Ceritasilat Novel Online

Tabib Sakti Pulau Dedemit 2


Satria Gendeng Tabib Sakti Pulau Dedemit Bagian 2



Hendak dicarinya seorang murid yang bisa diturunkan ilmu ketabiban dan kanuragan miliknya.

   Untuk itu, Ki Kusumo sengaja menyamar sebagai seorang pedagang kecil.

   Sebelum-sebelumnya dia sempat juga menyamar menjadi seorang gembel, atau pe-narik pedati, dan samaran lain yang tak pernah disangka-sangka orang.

   Kebetulan, ketika sedang menyamar di pusat Kadipaten Ketawang, orang tua sakti itu bertemu dengan si bocah gelandangan, Satria.

   Dengan mata tua yang ter-latihnya Ki Kusumo bisa menilai bagaimana bagusnya bentuk tulang Satria, biarpun tubuhnya sendiri kurus.

   Timbul simpati pertamanya pada Satria.

   Itu saja belum lagi cukup.

   Ki Kusumo tak hanya ingin mencari murid yang bi-sa menurunkan kesaktian semata.

   Murid itu harus juga memiliki sifat-sifat seorang ksatria sejati.

   Pucuk dicinta ulam tiba, Satria ternyata memiliki pula sifat-sifat itu.

   Dalam tingkahnya yang terkadang acuh, terpendam sifat keras kemauannya.

   Dalam tingkahnya yang terkadang kebodoh-bodohan, justru tersimpan kecerdasan.

   Dalam tingkah yang terkadang sok, malah terpendam sifat rendah hatinya.

   Dan semua itu hanya dapat dilihat oleh mata yang berpengamatan jeli seperti Ki Kusumo.

   Lalu, sejak Satria pamit padanya, Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit pun terus berusaha memantau Satria.

   Sampai dengan pertemuan kedua mereka di hutan perbatasan Ketawang-Jogoboyo malam itu.

   * * * Menjelang pagi, Laskar Lawa Merah berhasil merambahi rawa bakau.

   Mereka terus bergerak lambat mendekati batas wilayah kekuasaan pasukan Demak dengan pertahanan terlemah.

   Di tepi bentangan rawa sebelah barat sebelumnya, mereka meninggalkan kuda tunggangan masing-masing.

   Keranda yang mereka persiapkan untuk mengarungi rawa bakau mereka turunkan dari sisi pelana kuda.

   Lalu setiap tiga orang mengurung tubuh bagian pinggang hingga ke kaki dengan tiap keranda, dan mulai turun ke dalam air rawa yang keruh dan dingin.

   Tangan mereka memegangi batang kayu yang diikatkan pada puncak keranda.

   Sedangkan seluruh senjata mereka digantungkan di punggung.

   Setelah berhasil menempuh waktu hampir satu malam dan berhasil mengatasi serangan buaya-buaya lapar dengan susah-payah, mereka berhasil juga mendekati daerah sasaran.

   Di kejauhan, terlihat kerlap-kerlip lampu-lampu minyak yang be-rasal dari rumah-rumah penduduk dan tenda-tenda prajurit Demak.

   Jauh di tepi ra-wa, cuma ada satu menara kayu yang diban-gun setinggi empat tombak.

   Ada tiga orang di sana.

   Satu orang berdiri di menara.

   Sisanya terlihat berdiri di bawah pohon besar.

   Keduanya bercakap-cakap sambil menghisap lintingan rokok kawung.

   Tepat seperti perkiraan Dirgasura, batas wilayah itu memang tak dianggap berbahaya oleh pasukan Demak.

   Buktinya mereka hanya menempatkan tiga prajurit.

   Dan itu membuat Dirgasura makin bernafsu untuk secepatnya menjarah harta dan membawa lari beberapa wanita dari daerah tersebut.

   Belum lagi harta rampasan perang milik pasukan Demak yang kabarnya belum sempat dikirim ke pusat.

   "Bagus...,"

   Desis Dirgasura. Matanya berkilat-kilat nyalang.

   "Saatnya kita berpesta-pora!"

   Lalu mereka mulai bergerak lambat kembali.

   Pada jarak yang dianggap cukup dekat dari tiga prajurit Demak, Dirgasura memerintah tiga orang anak buah ahli panahnya untuk memulai aksi.

   Tak jauh dari wilayah sasaran serangan Laskar Lawa Merah, tepatnya di tempat Satria, Nyai Cemarawangi dan Tresnasari beristirahat, dua orang lelaki bertaut usia amat jauh masih terlibat percakapan.

   "Jadi, kau ini sebenarnya siapa, Pak Tua Kusumo?"

   Tanya Satria.

   "Kau tak perlu menanyakan itu."

   "Kenapa tak perlu? Aku bahkan merasa harus menanyakan siapa dirimu sebenarnya. Sebab aku curiga. Sebelumnya kau berpura-pura menjadi seorang pemilik warung kecil. Dan tiba-tiba, kau muncul dengan 'kedok' aslimu...,"

   Sengit Satria.

   Di tangannya masih tersisa sepotong besar panggang ayam.

   Setengah bagiannya sudah tandas ke dalam perutnya tanpa te-deng aling-aling.

   Ki Kusumo terkekeh.

   Padahal siapa pun tak akan menganggap ucapan Satria barusan sebagai suatu yang lucu.

   Apalagi sampai ditertawakan.

   Tapi sekali ini rupanya orang tua itu punya alasan yang cukup tepat.

   "Kau bilang kau curiga padaku. Tapi kau menyikat begitu saja ayam bawaan-ku...."

   Satria menatap sejenak sisa besar panggangan ayam di tangannya. Mulutnya masih terus mengunyah tiada henti seperti seekor anak lembu "Terang saja aku akan memakannya. Aku sudah begitu lapar!"

   "Bukan itu, maksudku. Mestinya kau curiga juga kalau-kalau aku meracuni ayam itu,"

   Ki Kusumo terkekeh lagi.

   "Iya-ya...,"

   Ujar Satria kebodohan. Tapi terus saja dia mengunyah daging di mulutnya.

   "Jadi apa alasanmu sebenarnya menanyakan siapa diriku? Tentu bukan curiga, kan?"

   Satria menyikat lagi panggang ayam di tangannya. Belum lagi kunyahan di mulut tertelan.

   "Apa ya? Ah, tak tahulah. Pokoknya aku penasaran pada dirimu, Pak Tua!"

   "He-he-he. Sebenarnya, aku juga penasaran pada dirimu, Cah Bagus!"

   "Penasaran bagaimana?"

   Ki Kusumo tak segera menjawab. Tresnasari yang tertidur beberapa tindak didekatnya mulai bergeliat.

   "Mmm, tampaknya aku mesti segera pergi...,"

   Ucap Ki Kusumo.

   "Tapi, Pak Tua..."

   Belum selesai kalimat Satria, tubuh si orang tua sudah melenting ringan ke atas dahan pohon.

   Di atas dia berkelebat dan hilang di kegelapan.

   Ayam jantan hutan mulai terdengar berkokok di kejauhan.

   Shubuh telah tiba.

   Tresnasari terbangun.

   Menyaksikan ada tiga ekor ayam panggang di atas api unggun, dia menatap Satria terheran-heran.

   Bagaimana si kambing buduk ini sempat-sempatnya berburu ayam hutan di malam hari? Empat ekor pula? "Ayo, mhakan.

   Jhangan malhu-malfu!"

   Satria mempersilakan dengan mulut masih terjejal daging panggang.

   Sepertinya memang benar-benar dia yang telah susah payah mencari ayam hutan! Di penghujung dini hari, sebelum warna kuning pucat matahari pagi menyem-bul perlahan di sebelah timur, orang-orang Laskar Lawa Merah melakukan serangan gelapnya.

   Tiga orang prajurit Demak yang sedang berjaga di batas rawa bakau mengalami nasib naas terkena anak panah.

   Tepat di dada kiri masing-masing, anak panah milik anak buah Dirgasura menghujam sasaran.

   Prajurit di atas menara pengawas tak sempat melempar teriakan sedikit pun.

   Ketika terkena, tubuhnya terhuyung sebentar.

   Tangannya mendekap bagian dada yang tertembus.

   Setelah itu tubuhnya limbung ke depan dan jatuh melayang deras ke bawah.

   Tepat pada saat bersamaan, dua prajurit di bawah pun mengalami kejadian serupa.

   Keduanya hanya sempat mengeluh tertahan.

   Keduanya kemudian tersungkur ke dalam rawa.

   Beberapa ekor buaya yang kebetulan berada di sekitar tempat itu segera memburu ke arah dua prajurit tadi.

   Binatang-binatang berdarah dingin itu berebutan, menciptakan riak permukaan rawa yang kemudian berwarna kemerah-merahan.

   Mereka berpesta pora menikmati sarapan pagi.

   Setelah membereskan ketiga prajurit penjaga, pasukan Dirgasura bergerak kembali mendekati tepi rawa.

   Gerakan mereka kali ini tak lagi lambat.

   Seperti sekawa-nan anjing lapar yang melihat tumpukan tulang di depan mata, mereka memburu ke tepi.

   Meski begitu, tak ada keributan berarti mereka ciptakan.

   Di tepi rawa bakau, mereka mele-paskan keranda pelindung.

   Selanjutnya pasukan yang terdiri dari kurang-lebih dua puluh lima orang itu mengendap-endap menuju barak-barak pasukan Demak Di barak pasukan Demak, Laskar Lawa Merah melanjutkan serangan gelap.

   Beberapa penjaga yang terkantuk-kantuk dibelai hawa shubuh menemui ajal disergap secara tiba-tiba.

   Ada yang bernasib serupa dengan tiga prajurit penjaga, tertembus anak panah anak buah Dirgasura.

   Ada yang diti-kam dari belakang dengan pisau.

   Ada juga yang digorok lehernya dengan telengas! Semua itu memang bagian dari rencana pemimpin gerombolan, Dirgasura.

   Lelaki bertubuh mirip raksasa itu tahu benar, mereka tak akan memiliki kesempatan unggul jika harus menghadapi secara langsung kekuatan pasukan Demak yang bermarkas di sana.

   Kalau dibuat perbandingan, jumlah pasukannya cuma seperlima jumlah kekuatan pasukan Demak.

   Satu-satunya taktik yang mungkin dijalankan adalah melakukan serbuan gelap.

   Dengan cara itu, sedikit demi sedikit kekuatan pasukan Demak terkikis.

   Setelah menumpas seluruh prajurit penjaga di luar barak, Dirgasura mengatur siasat selanjutnya.

   Untuk melakukan perang terbuka, Dirgasura masih belum mau mengambil resiko.

   Meski sudah cukup banyak prajurit Demak terbunuh, namun jumlah mereka yang kini masih terlelap di dalam barak tetap tak imbang dengan jumlah anak buahnya.

   Karenanya, Dirgasura mencoba mengi-kis lebih jauh kekuatan pasukan Demak dengan cara yang tak kalah telengas dari sebelumnya.

   Disiapkannya tabung-tabung racun.

   Tabung-tabung dari bambu itu memiliki sumbu.

   Jika sumbu dibakar, maka serbuk racun di dalam tabung akan mengeluarkan asap tipis mengandung racun mematikan.

   Jika dalam satu tarikan napas saja asap itu tersedot ke dalam paru-paru, ma-ka dalam beberapa hitungan jari, korban akan menemui ajal dengan mulut mengeluarkan busa! Racun itu didapat salah seorang Manggala Majapahit di masa kekuasaan Prabu Kertarajasa lebih dari seratus tahun lalu, dari para prajurit Tartar.

   Ketika pasukan Tartar di bawah pimpinan Ike Mese, Kau Shing dan Shih Pi bergabung dengan pasukan Majapahit untuk menyerang Kediri, si Manggala sempat mempelajari beberapa ilmu racun Cina.

   Termasuk racun asap mematikan yang kini hendak dipergu-nakan Dirgasura.

   Beberapa tahun kemudian, Manggala itu justru mati oleh salah satu racun yang dipelajarinya.

   Catatan-catatannya hilang begitu saja.

   Rupanya ada orang dalam yang berhasrat menguasai ilmu racun Cina itu, lalu membunuh si Manggala secara licik.

   Orang tersebut adalah kakek Dirgasura.

   Secara diam-diam ilmu racun Cina itu akhirnya diwariskan pada Dirgasura, tanpa pernah diketahui sama sekali oleh pihak istana yang lain.

   Karena kebetulan sekali barak-barak pasukan Demak dibuat dari tenda kulit hewan, maka dengan mudah asap beracun akan tertahan di dalam jika seluruh tenda ter-tutup.

   Namun sebelum gerombolan perampok berdarah dingin itu memulai, mereka dike-jutkan oleh suara tabuhan keras bertalu-talu dari satu bangunan kecil di sebelah timur barak.

   Dung-dung-dung...! Mereka terperanjat.

   Pada saat yang sama, prajurit Demak di dalam barak mulai terbangun.

   Menyusul terdengar sayup-sayup suara seruan seseorang.

   Panjang, meliuk-liuk dan mengalun.

   Rupanya, suara tabuhan keras, cepat dan bertalu itu berasal dari bedug di langgar kecil yang dibuat khusus oleh pasukan Demak untuk melaksanakan shalat.

   Sedangkan seruan panjang yang mengiku-tinya adalah suara azan.

   Dalam keadaan tak terduga itu, salah seorang prajurit Demak sudah keluar dari barak.

   Salah seorang anak buah Dirgasura cepat melepas anak panahnya.

   Karena dilakukan dalam keadaan terburu, anak panah itu melesat tak tepat ke sasaran yang dituju.

   Mestinya dada kiri korban tujuannya, tapi yang terkena malah bahu kirinya.

   "Aaaaaa! Ada serangan!"

   Teriakan si prajurit Demak yang terkena panah pun menyeruak awal shubuh yang semula hening.

   Maka, seluruh pasukan dalam barak bangun tersentak.

   Mereka menerobos keluar dari barak-barak dengan senjata di tangan meskipun keadaan mereka belum lagi siap untuk melakukan pertempuran....

   Telanjur diketahui, Dirgasura tak ingin mental anak buahnya jadi hancur.

   Segera saja dia meneriakkan seruan perang, menyulut api semangat anak buahnya.

   "Seraaaaaaang!"

   Menyusul setelah itu, bunyi denting senjata dan teriakan haus darah Laskar Lawa Merah.

   Dirgasura sendiri sudah lebih dahulu maju membabat beberapa prajurit Demak yang tak siap menghadapi terjangan-nya.

   Sepertinya dia tahu benar, dengan begitu anak buahnya tak akan memikirkan lagi jumlah mereka yang lebih sedikit.

   Prahara pun berlangsung! * * * Pagi menjelang.

   Kokok ayam jantan terus bersahut-sahutan dari menjelang shubuh hingga kini.

   Matahari mulai meng-hangatkan bumi, mengenyahkan embun yang bergerak lamat-lamat.

   Sinar mulai bende-rang di ufuk timur.

   "Pagiiii! Selamat pagi!!!!"

   Gila-gilaan, Satria berteriak sendiri di puncak pohon jangkung.

   Di salah satu batang yang cukup untuk menahan tubuhnya, anak itu duduk bertengger sambil mengayun-ayunkan kaki seenaknya.

   Entah pada siapa tabik itu hendak ditujukannya.

   Tak ada yang tahu.

   Barangkali, bocah itu sendiri tak tahu juga.

   Dia hanya ingin meneriakan salam, maka dia teriakan.

   Itu saja.

   Yang jelas, pagi bugar ini membawa kesegaran dalam dirinya, meski hampir semalaman dia tak tidur.

   Apalagi karena perutnya sudah aman dari rasa lapar setelah menandaskan sepotong ayam panggang bakar dinihari ta-di.

   "He! kambing buduk! Jangan seenak-nya berteriak! Memangnya cuma kau saja yang punya telinga?!"

   Di bawahnya, Tresnasari sudah berdiri bertolak pinggang.

   Dia dongkol sekali pada teriakan Satria barusan.

   Karena teriakan itu, dia jadi bangun mendadak.

   Kepalanya berdenyut-denyut.

   Matanya berkunang-kunang.

   Dikiranya ada gempa bumi.

   Tak tahunya ada 'bocah setengah sinting' berteriak-teriak tak karuan dari atas pohon.

   Ketika terjaga semalam, Tresnasari melanjutkan tidurnya.

   Tawaran ayam panggang Satria ditolaknya mentah-mentah.

   Lebih baik dia melanjutkan tidur dengan perut keroncongan daripada menerima tawaran bocah yang membuatnya sebal itu.

   Satria tak keberatan dengan penola-kan Tresnasari.

   Pikirnya, dengan bakal ada jatah ayam panggang tambahan yang bi-sa disikatnya untuk sarapan pagi.

   "Pagi, Nona...,"

   Salam Satria.

   Di-pasangnya senyum semenawan mungkin.

   Di-pandangan gadis tanggung berparas ayu yang disalaminya, senyum itu benar-benar menyebalkan.

   Sekali lagi menyebalkan.

   Tak pernah mimpi, bangun tidur disambut senyum seekor kambing buduk, dengus Tresnasari dalam hati.

   Terus memasang wajah bebas lepasnya, Satria turun dari atas pohon.

   Gayanya seperti seekor anak kera.

   Lincah dan cepat.

   Sementara itu, Nyai Cemarawangi sudah pula terbangun.

   Dia duduk dahulu beberapa saat sebelum bangun dan menggeliatkan tubuh.

   Seperti juga Tresnawati semalam, wanita berusia empat puluhan itu agak terkejut juga melihat tiga potong ayam panggang di atas bara api unggun.

   "Siapa yang telah berburu ayam panggang, Tresna?"

   Tanyanya pada sang putri. Tresna cemberut.

   "Tak tahu!"

   Sahut-nya ketus. Nyai Cemarawangi giliran melirik Satria.

   "Kau yang berburu ayam hutan?"

   Tanyanya. Satria cengengesan.

   "Bukan..."

   Akunya jujur. Nyai Cemarawangi tak percaya. Kalau bukan anaknya, pasti Satria. Masa' iya, panggang ayam datang begitu saja? Memangnya ada dedemit hutan yang suka berbuat baik membawakan makanan? Pikirnya.

   "Kau baik sekali, Bocah. Kebetulan sekali perutku memang begitu lapar pagi ini. Tapi, ngomong-ngomong, apa kau terbiasa berburu ayam hutan waktu hari gelap?"

   Aju perempuan itu lagi, agak heran. Satria membesarkan kelopak matanya. Dia ingin Nyai Cemarawangi melihat mimik wajahnya yang mengungkapkan kesungguhan.

   "Sungguh, bukan aku yang berburu ayam hu-tan itu, semalam...."

   "Ya, sudahlah...,"

   Sela Nyai Cemarawangi seraya menepiskan tangan ringan di udara.

   "Kalau kau tak suka menerima ucapan terima kasihku,"

   Tambahnya. Satria menggaruk-garuk keningnya tak gatal. Nyai Cemarawangi lalu mendekati panggangan ayam. Dijemputnya sepotong. Dia duduk di atas batang pohon roboh dan mulai memakannya.

   "Tresna, apa kau sudah makan?"

   Tanya perempuan itu melihat putrinya terus saja membelakangi dengan tangan terlipat di dada.

   Tak ada jawaban.

   Nyai Cemarawangi cuma bisa menaikkan bahu.

   Satria yang berdiri menatap Nyai Cemarawangi melahap ayam panggang penuh selera, menelan ludah berkali-kali.

   Kira-kira, apa sudah waktunya aku makan lagi, ya? Bisik hati anak tanggung berambut kemerahan itu.

   Lapar, atau memang ra-kus? Ah, peduli setan, pikirnya.

   Didekatinya api unggun dengan sikap seolah-olah memang benar-benar dia yang telah berjasa berburu ayam hutan.

   "Enak ayam panggangnya, Bik?"

   Ujarnya, sok berbasa-basi.

   Padahal maksudnya cuma ingin menyikat satu potong lagi.

   Dan itu benar-benar dilakukan tanpa ragu-ragu.

   Maju pantang mundur, pikirnya nga-wur.

   Ketika keduanya asyik menikmati daging panggang hangat, di kejauhan terdengar suara ribut-ribut.

   Trang! "Hiaaaattt"

   Ketiganya tercekat.

   Nyai Cemarawangi bangkit tergesa.

   Tresnasari malah sigap meloloskan sepasang belatinya.

   Lain lagi Satria, ketercekatan itu justru membuat kunyahannya makin seru saja TUJUH TAK begitu lama setelah terdengar teriakan, seseorang terlihat berlari di kejauhan.

   Sekelebatan, Satria, Nyai Cemarawangi dan Tresnasari menyaksikan orang itu penuh luka pada tubuhnya.

   Di antara pepohonan, sosok orang itu timbul tenggelam.

   Di belakangnya seseorang memburu ganas.

   Tangannya mengayun-ayunkan tombak bermata golok berlumuran darah, siap me-lemparkannya pada lelaki di depan.

   Arah lari mereka menuju tempat is-tirahat Nyai Cemarawangi dan dua muda-mudi yang bersamanya.

   Tak berapa lama kemudian, sosok pertama yang penuh luka akhirnya tiba juga di tempat mereka.

   Tak lebih dari dua puluh langkah di belakangnya, si pengejar sudah mengangkat tinggi-tinggi tombak bermata golok di tangannya.

   Mata senjata itu diarahkan ke depan.

   Hingga pada saatnya....

   "Mampus kau! Hih!!!"

   Wukh! Satria yang berada paling dekat dengan lelaki yang terluka entah mendapat dorongan keberanian dari mana, tiba-tiba saja melompat sepenuh tenaga.

   Diterjang-nya tubuh lelaki terluka tadi ke samping memaksanya jatuh bergulingan di tanah.

   Jlep! Sekejapan dari terjangan nekat Satria, tombak bermata golok tertancap di satu batang pohon.

   Sasarannya luput.

   Tindakan cepat dan amat berani telah dilakukan Satria untuk menyelamatkan lelaki ta-di.

   Untuk seorang bocah tanggung yang tak memiliki bekal olah kanuragan sedikit pun, tindakan itu sebenarnya bisa dibilang luar biasa.

   Sempat Nyai Cemarawangi memuji ke-tajaman naluri bocah berambut kemerahan itu.

   Perempuan itu yakin, hanya dengan berbekal naluri saja Satria bertindak.

   Dia pun harus mengakui itu sungguh luar biasa! "Ttterima...

   ka...

   sih,"

   Hatur si lelaki terluka terbata-bata.

   "Thi... dhak apha-apha...,"

   Jawab Satria terengah-engah.

   Saat itu, baru terpikir olehnya betapa tindakannya tadi telah mempertaruhkan nyawa semata wayang-nya.

   Bagaimana kalau tombak bermata golok yang dilempar si pengejar memangsa dirinya? Satria jadi bergidik juga membayangkan hal itu.

   Kalau dia tak di dekat orang yang baru ditolong, ingin disumpah-serapahinya diri sendiri karena telah berlaku nekat Si pengejar adalah lelaki berperawakan kekar.

   Berkumis hitam, menjuntai panjang sampai ke bagian dagu seperti orang Mongol.

   Tapi, wajahnya jelas tidak menunjukkan dia orang Mongol.

   Matanya saja berke-lopak besar, berkilat jahat.

   Hidungnya pesek.

   Kulitnya sawo matang.

   Apa ada orang Mongol seperti itu? Lagi pula, pakaian orang itu berciri khas prajurit tanah Jawa.

   Cuma ada beberapa tambahan yang berkesan seram.

   Seperti sabuk tengkorak kepala ular yang dikenakannya.

   "Siapa kalian?!"

   Seru lelaki berkumis panjang.

   Merah sekali parasnya mengetahui buruannya luput dari maut.

   Satria cepat-cepat berdiri.

   Dia yakin lelaki seram itu akan marah besar pa-danya karena telah berbuat usil menyelamatkan buruan orang itu.

   Usil? Satria meringis pada lelaki berkumis panjang.

   Maksudnya mau sedikit merayu, supaya dia tak dijadikan sasaran kemarahan akibat keusi-lannya.

   "Aku usil ya, Kang?"

   Ujarnya, kebodoh-bodohan.

   "Diam kau!"

   Satria tercekat. Jakunnya naik sebentar, turun lagi, lalu naik lagi.

   "Ada apa sebenarnya, Kisanak?"

   Sergah Nyai Cemarawangi, menengahi. Kakinya maju beberapa tindak, mendekati tempat Satria.

   "Maafkan kalau, ng... anak lelakiku ini telah berbuat lancang. Tapi, mungkin dia hanya tak ingin ada tindakan main ha-kim sendiri,"

   Sambung Nyai Cemarawangi. Si bocah dekil di sisinya mengangguk-angguk membenarkan, seperti seekor kakak tua. Padahal, sebelumnya terpikir pun tidak alasan seperti itu di benaknya.

   "Tak perlu kau banyak tanya, Perempuan! Cepat kau serahkan saja lelaki itu padaku!"

   "Tidak, sampai kau jelaskan duduk perkaranya!"

   Sela Tresnasari, menandaskan! Dari tempatnya berdiri gadis tanggung itu pun maju beberapa tindak.

   "Bedebah!"

   Maki lelaki berwajah bengis.

   "Setan alas!"

   Balas Tresnasari, sengit.

   "Ular kadut!"

   Satria ikut-ikutan. Cuma sedikit latah pada saat keadaan jadi tegang seperti itu. Sewaktu menyadari dia telah memaki lelaki bertampang seram, buru-buru mulutnya didekap.

   "Cukup, Anak-anak! tak selayaknya kalian bersikap seperti itu pada orang yang lebih tua."

   Nyai Cemarawangi memperingati.

   "Nah, Kisanak. Kurasa, pendapat anak perempuanku dapat kuterima. Aku harus tahu dulu duduk perkaranya sebelum menyerahkan lelaki ini,"

   Lanjut Nyai Cemarawangi seraya menunjuk lelaki bersera-gam prajurit Demak. Luka-lukanya sudah banyak mengeluarkan darah. Khususnya pada bagian bahu yang tersayat dalam. Dia tampak begitu lemah. Wajahnya pucat.

   "Kalian tak perlu bersikap sok pah-lawan. Cepat serahkan saja keparat itu padaku, lalu kalian menyingkir dari tempat ini!"

   "Sikapmu mencurigakan sekali, Kisanak. Kau memberi kesan pada kami kalau kau bukan orang baik-baik...."

   Tetap tenang bagai permukaan telaga, Nyai Cemarawangi menanggapi hardikan lelaki berkumis panjang. Mendengus-denguslah napas orang itu mendengar sindiran halus Nyai Cemarawangi yang mengena ke sasaran.

   "Grrr! Sekali lagi, pergilah sebelum kesabaranku musnah!"

   Satria melirik Tresnasari.

   "Bagaimana? Apa tak sebaiknya kita pergi saja? Orang ini tampaknya sinting, ya? Kau tak takut dikunyahnya? Seram, ah...."

   Tambah mendengus-dengus saja lelaki bertampang seram mendengar kasak-kusuk sembarangan Satria. Biji matanya mendelik. Warnanya merah matang. Lalu....

   "Mampuslah kalian semua! Hiaaat!!"

   Dengan kemurkaan tak kalah menggidikkan dari amukan banteng mata gelap, lelaki kekar tadi menerjang dengan satu tendangan terbang. Kaki kanannya lurus ke depan.

   "Menyingkir kau, Cah Bagus!"

   Seru Nyai Cemarawangi pada Satria.

   Susahnya, Satria malah ngotot untuk tetap berdiri di tempatnya.

   Kalau ditanya apakah dia ngeri melihat perawakan dan wajah lelaki itu, dia pasti mengiyakan.

   Cuma, kalau masalah apakah dia takut? Ma-ka, dia akan dengan agak pongah akan mengatakan, tidak.

   Sebabnya, bocah itu merasa tidak pantas kalau Nyai Cemarawangi yang dirangsak.

   Bukankah semua itu karena kesalahannya? Karena dia telah usil menyelamatkan nyawa lelaki berpakaian prajurit Demak.

   Karena rasa bertanggungjawab pada perbuatannya tadi, membuat bo-cah itu tetap berdiri di tempatnya.

   Lebih gila lagi, bocah itu malah beranjak ke depan Nyai Cemarawangi.

   Dengan mata terpejam, Satria sengaja hendak menghadang tendangan terbang lelaki tadi.

   Dadanya dibusungkan ke depan.

   Biarlah ke-na tendangan sekali-kali, buat menebus kesalahan, pikirnya.

   Ah, dasar bocah lu-gu! Apa dikiranya nyawa satu-satunya akan selamat kalau terkena tendangan beringas itu, meski cuma sekali? Kenekatan Satria membuat Tresnasari membelalak sebesar-besarnya.

   Dia saja yang sudah berlatih olah kanuragan selama bertahun-tahun akan berpikir berpuluh kali untuk memapaki tendangan kuat itu.

   Apalagi menghadang dengan dada? Itu namanya sinting! "Kambing buduk tak punya otak!"

   Lengking Tresnasari sambil cepat menerkam tubuh Satria. Keduanya bergulingan saling himpit di tanah. Ketika berhenti, Satria sudah berada di atas tubuh si gadis tanggung.

   "Bangun kau!"

   Hardik Tresnasari. Wajahnya bersemu merah. Matang sekali. Habisnya, Satria malah keenakan tak mau cepat-cepat bangkit. Si bocah dekil pun buru-buru bangkit bersungut-sungut.

   "Memang, siapa yang menyuruhmu menyelamatkan aku?"

   Gerutunya, asam.

   Plak! Selang beberapa kedip mata setelah luputnya tubuh Satria dari tendangan terbang lelaki bengis, terdengar suara keras.

   Plak! Tangan Nyai Cemarawangi menyambut kedatangan terjangan kaki tadi.

   Kalau menilik betapa kuatnya tendangan lawan, tentunya tubuh perempuan dalam keadaan sakit itu akan terlempar jauh.

   Setidaknya dia akan terseret beberapa tindak ke belakang.

   Itu justru tidak terjadi.

   Kuda-kudanya masih terpancang kokoh di tanah.

   Malah, lawannya meringis-ringis menahan nyeri ketika telah menjejakkan kaki kembali.

   "Jangan memaksaku bertindak lebih jauh, Kisanak!"

   Nyai Cemarawangi memperingati.

   Tangannya masih dalam posisi semula, memperlihatkan sikap menangkis.

   Wajah pucatnya tak berubah sama sekali.

   Tetap datar.

   Kemarahan tetap kemarahan kalau orangnya sendiri sudah tak bisa menguasai diri.

   Mata gelap memang seringkali membu-takan penilaian sehat seseorang.

   Hal itu terjadi pada diri si lelaki bengis.

   Meski sudah tahu kalau kepandaian tarung lawannya tak sebanding dengan dirinya, dia masih saja mengumbar kemarahan.

   "Pergilah kau ke neraka, Wanita Ja-dah!"

   Berkawal makian menyakitkan telinga seorang wanita terhormat seperti Nyai Cemarawangi, orang berkumis panjang berlari liar menggempur lawan kembali.

   Tresnasari yang tak tega pada keadaan sakit ibundanya menjadi geram pada sikap keras kepala lelaki bengis.

   Dia tak pernah ingin sakit ibunya menjadi makin parah hanya karena melayani kekalapan bodoh seorang berangasan tak dikenal.

   Dari tempatnya berdiri, si gadis ayu baru beranjak remaja melompat.

   Di udara tubuhnya tergulung berjumpalitan.

   Arahnya menuju ke tombak bermata golok yang tertancap di batang pohon, beberapa depa di samping kancah perkelahian.

   Wrrr....

   Krakh! Ketika gulungan tubuh Tresnasari terbuka, sebelah kakinya menghentak amat keras ke tengah-tengah batang tombak.

   Tombak terpatah dua.

   Patahannya memburu deras ke arah tubuh lelaki bengis.

   Creph! "Ukh!"

   Hanya sempat memperdengarkan hentakan napas teramat pendek tercekat, si lelaki bertubuh kekar ambruk dengan leher tertembus patahan batang tombak dari samping! "Kau tak perlu berbuat itu padanya, Tresna...,"

   Tegur Nyai Cemarawangi.

   "Tapi dia pantas menerimanya. Apa Nyai tak lihat sifatnya tak lebih baik dari binatang?"

   Kilah Tresna. Si perempuan menjelang tengah baya menggeleng-gelengkan kepala lamat.

   "Bocah perempuan keparat!!!"

   Sebuah suara lantang melantun kasar.

   Dedaunan bergemerisik.

   Sebagian berguguran.

   Tubuh Satria tersentak kejang.

   Pertahanan anak tak berbekal ilmu bela diri itu langsung ambrol.

   Dia jatuh ber-lutut dalam keadaan menggigil.

   Tresnasari pun tersentak.

   Cuma dia tak separah Satria.

   Tubuhnya hanya tergetar sebentar.

   Bahkan badan Nyai Cemarawangi sempat tersentak.

   Wajahnya setegang otot-otot di sekujur tubuhnya.

   Dari balik semak-semak rimbun, melayang ringan sesosok tubuh.

   Caranya melayang seolah-olah sedang berdiri tegak di udara saja.

   Gerakan yang mengagumkan, bahkan terbilang amat sulit dilakukan.

   Di tengah-tengah ketiga orang tadi, orang yang baru muncul menjejakkan kaki.

   Seorang lelaki tinggi besar yang tak lain Dirgasura, gembong Laskar Lawa Merah! Daerah tempat Nyai Cemarawangi dengan sepasang muda-mudi itu memang berada tak jauh dari desa tempat basis pasukan Demak yang diserang gerombolan perampok di bawah pimpinan lelaki setengah raksasa itu.

   Mereka berhasil memporak-porandakan kekuatan pasukan Demak meski jumlah mereka masih kalah banyak.

   Itu pun karena siasat licik Dirgasura juga.

   Dia melancarkan taktik lain setelah rencana pertamanya hancur di tengah jalan.

   Sewaktu seluruh prajurit Demak keluar dari barak dengan senjata siap di tangan, Dirgasura turut melakukan gempuran awal di depan seluruh anak buahnya.

   Lawan terdepan diterabasnya tanpa ampun.

   Beberapa prajurit langsung menemui ajal, menjadi korban senjata berbentuk kapak besar bermata duanya.

   Dia terus menerobos menembus setiap prajurit Demak yang mencoba menghadang.

   Tujuannya adalah salah satu rumah penduduk desa yang berdampin-gan dengan barak pasukan Demak.

   Dengan kepandaian olah kanuragan yang dimiliki, sebenarnya gembong perampok yang dulu merajalela di zaman Majapahit itu mampu menghadapi pasukan Demak tanpa harus kehilangan nyawa.

   Dia bisa mengamuk sejadi-jadinya dan membunuhi sa-tu demi satu para lawan.

   Tapi, persoalan anak buahnya akan lain lagi.

   Mungkin saja dia bisa menghadapi serangan-serangan prajurit Demak, namun dia tak ingin mempertaruhkan nyawa anak buah setianya.

   Semakin banyak anak buahnya tewas, maka dalam pandangan Dirgasura, akan semakin besar kekalahan yang ditelan.

   Karena itu dia lebih suka melaksanakan siasat licik lain.

   Lagi pula, dia memang ingin melaksanakan secepatnya penjarahan harta tanpa harus bertele-tele menghadapi pertarungan.

   Dirgasura berhasil mendekati satu rumah penduduk.

   Dengan meminta dua nyawa lagi dari prajurit Demak yang mencoba menghalanginya, Dirgasura berhasil menerobos masuk.

   Di dalam rumah dia menemukan seorang ibu muda bersama seorang bayinya berdiri ketakutan di sudut ruangan.

   Dipaksanya ibu muda itu keluar be-serta bayi dalam gendongannya.

   Tanpa mengenal belas kasihan, diseretnya si ibu muda yang menjerit-jerit ketakutan ke tengah-tengah pertempuran yang sedang berlangsung sengit.

   "Hentikan serangan kalian jika tak ingin wanita dan bayinya ini mampus oleh kapakku!!!"

   Seru Dirgasura, teramat keras, menggetarkan arena pertarungan.

   Bahkan menandingi riuh-rendah suara pertempuran sendiri.

   Perlahan-lahan, gempuran pasukan Demak terhadap anak buah Dirgasura mele-mah.

   Satu demi satu prajurit Demak mundur beberapa tindak dari para lawannya.

   Setelah ancaman kedua terlepas dari tenggorokan Dirgasura, mereka terpaksa melepaskan senjata masing-masing.

   Jika tidak, ketua perompak paling ditakuti di wilayah pesisir Jawa beberapa tahun belakangan itu akan mulai membelah kepala si bayi! Dirgasura kemudian memerintah anak buahnya untuk mengumpulkan seluruh prajurit Demak ke satu lapangan.

   Di dekatinya salah seorang tangan kanannya, lelaki kurus berkulit hitam berkepala botak ketu-runan India.

   Pada lelaki itu, Dirgasura berbisik sebentar.

   "Kita tak mungkin menjarah harta rampasan perang mereka, mengangkut harta penduduk dan membawa wanitanya jika mereka masih hidup. Mereka cuma menyerah karena kita masih menyandera perempuan dan bayinya ini,"

   Sambil berbisik, tangannya terus menempelkan mata kapaknya ke leher si ibu muda.

   "Kalau kita lengah ketika sedang menjarah, mereka bisa menggempur kita lagi dengan tiba-tiba. Kau tahu mereka prajurit yang tak sudi menyerah, bukan? Jadi, bunuh mereka semua dengan serbuk racun!"

   Tambahnya, menuntaskan satu perintah keji yang pasti dilaksanakan anak buah setianya tanpa banyak tanya.

   Maka, si lelaki keling yang banyak tahu tentang gejala alam itu mengamati arah angin beberapa saat.

   Tahu angin telah bertiup tetap pada satu arah, diisya-ratkannya seluruh anggota Laskar Lawa Merah untuk berdiri di belakangnya.

   Kantong kulit yang tergantung di ikat pinggangnya, dilepas.

   Lalu....

   Wrrrr! Sepenuh tenaga, dilemparnya kantong kulit tadi ke udara.

   Seluruh prajurit De-mak tanpa sadar mengikuti layangan kantong tadi.

   Sebelum sempat mencapai titik baliknya, kantong itu tertembus pisau ba-ja kecil yang dilempar lelaki keling.

   Isinya pun berhamburan keluar.

   Serbuk putih kehijauan memenuhi udara, melayang-layang lamat sejenak, lalu digir-ing angin sepoi-sepoi ke arah para prajurit Demak.

   Sementara sekumpulan orang yang menjadi sasaran rambahan serbuk tadi di udara, tak pernah menyadari bahwa tangan-tangan maut siap menjemput! Mereka hanya menatap tak mengerti dengan wajah penuh tanda tanya.

   Sampai akhirnya beberapa orang pertama terkena tebaran serbuk.

   Teriakan mereka memecah keheningan suasana dan keheningan pagi muda.

   Kala itulah yang lain menyadari kalau serbuk tadi adalah racun ganas.

   Sayang, mereka sudah terlambat untuk menghindar.

   Tak ada beberapa tarikan napas saja, seluruh prajurit malang tadi sudah menggelepar-gelepar di lapangan rumput yang masih dilembabi embun.

   Kulit mereka berubah memerah laksana terpanggang.

   Ketika tangan mereka menggaruk-garuk liar, kulit pun mengelu-pas.

   Mereka bergelinjangan terus.

   Saling tindih, saling menyentak.

   Sampai akhirnya, racun yang terserap kulit mereka digiring aliran darah dan sampai ke jan-tung.

   Jantung mereka terbakar.

   Seluruh prajurit tewas! Saat itulah, entah bagaimana salah seorang dari mereka ternyata luput terkena serbuk racun.

   Nasib memang sulit di-tentukan.

   Terutama saat kematian yang selalu menjadi teka-teki siapa pun.

   Pada saat semua rekannya tewas terkena serbuk racun, salah seorang prajurit selamat.

   Lengahnya anggota gerombolan Laskar Lawa Merah saat menyaksikan para korban serbuk racun, segera dimanfaatkannya untuk mela-rikan diri.

   Prajurit yang bernasib baik itulah yang telah diselamatkan oleh 'keusilan' Satria belum lama.

   "Kalian telah lancang membunuh seorang anak buahku!"

   Geram Dirgasura.

   Matanya berkilat-kilat menggidikkan.

   Cuping hidungnya kembang-kempis cepat.

   Satria saat itu mulai bisa menggerakkan badan yang semula kaku tiba-tiba.

   Sendi-sendinya linu.

   Gendang telinganya masih terasa pedih.

   Sampai saat itu, dia masih belum bisa mendengar secara jelas.

   Untuk cepat-cepat bangkit, rasanya masih lemas.

   Jadi terus saja dia tertelungkup.

   Kepalanya diangkat perlahan.

   Pandangan ditebarnya.

   Begitu dilihatnya seseorang tinggi besar bertolak-pinggang, matanya mengerjap-erjap.

   Disangkanya dia sedang sekarat, dan sosok yang dilihatnya adalah mambang penunggu hutan yang ingin menye-satkan jiwanya.

   Sewaktu sadar dia masih bisa hidup lebih lama, bibirnya langsung melepas cengiran tanggung.

   Diperhatikan-nya lagi Dirgasura.

   Dilihatnya hidung si lelaki setengah raksasa kembang-kempis cepat diburu kemurkaan.

   Bocah yang hilang ingatan meski tak sampai sinting sama sekali itu lantas saja merasa harus mendekap hidungnya sendiri, tak tahan melihat gerak cuping hidung Dirgasura.

   "Apa kalian tak tahu siapa yang telah kalian bunuh?!"

   Bentak Dirgasura kembali. Satria melirik Tresnasari. Sepanjang pengetahuannya, gadis tanggung itulah yang telah melempar nyawa si lelaki berkumis ekor tikus ke neraka.

   "Hei Nona, apa kau tahu siapa orang yang telah kau bikin mampus? Sumpah mati, aku tidak tahu menahu siapa orang itu,"

   Ucapnya sungguh-sungguh, masih dengan tubuh tertelungkup. Hanya kepalanya saja yang terangkat seperti sebelumnya. Sungguh, dia tak menyadari kalau pertanyaan Dirgasura sebenarnya tak perlu jawaban, sekadar cetusan kemurkaan semata.

   "Kalian telah membunuh anak buahku!"

   Teriak Dirgasura.

   Kekuatan tenaga dalamnya tersalur kembali melalui teriakan kemarahannya.

   Dedaunan kembali bergemerisik.

   Sebagian berguguran bagai daun kering diterpa angin kencang.

   Siksaan he-bat merangsak Nyai Cemarawangi dan Tresnasari pula.

   Bagaimana dengan Satria? Lucunya, anak itu seperti tak terpengaruh sedikit pun.

   Tak seperti sebelumnya, dia bangun santai.

   Tenang-tenang saja, ditepuknya pakaian untuk mengenyahkan dedaunan kering yang menempel di pakaian kumalnya.

   "Nah, sekarang tidak terasa linu lagi..."

   Ocehnya sambil menggeliatkan pinggangnya.

   Apa dipikirkan dia baru saja bangun tidur? Dirgasura menyaksikan itu.

   Dia ter-nanar.

   Apa-apaan ini? Bukankah sebelumnya anak itu justru ambruk karena kekuatan tenaga dalam yang disalurkan melalui suaranya? Kenapa sekarang tidak? Apa ada yang salah? Bocah yang diperhatikan terus saja melangkah tanpa perasaan apa-apa ke arah Tresnasari.

   Dilihatnya gadis tanggung pu-jaan hati selama beberapa hari ini sedang mendekap telinga kuat-kuat, menahan sakit seperti ditohok oleh sebatang lidi sebesar kelingking ke gendang telinganya.

   "Kau kenapa, Nona? Apa 'buto ijo' itu mengeluarkan teriakan dedemitnya la-gi?"

   Tanya Satria, kelugu-luguan.

   DELAPAN TERLALU mustahil kalau tiba-tiba bocah berambut kemerahan, Satria mendadak menjadi sakti.

   Khususnya bagi Nyai Cemarawangi dan Tresnasari yang sudah cukup mengenalnya.

   Tapi, kalau dipikir ulang, sebenarnya mereka hanya baru satu hari saja mengenal anak itu.

   Tepatnya dimulai kemarin siang ketika Satria masih menjadi pelayan dadakan di warung Ki Kusumo.

   Terpikir oleh Ibu beranak itu bahwa selama ini Satria telah berpura-pura.

   Bahwa sebenarnya dia adalah seorang bocah sakti.

   Mereka terpedaya karena sikapnya selama ini yang selalu tampak lugu, lemah dan kebodoh-bodohan.

   Apa benar begitu? Setidaknya, Dirgasura berpikir serupa.

   Dia merasa telah dikelabui oleh seorang bocah yang telah berpura-pura bodoh semenjak kedatangannya ke tempat itu.

   Satria sendiri sebenarnya tetap seorang bocah berusia belasan yang buta ilmu bela diri.

   Kalau sekarang dia mendadak jadi tampak sakti pasti ada sebabnya.

   'Asap ada pasti karena ada api!'.

   Di lain tempat, tepatnya dif atas sebuah pohon tak jauh dari tempat mereka, seseorang duduk bertengger menonton seluruh kejadian dari awal.

   Tempat yang didu-duki sambil mengongkang kaki adalah ranting, tak lebih tebal dari kaki burung nu-ri kecil.

   Itu tak jadi terlalu aneh kalau mengetahui siapa si penonton itu sebenarnya.

   Dia tak lain Ki Kusumo.

   Orang tua sakti misterius itukah yang telah sengaja menyalurkan tenaga dalamnya ke diri Satria hingga membuatnya sanggup bertahan terhadap terjangan kekuatan tenaga dalam yang disalurkan Dirgasura dalam bentakannya? Ah, Ki Kusumo sendiri saat itu malah sedang sibuk menggeleng-gelengkan kepala.

   Biar mampus disambar capung, dia terheran-heran menyaksikan si bocah sehat wal'afiat.

   Padahal Ki Kusumo sudah mengu-kur kekuatan teriakan bertenaga dalam kedua Dirgasura.

   Teriakan itu lebih kuat dari sebelumnya.

   Mestinya, keadaan Satria akan semakin parah.

   Bahkan bisa-bisa pula tak sadarkan diri.

   Semalam dia dibuat bertanya-tanya dalam hati karena si bocah yang ditaksirnya hendak dijadikan murid ternyata sanggup mengalahkan 'sirap'nya.

   Kini terjadi hal lain lagi.

   Benar-benar tak bisa dimengerti! Merasa telah dikelabui dari awal, Dirgasura jadi penasaran.

   "Siapa kau sebenarnya?"

   Tanya Dirgasura, ditujukan pada Satria. Satria tak memperhatikan. Dia sibuk memapah Tresnasari agar tidak terjatuh akibat sentakan tenaga dalam suara si ketua Laskar Lawa Merah.

   "Hey, aku bertanya padamu! Siapa kau sebenarnya?'"

   Ulang Dirgasura.

   "Hah?"

   Anak itu baru menoleh. Mulutnya menganga. Geram sekali Dirgasura. Pasti dia sedang berusaha mempermainkan aku terus, pikirnya.

   "Siapa kau sebenarnya, Setan Alas!"

   Ulang Dirgasura lagi, sengit.

   "O, 'Paman' tanya siapa aku sebenarnya?"

   Satria mencoba bersopan-santun.

   Biarpun sebelumnya dia menyebut Dirgasura sebagai 'buto ijo'.

   Bocah dekil itu mengangguk-angguk.

   Cuma mengangguk-angguk, sementara pertanyaan Dirgasura tak cepat-cepat dijawabnya.

   Bagaimana dia bisa menjawab, sementara ingatannya tentang asal-usul dirinya saja tak sedikit pun tersisa di benak.

   "Ngg, aku Satria. Itu saja,"

   Akunya sejujur-jujurnya.

   Karena, memang cuma nama itu yang diingat dari dirinya.

   Biji mata Dirgasura membesar.

   Ubun-ubunnya terasa hendak mengelotok di tempat itu juga karena saking panasnya.

   Rahangnya mengeras.

   Gigi-giginya bergemele-tukan.

   Wajahnya merah matang.

   "Ap... apa aku salah, Paman? Aku memang Satria. Kau tak suka nama itu? Kka... kalau kau tak suka, kk... kau boleh ganti nam... namaku! Somad boleh! Gugun boleh! Maemunah juga boleh! Pok... pokoknya terserah Paman saja!"

   Gagap Satria, ngeri melihat perubahan wajah Dirgasura yang kian menggidikkan.

   Dalam pandangannya, lelaki setengah raksasa itu hendak menelannya bulat-bulat.

   Lain yang ada di benak Satria kecil, lain pula di benak Dirgasura.

   Kenge-rian anak itu malah diartikan lain oleh sang ketua perampok.

   Dia merasa makin di-ejek oleh Satria, seseorang yang diang-gapnya memiliki kesaktian tapi berpura-pura bodoh untuk menghinanya.

   "Peduli setan siapa kau sebenarnya! Kau pun harus mampus seperti dua wanita itu nanti! Hih!"

   Berkawal hardikan meng-geledek sarat kegeraman, Dirgasura melepas pukulan jarak jauhnya ke arah Satria. Wush! Dash! "Aaakh!"

   Seketika badan agak kurus bocah itu melayang lurus sepuluh tombak ke belakang.

   Tak akan berhenti luncuran tubuhnya kalau tak terhadang pohon besar.

   Dugh! Lalu tubuh kecil itu merosot lunglai ke tanah.

   Mengenaskan.

   Ki Kusumo terbengong di atas pohon, Nyai Cemarawangi terbengong, Tresnasari pun terbengong.

   Mereka semua terpana menyaksikan kejadian itu.

   Sekaligus merutuk kenapa tak cepat-cepat bertindak untuk menyelamatkan bocah yang mungkin saja memang tak pernah memiliki ilmu kanuragan itu.

   Cuma Dirgasura yang terus saja kalap.

   Dia mencak-mencak sambil meruntunkan makian.

   "Jangan kau bermain-main lagi den-ganku, Keparat! Keluarkan kesaktianmu! Aku ingin tahu apakah kau mampu mengalahkan Dirgasura, Tangan Seribu Dewa!!!"

   Sekali ini, Nyai Cemarawangi dike-jutkan oleh pengakuan julukan Dirgasura.

   Tangan Seribu Dewa.

   Julukan itu pernah didengarnya beberapa waktu lalu.

   Tapi di mana? Dia kurang ingat persis.

   Siapa lelaki tinggi besar ini? Pikirnya.

   Segenap tanda tanya di hati Nyai Cemarawangi dikandaskan oleh teriakan garang Dirgasura alias Tangan Seribu Dewa kembali.

   Lelaki itu hendak melepas pukulan jarak jauhnya kembali ke arah Satria.

   Sedangkan Satria sendiri saat itu benar-benar dalam keadaan mengkhawatirkan.

   Dari sudut bibirnya mengalir darah kehitaman.

   Juga dari lubang hidungnya.

   Luka dalam pasti.

   Dan itu luput terlihat oleh pandangan kalap Dirgasura.

   Dasarnya bocah itu memang berke-mauan sekeras baja, dia tak tampak cengeng menderita siksaan yang merejang sekujur badannya.

   Rasa panas luar biasa menjerang.

   Dadanya sesak teramat sangat.

   Kepalanya berat bagai dibebani beban ra-tusan kati.

   Dengan mata berkedip-kedip sayu, dia malah berusaha bangkit.

   Sebentar dia terseok, jatuh lagi.

   Lalu berusaha lagi.

   "Hadapi akuuuuu!"

   Seru Dirgasura panjang, merasa kepalanya telah diinjak-injak demikian rupa oleh bocah tak dikenal.

   Lantas....

   Wush.

   Ki Kusumo di atas pohon berjingkat kaget.

   Pukulan jarak jauh Dirgasura tak boleh menghajar anak itu lagi.

   Itu tak boleh terjadi, kalau ingin nyawa anak itu tetap tinggal di badan.

   Dia hendak bertindak.

   Namun kalah cepat oleh Nyai Cemarawangi.

   Tubuh wanita itu sudah lebih dahulu melejit lurus ke udara.

   "Heeeaa!"

   Dash! Mempertaruhkan nyawa sendiri, perempuan yang menderita sakit itu menyong-song pukulan jarak jauh Dirgasura dengan terkaman tubuhnya. Dash! "Ugh!"

   "Nyaiii!!"

   Tresnasari menjerit melengking.

   Tinggi dan menelusupi pelosok hutan.

   Serupa dengan kejadian yang menimpa Satria, Nyai Cemarawangi pun terpental jauh sebelum akhirnya jatuh.

   Meski masih sempat bersalto dan membuat pijakan den-gan kedua kakinya, tak urung perempuan itu oleng.

   Tak lama berikutnya dia ter-simpuh.

   Darah hitam termuntah dari mulutnya.

   Kalau saja dia tak dalam keadaan sakit, tentu luka dalam yang dideritanya tak akan separah itu.

   Tresnasari meraung-raung memanggil-manggil ibunya.

   Dari tempatnya berdiri, dia berlari memburu Nyai Cemarawangi! Ti-ba di dekatnya, disergapnya tubuh perempuan itu sambil bersimpuh.

   "Nyai tidak apa-apa?"

   Tanya gadis ayu itu tersendat-sendat dihadang isak.

   Air mata membasahi kedua pipi kemayunya.

   Ibunya tak bisa menjawab, kecuali menggelengkan kepala.

   Dia ingin meyakinkan anaknya kalau keadaan dirinya tak perlu dikhawatirkan.

   Sayang, darah kehitaman yang terus merembes keluar dari se-la-sela bibir pucatnya mengatakan suatu yang lain.

   Beranglah Tresnasari.

   Cepat dica-butnya kembali sepasang belati dari ikat pinggang.

   Dia bangkit dengan wajah mengeras.

   "Orang itu harus membayar perla-kuannya terhadap Nyai,"

   Geramnya.

   "Jjj... jangan, Tresna...."

   Sang ibunda hendak menahan. Tresnasari sudah telanjur berlari menghambur ke arah Dirgasura.

   "Kubunuh kau manusia keji!!!"

   Pe-kiknya melengking.

   Sebelum gadis tanggung itu sampai ke dekat Dirgasura, sesosok tubuh melayang ringan memotong geraknya dari atas.

   Gerakannya sulit diikuti mata.

   Seakan-akan dia sudah berdiri menghadang kekalapan Tresnasari.

   Tuk! Tubuh Tresnasari lemas.

   Satu totokan mendarat di satu jalan darahnya.

   Orang yang menghadang dan baru saja melepas totokan adalah Ki Kusumo.

   Mencegah agar Tresnasari tak ambruk ke tanah, orang tua itu cepat membopongnya.

   Ditepi-kannya tubuh gadis itu ke bawah pohon.

   "Kau sudah keterlaluan Tangan Seribu Dewa,"

   Ucapnya datar kepada Dirgasura.

   "Siapa pula kau, Lelaki Keropos?!"

   "Kau akan terkejut bila kukatakan siapa aku. Sebaiknya kau meninggalkan tempat ini,"

   Perintah Ki Kusumo, tetap dingin.

   Tetap datar.

   Kepala Dirgasura yang sudah dipena-ti oleh kekalapan tak sudi begitu saja menyingkir.

   Apalagi karena perintah seorang tua bangka tak dikenal.

   Rasanya dia ingin mengunyah tulang rapuh dan daging alot orang tua itu.

   "Peduli setan pula denganmu, Orang Tua Keropos! Makan pukulanku ini! Heaaa!!!"

   Untuk ketiga kalinya, pukulan jarak jauh Tangan Seribu Dewa dilepaskan.

   Sekali ini, berkekuatan empat kali lipat dari sebelumnya, pertanda Dirgasura memang benar-benar ingin meremuk-redamkan tulang Ki Kusumo.

   Kalau perlu sampai seperti kunyahan seekor naga! Ki Kusumo hanya melirik enteng ke arah angin pukulan yang menderu di udara.

   Sambil bangkit dari simpuhnya, lelaki tua itu berbalik.

   Tak ada tanda-tanda kalau dia hendak memapaki pukulan jarak jauh tadi.

   Blap! Tepat di dada orang tua itu, pukulan jarak jauh Dirgasura mendarat.

   Dirgasura dibuat terperangah dengan mulut ternganga.

   Pukulannya yang sanggup meluluh-lantakkan badan lima ekor kerbau sekaligus teredam begitu saja ketika mengenal dada sasarannya! "Kukatakan sekali lagi, pergilah kau, sebelum aku berubah pikiran...,"

   Ucap Ki Kusumo.

   Dirgasura tak mau banyak cakap.

   Lelaki berbadan raksasa itu tahu diri juga.

   Dengusan kasar dan gigi-giginya yang ber-gemeletukan terdengar disertai tatapan jalang dari matanya.

   Sesaat dia menggeram marah, lalu bergerak pergi.

   Bodoh kalau dia tetap ngotot menggempur lelaki tua yang kini diyakininya sebagai salah satu tokoh sakti dunia persilatan yang jarang memunculkan diri.

   Belum lagi si kecil gendeng yang tingkat kepandaiannya sampai saat ini sulit ditebak! SEMBILAN WAKTU terus menggilas tanpa menanti barang sekejap pun.

   Hari baru digulirkan.

   Fajar baru menampakkan wajahnya seperti hari-hari kemarin.

   Masih dengan sinar lamat merah tembaga di ufuk timur.

   Masih dengan sahut-sahutan kokok ayam jantan.

   Semuanya seperti tidak berubah.

   Satria tersadar dari pingsannya.

   Kepalanya masih berdenyut-denyut luar biasa.

   Seluruh bagian tubuhnya, dari sendi hingga ke otot terasa seperti direjam-rejam dari dalam.

   Untuk menggerakkan otot leher saja nyerinya bukan kepalang.

   Kelopak mata anak itu membuka.

   Dilihatnya sepotong wajah yang sudah dikenalnya.

   Ki Kusumo.

   "Syukurlah kau telah sadar, Anak Muda! He-he-he...,"

   Sambut orang tua itu, Sungguh sulit dimengerti bagaimana Ki Kusumo menganggap siumannya Satria sebagai satu hal yang lucu hingga perlu ditertawakan? Dari wajah Ki Kusumo, mata Satria berkeliling ke sekitar.

   Dilihatnya atap kecoklatan daun kelapa kering dan bambu-bambu penglari tak berlangit-langit.

   Di sekitarnya terlihat kabang-kabang tebal.

   "Di mana aku?"

   Tanyanya lirih.

   "Di tempat yang aman...,"

   Jawab Ki Kusumo.

   "Di gubukmu, Pak Tua Kusumo?"

   "Bukan...."

   "Jadi di rumah siapa?"

   "Aku sendiri tak tahu."

   Satria mencoba bangkit. Linu-linu masih menyertai setiap gerakan otot serta sendinya. Baru saja dia bisa menegakkan punggung, satu jotosan melanda bibirnya. Dugh! "Wadau!"

   Matanya agak berkunang-kunang. Tapi dia tetap penasaran untuk mencari tahu siapa orang iseng brengsek yang mengha-diahkan jotosan tadi. Samar-samar dilihatnya wajah seorang dara ayu yang mem-pertontonkan kemarahannya. Matanya berkilat-kilat.

   "Nona Tresna?"

   Gumam Satria, masih telentang.

   "Jangan sebut-sebut namaku, kambing buduk tak tahu diuntung!"

   Sembur dara yang memang Tresnasari. Tangannya terangkat kembali. Satu kepalan baru siap diha-diahkan kedua kalinya untuk si bocah. Satria memejamkan mata ngeri.

   "Huph! Cukup!"

   Tahan Ki Kusumo cepat. Pergelangan tangan gadis ayu yang diamuk kegusaran segera dicekalnya. Tresnasari bersungut-sungut meninggalkan sisi pembaringan Satria. Di kelopak mata bagian bawahnya, kentara sekali kalau dia menahan air mata.

   "Kenapa dengannya, Pak Tua? Apa di rumah ini ada setan penunggu yang telah merasukinya?"

   Bisik Satria pada Ki Kusumo yang membawakan satu tabung bambu dan mangkuk tanah liat. Rupanya Tresnasari belum terlalu jauh dari tempat Satria. Dia menangkap kasak-kusuk bocah itu barusan. Kalap, tubuhnya berbalik.

   "Kau yang menyebabkan Nyai terluka parah, Kambing Buduk Brengsek!"

   Makinya seperti suara orang hendak menangis.

   "Sudahlah, Cah Ayu...,"

   Ki Kusumo mencoba menengahi.

   Kalau tidak, pasti sa-tu jotosan bersarang empuk kembali di wajah Satria.

   Bisa jadi juga berkali-kali.

   Mungkin sampai Satria pingsan lagi.

   Siapa tahu? Masih dengan dada turun-naik dibakar kegusaran, si dara tanggung meninggalkan gubuk.

   Pintu dikuaknya lebar-lebar, membiarkan sinar matahari lancang menerobos masuk.

   Mata Satria menyipit, silau diterjang sinar terang.

   "Apa yang terjadi dengan Bibik, Pak Tua?"

   Tanya Satria tergesa, ketika tern-giang hardikan Tresnasari terakhir.

   "Ibu perempuan itu yang kau maksud?"

   Ki Kusumo meminta kejelasan seraya menyerahkan gelas bambu pada Satria. Satria menerima. Sambil menyambut sodoran gelas bambu tadi, ditunggunya jawaban orang tua yang sedang mengaduk-aduk sesuatu di dalam mangkuk tanah liat dengan tangan kanannya.

   "Bagaimana dengan Bibik yang baik itu, Pak Tua?"

   Desak Satria, penasaran.

   "Sebaiknya kau minum ramuanku itu dulu. Mari kubantu!"

   Alih Ki Kusumo.

   Karena ingin tahu keadaan Nyai Cemarawangi, Satria tak banyak cingcong.

   Setelah dibantu untuk duduk oleh Ki Kusumo, ditenggaknya sekaligus ramuan yang diberikan KI Kusumo.

   Tak peduli rasanya sepahit empedu.

   Pokoknya dia bisa cepat mendapat keterangan dari Ki Kusumo! "Nah, aku sudah meminum ramuan yang pahitnya seperti racun itu, Pak Tua.

   Sekarang, bisakah kau katakan apa yang terjadi pada diri Bibik?"

   "Lihatlah ke sana!"

   Perintah Ki Kusumo seraya menunjuk satu arah dengan isyarat dagunya.

   Satria mengikuti arah yang dimaksud orang tua tadi.

   Di balai-balai sudut ruangan, dilihatnya Nyai Cemarawangi terbujur.

   Wajahnya pucat.

   Namun cukup tenang.

   Tak ada angin tak ada hujan, tahu-tahu saja Satria sesegukan.

   Tangannya menutup wajah.

   Dari sesegukan, dia meraung-raung seperti orang sinting.

   "Hey, kenapa kau, Bocah?!"

   Perangah orang tua di sisinya.

   "Ini semua salahku! Huk-huk-huk! Ini semua salahku, Pak Tua!"

   "Bukan...."

   "Iya! Hu-hu-huk...."

   "Itu semua hanya kebetulan saja. Kebetulan waktu itu dia hendak menyela-matkanmu dari pukulan jarak jauh Tangan Seribu Dewa,"

   Tutur Ki Kusumo menerang-kan.

   "Tapi aku lebih suka mati, daripada dia mati!"

   Ki Kusumo merengut.

   "Siapa yang mati?!"

   Sergahnya. Sesegukan dan raungan Satria langsung tersunat.

   "Bibik itu bukannya sudah mati?"

   Tanyanya dengan mata terbuka lebar. Air matanya tak ada. Cara menangis manusia dari mana lagi yang barusan dipakainya? Masa' menangis tak ada air mata? "Siapa yang bilang dia telah mati, Cah Gendeng! Hua-ha-ha-he-heeee...,"

   Ki Kusumo tergelak-gelak, terkekeh-kekeh.

   Karena begitu terpingkal-pingkalnya, malah dia yang benar-benar mengeluarkan air mata.

   * * * Telah empat hari berlalu.

   Waktu itu menjelang sore.

   Matahari lumpuh di pelu-puk bumi barat.

   Tresnasari berdiri bisu menatapi rembang sore, membelakangi gubuk terbengkalai yang dipakai Ki Kusumo untuk merawat luka-luka Satria dan Nyai Cemarawangi.

   Gubuk mereka berada tepat di bibir pantai Ketawang.

   Cukup jauh dari tempat kejadian.

   Sewaktu Satria dan Nyai Cemarawangi terluka, Ki Kusumo yang membopong keduanya sekaligus ke tempat itu! Tresna-sari yang telah mengenal Ki Kusumo sebelumnya tak curiga.

   Dia percaya orang tua baik hati itu berniat mengobati luka-luka ibunya.

   Di belakang Tresnasari, Satria duduk terdiam di depan pintu gubuk.

   Hukuman Tresnasari mendiamkannya beberapa hari belakangan benar-benar membuat perasaan-nya babak-belur.

   Dia jadi lebih banyak diam.

   Keceriaannya dan ketengikan tingkahnya entah raib ke mana, entah dibawa setan dari mana.

   Ki Kusumo keluar.

   Derit pintu gubuk tak mengusik keheningan Tresnasari.

   Juga tak mengusik ketercenungan Satria.

   Ki Kusumo bersimpuh di samping anak itu.

   Ditepuknya bahu Satria perlahan.

   "Sudah kukatakan, kau tak bersalah apa-apa dengan keadaan Nyai Cemarawangi...,"

   Hiburnya pada Satria. Dia tahu, sikap si gadis ayu yang melekat di hati Satria, membuat anak itu merasa dirinya terus bersalah atas semua kejadian yang menimpa Nyai Cemarawangi. Satria diam saja. Bibirnya terus manyun.

   "Ayo kita jalan-jalan!"

   Ajak KI Kusumo. Satria menggeleng.

   "Ayolah!"

   Tetap saja Satria menggeleng tak bersemangat. Ki Kusumo ikut menggeleng-gelengkan kepala. Bibir keriputnya mendecak kecil. Disambarnya telinga anak itu, lalu dije-wernya keras-keras.

   "Ayo jalan-jalan!"

   Bentaknya mang-kel.

   "Wado-wado! Tidak mau!"

   Ki Kusumo lebih mengeraskan jewerannya, sementara itu dia mulai melangkah.

   Mau tak mau, Satria jadi ikut melangkah.

   Dia masih kepingin daun telinganya lengkap.

   Orang tua sakti itu terus menyeret Satria dengan menjewer telinganya.

   Setelah cukup jauh, barulah terdengar kekeh keras si orang tua misterius.

   Di bibir pantai yang memiliki bukit karang kecil menjulang, Ki Kusumo baru berhenti.

   Dilepasnya telinga anak tanggung berusia belasan tahun itu.

   Warna telinganya sudah merah sekali.

   Satria berbalik dengan wajah kesal minta ampun.

   Dia mau kembali ke gubuk.

   Lama kelamaan, Ki Kusumo jadi mang-kel sungguhan.

   Anak ini benar-benar keras kepala, gerutunya membatin.

   Tapi aku senang dia begitu! Aku jadi makin yakin kalau anak inilah yang berjodoh menjadi mu-ridku! "Hendak ke mana kau?!"

   Bentak Ki Kusumo, baru saja empat langkah Satria menjejakkan kaki di atas pasir pantai.

   Mendadak saja, tubuh Satria sulit digerakkan.

   Bukan cuma sepasang kakinya yang memberat seperti dipaku langsung ke dalam bumi, tubuhnya pun sulit digerakkan.

   Anak itu mematung dalam posisi orang melangkah, membelakangi Ki Kusumo.

   "Kalau kau ingin terus berdiam diri di situ sampai beberapa hari, kau boleh menolak ajakanku sekarang,"

   Ancam Ki Kusumo. Main-main tentunya. Satria tidak menyahut. Meski Ki Kusumo tidak membuat otot mulutnya kaku ju-ga.

   "Aku cuma ingin bicara padamu. Apa salahnya?"

   Bujuk Ki Kusumo.

   "Salahnya, kau terlalu memaksa Pak Tua,"

   Ucap Satria akhirnya, keras kepala.

   "Tapi aku ingin membicarakan satu hal penting."

   "Tapi mestinya kau menanyakan dulu padaku, apakah aku mau kau ajak bicara atau tidak,"

   Sengit Satria. Si orang tua yang sampai saat itu belum diketahui jati diri sesungguhnya mati kutu. Minta ampun dia pada kekeras kepalaan Satria! "Baiklah. Kau boleh pergi. Pergilah!"

   Tukas Ki Kusumo akhirnya.

   Melalui hentakan tenaga dalam tingkat tinggi di kata terakhirnya, dibebaskan totokan pada tubuh Satria.

   Nada suaranya terdengar merajuk.

   Seperti seorang kakek yang dongkol dan kecewa pada sikap cucunya sendiri.

   Timbul rasa tidak tega dalam diri Satria mendengar nada suara Ki Kusumo.

   Dengan agak segan, dibalikkannya tubuh.

   Dia melangkah kembali mendekati orang tua itu.

   "Kenapa kau tak jadi pergi? Bukankah kau sudah kusuruh pergi?!"

   Gerutu Ki Kusumo tanpa berniat menatap Satria.

   Wajahnya kusam.

   Di balik itu, sebenarnya dia tertawa geli dalam hati.

   Siasatnya memancing perasaan Satria berhasil.

   Dia tahu anak itu tidak cuma keras kepala semata.

   Hatinya sesungguhnya sebening pua-lam.

   Tampak sekali dia tak ingin menyaki-ti orang-orang yang sudah telanjur dekat dengannya.

   Seperti Tresnasari, Nyai Cemarawangi, dan Ki Kusumo sendiri Satria menjatuhkan pantat ke pasir, Dengan tangannya, dipermainkan pasir menjadi tumpukan-tumpukan kecil tanpa maksud.

   Dengan senyum penuh kemenangan, Ki Kusumo mendekati dari belakang.

   "Hmmm, selama ini kau tentu telah mengenal cukup baik diriku. Bukan begitu, Cah Bagus? Kau dulu bertanya-tanya siapa diriku sebenarnya. Kau ingin tahu?"

   Satria tak menggubris perkataan KI Kusumo.

   "Baiklah. Aku tahu kau ingin tahu siapa aku sebenarnya. Cuma kau sedang malas menjawab saja bukan? He-he-he...."

   "Bukan,"

   Sahut Satria enteng dan datar.

   Cep! Langsung saja kekehan Ki Kusumo terbungkam.

   Dia menarik napas dalam-dalam.

   Sabar...

   sabar, pikirnya.

   Kalau bocah ini tidak ingin dijadikan murid, sudah ditotoknya kembali Satria lalu ditinggal sendiri di pantai.

   Biar air pasang menghanyutkannya! Untuk sedikit merayu, Ki Kusumo sengaja duduk di pasir tepat di sisi bocah itu.

   Ditumpangkannya sebelah tangan ke bahu Satria.

   "Aku seorang tokoh tua dunia persilatan,"

   Aku Ki Kusumo, mencoba memancing keingintahuan si bocah besar adat.

   Tapi celaka dua belas, makinya dalam hati.

   Anak itu sedikit pun tak memperlihatkan keterkejutan atau sedikit keingintahuan seperti malam itu kala mereka di tengah hutan! Sambar geledek sekali! "Baik...

   baik.

   Kau menang.

   Aku sebenarnya berniat mengangkatmu menjadi murid.

   Asal kau tahu, banyak orang telah memohon padaku menjadi murid dan menda-patkan kesaktianku yang disegani dunia persilatan.

   Tak pernah ada di antara mereka yang menarik minatku.

   Artinya, kau mesti merasa beruntung karena aku berniat mengangkatmu menjadi murid...,"

   Bujuk Ki Kusumo lagi. Satria menarik napas. Tahu-tahu dia bangkit sambil berkata malas.

   "Kalau cuma itu yang ingin kau katakan padaku, Pak Tua, sebaiknya aku permisi saja...."

   Lalu tanpa menggubris orang tua sakti yang terbengong-bengong setengah modar, Satria melangkah meninggalkan pantai.

   Satu tindakan Satria yang tak pernah sedikit pun terpikir oleh Ki Kusumo.

   Semula, Ki Kusumo merasa yakin sekali bahwa bocah tanggung itu akan menerima tawarannya.

   Tawarannya terbilang menggiurkan.

   Sebab dirinya tergolong tokoh kenamaan kalangan atas yang disegani.

   Menjadi mu-ridnya sama saja kejatuhan bulan! Ini malah, Ki Kusumo ditinggalkan begitu sa-ja....

   "Kurang ajar, apa maunya bocah ini?"

   Rutuk Ki Kusumo gemas bukan main.

   Apa akalnya untuk bisa membuat Satria menerima tawarannya? Ki Kusumo termenung lama sekali.

   Menilik kerut di da-hinya, tampak orang tua itu tetap juga tak menemukan jalan keluar.

   Tiga hari berlalu setelah peristiwa tersebut.

   Sakit Nyai Cemarawangi tak menunjukkan tanda-tanda akan segera sembuh.

   Keadaannya terbilang makin payah semenjak terluka menerima pukulan jarak jauh Dirgasura.

   Meskipun luka dalam yang dideritanya sendiri sudah diobati oleh Ki Kusumo, tetap saja tak mempengaruhi penyakit yang diderita Nyai Cemarawangi.

   Wanita itu terbaring terus tanpa dapat turun da-ri balai-balai sama sekali.

   Wajahnya kian pucat, tubuhnya makin kurus.

   Tresnasari terbawa keadaan tersebut.

   Dia kekeringan semangat.

   Yang hanya ingin dilakukan hanya duduk termenung di sisi balai tempat ibu tercintanya terbaring.

   Untuk keadaan ibunya itu, Tresnasari masih saja menyalahkan Satria.

   Dianggap-nya Satrialah biang keladi semua itu.

   Di-hukumnya Satria dengan mendiamkan bocah tanggung itu.

   Satria setengah mati mencoba meng-hiburnya.

   Namun setiap kali dicoba, Tresnasari malah memperlihatkan wajah tak bersahabat.

   Lebih dari itu, tersirat ke-bencian di matanya.

   Itu menyebabkan Satria pun makin merasa disudutkan.

   Sampai siang ini, si bocah tanggung dekil berambut kemerahan tak tahan lagi.

   Diam-diam dia pergi meninggalkan gubuk tanpa sepengetahuan Ki Kusumo ataupun Tresnasari.

   Satu tujuannya yang terbilang gendeng untuk bocah seperti dia hendak dicarinya Dirgasura.

   Dia akan menuntut balas atas perlakuan Dirgasura pada Nyai Cemarawangi.

   Bocah tanpa bekal olah kanuragan secuil pun seperti dia? Apa itu tidak gendeng? * * * Satria tiba di satu daerah dekat perbatasan Ketawang-Jogoboyo slang itu.

   Angin berhembus semilir damai melintasi wajah keruhnya.

   Sejak berangkat dari pantai Ketawang, tak ada perubahan tekad sedikit pun dalam hati anak itu.

   Benar-benar sudah bulat tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban Dirgasura terhadap keadaan Nyai Cemarawangi kini.

   Sebagai seorang bocah yang memiliki kemauan yang lebih besar dari tubuh kurus-keringnya, dan lebih kuat dari tenaga seekor kambing buduknya, tampaknya dia memang tak akan berhenti mencari Dirgasura sebelum benar-benar menemuinya.

   Bukti itu sedikit terlihat dari paras wajahnya yang terus saja terlipat, memeram kegusaran.

   Dia gusar pada dirinya karena merasa telah menjadi biang keladi keadaan yang menimpa Nyai Cemarawangi.

   Dia juga gusar pada lelaki setengah raksasa yang diang-gapnya telah berbuat keji terhadap wanita yang sedang menderita sakit itu.

   Meski belum pasti ke arah mana lagi dia harus mencari Dirgasura, Satria terus saja melangkah merambah hutan batas Ketawang-Jogoboyo.

   Bocah berambut kemerahan itu tak akan berhenti melangkah kalau sa-ja sebentuk suara mengerikan tak menegur-nya.

   "Berhenti kau, Bocah!"

   Satria berhenti mendadak.

   Bukan karena dia sekadar terkejut.

   Lebih dari itu, suara teguran kasar tadi telah membuat seluruh otot-otot dan sendinya menjadi terkunci.

   Belum lagi kekuatan suara yang membuat gendang telinganya seperti mau pecah mendengar teguran tadi.

   Sebaliknya, nada suara teguran tadi sebenarnya dilakukan pemiliknya tak terlalu keras.

   Tak ada dua tarikan napas, berkelebat sesosok tubuh beberapa langkah di depan Satria.

   Kini, sudah berdiri seorang kakek kurus kering.

   Berjubah hitam pendek sebatas paha.

   Berjenggot dan berambut putih amat panjang hingga mencapai lutut.

   Seluruh wajahnya sudah berkerut-merut.

   Bahkan kulit bagian bawah pipinya sudah bergelantungan.

   Sinar mata kakek itu membersitkan sinar keji.

   Begitu menjejakkan kaki tanpa suara sedikit pun, kakek itu menjentikan jarinya.

   Mengagumkan, tubuh Satria detik itu juga kembali dapat digerakkan.

   "Siapa kau, Pak Jenggot?"

   Tanya Satria.

   Tak ada perasaan takut sedikit pun dalam diri bocah itu, meskipun rasa bergidik ngeri menatap mata orang tua di depannya tetap mengusik.

   Kalau anak lain sebayanya, tentu sudah lari tunggang-langgang.

   Mungkin akan terkencing-kencing pula.

   Sebab, bisa jadi mereka akan menganggap orang tua itu adalah dedemit penunggu hutan.

   "Katakan padaku di mana aku bisa menemui Ki Kusumo?!"

   Kakek tadi malah balik bertanya. Suaranya berat parau. Terdengar tak kalah menggidikkan dari bersit matanya. Satria tak mau cepat menjawab. Dia lagi-lagi bertanya tanpa kenal rasa takut.

   "Memangnya Pak Jenggot ini ada uru-san apa dengan Pak Tua Kusumo?"

   "Kau jangan banyak tanya Bocah. Se-butkan saja di mana aku bisa menemui dia!"

   Geram si kakek berjenggot, berkawal dengusnya.

   "Kenapa kau pikir aku tahu di mana orang yang kau tanyakan?"

   Satria main kucing kucingan.

   "Katakan padaku!"

   "Kalau aku bilang tidak tahu?"

   "Kau akan kupaksa bicara!"

   "Kalau aku tetap tak bicara?"

   Dengusan si kakek makin cepat. Kemarahannya mulai terpancing oleh kucing-kucingan Satria. Kilat matanya makin tajam. Kelopak matanya mulai menyipit geram. Lalu dengan cepat jarinya menjentik kembali.

   "Waaa!"

   Tiba-tiba saja, tubuh Satria ter-lempar amat jauh.

   Derasnya luncuran tubuhnya seolah dia baru saja dilontarkan sebentuk tangan raksasa kasat mata.

   Jauhnya lebih dari lima belas tombak! Malang-nya, tubuh bocah kurus itu kemudian ter-jerembab ke dalam lumpur dalam.

   Entah bagaimana caranya, begitu Satria masuk ke dalam lumpur, kakek tua itu sudah pula berada di sana.

   Seolah-olah dia dapat berpindah-pindah tempat seperti dedemit.

   Lebih mencengangkan Satria lagi, orang tua itu berdiri di atas lumpur dalam tanpa tenggelam.

   Sementara tubuh si bocah kurus yang sebenarnya jauh lebih ringan sendiri perlahan-lahan tertelan masuk.

   "Kau bocah yang memuakkan! Tanpa kau beritahu padaku pun, aku tetap akan menemukan Tabib Sakti Pulau Dedemit yang harus menyembuhkan penyakit menahun sia-lanku ini!"

   Rutuk si kakek dengan suara mengerikan.

   Setelah itu, sosoknya berkelebat cepat seperti menghilang.

   Tinggal Satria sendiri terdiam dalam lumpur.

   Perlahan tapi pasti, tubuhnya terus tertelan.

   Dari pinggang, naik ke bagian dada.

   Dari dada terus naik sampai tinggal kepalanya saja.

   Jadi jelas sekarang kenapa si kakek tadi membiarkan Satria tak terluka dengan tenaga dahsyat jentikan tangannya.

   Ru-panya dia ingin bocah itu mati perlahan-lahan dalam lumpur! SELESAI Ikuti kelanjutan kisah menggemaskan ini dalam episode selanjutnya.

   "

   GEGER PESISIR JAWA "

   Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. Fujidenkikagawa

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Rahasia Cincin Mustika Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Dendam Kesumat Kaum Persilatan Bu Lim Ki Siu Karya Wen Lung

Cari Blog Ini