Tabib Sakti Pulau Dedemit 1
Satria Gendeng Tabib Sakti Pulau Dedemit Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit SATU PESISIR pantai Jawa Tengah, Kadipaten Ketawang.
Hari itu alam murka.
Badai besar mendatangi wilayah tersebut.
Ombak raksasa bergulung-gulung di kejauhan bagai tembok hidup menggapai angkasa.
Sulit memastikan berapa ketinggian ombak saat itu.
Lima enam meter bisa jadi lebih.
Dan untuk ombak setinggi itu, tak diragukan lagi akan sanggup memporak-porandakan seluruh keadaan di sekitar pesisir pantai.
Awan gelap sudah mengepung beberapa lama sebelumnya.
Seperti halnya angin kencang yang terus mendengus-dengus.
Matahari benar-benar terkunci dalam timbu-nan awan kelam.
Siang nyaris bagaikan suasana menjelang malam.
Tak ada tanda-tanda bahwa alam akan bersikap ramah pada siapa pun, pada apa pun.
Tak peduli barisan pepohonan kelapa, atau gubuk-gubuk rapuh di sekitarnya, serta seluruh manusia yang mendiaminya.
Terlalu sulit untuk berkelit dari bencana.
Suara-suara riuh bergemuruh yang terdengar tak lebih dari berita mena-kutkan.
Keberanian manusia seperti tak dibutuhkan untuk menjelang kejadian tersebut.
Di salah satu perkampungan yang terletak tepat di bibir pantai Ketawang, berpuluh-puluh penduduk desa berhamburan ketakutan.
Masing-masing bersicepat dalam irama kacau balau untuk menyelamatkan ji-wa dan harta mereka.
Dalam himpitan ketakutan teramat sangat, mereka keluar dari rumah dengan membopong benda-benda yang perlu diselamatkan.
Hewan-hewan ternak berteriak-teriak, menimpali teriakan-teriakan penduduk desa.
Kambing mengembik-embik dalam seretan beberapa lelaki, kerbau melenguh-lenguh, ayam berkeok-keok.
Dan sehimpun keributan lain berbaur membangun suasana hiruk-pikuk.
Belum lagi para ibu yang se-rabutan mencari anak-anaknya.
Belum pula para lelaki muda yang kelimpungan mencari-cari istri tercinta yang baru dinikahi kurang dari satu purnama.
Ada janda ribut kehilangan konde, ada duda kalap terlang-gar kerbau.
Ada nenek dan kakek pikun me-ributkan tempayan bocor yang lupa dibawa.
Putus kata, semuanya kacau balau! Di satu sudut desa, seorang anak malah asyik terpulas di atap kandang kerbau.
Satria namanya.
Seorang anak lelaki berusia sekitar tiga belas tahun.
Berpakaian kumal dengan baju hitam koyak moyak tanpa lengan dan celana pendek.
Rambutnya panjang kemerahan.
Berwajah lugu bagai tanpa dosa.
Dengkur halusnya seolah menyelinap-nyelinap santai di antara riuh-rendah suara keributan.
Entah bagaimana Satria bisa tertidur sepulas itu dalam keadaan yang me-mungkinkan nyawanya terlempar dari raga setiap saat.
Mungkin semalam dia begadang semalam suntuk menyaksikan pagelaran wayang kulit.
Mungkin juga dia terlalu lelah bekerja.
Tak mungkin dia sedang dalam keadaan mabuk.
Satria tergolong bocah yang pantang menyentuh arak.
Yang jelas, ketika seorang perempuan setengah baya meneriakinya, barulah Satria tersentak bangun.
"Ada apa?"
Tanyanya polos sambil mengusap-usap kedua bola matanya yang bulat namun bergaris kuat.
Ada apa katanya? Padahal angin begitu ngotot berseliweran di sekitarnya.
Sampai-sampai tubuhnya te-roleng-oleng.
Bagaimana dia masih bisa bertanya begitu? "Ada apa?!"
Pekik si perempuan setengah baya dengan mata mendelik.
"Apa kau bocah gendeng?! Cepat kau turun dari atap itu. Ombak besar sedang menuju ke sini. Kalau mau mampus, teruskan saja ti-durmu!"
Semburnya lagi dengan suara bagai kaleng rombeng.
"Ada badai memangnya?"
Tanya Satria terperangah kebodoh-bodohan. Matanya membelalak. Sampai gumpalan tahi mata keringnya terpental.
"Iya, Bodoh! Cepat turun!"
Bukannya cepat-cepat turun, Satria malah melepas pandangannya ke arah laut.
Dari atas atap kandang kerbau, dia dapat dengan bebas memandang ke arah sana.
Dilihatnya sebentang suasana mengerikan.
Menyaksikan gulungan ombak raksasa di kejauhan dan angkasa yang berwarna le-gam, mata bocah itu jadi tak berkedip.
Sesaat dia terpana seperti terkena tenung nenek sihir dari negeri Antah Berantah.
Sampai akhirnya teriakan memekakkan telinga perempuan setengah baya tadi me-nyadarkannya.
Satria segera turun terbi-rit-birit dari atap kandang kerbau.
Nyaris saja dia terpelanting jatuh.
"Cepat bantu aku ke atas bukit!"
Seru si perempuan setengah baya lagi. Satria berhenti bergerak.
"Bantu mengangkat Si Mbok ke atas bukit? Astaga, mana aku kuat...,"
Gerutunya, salah paham.
"Maksudku, bantu membawa barang-barang, Bocah Bodoh!"
Tahu maksud perintah perempuan yang dipanggil Si Mbok, Satria bergegas kembali. Dia berlari ke satu gubuk sekitar sepuluh depa dari kandang kerbau. Di depan pintu gubuk, tergolek satu buntalan besar. Benda itu segera disambarnya.
"Bocah celaka, jangan kau curi bun-talanku!"
Teriak seorang lelaki berbadan kurus berkulit hitam.
"Astaga, salah sambar...,"
Desis Satria seraya terburu-buru mengembalikan buntalan tadi ke tempatnya.
"Satriaaa!!!"
Perempuan setengah baya tadi berteriak dari bawah satu pohon kelapa.
Tertatih-tatih, dia berjalan dengan beban dua buntalan besar di kedua belah tangannya.
Rupanya dia sudah siap meninggalkan desa secepatnya.
Badai serupa pernah terjadi beberapa puluh tahun silam.
Waktu itu terjadi malam hari, ketika penduduk desa sama sekali tak siap.
Mereka terlibas gulungan ombak setinggi atap saat terpulas di balai masing-masing.
Puluhan nyawa menjadi korban.
Seandainya mereka siap saat itu, tentu mereka akan segera menyingkir ke tempat yang lebih tinggi dari permukaan laut.
Sementara desa mereka berada tepat di bibir pantai, di mana ketinggian wilayah itu dari permukaan laut begitu rendah.
Itu sebabnya terjangan ombak raksasa dengan begitu empuk mengunyah.
Tempat yang paling tepat untuk itu adalah dataran tinggi berumput yang mereka sebut bukit.
Tingginya sekitar dua ratus meter dari permukaan laut.
Dengan ketinggian seperti itu, mereka berharap dapat selamat dari terjangan ombak raksasa.
Kini, ke dataran itu para penduduk desa berlarian kalang-kabut.
Jaraknya tak begitu jauh.
Hanya memakan waktu sekitar setengah peminuman teh.
Satria segera menyambar satu buntalan dari tangan perempuan setengah baya.
Dipanggulnya buntalan berukuran lebih besar dari tubuh kurusnya itu.
Satu tangannya cepat menggamit pergelangan tangan perempuan yang dipanggil Si Mbok.
"Cepat lari, Si Mbok! Lari!"
Teriak Satria kalang-kabut.
Perempuan setengah baya yang mengenakan kain di bawah lutut tentu saja tak bisa mengimbangi langkah-langkah cepat si bocah.
Dia berlari terhuyung-huyung, ter-sandung kainnya sendiri.
Sebelah tangannya berusaha mengangkat kain setinggi-tingginya, tak terpikir lagi kalau sebagian kulit pahanya berwarna keling matang! Malang tak dapat ditolak.
Meski pa-ra penduduk desa sudah berusaha secepatnya tiba di dataran tinggi, gulungan ombak raksasa ternyata lebih cepat tiba di pesisir.
Pantai ditanduknya dengan garang.
Pepohonan kelapa tua tumbang terlibas, lalu dihanyutkan.
Beberapa gubuk nelayan yang berdiri paling dekat pada bibir pantai hancur saat itu juga.
Puing-puingnya dilarikan gerakan ombak yang terus memburu ke pesisir.
Satria dan perempuan setengah baya berbalik dengan wajah mengeras ketat.
Ma-ta keduanya membelalak.
Di belakang sana, mereka menyaksikan pemandangan mengerikan.
Air laut lebih tinggi dari atap gubuk memburu mereka.
Si perempuan setengah baya memekik tinggi.
Hampir saja dia se-maput di tempat.
Meskipun tak kalah terkesiap, Satria segera tersadar untuk segera menyelamatkan diri.
Ditariknya lebih kuat pergelangan tangan perempuan setengah baya.
"Lari, Mbok! Lari!!!!"
Teriaknya terpecah seraya berlari jalang menghela perempuan setengah baya di belakangnya.
Serabutan keduanya menggerakkan ka-ki.
Di belakang mereka, air laut lebih cepat lagi memburu.
Geraknya lebih garang dari amukan air bah.
Beberapa kejap mata kemudian, keduanya terlibas.
Terjangan gelombang laut menggulung dua orang itu bagai dua keping kerikil tak berarti.
Mereka dipelanting-kan, ditenggelamkan, dihanyutkan dan di-putar-putar.
Sulit untuk menahan napas dalam keadaan seperti itu, kendati sebagai seorang bocah nelayan Satria terbiasa menyelam di laut.
Cepat air laut menerjang ke jalan napas mereka.
Paru-paru mereka diterjang.
Mereka kehilangan kesadaran.
Hal mengagumkan terjadi.
Pegangan Satria pada pergelangan tangan wanita setengah umur ternyata tetap terpagut.
Dia memang tak sadarkan diri.
Namun, kekuatan hatinya untuk menyelamatkan wanita itu telah membuat kehendak bawah sadar Satria memerintahnya untuk tetap memegang kuat-kuat pergelangan tangan si wanita setengah umur.
Beberapa kejapan sebelum bocah itu kehilangan kesadaran, satu gulungan cairan berwarna kelabu berasal dari dasar laut amat dalam di sekitar Samudera Hin-dia tanpa sengaja menutupinya.
Tarikan napas tersedaknya menyebabkan cairan keruh kelabu itu terhisap langsung ke paru-paru Satria.
Tubuh Satria mengejang saat berikutnya.
Menyusul sentakan-sentakan tak terkendali, saat tubuhnya sendiri terus digulung oleh gelombang.
Lalu dunia seperti menghilang dari dirinya.
* * * Sepekan berlalu.
Siang di pusat Kadipaten Ketawang.
Saat itu matahari terhalang mendung.
Sinarnya tak terlalu menyiksa.
Angin sejuk sepoi-sepoi berdenyut, mempermainkan dedaunan pepohonan.
Seorang anak lelaki dekil berjalan gontai dijalan pusat pemerintahan Kadipaten Ketawang.
Wajahnya demikian lusuh.
Penampilannya sudah mirip gembel.
Wajahnya pucat.
Anak itu adalah Satria.
Sepekan lalu, ketika dia tersadar, disaksikannya seluruh kampung telah porak-poranda.
Yang terlihat di sana cuma tebaran kematian.
Beberapa mayat berge-limpangan.
Entah itu perempuan tua, bocah-bocah kecil atau para lelaki malang.
Amukan gelombang laut telah menumpas mereka.
Seluruh penduduk desa mati.
Tak ada yang tersisa, bahkan sekadar hewan ternak.
Kecuali dirinya.
Di sisi tubuhnya tergeletak mayat seorang wanita setengah baya.
Tangan Satria masih menggenggam kuat pergelangan tangan perempuan setengah baya itu.
Pertanda betapa kokohnya kemauan kuat dalam diri si bocah yang ingin menyelamatkan nyawa orang lain.
Sampai dia kehilangan kesadaran pun, tangannya tetap menggenggam pergelangan tangan si perempuan setengah baya.
Dengan mata mengerjap-erjap, mencoba menyingkirkan rasa berat serta berdenyut-denyut di kepalanya, si bocah kecil Satria mengangkat kepalanya dari posisi tertelungkup.
Tubuhnya terasa demikian lemah.
Serasa tulang-belulang diloroti dari dagingnya.
Setelah cukup kuat mengumpulkan tenaga, dia bangkit terseok.
Dia berdiri gontai.
Ditatapinya gelimpangan mayat di mana-mana.
Ditatapinya kepingan-kepingan kayu gubuk penduduk.
Juga bangkai-bangkai hewan.
Juga benda-benda berserakan.
Ha-tinya pilu.
Giris menyelinap.
Betapa dia tak mempercayai pemandangan yang tergelar di depan matanya.
"Apa yang telah terjadi?"
Bisiknya mendesah.
Apa yang terjadi? Satu pertanyaan yang terdengar ganjil.
Bahkan untuk di-pertanyakan pada dirinya sendiri.
Ya, se-mestinya Satria tahu musibah apa yang telah menimpa desanya.
Tapi, saat itu dia tak ingat apa yang telah terjadi.
Lebih jauh dari itu, dia bahkan tak ingat siapa dirinya.
Tak ingat asal-usulnya.
Tak ingat pada seorang perempuan setengah baya yang beberapa waktu sebelumnya berlari-lari berjuang menyelamatkan nyawa bersamanya.
"Kenapa aku berada di sini?"
Bisiknya lagi.
Didekatinya mayat perempuan setengah baya tadi.
Ditatapinya wajah mayat yang telentang menyedihkan itu.
Lama.
Gurat-gurat wajah pucat yang diisi keriput itu seperti pernah dikenalnya.
Tapi kapan? Di mana? Semuanya tak jelas lagi di benak Satria.
Ada bayang-bayang yang timbul-tenggelam, lalu mengabur sama sekali dalam benaknya.
Yang cuma dia tahu, bahwa namanya adalah Satria.
Kemudian, ditata-pinya lagi seluruh pemandangan menge-naskan di depannya dengan tatapan lowong.
DUA HARI makin siang.
Matahari di atas pusat Kadipaten Ketawang masih juga tak berkutik menghadapi kepungan awan gelap.
Beberapa orang terlihat hilir-mudik di jalan utama berbatu koral.
Satu dua pedati sesekali melintas dalam kecepatan sedang.
Satria sampai di kedai di pinggir jalan.
Sebenarnya, tempat itu lebih tepat disebut warung makan kecil, menilik bentuknya yang terlalu sederhana dibanding kedai biasa.
Tempat yang hanya berupa sawungan kecil dengan satu meja besar.
Di atas meja terdapat piring-piring tanah liat berisi makanan.
Ada lauk-pauk, buah-buahan dan makanan kecil goreng.
Di kedua belah tiang di sisi sawungan, tergantung beberapa sisir pisang ambon.
Warnanya mengundang selera.
Di tiga sisi meja besar dari belahan kayu asam, terdapat tiga bangku panjang.
Salah satu bangku panjang diduduki oleh dua lelaki berpakaian hitam-hitam berikat kepala kain hitam pula.
Keduanya duduk mengangkat sebelah kaki ke atas bangku.
Salah seorang lelaki bertubuh tinggi besar.
Dadanya bidang berbulu lebat.
Selebat kumis baplangnya.
Di kain pengikat pinggangnya terselip sebilah golok besar.
Lelaki yang lain berbadan pen-dek gemuk.
Mulutnya tak berhenti memamah makanan.
Baru saja tenggorokannya menelan yang dikunyah, sudah dimasukkan lagi makanan ke dalam mulut.
Pipinya tebal seperti pipi seekor kelinci.
Di pinggang lelaki gemuk itu pun terselip sebilah senjata.
Badik panjang tepatnya.
Sesekali terdengar pembicaraan se-rius mereka, diselingi tawa lepas.
Salah seorang terbatuk-batuk ketika tersedak kopi.
Pemilik warung makan adalah seorang lelaki tua berperawakan kekar.
Masih tampak otot-otot kekarnya.
Meski berkerut, wajahnya masih menampakkan kegarangan.
Selagi mudanya kemungkinan besar dia seorang jawara.
"Mau apa kau, Bocah?"
Tegur pemilik kedai, mendapati kedatangan Satria.
Cukup lama bocah itu hanya berdiri memandangi makanan di atas meja.
Jakunnya berkali-kali turun naik.
Perutnya memang sudah terasa sangat lapar.
Sejak malam tadi dia belum makan nasi.
Hanya sepotong singkong bakar pemberian seorang lelaki gembel yang sempat mengisi perutnya.
"Saya ingin makan, tapi tak punya kepeng ( Mata uang cina yang berlaku pada masa itu.), Pak Tua,"
Kata Satria. Tak ada kesan memelas dalam kata-katanya. Dalam ha-ti kecil anak itu, memang tak terbersit keinginan untuk meminta belas kasihan orang lain. Pemilik warung makan tertawa kecil.
"Bagaimana kau ini? Kau ingin makan di warungku, tapi kau tak punya uang...,"
Katanya ringan seraya menggelenggelengkan kepala. Dua lelaki pengunjung warung tertawa tergelak-gelak mendengar jawaban polos Satria.
"Kalau begitu, boleh aku membantumu agar aku bisa sedikit mengisi perut?"
Usul Satria. Tetap tak terlihat kesan memelas di wajah bocah tiga belas tahun itu. Garis-garis parasnya tetap memperlihatkan ketegaran, meski demikian pucat.
"Bagaimana kalau aku tidak mengi-zinkan?"
Tanya lelaki tua pemilik warung. Satria agak kecewa. Terlihat sekali dari perubahan wajahnya. Namun, kekuatan hatinya tidak menyebabkan dia lantas mengeluh.
"Tidak apa-apa. Mungkin memang belum ada rezeki yang bisa kumakan,"
Sahut Satria perlahan. Dia hendak beranjak meninggalkan warung.
"Tunggu, Bocah!"
Tahan pemilik warung.
"Aku bukan orang yang tak punya perasaan. Aku menerima kau!"
Sambungnya dengan wajah menampakkan kekaguman terhadap sikap tegar yang jarang dimiliki oleh seorang bocah seusia Satria. Satria berbalik. Sepasang mata bergaris kuatnya berbinar.
"Kalau begitu, apa yang bisa kuker-jakan sekarang, Pak Tua?!"
Burunya, bersemangat. Padahal tubuhnya sendiri masih terlalu lemah untuk melakukan pekerjaan.
"Ha-ha-ha, aku suka sekali padamu, Bocah!"
Puji lelaki berkumis baplang pengunjung warung.
Sama seperti pemilik warung, diam-diam kedua pengunjungnya pun merasa kagum pada sifat Satria.
Biasanya, anak gelandangan yang mereka temukan cuma bisa merengek-rengek memancing rasa iba untuk meminta sedekah.
Kebanyakan dari mereka menjengkelkan.
Kalau tidak diberikan, mereka akan menguntit terus di belakang.
Tak jarang di antara mereka menarik-narik lengan baju.
Sementara bocah satu ini berbeda sama sekali.
Dia bahkan lebih suka bersusah-payah terlebih dahulu meski tubuhnya sudah lemah.
"Siapa namamu, Cah Bagus?"
Tanya pengunjung bertubuh gemuk. Ditepuknya ba-hu kurus, namun bertulang bagus Satria.
"Satria, Kang."
"Hari ini, aku merasa harus berbuat baik pada Bocah sepertimu. Makanlah seke-nyangnya, biar aku yang bayar. Kau tak usah mengeluarkan tenagamu untuk itu..."
Sambung si pengunjung tambun. Dengan tangan yang lain, disodorkannya piring berisi tumpukan ketan kelapa pada Satria.
"Ayo, ambil! Jangan ragu!"
Tukas-nya. Satria menatap ketan itu sambil menelan air liur. Betapa menggoda makanan bertabur kelapa parut itu. Tentu rasanya nikmat bukan main. Apalagi saat perutnya demikian lapar. Tapi Satria malah menggelengkan kepala.
"Maaf, Kang. Bukannya aku tak ingin menerima kebaikan Kakang. Aku tahu, tak ada rezeki yang boleh ditolak. Tapi, aku sudah berjanji pada Pak Tua pemilik warung untuk membantunya,"
Tolak Satria sopan. Mendengar jawaban Satria, kedua pengunjung warung dan pemiliknya tertawa kembali. Satu cara mereka mengagumi jiwa besar si bocah.
"Kau akan jadi orang besar, Bocah! Orang besar, aku yakin itu!"
Ujar Pak Tua pemilik warung. Satria hanya mengernyitkan kening tak mengerti.
"Kalau begitu, cepatlah kau makan terlebih dahulu. Aku tak bisa mempekerja-kan seseorang jika dia loyo macam kau!"
Kelakarnya lagi seraya menarik pangkal lengan Satria.
Menjelang sore, dua orang mendatangi kedai.
Satu orang perempuan berusia empat puluhan.
Sedang seorang lagi bocah perempuan sebaya Satria.
Dari wajahnya, tampak kalau mereka adalah Ibu dan anak.
Sang ibu, meski berusia terbilang cukup tua namun masih memperlihatkan sisa pesona kecantikannya.
Wajahnya anggun.
Sinar mata berbulu lentiknya memancarkan perbawa yang jarang dimiliki kebanyakan wanita.
Dia mengenakan pakaian silat berwarna ungu.
Kepalanya ditutup caping.
Anaknya adalah seorang bocah perempuan bermata bulat berbinar-binar.
Wajahnya mungil.
Dari pancar matanya, terpan-car keriangan dan kepercayaan diri yang kuat.
Rambutnya panjang diikat ekor kuda.
Anak perempuan itu mengenakan pakaian silat berwarna merah hati.
Di pinggangnya, terselip sepasang belati besar.
"Selamat sore, Pak Tua...,"
Tabik si perempuan berpakaian ungu seraya melepas capingnya. Ketika itulah terlihat lebih jelas raut wajahnya. Pucat dan ber-simbah keringat. Bersit matanya memendam penderitaan. Ada penyakit yang mendekam dalam tubuhnya dan menyiksanya selama ini.
"Selamat sore...,"
Balas Pak Tua pemilik warung ramah.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan-tuan Putri?"
"Aku perlu arak. Apakah kau masih punya persediaan?"
Tanya perempuan berpakaian ungu.
"O, tentu!"
Satria tanpa diperintah segera men-gambilkan dua kendi arak dari bawah meja besar. Sambil merunduk, matanya mencuri-curi pandang ke arah bocah perempuan. Cantik, nilainya terkagum-kagum. Si bocah perempuan kebetulan sedang memperhatikannya.
"Huh!"
Dengus bocah perempuan. Di-anggapnya mata Satria telah berbuat lancang. Satria malu hati. Wajahnya memerah. Cepat-cepat dia meletakkan kendi arak ke atas meja sambil berpura-pura tak melihat perubahan wajah si bocah perempuan.
"Berapa?"
Tanya perempuan berpakaian ungu.
"Tiga keping kepeng, Tuan Putri,"
Jawab Pak Tua pemilik warung. Perempuan berwajah pucat itu cepat mengeluarkan tiga keping uang dari kantong kulit kecil di pinggangnya. Diberikan uang itu pada pemilik warung.
"Terima kasih, Pak Tua,"
Haturnya seraya melangkah.
Sementara itu, anaknya masih terus memelototi Satria dengan wajah judes.
Satria sendiri jadi salah tingkah.
Begini salah, begitupun salah.
Dadanya jadi dag-dig-dug tak karuan.
Dia sebenarnya tidak ngeri pada pelototan mata bocah ayu itu.
Sebaliknya, Satria malah jadi senang bukan alang kepalang.
Hanya saja dia tak tahu, kenapa merasa berdebar-debar.
Bi-asalah, cinta monyet! Saking gugupnya, tak sengaja dia menginjak jempol kaki Pale Tua pemilik warung.
Untung lelaki tua itu bisa mengerti polah anak sebaya Satria.
Dia cuma tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng.
Baru sepuluh langkah kedua ibu-anak itu melangkah, dari jalan sebelah selatan terdengar hiruk-pikuk hentakan kaki kuda dan teriakan-teriakan berangasan.
Ada sekitar lima orang lelaki men-gendarai kuda dalam kecepatan tinggi.
Arahnya menuju kedua perempuan tadi.
Beberapa orang yang kebetulan berjalan cepat-cepat menepi, takut diterjang kuda.
Debu mengepul di belakang lari kuda-kuda mereka.
"Hiaaa! Hiaaa-haaaa!"
Sampai di depan kedua ibu-anak ta-di, kawanan lelaki berkuda menghentikan lari tunggangan masing-masing. Sentakan mendadak pada tali kekang membuat kuda-kuda mereka meringkik nyaring seraya me-naikkan kaki depan mereka.
"Hiiiii!"
Begitu kelima kuda tunggangan berhenti, kawanan lelaki itu melompat turun.
Kini wajah mereka terlihat lebih jelas.
Rata-rata berwajah bengis.
Perawa-kannya besar-besar dan berotot.
Pakaian yang dikenakan berbeda satu sama lain.
Rata-rata berwarna gelap.
Di dagu mereka tumbuh bulu kasar kehijauan.
Dua lelaki menyandang sepasang pedang pendek di punggung.
Satu orang memegang tombak bermata tiga.
Dua lelaki sisanya memegangi gada berbandul baja berduri.
"Oho! ada dua perempuan cantik rupanya. Satu sudah matang, sedang satunya lagi baru mulai ranum!"
Koar seorang lelaki mengenakan rompi terbuka, memperlihatkan dada berbulu kasar.
"Hei, mereka bawa arak pula! Apakah mereka sengaja hendak menyambut kedatangan kita?!"
Timpal lelaki yang memegang tombak bermata tiga.
Dua lelaki yang turun dari kuda paling belakang tergelak-gelak mendengar perkataan kedua temannya barusan.
Perempuan bercaping tak ingin menanggapi ocehan tadi.
Dia beranjak lagi.
Diajaknya anaknya mengambil jalan menepi.
"Eit, kenapa terburu-buru?!"
Salah seorang kawanan berkuda menghadang.
Kedua tangannya membentang, menghalangi jalan dua perempuan berbeda usia tadi.
Satria yang menyaksikan peristiwa itu mendengus.
Dia tak suka menyaksikan kekurangajaran terjadi di depan matanya.
Terutama karena bocah perempuan ayu itu.
"Biarkan kami lewat, Kisanak,"
Pin-ta perempuan bercaping.
Suaranya datar.
Tak ada kesan ketakutan.
Bahkan tak terdengar getar gusar di dalamnya.
Dia begi-tu tenang menghadapi lelaki penghadang-nya.
Lain lagi sikap anak perempuannya.
Wajah bocah ayu itu memerah matang.
Matanya menyipit geram.
Tangannya mengepal kuat-kuat.
"Kenapa aku mesti membiarkan kalian lewat? Terus terang, kami sangat haus. Pertama kami butuh arak yang kau bawa untuk mengenyahkan haus kerongkongan kami. Kedua, kami pun rasanya butuh tubuh kalian untuk memuaskan haus yang lain. Ha-ha-ha!"
"Cuih, mesum!"
Maki bocah perempuan, gusar.
"Sopanlah berbicara pada orang yang lebih tua, Tresna..."
Tegur sang ibu.
"Bagaimana aku bisa sopan, sementara dia sendiri berkata tak sopan pada ki-ta, Nyai?"
Protes si bocah perempuan bersungut-sungut. Kembali kawanan lelaki tadi terta-wa-tawa seenaknya, seolah dunia cuma milik mereka.
"Siapa namamu tadi Cah Ayu? Tresna? Hm, kalau tak salah, bukankah itu artinya 'cinta'. Apa dengan begitu, kau sudah bi-sa 'bercinta'?!"
Goda lelaki penghadang kembali, tetap mesum.
Gadis ayu bernama lengkap Tresnasari makin kalap.
Hidungnya mendengus-dengus.
Kekalapannya makin terdongkel naik ketika dengan kurang ajar, lelaki penghadang merunduk ke arahnya sedang tangannya hendak menjamah pipi gadis itu.
Dengan tiba-tiba....
Bletak! "Iya!"
Lelaki tadi menjerit kuat-kuat. Jidatnya berdenyut-denyut luar biasa. Sa-kitnya seperti langsung turun ke jempol kakinya.
"Bocah kecil keparat!"
Makinya kalap.
Tangannya mendekap kening.
Tresnasari sendiri sudah menggenggam satu belatinya di tangan kanan.
Dengan ujung gagang belati itu, dihantamnya kening si lelaki kurang ajar.
TIGA BUKAN main murkanya lelaki penghadang.
Kepalanya benar-benar dibuat benjut sebesar uang logam oleh seorang bocah perempuan kecil.
Oleh bocah perempuan kecil? Bayangkan! Bukan cuma kepalanya saja berdenyut-denyut, cuping hidungnya pun ikut berdenyut-denyut saking gusarnya.
Terutama karena Satria menertawai keja-dian itu dari tempatnya.
"Rupanya kau ingin cepat-cepat mampus, heh?!"
Meluncur serapah susulan si lelaki penghadang.
Dilanjutkan dengan tamparan keras sekaligus deras ke pipi Tresnasari.
Wukh! Telapak tangan besar itu tinggal berjarak satu jari lagi dari pipi si gadis kecil.
Sebelum benar-benar sampai, dengan gesit, Tresnasari merundukkan badan.
Dilemparnya tubuh ke depan.
Di tanah dia berguling sekali.
Kakinya terjulur lurus, seperti patukan cepat seekor ular.
Begh! "Ngekh!"
Mata penyerangnya mendelik.
Masih di tempatnya berdiri, lelaki itu terdiam dengan badan setengah membungkuk.
Tangannya mendekap benda kesayangannya kuat-kuat.
Wajahnya menyeramkan sekali untuk dikatakan sebagai manusia.
Sebentar berwarna merah, sebentar kemudian berwarna biru, selanjutnya memucat.
Pasti dia merasakan penderitaan lahir batin yang luar biasa....
Tresnasari sendiri sudah berdiri kembali.
Terlihat senyum nakalnya tersem-bul samar.
Santai didekatinya lelaki kejang tadi.
Tak peduli dianggap kurang ajar atau tidak, dijulurkannya tangan ke kening lelaki tadi.
"Kalau sudah waktunya jatuh, kenapa tidak juga mau jatuh?"
Ucapnya enteng sambil mendorong kepala lelaki tadi ke belakang.
Setelah itu, lelaki korban 'kenakalan'nya tumbang ke belakang.
Mata keempat kawannya tak berkedip menyaksikan kejadian tersebut.
Mereka sa-ma sekali tak habis pikir bagaimana bocah perempuan kecil dapat demikian mudah mem-pecundangi kawan mereka? Tak habis pikir pula, bagaimana bocah yang dianggap mentah seperti Tresnasari sanggup melancarkan serangan secepat ular sendok? Setelah itu, cuma kemarahan besar yang mengisi benak masing-masing.
Dua lelaki bersenjatakan gada berbandul baja berduri melangkah gusar ke dekat Tresnasari dan ibunya.
"Kau akan merasakan akibat dari ke-lancanganmu, Bocah!"
Ancam salah seorang dari mereka dengan wajah amat ketat, menyeramkan.
Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan sebagian barisan gigi yang tak cuma berwarna kuning lang-sat, tapi juga diselipi sisa cabe merah! Wajah Satria di kejauhan berubah.
Dia melihat gelagat yang tak baik.
Menyeruak dorongan dalam dirinya untuk membantu dua perempuan ibu-anak itu.
Satu sifat yang sesungguhnya menjadi bagian kuat dalam diri si bocah.
Satria hendak beran-jak, tapi ditahan pemilik warung.
"Kenapa Pak Tua?"
Tanya Satria, tak setuju dengan tindakan lelaki tua itu mencegahnya.
"Mereka itu adalah kawanan orang-orang telengas,"
Susul pemilik kedai.
"Tak peduli mereka orang-orang telengas sekali pun,"
Gerutu Satria.
Pak tua pemilik warung melirik Satria sejenak.
Punya nyali juga anak ini, pikirnya.
Sampai saat itu, nama si bocah saja belum sempat diketahuinya.
Tapi, sudah banyak hal yang pantas dikagumi dalam diri anak itu.
Masalahnya sekarang, nyali besar si bocah saja tak cukup untuk menghadapi pa-ra lelaki pengacau itu.
Dibanding mereka, Satria bukanlah apa-apa.
Bagaimana pula dia bisa membantu perempuan dan anaknya tadi? "Aku bukan ingin meremehkan kau, Bocah.
Aku cuma tak ingin terjadi apa-apa padamu, mengingat siapa mereka.
Mereka terbiasa bertarung dan bertempur.
Biasa membunuh.
Lagi pula, tampaknya dua perempuan itu dapat mengatasi mereka,"
Tambah pemilik kedai. Satria seperti tidak menanggapi seluruh perkataan pemilik kedai. Dengan nekat, dia menerjang tangan si pemilik kedai begitu saja.
"Bocah, tunggu!"
Tahan pemilik ke-dai.
Sayang, usahanya sia-sia.
Satria terus berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar terbanting.
Lagaknya sudah seperti seorang jawara yang siap membuat babak-belur cecunguk-cecunguk.
Kalau sudah begitu, pemilik kedai cuma bisa geleng-geleng kepala.
Dahinya agak berkerut memperlihatkan kekhawati-ran.
Sebaliknya, sinar matanya memperlihatkan tekad untuk turun tangan bila bocah nekat itu dalam bahaya.
Sementara itu, salah seorang dari dua lelaki bersenjatakan gada berbandul baja berduri sudah merangsak Tresnasari.
Gadis itu sendiri sudah beranjak maju dua-tiga langkah, seakan sengaja menyong-song serangan lawan.
"Tahu rasa kau, Anak Sundal!"
Makinya seraya melayangkan satu tamparan keras dengan punggung tangan.
Seperti lelaki yang telah menjadi korban tendangan Tresnasari, tampaknya lelaki ini pun merasa jatuh gengsi jika menyerang secara membabi-buta seorang bocah kecil.
Perempuan pula.
Dia berniat hanya memberi pe-lajaran keras pada Tresnasari.
Pelajaran keras itu benar-benar dimaksudkan 'keras', karena tamparannya dilakukan dengan tenaga penuh.
Andai gadis sebaya Tresnasari terkena, tentu tubuhnya akan terlempar.
Tapi yang terjadi? Tanpa banyak kesulitan, Tresnasari menangkis tamparan keji tadi dengan pergelangan tangan mungilnya.
"Hait!"
Deg! Ketika itulah mata penyerangnya terbuka lebar.
Semestinya, tubuh Tresnasari terjajar saat memapaki tamparan kuat lawan.
Ukuran tubuh gadis belasan itu sa-ja tak lebih dari setengah tubuh penyerangnya.
Tapi, nyatanya dia masih tegak di atas kuda-kudanya.
Tangan mungilnya bahkan tak terlihat tergetar menyambut tamparan lawan.
Sebaliknya, si lelaki penyerang malah tersurut mundur satu tindak.
Di samping karena terkejut mendapati kenyataan di luar perkiraan, dia juga merasakan nyeri di sekujur tangannya.
"Sialan, anak ini tak bisa dibuat main-main!"
Desisnya nyaris tak terdengar.
Meski merasa begitu nyeri di bagian tangan, sengaja dia tak mendekapnya.
Juga diusahakannya agar mimik wajahnya tak memperlihatkan hal itu.
Lagi-lagi itu persoalan agar tak jatuh gengsi.
Sewaktu kegeramannya menanjak dan perhatiannya tertuju lekat-lekat pada Tresnasari, tahu-tahu saja 'nyelonong' sebuah kepala ke perutnya tanpa permisi lagi.
Kebetulan pula arahnya dari samping, menyebabkan dia luput menyadari se-rangan gelap barusan.
Begh! "Ngek!"
Lelaki tadi terjajar mundur, lebih jauh dari sebelumnya.
Tangannya mendekap perut.
Matanya melotot seperti hendak mencelat keluar.
Bukan itu saja, lidahnya pun terjulur.
Kalau saja rahangnya mengeras, tentu lidahnya akan tergigit putus saat itu juga.
Sekarang, dia tak bisa la-gi merisaukan soal jatuh gengsi.
Bagaimana bisa kalau wajahnya saat itu saja sudah tak meyakinkan lagi? "Biar tahu rasa kau!"
Terdengar bentakan dari si penyerang gelap. Siapa lagi kalau bukan Satria? Menyaksikan cara menyerang si bocah yang begitu konyol, mendadak saja teru-railah tawa kecil Tresnasari.
"Hi-hi-hi!"
Ditertawakan begitu, Satria jadi tersinggung. Sudah ditolong kok malah me-nertawakan, protesnya dalam hati. Jelas-jelas itu tidak adil. Dia berbalik. Dipe-lototinya bocah perempuan itu.
"Kenapa tertawa?!"
Hardiknya sok galak. Tanpa mempedulikan kedongkolan Satria, Tresnasari mencemooh.
"Jurus apa yang kau pakai itu? Seu-mur hidup, aku baru kali ini menyaksikan jurus 'sehebat' itu. Hi-hi-hi...."
"Ah, peduli setan dengan segala macam jurus! Terserah kau mau sebut apa. Mau kau sebut jurus, 'kepala rasa nanas', kek, mau apa kek...,"
Sergah Satria panas. Jawaban seenak dengkul Satria makin membuat tawa gadis tanggung itu terjang-kit. Dia terpingkal-pingkal dengan mendekap perutnya. Sampai....
"Hei, Bocah Kunyuk!"
Satu bentakan terdengar persis di belakang Satria.
Bocah itu terperanjat.
Cepat dibalikkannya tubuh.
Bugh! Satu hantaman keras melanda ulu hatinya.
Lelaki yang sebelumnya menerima serangan asal jadi Satria berusaha membalas perbuatan si bocah berambut kemerahan dengan tendangan lurus tak tanggung-tanggung.
Kontan saja tubuh kurus Satria terpental dua-tiga tombak.
Layaknya ka-rung pasir, tubuh anak itu jatuh berdebam di permukaan jalan.
Dia menggeliat-geliat menahan rasa sesak hebat di atas tanah.
Akibat rasa sesak tersebut, menarik napas saja sudah teramat sulit baginya.
Otot-otot dadanya seperti mengejang seketika dan tak dapat dikendalikan lagi.
Padahal tendangan yang menimpanya tadi hanya tendangan biasa.
Tenaga yang dipakai pun masih tenaga luar.
Lalu apa jadinya kalau tendangan tadi disalurkan tenaga dalam? Benar perkataan lelaki tua pemilik kedai, Satria jelas tidak berarti apa-apa bagi kawanan pengacau tadi.
Untuk menghadapi satu tendangan salah seorang dari mereka saja, si bocah berhati baja sudah tak berkutik, Dasarnya Satria memiliki sifat pantang menyerah, dengan terseok-seok memegangi dada, dia berusaha bangkit.
Meskipun saat itu boleh dibilang dadanya belum seluruhnya dapat menarik udara secara wa-jar.
Belum sempat anak itu berdiri tegak, penyerangnya sudah berjalan ke arahnya, siap menghadiahinya satu hajaran la-gi.
"Matamu benar-benar buta, Bocah Kunyuk. Kau tidak tahu dengan siapa kini kau berhadapan, heh?"
Rutuknya. Paras lelaki itu sarat ancaman, berbaur kegeraman. Tiba di dekat Satria, lelaki tadi menggerakkan kakinya kembali. Hendak di-jejakannya tumit kaki ke punggung si pe-muda tanggung.
"Biar mampus sekalian kau!"
Sebelum Satria didarati hantaman yang lebih parah tersebut.... Wesss.... Clep! "Aaah!"
Mulut si penyerang melontarkan lengkingan.
Kaki kanannya yang telah terangkat tinggi, urung mendarati punggung Satria.
Satu belati telah menancap tepat di pinggir luar kakinya dan menembus hingga ke luar.
Kaki itu seperti sedang disate melebar! Dapat dibayangkan bagaimana rasanya.
Lelaki tadi pun berjingkat-jingkat liar di tempat dengan sebelah ka-ki.
Kaki yang lain dipeganginya sambil terus berteriak-teriak.
Pada saat berikutnya, satu sosok-tubuh mungil melayang gesit membentuk salto sekali di udara.
Dengan amat cepat, disambarnya belati yang menancap di kaki sang korban tanpa sedikit pun menyentuh satu bagian tubuhnya.
Slap! "Masih bagus aku hanya mengarahkan belati ini ke kakimu.
Bagaimana kalau ku-arahkan ke lehermu?"
Tukas Tresnasari dengan gaya seorang ksatria wanita, setelah menyambar kembali belatinya. Dia berdiri empat langkah dari lelaki korban belatinya. Tangannya menggenggam belati berlumur darah.
"Aku lebih suka kalau belati itu menancap di lehernya! Kalau aku jadi kau, itu yang akan kulakukan. Tapi, kau sendiri tampaknya memang bodoh!"
Sela Satria, terengah.
Sekali ini, mata Tresnasari-lah yang ganti mendeliki bocah dekil berambut kemerahan itu.
Menyaksikan dua rekan mereka dipecundangi oleh gadis tanggung berpakaian merah hati, tiga lelaki lain menjadi kalap.
Dalam hati, mereka juga merasa ter-hina dengan semua itu.
Wajah mereka seperti dilempari kotoran kerbau! Hanya oleh seorang gadis baru besar saja dua orang di antara mereka dibuat keok.
Satu roboh karena kantong ajimatnya dibuat nyaris pecah.
Seorang lagi jadi lumpuh karena satu kakinya tertembus belati.
Keterlaluan sekali, pikir mereka.
Dalam benak ketiganya, sudah tak terbetik lagi untuk tanggung-tanggung menghajar si bocah perempuan tanggung.
Kalau sudah tahu akibat yang terjadi pada dua kawannya, tentunya mereka akan menganggap Tresnasari sebagai lawan tangguh yang patut diperhitungkan.
Ditambah lagi oleh kekalapan mereka yang sudah mendaki naik sampai ke ubun-ubun.
Karena itu, serempak mereka mengeluarkan senjata masing-masing.
Seorang mengeluarkan gada berbandul baja berdu-rinya.
Yang lain meloloskan sepasang pedang pendek dari punggungnya.
Sisanya langsung memutar-mutar tombak bermata ti-ga.
Tresnasari pun lantas dikepung mereka.
Melihat gelagat yang makin memanas, Tresnasari tak ingin bertindak ceroboh.
Tentu saja dia tak bisa menganggap remeh serangan dari tiga lelaki kasar sekaligus.
Nyawanya menjadi taruhan.
Sang ibu, masih tenang-tenang saja di tempatnya.
Jaraknya dengan Tresnasari kini sekitar sepuluh tombak.
Kalau berniat membantu, tentunya dia akan cepat bergerak mendekati anaknya.
Itu tidak dilakukan.
Pertanda dia yakin putri tung-galnya mampu mengatasi kesulitan tersebut.
"Kau akan menyesal, Anak Perempuan Sial! Karena setelah hari ini, umurmu tak akan bertambah barang sehari pun!"
Ancam lelaki bersenjata tombak bermata tiga sambil memutar ujung tombaknya seperti sebuah baling-baling tajam.
"Jangan terlalu yakin!"
Dengus Tresnasari.
Tak tampak kepanikan pada wajah bocah perempuan muda itu.
Yang kentara jelas justru garis-garis kesiapan bertarung.
Di masing-masing tangannya sudah siap belati.
Sesekali belati itu berputar cepat di antara jari-jemari mungil halusnya.
Ketiga calon lawan bergerak membuat putaran di sekeliling Tresnasari, seakan sengaja berniat mengacaukan konsentra-sinya.
Lelaki bersenjata sepasang pedang pendek membuat gerakan membacok ke seluruh penjuru, seperti gerakan seorang yang sedang membentengi diri dari serangan.
Sedangkan lelaki bersenjata gada berbandul besi berduri memutar-mutar senjatanya di atas kepala Gerak berkekuatan serta terarah senjata mereka membentuk dengung kencang menggetarkan nyali.
Tapi, tidak untuk si bocah perempuan.
Secuil pun tak ada ken-gerian terbetik di benaknya.
Tampaknya, dia telah tergojlok untuk menghadapi serangan-serangan semacam itu.
"Hei! Kalian mau bertarung atau hendak adu keras suara senjata! Kalau cu-ma itu, kenapa kalian tak mengganti saja senjata kalian dengan gasing bambu yang bisa memperdengarkan dengung tanpa harus mengeluarkan tenaga terlalu banyak,"
Oceh Satria. Gayanya seolah dia menguasai jurus-jurus silat. Dasar tong kosong berbunyi nyaring! Apa dikiranya perkelahian orang-orang persilatan itu cuma main terjang kalang-kabut seperti kakek kebakaran jenggot? "Diam kau!"
Hardik Tresnasari.
"Kau juga! Kenapa tak kau tusuk sa-ja mereka, suk... suk... suk! Kan, beres?!"
Sengit Satria.
Wajah Tresnasari merah bukan main mendengar perkataan si bocah bermulut lancang.
Selama ini, dia meyakini kalau ilmu silatnya sudah cukup mahir.
Perlu waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan setiap jurus yang dikuasainya, Tapi, ku-nyuk dekil satu ini malah mengajarkan seenaknya saja.
Seolah bocah berambut kemerahan itu menganggap bertarung dengan mengandalkan jurus itu tak beda dengan buang hajat, tinggal jongkok beberapa saat lalu beres! Sedang ngotot-ngototnya si gadis muda tanggung mencemberuti Satria, serangan lawan datang.
"Putus lehermu, Setan Alas Kecil!"
Wukh! Satria terkesiap.
"Hei awas!!"
Teriaknya memperingati.
Lalu si lancang mulut itu cepat-cepat mendekap wajah.
Ngeri sekali dia membayangkan sepasang pedang pendek akan membabat leher perempuan yang sebenarnya ditaksirnya itu.
Saat itu, hilang entah ke mana sikap sok jagonya.
Dengan kesigapan mengagumkan, Tresnasari menjemput serangan pembuka lawan.
Diayunkannya sepasang belati ke arah da-tangnya suara pedang berkelebat.
Hanya dengan mengandalkan kepekaan nalurinya, gadis tanggung itu sanggup mementahkan serangan lawan tanpa melihat terlebih dahulu.
Trang! Dan terperciklah lidah api dari benturan dua pasang senjata mereka.
Setelah mendengar suara benturan senjata, Satria baru berani mengintip da-ri sela-sela jarinya, Wuh, syukurlah perempuan cantik judes itu tak apa-apa, bisiknya membatin.
Serangan selanjutnya melanda Tresnasari seperti serbuan air bah.
Tiga lawannya menyerang sekaligus.
Itu sebenarnya perbuatan pengecut.
Dalam aturan para ksatria dunia persilatan, tak terhormat jika menyerang dari belakang.
Apalagi main keroyokan terhadap seorang yang dianggap jauh lebih mentah pengalaman.
Sayang, mereka memang bukan para ksatria.
Ketika sehimpun senjata meluruk berbarengan ke arah Tresnasari dari arah berbeda....
Trang-trang! Seketika senjata-senjata tadi ber-mentalan ke segenap penjuru.
Dalam kecepatan yang deras pula.
Tombak bermata ti-ga dan satu pedang pendek menancap dalam di dua tiang kedai yang jaraknya cukup jauh dari kancah pertarungan.
Tresnasari sendiri tak memperli-hatkan gerak sama sekali ketika semua itu terjadi.
Dia masih siap dalam kuda-kuda kokohnya.
Wajahnya memperlihatkan keterkejutan.
Sebaliknya, pikirannya sendiri cepat mengambil kesimpulan.
Tentu, itu tadi perbuatan Nyai, simpulnya.
Berbeda dengan dugaan ketiga penyerangnya.
Mereka justru menyangka bahwa kejadian barusan adalah tindakan Tresna-sari.
Mereka terperangah.
Ketiganya mundur teratur.
Tak bisa dipercaya mereka kalau seorang anak bisa bergerak tanpa terlihat dan sanggup membuat senjata mereka terpental berbarengan.
Apa itu tidak menakjubkan mereka? Padahal, mereka saja yang bodoh.
Maka, tanpa perlu digebah ketiganya segera ngacir dengan kuda masing-masing.
Sepeninggalan mereka, Satria mencak-mencak tak karuan.
Entah jurus apa yang dikeluarkan.
Semuanya serba ngawur.
Mulutnya bersat-sut-sat-sut, mengikuti gerakan silat dari negeri Antah Berantah! Sambil menatap para pecundang yang berkuda di kejauhan, bibirnya mencibir.
"Cuma sebegitu saja? Heh, tak ada apa-apanya...,"
Ocehnya. EMPAT TEMPAT keributan kembali tenang. Beberapa orang yang menjadi penonton kejadian memulai kembali kegiatan masing-masing. Sementara si perempuan berpakaian silat warna ungu mendekati anak gadisnya.
"Kapan kau mempelajari gerakan secepat itu, Anakku?"
Tanyanya, ingin tahu bagaimana anaknya bisa bergerak tanpa terlihat hingga seluruh senjata penyerangnya berpentalan laksana disapu topan. Tresnasari melengak. Sungguh pertanyaan sang ibu agak mengejutkannya.
"Aku justru mengira itu perbuatan Nyai!"
Tu-kasnya agak meninggi. Wajah pucat wanita berpakaian ungu agak terlipat. Dia berpikir sejenak.
"Kalau bukan perbuatanmu dan perbuatanku, lalu siapa?"
Gumamnya, tipis berbisik.
Sejenak kepalanya menoleh pada Satria.
Mungkinkah bocah itu? Tanya hatinya ragu.
Bocah yang diperhatikan malah sedang cengengesan tak karuan.
Dia mengira keberaniannya menyeruduk seorang lelaki pengacau sedang dibicarakan ibu dan anak itu.
Bangganya minta ampun dia.
Hidungnya pun jadi kembang-kempis.
"Tentu saja bukan dia,"
Cibir Tresnasari, mengetahui ibunya menyangka Satria-lah pelaku tindakan mengagumkan sebelumnya.
"Bagaimana dia bisa melakukan itu kalau cara menyerangnya saja mirip kambing buduk!"
Lalu pandangan Nyai Cemarawangi, nama perempuan berpakaian ungu, beralih ke arah lelaki tua pemilik kedai.
"Mungkinkah orang tua itu?"
Gumamnya tak kentara.
Dia bukan cuma penasaran ingin mengetahui si pelaku, tapi juga ingin meng-haturkan banyak terima kasih.
Sebab, kalau putrinya tidak ditolong waktu itu, dia ragu Tresnasari mampu mengatasi serangan serempak yang keji dari para pen-geroyoknya.
Orang yang diperhatikan malah mulai sibuk lagi mengebuti lalat-lalat yang berkeliaran di atas dagangannya.
Wajahnya tetap tenang seperti sebelumnya.
Namun bukan itu yang menjadi pusat perhatian Nyai Cemarawangi.
Justru perbuatan kecilnya mengebuti lalat yang luput mendapat perhatian orang lain, tapi tidak untuk mata jeli perempuan itu.
Si lelaki tua pemilik warung terlihat santai saja menggerakkan alat pengebut lalat terbuat dari batang bambu yang diberi rumbai tali pe-lepah pisang kering.
Tapi, setiap kail tangannya bergerak santai, beberapa ekor lalat langsung menemui ajal! Nyai Cemarawangi tersenyum.
Sekarang dia yakin telah menemukan penolong putrinya.
Segera dihampirinya orang tua itu.
Satria mengira dia yang dihampiri.
Makin parah saja cengangas-cengengesnya.
Besar rasa juga rupanya bocah itu.
Dan dia tinggal bisa bengong ketika Nyai Cemarawangi cuma melintasinya.
"Terima kasih atas bantuanmu, Orang Tua. Aku yang muda rupanya terlalu tak menyadari kalau kau adalah seorang tokoh mandraguna...."
Ucapan Nyai Cemarawangi tak digubris orang tua itu.
Dia terus saja sibuk berbenah, seolah sama sekali tak mengetahui apa maksud ucapan Nyai Cemarawangi.
Sementara itu, Tresnasari menyusul ibunya.
Dilewatinya pula Satria yang mulai pula senyum-senyum pada gadis tanggung itu.
Di dekat Satria, Tresnasari berhenti melangkah.
Ditatapnya bocah itu tajam-tajam.
"Kenapa senyum-senyum?!"
Bentaknya.
"Mau kubuat rontok gigimu?!"
Satria langsung bungkam. Mulutnya terkunci rapat. Jangankan senyum, meringis pun dia tak berani.
"Kalau diperkenankan, bolehkah aku tahu siapa sesungguhnya dirimu, Orang Tua?"
Susul Nyai Cemarawangi, kemudian. Seperti baru tersadar seseorang telah berdiri di depannya, orang tua itu tersenyum, memperlihatkan barisan gigi kehitaman dan telah tanggal dua-tiga bu-tir.
"Seperti kau lihat, aku cuma seorang penjual makanan,"
Sahut pemilik warung. Nada bicaranya tetap tak berubah. Tetap santai, sambil menjentiki beberapa ekor lalat yang mati di atas mejanya.
"Kalau begitu, izinkan aku mengenal namamu,"
Mohon perempuan cantik meski usianya sudah terbilang cukup tua itu. Kening berkerut orang tua berkumis putih itu sesaat terlipat. Sepasang alis putihnya yang tumbuh jarang agak mendekat satu dengan yang lain. Bola matanya naik ke atas.
"Seingatku, namaku Kusumo...,"
Katanya setelah berpikir beberapa saat.
Aneh juga, bagaimana dia bisa lupa nama sendiri? Sebenarnya, Nyai Cemarawangi ingin mengetahui nama lengkap orang tua itu.
Siapa tahu dia pernah mendengar nama itu di dunia persilatan.
Sebab, menurut per-kiraannya, orang tua yang mengaku bernama Kusumo ini pasti seorang tokoh yang disegani di dunia persilatan.
Mungkin karena satu atau lain sebab, dia mengundurkan diri.
Namun, hanya karena tak ingin dianggap terlalu lancang, akhirnya perempuan itu tak bertanya lebih jauh.
"Kalau begitu, terima kasih sekali lagi Ki Kusumo. Aku harap kita akan berjumpa lagi. Siapa tahu aku masih bisa membatas budimu...."
"Siapa yang perlu membalas budi? Kau berbicara aneh sekali, Cah Ayu,"
Kilah Ki Kusumo, matanya menyipit memperlihatkan ketidakmengertian maksud perkataan perempuan di depannya. Di akhir katanya, dia terkekeh. Nyai Cemarasari menjura, hormat.
"Kalau begitu, aku mohon pamit, Ki."
"Ya... ya... ya,"
Sahut Ki Kusumo enteng.
"Pergilah. Dan kudo'akan agar kau dapat menemukan tabib yang berjodoh denganmu!"
Tambahnya.
Seketika itu, Nyai Cemarawangi mengangkat kepalanya.
Wajah memeram pertanyaan.
Bagaimana dia tahu kalau aku sedang sakit dan bagaimana pula dia tahu kalau sampai sekarang aku belum bertemu dengan tabib yang dapat menyembuhkan penyakitku? Bisik hatinya.
Makin kagum saja perempuan itu pada Ki Kusumo.
Nyai Cemarawangi baru hendak menanyakan hal itu, Ki Kusumo sudah menggerakkan tangannya.
"Ayo, pergilah.... Pergi...."
Perempuan berpakaian ungu mengulang juranya. Caping yang sejak tadi mengge-lantung di belakang punggungnya ditempatkan kembali di atas kepala. Dia pun melangkah.
"Ayo, Tresna,"
Ajak Nyai Cemarawangi pada putrinya, baru saja Tresnasari tiba di sampingnya Keduanya berangkat.
* * * Hari makin tua.
Sinar merah temba-ganya meredup dan terengah-engah.
Matahari terkapar disudut barat bumi.
Di batas Kadipaten Ketawang, dua perempuan berjalan perlahan menuju arah matahari tenggelam.
Mereka adalah Nyai Cemarawangi dan anaknya, Tresnasari.
"Kita membutuhkan kuda untuk sampai di Jogoboyo, Nyai,"
Kata si gadis ayu ba-ru tumbuh remaja pada ibunya.
"Kenapa? Apa kau tak kuat berjalan sampai ke sana?"
"Bukan begitu. Aku justru iba pada Nyai. Nyai tampaknya makin kehilangan banyak tenaga karena sakit yang mendekam dalam tubuh Nyai,"
Kata Tresnasari lagi. Nyai Cemarawangi merangkul anaknya dengan sebelah tangan. Bahu Tresnasari diguncang-guncangkan kecil.
"Aku bersyukur memiliki putri yang sayang terhadapku. Rasanya, kalau kau terus berada di sampingku, berjalan sampai ke ujung bumi aku masih sanggup,"
Gu-raunya dengan sebaris senyum di bibirnya yang memucat dan kering.
"Ah, Nyai ini. Aku sedang bicara sungguh-sungguh! Apa tak sebaiknya kita ke desa terdekat dulu untuk mencari dua ekor kuda? Kalau perlu, kita menumpang bermalam. Besok pagi, baru kita lanjutkan lagi perjalanan. Bagaimana?"
Cecar Tresnasari, nyaris lupa berhenti.
Sementara mereka terus melangkah, seseorang menguntit keduanya.
Sejak mereka meninggalkan pusat Kadipaten Ketawang, orang itu terus mengekori.
Sesekali dia bersembunyi di balik pohon atau semak-belukar yang banyak tumbuh di sepanjang jalan setapak.
Jika jaraknya sudah cukup aman, dia mulai menguntit lagi.
Dari caranya bergerak, tak ada kesan kalau si penguntit adalah orang persilatan.
Gerakannya begitu kasar dan berkesan serampangan.
Langkah-langkah kakinya memperdengarkan bunyi ribut, meskipun tampak lincah.
Kalau sudah begitu, tentu saja Nyai Cemarawangi dan Tresnasari akan cepat mengendusi.
"Sejak tadi ada orang menguntit ki-ta terus, Nyai,"
Bisik Tresnasari.
"Ya-ya, aku tahu."
"Apa perlu kita hadang sekarang?"
"Tak perlu. Tampaknya orang itu tak berbahaya. Lagi pula...."
Nyai Cemarawangi tak meneruskan perkataannya. Dia malah senyum tertahan.
"Kenapa, Nyai? Kenapa?"
Desak Tresnasari.
"Lagi pula, aku sudah tahu siapa orang itu."
Kening si gadis belia dibuat berkerut.
"Siapa Nyai?"
Jawaban Nyai Cemarawangi cuma senyum kecilnya, yang lagi-lagi sengaja ditahan.
"Siapa Nyai? Dan kenapa Nyai malah tersenyum-senyum seperti itu?"
Sewot Tresnasari.
"Nanti juga kau tahu."
Tresnasari jadi tak sabar lagi dengan kucing-kucingan ibunya.
Dia merajuk.
Dengan wajah asam, dihentikannya langkah tiba-tiba.
Lalu cepat dibalikkannya tubuh.
Demi melihat salah seorang yang di-kuntit mendadak membalikkan tubuh, si penguntit terperanjat bukan alang-kepalang.
Serabutan dicarinya tempat per-sembunyian.
Ada sebatang pohon beringin besar di dekatnya.
Ke sana dia berlari.
Saking terburu-buru, tak dilihatnya akar pohon merangas di tanah.
Akhirnya....
"E-e-eeeeee!"
Gedubrak! Jatuh juga orang itu dengan posisi tertelungkup.
Jidatnya terhantam batang pohon beringin.
Orang itu ternyata si bocah sok jago, Satria.
Apa maunya dia menguntit begitu rupa? Melihat siapa yang sejak tadi menguntit, Tresnasari memasang wajah perang-nya.
Kalau bisa, ingin dibuat wajah ayunya seseram tampang Batari Durga, perempuan raksasa di pewayangan.
"Mau apa lagi kau?!"
Serunya ketus.
Satria bangkit terseok.
Satu tangannya memegangi pinggang.
Tangan yang lain mengusap-usap keningnya yang sudah benjut sebesar tempurung dengkulnya sendiri.
Bibirnya meringis-ringis berkepan-jangan, antara rasa dongkol dibentak Tresnasari dan penderitaannya.
"Apa maumu mengikuti kami, Cah Bagus?"
Tanya Nyai Cemarawangi, jauh lebih bersahabat dari pertanyaan anaknya barusan.
"Anu, Bibik... anu...,"
Si bocah berambut kemerahan tak bisa mencari alasan yang tepat satu pun.
Sejak keributan di jalan pusat kadipaten berakhir, dia pamit pada lelaki tua pemilik warung.
Orang tua itu sendiri sebenarnya berat melepas Satria.
Di samping dia sudah 'jatuh hati' pada sifat-sifat Satria, dia juga merasakan keuntungan dari kerja ra-jin anak itu di tempatnya.
Karena Satria tidak bisa dicegah, pemilik warung yang penuh teka-teki di mata Nyai Cemarawangi itu akhirnya melepas Satria juga.
Dibeka-linya anak itu dengan beberapa keping kepeng.
"Anu apa?!"
Bentak Tresnasari. Dengan isyarat, Nyai Cemarawangi memperingati sikap judes anaknya.
"Aku cuma ingin ikut kalian...,"
Aku Satria akhirnya.
"Ikut kami? Bagaimana dengan ke-luargamu?"
Tanya Nyai Cemarawangi. Satria menggelengkan kepala perlahan. Dia tertunduk. Raut wajahnya berubah mendung. Muram, biarpun dia bukan tergolong bocah cengeng.
"Aku sendiri sampai sekarang tidak tahu apa-apa tentang keluargaku. Bahkan aku tak pernah tahu asal-usul diriku...,"
Katanya.
Dari desah napasnya, terdengar dia berusaha untuk tidak terbawa perasaan memelasnya sendiri.
Itu pula salah satu sifat yang dikagumi Ki Kusumo.
Menilai dari sinar matanya, Nyai Cemarawangi tahu Satria tidak berdusta.
Rasa keibuannya agak tersentuh juga.
"Baiklah. Kau boleh ikut kami...,* katanya memutuskan. Satria tersenyum senang. Tresnasari cemberut sejadi-jadinya. LIMA PERAMPOKAN besar-besaran siap terjadi di perbatasan Kadipaten Ketawang dengan Jogoboyo, wilayah yang telah dire-but pihak Demak dari Majapahit dalam ba-bad sengit beberapa purnama lalu. Saat itu, malam telah menjelang. Bulan sabit diselimuti awan tambun di angkasa. Sinarnya tak kuasa untuk mene-rangi permukaan bumi. Ditengah-tengah kegelapan, satu pasukan berkuda yang terdiri dari kurang-lebih dua puluh lima orang beriringan menyusuri jalan menuju bentangan hutan bakau sebelah barat Jogoboyo. Kuda-kuda mereka berjalan tak lambat, ju-ga tak cepat. Tangan masing-masing pe-nunggang memegang obor. Penunggang terdepan memegang tombak panjang. Di ujungnya diikatkan panji segitiga sama kaki sepanjang empat jengkal berwarna merah dengan gambar seekor kelelawar penghisap darah. Mereka adalah Panji Prajurit Siluman atau Laskar Lawa Merah. Sepasukan pe-rampok, di bawah pimpinannya yang bertubuh raksasa Sejak kekacauan meletus di mana-mana akibat peta kekuatan Kerajaan Majapahit tercabik-cabik, keadaan jadi tak lagi terkendali. Dan hilangnya tongkat komando kerajaan yang pernah mencita-citakan penyatuan Nusantara di bawah sumpah Mahapatih Gajah Mada itu, menyebabkan kekuatan demi kekuatan pasukan mereka terpecah berkeping. Sebagian di antara orang-orang berpengaruh Majapahit membangun gerakan mulia seperti mendirikan pondok-pondok persilatan. Ada juga yang menjadi pertapa suci, atau sesepuh masyara-kat suatu daerah yang berwibawa dan disegani. Karena haus kekuasaan, ada juga di antara mereka tak dapat menguasai diri untuk membentuk kekuatan sendiri-sendiri. Mereka mengambil jalan yang dianggap dapat dengan cepat mewujudkan keinginan mereka meraih kekuasaan. Salah seorang di antara mereka adalah Dirgasura. Dia membentuk gerombolan perampok. Terdiri dari para bajingan-bajingan yang dulunya selalu merongrong kerajaan. Dirgasura dan antek-anteknya kemudian menjadi satu gerombolan yang paling ditakuti di sepanjang pesisir Jawa Tengah. Mereka menyebut diri sebagai Panji Prajurit Siluman. Kawanan perampok yang selalu membawa panji-panji berwarna merah bergambar kelelawar penghisap darah. Penduduk kerap pula menjuluki mereka sebagai Laskar Lawa Merah. Dirgasura memiliki tubuh yang lebih besar dan tinggi dari kebanyakan ukuran tubuh orang biasa. Tingginya mencapai dua meter. Bentuk badannya kekar berotot. Dadanya bidang mengembung, ditumbuhi bulu lebat. Lehernya besar, mengimbangi kekarnya bagian tubuh yang lain. Karena begitu bero-totnya, punuk lelaki itu lebar menonjol seperti seekor kerbau liar. Wajahnya sendiri sebenarnya tak tergolong menyeramkan, bahkan boleh dibilang biasa-biasa saja. Namun, matanya selalu membersitkan ketelengasan. Dagu perseginya dihiasi brewok kasar. Dan dia selalu berpakaian perang yang di bagian dadanya terbuat da-ri lempengan logam, untuk menunjukkan ke-kuasaannya seperti yang dilakukan para manggala. Kini, Laskar Lawa Merah atau Panji Prajurit Siluman memasuki wilayah perbatasan antara Ketawang dan Jogoboyo. Mereka punya rencana khusus untuk membumihan-guskan desa-desa di sekitar dan menguras harta serta wanita muda di sana. Rencana tersebut sudah dipersiapkan Dirgasura sejak lama sebelumnya. Wilayah sasaran jarahan sendiri ki-ni berada di bawah kekuasaan pasukan Demak. Mereka membentuk basis kekuatan di sana karena daerah pesisir tersebut dianggap strategis sebagai pintu gerbang masuknya armada laut ke daratan. Dengan begitu, tentu saja pasukan yang ditempatkan pihak Demak di sana terbilang berkekuatan besar. Jika Dirgasura mencoba menyerang melalui sisi utara, maka dia harus berhadapan langsung dengan kekuatan pasukan Demak yang ditempatkan di sana. Tentu sa-ja mereka akan dihancurleburkan. Untuk menghindari hal itu, Dirgasura memakai siasat gerilya. Dia tak menyerang melalui perbatasan yang dijaga ketat, melainkan melalui pintu masuk yang dianggap memiliki pertahanan terlemah. Pintu masuk yang dimaksud adalah wilayah rawa bakau. Menurut perhitungan Dirgasura sebagai seorang pimpinan perampok yang berpengalaman, tentu pasukan Demak tak akan mengira serbuan dari wilayah rawa. Pertama karena wilayah itu amat berbahaya untuk dimasu-ki. Banyak buaya liar berkeliaran. Selain itu, pasukan yang mencoba menerobos ke sana harus menempuh perjalanan tanpa ken-daraan menembus rawa setinggi pusar selama satu malam. Lebatnya hutan bakau tak memungkinkan untuk menggunakan perahu. Besar kemungkinan selama merambah bentangan rawa, mereka akan diserang nyamuk-nyamuk pembawa penyakit. Kesiapan tempur mereka akan terkoyak setibanya di batas rawa penghubung ke wilayah kekuasaan pasukan Demak. Belum lagi banyaknya hewan-hewan melata berbisa. Namun, Dirgasura tak ingin melakukan bunuh diri terhadap pasukan sendiri. Dia telah mempersiapkan perambahan rawa tersebut secara cermat dan matang. Untuk mengatasi serangan buaya-buaya penghuni rawa, sang pemimpin gerombolan perampok memerintahkan anak buahnya membuat keranda setinggi dada manusia. Bagian bawah dan atasnya terbuka, hingga memungkinkan seseorang bisa berjalan bebas di dalam kurungan keranda. Keranda itu terbuat dari rotan memanjang yang disatukan satu dengan yang lain dengan tali dari samakan urat binatang. Panjang-nya cukup untuk mengurung tubuh tiga orang. Dengan keranda rotan itu, mereka akan merambah rawa bakau. Buaya tak akan bisa mendekati mereka karena terhalang keranda. Sedangkan ikatan tali dari samakan urat banteng pada rotan menyebabkan keranda tersebut dapat lentur meliuk ke sana-ke sini di antara tetumbuhan bakau. Untuk menghindari serangan nyamuk-nyamuk rawa pembawa bibit penyakit menu-lar, Dirgasura mendatangi seorang tabib ahli yang pernah dikenalnya ketika sebelum menggalang para perampok. Diperintah-nya tabib itu untuk membuat ramuan mengu-sir nyamuk yang diborehkan ke kulit.
"Aku mendengar Pak Tua Kusumo, pemilik warung di pusat kadipaten, mengatakan kalau kau sedang sakit, Bik. Apa benar begitu?"
Satria bertanya pada Nyai Cemarawangi.
Ketika itu mereka bermalam di hutan.
Desa terdekat masih cukup jauh.
Sementara malam sudah terlalu larut untuk menempuh perjalanan.
Karenanya mereka membuat api unggun.
Bocah itu duduk di atas batang pohon kayu tua yang roboh di atas tanah, menghadapi api unggun.
Warna merah cahaya api menari-nari di wajah bergaris kokoh Satria.
Berseberangan dengannya, duduk Tresnasari.
Sejak sore gadis tanggung itu terus merajuk.
Dia tak mau bicara sepatah pun kalau tidak ditanya.
Seperti tidak ingin peduli pada pertanyaan Satria pada ibunya, Tresna mempermainkan bara api unggun dengan batang pohon kering.
"Ya,"
Sahut Nyai Cemarawangi berbareng helaan napas.
"Sakit apa, Bik?"
Susul Satria, ingin tahu lebih banyak.
Atau mungkin dia hanya ingin berbasa-basi, mengingat gadis sebayanya terus saja memperlihatkan wajah permusuhan.
Inginnya dia berbincang-bincang dengan Tresnasari.
Pasti banyak bahan obrolan yang bisa dibicarakan oleh sepasang remaja seperti mereka.
Tapi, Tresna dingin saja terhadapnya.
Jangan lagi bicara, melirik pun tidak.
Satria merasa dirinya hanya dianggap kentut.
Brengsek! Helaan napas Nyai Cemarawangi terdengar lagi.
Lebih berat dan berbeban da-ri sebelumnya.
Sambil meluruskan kaki, pandangan perempuan itu menerawang.
"Entahlah.... Aku sudah berusaha mencari tabib yang dapat menyembuhkanku. Namun sampai sekarang, penyakitku tetap tak terobati. Aku tetap saja makin payah,"
Jawabnya kemudian.
Ketiganya hening.
Satria hanya bisa menatap iba wajah perempuan empat puluhan yang kian memucat dalam sapuan lamat cahaya api unggun itu.
Diam-diam, Satria kagum juga terhadap diri Nyai Cemarawangi.
Wajahnya tak sedikit pun membersitkan rasa kekalahan.
Sinar matanya bahkan memperlihatkan seolah dia siap ditantang pe-nyakitnya sendiri untuk melakukan apa pun.
Tak ada keluh di sana.
Bunyi gemeritik bara api yang di-mainkan Tresnasari terdengar, ditingkahi derik ramai jangkrik di kejauhan.
Nyai Cemarasari merebahkan tubuhnya yang demikian penat dan lunglai di atas rumput.
Dengan caping, diganjalnya kepalanya.
Tampaknya dia mulai mengantuk.
Keadaan tubuhnya memang tak memungkinkan dia bertahan tidak tidur terlalu lama.
Dia butuh istirahat.
"Tidurlah lebih dulu, Nyai. Biar aku berjaga-jaga,"
Kata Tresnasari, memecah kebungkaman dirinya sendiri.
Nyai Cemarasari tersenyum rapuh.
Dia tahu benar anaknya sedang dilanda kasmaran.
Namun karena ini masalah cinta pertamanya, gadis remaja itu malah tak tahu harus berbuat apa.
Akhirnya cuma muncul kekesalan pada diri Satria.
Meski tanpa alasan sama sekali.
"Anak muda... anak muda..,"
Bisik Nyai Cemarasari, samar sekali, sambil menatap anak gadisnya.
Malam beringsut lagi.
Satria duduk memeluk lutut.
Dingin bukan main.
Pa-kaiannya yang sudah usang dan koyak-moyak sudah tak cukup untuk mengenyahkan dingin.
Matanya sejak tadi sudah meredup-redup diserbu kantuk.
Hanya dia berusaha terus untuk melawannya, kantuk itu akhirnya minggat sendiri.
Dia tak boleh tertidur, pikirnya.
Sebab Nyai Cemarasari sudah terpulas.
Sementara Tresnasari mulai terkantuk-kantuk.
Sesekali Satria menambahkan dahan pohon kering ke api unggun yang mulai meredup.
Sewaktu menatap Nyai Cemarasari, Satria jadi terbayang pada seorang perempuan setengah baya yang mati tergeletak di dekatnya ketika dia tersadar dari pingsan, seusai badai.
Sampai sekarang, bocah dekil itu tidak ingat siapa wanita itu sebenarnya.
Apa hubungan dengan dirinya? Mungkinkah wanita setengah baya itu ibunya? Sampai detik itu juga, Satria tetap tak ingat asal-usul dirinya.
Suatu ketika, terdengar semliweran halus dari belakang tubuh bocah itu.
Satria tersentak.
Kepalanya menoleh cepat.
Dan dia terpana saat itu juga.
Disaksikannya sesosok tubuh sedang melenting-lenting ringan di atas dahan-dahan pepohonan Bagai tertenung, Satria terpaku tanpa berkedip.
Ditatapinya terus bayan-gan tadi, sosok yang terus bergerak demikian lincah melebihi seekor kera pohon menuju arahnya.
Yang lebih membuat bocah itu terpana-pana lagi, sosok itu bahkan membuat satu ranting setipis batang lidi untuk jejakannya Jleg! Dengan suara teramat halus, sosok itu hinggap tepat di depan Satria.
Seorang lelaki tua berpakaian hitam-hitam longgar.
Bersabuk kulit buaya dan berikat kepala kain warna hitam pula.
Manakala menyaksikan wajahnya, Satria dibuat bertambah terperanjat.
Rambut putih sebatas bahu itu, kumis putih lebat itu.
Alis mata yang tumbuh jarang dan gu-rat-gurat ketuaan di wajahnya itu....
ENAM "PAK Tua Kusumo?"
Desis Satria tak percaya.
"Apa kabar, Bocah?"
Sapa lelaki tua itu, yang ternyata Ki Kusumo, pemilik kedai tempat Satria bekerja beberapa hari lalu di pusat Kadipaten Ketawang.
Hanya pakaian orang tua itu yang kini berbeda dari yang dilihat sebelumnya.
Sambil tersenyum didekatinya Sa-tria.
Dia duduk tepat di batang pohon sebelah bocah dekil itu.
"Aku bawa empat ekor ayam hutan gemuk untuk makan malam kita,"
Katanya enteng tanpa takut membangunkan dua wanita yang kini sudah terpulas. Lalu diangkat-nya tangan kanan. Ada empat ekor ayam jantan mati.
"Cepat kau siangi!"
Satria menerima empat ekor ayam ta-di dengan mata terus menatapi wajah Ki Kusumo Selesai menyiangi, dipanggangnya empat ekor ayam itu di atas api unggun. Tak begitu lama, sudah tercium bau sedap ayam bakar.
"Kita akan makan besar!"
Seru Ki Kusumo. Yang membuat Satria heran, dua wanita yang tertidur sama sekali tak te-rusik dengan seruan yang sebenarnya tergolong keras itu. Apalagi dilakukan Ki Kusumo di dekat mereka berdua.
"Kenapa kau terus menatapi aku seperti itu, Bocah?"
Tanya Ki Kusumo, mendapati Satria terus saja memperhatikannya seolah benda ajaib yang baru saja jatuh dari langit. Satria menggelengkan kepala, entah apa maksudnya. Alis jarang Ki Kusumo bertaut.
"Kau tak tahu alasanmu menatapi aku seperti itu?"
Perangahnya.
"Oh, itu Pak Tua Kusumo...."
Bocah itu terkesiap sesaat. Dia akhirnya menyadari sikap bodohnya.
"Aku cuma tak percaya kalau aku benar-benar telah bertemu dengan orang tua pemilik warung itu,"
Sambungnya, setelah cukup mampu menguasai rasa herannya. Ki Kusumo terkekeh. Cukup keras. Dan lagi-lagi itu tak menyebabkan Nyai Cemarawangi dan Tresnasari terbangun. Sambil melirik dua wanita itu, Satria menambahkan pertanyaan.
"Aku juga tak percaya, bagaimana mereka bisa tak terbangun sementara kau begitu enak bicara dan tertawa,"
Ungkapnya seperti bergu-mam.
"Jangan-jangan, aku cuma bermimpi. Dan kau pun cuma bagian dari mimpiku."
Kembali Ki Kusumo terkekeh keras.
"Kau tidak sedang bermimpi, Cah Bagus! Mereka memang telah aku 'sirap'..."
"Sirap?"
"Ah, itu semacam keahlian yang bisa membuat orang tertidur pulas."
Satria terbengong-bengong tak mengerti.
"Asal kau tahu saja. Sebenarnya, kau pun kujadikan sasaran 'sirap'ku. Sialnya, kau seperti tak mempan. Aku heran, bagaimana bocah seperti kau mampu melawan pengaruh sirapku...,"
Tambah Ki Kusumo seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Di pancar matanya terbetik rasa kagum pada kemampuan si bocah tanggung untuk melawan rasa kantuk yang disebabkan oleh pengaruh sirapnya.
Buat seorang bocah yang tak memiliki kepandaian kedigdayaan sedikit pun seperti Satria, sebenarnya hal itu sungguh luar biasa.
Orang berkepandaian saja masih jarang yang bisa menahan pengaruh 'sirap'nya, kecuali beberapa orang yang memiliki kesaktian tingkat tertentu, Rahasia yang menyebabkan Satria dapat melawan pengaruh 'sirap'nya membuat Ki Kusumo dibuat penasaran.
Sedangkan Satria masih juga terbengong-bengong tak mengerti.
* * * Ki Kusumo memiliki nama asli Raden Giri Kusumo.
Dia adalah seorang ningrat dari Singasari.
Sejak mudanya, dia gemar mengembara ke berbagai daerah untuk mem-perdalam ilmu kedigdayaan dan ketabiban.
Banyak daerah telah dikunjunginya.
Bahkan dia pernah memburu satu ramuan obat-obatan hingga ke Tibet.
Selama bertahun-tahun dia berkelana dari satu negeri ke negeri lain.
Beragam obat-obatan, seni pijat, ilmu ketabiban hingga ilmu kanuragan selama itu pula di-dapatnya.
Menjelang berusia empat puluh tahun, Raden Giri Kusumo kembali ke tanah Jawa.
Namanya kemudian harum sebagai salah seorang tabib sakti kepercayaan kalangan Kerajaan Majapahit yang kala itu mencapai puncak keemasan di bawah kekuasaan Prabu Rajasanegara atau Hayam Wuruk.
Namun karena sifatnya yang tak ingin terikat oleh apa pun, pihak kerajaan tak bisa memintanya untuk menjadi tabib istana.
Karena sifat tak ingin terikat pu-la, Raden Giri Kusumo melepas gelar darah birunya.
Dia hanya memakai nama Kusumo saja.
Ketika hari berganti, kalangan persilatan tanah Jawa malah lebih mengenalnya dengan julukan Tabib Sakti.
Ketika Majapahit dilanda perang saudara sepeninggalan Prabu Rajasanegara, Ki Kusumo mengasingkan diri di sebuah pulau karang yang terpencil di sekitar Laut Selatan.
Dia benci pada setiap pertumpahan darah yang menggerogoti Majapahit.
Jarang Ki Kusumo kembali ke dunia persilatan kecuali setiap lima tahun sekali.
Banyak kalangan istana yang sakit dan membutuhkan pertolongannya tak bisa berbuat apa-apa kecuali menanti sampai dia turun kembali ke dunia persilatan.
Bahkan ada yang akhirnya menemui ajal sebelum berhasil menanti sampai sang Tabib Sakti kembali.
Pulau karang tempatnya mengasingkan diri disebut orang Pulau Dedemit karena bentuknya yang menyeramkan dan menyerupai sosok dedemit jika diperhatikan malam hari.
Jika malam hari pula, beberapa nelayan yang kebetulan melewati pulau itu sering mendengar suara-suara seperti orang menangis tersedu-sedu.
Lalu timbulah kepercayaan orang bahwa pulau itu adalah pulau yang dihuni oleh dedemit.
Lalu julukan Ki Kusumo pun bertambah.
Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Lelaki tua itu sebenarnya sudah be-rumur demikian lanjut.
Usianya lebih dari seratus tahun.
Karena beberapa obat-obatan yang diminumnya, dia tampak seperti orang tua berusia tak lebih dari tujuh puluhan.
Dua tahun lalu, dia turun ke dunia persilatan kembali.
Itu lebih awal seta-hun dari kebiasaannya turun lima tahun sekali.
Sekali ini dia mempunyai niat khusus.
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar