Ceritasilat Novel Online

Malaikat Dan Iblis 5


Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 5



Temui saya di Bandara Leonardo da Vinci. Kata-kata Kohler menggema.

   Bayangan-bayang ketidakpastian yang selama menyelimuti pikiran Langdon sepanjang pagi itu, dalam sekejap menemukan bentuknya menjadi sebuah gambar yang jelas. Ketika dia berdiri di ruang utama CERN, Langdon seperti mendapatkan penjelasan ... seolah penghalang yang selama ini menutupi pemikirannya telah terbuka. Ambigram. Pastor/ilmuwan yang terbunuh. Antimateri. Dan sekarang ... sasaran itu. Kata Bandara Leonardo da Vinci hanya memiliki satu arti. Ketika dia menyadari kenyataan yang sebenarnya, Langdon tahu kalau dia baru saja mengubah keyakinannya. Sekarang dia percaya.

   Lima kiloton. Jadilah cahaya.

   Dua orang paramedis mengenakan pakaian putih muncul sambil berlari menyeberangi atrium. Mereka berlutut di sisi Kohler kemudian memasangkan topeng oksigen pada wajahnya. Para ilmuwan ya ng berada di gang itu berhenti dan kembali berdiri.

   Kohler menghirup napas panjang dua kali, lalu menyingkirkan itu dari mulutnya. Kemudian dengan masih megap-megap, Dia menatap Vittoria dan Langdon lalu berkata pendek, "Roma."

   "Roma?" tanya Vittoria. "Antimateri itu ada di Roma? Siapa yang menelepon?"

   Wajah Kohler berkerut, mata kelabunya berair. "... Swiss." Dia tersedak ketika mengucapkan kata-katanya. Paramedis lalu memasang kembali topeng oksigen itu di wajahnya. Ketika mereka bersiap untuk membawanya pergi, Kohler mengulurkan tangannya dan meraih lengan Langdon.

   Langdon mengangguk. Dia mengerti.

   "Pergilah .... " Kohler bersuara serak di balik topengnya.

   "Pergilah ... telepon aku.... " Lalu paramedis itu mendorongnya pergi. Vittoria berdiri terpaku sambil memandang lantai, lalu menatap Kohler yang tengah dibawa pergi. Dia kemudian berpaling memandang Langdon. "Roma? Tetapi... apa hubungannya dengan Swiss?"

   Langdon meletakkan tangannya di atas bahu Vittoria dan berbisik lembut. "Garda Swiss. Mereka adalah pengawal tersumpah di Vatican City." MESIN PESAWAT TERBANG X-33 bergemuruh di angkasa dan menuju ke selatan, ke Roma. Di dalamnya, Langdon duduk dalam keheningan. Lima belas menit terakhir terasa kabur baginya. Sekarang, dia selesai memberikan keterangan singkat pada Vittoria tentang Illuminati dan sumpah mereka untuk melawan Vatican, suasana di ruangan itu menjadi seperti tenggelam.

   Apa yang sedang kulakukan? Langdon bertanya-tanya. Aku seharusnya pulang ke rumah begitu ada kesempatan! Tapi jauh di lubuk hatinya, dia tahu dirinya tidak akan mendapatkan kesempatan itu.

   Seharusnya dia pulang ke Boston. Walau begitu, kekaguman akademisnya memintanya untuk bersikap bijaksana. Segala yang pernah dipercayainya tentang kematian kelompok Illuminati tibatiba seperti hendak runtuh. Sebagian dari dirinya rnenginginkan bukti. Penegasan. Tapi ada juga panggilan hati nurani. Dengan Kohler yang merana karena sakit dan Vittoria yang sendirian, Langdon tahu apa yang diketahuinya tentang Illuminati dapat membantu mereka. Langdon merasa memiliki kewajiban moral untuk tetap tinggal.

   Tapi ternyata masih ada alasan yang lain lagi. Walau Langdon merasa malu untuk mengakuinya, ketakutannya yang terbesar ketika mendengar tentang tempat antimateri ditemukan bukan hanya menyangkut nasib orang-orang yang berada di Vatican City, tapi juga sesuatu hal yang lain. Seni.

   Koleksi benda-benda seni terbesar di dunia sekarang sedang berada di atas sebuah bom waktu. Di dalam 1.407 ruangan yang terdapat di Museum Vatican, tersimpan 60.000 benda seni berharga seperti karya-karya Michaelangelo, da Vinci, Bernini, dan Botticelli. Langdon bertanya-tanya apakah semua benda seni itu bisa diselamatkan untuk menghadapi situasi terburuk. Dia tahu itu tidak mungkin. Banyak dari benda-benda seni tersebut adalah patung-patung yang beratnya berton-ton. Belum lagi harta terbesar yang merupakan arsitektur bangunan dengan sejarah yang panjang, seperti Kapel Sistina, Basilika Santo Petrus, tangga spiral terkenal karya Michaelangelo menuju Museo Vaticano yang merupakan pernyataan kejeniusan seorang anak manusia. Langdon bertanya berapa lama lagi waktu yang mereka miliki sebelum tabung perangkap itu meledak.

   "Terima kasih kamu mau ikut," kata Vittoria, suaranya terdengar tenang. Langdon terjaga dari lamunannya. Dia lalu mendongak dan menatap Vittoria yang duduk di depannya. Walau kabin itu terang benderang tapi Langdon seperti bisa melihat aura ketenangan memancar dari perempuan itu. Napasnya tampak lebih panjang sekarang, seolah cahaya penjagaan dirinya telah dinyalakan kembali di dalam tubuhnya. Kini wajah itu memancarkan sebuah keinginan untuk mencari keadilan dan membalas budi yang didorong oleh cinta seorang anak kepada ayahnya. Vittoria tidak punya waktu untuk berganti pakaian dari celana pendek dan blus tanpa lengannya itu. Dan sekarang kakinya yang berwarna kecokelatan tampak merinding kedinginan karena udara di dalam pesawat. Secara naluriah Langdon melepas jasnya dan menawarkannya pada Vittoria.

   "Kesopanan ala Amerika?" tanya Vittoria ketika menerima jas tersebut. Matanya menyiratkan rasa terima kasih. Pesawat itu berguncang ketika melewati beberapa turbulensi sehingga membuat Langdon merasa cemas. Kabin tanpa jendela itu kembali terasa menekan, dan Langdon mencoba untuk membayangkan dirinya sedang berada di lapangan terbuka. Tapi pemikiran tentang lapangan terbuka itu ternyata terasa ironis baginya. Dia sedang berada di sebuah lapangan terbuka ketika kecelakaan traumatis itu terjadi. Kegelapan yang pekat itu. Langdon mengusir kenangan itu dari benaknya. Itu hanyalah kisah di masa lalu. Vittoria sedang menatapnya. "Kamu percaya Tuhan, Pak Langdon?"

   Pertanyaan itu mengejutkan Langdon. Kejujuran yang terpancar dari suara Vittoria bahkan lebih memesona daripada pertanyaan itu sendiri. Apakah aku percaya pada Tuhan? Dia berharap mereka berbincang dengan topik yang lebih ringan dalam perjalanan ini.

   Orang yang suka pada teka-teki permainan kata spiritual, pikir Langdon. Begitulah teman-temanku menyebutku. Walaupun dia mempelajari agama selama bertahun-tahun, Langdon bukanlah orang yang religius. Dia memang menghormati kekuatan yan& didapat dari keyakinan, kebajikan gereja, kekuatan yang diberikan agama bagi banyak orang ... tapi ada yang menghalanginya; kesangsian intelektualnya yang kuat saat dia mulai ingin benar-benar percaya. "Saya ingin memercayai Tuhan," Langdon mendengar kata-katanya sendiri.

   Tanggapan Vittoria tidak mengandung penilaian ataupun tantangan. "Jadi, mengapa kamu tidak percaya?"

   Langdon tertawa. "Yah, tidak semudah itu. Untuk percaya, kita membutuhkan lompatan kepercayaan, penerimaan terhadap keajaiban-gambaran besar dan campur tangan Tuhan. Lalu ada peraturan yang harus kita taati. Alkitab, Alquran, kitab Buddha ... semuanya itu memiliki persyaratan dan hukuman yang sama. Menurut mereka, kalau aku tidak menaati aturan tertentu, maka aku akan masuk neraka. Aku tidak dapat membayangkan Tuhan yang berkuasa dengan cara seperti itu."

   "Kuharap kamu tidak membiarkan mahasiswamu memberikan jawaban kosong untuk mengelak dari pertanyaan seperti tadi."

   Komentar itu mengejutkan Langdon. "Apa?"

   "Pak Langdon, aku tidak menanyakan apakah kamu percaya pada apa yang dikatakan orang tentang Tuhan. Aku bertanya apakah kamu percaya pada Tuhan. Ada perbedaannya. Kitab-kitab suci itu adalah kumpulan cerita ... legenda dan sejarah dari pencarian manusia untuk memahami kebutuhan diri mereka sendiri akan arti. Aku tidak memintamu untuk menilai literatur. Aku hanya bertanya padamu apakah kamu percaya pada Tuhan. Ketika kamu berbaring sambil memandang langit yang ditaburi bintang, apakah kamu merasakan keagungan Tuhan? Apakah kamu merasa di dalam hatimu kalau kamu sedang menatap karya Tuhan?"

   Untuk sesaat Langdon memikirkan perkataan Vittoria tadi. "Maaf, kalau aku terlalu ingin tahu," kata Vittoria menyesal.

   "Tidak, aku hanya .... "

   "Pasti kamu sering memperdebatkan isu mengenai kepercayaan dengan mahasiswamu."

   "Selalu."

   "Kamu pasti sering berpura-pura menjadi provokator yang selalu memanaskan perdebatan."

   Langdon tersenyum. "Kamu pasti seorang guru juga."

   "Bukan, tetapi aku belajar dari ahlinya. Ayahku dapat memperdebatkan dua sisi dari Mobius Strip."

   Langdon tertawa, sambil membayangkan karya seni Mobius Strip yang berupa pelintiran dari secarik kertas berbentuk pita vane sesungguhnya hanya memiliki satu sisi. Langdon pertama kali melihat bentuk bersisi tunggal itu dalam sebuah karya M.C. Escher. "Boleh aku menanyakan sesuatu padamu, Nona Vetra?"

   "Panggil aku Vittoria. Sebutan Nona Vetra membuatku merasa tua. Langdon mendesah diam-diam, tiba-tiba menyadari usianya sendiri. "Vittoria, namaku Robert." "Apa pertanyaanmu?"

   "Sebagai seorang ilmuwan dan putri dari seorang pastor Katolik, apa pendapatmu tentang agama?"

   Vittoria berhenti sejenak, lalu menyingkirkan sekumpulan rambut dari matanya. "Agama seperti bahasa atau pakaian. Kita terpengaruh oleh praktik keagamaan tertentu yang diajarkan kepada krta sejak kecil. Tapi pada akhirnya, kita menyatakan hal yang sama; hidup memiliki artinya tersendiri dan kita merasa berterima n kepada keku atan yang sudah menciptakan kita."

   Langdon merasa tertarik. "Jadi kamu ingin mengatakan bahwa apa pun agamamu, Kristen atau Islam, itu hanya ditentukan oleh tempat kelahiranmu?"

   "Bukankah memang demikian? Lihat saja penyebaran agama di seluruh dunia ini."

   "Jadi, iman itu tidak disengaja?"

   "Bukan begitu. Keimanan itu universal. Tapi cara kita memahaminya tidak seragam. Ada yang berdoa kepada Yesus, ada yang pergi ke Mekah, beberapa orang mempelajari partikel subatomik. Pada akhirnya kita semua hanya mencari kebenaran sesuatu yang lebih besar dari kita sendiri."

   Langdon berharap mahasiswanya dapat mengungkapkan pendapat mereka sejelas ini. Bukan. Sesungguhnya dia yang berharap dirinya bisa mengungkapkan pendapatnya sejelas ini. "Dan Tuhan?" tanyanya lagi. "Kamu percaya pada Tuhan?"

   Vittoria lama terdiam. "Ilmu pengetahuan mengatakan padaku bahwa Tuhan itu pasti ada. Pikiranku mengatakan kalau aku tidak akan pernah mengerti Tuhan. Dan hatiku mengatakan kalau aku tidak ditakdirkan."

   Jadi singkatnya apa? pikir Langdon. "Jadi, kamu percaya Tuhan itu ada, tetapi kita tidak akan pernah memahami-Nya (Him)."

   "Her," kata Vittoria sambil tersenyum. "Suku Indian Amerika itu benar."

   Langdon tertawa. "Ibu Bumi."

   "Gaea. Planet ini adalah sebuah organisme. Kita semua adalah sel-sel dengan tujuan yang berbeda. Tapi kita saling berkaitan. Saling melayani. Melayani keseluruhan."

   Langdon menatap Vittoria dan dia merasakan desiran yang belum pernah dirasakannya sejak lama. Ada kejernihan yang memikat dalam sorot matanya ... ada kemurnian dalam suaranya. Langdon semakin tertarik dengan putri Leonardo Vetra ini.

   "Pak Langdon, saya ingin menanyakan sesuatu."

   "Robert," kata Langdon. Sebutan Pak Langdon membuatku merasa tua. Aku memang sudah tua! "Jika kamu tidak keberatan dengan pertanyaanku, Robert. Bagaimana kamu bisa terlibat dengan Illuminati?"

   Langdon jadi ingat akan sesuatu di masa lalu. "Sebenarnya itu karena uang."

   Vittoria tampak kecewa. "Uang? Maksudmu karena kamu memberikan konsultasi, begitu?"

   Langdon tertawa ketika menyadari bagaimana kesan jawaban itu terlihat. "Bukan begitu. Maksudnya adalah uang dalam desain yang tertera di uang." Dia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang. Dia kemudian menemukan lembaran satu dolar. "Aku menjadi kagum dengan kelompok itu ketika aku pertama kali mengetahui bahwa mata uang Amerika Serikat memuat simbologi Illuminati."

   Mata Vittoria menyipit, sepertinya dia tidak tahu apakah dia harus menganggap Langdon serius atau tidak.

   Langdon memberikan uang itu padanya. "Lihatlah bagian belakangnya. Kamu lihat Great Seal di sebelah kiri?"

   Vittoria membalik lembaran satu dolar itu. "Maksudmu, piramida itu?"

   "Piramida itu. Kamu tahu apa hubungan piramida dengan sejarah Amerika Serikat?"

   Vittoria mengangkat bahunya.

   "Tepat," kata Langdon. "Sama sekali tidak ada."

   Vittoria mengerutkan keningnya. "Jadi, kenapa simbol itu berada di tengah-tengah Great Seal uang dolar Amerika?"

   "Sejarahnya agak menakutkan," jawab Langdon. "Piramida itu adalah simbol gaib yang menggambarkan pemusatan pandangan ke atas, ke arah sumber utama pencerahan. Illumination. Lihat benda apa yang ada di puncaknya?"

   Vittoria mengamati uang kertas itu. "Sebuah mata di dalam sebuah segitiga."

   "Itu disebut trinacria. Pernah melihat mata di dalam segitiga seperti itu di tempat lain?"

   Vittoria terdiam sejenak. "Sebenarnya pernah juga, tetapi aku tidak yakin .... "

   "Itu merupakan hiasan yang terdapat di pondok-pondok kelompok Mason di seluruh dunia."

   "Jadi itu simbol kelompok Mason?"

   "Sebenarnya, bukan. Itu simbol milik Illuminati. Mereka menyebutnya 'delta berkilau', sebutan bagi perubahan yanp mendapat pencerahan. Mata itu melambangkan kemampuan Illuminati untuk menyusup dan mengamati segala hal. Segitiga berkilauan itu menggambarkan pencerahan. Dan segitiga juga merupakan huruf Yunani, delta, yang merupakan simbol matematika-"

   "Perubahan. Perpindahan."

   Langdon tersenyum. "Aku lupa kalau aku sedang berbicara dengan seorang ilmuwan."

   "Jadi, maksudmu Great Seal dolar Amerika Serikat adalah seruan bagi perubahan yang mendapat pencerahan, perubahan yang melihat semuanya?"

   "Beberapa orang menyebutnya Tata Dunia Baru."

   Vittoria tampak terkejut. Dia menatap ke bagian bawah uang kertas itu sekali lagi. "Tulisan di bawah piramida itu mengatakan Novous Ordo..."

   "Novous Ordo Seclorum" tambah Langdon. "Artinya Orde Sekuler Baru."

   "Sekuler itu berarti tidak religius?"

   "Sangat tidak religius. Kalimat itu tidak saja mengatakan tujuan Illuminati dengan jelas, tetapi juga secara langsung bertentangan dengan kalimat di sampingnya. Kepada Tuhan, Kita Percaya."

   Vittoria tampak bingung. "Tetapi bagaimana simbologi ini bisa tercetak di salah satu mata uang kuat dunia?"

   "Sebagian besar akademisi percaya hal itu terjadi karena campur tangan Wakil Presiden Henry Wallace. Dia adalah anggota tingkat atas kelompok Mason dan pasti mempunyai hubungan dengan Illuminati. Entah dia memang seorang anggota atau secara tidak sengaja berada di bawah pengaruh mereka, tidak seorangpun yang tahu. Tetapi Wallace-lah yang mengajukan rancangan Great Seal itu kepada Presiden."

   "Tapi bagaimana bisa? Kenapa Presiden menyetujui untuk-"

   "Presiden yang berkuasa ketika itu adalah Franklin D. Rosevelt. Wallace cuma mengatakan kepadanya kalau Novous Ordo Riorum itu berarti New Deal."

   Vittoria tampak ragu. "Dan Roosevelt tidak memperlihatkannya pada orang lain sebelum memerintahkan bendahara negara untuk mencetaknya?"

   "Tidak perlu. Roosevelt dan Wallace seperti bersaudara."

   "Saudara?"

   "Periksa lagi buku-buku sejarahmu," kata Langdon sambil tersenyum. "Franklin D. Roosevelt adalah anggota Mason yang ternama." LANGDON MENAHAN NAPASNYA ketika pesawat X-33 terbang berputar-putar menuju ke arah Bandara Internasional Leonardo da Vinci di Roma. Vittoria duduk di seberang Langdon, matanya tertutup seolah mencoba mengendalikan keadaan. Pesawat itu menyentuh daratan dan berjalan perlahan memasuki hanggar pribadi.

   "Maaf, tadi kita terbang begitu lambat," kata si pilot ketika keluar dari kokpit. "Aku harus merampingkan bagian belakangnya. Tahu sendirilah. Peraturan kebisingan untuk daerah berpenduduk."

   Langdon melihat jam tangannya.

   Mereka terbang selama 37 menit.

   Pilot itu membuka pintu. "Ada yang mau memberitahuku apa yang sedang terjadi?"

   Baik Vittoria maupun Langdon tidak menjawabnya.

   "Baiklah," kata pilot itu sambil menggeliat. "Aku akan menunggu kalian di kokpit sambil menyalakan AC dan musik kesukaanku. Hanya aku dan Garth."

   Matahari sore hari bersinar di luar hanggar. Langdon menyandang jas wolnya di atas bahunya. Vittoria menengadahkan wajahnya ke langit dan menarik napas dalam, seolah sinar matahari mampu mengirimkan energi mistis tambahan untuknya.

   Dasar orang Mediterania, kata Langdon geli. Dia sendiri sudah mulai berkeringat.

   "Agak terlalu tua untuk menyukai tokoh kartun, bukan?" tanya Vittoria tanpa membuka matanya.

   "Maaf?"

   "Jam tanganmu. Aku melihatnya ketika kita di pesawat."

   Langdon agak malu. Dia sudah terbiasa untuk membela jam tangannya itu. Ini adalah jam tangan Mickey Mouse edisi kolektor yang dihadiahkan orang tuanya ketika dia masih kecil. Walau gambar Mickey yang merentangkan lengannya sebagai penunjuk waktu itu terlihat culun, tapi itu adalah satu-satunya jam tangan yang dimilikinya. Jam tangan itu tahan air dan menyala dalam gelap. Jadi, cocok untuk dibawa berenang atau ketika melintasi jalanan kampus yang gelap. Ketika mahasiswa Langdon mempertanyakan selera fesyennya, dia hanya mengatakan kepada mereka bahwa jam tangan Mickey Mouse-nya itu mengingatkannya untuk tetap berjiwa muda.

   "Pukul enam," kata Langdon. Vittoria mengangguk, matanya masih tertutup. "Kukira jemputan kita sudah tiba."

   Langdon mendengar suara menderu dari kejauhan. Dia lalu mendongak dan merasa kalau kesialan kembali menghampirinya. Dari sebelah utara, sebuah helikopter mendekat dan berayun rendah di atas landasan. Langdon sudah pernah naik helikopter satu kali ketika berada di Lembah Andean Palpa untuk melihat gambar pasir di Nazca. Seingatnya, dia tidak menikmatinya sama sekali. Baginya helikopter adalah kardus sepatu yang bisa terban g Setelah sepagian terbang dengan pesawat, dia berharap kali im Vatican akan mengirim mobil untuk mereka.

   Tapi tampaknya tidak.

   Helikopter itu melambatkan kecepatannya, berputar-putar sesaat, lalu mendarat di atas landasan di depan mereka. Pesawat itu berwarna putih dan bagian sisinya dihiasi lambing yang terdiri atas dua kunci menyilang di depan sebuah tameng dan mahkota kepausan. Langdon mengenali simbol itu dengan baik. Itu adalah stempel tradisional Vatican, simbol keramat Holy See atau tahta suci. Tahta itu secara harfiah menggambarkan tahta kuno milik Santo Petrus.

   Helikopter Suci, erang Langdon sambil menatap pesawat tersebut mendarat. Dia lupa kalau Vatican memiliki salah satu helikopter seperti ini yang digunakan oleh Paus untuk pergi ke bandara, menghadiri rapat atau mengunjungi istana musim panas di Gandolfo. Tapi, Langdon tentu saja lebih suka naik mobil.

   Pilot itu melompat dari kokpit dan berjalan melintasi landasan.

   Sekarang Vittoria yang tampak tidak tenang. "Itukah pilot kita? Langdon merasakan kecemasannya. "Terbang atau tidak terbang. Itulah pertanyaannya."

   Pilot itu tampak seperti mengenakan kostum untuk pementasan karya Shakespeare. Tuniknya yang menggelembung bergarisgaris vertikal berwarna biru terang dan emas. Dia mengenakan celana panjang dan kaus kaki yang khas. Kakinya beralaskan sepatu tanpa tumit berwarna hitam yang terlihat seperti sandal kamar. Dia juga mengenakan baret hitam.

   Seragam tradisional Garda Swiss," kata Langdon menjelaskan. "Dirancang sendiri oleh Michaelangelo." Ketika pilot itu berjalan mendekati mereka, Langdon mengedipkan matanya. "Kuakui, ini bukanlah karya terbaiknya."

   Walaupun pakaian lelaki itu terlihat dramatis, Langdon tahu kalau pilot ini serius. Dia berjalan mendekati mereka dengan langkah kaku dan gagah seperti anggota Marinir. Langdon pernah beberapa kali membaca tentang persyaratan ketat untuk menjadi anggota Garda Swiss yang elit itu. Direkrut dari salah satu dari empat wilayah Katolik di Swiss, para pelamar harus memiliki persyaratan seperti. lelaki Swiss berusia antara sembilan belas hingga tiga puluh tahun dengan tinggi antara 150 sampai 180 sentimeter bersedia menjalani pelatihan oleh Angkatan Bersenjata Swiss, dan tidak menikah. Dunia mengakui kalau pasukan kerajaan ini adalah kesatuan pengamanan yang paling setia dan berbahaya di dunia.

   "Kalian dari CERN?" tanya pengawal itu ketika dia tiba di depan Langdon dan Vittoria. Suaranya kaku.

   "Ya, Pak," jawab Langdon.

   "Kalian tiba luar biasa cepat," katanya lagi sambil menatap X-33 dengan tatapan takjub. Kemudian dia berpaling pada Vittoria. "Bu, Anda punya baju yang lain?"

   "Maaf?"

   Dia lalu menunjuk kaki Vittoria. "Celana pendek tidak diperbolehkan di Vatican City."

   Langdon melihat kaki Vittoria sekilas dan mengerutkan keningnya. Dia lupa. Vatican City melarang pengunjung yang mengenakan pakaian yang memperlihatkan paha-baik lelaki maupun perempuan. Peraturan itu merupakan cara untuk memperlihatkan rasa hormat pada kesucian Kota Tuhan ini.

   "Hanya ini yang kupunya," jawab Vittoria. "Kami terburu-buru."

   Pengawal itu mengangguk, jelas dia tidak senang. Kemudian dia berpaling pada Langdon. "Apakah kamu membawa senjata?"

   Senjata? pikir Langdon. Aku bahkan tidak membawa baju dalam untuk ganti. Dia menggelengkan kepalanya.

   Petugas itu lalu berjongkok di depan kaki Langdon dan mulai memeriksanya. Petugas itu mulai dari kaus kaki Langdon. Orang yang tak mudah percaya, pikirnya. Tangan pengawal yang kuat itu bergerak ke atas, mendekati selangkangan dan membuat Langdon merasa tidak nyaman. Akhirnya tangan itu bergerak ke atas, ke dada dan bahu Langdon. Petugas itu tampak puas ketika mengetahui kalau Langdon bukan orang yang berbahaya. Dia lalu berpaling pada Vittoria. Dia mengamati kaki Vittoria kemudian matanya bergerak ke bagian dada Vittoria.

   Vittoria melotot. "Jangan coba-coba."

   Pengawal itu menatapnya dengan tajam dan berusaha mengintimidasi Vittoria. Namun perempuan itu tidak gentar.

   "Apa itu?" tanya si pengawal sambil menunjuk ke arah tonjolan berbentuk kotak kecil di balik saku celana pend ek Vittoria. Vittoria mengeluarkan ponselnya yang sangat tipis. Pengawal itu mengambilnya, lalu menyalakannya dan menunggu nada sambung. Kemudian dia tampak puas ketika mengetahui kalau itu hanya ponsel biasa. Dia lalu mengembalikannya pada Vittoria. Vittoria menerimanya dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya.

   "Tolong berputar," kata pengawal itu. Vittoria mematuhinya. Sambil mengangkat tangannya Vittoria berputar 360 derajat. Kemudian pengawal itu mengamatinya dengan tajam. Menurut Langdon celana pendek dan kemeja Vittoria tidak menonjol pada tempat-tempat yang tidak semestinya. Tampaknya pengawal itu pun memiliki kesimpulan yang sama.

   "Terima kasih. Ayo berjalan ke arah sini."

   Helikopter Garda Swiss itu terparkir dengan mesin menyala ketika Langdon dan Vittoria mendekat. Vittoria naik ke dalamnya seperti seorang profesional. Dia bahkan nyaris tidak menundukkan kepalanya ketika berjalan di bawah baling-baling yang sedang berputar. Langdon tidak langsung bergerak.

   "Apa tidak ada kemungkinan untuk naik mobil saja?" serunya setengah bergurau kepada petugas Garda Swiss yang sedang memanjat ke tempat duduk pilot. Lelaki itu tidak menjawab. Langdon tahu, dengan para pengendara mobil yang seperti orang gila di Roma, terbang mungkin menjadi jalan yang lebih aman. Dia lalu menarik napas panjang dan bergerak naik. Langdon menunduk dengan hati-hati ketika berjalan di bawah baling-baling besar itu. Ketika pengawal itu mulai bersiap untuk terbang, Vittoria berseru kepada pilot itu. "Kalian sudah menemukan tabung itu?"

   Pengawal itu menoleh dan tampak bingung. "Tabung apa?"

   "Tabung itu. Tabung yang membuat kalian menelepon CERN?"

   Lelaki itu mengangkat bahunya. "Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Kami sangat sibuk hari ini. Komandanku memerintahkan aku untuk menjemput kalian. Itu saja yang kutahu."

   Vittoria menatap Langdon dengan tatapan tidak tenang. "Harap pakai sabuk pengaman," kata si pilot ketika mesin helikopter berputar.

   Langdon meraih sabuk pengamannya dan mengikat dirinya. Pesawat kecil itu tampak tenggelam di sekitarnya. Kemudian dengan suara mesin menderu, pesawat itu melesat, dan mengarah dengan pasti ke utara, menuju Roma.

   Roma ... caput mundi, tempat Caesar pernah berkuasa, tempat di mana Santo Petrus disalib. Tempat di mana masyarakat modern berasal. Dan di pusatnya ... sebuah bom waktu sedang berdetak.

   ROMA DARI UDARA terlihat menyerupai labirin. Kota itu seperti sebuah jalinan jalan-jalan kuno yang berliku-liku yang dihiasi oleh gedung-gedung, air mancur dan juga reruntuhan bangunan kuno.

   Helikopter Vatican itu tetap terbang rendah ketika memotong ke arah barat daya melalui lapisan kabut asap tebal yang dihasilkan oleh kemacetan lalu lintas di bawahnya. Langdon melihat ke bawah ke arah motor-motor vespa, bis-bis wisata, dan sederetan sedan Fiat kecil yang menderu di sekitar bundaran dari segala jurusan. Koyaanisqatsi, pikirnya ketika dia ingat istilah Hopi untuk "kehidupan tanpa keseimbangan".

   Vittoria duduk tenang di sebelah Langdon.

   Helikopter itu membelok tajam.

   Langdon merasa perutnya tertarik turun. Dia lalu menatap jauh. Matanya bertemu dengan reruntuhan Koliseum Roma, don selalu berpendapat Koliseum adalah salah satu ironi seiarah yang paling besar. Sekarang, Koliseum menjadi simbol budaya dan peradaban manusia. Padahal stadium itu dibangun untuk menjadi tempat berlangsungnya kejadian-kejadian barbar dan tidak beradab, seperti singa lapar yang dilepas untuk mencabiki para tawanan, barisan budak berkelahi hingga mati, tempat pemerkosaan perempuan-perempuan cantik yang ditangkap dari negeri yang jauh, juga tempat di mana orang-orang dipenggal atau dikebiri. Ironis sekali, pikir Langdon, atau mungkin juga tepat karena arsitektur Koliseum itu ditiru oleh Harvard's Soldier Field-sebuah lapangan futbal di mana tradisi kuno yang brutal terjadi tiap musim gugur. Di sana penonton menjadi gila dan berteriak-teriak ketika Harvard bertanding melawan Yale dalam pertandingan futbal yang kasar.

   Ketika helikopter mengarah ke utara, Langdon melihat Roman Forum-jantung kota Roma sebelu m Kristen masuk. Pilar-pilar yang rusak tampak seperti nisan-nisan yang bertumpukan di taman pemakaman, seolah menolak untuk ditelan oleh keramaian kota metropolitan di sekelilingnya.

   Ke arah barat, sungai Tiber berkelok-kelok membelah kota. Walau melihat dari udara, Langdon dapat mengetahui kalau sungai itu dalam. Arusnya berputar berwarna cokelat penuh dengan lumpur akibat hujan deras.

   "Lihat ke depan," kata pilot itu ketika membawa pesawatnya menanjak lebih tinggi. Langdon dan Vittoria menatap ke luar dan melihatnya. Seperti gunung membelah kabut pagi, sebuah kubah besar mencuat dari keburaman di depan mereka. Kubah besar itu adalah Basilika Santo Petrus.

   "Itu baru karya Michaelangelo yang berhasil," kata Langdon kepada Vittoria dengan muka lucu. Langdon belum pernah melihat Basilika Santo Petrus dari udara. Bagian depannya yang terbuat dari batu pualam memantulkan sinar matahari sore. Dihiasi oleh 140 patung yang menegambarkan para santo, martir, dan malaikat, bangunan besar itu terbentang selebar dua buah lapangan sepak bola dengan panjang sebesar enam kalinya. Bagian dalam gedung raksasa itu memiliki ruangan yang sanggup menampung 60.000 jemaat ... lebih dari seratus kali populasi Vatican City yang juga merupakan negeri terkecil di dunia. Yang lebih luar biasa lagi, benteng yang menjaga gedung besar itu tidak mampu membuat piazza (lapangan terbuka) di depannya terlihat kecil. Piazza bernama Lapangan Santo Petrus itu adalah lapangan granit luas yang terhampar dan menjadi tempat terbuka di tengah-tengah kemacetan kota Roma seperti versi klasik dari Central Park di New York. Di depan Basilika Santo Petrus, membatasi sebuah ruang berbentuk oval, terdapat 284 pilar yang mencuat untuk menopang empat lengkungan konsentris ... sebuah arsitektur tipuan mata untuk memperkuat kesan agung piazza itu. Ketika Langdon menatap pada bangunan suci yang mengagumkan di depannya itu, dia bertanya-tanya apa pendapat Santo Petrus jika dirinya berada di sini sekarang. Orang suci itu mati dengan cara yang menyedihkan; disalib dalam posisi terbalik di tempat ini. Sekarang dia beristirahat di makam suci, dikubur lima lantai di bawah tanah, tepat di bawah kubah utama Basilika Santo Petrus.

   "Vatican City," ujar pilot itu ramah. Langdon melihat ke luar ke arah benteng batu yang menjulang tinggi di depan mereka. Benteng itu seperti kubu pertahanan yang kuat dan dibangun mengelilingi kompleks ... bentuk pertahanan yang sangat aneh untuk melindungi dunia spiritual yang diwarnai oleh berbagai rahasia, kekuasaan dan misteri.

   "Lihat!" tiba-tiba Vittoria berseru sambil meraih lengan Langdon Dengan panik Vittoria menunjuk ke bawah ke arah Lapangan Santo Petrus yang berada tepat di bawah mereka. Langdon merapatkan wajahnya ke jendela pesawat dan melihat ke arah yang ditunjuk Vittoria.

   "Di sana itu," kata Vittoria sambil menunjuk. Di bagian belakang piazza menjadi seperti lapangan parkir yang penuh dengan belasan truk trailer. Piringan satelit raksasa diarahkan ke angkasa dari atap truk-truk yang berada di sana. Satelit-satelit itu bertuliskan nama-nama yang akrab di telinga Langdon. TELEVISOR EUROPEA VIDEO ITALIA BBC UNITED PRESS INTERNATIONAL Tiba-tiba Langdon merasa bingung dan bertanya-tanya apakah berita tentang antimateri itu sudah bocor ke pers. Vittoria tampaknya juga menjadi panik. "Kenapa para wartawan berkumpul di sini? Apa yang terjadi?"

   Pilot itu menoleh ke belakang dan menatap Vittoria dengan tatapan aneh. "Apa yang terjadi? Memangnya kamu tidak tahu?"

   "Tidak," sergahnya. Aksennya terdengar serak dan kuat.

   "Il Conclavo," kata pilot itu menjelaskan. "Tempat ini akan ditutup selama satu jam. Seluruh dunia menyaksikannya."

   LI Concalvo.

   Kata itu terus berdering-dering di telinga Langdon sebelum menmju perutnya. Il Conclavo. Pertemuan seluruh kardinal dari seluruh dunia untuk memilih paus baru. Bagaimana dia bisa lupa. Hal itu sudah diberitakan oleh seluruh media massa baru-baru ini.

   Lima belas hari yang lalu, Paus, setelah memerintah dengan baik selama dua belas tahun, meninggal dunia. Setiap koran di dunia memuat berita tentang serangan stroke fatal yang dialami Paus ketika sedang tidur. Kematian yang tiba-tiba dan tak terduga itu banyak diisukan sebagai kematian yang mencurigakan. Tetapi sekarang, sesuai tradisi yang sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun, lima belas hari setelah kematian seorang paus, Vatican mengadakan Il Conclavo; sebuah upacara suci yang dihadiri oleh 165 kardinal dari seluruh dunia yang merupakan orang-orang yang paling berpengaruh di dunia Kristen, untuk berkumpul di Vatican City dan mengangkat paus baru.

   Semua kardinal dari seluruh dunia berkumpul di sini hari ini, pikir Langdon ketika helikopter mereka terbang di atas Basilika Santo Petrus. Vatican City kini membentang di bawah mereka. Seluruh struktur kekuatan Gereja Katolik Roma sekarang sedang duduk di atas bom waktu.

   KARDINAL MORTATI menatap ke arah langit-langit yang mewah di Kapel Sistina dan mencoba untuk menemukan keheningan. Dinding kapel yang dihiasi oleh lukisan yang indah itu memantulkan suara para kardinal dari berbagai bangsa di seluruh dunia. Mereka berdesakan dalam kapel yang diterangi oleh temaram sinar lilin sambil berbisik dengan gembira dan berbicara kepada satu sama lainnya dalam berbagai bahasa. Bahasa universal dalam pertemuan itu adalah bahasa Inggris, Italia, dan Spanyol.

   Biasanya penerangan di dalam kapel itu terang benderang yang berasal dari sorotan sinar matahari yang beraneka warna dan mengusir kegelapan seperti sinar dari surga. Tetapi tidak pada hari ini. Sesuai dengan tradisi, semua jendela kapel ditutup kain beledu hitam demi menjaga kerahasiaan. Ini menjamin tidak seorangpun di dalam ruangan itu dapat mengirimkan tanda-tanda atau berkomunikasi dengan cara apa pun dengan dunia luar. Hasilnya adalah, ruangan itu benar-benar gelap dan hanya diterangi oleh sinar lilin ... cahaya yang berkelap-kelip dari lilin menyala di sana membuat semua orang yang tersentuh oleh cahaya itu menjadi tampak pucat ... seperti wajah para santo.

   Istimewa sekali, pikir Mortati, akulah yang harus memimpin peristiwa yang suci ini. Para kardinal yang berusia lebih dari delapan puluh tahun terlalu tua untuk terpilih dalam pemilihan ini sehingga mereka tidak hadir. Tetapi Mortati yang berusia 79 tahun adalah kardinal yang paling senior di sini dan telah ditunjuk untuk memimpin pertemuan tersebut.

   Sesuai tradisi, para kardinal berkumpul di sini selama dua jam sebelum acara itu dimulai agar mereka dapat saling bertukar kabar dengan rekan-rekannya dan terlibat dalam diskusi. Pada pukul 7 malam, Kepala Urusan Rumah Tangga Kepausan akan tiba untuk memberikan doa pembukaan lalu meninggalkan ruangan. Kemudian Garda Swiss akan mengunci pintu dan membiarkan para kardinal berada di dalam ruangan yang terkunci itu. Pada saat itulah ritual politik tertua dan paling rahasia dimulai. Para kardinal tidak akan dibebaskan dari ruangan tersebut sampai mereka memutuskan siapa di antara mereka yang akan menjadi paus berikutnya.

   Conclave. Bahkan sebutan itu pun mengandung makna rahasia. "Con clave" arti harfiahnya adalah "terkunci." Para kardinal di sana tidak boleh menghubungi siapa pun. Tidak boleh menelepon. Tidak ada pesan keluar dan masuk. Tidak boleh membisikkan apa pun melalui pintu. Conclave adalah keadaan yang kosong, tidak dipengaruhi oleh apa pun dari dunia luar. Ritual ini memastikan para kardinal agar tetap Solum Dum prae oculis ... hanya Tuhan yang berada di depan mata mereka.

   Tapi tentu saja di luar dinding kapel, media massa mengamati dan menunggu sambil berspekulasi siapa di antara para cardinal itu yang akan menjadi pemimpin dari satu milyar pemeluk agama Katolik di seluruh dunia. Rapat pemilihan paus memang menciptakan atmosfer yang tegang dan dipenuhi oleh beban politik Selama lebih dari berabad-abad, peristiwa ini pernah menjadi acara yang mematikan; diwarnai oleh racun dan pekelahian, bahkan pembunuhan pernah terjadi di balik dinding suci itu. Itu hanyalah kejadian di masa lalu, pikir Mortati.

   Malam ini pertemuan akan berlangsung damai, penuh kebahagiaan dan yang terutama adalah ... da/am waktu singkat.

   Paling tidak, it ulah perkiraan Kardinal Mortati.

   Sekarang, ada perkembangan yang tidak terduga. Secara aneh, empat orang kardinal tidak hadir di kapel itu. Mortati tahu semua pintu keluar Vatican City dijaga ketat dan para kardinal yang menghilang itu tidak mungkin pergi terlalu jauh. Tapi sekarang, kurang dari satu jam sebelum doa pembukaan, dia mulai merasa bingung. Keempat kardinal yang menghilang itu bukanlah kardinal biasa. Mereka adalah kardinal penting. Empat kardinal yang terpilih.

   Sebagai pemimpin acara pertemuan ini, Mortati mengirimkan pesan melalui saluran yang semestinya ke Garda Swiss untuk memberi tahu mereka tentang menghilangnya keempat kardinal tersebut. Tapi mereka belum memberikan kabar apa-apa kepadanya. Para kardinal yang lain pun mulai merasakan ketidakhadiran keempat orang penting yang terasa aneh bagi mereka. Di antara semua kardinal yang hadir, keempat kardinal ini seharusnya tiba tepat waktu! Kardinal Mortati mulai takut kalau acara ini akan berjalan sangat lama. Dia tidak tahu.

   DEMI KEAMANAN dan menghindari kebisingan, landasan helikopter Vatican berada di ujung barat laut Vatican City, sejauh mungkin dari Basilika Santo Petrus.

   "Terrafirma," kata pilot itu mengumumkan ketika mereka menyentuh landasan. Pilot itu lalu keluar dan membuka pintu geser untuk Langdon dan Vittoria. Langdon turun dari helikopter dan membalikkan tubuhnya untuk menolong Vittoria. Tetapi ternyata Vittoria sudah meloncat turun dengan mudahnya. Setiap otot di tubuh Vittoria tampaknya sudah memiliki satu tujuan-menemukan antimateri itu sebelum meledak atau sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Setelah memasang penutup sinar matahari pada jendela helikopternya, pilot itu mengantar mereka ke sebuah mobil golf bertenaga listrik dengan ukuran besar. Mobil itu telah menunggu mereka di dekat landasan helikopter. Kendaraan itu membawa mereka tanpa suara di sepanjang sisi barat negara mini itu di mana terdapat pagar semen setinggi lima puluh kaki yang cukup tebal untuk menangkis serangan, bahkan serangan tank sekalipun. Berbaris di sisi dalam tembok tebal itu, pasukan Garda Swiss berdiri waspada tiap jarak lima puluh meter untuk menjaga keamanan. Mobil bertenaga listrik itu membelok tajam ke kanan ke arah Via della Osservatorio. Langdon melihat papan penunjuk arah. PALAZZO GOVERNATORATO COLLEGIO ETHIOPIANA BASILICA SAN PIETRO CAPELLA SISTINA Mobil yang membawa mereka melaju lebih cepat di jalan yang terawat dengan baik. Mereka kemudian melewati sebuah gedung yang tidak terlalu tinggi bertuliskan RADIO VATICANA. Langdon menyadari kalau gedung itu menyiarkan siaran radio yang paling banyak didengarkan di seluruh dunia. Radio Vaticana, radio yang menyebarkan firman Tuhan ke telinga jutaan pendengar di seluruh dunia.

   "Attenzione," kata pilot itu sambil membelok tajam di sebuah putaran. Ketika mobil itu berjalan memutar, Langdon hampir tidak bisa memercayai penglihatannya ketika bayangan gedung di depannya muncul. Giardini Vaticani, katanya dalam hati. Jantung Vatican City. Tepat di belakang Basilika Santo Petrus, membentang pemandangan yang jarang dilihat oleh banyak orang. Di sebelah kanannya terlihat Palace of Tribunal, tempat tinggal Paus yang megah yang hanya sanggup disaingi oleh istana Versailles dalam hal hiasan-hiasan gaya baroknya. Gedung Governatorato yang tampak seram itu sekarang telah mereka lalui. Gedung itu adalah kantor bagi seluruh kegiatan administrasi Vatican City. Dan sekarang, di sebelah kiri mereka, berdiri Museum Vatican yang besar. Langdon sadar kalau dirinya tidak akan sempat untuk mengunjungi museum itu sekarang.

   "Kenapa sepi sekali?" tanya Vittoria sambil mengamati lapangan rumput dan jalan-jalan yang lengang. Pengawal itu memeriksa jam tangan chronograph berwarna hitam bergaya militer yang dikenakannya-sebuah perpaduan aneh di balik lengan bajunya yang menggelembung. "Para kardinal itu berkumpul di Kapel Sistina. Rapat pemilihan paus biasanya dimulai kurang dari satu jam setelah itu. Langdon mengangguk. Samar-samar dia ingat sebelum mengadakan rapat untuk memilih paus yang baru, para kardinal mengh abiskan waktu dua jam di dalam Kapel Sistina untuk tafakur dan saling berbincang dengan rekan sesama kardinal dari seluruh dunia. Waktu itu memang ditujukan untuk menyegarkan keakraban di antara para kardinal sehingga proses pemilihan itu berjalan dengan suasana santai. "Dan penghuni dan pegawai lainnya?"

   "Dipindahkan dari kota ini dengan alasan kerahasiaan dan keamanan sampai rapat pemilihan paus berakhir." "Dan kapan acara itu berakhir?"

   Pengawal itu menggerakkan bahunya. "Hanya Tuhan yang tahu." Entah kenapa kata-kata itu terdengar aneh sekali.

   Setelah memarkir mobil di lapangan rumput yang luas, tepat di ujung Basilika Santo Petrus, pengawal itu mengantar Langdon dan Vittoria menaiki lereng berlantai batu ke sebuah plaza pualam di belakang gereja agung itu. Setelah melintasi plaza, mereka berjalan di tembok belakang gereja dan terus menyusurinya sampai bertemu dengan lapangan berbentuk segi tiga di seberang Via Belvedere. Mereka kemudian bertemu dengan sekumpulan bangunan yang berdiri rapat. Pengetahuan Langdon akan sejarah seni membuatnya memahami tulisan yang tertera di sana-Kantor Percetakan Vatican, Laboratorium Restorasi Permadani, Kantor Pos dan Gereja Santa Anna. Mereka kemudian menyeberangi lapangan kecil lagi dan sampai ke tujuan mereka.

   Kantor Garda Swiss berdekatan dengan Il Corpo di Vigilanza, dan berdiri tepat di sebelah timur laut Basilika Santo Petrus. Kantor itu terletak di sebuah gedung yang tidak tinggi dan terbuat dari batu. Di kedua sisi pintu masuknya, berdiri dua orang pengawal yang kaku seperti sepasang patung batu.

   Langdon harus mengakui kalau kedua pengawal itu tidak tampak lucu. Walau mereka juga mengenakan seragam berwarna biru dan emas seperti pilot yang mengantarnya ini, keduanya memegang senjata tradisional "pedang panjang Vatican" yang merupakan sebilah tombak sepanjang delapan kaki dengan sebuah sabit besar yang tajam. Konon, pedang itu pernah memenggal kepala banyak orang Muslim dan melindungi prajurit Kristen dalam Perang Salib pada abad kelima belas.

   Ketika Langdon dan Vittoria mendekat, kedua penjaga itu melangkah ke depan sambil menyilangkan pedang panjang mereka untuk menghalangi pintu masuk. Salah satu dari mereka menatap sang pilot dengan bingung. "I pantaloni," katanya sambil menunjuk celana pendek Vittoria.

   Pilot ltu mengibaskan tangannya kepada mereka. "Il comandante vuole verdeli subito."

   Penjaga itu mengerutkan keningnya. Lalu dengan enggan mereka menepi.

   Di dalam, udara terasa dingin. Gedung itu sama sekali tidak tampak seperti kantor administrasi sebuah pasukan keamanan yang selama ini dibayangkan oleh Langdon. Ruangan ini dihiasi oleh perabotan mewah, koridornya berisi lukisan-lukisan yang pasti sangat diinginkan oleh banyak museum di seluruh dunia untuk menghiasi balairung utama mereka.

   Pilot itu menunjuk ke arah anak tangga yang curam. "Silakan turun ke bawah."

   Langdon dan Vittoria mengikuti anak tangga yang terbuat dari pualam putih itu. Saat itu mereka berjalan turun dan melewati sederetan patung lelaki yang berdiri telanjang. Setiap patung hanya mengenakan selembar daun fig yang berwarna lebih terang daripada warna keseluruhan tubuh patung-patung itu.

   Pengebirian besar-besaran, pikir Langdon.

   Peristiwa itu adalah tragedi yang paling mengerikan di era Renaisans. Pada tahun 1857, Paus Pius IX berpendapat patung lelaki yang dibuat dengan sangat akurat itu dapat menimbulkan pikiran kotor bagi para penghuni Vatican. Dia kemudian mengambil pahat dan palu, dan menghilangkan bagian kemaluan dari setiap patung lelaki di dalam Vatican City. Dia merusak karya Michaelangelo, Bramante dan Bernini. Plaster berbentuk daun fig dari semen kemudian dipasang untuk menutupi kerusakan itu. Ratusan patung telah dikebiri. Langdon sering bertanya-tanya apakah ada peti kayu besar yang berisi ratusan penis batu yang disimpan di suatu tempat.

   "Di sini," kata pengawal itu. Mereka tiba di dasar anak tangga dan menghadap ke sebuah pintu baja yang berat. Pengawal itu mengetik kode masuk, lalu pintu itu bergeser tebuka. Langdon dan Vittoria masuk. Setelah melewati ambang pintu baj a itu, mereka memasuki ruangan yang sangat aneh. KANTOR GARDA SWISS. Langdon berdiri di pintu dan mengamati tabrakan antar abad di hadapannya. Ruangan itu adalah perpustakaan bergaya Renaisans mewah, lengkap dengan rak-rak buku berukir, karpet oriental, dan permadani dinding yang beraneka warna ... tapi ruangan itu juga dilengkapi dengan perlengkapan berteknologi tinggi, seperti komputer, mesin faks, peta elektronik yang memperlihatkan kompleks Vatican, dan televisi yang menayangkan berita dari CNN. Beberapa lelaki dengan celana panjang berwarna-warni sedang sibuk mengetik di komputer mereka sambil mendengarkan headphone yang futuristik di telinga mereka dengan tekun.

   "Tunggu di sini," kata pengawal itu. Langdon dan Vittoria menunggu ketika pengawal itu melintasi ruangan untuk menuju ke seorang lelaki yang sangat jangkung, kurus, dan berseragam militer berwarna biru tua. Lelaki itu sedang berbicara dengan menggunakan ponselnya dan berdiri sangat tegak sehingga tampak hampir melengkung ke belakang. Pengawal itu mengatakan sesuatu kepadanya, lalu lelaki itu menatap tajam ke arah Langdon dan Vittoria. Dia mengangguk kemudian memunggungi mereka lagi dan melanjutkan pembicaraannya melalui ponselnya itu. Pengawal itu kembali. "Komandan Olivetti akan menemui Anda sebentar lagi."

   "Terima kasih."

   Pengawal itu berlalu dan menuju ke ruang atas.

   Langdon mengamati Komandan Olivetti yang sedang berdiri di seberang ruangan. Dia lalu menyadari kalau lelaki itu adalah Panglima Tertinggi angkatan bersenjata negara mini ini. Vittoria dan Langdon menunggu sambil mengamati kegiatan di depan mereka. Para pengawal berseragam berwarna cerah berlalu-lalang dan menyerukan perintah dalam bahasa Italia.

   "Continua cercandol" seseorang berseru di telepon.

   "Probasti ilmuseoi" yang lainnya bertanya. Langdon tidak harus bisa berbahasa Italia dengan lancar untuk memahami maksud petugas tersebut. Dia tahu kalau saat itu para petugas keamanan di ruang kendali sedang mencari-cari sesuatu dengan tegang. Ini adalah berita baik. Kabar buruknya adalah kemungkinan mereka belum menemukan antimateri itu.

   "Kamu baik-baik saja?" tanya Langdon pada Vittoria. Vittoria mengangkat bahunya dan tersenyum letih. Ketika akhirnya komandan itu mematikan teleponnya dan bergerak ke arah mereka, Langdon melihat lelaki itu menjadi bertambah jangkung setiap kali melangkah mendekati mereka. Tubuh Langdon sudah cukup jangkung, dan dia tidak biasa mendongak ketika berbicara kepada seseorang, tetapi Komandan Olivetti berhasil memaksanya mendongak. Dilihat dari wajahnya yang tampak keras, Langdon segera merasakan bahwa sang komandan adalah laki-laki yang berpengalaman. Rambut sang komandan berwarna hitam dan dipotong sangat pendek bergaya tentara. Matanya sangat tajam yang hanya dapat diperoleh dari latihan keras selama bertahun-tahun. Dia bergerak dengan sangat tegap. Sebuah alat komunikasi tersembunyi di telinganya sehingga membuatnya lebih terlihat seperti Pengawal Rahasia Amerika Serikat daripada Komandan Garda Swiss. Komandan itu berbicara dalam Bahasa Inggris dengan aksen yang kental. Suaranya dapat dibilang lembut bagi seseorang yang begitu jangkung. Nada suaranya kaku dan mencerminkan ketegasan anggota militer. "Selamat siang," sapanya. "Saya Komandan Olivetti-Comandante Principale Garda Swiss. Akulah yang menelepon direktur Anda."

   Vittoria mendongak. "Terima kasih atas kesediaan Anda untuk bertemu dengan kami."

   Komandan itu tidak menjawab. Dia memberi isyarat kepada mereka untuk mengikutinya dan membawa mereka melalui berbagai peralatan elektronik untuk menuju sebuah pintu di sisi ruangan itu.

   "Masuklah," katanya sambil membukakan pintu. Langdon dan Vittoria berjalan melewatinya dan masuk ke ruang kendali yang gelap di mana terdapat begitu banyak monitor video menempel di dinding yang menayangkan gambar hitam-putih dari kompleks itu dengan gerakan lambat. Seorang penjaga muda mengamati gambar-gambar itu dengan serius.

   "Fuori" kata Olivetti. Penjaga itu berkemas dan pergi. Olivetti berjalan menuju salah satu layar monitor dan menunjuknya. Dia lal u berpaling pada tamunya. "Gambar ini berasal dari sebuah kamera yang disembunyikan di suatu tempat di dalam Vatican City. Aku menginginkan penjelasan."

   Langdon dan Vittoria melihat layar itu dan sama-sama terkesiap. Gambar itu sangat jelas. Tidak diragukan lagi. Itulah tabung antimateri CERN. Di dalamnya, setetes cairan metalik mengambang di udara diterangi oleh sinar jam digital LED yang berkedip-kedip. Yang membuatnya menjadi semakin menakutkan adalah ruangan di sekeliling tabung itu sangat gelap, seolah antimateri itu berada di dalam sebuah lemari atau ruangan gelap. Pada bagian paling atas monitor itu menyala tulisan yang sangat mencolok. TAYANGAN LANGSUNG-KAMERA NOMOR 86.

   Vittoria melihat waktu yang masih tersisa pada penunjuk waktu yang menyala di tabung tersebut. "Kurang dari enam jam," Vittoria berbisik kepada Langdon, wajahnya tegang.

   Langdon memeriksa jam tangannya. "Berarti waktu kita hingga ..." Dia berhenti, perutnya terasa seperti terpilin.

   "Tengah malam," sahut Vittoria dengan wajah pucat. Tengah malam, pikir Langdon. Pilihan tepat untuk mendapatan suasana yang dramatis. Sepertinya, siapa pun yang telah mencuri tabung itu kemarin malam, sudah mengukur waktunya dengan sempurna. Sebuah firasat buruk muncul ketika Langdon menyadari dirinya sedang berada di atas sebuah bom waktu yang dahsyat. Suara Olivetti lebih mirip dengan desisan. "Apakah benar itu milik institusi Anda?"

   Vittoria mengangguk. "Ya, Pak. Tabung itu dicuri dari kami. Tabung itu berisi zat yang mudah terbakar disebut antimateri."

   Olivetti tampak tidak tergerak. "Aku cukup akrab dengan berbagai jenis bom, Nona Vetra. Tetapi aku belum pernah mendengar tentang antimateri."

   "Itu teknologi baru. Kita harus menemukannya segera atau mengevakuasi Vatican City."

   Perlahan Olivetti memejamkan matanya dan membukanya kembali seolah dengan memfokuskan kembali tatapannya ke wajah Vittoria dapat mengubah apa yang baru saja didengarnya. "Mengevakuasi? Apakah kamu tahu apa yang sedang terjadi di sini malam ini?"

   "Ya Pak. Dan nyawa para kardinal sedang dalam bahaya. Kita hanya punya waktu kira-kira enam jam. Apakah pencarian tabung itu mengalami kemajuan?"

   Olivetti menggelengkan kepalanya. "Kami bahkan belum mulai mencarinya."

   Vittoria seperti tercekik. "Apa? Tetapi kami mendengar bahwa penjaga Anda berbicara tentang pencarian-"

   "Kami memang sedang mencari," kata Olivetti, "tetapi bukan mencari tabung kalian. Orang-orangku sedang mencari sesuatu yang lain dan itu bukan urusan kalian."

   Suara Vittoria serak. "Kalian bahkan belum mulai mencari tabung itu?"

   Bola mata Olivetti seperti mengecil. Wajahnya terlihat waspada seperti seekor serangga yang sedang menunggu mangsanya. "Namamu Vetra, 'kan? Biar aku jelaskan sesuatu padamu. Direktur perusahaanmu menolak memberikan keterangan apa pun tentang benda itu kepadaku melalui telepon. Dia hanya mengatakan bahwa aku harus menemukannya segera. Kami sangat sibuk dan aku tidak punya waktu luang untuk menyuruh anak buahku untuk mencarinya hingga aku mendapatkan informasi yang jelas."

   "Hanya ada satu fakta yang relevan say ini, Pak," sahut Vittoria. "Dalam hitungan jam alat itu akan menghancurkan seluruh kompleks ini Olivetti tetap tak tergerak. "Nona Vetra, ada yang perlu kamu ketahui. Nada bicaranya menunjukkan kalau dirinyalah bos di sana. "Walau Vatican City terlihat kuno, tapi setiap jalan masuk, baik yang jalan khusus maupun jalan umum, dilengkapi dengan peralatan pengindraan paling mutakhir yang pernah dikenal orang. Ketika seseorang berusaha masuk ke sini dengan membawa benda yang mudah terbakar itu, hal itu langsung bisa kami deteksi. Kami memiliki pemindai isotop radioaktif, penyaring bau yang dirancang oleh DEA untuk mengendus kehadiran unsur kimia beracun ataupun yang mudah terbakar, bahkan dalam jumlah terkecil sekalipun. Kami juga memiliki detektor metal yang paling mutakhir dan pemindai dengan teknologi sinar X."

   "Sangat mengesankan," kata Vittoria dingin, sedingin nada suara Olivetti. "Celakanya, antimateri bukan unsur radioaktif. Elemen kimia yang dimilikinya adalah hidrogen murni dan tab ung itu terbuat dari plastik. Tidak ada alat pendeteksi yang dapat melacaknya."

   "Tetapi tabung itu mempunyai sumber energi," kata Olivetti, sambil menunjuk pada layar LED yang berkedip-kedip. "Bahkan jejak terkecil dari nikel-kadmium sekalipun dapat terlacak sebagai-"

   "Baterenya juga terbuat dari plastik."

   Kesabaran Olivetti mulai tampak menipis. "Batere plastik?"

   "Gel elektrolit dari polimer dan teflon."

   Olivetti mencondongkan tubuhnya ke arah Vittoria seolah ingin menegaskan ukuran tubuhnya yang besar. "Signorina, Vatican menjadi sasaran ancaman bom setiap bulannya. Aku sendiri melatih setiap Garda Swiss untuk memahami teknologi bom. Aku sangat mengetahui kalau tidak ada zat di dunia ini yang cukup kuat untuk melakukan apa yang baru saja kamu jelaskan tadi, kecuali kamu berbicara tentang bom nuklir dengan hulu ledak sebesar bola basket."


Pengemis Binal Pengkhianatan Dewa Maut Pendekar Rajawali Sakti Misteri Naga Laut Rajawali Emas Geger Batu Bintang

Cari Blog Ini