Ceritasilat Novel Online

Malaikat Dan Iblis 21


Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 21



Dalam kesunyian, sang camerlegno berharap mereka kini memahami maksudnya. Kelompok Illuminati tidak muncul kembali. Illuminati sudah lama mati. Hanya mitosnya saja yang masih hidup. Sang camerlegno telah membangkitkan Illuminati kembali sebagai pengingat. Mereka yang mengetahui sejarah Illuminati pasti menyadari kejahatan mereka. Mereka yang tidak tahu akan memahami kejahatan mereka dan menyadari betapa butanya mereka selama ini. Iblis dari masa lalu telah dibangkitkan kembali untuk membangunkan dunia yang tidak pedulian.

   "Tapi ... cap-cap itu?" Suara Mortati terdengar berusaha menahan amarahnya yang nyaris meledak. Sang camerlegno tidak menjawab pertanyaan itu. Mortati tidak tahu kalau cap-cap itu sudah disita oleh Vatican sejak satu abad yang lalu. Cap-cap itu disimpan jauh-jauh, terlupakan dan diliputi debu di Ruang Penyimpanan Kepausan-ruang pribadi milik Paus yang berfungsi untuk menyimpan berbagai peninggalan kuno yang tersembunyi di apartemennya di Borgia. Tempat penyimpanan ini berisi berbagai benda yang dianggap terlalu berbahaya oleh gereja untuk dilihat oleh orang lain kecuali Paus sendiri. Kenapa mereka menyembunyikan sesuatu yang bisa menimbulkan ketakutan? Ketakutan malah membuat orang mendekati Tuhan! Kunci tempat penyimpanan itu diwariskan dari satu paus ke paus berikutnya. Camerlegno Carlo Ventresca mencuri kunci itu dan menggeledah ruangan tersebut dan menemukan isinya yang sangat menakjubkan, seperti manuskrip asli yang terdiri atas empat belas buku Alkitab, yang tidak dipublikasikan dan dikenal dengan nama Apocrypha, dan ramalan ketiga dari Fatima, di mana dua ramalan sebelumnya sudah menjadi kenyataan sementara yang ketiga membuat gereja sangat ketakutan sehingga memutuskan untuk tidak mengungkapkannya. Tapi yang paling hebat adalah sang camerlegno menemukan koleksi benda-benda Illuminati beserta semua rahasia yang ditemukan gereja setelah mengusir kelompok itu dari Roma ... Jalan Pencerahan yang kejam itu ... penipuan licik yang dilakukan seniman utama Vatican bernama Bernini ... sekelompok ilmuwan ternama bersama-sama mengejek agama ketika mereka bertemu secara diam-diam di dalam Kastil Santo Angelo yang merupakan gedung milik Vatican sendiri. Koleksi barang-barang itu termasuk kotak berbentuk segi lima yang berisi lima cap yang terbuat dari besi, salah satu di antaranya adalah Berlian Illuminati yang legendaris itu. Ini adalah bagian dari sejarah Vatican yang lebih baik dilupakan saja. Tapi sang camerlegno ternyata tidak setuju dengan pendapat itu.

   "Tetapi antimateri itu ..." tanya Vittoria. "Kamu berisiko menghancurkan Vatican!"

   "Tidak ada risiko ketika Tuhan berada di sisimu," kata sang camerlegno. "Ini adalah urusan Tuhan."

   "Kamu gila!" desis Vittoria.

   "Jutaan orang selamat."

   "Banyak orang yang terbunuh!"

   "Banyak nyawa yang selamat."

   "Katakan itu kepada ayahku dan Max Kohler!"

   "Kesombongan CERN harus diungkapkan ke seluruh dunia. Setetes cairan yang bisa menghancurkan semuanya dalam radius setengah mil? Dan kamu menyebutku gila?" Kemarahan sang camerlegno semakin membara di dalam hatinya. Mereka pikir ini tugas sederhana yang harus dipikulnya sendiri? "Bagi siapa saja yang memercayai ujian terbesar yang diberikan Tuhan di masa lalu pasti ingat semua ini. Tuhan menyuruh Ibrahim untuk mengorbankan putranya! Tuhan menyuruh Yesus untuk menahan rasa sakit ketika disalib! Sehingga kita sekarang menggantung simbol salib di depan mata kita yang memperlihatkan Yesus yang berdarah, menahan rasa sakit dan menderita, agar kita ingat akan kekuatan jahat! Untuk membuat hati kita waspada! Luka-luka di tubuh Yesus terus mengingatkan kita bahwa kekuata n jahat itu masih ada! Luka di dadaku adalah pengingat itu! Kejahatan merajalela tetapi kekuasaan Tuhan akan menghadapinya!"

   Teriakannya menggema dan menembus dinding Kapel Sistina sehingga membuat ruangan itu menjadi sangat sunyi. Waktu tampak berhenti. Lukisan karya Michelangelo berjudul Pengadilan Terakhir, menjulang menyeramkan di belakang sang camerlegno ... Yesus memasukkan para pendosa ke neraka. Air mata mengambang di mata Mortati.

   "Apa yang telah kamu lakukan, Carlo?" tanya Mortati sambil berbisik. Dia lalu memejamkan matanya dan air matanya pun bergulir. "Bagaimana dengan Sri Paus?"

   Suara desahan kesedihan terdengar bersamaan, seolah semua orang di ruangan itu sudah lupa akan Paus dan baru teringat saat itu juga. Mendiang Paus meninggal karena diracun.

   "Dia hanya seorang pembohong," kata sang camerlegno. Mortati tampak hancur hatinya. "Apa maksudmu? Beliau orang yang jujur! Beliau ... mencintaimu."

   "Dan aku juga mencintainya." Oh, betapa aku mencintainya! Tetapi dia berbohongl Dia melanggar sumpahnya kepada Tuhan! Sang camerlegno tahu saat ini mereka mungkin tidak mengerti, tetapi mereka nanti akan mengerti. Ketika dia mengatakannya di hadapan mereka semua, mereka akan memahaminya! Mendiang Paus adalah penipu paling keji yang pernah dikenal gereja. Sang camerlegno masih ingat malam mengerikan itu. Dia baru saja kembali dari perjalanannya mengunjungi CERN dan membawa berita tentang penciptaan alam semesta karya Vetra dan kekuatan antimateri yang menakutkan itu. Sang camerlegno yakin Paus bisa melihat kejahatan dalam penemuan ilmuwan itu, tapi Sri Paus hanya melihat harapan dalam terobosan yang dibuat oleh Vetra. Dia bahkan menyarankan agar Vatican mendanai penelitian Vetra sebagai isyarat niat baik dari gereja agar dapat menciptakan spiritualitas yang berdasarkan pada penelitian ilmiah. Ini gila! Gereja mendanai penelitian yang akan membuat gereja tampak ketinggalan zaman? Karya yang menghasilkan senjata pemusnah massal? Bom yang telah membunuh ibunya "Tetapi ... kamu tidak bisa!" seru sang camerlegno.

   "Aku berhutang sangat besar kepada ilmu pengetahuan," jawab Paus. "Sesuatu yang sudah aku sembunyikan sepanjang hidupku. Ilmu pengetahuan telah memberiku hadiah ketika aku masih muda. Sebuah hadiah yang tidak pernah kulupakan."

   "Aku tidak mengerti. Apa yang ditawarkan ilmu pengetahuan kepada hamba Tuhan?"

   "Itu rumit," kata Paus. "Membutuhkan waktu yang lama untuk membuatmu mengerti. Tetapi pertama-tama, ada fakta sederhana tentang diriku yang harus kamu ketahui. Aku sudah menyimpan rahasia ini selama bertahun-tahun. Aku percaya inilah waktu yang tepat untuk mengatakannya kepadamu."

   Lalu Paus mengatakan kepadanya tentang kebenaran yang sangat mencengangkan itu.

   SANG CAMERLEGNO BERBARING meringkuk di atas tanah di depan makam Santo Petrus. Udara di Necropolis dingin, tetapi itu membuat darah yang mengalir dari luka yang telah dibuatnya di tubuhnya sendiri, membeku. Sri Paus tidak akan menemukannya di sini. Tidak seorang pun akan menemukannya di sini ....

   "Itu rumit," suara Paus bergema di dalam benaknya. "Membutuhkan waktu yang lama untuk membuatmu mengerti"

   Tetapi sang camerlegno tahu tidak ada waktu tertentu yang dapat membuatnya mengerti.

   Pembohong! Aku memercayaimu! TUHAN percaya padamu! Dengan satu kalimat, Paus telah membuat dunia sang camerlegno hancur berantakan. Semua yang pernah dipercaya sang camerlegno tentang mentornya itu telah hancur berkeping-keping di depan matanya. Kebenaran itu menembus jantung sang camerlegno dengan kekuatan yang membuatnya terhuyung-huyung ke belakang, kemudian mendorongnya keluar dari Kantor Paus dan membuatnya muntah di koridor.

   "Tunggu!" teriak Paus sambil mengejarnya. "Kumohon. Biarkan aku menjelaskannya!"

   Tetapi sang camerlegno terus berlari. Bagaimana Sri Paus berharap dia bisa tahan mendengarkan kebohongan ini? Oh, kebejatan yang luar biasa! Bagaimana kalau ada orang lain yang mengetahuinya? Bayangkan bagaimana gereja akan ternoda karenanya! Apakah sumpah suci Paus tidak berarti apa-apa? Kegilaan itu datang dengan cepat, menderu-deru di telinganya sampai dia terjaga di depan makam Santo Petrus. Saat itulah Tuhan datang kepadanya dengan ketegasan yang mengagumkan.

   TUHANMU ADALAH TUHAN YANG PENUH DENDAM! Bersama-sama, mereka membuat rencana. Bersama-sama, mereka akan melindungi gereja. Bersama-sama, mereka akan memperbaiki iman di dunia yang dipenuhi dosa ini. Kejahatan ada di mana-mana. Tapi dunia tidak menanggapinya! Bersama-sama, mereka akan menguak kegelapan agar dunia melihatnya ... dan Tuhan akan mengatasi semuanya! Ketakutan dan harapan. Kemudian dunia akan percaya! Ujian pertama dari Tuhan tidak terlalu menakutkan dibandingkan dengan apa yang dibayangkan sang camerlegno. Dia menyelinap ke kamar tidur Paus ... mengisi tabung suntiknya ... lalu menutup mulut pembohong itu ketika tubuhnya mengejang sekarat. Di bawah sinar rembulan, sang camerlegno dapat melihat di mata Paus yang sedang meregang nyawa kalau Yang Mulia ingin mengatakan sesuatu.

   Tetapi terlambat.

   Paus sudah cukup berkata-kata.

   "MENDIANG PAUS MEMILIKI seorang anak."

   Di dalam Kapel Sistina sang camerlegno berdiri tidak bergerak ketika dia berbicara. Lima kata itu terucap dan mengungkapkan kenyataan yang mencengangkan. Kerumunan di hadapannya terlihat tersentak bersamaan. Para kardinal yang tadinya menampakkan wajah yang menuduh kini berubah menjadi terguncang seolah mereka semua berdoa agar kata-kata sang camerlegno tadi tidak benar.

   Mendiang Paus memiliki seorang anak.

   Langdon juga tak kalah terkejut. Tangan Vittoria menjadi kaku di dalam genggamannya, sementara Langdon masih tidak percaya akan apa yang baru saja didengarnya tadi.

   Kata-kata sang camerlegno tampak seperti menggantung di atas mereka. Bahkan di mata sang camerlegno yang sekarang terlihat kalap, Langdon melihat kebenaran yang sesungguhnya. Langdon ingin melarikan diri dan mengatakan pada dirinya sendiri kalau dia sekarang sedang mengalami mimpi buruk yang aneh dan sebentar lagi dia akan terjaga di dunia yang lebih masuk akal.

   "Itu pasti bohong!" salah satu kardinal berteriak.

   "Aku tidak akan memercayainya!" yang lainnya protes. "Mendiang Paus adalah orang yang sangat beriman sepanjang hidupnya!"

   Mortatilah yang berbicara kemudian, suaranya terdengar tipis karena rasa sedih yang dideritanya. "Teman-temanku, apa yang dikatakan sang camerlegno itu benar." Semua kardinal di kapel itu berpaling seolah Mortati baru saja meneriakkan sesuatu yang cabul. "Mendiang Paus memang memiliki seorang anak."

   Wajah para kardinal menjadi pucat pasi.

   Sang camerlegno tampak terpaku. "Kamu tahu? Tetapi ... bagaimana kamu bisa tahu tentang hal ini?"

   Mortati mendesah. "Ketika mendiang Paus terpilih ... akulah yang menjadi Devil's Advocate."

   Semua orang menarik napas karena terkejut.

   Langdon mengerti. Ini berarti informasi tersebut mungkin benar. Skandal yang dimiliki seorang paus adalah hal yang berbahaya sehingga sebelum seorang kardinal terpilih, diadakan penyelidikan rahasia untuk mengetahui latar belakang sang calon yang dilakukan oleh seorang kardinal yang bertindak sebagai Devil's Advocate. Pejabat ini bertanggung jawab untuk menemukan alasan kenapa seorang kardinal yang memenuhi syarat dianggap tidak bisa diangkat sebagai paus. Pejabat ini dipilih oleh paus terdahulu sebelum beliau meninggal untuk memastikan agar penggantinya nanti adalah orang yang bersih. Seorang Devil's Advocate tidak boleh mengungkapkan identitasnya kepada siapa pun. Tidak pernah boleh.

   "Aku adalah Devil's Advocate ketika itu," ulang Mortati. "Karena itulah aku mengetahuinya."

   Semua mulut ternganga. Sepertinya malam ini adalah malam di mana semua peraturan sudah tidak berlaku lagi.

   Sang camerlegno merasa sangat marah. "Dan kamu ... tidak mengatakannya kepada siapa-siapa?"

   "Aku menghujani mendiang Paus dengan berbagai pertanyaan," kata Mortati. "Dan beliau mengakuinya. Beliau menceritakan semuanya dan hanya memintaku untuk menggunakan hatiku untuk membimbingku dalam membuat keputusan apakah aku harus mengungkapkannya atau tidak."

   "Dan hatimu menyuruhmu untuk mengubur informasi tersebut?"

   "Beliau adalah calon yang paling kami andalk an untuk menjadi paus. Masyarakat mencintai beliau. Skandal itu akan sangat melukai gereja."

   "Tetapi dia memiliki seorang anak! Dia melanggar sumpah sucinya untuk tetap tidak menikah!" Sang camerlegno sekarang berteriak. Dia dapat mendengar suara ibunya Janji kepada Tuhan adalah janji yang paling penting dari segalanya. Jangan pernah melanggar janji kepada Tuhan. "Sri Paus melanggar sumpahnya!"

   Mortati tampak resah. "Carlo, cinta beliau ... murni. Beliau tidak melanggar sumpah apa pun. Memangnya beliau tidak menjelaskannya padamu?"

   "Menjelaskan apa?" Sang camerlegno ingat ketika dia berlari keluar dari Kantor Paus dan mentornya itu mengejarnya sambil berteriak. Biar aku jelaskan! Dengan perlahan dan dipenuhi oleh kesedihan, Mortati membiarkan kisah itu terbuka seluruhnya. Beberapa tahun silam, Paus, ketika masih sebagai pastor biasa, jatuh cinta dengan seorang biarawati muda. Keduanya telah bersumpah untuk tidak menikah dan sama sekali tidak pernah berniat untuk melanggar janji mereka kepada Tuhan. Tapi, ketika cinta mereka semakin mendalam, walau mereka mampu menahan godaan nafsu, mereka berdua sama-sama merindukan sesuatu yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. ikut berpartisipasi dalam keajaiban penciptaan milik Tuhan-seorang anak. Anak mereka. Kerinduan itu, terutama di dalam diri sang biarawati, semakin menjadi-jadi. Tapi, mereka tetap ingat janji mereka kepada Tuhan. Satu tahun kemudian, ketika keputusasaan yang mereka rasakan semakin memuncak, biarawati itu datang kepadanya dengan penuh rasa suka cita. Dia baru saja membaca sebuah artikel tentang keajaiban baru di dunia ilmu pengetahuan- proses di mana dua orang bisa memiliki anak tanpa harus berhubungan seks. Biarawati itu merasa ini adalah pertanda dari Tuhan. Pastor itu juga dapat melihat kebahagiaan di mata kekasihnya dan kemudian menyetujui gagasannya. Satu tahun kemudian, biarawati itu memiliki anak melalui keajaiban inseminasi buatan.

   "Itu tidak ... benar," kata sang camerlegno dengan rasa panik dan berharap itu hanya reaksi yang dirasakannya dari suntikan morfin yang diterimanya tadi sehingga membuatnya berhalusinasi. Tapi kata-kata yang didengarnya itu sangat jelas. Air mata Mortati sekarang mengembang di matanya. "Carlo, karena itulah kenapa mendiang Paus selalu mencintai ilmu pengetahuan. Dia merasa berhutang besar kepadanya. Ilmu pengetahuan memberinya kesempatan untuk merasakan kegembiraan menjadi seorang ayah tanpa melanggar sumpah sucinya. Mendiang Paus mengatakan padaku beliau tidak menyesal, kecuali satu hal. kedudukannya yang tinggi di gereja ini melarangnya untuk bersama-sama dengan perempuan yang dicintainya dan melihat bayinya tumbuh besar."

   Camerlegno Carlo Ventresca merasa kemarahannya mulai muncul lagi. Dia sangat ingin mencakari tubuhnya sendiri. Bagaimana aku tidak mengetahuinya? "Sri Paus tidak berdosa, Carlo. Beliau suci."

   "Tetapi Sang camerlegno mencari alasan yang masuk akal di dalam pikirannya yang sudah dipenuhi oleh kemarahan. "Pikirkan risiko ... akibat perbuatannya itu." Suaranya menjadi lemah. "Bagaimana kalau perempuan jalang itu muncul? Atau, oh jangan sampai terjadi, anaknya muncul? Bayangkan rasa malu yang harus diderita oleh gereja."

   Suara Mortati bergetar. "Anak itu sudah muncul ke hadapan umum."

   Semuanya berhenti. Mortati berkata dengan hati hancur. "Carlo ... ? Anak mendiang Paus adalah ... kamu."

   Pada saat itu sang camerlegno dapat merasakan api imannya meredup di dalam hatinya. Dia berdiri gemetar di atas altar, dibingkai oleh lukisan Pengadilan Terakhir, karya Michelangelo yang menjulang tinggi. Dia tahu dia sudah berada di bibir neraka sekarang. Dia membuka mulut untuk berbicara, tapi bibirnya gemetar dan tidak mampu untuk mengucapkan apa-apa.

   "Tidakkah kamu memahaminya?" suara Mortati tercekat. "Karena itulah mendiang Paus datang menjengukmu di rumah sakit di Palermo ketika kamu masih anak-anak. Karena itulah beliau mengambilmu dan membesarkanmu. Biarawati yang dicintainya adalah Maria ... ibumu. Ibumu meninggalkan biara untuk membesarkanmu, tetapi ibumu tidak pernah meninggalkan pengabdiannya k epada Tuhan. Ketika Paus mendengar ibumu telah meninggal dunia dalam ledakan bom itu, dan kamu, putranya, secara ajaib selamat dari peristiwa mengerikan itu ... beliau bersumpah kepada Tuhan tidak akan meninggalkanmu sendirian lagi. Carlo, kedua orang tuamu masih suci. Mereka tetap berpegang teguh pada sumpah mereka kepada Tuhan. Namun mereka menemukan cara untuk melahirkanmu ke dunia. Kamu adalah anak ajaib mereka."

   Sang camerlegno menutup telinganya, berusaha untuk menghalangi kata-kata itu agar tidak masuk ke telinganya. Dia berdiri lemas di atas altar. Lalu, dengan dunia yang terasa ambruk di bawah kakinya, dia jatuh berlutut dan mengeluarkan teriakan yang sangat menyedihkan.

   Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam.

   Waktu seperti telah kehilangan artinya di dalam ruangan Kapel Sistina. Vittoria merasa dirinya berhasil keluar dari kebekuan yang seolah membelenggu semua orang di dalam ruangan ini. Dia kemudian melepaskan tangannya dari genggaman Langdon dan mulai menyibak kerumunan kardinal di sekitarnya. Pintu kapel serasa bermil-mil jauhnya, dan dia merasa seperti bergerak di bawah air ... gerakannya menjadi berat dan lambat.

   Ketika Vittoria berjalan di antara jubah-jubah para kardinal yang berdiri di dalam Kapel Sistina, gerakannya itu seperti membangunkan mereka dari mimpi buruk ini. Beberapa orang kardinal mulai berdoa. Yang lainnya menangis. Beberapa di antaranya menoleh dan hanya menatap kosong ke arah Vittoria yang bergerak meninggalkan mereka. Tapi keterkejutan mereka akibat kata-kata yang diucapkan Mortati tadi mulai menguap ketika mereka melihat Vittoria mendekati pintu. Dia hampir sampai ke ujung kerumunan itu ketika sebuah tangan menangkap lengannya. Sentuhannya lemah tapi tegas. Vittoria berpaling dan berhadapan dengan seorang kardinal tua berwajah keriput. Wajahnya masih dibayangi oleh ketakutan.

   "Jangan," bisik kardinal tua itu. "Kamu tidak boleh."

   Vittoria menatapnya dengan pandangan ragu-ragu.

   Kardinal yang lainnya kini juga berada di sampingnya. "Kita harus berpikir sebelum bertindak."

   Dan yang lainnya lagi. "Keadaan yang menyakitkan ini akan mengakibatkan .... "

   Vittoria seperti dikepung oleh sekumpulan kakek-kakek yang mengenakan jubah. Dia menatap ke arah mereka semua dan terpaku. "Tetapi semua yang terjadi di sini, hari ini, malam ini ... tentu saja, semua orang harus mengetahui yang sebenarnya."

   "Hatiku setuju," kata kardinal berwajah keriput itu sambil tetap memegang tangan Vittoria, "tapi ini adalah kejadian yang tidak bisa diperbaiki dan diulang dari awal lagi. Kita harus mempertimbangkan harapan orang lain yang akan hancur karenanya. Rasa sinis yang kemudian berkembang. Bagaimana orang bisa percaya lagi?"

   Tiba-tiba, para kardinal berdatangan dan menghalangi jalannya. Kini terlihat tembok dari jubah hitam di hadapannya. "Dengarkan orang-orang yang berada di lapangan itu," salah seorang berkata. "Pikirkan akibatnya bagi hati mereka? Kita harus belajar untuk bersikap bijaksana."

   "Kami perlu waktu untuk berpikir dan berdoa," yang lainnya berkata. "Kita harus bertindak dengan perhitungan. Akibat dari ini semua .... "

   "Dia membunuh ayahku!" kata Vittoria. "Dia membunuh ayahnya sendiri!"

   "Aku yakin dia akan menanggung dosanya," kata kardinal yang memegangi tangan Vittoria dengan sedih. Vittoria juga yakin begitu, dan dia berniat untuk memastikan agar sang camerlegno benar-benar menanggung semua dosa-dosanya. Lalu dia mencoba bergerak ke arah pintu lagi, tetapi para kardinal berkerumun dengan lebih rapat. Wajah mereka dilingkupi oleh ketakutan.

   "Apa yang akan kalian lakukan?" teriak Vittoria "Membunuhku?"

   Sekumpulan lelaki tua itu langsung pucat pasi mendengar teriakan Vittoria sehingga membuatnya menyesal karena bertindak kasar kepada mereka. Dia dapat melihat kalau para kardinal itu berjiwa lembut. Mereka telah melihat cukup banyak kekerasan malam ini. Mereka tidak berniat mengancamnya. Mereka hanya terperangkap. Ketakutan, dan berusaha mendapatkan kekuatan untuk menghadapi kenyataan ini.

   "Aku ingin ..." kata kardinal berwajah keriput itu dengan tergagap, "... me lakukan sesuatu yang benar."

   "Kalau begitu, biarkan dia keluar," suara berat dari seorang lelaki dengan aksen Amerika terdengar berkata di belakang Vittoria. Kata-kata itu tenang tetapi tegas. Robert Langdon kemudian tiba di samping Vittoria, dan putri Leonardo Vetra itu merasa tangan lelaki itu menggenggam tangannya.

   "Nona Vetra dan aku akan pergi dari kapel ini. Sekarang."

   Dengan ragu-ragu, para kardinal itu mulai melangkah menepi.

   "Tunggu!" seru Mortati. Dia sekarang bergerak ke arah mereka, berjalan dengan tenang di gang utama dan meninggalkan sang camerlegno yang sedang terpuruk sendirian di altar. Tiba-tiba saja Mortati tampak letih dan lebih tua dari usia sesungguhnya. Gerakannya terbebani oleh rasa malu yang dirasakannya. Ketika dia tiba di samping Vittoria, dia meletakkan kedua tangannya di atas bahu Langdon dan bahu Vittoria. Vittoria merasakan ketulusan dalam sentuhan itu. Mata lelaki tua itu semakin basah oleh airmata.

   "Tentu saja kalian bebas untuk pergi," kata Mortati. "Tentu saja." Lelaki itu berhenti sejenak karena tidak mampu menyembunyikan dukanya. "Aku hanya meminta ini .... " Dia lalu menatap ke lantai untuk beberapa saat, kemudian mendongak kembali dan menatap Vittoria dan Langdon.

   "Biarkan aku yang melakukannya. Aku akan pergi ke Lapangan Santo Petrus sekarang dan mencari jalan keluar. Aku akan mengatakannya kepada mereka. Aku tidak tahu bagaimana caranya ... tetapi aku akan menemukannya. Pengakuan gereja harus datang dari dalam. Seharusnya kami yang mengungkapkan kegagalan kami sendiri."

   Mortati berpaling dengan wajah sedih ke altar. "Carlo, kamu telah membuat gereja berada dalam bahaya." Mortati berhenti kemudian melihat ke sekelilingnya. Altar itu sudah kosong.

   Terdengar suara gemersik kain di gang yang terdapat di sisi dinding, kemudian terdengar bunyi pintu yang terkunci. Sang camerlegno sudah pergi.

   JUBAH PUTIH CAMERLEGNO Ventresca berkibar-kibar ketika dia berjalan di sepanjang koridor saat meninggalkan Kapel Sistina. Garda Swiss yang menjaga tampak terpaku ketika sang camerlegno keluar sendirian dari kapel, tapi lelaki itu mengatakan kepada mereka kalau dirinya ingin sendirian saja. Mereka mematuhinya dan membiarkannya pergi.

   Sekarang, ketika sang camerlegno membelok di sudut, dan menghilang dari pandangan para Garda Swiss, dia merasakan berbagai emosi yang tidak mungkin dialami oleh orang kebanyakan. Dia telah meracuni seseorang yang dia panggil "bapa suci", orang yang memanggilnya "anakku". Sang camerlegno selalu percaya kalau kata "bapa" dan "anak" adalah bagian dari tradisi yang religius, tapi kini dia mengetahui kenyataan yang kejam-kata-kata itu juga bermakna harfiah baginya.

   Seperti malam yang dipenuhi oleh peristiwa yang mengerikan beberapa minggu yang lalu, sang camerlegno kini kembali merasakan kemarahan yang luar biasa ketika menyusuri kegelapan.

   Saat itu adalah pagi yang dihiasi hujan ketika seorang pegawai Vatican menggedor pintu sang camerlegno untuk membangunkannya dari tidurnya yang dipenuhi dengan kegelisahan. Mereka berkata Sri Paus tidak menjawab ketukan di pintu kamarnya maupun mengangkat telepon di ruang tidurnya. Pastor itu ketakutan. Sang camerlegno adalah satu-satunya orang yang boleh memasuki kamar Paus tanpa izin khusus.

   Sang camerlegno sendiri yang masuk ke kamar Paus dan menemukannya terbujur kaku di atas tempat tidurnya seperti ketika dia meninggalkannya pada malam sebelumnya. Wajah Sri Paus terlihat seperti setan. Lidahnya menghitam seperti kematian itu sendiri. Sepertinya iblis sendiri yang tidur di pembaringan Paus.

   Sang camerlegno tidak merasa menyesal. Tuhan telah berbicara.

   Tidak seorang pun dapat melihat pengkhianatan itu ... belum. Itu akan muncul nanti.

   Lalu dia mengumumkan berita menyedihkan itu. Sri Paus wafat karena stroke. Sang camerlegno kemudian mempersiapkan rapat pemilihan paus.

   Suara Bunda Maria berbisik di telinganya. "Jangan pernah mengingkari janji kepada Tuhan."

   "Aku mendengarmu, Bunda," jawabnya. "Ini adalah dunia tanpa iman. Mereka harus dibawa kembali ke jalan kebenaran. Ketakutan dan harapan. Itu satu-satunya jalan."

   "Ya," sahut Bunda Maria, "jika bukan kamu ... lalu siapa? Siapa yang akan memimpin gereja keluar dari kegelapan?"

   Jelas bukan salah satu daripreferiti itu. Mereka sudah tua ... sebentar lagi meninggal ... orang-orang liberal yang akan mengikuti jejak mendiang Paus, mendukung ilmu pengetahuan, mencari pengikut dari kelompok modern dengan mengabaikan cara-cara kuno. Orang-orang tua yang ketinggalan zaman dan berpura-pura kalau mereka tidak demikian. Mereka tentu saja akan gagal. Kekuatan gereja adalah pada tradisi yang dimilikinya, bukan orang yang berada di dalamnya. Dunia tidak kekal. Gereja tidak perlu berubah, gereja hanya harus mengingatkan kepada dunia kalau institusi ini masih relevan! Kejahatan masih berkeliaran! Tuhan akan menghadapinya! Gereja membutuhkan seorang pemimpin. Orang tua tidak memberikan inspirasi! Yesus memberikan inspirasi! Muda, bersemangat, kuat ... AJAIB.

   "Nikmati teh Anda," kata sang camerlegno pada keempat preferiti itu ketika menjamu mereka di ruang perpustakaan pribadi Paus sebelum acara rapat dimulai. "Pemandu Anda akan segera datang."

   Para preferiti itu berterima kasih kepadanya untuk semua kesempatan yang ditawarkan kepada mereka seperti kesempatan memasuki Passetto yang terkenal itu. Sangat luar biasa! Sang camerlegno, sebelum meninggalkan mereka di ruang perpustakaan, telah membuka pintu ke Passetto. Kemudian, tepat pada waktu yang telah dijadwalkan, pintu itu terbuka. Seorang pastor berwajah asing dengan obor di tangan kemudian mengantar preferiti yang gembira itu untuk memasuki Passetto.

   Orang-orang itu tidak pernah keluar lagi dari situ.

   Mereka akan membawa ketakutan. Sedangkan aku akan memberikan harapan.

   Tidak... akulah ketakutan itu.

   Sang camerlegno sekarang berjalan terhuyung-huyung di dalam kegelapan Basilika Santo Petrus. Bahkan ketika tenggelam dalam kegilaan dan perasaan bersalah, dihantui oleh bayangan ayahnya sendiri, merasakan kesedihan dan menerima pengungkapan yang begitu mengejutkan, dan dipengaruhi oleh morfin ... dia menemukan kejelasan yang cemerlang. Perasaan kalau dia tahu takdirnya. Aku tahu tujuanku, katanya dalam hati dan merasa terpesona dengan kejernihan yang dirasakannya itu.

   Sejak awal, semua kejadian yang terjadi malam ini tidak ada yang berjalan sesuai rencana. Halangan-halangan yang tidak terduga muncul tanpa diduga-duga, tapi sang camerlegno berhasil menyesuaikan diri dan membuat penyesuaian yang berani. Meskipun demikian, dia tidak pernah membayangkan malam ini akan berakhir seperti ini, tapi kini dia melihat keagungan di balik itu.

   Ini harus diakhiri dengan cemerlang juga.

   Oh, betapa dia merasa begitu ketakutan ketika berada di Kapel Sistina tadi karena merasa seperti Tuhan telah mengabaikannya! Oh, tindakan yang telah ditakdirkan-Nya! Sang camerlegno jatuh berlutut dan diselimuti kebimbangan sementara telinganya menanti-nanti suara Tuhan. Tetapi dia hanya mendengar kesunyian. Dia memohon untuk diberi sebuah tanda. Petunjuk. Pengarahan. Apakah ini yang dikehendaki Tuhan? Gereja dihancurkan oleh skandal dan kebencian? Tidak! Tuhan-lah satu-satunya yang menakdirkan sang camerlegno untuk bertindak! Begitu, bukan? Kemudian dia melihatnya sedang duduk di altar. Sebuah tanda. Komunikasi suci. Sesuatu yang biasa terlihat dalam sinar yang tidak biasa. Salib sederhana dari kayu. Yesus yang sedang disalib. Pada saat itu, semuanya menjadi jelas ... sang camerlegno tidak sendirian. Dia tidak pernah sendirian.

   Ini kehendak-Nya... Maksud-Nya.

   Tuhan selalu meminta pengorbanan besar dari mereka yang sangat dicintai-Nya. Mengapa sang camerlegno begitu lambat untuk memahaminya? Apakah dia terlalu ketakutan? Terlalu rendah diri? Semuanya itu tidak masalah. Tuhan selalu menemukan cara untuk merengkuhnya. Sekarang sang camerlegno mengerti kenapa Robert Langdon telah diselamatkan. Dia selamat untuk membawa kebenaran. Untuk mempercepat akhir dari pengorbanan ini.

   Ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan gereja! Sang camerlegno merasa seperti melayang ketika dia menuruni tangga yang menuju ke Niche of the Palliums. Pengaruh morfin it u terasa semakin menguat, tetapi dia tahu Tuhan sedang mengarahkannya.

   Dari kejauhan, dia dapat mendengar para kardinal berteriak-teriak kebingungan ketika menghambur keluar dari kapel dan memberikan perintah kepada Garda Swiss.

   Tetapi mereka tidak akan menemukannya. Tidak tepat pada waktunya.

   Sang camerlegno merasa dirinya hanyut ... lebih cepat ... menuruni tangga menuju ke lantai cekung yang diterangi oleh 99 lampu minyak yang bersinar terang. Tuhan sedang mengembalikannya ke Tanah Suci. Sang camerlegno bergerak ke arah sarangan penutup lubang yang menuju ke Necropolis. Di Necropolis itulah malam ini akan berakhir. Dalam kegelapan yang suci di bawah tanah. Dia kemudian mengambil sebuah lampu minyak dan bersiap untuk turun.

   Tetapi ketika dia mulai bergerak menyeberangi ruangan itu, sang camerlegno berhenti sejenak. Ada yang salah tentang hal ini. Bagaimana ini bisa menunjukkan pengabdiannya kepada Tuhan? Akhir yang sunyi dan sendirian? Yesus menderita di depan mata semua orang. Pasti ini bukan kehendak Tuhan! Sang camerlegno berusaha mendengarkan suara Tuhan, tapi yang didengarnya hanya dengung samar dari pengaruh obat yang diterimanya tadi.

   "Carlo," Itu suara ibunya. "Tuhan mempunyai rencana untukmu."

   Dengan bingung, sang camerlegno terus berjalan. Kemudian tiba-tiba, Tuhan datang.

   Sang camerlegno tersentak berhenti, dan menatap dengan pandangan terkejut. Cahaya dari 99 lampu minyak itu membuat bayangan sang camerlegno terpantul di dinding pualam di sampingnya. Besar dan menakutkan. Sesosok buram itu dikelilingi oleh cahaya keemasan di sekitarnya. Dengan nyala api yang berpendar di sekelilingnya, sang camerlegno tampak seperti malaikat yang turun dari surga. Dia berdiri sesaat, kemudian mengembangkan lengannya dan memerhatikan bayangannya sendiri. Lalu dia berputar dan menatap kembali ke atas. Maksud Tuhan sangat jelas.

   Tiga menit telah berlalu di koridor yang hiruk-pikuk di luar Kapel Sistina, tapi tidak ada seorang pun yang bisa menemukan sang camerlegno. Seolah lelaki itu hilang tertelan malam. Mortati baru saja hendak memerintahkan pencarian di seluruh Vatican City ketika terdengar suara sorak sorai dari Lapangan Santo Petrus. Suasana perayaan spontan yang muncul dalam kerumunan itu begitu riuh. Para kardinal saling bertatapan.

   Mortati memejamkan matanya. "Tuhan, tolong kami."

   Untuk kedua kalinya pada malam ini, Dewan Kardinal membanjir ke Lapangan Santo Petrus. Langdon dan Vittoria terseret bersama iring-iringan kardinal yang menghambur ke luar. Lampu kamera dari seluruh media merekam ke bagian depan Basilika Santo Petrus. Dan di sana, baru saja melangkah ke luar untuk menuju ke Balkon Kepausan yang terletak di tepat di tengah-tengah bagian depan Basilika Santo Petrus yang menjulang itu, Camerlegno Carlo Ventresca berdiri dengan kedua lengan terangkat ke langit. Dari kejauhan, dia terlihat mirip dengan penjelmaan suci. Sesosok tubuh dengan baju berwarna putih yang disirami oleh cahaya lampu.

   Energi di lapangan itu tampak meningkat seperti ombak pasang sehingga membuat barisan Garda Swiss yang memagari bagian depan gereja kewalahan. Massa mengalir ke arah Basilika Santo Petrus dalam kegembiraan atas kemenangan umat manusia. Orang-orang menangis, bernyanyi, kamera media berkilat-kilat. Semuanya kacau balau. Ketika orang-orang membanjiri bagian depan Basilika Santo Petrus, kehebohan ini terus menguat seperti tidak seorang pun yang mampu menghentikannya.

   Dan kemudian, sesuatu menghentikannya.

   Tinggi di atas atap, sang camerlegno membuat isyarat kecil. Dia melipat tangannya di dadanya. Lalu dia menundukkan kepalanya dan berdoa lirih. Satu demi satu, orang-orang itu menundukkan kepala bersamanya.

   Lapangan itu menjadi sunyi ... seolah sebuah mantera telah diucapkan.

   Di dalam kepalanya yang kini terasa semakin pusing, doa sang camerlegno adalah gelombang harapan dan penderitaan ... maafkan aku, Bapa ... Bunda ... dengan segala hormat ... kalian adalah gereja ... semoga kalian mengerti pengorbanan dari anakmu satu-satunya.

   Oh, Yesusku ... selamatkan kami dari api neraka ... bawa semua jiwa ini ke surg a, terutama mereka yang sangat membutuhkan belas kasihmu ....

   Sang camerlegno tidak membuka matanya untuk melihat kerumunan massa di bawahnya yang berkumpul bersama-sama dengan kamera televisi dan seluruh dunia yang menyaksikannya. Dia dapat merasakannya di dalam jiwanya.

   Bahkan dalam kesedihannya yang mendalam, kebersamaan yang terjadi pada saat itu begitu luar biasa. Seolah hubungan kebersamaan antar umat manusia telah menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di depan televisi, di rumah, di mobil, seluruh dunia sama-sama berdoa. Seperti aliran darah yang dipompa oleh sebuah jantung raksasa, semua orang berusaha meraih Tuhan dengan mengucapkan doa dalam berbagai bahasa dan tersebar di ratusan negara. Kata-kata yang mereka bisikkan adalah hal yang baru tapi sudah tidak asing lagi ... kebenaran yang kuno ... terpatri di dalam hati. Kebersamaan itu terasa abadi.

   Ketika keheningan terangkat, nada-nada kegembiraan dari nyanyian mulai terdengar lagi dari mulut mereka.

   Sang camerlegno tahu saat itu telah tiba.

   Tritunggal yang Tersuci, aku persembahkan tubuh, darah, dan jiwa yang paling berharga ini ... sebagai perbaikan bagi kemurkaan, pelanggaran dan pengabaian ....

   Sang camerlegno mulai merasakan rasa sakit di dalam tubuhnya. Rasa sakit itu menyebar ke seluruh kulitnya seperti wabah pes sehingga membuatnya ingin mencakari tubuhnya sendiri seperti yang dilakukan seminggu yang lalu ketika Tuhan untuk pertama kalinya datang kepadanya. Jangan lupakan rasa sakit yang diderita Yesus. Dia dapat merasakan aromanya sekarang di dalam tenggorokannya. Bahkan morfin pun tidak dapat mematikan rasa sakit itu.

   Tugasku di sini sudah selesai.

   Ketakutan adalah miliknya. Harapan adalah milik mereka.

   Di dalam Niche of the Palliums, sang camerlegno mengikuti kehendak Tuhan dan melumuri tubuhnya, rambutnya, wajahnya, dan jubah linennya dengan minyak suci. Sekarang dia basah kuyup karena minyak dari lampu suci yang membuat Niche of the Palliums terang benderang. Aromanya wangi seperti ibunya, tetapi mudah terbakar. Ini akan menjadi kenaikan yang penuh kasih. Ajaib dan cepat. Dan dia tidak akan meninggalkan skandal ... tetapi kekuatan baru dan kekaguman.

   Dia memasukkan tangannya ke dalam saku jubahnya dan mengeluarkan sebuah pemantik emas yang dibawanya dari Pallium incendiario.

   Dia membisikkan ayat Pengadilan. Dan ketika api menyala ke arah surga, malaikat Tuhan akan naik bersama api itu.

   Ibu jarinya tinggal menekan pemantik itu.

   Mereka masih bernyanyi di Lapangan Santo Petrus ....

   Malam itu, pemandangan yang disaksikan dunia tidak akan pernah mereka lupakan.

   Tinggi di atas balkon, seperti jiwa yang membebaskan diri dari penjara tubuhnya, cahaya api muncul dari tubuh sang camerlegno. Api itu meluncur ke atas dan dengan cepat membungkus tubuhnya. Dia tidak menjerit. Dia mengangkat tangannya dan menatap ke arah surga. Kobaran api itu menyelimutinya secara keseluruhan sehingga membentuk pilar cahaya. Api itu mengamuk seperti tidak akan pernah padam. Seluruh dunia menyaksikannya. Sinar itu menyala lebih terang lagi. Lalu sedikit demi sedikit, api itu padam. Sang camerlegno menghilang. Apakah dia terjatuh di balik bingkai pintu atau menguap bersama udara tipis di sekitarnya, sulit untuk diketahui. Yang tersisa hanyalah awan asap yang berputar ke angkasa di atas Vatican City.

   FAJAR MUNCUL TERLAMBAT di Roma.

   Hujan lebat yang datang lebih awal seperti mengusir kerumunan di Lapangan Santo Petrus. Tapi media masih bertahan di lapangan itu. Mereka berkerumun di bawah payung dan di dalam van sambil mengomentari kejadian malam tadi. Di seluruh dunia, gereja-gereja dipenuhi oleh jemaat. Ini adalah saat yang tepat untuk merenung dan berdiskusi ... bagi semua agama. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan, tapi jawabannya hanya memberikan pernyataan yang lebih mendalam lagi. Sejauh ini Vatican tetap diam dan tidak mengeluarkan pernyataan apa pun.

   Jauh di bawah Gua Vatican, Kardinal Mortati berlutut di depan sebuah sarkofagus yang terbuka. Dia mengulurkan tangannya dan menutup mulut Sri Paus yang terbuka. Bapa Suci kini terlihat tenang dalam ist irahat abadinya.

   Di dekat kaki Mortati tergeletak sebuah guci emas yang berat karena berisi abu. Mortati telah mengumpulkan abu itu sendiri dan membawanya ke sini. "Kesempatan untuk minta maaf," katanya kepada mendiang Paus sambil meletakkan guci itu di samping tubuh Paus yang terbaring di dalam sarkofagus. "Tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta ayah kepada anak lelakinya." Mortati menyembunyikan guci itu di balik jubah kepausan yang dikenakan mendiang Paus agar tidak terlihat orang lain. Dia tahu gua suci ini hanya diperuntukkan bagi peninggalan-peninggalan paus, tetapi Mortati merasa apa yang dilakukannya ini layak saja.

   "Signore?" seseorang memanggilnya ketika memasuki gua itu. Suara itu adalah milik Letnan Chartrand. Dia ditemani oleh tiga orang Garda Swiss. "Mereka siap dan menunggu Anda untuk meneruskan rapat pemilihan paus."

   Mortati mengangguk. "Sebentar lagi." Dia lalu menatap sekali lagi ke dalam sarkofagus di depannya. Kemudian dia berdiri. Mortati berpaling ke arah para penjaga yang menemuinya itu. "Sekarang sudah waktunya bagi Sri Paus untuk mendapatkan kedamaian yang pantas untuk dimilikinya."

   Para penjaga itu berjalan ke depan dan dengan mengerahkan seluruh tenaga, mereka mendorong tutup sarkofagus Paus agar kembali ke tempatnya. Dengan suara bergemuruh akhirnya sarkofagus itu tertutup.

   Mortati berjalan sendirian ketika melintasi Borgia Courtyard menuju Kapel Sistina. Angin lembab meniup jubahnya. Seorang kardinal muncul dari Istana Apostolik dan berjalan bersamanya.

   "Bolehkah saya mendapat kehormatan untuk menemani Anda menuju tempat rapat, signore?"

   "Kehormatan itu ada padaku."

   "Signore," kata kardinal itu, wajahnya menyiratkan kesusahan dalam hatinya. "Dewan Kardinal harus minta maaf kepada Anda kemarin malam. Kami dibutakan oleh-"

   "Kumohon," jawab Mortati. "Pikiran kita kadang-kadang melihat apa yang diinginkan hati kita agar terwujud."

   Kardinal itu terdiam untuk beberapa saat. Akhirnya dia berkata lagi. "Anda sudah diberi tahu? Anda bukan Great Elector kami lagi."

   Mortati tersenyum. "Ya. Aku berterima kasih untuk berkat kecil itu."

   "Dewan Kardinal memutuskan Anda termasuk yang memenuhi syarat."

   "Tampaknya kebaikan hati tidak pernah mati di gereja."

   "Anda orang yang bijaksana. Anda akan memimpin kami dengan baik."

   "Aku sudah tua. Aku akan memimpin dengan singkat." Mereka berdua tertawa. Ketika mereka tiba di ujung Borgia Courtyard, kardinal itu ragu-ragu. Dia berpaling ke arah Mortati dengan wajah yang masih digayuti oleh pikiran yang mengganggunya. Sepertinya kejadian mengejutkan tadi malam muncul kembali ke dalam pikirannya.

   "Tahukah Anda?" bisik kardinal itu. "Kami tidak menemukan apa-apa di balkon."

   Mortati tersenyum. "Mungkin hujan telah membasuh lantai balkon hingga bersih."

   Lelaki itu menatap langit yang berawan di atasnya. "Ya. Mungkin .... " LANGIT PAGI MENJELANG siang itu masih digayuti awan tebal ketika cerobong asap di Kapel Sistina mengeluarkan kepulan asap putih yang tipis. Gumpalan itu bergulung ke atas, ke arah awan, lalu semakin menghilang ditelan angin.

   Jauh di bawahnya, di Lapangan Santo Petrus, wartawan Gunther Glick menyaksikannya dengan diam. Bab terakhir ....

   Chinita Macri mendekatinya dari belakang dan mengangkat kameranya ke atas bahunya. "Sudah waktunya," katanya.

   Glick mengangguk dengan muram. Dia berpaling ke arah Macri sambil melicinkan rambutnya, dan menarik napas panjang. Siaranku yang terakhir, pikirnya. Kerumunan kecil telah terbentuk di sekitarnya untuk menontonnya.

   "Siaran langsung dalam enam detik," kata Macri memberitahu. Glick menengok sekilas ke arah atap Kapel Sistina di belakangnya. "Kamu dapat asapnya?"

   Dengan sabar Macri mengangguk. "Aku tahu bagaimana membingkai sebuah obyek bidikan, Gunther."

   Glick merasa bodoh. Tentu saja Macri tahu. Prestasi Macri di belakang kamera kemarin malam mungkin akan memberinya hadiah Pulitzer. Sementara prestasinya sendiri ... Glick tidak mau memikirkannya. Dia yakin BBC akan memecatnya. Tidak diragukan lagi, mereka akan mendapatkan masalah hukum dari sejumlah orang penting ... CE RN dan George Bush, di antaranya.

   "Kamu kelihatan bagus," kata Chinita memberikan dukungan bagi rekannya sambil berhenti membidikkan kameranya dan menunjukkan wajah yang prihatin. "Aku bertanya-tanya apakah aku boleh memberimu Dia ragu-ragu untuk menyelesaikan kalimatnya.

   "Beberapa nasihat?"

   Macri mendesah. "Aku hanya ingin bilang kamu tidak usah mengakhiri liputan ini dengan kehebohan lagi."

   "Aku tahu," katanya. "Kamu mau liputan yang singkat, ya 'kan?"

   "Yang paling singkat dalam sejarah penyiaran. Aku percaya kepadamu."

   Glick tersenyum. Liputan yang singkat? Apa dia sudah gila? Berita tentang kejadian seperti tadi malam membutuhkan lebih dari sekadar liputan akhir yang singkat. Sebuah tambahan yang hebat dan mengejutkan. Informasi berharga yang akan mengagetkan semua orang.

   Untunglah, Glick mempunyai rencana tersendiri di dalam benaknya ....

   "Kamu mulai dalam ... lima ... empat ... tiga Ketika Chinita Macri membidik melalui lensa kameranya, dia seperti melihat kilatan penuh arti di mata Glick. Aku pasti sudah gila karena membiarkannya melakukan ini, pikir Macri. Apa yang kupikirkan? Tetapi dia tidak mungkin mengulang jalannya waktu. Mereka sudah siaran.

   "Langsung dari Vatican City," kata Glick melaporkan setelah diberi isyarat oleh Macri, "saya Gunther Glick melaporkan." Dia menatap kamera dengan santun ketika asap putih membubung di belakangnya dari cerobong asap Kapel Sistina. "Para pemirsa yang terhormat, kami mendapatkan berita resmi. Kardinal Saviero Mortati, seseorang yang berpandangan progresif berusia 79 tahun, baru saja terpilih sebagai paus di Vatican City. Walau beliau adalah orang yang tidak dijagokan sebelumnya, tapi Mortati terpilih dengan suara bulat oleh seluruh anggota Dewan Kardinal. Sebuah kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya di Vatican."

   Ketika Macri menatapnya dari balik lensa kameranya, dia mulai bernapas dengan lega. Entah kenapa hari ini Glick terlihat profesional. Walau tampak tegang, untuk pertama kalinya dalam kehidupan Glick, dia benar-benar terlihat dan terdengar seperti seorang pembaca berita sungguhan.

   "Dan seperti yang telah kami laporkan sebelumnya," tambah Glick dengan sempurna, suaranya terdengar semakin bersungguh-sungguh. "Vatican belum juga memberikan pernyataan apa pun tentang kejadian mencengangkan yang terjadi kemarin malam."

   Bagus. Kepanikan Chinita semakin berkurang. Sejauh ini, baik-baik saja.

   Air muka Glick menjadi muram sekarang. "Walaupun kemarin malam adalah malam penuh dengan keajaiban, malam itu juga menjadi malam yang dipenuhi dengan tragedi. Empat orang kardinal tewas dalam konflik yang terjadi kemarin malam, bersama dengan Komandan Olivetti dan Kapten Rocher dari Garda Swiss. Keduanya tewas ketika melaksanakan tugas. Korban lainnya adalah Leonardo Vetra, ahli fisika ternama dan perintis teknologi antimateri dari CERN, dan Maximilian Kohler, Direktur CERN, yang tampaknya datang ke Vatican City untuk memberikan bantuan, tetapi dilaporkan meninggal dalam usahanya tersebut. Tidak ada laporan resmi tentang kematian Pak Kohler, tetapi diperkirakan kematiannya itu disebabkan karena komplikasi penyakit yang sudah lama dideritanya.. "

   Macri mengangguk. Laporan itu berjalan dengan sempurna. Tepat seperti yang mereka diskusikan sebelumnya.

   "Dan akibat dari peristiwa ledakan di angkasa Vatican City kemarin malam, teknologi antimateri CERN menjadi topik panas di antara para ilmuwan. Teknologi tersebut membangkitkan kegembiraan yang luar biasa sekaligus memicu kontroversi. Pernyataan yang dibacakan oleh asisten Pak Kohler, Sylvie Baudeloque, di Jenewa pagi ini mengatakan bahwa dewan direksi CERN, walau sangat bersemangat menanggapi potensi antimateri tersebut, telah menghentikan semua penelitian dan lisensi sampai penyelidikan lebih lanjut mengenai keamanan teknologi itu dapat diuji."

   Bagus sekali, pikir Macri. Ringkas dan tepat.

   "Yang tidak muncul dalam laporan kami tadi malam," Glick masih melaporkan, "adalah wajah Robert Langdon, dosen dari Harvard yang datang ke Vatican City kemarin untuk menyumbangkan keahliannya selama krisis Illuminati be rlangsung. Walau pada awalnya dia diduga tewas dalam ledakan antimateri, kini kami mendapatkan laporan bahwa Langdon terlihat berada di Lapangan Santo Petrus beberapa saat setelah ledakan itu terjadi. Bagaimana dia dapat berada di sana, masih menjadi spekulasi. Juru bicara Rumah Sakit Tiberina menyatakan Pak Langdon jatuh dari langit ke Sungai Tiber sesaat setelah tengah malam yang menakutkan itu. Mereka kemudian merawatnya dan mengizinkannya pergi." Glick mengangkat alisnya ke arah kamera. "Dan kalau itu memang benar ... tadi malam benar-benar menjadi malam yang penuh dengan keajaiban."

   Akhir yang sempurna! Macri tersenyum lebar. Liputan tanpa cela! Kini undurkan dirimu! Tetapi Glick tidak mengundurkan diri. Dia malah berhenti sejenak dan kemudian melangkah ke arah kamera. Dia tersenyum misterius. "Tetapi sebelum kami mengakhiri laporan kami .... "

   Jangan! "... saya akan mengundang seorang tamu untuk bergabung bersama saya."

   Tangan Chinita seperti membeku di kameranya. Seorang tamu? Apa yang dilakukannya? Tamu apa? Sudahi liputan ini! Tetapi Macri tahu itu sudah terlambat. Glick sudah berniat melakukan sesuatu.

   "Orang yang saya akan perkenalkan ini," kata Glick, "adalah orang Amerika ... seorang ilmuwan ternama."

   Chinita ragu-ragu. Dia menahan napasnya ketika Glick berpaling ke kerumunan kecil di sekitar mereka dan memberi isyarat kepada tamunya itu untuk melangkah maju. Macri berdoa dalam hati. Kumohon, katakan padaku, Glick kalau kamu berhasil menemukan Robert Langdon ... dan bukan orang gila penggemar teori konspirasi Illuminati.

   Tetapi ketika tamu Glick melangkah ke luar kerumunan, Macri merasa sangat kecewa. Itu sama sekali bukan Robert Langdon. Lelaki itu botak, bercelana jeans dan mengenakan kemeja flanel. Dia membawa tongkat dan berkacamata tebal. Macri ketakutan. Orang gila itu! "Izinkan saya memperkenalkan," kata Glick, "ahli Vatican ternama dari De Paul University di Chicago, Dr. Joseph Vanek."

   Macri sekarang merasa ragu-ragu ketika lelaki itu bergabung bersama Glick dalam sorotan kameranya. Orang ini bukan penggemar teori konspirasi. Macri pernah mendengar tentang dirinya.

   "Dr. Vanek," kata Glick. "Saya dengar Anda memiliki informasi mengejutkan untuk dibagikan kepada kami seputar rapat pemilihan paus tadi malam."

   "Benar," kata Vanek. "Setelah melewati malam yang penuh dengan kejutan seperti itu, sulit untuk membayangkan kalau ternyata masih ada satu kejutan lainnya ... tapi .... " Dia berhenti sejenak. Glick tersenyum. "Tapi, ada sesuatu yang aneh disini."

   Vanek mengangguk. "Ya. Ini sangat mencengangkan karena saya yakin Dewan Kardinal tanpa sadar telah memilih dua paus malam ini."

   Macri hampir menjatuhkan kameranya. Glick tersenyum penuh arti. "Dua orang paus, begitu?"

   Ilmuwan itu mengangguk. "Ya! Pertama-tama saya ingin menyampaikan kalau saya sudah menghabiskan seluruh hidup saya untuk mempelajari undang-undang yang mengatur pemilihan paus. Pelaksanaan rapat pemilihan paus sangat rumit dan banyak diantaranya kini sudah terlupakan atau diabaikan karena sudah dianggap kuno. Bahkan pejabat Great Elector mungkin tidak menyadari apa yang akan saya katakan ini. Walau demikian ... menurut sebuah undang-undang kuno yang sudah dilupakan orang seperti yang tercantum dalam Romano Pontifici Eligendo, Numero 63 ... pemungutan suara bukanlah satu-satunya cara untuk memilih seorang paus. Masih ada cara lainnya yang lebih suci. Ini yang disebut 'Aklamasi yang Didasarkan Oleh Kekaguman.'" Akademisi itu berhenti. "Dan itu terjadi tadi malam."

   Glick menatap tamunya dengan lembut untuk memberikan dukungan. "Silakan, lanjutkan."

   "Mungkin Anda ingat," ilmuwan itu melanjutkan, "tadi malam ketika Camerlegno Carlo Ventresca sedang berdiri di atap gereja, semua kardinal di bawahnya mulai menyerukan namanya bersama-sama."

   "Ya, saya ingat itu."

   "Dengan gambaran seperti itu, izinkan saya membacakan kata demi kata undang-undang pemilihan yang sudah kuno ini." Lelaki itu kemudian mengeluarkan beberapa lembar kertas dari sakunya. Setelah berdehem, dia mulai membaca. "Pemilihan yang berdasarkan kepada kekag uman terjadi ketika ... semua kardinal, seolah diilhami oleh Roh Kudus sendiri, secara bebas dan spontan, dengan suara bulat dan keras, memanggil satu nama."

   Glick tersenyum. "Jadi, Anda mengatakan bahwa kemarin malam, ketika para kardinal menyerukan nama Carlo Ventresca secara bersama-sama, mereka sebenarnya telah memilihnya sebagai paus?"

   "Betul sekali. Terlebih lagi, hukum menyatakan bahwa hasil Pemilihan Berdasarkan Kekaguman bisa mengalahkan para kardinal yang memenuhi syarat karena hukum ini mengizinkan pastor dari tingkat apa pun, dari pastor biasa, uskup, atau kardinal, untuk terpilih menjadi paus yang baru. Jadi, seperti yang Anda lihat, sang camerlegno dianggap sah sebagai paus oleh undang-undang ini." Dr. Vanek kemudian menatap lurus ke kamera. "Kenyataannya adalah ... Carlo Ventresca sudah terpilih menjadi paus tadi malam. Sayangnya dia hanya memerintah selama tidak lebih dari tujuh belas menit. Dan kalau dia tidak diangkat ke surga secara ajaib dalam bentuk pilar api, dia kini pasti dikubur di Gua Vatican bersama-sama dengan paus lainnya."

   "Terima kasih, doktor." Glick lalu berpaling pada Macri dengan kedipan mata nakalnya. "Sangat mencerahkan .... " TINGGI DI PUNCAK Koliseum Roma, Vittoria tertawa dan memanggil Robert yang masih berada di bawah. "Robert, cepatlah! Aku tahu aku semestinya menikah dengan lelaki yang lebih muda!" Senyuman perempuan itu begitu memesona. Robert berjuang untuk mengimbanginya, tetapi kakinya terasa seperti terpaku. "Tunggu," pintanya. "Kumohon .... "

   Kepalanya berdenyut-denyut.

   Robert Langdon tersentak bangun.

   Kegelapan.

   Dia masih terus berbaring di atas pembaringan asing yang lunak tanpa dapat membayangkan di mana dia berada saat itu. Bantalnya diisi bulu angsa, berukuran sangat besar dan empuk. Di udara tercium aroma rangkaian bunga kering yang harum. Di seberang ruangan, dua pintu kaca terbuka ke arah balkon yang mewah di mana angin sepoi-sepoi bermain di antara sinar bulan yang temaram. Langdon berusaha mengingat-ingat bagaimana dia dapat berada di sini ... dan di mana dirinya sekarang.


Satria Lonceng Dewa Arwah Candi Miring Pendekar Rajawali Sakti Huru Hara Di Watu Kambang Dr Ang Swee Chai Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem

Cari Blog Ini