Tiga Paderi Pemetik Bunga 2
Roro Centil Tiga Paderi Pemetik Bunga Bagian 2
"Tak mungkin orang yang sudah mati masih bisa menangis, atau merintih...! Pasti ada orang di dalam. Atau mungkin juga di sinilah sarang tempat sembunyi si paderi gila itu...!". Desis Roro dengan suara perlahan. Entah mengapa Roro amat yakin akan adanya lubang rahasia di makam itu. Segera ia meraba-raba. Seperti mencari sesuatu yang dapat memungkinkan adanya lubang pintu masuk ke dalam kuburan. Namun tak dijumpainya. Akhirnya Roro dapat akal. Segera saja ia tempelkan telapak tangannya pada batu sungkup kuburan itu. Dan alirkan tenaga dalamnya yang berhawa panas. Hingga batu sungkup kuburan itu tampak kepulkan asap tipis. Sementara itu di dalam ruangan bawah tanah, Kuti mengumbar nafsu buasnya... Ternyata di samping mempraktekkan ilmu sesatnya, Kuti juga seorang yang amat sadis. Wanita korbannya telah disiksanya terlebih dulu. Yaitu dengan mengigiti sekujur tubuh sang korban hingga luka-luka. Tentu saja bagaikan seekor kambing yang mau disembelih, sang korban merintih kesakitan. Tubuh yang telah ditotoknya itu cuma bisa menggeliat-geliat menahan sakit yang amat sangat. Hal mana ternyata ia turuti dari dalam Kitab Ular itu. Wanita itu ternyata bukan wanita biasa, karena ia juga memiliki kepandaian ilmu silat, dan bertenaga dalam cukup baik. Hal itulah yang membuat Kuti gembira. Karena menurut Kitab Ular yang akan menambah tenaga dalam orang yang mempraktek-kannya, adalah diutamakan wanita itu gadis yang memiliki tenaga dalam. Selesai menyiksanya dengan gigitan-gigitan di sekujur tubuh gadis itu, Kuti segera mencekoknya dengan pel ramuan yang dibawanya dari Nepal. Pel perangsang, yang punya pengaruh luar biasa. Hingga tak lama berselang, terjadilah perubahan-perubahan pada sikap sang korban. Di malam yang lengang dan menyeramkan itu, seperti ada hawa aneh yang membuat seekor serigala buas, harus tunduk pada seekor kambing... Di mana sang kambing seperti kerasukan setan menerkam sang serigala dan melumatnya dengan lahap.... Napasnya tampak tinggal satu-satu. Sepasang matanya kian meredup. Akhirnya tubuh yang telah tak bertenaga itu, diam tak bergeming lagi. Sementara cuaca malam semakin mencekam. Beberapa ekor kelelawar yang lewat membuat Roro cukup terkejut. Batu sungkup kuburan itu telah berubah menjadi panas. Dan rumput-rumput serta lumut yang tumbuh di batu itu seketika menjadi kering. Sekonyong-konyong Kuti rasakan udara di dalam ruangan bawah tanah itu menjadi panas. Ia sudah balikkan tubuhnya yang rebah tertelungkup. Sementara ia menyeka peluhnya, laki-laki bertubuh jangkung ini merasa perlu membuka lubang hawa di atas langit-langit ruangan. Segera ia sudah sambar jubahnya, dan beranjak dari pembaringan. Gerakannya telah berubah menjadi ringan. Dan hal itu memang selalu bertambah setiap ia mempraktekkan ajaran pada Kitab Ular itu. Ia sudah segera gerakkan kaki menuju tangga batu ke atas. Hawa panas itu membuat ia berkeringat, dan ia perlukan hawa segar yang masuk. Sesaat kemudian lengannya telah bergerak, memutar sebuah batu persegi. Dan segera saja sungkup batu di atasnya terbuka. Ia melongok sejenak keluar untuk menghirup udara segar. Akan tetapi Kuti jadi terkejut, karena di samping batu kuburan telah tergolek sesosok tubuh.
"Aih...!? Seorang wanita ...!". Desisnya dengan suara tertahan. Dari keremangan cahaya bulan yang sudah tersembul di balik dedaunan, jelas tidak salah apa yang telah dilihatnya. Kuti berfikir cepat. Sebelah lengannya telah bergerak cepat untuk menotoknya. Hingga amanlah ia dari kekhawatiran. Selanjutnya tanpa ayal lagi, ia sudah pondong tubuh wanita itu memasuki ruangan di bawah tanah, dengan menuruni anak tangga dari batu. Dan sekejap ia sudah baringkan tubuh itu di pembaringan. Sepasang matanya menatap tajam pada sosok tubuh yang baru di bawanya itu, dan dengan liar pandangannya merayapi sekujur tubuh itu. Wajahnya pun segera tampilkan senyuman menyeringai. Terdengar desis suaranya seperti berbisik...
"Bagus...! Pucuk dicinta, ulam pun tiba...! He he he... tak susah-susah aku mencarinya. Ternyata si Pendekar Wanita itu telah antarkan dirinya padaku ...!". Akan tetapi memandang pada sosok tubuh wanita korbannya di pembaringan itu, Kuti jadi mendengus.
"Heh...! Gadis ini sudah tak berguna. Biarlah ia berkubur di sini! Aku perlu ganti suasana...!". Gumam Kuti. Pada saat itu terdengar suara teriakan dari atas ruangan.
"Heiii...! Paderi Palsu...! Keluarlah kau ...!"
Kiranya yang berteriak adalah Ginanjar.
Yang telah mencari Roro, dan menduganya pergi ke makam kuno ini.
Ginanjar memang belum mengetahui adanya ruangan di bawah tanah itu.
Ia berteriak dari sisi makam.
Apa lagi pemuda ini memang seorang yang paling takut dengan hantu.
Hingga ia berteriak dari sisi makam saja.
Karena ia tak melihat adanya Roro Centil, sengaja ia mencoba berteriak.
Dengan harapan siapa tahu, si penculik gadis itu dapat dijumpai, dan keluar dari tempat persembunyiannya.
Tentu saja hal itu membuat Kuti jadi terkesiap.
Segera ia telah pondong tubuh Roro.
Dan dengan kebingungan, ia mencari jalan lain untuk keluar dari ruangan bawah tanah itu.
Beruntung ia menjumpainya.
Dan segera saja bergerak memasuki lorong gelap, yang tersembunyi itu.
Obor kecil penerang kamar itu telah dimatikannya terlebih dulu.
Demikianlah, Kuti berhasil keluar dari makam kuno itu dengan melalui jalan rahasia.
Dan menyembul di luar makam.
Dari sana ia segera berkelebat cepat untuk segera pergi menuju ke arah Gedung kuno, tempat tinggalnya selama ini.
Di kamar tertutup gedung kuno itu, Kuti sudah segera akan lakukan penyiksaan terhadap Roro.
Akan tetapi ia batalkan, karena ia amat menyayangi kemontokan tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Sayang ia tak berhasil mencapai maksudnya, karena Roro memakai benda dari lapisan baja yang sukar dibukanya.
Sepasang kaki Roro seperti sepasang kaki area batu, yang sukar disingkirkan.
Hingga terpaksa Kuti kembali menotoknya.
Dan ditinggalkannya tubuh gadis pendekar Wanita itu.
Ia bermaksud menghubungi kedua adiknya.
Pada saat Kuti pergi, ia berpesan pada seorang kacung tua bernama Tonga, agar menjaga kamarnya.
Kacung tua itu adalah seorang laki-laki berperawakan kecil.
Dengan muka lancip, dan tulang pelipis menonjol keluar.
Berbicara dengan kacung itu, Kuti hanya memakai bahasa isyarat, karena si kacung itu seorang yang tuna wicara alias gagu.
Selesai berpesan, Kuti beranjak pergi dengan cepat.
Namun pada saat itu Roro Centil telah gerakkan tubuhnya melepaskan totokan.
Dan sesuatu yang amat berharga, ternyata telah tertinggal di bawah kasur pembaringan Kuti.
Yaitu Kitab Ular.
Roro Centil segera membenahi pakaiannya, dan benahi pula kitab yang ditemukannya itu.
Lalu masukkan dalam buntalannya.
Selanjutnya ia telah keluar dari kamar itu dengan melalui jendela, dan berkelebat cepat tinggalkan gedung itu.
Tapi di belakang gedung yang dilewatinya, ia bertabrakan dengan si Kacung tua Tonga yang gagu itu, hingga buntalannya terlepas.
Terkejut Roro Centil ketika tahu-tahu dengan gerakan cepat, si kacung gagu itu telah menyambar buntalan pakaiannya.
Dan selanjutnya dibawa kabur.
Serentak Roro sudah mengejarnya dengan keluarkan bentakan;
"He!? Kunyuk tua...! Kembalikan buntalanku...!". Teriak Roro seraya mengejar. Ternyata si kacung gagu itu punya gerakan cepat dan lincah. Larinya tidak menuju ke satu arah, akan tetapi berkelebatan dengan berputar-putar, seperti mengajak Roro main kucing-kucingan. Pada sebuah tikungan si laki-laki bertubuh kecil kurus itu menghilang. RORO Centil membentak keras "Awas kau, monyet tua...! Kalau berhasil kutangkap jangan salahkan aku kalau kuberbuat kejam ...!". Tiba-tiba melayang sebuah benda ke arah Roro. Dengan cepat si Pendekat Wanita ini menyambuti. Ternyata adalah buntalan pakaiannya. Terlihat bayangan si kacung tua itu kembali berkelebat dari balik semak, lalu sekejap telah menghilang. Roro Centil tak berusaha mengejarnya, akan tetapi memeriksa isi buntalannya. Terkejut Roro, karena Kitab Pusaka berkulit ular yang diselipkan di dalam buntalan itu telah lenyap.
"Setan alas...!"
Memaki Roro.
Seraya berkelebat mengejar ke arah si kacung tua itu melarikan diri.
Sengaja Roro Centil mengambil arah yang bukan jurusannya, ternyata membawa hasil memuaskan.
Justru si pancuri kitab itu telah kelihatan oleh Roro.
Bagus...! Biarlah! Ingin kutahu, ke mana gerangan ia akan pergi...
berkata dalam hati.
Segera dia sembunyi dan mengintai Sementara kacung gagu itu tampak tersenyum-senyum sendiri sambil bersiul-siul.
Tiba-tiba terdengar suaranya;
"He he he... akhirnya kudapatkan juga Kitab Ular ini. Kalau aku tak kebetulan mengintip ke dalam kamar, tak kuketahui kalau si paderi palsu bernama Kuti itu meninggalkan Kitab rampasannya yang sedang dibenahi si wanita tawanannya. Akhirnya kesaba-ranku membawa hasil memuaskan...!". Seraya berkata laki-laki itu sudah kembali bersiul-siul dengan senang. Dan melangkah seenaknya. Namun selang tak lama, ia telah berkelebat cepat. Dan yang dituju adalah arah makam Kuno. Terkejut Roro Centil mengetahui kalau si kacung gagu itu ternyata dapat berbicara. Ternyata manusia itu hanya berpura-pura gagu saja, dan telah lama mengincar Kitab di tangan Kuti. Entah dengan akal bagaimana hingga ia bisa menjadi kacung di Gedung Kuno itu. Dan berpura-pura menjadi seorang kacung tua yang gagu dan kelihatan tolol. Roro cepat mengejar, dan terus membuntuti. Akhirnya ia mengetahui kalau si kacung bernama Tonga itu mempunyai tempat sembunyi di lubang rahasia di dalam kuburan ... Ternyata Roro tidak terus mengejar. Tapi setelah mengingatkan tempat itu, ia segera berkelebat pergi. Biarlah...! Kelak kita merebutnya lagi. Yang penting aku telah mengetahui tempat pesembunyiannya. Berfikir Roro dalam benaknya, seraya meneruskan berkelebat meninggalkan tempat itu. Demikianlah hingga Roro muncul lagi di saat terjadi pertarungan antara kedua wanita, si wanita bertongkat Naga dan muridnya yang berbaju merah, dengan si ketiga paderi palsu. Ternyata Roro Centil telah bersahabat dengan gadis baju merah itu. Bahkan sudah beberapa hari mereka tidur di penginapan satu kamar. Demikianlah kisah belakangan ini, hingga ketika Kuti kembali ke Gedung Kuno itu, Roro Centil telah bebas kembali.
"Kita harus cari tempat sembunyi yang aman. Dan mengenai Kitab itu, biarlah urusanku untuk merampasnya kembali...!"
Berkata Kuti pada kedua adiknya.
Kebo Ireng dan Lembu Alas cuma bisa mengangguk.
Akan tetapi diam-diam mereka agak mendongkol pada sang kakak, yang mempelajari isi kitab pusaka itu tanpa mengikutsertakan mereka.
Bahkan menjamahpun mereka tidak pernah.
Sementara itu Roro Centil dipenginapan telah menceritakan pada si Tongkat Seribu Racun mengenai Kitab Ular itu.
Tentu saja membuat si wanita tua itu menjadi kecewa.
Akan tetapi juga bergirang hati, karena benda itu sudah berpindah tangan dari si tiga manusia yang dibencinya.
Walau ia tetap berniat untuk merebut kembali kitab itu.
Sayang si wanita tak mau menceritakan tentang isi kitab itu pada Roro, sehingga Roro Centil tak banyak bertanya apa-apa.
Memang Roro pernah membuka isi kitab itu, tapi tak mengerti akan tulisannya.
Karena huruf-hurufnya amat asing baginya.
Menjelang pagi, Roro Centil mohon diri untuk menemui Sentanu, si laki-laki penunggang kuda.
Ternyata gadis berbaju merah yang bernama Roro Dampit itu, ingin turut serta.
Roro tak dapat menolaknya.
Sementara sang guru si gadis baju merah cuma mengangguk memberi izin.
Tak berapa lama keduanya segera berangkat.
Tampaknya kedua gadis itu amat akrab.
Memang Roro Dampit merasa simpati pada Roro Centil.
Di samping nama depan mereka yang sama ...
Keadaan di rumah kediaman Sentanu ternyata tengah berduka cita.
Karena sang wanita tua yang malang itu telah meninggal dunia.
Akibat tekanan perasaan yang luar biasa.
Penguburan jenazah ibunya baru saja selesai pagi tadi.
Beberapa orang yang telah berdatangan menyampaikan rasa duka cita, telah kembali pulang.
Kini tinggal Sentanu seorang diri di rumah tua peninggalan orang tuanya.
Saat itulah Roro Centil dan si gadis baju merah memasuki halaman rumah laki-laki itu.
Tentu saja membuat Sentanu jadi melengak.
Segera ia telah mengenali si wanita Pendekar Pantai Selatan ini, dan berdiri menyambutnya.
Roro Centil segera memperkenalkan laki-laki itu pada si gadis baju merah, Roro Dampit.
Lama mereka berbincang-bincang.
Roro pun mengisahkan tentang penyelidik-kannya.
Yang sudah menemui titik-titik terang, yaitu adanya tiga orang paderi yang pernah mau membunuh Sentanu itu, telah dicurigai Roro Centil.
Namun ia masih perlu mencari data-data lain yang lebih kuat.
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, sobat Sentanu...! Semoga kau dapat menguatkan imanmu, karena semua manusia toh pada akhirnya akan mati. Dan kematian itu adalah wajar, karena semua manusia sebenarnya telah ditakdirkan hidup-matinya..."
Berkata Roro Centil, menghibur laki-laki itu dari kesedihannya.
Laki-laki tampak berkumis kecil itu cuma tersenyum tawar, walau sebenarnya hatinya remuk redam.
Karena kematian ibunya justru akibat tekanan perasaan karena orang tua itu tak kuat mendengar cemooh kiri dan kanan.
Apa lagi tuduhan demi tuduhan pada Sentanu.
Membuat wanita tua itu semakin menderita korban perasaan, walaupun ia mengetahui tak mungkin anak laki-lakinya berbuat sekeji itu.
Segala perasaan itu dipendam orang tua yang malang itu, hingga ia jatuh sakit.
Dan wafat dalam keadaan menderita kepedihan hati yang terus-menerus.
Semua kematian itu memang takdir, akan tetapi siapa yang tak akan berduka melihat penderitaan orang tua yang amat dicintainya? Semua itu adalah akibat fitnahan keji! Sementara diam-diam Roro Dampit agak memperhatikan laki-laki gagah itu.
Entah mengapa di hati gadis itu ada timbul semacam perasaan aneh.
Seolah ia turut merasakan kesedihan Sentanu...
Selang tak berapa lama Roro Centil pun mohon diri.
Sejenak si gadis baju merah melirik pada laki-laki itu yang kebetulan Sentanu pun tengah melihat padanya.
Kedua pasang mata pun saling beradu menatap.
Namun cepat-cepat Roro Dampit menundukkan wajah.
Dan tiba-tiba saja hatinya jadi berdebaran secara aneh.
Ketika tubuh kedua gadis itu telah tak kelihatan lagi, Sentanu mengeluarkan kudanya.
Dan sekejap telah melompat ke punggung kuda.
Untuk selanjutnya memacunya pergi entah menuju ke mana ...
Matahari telah semakin tinggi, dengan panasnya yang amat terik, membuat setiap tubuh akan merasa kegerahan, dan keluarkan keringat.
Penginapan yang di bagian bawahnya adalah sebuah restoran kecil, tampak hari itu ramai dikunjungi orang.
Akan tetapi tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, seorang wanita tua, telah keluar dari rumah penginapan itu.
Dan berjalan dengan cepat, seperti ada suatu keperluan yang amat penting.
Kepergian wanita tua itu ternyata telah dibuntuti oleh tiga orang laki-laki yang memakai tudung.
Yang tadi terlihat duduk di meja rumah makan.
Tentu saja tak ada yang curiga, karena masing-masing sibuk dengan urusannya.
Namun seorang pemuda diam-diam telah keluar pula dari penginapan itu.
Kiranya si wanita tua itu adalah gurunya si wanita berbaju merah, yaitu si Tongkat Naga Seribu Racun.
Tubuhnya berkelebat cepat, ketika tiba di tempat yang sepi.
Yang ditujunya adalah ke tempat penguburan jenazah yang sudah tak pernah digunakan, yaitu Makam Kuno.
Tapi belum lagi ia tiba di tempat tujuan, yang kira-kira pada jarak dua puluh tombak lagi, tiga sosok tubuh yang membuntutinya telah menghadang.
Kiranya ketiga orang bertudung itu mengambil jalan memutar.
"Ha ha ha... berhenti dulu, perempuan tua...! Kamu pasti telah memiliki Kitab Ular itu dari si Roro Centil. Serahkan kembali kitab pusaka itu pada kami! Kalau kau berani membangkang, tahu sendiri akibatnya...!". Teriak salah seorang. Sementara ia sudah melepas topi tudungnya. Yang segera saja diikuti oleh kedua orang kawannya. Ternyata mereka adalah si Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis. Wanita tua bertongkat Naga ini cuma mendengus. Walau pun ia mengetahui bahwa Kitab itu tak berada di tangannya, mana mau si wanita tokoh dari lereng Merapi ini membiarkan tiga manusia jual lagak di depannya. Memang sebenarnyalah si Tongkat Naga Seribu Racun mempunyai watak angkuh. Apa lagi sudah diketahuinya seorang murid perempuannya tewas oleh ketiga paderi palsu ini, menurut penuturan muridnya.
"Kalian paderi-paderi palsu jangan bertingkah tengik di hadapanku. Sebelum mengurusi soal kitab, mengapa tak kau urusi dulu kesalahanmu membunuh muridku?". Bentak si wanita.
"Membunuh muridmu...?"
Teriak Kuti dengan mata melotot. Tapi ia telah tertawa terbahak-bahak. Dan lanjutnya;
"Mengapa kau bisa menuduh aku yang membunuhnya? Dengan dalih apa kau bisa katakan kami yang berbuat?"
Tanya Kuti.
"Heh! Belangmu sudah ketahuan, paderi palsu! Kau tak usah memungkiri lagi. Semua korban pemerkosaan di beberapa desa ini sudah tak pelak lagi adalah perbuatan kalian...! Kini kita teruskan lagi pertarungan kemarin! Kalian kira aku takut? Hi hi hi...si Tongkat Naga Seribu Racun tak punya kamus semacam itu...!". Berkata wanita lereng Merapi ini. Dan ia sudah memutarkan tongkatnya di udara. Tentu saja ketiga paderi ini jadi naik pitam. Dan serentak mengurung wanita itu. Si paderi pendek bernama Lembu Alas sudah segera keluarkan senjata Kipas Baja dan tasbih hitam. Sementara si paderi berkuiit hitam mencabut keluar sebuah seruling besi, yang pada salah satu ujungnya berbentuk kepala burung, dengan paruh yang runcing. Adapun Kuti cuma bertangan kosong. Ternyata kedua paderi itu telah lebih dulu menerjang si wanita bertongkat Naga, dengan disertai bentakan bentakan keras. Kipas baja si paderi yang pendek yang berujung tajam itu membersit menyambar leher, sementara tasbih hitamnya pun meluncur deras mengarah kepala. Sedang si paderi berkuiit hitam Kebo Ireng pergunakan serulingnya menghantam dada. Wanita Tokoh Rimba Hijau dari lereng Merapi ini cuma perdengarkan dengusan di hidung. Sekonyong-konyong ia telah gerakkan tongkatnya menyambar terjangan itu, dengan diiringi gerakan menghindar ke samping.
"WHUSSS...! Terpaksa si paderi pendek gagalkan serangannya, agaknya ia tak mau adakan benturan dengan senjata lawan. Namun tasbihnya bagai bermata, terus mengejar si wanita. Terpaksa si wanita lereng Merapi gerakkan gagang tongkatnya. RRRTTT...! Tasbih hitam si paderi itu ternyata telah menggubat tongkat lawan. Sementara seruling besi Kebo Ireng yang telah lolos dari serangan pertama, telah kembali merangkak dengan sengit. Terkejut juga si Tongkat Naga Seribu Racun. Sebelah lengannya segera menghantam lengan si paderi pendek yang mencekal tasbih, disertai bentakan keras. WUTTT...! Terpaksa Lembu Alas lepaskan jeratan tasbihnya, dan dengan gerakan sebat ia telah lompat ke samping. Sementara itu serangan dari si paderi kulit hitam telah dihalau dengan asap beracun yang keluar dari kepala tongkat Naganya. Hingga terpaksa Kebo Ireng melompat mundur sambil tutup hidungnya. Demikianlah... pertarungan berjalan dengan seru. Saat itu Kuti, si paderi tertua belum bereaksi apa-apa. Ia cuma perhatikan jalannya pertarungan. Tampaknya si wanita itu sudah segera merobah gerakan tongkatnya. Kini terlihat kehebatan tongkat Naganya. Wanita ini telah mainkan tongkatnya dengan gerakan-gerakan cepat, untuk mengaburkan pandangan lawan. Yang terlihat cuma kelebatan tongkatnya saja bagaikan seekor naga kecil yang tengah mengamuk mengibaskan ekor. Sementara kepala tongkatnya semburkan uap putih yang menerjang kedua lawan. Paderi pendek terpaksa gunakan kipasnya untuk mengusir uap yang terus mencecarnya, walau ia berhasil menghindar, tak urung ia telah kena menghisap uap beracun itu. Hingga ia agak ayal sesaat. Kesempatan itu memang ditunggu si wanita hebat ini. Tiba-tiba dari balik uap itu telah meluncur deras ujung tongkatnya ke arah leher Lembu Alas. Terkejut paderi ini. Namun ia masih bisa melihat serangan mendadak itu. Segera ia jatuhkan diri menghindar. Akan tetapi ia tak dapat menghindari hantaman telak dari lengan si wanita tua yang mengandung tenaga dalam. BLUK...! Si paderi pendek perdengarkan teriakannya. Dan tubuhnya terlempar lima enam tombak. Kuti menggeram gusar. Ia sudah lompat maju menerjang, seraya membentak keras;
"Perempuan tua...! Terimalah kematianmu...!". Bentakan hebat itu dibarengi dengan pukulan telapak tangannya seraya beruntun. Segera saja segelombang tenaga yang tak kelihatan menerjang si wanita itu. Asap beracun seketika buyar kena terhantam, sekaligus membuat tongkat si wanita tokoh lereng Merapi itu terhantam lepas. Dan pukulan kedua menghantam telak pada punggung wanita itu. Terdengar pekik tertahan si Tongkat Naga Seribu Racun. Tubuhnya terlempar delapan tombak bergulingan. Kuti tidak berhenti sampai di situ saja, karena telah melesat memburunya, seraya hantamkan lagi telapak tangannya. Akan tetapi si wanita tua itu bukanlah tokoh kemarin sore, ia telah balikkan tubuh dengan mendadak, ketika rasakan sambaran angin di belakangnya. Dan dengan tenaga dalam yang ia telah salurkan di tangan, ia telah papaki serangan si paderi jangkung itu. DWERRR...! Dua tenaga dalam segera beradu keras. Akibatnya terdengar teriakan dari dua orang itu yang hampir berbareng. Tubuh si paderi Kuti terhuyung empat tindak, dan jatuh terduduk. Akan tetapi tubuh si wanita lereng Merapi terlempar lagi bergulingan tujuh-delapan tombak, ke arah si paderi pendek. Kesempatan baik itu tak disia-siakan Lembu Alas. Yang segera mencobloskan Kipas Bajanya yang runcing itu seketika menembus dada si Tongkat Naga Seribu Racun. Darah segar segera barmuncratan ketika Lembu Alas mencabut senjatanya. Wanita ini perdengarkan teriakan menyayat hati. Namun ia masih dapat bangkit berdiri, walau dengan tubuh terhuyung limbung. Sepasang matanya terbeliak menatap pada paderi Kuti. Sedang lengannya tampak bergetar terangkat. Agaknya ia mau menggunakan tenaga terakhirnya untuk menyerang. Namun pada saat itu berkelebat bayangan si paderi kulit hitam, dari arah samping. Ujung seruling besinya yang runcing telah meluncur deras ke arah leher wanita hebat ini, dengan keluarkan suara membersit. Indra si wanita Tongkat Naga Seribu Racun agaknya sudah tidak berfungsi lagi... sehingga ia tak dapat mengelakkan serangan ganas itu. JROS...! Ujung seruling besi Kebo ireng telah amblas menembus lehernya. Terdengar suara seperti orang muntah. Darah kembali menyem-burat, ketika si paderi kulit hitam itu menarik keluar senjatanya. Sesaat tubuh wanita kosen ini masih berdiri... namun tiba-tiba tampak oleh bergetaran, dan detik berikutnya segera roboh ambruk ke tanah, dengan berkelojotan mengerikan. Lalu diam untuk selama-lamanya.
"Ha ha ha... bagus...! Hayo, kalian periksa tubuhnya. Cari Kitab Ular itu...!". Teriak Kuti Segera saja kedua paderi itu bergerak cepat untuk memeriksanya. Akan tetapi sudah diraba di sana-sini, tak ditemukan apa-apa.
"Sial...! Ia tak menyimpannya..! Pasti berada pada murid wanitanya. Atau masih di tangan si Wanita Pendekar Roro Centil...!". Berkata Kebo Ireng.
"Huh! Mengumbar tenaga percuma saja...! Aku yang sial terkena hantamannya...!". Berkata Lembu Alas si paderi pendek menggerutu, dengan wajah masih menyeringai menahan sakit pada dadanya.
"Sudahlah...! Ayo, kita pergi dari sini...!"
Teriak Kuti.
Segera saja ketiganya telah berkelebatan meninggalkan tempat itu.
Sayang mereka tak mengetahui kalau si pemegang Kitab Ular ada di dalam Makam Kuno.
Makam Kuno itu memang makam yang misterius.
Karena banyak lubang-lubang rahasia berada di bawahnya.
Seperti tempat itu tempat memadu kasih saja layaknya.
Karena tampak ada dua sejoli yang mirip suami istri, telah memasuki juga sebuah kuburan yang terbuka, dengan menggeser sebuah batu di balik rumpun.
Entah siapa mereka.
Kisahnya memang belum terungkap di sini...! Akan tetapi pada serial Roro Centil yang berjudul .
"Rahasia Kitab Ular". Pembaca akan mengetahui siapa gerangan kedua suami istri itu. Sementara itu di tempat kejadian tadi, sepasang mata telah mengikuti semua kejadian pertarungan itu hingga akhirnya. Si pengintai itu adalah Mandra. Ternyata Mandra telah pula menguntit ketiga paderi itu sejak dari rumah tempat penginapan. Pemuda ini memang mencurigai akan tindak-tanduk tiga orang bertudung itu. Karena ia seperti pernah melihat wajah serta potongan tubuhnya. Ternyata ketiga orang itu benarlah orang yang hari kemarin dilihatnya berada di rumah gedung Bupati Daeng Panuluh. Memang Mandra agak mencurigai sang ayah. Yaitu Sengkuti alias Carik Desa itu yang sering mengunjungi Bupati Daeng Panuluh. Juga ia mencurigai sikap sang ayah, ketika ia akan mengajak adiknya pindah sementara. Marni, adik kandung Mandra terpaksa dibawa ke rumah majikannya. Tempat ia bekerja. Pemuda ini beranggapan bahwa adiknya akan aman berada di sana. Karena di samping ia memang jarang pulang, dan sering menginap di tempat pekerjaannya, Mandra bisa menjaga sang adik dalam situasi yang sedang genting itu. Entah berapa kali Mandra mengorek keterangan dari mulut adiknya untuk menceritakan siapa yang telah berbuat nista padanya. Akan tetapi Marni selalu membungkam. Memang sejak kejadian itu, Marni tak pernah mau bicara. Hal mana membuat Mandra dapat mengerti, karena Mandra beranggapan sang adik mengalami gangguan perasaan, akibat kejadian itu. Mandra memang merasa bersalah dalam hal ini, karena ia terlalu mempercayakan adiknya pada sang ayah, yang memang sebenarnya ayahnya bukanlah ayah kandungnya. Karena ayah sebenarnya telah meninggal sejak Marni masih bayi. Mereka berdua yang yatim piatu, telah dipungut oleh Sengkuti yang tak mempunyai anak seorang pun dari istrinya. Gagalnya Mandra mendesak Marni buka mulut, membuat Mandra penasaran untuk menyelidiki sang ayah, ia memang melihat tingkah laku ayahnya yang aneh, ketika ia mengatakan Marni akan dibawanya ke tempat majikannya untuk tinggal sementara di sana. Demikianlah, akhirnya Mandra dapat menangkap pembicaraan sang ayah angkatnya pada sang Bupati. Ternyata mereka semua turut berkomplot dengan si ketiga paderi. Bahkan ia melihat sendiri ketika ketiga paderi itu memasuki gedung sang bupati. Nyaris saja ia ketahuan, kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda berbaju putih tak dikenal, yang rupanya ada di belakungnya turut mangutip pembicaraan mereka. Ketika terdengar bentakan dari dalam ruangan, si pemuda itu telah menyambarnya, untuk dibawa berkelebat dari tempat itu. Pemuda itulah yang bernama Ginanjar. Ketiga paderi segera mengejar mereka. Namun beruntung mereka berdua dapat tempat sembunyi yang aman. Mereka pun berpisah. Dan Mandra kembali ke rumah majikannya. Tapi pemuda ini telah mengetahui kalau ayahnya terlibat dalam penculikan para gadis, juga perampokan, serta pemerasan. Karena Mandra telah mendengarnya dari penuturan si pemuda bernama Ginanjar itu. Di depan matanya tadi ia telah melihat ketiga paderi palsu itu membunuh dengan keji si wanita bertongkat naga, dengan melalui pertarungan yang tidak adil. Setelah merenung sejenak, pemuda ini segera tinggalkan tempat itu. Ternyata ia kembali menuju ke penginapan tadi. Terkejut Mandra, ketika melihat Sentanu berada di depan penginapan. Yang ternyata tengah bercakap-cakap dengan dua orang wanita. Segera saja Mandra mengenali akan si gadis baju merah. Karena pemuda inilah yang membantu mengubur jenazah adik gadis itu beberapa hari yang lalu. Yaitu mayat wanita yang ditemukan di pematang sawah. Sementara Roro Centil sudah dapat mengenali pemuda itu anak Carik Desa, yang pernah ia melihatnya ketika sedang bertarung bicara di dekat biara rusak tempo hari. Segera saja Mandra menghampiri, dan menjura hormat pada ketiganya, seraya berkata;
"Selamat berjumpa sobat Sentanu, dan nona-nona cantik...! Eh! Bolehkah aku mengetahui siapa adanya nona ini, adik Roro Dampit ...!". Ujar Mandra seraya melirik pada Roro Centil yang ditanya segera tampilkan senyuman, dan menyahuti, dengan dekatkan wajahnya pada telinga Mandra.
"Eh, pemuda tolol! Apakah kau tak mengetahui kalau nona ini adalah nona Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang bernama Roro Centil...? Mengapa kau berlaku kurang sopan?"
Bisik si wanita baju merah; Tentu saja bisikan itu membuat wajah Mandra jadi berubah kaget. Dan segera saja ia menjura sekali lagi pada Roro, seraya berkata;
"Oh! Maafkanlah aku yang bodoh ini. Hingga tak mengetahui adanya nona Pendekar Pantai Selatan di sini...!". Roro Centil jadi tersenyum. Namun sudah pura-pura cemberut memarahi si gadis baju merah. Gadis ini cuma tertawa saja. Sementara Roro Centil sudah berkata;
"Ah, sahabatku ini terlalu menyanjung aku...sobat Mandra. Senang sekali kita dapat berkumpul...! Bukankah begitu sobat Sentanu...?". Ujar Roro Centil seraya palingkan kepala menatap si laki-laki berkumis kecil itu. Sentanu cuma manggut-manggut, dan tersenyum hambar. Agaknya ia masih mendongkol pada Mandra. Apalagi sampai saat ini Sentanu belum bisa melacak siapa sebenarnya yang telah menodai Marni, adik kandungnya pemuda bernama Mandra itu. Akan tetapi wajah Mandra tiba-tiba menampakkan perubahan mendadak. Dan ia sudah segera berkata.
"Sobat Sentanu...! Sementara aku mencabut dulu tuduhanku padamu, mengenai kasus adikku Marni. Ada satu berita yang perlu kusampaikan pada kalian...!".
"Berita apakah...?". Roro Centil sudah mendahului bertanya. Tampak Mandra menghela napas. Mandra memang telah mengetahui kalau si wanita bertongkat yang tewas itu ada hubungannya dengan kedua gadis ini. Karena ia memang telah melihat ketiga wanita tersebut menginap di penginapan ini semalam. Segera saja ia menceritakan apa yang telah terjadi beberapa saat yang lalu. Terkejut Roro Dampit, seketika wajahnya menjadi pucat mendengar penuturan Mandra yang mengatakan tentang pertarungan seorang wanita tua bertongkat Naga dengan tiga orang paderi. Segera saja ia telah melompat masuk ke dalam penginapan. Di sana ia telah memeriksa keadaan di dalam kamar, yang ternyata Gurunya si Tongkat Naga Seribu Racun sudah tidak ada. Dan terkejut si gadis baju merah ketika melihat sepucuk surat singkat tergeletak di meja. Dari surat itu segera ia mengetahui kalau sang Guru pergi ke Makam Kuno, mencari jejak si pencuri Kitab Ular. Sesaat ia telah kembali keluar. Dilihatnya ketiga orang sahabatnya itu masih berada di tempat. Dan tengah menatap padanya. Tak banyak berkata, si gadis baju merah telah segera menarik lengan Mandra. Dengan suara terisak masih sempat berkata;
"Cepat...! Tunjukkan aku di mana beliau tewasnya...". Mandra hanya bisa mengangguk, dan segera beranjak pergi setengah berlari diikuti si gadis baju merah. Roro Centil dan Sentanu segera mengikuti di belakang. Beberapa pengunjung rumah makan, yang kebetulan melihat, cuma bisa bertanya-tanya karena tak mengetahui mengapa keempat orang itu berlarian dengan tergesa-gesa. Setelah melewati ujung desa, dan mengambil jalan terdekat menuju arah Makam Kuno itu, segera telah terlihat sesosok tubuh terkapar tak bergerak dengan tubuh bersimbah darah. Si gadis baju merah perdengarkan jeritan menyayat, dan berlari mendahului untuk menubruk mayat gurunya. Dan sekejap kemudian ia telah tenggelam dalam ratap tangis yang memilukan. Setelah kematian adiknya, kini kematian sang Guru yang dicintainya. Betapa tidak hancur hati dan perasaan gadis itu ... Suasana kesedihan itu amat terasa sekali pada ketiga orang yang mendengar dan menyaksikannya. Selang sesaat, setelah tangis Roro Dampit agak mereda, Roro Centil segera mendakati gadis itu, dan menghiburnya. Demikianlah... akhirnya jenazah si Tongkat Naga Seribu Racun dikebumikan di tempat itu juga dengan upacara sederhana. Saat itu hari telah menjelang senja. Pelahan-lahan udara mulai menjadi agak teduh, karena sang mentari telah tinggal sedikit lagi lenyap di balik bukit. Keempat orang itu segera tinggalkan tempat yang membawa kesedihan itu ... Mandra mengambil kesempatan untuk mengajak mereka bermalam di rumah majikannya. Yang ternyata tak ditolak oleh ketiga sahabat itu. Namun dipersimpangan jalan Sentanu minta izin untuk menjemput kudanya terlebih dulu, dan berjanji akan menyusul belakangan. Semuanya menyetujui. Demikianlah, Sentanu segera bergegas pergi dengan langkah cepat. Sementara Mandra meneruskan perjalanannya dengan ditemani kedua gadis yang cantik-cantik itu. Kira-kira menjelang malam baru saja menyibak, mereka telah tiba ke tempat yang dituju. Dan beberapa saat antaranya Sentanu pun telah menyusul. Yang ternyata laki-laki tampak berkumis kecil itu telah mengetahui tempat di mana Mandra menginap, di rumah majikannya. Malam itu mereka tampak duduk berbincang-bincang. Ternyata ditemani dengan majikan Mandra, yang juga duduk dan turut serta terlibat dalam pembicaraan. Akhirnya Marni mulai dikorek keterangannya. Atas desakan dan bujukan Roro Centil, akhirnya adik perempuan Mandra mau juga buka suara. Terkejutlah Mandra. Juga yang lainnya, mengetahui pengakuan Marni adalah Sang ayah angkatnya alias laki-laki bernama Singkuti itulah, yang telah memberikan Marni pada sang Bupati Daeng Panuluh untuk dijadikan pemuas nafsunya. Tentu saja dengan imbalan besar. Dan yang membuat Mandra semakin berang adalah sang ayah angkat yang sudah dianggapnya ayahnya sendiri itu, juga menggagahi anak angkat, atau anak asuhnya sendiri. Dan memberikan ancaman akan membunuhnya, bila berani mengadukan hai itu pada siapa saja. Terutama kakaknya, Mandra.
"Manusia keparat...! Aku memang sudah mencurigainya...! Benar-benar iblis yang bermuka manusia...!"
Memaki Mandra dengan geram.
Betapa marahnya Mandra sukarlah dapat dibayangkan...
Namun Roro Centil dapat segera menahannya ketika malam itu juga Mandra akan segera mencari ayah angkatnya.
Demikianlah...
Akhir-nya terbuka juga rahasia kemelut yang hampir-hampir saja menjadikan Sentanu korban dari fitnahan keji.
Ternyata si Carik Desa itulah yang telah membawa Marni ke kamar Sentanu, yang memang jarang ditiduri.
Mandra membenamkan kepalanya pada kedua lengannya.
Tubuhnya tampak tergetar hebat.
Dengan nafasnya yang terlihat memburu.
Betapa susah tampaknya ia menenangkan hatinya yang bergemuruh.
Namun selang sesaat, Mandra sudah kembali tenang.
Tak lama ia sudah bangkit, dengan sepasang matanya menatap pada Sentanu.
"Sentanu...! Maafkanlah semua kesalahanku yang terlalu mempercayai hasutan-hasutan keji ayah angkatku. Sehingga aku telah menuduhmu dengan serampangan...!". Berkata Mandra, seraya mengajaknya berjabatan tangan. Sentanu tersenyum. Lengannya cepat bergerak untuk menjawab tangan Mandra, seraya ia berkata;
"Tak apalah Mandra...! Semua manusia mempunyai kekhilapan dan kesalahan. Semoga kita dapat terus bersahabat sampai kapanpun ...!".
"Terima kasih, Sentanu...!". Ujar pemuda pandai besi itu, seraya mengepal erat lengan sahabatnya, seperti enggan melepaskan lagi. Isteri majikan Mandra yang ramah tamah itu telah membawa lagi seteko air kopi manis, seraya menuangkannya lagi pada gelas-gelas yang kosong. Tampaknya suasana malam itu amat meriah. Ditambah persoalan yang selama ini membeku, kini telah menjadi cair dengan terbukanya tabir semua persoalan yang hampir menemui jalan buntu. Malam pun semakin melarut juga. Dan suasana di rumah majikan Mandra itu mulai agak sunyi dari orang-orang yang bicara. Menjelang pagi telah terdengar suara gaduh di sisi jalan desa. Dan banyak orang berlari-lari ke arah rumah bengkel tempat Mandra bekerja.
"Ada apakah...?"
Berkata Mandra dengan terkejut.
Ia baru saja terjaga dari tidurnya, karena sampai lewat tengah malam, pemuda ini tak dapat memicingkan matanya.
Dan baru bisa tidur setelah mau menjelang pagi.
Terkejut pemuda ini ketika mengetahui tak ada orang di rumah.
Dan suara ribut-ribut di sisi jalan itu mengundang pertanyaan.
Segera saja ia telah melompat untuk berlari memburu ke arah bengkelnya.
Terlihatlah banyak orang berkerumun di sisi tembok bengkelnya.
"Ada apa...!? Ada apa ...!?". Teriak Mandra, seraya menyeruak masuk di antara kerumuman orang. Betapa terkejutnya pemuda ini melihat sesosok tubuh yang terbujur tak bergerak dengan sepasang mata membeliak keluar. Dan terlihat pada bagian dadanya sebuah lubang bekas tusukan senjata tajam, dengan darah yang hampir mengering. Sedang di atas perutnya terlihat sebuah topeng muka berwarna hitam, tergeletak. Yang membuat Mandra amat terkejut adalah mayat laki-laki itu tak lain dari mayat Carik Desa, alias Sengkuti atau ayah angkatnya sendiri. Sementara di tembok bengkelnya terdapat surat bertulisan . Manusia tidak bermoral ini memilih jalan hidupnya dengan kematian! Dia terlibat dengan enam kali perampokan, sembilan kali pemerkosaan dan delapan kali pemerkosaan, yang mencemarkan nama baik kepemimpinan Bupati Ki Ageng Panuluh. Senapati Kerajaan Medang Wi RAPATI Tercenung Mandra membaca tulisan dari surat yang bertanda tangan Senapati Kerajaan itu. Sementara seseorang telah menepuk pundaknya. Ternyata Sentanu.
"Sudahlah Mandra, mari kita segera urusi mayat ayah angkatmu ini...!". Berkata Sentanu. Mandra palingkan kepala ke beberapa arah, ternyata Roro Centil, dan si gadis baju merah Roro Dampit, serta adiknya Marni telah berada di tempat itu. Juga kedua suami istri majikannya. Pemuda ini anggukkan kepala. Walaupun ia amat membenci sang ayah angkatnya ini, akan tetapi tetap saja ia bersedih hati. Karena tak menyangka sang ayah telah menjadi utusan orang-orang Kerajaan. Dan telah menjadi intaian yang berwajib selama ini. Bahkan sampai senapati Wirapati turun tangan. Dilihatnya Marni, sang adik tengah terisak dipeluk oleh si Pendekar Wanita Roro Centil. Setelah menatap sejenak, segera ia menyuruh semua orang yang berkerumun itu bubar. Dan dengan cepat ia telah segera pondong tubuh Carik Desa itu, dan dibawanya bergegas dengan langkah cepat menuju ke rumah majikannya. Roro Centil dan yang lainnya segera mengikuti dari belakang. Keadaan yang ramai di sisi jalan itu pun mulai kembali sepi. Cuma tinggal beberapa orang yang masih bercakap-cakap di seberang jalan desa, memperbincangkan kejadian itu. Akan tetapi penduduk desa telah menjadi tahu kalau Carik Desanya ternyata adalah seorang yang berkelakuan tidak baik. Dan memuji tindakan Senapati Kerajaan Medang yang turun tangan menumpas kejahatan manusia yang bagai musang berbulu ayam itu. Namun hanya sebagian penduduk saja yang cuma menganggap sang Carik Desanya yang berbuat kesalahan dan menjadi biang kerusuhan selama ini. Karena sebagian lain dari penduduk telah mulai mencium jejak adanya tiga orang paderi palsu, yang juga bergentayangan menyebar kejahatan. Tentu saja mereka tetap kurang puas, karena belum adanya berita tentang ketiga paderi palsu itu. Di antara desas-desus penduduk yang kurang puas itu, ternyata Mandra lebih-lebih kurang puas. Karena ia merasa Bupati Daeng Panuluh terlibat dalam urusan itu. Tapi mengapa sampai saat ini tak ada berita mengenai diambilnya tindakan pada sang Bupati itu? Bahkan sampai beberapa hari ini sang Bupati tampak mulai sering kelihatan berkeliling desa-desa dengan menunggang kuda. Dengan beberapa pengawal Kerajaan di belakangnya. Dengan sikap seperti seorang yang amat berwibawa. Tentu saja di setiap tempat, penduduk mengangguk hormat. Apa lagi ketika suatu hari berkeliling dengan berkuda, bersama sang Senapati Wira Pati. Pasar-pasar yang ramai penuh dengan orang yang memenuhi jalan itu, segera menjadi terkuak untuk mareka segera menyingkir ke tepi, ketika kedua pembesar Kerajaan ini akan lewat. Sementara dari kerumunan para pedagang dan pembeli, sepasang mata menatap tajam pada sang Senapati yang berwajah angker dan tampak angkuh itu. Itulah sepasang mata Sentanu. Bekas seorang perwira Kerajaan Medang. Laki-laki ini gerakkan topi tudungnya untuk menutup wajahnya, ketika kedua orang penting itu lewat di hadapannya. Dan ia sudah membuka lagi topi tudungnya, ketika mereka sudah melewati tempat itu. Wajah laki-laki ini tampak memerah padam memandang punggung kedua manusia yang lewat itu. Lalu tak lama kemudian, segera berlalu meninggalkan pasar yang kembali ramai itu. Tentu saja Sentanu mengetahui akan tingkah laku dan akhlak sang Senapati Wirapati pamannya itu. Yang sebenarnya Wira Pati adalah adik tiri dari almarhum ibunya. Sejak Wira Pati masih menjabat Tumenggung, Sentanu sudah melihat akan watak-watak buruk laki-laki itu. Entah mengapa tampaknya Wira Pati seperti membencinya. Apakah karena ayahnya semasa masih hidup, dan masih menjabat sebagai Senapati Kerajaan Medang sering menasihatinya. Karena memang baik Sentanu maupun ayahnya sering memergoki Tumenggung Wira Pati di tempat-tempat pelacuran dan perjudian. Bahkan perbuatannya sudah tak layak dilakukan oleh seorang Tumenggung. Yang seharusnya memberi pengarahan pada rakyat, tapi justru dia sendiri tenggelam dalam arus kemaksiatan. Untunglah sang ayah seorang yang bijaksana, dan masih memandang adanya tali persaudaraan, hingga kelakuan-kelakuan buruk Tumenggung Wira Pati tak dilaporkan pada Raja. Yang membuat Sentanu tak mengerti adalah tugas menyerang pemberontak di utara, yang menyebabkan kematian sang ayah. Ternyata belakangan baru diketahui oleh Sentanu kelau tak ada surat perintah dari Raja untuk ia memimpin anak buahnya menyerang ke sana. Sayang orang yang mengetahui rahasia surat perintah palsu itu justru telah tewas oleh segerombolan perampok, yang tiba-tiba menyerang rumahnya. Di samping ludas seluruh harta bendanya, juga keluarga Perwira sahabat Sentanu itupun dibantai habis. Sehingga Sentanu tak punya bukti untuk menuduh sang paman. Sejak diangkatnya Wira Pati menjadi pengganti ayahnya sebagai Senapati Kerajaan, Sentanu tak lama segera mengundurkan diri dari keprajuritan. Ia kembali ke desa, di mana sang ibunya hidup dengan segala kesederhanaan. Akan tetapi sangat mendongkol Sentanu, karena ada desas-desus dari penduduk bahwa keluarnya ia dari keprajuritan adalah karena dipecat. Bahkan tewasnya sang ayah di medan pertampuran, justru yang didengarnya dari penduduk malah karena dianggap memberontak pada Raja. Dan sang ayah diberitakan penduduk telah mati di tiang gantungan. Hal itulah yang membuat Sentanu tak habis mengerti. Hingga ia jarang berdiam di rumah, karena ia enggan menghadapi wajah wajah sinis semua tetangganya. Kasihan sang ibundanya, yang tak kuat menahan perasaan berlarut-larut, akhirnya jatuh sakit. Apa lagi mendengar Sentanu terlihat dengan kasus pemerkosaan. Wanita malang itu kini telah meninggal dunia. Dan Sentanu merasa perlu untuk mengungkap kasus yang telah menyeret dirinya. Kini kasus itu sedikit demi sedikit telah mulai terungkap. Cuma satu hal yang masih menjadi teka-teki bagi Sentanu. Yaitu siapakah manusianya yang telah mencemarkan nama baik keluarganya itu...? Ia memang mencurigai pamannya sendiri yaitu Senapati Wira Pati. Namun Sentanu memang tak dapat berbuat apa-apa. Ia telah menjadi rakyat jelata. Berurusan dengan Wira Pati sama dengan berurusan dengan pihak Kerajaan. Harga diri dan martabatnya telah cemar di tempat tinggal almarhum orang tuanya. Sentanu merasakan hidupnya penuh dengan kehambaran. Seolah tiada lagi gairah untuk hidup. Akan tetapi tak sampai membuat Sentanu putus asa. Cuma ia bertekad untuk secepatnya pergi tinggalkan desanya. Dan entah ke mana tujuannya, ia sendiri tak mengetahui. Demikianlah... laki-laki ini berjalan dengan gontai. Topi tudungnya ia benamkan dalam-dalam di kepalanya. Cuma sepasang matanya saja yang terlihat menatap tanah. Memandang ujung-ujung kakinya yang menyusuri jalan-jalan setapak ... Mandra yang merasa kurang puas, dengan tidak diambilnya tindakan pada si Bupati Daeng Panuluh, telah langkahkan kakinya menuju ke arah gedung Kadipaten. Sengaja pemuda ini mengambil arah memutar, melalui jalan setapak. Kira-kira separuh lagi perja-lanan, ia mendengar derap suara kaki kuda yang jauh di belakangnya. Cepat sekali pemuda ini berkelebat untuk sembunyi. Ingin sekali ia melihat siapakah gerangan si penunggang kuda di belakangnya itu, yang sebentar lagi akan melewati jalan setapak ini. Tak lama kemudian segera terlihat seorang penunggang kuda, dengan pakaian gemerlapan. Dari sutra kuning dan hijau. Ikat kepalanya memakai perhiasan berukir dibagian depan. Tampak berkibaran mantel berbulu, yang indah di belakang punggungnya. Sekelebat saja Mandra telah mengetahui laki-laki penunggang kuda yang berusia 40 tahun itu adalah Senapati Wira Pati. Ternyata laki-laki itu menjalankan kudanya tidak terlalu cepat. Sebentar kemudian telah melewati dimana Mandra bersembunyi. Sepasang mata pemuda ini memperhatikannya hingga jauh. Terlihat di belakang punggung Senapati ini terselip sebuah tombak pendek yang digubat dengan kain sutera merah, yang berkibaran tertiup angin.
"Hah...!? Mau ke mana Senapati itu...?". Gumam Mandra. Seraya ia sudah beranjak untuk diam-diam membuntutinya. Demikianlah, pemuda itu segera menguntitnya dengan hati-hati. Karena ia yakin sang Senapati itu pasti seorang yang berilmu tinggi. Ternyata tujuannya adalah rumah gedung sang Bupati Daeng Panuluh. Sebentar kemudian ia telah memasuki pekarangan yang luas itu. Dua orang penjaga segera menjura hormat. Dan menuntun kuda sang Senapati untuk segera ditambatkan. Di pintu masuk kembali seorang penjaga menjura, dan mempersilahkan Pembesar Kerajaan itu memasuki ruangan pendopo. Tampaknya ruangan depan itu sunyi. Wira Pati terlihat mengerutkan alisnya. Ketika tak lama muncul seorang pembantu wanita dari dalam, yang segera menghampiri dengan membungkuk-bungkuk.
"Ke mana Ndoromu...!?". Bertanya Wira Pati. Wanita tua itu menghaturkan sembah seraya berkata;
"Ampun Ndoro Gusti Senapati... Anu...Ndoro Panuluh sedang tidak ada. Beliau belum lama pergi berkuda...! Silahkan duduk Ndoro Gusti Senapati. Mungkin sebentar akan kembali...!". Ujar si pembantu wanita tua itu, seraya kemudian mengundurkan diri kembali ke belakang. Senapati Wira Pati tak berkata sepatahpun. Segera ia beranjak untuk duduk di kursi tamu. Sepasang matanya tampak memandang ke segala penjuru, seperti meneliti ruangan yang besar itu. Angin yang bertiup agak keras telah masuk ke dalam ruangan, menyingkapkan tirai-tirai kain jendela. Udara tampak agak sejuk. Laki-laki ini membuka belahan bajunya sebatas pusar. Dan letakkan tombak pendek yang selalu dibawanya itu di atas meja. Lalu terdengar ia menghela napas. Tapi sepasang matanya jadi menatap tertegun, melihat sebuah betis yang tersingkap dari sesosok tubuh yang menggeletak di pembaringan. Angin keras yang menyeruak masuk dari jendela tadi telah menyingkapkan kain tirai penutup kamar, yang pintunya terbuka. Sehingga pemandangan yang sekilas itu telah tidak luput dari tatapan Wira Pati. Tentu saja sepasang matanya jadi berkilatan. Dan segera saja ia sudah tampakkan senyumnya. Seraya sudah beranjak bangun berdiri. Lalu langkahkan kaki menuju kamar. Kain tirai itu disibakkan, lalu sekejap sudah tertutup lagi. Tubuh Senapati itupun lenyap di balik tirai kamar. Sementara si pembantu wanita tua telah sembulkan kepalanya di balik pintu ruangan belakang. Dengan menatap pada tempat duduk tamu yang kosong. Lalu buru-buru kembali ke belakang menemui kawan pembantunya. Dan tampak ia berbisik-bisik pada wanita kawannya. Sang kawan cuma bisa belalakkan matanya. Lalu terlihat ia membentangkan lengannya, seperti merasa tak mampu berbuat apa-apa. Selanjutnya mereka sudah kembali bekerja. Walau sesekali melirik ke ruangan depan. Namun tempat duduk tamu itu masih tetap saja kosong. Wira Pati terpaku memandang sesosok tubuh yang tergolek di hadapannya. Ternyata seorang gadis berparas cantik. Bagaikan sekuntum bunga yang menunggu sang kumbang untuk siap dihisap madunya. Sepasang mata laki-laki ini sudah segera menelusuri lekuk-liku sang tubuh yang terbungkus selembar kain sutera tipis itu. Seperti seekor serigala yang melihat mangsa di hadapannya, sang Senapati telah menelan air liurnya. Lengan sang senapati telah terjulur untuk menyibak kain selimut pembungkus tubuh mulus itu. Tampak terdengar gadis itu mengeluh, seperti mengerang. Lalu terdengar mendesis. Agaknya seperti baru tersadar dari tidurnya. Kelopak matanya tampak mulai bergerak untuk terbuka sedikit. Namun seperti sukar ia membuka seluruhnya. Bahkan tampak ia berusaha menggerakkan tubuh dan lengannya. Terkejut juga sang Senapati, yang kemudian baru sadar kalau gadis itu dalam keadaan tertotok. Segera ia telah gerakkan lengan-nya membuka totokan. Yang kemudian barulah gadis itu mampu gerakkan tangan dan kakinya. Pantas...! Menggumam Wira Pati dalam hati. Gadis ini pasti telah disediakan buatku. Tapi ia sengaja telah menotoknya, agar tak menyulitkan. Ha ha ha ... si Daeng memang pandai memilihkan yang baik untukku...! Berkata Wira Pati dalam hati. Tiba-tiba ia telah beranjak mendekati meja. Lengannya menyambar sebuah mangkuk yang telah kosong. Sekejap ia telah mencium pinggiran atas cawan itu seperti tengah memeriksa dengan penciumannya. Sesaat ia telah letakkan lagi cawan itu, dan beranjak mendekati sang gadis. Selanjutnya tiba-tiba ia telah bungkukkan tubuh. Kepalanya terjulur ke dekat wajah gadis itu. Ternyata ia tengah mengendus ke atas bibir sang gadis. Lalu terlihat ia tersenyum.
"He he... pantas! Ia telah dijejali ramuan hebat dari si paderi bernama Kuti itu. Agaknya ia memang telah menyiapkan segalanya untukku...!". Mendesis Wira Pati. Dan tiba-tiba ia telah segera meniadakan apa yang melekat di tubuhnya. Dan membersihkannya sama sekali. Terdengar suara merintih tatkala gadis ini menggeliat. Sepasang matanya setengah terkatup dan setengah terbuka. Sementara desah angin telah kembali menyibak tirai dengan keras, hingga terlepas. Seekor laba-laba yang tengah membuat sarang segera bergerak cepat menangkap mangsanya, ketika seekor lalat terjerat pada perangkap yang telah dibuatnya. Senapati Wira Pati meneguk arak yang telah disediakan di atas meja. Tampak ia bangkit berdiri dan memanggil pembantu wanita tua itu, yang tampak tongolkan kepalanya di pintu ruangan belakang. Bergegas dengan terbungkuk-bungkuk wanita pelayan ini menghaturkan sembah pada sang Senapati, yang segera berujar;
"Katakan pada Ndoromu bahwa aku datang. Agaknya aku harus segera kembali, karena ada tugas lain senja ini yang perlu kuselesaikan. Sampaikan terima kasihku padanya!"
"Baik, Ndoro Gusti Senapati..!". Menyahuti si wanita tua. Selesai berkata, Wira Pati sudah segera menyelipkan kembali Tombak pendeknya ke belakang punggung. Dan segera beranjak keluar. Pembantu wanita ini mengantarnya dari belakang. Lalu menutupkan kembali pintu ruangan. Seorang penjaga yang berdiri di muka pintu pendopo, telah melihat keluarnya sang Senapati ini segera cepat-cepat menjura hormat. Wira Pati cuma anggukkan kepalanya. Lalu bergegas menuju keluar. Seorang penjaga telah membawakan ke hadapannya kuda tunggangannya. Sementara seorang lagi tetap berdiri di pintu masuk halaman gedung. Selang sesaat sang Senapati ini telah melompat ke atas kuda. Dan selanjutnya memacunya dengan cepat keluar dari halaman Kadipaten. Dua penjaga itu memberinya jalan, seraya lakukan penghormatan dengan bungkukkan tubuh mereka. Sekejap antaranya Wira Pati telah memacu kudanya dengan cepat, tanpa menoleh lagi ke belakang. Pada wajahnya tampak tampilkan senyum kepuasan. Senyum yang hanya bisa terlihat kalau hati sang Pembesar Kerajaan ini sedang mendapat angin baik. Tanpa memikirkan bahwa di dalam kesenangan dirinya itu, di pihak lain tenggelam dalam kesedihan dan kesusa-han. Bahkan jeritan yang menyayat hati. Namun mana manusia yang tak mengenai halusnya perasaan ini dapat mendengarnya? Karena telinga dan hatinya telah tertutup rapat-rapat dengan dinding nafsu angkara. Sehingga bathinnya pun menjadi kotor. Agaknya memang telah sulit untuk membasuh bathin manusia yang telah sedemikian. Karena watak manusia tak akan bisa berubah. Kalau tak manusia itu sendiri yang meru-bahnya. Mandra yang berada di tempat persembunyiannya, di sisi jalan dekat gedung itu, kembali melihat kepula-ngannya sang Senapati yang kudanya mencongklang dengan cepat. Tentu saja ia tak mengetahui keadaan di dalam. Tapi tiba-tiba terlihat dari arah yang berlawanan seekor kuda mendatangi ke arah gedung. Dan segera terdengar ringkikan kuda sang Senapati, ketika laki-laki Pembesar Kerajaan itu menghentikan kudanya. Ternyata si pendatang itu pun menghentikan pula kudanya. Sehingga kuda-kuda perdengarkan ringkikannya. Kiranya yang datang adalah sang Bupati Daeng Panuluh. Terdengar Wira Pati berkata dengan tampilkan senyum di wajahnya, melihat kedatangan sahabatnya.
"Aha...! Dari mana Daeng...? Lama aku menunggumu. Sayang aku ada tugas lagi senja ini. Jadi aku tak dapat menemanimu berbincang-bincang. Oh, ya...! Mengenai upeti untukku, biarlah untuk pekan ini tak usah kau setorkan. Asal kau harus berhati-hati kali ini. Terutama tiga orang paderi itu jangan sampai ia menyusahkan kita...!". Berkata sang Senapati. Doting Panuluh tersenyum dan manggut-manggut seraya berkata dengan nafas agak tersengal. Agaknya ia tadi melarikan kudanya dengan sekencang-kencangnya, seperti memburu sesuatu.
"Te...terima kasih abang Wira Pati...!". Ujar Daeng Panuluh yang membahasakan sebutan abang, atau kakak pada laki-laki sahabatnya itu, karena sebenarnya Daeng adalah bukan orang asli tanah Jawa. Ia perantau dari seberang pulau, yang terletak jauh di sebelah timur laut Pulau Jawa. Dan hidup di pesisir laut. Boleh dikatakan Daeng Panuluh besar dan dewasa di tengah ombak lautan. Sayang Daeng terjerat dalam kehidupan sesat. Dan memilih beberapa tahun yang lalu, sejak Wira Pati menjabat sebagai Tumenggung. Dari sahabatnya inilah Daeng dapat menduduki jabatan sebagai Bupati.
"Tapi bagaimana mengenai ancaman seorang pemuda misterius itu...?". Daeng telah lanjutkan dengan pertanyaan.
"Tenanglah...! Kelak aku yang mengurusinya. Bukankah kau tahu, si Sengkuti itu dengan mudah dapat kusingkirkan. Tak perduli ia seorang Carik Desa. Kalau bakal membahayakan, terpaksa harus disingkirkan. Walaupun tadinya ia orang yang membantu kita...!"
Berkata Senapati Wira Pati dengan wajah tenang, namun suaranya terdengar tandas. Daeng Panuluh manggut-manggut. Tapi tiba-tiba wajahnya kembali berubah agak pucat. Dan tampak dengan gugup ia berkata...
"Ng...te... terima kasih sahabatku! Akan tetapi maaf...aku lelah sekali, dan memerlukan istirahat. Oh, ya...tentu abang Wira Pati jemu menungguku tadi...!". Pembesar Kera-jaan ini cuma tersenyum, seraya ujarnya;
"Silahkan beristirahat, Daeng..! Memang akupun ada tugas yang menantiku...! Dan... ha ha ha... Terima kasihku padamu atas hidangan yang kau suguhkan itu. Tentu saja kelak akan ada imbalan tersendiri yang istimewa buatmu ...!"
Daeng Panuluh jadi melengak mendengarnya.
Akan tetapi sang Senapati telah segera mengeprak kudanya.
Yang segera mencongklang lari dengan cepat.
Adapun Daeng Panuluh setelah tercenung sesaat, tiba-tiba telah berteriak keras, dan memacu kudanya dengan cepat ke arah gedungnya.
Baru saja sampai di halaman, ia telah melompat dengan cepat, dan berlari menuju pintu Pendopo.
Dua pengawal tak sempat lagi menjura, karena sang Bupati bagaikan gila telah menerobos masuk.
Dan secepat itu pula telah memasuki kamar, di mana tergolek sesosok tubuh yang telah kehabisan tenaga.
"Nurimah...! Nurimaaaah...!?". Suara teriakannya tersendat seketika, melihat ke hadapannya. Pembaringan itu telah kusut masai. Bantal dan guling telah berserakan tak keruan. Dan sang gadis tengah mengerang seperti dalam saat sekarat. Sekilas saja ia telah tahu apa yang telah terjadi. Kenyataan itu telah dibuktikan dengan jelas melalui penglihatannya. Tiba-tiba laki-laki ini telah berteriak dengan suara parau. Dan menubruk tubuh gadis itu serta memelukinya dengan suara tangis meraung. Tampak sepasang mata Daeng telah bercucuran air mata. Dan terlontarlah kata-kata yang sudah delapan tahun lebih itu tak pernah terucapkan dari bibirnya.
"Anakku... Nurimah...! Anakku... Oh...". Selanjutnya cuma suara isak tangis bagaikan anak kecil yang terdengar. Tiba-tiba ia telah lepaskan pelukannya pada wanita yang terbujur itu. Wanita yang ternyata memanglah anak gadisnya sendiri. Dan terdengarlah suara teria-kannya memanggil sang pembantu wanita. Yang dengan tergopoh-gopoh segera berlari menghampiri.
"Bodoh...!". Teriaknya memaki.
"Mengapa kau biarkan semua itu terjadi. Dia ... dia anakku, tahu...! Keparrrat...!"
PLAK! Sebelah lengannya telah bergerak menampar kepala sang pembantu wanita tua itu.
Yang segera saja terpelanting dengan suara teriakan menyayat hati.
Namun Daeng kembali sudah memburunya.
Lengannya bergerak menjambak rambut wanita yang bernasib sial itu.
Akan tetapi terkejut Daeng, karena sudah tak terdengar lagi jeritan kesakitan ketika dijambak rambutnya.
Kiranya sang pembantu yang malang itu telah tewas.
Dengan geram Daeng menghempaskannya ke lantai.
Segera ia bergerak lagi melompat untuk mencegat seorang pembantu wanita lagi, yang menggigil ketakutan.
"Ampun, Ndoro...! Jangan bunuh hamba...! Hamba tidak bisa mencegah-nya... Ja... jangan bunuh hamba Ndoro ..."
Berkata wanita pembantu itu dengan meratap tangis.
"Aku takkan membunuhmu, Mari-yem...!"
Membentak Daeng Panuluh. Tiba-tiba laki-laki ini telah keluarkan sesuatu dari saku bajunya.
"Berikan ini pada anakku. Jejalkan di mulutnya. Ingat! Dua butir pel ini harus benar-benar tertelan. Kalau sampai gagal, nyawamu sebagai gantinya, mengerti...?!".
"Ba...baik Ngoro...! Akan hamba kerjakan...!". Menyahuti sang pembantu wanita seraya menerima dua butir pel itu dari tangan Daeng, dengan lengan gemetar dan wajah pucat bagaikan mayat. Namun ia telah bersyukur dalam hati yang jiwanya selamat. Sekejap kemudian, Daeng telah kembali melompat ke dalam ruang tengah, dan menyambar sebuah pedang yang tergantung di dinding. Lalu berkelebat cepat menuju kembali ke luar gedung. Para penjaga cuma saling pandang, ketika Daeng melompat keluar, dan dengan cepat melompat ke atas punggung kudanya. Kejap selanjutnya, ia telah berteriak keras menghardik sang kuda yang segera meringkik keras. Beberapa kali sang kuda berputaran seperti tak mau menurut perintah sang majikan. Namun akhirnya lari mencongklang dengan cepat keluar halaman. Dan selanjutnya telah terdengar derapnya semakin menjauh dari halaman gedung. Lagi-lagi Mandra terkejut, melihat sang Bupati Daeng Panuluh telah keluar lagi dari dalam gedung. Dan kini memacu kudanya bagai dikejar setan. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Mandra segera tancap kakinya untuk mengejar melalui jalan semak. Ingin ia mengetahui apa yang terjadi. Lapat-lapat terdengar suara teriakan Daeng.
"Senapati Keparaaat...! Tunggu aku...!". Dan dengan derap langkah kuda yang menggebu, Daeng Panuluh memacu sang kuda sekencang-kencangnya. Beruntung Wira Pati telah jalankan kudanya dengan tidak terlalu cepat, karena ia berfikir tak perlu terburu-buru. Tugas adalah tugas. Tapi rasa lelah di sekujur tubuhnya belum lagi hilang. Tentu saja tak lama Daeng dapat menyusulnya. Terkejut Wira Pati mendengar suara derap kuda di belakangnya, yang seperti berlari dengan cepat. Segera ia telah putar kudanya untuk melihat. Akan tetapi terlambat, tahu-tahu... DES...! perut kudanya telah kena seruduk kuda Daeng Panuluh. Sebenarnya hal itu tak akan terjadi seandainya Wira Pati mengetahui Daeng datang dengan kemarahan meluap. Sehingga tak ampun lagi kedua kuda sudah terjungkal jatuh. Termasuk kedua penunggangnya. Namun Wira Pati dengan tangkas telah dapat jatuh dengan berdiri. Karena sebagai seorang senapati yang sudah terlatih, Wira Pati bukanlah Wira Pati kalau ia harus jatuh ngusruk terguling-guling. Lain halnya dengan Daeng, ia telah jatuh bergulingan... Namun segera sudah kembali bangun berdiri. Beruntung pedangnya tidak terlepas dari genggamannya. Segera saja ia telah membentak seraya menerjang langsung menebas batang tubuh si Senapati.
"Manusia keparat...! Kau telah nodai anakku...! Dia anakku, manusia iblis! Kubunuh kau...!". TRANG! TRANG ...! TRANG...! Tiga serangan beruntun telah segera dapat ditangkis oleh Wira Pati. Laki-laki ini terkesiap bukan main, karena tahu-tahu Daeng menerjangnya bagaikan gila. Namun ia sudah mencabut tombak pendeknya, dan menangkis serangan-serangan ganas itu.
"Daeng...! Aku mana mengetahui dia anak gadismu...? Salahmu sendiri, mengapa tak menitahkan orang untuk menjaganya...?". Bentak Senapati ini dengan melotot gusar. Akan tetapi Daeng sudah tak perduli lagi. Ia tak akan puas kalau belum melihat manusia di hadapannya itu direncah lumat dengan pedangnya. Kembali ia menerjang. Pedangnya berkelebatan dengan serabutan. Agaknya ia sudah terlalu emosi. Kemarahannya sudah melebihi takaran. Karena siapa yang takkan sakit hati jika mengalami nasib seperti si Bupati ini. Walaupun yang dihadapannya itu mertuanya sendiri pun, tentu akan dicincangnya sampai lumat. WUT! WUT! WUT...! Kembali pedang di tangan Daeng berkelebatan, Namun Wira Pati telah berhasil menghindar. Tiba-tiba wajahnya tampak menyeringai sinis. Dan ia telah keluarkan bentakan keras.
"Baiklah Daeng, kalau kau menghendaki kematian...! Aku tak akan segan-segan untuk mencabut nyawamu...!". Selesai berkata, tiba-tiba tubuh Senapati Wira Pati telah berkelebat di antara sinar pedang Daeng Panuluh yang bagaikan tiada berhenti menerjangnya. Tombak pendek di lengan laki-laki itu tampak membersitkan sinar, tatkala diputarkan dengan cepat menghalau kilatan pedang Daeng. TRANNG...! Terdengar suara benturan senjata. Daeng tersentak, karena tiba-tiba pedangnya terlepas dari genggamannya. Belum lagi ia sadar akan kelanjutannya, tahu-tahu... JROSS...! Laki-laki bertubuh agak gemuk ini telah perdengarkan teriakannya ketika tombak pendek yang terbelit kain sutera merah itu membenam ke jantungnya. Bagai terpaku Daeng berdiri terhuyung. Sepasang matanya seperti menyala menatap sang Senapati yang berdiri di hadapannya. Dan tampakkan senyum dingin pada laki-laki di hadapannya.
"Manusia keparatt...! Kau...kau kejam! Kau...ib...iblisss...". Suara Daeng seperti mendesis parau. Akan tetapi Wira Pati telah sentakkan ujung tombaknya yang membenam di jantung Daeng. Terdengar keluhan Bupati yang bernasib sial itu. Darah segera memuncrat dan memercik menyirami tubuhnya, disertai robohnya tubuh laki-laki itu. Yang selanjutnya telah berkelojotan bagai ayam disembelih. Namun sekejap telah terdiam, setelah menyentakkan tubuhnya sekali lagi seperti gerakan terakhir melepas nyawanya, untuk berpindah ke alam Akhirat. Sang Senapati perdengarkan suara dengusan di hidung, lalu dekati tubuh Daeng, dan bersihkan ujung tombaknya di baju laki-laki yang telah tak bernyawa itu. Selanjutnya telah selipkan kembali senjatanya ke belakang punggungnya. Saat berikutnya ia telah putarkan tubuh dan palingkan kepala untuk mencari kudanya. Ternyata sang kuda tunggangannya tidak pergi jauh. Tampak dengan sekali lompat, Wira Pati telah berada di dekat kudanya. Kejap berikutnya ia telah melompat cepat ke atas pelana, dan selanjutnya sudah terdengar teriakannya menghardik binatang itu. Seraya hentakkan kaki ke perut kuda. Maka sekejap kemudian binatang itu telah mencongklang dengan cepat, tinggalkan tempat itu... Begitu tubuh Senapati itu lenyap di balik tikungan jalan, sesosok tubuh sudah melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Ternyata Mandra adanya. Tercenung pemuda itu menatap tubuh sang Bupati yang dibencinya. Tuntutan hatinya telah terlaksana. Akan tetapi Mandra jadi berfikir dalam benaknya. Ternyata orang-orang besar yang punya kedudukanpun punya masalah... Bahkan berbagai masalah! Dari masalah yang bersih dan murni, sampai masalah yang paling kotor. Yang kesemuanya juga meminta korban darah dan nyawa! Terdengar pemuda pandai besi ini menghela napas. Namun tak lama ia segera berlalu untuk tinggalkan tempat itu. Tubuh Daeng cuma diam membisu. Dia sudah tak lagi dapat fikirkan jabatannya. Tak dapat lagi mengetahui mana jalan lurus, dan mana jalan sesat. Karena semasa hidupnya pun dia telah tak mau tahu ke mana arah langkah perbuatannya Yang dipentingkan hanyalah melulu kepuasan duniawi. Kepuasan yang tak pernah ada habisnya...! Juga Daeng tak akan pernah tahu, kalau dua butir pel yang ia berikan untuk anak gadisnya itu, justru telah membawa kematian sang anak yang dicintainya itu secara cepat. Karena dua butir pel pemberian paderi Kuti itu, bukanlah pel obat penawar dari ramuan yang telah ia berikan pada anak gadisnya. Melainkan dua butir pel racun. Karena tak ada obat penawar bagi ramuan yang telah ia berikan atas pesanan Bupati Daeng Panuluh itu. Kiranya waktu itu Daeng yang telah bagaikan seekor serigala yang keranjingan daging mentah, telah menerima datangnya seekor kelinci mulus. Pesanan itu adalah khusus untuk dirinya. Mana mungkin Daeng sia-siakan kesempatan baik itu dengan percuma. Tiada nikmat menyantap seekor kelinci tanpa bumbu masakan penyedap. Sayang...di saat ia akan menyantap, laki-laki keranjingan ini telah terhenyak bagaikan disambar petir, karena sang kelinci terlalu mustahil untuk dijadikan santapannya. Seekor harimau ganas pun tak akan menerkam anaknya sendiri. Pepatah itu memang benar. Satu tanda tahi lalat di bawah pusar sang kelinci itu membuat ia tak jadi laksanakan maksudnya. Terpaksa ia memanggil sang pembantunya untuk menyediakan santapan nasi hangat dan sayur, serta ikan rawa yang disukainya. Dalam kepanikan itu ia segera mengisi perut sekenyang-kenyangnya. Sementara ingatannya telah terbayang pada seorang bocah berusia 10 tahun yang telah lenyap ditelan gelombang, di saat perahunya diserang badai. Ia terdampar dan selamat dari maut. Namun sang bocah perempuannya telah lenyap tanpa diketahui mati hidupnya. Delapan tahun cukup lama untuk ia melupakannya. Akan tetapi pertemuan itu telah di luar dugaan. Sang bocah perernpuan itu telah menjelma jadi seorang dara rupawan. Yang nyaris jadi korban perbuatan aibnya. Tergesa Daeng menjumpai ketiga sahabatnya si Tiga Paderi. Namun kedatangannya sudah terlambat. Karena Senapati yang gagah perkasa itu telah menghancur leburkan segala-galanya. Bahkan nyawanya sendiri pun telah melayang pergi. Sungguh suatu kehancuran total yang amat mengenaskan ... Mandra melangkah pergi dengan langkah gontai. Tapi kini ia sudah merasa sedikit lega karena tak lagi mengurusi kemelut yang menggebu-gebu dalam jiwanya. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuatnya terkejut.
"Hantikan langkahmu, pembunuh!". Dan sekejap telah berkelebatan muncul tiga sosok tubuh. Belum lagi ia sempat menatap ketiga wajah sosok tubuh itu, salah seorang telah menyerangnya. BUK! Satu hantaman pukulan dengan telak telah mengenai dadanya. Tak ampun lagi Mandra terjungkal bergulingan dengan perdengarkan keluhannya. Ternyata ketiga sosok tubuh itu tak lain dari si ketiga Paderi Lereng Gunung Wilis. Hantaman keras itu dilakukan oleh Kuti. Hingga si pemuda itu tampak muntahkan darah segar yang menggelogok keluar dari mulutnya.
"He he he... Biar aku yang menambahi dengan belaian Kipas Maut ku...!"
Berkata Lembu Alas si paderi pendek.
Yang segera saja sudah melesat untuk menghunjamkan ujung kipasnya.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat sebuah bayangan menyambar ujung kipas.
TRANG...! Lembu Sura berteriak tertahan karena rasakan lengannya kesemutan.
Dan tanpa ia sadari Kipas bajanya telah terlepas dari genggamannya.
Dengan gerak cepat ia telah melompat mundur empat tindak.
Dan dengan sebat telah gerakkan lengan untuk kembali menangkap senjatanya.
Terkejut ketiga paderi itu melihat sosok tubuh di hadapannya.
Yang tak lain dari Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Sebelah lengannya tampak memegang senjata yang mirip mainan itu.
Yang diayun-ayunkan di atas ujung kakinya.
Dengan senjata anehnya itulah Roro Centil menggagalkan serangan maut si paderi pendek Lembu Alas.
Ketiga paderi menatap dengan terpaku seperti terkesima.
Namun Kuti tiba-tiba telah perdengarkan suara tertawanya.
Walaupun diam-diam hatinya agak gentar.
Namun gengsi juga kalau harus jeri pada seorang gadis semua itu.
Apa lagi Kuti masih berharap dapat merebut kembali Kitab Ularnya.
Ternyata suara tertawa Kuti telah mengandung tenaga dalam yang hebat, yang ditujukan pada gadis Pendekar.
Terasa juga getaran tenaga suara tertawa itu yang seperti membawa pengaruh hebat.
Karena tampak tubuh Roro seperti terhuyung mau jatuh.
Melihat demikian si paderi berkulit hitam alias Kebo Ireng, segera meniup Seruling Hitamnya.
Hingga membersit keluar suara yang bagaikan menusuk-nusuk lubang telinga.
Semakin terhuyunglah tubuh Roro Centil...
Dan pada saat itu dengan diam-diam, Kuti telah keluarkan sabuk suteranya.
Sementara suara tertawanya seperti terus menggema tiada henti.
Roro Centil tampak lagi-lagi terhuyung lemah, dengan sepasang mata setengah terkatup.
Tertawa menyeringai si paderi pendek.
Segera ia telah siapkan tasbih hitam dan kipasnya untuk menyerang.
Ternyata Kuti telah memberi isyarat.
Maka dengan berbareng kedua tubuh itu segera menerjang Roro.
Tasbih hitam bergerak ke arah lengan untuk menggubat.
Dan kipas baja meluncur deras untuk menotok.
Sementara Kuti luncurkan sabuk suteranya merapas senjata, disertai gerakan sebelah lengannya manghantam ke arah paha.
Kuti memang sengaja mau melumpuhkannya.
Karena walau bagaimanapun tak tega ia membunuh gadis secantik itu.
Kegagalannya yang dulu seperti membuat ia merawa kecewa.
Kini ia berharap dapat mengulangi niatnya untuk yang kedua kalinya.
Tampaknya Roro akan segera terkena beberapa serangan kilat itu.
Akan tetapi kedua paderi ini jadi melengak,...
karena tubuh sang pendekar itu tahu-tahu seperti roboh ke belakang.
Aneh! Dalam keadaan terhuyung demikian, ternyata serangan berbareng mereka telah mengalami kegagalan total.
Segera saja Kuti merobah serangan.
Sabuk Suteranya telah meluncur lagi ke beberapa bagian tubuh Roro.
Namun lagi-lagi tubuh Roro Centil terhuyung mau jatuh ke kiri dan ke kanan.
Justru gerakan demikian itu telah pula membuat gagalnya serangan paderi jangkung itu.
Gila...! Teriak Kuti dalam hati.
Dan ia telah sarangkan beberapa pukulan keras bertenaga dalam secara beruntun.
Kali ini Kuti sadar kalau ia sudah kembali terkecoh.
Gadis Pendekar ini banyak akal bulusnya! Berfikir Kuti.
DUK! DUK! DES...! Tiga hantaman itu ternyata telah disambuti Roro, seperti gerakan yang tak disengaja.
Akan tetapi hebat akibatnya.
Paderi Kuti ini telah perdengarkan teriakan kaget.
Tubuhnya terjengkang ke belakang lima-enam tombak.
Sedang tubuh Roro Centil justru melambung ke atas.
Ketika turun lagi telah menukik seperti burung alap-alap menyambar mangsanya.
Senjata anehnya telah berputar mendesing menyambar kepala.
Sementara itu si paderi bernama Kebo Ireng telah hentikan tiupan serulingnya.
Kini melihat kakaknya dalam bahaya, ia segera hantamkan Seruling Hitamnya untuk menangkis senjata aneh itu.
THINGNG...! Terdengar beradunya dua senjata.
Kepala Kuti lolos dari serangan si Rantai Genitnya Roro Centil.
Akan tetapi sebuah tendangan kilat telah membuat Kuti kembali terlempar beberapa tombak bergulingan.
Menggeram laki-laki berkumis tebal ini.
Ia sudah segera bangkit berdiri, walau terasa dadanya sesak.
Tiba-tiba Kuti telah berikan isyarat untuk menerjang berbareng pada kedua adiknya.
Segera saja ketiga paderi palsu itu saling berlompatan menerjang Roro.
Berkele-batanlah beberapa senjata ke arah tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Namun Roro telah segera pergunakan jurus Tarikan Bidadari Mabuk Kepayang.
Segera saja terlihat tubuh gadis itu bagaikan tengah menari-nari di antara kelebatannya senjata.
Namun hebatnya, setiap serangan telah berhasil dihindarkan.
Bahkan Roro tidak cuma membisu saja, melainkan sambil perdengarkan tertawa mengikik, yang kedengarannya membuat orang jadi meremang bulu tengkuknya.
Sementara itu Mandra dalam keadaan yang amat parah.
Karena Kuti telah menyerangnya dengan serangan pukulan bertenaga dalam penuh.
Hingga lagi-lagi Mandra harus muntahkan darah segar.
Pada saat itu telah berkelebatan ke arahnya dua sosok tubuh seraya diiringi teriakan terkejut.
"Mandra...!? Oh! Kau kenapakah...?". Teriakan itu ternyata dari suara seorang gadis berbaju merah. Yang tak lain dari Roro Dampit. Sementara yang seorang lagi adalah Sentanu. Segera mereka lakukan pertolongan pada pemuda itu. Dengan menggotongnya ke tempat yang aman. Sesaat kemudian Roro Dampit telah balikkan tubuh dan berdiri memandang pada tempat pertarungan. Sepasang matanya tampak seperti menyala melihat ketiga paderi yang tengah mengerubuti Roro Centil. Segera saja ia telah gerakkan lengan mencabut senjatanya, sepasang ruyung dari kedua belah pinggangnya. Seraya berkata;
"Aku harus bantu menggempur tiga manusia durjana itu. Kau bantulah menolongnya sobat Sentanu...!". Sekejap ia telah melompat ke arah pertempuran. Dan selanjutnya sudah perdengarkan bentakan nyaring. Sepasang ruyungnya yang terdiri dari tiga ruas besi yang terikat rantai segera berkelebatan menerjang deras ke arah dua orang paderi. Kuti mendelik gusar. Nyaris saja dadanya kena terhantam. Sementara si paderi bernama Kebo Ireng telah menangkis dengan Seruling besinya. Lengan Kuti bergerak menghantam. THAK...! Paderi ini menjerit parau ketika sebuah kerikil terlebih dulu menghantam telak lengannya. Hingga pukulannya telah ia tarik kembali. Sementara Roro Dampit melengak heran, telah terdengar suara tertawa di atas pohon. Ternyata seorang pemuda berbaju putih. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Ginanjar, murid mendiang si Pendekar Bayangan Ki Bayu Seta. Mendengar suara tertawa gelak-gelak itu membuat Kuti jadi mendongak ke atas. Akan tetapi justru bandulan si Rantai Genit hinggap telak di kepalanya. THOK...! Lagi-lagi Kuti ber-teriak kesakitan. Tampak kepalanya kebulkan asap seperti uap putih. Tak ampun lagi si Paderi jangkung ini sudah berjingkrakan memegangi kepalanya, sambil berteriak-teriak. Ginanjar di atas pohon semakin gelak terbahak-bahak.
"Ha ha ha ... ha ha... Hebat kau Roro...! Kepala orang kau buat benjol sebesar telur angsa! Ha ha ha...lucu! Lucu...! Ada monyet gundul sedang menari...!". Ginanjar terpingkal-pingkal melihat Kuti yang berjingkrakan. Akan tetapi suara tertawa si pemuda itu jadi terhenti, karena sekonyong-konyong si paderi jangkung telah bergerak melompat menyerudukkan kepalanya ke batang pohon yang dinaikinya. KRAAKKK...! Batang pohon ber-derak patah yang kemudian roboh dengan suara bergemuruh. Namun Ginanjar telah segera melompat turun, dan jejakkan kaki ke tanah. Terlihat tubuh Kuti terhuyung-huyung. Kepalanya telah mengalirkan darah. Akan tetapi aneh...! Ternyata Kuti kembali menyerudukkan kepalanya ke batang pohon lainnya. Bahkan ke sebuah batu besar yang tak jauh berada di tomput itu. Berulang kali ia menumbukkan kepalanya, hingga darah bercucuran kian banyak. Entah apa yang terjadi sehingga Kuti berlaku demikian. Hingga kemudian yang terlihat adalah batok kepala Kuti yang remuk, ketika ia menghantamkan sekali lagi pada batu. Tampak tubuh laki-laki itu berkelojotan mengerikan. Lalu sesaat kemudian telah diam untuk tak berkutik lagi. Terkejut Ginanjar, juga si wanita baju merah. Yang segera lompat ke belakang. Sementara itu Roro Centil tetap sibuk bertarung. Tiba-tiba terdengar teriakan Roro yang melengking tinggi. Suara lengkingan yang mengandung tenaga dalam hebat. Membuat Lembu Alas dan Kebo Ireng jadi terpaku terkesima. Pada saat itulah tubuh Roro melesat ke atas tujuh-delapan tombak. Ketika menukik lagi telah meluncur deras senjata si Rantai Genitnya. Segera saja terdengar suara batok kepala yang pecah. PROK...! PROK...! Tak ampun lagi robohlah tubuh kedua paderi palsu itu dengan berkelojotan, tanpa bisa mengeluarkan teriakan lagi. Sekejap antaranya kedua manusia durjana itu telah tewas. Kejadian itu berlalu dengan cepat. Hingga ketika semua orang tengah terkesiap, tubuh si Pandekar Wanita Pantai Selatan tahu-tahu telah berkelebat cepat... dan sekejap telah lenyap. Tapi di kejauhan sudah terdengar suara tertawanya yang mengikik panjang. Ginanjar baru tersentak dari terkesimanya. Segera ia sudah berke-lebat mengejar seraya berteriak;
"ROROOOOOO...! ROROOOOO...!". Dan tubuh pemuda berbaju putih itu pun sekejap kemudian segera lenyap. Keadaan di tempat itu kembali sunyi. Si gadis baju merah segera tersadar dari terpakunya, ketika mendengar suara keluhan Mandra. Tampak sepasang lengan pemuda itu mencekal erat lengan Sentanu. Keadaan Mandra semakin parah. Roro Dampit segera memburunya. Terlihat Sentanu mendekat-kan sebelah telinganya pada bibir Mandra yang tampak semakin hilang suaranya. Entah apa yang dibisikkan pemuda itu pada Sentanu. Cuma yang terlihat laki-laki tampan berkumis kecil itu manggut-manggut dengan terharu. Selang sesaat setelah pemuda itu tampakkan senyumannya, segera kepalanya terkulai... Sentanu terkejut, dan mengguncang-guncangkan tubuh sahabatnya itu. Akan tetapi Mandra telah wafat. Nyawanya telah melayang, kembali menghadap Tuhan. Tinggalkan jasadnya yang telah remuk isi dadanya akibat pukulan keji si paderi palsu bernama Kuti. Roro Dampit mengusap air matanya yang telah mengalir di kedua pipinya. Betapa ia merasa kehilangan. Seolah sahabatnya itu sudah bukan orang lain lagi. Karena mereka sudah sangat akrab. Tampak Sentanu pun menatap sedih. Lengannya sudah lantas bergerak mengusap wajah pemuda itu. Yang segera sepasang matanya terpejam. Tak lama kemudian laki-laki bekas perwira Kerajaan Medang itu sudah bangkit berdiri dengan memondong tubuh sahabatnya yang sudah menjadi mayat. Dan tindakkan kaki untuk segera tinggalkan tempat itu. Di belakangnya mengikuti si gadis baju merah yang menundukkan kepala dengan melangkah gontai... Senja semakin temaram. Cahaya merah yang membersit di ujung iangit, sebentar lagi akan sirna. Timbulkan bayang-bayang yang memanjang, dari dahan-dahan pohon dan dua sosok tubuh itu... yang terus melangkah menuju arah pedesaan. Pada sebuah persimpangan jalan, terdengar ringkik seekor kuda yang segera berlari menghampiri ke arah laki-laki itu. Si gadis baju merah meraih tali kendalinya yang terjuntai di leher binatang itu. Lalu menuntunnya di belakang tubuhnya. Cahaya mentari sebentar lagi akan lenyap ... Akan tetapi mereka yakin akan adanya cahaya yang membersit lagi esok pagi. Seperti juga harapan semua makhiuk di atas bumi. Makhluk-makhluk yang rindukan kedamaian. Rindukan kesejahteraan. Walau Dunia terus berubah dengan tingkah polah dari makhluk-makhluk isinya. Namun kedamaian akan tetap didambakan, sebagai perlambang cinta kasih yang hakiki. TAMAT Scan/Ebook. Abu Keisel Juru Edit. Fujidenkikagawa
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/
Rajawali Emas Kitab Pemanggil Mayat Pendekar Rajawali Sakti Manusia Lumpur Kabut Di Lereng Tidar Karya Danang HS