Ceritasilat Novel Online

Tombak Pusaka Ratu Shima 2


Roro Centil Geger Tombak Pusaka Ratu Shima Bagian 2



Melihat keadaan yang tak menguntungkan dirinya, si Laba-laba Hitam angkat langkah seribu menyelamatkan jiwanya.

   Tombak Pusaka Ratu Shima masih tercekal ditangan-nya.

   Tampaknya dia tak mau melepaskan senjata itu be-gitu saja pada Roro.

   "Kakek gundul jangan lari...!"

   Membentak Roro.

   Lengannya bergerak lagi.

   Dan, dari telapak tangan sang dara perkasa ini membersit sinar Pelangi.

   Bagaikan sebuah se-lendang saja layaknya.

   Sinar Pelangi meluncur untuk membelit tubuh kakek tua itu.

   Akan tetapi tiba-tiba si kakek Panembahan berbalik.

   Dan putarkan tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya.

   Segera membersit segulung angin santar menghantam buyar sinar Pelangi.

   Terkejut Roro mengetahui cahaya Pe-langinya dapat dibuyarkan.

   "Dia, tak boleh lepas dari tan-ganku!"

   Membathin Roro dalam hati.

   Pada saat itu juga sebuah benda meluncur, ke arah Roro yang disambitkan oleh si Laba-laba Hitam.

   Benda itu jatuh tepat dihada-pannya sejarak dua tombak.

   Dalam herannya, Roro terke-jut ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras.

   Asap hitam membumbung.

   Untung Roro telah melompat kebelakang sejauh tiga empat tombak.

   Roro mengkhawatirkan benda itu bahan peledak yang membahayakan.

   Tapi cuma asap hitam yang membumbung dari ledakan itu.

   Dan lagi-lagi terpampang dihadapan Roro Centil seekor laba-laba Rak-sasa.

   "Keparat"

   Ilmu sihir sialan! memaki Roro.

   Kali ini dia tak biarkan makhluk itu menerkamnya seperti tadi.

   Segera dia merapal mantera.

   Dan...

   lengannya bergerak meng-hantam dengan pukulan Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis.

   Makhluk raksasa jejadian itu lenyap sirna tanpa bekas.

   Akan tetapi Roro terpaku membeliak, karena si ka-kek Laba-laba Hitam telah lenyap melarikan diri tak ketahuan kemana arahnya.

   "Setan alas! aku terkecoh! dia berhasil meloloskan diri! huh...!"

   Memaki Roro dengan kesal. Dan membanting kaki dengan wajah cemberut.

   "Huuuh! huuuh! Roro! Roro...! mengapa kau masih ju-ga bodoh dikibuli orang...?"

   Berkata Roro memaki dirinya sendiri.

   Namun tubuhnya segera berkelebatan mencari jejak si kakek itu dengan rasa penasaran.

   Akan tetapi percuma saja! si Laba-laba Hitam telah lenyap tak ketahuan kemana rimbanya...

   Dengan menggerutu panjang pendek Roro Centil melesat pergi dari tempat itu.

   Suasana malam itupun kembali hening mencekam.

   Bulan sabit menyelinap dibalik awan hitam.

   Cuaca menjadi gelap, segelap ha-ti Roro yang kehilangan jejak manusia buruannya....

   DELAPAN PAGI ITU disebuah penginapan disudut kota, seorang laki-laki berkumis dan berjenggot lebat keluar dan pintu kamar.

   Dan bergegas beranjak menghampiri seorang pelayan.

   "Mana majikanmu?"

   Bertanya dia dengan menepuk pundak sang pelayan yang tengah asyik mengelap meja.

   "Oh, ada didalam, Raden...! Apakah perlu hamba me-manggilnya?"

   Menyahut sang pelayan. Laki-laki jembros itu termenung sejurus.

   "Sebaiknya tak usahlah! aku toh sudah membayar se-wa menginap semalam dipenginapan ini. Eh, apakah kau tahu kemana arah Kota Raja?"

   Bertanya laki-laki itu.

   "Oooh, anda mau ke Kota Raja?"

   Berkata si pelayan. Suaranya agak keras, hingga membuat beberapa tetamu yang pagi-pagi sudah minum kopi diruang makan itu jadi me-noleh.

   "He? tak usah bicara keras-keras!"

   Berkata laki-laki itu.

   "Oh, maaf, maaf...! sebenarnya hamba bicara biasa. Tapi ruangan ini memang aneh!"

   Menyahut si pelayan.

   "Suara pelahan pun terdengar keras! harap anda maafkan, karena mungkin Raden tak suka...!"

   "Sudahlah! apakah kau mengetahui kemana arah yang harus kutempuh?"

   Berkata laki-laki jembros itu.

   "Ya, ya... ngng ... anda ikuti jalan didepan ini sampai membelok ke arah timur. Anda akan menjumpai jalan bercabang dua. Nah, arah yang kekanan itulah jalan me-nuju Kota Raja!"

   Sahut sang pelayan.

   "Baik, baik...! terima kasih...!"

   Ujar laki-laki itu.

   "Dan, ini untukmu!"

   Berkata laki-laki itu seraya merogoh sa-kunya.

   Dan berikan dua keping uang receh pada pelayan itu.

   Sang pelayan ucapkan terima kasih dengan wajah gi-rang.

   Laki-laki jembros itu bergegas keluar dari rumah pen-ginapan itu.

   Tanpa menoleh lagi.

   Dan tentu saja mengiku-ti petunjuk si pelayan tadi menurutkan jalan didepan penginapan, hingga membelok ke arah timur.

   Tepat dija-lan bercabang dua itu dia berhenti.

   Tampaknya seperti memikir.

   "Wah, wah aku lupa. Ke arah kiri ataukah kekanan si pelayan tadi mengatakannya!"

   Menggumam dia sambil memijit-mijit keningnya. Pada saat itu sebuah bayangan merah berkelebat kehadapannya. Ternyata seorang wanita.

   "Hihihi...kalau mau ke Kota Raja jalan kesana yang anda harus lalui, sobat Dewa Linglung..! aha! tampaknya anda bingung ataukah linglung? Tapi pantas bila anda linglung, karena bukankah julukan anda di Dewa Lin-glung?"

   Wanita baju merah sambil gerakkan lengannya menunjuk.

   Laki-laki ini jadi melengak, dengan membeliakkan matanya.

   Tentu saja dia mengenai pada wanita baju merah yang tak lain dari si Iblis Ruyung Emas.

   Dan laki-laki itu memang tak lain dari GINANJAR, yang sedang dalam penyamaran menuju ke Kota Raja.

   "He? dia telah mengetahui penyamaranku? wah, berabe, nih...I"

   Membathin Ginanjar dalam hati.

   "Benar, aku mau ke Kota Raja. Tapi aku bukan si De-wa Linglung. Dari mana anda mengetahui dengan mener-ka sembarangan?"

   Berkata Ginanjar. Pemuda jembros ini mendelikkan matanya. Akan tetapi wanita setengah usia itu bahkan mengikik tertawa dan mengerling genit. Seraya ujarnya.

   "Sudahlah, tak usah pakai pura-pura segala. Bukankah kita pernah bertemu, dan kau pernah meno-long diriku. Aku si Ruyung Emas telah mengetahui sama-ranmu sejak kau injakkan kaki dikota ini!"

   Menyahut wanita itu. Ginanjar jadi merah wajahnya.

   "Sialan! tak guna aku melakukan penyamaran lagi!"

   Membathin pemuda ini. Dan lengannya bergerak mengusap jenggot dan kumis hingga rontok mengelupas. Selanjutnya dia tertawa.

   "Hahahahaha sial dangkalan! memang nasibku sedang sial! baiklah! aku mengaku. Aku memang si Dewa Lin-glung. Tapi itu julukanku yang sudah tak kupakai lagi! aku sudah tidak linglung lagi!"

   Ujar Ginanjar.

   "Hihihihi... kau katakan kau sudah tak linglung lagi, mengapa kau masih ragu-ragu menemui jalan bercabang dua untuk menentukan arah ke Kota Raja?"

   "Hm, aku memang lupa...!"

   Ujar Ginanjar dengan tersi-pu. Ginanjar memang pernah berjumpa dengan wanita ini, dan pernah menolongnya memberikan obat gatal un-tuk kulit pada si Iblis Ruyung Emas, ketika wanita ini di "kerjai"

   Surajaya alias si Berandal Edan Mata Satu. (baca. kisah serial Roro Centil, dalam "Berandal Edan Mata Sa-tu".) "Kalau kau mau ke Kota Raja, kita bisa jalan bersama. Apakah kau tak keberatan kalau aku menemanimu?"

   Berkata si wanita dengan suara manja. Sikapnya dibuat sedemikian rupa agar Ginanjar terpikat.

   "Mau apa kau kesana?"

   "Kau sendiri ada perlu apa ke Kota Raja?"

   Balas bertanya si Iblis Ruyung Emas.

   "Hm, itu urusanku!"

   Sahut Ginanjar agak mendongkol. Saat itu tiba-tiba beberapa sosok tubuh berkelebat ke-luar dari balik semak kebun tebu dan langsung mengu-rung mereka.

   "He? apa-apaan ini? ada apa? siapa kalian! Apakah mau membegal orang?!"

   Bentak si wanita baju merah. Seraya memutar pandangan dengan wajah menampak ter-kejut.

   "He! silahkan kau menyingkir, dan tak usah turut campur urusan kami. Kami hanya mengingini laki-laki ini!"

   Berkata salah seorang. Ternyata kesemua laki-laki itu memakai topeng menutupi Wajahnya.

   "Huh! enak saja! kami akan melakukan perjalanan bersama ke Kota Raja. Kalau kawanku dikeroyok begini, masakan aku diam berpeluk tangan..?"

   Menyambut si Iblis Ruyung Emas. Kesemua laki-laki bertopeng yang men-gurung Ginanjar itu sebelas orang. Salah seorang segera memberi isyarat. Dan empat orang segera mengurung si wanita itu. Yang lainnya memecah untuk mengurung Gi-nanjar.

   "Habisi mereka!"

   Berkata dengan suara dingin salah seorang. Dan, serentak masing-masing segera menerjang dengan senjata-senjatanya yang telah terhunus.

   "Bagus! kalian rupanya inginkan aku bertindak! jangan menyesal!"

   Membentak si wanita baju merah.

   Dan...

   Trang! Trang...! Dia telah cabut senjata Ruyung Emasnya.

   Benda berkilauan itu menangkis serangan-serangan go-lok, kapak dan pedang dari keempat penyerangnya.

   Ada-pun Ginanjar tak ayal segera cabut pedangnya yang ter-bungkus kain dipinggang, Ginanjar membathin dalam ha-ti.

   "Heh! mereka pasti orang-orangnya Adipati Kiduling Kuto yang menginginkan nyawa!"

   Pertarungan seru segera terjadi. Kalangan pertarungan menjadi dua rombongan. Sementara dalam pertarungan itu, Ginanjar memikir.

   "Haiih! kedua pihak si wanita dan orang-orang ini bukan dari golongan baik-baik. Aku harus secepatnya minggat setelah merobohkan beberapa orang, urusanku tak seo-rangpun boleh mengetahui!"

   Memikir demikian Ginanjar segera robah gerakannya untuk bertarung lebih cepat.

   Tak dinyana ketujuh lawan-nya amat sukar dirobohkan.

   Mereka tampak terlatih dan membentuk barisan semacam barisan TIN, yang sukar baginya meloloskan diri.

   Sementara pertarungan empat orang melawan si Iblis Ruyung Emas telah menemui klimaxnya.

   Dua orang men-jerit ngeri, dan roboh terjungkal.

   Ternyata senjata Ruyung Emas si wanita itu telah berhasil menghantam batok kepala kedua penyerangnya.

   Melihat demikian, dua dari pengeroyoknya segera melompat membantu kedua ka-wannya yang dicecar oleh serangan-serangan ganas si Ib-lis Ruyung Emas.

   Ginanjar agak bernapas lega.

   Saat barisan TIN lawan terbuka, dia tak membuang kesempatan.

   Pedangnya ber-kelebat kekiri-kanan seraya melompat ketempat kosong dari barisan TIN itu.

   "TUTUP jalan darah!"

   Membentak salah satu dari orang bertopeng dalam barisan itu yang agaknya menjadi Ketu-anya.

   Tiga orang melompat menghadang seraya mener-jang ganas.

   Dua orang melompat kekiri, dan dua orang lagi melesat kekanan.

   Ginanjar kertak gigi dengan geram.

   Tiba-tiba ingatan Ginanjar mendadak lancar.

   Seperti diketahui, Ginanjar pernah menjadi murid dari Ketua Rimba Hijau golongan Putih.

   Satu bentakan menggeledek dari pemuda itu mendadak membuat teriakan-teriakan segera terdengar santar.

   Bagaikan kilatan-kilatan yang berkre-depan terkena cahaya Matahari, pedang Ginanjar berke-lebatan ke beberapa arah.

   Tubuh laki-laki ini bergulingan ditanah dengan gerakan aneh yang teramat cepat.

   Menu-suk dan menabas.

   Tak ampun lima orang dari barisan TIN itu terjungkal roboh.

   Dan berkelojotan bagai ayam disembelih.

   Darah menghambur berpuncratan.

   "Ha!? bagus, sobat Dewa Linglung!"

   Berteriak girang si Iblis Ruyung Emas.

   Senjatanya bergerak cepat memutar disertai kelebatan tubuhnya.

   Dan dua orang lagi terjungkal roboh.

   Semakin bernafsu si Iblis Ruyung Emas untuk membunuh habis lawan-lawannya.

   Dan, lagi-lagi seorang terjungkal roboh.

   Terperangah para penyerang bertopeng itu, melihat kehebatan si wanita baju merah.

   Sementara beberapa orang sudah melompat mundur.

   Barisan TIN ja-di kacau balau, karena lima orang kawan mereka roboh berkelojotan meregang nyawa.

   Tak ayal mereka meng-hambur melarikan diri.

   "Hihihihi... sudah kukatakan, kalian akan tahu rasa kalau mau main-main terhadap kami!"

   Tertawa mengikik si wanita.

   Lengannya bergerak kebalik pakaiannya.

   Dan...

   Serrrr! Ratusan jarum berbisa meluruk ke arah si manu-sia-manusia bertopeng.

   Dua orang terjungkal berkelojo-tan.

   Dan langsung tewas.

   Tiga orang sisanya terus mela-rikan diri dengan luka-luka.

   Beberapa jarum telah men-gena dianggota tubuhnya.

   Mengikik tertawa si Iblis Ruyung Emas.

   Akan tetapi dia terkejut ketika melihat pada Ginanjar alias si Dewa Linglung itu ternyata sudah tak nampak lagi batang hidungnya.

   "He? kemana pemuda linglung itu...?"

   Sentaknya kaget.

   Namun segera dia berkelebat untuk berlari cepat menyu-suri jalan yang menuju ke arah Kota Raja....

   Lewat tengah hari, Ginanjar telah tiba didepan pe-sanggrahan Tumenggung Satryo.

   Setelah melapor pada penjaga pintu, dia dipersilahkan menunggu.

   Sementara salah seorang dan pengawal segera masuk ke ruang Pe-sanggrahan untuk melaporkan maksud kedatangannya pada Tumenggung.

   Tak lama Ginanjar dipersilahkan ma-suk, dengan meninggalkan pedangnya pada penjaga pin-tu.

   Puncratan darah mengering pada pakaian Ginanjar agak membuat pengawal itu curiga.

   "Apakah anda baru saja mengalami pertarungan, sobat...?"

   Tanya sang penjaga.

   "Hm, benar sekali dugaanmu, nyari aku tewas! Aku perlu melaporkan hal ini pada Tumenggung."

   Berkata Ginanjar.

   "Mari kuantar!"

   Ujar penjaga itu. Lalu beranjak mengantar Ginanjar menuju ruangan Pesanggrahan. Semen-tara dari ruangan pendopo Pesanggrahan telah melang-kah keluar sang Tumenggung Satryo.

   "Selamat datang, sobat Ginanjar...! benarkah anda yang bernama itu?"

   "Tak salah, sobat Tumenggung!"

   Ujar Ginanjar seraya menjura.

   Dua orang penjaga tampak dibelakang Tumenggung ini yang segera masing-masing berdiri berjaga dikedua sisi pintu pendopo.

   Sementara Pengawal tadi segera beranjak kembali kepenjagaan.

   Sang Tumenggung segera memper-silahkan Ginanjar masuk keruang dalam.

   Melihat tak ada sikap yang mencurigakan kedua prajurit pengawal itu nampak menarik napas lega.

   Demikianlah.

   Ginanjar segera membentangkan! prihal sang Adipati Kiduling Kuto yang telah membawa mayat buronan Kerajaan Mataram bernama Wira Pati itu tanpa membunuhnya.

   Dan dia menjadi saksi sendiri akan apa yang telah dilihatnya.

   Tentu saja Ginanjar tak lupa menceritakan tentang Roro Centil, yang mengatakan mencuri-gai sang Adipati Kiduling Kuto.

   Hingga dia berniat menyelidiki ke gedung Kedipatian.

   Dalam bercakap-cakap itu terdengar suara ribut-ribut diluar.

   Dua prajurit pengawal tampak berlari keluar un-tuk melihat.

   Apakah sebenarnya yang tengah terjadi di-pintu pesanggrahan Ketumenggungan Itu? Seorang wani-ta berbaju merah tampak mengotot masuk ke Pesanggra-han pada dua penjaga pintu.

   "Kami harus melaporkan dulu pada Kanjeng Tumeng-gung! Anda tak bisa sembarangan saja masuk! memben-tak salah seorang dari penjaga.

   "Hihihi... dimanapun aku berbuat bebas! tak usah pakai laporan segala macam. Aku adalah sahabat laki-laki yang tadi bertamu kemari. Aku tak kan mencari keribu-tan...!"

   "Ya, ya...! tapi kami harus melaporkan dulu. Dan anda harus meninggalkan disini senjata apa saja yang menjadi milik anda!"

   Agaknya penjaga telah mengetahui dan telah menduga kalau wanita baju merah itu adalah orang kaum Rimba Persilatan. S E M B I L A N "Suruh dia masuk, pengawal....!"

   Terdengar suara dari dalam ruang pendopo. Dua orang prajurit yang barusan keluar untuk mengambil tindakan, segera menahan diri mendengar suara sang Tumenggung. Bahkan Tumeng-gung Satryo dan Ginanjar telah berada didepan ruang pe-sanggrahan.

   "Hihihi... apa kataku! kalian tak perlu khawatir, bu-kankah Tumenggung kalian pun telah mengizinkan aku masuk...?"

   Berkata si wanita dengan mencibir.

   "Huh! silahkan lewat! Tapi awas. Tapi awas! jangan co-ba-coba anda membuat keonaran dimarkas kami!"

   Men-gancam sang pengawal.

   Wanita baju merah ini melangkah santai tanpa menghiraukan kata-kata pengawal itu.

   Dua orang prajurit yang baru datang itupun memberi jalan.

   Akan tetapi tertegun dia ketika tahu-tahu mendengar su-ara tertawa mengikik dihadapannya.

   "Hihihi... Iblis Ruyung Emas! ada perlu apakah kau kemari? Tumenggung dan laki-laki itu sedang ada urusan denganku! Ku-kira kau bisa berkunjung kemari lain waktu saja...!"

   Sekejap wanita ini jadi hentikan tindakannya.

   Dan sepasang matanya membeliak, karena tahu-tahu dihadapannya te-lah berdiri sesosok tubuh semampai.

   Berpinggang ramp-ing.

   Lekuk liku tubuhnya menandakan bahwa sosok tu-buh dihadapannya adalah seorang perawan asli yang amat cantik luar biasa.

   Siapa lagi kalau bukan RORO CENTIL, sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.

   "Hah!?"

   Kka... kau... nno... nona Pendekar Ro... ro Centil...?"

   Tergagap si Iblis Ruyung Emas dalam tersentaknya karena terkejut.

   "Benar! sukurlah kalau sudah tahu!"

   Menyahut Roro. Sementara Ginanjar jadi berseru kaget juga bergirang.

   "Roro...! Haiih!? kau sudah berada disini?"

   Teriaknya. Sedangkan sang Tumenggung Satryo cuma terperangah terkejut, juga bercampur girang dan kagum. Hatinya membathin.

   "Ah, Pendekar perkasa ini sungguh bagaikan Malaikat saja. Tahu-tahu sudah berada disini. Dari mana masuknya?"

   Adapun si Iblis Ruyung Emas jadi serba salah.

   Dia pernah melihat Roro Centil, ketika dalam pertarungan melawan si Berandal Edan Mata Satu alias Sura-jaya beberapa hari yang lalu.

   Hatinya agak jerih dengan sang Pendekar Wanita ini.

   Apa lagi kedatangannya adalah hanya untuk mengejar dan mendekati Ginanjar.

   Akhirnya dengan masygul dia "ngeloyor"

   Lagi, keluar dari gedung Ketumenggungan itu.

   "Lho? mengapa balik lagi?"

   Bertanya salah seorang pengawal penjaga pintu, seraya memberi jalan.

   Wanita baju merah ini cuma mendelikkan matanya dengan men-dongkol.

   Akan tetapi dia tak lakukan tindakan apa-apa.

   Selain bergegas meninggalkan tempat itu.

   Entah kalau tak ada Roro Centil, mungkin si penjaga itu sudah kena tamparannya.

   "Aku telah menawan tiga orang prajurit Kadipaten, sobat Satryo. Mereka adalah saksi-saksi nyata yang menge-tahui perbuatan jahat Adipati Kiduling Kuto. Adipati itu memang bekerja sama dengan seseorang dari tokoh kaum Rimba Hijau golongan Hitam yang berjulukan si Laba-laba Hitam....!"

   Berkata Roro.

   Dia telah tuturkan hasil pe-nyelidikannya ke gedung Kadipaten dan banyak mengeta-hui rahasia kejahatan Adipati Kiduling Kuto, yang dengan kelicikannya berhasil mengelabui orang-orang Kerajaan termasuk Raja.

   Bagi Roro amatlah mudah untuk menyeli-dik keadaan dikediaman Adipati itu karena Roro memper-gunakan ajian halimunan, hingga tak nampak oleh mata biasa.

   Terangguk-angguk Tumenggung Satryo mendengar pe-nuturan Roro.

   Satryo adalah sudah bersahabat dengan Roro Centil sejak laki-laki ini menjabat sebagai seorang Senapati di Kerajaan MATSYAPATI yang telah punah.

   "Jadi otak dari pencurian harta benda Kerajaan Mataram itu tak lain dari si Laba-laba Hitam!"

   Tegaskan Roro Centil pada Satryo.

   "Wira Pati yang bekas Senapati yang dipecat itu telah dikendalikan kakek tua sakti dari golongan Hitam itu! Tujuannya adalah untuk mengangkangi Tombak Pusaka Ratu Shima, yang kini berada ditangan-nya!"

   "Wah! kalau begitu tugas kita kaum Pendekar masih panjang dan cukup berat! Kita harus menyelamatkan benda Pusaka itu yang telah menjadi milik Kerajaan Ma-taram..i"

   Berkata Ginanjar.

   "Ya, ya..! akan tetapi hal ini juga menjadi tugas kami sebagai abdi Kerajaan untuk merampas kembali benda pusaka itu!"

   Ujar Satryo.

   "Benar! semua ini menjadi tugas kita, sebagai rakyat yang berlindung di bawah panji kebesaran Kerajaan Mataram. Tanpa merebut kembali benda pusaka itu akan merusak "citra"

   Keagungan Kerajaan Mataram. Juga dikhawatirkan si Laba-laba Hitam menyalah gunakan benda Pusaka itu untuk kepentingan pribadinya!"

   Ujar Roro dengan serius.

   Akhirnya perundingan itupun berakhir dengan sing-kat.

   Tumenggung Satryo segera akan mengadukan hal itu pada Maha Patih Cakra Bhuana, yang akan meneruskan pada Raja.

   Sedangkan Roro dan Ginanjar segera meminta diri pada Tumenggung muda itu untuk meninggalkan Ko-ta Raja....

   Tampaknya kemelut di Kerajaan Mataram agak mere-da, dengan ditangkapnya Adipati Kiduling Kuto.

   Dan di-beri hukuman sesuai dengan kejahatannya.

   Walaupun sebenarnya masih dalam ketidak puasan, karena salah satu dari benda Pusaka Kerajaan Mataram belum dikete-mukan.

   Yaitu Tombak Pusaka Ratu Shima, yang menjadi benda sejarah buat Kerajaan Mataram.

   Seperti dikatakan Roro Centil bukan karena benda pusaka itu saja yang menjadi masalahnya.

   Namun tanpa diketemukannya kembali benda Pusaka itu akanlah merusak "citra"

   Dan keagungan Kerajaan Mataram.

   Seolah tak becus menjaga pusaka-pusaka Istana.

   Untuk itulah, dengan diam-diam orang-orang Kerajaan dan kaum pendekar pembela keadi-lan telah sama-sama melacak kemana lenyapnya benda Pusaka itu.

   Terutama sekali adalah manusianya yang kini menguasai Tombak Pusaka Ratu Shima itu.

   Yaitu si Laba-laba Hitam.

   Karena dikhawatirkan si manusia dari kaum Rimba Hijau golongan hitam itu akan mempergunakan untuk kepentingan pribadinya.

   Hari itu adalah pertengahan tahun sejak ditangkapnya Adipati Kiduling Kuto.

   Cuaca dalam beberapa bulan yang telah terlewat itu agak membaik.

   Petani menggarap sawah seperti biasa.

   Kerbau melenguh membajak sawah yang diolah petani.

   Suara seruling mengalun merdu disisi-sisi bukit yang menghijau.

   Tampaknya suasana di wilayah Kerajaan Mataram seolah damai tenteram.

   Marilah kita melihat keatas puncak sebuah gunung bernama Argasomala.

   Seorang kakek berkulit putih, ber-jenggot panjang terurai dengan kumis bagaikan misai yang putih bagaikan perak.

   Tampak duduk disebuah pondok sederhana.

   Pondok satu-satunya yang terpencil dipuncak Argasomala.

   Kakek inilah yang bergelar Ki Ku-tut Praja Setha.

   Seorang tokoh golongan Putih dari kaum Rimba Hijau yang berilmu tinggi.

   Peristiwa menggemparkan ketika munculnya sebuah Kerajaan Setan yang ber-nama Kerajaan Pugar Alam ditengah Telaga Berkabut, te-lah menewaskan banyak tokoh-tokoh Rimba Hijau golon-gan Putih.

   Dalam upaya menghancurkan Istana Kerajaan Pugar Alam ditengah Telaga yang misterius hampir seta-hun yang silam, dan telah membuat kakek sakti ini kehi-langan muridnya.

   Ya! murid yang amat dikasihinya yang bernama Wibi-sana.

   Alias si Penunggang Kuda Setan (baca.

   Misteri Tela-ga Berkabut).

   Kini orang tua sakti ini tampaknya sudah enggan berkecimpung di Rimba Hijau.

   Dia cuma duduk untuk bersemadhi di pondok sederhananya.

   Menantikan usia tuanya yang semakin lanjut.

   Tak dinyana dalam ketenteraman itu, ternyata masih ada manusia jahat yang datang menyatroni kepuncak Ar-gasomala yang tenang dan damai itu.

   Sesosok bayangan hitam berkelebatan menaiki puncak gunung yang sunyi itu.

   Sekejap kemudian, sosok tubuh itu telah tiba diatas.

   Dialah si kakek jubah hitam yang berjulukan si Laba-laba Hitam.

   Ditangannya tampak tercekal sebuah tombak yang juga berwarna hitam legam.

   Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima.

   Sepasang mata kakek berusia tiga perempat abad ini jelalatan memandang tempat sekitar itu yang sunyi men-cekam.

   Saat mana angin berhembus keras menerpa jubahnya.

   Kakek ini kerutkan keningnya.

   Tiba-tiba terdengar suara pelahan bersuara dengan nada parau dari dalam pondok sederhana itu.

   "Siapakah yang datang mengusik ketenanganku? ha-rap segera perkenalkan diri..."

   Tampak sang kakek seperti terkejut. Akan tetapi kembali wajahnya berubah dingin membesi.

   "Hehehe... aku si tua Ganda Rukmo datang berkun-jung kepondokmu, Pendekar tua bangka keparat! Lebih dari lima belas tahun, aku tak pernah berjumpa dengan-mu! Tak kulihat ada Pesanggrahanmu?"

   Menyahut kakek ini dengan suara menggembor serak, lantang.

   "Heh, tua bangka Edan! kau masih hidup rupanya? Hahaha.... pesanggrahanku telah hancur musnah dibakar tiga orang muridku yang murtad! aku membangunnya kembali dengan mendirikan pondok buruk ini! Ada apa-kah kau mencariku? Apakah sudah setua ini kau masih juga mau mengejar keduniawian?"

   Menyahut suara dari dalam. Dan tahu-tahu Ki Kutut Praja Setha yang mengenakan jubah putih bertambalan telah muncul didepan pintu pondok.

   "Heheheheh... dugaanmu tak salah, tua bangka kepa-rat! aku ingin menjagoi sekolong langit ini. Kau lihatlah tombak Pusaka ditanganku ini! Dengan senjata andalan-ku ini mustahil kalau kau mampu bertahan dari sembilan jurus seranganku! Hehehe ..hehehe..."

   Mengekeh tertawa si Laba-laba Hitam dengan jumawa.

   Tampaknya dia amat berambisi sekali dengan cita-citanya yang boleh dibilang gila itu.

   Ki Kutut Praja Setha tampak kerutkan keningnya.

   Alisnya bergerak menyatu.

   Dan agak tersentak kaget me-lihat senjata tombak hitam itu.

   "Ah!? kalau tak salah itulah Tombak Pusaka Ratu Shima. Tombak sakti yang pernah menggemparkan Rim-ba Persilatan. Terakhir bukankah benda pusaka itu telah dikuasai si Dewa Tengkorak, yang menurut berita telah lama tewas...,! Benda pusaka itu menurut berita beberapa tahun yang silam telah menjadi milik Kerajaan Mataram. Dan dijadikan benda pusaka..."

   Membathin Ki Kutut Praja Setha.

   "Kau kenal Tombak Pusaka ini, tua bangka keparat!"

   Berkata sinis Si Laba-laba Hitam.

   "Ya! aku mengenal. Bukankah itu Tombak Pusaka Ra-tu Shima?"

   "Heheheh.... benar! matamu masih jeli juga!"

   "Lumayan, sobat tua bangka gila! Kalau benda pusaka itu bisa berada ditanganmu. tentu mudah sekali aku me-nerkanya. Pasti kau telah mencurinya dari ruangan ben-da-benda Pusaka di Istana Kerajaan Mataram...!"

   "Hehehe.... tidak salah! mengenai urusan itu aku tak perlu bentangkan padamu! kedatanganku adalah untuk meminjam Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam yang kudengar pernah dimilikimu, juga tentunya masih berada ditanganmu! berkata si Laba-laba Hitam.

   "Ganda Rukmo...! tidak sadarkah bahwa kau sudah tua bangka dan sudah dekat Uang kubur? mengapa ma-sih mengurusi segala macam ilmu? Haiih! aku telah me-musnahkan kitab pusaka itu! Aku tidak lagi memiliki apa-apa. Kecuali aku sedang mendekatkan diri pada Yang Maha Esa..!"

   Menyahut Ki Kutut Praja Setha.

   "Omong kosong! Siapa percaya ucapanmu! Heh! jauh-jauh aku datang kemari, aku tak mau datang dengan per-cuma! Apakah kau bicara benar?"

   Membentak dingin si Laba-laba Hitam yang ternyata bernama Ganda Rukmo itu.

   "Hm, untuk apa aku berdusta? Sudahlah, Ganda Rukmo, kukira sebaiknya kau mulai menyadari akan apa yang menjadi ambisimu itu! Kesaktian takkan ada batas-nya. Karena diatas langit masih ada langit. Juga perlu kau selami apakah hasilmu selama ini? Apakah cuma me-lulu mengumbar napsu yang tak ada batasnya? Tiada ke-hidupan yang kekal dialam Fana ini. Kembalikanlah ben-da pusaka itu kepada Kerajaan Mataram. Dan kukira dengan kau kembali kewilayahmu di Perairan Tenggara, disana cukup membuat kau tenteram menghabiskan sisa-sisa usia tuamu!"

   Akan tetapi kata-kata Ki Kutut Praja Setha telah membuat si Laba-laba Hitam ini jadi merah mukanya bagai kepiting direbus. Bahkan dia amat mera-sa terhina dengan nasihat baik bekal sahabat yang sejak muda memang selalu sering bertengkar itu.

   "Kutut Praja Setha! aku bukannya bocah kecil yang kau nasihati sedemikian rupa. Kau benar-benar amat menghinaku! Susah payah aku dapatkan Tombak Pusaka ini, mengapa harus kukembalikan lagi ke Istana Kerajaan Mataram? Sudahlah tak perlu kau berkhotbah macam-macam didepanku! Sekali lagi kukatakan, yang kuperlu-kan adalah Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam ditan-ganmu. Aku mau meminjamnya barang setahun, atau se-tengah tahunpun cukuplah! Dimana kau simpan benda itu? Merahlah wajah Ki Kutut Praja Sheta. Akan tetapi ka-kek jangkung ini masih bisa menahan diri.

   "Ganda Rukmo! seperti kukatakan tadi, Kitab Pusaka itu telah kumusnahkan. Sudah kubakar menjadi abu sejak hampir setahun yang lalu! Apakah kau masih tak mempercayai?"

   "Hm, lima belas tahun kita tak berjumpa, siapa tahu kau kini pandai ngibul. Karena buktinya kau menasihatiku macam-macam...! Kalau aku memeriksa kedalam pondokmu apakah kau mengizinkan?"

   Berkata Ganda Rukmo.

   "Aku tak pernah dihina sedemikian rupa oleh seorang manusiapun, kecuali seorang tua bangka gila semacam-mu! Aku sudah tak mencampuri urusan dunia Rimba Hi-jau lagi, Ganda Rukmo. Pergilah! jangan mengganggu ke-tenteramanku...!"

   SEPULUH "Hehehe ...

   kecuali kau mampu menahan sembilan ju-rus serangan tombakku, barulah aku menyingkir dari si-ni.

   Akan tetapi bila kau tak sanggup, jangan kau sesalkan kalau Tombak Pusaka Ratu Shima ini menghirup darah-mu! Kecuali kau berikan Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam ...!"

   Berkata dingin Ganda Rikmo yang tampaknya benar-benar tak mempercayai kata-kata Ki Kutut Praja Sheta.

   "Astaga ...! kau benar-benar manusia yang keterlaluan, Ganda Rukmo!"

   Memaki gusar Ki Kutut Praja Sheta. Agaknya kakek ini sudah tak kuat menahan kesabaran-nya lagi. Sementara hatinya memikir.

   "Heh!? jelas kalau si Ganda Rukmo ini sukar diinsyafkan dari jalan sesat! Aku telah gagal untuk menyingkirkan diri dari kemelut Rimba Hijau. Biarlah! kukira inilah jalan terakhir buat aku turut membantu menegakkan ketentraman manusia. Karena sudah dapat dipastikan si Ganda Rukmo ini akan jadi momok yang bakal meyebar kericuhan! Apa lagi dengan adanya Tombak Pusaka Ratu Shima ditangannya ...! Ka-lau aku berhasil menumpasnya saat ini, aku termasuk sudah menyelamatkan manusia dari ancaman kematian. Juga punya jasa yang kusumbangakan pada Kerajaan Mataram. Karena aku yakin dia pasti menjadi buronan Kerajaan Mataram, dengan mencuri benda Pusaka Kera-jaan itu...!"

   Berpikir demikian Ki Kutut Praja Sheta, diam-diam kumpulkan kekuatannya lahir bathin untuk siap meng-hadapi segala kemungkinan.

   Jelas pertarungan takkan dapat terhindar lagi.

   Dan Ki Kutut Praja Sheta telah siap untuk menyambungkan nyawa.

   Nyawa tuanya, yang masih cukup berharga.

   Melihat pendekar tua itu telah siap dengan kuda-kudanya, Ganda Rukmo tertawa sinis.

   Dia yang sejak tadi telah siap diri untuk bertarung, tak ayal segera mulai membuka serangan.

   "Hehehe ... kau jaga serangan pembukaanku! Hati-hati dengan mata tombak Pusaka ini. Ujungnya telah kuren-dam dengan racun!"

   Memperingati Ganda Rukmo.

   WHUUT! WHUUT! WHUUT ....Serangkaian serangan hebat telah dilancarkan.

   Senjata Tombak Pusaka itu syi-urkan hawa dingin yang menembus tulang.

   Meluncur ke-tiga jalan darah kematian Ki Kutut Praja Setha ...

   Serangan beruntun ini cukup membuat si kakek yang pernah berjulukan si Pendekar Pedang kayu ini agak ter-kesiap.

   karena hawa racun yang bersyiur terasa menye-sakkan pernapasannya.

   Namun sebagai jago kelas tinggi yang pernah meng-gemparkan Rimba Persilatan, Ki Kutut Praja Sheta dapat mematahkan serangan-serangan ganas itu.

   Jurus-jurus mengelakkan diri yang dipergunakan serta hawa murni yang telah dihimpun disekujur kulit tubuh, mampu me-nahan rembesan hawa racun dari Tombak Pusaka Ratu Shima.

   Bahkan kakek kosen ini balas lakukan serangan menghantam dengan tasbih hijaunya.

   Sejak mengasing-kan diri dari kemelut Rimba hijau kakek ini memang tak pernah ketinggalan dengan untaian tasbih ditangannya.

   Si laba-laba Hitam ini agak tersentak kaget, karena ternyata tasbih dari batu giok itu mampu mengusir hawa racun dari mata tombaknya.

   Bahkan kakek tua renta itu masih punya kelincahan untuk menghindari serangan-serangannya.

   "Hehehe... ternyata kau masih punya senjata andalan, tua bangka keparat! Kemana Pedang Kayumu? mengapa tak kau pergunakan?"

   Berkata sinis Ganda Rukmo.

   Dengan satu sontekan mata pedangnya, serangan tasbih hi-jau telah ditarik kembali oleh Ki Kutut Praja Sheta.

   Kini Tombak Ratu Shima mulai dimainkan dengan ju-rus-jurus berikutnya.

   Hawa racun semakin menggebu menyambar ke arah Ki Kutut Praja Setha karena dibaren-gi dengan tiupan ke arah kakek itu.

   Sementara serangan-serangan mendadak dari tombak semakin gencar menga-rah leher dan setiap kulit tubuh lawan.

   Melihat serangan Ganda Rukmo semakin hebat, ter-paksa kakek puncak Argasomala ini segera robah gera-kannya.

   Dan mainkan jurus-jurus dari Kitab Pusaka Pu-lau Tengkorak Hitam.

   Kini dari tubuh kakek ini keluar uap putih.

   Serangan tasbihnya menindih serangan lawan.

   Akan tetapi kelema-han si kakek jangkung ini adalah dia tak mau mengada-kan benturan tasbih hijaunya dengan mata tombak la-wan.

   Dia masih sangsi apakah tasbihnya mampu meng-hadapi Tombak Pusaka Ratu Shima itu.

   Hal mana adalah amat menguntungkan si Laba-laba Hitam.

   Kini jurus keempat mulai dilancarkan.

   kekuatan tenaga dalam yang disalurkan semakin diperhebat mem-buat sambaran tombak semakin menggiriskan hati.

   Hawa racun seperti menempel dikulit tubuh kakek ini.

   Sayang, Ganda Rukmo tak mengetahui kalau Ki Kutut Praja Sheta banyak punya jurus lain yang luar biasa.

   Tubuhnya mendadak melesat keudara.

   Lengannya meng-hantam batok kepala lawan, ketika sekonyong-konyong menukik lagi.

   BHLARR! Tanah menyemburat keudara.

   Debu mengepul.

   Rant-ing dan semak terbongkar.

   Hantaman pukulan mematikan itu nyaris membuat batok kepala Ganda Rukmo hancur remuk, kalau dia tak cepat jatuhkan tubuh bergulingan.

   Sementara tangannya meraih benda yang selalu terse-lip dibalik jubahnya.

   Dan ...

   dibantingkan benda itu kedepan Ki Kutut Praja Sheta yang telah kembali meluncur untuk lakukan han-taman keduanya.

   BHUSSS! Asap hitam mengepul.

   Dan tubuhnya lenyap terbung-kus.

   Kakek puncak Argasomala kertak gigi dengan gusar.

   Dia tahu kalau Ganda Rukmo telah mulai main licik.

   Benar saja! tahu ditempat itu telah muncul seekor La-ba-laba Raksasa.

   Terperangah Ki Kutut Praja Sheta.

   Ka-rena dia tak menyangka kalau Ganda Rukmo telah memi-liki ilmu sihir hitam sedemikian rupa.

   Namun cuma sekejap dia terkejut.

   Segera melompat mundur.

   Akan tetapi saat itu Ganda Rukmo telah berada dibe-lakangnya.

   Dalam keadaan tubuh tak terlihat.

   karena dia mempergunakan ajian Halimun.

   Tombak Pusaka Ratu Shima telah dilancarkan dengan kecepatan kilat.

   Dan ...

   Bless! Tersentak kaget kakek tua ini.

   Matanya membeliak ka-rena terkejut.

   Sadarlah dia kalau telah kena bokongan lawan.

   Namun terlambat sudah! kakek ini balikkan tu-buh.

   Sementara tombak itu telah kembali disentakkan si pemiliknya.

   Darah menyemburat.

   Memancur dari luka di punggung yang telah menembus sampai ke dada.

   "Iblis pengecut! kau ... kau..."

   Wajah kakek ini tampak membesi.

   Betapa geram dia terhadap Ganda Rukmo sukar dibayangkan.

   Lengannya mengepal mencengkeram tasbih hijau ditangannya hingga berderak hancur.

   Dan, dengan kekuatan terakhir dia ge-rakkan tangannnya melontarkan hancuran tasbih itu dengan kecepatan kilat.

   Terdengar jeritan parau si Laba-laba Hitam dihada-pannya, yang seketika menampakkan dirinya lagi.

   Apa-kah yang terjadi? Ternyata kakek tua berjubah hitam itu tengah ter-huyung menutupi kedua matanya, yang mengalirkan da-rah.

   Meraung-raung Ganda Rukmo dengan berloncatan tak tentu arahnya.

   Sementara si makhluk ciptaan berbentuk Laba-laba Raksasa itu sekejap telah lenyap lagi karena tiada lagi pengaruh dari si kakek itu.

   Sedangkan Ki Kutut Praja Sheta tak dapat mempertahankan diri lagi.

   Seketika tubuhnya ambruk kebumi.

   Setelah beberapa kali menggeliat.

   Kakek perkasa itu-pun lepaskan nyawanya dengan kulit tubuh berubah hi-tam.

   Darah yang juga berwarna hitam menggelogok dari lukanya.

   Ternyata dia telah terkena racun yang teramat hebat, disamping luka parah yang tak memungkinkan baginya untuk bisa hidup.

   Sementara itu Ganda Rukmo masih meraung-raung menekap wajahnya.

   Ternyata sepasang matanya telah bu-ta, tak dapat dipergunakan lagi.

   Tertatih-tatih dia me-rayap kesana kemari.

   Tangannya menggapai mencari tombak Pusaka Rati Shima yang terlepas dari tangannya.

   Keadaannya sungguh amat mengharukan.

   Sayang! dia tak tahu lagi dimana adanya benda itu.

   Bahkan kakinya melangkah mendekati pondok dipuncak Argasomala itu.

   Pondok Ki Kutut Praja Sheta yang me-mang tak jauh dari tempatnya bertarung.

   Saat itu sesosok tubuhnya bertopeng hitam berkelebat ketempat itu.

   Gerakannya amat ringan.

   Cepat sekali len-gannya menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima yang tergeletak ditanah.

   Detik selanjutnya sudah melesat lagi dari atas puncak gunung itu.

   Dan lenyap dalam sekejap.

   Dua sosok tubuh terlihat pula bermunculan ditempat itu.

   Akan tetapi cuma sekejap.

   Karena segera salah seo-rang berteriak.

   "Cepat kejar! Kita keduluan orang ...!"

   Dan dua sosok tubuh itu berkelebatan menuruni pun-cak Argasomala, mengejar sosok tubuh yang telah lebih dulu menyambar benda pusaka itu. Tersentak si Laba-laba Hitam ini. Dengan menggerung keras lengannya menghantam kedepan seraya memben-tak.

   "Manusia-manusia keparat! kalian telah mencuri Tombak Pusakaku...?"

   BLARRRR! Puncak bukit itu bagaikan dilanda lautan prahara yang seketika membuat balang-batang pohon berderak patah. Semak menyibak, dan menghambur beserpihan. Akan tetapi sosok-sosok tubuh tadi lelah lenyap dari puncak gunung itu.

   "Manusia-manusia keparat! kembalikan Tombak Pusa-kaku...! menggembor keras si kakek ini. Tiba-tiba tubuhnya melesat kedepan. Lengannya bergerak menghantam kesana-kemari. Keadaan disekitar tempat itu jadi rusak binasa diamuk kakek yang kalap ini. Bahkan pondok Ki Kutut Praja Shetapun rusak binasa. Keadaan Ganda Rukmo tak lebih bagaikan manusia setan yang mengerikan. Dengan wajah penuh mengalir-kan darah. Mulut meyeringai. mengamuk menghantam apa saja disekelilingnya. Rasa jengkel membuat dia mengumbar kemarahan se-jadi-jadinya. Akhirnya dia keprak kepalanya sendiri dengan kedua lengannya. Menjerit parau kakek yang telah kehilangan akal warasnya ini. Suara berderak keras terdengar. Kakek itu roboh ketanah dengan batok kepala hancur. Dan tewas seketika. Sesaat puncak Argasomala dicekam kesu-nyian. Sungguh satu pemandangan yang menyedihkan, karena sekejap saja puncak yang bersih, aman, tenang dan damai itu kini bagaikan baru saja dilanda badai taufan yang mengamuk. Dua mayat terkapar ditempat itu. Manusia-manusia dijagat ini memang aneh! Dunia Rimba Hijau juga aneh! Angin utara bertiup sepoi membauri puncak Argaso-mala dengan bau anyirnya darah. Ternyata pula Tombak Pusaka Ratu Shima telah menjadi penyebab penghantar nyawa dua manusia dipuncak gunung yang sunyi itu. Sementara Matahari agak meredup, ketika awan hitam melintas. Puncak Argasomala semakin lengang...! Teramat len-gang... S E B E L A S SESOSOK TUBUH berkelebat tiba dipuncak gunung yang sunyi itu. Ternyata seorang gadis muda yang berwa-jah rupawan. Dipunggungnya tampak terselip sebuah se-ruling. Dialah si Seruling Gading adanya. Gadis yang mengenakan baju warna ungu ini tampak tatapkan ma-tanya memandang kesekitar tempat itu. Dan terbenturlah pada sosok tubuh yang telah terkapar jadi mayat itu. Wajahnya menampakkan terkejut. Lalu melompat ringan menghampiri mayat Ki Kutut Praja Setha. Kemudian me-lompat lagi untuk melihat mayat satunya lagi. Sepasang matanya semakin membelalak. Mulutnya ternganga. Dan ...

   "Guru...!?"

   Terdengar suaranya tersendat dikerongkon-gan. Seketika dia telah duduk bersimpuh dihadapan je-nasah kakek tua itu.

   "Guru...! Ah, tak dinyana kau akan tewas! Kalian pasti bertarung hebat. Kau pernah menyelamatkan nyawaku, Guru...! Aku belum dapat membalas budimu, kau telah berangkat terlebih dulu..."

   Terdengar suara gadis itu menggumam lirih. Dan setitik air bening tersembul disudut matanya. Lama dia tercenung menundukkan kepala. Tapi tak lama kemudian tampak dara ini bangkit berdiri. Mengusap air matanya.

   "Sudahlah, adik manis..! mengapa harus menangisi orang yang sudah tiada? Pandanganlah kedepan! Ta-tapkan matamu kehari esok yang lebih baik! Dunia ini cuma sandiwara! Agaknya takdir sudah mengharuskan gurumu itu mati membunuh diri!"

   Satu suara halus tiba-tiba terdengar dibelakangnya, Gadis ini menoleh. Dan tertegun dia karena telah melihat siapa adanya yang berdiri menatapnya."

   "Kakak Pendekar Roro Centil...!?"

   Ah, sejak kapan kau kemari?"

   "Hihihihi ... sejak terjadi pertarungan kedua jago tua ini. Akan tetapi aku terlambat datang. Ki Kutut Praja Sheta telah terkena hunjaman tombak pusaka Ratu Shima ditangan gurumu. Dan belakangan aku melihat dia men-gamuk hebat karena kedua matanya terluka terkena sambitan tasbih Ki Kutut Praja Sheta. Seseorang lelah menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima yang menggele-tak ditanah, lalu melarikan diri. Saat aku mau mengejar, dua sosok tubuh muncul lagi, dan mengejar orang yang melarikan benda pusaka itu. Aku segera memburunya. sayang, pencuri itu tak ketahuan kemana rimbahnya. Ke-tika aku sedang melacak jejaknya, kudengar suara gaduh dipuncak gunung ini, Kudapati gurumu tengah menga-muk, Dan akhirnya dia membunuh diri dengan menghan-tam kepalanya dengan kedua tangannya..!"

   Tutur Roro.

   "Dia adalah orang yang telah menyelamatkan nyawa-ku, kakak Pendekar Roro...!"

   Ujar Seruling Gading dengan masygul.

   "Yah, kau memang berhutang budi padanya. Akan te-tapi gurumu ini adalah orang buronan Kerajaan Mataram! Tentu saja penjelasan Roro itu membuat di gadis ter-sentak kaget.

   "Sudahlah! nanti aku ceritakan hal-ikhwalnya. Kita ba-ru berjumpa lagi sejak kejadian di CIPATUJAH, adik yang baik! Banyak hal yang akan kutanyakan padamu. Juga tentunya aku akan ceritakan mengenai suaminya SAMBU RUCl ,..!"

   Ujar Roro yang segera bicara sebelum Seruling Gading banyak ajukan pertanyaan.

   "Marilah kita semayamkan kedua jenazah ini ...!"

   Sambung Roro dengan cepat.

   "Oh baik, baik...! girang sekali aku berjumpa dengan anda kakak Pendekar Roro..."

   Sahut Seru ling Gading dengan amat hormat.

   Dia memang amat menyegani pada Roro.

   Apalagi mengingat akan nasib Sambu Ruci, ingin sekali dia mendengar beritanya.

   Seperti pernah dikisahkan pada judul.

   Duel dan Keme-lut di Cipatujah; Seruling Gading telah menikah dengan Sambu Ruci alias si Bujang Nan Elok atau si Pendekar Selat Karimata.

   Akan tetapi adanya kemelut di Cipatujah membuat pernikahan mereka yang telah sempat diresmi-kan itu jadi berantakan karena ulah dari ayah angkatnya sendiri.

   Demikianlah, mereka segera menggali lubang untuk penguburan kedua jenazah.

   Selang tak lama kedua jena-zah mulai ditimbun.

   Dan menjelang gelincir matahari pe-kerjaan itupun selesai sudah.

   Roro mengajak Seruling Gading untuk segera meninggalkan tempat itu.

   Ditepi sungai mereka berhenti.

   Setelah mandi, kedua dara itu tampak duduk saling berhadapan di bawah sebatang po-hon.

   Sambil mengeringkan rambut, Roro mulai bercerita mengenai kejadian di Kota Raja.

   Mengisahkan semua ke-jadian di Kota Raja.

   Mengisahkan semua kejadian dari awal hingga akhir.

   Sementara Seruling Gading menden-garkan dengan serius.

   Kini giliran Seruling Gadinglah yang harus bercerita pada Roro.

   Begitulah.

   Dara itu segera cerita kejadian, sejak dia loloskan diri dari sekapan ayah angkatnya di Pesanggrahan Cipatujah, yang ternyata dikuntit oleh dua orang murid sang ayah angkat.

   Terjadilah pertarungan, karena Serul-ing Gading mau diperkosa oleh kedua manusia brutal itu.

   Dalam pertarungan itu seseorang yang tak diketahuinya diam-diam telah membantunya bertarung.

   Hingga kedua murid ayah angkatnya tewas.

   Sayang dia tak mengetahui siapa yang telah menolongnya.

   Namun Seruling Gading telah putus asa.

   Dalam keadaan tubuh lemah lunglai dia menerjunkan diri dari atas tebing curam, dimana diba-wahnya terbentang jurang yang dalam.

   Dia tak tahu apa-apa lagi.

   Tapi ketika tersadar dia telah dapatkan dirinya disebuah ruangan goa yang bersih.

   Dan seorang kakek telah menungguinya.

   kakek itulah yang Ganda Rukmo alias si Laba-laba Hitam yang telah menyelamatkan jiwanya.

   Dan Seruling Gading telah mengangkat guru padanya.

   Roro manggut-manggut mendengarkan dengan penuh perhatian.

   Lalu menghela napas.

   Ujarnya;

   "Sungguh pri-hatin aku mendengar kisahmu, adikku...! Akan tetapi ayah angkatmu telah mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya!"

   Matahari semakin menggelincir pertanda sebentar lagi akan menjelang senja. Menampak demikian, dan setelah agak lama bercakap-cakap, Seruling Gading berkata.

   "Kakak Pendekar Roro Centil. Sebenarnya aku masih rindu dengan pertemuan kita. Akan tetapi dengan sangat terpaksa aku mohon diri. Aku akan berusaha membantu anda untuk mendapatkan lagi Tombak Pusaka itu dan menyerahkan ke Istana Kerajaan Mataram ...!"

   "Aiihh, sukurlah kalau kau mau membantu. Akan te-tapi mengapa tampaknya kau terburu-buru? Bukankah kau masih rindu? Dan ... apakah tak ada hasratmu un-tuk mencari Sambu Ruci? Kasihan dia! Dia amat bersu-sah hati memikirkan nasibmu!"

   Berkata Roro. Seruling gading tundukkan wajahnya. Tampak tersirat perasaan sedih yang sukar dilukiskan. Dan dara ini tengah berusa-ha menahan perasaannya.

   "Kelak pasti aku akan mencarinya...! menyahut Seruling gading dengan suara lirih. Akan tetapi hatinya mem-bathin.

   "Tidak! tak ada muka lagi aku untuk bertemu dengannya. Apalagi mencarinya! aku merasa malu ...! Aku sudah tak perlu diharapkan lagi. Karena aku telah ternoda ...!"

   "Hm, sukurlah kalau begitu, Kelak bila berjumpa aku akan memberi khabar padanya kalau kau dalam keadaan sehat-sehat saja. Dimanakah kau bertempat tinggal?"

   Tanya Roro, seraya turut bangkit berdiri mengikuti Seruling Gading.

   "Ah, sayang sekali, kakak Pendekar Roro. Aku tak punya tempat tinggal, Goa tempat bernaungku selama ini mungkin segera akan kutinggalkan. Seperti juga kakak tentunya, aku akan mengembara, Menurutkan kemana langkah kakiku ini..."

   Sahut Seruling Gading dengan sen-du.

   "Baiklah! kalau begitu. Semoga Yang Maha Agung selalu melindungimu dalam perjalanan, dan dimana saja! Se-lamat jalan, adikku ...!"

   Ujar Roro Centil. Seraya kemudian ulurkan lengannya untuk menjabat tangan Seruling Gading. Dara ini menyambutnya. Bahkan segera meme-luk sang Pendekar wanita ini dengan linangan air mata.

   "Selamat tinggal kakak Pendekar Roro ...! Kalau masih ada usia semoga kita bisa jumpa lagi ...!"

   "Tentu tentu, adikku hihihi ... dan semoga kalian bisa cepat bertemu...!"

   Ujar Roro sambil tertawa kecil. Seruling Gading tersenyum tawar dan manggut-manggut.

   "Ya, do'akanlah, kak ...!"

   Sahut dara ini.

   Bibirnya tersenyum tetapi hatinya menangis.

   Tak lama Seruling Gading segera mohon diri.

   Lalu be-ranjak meninggalkan Roro yang masih tercenung meman-dangnya.

   Sikap dan rona diwajah dara itu tak dapat men-gelabui hati Roro.

   Dia tahu Seruling Gading menyembu-nyikan kesedihan hatinya diantara senyumnya.

   Setelah beberapa kali berkelebat, tubuh Seruling segera lenyap dibalik tikungan jalan disisi sungai itu.

   "Aiih, pengantin baru yang malang..."

   Mengguman Ro-ro dengan hati trenyuh, lalu diapun berkelebat dari situ...

   Akan tetapi baru beberapa saat berlari, Roro kembali merandek hentikan langkahnya.

   Lalu berkelebat kebalik semak.

   Dua orang laki-laki berpakaian serba singsat berjalan cepat menyusuri jalan setapak disisi hutan itu.

   "Kulihat jelas dia seorang perempuan berbaju merah! Akan tetapi heran? Mengapa cepat sekali dia berlari menghilangkan...?"

   Berkata salah seorang.

   "Heh! Dunia Rimba Hijau ini penuh dengan orang-orang sakti, Guntar! Kini tombak Pusaka Ratu Shima te-lah berganti majikan!"

   Menyahut kawannya.

   Tersentak Roro, karena segera teringat dia akan kejadian dipuncak Argasomala.

   Dua orang itu adalah si pengejar sosok tu-buh baju merah yang berkelebat duluan menyambar Tombak Pusaka Ratu Shima.

   Tanpa mengetahui Roro Centil yang bersembunyi, me-reka terus lewat sambil bercakap-cakap tiada henti.

   Dan menyesali mengapa kurang cepat mereka menyambar benda pusaka yang tergeletak itu.

   Roro Centil tertegun sejenak.

   "Siapakah kedua orang itu? apakah dia golongan Pendekar ataukah kaum golongan hitam yang mencari kesempatan untuk mengangkan-gi Tombak Pusaka?"

   Berkata Roro dalam hati.

   Akan tetapi Roro tak bertindak apa-apa.

   Segera dia bangkit berdiri.

   Dan teruskan berlari cepat.

   Hari telah menjelang senja.

   Roro perlukan tempat bermalam.

   Tentu saja besok dia harus bekerja keras meneruskan lacakan-nya mencari si baju merah yang melarikan tombak Pusa-ka itu.

   Dalam berlari-lari cepat itu diam-diam hatinya me-nyentak kaget ketika teringat akan pembicaraan kedua laki-laki tadi.

   "Eh, kalau sipenyambar benda pusaka itu seorang perempuan, aku memang melihat. Tapi... hm, ya! Ya ...! jelas kuingat kini. Sosok tubuh itu tak beda dengan pera-wakan si Iblis Ruyung Emas! Kalau benar dia, tak sukar mencarinya..."

   Pikir Roro.

   Dan tersenyum dalam larinya.

   Sekejap dia sudah melesat cepat sekali.

   Dan sebentar saja tubuhnya lenyap dikeremangan senja yang semakin te-maram.

   DUA BELAS Sementara disaat kepergian Roro Centil sesosok tubuh muncul dari ujung jalan.

   Tepat pada ujung jalan yang bakal dilalui kedua laki-laki pencari Tombak Pusaka Ratu Shima.

   Sosok tubuh ini sungguh sukar untuk dibayangkan, karena ternyata sesosok tubuh wanita yang tak mengena-kan selembar pakaianpun pada tubuhnya.

   Tentu saja ke-dua laki-laki itu jadi melengak melihat tahu-tahu dihadapannya muncul sesosok tubuh wanita dalam keadaan membugil.

   "Hah..? Sssi... siapakah kka...kau...?"

   Tergagap seorang dari dua laki-laki itu.

   Keduanya menatap dengan mata membelakak.

   Belum lagi mereka tersadar, kedua laki-laki itu rasakan angin berkesyiur menerpa tubuhnya.

   Teren-duslah bau harum semerbak.

   Seketika kedua laki-laki ini jadi terpana.

   Dan belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, keduanya perdengarkan keluhan.

   Karena yang me-reka rasakan adalah mata mereka berkunang-kunang.

   Pandangannya memutar.

   Serta kepala terasa pening.

   Te-rakhir, kedua laki-laki itu jatuh menggeloso tak ingat apa-apa lagi.

   "Hihihi...hihi.. ternyata kalian adalah para pendekar picisan. Akan tetapi kalian adalah laki-laki bertubuh ke-kar yang menggairahkan! Malam ini kalian harus mene-mani aku tidur. Kalian sungguh bernasib mujur, laki-laki gagah...!"

   Berbisik wanita bugil itu.

   Sepasang matanya membinar memandang kedua tubuh yang menggeletak pingsan dihadapannya.

   Dilain kejap dan sungguh diluar dugaan, kalau wanita bertubuh semampai itu mampu mengangkat kedua tubuh laki-laki itu sekaligus pada ke-dua pundaknya.

   Dan detik selanjutnya dia telah memba-wanya berkelebat dari tempat itu.

   Dalam keremangan cahaya rembulan itu, terjadilah sa-tu pemandangan yang menjijikkan.

   Karena kedua laki-laki itu bagaikan dua buah robot manusia yang telah di-kendalikan otaknya.

   Tampak menggeluti tubuh perem-puan bugil itu silih berganti dengan napsu birahi yang menggelora.

   Suara dengus napas dan rintihan nikmat da-ri manusia-manusia yang dimabuk asmara gila itu ter-dengar dalam desah-desahnya angin malam....

   Malam semakin melarut...

   Dua tubuh laki-laki itu dalam keadaan membugil ter-kapar menggeletak diatas rerumputan dilereng bukit.

   Ke-duanya telah mendengkur pulas tak ingat apa-apa lagi.

   Bahkan mungkin tengah bermimpi melayang ke angkasa.

   Dari balik semak perempuan itu muncul lagi, dan baru saja mengenakan pakaiannya Ya! siapa lagi perempuan itu kalau bukan si iblis Ruyung Emas! Tak lama si wanita cantik ini telah melompat keluar mendekati kedua laki-laki yang terkapar itu.

   Ditangannya tercekal sebatang tombak.

   Itulah Tombak Pusaka Ratu Shima.

   "Hihihi... malam ini terlampias sudah hasratku. Aku benar-benar amat puas!"

   Mendesis suara wanita ini.

   Bibirnya nampak menyunggingkan senyuman.

   Lalu setelah memandang kebawah bukit, kakinya beranjak untuk me-ninggalkan tempat itu.

   Akan tetapi tiba-tiba dia meran-dek.

   Kembali dia menoleh pada kedua laki-laki yang ma-sih mendengkur pulas itu.

   Lengannya bergerak kebalik baju merahnya.

   Dan...

   Serrr! belasan jarum meluruk deras ke arah kedua laki-laki bugil itu Tampak kedua laki-laki itu tersentak kaget seperti di-gigit kala.

   Tapi sekejap setelah menggeliat, keduanya kembali terkulai.

   Kali ini untuk terus tidur selamanya.

   Karena nyawanya seketika langsung melayang...

   Kemudian dengan mengikik tertawa si Iblis Ruyung Emas segera berkelebat meninggalkan tempat itu.

   Malam itu Ginanjar tak dapat memicingkan matanya di ruangan Pendopo Kedipatian yang telah kosong, bekas tempat kediaman Adipati Kiduling Kuto yang telah dipen-jarakan.

   Sampai saat ini ternyata belum terisi lagi.

   Belum ada pengganti Adipati Kiduling Kuto.

   Hingga sampai saat ini jabatan Adipati di wilayah itu masih kosong.

   Karena tetap tak dapat memicingkan matanya, akhirnya Ginanjar bangkit untuk duduk, disisi pembaringan.

   Sementara pi-kirannya menerawang jauh.

   Sampai saat ini Ginanjar agak aneh dengan sikap Roro Centil.

   Sejak lebih dari tiga bulan yang lalu dia tinggal menetap di Kedipatian itu.

   Gi-nanjar layaknya bagaikan putera mahkota saja, karena segala Keperluannya dicukupi oleh para pembantu di Ka-dipatian itu.

   Pengawal-pengawal Kadipaten masih tetap berjaga seperti biasa.

   Dia masih ingat pesan Roro Centil agar tak meninggal-kan Kedipatian sebelum ada perintah dari Raja Mataram yang akan disampaikan oleh Tumenggung Satryo.

   Walau-pun Ginanjar dapat berbuat bebas untuk keluar masuk dari pintu gerbang Kedipatian, akan tetapi lama-lama di-rasakan bosan juga.

   Entah apa maksudnya dia disuruh menunggu gedung Kedipatian itu, sementara Roro Centil jarang menampakkan diri.

   Tiba-tiba Ginanjar teringat akan pertemuan dua hari yang lalu ketika dia tengah keluar dari Gedung Kedipa-tian.

   Dia berjumpa dengan seorang wanita baju merah yang tak lain dari si Iblis Ruyung Emas.

   Mengingat demikian, pemuda ini menggumam."

   Haiih perempuan itu selalu saja menguntitku...! tampaknya dia selalu mengejar-ngejar aku...! Wah, gawat kalau dia jatuh cinta padaku! aku sudah berjanji takkan main perempuan lagi.

   Roro yang kugandrungi setengah mati ternyata sulit diduga isi hatinya.

   Entah, apakah dia diam-diam mengujiku, ataukah memang tak ada secuilpun perasaannya terhadap.!.?"

   Termangu-mangu pemuda ini sambil meremas ram-butnya.

   Akhirnya dia beranjak mendekati jendela.

   Dibu-kanya jendela kamar tidurnya untuk melihat keluar.

   Kea-daan diluar sunyi mencekam.

   dua orang penjaga masih tetap berjaga menjalankan tugasnya didepan pintu ger-bang Kedipatian.

   Terlihat berdiri mematung.

   Tiba-tiba dia mengendus bau harum semerbak.

   "Aiii, wangi benar. Pasti bau wangi bunga disamping gedung yang terbawa an-gin..."

   Berkata Ginanjar dalam hati. Akan tetapi sekonyong-konyong dia rasakan kepalanya pening. Pandangan matanya memutar.

   "Ah, aku harus cepat tidur! Selama ini aku kurang tidur setiap malam..."

   Berdesis Ginanjar seraya memijit keningnya. Dihempaskannya tubuhnya ke-pembaringan. Agak lama dia berbaring, tiba-tiba tersen-tak pemuda ini karena merasa ada sesuatu yang kurang beres.

   "Heh! jangan-jangan bau harum itu baru obat bius. Celaka aku kalau ada yang sengaja mau mengerjaiku...! Dan jangan-jangan kedua penjaga itu telah ditotok orang..!"

   Sentaknya dalam hati.

   Cepat-cepat dia kerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk salurkan hawa murni kesekujur tubuh.

   Dicobanya melawan kekuatan hawa mengantuk yang luar biasa itu.

   Dia yakin kalau itu bukan mengantuk sewajarnya.

   Saat mana tiba-tiba pintu kamar yang tak terkunci itu berderit terbuka.

   Dan sesosok tubuh memasuki pintu kamarnya.

   Sosok tubuh wanita.

   "Roro...? kaukah itu...?"

   Tanya Ginanjar tersentak. Matanya menatap wajah orang. Karena pandangannya ten-gah berputar akibat hawa aneh yang membuat mata mengantuk itu, hingga dia perlu membeliakkan matanya lebar-lebar.

   "Hihihi... aku yang datang Dewa Linglung.."

   Menyahut wanita itu. Tentu saja membuat Ginanjar terlonjak kaget. Segera dia bangkit untuk duduk.

   "Kau... kkau.. si Ruyung Emas...?"

   Tergagap Ginanjar seraya mengucak-ucak matanya.

   "Hihihi... benar, aku si Ruyung Emas, kekasihku..."

   Ucapnya.

   Suaranya tergetar seperti mengandung hawa cinta berahi yang menggebu.

   Tiba-tiba lengan wanita itu mengibas.

   Dan bersyiurlah bau harum yang lebih semerbak.

   Tersentak Ginanjar.

   Cuping hidungnya kembang kempis terendus bau wangi itu.

   Akan tetapi kali ini tergetar hatinya, karena sekejap hawa birahi telah menimbulkan rangsangan hebat.

   Membuat tubuh Ginanjar jadi bergetar dan dada bergemuruh, Apa lagi wanita dihadapannya mulai membuka pakaian-nya.

   Sementara sepasang matanya tak berkedip menatap Ginanjar.

   Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera.

   Wanita ini tengah salurkan kekuatan ilmu hitamnya un-tuk menundukkan hati si pemuda.

   Berkali-kali Ginanjar meneguk air liurnya.

   Hawa rang-sangan yang hebat telah mempengaruhi sirkuit otaknya untuk menuruti kata-kata wanita itu.

   "Dewa Linglung...! ayolah, kekasihku...! aku amat mendambakanmu! aku mencintaimu setengah mati. Aku kedinginan malam ini...! peluklah aku. Dekaplah diriku, kekasihku yang tampan..."

   Berkata si Iblis Ruyung Emas dengan mengeluarkan bisikan ketelinga Ginanjar.

   Tubuhnya telah beranjak semakin mendekat.

   Akan tetapi pada saat itu terdengar suara sesuatu yang terhempas pecah diruangan depan pendopo.

   Tersentak wanita ini.

   Dan seketika mencabut lagi kekuatan ilmu hitamnya yang telah dipergunakan mempengaruhi Ginanjar.

   "Tombak-ku...?"

   Desis wanita ini seperti tersentak."

   Agaknya dia teringat pada Tombak Pusaka Ratu Shima yang disandar-kan di dinding diluar pintu kamar.

   Sementara itu sesosok tubuh ramping baru saja berke-lebat melompat dari atas tembok.

   Karena kurang hati-hati kakinya menyentuh pot bunga yang tergantung hingga jatuh pecah kelantai.

   Namun tanpa memperdulikan dengan cepat dia berkelebat kedepan pintu kamar.

   Sepasang ma-tanya tertuju pada Tombak Pusaka Ratu Shima yang ter-sandar didinding.

   Sayang dia terlambat.

   Karena dengan cepat si Iblis Ruyung Emas telah melompat keluar untuk menyambar terlebih dulu tombak pusaka itu.

   "Heh?"

   Tersentak sosok tubuh itu. Namun dengan gerakan cepat dia lancarkan serangan menghantam wanita telanjang bulat itu. Mulutnya membentak nyaring.

   "Lepaskan benda itu!"

   Dan...

   WHUUUK! benda yang panjangnya hampir tiga jengkal itu bergerak menghantam ke arah kepala si Iblis Ruyung Emas mengeluarkan suara mendesing.

   Itulah sebuah senjata seruling.

   Bahkan dia hantamkan pula telapak tangannya untuk menjotos dada wanita itu.

   Namun dengan terkejut si wanita bugil itu dapat hin-darkan serangan.

   Dengan gerakan sebat dia menangkis Pletak! Bhuk! Menjerit si Iblis Ruyung Emas karena terasa tulang lengannya berderak patah.

   Dibarengi rasa sakit pada da-danya yang terlambat dia mengelakkannya.

   Seketika tu-buhnya terjengkang menggabruk kedalam kamar.

   Tom-bak Pusaka itu cepat disambut sosok tubuh itu.

   Dan se-gera tercekal ditangan "Berhasil!"

   Terdengar suara sosok tubuh itu berdesis. Dan tak ayal dia sudah berkelebat melompat untuk ke-luar dari ruangan itu.

   "Bangsat licik! kembalikan tombakku.!"

   Melengking suara si Iblis Ruyung Emas. Tubuhnya telah melompat cepat untuk mengejar... Akan tetapi sosok tubuh itu ba-likkan tubuhnya. Dan. Serr! tiga pisau terbang telah meluruk deras ke arah si Iblis Ruyung Emas.

   "Bedebah!"

   Memaki wanita itu.

   Segera dia melompat untuk menghindarkan diri dengan miringkan tubuh, dan lakukan salto keudara.

   Serangan itu lolos.

   Akan tetapi dia tak dapat menghindari serangan berikutnya.

   Karena baru dia jejakkan kaki kelantai, kembali membersit dua pisau terbang mengarah kedadanya.

   Menjerit wanita ini seketika.

   Dan tubuhnya menggabruk jatuh setelah terhuyung beberapa langkah kebelakang.

   Sementara dengan cepat sosok tubuh ramping itu ber-kelebat melompat keatas tombak.

   Akan tetapi menjerit dia...

   Dan tubuh itu kembali terjatuh kebawah tembok pagar gedung.

   Apakah yang terjadi? Tampak dua sosok tubuh berkelebat melompat ketembok.

   Salah seorang berkata.

   "Kena...!"

   Dia seorang laki-laki yang memegang busur dan anak panah dalam bumbung dibelakang punggungnya Sosok tubuh satu lagi adalah seorang wanita yang berambut panjang terurai.

   Dia melompat lebih dulu un-tuk memburu sang korban yang terjatuh.

   Ternyata dia Roro Centil.

   "Hah!?...kau ...kau Seruling Gading?"

   Tersentak Roro ketika mengenali siapa yang telah terkena panah itu. La-ki-laki berpanah itu cepat melompat kesisi Roro.

   "Siapa maksudmu, nona Roro...? apakah dia bukan si Iblis Ruyung Emas?"

   Tersentak laki-laki ini. Dan berdiri memandang pada sosok tubuh yang barusan dipanahnya.

   "Kau telah salah membunuh orang, sobat Satryo...! dia... dia sahabatku. Ya! dia Seruling Gading!"

   Sahut Roro mengeluh. Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara bentakan dibelakang mereka.

   "Bangsat licik! kembalikan tombak Pusaka i...itu...!"

   Tersentak mereka ketika menoleh, sesosok tubuh wanita yang membugil telah berada dihadapannya.

   Dialah si Iblis Ruyung Emas yang jadi tujuan sasaran anak panah laki-laki itu, yang tak lain dari Tumenggung Satryo.

   Ternyata si Iblis Ruyung Emas masih mampu untuk bangkit dan mengejar si pencuri Tombak Pusaka itu.

   Kini dengan kea-daan tubuh yang amat memalukan dia berdiri terhuyung dihadapan kedua orang itu.

   Wajahnya tampak mengeri-kan.

   Tampak dua buah belati terhunjam didadanya yang mengucurkan darah.

   Ketika memandang Roro, wajah wa-nita itu jadi semakin pucat.

   "Aah... kkau... kau..."

   Tak sempat lagi dia meneruskan kata-katanya.

   Karena tubuhnya segera terhuyung jatuh menggabruk ketanah.

   Se-telah menggeliat, tubuh wanita itupun terkulai karena nyawanya telah lepas dari raganya.....

   Roro dan Satryo jadi saling pandang.

   Akan tetapi Roro cepat balikkan tubuhnya ketika mendengar keluhan dibe-lakangnya.

   Seruling Gading tampak berusaha bangkit dengan mengerang.

   Didadanya tertancap anak panah yang telah dl lepaskan Tumenggung Satryo.

   Cepat Roro memburunya.

   Memeluknya dan menyangga tubuhnya dipakuan.

   "Seruling Gading...? aiih, kami tak menduga akan kedatanganmu kemari. Maafkan kami adikku...!"

   Berkata Roro dengan terharu. Air matanya telah menyembul dari sudut kelopak matanya.

   "Aku yang telah memanahmu, adik...! karena kukira kau si wanita Iblis Ruyung Emas itu..."

   Berkata Satryo seraya berjongkok menekuk lutut dihadapan Seruling Gad-ing yang terlentang dipangkuan Roro. Dara cantik ini tersenyum, terdengar suaranya yang lemah.

   "Tak apa...! Tak usah kalian sesali semua ini. Bukankah kata kakak Pendekar Roro setiap manusia tak dapat menghindari takdir? Agaknya inipun sudah menjadi tak-dir buatku untuk pulang kealam Baka..."

   Roro mengangguk-angguk. Air matanya semakin deras mengalir.

   "Kakak Roro... maukah kau menyampaikan pesanku pada... pada ssua..miku?"

   Berkata Seruling Gading dengan suara kian melemah.

   "Tentu! tentu adikku...!"

   Sahut Roro dengan isak tersendat.

   "Terima kasih, kakak Pendekar...! Aku amat bahagia, karena aku telah turut ambil bagian membantu kalian untuk merebut kembali benda Pusaka Kerajaan Mataram itu. Aku berhasil membunuh si Iblis Ruyung Emas. Dia... dia adalah perempuan jahat berhati kotor...! aku.. aku telah mengenalnya..!"

   Berkata Seruling Gading.

   "dan... aku telah berhasil pula mengambil kembali Tombak Pusaka itu! walau aku harus korbankan... nyawa..!"

   Roro manggut-manggut. Satryo tak bergeming. Sementara Ginanjar berdiri terpaku pada jarak tiga tombak menyaksikan se-mua itu dengan terlongong.

   "Apakah pesanmu itu, adikku...?"

   Bertanya Roro.

   "kakak pasti akan menyampaikan pada Sambu Ruci suami-mu...", bertanya Roro dengan mengguncang-guncang tubuh Seruling Gading, karena wanita ini sudah menga-tupkan matanya. Dan sepasang mata yang kian sayu itu kembali membuka pelahan. Bibirnya menampakkan se-nyum.

   "Ka... takan padanya... bahwa aku amat mencin-tainya..."

   Ujarnya lirih.

   Dan kepala itupun terkulai.

   Pen-gantin baru yang tak sempat mereguk nikmatnya cinta itu telah hembuskan napasnya yang terakhir dipangkuan Ro-ro.

   Tertunduk wajah Roro dalam-dalam.

   Air matanya me-nitik membasahi wajah Seruling Gading.

   Bibir Roro ter-dengar bersuara lirih.

   "Aku pasti akan sampaikan pesanmu itu, adikku..!"

   Teramat lirih suara itu bercampur isak tertahan.

   "Dia telah tiada..."

   Ujar Roro seraya menengadah memandang Satryo. Roro kembali menunduk untuk men-cium pipinya. Lalu gerakkan lengannya mengatupkan ma-ta sang jenazah. Seraya berkata lirih.

   "Tuhan! semoga Engkau ampunkan dosanya dan me-nerima amal kebaikannya...!"

   Suasana dicekam keheningan.

   Cuma suara jengkerik yang bersahutan.

   Saat itu Ginanjar lambat-lambat meng-hampiri.

   Keduanya menoleh.

   Ginanjar bagaikan orang bisu me-natap pada Roro.

   Pada Satryo, juga pada layon (jenazah) Seruling Gading.

   Terakhir pada mayat si Iblis Ruyung Emas.

   Akan tetapi cepat-cepat dia palingkan wajahnya karena tubuh bugil itu membuat darahnya kembali ber-desir.

   Tersipu-sipu Ginanjar bertanya.

   "Ada apakah yang terjadi sebenarnya...?"

   Ucapnya agak kaku. Roro jadi tersenyum.

   "Pergilah katakan pada pembaca! Sampai disini saja kisah dalam judul Geger Tombak Pusaka Ratu Shima...!"

   Ucap Roro sambil tersenyum. Lalu saling pandang dengan Tumenggung Satryo. Keduanya sama-sama tersenyum.

   "Haiiih! kalau sudah begini apakah aku yang linglung ataukah pendekar kita ini yang linglung...???"

   Berkata Ginanjar sambil garuk-garuk kepala.

   Sementara rembulan dilangit semakin meninggi jua...

   Lapat-lapat dikejauhan terdengar suara kokok ayam memanjang.

   Pertanda hari hampir menjelang shubuh.

   Tumenggung Satryo raih tombak Pusaka Ratu Shima yang tergeletak ditanah.

   Terdengar suaranya menghela napas.

   Dan setitik air bening tersembul dari sudut pelu-puk matanya.

   T A M A T E-Book by Abu Keisel
https.//www.facebook.com/ DuniaAbuKeisel

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Dendam Anak Pengemis Pendekar Bayangan Sukma Pertarungan Di Gunung Tengkorak Pendekar Mabuk Pusaka Tuak Setan

Cari Blog Ini