Ceritasilat Novel Online

Malaikat Dan Iblis 20


Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 20



"Dia sudah selesai muntah-muntah," seorang lelaki berkata dalam bahasa Italia. "Balikkan tubuhnya." Suara itu terdengar tegas dan profesional. Langdon merasa ada tangan-tangan yang menggulingkannya dengan hati-hati sehingga dia sekarang kembali terlentang. Kepalanya terasa pusing. Dia berusaha untuk duduk, tetapi tangan-tangan itu dengan lembut memaksanya kembali berbaring. Tubuhnya menyerah. Lalu Langdon merasa ada seseorang yang merogoh sakunya untuk mengambil sesuatu. Kemudian dia pingsan lagi. Dr. Jacobus bukan orang yang religius; ilmu pengobatan telah mengalir di pembuluh darahnya sejak lama. Tapi, peristiwa malam ini di Vatican City telah membuat logika sistematisnya teruji. Sekarang ada tubuh jatuh dari langit? Dr. Jacobus meraba denyut nadi lelaki yang tergeletak di atas tempat tidur itu, lelaki yang baru saja mereka tarik dari Sungai Tiber. Dokter itu yakin bahwa Tuhan sendirilah yang telah mengirim lelaki ini dengan selamat sampai ke bumi. Benturan ketika jatuh menimpa permukaan sungai telah membuat korban in i tidak sadarkan diri. Jika bukan karena Dr. Jacobus dan anak buahnya yang saat itu sedang berdiri di tepi sungai untuk menyaksikan pertunjukan di langit, pasti tidak ada orang yang melihatnya sehingga dia bisa mati tenggelam.

   "E Americano," kata seorang perawat sambil melihat ke dalam dompet lelaki itu setelah mereka telah menariknya ke daratan. Orang Amerika? Orang Roma sering bergurau bahwa orang Amerika begitu melimpah ruah di kota itu sehingga hamburger bisa menjadi makanan resmi Italia. Tetapi orang Amerika jatuh dari langit? Jacobus menyalakan senter kecilnya ke mata lelaki itu untuk menguji kesadarannya. "Pak? Dapatkah Anda mendengarku? Anda tahu di mana Anda sekarang?"

   Lelaki itu pingsan lagi. Jacobus tidak heran. Lelaki ini memuntahkan begitu banyak air setelah Jacobus memberikan bantuan pernapasan ke mulutnya.

   "Si chiama Robert Langdon" kata seorang perawat sambil membaca SIM lelaki itu. Sekelompok orang yang berkumpul di dermaga itu tiba-tiba berhenti.

   "Impossible!" seru Jacobus. Robert Langdon adalah lelaki yang tadi masuk televisi-seorang dosen asal Amerika yang telah menolong Vatican. Beberapa menit yang lalu Jacobus melihat Pak Langdon memasuki helikopter di Lapangan Santo Petrus dan terbang bermil-mil ke udara. Jacobus dan yang lainnya berlari ke luar untuk menuju dermaga dan menyaksikan ledakan antimateri yang menghasilkan bidang sinar yang sangat luas yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Bagaimana mungkin ini adalah lelaki itu! "Ini memang dia!" seru perawat itu sambil mengusap rambut basah lelaki itu ke belakang. "Aku mengenali jas wolnya!"

   Tiba-tiba seseorang berteriak dari arah pintu masuk rumah sakit. Itu adalah salah satu dari pasien yang dirawat di sana.

   Perempuan itu berteriak-teriak heboh sambil mengangkat radio kecilnya ke langit dan memuja Tuhan. Rupanya Camerlegno Ventresca muncul di atas atap Vatican secara ajaib.

   Dr. Jacobus memutuskan begitu giliran tugasnya selesai pada pukul 8 pagi, dia akan langsung ke gereja.

   Lampu di atas kepala Langdon sekarang tampak lebih terang dan berbau steril. Dia sekarang dibaringkan di atas semacam meja periksa. Dia mencium aroma cairan alkohol dan zat-zat kimia yang asing. Seseorang baru saja menyuntiknya dan mereka telah melepas pakaiannya.

   Jelas mereka bukan kelompok gipsi, pikir Langdon dalam keadaan mengigau setengah sadar. Makhluk luar angkasa, mungkin? Ya, dia pernah mendengar hal-hal seperti itu. Untungnya makhluk-makhluk ini tidak akan melukainya. Apa yang mereka inginkan hanyalah-"Jangan coba-coba!" seru Langdon sambil tiba-tiba duduk. Matanya melotot ke orang-orang di sekelilingnya.

   "Attento!" salah satu dari makhluk-makhluk itu berteriak sambil menahan tubuh Langdon. Kartu nama di dadanya tertulis Dr. Jacobus dan dia terlihat sangat mirip seperti manusia. Langdon tergagap, "Aku ... pikir "Tenanglah, Pak Langdon. Kamu berada di rumah sakit."

   Kabut mulai terangkat dari kepalanya. Langdon merasa lega sekali. Walau dia membenci rumah sakit, tetapi mereka jelas bukan makhluk luar angkasa yang ingin memotong testisnya.

   "Namaku Dr. Jacobus," kata lelaki itu. Dia menjelaskan apa yang baru saja terjadi. "Kamu beruntung sekali dapat hidup."

   Langdon sendiri tidak merasa beruntung. Dia hampir tidak dapat memercayai ingatannya sendiri ... helikopter itu ... sang camerlegno. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Mereka memberinya air minum, tapi Langdon hanya berkumur. Mereka membalut telapak tangannya dengan perban baru.

   "Di mana pakaianku?" tanya Langdon. Dia sekarang mengenakan baju kertas. Salah satu dari perawat itu menunjuk ke arah tumpukan dari bahan khaki dan wol yang meneteskan air di sudut ruangan. "Baju Anda basah kuyup. Kami harus memotongnya untuk melepaskannya dari tubuh Anda."

   Langdon menatap jas wol Harris-nya sambil mengerutkan keningnya.

   "Anda juga mengantongi kertas tisu," kata perawat itu. Saat itu juga Langdon melihat cabikan kertas perkamen mencuat dari saku jasnya. Lembaran folio dari Diagramma karya Galileo. Salinan terakhir di dunia yang masih ada baru saja hancur olehnya. Dia begitu mati rasa sehingga tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Langdon hanya bisa bengong.

   "Kami berhasil menyelamatkan benda-benda pribadimu." Perawat itu memegang sebuah mangkuk plastik. "Dompet, kamera video mini dan bolpen. Aku sudah berusaha mengeringkan kamera mini ini sebisaku."

   "Aku tidak mempunyai kamera video mini."

   Perawat itu mengerutkan keningnya dan menyodorkan mangkuk plastik di tangannya. Langdon kemudian melihat isinya. Bersama dompet dan bolpennya, tergeletak sebuah kamera video berukuran mini bertuliskan Sony RUVI. Dia sekarang ingat. Kohler tadi menyerahkan kamera itu kepadanya dan memintanya untuk memberikannya kepada media.

   "Kami menemukannya di dalam sakumu. Kukira kamu harus membeli yang baru." Perawat itu kemudian membuka layar sebesar dua inci di bagian belakangnya. "Layarnya retak." Lalu dia tampak ceria. "Tapi suaranya masih terdengar." Dia kemudian membawa benda itu ke dekat telinganya. "Benda ini terus memutar suara yang sama berulang-ulang" Dia mendengarkannya dan kemudian dengan wajah cemberut dia memberikannya kepada Langdon. "Dua orang sedang bertengkar, kukira."

   Langdon bingung, dan mengambil kamera video mini itu lalu menempelkannya di telinganya. Suara itu terdengar cempreng dan seperti berasal dari kaset yang rusak, tetapi masih terdengar jelas. Satu suara terdengar dekat. Sementara yang lainnya terdengar jauh. Langdon mengenali kedua suara itu.

   Sambil duduk di atas meja periksa dan mengenakan baju kertas, Langdon mendengarkan percakapan itu dengan terheran-heran. Walau dia tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi, ketika dia mendengar akhir dari rekaman yang mengejutkan itu, dia bersyukur dia tidak perlu melihatnya.

   Ya ampun! Ketika rekaman itu diputar kembali dari awal, Langdon menurunkan kamera perekam itu dari telinganya dan duduk dengan perasaan ngeri. Antimateri itu ... helikopter ... Pikiran Langdon sekarang mulai jernih. Tetapi itu berarti....

   Dia ingin muntah lagi. Dengan meningkatnya perasaan yang merupakan percampuran antara bingung dan murka, Langdon turun dari meja dan berdiri dengan kaki gemetar.

   "Pak Langdon!" seru dokter itu sambil mencoba mencegahnya.

   "Aku membutuhkan pakaian," seru Langdon ketika merasakan aliran udara di bagian belakang tubuhnya yang telanjang.

   "Tetapi kamu perlu istirahat."

   "Aku keluar. Sekarang, aku memerlukan pakaian."

   "Tetapi, Pak. Kamu-" "Sekarang!"

   Semua orang saling bertatapan dengan bingung. "Kami tidak punya pakaian," kata dokter itu. "Mungkin besok, seorang teman dapat membawakan pakaian untukmu."

   Langdon menarik napas perlahan dengan sisa-sisa kesabarannya yang masih ada dan menatap tajam pada dokter itu. "Dr. Jacobus, aku akan keluar dari pintu rumah sakitmu sekarang juga. Aku memerlukan pakaian. Aku akan pergi ke Vatican City. Aku tidak bisa pergi ke Vatican City dengan bokong terbuka seperti ini. Jelas?"

   Dr. Jacobus tidak berusaha menyembunyikan rasa tidak setujunya ketika berkata, "Berikan pada lelaki ini sesuatu untuk dikenakannya."

   Ketika Langdon berjalan tertatih-tatih ke luar rumah sakit Tiberina, dia merasa seperti anggota pramuka yang terlalu tua. Dia mengenakan pakaian paramedis berwarna biru dengan resleting di depan serta dihiasi oleh emblem yang menerangkan kualifikasi pemilik baju itu.

   Petugas yang menemaninya adalah seorang perempuan gemuk dan mengenakan pakaian yang sama. Dokter Jacobus meyakinkan Langdon kalau perempuan itu akan mengantarnya ke Vatican dalam waktu singkat.

   "Molto traffico," kata Langdon sambil mengingatkan petugas itu bahwa area sekitar Vatican dipenuhi oleh mobil-mobil dan manusia. Perempuan itu tampak tidak khawatir. Dia menunjuk dengan bangga ke arah salah satu dari emblem yang dimilikinya. "Sono conducente di ambulanza."

   "Ambulanza?" Sekarang semuanya menjadi jelas. Langdon merasa dirinya tidak keberatan menumpang mobil ambulans. Perempuan itu mengantar ke bagian samping gedung itu. Di atas panggung kecil yang terletak di atas air, terlihat sebuah landasan dari semen tempat di mana kendaraan perempuan itu menunggu. Ketika Langdon melihat kendaraan itu, dia menghentikan langkahnya. Itu adalah helikopt er medis yang sudah tua. Di badan helikopter itu tertulis Aero-Ambulanza. Langdon terpaku. Perempuan itu tersenyum. "Terbang ke Vatican City. Sangat cepat." DEWAN KARDINAL BERJALAN dengan penuh semangat dan diliputi perasaan gembira ketika mereka kembali ke dalam Kapel Sistina. Sebaliknya, Mortati merasa semakin bingung sehingga membuat kepalanya seperti ingin pecah. Dia percaya pada keajaiban-keajaiban kuno yang tertulis di dalam Alkitab, tapi apa yang baru saja disaksikannya adalah sesuatu yang sulit dimengerti. Setelah pengabdian seumur hidupnya selama 79 tahun, Mortati tahu peristiwa itu semestinya bisa membuatnya menjadi semakin saleh ... dia baru saja menyaksikan keyakinan yang sungguh-sungguh dan nyata. Walau demikian, apa yang dirasakannya adalah berkembangnya perasaan cemas yang aneh. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini.

   "Signore Mortati!" seorang Garda Swiss berseru sambil berlari di koridor. "Kami telah memeriksa ke atas atap seperti yang Anda minta. Sang camerlegno ... memang berada di sana! Beliau benar-benar manusia! Bukan arwah! Beliau seperti yang selama ini kita kenal!"

   "Apakah beliau berbicara denganmu?"

   "Beliau berlutut dan berdoa dengan diam! Kami takut menyentuhnya!"

   Mortati semakin bingung. "Katakan pada beliau ... para kardinal menunggu."

   "Signore, karena beliau itu seorang manusia ... " petugas itu ragu-ragu.

   "Ada apa?"

   "Dadanya ... terbakar. Haruskah kita membalut lukanya? Beliau pasti kesakitan."

   Mortati memikirkannya. Selama masa pengabdiannya di gereja, dia sama sekali tidak dipersiapkan untuk menghadapi masalah seperti ini. "Kalau beliau adalah seorang manusia, perlakukan beliau seperti manusia. Mandikan beliau. Balut lukanya. Ganti jubahnya dengan jubah baru. Kami menunggu kehadiran beliau di Kapel Sistina."

   Penjaga itu berlari pergi.

   Mortati berjalan menuju Kapel Sistina. Para kardinal lainnya telah kembali berada di dalam sekarang. Ketika dia berjalan di sepanjang koridor, dia melihat Vittoria Vetra duduk dengan lemas di atas sebuah bangku di kaki tangga Royal Staircase. Mortati dapat melihat luka hati dan perasaan kesepian yang dirasakan perempuan muda itu karena kehilangan orang-orang yang dekat dengannya. Mortati ingin mendekatinya, tetapi dia tahu dia tidak bisa melakukannya sekarang. Dia punya kewajiban ... walau dia tidak tahu kewajiban apa yang mungkin dihadapinya.

   Mortati memasuki kapel. Ada suara kegembiraan yang riuh di sekitarnya. Dia menutup pintunya. Tuhan, tolong aku.

   Helikopter Aero-Ambulanza bermesin ganda milik Rumah Sakit Tiberina itu berputar di belakang Vatican City. Langdon mengeraskan rahangnya dan bersumpah ini terakhir kalinya dia akan naik helikopter.

   Setelah meyakinkan pilot itu bahwa peraturan yang mengatur penerbangan di Vatican adalah hal yang paling tidak dihiraukan oleh negara kecil itu saat ini, Langdon menuntun pilot helikopter itu ke sebuah tempat tersembunyi di balik dinding belakang pagar yang mengelilingi Vatican dan mendarat di sebuah landasan helikopter.

   "Grazie," kata Langdon sambil merundukkan tubuhnya dengan susah payah ketika dia turun ke tanah. Sang pilot meniupkan ciumannya dan segera terbang kembali, menghilang di balik dinding, dan tenggelam di balik malam. Langdon menarik napas sambil berusaha menjernihkan kepalanya, dan berharap dapat melakukan apa yang harus dilakukannya. Sambil membawa kamera video mini di tangannya, dia menaiki mobil golf yang sama dengan yang ditumpanginya sore tadi. Mobil listrik itu belum diisi lagi baterenya, dan petunjuk baterenya memperlihatkan daya yang dimilikinya sudah hampir habis. Langdon mengemudi tanpa lampu untuk menghemat tenaga. Selain itu, dia juga lebih suka kalau tidak seorang pun melihatnya datang. Di bagian belakang Kapel Sistina, Kardinal Mortati berdiri dengan kepala pusing ketika melihat kekacauan yang terjadi di depannya.

   "Itu sebuah keajaiban!" teriak salah satu dari kardinal-kardinal itu. "Itu tindakan Tuhan!"

   "Ya!" yang lain berseru. "Tuhan telah membuat kehendakNya menjadi nyata!"

   "Sang camerlegno akan menjadi paus kita!" yang lain berteriak. "Dia memang be lum menjadi kardinal, tetapi Tuhan telah mengirimkan tanda keajaiban kepada kita semua!"

   "Ya!" seseorang menyetujuinya. "Peraturan yang mengatur rapat pemilihan paus adalah peraturan yang dibuat oleh manusia. Kehendak Tuhan adalah hal yang harus kita utamakan! Aku menuntut pemungutan suara sekarang juga!"

   "Pemungutan suara?" tanya Mortati sambil bergerak ke arah mereka. "Aku yakin itu adalah tugasku."

   Semua orang berpaling.

   Mortati dapat merasakan para kardinal itu sedang mengamatinya. Mereka tampak jauh, tidak akrab, kebingungan dan tersinggung oleh ketenangan sikapnya. Mortati juga ingin merasakan jiwanya tersapu dalam kegembiraan seperti yang terlihat pada wajah-wajah di sekitarnya itu. Tetapi dia tidak merasakannya. Entah kenapa, di hatinya terasa sakit ... kesedihan menyakitkan yang tidak dapat dijelaskannya. Dia telah bersumpah untuk memimpin proses pemilihan paus dengan kemurnian jiwanya, dan keraguan ini adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikannya dengan mudah.

   "Kawan-kawan," kata Mortati sambil melangkah ke altar. Suaranya tidak terdengar seperti suaranya sendiri. "Aku pikir aku akan berjuang sepanjang hidupku untuk memahami apa yang baru saja kusaksikan malam ini. Tapi, apa yang kalian katakan tentang sang camerlegno ... itu tidak mungkin merupakan kehendak Tuhan."

   Ruangan itu menjadi sunyi.

   "Bagaimana ... kamu dapat mengatakan itu?" salah satu dari kardinal itu akhirnya bertanya. "Sang camerlegno menyelamatkan gereja ini. Tuhan berbicara langsung pada sang camerlegno sendiri! Lelaki itu selamat dari kematiannya. Tanda-tanda apa lagi yang kita butuhkan!"

   "Sang camerlegno akan segera berada di sini," kata Mortati. "Mari kita tunggu saja. Kita dengarkan dulu sebelum kita mengadakan pemungutan suara. Mungkin ada penjelasan yang masuk akal."

   "Penjelasan?"

   "Sebagai petugas yang menjalankan pemilihan paus, aku telah bersumpah untuk menjalankan peraturan rapat dengan baik. Kalian pasti tahu kalau menurut Hukum Suci Vatican, sang camerlegno tidak memenuhi syarat untuk masuk ke dalam bursa calon paus. Beliau bukan seorang kardinal. Beliau adalah seorang pastor ... hanya Kepala Rinnan Tangga Kepausan. Selain itu, usianya juga masih sangat muda." Mortati merasa tatapan mereka menjadi lebih keras. "Dengan menyetujui diadakannya pemungutan suara pada saat ini, itu berarti saya membiarkan kalian semua mencalonkan seseorang yang menurut Hukum Vatican tidak boleh dicalonkan sebagai paus. Itu berarti saya meminta kepada masing-masing kardinal di hadapan saya sekarang untuk melanggar sumpah suci yang sudah kita ucapkan sendiri."

   "Tetapi apa yang terjadi di sini malam ini," seseorang berseru, "jelas menjadi lebih penting dari hukum kita itu!"

   "Begitukah?" seru Mortati seperti meledak. Dia tidak tahu darimana kata-katanya itu berasal. "Apakah itu kehendak Tuhan agar kita mengabaikan aturan gereja? Apakah itu kehendak Tuhan sehingga kita mengabaikan akal sehat dan membiarkan kita bertindak gila-gilaan?"

   "Tetapi tidakkah kamu juga melihat apa yang kita lihat tadi?" yang lainnya menantang dengan marah. "Kenapa kamu meragukan kekuasaan seperti itu!"

   Suara Mortati sekarang mengalun dengan getaran yang dia sendiri tidak pahami. "Aku tidak meragukan kekuasaan Tuhan! Tuhanlah yang memberikan akal sehat dan kehati-hatian kepada kita! Kepada Tuhanlah kita mengabdi dengan cara mempraktikkan kehati-hatian!" DI KORIDOR YANG terletak di luar Kapel Sistina, Vittoria Vetra duduk terpaku di sebuah bangku yang terdapat di kaki Royal Staircase. Ketika dia melihat ada sesosok yang datang dari pintu belakang, dia bertanya-tanya apakah dia melihat arwah yang lainnya lagi. Sosok itu dibalut, berjalan terpincang-pincang, dan mengenakan pakaian petugas rumah sakit.

   Vittoria berdiri ... tidak dapat memercayai matanya. "Ro ...

   bert?"

   Lelaki itu tidak menjawabnya. Dia hanya langsung berjalan ke arahnya dan memeluknya. Ketika dia mencium bibir Vittoria, itu adalah ciuman impulsif yang dipenuhi oleh kerinduan dan rasa syukur.

   Vittoria merasa air matanya terbit. "Oh, Tuhan ... oh, terima kasih Tuhan .... "

   Langdon menciumnya lagi , sekarang lebih bergairah dan Vittoria merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan lelaki itu dan membiarkan dirinya larut di dalamnya. Tubuh mereka saling berpelukan seperti sudah saling mengenal sejak dulu. Vittoria melupakan rasa takut dan sakit yang selama ini dirasakannya. Dia memejamkan matanya dan pada saat itu dia merasa tubuhnya seperti melayang.

   "Itu kehendak Tuhan!" seseorang berteriak, suaranya menggema di dalam Kapel Sistina. "Siapa lagi kalau bukan orang pilihan yang dapat selamat dari ledakan dahsyat seperti itu?"

   "Aku bisa," sebuah suara terdengar dari belakang kapel. Mortati dan yang lainnya menoleh dengan pandangan penuh keheranan ketika melihat sosok yang berjalan terpincang-pincang yang datang dari gang utama kapel itu. "Pak ... Langdon?"

   Tanpa banyak bicara, Langdon berjalan perlahan ke bagian depan Kapel Sistina. Vittoria Vetra juga masuk. Kemudian dua orang Garda Swiss masuk sambil mendorong sebuah meja dorong dengan sebuah pesawat televisi di atasnya. Langdon berdiri menunggu ketika mereka menyambungkan kabelnya sambil menatap mata para kardinal. Kemudian Langdon memberi tanda kepada kedua Garda Swiss itu untuk meninggalkan ruangan. Mereka pergi, dan menutup pintunya.

   Sekarang Langdon dan Vittoria hanya bersama para kardinal. Langdon memasang output dari Sony RUVI ke dalam pesawat televisi. Dia kemudian menekan tombol PLAY.

   Pesawat televisi itu menyala terang.

   Pemandangan yang muncul di depan para kardinal menunjukkan ruang Kantor Paus. Rekaman video itu tampaknya telah diambil dari sudut yang tak biasa, seolah dari kamera tersembunyi. Di tengah-tengah layar itu tampak sang camerlegno yang berdiri di balik keremangan perapian yang menyala di depannya. Walau dia tampak seperti sedang berbicara langsung ke arah kamera, dengan cepat terlihat kalau sang camerlegno sedang berbicara dengan seseorang-siapa pun yang membuat rekaman itu. Langdon mengatakan kepada mereka bahwa rekaman ini diambil oleh Maximilian Kohler, Direktur CERN. Satu jam yang lalu Kohler secara diam-diam telah merekam pertemuannya dengan sang camerlegno dengan menggunakan kamera video mini yang terpasang di lengan kursi roda listriknya.

   Mortati dan para kardinal lainnya menyaksikannya dengan bingung. Walau percakapan dalam rekaman itu sudah dimulai, Langdon merasa tidak perlu mengulanginya dari awal. Sepertinya, apa yang diinginkan Langdon agar dilihat oleh para kardinal itu sedang ditayangkan ....

   "Leonardo Vetra menyimpan buku harian?" tanya sang camerlegno. "Kukira itu adalah berita bagus untuk CERN kalau buku harian itu berisi proses penciptaan antimateri-nya-"

   "Tidak seperti itu," kata Kohler. "Kamu boleh merasa lega karena proses pembuatan zat itu ikut mati bersama Leonardo. Walaupun begitu, buku hariannya berisi hal lainnya. Kamu."

   Sang camerlegno tampak resah. "Aku tidak mengerti."

   "Buku itu menjelaskan bahwa bulan lalu Leonardo bertemu dengan seseorang. Denganmu."

   Sang camerlegno ragu-ragu lalu melihat ke arah pintu. "Rocher seharusnya tidak membiarkanmu masuk tanpa berbicara denganku. Bagaimana kamu dapat masuk ke sini?"

   "Rocher tahu yang sebenarnya. Aku meneleponnya sebelum aku tiba dan mengatakan padanya apa yang telah kamu lakukan."

   "Apa yang telah kulakukan? Cerita apa pun yang kamu katakan kepadanya, Rocher adalah anggota Garda Swiss yang terlalu setia pada gereja ini dan tidak mungkin lebih memercayai seorang ilmuwan sinis daripada camerlegno-nya sendiri."

   "Sebenarnya, dia memang terlalu setia untuk tidak memercayaimu. Rocher begitu setia sehingga dia tidak bisa menerima kalau ada bukti yang menunjukkan bahwa ada orang yang telah mengkhianati gereja. Sepanjang hari ini, dia berusaha mencari penjelasan lain yang masuk akal."

   "Jadi, kamu berikan penjelasan itu kepadanya?"

   "Aku memberikan kebenaran yang sesungguhnya. Berita itu membuatnya sangat terguncang."

   "Kalau Rocher memercayaimu, dia telah menangkapku sejak tadi."

   "Tidak. Aku tidak akan membiarkannya. Aku menawarkan diri untuk tutup mulut kalau dia memberikan izin untuk bertemu denganmu."

   Sang camerlegno tertawa aneh. "Kamu berencana untuk memer as gereja dengan cerita yang tidak seorang pun akan memercayainya?"

   "Aku tidak perlu memeras. Aku hanya ingin mendengar kebenaran dari mulutmu. Leonardo Vetra adalah temanku."

   Sang camerlegno tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap ke bawah, ke arah Kohler yang duduk di atas kursi rodanya.

   "Coba dengarkan ini," bentak Kohler. "Kira-kira satu bulan yang lalu, Leonardo Vetra menghubungimu untuk meminta kesempatan agar dapat bertemu dengan Paus untuk urusan yang mendesak. Kamu mengatur pertemuan itu karena Paus adalah pengagum karya-karya Leonardo dan karena temanku itu mengatakan ini sangat mendesak."

   Sang camerlegno berpaling ke arah perapian. Dia tidak mengatakan apa-apa.

   "Leonardo datang ke Vatican secara diam-diam. Dia telah mengkhianati kepercayaan putrinya dengan datang ke Vatican, kenyataan yang ternyata sangat mengganggu pikiran Leonardo sendiri. Tetapi dia merasa tidak punya pilihan lain. Hasil penelitiannya telah memberinya pertentangan besar di dalam dirinya sehingga dia membutuhkan petunjuk spiritual dari gereja. Dalam pertemuan pribadi itu, Leonardo mengatakan kepadamu, dan juga kepada Paus, bahwa dia telah membuat penemuan ilmiah yang membawa dampak yang besar terhadap agama. Dia telah membuktikan bahwa Kitab Kejadian bisa diterangkan secara fisika, dan sumber energi yang hebat itu dapat meniru saat penciptaan alam semesta seperti yang dilakukan oleh Tuhan. Sunyi.

   "Paus terpaku," Kohler melanjutkan. Yang Mulia Paus berpendapat bahwa penemuan itu mungkin akan dapat menjembatani jurang antara ilmu pengetahuan dan agama. Seumur hidupnya Paus sudah mengidam-idamkan agar hal itu dapat terwujud. Kemudian Leonardo menjelaskan kepadamu kekurangan dari penemuan itu yang menjadi alasan mengapa dia memerlukan petunjuk dari gereja. Tampaknya percobaan penciptaannya itu, tepat seperti apa yang diperkirakan Alkitabmu, membuktikan bahwa segalanya berpasangan dan berlawanan seperti terang dan gelap. Leonardo menyadari, selain menciptakan materi, dia juga menciptakan antimateri. Aku boleh melanjutkan?"

   Sang camerlegno tidak menjawab. Dia membungkuk dan menambah arang pada perapiannya.

   "Setelah Leonardo Vetra datang ke sini," Kohler melanjutkan, "kamu datang ke CERN untuk melihat hasil kerjanya. Buku harian Leonardo mengatakan kamu juga mengunjungi lab-nya secara pribadi."

   Sang camerlegno mendongak.

   Kohler melanjutkan lagi. "Paus tidak dapat bepergian tanpa mengundang perhatian media, jadi beliau mengirimmu. Leonardo membawamu berkeliling laboratoriumnya secara diam-diam. Dia memperlihatkan kepadamu kehancuran antimateri seperti yang terjadi ketika Ledakan Besar menciptakan alam semesta. Dia juga memperlihatkan kepadamu spesimen dalam ukuran besar yang disimpannya sebagai bukti bahwa proses percobaannya itu dapat menghasilkan antimateri dalam jumlah besar. Kamu terkagum-kagum saat itu. Lalu kamu kembali ke Vatican City untuk melaporkan kepada Paus apa yang telah kamu lihat."

   Sang camerlegno mendesah. "Dan apa yang mengganggumu? Bahwa aku tidak menghormati kerahasiaan Leonardo dengan berterus terang kepada dunia tentang antimateri itu malam ini? "Tidak! Yang menjadi masalahku adalah Leonardo Vetra telah berhasil membuktikan keberadaan Tuhanmu, dan kamu telah membunuh lelaki itu!"

   Sekarang sang camerlegno berpaling, wajahnya tidak menujukkan emosi apa pun.

   Satu-satunya suara adalah gemertak kayu yang sedang dimakan api.

   Tiba-tiba, kamera itu bergoyang, dan tangan Kohler tampak tertangkap kamera. Dia membungkuk ke depan seolah dia sedang berusaha mengambil sesuatu dari bawah kursi rodanya. Ketika dia kembali ke posisi semula, dia menggenggam sepucuk pistol di depan tubuhnya. Sudut pengambilan kamera itu mengerikan ... di ambil dari belakang ... sehingga memperlihatkan pistol yang teracung ... diarahkan tepat kepada sang camerlegno.

   Kohler berkata, "Akui dosamu, Bapa. Sekarang."

   Sang camerlegno tampak terkejut. "Kamu tidak mungkin keluar dari sini dalam keadaan hidup."

   "Kematianku akan menjadi pembebasan yang melegakan dari kesengsaraan yang disebabkan oleh keyakinanmu sejak aku masih kecil. Aku sudah m enunggu kematian itu." Kohler memegang senjata itu dengan kedua tangannya. "Aku memberimu dua pilihan. Akui dosamu ... atau mati sekarang."

   Sang camerlegno melirik ke arah pintu.

   "Rocher ada di luar," kata Kohler menantang. "Dia juga bersiap untuk membunuhmu."

   "Rocher sudah bersumpah untuk-"Rocher telah membiarkan aku masuk ke sini dengan membawa senjata. Dia juga sudah muak dengan kebohonganmu. Kamu hanya punya satu pilihan. Mengakulah padaku. Aku harus mendengarnya dari bibirmu sendiri."

   Sang camerlegno tampak ragu. Kohler mengokang pistolnya. "Kamu ragu aku akan mampu membunuhmu?"

   "Apa pun yang akan kukatakan padamu," kata sang camerlegno, "orang sepertimu tidak akan mengerti."

   "Coba saja."

   Sesaat sang camerlegno berdiri tak bergerak sehingga membuat sebuah bayangan besar dalam keremangan cahaya api. Ketika dia berbicara, kata-katanya bergema dengan nada penuh harga diri sehingga lebih tepat disebut sebagai pengucapan keagungan dari sebuah pengabdian daripada sebuah pengakuan.

   "Sejak dahulu," kata sang camerlegno, "gereja telah berjuang melawan musuh-musuh Tuhan. Kadang-kadang dengan kata-kata. Kadang-kadang dengan kekerasan. Dan kami selalu bertahan."

   Sang camerlegno memancarkan keyakinan.

   "Tetapi iblis-iblis dari masa lalu," dia melanjutkan, "adalah iblis-iblis api dan kebencian ... mereka adalah musuh-musuh yang dapat kami lawan, musuh-musuh yang menimbulkan ketakutan. Tapi setan sangat pandai. Ketika waktu berlalu, dia melepaskan wajahnya yang seram dan menggantikannya dengan wajah baru ... wajah dari akal budi yang murni. Tembus pandang tapi berakal bulus. Tapi pada dasarnya sama saja." Suara sang camerlegno menyiratkan kemarahan yang tiba-tiba sehingga hampir menyerupai orang gila. "Katakan padaku, Pak Kohler! Bagaimana mungkin gereja bisa mengutuk sesuatu yang masuk akal menurut semua orang! Bagaimana kami mencela apa yang sudah menjadi dasar bagi masyarakat kita! Setiap kali kami mengeraskan suara untuk memperingatkan kalian, tapi kalian balas berteriak dan menyebut kami bodoh. Paranoid. Suka mengatur! Karena itulah kejahatan kalian berkembang. Terbungkus dalam kerudung intelektualitas. Hal itu tersebar seperti kanker. Disucikan oleh keajaiban teknologinya sendiri. Mendewakan diri sendiri. Hingga kami tidak lagi bisa menuduh kamu dengan hal-hal lain kecuali kebaikan yang murni. Ilmu pengetahuan telah menyelamatkan kita dari penyakit, kelaparan, dan rasa sakit! Lihatlah ilmu pengetahuan, Tuhan baru dari keajaiban yang tiada ada akhirnya. Dia mahakuasa dan penuh kebajikan! Abaikan senjata dan kerusuhan. Lupakan kesepian yang merusak dan bahaya yang tak ada habisnya. Ilmu pengetahuan ada di sini!" Sang camerlegno melangkah ke arah senjata yang teracung kepadanya. "Tetapi aku sudah melihat wajah setan mendekat ... aku sudah pernah melihat bahaya ..."

   "Apa maksudmu! Ilmu pengetahuan Leonardo dengan jelas membuktikan keberadaan Tuhanmu! Dia adalah sekutumu!"

   "Sekutu? Ilmu pengetahuan dan agama tidak dapat bersama-sama! Kita tidak memiliki Tuhan yang sama. Siapa Tuhanmu? Salah satu proton, massa, dan arus listrik partikel? Bagaimana Tuhanmu memberimu inspirasi? Bagaimana Tuhanmu meraih hingga ke jantungmu dan mengingatkanmu bahwa Dia dapat diandalkan oleh makhluknya! Vetra telah salah arah. Karyanya tidak religius, karyanya merampok agama! Manusia tidak dapat menempatkan ciptaan Tuhan di dalam sebuah tabung percobaan dan melambai-lambaikannya ke seluruh dunia supaya dilihat semua orang! Itu tidak mengagungkan Tuhan, itu merendahkan Tuhan!" sekarang sang camerlegno mencakar tubuhnya sendiri, suaranya seperti gila.

   "Jadi, kamu menyuruh orang membunuh Leonardo Vetra!"

   "Demi gereja! Demi seluruh umat manusia! Kegilaan yang terdapat pada benda itu! Manusia tidak siap untuk memegang kekuatan penciptaan alam semesta di dalam tangannya. Tuhan berada di dalam tabung percobaan? Setetes cairan yang dapat menghancurkan seluruh kota? Leonardo Vetra harus dihentikan!" Sang camerlegno tiba-tiba terdiam. Dia mengalihkan wajahnya dan kembali ke perapian. Tampaknya dia merenungkan pilihannya. Tangan Kohler mengara hkan senjatanya. "Kamu telah mengaku. Kamu tidak bisa melarikan diri."

   Sang camerlegno tertawa sedih. "Tidakkah kamu melihatnya? Mengakui dosa adalah jalan untuk membebaskan diri." Dia kemudian melihat ke arah pintu. "Ketika Tuhan berada di pihakmu, kamu punya pilihan yang orang sepertimu tidak akan mampu memahaminya." Dengan kata-katanya yang masih bergema di udara, sang camerlegno meraih leher jubahnya sendiri dan dengan kasar merobeknya hingga terbuka dan memperlihatkan dadanya yang telanjang.

   Kohler tersentak. "Apa yang kamu lakukan?" serunya.

   Sang camerlegno tidak menjawab. Dia melangkah ke belakang, ke arah perapian, dan mengambil sebuah benda dari bara api yang berkilauan.

   "Berhenti!" Kohler memerintahkan, senjatanya masih teracung. "Apa yang kamu lakukan!"

   Ketika sang camerlegno berpaling, dia sudah memegang sebuah cap yang merah membara. Berlian Illuminati. Tiba-tiba mata lelaki itu tampak liar. "Aku sudah berniat untuk melakukan ini sendirian." Suaranya mendidih karena kebuasan yang terlihat di matanya. "Tetapi sekarang ... aku melihat Tuhan berkehendak kamu untuk berada di sini. Kamu adalah penyelamatku."

   Sebelum Kohler dapat bereaksi, sang camerlegno memejamkan matanya, melengkungkan punggungnya, dan menghentakkan cap membara itu di tengah-tengah dadanya sendiri. Dagingnya mendesis. "Bunda Maria! Bunda yang Terberkati ... Tataplah anakmu!" Dia menjerit keras karena kesakitan.

   Kohler sekarang terlihat di dalam layar ... dia berdiri dengan kikuk di atas kakinya yang cacat. Senjata itu terlihat digenggam oleh tangan yang gemetar dengan hebat.

   Sang camerlegno berteriak lebih keras, limbung karena terguncang. Setelah itu dia melemparkan cap itu ke dekat kaki Kohler. Kemudian sang camerlegno terguling ke lantai dan menggeliat kesakitan.

   Apa yang terjadi setelah itu terlihat buram.

   Tampak ada keributan besar di dalam layar ketika Garda Swiss menyerbu masuk ke dalam ruangan. Semuanya berakhir dengan suara tembakan. Kohler memegang dadanya, terjengkang ke belakang dengan tubuh bersimbah darah, kemudian jatuh ke atas kursi rodanya.

   "Jangan!" teriak Rocher sambil berusaha menghentikan anak buahnya agar tidak menembak Kohler. Sang camerlegno masih menggeliat-geliat di atas lantai, berguling dan menunjuk dengan ketakutan ke arah Rocher. "Illuminatus!"

   "Kamu keparat," kata Rocher sambil berlari ke arahnya. "Kamu orang yang berlagak suci, bedeb-"

   Chartrand menghalanginya dengan tiga butir peluru. Rocher terjatuh dan tergeletak di atas lantai. Mati.

   Lalu para penjaga berlari ke arah sang camerlegno yang terluka dan berkumpul di sekitarnya. Ketika mereka berkerumun, kamera video itu menangkap wajah Robert Langdon yang kebingungan sambil berlutut di sisi kursi roda Kohler dan menatap cap itu. Lalu tampilan layar mulai bergerak-gerak liar. Kohler berhasil meraih kesadarannya dan melepaskan kamera video mini itu dari pegangan di balik kursi roda listriknya. Lalu dia berusaha menyerahkan kamera mini itu kepada Langdon.

   "B .. beri ...," Kohler tergagap. "B ... berikan ini pada p ... pers." SANG CAMERLEGNO MERASA kabut kekaguman dan pengaruh adrenalin mulai menghilang. Ketika Garda Swiss menolongnya turun dari Royal Staircase dan membawanya ke Kapel Sistina, sang camerlegno mendengar nyanyian di Lapangan Santo Petrus dan dia tahu bahwa keajaiban telah berhasil dibuktikannya. Grazie Dio. Dia berdoa untuk mendapatkan kekuatan, dan Tuhan telah mengabulkannya. Ketika dia memiliki keraguan, Tuhan berbicara kepadanya. Misimu adalah sebuah misi suci, Tuhan berkata. Aku akan memberikan kekuatan kepadamu. Walau sudah mendapatkan kekuatan dari Tuhan, sang camerlegno masih merasa ketakutan, dan mempertanyakan kebenaran jalannya. Tuhan bertanya kepadanya. Jika bukan kamu, lalu SIAPA? Jika tidak sekarang, lalu KAPAN? Jika tidak dengan jalan ini, lalu BAGAIMANA? Tuhan mengingatkan kalau Yesus telah menyelamatkan mereka semua ... menyelamatkan dari sikap apatis mereka sendiri. Dengan dua tindakan, Yesus telah membuka mata mereka; ketakutan dan harapan, penyaliban dan kebangkitan kembali. Dia telah merubah dunia. Tetapi itu beribu-ribu tahun yang lalu. Waktu telah mengikis keajaiban. Orang-orang telah melupakannya. Mereka telah beralih kepada pujaan palsu seperti dewa-dewa teknologi dan keajaiban pikiran. Bagaimana dengan keajaiban hati? Sang camerlegno sering berdoa agar Tuhan menunjukkan bagaimana membuat masyarakat percaya lagi. Tetapi Tuhan tidak menjawabnya. Tidak sampai sang camerlegno mengalami saat tergelap ketika akhirnya Tuhan datang padanya. Oh, malam yang dipenuhi oleh kengerian! Sang camerlegno masih ingat dirinya berbaring di atas lantai dengan baju tidurnya yang compang-camping, mencakari tubuhnya sendiri untuk menyucikan jiwanya dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh kebenaran kejam yang baru saja diketahuinya. Itu tidak mungkin terjadi! Dia menjerit. Tapi dia tahu itu memang terjadi. Kebohongan itu merobek dirinya seperti api neraka. Seorang uskup yang telah mengasuhnya, seorang lelaki yang dianggapnya sebagai ayahnya sendiri. Seorang hamba Tuhan di mana camerlegno-nya sendiri berdiri di sampingnya ketika dirinya dilantik menjadi paus ... ternyata seorang penipu. Seorang pendosa biasa. Berbohong kepada dunia tentang perbuatan yang sangat bejat sehingga sang camerlegno sendiri meragukan apakah Tuhan akan memaafkan Paus. "Kamu sudah bersumpahl" teriak sang camerlegno kepada Paus. "Kamu melanggar sumpahmu sendiri kepada Tuhan! Kamu sama saja dengan yang lainnya!"

   Paus telah berusaha untuk menjelaskan yang sesungguhnya, tetapi sang camerlegno tidak mau mendengarkannya lagi. Dia berlari keluar dengan tertatih-tatih di sepanjang koridor, lalu muntah karena merasa sangat jijik dan mencakari tubuhnya sendiri sampai berdarah-darah dan berbaring sendirian di atas lantai tanah di depan makam Santo Petrus. Bunda Maria, apa yang kulakukan? Ketika berbaring di Necropolis dalam keadaan sakit dan merasa dikhianati itulah sang camerlegno berdoa kepada Tuhan agar diambil dari dunia yang tanpa iman ini dan Tuhan pun datang kepadanya.

   Suara di dalam kepalanya menggema seperti gemuruh guntur. "Apakah kamu bersumpah untuk melayani Tuhanmu?"

   "Ya!" sang camerlegno berteriak.

   "Kamu bersedia mati untuk Tuhanmu?"

   "Ya. Ambil aku sekarang!"

   "Kamu bersedia mati untuk gerejamu?"

   "Ya! Tolong bebaskan aku!"

   "Tetapi bersediakah kamu mati untuk... umat manusia?' Kesunyian yang muncul setelah itulah yang membuat sang camerlegno merasa seperti jatuh ke dalam jurang yang dalam. Dia terguling lebih jauh lagi, lebih cepat lagi dan tidak terkendali. Namun demikian, dia tahu jawabannya. Dia sudah selalu tahu.

   "Ya!" dia berteriak dengan kalap. "Aku bersedia mati untuk manusia! Seperti putra-Mu, aku bersedia mati untuk mereka!"

   Beberapa jam selanjutnya, sang camerlegno masih terbaring gemetar di atas lantai. Dia melihat wajah ibunya. Tuhan mempunyai rencana untukmu, kata ibunya. Sang camerlegno semakin kalap. Saat itu Tuhan berbicara lagi. Kali ini dengan keheningan, tetapi sang camerlegno mengerti. Perbaiki keimanan mereka.

   Jika bukan aku ... lalu siapa? Jika tidak sekarang ... lalu kapan? Ketika beberapa orang Garda Swiss membuka kunci pintu Kapel Sistina, Camerlegno Carlo Ventresca merasa ada kekuatan yang mengalir di dalam pembuluh darahnya ... persis seperti ketika dia masih kecil. Tuhan telah memilihnya sejak lama.

   Ketentuan-Nya akan terlaksana.

   Sang camerlegno merasa seperti dilahirkan kembali. Garda Swiss telah membalut luka di dadanya, memandikannya dan mengganti jubahnya dengan jubah yang bersih dari bahan linen berwarna putih. Mereka juga memberinya suntikan morfin untuk melawan rasa sakit akibat luka bakarnya. Sang camerlegno tadi berharap agar mereka tidak memberinya suntikan penahan sakit. Yesus memikul rasa sakitnya selama tiga hari sebelum akhimya naik ke surga! Dia sudah dapat merasakan pengaruh obat itu mulai menguasai indranya ... dia mulai merasa pusing.

   Ketika sang camerlegno berjalan memasuki kapel, dia sama sekali tidak merasa terkejut ketika melihat para kardinal menatapnya dengan tatapan heran. Mereka terkagum-kagum dengan keajaiban Tuhan, dia mengingatkan dirinya sendiri. Mereka tidak terkagum-kagum kepadaku, tetapi kepada cara Tuhan bertindak MELALUI aku. Ketika dia bergerak di gang utama kapel itu, dia menangkap kesan kebingungan di setiap wajah kardinal-kardinal itu. Meskipun begitu, dari tiap wajah yang dilaluinya dia dapat merasakan sesuatu yang lain di mata mereka. Apakah itu? Sang camerlegno pernah membayangkan bagaimana mereka akan menerimanya malam ini. Dengan penuh kegembiraan? Dengan penuh rasa takzim? Dia berusaha membaca emosi yang terpancar dari mata mereka tapi dia tidak menemukan keduanya.

   Pada saat itulah sang camerlegno melihat Robert Langdon berdiri di altar.

   CAMERLEGNO CARLO VENTRESCA berdiri di gang utama di dalam Kapel Sistina. Semua kardinal berdiri di dekat bagian depan ruangan gereja itu sambil berpaling dan menatap ke arahnya. Robert Langdon berdiri di altar di samping pesawat televisi yang sedang menayangkan sesuatu yang tidak ada akhirnya. Sang camerlegno melihat peristiwa yang sudah tidak asing lagi di dalam layar televisi itu, tapi dia tidak dapat membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi. Vittoria Vetra berdiri di samping Robert Langdon, wajahnya menyiratkan kepedihan.

   Sang camerlegno memejamkan matanya sesaat sambil berharap morfin-lah yang membuatnya berhalusinasi sehingga ketika dia membuka matanya kembali keadaan sudah berubah. Tapi ternyata harapannya tidak terkabul.

   Mereka tahu.

   Anehnya, dia tidak merasa takut. Tunjukkan aku jalan, Bapa. Beri aku kata-kata sehingga aku dapat membuat mereka melihat visi-Mu.

   Tapi, sang camerlegno tidak mendengar jawaban.

   Bapa, kita berdua sudah terlalu jauh bertindak, jangan sampai gagal di sini sekarang.

   Senyap.

   Mereka tidak mengerti apa yang telah kita lakukan. Sang camerlegno tidak tahu suara siapa yang didengarnya di dalam hatinya, tetapi pesan itu jelas.

   Dan kebenaran akan membebaskanmu ....

   Dan itulah Camerlegno Ventresca yang menengakkan kepalanya ketika dia berjalan ke bagian depan Kapel Sistina. Ketika dia bergerak di depan para kardinal, sorot matanya sangat tajam. Bahkan keremangan sinar lilin pun tidak mampu membuatnya melunak. Jelaskan semuanya, wajah-wajah diam itu berkata. Buat kami mengerti tentang kegilaan ini. Katakan pada kami kalau yang kami takutkan itu tidak benar! Kebenaran, kata sang camerlegno pada dirinya sendiri. Hanya kebenaran. Terlalu banyak rahasia di dalam tembok ini ... salah satunya begitu gelap sehingga membuatnya gila. Tetapi dari kegilaan itu terbitlah cahaya.

   "Kalau kamu dapat memberikan hidupmu untuk menyelamatkan jutaan nyawa," kata sang camerlegno sambil berjalan di gang Kapel Sistina, "bersediakah kalian melakukannya?"

   Wajah-wajah di dalam kapel itu hanya menatapnya. Tidak seorang pun bergerak. Tidak seorang pun berbicara. Di luar dinding ini, nyanyian kegembiraan terdengar mengalun dari lapangan.

   Sang camerlegno terus berjalan ke arah mereka. "Dosa mana yang lebih besar? Membunuh musuh seseorang? Atau berdiam diri ketika melihat cinta sejatimu sedang tercekik?" Mereka menyanyi di Lapangan Santo Petrus! Sang camerlegno berhenti sesaat dan melihat ke arah langit-langit Kapel Sistina. Tuhan dalam lukisan karya Michelangelo itu seakan menatapnya ke bawah dalam keremangan sinar lilin yang menerangi ruangan itu ... dan Dia tampak senang.

   "Aku sudah tidak bisa lagi berdiam diri," kata sang camerlegno. Tapi ketika dia melangkah semakin dekat, dia tidak melihat ada orang yang memahaminya sedikitpun. Apakah mereka tidak melihat kesederhanaan dari tindakannya? Tidakkah mereka melihat kalau ini sangat penting? Semuanya sesederhana itu. Kelompok Illuminati. Ilmu pengetahuan dan Setan bergabung menjadi satu. Membangkitkan kembali ketakutan kuno. Lalu dia menghancurkannya. Ketakutan dan harapan. Buat mereka percaya lagi. Malam ini, kekuatan Illuminati dibangkitkan sekali lagi ... dan dengan konsekuensi yang mulia. Perasaan apatis telah menguap. Ketakutan telah melesat melintasi dunia seperti kilat dan menyatukan semua orang. Lalu kekuasaan Tuhan telah menaklukkan kegelapan. Aku tidak dapat berdiam diri! Inspirasi itu hanya milik Tuhan-muncul seperti suluh pada suatu malam ketika sang camerlegno m erasa begitu sengsara. Oh, dunia yang tanpa iman ini! Seseorang harus membebaskan mereka. Kamu. Kalau bukan kamu, lalu siapa? Kamu telah diselamatkan dengan satu alasan. Perlihatkan kepada mereka iblis-iblis tua itu. Ingatkan ketakutan mereka. Sikap apatis adalah kematian. Tanpa kegelapan, tidak akan ada cahaya. Gelap atau terang. Di mana ketakutan? Di mana para pahlawan? Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Sang camerlegno berjalan di gang utama dan langsung menuju ke kerumunan kardinal yang sedang berdiri menunggunya Dia merasa seperti nabi Musa yang sedang menyeberangi laut yang terbelah ketika orang-orang yang mengenakan setagen merah dan kopiah itu menyingkir di depannya untuk memberi jalan. Di altar, Robert Langdon mematikan televisi lalu menggandeng tangan Vittoria untuk mengajaknya agar meninggalkan altar. Sang camerlegno tahu kenyataan bahwa Robert Langdon selamat hanya mungkin terjadi karena Tuhan menghendakinya. Tuhan telah menyelamatkan Robert Langdon. Sang camerlegno bertanya-tanya, mengapa. Suara yang memecah kesunyian adalah suara dari satu-satunya perempuan di dalam Kapel Sistina. "Kamu membunuh ayahku!" katanya sambil melangkah ke depan. Ketika sang camerlegno berpaling ke arah Vittoria, emosi yang terlihat di wajah perempuan itu adalah hal yang tidak mampu dipahaminya. Terluka? Ya, itu masuk akal. Tapi kemarahan? Jelas Vittoria harus memahaminya. Kejeniusan ayahnya sangat berbahaya. Leonardo Vetra harus dihentikan demi kebaikan umat manusia.

   "Ayah mengerjakan pekerjaan Tuhan," kata Vittoria.

   "Pekerjaan Tuhan tidak dikerjakan di dalam laboratorium. Tetapi di dalam hati."

   "Hati ayahku murni! Dan penelitiannya membuktikan-"

   "Penelitiannya membuktikan bahwa pikiran manusia berkembang lebih cepat daripada jiwanya!" suara sang camerlegno menjadi lebih tajam daripada yang diharapkannya. Lalu sang camerlegno merendahkan suaranya. "Kalau ada orang seberiman ayahmu dapat menciptakan senjata seperti yang dilihat semua orang malam ini, bayangkan apa yang akan dilakukan oleh orang biasa dengan teknologi seperti itu."

   "Seseorang itu seperti dirimu?"

   Sang camerlegno menarik napas panjang. Apakah putri Leonardo Vetra ini tidak memahaminya? Moralitas seseorang tidak dapat meningkat secepat ilmu pengetahuan. Spiritualitas umat manusia tidak mampu bergerak lebih cepat untuk menguasai kekuatan yang mereka miliki. Kita tidak pernah menciptakan senjata untuk tidak digunakan! Tapi, dia tahu antimateri itu tidak ada artinya. Dia sama dengan senjata lain yang sudah menumpuk di dalam berbagai gudang senjata. Manusia bisa langsung menghancurkannya. Manusia belajar membunuh sesamanya sejak zaman dahulu. Dan darah ibunya turun deras seperti air hujan. Kejeniusan Leonardo Vetra berbahaya untuk alasan lain.

   "Selama berabad-abad," kata sang camerlegno, "gereja hanya berdiam diri sementara ilmu pengetahuan mengalahkan agama sedikit demi sedikit. Mereka menghancurkan keajaiban-keajaiban. Melatih pikiran untuk mendahului hati. Mengutuk agama sebagai candu bagi massa. Mereka mencela Tuhan sebagai halusinasi saja-khayalan yang hanya pantas bagi mereka yang lemah untuk menerima kehidupan yang tanpa makna seperti ini. Aku tidak dapat berdiam diri sementara ilmu pengetahuan berniat melecehkan kekuatan Tuhan! Bukti, katamu? Ya, bukti ilmu pengetahuan adalah kebodohan! Apa salahnya menerima apa yang diluar pengertian kita? Hari ketika ilmu pengetahuan menggantikan Tuhan di dalam laboratorium adalah hari di mana orang berhenti membutuhkan keyakinan!"

   "Maksudmu hari ketika manusia tidak lagi membutuhkan gereja?" tantang Vittoria sambil bergerak mendekatinya. "Keraguan adalah kontrol terakhirmu. Keraguanlah yang membawa jiwa-jiwa itu kepadamu. Kami hanya ingin tahu kalau hidup itu memiliki makna. Rasa tidak aman yang dirasakan manusia dan kebutuhan untuk mendapatkan pencerahan membuat ayahku tahu kalau semuanya adalah bagian dari sesuatu yang agung. Tapi gereja bukanlah satu-satunya jiwa yang tercerahkan di planet ini! Kita semua mencari Tuhan dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Apa yang kamu takutkan? Kalau Tuhan akan memperlihatkan d iri-Nya di suatu tempat di luar tembok ini? Kalau orang-orang akan menemukanNya dalam kehidupan mereka sehari-hari dan meninggalkan ritual kunomu itu? Agama berevolusi! Pikiran manusia selalu berusaha untuk menemukan jawaban sehingga hati mereka mampu memahami kebenaran yang baru. Pencarian ayahku sama dengan pencarianmu! Kedua-duanya berjalan bersisihan! Kenapa kamu tidak bisa memahaminya? Tuhan bukan hanya kekuatan yang melihat dari atas sana dan mengancam umatnya untuk dijebloskan ke dalam neraka kalau mereka melawannya. Tuhan adalah energi yang mengalir melalui sinapsis yang terdapat dalam sistem syaraf dan hati seluruh umat manusia! Tuhan berada di mana-mana!"

   "Kecuali dalam ilmu pengetahuan," bantah sang camerlegno dengan keras, matanya hanya memancarkan rasa kasihan. "Makna ilmu pengetahuan adalah tidak punya jiwa. Terpisah dari hati. Keajaiban intelektual seperti antimateri tiba di dunia ini tanpa mencantumkan petunjuk etis. Ini sangat berbahaya! Bagaimana mungkin ilmu pengetahuan bisa mengatakan kalau pencarian bejatnya itu sebagai jalan pencerahan? Menjanjikan jawaban untuk berbagai pertanyaan yang tidak mereka ketahui jawabannya?" Sang camerlegno menggelengkan kepalanya. "Ini tidak benar."

   Untuk sesaat, kesunyian menyelimuti Kapel Sistina. Tiba-tiba sang camerlegno merasa letih ketika dia balas menatap mata Vittoria yang masih berapi-api. Ini tidak seharusnya terjadi. Apakah ini ujian terakhir dari Tuhan? Mortati-lah yang memecahkan kesunyian itu. "Keempat preferiti," bisikannya mengandung ketakutan. "Baggia dan yang lainnya. Tolong katakan padaku, kamu tidak .... "

   Sang camerlegno berpaling kepadanya, heran karena mendengar suara Mortati yang terluka. Tentu saja Mortati dapat mengerti. Berita utama di berbagai media selalu memberitakan tentang keajaiban ilmu pengetahuan tiap hari. Tapi kapan mereka memberitakan tentang agama? Beratus-ratus tahun yang lalu. Agama membutuhkan keajaiban! Sesuatu untuk membangunkan dunia yang sedang tertidur ini. Membawa mereka kembali ke jalan kebajikan. Memperbaiki iman mereka. Para preferiti bukanlah pemimpin, mereka hanyalah pembaharu-sekelompok orang liberal yang bersiap-siap untuk memeluk dunia baru dan mengabaikan cara-cara lama! Inilah satu-satunya cara untuk menghentikan mereka. Pemimpin baru. Muda. Kuat. Penuh semangat. Pembawa keajaiban. Lebih baik para preferiti itu melayani gereja dengan membiarkan diri mereka mati daripada hidup untuk kemudian menodainya. Ketakutan dan harapan. Korbankan empat nyawa untuk menyelamatkan jutaan lainnya. Dunia akan mengenang mereka selamanya sebagai martir. Gereja akan mendapatkan pujian mulia untuk mengharumkan namanya. Berapa ribu orang yang sudah mati untuk kemuliaan Tuhan?Pengorbanan ini hanya membutuhkan empat nyawa.

   "Para preferiti?" kata Mortati mengulangi pertanyaannya.

   "Aku juga berbagi rasa sakit yang sama," kata sang camerlegno membela diri sambil menunjuk dadanya yang terluka. "Dan aku juga bersedia mati untuk Tuhan, tapi tugasku baru saja dimulai. Orang-orang kini sedang bernyanyi di Lapangan Santo Petrus."

   Sang camerlegno melihat ketakutan di mata Mortati dan sekali lagi dia merasa bingung. Apakah ini karena morfin itu? Mortati menatap anak kesayangan mendiang Paus di hadapannya ini seolah sang camerlegno-lah yang telah membunuh keempat kardinal itu dengan tangannya sendiri. Aku akan melakukan itu demi Tuhan, pikir sang camerlegno. Tetapi dia tidak melakukannya sendiri. Aksi itu dilakukan oleh si Hassassin-sebuah jiwa panas yang telah diperdayanya sehingga dia merasa dirinya bekerja untuk Illuminati. Aku Janus, sang camerlegno berkata kepadanya. Aku akan membuktikan kekuasaanku. Dan dia sudah melakukannya. Kebencian si Hassassin membuatnya menjadi bidak Tuhan.

   "Dengarkan nyanyian itu," kata sang camerlegno sambil tersenyum dan hatinya terasa kembali gembira. "Tidak ada yang menyatukan hati selain munculnya kejahatan. Bakarlah gereja, dan orang-orang akan bangkit sambil berpegangan tangan, menyanyikan himne perlawanan ketika membangun gereja itu kembali. Lihat bagaimana mereka berkerumun malam ini. Ketakutan telah membuat mereka berkumpul. Buatlah iblis-iblis modern untuk manusia modern. Sikap apatis adalah kematian. Tunjukkan pada mereka wajah kejahatan-pemuja setan menyelinap di sekitar kita, menguasai pemerintah kita, bank-bank kita, sekolah-sekolah kita, dan mengancam ingin menghancurkan Rumah Tuhan dengan ilmu pengetahuan mereka yang salah arah. Keburukan sudah merasuk begitu dalam. Manusia harus mewaspadainya. Carilah kebaikan. Jadilah kebaikan!"


Rajawali Emas Wasiat Malaikat Dewa Pendekar Rajawali Sakti Kabut Hitam Di Karang Setra Satria Gendeng Kail Naga Samudera

Cari Blog Ini