Ceritasilat Novel Online

Malaikat Dan Iblis 9


Dan Brown Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Bagian 9



"Linguapura. Apa lagi kalau bukan matematika?"

   "Seni?"

   "Bahkan di dalam buku ini tidak terdapat diagram atau gambar."

   "Yang kutahu, lingua pura itu mengacu pada sesuatu selain bahasa Italia. Matematika tampak terlalu logis." "Aku setuju."

   Langdon menolak untuk menerima kekalahan terlalu cepat. "Angka itu pasti ditulis dengan huruf sambung. Perhitungan matematika pasti ditulis dengan kata-kata, bukan dengan persamaan."

   "Akan makan waktu untuk membaca semua halaman itu."

   "Kita tidak punya waktu. Kita harus membagi tugas." Langdon membalik tumpukan kertas itu dari halaman awal. "Aku cukup mengerti bahasa Italia untuk mengenali angka-angka." Kemudian, dengan menggunakan spatulanya, dia membagi tumpukan kertas itu seperti tumpukan kartu dan meletakkan tumpukan pertama di depan Vittoria. "Aku yakin kita dapat menemukannya di sini."

   Vittoria mengulurkan tangannya dan membalik halaman pertama dengan tangannya.

   "Spatula!" kata Langdon sambil mengambil alat itu lagi dari nampan. "Gunakan spatula."

   "Aku mengenakan sarung tangan," gerutunya. "Aku tidak akan merusak apa-apa, bukan?"

   "Gunakan sajalah."

   Vittoria memungut spatula itu. "Kamu merasakan apa yang kurasakan?" "Ketegangan?"

   "Bukan. Napas terasa lebih pendek."

   Langdon memang mulai merasakannya juga. Udara mulai menipis lebih cepat dari yang dibayangkannya semula. Dia tahu mereka harus bergegas. Permainan kata yang biasa terdapat di dalam sebuah arsip sudah tidak asing lagi baginya, tetapi biasanya dia mempunyai waktu lebih dari beberapa menit untuk menyelesaikannya. Tanpa berkata-kata lagi, Langdon menundukkan kepalanya dan mulai menerjemahkan halaman pertama dari tumpukannya.

   Tunjukkan dirimu, sialan! Tunjukkan dirimu! PADA SUATU TEMPAT di bawah tanah di kota Roma, sesosok gelap menuruni anak tangga batu menuju ke terowongan bawah tanah. Gang tua itu hanya diterangi oleh obor sehingga udara terasa panas dan pengap. Di atasnya terdengar suara-suara ketakutan dari beberapa orang lelaki dewasa yang berteriak memanggil-manggil dengan sia-sia karena suara mereka hanya memantul pada ruangan kosong di sekitar mereka.

   Ketika lelaki itu membelok ke sudut, dia melihat orang-orang itu masih dalam keadaan yang sama ketika dia meninggalkan mereka beberapa saat yang lalu-empat orang lelaki tua, ketakutan, terkurung di balik jeruji besi berkarat dalam ruangan berdinding batu.

   "Qui etes vous?" tanya salah satu dari keempat lelaki itu dalam bahasa Perancis. "Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan dari kami?"

   "Hilfel" seorang lainnya berkata dalam bahasa Jerman. "Biarkan kami pergi!"

   "Kamu tahu siapa kami?" tanya seorang lagi dalam bahasa Inggris yang beraksen Spanyol.

   "Diam," suara serak itu memerintah. Ada ketegasan dalam nada suaranya. Satu-satunya orang dari keempat tawanan itu, seorang Italia yang tenang dan penuh kehati-hatian, menatap mata penculiknya yang sehitam tinta. Kardinal Italia itu yakin, dia sedang melihat neraka di sana. Tuhan, tolong kami, dia memohon dalam hati. Pembunuh itu melihat jam tangannya dan kemudian berpaling pada para tawanannya. "Nah," katanya. "Siapa yang mau jadi nomor satu?" DI DALAM RUANG ARSIP nomor 10, Robert Langdon mengucapkan nomor dalam bahasa Italia sambil memeriksa kaligrafi di depannya. Mille ... centi ... uno ... duo, tre ... cinquanta. Aku membutuhkan petunjuk nomor! Apa saja, sialan! Ketika tiba sampai ke lembaran folio terakhirnya, Langdon mengangkat spatulanya untuk menjepit lembaran itu. Ketika dia mendekatkan paruh spatulanya ke halaman folio tersebut, dia gemetar karena sulit untuk memegang alat itu dengan tetap. Beberapa menit setelah itu, dia melihat ke bawah dan sadar kalau dia sudah tidak lagi menggunakan spatulanya dan membalik-balik halaman di depannya dengan tangannya. Aduh, pikirnya, sedikit merasa seperti penjahat. Kekurangan oksigen telah memengaruhi kemampuannya untuk menahan diri. Tampaknya aku akan dibakar di neraka arsip.

   "Akhirnya kamu pakai juga tanganmu," kata Vittoria kaget ketika melihat Langdon membalik-balik halaman dengan tangannya. Dia kemudian menjatuhkan spatulanya dan meniru Langdon.

   "Menemukan sesuatu yang menarik?"

   Vittoria menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang benar-benar tampak seperti matematika. Aku membacanya dengan cepat, tetapi tidak ada yang tampak seperti sebuah petunjuk."

   Langdon kembali menerjemahkan halaman folio di hadapannya dengan kesulitan yang semakin bertambah. Penguasaan bahasa Italianya tidak bagus, dan tulisan tangan serta bahasa kuno itu membuatnya semakin lambat. Vittoria berhasil menyelesaikan halaman terakhirnya sebelum Langdon dan tampak berkecil hati ketika dia merapikan kembali tumpukan folio itu. Vittoria terdiam sambil mengamati lagi dengan lebih seksama.

   Ketika Langdon selesai dengan halaman terakhirnya, dia mengumpat perlahan dan menatap Vittoria. Perempuan di hadapannya cemberut, dia kemudian menyipitkan matanya ketika melihat sesuatu di lembaran folionya. "Apa itu?" tanya Langdon.

   Vittoria tidak menatapnya. "Apakah kamu menemukan catatan kaki di halaman-halaman yang kamu periksa?" "Aku tidak melihatnya. Kenapa?"

   "Halaman ini mempunyai catatan kaki. Tidak jelas karena berada dalam lipatan."

   Langdon mencoba melihat apa yang sedang dilihat Vittoria, tetapi apa yang dapat dilihatnya hanyalah nomor halaman di sudut atas sebelah kanan di kertas itu. Folio halaman 5. Perlu waktu sesaat saja untuk mencerna sesuatu yang terjadi secara kebetulan itu. Bahkan ketika memerhatikan nomor halaman itu, Langdon tidak langsung menemukan hubungannya. Folio lima, Phytagoras, pentagrams, Illuminati. Langdon bertanya-tanya apakah Illuminati memilih halaman lima untuk menyembunyikan petunjuk mereka. Melalui kabut kemerahan di sekitar mereka, Langdon merasakan adanya sinar harapan yang tipis. "Apakah catatan kaki itu berupa perhitungan matematika?"

   Vittoria menggelengkan kepalanya. "Teks. Satu baris. Tercetak sangat kecil. Hampir tidak dapat dibaca."

   Harapan Langdon menguap. "Seharusnya berupa perhitungan matematika. Lingua pura."

   Ya, aku tahu." Vittoria ragu. "Tapi mungkin kamu mau mendengarkan ini." Langdon mendengar kesan gembira dalam suara Vittoria.

   "Bacalah."

   Sambil menyipitkan matanya, Vittoria menatap folio di hadapannya. "The path of light is laid, the sacred test." (Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci itu.) Kata-kata itu sama sekali tidak seperti yang dibayangkan Langdon. "Maaf?"

   Vittoria mengulanginya. " The path of light is laid, the sacred test."

   "Jalan cahaya?" Langdon merasa tubuhnya menjadi tegak. "Begitulah katanya. Jalan cahaya."

   Ketika kata-kata itu masuk ke dalam otaknya, Langdon menyadari kebingungan yang dirasakannya selama ini dengan cepat berubah menjadi kejelasan. Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci itu. Langdon tidak tahu bagaimana kalimat itu bisa berguna bagi mereka, tetapi itu jelas merupakan petunjuk langsung ke arah Jalan Pencerahan seperti yang dibayangkannya. Jalan cahaya. Ujian suci. Kepalanya terasa seperti mesin yang sudah berkarat. "Kamu yakin dengan terjemahannya?"

   Vittoria ragu. "Sebenarnya ...," dia menatap Langdon dengan tatapan aneh. "Itu bukanlah terjemahan. Baris itu tertulis dalam bahasa Inggris."

   Sekilas Langdon mengira tata suara di ruangan ini sudah memengaruhi pendengarannya. "Bahasa Inggris?"

   Vittoria menyorongkan dokumen itu ke hadapan Langdon, dan Langdon membaca teks yang tertulis dalam ukuran kecil di dasar halaman itu. "The path of light is laid, the sacred test.

   Bahasa Inggris? Kenapa ada bahasa Inggris di dalam buku Italia?"

   Vittoria menggerakkan bahunya. Dia juga tampak bingung. "Mungkin Bahasa Inggris yang mereka maksud dengan lingua pura? Bahasa Inggris dianggap bahasa internasional dalam ilmu pengetahuan. Kami berbicara dengan Bahasa Inggris di CERN.

   "Tetapi ini tahun 1603," kata Langdon. "Tidak seorang pun berbicara bahasa Inggris di Italia, bahkan tidak-" Tiba-tiba Langdon berhenti, sadar pada apa yang akan dikatakanya, "Tidak ada satu ... pastor pun yang berbahasa Inggris." Otak akademis Langdon bergerak dengan cepat. "Pada tahun 1600-an," lanjutnya dengan lebih cepat sekarang. "Bahasa Inggris adalah bahasa yang tidak digunakan di Vatican. Mereka melakukan perjanjian dalam bahasa Italia, Latin, Jerman dan bahkan Spanyol atau Perancis. Bahasa Inggris adalah bahasa yang betul-betul asing di Vatican. Mereka menganggap bahasa Inggris adalah bahasa kotor yang digunakan orang-orang yang berpikiran bebas, orang-orang yang memuja kehidupan duniawi seperti Chaucer dan Shakespeare." Tiba-tiba Langdon teringat pada cap-cap Illuminati seperti Bumi, Udara, Api, dan Air. Legenda yang mengatakan bahwa cap-cap tersebut diukir dalam Bahasa Inggris sekarang mulai masuk akal walau tetap terdengar aneh.

   "Jadi maksudmu, mungkin Galileo menganggap Bahasa Inggris sebagai la lingua pura karena itu adalah bahasa yang tidak dikendalikan oleh Vatican?"

   "Ya. Atau mungkin dengan meletakkan petunjuk dalam Bahasa Inggris, Galileo secara tidak langsung menyingkirkan pembaca yang berasal dari Vatican."

   "Tetapi itu sama sekali bukan petunjuk," desak Vittoria. "Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci itu?Apa artinya itu?"

   Dia benar, pikir Langdon. Baris itu tidak ada gunanya. Tetapi ketika dia menyebutkan lagi kalimat itu di dalam hati, sebuah kenyataan yang aneh tiba-tiba menyadarkannya. Nah, itu aneh, pikirnya. Apa maksudnya ini semua? "Kita harus keluar dari sini," kata Vittoria dengan suara serak.

   Langdon tidak mendengarnya. The path of light is laid, the sacred test. "Itu adalah baris iambic pentameter" kata Langdon tiba-tiba sambil menghitung suku katanya lagi. "Lima couplet dengan suku kata yang ditekan dan tidak ditekan secara bergantian."

   Vittoria tampak bingung. "Iambic itu siapa?"

   Saat itu juga ingatan Langdon kembali ke Phillips Exeter Academy. Ketika itu dia sedang duduk di kelas bahasa Inggris pada hari Sabtu pagi. Hari yang sial. Bintang baseball sekolah, Peter Greer, mendapat kesulitan dalam mengingat jumlah bait yang dibutuhkan untuk sebuah iambic pentameter dalam karya Shakespeare. Guru mereka, orang yang dicalonkan menjadi kepala sekolah bernama Bissell, berjalan ke arah mejanya dan berteriak. "Penta-meter, Greer! Ingat jumlah hong dalam permainan baseball. Pentagon! Lima sisi! Penta! Penta! Penta! Ya ampun!"

   Lima couplet, pikir Langdon. Menurut definisinya, setiap couplet memiliki dua suku kata. Dia tidak percaya kalau selama ini dia tidak pernah menghubungkan pemikiran itu. Iambic pentameter adalah ukuran simetris yang berdasarkan pada nomor suci Illuminati, 5 dan 2! Kamu mulai berhasil! kata Langdon pada dirinya sambil mencoba mengusir gagasan itu dari benaknya. Ketidaksengajaan yang tidak ada artinya! Tetapi pikirannya tetap terpaku di situ. Lima ... untuk Pythagoras dan pentagram. Dua ... untuk dualitas pada semua hal.

   Sesaat kemudian, sebuah kenyataan yang lainnya mengirimkan sensasi yang membuat lututnya seperti mati rasa. Ia mbic pentameter, karena kesederhanaannya, sering disebut "sajak murni" atau "ukuran murni". La lingua pura?. Mungkinkah ini bahasa murni yang dimaksudkan oleh Illuminati? The path of light is laid, the sacred test ...

   "Uh oh," kata Vittoria. Langdon berpaling dan melihat Vittoria memutar folio itu hingga terbalik. Langdon merasa perutnya tegang. Jangan lagi. "Tidak mungkin baris itu merupakan ambigram!"

   "Bukan. Bukan ambigram ... tetapi ..." Vittoria terus memutar dokumen itu sebesar 90 derajat searah jarum jam.

   "Tetapi apa?"

   Vittoria mendongak. "Ini bukan satu-satunya baris yang ada.' "Ada yang lain?"

   "Ada sebuah baris yang berbeda di setiap pinggirannya. Di atas, di bawah, di kiri dan kanan. Kukira ini adalah puisi."

   "Empat baris?" Langdon merinding karena gembira. Galileo adalah seorang penyair! "Coba kulihat!"

   Vittoria tidak memberikan halaman itu. Dia terus memutarnya sebesar 90 derajat. "Tadi aku tidak melihat baris itu karena tulisan itu berada di pinggiran." Dia memiringkan kepalanya pada baris terakhir. "Hah. Kamu tahu? Galileo bukan orang yang menulis ini. Bukan dia penulisnya."

   "Apa?"

   "Puisi itu ditandatangani oleh John Milton."

   "John Milton?" Seorang penyair Inggris berpengaruh yang menulis Paradise Lost adalah seorang penyair yang hidup semasa dengan Galileo. Milton adalah seorang akademisi yang ditempatkan di posisi teratas dalam daftar tersangka Illuminati oleh kelompok penggemar konspirasi. Pernyataan kalau Milton terkait dengan Illuminati Galileo merupakan satu legenda yang diduga Langdon benar. Tidak saja karena Milton pernah pergi ke Roma yang didokumentasikan dengan baik pada tahun 1638 untuk "bergabung dengan orang-orang yang mendapat pencerahan," tetapi dia juga telah bertemu dengan Galileo selama ilmuwan itu ditahan di rumah. Pertemuan-pertemuan itu diabadikan pada banyak lukisan Renaisans, termasuk dalam lukisan karya Annibale Gatti yang terkenal itu, Galileo and Milton, yang sekarang tergantung pada Museum IMSS di Florence.

   "Milton mengenal Galileo, bukan?" tanya Vittoria ketika akhirnya dia menyodorkan halaman folio itu pada Langdon. "Mungkin dia menulis puisi untuk penghormatan?"

   Langdon mengeraskan rahangnya ketika dia mengambil lembaran dokumen itu. Dia tetap membiarkannya terletak di atas meja, lalu membaca baris yang ada di bagian atas halaman itu. Kemudian dia memutar halaman itu 90 derajat, lalu membaca baris di sisi kanan. Satu putaran lagi, dan dia membaca di bagian bawah. Satu putaran berikutnya, yang sebelah kiri. Langdon lalu memutar 90 derajat lagi untuk menyelesaikan satu putaran. Semua ada empat baris. Baris pertama yang ditemukan Vittoria itu seharusnya merupakan baris ketiga. Sambil terperangah, Langdon membaca keempat baris itu sekali lagi searah jarum jam, dari atas, lalu kanan, kemudian bawah, dan akhirnya kiri. Ketika dia sudah selesai, dia menarik napas panjang. Tidak ada keraguan dalam benaknya. "Kamu telah menemukannya, Nona Vetra."

   Vittoria tersenyum tegang. "Bagus, sekarang kita bisa keluar dari sini?"

   "Aku harus mencatat baris-baris itu. Aku perlu pensil dan kertas."

   Vittoria menggelengkan kepalanya. "Lupakan, profesor. Tidak ada waktu untuk menulis. Si Mickey berdetik." Vittoria kemudian mengambil halaman itu dari tangan Langdon dan menuju pintu.

   Langdon berdiri. "Kamu tidak boleh membawanya keluar! Itu sebuah-"

   Tetapi Vittoria sudah menghilang.

   LANGDON DAN VITTORIA meloncat ke halaman di luar ruang Arsip Rahasia. Udara segar terasa seperti candu ketika mengalir ke dalam paru-paru Langdon. Titik ungu dalam penglihatannya segera menghilang. Tapi tidak dengan rasa berdosa yang kini dirasakannya. Dia baru saja menjadi antek pencurian sebuah peninggalan sejarah yang sangat berharga yang terdapat di ruang penyimpanan arsip yang paling tertutup di dunia. Langdon seperti mendengar suara sang camerlegno berkata, Aku memberikan kepercayaanku kepadamu.

   "Cepat," kata Vittoria sambil masih memegang lembaran folio itu di tangannya dan berjalan dengan setengah berlari menyeberangi Via Borgia menuju ke arah kantor Olivetti.

   "Kalau ada air mengenai papir us itu-"

   "Tenang saja. Begitu kita bisa memecahkan kode ini, kita dapat mengembalikan folio halaman 5 mereka yang suci itu."

   Langdon mempercepat jalannya untuk mengejar Vittoria. Selain merasa seperti seorang penjahat, dia juga masih takjub dengan pesona dokumen itu. John Milton adalah seorang anggota Illuminati. Dia menciptakan puisi untuk Galileo dan dipublikasikan dalam folio halaman 5 ... jauh dari pengetahuan Vatican.

   Ketika mereka meninggalkan halaman depan gedung arsip, Vittoria mengeluarkan lembaran folio itu dan memberikannya kepada Langdon. "Kamu pikir kamu dapat memecahkan sandi yang tertulis di sini? Atau kita tadi hanya memeras otak untuk sesuatu yang sia-sia saja?"

   Langdon menerima lembaran itu dengan hati-hati. Tanpa ragu dia menyelipkannya ke dalam salah satu saku di balik jas wolnya agar terhindar dari sinar matahari dan bahaya kelembaban. "Aku sudah memecahkan sandinya."

   Vittoria berhenti mendadak. "Apa?"

   Langdon terus berjalan. Vittoria mengejarnya. "Kamu baru membacanya sekali! Kupikir sandi itu akan sulit untuk dipecahkan!"

   Langdon tahu Vittoria benar, tapi dia telah berhasil memecahkan segno itu dengan satu kali baca saja. Sebuah stanza yang sempurna yang memiliki iambic pentameter, dan altar ilmu pengetahuan yang pertama terlihat dengan sangat jelas. Diakuinya, penemuan yang terlalu mudah itu membuatnya merasa gelisah. Dia dibesarkan oleh etika kerja kaum puritan. Dia masih dapat mendengar ayahnya mengucapkan sebuah pepatah Inggris kuno. Kalau tidak sulit, berarti kamu salah mengerjakannya. Langdon berharap pepatah itu salah. "Aku telah memecahkannya," katanya sambil berjalan lebih cepat sekarang. "Aku tahu di mana pembunuhan pertama akan dilakukan. Kita harus memperingatkan Olivetti."

   Vittoria mengejar langkahnya. "Bagaimana kamu bisa tahu? Coba kulihat kertas itu lagi." Dengan ketangkasan seorang petinju, Vittoria merogoh saku jas Langdon dan menarik keluar lembaran folio itu lagi.

   "Hati-hati!" seru Langdon. "Kamu tidak dapat-" Vittoria mengabaikannya. Sambil memegang lembaran itu di tangannya, Vittoria berjalan di samping Langdon, dan membaca dokumen tersebut di bawah lampu malam serta memeriksa pinggirannya. Ketika Vittoria mulai membacanya dengan keras Langdon berniat untuk mengambil kembali folio itu, tetapi dia terpesona pada suara alto dan aksen perempuan itu ketika membaca suku kata puisi itu dalam irama yang sempurna dengan gayanya sendiri. Untuk sesaat, ketika mendengarkan bait-bait yang dibaca dengan suara keras oleh Vittoria, Langdon merasa seperti dipindahkan ke masa yang lain ... seolah dia berada di masa ketika Galileo masih hidup dan sedang mendengarkan pembacaan puisi untuk pertama kalinya ... Langdon tahu puisi itu adalah ujian, sebuah peta, sebuah petunjuk untuk menemukan keempat altar ilmu pengetahuan ... sekaligus keempat petunjuk yang mengungkap sebuah jalan rahasia di Roma. Bait-bait itu mengalir dari bibir Vittoria seperti sebuah lagu. From Santi's earthly tomb with demons hole, 'Cross Rome the mystic elements unfold. The path of light is laid, the sacred test, Let angels guide you on your lofty quest. (Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis, Seberangi Roma untuk membuka elemen-elemen mistis. Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci itu, Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian muliamu.) Vittoria membacanya dua kali kemudian terdiam, seolah membiarkan kata-kata kuno itu bergema sendiri. Dari makam duniawi Santi, ulang Langdon dalam benaknya. Puisi itu sangat jelas tentang hal itu. Jalan Pencerahan dimulai dari makam Santi. Dari situ, seberangi Roma untuk menemukan berbagai petunjuk yang menerangi jejak itu. Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis, Seberangi Roma untuk membuka elemen-elemen mistis. Elemen-elemen mistis. Ini juga jelas. Tanah, Udara, Api, Air. Elemen-elemen ilmu pengetahuan, keempat petunjuk Illuminati tersebut disamarkan sebagai patung yang terlihat religius.

   "Petunjuk pertama," kata Vittoria, "sepertinya berada di makam Santi."

   Langdon tersenyum. "'Kan aku sudah bilang. Ini tidak terlalu su lit."

   "Jadi, siapa Santi itu?" tanyanya, nada suaranya tiba-tiba terdengar gembira. "Dan di mana makamnya?"

   Langdon tertawa sendiri. Dia kagum karena hanya segelintir orang saja yang tahu siapa Santi itu, padahal nama itu adalah nama belakang seorang seniman zaman Renaisans ternama. Nama depannya sangat dikenal dunia ... seorang anak berbakat yang pada usia 25 tahun mendapatkan jabatan penting pada masa Paus Julius II. Dan ketika dia meninggal pada usia 38 tahun, dia meninggalkan koleksi lukisan dinding yang paling hebat di dunia. Santi adalah raksasa seni dunia, dan hanya dikenal dengan nama depannya saja. Itu adalah pencapaian kesuksesan yang hanya diperoleh oleh segelintir orang saja ... orang-orang seperti Napoleon, Galileo, Yesus ... dan, tentu saja, orang-orang setengah dewa yang sekarang dikenal Langdon. Mereka itu sering terdengar berteriak-teriak dari kamar mahasiswa di asrama kampus Harvard- Sting, Madonna, Jewel, dan seniman yang dulu dikenal sebagai Prince, yang sekarang telah mengganti namanya dengan simbol 'T, dan membuat Langdon menjulukinya sebagai "The Tau Cross With Intersecting Hermaphroditic Ankh." (Salib Tau yang bersinggungan dengan tanda Ankh hermaprodit).

   "Santi," kata Langdon, "adalah nama belakang seorang seniman hebat zaman Renaisans, Raphael."

   Vittoria tampak terkejut. "Raphael? Maksudmu Raphael yang...?"

   "Satu-satunya Raphael." Langdon terus berjalan dengan cepat untuk segera sampai ke kantor Olivetti.

   "Jadi jalan itu bermula dari makam Raphael?"

   "Sebenarnya itu sangat masuk akal," kata Langdon sambil bergegas. "Illuminati sering menganggap seniman dan pematung besar sebagai saudara kehormatan kelompok mereka. Kelompok Illuminati mungkin memilih makam Raphael sebagai tanda penghormatan mereka." Langdon juga tahu bahwa Raphael, seperti juga banyak seniman religius lainnya, diduga diam-diam adalah seorang ateis. Vittoria menyelipkan lembaran folio itu kembali ke dalam saku jas Langdon dengan hati-hati. "Jadi, di mana dia dimakamkan?"

   Langdon menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Vittoria. "Percaya atau tidak. Raphael dimakamkan di Pantheon."

   Vittoria tampak ragu. "Pantheon yang itu?"

   "Sang Raphael di Pantheon yang itu." Langdon harus mengakui, dia tidak pernah menduga Pantheon sebagai petunjuk pertama. Selama ini dia mengira altar ilmu pengetahuan pertama berada di tempat yang tenang, jauh dari gereja, suatu tempat yang tidak menyolok. Walau pada tahun 1600-an, Pantheon, dengan kubah besarnya yang berlubang, adalah salah satu situs Roma yang terkenal.

   "Apakah Pantheon itu sebuah gereja?" tanya Vittoria.

   "Gereja Katolik tertua di Roma."

   Vittoria menggelengkan kepalanya. "Tetapi apakah kamu benar-benar yakin kardinal pertama akan dibunuh di Pantheon? Tempat itu pasti menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi turis di Roma."

   Langdon mengangkat bahunya. "Si pembunuh yang menelepon sang camerlegno tadi berkata dia ingin seluruh dunia melihatnya. Membunuh seorang kardinal di Pantheon tentu akan membuka banyak mata."

   "Tetapi bagaimana orang itu bisa berharap dapat membunuh seseorang di Pantheon dan kabur begitu saja tanpa diketahui? Itu tidak mungkin."

   "Sama tidak mungkinnya dengan menculik empat orang kardinal dari Vatican City? Puisi itu tepat sekali."

   "Kamu yakin bahwa Raphael dimakamkan di dalam Pantheon?"

   "Aku sudah pernah melihat makam itu beberapa kali." Vittoria mengangguk walau masih terlihat cemas. "Jam berapa sekarang?"

   Langdon melihat jam tangannya. "Tujuh tiga puluh."

   "Apakah Pantheon itu jauh letaknya?"

   "Satu mil mungkin. Kita masih punya waktu."

   "Puisi itu mengatakan makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Apakah itu punya arti tertentu bagimu?"

   Langdon bergegas melintasi Halaman Sentinel secara diagonal. "Duniawi? Sebenarnya mungkin tidak ada tempat paling duniawi di Roma selain Pantheon. Nama itu berasal dari agama asli yang dipraktikkan di sana ketika itu-Pantheisme, keyakinan yang memuja semua dewa, terutama dewa yang bernama Ibu Bumi."

   Sebagai mahasiswa arsitektur, Langdon merasa kagum ketika mempelajari bahwa dimensi ruang utama P antheon merupakan penghormatan bagi Gaea-dewi Bumi. Proporsinya begitu tepat sehingga sebuah bola dunia raksasa dapat masuk dengan sempurna ke dalam bangunan itu.

   "Oke," kata Vittoria, sekarang terdengar lebih yakin. "Dan lubang iblis? Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis?"

   Langdon tidak terlalu yakin tentang hal itu. "Lubang iblis pasti maksudnya lubang di puncak kubah," sahut Langdon sambil menerka-nerka. "Bagian terbuka berbentuk bulat yang terkenal yang berada di atap Pantheon."

   "Tetapi itu sebuah gereja," sanggah Vittoria sambil bergerak sesuai langkah kaki Langdon yang cepat tanpa harus bersusah payah. "Kenapa mereka menamakan bagian terbuka itu lubang iblis?"

   Langdon sebenarnya juga heran. Dia belum pernah mendengar istilah "lubang iblis" sebelumnya, tetapi dia ingat sebuah kritik tentang Pantheon yang terkenal dari abad ke enam yang kata-katanya terdengar sangat masuk akal sekarang. Venerable Bede seorang akademisi, sejarawan dan ahli teologi asal Inggris, pernah menulis lubang di langit-langit Pantheon dibuat oleh setan yang mencoba melarikan diri dari gedung itu ketika tempat itu disucikan oleh Boniface IV.

   Vittoria menambahkan ketika mereka memasuki halaman yane lebih kecil, "Tapi kenapa Illuminati menggunakan nama Santi kalau dia seharusnya terkenal dengan nama Raphael?"

   "Kamu banyak bertanya."

   "Ayahku pernah mengatakan itu padaku."

   "Ada dua alasan yang masuk akal. Satu, kata Raphael memiliki terlalu banyak suku kata sehingga akan merusak iambic pentameter yang terdapat dalam puisi itu."

   "Terlalu panjang dibanding kata Santi."

   Langdon setuju. "Selain itu, dengan menggunakan nama 'Santi' petunjuk itu jadi tersamar, sehingga hanya orang yang sangat tercerahkan yang dapat mengenali petunjuk ke makam Raphael itu."

   Tampaknya Vittoria tidak percaya dengan alasan itu. "Aku yakin nama belakang Raphael sangat terkenal ketika dia masih hidup."

   "Anehnya, ternyata tidak begitu. Pengakuan dengan nama tunggal adalah simbol status. Raphael menghindari penggunaan nama belakang seperti juga banyak bintang terkenal masa kini. Misalnya Madonna. Dia tidak pernah menggunakan nama keluarganya, Ciccone."

   Vittoria tampak tertarik. "Kamu tahu nama belakang Madonna? Langdon menyesali pilihan contohnya itu. Tapi itu tidak aneh kalau mengingat dia terlalu banyak bergaul dengan anak-anak muda di kampus.

   Ketika dia dan Vittoria melintasi gerbang terakhir menuju ke Kantor Garda Swiss, langkah mereka tiba-tiba dihentikan.

   "Para!" sebuah suara berteriak di belakang mereka. Langdon dan Vittoria berputar dan melihat sepucuk laras senjata mengarah kepada mereka.

   "Attento!" Vittoria berteriak sambil terloncat mundur. "Hatihati dengan-"

   "Non sportarti!" bentak penjaga itu sambil mengokang senjatanya.

   "Soldato!" sebuah suara dengan nada memerintah terdengar dari seberang halaman. Olivetti keluar dari Markas Garda Swiss. "Biarkan mereka pergi!"

   Penjaga itu tampak bingung. "Ma, signore, e una donna-"

   "Masuk!" Olivetti berteriak lagi pada penjaga itu.

   "Signore, non posso-"

   "Sekarang! Kamu punya perintah baru. Kapten Rocher akan memberikan pengarahan dalam waktu dua menit lagi. Kita akan mengatur pencarian."

   Dengan wajah bingung, penjaga itu bergegas memasuki Markas Garda Swiss. Olivetti berjalan ke arah Langdon dan Vittoria dengan kaku dan terlihat kesal. "Arsip kami yang paling rahasia? Aku minta sebuah penjelasan."

   "Kami mempunyai berita bagus," kata Langdon. Mata Olivetti menyipit. "Harus sangat-sangat bagus." EMPAT BUAH MOBIL Alfa Romeo 155 T-Spark tanpa nomor menderu di jalan Via del Coronari seperti jet tempur meluncur di landasan pacu. Kendaraan itu membawa dua belas orang Garda Jwiss dengan baju preman dan bersenjata semi otomatis Cherchi-Pardini, sejenis senjata yang dilengkapi tabung gas syaraf jarak pendek dan pistol pelumpuh jarak jauh. Tiga penembak jitu membawa senapan dengan pembidik yang dilengkapi oleh sinar laser. Olivetti berada di mobil terdepan dan duduk di samping supir. Ketika dia menoleh ke belakang ke arah Langdon dan Vittoria, matanya bersinar marah. "Jadi ini yang kamu m aksud dengan penjelasan yang masuk akal?"

   Langdon merasa kaku setiap kali duduk di dalam mobil yang sempit. "Aku bisa mengerti kalau kamu-"

   "Tidak. Aku tidak mengerti!" Olivetti tidak pernah meninggikan suaranya, tapi ketegangannya meningkat tiga kali lipat saat ini. "Aku baru saja memindahkan dua belas penjaga terbaikku dari Vatican City di tengah-tengah acara pemilihan paus yang sedang berlangsung. Dan aku melakukannya untuk mengintai Pantheon berdasarkan keterangan orang Amerika yang tidak aku kenal yang baru saja menerjemahkan puisi berusia empat ratus tahun. Sementara itu, aku malah menyerahkan pencarian senjata antimateri itu kepada petugas kelas dua."

   Langdon menahan diri untuk tidak mengeluarkan folio halaman 5 dari saku jasnya dan melambai-lambaikannya di depan wajah Olivetti. Dia hanya berkata, "Setahuku, informasi yang kami temukan menunjuk ke makam Raphael, dan makan Raphael itu berada di dalam Pantheon."

   Penjaga di belakang kemudi mengangguk. "Dia benar, Komandan. Istriku dan aku-"

   "Kamu mengemudi saja," bentak Olivetti. Lalu dia berpaling lagi pada Langdon. "Bagaimana seseorang bisa melakukan pembunuhan di tempat yang dipenuhi oleh pengunjung dan melarikan diri tanpa dilihat orang?"

   "Aku tidak tahu," jawab Langdon. "Tetapi jelas Illuminati itu adalah kelompok yang sangat cerdik. Mereka berhasil memasuki CERN dan Vatican City tanpa ketahuan. Kita cukup beruntung dapat mengetahui di mana tempat pembunuhan pertama akan dilakukan. Pantheon adalah satu kesempatan bagimu untuk menangkap orang itu."

   "Apa?" tanya Olivetti. "Satu kesempatan? Kukira kamu tadi mengatakan ada semacam jejak. Serangkaian petunjuk. Kalau Pantheon adalah tempat yang tepat, kita dapat mengikuti jalur itu ke petunjuk berikutnya. Kita memiliki empat kesempatan untuk menangkap orang itu."

   "Kuharap juga begitu," kata Langdon. "Seharusnya kita melakukan ini ... seabad yang lalu."

   Penemuan bahwa Pantheon adalah altar ilmu pengetahuan yang pertama ternyata menjadi momen yang menyenangkan sekaligus menyedihkan bagi Langdon. Sejarah diwarnai oleh kekejaman terhadap siapa pun yang berusaha untuk mengetahui jejak Illuminati. Kemungkinan bahwa Jalan Pencerahan masih utuh dengan keempat patungnya sangatlah kecil. Walaupun selama ini Langdon sering berangan-angan untuk menelusuri jejak tersebut sampai bertemu dengan markas Illuminati, dia menyadari hal itu tidak mungkin terwujud. "Vatican telah memindahkan dan menghancurkan semua patung di Pantheon pada akhir tahun 1800-an."

   Vittoria tampak terkejut. "Kenapa demikian?"

   "Patung-patung itu dianggap sebagai patung dewa-dewa Pagan Olympia. Jadi itu artinya petunjuk pertama sudah hilang ... bersama-sama dengan-"

   "Harapan untuk menemukan Jalan Pencerahan dan petunjuk-petunjuk lainnya?" tanya Vittoria memotong kalimat Langdon. Langdon menggelengkan kepalanya. "Kita hanya punya satu kesempatan. Pantheon. Setelah itu, tidak ada petunjuk lainnya."

   Olivetti menatap Langdon dan Vittoria. Setelah beberapa saat kemudian dia berpaling menghadap, ke depan. "Menepi," katanya tegas pada si pengemudi.

   Pengemudi itu menepikan mobilnya ke arah pinggiran jalan dan menghentikan mobilnya. Tiga mobil Alfa Romeo di belakang mereka mengerem kendaraannya hingga mengeluarkan suara berdecit. Konvoy Garda Swiss berhenti.

   "Apa yang kamu lakukan?" tanya Vittoria sambil berseru.

   "Pekerjaanku," sahut Olivetti sambil menoleh ke belakang, suaranya terdengar keras seperti batu. "Pak Langdon, ketika kamu mengatakan akan menjelaskan semuanya dalam perjalanan, aku mengira akan mendekati Pantheon dengan alasan yang jelas kenapa anak buahku harus berada di sini. Kami tidak punya alasan di sini. Kita tidak bisa meneruskan pengejaran ini karena saya mengabaikan tugas yang lebih penting dengan pergi ke sini, dan karena teori Anda tentang pengorbanan perjaka dan puisi kuno itu tidak masuk akal. Saya membatalkan misi ini sekarang juga." Dia lalu mengeluarkan walkie-talkie-nya. dan menyalakannya. Vittoria mengulurkan tangannya ke depan dan mencengkeram tangan Olivetti. "Kamu tidak bisa begitu!"

   Olivetti membanting walkie-talkie-nya dan melotot kepada Vittoria dengan matanya yang merah. "Kamu pernah ke Pantheon, Nona Vetra?"

   "Belum, tetapi aku-"

   "Biarkan aku menjelaskannya padamu. Pantheon adalah sebuah ruangan. Sebuah ruangan bulat terbuat dari batu dan semen. Gedung itu hanya mempunyai satu jalan masuk. Tidak ada jendela. Hanya satu jalan masuk yang sempit. Jalan masuk itu selalu dijaga oleh tidak kurang dari empat polisi Roma bersenjata yang melindungi tempat suci itu dari perusak seni, teroris anti-Kristen, dan turis-turis gipsi yang ceroboh,"

   "Maksudmu?" tanya Vittoria dingin.

   "Maksudku?" tangan Olivetti mencengkeram tempat duduknya dengan kesal. "Maksudku adalah, apa yang baru saja kalian katakan kepadaku tentang apa yang akan terjadi, bagiku itu sangat tidak mungkin! Dapatkah kalian memberiku skenario yang masuk akal bagaimana orang dapat membunuh seorang kardinal di dalam Pantheon? Pertama-tama, bagaimana seseorang dapat membawa seorang sandera melewati para penjaga untuk memasuki Pantheon? Apalagi benar-benar membunuhnya dan melarikan diri dari situ? Olivetti mencondongkan tubuhnya dan Langdon dapat mencium napasnya yang beraroma kopi. "Bagaimana, Pak Langdon? Beri aku satu skenario yang masuk akal."

   Langdon merasa mobil kecil itu menyusut di sekitarnya. Aku tidak tahu! Aku bukan seorang pembunuh! Aku tidak tahu bagaimana dia akan melakukannya! Aku hanya tahu-"Satu skenario?" sahut Vittoria dengan suara yang mantap. "Coba dengar ini, pembunuh itu terbang dengan helikopter dan menjatuhkan seorang kardinal yang sudah dicap tubuhnya melalui lubang di atap Pantheon. Tubuh kardinal itu menghantam lantai pualam dan mati."

   Semua orang yang berada di dalam mobil itu berpaling dan menatap Vittoria. Langdon tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Kamu mempunyai khayalan yang mengerikan, nona, tetapi kamu sangat cepat.

   Olivetti mengerutkan keningnya. "Aku akui itu mungkin saja ... tetapi-"

   "Atau si pembunuh membius kardinal yang malang itu," kata Vittoria lagi, "lalu membawanya dengan kursi roda memasuki Pantheon seperti seorang turis tua lainnya. Dia mendorongnya ke dalam, diam-diam memotong lehernya, kemudian berjalan keluar."

   Yang ini tampak sedikit membawa pengaruh bagi Olivetti. Tidak buruk! pikir Langdon.

   "Atau," Vittoria masih melanjutkan, "pembunuh itu dapat-"Aku sudah mendengarkanmu," kata Olivetti. "Cukup." Dia menghela napas panjang dan menghembuskannya. Seseorang mengetuk jendela mobil dengan keras sehingga semua orang di dalam mobil itu terlonjak. Dia seorang serdadu dari mobil yang lain. Olivetti menurunkan kaca jendelanya.

   "Semua beres, Komandan?" Serdadu itu juga berpakaian preman. Dia kemudian menarik lengan bajunya ke atas dan menampakkan sebuah jam tangan chronograph tentara berwarna hitam. "Jam tujuh lewat empat puluh, Komandan. Kita harus segera berada di tempat." 335 DAN BROWN Olivetti mengangguk kecil tetapi tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat. Dia menggosok-gosokkan jarinya di atas dasbor sambil berpikir. Dia mengamati Langdon yang duduk di bangku belakang dari kaca spion. Langdon merasa dirinya sedang diukur dan ditimbang. Akhirnya Olivetti berpaling lagi pada penjaga itu. Ada nada enggan dalam suaranya. "Kita akan mendekati sasaran dengan berpencar. Masing-masing ke Piazza della Rotunda, Via degli Orfani, Piazza Sant'Ignacio, dan Sant'Eustachio. Jangan lebih dekat dari dua blok. Begitu kalian memarkir mobil, tetap siagakan mobil dan tunggu perintahku. Tiga menit."

   "Baik, Pak." Lalu serdadu itu kembali ke mobilnya. Komandan itu berpaling ke belakang dari tempat duduknya dan menatap tajam pada Langdon. "Pak Langdon, ini sebaiknya tidak membuat kita malu."

   Langdon tersenyum dengan perasaan tidak tenang. Bagaimana bisa memalukan? DIREKTUR CERN, Maximilian Kohler, membuka matanya dan merasakan aliran deras cromolyn dan leukotriene yang dingin di dalam tubuhnya untuk memperbesar saluran tenggorokan dan kapiler paru-parunya. Dia sekarang sudah bisa bernapas dengan normal lagi. Kohler sadar, dirinya terbaring di dalam ruang pribadi di bagian perawatan CERN. Kursi rodanya berada di samping te mpat tidur.

   Dia memerhatikan sekelilingnya, lalu ditelitinya pakaian kertas yang dipakaikan suster untuknya. Pakaiannya sendiri terlipat dan diletakkan di atas kursi di samping tempat tidur. Dari luar, dia dapat mendengar seorang perawat berjalan untuk melakukan pemeriksaan rutin. Kohler terbaring di sana dan mendengarkan suara-suara di sekelilingnya untuk beberapa saat. Kemudian, diam-diam dia bangkit dan duduk di tepi tempat tidur lalu meraih pakaiannya. Kedua kakinya yang lumpuh membuatnya harus berjuang ketika mengenakan pakaiannya sendiri. Setelah itu dia menyeret tubuhnya hingga duduk di atas kursi rodanya.

   Sambil menutup mulutnya ketika terbatuk, Kohler menggelinding di atas kursi rodanya ke arah pintu. Dia menggerakkan kursi rodanya secara manual dan dengan berhati-hati supaya motor kursi rodanya tidak menyala. Ketika dia tiba di pintu, dia mengintai ke luar. Gang itu kosong.

   Tanpa suara, Maximilian Kohler menyelinap keluar dari ruang perawatan.

   "JAM 7 LEWAT 46 ... bersiaplah." Bahkan ketika berbicara pada walkie-talkie-nya, suara Olivetti sepertinya tidak pernah lebih keras daripada sebuah bisikan.

   Langdon merasa tubuhnya mulai berkeringat di balik jas wol Harris-nya ketika duduk di bangku belakang Alfa Romeo yang diparkir di Piazza de la Concorde yang berjarak hanya tiga blok dari Pantheon. Vittoria duduk di sampingnya dan tampak terpesona dengan Olivetti yang sedang memberikan perintah terakhirnya.

   "Pasukan akan ditempatkan di delapan titik," kata sang komandan. "Kepung Pantheon dengan kemiringan di pintu masuk. Target mungkin bisa mengenali kita, jadi usahakan untuk tidak terlihat. Ini operasi untuk melumpuhkan sasaran. Kita membutuhkan orang yang bisa mengamati atap. Target yang utama. Tawanannya nomor dua."

   Ya ampun, pikir Langdon dan merasa merinding karena keefisienan Olivetti ketika mengatur operasinya. Sang komandan baru saja mengatakan bahwa kardinal yang menjadi tawanan adalah sesuatu yang dapat diurus nanti. Tawanannya nomor dua.

   "Kuulangi. Operasi ini hanya untuk melumpuhkan. Tangkap target hidup-hidup. Ayo." Olivetti kemudian mematikan walkie-talkie-nya. Vittoria tampak hampir meledak kemarahannya. "Komandan apa ada orang yang akan masuk?"

   Olivetti memutar tubuhnya. "Masuk?"

   "Masuk ke Pantheon! Tempat di mana kejadian ini diperkirakan terjadi."

   "Attento," kata Olivetti, matanya menatap tajam. "Kalau anak buahku sudah disusupi oleh Illuminati, si pembunuh pasti dapat mengenali mereka. Temanmu itu baru saja mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menangkap sasaran kita. Aku tidak berniat untuk menakut-nakuti siapa pun dengan menyuruh orang-orangku menyerbu ke dalam."

   "Tetapi bagaimana kalau si pembunuh sudah berada di dalam?"

   Olivetti melihat jam tangannya. "Sasaran kita itu bukan sejenis orang yang suka main-main. Pukul delapan tepat. Kita masih punya waktu lima belas menit."

   "Dia bilang dia akan membunuh sang kardinal jam delapan tepat. Tapi mungkin dia sudah membawa korban ke dalam Pantheon. Bagaimana kalau anak buahmu melihat si pembunuh berjalan keluar tetapi tidak dapat mengenalinya? Harus ada orang yang memastikan bahwa di dalam memang bersih."

   "Terlalu berisiko untuk saat ini."

   "Tidak berisiko kalau orang yang masuk ke dalam adalah orang yang tidak dikenalinya."

   "Operasi penyamaran memakan banyak waktu dan-"

   "Maksudku, aku yang masuk," kata Vittoria. Langdon berpaling dan menatap Vittoria. Olivetti menggelengkan kepalanya. "Aku sama sekali tidak setuju."

   "Dia membunuh ayahku."

   "Betul sekali, jadi mungkin saja dia tahu siapa dirimu." "Kamu mendengarnya ketika berkata di telepon tadi. Dia tidak tahu Leonardo Vetra mempunyai anak perempuan. Aku sangat yakin, dia tidak akan mengenali wajahku. Aku dapat berjalan masuk seperti turis. Kalau aku melihat apa saja yang mencurigakan, aku dapat berjalan ke lapangan dan memberi tanda, lalu orang-orangmu masuk."

   "Maaf, tetapi aku tidak dapat mengizinkan itu."

   "Comandante?" alat penerima Olivetti berbunyi. "Kami menemukan situasi sulit di titik utara. Ada air mancur yang menghalangi pandangan kami. Ka mi tidak dapat melihat ke dalam kecuali kalau kami bergerak ke tempat terbuka di piazza. Apa pilihan Anda? Anda mau kami tidak bisa melihat sasaran atau berada di tempat terbuka sehingga mudah tertembak?"

   Tampaknya Vittoria telah menahan diri cukup lama, "Cukup. Aku masuk." Dia lalu membuka pintu dan keluar.

   Olivetti menjatuhkan walkie-talkie-nya dan meloncat keluar mobil, dan berdiri di depan Vittoria.

   Langdon juga keluar. Dia pikir apa yang bisa dilakukannya? Olivetti menghalangi jalan Vittoria. "Nona Vetra, nalurimu memang bagus, tetapi aku tidak boleh melibatkan orang sipil."

   "Melibatkan? Pandangan anak buahmu terhalang. Biarkan aku membantu."

   "Aku semestinya senang kalau memiliki seorang pengintai di dalam, tetapi .... "

   "Tetapi apa?" tanya Vittoria. "Tetapi aku seorang perempuan?"

   Olivetti tidak mengatakan apa-apa.

   "Sebaiknya kamu tidak mengucapkan itu, Komandan. Kita tahu pasti ini adalah gagasan yang sangat bagus. Dan kalau kamu membiarkan omong kosong tentang sifat macho yang kuno itu-"

   "Kita kerjakan saja pekerjaan kita." Biarkan aku membantu."

   "Terlalu berbahaya. Kami tidak mempunyai jalur komunikasi denganmu. Aku tidak akan membiarkanmu membawa walkie-talkie. Itu akan menarik perhatian."

   Vittoria merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan ponselnya. "Banyak turis membawa telepon."

   Olivetti mengerutkan keningnya.

   Vittoria membuka ponselnya dan berpura-pura menelepon "Hai, sayang, aku sedang berdiri di Pantheon. Kamu harus melihat tempat ini!" Setelah itu dia menutup ponselnya lagi dan melotot ke arah Olivetti. "Siapa yang akan tahu? Ini bukan keadaan yang berbahaya. Biarkan aku menjadi matamu!" Dia menunjuk ponsel di ikat pinggang Olivetti. "Berapa nomormu?"

   Olivetti tidak menjawab.

   Petugas yang bertugas sebagai supir mobil yang membawa mereka memerhatikan situasi ini sejak tadi dan sekarang tampaknya dia memiliki gagasan sendiri. Dia lalu keluar dari mobilnya dan menggandeng sang komandan agar menyingkir sedikit. Mereka kemudian berbisik-bisik selama sepuluh detik. Akhirnya Olivetti mengangguk dan kembali. "Catat nomor ini." Lalu dia mulai mendiktekan beberapa angka.

   Vittoria memasukkan nomor tersebut ke dalam ponselnya.

   "Sekarang telepon nomor itu."

   Vittoria menekan tombol sambungan otomatis. Ponsel di ikat pinggang Olivetti berdering. Dia mengambilnya dan berbicara dengan ponselnya. "Masuklah ke gedung itu, Nona Vetra, lihat ke sekelilingmu. Keluar dari gedung, lalu telepon dan katakan padaku apa yang kamu lihat."

   Vittoria menutup teleponnya. "Terima kasih, Pak."

   Tiba-tiba Langdon merasa terdorong untuk melindungi Vittoria. "Tunggu sebentar," katanya pada Olivetti. "Kamu mengirimnya ke dalam sana sendirian?"

   Vittoria memandang Langdon dengan cemberut. "Robert, aku akan baik-baik saja."

   Si pengemudi kemudian berbicara lagi dengan Olivetti.

   "Itu berbahaya," kata Langdon kepada Vittoria.

   "Dia benar, Nona Vetra," kata Olivetti. "Bahkan orang terbaikku pun tidak akan bekerja sendirian. Letnanku baru saja mengatakan, penyamaran itu akan lebih bagus jika kalian berdua masuk."

   Kami berdua? Langdon ragu-ragu. Sesungguhnya, maksudku adalah-"Kalian berdua masuk ke sana bersama-sama," kata Olivetti, "Kalian akan terlihat seperti pasangan yang sedang berlibur. Kalian juga dapat saling menjaga. Dengan begitu aku akan merasa lebih senang."

   Vittoria mengangkat bahunya. "Baiklah, tetapi kami harus segera pergi."

   Langdon menggerutu pada dirinya sendiri. Rasakan ulahmu, koboi.

   Olivetti menunjuk ke arah jalan di depan mereka. "Jalan pertama yang akan kamu temui adalah Via degli Orfani. Belok kiri. Kamu akan langsung tiba di Pantheon. Ini hanya akan memakan waktu dua menit. Aku akan di sini, mengatur orang-orangku dan menunggu teleponmu. Aku ingin kalian membawa pelindung." Dia lalu mengeluarkan pistolnya. "Kalian tahu bagaimana menggunakan senjata?"

   Jantung Langdon berdebar keras. Kami tidak memerlukan senjata! Vittoria mengangkat tangannya. "Aku dapat menembakkan label ke arah seekor lumba-lumba dari jarak empat puluh meter dari haluan kapal yang bergoyang-goyang."

   "Bagus." Kemudian Olivetti memberikan pistolnya kepada Vittoria. "Kamu harus menyembunyikannya."

   Vittoria melihat ke bawah ke arah celana pendeknya. Kemudian dia melihat Langdon.

   Oh, kamu tidak boleh! pikir Langdon, tetapi Vittoria bergerak terlalu cepat. Dia membuka jas Langdon, dan memasukkan senjata itu ke dalam salah satu saku dadanya. Rasanya seperti ada sebongkah batu dijatuhkan ke dalam jasnya, tapi Langdon merasa lega karena lembaran Diagramma berada di saku yang lainnya.

   "Kita tampak tidak berbahaya," kata Vittoria. "Kami berangkat." Dia menarik tangan Langdon dan berjalan menuju jalan yang ditunjukkan Olivetti. Pengemudi itu berseru, "Saling berpegangan tangan itu bagus juga. Ingat, kalian adalah wisatawan. Pengantin baru. Jadi, kalian harus bergandengan tangan."

   Ketika mereka membelok, Langdon yakin dia melihat ada senyum tersembunyi di wajah Vittoria.

   "RUANG PERSIAPAN" Garda Swiss berdampingan dengan barak Corpo di Vigilanza. Ruangan itu biasanya digunakan untuk merencanakan keamanan sekitar pemunculan Paus di depan umum dan kegiatan umum Vatican lainnya. Tapi hari ini, ruangan itu digunakan untuk hal yang berbeda.

   Lelaki yang sedang berbicara dengan satuan gugus tugas gabungan itu adalah wakil komandan Garda Swiss, Kapten Elias Rocher. Rocher adalah seorang lelaki berdada lebar dan berwajah lembut. Dia mengenakan seragam tradisional kapten berwarna biru dengan ciri khasnya tersendiri-sebuah baret merah yang dikenakan agak miring di kepalanya. Anehnya, suaranya terdengar sangat bening untuk ukuran seorang lelaki sebesar itu. Ketika dia berbicara, nadanya memiliki kejernihan sebuah alat musik. Walau penampilannya begitu sempurna, mata Rocher tampak berselaput seperti mata binatang malam. Anak buahnya menyebutnya "orso" atau beruang grizly. Mereka kadang-kadang bergurau Rocher adalah seekor beruang yang bergerak di balik bayangan seekor ular berbisa. Komandan Olivetti-lah ular berbisanya. Walau demikian, Rocher sama berbahayanya dengan si ular berbisa. Tetapi paling tidak, kedatangannya dapat terdengar.

   Anak buah Rocher berdiri tegak dan penuh perhatian. Mereka tidak ada yang berani bergerak, meskipun informasi yang sedang mereka dengarkan itu menaikkan tekanan darah mereka beberapa puluh kali lipat.

   Chartrand, seorang letnan yang masih muda, berdiri di bagian belakang ruangan itu sambil berharap dia termasuk 99 persen pelamar yang tidak terpilih untuk bertugas di sini. Pada usia dua puluh tahun, Chartrand adalah serdadu termuda dalam kesatuan itu. Dia baru tiga bulan bertugas di Vatican City. Seperti juga orang-orang di dalam ruangan ini, Chartrand adalah anggota Tentara Swiss yang terlatih. Dia juga telah menjalani latihan tambahan Ausbilding selama dua tahun di Bern sebelum memenuhi syarat untuk mengikuti prmva Vatican yang melelahkan yang berlangsung di sebuah barak rahasia di luar Roma. Dalam pelatihan yang dijalaninya itu, dia sama sekali tidak dipersiapkan untuk menghadapi keadaan krisis seperti ini.

   Pada awalnya Chartrand mengira pengarahan ini hanyalah semacam latihan yang aneh. Senjata masa depan? Kelompok persaudaraan kuno? Para kardinal diculik? Tapi kemudian Rocher memperlihatkan tayangan langsung dari video yang menayangkan gambar senjata yang mereka cari. Tampaknya ini bukan latihan main-main.

   "Kita akan memadamkan listrik di beberapa daerah tertentu," kata Rocher, "untuk menghilangkan pengaruh magnetis. Kita akan bergerak dalam regu yang terdiri atas empat orang. Kita akan mengenakan kacamata infra merah untuk melihat. Pelacakan ini sama dengan operasi penyapuan penyadap biasa tetapi disesuaikan dengan medan fluks di bawah tiga ohm. Ada pertanyaan?"

   Tidak ada.

   Benak Chartrand terasa terlalu penuh. "Bagaimana kalau kita tidak dapat menemukannya tepat waktu?" tanyanya, tapi tiba-tiba dia menyesali kelancangannya itu.

   Beruang grizly itu hanya menatapnya dari balik baret merahnya. Kemudian dia membubarkan kelompok itu dengan kalimat penutup yang muram. "Semoga Tuhan melindungi kita." DUA BLOK DARI PANTHEON, Langdon dan Vittoria mendekati gedung itu dengan berjalan kaki, dan melewati sederet an taksi dengan supir-supir yang sedang tertidur di bangku supir. Kebiasaan istirahat siang singkat memang tidak pernah hilang di kota ini. Pemandangan orang yang tertidur di mana-mana adalah kebiasaan yang berasal dari Spanyol kuno.

   Langdon berusaha keras untuk memusatkan pikirannya, tapi situasinya terlalu sulit untuk ditanggapi dengan akal sehat. Enam jam yang lalu, dia masih tertidur nyenyak di Cambridge. Sekarang dia berada di Eropa, terperangkap dalam pertempuran surealistis antara dua raksasa kuno, mengantongi pistol semi otomatis di dalam saku jas wol Harrisnya, dan bergandengan tangan dengan seorang perempuan yang baru saja dikenalnya.

   Dia menatap Vittoria. Perempuan itu memusatkan pandangannya lurus ke depan. Genggamannya kuat, ciri khas seorang perempuan yang mandiri dan berkemauan keras. Jemari Vittoria menggenggam tangannya dengan kenyamanan dan penerimaan yang lembut. Tidak bisa disanggah lagi kalau Langdon merasa semakin tertarik dengan perempuan ini.

   Tampaknya Vittoria merasakan ketidaknyamanan Langdon. "Tenang saja," katanya tanpa memalingkan wajahnya. "Kita harus tampak seperti sepasang pengantin baru."

   "Aku tenang."

   "Kamu meremas tanganku terlalu keras."

   Langdon merasa malu dan segera melonggarkan genggamannya.

   "Bernapaslah dengan matamu," kata Vittoria. "Maaf?"

   "Itu artinya mengendurkan otot-ototmu. Teknik itu disebut pranayama."

   "Piranha?"

   "Bukan ikan itu. Pranayama. Ah, sudahlah."

   Ketika mereka membelok di sudut dan memasuki Piazza della Rotunda, Pantheon tampak menjulang di depan mereka. Seperti biasa, Langdon mengaguminya dengan perasaan terpesona. Pantheon. Kuil segala dewa. Dewa-dewa Pagan. Dewa-dewa Alam dan Bumi. Struktur gedung ini terlihat lebih kotak dari luar. Pilarpilar vertikalnya dan pronaus-nya yang berbentuk segitiga menyamarkan kubah bulat di belakangnya. Walau demikian, prasastinya yang angkuh yang terdapat di pintu masuk seperti menegaskan Langdon kalau mereka tidak salah alamat. M AGRIPA L F COS TERTIUM FECIT. Seperti biasanya, Langdon menerjemahkannya dengan gembira. Marcus Agripa yang menjabat sebagai konsul untuk ketiga kalinya, membangun bangunan ini.

   Terlalu besar untuk disebut kerendahan hati, pikir Langdon sambil mengedarkan matanya ke sekeliling kawasan itu. Para wisatawan yang bertebaran membawa kamera video sambil berjalan-jalan di sekitar situs sejarah ini. Sementara itu, yang lainnya duduk-duduk menikmati kopi es terenak di Roma di sebuah kafe terbuka bernama La Tazza di Oro. Di luar pintu masuk Pantheon, terdapat empat orang polisi Roma yang dilengkapi dengan senjata, berdiri dengan waspada, persis seperti yang diduga Olivetti. "Kelihatannya cukup tenang," kata Vittoria.

   Langdon mengangguk, tetapi dia merasa bingung. Sekarang, setelah dia berdiri di sini, keseluruhan skenario yang ada di otaknya terlihat tidak nyata. Walau Vittoria sangat percaya kalau Langdon benar, Langdon sadar kalau dia sudah membuat sepasukan Garda Swiss mengepung tempat ini. Puisi Illuminati terbayang di benaknya. Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. YA, serunya di dalam hati. Ini memang tempat itu. Makam Santi. Dia sudah beberapa kali berada di sini, di bawah lubang besar Pantheon dan berdiri di depan makam Raphael yang agung.


Pendekar Rajawali Sakti Perempuan Siluman Agatha Christie Lapangan Golf Maut Detektif Stop Teror Melanda Kelas 9a

Cari Blog Ini