumunan orang mulai terbentuk di sekitar mereka.

   Macri berteriak. "Aku tidak akan memberikan film ini dengan alasan apa pun tanpa berbicara dengan editorku di London. Aku sarankan agar kalian-"

   Serdadu itu memotong kalimat Macri dan menjambret kamera itu dari tangan Macri. Sementara itu, yang lainnya menarik lengan Macri dengan kasar dan memutarnya menghadap ke Vatican. "Grazie," serdadu itu berkata sambil membawanya ke arah kerumunan yang berdesakan di sekitar mereka.

   Macri berdoa agar mereka tidak menggeledahnya dan menemukan kaset itu. Kalau saja dia dapat melindungi kaset itu cukup lama sampai-Tiba-tiba, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Seseorang dari kerumunan itu merogoh ke bawah jaketnya. Macri merasa kaset itu ditarik dari bawah jaketnya. Dia berputar dan nyaris menjerit. Di belakangnya, Gunther Glick dengan napas terengah-engah, mengedipkan matanya pada Macri dan menghilang di antara kerumunan itu.

   ROBERT LANGDON DENGAN langkah terhuyung-huyung memasuki kamar mandi pribadi yang terletak di sebelah Kantor Paus. Dia membasuh darah dari wajah dan bibirnya. Darah itu bukan darahnya, tetapi darah Kardinal Lamasse yang baru saja meninggal dengan cara mengerikan di lapangan yang penuh sesak di luar Vatican. Pengorbanan para perjaka di altar ilmu pengetahuan. Sejauh ini si Hassassin benar-benar melaksanakan ancamannya.

   Langdon merasa tidak berdaya ketika menatap cermin di hadapannya. Matanya terlihat letih. Pipi dan dagunya terlihat gelap karena belum bercukur pagi ini. Ruangan di sekitarnya sangat bersih dan mewah, terdiri atas pualam hitam, perlengkapan mandi berwarna keemasan, handuk katun, dan sabun wangi untuk cuci tangan.

   Langdon mencoba untuk menghilangkan bayangan cap berdarah yang baru saja dilihatnya dari benaknya. Tetapi bayangan itu tidak mau pergi. Dia sudah melihat tiga ambigram sejak dia bangun tidur pagi ini ... dan dia tahu masih ada dua lagi yang akan muncul.

   Di luar pintu, terdengar Olivetti, sang camerlegno dan Kapten Rocher sedang berdebat tentang apa yang harus dilakukan kemudian. Tampaknya pencarian antimateri yang mereka lakukan sejauh ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Entah para penjaga yang tidak mampu menemukan tabung itu atau si penyusup yang terlalu lihai menyembunyikannya di dalam Vatican, tapi kedua-duanya bukan sejenis hiburan yang diinginkan oleh Komandan Olivetti.

   Langdon mengeringkan tangan dan wajahnya. Lalu dia berpaling untuk mencari tempat buang air kecil untuk laki-laki. Ternyata yang ada hanya WC duduk biasa. Dia kemudian mengangkat tutupnya.

   Ketika berdiri di sana, Langdon merasa begitu tegang dan rasa letih mulai meliputinya. Berbagai emosi yang berkecamuk di dadanya begitu campur aduk dan sulit untuk dijabarkan. Dia kelelahan, berlari-lari tanpa makan dan tidur, berkeliaran untuk mencari Jalan Pencerahan dan merasa trauma akibat dua pembunuhan yang dilihatnya tadi. Langdon merasa semakin ketakutan ketika memikirkan akhir dari drama ini.

   Berpikirlah, katanya pada diri sendiri. Tapi benaknya terasa kosong.

   Ketika dia menyiram WC, tiba-tiba dia menyadari sesuatu. Ini kamar mandi paus, pikirnya. Aku baru saja buang air kecil di kamar mandi paus. Dia ingin tertawa. Singgasana Suci.

   DI LONDON, seorang teknisi BBC mengeluarkan sebuah kaset video dari unit penerima satelit, kemudian dia berlari menyeberangi ruang kendali. Perempuan itu menghambur masuk ke kantor pemimpin redaksi, memasukkan kaset video itu ke dalam pemutarnya dan menekan tombol play.

   Ketika rekaman video itu ditayangkan, dia menceritakan percakapannya tadi dengan Gunther Glick yang masih berada di Vatican City. Selain itu, bagian arsip foto BBC juga baru saja memastikan identitas korban di Lapangan Santo Petrus.

   Ketika sang pemimpin redaksi akhirnya muncul dari ruangannya, dia membunyikan sebuah lonceng besar dan semua orang di bagian redaksi berhenti bekerja.

   "Siaran langsung dalam lima menit!" lelaki itu berseru mengejutkan. "Km di studio, cepat bersiap-siap. Kordinator media, aku ingin kalian menghubungi teman-teman di media. Kita punya sebuah berita yang bisa kita jual! Dan kita punya filmnya!"

   Para kordinator penjualan segera meraih Rolodex mereka. "Spesifikasi film?" seru salah seorang dari mereka. "Liputan berdurasi tiga puluh detik dengan kualitas prima," sahut sang pemimpin redaksi.

   "Isi?"

   "Pembunuhan, direkam langsung."

   Para kordinator itu tampak gembira. "Penggunaan dan harga lisensi?"

   "Satu juta dolar Amerika Serikat per detik." Semua kepala mendongak. "Apa?"

   "Kalian dengar aku tadi! Aku ingin kita berada di posisi puncak. CNN, MSNBC, lalu tiga stasiun besar lainnya! Tawarkan tay angan awal dial-in. Beri mereka waktu lima menit untuk menumpang sebelum BBC menyiarkannya."

   "Apa yang sedang terjadi?" seseorang bertanya. "Perdana Menteri kita dikuliti hidup-hidup?"

   Sang pemimpin redaksi menggelengkan kepalanya. "Lebih baik dari itu."

   Pada saat yang bersamaan, di suatu tempat di Roma, si Hassassin menikmati saat istirahat pendeknya di atas sebuah kursi yang nyaman. Dia mengagumi ruang legendaris di sekitarnya. Aku sedang duduk di Gereja Pencerahan, pikirnya. Markas Illuminati. Dia masih tidak percaya kalau gereja itu masih berdiri di sini setelah berabad-abad tidak digunakan.

   Dia kemudian menelepon wartawan BBC yang tadi diteleponnya. Sudah waktunya. Dunia sudah harus mendengar berita yang mengguncangkan itu.

   VITTORIA VETRA MENEGUK air dari gelas dan mengunyah beberapa kue scone yang baru saja disajikan oleh salah satu dari Garda Swiss sambil melamun. Dia tahu dia harus makan, tetapi dia tidak berselera. Kantor Paus sekarang begitu ramai karena percakapan tegang antara Kapten Rocher, Komandan Olivetti dan setengah lusin penjaga yang sedang memperhitungkan kerusakan dan memperdebatkan tindakan berikutnya.

   Robert Langdon berdiri di dekat mereka sambil menatap ke Lapangan Santo Petrus. Dia tampak murung. Vittoria mendekatinya. "Ada ide?"

   Langdon menggelengkan kepalanya.

   "Mau scone?"

   Perasaan Langdon tampak menjadi lebih baik ketika melihat makanan. "Wah, tentu saja. Terima kasih." Lalu dia makan dengan lahap.

   Percakapan di belakang mereka tiba-tiba terhenti ketika dua orang Garda Swiss yang mengawal Camerlegno Ventresca berjalan masuk. Kalau sebelumnya sang camerlegno sudah tampak sangat letih, kini dia terlihat kosong, pikir Vittoria.

   "Apa yang terjadi?" tanya sang camerlegno kepada Olivetti. Dari kesan di wajahnya, sepertinya dia sudah diberi tahu berita terburuk yang menimpa lembaga yang dipimpinnya. Laporan terkini Olivetti terdengar seperti laporan korban di medan pertempuran. Dia memberikan faktanya dengan apa adanya. "Kardinal Ebner ditemukan meninggal di gereja Santa Maria del Popolo beberapa menit setelah pukul delapan. Beliau dicekik dan dicap tubuhnya dengan tulisan ambigram 'Tanah'. Kardinal Lamasse dibunuh di Lapangan Santo Petrus sepuluh menit yang lalu. Beliau meninggal karena ditusuk hingga berlubang di dadanya. Beliau dicap dengan tulisan 'Udara', juga dalam bentuk ambigram. Pembunuhnya lolos."

   Sang camerlegno melintasi ruangan dan menjatuhkan diri di atas kursi Paus. Dia menundukkan kepalanya.

   "Kardinal Guidera dan Baggia, masih hidup."

   Kepala sang camerlegno mendongak cepat, sorot matanya tampak terluka. "Itukah penghiburan kita? Dua orang cardinal telah dibunuh, Komandan. Dan dua kardinal lainnya jelas tidak akan hidup lebih lama lagi kecuali kita dapat menemukan mereka." "Kita akan menemukan mereka," kata Olivetti meyakinkan baya jamin.

   "Jamin? Kita tidak mempunyai apa pun kecuali kegagalan."

   "Tidak benar. Kita memang telah kalah dalam dua pertempuran, signore, tetapi kita akan memenangkan peperangan ini. Illuminati bermaksud menjadikan malam ini sebagai pertunjukan menarik bagi media. Sejauh ini kita telah menggagalkan rencana mereka. Kedua jasad kardinal itu telah ditemukan tanpa keributan dengan media. Lagipula," Olivetti melanjutkan, "Kapten Rocher melaporkan kalau dia mendapatkan kemajuan dalam operasi pencarian antimateri."

   Kapten Rocher melangkah ke depan dengan mengenakan baret merahnya. Vittoria berpikir, lelaki ini mmpak lebih manusiawi dibandingkan dengan anggota Garda Swiss lainnya-tegas tetapi tidak terlalu kaku. Suara Rocher terdengar memiliki emosi dan bening seperti biola. "Mudah-mudahan kami akan menemukan tabung itu dalam satu jam untuk Anda, signore."

   "Kapten," kata sang camerlegno, "maafkan saya kalau saya kurang berharap, tetapi saya mendapat kesan kalau pencarian di dalam Vatican City akan membutuhkan waktu lebih lama daripada yang kita punya."

   "Kalau mencari di seluruh Vatican City, memang begitu. Tapi, setelah memperkirakan keadaannya, saya percaya kalau tabung antimateri itu diletakkan pada salah satu zona putih kami-tempat-te mpat yang hanya bisa dimasuki publik seperti museum dan Basilika Santo Petrus. Kami telah memadamkan listrik di zona-zona tersebut dan melakukan pencarian."

   "Jadi Anda hanya mencari di sebagian kecil tempat dan seluruh wilayah Vatican City?"

   "Ya, signore. Sangat tidak mungkin kalau si penyusup itu mempunyai akses hingga ke zona dalam di Vatican City. Fakta bahwa kamera yang hilang itu dicuri dari kawasan yang bisa dikunjungi publik-dari tangga di salah satu museum-jelas menyatakan bahwa si penyusup memiliki akses terbatas. Jadi menurut asumsi saya, dia hanya mampu memindahkan kamera dan antimateri itu ke kawasan publik lainnya. Kawasan inilah yang menjadi sasaran dalam pencarian kami."

   "Tetapi penyusup itu berhasil menculik empat kardinal. Itu jelas menyatakan bahwa mereka mampu menyusup lebih dalam dari yang kita duga."

   "Tidak perlu begitu. Kita harus ingat kalau hari ini para kardinal banyak meluangkan waktunya di Museum Vatican dan Basilika Santo Petrus dan menikmati suasana tenang di sana. Kemungkinan keempat kardinal tersebut diculik dari salah satu tempat itu."

   "Tetapi bagaimana mereka dibawa keluar dari tembok kita?"

   "Kami masih memperkirakannya."

   "Oh, begitu." Sang camerlegno menarik napas, lalu berdiri. Dia berjalan mendekati Olivetti. "Komandan, saya ingin mendengar rencana Anda tentang kemungkinan untuk evakuasi para kardinal."

   "Kami masih merencanakannya, signore. Sementara itu, saya percaya Kapten Rocher dapat menemukan tabung itu."

   Rocher menegakkan tubuhnya seolah menghargai kepercayaan yang diterimanya. "Anak buah saya sudah memeriksa dua pertiga bagian dari zona putih. Saya sangat yakin kami akan segera menemukannya."

   Sang camerlegno tampaknya tidak ikut merasa begitu yakin.

   Pada saat itu penjaga yang mempunyai bekas luka di bawah matanya masuk sambil membawa sebuah papan dengan penjepit dan sebuah peta. Dia berjalan ke arah Langdon. "Pak Langdon? Saya mempunyai informasi yang Anda minta tentang West Ponente."

   Langdon menelan kue scone-nya... "Bagus. Mari kita lihat."

   Yang lainnya melanjutkan pembicaraan mereka. Sementara itu Vittoria bergabung dengan Robert dan penjaga itu dan mereka mulai membentangkan peta di atas meja paus.

   Serdadu itu menunjuk Lapangan Santo Petrus. "Kita berada di sini. Garis arah angin West Ponente menuju ke timur, menjauh dari Vatican City." Si penjaga menelusuri garis dengan menggunakan jarinya dari Lapangan Santo Petrus menyeberangi Sungai Tiber dan berhenti di jantung kota Roma kuno. "Seperti yang Anda lihat, garis ini melewati hampir seluruh bagian dari Roma. Di sana ada sekitar dua puluh Gereja Katolik yang berada di dekat garis ini.

   Langdon merasa tidak bersemangat. "Dua puluh?"

   "Mungkin lebih."

   "Adakah gereja yang betul-betul langsung terlintasi oleh garis itu?"

   "Beberapa gereja tampak lebih dekat dibandingkan dengan yang lainnya," sahut penjaga itu, "tetapi pemindahan garis West Ponente ke lembaran peta bisa mengalami kesalahan."

   Langdon menatap keluar ke Lapangan Santo Petrus sejenak. Kemudian dia menggerutu sambil mengusap dagunya. "Bagaimana dengan Api? Apakah ada gereja yang memiliki karya seni Bernini yang berhubungan dengan Api?"

   Sunyi.

   "Bagaimana dengan obelisk?" Langdon bertanya lagi. "Apakah ada gereja yang berdiri di dekat obelisk?"

   Penjaga itu mulai memeriksa petanya lagi. Vittoria melihat kilauan harapan di mata Langdon dan tahu apa yang dipikirkannya. Dia benar! Dua petunjuk pertama terletak di dekat piazza yang memiliki obelisk! Mungkin obelisk merupakan sebuah tema? Piramida tinggi adalah petunjuk yang menandai Jalan Pencerahan? Semakin banyak Vittoria berpikir, semuanya mulai masuk akal ... empat menara berdiri di Roma untuk menandai altar ilmu pengetahuan.

   "Ini sulit," kata Langdon, "tapi aku tahu banyak obelisk di Roma dibangun atau dipindahkan ketika Bernini hidup. Tidak diragukan lagi kalau Bernini juga punya pengaruh dalam penempatan obelisk-obelisk itu."

   "Atau," tambah Vittoria. "Bernini mungkin saja telah meletakkan petunjuk-petunjuk itu di dekat obelisk-obelisk yang ada."

   Langdon mengangguk. "Benar."

   "Berita buruk," ka ta penjaga itu. "Tidak ada obelisk yang berada di garis ini." Jarinya menyusuri garis di peta. "Bahkan yang berada di dekat garis pun tidak ada. Tidak ada sama sekali."

   Langdon mendesah.

   Bahu Vittoria lunglai. Dia mengira itu adalah gagasan yang hebat. Tampaknya, ini tidak akan semudah yang mereka harapkan. Tetapi dia berusaha untuk tetap yakin. "Robert, berpikirlah. Kamu pasti tahu patung Bernini yang berhubungan dengan api. Apa saja."

   "Percayalah, aku juga sedang berpikir saat ini. Bernini adalah seniman yang produktif. Dia menciptakan ratusan karya. Aku berharap West Ponente akan menunjukkan satu gereja. Sesuatu yang dapat mengingatkan kita pada sesuatu."

   "Fuoco," Vittoria berseru. "Api. Tidak ada karya Bernini yang berhubungan dengan api yang bisa kamu ingat?"

   Langdon mengangkat bahunya. "Ada sketsa terkenal berjudul Kembang api, tetapi itu bukan patung, dan ada di Leipzig, Jerman."

   Vittoria mengerutkan keningnya. "Dan kamu yakin napas itu adalah petunjuk arah?"

   "Kamu melihat relief itu, Vittoria. Rancangan itu betul-betul simetris. Satu-satunya indikasi petunjuk adalah pada napas itu."

   Vittoria tahu Langdon benar.

   "Terlebih lagi," Langdon menambahkan, "karena West Ponente menandakan Udara, mengikuti arah napas secara simbolis tampak masuk akal."

   Vittoria mengangguk. Jadi kita sekarang mengikuti arah napas itu. Tetapi ke mana? Olivetti mendekat. "Apa yang kalian dapatkan?"

   "Terlalu banyak gereja," kata serdadu itu. "Kira-kira dua lusin atau lebih. Saya kira kita bisa menempatkan empat orang dalam satu gereja-"

   "Lupakan," kata Olivetti. "Kita sudah gagal menangkap orang itu dua kali ketika kita tahu dengan pasti ke mana dia akan menuju. Pengawasan besar-besaran berarti meninggalkan Vatican City tanpa penjagaan dan menunda pencarian tabung."

   "Kita membutuhkan sebuah buku referensi," kata Vittoria. "Sebuah indeks tentang karya-karya Bernini. Kalau kita dapat melihat judul karya-karyanya, mungkin ada yang dapat kita ketahui."

   "Aku tidak tahu," kata Langdon. "Kalau memang Bernini menciptakannya khusus untuk Illuminati, pasti bentuknya akan sangat tersamar, dan tidak akan terdaftar dalam sebuah buku."

   Vittoria tidak mau memercayai itu. "Dua patung yang sudah kita temukan sebelumnya, keduanya terkenal. Kamu pernah mendengar tentang keduanya."

   Langdon menggerakkan bahunya. "Ya."

   "Kalau kita dapat membaca referensi judul yang mengacu pada kata 'api', mungkin kita akan menemukan patung yang tepat dan menjadi petunjuk ke arah yang benar."

   Kini Langdon tampak percaya dan ingin memeriksanya. Dia lalu berpaling pada Olivetti. "Aku memerlukan sebuah daftar berisi karya-karya Bernini. Kalian pasti memiliki sebuah buku edisi khusus tentang Bernini, bukan?"

   "Buku edisi khusus?" Olivetti tampak tidak akrab dengan istilah itu.

   "Sudahlah, lupakan. Daftar apa saja. Bagaimana dengan Museum Vatican? Mereka pasti memiliki referensi tentang Bernini. Penjaga yang memiliki bekas luka itu mengerutkan keningnya. "Listrik di museum dipadamkan, dan ruangan penyimpan catatan itu besar sekali. Tanpa petugas yang membantu di sana-"

   "Karya Bernini yang kita cari itu," Olivetti menyela. "Mungkinkah diciptakan ketika masih bekerja di sini, di Vatican?"

   "Hampir pasti," sahut Langdon. "Dia berada di sini hampir sepanjang karirnya. Dan yang pasti selama masa pertentangan antara gereja dengan Galileo."

   Olivetti mengangguk. "Kalau begitu ada referensi yang lainnya."

   Vittoria merasa optimismenya menyala. "Di mana?"

   Komandan itu tidak menjawab. Dia mengajak penjaganya menepi dan berbicara dengan suara perlahan sekali. Penjaga itu tampak tidak yakin tetapi mengangguk patuh. Ketika Olivetti selesai berbisik, penjaga itu berpaling pada Langdon.

   "Kemari, Pak Langdon. Sekarang jam sembilan lewat lima belas. Kita harus cepat."

   Langdon dan penjaga itu menuju pintu. Vittoria bergerak untuk mengikuti mereka. "Aku ikut."

   Olivetti menangkap lengannya. "Tidak, Nona Vetra. Aku harus berbicara denganmu." Kata-kata sang komandan adalah perintah.

   Langdon dan penjaga itu keluar. Wajah Olivetti terlihat sangat muram ketika membawa Vittoria k e tepi. Tapi apa pun yang ingin disampaikan Olivetti kepada Vittoria, dia tidak punya kesempatan untuk membicarakannya. Walkie-talkie-nya bergemersik keras. "Commandante?"

   Semua orang di dalam ruangan itu menoleh.

   Suara dari walkie-talkie itu terdengar muram. "Sebaiknya Anda menyalakan televisi, Komandan." KETIKA LANGDON MENINGGALKAN ruang Arsip Rahasia Vatican dua jam yang lalu, dia tidak pernah membayangkan akan masuk ke sana lagi. Sekarang, dengan terengah-engah karena berlari-lari kecil sepanjang jalan bersama seorang Garda Swiss, dia sudah berada di depan ruangan itu lagi.

   Pengawalnya, penjaga yang memiliki bekas luka itu, sekarang membawa Langdon melewati deretan ruangan-ruangan tembus pandang yang sudah tidak asing lagi baginya. Kesunyian di dalam ruangan arsip itu sekarang menjadi bertambah mencekam, dan Langdon merasa sangat lega ketika penjaga itu memecahkan kesunyian.

   "Sepertinya ke sebelah sini," katanya sambil mengajak Langdon ke bagian belakang ruangan di mana sederet ruang kedap udara yang lebih kecil berbaris di dinding. Penjaga itu memeriksa judul yang terdapat di ruangan-ruangan itu, kemudian menunjuk pada salah satunya. "Ya, ini dia. Tepat di tempat yang dikatakan Komandan."

   Langdon membaca judul itu. ATTIVI VATICANI. Aset Vatican? Langdon memeriksa daftar isinya. Lahan yasa ... mata uang ... Bank Vatican ... benda-benda antik ... Daftar itu hanya sampai di situ.

   "Itu adalah catatan dari semua aset Vatican," kata penjaga itu. Langdon melihat beberapa ruangan kedap udara berukuran kecil di hadapannya. Ya ampun. Bahkan dalam kegelapan sekali pun, Langdon dapat melihat kalau catatan itu banyak sekali.

   "Komandan saya mengatakan apa pun yang dibuat oleh Bernini ketika bekerja di Vatican akan tercatat di sini sebagai aset."

   Langdon mengangguk, dan tahu kalau naluri komandan itu benar. Menurut hukum yang berlaku pada masa Bernini, apa pun yang dibuat oleh seorang seniman selama mengabdi kepada paus akan menjadi milik Vatican. Peraturan itu lebih merupakan feodalisme daripada patronase. Namun kehidupan para seniman kelas atas sangat baik, jadi mereka tidak mengeluh. "Termasuk karya-karyanya yang ditempatkan di gereja-gereja di luar Vatican City?"

   Serdadu itu menatapnya dengan aneh. "Tentu saja. Semua gereja Katolik di Roma adalah milik Vatican."

   Langdon melihat daftar di tangannya. Daftar itu berisi kurang lebih dua puluh gereja yang terletak tepat di arah angin West Ponente. Altar ilmu pengetahuan ketiga berada di salah satu dari gereja-gereja itu, dan Langdon berharap dia punya waktu untuk mengetahui gereja mana yang berisi altar yang mereka cari. Dalam situasi yang berbeda, Langdon akan senang sekali memeriksa setiap gereja itu sendirian. Tapi hari ini, dia hanya memiliki kira-kira dua puluh menit untuk menemukan apa yang mereka cari-satu gereja yang berisi karya penghormatan Bernini pada api.

   Langdon berjalan ke arah pintu putar elektronik yang akan membawanya masuk ke dalam salah satu ruangan kedap udara itu. Penjaga itu tidak mengikutinya. Langdon merasa ragu-ragu. Dia tersenyum. "Udaranya tidak apa-apa. Tipis, tetapi masih cukup untuk bernapas."

   "Saya hanya diperintahkan untuk mengawal Anda ke sini dan kembali ke markas dengan segera."

   "Kamu pergi?"

   "Ya. Garda Swiss tidak diizinkan masuk ke ruang arsip. Saya sudah melanggar protokol dengan mengantar Anda sampai di sini. Komandan mengingatkan saya tentang itu."

   "Melanggar protokol?" Sadarkah kamu apa yang sedang terjadi di sini malam ini? "Komandanmu itu berpihak pada siapa?"

   Keramahan hilang dari wajah penjaga itu. Bekas luka di bawah matanya berdenyut. Penjaga itu menatapnya, dan tiba-tiba menjadi sangat mirip dengan Olivetti.

   "Maafkan aku," kata Langdon sambil menyesali kata-katanya. "Hanya saja ... mungkin kamu dapat membantuku."

   Penjaga itu tidak berkedip. "Saya terlatih untuk mematuhi perintah. Bukan untuk mendebatnya. Kalau Anda sudah menemukan apa yang Anda cari, hubungi Komandan segera."

   Langdon bingung. "Tetapi dia berada di mana?"

   Penjaga itu melepaskan walkie-talkie-nya. dan meletakkannya di meja terdekat . "Saluran satu." Lalu dia menghilang dalam kegelapan.

   PESAWAT TELEVISI DI KANTOR Paus adalah televisi bermerek Hitachi berukuran besar sekali yang tersembunyi di dalam lemari yang masuk ke dalam dinding di depan meja kerja Paus. Pintu lemari itu sekarang terbuka, dan semua orang berkumpul di sekitarnya. Vittoria bergerak mendekatinya. Ketika layarnya menyala, seorang wartawati muda muncul. Perempuan itu berambut cokelat dengan wajah lugu.

   "Laporan dari MSNBC," dia melaporkan, "saya Kelly Horan-Jones, langsung dari Vatican City," Gambar di belakangnya adalah rekaman keadaan malam hari di Basilika Santo Petrus dengan semua lampu menyala terang.

   "Kamu tidak sedang siaran langsung," bentak Rocher. "Itu hanya siaran tunda! Lampu di gereja sudah dipadamkan" Olivetti menyuruhnya diam. Wartawati itu melanjutkan, suaranya terdengar tegang. "Ada perkembangan mengejutkan dalam pemilihan paus di Vatican malam ini. Kami mendapatkan laporan bahwa dua anggota Dewan Kardinal telah dibunuh dengan kejam di Roma." Olivetti menyumpah perlahan. Ketika wartawati itu melanjutkan, seorang penjaga muncul di pintu ruangan itu dengan napas terengah-engah. "Komandan, operator pusat melaporkan bahwa semua jalur telepon menyala. Mereka meminta penjelasan resmi dari kita tentang -"

   "Matikan saja," kata Olivetti tanpa mengalihkan tatapannya dari layar televisi. Penjaga itu tampak ragu. "Tetapi Komandan-"

   "Pergilah!"

   Penjaga itu berlari pergi.

   Vittoria merasakan sang camerlegno ingin mengatakan sesuatu, namun dia kemudian menahan diri. Sebaliknya, lelaki itu hanya menatap Olivetti dengan tajam dan lama sebelum dia mengalihkan tatapannya ke arah televisi lagi.

   MSNBC sekarang memutar rekaman itu. Beberapa Garda Swiss membawa jasad Kardinal Ebner menuruni tangga di luar gereja Santa Maria del Popolo dan menaikkannya ke sebuah mobil Alfa Romeo. Rekaman itu berhenti dan di-zoowz sehingga jasad kardinal yang tanpa busana itu menjadi tampak jelas sebelum mereka memasukkannya ke dalam bagasi mobil.

   "Siapa yang mengambil gambar itu?" tanya Olivetti berang. Wartawati MSNBC itu terus berbicara. "Diyakini ini adalah jasad Kardinal Ebner dari Frankfurt, Jerman. Orang-orang yang memindahkan jasad itu dari gereja diyakini adalah Garda Swiss." Wartawan itu tampak berusaha untuk tampil alamiah. Mereka lalu menyorot wajahnya dari dekat untuk menunjukkan kemuraman yang dirasakannya. "Pada saat ini, MSNBC ingin memperingatkan para pemirsa kami. Gambar yang akan kami perlihatkan ini sangat gamblang dan mungkin tidak pantas untuk dilihat oleh semua pemirsa."

   Vittoria mendengus melihat kepura-puraan stasiun TV itu seolah mereka peduli dengan perasaan para pemirsanya. Dia tahu peringatan itu hanyalah untuk menarik perhatian saja agar pemirsa tetap menonton mereka. Tidak ada seorang pun yang akan memindahkan saluran setelah mendengar kata-kata penuh janji seperti itu.

   Wartawati itu kembali. "Sekali lagi, gambar ini mungkin akan mengguncang hati beberapa orang pemirsa."

   "Gambar apa?" Olivetti bertanya. "Kalian baru saja memperlihatkan-"

   Gambar yang memenuhi layar adalah sepasang lelaki dan perempuan di Lapangan Santo Petrus yang sedang berjalan-jalan di tengah kerumunan. Vittoria segera mengenali kedua orang itu. Robert dan dirinya sendiri. Di sudut layar tertera tulisan. ATAS IZIN BBC. Vittoria segera ingat singkatan itu, BBC.

   "Oh, tidak," seru Vittoria keras. "Oh ... jangan."

   Sang camerlegno menatapnya bingung. Dia lalu berpaling pada Olivetti. "Kukira kamu tadi mengatakan bahwa kamu sudah menyita rekaman itu!"

   Tiba-tiba, di layar televisi tampak seorang gadis kecil menjerit. Gambar itu bergerak lalu menemukan seorang gadis kecil yang sedang menunjuk pada seorang gelandangan yang bersimbah darah. Robert Langdon tiba-tiba masuk ke dalam gambar itu, dan berusaha menolong gadis kecil itu. Kamera tersebut terus mengarah pada Robert dan gadis kecil itu.

   Semua orang di dalam Kantor Paus menatap layar televisi dengan diam karena merasa ngeri ketika drama itu disajikan di depan mereka. Jasad kardinal itu jatuh tersungkur dengan wajah mencium lantai. Vit toria muncul dan meneriakkan perintah. Ada darah. Ada cap. Lalu usaha pemberian bantuan pernapasan yang sangat mengerikan.

   "Liputan yang mengejutkan itu," kata sang wartawati, "diambil beberapa menit yang lalu di luar Vatican. Sumber kami mengatakan bahwa jasad itu adalah jasad Kardinal Lamasse dari Perancis. Bagaimana dia dapat berpakaian seperti itu dan kenapa dia meninggalkan acara pemilihan paus masih menjadi misteri. Sejauh ini, Vatican masih menolak untuk berkomentar." Lalu rekaman itu mulai berputar lagi.


Pendekar Rajawali Sakti Misteri Hantu Berkabung Pendekar Rajawali Sakti Sayembara Maut Pendekar Rajawali Sakti Misteri Hantu Berkabung

Cari Blog Ini