Ceritasilat Novel Online

Kitab Pemanggil Mayat 2


Rajawali Emas Kitab Pemanggil Mayat Bagian 2



Kata-kata itu terputus karena si nenek telah terkulai. Nandari tersedak melihatnya. Buru-buru dia mengguncang tubuh si nenek dengan teriakan pilu.

   "Nek! Nek! Bangun, Nek! Bangun!"

   Wisnu yang begitu si nenek terkulai buru-buru memegang pergelangan tangan kiri si nenek, memegang bahu Nandari.

   "Jangan cemas. Dia masih hidup. Detak jantungnya masih bisa ku rasakan meskipun lemah sekali."

   "Tetapi...."

   "Kita cuma bisa berharap dia masih tertolong, Nandari. Untuk saat ini kita memang tak tahu harus melakukan apa. Lebih baik kita mencari pertolongan. Nandari, kau tunggu...."

   Wisnu memutus kata-katanya ketika telinganya mendengar satu kelebatan tubuh ke arah mereka.

   Cepat dia berdiri dan dilihatnya seorang pemuda berbaju keemasan berdiri di hadapannya.

   Karena berada dalam suasana yang agak memanas dan sukar menentukan mana lawan dan mana kawan, Wisnu mengepalkan kedua tangannya.

   Tidak tanggung lagi, jurus 'Sinar Dewa' sudah dialirkan ke kedua tangannya.

   "Siapa kau?"

   Hardiknya. Si pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali. Emas itu tersenyum.

   "Jangan tegang. Namaku Tirta. Aku mengenal kalian. Kau adalah Wisnu dan kau adalah Nandari. Murid-murid dari Pesanggrahan Mestika."

   Makin waspada Wisnu mendapati kata-kata orang. Nandari sendiri sudah berdiri pula. Dan begitu dilihatnya Wisnu sudah mempersiapkan jurus 'Sinar Dewa' dia pun berbuat yang sama.

   "Nama telah kau sebutkan. Dan kau mengenal kami. Bila tak ada urusan, lebih baik tinggalkan tempat ini!"

   "Hmmm... apakah nenek berbaju dari kulit harimau tetapi berwarna putih itu yang dimaksud oleh Ki Sampurno Pamungkas? Kalau memang dia adanya, jelas sekali kalau keadaan si nenek begitu parah, Tetapi sikap Wisnu nampaknya begitu bermusuhan. Aku harus cepat menolong si nenek"

   Usai membatin, Tirta berkata lagi.

   "Tak usah mengambil sikap tegang macam begitu, Wisnu. Kita kawan satu aliran. Perlu kau ketahui, semenjak pertarungan kalian dengan Siluman Buta, aku sudah menyaksikan. Bahkan aku yang menyelamatkan saudara kalian yang bernama Andini. Setelah mengobati luka Andini, aku bermaksud untuk segera membantu kalian. Tetapi sialnya, Lima Iblis Puncak Neraka telah muncul dan menghalangi langkah. Setelah urusan selesai, kami kembali lagi. Tetapi, kalian sudah tak berada di tempat."

   "Jangan jual cerita busuk di hadapanku!"

   "Apa yang kukatakan, adalah hal yang sejujurnya. Sekarang, biarkan aku menolong nenek itu."

   "Jangan bergerak dari tempat kalau tak ingin kepalamu pecah!"

   Seru Wisnu. Tirta mendumal dalam hati. Dilihatnya gadis di sisi Wisnu berbisik pada pemuda itu.

   "Kang Wisnu... nampaknya pemuda ini bukan orang jahat. Dia tahu pertarungan kita dengan Siluman Buta. Mungkin memang benar apa yang dikatakannya."

   "Aku tidak percaya, Nandari. Saat seperti ini keadaan sangat kacau. Dan aku...."

   "Kuhargai sikapmu macam itu, Wisnu. Baiklah, untuk cepat bagiku menolong si nenek, biar kubuktikan kata-kataku."

   Habis ucapannya, Tirta menepuk tangannya tiga kali.

   Dan di sela-sela tepukannya, dia lepaskan kedua tangan ke angkasa.

   Pyaaar! Memercik sinar merah yang segera menerangi angkasa.

   Menipiskan suasana terang di mana saat itu senja mulai turun.

   Apa yang dilakukannya adalah sebuah tanda untuk memanggil peliharaannya.

   Si Bwana, burung rajawali keemasan yang disayanginya.

   Tepukannya yang pelan tadi adalah tanda panggilan yang hanya bisa didengar dan dimengerti oleh Bwana.

   Sedangkan sinar merah yang mengangkasa tadi, tanda di mana dia berada.

   Lima tarikan napas berlalu.

   Dan mendadak saja terdengar teriakan keras bersamaan angin bergumuruh kencang.

   "Koaaaakkkk!"

   Tiga kepala mendongak. Dua kepala menampakkan wajah terkejut Sementara satu kepala, bibirnya tersenyum.

   "Rupanya, Bwana sudah membawa terbang Andini dan gadis yang luka itu yang sekarang sudah sembuh rupanya. Bagus, urusan bisa lebih cepat kulakukan."

   Bwana pun menukik menuju lembah itu. Sebelum burung rajawali yang besarnya empat kali gajah dewasa itu hinggap di tanah, dua sosok tubuh langsung melompat. Yang berbaju merah dengan ikat pinggang berwarna biru, berteriak keras.

   "Kang Wisnu! Nandari!"

   Yang dipanggil barusan terkejut.

   Nandari lebih dulu pulih dari keterkejutannya dan berlari menyongsong si gadis yang berteriak tadi dengan wajah cerah dan sepasang mata berkaca-kaca.

   Keduanya berpelukan.

   Sungguh, keduanya bukan saudara kembar, bukan pula adik kakak, tetapi wajah keduanya hampir serupa benar.

   "Andini... bagaimana keadaanmu?"

   "Baik-baik saja. Kau sendiri?"

   "Setengah mampus aku cemas memikirkan keadaanmu."

   Andini tertawa, tetapi jelas menutupi rasa harunya karena bertemu kembali dengan kedua saudaranya.

   "Jangan pura-pura. Bukankah kau malah senang ada kesempatan berdua-dua dengan Kang Wisnu?"

   Nandari mencubit pipi gadis yang hanya lima bulan lebih muda darinya.

   "Kau memang nakal."

   "Seharusnya kau berterima kasih kepadaku,"

   Kata Andini sambil tertawa. Nandari hendak menjawab godaan Andini tadi, tetapi mulutnya langsung terkancing rapat begitu terdengar teriakan dari si gadis yang tadi berdiri di sisi Bwana.

   "Ratuuuuu!"

   Seketika si gadis berbaju putih dengan ikat pinggang warna kuning itu berlari mendapati Ratu Harimau Putih yang pingsan.

   "Oh, Tuhan... Ratu, apa yang terjadi? Mengapa jadi begini?"

   Gadis itu berteriak kacau. Hatinya berdebar tak menentu. Nafasnya lebih cepat berpacu. Wajahnya pucat menyaksikan sosok yang tergolek di hadapannya. Lalu dia berseru, entah pada siapa seruannya dimaksudkan.

   "Apa yang. terjadi dengan guruku?!" *** Nandari yang telah melepaskan rangkulannya dari Andini bergegas mendekati. Andini pun menyusul dan berkata.

   "Marbone... nenek itu gurumu?"

   "Ya. Apa yang telah terjadi?"

   Sementara Nandari menjelaskan apa yang dialami Ratu Harimau Putih, Wisnu tersenyum pada Tirta.

   "Maafkan sikapku tadi..."

   Tirta tak mempedulikan kata-kata itu. Bergegas si pemuda berikat kepala keemasan mendekati Ratu Harimau Putih. Tiga gadis yang berada di sana, mundur dua tindak. Tirta berkata pelan.

   "Melihat luka di tubuhnya dan di telinganya, aku yakin, yang melakukannya adalah Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian."

   Nandari berkata cepat.

   "Bagaimana kau tahu?"

   "Aku pernah bertarung dengan keduanya. Dan aku masih mengingat jenis-jenis pukulan yang dimiliki keduanya. Menyingkirlah, aku akan coba mengobati nenek yang berjuluk Ratu Harimau Putih ini."

   Ketiga gadis itu menyingkir tiga tombak di dekat Wisnu.

   Dan keempatnya tiba-tiba saja merasakan hawa panas yang mendadak muncul.

   Setelah beberapa saat terjadi, mereka baru sadar kalau hawa panas itu berasal dari tubuh si pemuda dengan pedang berwarangka penuh benang emas.

   Rupanya, untuk mengalahkan hawa panas yang mengalir di tubuh Ratu Harimau Putih, Tirta telah mengerahkan tenaga surya.

   Kedua tangannya ditempelkan pada punggung, dada, tangan, kaki, dan ke-ning si nenek.

   Hampir setengah penanakan nasi Tirta berkutat menyelamatkan nyawa si nenek.

   Tubuhnya bergetar hebat.

   Keringat yang mengucur langsung mengering.

   Dan ubun-ubunnya seolah keluar uap putih tanda saking panasnya.

   Selang beberapa saat dia jatuh terduduk.

   Nafasnya memburu dengan wajah yang mendadak pucat.

   "Tirta...,"

   Desis Wisnu yang kini merasakan hawa panas menguar tadi telah menghilang. Terburu-buru pemuda itu mendekati si Rajawali Emas.' Tetapi, Andini lebih dulu memburu. Berlutut di sisi Tirta.

   "Kang Tirta,"

   Kata si gadis tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Tirta tersenyum.

   "Aku tidak apa-apa, Andini. Hanya lelah saja karena tenagaku cukup terkuras,"

   Sahutnya sambil menatap wajah gadis yang cemas di sisinya. Begitu tatapan Tirta lekat pada matanya, gadis itu mendadak tertunduk dengan pipi bersemu merah. Kejadian itu tak luput dari perhatian Nandari yang diam-diam tersenyum.

   "Aku yakin... sesuatu mulai berubah pada Andini. Melihat betapa cemasnya dia pada keadaan si pemuda yang baru saja mengobati Ratu Harimau Putih, aku bertambah yakin kalau Andini menyukai pemuda itu. Hebat si pemuda yang bisa menaklukkan Andini!"

   Sementara itu, Wisnu juga menyirap perasaan yang sama dengan Nandari.

   Makanya, sejak tadi dia hanya tersenyum-senyum saja.

   Sedangkan Marbone, salah seorang dari Tiga Pengiring Ratu mulai merasa tenang melihat napas gurunya mulai nampak teratur.

   Dia melirik Tirta yang sedang bersemadi.

   "Menurut cerita Andini, nyawaku diselamatkan oleh pemuda berbaju keemasan yang bernama Tirta dan berjuluk si Rajawali Emas. Baru sekarang aku melihatnya. Dan yang tak kusangka, kalau Guru pun diselamatkan pula olehnya. Ah, rasa terima kasihku berlipat ganda pada pemuda itu."

   Dari semua yang hadir di sana, hanya Bwana yang nampak acuh tak acuh.

   Tubuh besarnya tetap terbaring di tanah.

   Setelah dua penanakan nasi berlalu, Ratu Harimau Putih siuman.

   Dia tersenyum ketika melihat Marbone di hadapannya.

   Dan tak ada pertanyaan yang keluar karena tak melihat dua muridnya yang lain.

   Tanpa dijelaskan oleh Marbone sekalipun, dia mengerti apa yang telah terjadi Tetapi Marbone menjelaskannya juga.

   Ratu Harimau Putih cuma tersenyum.

   "Relakanlah kepergian dua saudaramu itu, Marbone. Mereka telah tenang di sisi-Nya,"

   Katanya sambil menepuk bahu Marbone. Lalu berpaling pada Wisnu dan Nandari.

   "Kini kalian tahu siapa orang yang kumaksudkan, bukan? Marbone, Fatane dan Liliane adalah murid-muridku. Dan rupanya, Fatane serta Liliane telah mendahului kita."

   Seperti dituturkan pada episode "Dewi Karang Samudera"

   Tirta yang memanggil Bwana terkejut ketika melihat di cengkeraman kuku liat dan keras Bwana tergolek satu sosok tubuh yang pingsan.

   Lalu segera diobatinya gadis yang pingsan itu.

   Setelah beberapa saat dia meninggalkannya.

   Meninggalkan Bwana, Andini dan gadis itu.

   Kini dia tahu siapa si gadis yang ternyata bernama Marbone dan dia pun mulai bisa meraba siapa nenek yang baru saja diobatinya itu.

   Tak perlu banyak pertanyaan dilontarkan.

   Karena, Andini sudah bertemu kembali dengan Wisnu dan Nandari.

   Begitu pula telah jelas siapa Marbone yang telah bertemu dengan gurunya yang rupanya menyusul dari Pulau Roti.

   Tanpa berkata apa-apa, Tirta bangkit.

   Justru Andini segera memegang lengannya.

   "Kau mau ke mana, Kang Tirta?"

   "Masih ada tugas yang masih ku emban, Andini Kau sudah bertemu dengan kedua saudaramu. Dan kalian, Wisnu dan Nandari, tentunya kalian sudah paham semuanya, bukan? Kini, biarlah ku lanjutkan dulu perjalananku untuk mencari Iblis Kubur dan Dewi Karang Samudera."

   "Tetapi, Kang...,"

   Suara Andini cemas. Tirta menarik napas pendek Lagi-lagi dia tak mengerti mengapa ada sesuatu yang terasa bergetar melihat tatapan dan mendengar suara cemas gadis di hadapannya ini. Tetapi segera ditindihnya.

   "Andini.. jaga dirimu baik-baik."

   "Kang Tirta...."

   Tirta tak menghiraukan kata-kata Andini.

   Dia segera melompat naik ke punggung Bwana.

   Detik berikutnya, burung rajawali raksasa itu sudah membumbung tinggi.

   Suara teriakannya membedah tempat.

   Gemuruh angin yang ditimbulkan dari kedua kepakan sayapnya, mencabut beberapa rumput di sana.

   Andini cuma menarik napas panjang sambil memperhatikan burung rajawali keemasan yang membawa pergi Tirta.

   Nandari yang melihat perubahan Andini mend-sah pendek.

   "Ah, sesuatu memang telah terjadi padanya." *** Bab Di sebuah sungai di sebelah barat Gunung Siguntang, seorang gadis duduk di sebuah batu. Pandangannya lurus menatap air sungai yang mengalir jernih. Beberapa buah daun beterbangan dan jatuh ke sungai itu yang perlahan-lahan diseret arusnya yang terlihat sangat lembut. Burung-burung di dahan, bersuara cukup nyaring. Sebenarnya memberikan pesona yang sangat indah sekali. Mampu meresap ke relung hati, dalam keindahan tiada banding. Namun keindahan itu tak dihiraukan oleh si gadis yang duduk menekan lutut kanannya di dada. Wajah si gadis yang nampak tengah termenung itu berbentuk bulat telur dengan dagu agak menjuntai. Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang memerah indah. Rambutnya panjang hingga ke bahu, dibiarkan tergerai begitu saja. Pakaian putih bersih yang dikenakannya, dihiasi sulaman bunga mawar di bagian kanan. Di pinggangnya yang ramping, melilit sebuah cambuk Sepasang matanya yang bagus agak meredup, menampakkan ada yang dipikirkan oleh gadis jelita itu. Terdengar tarikan napas si gadis, sarat dengan duka.

   "Kang Tirta... pantaslah kau menolak' kata-kata Guru tentang perjodohan itu. Rupanya... kau telah memiliki seorang gadis. Ah, beruntung sekali gadis itu, Kang...."

   Si gadis yang tak lain Ayu Wulan adanya, mendesah lagi.

   Ingatannya beralih ketika pertama kali bertemu dengan pemuda yang diam-diam dicintainya itu.

   Saat itu, Ayu Wulan hendak mandi di sebuah sungai.

   Tetapi urung karena dari sungai di hadapannya waktu itu, muncul seorang pemuda yang sebelumnya sedang menyelam.

   Perkenalan pun terjadi.

   Dan tatkala gadis itu dihadang oleh Iblis Kubur, pemuda itu yang menyelamatkannya.

   Hingga kemudian, Ayu Wulan yang sebenarnya sedang mencari gurunya yang berjuluk Manusia Pemarah harus mengalami masalah yang cukup menyesakkan dadanya.

   Karena begitu Tirta mengatakan dia murid dari Bidadari Hati Kejam dan Raja Lihai Langit Bumi yang ternyata sahabat dekat si Manusia Pemarah, gurunya itu meminta agar dia.

   berjodoh dengan Tirta.

   Sebagai seorang gadis, kendati menyenangi usul itu, tentu saja Ayu Wulan tak menampakannya.

   Malah dia memperlihatkan sikap menentang usul gurunya.

   Tetapi setelah melihat sikap Tirta yang sepertinya menolak hati gadis itu menjadi sedih.

   Saat itulah Tirta berlalu meninggalkannya dan gurunya yang kemudian menyuruhnya untuk mencari si pemuda.

   (Untuk jelasnya baca serial Rajawali Emas dalam episode .

   "Sumpah Iblis Kubur"). Lalu dengan gerakan malas, si gadis memetik sehelai daun dari batang pohon yang menjuntai di sisi kanannya. Lalu dilemparnya ke arah sungai. Gerakannya tak ubahnya seorang penari yang sedang melemparkan selendangnya. Namun.... Pyaaarr! Air sungai yang mengalir jernih itu bergolak, dan muncrat ke atas akibat lemparan sehelai daun tadi! Si gadis menarik napas panjang. 'Ternyata... perjalanan hidup tak semudah yang; kubayangkan. Mengapa harus jatuh cinta yang sebenarnya baru ku rasakan sekarang dan berakhir dengan kepahitan?"

   Desis Ayu Wulan dengan wajah tertekuk makin murung.

   Dan tanpa sepengetahuan gadis yang tengah dilanda duka karena melihat pemuda yang dicintainya bersama seorang gadis lain, dua sosok tubuh berjubah biru kusam perlahan-lahan mendekat dari belakang.

   Kedua orang yang tak lain adalah si Jubah Setan dan si Jubah Mambang saling pandang bagai menemukan harta karun yang sangat besar.

   Begitu kedua manusia sesat yang pernah dikalahkan si Rajawali Emas dan kini telah berhasil memulihkan luka dalam yang diderita berada pada jarak dua tombak di belakang Ayu Wulan, mendadak saja si gadis yang duduk di batu besar-itu melompat ke belakang.

   Hup! Melewati tubuh kedua kakek berjubah biru kusam itu dan hinggap sambil berkacak pinggang.

   Matanya seketika melotot garang.

   "Rupanya, orang-orang keriput yang kesasar ke sini!"

   Bentak Ayu Wulan.

   Rasa kecewa melihat pemuda yang dicintainya bersama gadis lain, memaksa gadis itu untuk mencari pelampiasan rasa kesalnya.

   Sepasang mata bagusnya menyipit dalam, tanda dia tak suka kedatangan kedua orang itu.

   Jubah Mambang, lelaki tua berambut pendek itu hanya tersenyum menyeringai.

   Tangan kirinya bergerak-gerak mengelus tangan kanannya sendiri.

   Sementara sepasang matanya yang berwarna kelabu dan menjorok ke dalam terbeliak lebar memandang pada Ayu Wulan dari bawah ke atas.

   Dan berhenti di bagian dada yang membuat wajah Ayu Wulan memerah, penuh kemuakan.

   Sementara si Jubah Setan hanya mengusap-usap dagunya saja sambil menelan liurnya.

   Masih menatap ke depan dia mendesis dalam hati.

   "Ada kelinci kesasar rupanya. Telah lama tak ku nikmati lagi tubuh perempuan kecuali Mara Hitam Ritrik. Sayangnya, perempuan yang berjuluk Ratu Tengkorak Hitam itu telah tewas. Padahal dulu, di saat dia masih berguru pada Maharaja Langit Hitam, selagi gurunya meninggalkan Sungai Terkutuk, Mara Hitam Ritrik selalu keluar dari sana. Lalu bergumul dengan kami dalam pacuan birahi yang tinggi. Kalau tidak, aku dan si Jubah Mambang yang datang ke sana. Ah, setelah beberapa tahun berada dalam perjalanan mengasyikkan, menikmati surga dunia secara sembunyi-sembunyi, semuanya akhirnya berlalu. Dan sekarang, Mara Hitam Ritrik sudah mampus. Kalau pun masih hidup, tak akan mau aku menggumuli tubuh peotnya lagi. Di hadapan ada kelinci gemuk yang siap dinikmati, mengapa harus disia-siakan?"

   Kendati Ayu Wulan berada dalam kemuakannya melihat sikap kedua lelaki tua berjubah biru kusam ini, tetapi dia berpikir lain.

   "Tak ada gunanya aku meladeni kedua lelaki tua kurus jelek ini. Aku juga tak perlu tahu siapa mereka."

   Memutuskan demikian, Ayu Wulan bersiap meninggalkan tempat itu. Tetapi satu suara menahannya.

   "Cah Ayu. Mengapa kau tergesa-gesa? Mengapa tak ada sapa mesra dan rayuan untuk kami, Cah Ayu?"

   Tubuh Ayu Wulan bergetar dengan sepasang mata mendelik. Kegusarannya sekarang benar-benar menindih keinginannya untuk berlalu dari sana. Sambil mendengus keras, si gadis membalikkan tubuh dan membentak.

   "Orang tua tak tahu malu! Apakah selama ini kalian tak pernah berajar adat! Sekali lagi ucapan busuk keluar dari mulut anjing kalian, jangan salahkan kalau aku yang muda ini tak menaruh hormat!"

   Menanggapi bentakan sekaligus ancaman si gadis, kedua orang tua berjubah biru kusam itu saling pandang.

   Sejurus kemudian keluar tawa yang sangat keras.

   Menggebah tempat itu.

   Beberapa ekor kelinci langsung masuk ke sarang.

   Jubah Mambang berkata dengan seringaian tak putus di bibirnya.

   "Mengapa harus kau lontarkan ancaman seperti itu? Padahal kami mengundang sebuah kenikmatan."

   "Setan keparat! Dua orang lelaki tua ini jelas bukan orang baik-baik. Melihat cara berpakaian dan sikapnya, aku yakin mereka bukan orang kebanyakan. Tetapi, kulihat jubah biru kusam yang dikenakan kakek berambut pendek yang berwajah tirus itu agak so-bek. Apakah sebelumnya mereka pernah bertarung dengan seseorang atau beberapa orang?"

   Batin Ayu Wulan dengan sikap makin waspada.

   Tak mau membuang waktu, si gadis langsung menggerakkan kedua tangannya ke arah Jubah Mambang.

   Wuuuttt! Wuuutt! Jubah Mambang cukup terkesiap melihat hamparan angin deras ke arahnya.

   Cepat diangkat tangan kanannya, diputar ke atas dua kali lalu disorongkan ke depan.

   Sraaat! Blaaarrr! Dorongan angin yang dilepaskan Ayu Wulan tadi terhenti terhantam pukulan jarak jauh Jubah Mambang.

   Sementara si Jubah Setan hanya memperhatikan dengan kening dikernyitkan.

   Ayu Wulan yang memang ingin segera menuntaskan persoalan yang membuatnya muak ini, kembali menyerang.

   Dengan lipat gandakan tenaga dalamnya.

   Didahului bentakan keras, kedua tangannya kembali melesat.

   Tangan kiri menghantam kepala, tangan kanan menghantam dada.

   Jubah Mambang hanya sunggingkan senyum aneh.

   Pancaran matanya menganggap ringan serangan si gadis.

   Begitu tubuh si gadis mendekat, cepat diputar kaki kanannya ke depan.

   Bersamaan dengan itu, tangan kanannya menjotos.

   Buukk! Bukkk! Kaki kanannya menangkis sekaligus menyerang pukulan tangan kiri Ayu Wulan yang siap menghajar kepalanya.

   Sementara jotosan tangan kanannya memapaki jotosan tangan kanan Ayu Wulan.

   Murid Manusia Pemarah itu mundur tiga tindak dengan kedua tangan terasa ngilu.

   Wajahnya tertekuk, menandakan kemarahan.

   Segera dialirkan tenaga dalamnya untuk menghentikan rasa ngilu yang cukup menyengat.

   Di seberang, Jubah Mambang menarik napas pendek.

   Karena bukan hanya tangannya yang dirasakan bergetar, tetapi dadanya berdebar lebih kencang dari biasanya.

   "Gila! Tak kusangka kalau sekarang ini banyak anak-anak muda berkepandaian tinggi. Pertama pemuda berjuluk si Rajawali Emas dan sekarang gadis berbaju putih ini,"

   Batin si Jubah Mambang dengan wajah berubah.

   "Tetapi, menghadapi gadis cantik seperti ini aku tidak boleh terlalu kasar. Aku tak ingin gadis ini terluka sedikit pun. Dia terlalu mulus untuk dibuat luka. Dan tentunya, akan sangat menyenangkan bila bisa bersenang-senang dengannya dalam keadaan bersih."

   Detik kemudian, dia sudah mencelat lagi.

   Kali ini lebih cepat dengan tenaga dalam dilipatgandakan.

   Mendapati serangan yang datang, kendati masih terasa sakit dan ngilu pada tangannya yang merambat pada dadanya, murid Manusia Pemarah itu tak mau bertindak ayal.

   Sambil melompat diloloskannya pecut yang melilit di pinggangnya yang ramping.

   Langsung dikibaskan ke muka.

   Cetaaarrr! Sambaran pecut itu keras menyalak, dan anehnya bagai menebar harum bunga.

   Si Jubah Mambang terbeliak merasa angin dahsyat ke arahnya.

   Cepat diurungkan serangannya dan diputar tubuhnya ke samping kanan.

   Saat kakinya hinggap di tanah, cepat diangkat kaki kirinya dan menendang dengan cara berputar.

   Wuusss! Ayu Wulan yang yakin kalau sambaran kaki kiri itu hanya sebuah tipuan, tidak menghindar.

   Malah justru dibukanya serangan dari bagian kanan.

   Apa yang diduganya memang benar.

   Tendangan kaki kiri lawan rupanya hanya pancingan belaka.

   Kaki kananlah yang merupakan serangan sesungguhnya.

   Buuukkk! Tendangan kaki kanan lawan yang mengarah pada bagian bawah perut, ditahan tendangan Ayu Wulan.

   Bahkan dengan cepat pula, si gadis mengayunkan pecutnya.

   Ctaarrr! Jubah Mambang terkesiap.

   Detik itu pula langsung dibuangnya tubuh ke kiri, bergulingan menjauh begitu diyakini si gadis mengejarnya.

   Kendati demikian, si Jubah Mambang masih bisa mengirimkan pukulan-pukulan dahsyatnya.

   Ayu Wulan yang geram tak mempedulikan setiap serangan yang dilakukan lawannya.

   Yang diinginkannya, menuntaskan segala persoalan ini.

   Terutama membalas sikap busuk dan memuakkan dari kedua orang tua berjubah biru kusam ini.

   Dengan cara memapaki pukulan lawan, dia terus memburu.

   "Terimalah kematianmu, Kakek bermulut cabul!"

   Jubah Mambang yang akhirnya termakan dengan siasatnya sendiri yang menganggap enteng si gadis, hanya bisa memandang dengan mata lebih terbuka.

   Dalam keadaan kritis seperti itu, hampir saja dilepaskan pukulan andalannya yang dipergunakan melalui kekuatan jubah biru kusamnya 'Hujan Panah'.

   Tetapi serangan itu urung dilakukan, karena dilihatnya si gadis menghentikan serangannya, begitu satu sosok berjubah biru kusam lainnya mengirimkan serangan dari belakang.

   Cepat si gadis berputar dan langsung mengayunkan pecutnya.

   Ctaaarrr! Rupanya, Jubah Setan yang melihat si Jubah Mambang dalam keadaan terdesak, sudah turun membantu.

   Kali ini, dikeroyok oleh dua orang kakek berkepandaian tinggi, membuat Ayu Wulan yang ganti terdesak.

   Jurus 'Sejuta Pesona Bunga' yang telah dilepaskannya pun tak banyak membantu.

   Asap hitam tebal yang menyebarkan harum bunga mawar, dengan ringannya berhasil dipunahkan melalui kibasan jubah biru kusam si Jubah Setan.

   Detik berikutnya, si Jubah Setan sudah melesat dengan cara berjumpalitan di udara.

   Dan tangan kanannya yang kurus menotok urat besar di leher si gadis.

   Terdengar suara keluhan yang tertahan.

   "Aaaakhhh...."

   Menyusul totokan di bawah ketiak kiri si gadis. Kali ini tubuhnya langsung ambruk. Pecutnya terlepas dari tangan. Kedua kakek berjubah panjang biru kusam itu saling pandang. Kejap lain terdengar tawa mereka yang keras.

   "Tak menemukan Ratu Tengkorak Hitam, rupanya di sini banyak pengganti nenek pengunyah susur yang kini telah mampus. Aku yakin, Mara Hitam Ritrik tak akan pernah bisa membuat kita bernafsu lagi meskipun dia berdandan selayaknya bidadari,"

   Kata Jubah Setan sambil memandangi wajah dan tubuh montok Ayu Wulan yang kini tergeletak di tanah dengan posisi telentang.

   "Dan gadis ini... ha ha ha... sudah tentu akan memberikan sebuah gairah lain dalam perjalanan mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat dan menuntaskan urusan dengan si Rajawali Emas."

   Si gadis tak mampu mengeluarkan suara atau menggerakkan tubuh.

   Karena dia berada dalam totokan yang dilakukan si Jubah Setan.

   Kendati sadar bahaya mengancam dirinya, si gadis masih berusaha melepaskan totokan itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya.

   Tetapi sulit dilakukan.

   Penuh kejengkelan yang bisa dilakukan Ayu Wulan hanya melotot gusar.

   Jubah Mambang melangkah setindak.

   Lalu berlutut di sisi gadis itu.

   "Jubah Setan... tak kusangka dalam usia kita yang sudah selanjut ini, masih mempunyai kesempatan untuk menikmati tubuh indah menggairahkan ini. Coba kau rasakan...."

   Sambil berkata, Jubah Mambang meraba dada Ayu Wulan yang makin mementangkan matanya dengan sinar tajam. Jubah Mambang mendesis-desis.

   "Luar biasa... begitu montok, lembut dan hangat."

   "Kau membuatku panas dingin. Bawa gadis itu ke balik semak di sana. Kuberi kau kesempatan untuk bersenang-senang pertama dengannya,"

   Sahut si Jubah Setan sambil menelan ludahnya berkali-kali.

   Sambil tertawa-tawa si Jubah Mambang mengangkat tubuh Ayu Wulan yang benar-benar marah.

   Namun lama kelamaan dari rasa marah yang tinggi, berubah menjadi rasa tegang dan berakhir pada rasa ketakutan yang dalam.

   Apalagi ketika tubuhnya dibawa si Jubah Mambang masuk ke balik sebuah semak.

   Ketakutan bagai membuatnya ingin menjerit dan menangis keras.

   "Manusia diciptakan dari tanah. Hingga berpikir dan berbuat seperti tanah. Tetapi, ada tanah yang suci dan murni hingga jalan pikiran pun suci dan murni. Dan ada pula tanah yang telah bercampur kotoran, hingga berpikir dan berbuat penuh kebodohan, keserakahan dan kesombongan. Lepaskan gadis itu, maka perjalanan runtun, bersih, dan damai akan ada di depan mata."

   Satu suara mendayu terdengar, menerpa tiga pasang telinga yang berada di sana.

   Si Jubah Mambang mengurungkan niatnya melangkah ke balik semak.

   Dengan sigap dia melompat satu tombak ke muka, masih membopong tubuh Ayu Wulan.

   Sementara si Jubah Setan sudah melontarkan teriakan penuh kemarahan.

   "Orang tersembunyi... bila kau memiliki nyali, silakan keluar! Bila kau bernyali tikus, terus kau bersembunyi dan jangan mengganggu keinginan kami!" *** Bab Belum habis bentakan si Jubah Setan, mendadak saja entah dari mana datangnya, tahu-tahu tercium sesuatu yang harum. Menyusul aroma harum itu, satu sosok tubuh telah berdiri di hadapan Jubah Setan. Sikap orang yang baru muncul benar-benar tenang sekali. Dan cukup membuat Jubah Setan melongo beberapa saat. Bila manusia yang baru muncul itu tak memiliki kepala, kaki, dan tangan, sudah pasti jelas-jelas mirip bola. Dan tingginya, hanya sepundak si ketiak Jubah Setan. Di leher lelaki tua namun memiliki sosok yang bulat terdapat sebuah kalung sangat besar dan terdengar berayun-ayun. Pakaian batik yang terbuka di dadanya, entah karena tak bisa dikancing kebesaran perut atau memang karena tak punya pakaian lagi, menampakkan bungkahan dadanya tak ubahnya dada seorang wanita. Di tangan kanannya terdapat sebuah cangklong yang sangat besar. Tak mengeluarkan asap apa-apa. Tetapi anehnya ketika dihisapnya dan dihembuskan, keluar asap yang menebarkan aroma wangi dari mulutnya! Rupanya, aroma wangi tadi itu berasal dari hembusan asap pipa cangklongnya yang aneh. Si Jubah Setan masih menatap tak berkedip. Keningnya dikernyitkan. Sesuatu bergerak dalam ingatannya.

   "Hanya seorang yang mempunyai kebiasaan menghisap cangklong besar yang tak mengeluarkan asap. Tetapi bila dihembuskan, akan muncul asap yang menebarkan aroma harum. Apakah manusia buntal ini yang berjuluk Dewa Bumi?"

   Pikir si kakek berambut panjang itu dengan wajah makin penuh kerut. Sementara wajah si Jubah Mambang sudah tertarik ke dalam. Dia melangkah tiga tindak ke depan, masih membopong Ayu Wulan dipundak sebelah kanannya.

   "Rupanya ada tuyul buntal kesasar ke tempat ini!"

   Bentak si Jubah Mambang dengan pandangan sengit.

   "Jangan jual lagak di hadapan kami! Silakan tinggalkan tempat, bila masih sayang nyawa!"

   Sosok buntal itu cuma mengangkat sepasang alisnya yang rada jarang. Kembali menghisap cangklong besarnya yang tak dibakar, tetapi saat dihembuskan asap putih menebarkan bau harum bagai berlomba-lomba keluar.

   "Matahari makin merambah. Meskipun malam datang sesungguhnya matahari masih bersinar. Hanya pengelabuan mata saja yang terjadi di hadapan kita. Lebih baik, jangan cari urusan. Tinggalkan gadis itu. Karena, kemuliaan adalah tujuan hidup."

   "Setan buntal! Sebutkan nama dan julukan!"

   Bentakan Jubah Mambang bagai menggebah tempat. Ayu Wulan yang berada dalam bopongan Jubah Mambang diam-diam membatin.

   "Rupanya ada orang yang datang. Siapa dia? Mengapa cara berbicaranya seperti orang berpantun? Dan nampaknya orang ini cukup memiliki nyali, masih berada di sini tanpa mempedulikan bentakan orang. Kuharap dia bukan orang sembarangan hingga bisa menolongku dari celaka ini!"

   "Nama telah lenyap entah ke mana, hingga aku lupa. Maafkan kalau tanya pertama tak ada jawab. Julukan masih melekat di badan, mengganti nama yang terlupakan. Dewa Bumi orang menjulukiku, sebuah julukan tak ada arti dan tak ampuh."

   Si Jubah Mambang cuma mendengus sambil memandang dengan tatapan melecehkan. Sementara si Jubah Setan diam-diam mundur satu tindak dengan dada agak bergetar.

   "Tak salah dugaanku. Manusia inilah yang berjuluk Dewa Bumi. Gila, apakah sepasang mata Jubah Mambang sudah menjadi buta? Apakah telinganya sudah tak berfungsi? Tak tahu siapa orang di depan mata?"

   Saat itu Jubah Mambang sedang melempar tubuh Ayu Wulan dari bopongannya.

   Bruk! Tubuh gadis montok murid si Manusia Pemarah ambruk telentang setelah bergulingan sejenak.

   Dengan susah payah dia berusaha melirik orang yang baru datang dan menyebabkan Jubah Mambang mengurungkan niat.

   Sepasang mata si gadis terbeliak begitu melihat wujud orang yang baru datang.

   "Aneh! Baru kali ini aku melihat ada orang yang bentuknya seperti bola. Tadi dia mengatakan julukannya, Dewa Bumi. Oh, ya, ya! Aku ingat sekarang. Guru pernah menceritakan tokoh aneh itu, yang selalu menghisap cangklong tanpa asap namun saat dihembuskan asap banyak keluar dengan menebarkan aroma wangi. Jadi... diakah orang yang berjuluk Dewa Bumi?"

   Ayu Wulan tak sempat meneruskan kata-kata, karena Jubah Mambang sudah menggebah keras ke arah Dewa Bumi.

   Wusss! Tangan kanannya dikembangkan.

   Dihantam ke atas, lalu ditukikkan ke bawah.

   Menyusul gempuran tangan kanannya, kaki kanan dan kiri pun melayang.

   Wuuttt! Wuuuttt! Dewa Bumi hanya menggeleng-gelengkan kepala saja.

   Lalu entah bagaimana caranya, mendadak saja tiga hantaman sekaligus yang dilepaskan oleh Jubah Mambang mengenai tempat kosong.

   "Jangan umbar tenaga untuk mencari musuh. Berjalan lurus adalah satu kebajikan. Bila memang tak mampu kuasai diri, bersemadi cara yang terbaik."

   Satu suara sudah terdengar dari samping kiri si Jubah Mambang yang seketika menoleh dengan pandangan berkilat-kilat.

   Hatinya murka menerima perlakuan yang penuh ejekan itu.

   Tetapi segera pula disadari kalau orang ini bukan manusia sembarangan.

   Jubah Setan yang pernah menyirap kabar tentang Dewa Bumi, buru-buru mendekati kambratnya.

   "Jangan gegabah,"

   Katanya dalam bisikan.

   "Manusia ini bukan tokoh sembarangan. Kesaktiannya setingkat dengan Raja Lihai Langit Bumi!"

   "Aku tak peduli siapa orang yang kau sebutkan itu! Manusia buntal itu telah bikin urusan!"

   Balas Jubah Mambang dengan suara keras.

   Matanya tajam dipancangkan pada Dewa Bumi yang masih asyik berdiri dengan tangan kiri berada di belakang dan tangan kanan memegang cangklong besarnya, yang saat dipegang tak mengeluarkan asap, tetapi saat dihisap dan dihembuskan bergumpal asap putih keluar.

   "Sikap Jubah Mambang menjengkelkan saat ini. Dia benar-benar telah dibutakan oleh kemarahan hingga tidak tahu siapa manusia buntal penghisap cangklong itu,"

   Batin Jubah Setan dengan hati mengkelap. Lalu dia berkata lagi.

   "Kuperingatkan sekali lagi, jangan bertindak gegabah."

   "Setan keparat! Nyalimu sudah ciut hanya karena manusia buntal itu kau ketahui berjuluk Dewa Bumi! Lihat, aku akan membikin mampus manusia celaka itu!"

   Habis kata-katanya, tiba-tiba saja Jubah Mambang menangkupkan kedua tangannya di dada.

   Sejurus kemudian, tubuhnya bergetar menyusul berkibarnya jubah biru kusam yang terikat di lehernya.

   Kejap kemudian....

   Wuuuttt! Puluhan mata tombak sepanjang lengan yang entah bagaimana bisa disembunyikan di balik jubah biru kusamnya, menggebah.

   Meluncur beruntun ke arah Dewa Bumi.

   "Tinggi langit rupanya telah tergantung, hingga tak sadar kalau nyawa akan terpancung!"

   Seru manusia buntal itu.

   Dan tanpa bergerak dari tempatnya, dihisap cangklongnya yang tak mengeluarkan asap.

   Lalu dihembuskannya perlahan.

   Wrrrr! Gumpalan asap putih itu menggumpal menjadi satu benda padat yang kenyal.

   Puluhan anak panah sepanjang lengan orang dewasa, berbalik begitu mencelat pada gumpalan asap tadi.

   Jubah Mambang memekik tertahan dan segera berjumpalitan menghindari serangannya sendiri.

   Puluhan anak panah itu menancap pada lima batang pohon yang seketika hangus! "Keparat betul! Aku jadi sedikit mempercayai omongan si Jubah Setan! Tetapi, masa bodoh dengan semua ini! Manusia buntal itu telah lancang campur tangan urusan orang!"

   Habis memaki dalam hati, si Jubah Mambang kembali melancarkan ilmu simpanannya, 'Hujan Panah' yang dahsyat.

   Namun lagi-lagi serangan itu tak membawa arti banyak.

   Seperti halnya tadi, puluhan anak panah sebesar lengan orang dewasa mencelat balik ke arahnya sendiri.

   Bahkan kali ini lebih deras dari yang pertama.

   Pucat pasi wajah si Jubah Mambang.

   Bila saja si Jubah Setan tidak menolong dengan mengirimkan serangan 'Hujan Api' nya yang seketika membakar anak panah-anak panah itu.

   tak urung akan terjadi senjata makan tuan.

   "Aku tahu betapa tinggi ilmu yang kau miliki, Dewa Bumi! Tetapi, urusan kambratku adalah urusanku juga! Jangan salahkan, bila nyawamu melayang saat ini juga!"

   "Jalan panjang rupanya banyak liku. Soal hidup dan mati bukan di tanganku. Bila ingin mendahului, silakan maju,"

   Sahut Dewa Bumi dengan kata-kata berpantunnya.

   Mengkelap wajah si Jubah Setan.

   Sadar kalau lawan bukan orang sembarangan, dia sudah melepaskan ajian simpanannya 'Hujan Api'.

   Puluhan bola api yang panas tak terkira menderu dahsyat.

   Mengeluarkan angin menggidikkan.

   Seketika di tempat itu menghampar panas yang tinggi.

   Ayu Wulan yang masih rebah dalam keadaan tertotok mau tak mau menciut juga hatinya.

   Bisa-bisa dia jadi sasaran api-api itu.

   Seperti yang dilakukan oleh Dewa Bumi terhadap Jubah Mambang, serangan si Jubah Setan langsung sirna begitu dihisap dan dihembuskan asap cangklong anehnya.

   Plussss! Puluhan bola api itu seketika padam.

   "Tinggalkan tempat bila masih sayang nyawa. Urusan menghadang di depan mata. Jangan menjadi pecundang bila tak ingin terkena halang rintang!"

   Meskipun hatinya menjadi ciut, Jubah Setan justru bertambah penasaran.

   Kini dibantu dengan Jubah Mambang, keduanya menggebah dahsyat.

   Seketika tempat itu bagai diamuk oleh ratusan gajah liar.

   Pohon yang tumbang semakin banyak.

   Beberapa buah jatuh ke sungai yang tengah itu.

   Memuncratkan air nya yang cukup tinggi.

   Rumput terpapas habis.

   Semak belukar berpentalan dan tanah bagai rengkah seketika.

   Namun kejadian itu hanya dua puluh kali tarikan napas saja terjadi.

   Karena detik berikutnya, tubuh si Jubah Mambang sudah tersuruk ke belakang.

   Sulit disiasati mata bagaimana Dewa Bumi melakukannya.

   Yang dirasakan oleh si Jubah Mambang kalau tulang iganya patah tiga buah.

   Seketika terdengar lolongannya yang tinggi mencapai langit.

   Kalau sebelumnya da masih mampu menahan sakit di tulang iganya akibat serangan si Rajawali Emas beberapa hari lalu, kali ini lelaki tua berambut pendek itu tak mampu lagi bertahan.

   Dua tarikan napas kemudian, nyawanya pun melayang.

   Membesi wajah Jubah Setan dengan teriakannya yang sangat keras.

   Pandangannya lekat dan tajam pada Dewa Bumi yang masih asyik menghisap cangklong anehnya.

   "Kau?!"

   Hanya itu yang bisa dikeluarkannya.

   Detik berikutnya, lelaki berambut panjang itu segera berkelebat meninggalkan tempat itu dengan sejuta dendam membara.

   Tak dipedulikan lagi kambratnya yang telah menjadi mayat.

   Saat dia berlari, desisan penuh kemarahan terdengar.

   "Jubah Mambang telah tewas. Ratu Tengkorak Hitam pun telah mampus di tangan pemuda berjuluk Rajawali Emas itu. Posisi ku sekarang tak menguntungkan. Dasar bodoh! Mengapa tak ku hubungi saja Raja Pocong Hitam? Ya, ya... aku akan segera menuju ke sana!"

   Sepeninggal Jubah Setan yang membawa sejuta dendam dan rencana untuk memanggil seseorang yang dijuluki Raja Pocong Hitam, Dewa Bumi hanya menggeleng-gelengkan kepala.

   "Mengapa masih banyak orang yang berlagak jumawa, padahal sulit mencapai sejengkal langkah. Satu nyawa putus di tangan penuh dosa ini, entah kapan akan mencuci diri. Bila dunia mulai tenteram, aku akan mundur perlahan. Tak akan muncul meskipun kiamat menjelang."

   Lalu dengan langkah yang cukup memancing tawa orang, Dewa Bumi mendekati Ayu Wulan yang kini bisa melihat lebih jelas siapa orang yang menolongnya.

   Tanpa banyak cakap, Dewa Bumi meniup dua kali.

   Ufff! Ufff! Tubuh Ayu Wulan tersentak.

   Totokan yang dideritanya terlepas.

   Terburu-buru dia bangkit, dan mengucapkan terima kasih.

   "Tak perlu ucapan kata itu, karena aku hanya sedikit membantu. Gadis manis berbibir merah, aku tahu kau murid si Manusia Pemarah. Sekarang ada dua pilihan di depan mata. Kau tetap di sini, atau ikut aku ke Gunung Siguntang."

   "Ada urusan apakah kau di Gunung Siguntang, Kek?"

   Tanya Ayu Wulan yang terpaksa harus menundukkan kepalanya saat berbicara itu.

   "Kau jawab dua pilihan, bukan lontarkan pertanyaan,"

   Kata Dewa Bumi tanpa mendongak atau menatap wajah cantik Ayu Wulan. Sikapnya tetap tenang dan sambil menghisap serta menghembuskan asap yang menebarkan aroma wangi dari cangklong anehnya. Ayu Wulan menangkupkan kedua tangannya di dada. Lalu berkata.

   "Aku pilih yang kedua."

   "Jawab sudah kudengar. Sekarang kita harus segera berjalan."

   Lalu tanpa menunggu jawaban Ayu Wulan, manusia buntal itu telah melangkah mendahului.

   Cukup membuat Ayu Wulan mau tak mau tersenyum melihat gerak tubuh si Dewa Bumi saat berjalan.

   Terutama goyangan pinggulnya yang tak kelihatan mana dada, mana pinggang, dan mana pinggul.

   Ayu Wulan yang merasa pusing memikirkan tentang si Rajawali Emas pun segera menyusul.

   Tak berani berjalan berdampingan.

   Bukan karena malu atau apa, melainkan tidak enak karena si kakek berjuluk Dewa Bumi itu hanya sepundaknya tingginya.

   *** Bab 10 Bayangan keemasan yang bergerak lincah dan cepat itu, secepat angin yang menderu, berhenti di sebuah jalan setapak yang dipenuhi dengan semak belukar.

   Sepasang mata yang jernih dan tajam menatap ke depan.

   "Hmmm... rasanya, aku masih membutuhkan waktu dua hari lagi untuk tiba di Gunung Siguntang,"

   Gumam sosok keemasan yang tak lain Tirta alias si Rajawali Emas.

   "Tetapi, benarkah Eyang Sampurno Pamungkas tinggal di sana? Dan... mengenai Iblis Kubur, apakah benar dia sudah menuju ke sana seperti yang dikatakan Eyang Sampurno Pamungkas?"

   Pemuda dari Gunung Rajawali yang masih menatap tak berkedip Gunung Siguntang di kejauhan, menarik napas panjang.

   "Terlalu rumit urusan yang harus kuselesaikan sekarang ini. Menghentikan sepak terjang Iblis Kubur, sekaligus mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat. Tetapi tugas telah ku emban, dan harus segera kulaksanakan. Sebaiknya, aku teruskan langkah menuju ke Gunung Siguntang."

   Belum lagi si pemuda bergerak, mendadak indera penciumannya menangkap bau busuk yang sangat santer sekali. Cepat-cepat Tirta menutup jalan nafasnya sesaat.

   "Gila! Mengapa mendadak tercium bau bangkai yang sangat menyengat? Rambut Manusia Mayat Muka Kuning pun berbau busuk. Tetapi tidak terlalu menyengat seperti ini. Aku yakin, orang atau sesuatu yang menebarkan bau busuk ini bukan Manusia Mayat Muka Kuning. Setahuku dia bersama Dewi Kematian, yang tentunya akan menebarkan aroma wangi yang memabukkan. Apakah keduanya telah berpisah? Oh, celaka! Bau busuk ini makin menyengat! Berarti, asal bau ini sedang menuju ke arah ku! Aku ingin tahu dari mana asalnya bau busuk ini!"

   Memutuskan sampai di sana, dengan ringannya Tirta melompat ke balik semak belukar setinggi dada.

   Ditunggunya beberapa saat sambil menutup jalan nafasnya dengan bantuan tenaga surya.

   Kendati jalan nafasnya ditutup, dia masih tetap bisa bernapas dengan normal.

   Karena, tenaga surya yang mengalir dalam tubuhnyalah yang telah menutup bau busuk itu.

   Lima kejap kemudian, muncul satu sosok tubuh kurus dengan kulit tipis.

   Berjalan agak membungkuk.

   Bukan karena disebabkan faktor usia yang meskipun sekali melihat wajah orang itu sudah bisa menebak berapa usianya, Kira-kira berusia sembilan puluh tahun lebih.

   Tetapi membungkuknya orang itu, disebabkan ada punuk besar pada punggungnya.

   Menonjol di balik baju hitam pekat yang dikenakannya.

   Dari keanehan lelaki berpunuk yang berwajah tak ubahnya setan belaka, di punggungnya terusung seonggok tubuh.

   Dari tubuh yang diusung itulah bau busuk yang dicium si Rajawali Emas menguar.

   Sepasang mata Tirta lebih melebar ketika menyadari tubuh yang diusung lelaki tua berpunuk itu sudah menjadi mayat! "Aneh! Siapa lelaki berpunuk itu? Dan siapa pula yang diusungnya? Hebat dan juga mengherankan! Karena lelaki itu seolah tak mencium bau busuk yang menyengatnya, padahal mungkin sudah lama jenazah itu diusungnya,"

   Batin Tirta dengan tatapan tak sekalipun berkedip. Lelaki pengusung jenazah itu meletakkan jenazah yang dibawanya ke atas sebuah rumput. Lalu dia berlutut. Cara berlututnya seperti terdorong ke depan, dikarenakan punuk di punggungnya.

   "Kekasihku... tiga puluh tahun aku mengusung jenazah mu tanpa lelah. Tanpa mengenal malu dan tak mempedulikan segala urusan. Lama pula kudengar tentang Kitab Pemanggil Mayat. Dan kali ini, rimba persilatan sialan ini diributkan oleh Kitab Pemanggil Mayat yang bisa membangkitkan mayat siapa pun juga meskipun dia telah terkubur ribuan tahun lamanya. Kau beruntung kekasihku. Karena, sebentar lagi aku akan mendapatkan kitab sakti itu. Kau akan ku hidupkan kembali dan kita bisa bersama-sama kembali"

   Lelaki, berpunuk itu mengusap matanya. Rasa sedih melingkari hatinya.

   "Tiga puluh tahun lalu, manusia busuk berjuluk Malaikat Dewa telah membunuhmu. Lama pula kucari manusia laknat itu untuk membalas kematianmu. Tetapi, tak pernah kujumpai manusia laknat itu. Kekasihku... maafkan aku karena sampai saat ini belum berhasil membalaskan sakit hatimu. Tetapi percayalah, setelah kudapatkan Kitab Pemanggil Mayat dan kau berhasil hidup bersama-samaku lagi, kita akan mencari manusia laknat itu. Ah, orang-orang rupanya sudah lupa pada julukan kita. Sepasang Pemburu dari Neraka. Tetapi, mereka yang telah melupakan kita pun telah banyak yang tewas di tanganku. Siapa pun tak akan kubiarkan hidup untuk melupakan kita. Terutama mengejek karena salah seorang dari Sepasang Pemburu dari Neraka telah tewas. Tidak Kekasihku... mereka memang harus mampus. Dan berkali-kali sudah kukatakan kepadamu, kalau mereka menjulukiku si Pengusung Jenazah! Laknat! Dengan kata lain mereka telah melupakanmu, Kekasihku. Sebentar lagi, mereka justru akan melupakan julukan si Pengusung Jenazah dan kembali teringat pada Sepasang Pemburu dari Neraka."

   Tirta yang mendengar kata-kata lelaki berpunuk itu mengerutkan keningnya.

   "Sepasang Pemburu dari Neraka?"

   Desisnya.

   "Dan lelaki itu mengatakan mereka pernah dikalahkan oleh Eyang Guru yang sekaligus menewaskan kekasihnya yang telah menjadi mayat itu. Rupanya, lelaki berpunuk itu sangat mencintai kekasihnya itu. Hingga selama tiga puluh tahun dia terus mengusung jenazahnya. Jelas sekarang, kalau orang itu bukan dari golongan lurus. Dan kemunculannya ini rupanya hendak mencari Kitab Pemanggil Mayat yang bisa dipergunakan untuk menghidupkan kekasihnya kembali. Yang mengherankan ku, meskipun jenazah itu telah mengeluarkan bau yang sangat busuk tetapi mengapa tidak hancur?"

   Lelaki berpunuk yang tengah khusuk menatap jenazah di hadapannya menarik napas. Dan Tirta terkejut ketika melihat beberapa daun kering dan rerumputan tercabut dan melayang ke arah lelaki berpunuk itu. Didengarnya lagi ucapan lelaki berpunuk itu.

   "Kekasihku... meskipun saat ini aku tidak tahu di mana Kitab Pemanggil Mayat berada, tetapi aku menyirap kabar kalau seorang perempuan berbaju hijau lumut berjuluk Dewi Karang Samudera telah memilikinya. Perempuan itu pula yang telah membangkitkan Iblis Kubur. Kita pernah mendengar pula julukan itu, bukan? Ya, ya.... Tak sabar rasanya aku untuk segera mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat dan membangkitkan kau kembali, Kekasihku. Kita akan hidup bersama-sama lagi!"

   Lalu, lelaki berpunuk yang berjuluk si Pengusung Jenazah itu, kembali mengangkat jenazah kekasihnya.

   Gerakannya sangat ringan sekali.

   Meskipun kemudian saat melangkah terlihat gerakannya sangat lamban, namun dari kelambanannya itu tersimpan sebuah ilmu yang sangat tinggi.

   "Kita tak boleh membuang waktu lagi, Kekasihku...."

   Lelaki berpunuk itu terus melangkah. Di tempatnya, Tirta menarik napas pendek, masih mengerutkan kening.

   "Edan! Telah muncul kembali tokoh sesat di rimba persilatan ini yang memiliki dendam pada Eyang Guru. Aku yakin, ilmunya sangat tinggi dan hanya Eyang Guru yang bisa menaklukkannya. Oh, apakah Eyang Guru saat ini tahu tentang manusia celaka itu? Kalaupun aku bermaksud mengabarkan padanya, tetapi di mana aku harus mencarinya? Sampai saat ini aku belum pernah melihat wajah Eyang Guru kendati dia yang telah menyelamatkanku dari tenaga surya sebelum cara mengendalikannya diajarkan oleh Guru. Ah, persoalan Iblis Kubur yang mempunyai dengan pada Eyang Sampurno Pamungkas belum berhasil ku tuntaskan. Sekarang sudah muncul satu masalah yang lebih mengerikan. Eyang Guru dan Eyang Sampurno Pamungkas, sama-sama belum pernah kulihat wajahnya dan sukar menemukan di mana mereka berada. Tetapi sebaiknya, biar kuikuti saja lelaki berpunuk yang berjuluk si Pengusung Jenazah itu. Oh, langkahnya menuju Gunung Siguntang!"

   Setelah menunggu beberapa saat, Tirta pun bergerak mengikuti lelaki berpunuk yang tengah mengusung jenazah kekasihnya.

   *** Tanah di bagian barat Gunung Siguntang yang masih berjarak ratusan tombak dipenuhi dengan rumput yang subur.

   Ada beberapa pepohonan dan beberapa buah batu besar.

   Di senja yang sejuk angin berhembus semilir.

   Selang beberapa saat, entah dari mana datangnya, satu sosok tubuh tinggi kurus berpakaian putih dengan selempang kain putih dari bahu kanan ke pinggang kiri, muncul di sana.

   Seluruh bulu yang ada di tubuhnya sudah memutih.

   Lelaki tua berwajah bijak itu mengusap jenggot putihnya sambil mendesis.

   "Cempaka... mengapa urusan lalu masih kau bentangkan di depan mata? Julukan Dewi Karang Samudera telah melekat pada dirimu, begitu angker dan mengerikan. Kekejaman yang kau sandangpun telah mengubah pandangan mataku terhadapmu. Cempaka, mengapa kau masih menyimpan dendam lama itu padaku? Dan kini, dengan bantuan Kitab Pemanggil Mayat, kau telah membantu Iblis Kubur yang bersumpah akan bangkit lagi seratus tahun sejak dikuburkan oleh Ki Sampurno Pamungkas. Sayang sekali, Cempaka...."

   Lelaki tua berwajah bijak itu menatap Gunung Siguntang yang cukup jauh dari tempatnya.

   "Aku yakin, Eyang Sampurno Pamungkas berada di Gunung Siguntang. Tetapi entah di sisi atau di bagian mana orang tua yang berjuluk Manusia Agung Setengah Dewa itu berada. Dia adalah sahabat Guru, yang sampai saat ini pun aku tidak tahu di mana Guru berada. Apakah sebenarnya dia sudah meninggal atau belum. Tetapi mendapat keadaan pemuda yang berjuluk si Rajawali Emas waktu aku mengajarkan cara mengendalikan tenaga surya pada tubuhnya, aku yakin Guru masih hidup." (Untuk lebih jelasnya baca serial Rajawali Emas dalam episode.

   "Raja Lihai Langit Bumi"). Lelaki tua itu kembali mengusap jenggot putihnya. Matanya yang memancarkan keteduhan terus memandang ke depan. Lelaki tua itu tak lain adalah Raja Lihai Langit Bumi. Seperti diceritakan dalam episode "Dewi Karang Samudera", Dewi Karang Samudera yang bernama asli Cempaka telah bertemu dengan Raja Lihai Langit Bumi. Perempuan berbaju hijau lumut yang tipis menerawang itu memang mempunyai dendam pada lelaki tua bijaksana itu. Puluhan tahun lalu, Dewi Karang Samudera menaruh hati pada Raja Lihai Langit Bumi. Tetapi lelaki itu menolaknya. Hingga kepedihan yang diterima Dewi Karang Samudera akibat penolakan itu berubah menjadi kemarahan dan dendam setinggi langit Dia bertekad untuk membunuh Raja Lihai Langit Bumi. Namun, saat terjadi pertarungan, Dewi Karang Samudera yang memiliki ilmu 'Pengendali Mata' yang aneh sekaligus keji, dapat dipecundangi oleh Raja Lihai Langit Bumi. Karena ilmu 'Pengendali Mata' yang bisa mengambil ilmu orang lain itu tak mampu mengambil ilmu milik Raja Lihai Langit Bumi yang dilakukan tanpa mengerahkan sedikit pun tenaga dalam. Lelaki bijak itu mendesah lagi.

   "Tak ada jalan lain memang. Aku terpaksa kembali ke dunia ramai ini padahal aku sudah menyepi. Seperti yang dilakukan saudara seperguruanku, Bidadari Hati Kejam yang rupanya terpancing oleh Manusia Mayat Muka Kuning. Kunti Pelangi memang benar-benar berhati kejam bila pada orang golongan hitam. Tantangan Manusia Mayat Muka Kuning segera disambutnya dan mau tak mau memaksanya keluar dari tempat menyepinya. Ah, segala urusan dendam semakin tinggi. Dan menurut ilmu 'Peraba Sukma' yang kumiliki, Dewa Bumi dan Manusia Pemarah pun telah terpancing pula dengan liarnya berita tentang Kitab Pemanggil Mayat. Sebelumnya rimba persilatan digegerkan oleh Pedang Batu Bintang yang dibawa Bwana, burung rajawali raksasa kesayangan guru yang kini menjadi peliharaan Tirta alias si Rajawali Emas. Entah kapan urusan ini akan berakhir. Dan menurut penglihatanku, orang-orang dari golongan sesat pun mulai bergerak pula. Berarti, akan terjadi pembantaian bergelombang dan darah yang segera membanjiri persada."

   Habis kata-kata dalam hatinya, seperti kemunculannya yang tak diketahui tadi, mendadak sosok berbaju putih dengan wajah bijaksana itu lenyap dari pandangan.

   Selebihnya, tempat itu kembali dilingkupi sepi.

   *** Bab 11 Dewi Karang Samudera yang berlalu setelah menderita kekalahan akibat pertarungannya dengan Raja Lihai Langit Bumi menghentikan langkah di sebuah tempat yang cukup sunyi dan dipenuhi dengan pepohonan ketika didengarnya suara melangkah yang menimbulkan getaran hebat.

   Luka dalam yang dideritanya seolah lenyap begitu saja ketika disadari siapa yang menimbulkan langkah seperti itu.

   "Hmmm... tak salah, Iblis Kubur. Bagus, jejaknya sudah kutemukan. Baiknya, aku berusaha menemukannya dulu,"

   Gumamnya penuh senyuman.

   Kejap kemudian, perempuan berambut seperti dihiasi pernik perak itu berkelebat ke arah tenggara.

   Melupakan segenap rasa sakit yang dideritanya.

   (Untuk mengetahui luka dalam yang diderita perempuan berbaju hijau lumut yang tipis itu, silakan baca episode .

   "Dewi Karang Samudera"). Apa yang diduga Dewi Karang Samudera hingga melupakan luka dalamnya, memang benar. Pada jarak dua puluh tombak di muka, sepasang mata bagusnya yang memancarkan sinar licik dan kejam melihat satu sosok tubuh sedang bergerak merambah hutan..

   "Iblis Kubur...,"

   Desisnya dengan senyum makin melebar.

   Terdengar suara keras batang pohon yang tumbang dan terpental.

   Menyusul suara bergemuruh.

   Berdebam.

   Dan menggebah di hutan belantara itu.

   Rupanya, manusia yang telah menjadi mayat dan dibangkitkan kembali oleh Dewi Karang Samudera tengah mengobrak-abrik hutan itu dengan rantai besi yang mengikat kedua tangannya, mencoba menembus jalan menuju ke arah timur.

   Dewi Karang Samudera tersenyum.

   "Bagus! Kini dia akan kembali di bawah kakiku! Sayangnya, saat ini tak ada Raja Lihai Langit Bumi. Bila lelaki tua itu ada di sini, akan kubunuh sekarang juga dengan bantuan Iblis Kubur,"

   Kata batin Dewi Karang Samudera. Lalu seraya melompat lima tombak ke muka, perempuan berambut seperti dihiasi pernik perak itu berteriak keras.

   "Iblis Kubur! Hentikan perbuatanmu itu!"

   Lelaki berahang persegi berbaju hitam yang panjang itu menghentikan gerakannya.

   Kepalanya menoleh bersamaan rambutnya yang panjang hingga ke pinggul bergerak, menebarkan bau yang cukup memuakkan.

   Matanya memandang dingin ke arah Dewi Karang Samudera yang meskipun menyadari kalau lelaki yang di kedua kaki dan tangannya terdapat rantai besar yang panjang itu berada di bawah kekuasaannya, tak urung dibuat merinding oleh tatapan tajam yang tak pernah berkedip itu.

   "Aaannaakk mannuussiiaa! Siaappaakkah kaau yaangg beeraannii mengghaallangii keiinginaaan Ibblisss Kuuburr?!"

   Suara serak, dingin, dan dalam itu terdengar. Membuat Dewi Karang Samudera tersentak sejenak "Setan keparat! Apakah kau sudah tidak ingat kalau aku yang membantumu bangkit dari kuburmu!"

   Sentak Dewi Karang Samudera dengan kening dikernyitkan.

   "Jaangaann memmbbuuaall dii haaddappaann Iibliiss Kubburr!"

   "Celaka! Apakah pengaruh dari usapan mantra Kitab Pemanggil Mayat telah punah? Setan keparat! Bisa jadi, karena rentang waktunya cukup lama hingga dia tak melihatku lagi! Tak boleh kubiarkan hal ini terjadi sebelum manusia laknat itu menyerangku! Masih untung aku bisa bergerak cepat saat dia ku bangkitkan dari kuburnya ketika menyerangku! Aku tak boleh buang waktu sebelum dia menyerang!"

   Tetapi terlambat.

   Tangan kanan Iblis Kubur di mana di pergelangan tangannya terikat rantai besi besar dan panjang telah menggebah ke arah Dewi Karang Samudera.

   Sraaanggg! Gubrraakkk! Tiga batang pohon besar langsung tumbang terhantam rantai besi panjang, sementara Dewi Karang Samudera masih beruntung karena bisa meloloskan diri.

   Terburu-buru dengan kesiagaan tinggi, dikeluarkannya sesuatu dari balik pakaiannya.

   Sebuah kitab yang usang dan berwarna merah.

   Kitab yang kini ramai dibicarakan orang dan banyak diinginkan orang untuk memilikinya.

   Ketika dibuka kitab itu, mendadak seolah ada darah yang menetes keluar! Terburu-buru Dewi Karang Samudera mundur lima belas tombak Dan mulailah dibaca mantra dari Kitab Pemanggil Mayat.

   Sementara Iblis Kubur terus melangkah mendekatinya, dengan suara yang dalam, tinggi, dan mengerikan.

   Ketika Iblis Kubur berada dalam jarak delapan tombak, terburu-buru Dewi Karang Samudera menekan kedua tangan pada Kitab Pemanggil Mayat yang kini ada di pangkuannya.

   Mendadak tangan kirinya seperti mengeluarkan darah.

   Tepat ketika Iblis Kubur melepaskan serangan kaki kirinya yang menggebah menimbulkan angin dahsyat menggelombang dan dengungan yang muncul dari rantai besi panjang yang terdapat di kedua kakinya, tanpa buang waktu lagi, perempuan berbaju hijau lumut tipis itu melompat ke belakang.

   Lalu bergerak ke muka.

   Mengirimkan dulu pukulan melalui tangan kanannya, yang mendadak seperti tertahan satu tenaga tak nampak.

   Rupanya, Iblis Kubur telah menahan pukulannya.

   Namun dengan gerak yang luar biasa cepatnya, perempuan berbaju hijau lumut itu mengusapkan tangan kirinya yang seperti mengeluarkan darah ke wajah Iblis Kubur.

   Habis lakukan itu, dia terpental ke belakang karena tangan kanan Iblis Kubur menghajarnya.

   Bergulingan dan menahan sakit, Dewi Karang Samudera segera mengalirkan tenaga dalam dan hawa murninya.

   Di seberang, mendadak manusia mayat yang berdiri tegak itu melolong setinggi langit.

   Suaranya serak.

   Tenggorokannya bagai disekat oleh pasak-pasak kayu yang runcing dan kuat.

   Tubuhnya bergerak gusar, bergulingan ke sana kemari.

   Semak belukar terpapas habis dan tanah muncrat berhamburan.

   Rantai yang mengikat tangan kanan dan kirinya menimbulkan bunyi yang sangat keras dan menghantam pepohonan yang langsung berderak, tumbang dan terpental jauh.

   "Aaammpoounn! Ammpouunnii aakku!"

   Seruan yang keluar dari mulut manusia aneh itu, bagai lolongan serigala kerasnya. Tubuhnya terus berkelojotan dengan hebatnya. Di seberang lain, Dewi Karang Samudera menarik napas lega.

   "Hmmm... kini dia akan kembali menjadi pengikut ku,"

   Desisnya sambil memasukkan kembali Kitab Pemanggil Mayat ke balik pakaiannya.

   "Usapan tangan kananku setelah ditempelkan pada kitab sakti itu yang seperti mengeluarkan darah akan membangkitkan manusia yang telah mampus menjadi mayat. Sementara usapan tangan kiriku akan membuatnya kelojotan kesakitan. Bagus! Semuanya akan kembali seperti sediakala."

   Lalu dengan menahan napas perempuan itu berkata.

   "Iblis Kubur... apakah kau sudah mengenaliku lagi? Ingat, aku adalah Dewi Karang Samudera yang akan menjadi majikanmu. Turuti setiap kataku, maka kau akan kulepaskan dari siksa yang pedih itu!!"

   "Ammpuuniii akkuuu! Akkuuu aakkaaann mennuurrutt kemmbaaliii!"

   "Bagus! Itulah yang ku inginkan!"

   Perempuan berambut seperti pernik perak itu, kali ini mengusapkan kedua tangannya.

   Kalau sejak tadi yang nampak seperti darah keluar hanya tangan kirinya saja, sekarang kedua tangannya seperti meneteskan darah.

   Dalam keadaan tangan seperti itu, Dewi Karang Samudera bergerak cepat.

   Wuuus! Tangannya mengusap wajah Iblis kubur yang sedang kelojotan bergantian.

   Tangan kanan, lalu tangan kiri.

   Setelah itu, dengan gerakan yang sukar diikuti oleh mata, Dewi Karang Samudera telah berdiri tegak pada jarak tiga tombak pada tubuh Iblis Kubur yang kini terdiam.

   Tarikan nafasnya terdengar bagai ringkikan kuda.

   Setelah itu, perlahan-lahan manusia yang telah mampus dan dibangkitkan kembali itu berdiri, Kedua matanya memancarkan sinar merah yang menggidikkan.

   Mulutnya berkomat-kamit.

   "Dewwiii! Saammpuurnooo Pamungkaasss beerradaaa dii Guunuungg Siigunntaangg! Akkuu henndaakk ke saannaaa!"

   "Hmm... dari mana manusia celaka ini bisa mengetahui tentang di mana Ki Sampurno Pamungkas berada. Apakah ingatannya telah pulih tentang Ki Sampurno Pamungkas? Edan! Orang sudah mampus kok masih punya ingatan!"

   Maki batin Dewi Karang Samudera dengan kening berkerut. Lalu menyambung.

   "Aku juga ingin tahu siapa orang yang berjuluk Manusia Agung Setengah Dewa itu! Hmm... urusan Raja Lihai Langit Bumi biar ku tunda sekali lagi. Bila saja manusia sialan itu tanggap, dia tentunya akan menuju Gunung Siguntang!"

   Dengan suara ditekan, si perempuan berkata dingin.

   "Silakan kau berlalu dari sini! Bunuh Ki Sampurno Pamungkas!"

   "Baaiikkk! Kaauu henddaakk ke maannaa, Deewwii?"

   "Manusia celaka! Ku siksa kau bila banyak tanya!"

   Iblis Kubur segera berbalik dan bergerak dengan langkah berat dan menimbulkan getaran. Sepeninggal Iblis Kubur, mendadak saja tubuh Dewi Karang Samudera terhuyung. Lalu ambruk sambil menekap dadanya.

   "Celaka! Luka dalamku semakin terasa sekali. Sialan betul Raja Lihai Langit Bumi! Dan lebih sialan lagi Iblis Kubur yang kembali membuat luka dalam yang sebenarnya bisa ku sembuhkan menguak lagi! Hmmm... aku harus bersemadi lagi rupanya untuk memulihkan keadaan."

   Namun sebelum Dewi Karang Samudera meneruskan maksud, mendadak tercium aroma yang sangat harum. Lalu aroma yang bau busuk "Setan keparat! Siapa yang datang ini?"

   Makinya dan....

   Wuuss! Masih kuat melakukan satu emposan, tubuh Dewi Karang Samudera sudah berada di dahan sebuah pohon yang rimbun.

   Kejap kemudian, matanya menangkap dua sosok manusia yang tiba di tempat itu dan saling pandang mendapati tempat yang telah porak poranda bagai diamuk ratusan kerbau liar.

   *** "Hmmm...

   Dewi Kematian dan Manusia Mayat Muka Kuning,"

   Desis Dewi Karang Samudera dalam hati.

   "Jahanam betul! Aku yakin, kedua manusia keparat ini juga menginginkan Kitab Pemanggil Mayat! Benar-benar celaka, di saat aku terluka seperti ini dan Iblis Kubur menjauh keduanya muncul! Sebisanya aku tidak bentrok dulu dengan kedua manusia celaka itu saat ini!"

   Dua orang yang muncul itu memang Dewi Kematian dan Manusia Mayat Muka Kuning.

   Dari tubuh sepasang manusia berwatak bengis itu, mengeluarkan aroma yang berbeda.

   Dari tubuh perempuan berbaju sutera yang rendah hingga memperlihatkan bungkahan payudaranya yang minus dan montok itu, menguar aroma harum merangsang yang menggetarkan.

   Sementara dari rambut putih acak-acakan Manusia Mayat Muka Kuning menguar bau busuk menyengat! Tak mungkin bisa mengejar burung rajawali raksasa itu.

   Dulu aku pernah melakukannya.

   Setan keparat! Kembali kita kehilangan jejak si Rajawali Emas,"

   Maki perempuan bercadar sutera yang mengeluarkan aroma wangi itu.

   Manusia Mayat Muka Kuning menyeringai.

   Warna kuning pekat yang hanya menghiasi wajahnya itu makin bertambah pekat saja.

   'Tak usah memikirkan soal itu, Yang ada sekarang, suasana sepi, dingin, dan penuh dengan aroma birahi,"

   Kata lelaki tua muka kuning itu dengan seringaian yang makin melebar. Dewi Kematian mendengus tanpa mempedulikan gerakan tangan nakal Manusia Mayat Muka Kuning.

   "Yang ada di benak manusia keparat ini cuma birahi saja. Benar-benar bikin kepalaku pusing mengapa aku bisa memenuhi keinginannya yang satu ini?"

   Batin Dewi Kematian geram.

   "Tetapi, aku masih membutuhkan bantuannya. Cuma saja...."

   Mendadak perempuan bercadar sutera itu memutus kata-kata hatinya sendiri.

   Lalu merangkul Manusia Mayat Muka Kuning yang dengan penuh nafsu membalas dengan tangan yang liar dan mulut yang dimonyongkan untuk mencari sasaran.

   Kejap kemudian, tubuh keduanya bergulingan di atas tanah.

   Dari tempatnya bersembunyi, Dewi Karang Samudera keluarkan dengusan sengit dan segera mengalihkan pandangannya.

   "Manusia-manusia dajal yang jadi budak birahi!"

   Makinya geram dengan wajah ditekuk. Lalu menyambung dalam hati.

   "Biarlah keduanya memadu kasih. Dan perlahan-lahan aku akan berlalu dari sini. Untuk menandingi mereka sebenarnya masih mampu kulakukan dengan ilmu 'Pengendali Mata'. Tetapi untuk mengeluarkan ilmu itu, aku tak boleh kehilangan hawa murni sedikit pun juga. Padahal saat ini telah cukup banyak terbuang hawa murni ku untuk mengobati luka dalamku. Selagi mereka sibuk dengan segala urusan birahi, ku coba untuk mengobati rasa sakit yang mendera."

   Suara di bawahnya, begitu mengganggu konsentrasi Dewi Karang Samudera sebenarnya. Terutama desah napas si perempuan bercadar sutera, menyusul ringkikan birahi Manusia Mayat Muka Kuning.

   "Setan keparat! Aku tak bisa melakukan di sini!"

   Maki perempuan berambut seperti dihiasi pernik perak itu.

   "Sebaiknya aku menyusul Iblis Kubur ke Gunung Siguntang mumpung kedua manusia celaka itu masih asyik dengan urusannya!"

   Memutuskan sampai di sana, Dewi Karang Samudera menunggu saat yang tepat.

   Dia tak ingin keberadaannya di sana diketahui oleh dua manusia yang tengah bergumul di atas rumput, di bawahnya.

   Setelah beberapa saat berlalu, kesempatan itu pun didapatkannya.

   Dengan cepat Dewi Karang Samudera mengempos tubuh.

   Namun....

   *** Bab 12 Wrrrr! Di luar dugaannya, angin dahsyat berwarna kuning melesat dari bawah.

   Memekik perempuan berbaju hijau lumut itu mendapati serangan mendadak yang ganas dan cukup mengejutkan.

   "Keparat betul!"

   Teriaknya sambil memutar tubuh dua kali di udara dan hinggap di tanah dengan kedua kaki dipentangkan.

   Bersamaan tubuh Dewi Karang Samudera berdiri tegak, dua sosok tubuh yang tadi bergumul pun bangkit sambil menyeringai lebar.

   Rupanya, serangan yang membuat Dewi Karang Samudera mengurungkan niatnya itu dilakukan oleh Manusia Mayat Muka Kuning.

   Dewi Kematian berkata dengan suara dingin namun terkesan manja.

   "Lelaki tua muka kuning... apakah sekarang kau percaya dengan yang kukatakan tadi?"

   Manusia Mayat Muka Kuning mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu dengan tatapan mesra yang menjijikkan Dewi Karang Samudera saat melihatnya, dia berkata pada Dewi Kematian.

   "Kau memang luar biasa, Dewi. Kupikir tadi saat kau tiba-tiba merangkul ku, gejolak birahi mu datang kembali. Tidak tahunya kau sengaja berbuat seperti itu karena kau melihat bayangan hijau di balik rimbunnya dedaunan pohon itu. Dan saat itulah kau membisikkan kata, agar kita berpura-pura bercinta. Karena kau ingin tahu siapa bayangan hijau itu."

   Merah padam wajah Dewi Karang Samudera mendapati kata-kata orang. Lebih geram lagi menyadari kalau keberadaannya di sana sebenarnya sudah diketahui oleh si perempuan bercadar.

   "Urusan memang tak bisa ditolak lagi. Kita satu golongan yang tak punya silang sengketa! Bila memang harus terpancing saat ini juga, tidak ada salahnya!"

   Wajah di balik cadar sutera menyunggingkan senyum aneh. Lalu terdengar suaranya.

   "Hebat... kalau saat ini kau masih melontarkan kata-kata yang terlalu muluk seperti itu. Dan jangan mencoba menutupi saat ini kalau kau tengah terluka dalam, perempuan berambut perak?"

   "Benar-benar celaka kali ini! Perempuan berdada seperti milik raksasa itu benar-benar tahu apa yang ku alami sekarang,"

   Batin Dewi Karang Samudera dengan wajah ditekuk. Tetapi, dengan ilmu 'Pengendali Mata' akan kubuat porak-poranda kedua manusia celaka ini."

   "Apakah setelah kau pikir kau tahu tentang keadaanku ini, kau akan mudah menaklukkan ku, Dewi Kematian?"

   Kata Dewi Karang Samudera dengan suara dingin. Wajah di balik cadar sutera tersenyum.

   "Sesumbar mu sungguh sangat merdu di telingaku! Tetapi, seluruh dunia pun tahu, kalau aku adalah orang paling baik. Sekarang, berikan Kitab Pemanggil Mayat kepadaku! Jangan sampai urusan akan makin lebih mengerikan jadinya!"

   "Mengapa masih bertanya padahal kau tahu jawabannya, hah? Bila memang mampu, lakukan apa yang kau inginkan!"

   Sraatt! Manusia Mayat Muka Kuning sudah menjentikkan jari telunjuk dengan ibu jarinya.

   Seketika meluncur sinar kuning dahsyat setajam mata anak panah ke arah Dewi Karang Samudera.

   Mendapati lawan sudah membuka serangan, sambil mengalirkan tenaga dalam pada luka yang dideritanya, perempuan berbaju hijau tipis itu membuka kedua telapak tangan.

   Lalu mendorongnya ke muka.

   Wrrr! Angin menghampar dahsyat diiringi gemuruh yang menggidikkan.

   Menghantam sinar kuning yang dilepaskan oleh Manusia Mayat Muka Kuning.

   Pyaaarrr! Sinar kuning itu pecah dan muncrat.

   Cukup menerangi tempat itu.

   Akan tetapi, Manusia Mayat Muka Kuning diam-diam telah meneruskan dengan serangan susulan.

   Kali ini Dewi Karang Samudera terkesiap dibuatnya.

   Memekik tertahan, perempuan itu sambil putar tubuh.

   Belum lagi dia hinggap di tanah, satu bayangan sutera berkelebat dengan mengirimkan satu jotosan dahsyat ke arah punggung.

   Dewi Karang Samudera melengak, cepat membuang tubuh ke kiri.

   Saat melompat itu dilepaskan satu tendangan kaki kanan.

   Prakkk! Karena posisinya kurang menguntungkan, saat terjadi benturan itu, tubuh Dewi Karang Samudera terjingkat ke belakang.

   Keadaan makin tak menguntungkan.

   Di samping luka dalam yang makin terasa menyengat, satu jotosan menghantam sisi kiri bagian pinggangnya.

   Desss! Rupanya, Manusia Mayat Muka Kuning telah mempergunakan kesempatan itu untuk melepaskan satu pukulannya.

   Meraung kelojotan Dewi Karang Samudera.

   Tubuhnya bergulingan cepat.

   Pakaian yang dikenakannya seketika kotor terkena tanah dan debu.

   "Hhh! Apakah sesumbar mu kali ini masih bisa diandalkan?"

   Seru perempuan bercadar dengan senyuman penuh ejekan. Lalu dibawa langkahnya perlahan mendekati Dewi Karang Samudera yang masih kelojotan.

   "Kini ajalmu telah tiba. Padahal, aku masih bermurah hati padamu bila kau mau menyerahkan Kitab Pemanggil Mayat itu. Tetapi kau telah menggali lubang kuburmu sendiri! Terimalah kematian... heiii!"

   Urung Dewi Kematian mengangkat sebelah tangan yang telah dialirkan tenaga dalam tinggi.

   Bahkan saking kagetnya dia sambil berjingkat satu tindak ke belakang dengan mata terbeliak Manusia Mayat Muka Kuning yang sejak tadi sudah mengumbar senyum pun, putus seketika seperti dibetot setan.

   Di hadapan mereka, Dewi Karang Samudera telah berdiri tegak tanpa kurang suatu apa.

   "Siapakah yang telah sesumbar kali ini?"

   Serunya dingin dengan mata sebelah kiri memancarkan sinar hijau mengerikan. Sementara mata sebelah kanannya tetap berwarna hitam seperti sebelumnya.

   "Kau, tak akan bisa mencapai maksud. Pikirkan sekarang juga, orang-orang serakah! Tinggalkan tempat ini, atau nyawamu lepas dari badan!"

   Manusia Mayat Muka Kuning yang sudah berada di sisi Dewi Kematian berbisik "Aku pernah mendengar kalau perempuan celaka itu memiliki sebuah ilmu yang hebat.

   Ilmu 'Pengendali Mata'.

   Dengar-dengar pula, ilmu itu dapat membuat tubuhnya pulih seperti sediakala."

   "Tetapi mengapa tadi sepertinya dia terluka dalam?"

   Tanya Dewi Kematian dengan tatapan tak berkedip ke arah Dewi Karang Samudera. Manusia Mayat Muka Kuning menggelengkan kepala.

   "Aku tidak tahu. Mungkin, saat terluka itu dia belum mengeluarkan ilmu yang dimilikinya."

   "Kau tahu kelemahannya?" 'Tidak Aku tidak tahu soal itu."

   Apa yang dikatakan oleh lelaki tua berwajah tirus berwarna kuning itu memang benar.

   Kalaupun sebelumnya Dewi Karang Samudera terluka dalam dan belum berhasil menyembuhkannya akibat bertarung dengan Raja Lihai Langit Bumi, dikarenakan Raja Lihai Langit Bumi mempergunakan ilmu simpanannya yang tak mempergunakan tenaga dalam.

   Ilmu 'Pengendali Mata' adalah ilmu yang bisa mengambil ilmu atau jurus lawan yang dikehendaki.

   Tetapi bila lawan mempergunakan tenaga luar tanpa mempergunakan tenaga dalam, maka ilmu itu tak berfungsi sama sekali.

   Bahkan bila lawan yang mempergunakan tenaga luar itu berhasil mendaratkan pukulan, harus membutuhkan waktu sepuluh kali penanakan nasi untuk mengobati lukanya.

   Dan ketika Dewi Karang Samudera terhajar telak oleh pukulan Manusia Mayat Muka Kuning, waktu sepuluh kali penanakan nasi telah lewat.

   Saat itulah Dewi Karang Samudera mempergunakan ilmu 'Pengendali Mata' untuk mengobati luka dalamnya yang tak menimbulkan bekas apa pun.

   Dan perubahan mata kirinya, di mana letak kekuatan ilmu 'Pengendali Mata' itu akan berubah menjadi warna hijau.

   Bila sudah selesai mengobati lukanya, maka sinar matanya kembali seperti sediakala.

   Kejap itu pula sinar hijau di mata kirinya lenyap sama sekali.

   Dewi Karang Samudera tersenyum dingin.

   "Mengapa kalian berdiri macam orang dungu? Apakah kalian sudah jeri untuk menghadapiku lagi?"

   "Setan keparat! Aku ingin melihat kehebatan ilmumu itu!"

   Maki Manusia Mayat Muka Kuning dengan wajah mengkelap.

   Habis kata-katanya, tubuhnya melesat dahsyat penuh tenaga dalam tinggi ke arah Dewi Karang Samudera, yang telah mempergunakan ilmu 'Pengendali Mata'-nya.

   Begitu serangkum asap pekat berwarna kuning dikawal angin dahsyat bergemuruh, Dewi Karang Samudera menggerakkan tangan kanannya pula.

   Asap pekat berwarna kuning yang dikawal angin dahsyat, meluncur hebat.

   Manusia Mayat Muka Kuning memekik tertahan.

   Tanpa sadar dia melontarkan tubuhnya ke samping.

   Justru Dewi Kematian berseru keras,' "Gila! Bukankah yang dilakukan oleh manusia celaka itu adalah ilmu yang kau miliki, orang tua muka kuning?"

   Pertemuan dua asap kuning tadi menimbulkan suara seperti ledakan.

   Dahsyat dan mengerikan.

   Tanah di mana bertemunya dengan pukulan tadi muncrat dua tombak.

   Rerumputan langsung meranggas.

   Saat semuanya sirap, di wajah Dewi Karang Samudera tersungging sebuah senyuman dingin sementara wajah Manusia Mayat Muka Kuning membeku pucat.

   "Sayangnya, aku tak mempunyai belas kasihan seperti yang kau miliki, Perempuan bercadar! Kendati aku tahu ucapanmu itu hanya isapan jempol belaka, tetapi aku tak mempedulikan segala omongan! Kini, kematian harus kalian terima!"

   Dengan mempergunakan jurus ampuh yang dimiliki oleh Manusia Mayat Muka Kuning yang dicurinya dengan menggunakan ilmu 'Pengendali Mata'nya, perempuan berbaju hijau tipis itu menggebah ke arah Dewi Kematian.

   "Setan laknat! Demi leluhur! Aku bersumpah akan menghabisi nyawamu sekarang juga!"

   Suara si perempuan bercadar sutera serak dan dalam.

   Menandakan kemarahan sudah mengaliri setiap aliran darahnya.

   Dengan gerakan yang sangat cepat, sebelum serangan Dewi Karang Samudera sampar, Dewi Kematian sudah menepukkan tangannya.

   Tak terdengar suara apa-apa.

   Tetapi, sesuatu yang mengerikan terjadi.

   Asap kuning pekat itu langsung pecah dan menghilang.

   Menyusul satu teriakan dahsyat terdengar dari mulut Dewi Karang Samudera.

   "Aaaakhhhh!"

   Rupanya Dewi Kematian sudah mempergunakan ilmu anehnya yang disebut 'Tepukan Cabut Sukma'.

   Sebuah ilmu yang menghantam telinga orang yang ditujunya hingga keseimbangan yang dimiliki orang itu akan kandas seketika.

   Mendapati orang yang dijadikan sasaran serangannya bergulingan kelojotan dengan mengeluarkan suara seperti kambing disembelih, Dewi Kematian terus menghujaninya dengan serangan dahsyatnya itu.

   Namun hanya lima tarikan napas saja dia mampu menguasai jalannya pertarungan.

   Karena detik berikutnya, gulingan, kelojotan, dan erangan kesakitan Dewi Karang Samudera terhenti.

   Kejap lain, perempuan berbaju hijau lumut tipis itu sudah berdiri tegak dengan senyuman dingin bertengger di bibir.

   Menyusul matanya sebelah kiri memancarkan sinar hijau terang.

   Rupanya, Dewi Karang Samudera telah menamengkan diri dengan ilmu 'Pengendali Mata' yang dijadikan sebagai penahan serangan sekaligus kekuatannya.

   "Apakah hanya ilmu murah semacam itu saja yang kau miliki, hah?"

   Bentaknya keras, dingin dan mengerikan.

   *** Dewi Kematian mundur satu tindak.

   Nafasnya terasa sesak karena terkejut dan turun naik dengan cepatnya.

   Hingga bungkahan payudaranya yang besar, montok, dan mulus itu terlihat sangat jelas, Wajahnya yang tersembunyi di balik cadar seperti tertarik ke dalam mendapati lawan dalam keadaan segar bugar.

   "Sungguh hebat ilmu 'Pengendali Mata' yang dimiliki perempuan ini. Bagaimana cara mengatasinya? Persetan dengan semuanya, akan kuhantam lagi dia dengan ilmuku ini?"

   Batin Dewi Kematian dan siap mengeluarkan ilmu 'Tepukan Cabut Sukma'nya. Tetapi Manusia Mayat Muka Kuning sudah berkelebat ke arahnya dan menahan tangannya.

   "Jangan gegabah. Apakah kau sudah melupakan kalau perempuan celaka itu berhasil mencuri ilmuku? Jangan-jangan, dia pun bisa mendapatkan ilmu 'Tepukan Cabut Sukma'mu."

   "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

   "Aku tidak tahu."

   "Lelaki keparat ini selalu tidak tahu!"

   Maki Dewi Kematian dalam hati. Pandangannya masih lurus ke arah Dewi Karang Samudera yang telah berdiri dengan sedikit mementangkan kedua kaki.

   "Tetapi, kata-katanya itu bisa ku benarkan juga. Tak mustahil perempuan celaka itu pun bisa mencuri ilmuku ini."

   Di seberang, Dewi Karang Samudera berkata dingin.

   "Apakah kau sudah tak mampu lagi mengeluarkan ilmumu itu, hah? Ataukah... kau sudah merasa jeri sekarang?"

   Mengkelap hati Dewi Kematian mendengar ejekan orang.

   Tetapi masih ditahan rasa marahnya karena disadarinya ucapan Manusia Mayat Muka Kuning tadi.

   Hanya dada montok nya saja yang kelihatan lebih cepat turun naik menandakan dia sudah berada di ambang kemarahan yang kritis.

   Dewi Karang Samudera umbar tawa kerasnya.

   "Tak pernah kusangka kalau ternyata kalian hanya besar mulut dan penuh sesumbar?.' Pengecut berlagak hebat!"

   Dewi Kematian benar-benar tak mampu menahan kemarahannya lagi. Dia hampir saja melakukan ilmu 'Tepukan Cabut Sukma'-nya. Namun lagi-lagi diurungkan karena Manusia Mayat Muka Kuning menahan gerakannya.

   "Jangan gegabah."

   "Apa yang harus kita lakukan? Kita tunggu saat yang tepat. Aku yakin, sebenarnya ilmu yang dimiliki perempuan itu tidak terlalu tinggi. Tetapi, karena ilmu 'Pengendali Mata' yang dimilikinya dan mampu mencuri ilmu yang kita miliki, dia bisa menjadi orang kuat."

   "Apakah...."

   Kata-kata Dewi Kematian terputus begitu saja, ketika indera penciumannya menangkap bau yang sangat busuk luar biasa.

   Begitu pula dengan Manusia Mayat Muka Kuning yang melengak sesaat Kejadian serupa pun dialami oleh Dewi Karang Samudera yang tanpa sadar menolehkan kepalanya ke belakang.

   Belum lagi perempuan berbaju hijau lumut tipis itu menyadari apa yang terjadi, mendadak saja sesuatu berkelebat ke arahnya.

   Dirasakannya pinggangnya dipegang seseorang.

   Perempuan berbaju hijau tipis itu terkejut dan cepat menggerakkan tangan kanannya ke arah pinggang.

   Tetapi terlambat....

   "Heeiiii!"

   Memekik tertahan Dewi Karang Samudera sambil memegang perutnya.

   "Celaka! Bayangan tadi telah mencuri Kitab Pemanggil Mayat!"

   "Kekasihku... tak kusangka kalau apa yang kita cita-citakan terkabul begitu cepat. Kau lihat ini, Kekasihku? Oh, maaf... aku yakin kau sudah tak mengetahui apa-apa lagi karena kau sudah mati. Tetapi di tanganku sekarang... ada Kitab Pemanggil Mayat yang bisa menghidupkanmu kembali...."

   Terdengar suara dingin yang cukup menggetarkan dada.

   Manusia Mayat Muka Kuning dan Dewi Kematian hanya memperhatikan dengan napas tertahan, ketika lelaki tua berpunuk berbaju hitam pekat itu menurunkan sebuah jenazah dari usungannya ke rumput.

   Sementara itu sepasang mata jernih yang terkadang bersinar jenaka, memperhatikan dari sebuah balik semak "Gila! Lelaki berpunuk itu sangat cepat gerakannya.

   Dia telah berhasil mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat.

   Lebih celaka lagi kalau di sini telah hadir tiga manusia sesat yang rupanya habis bertarung.

   Biar kulihat dulu apa yang terjadi,"

   Batin orang di balik semak yang tak lain adalah si Rajawali Emas yang sejak kemarin telah mengikuti jejak lelaki berpunuk yang mengusung jenazah itu.

   Sesaat keadaan sunyi mencekam.

   Sebelum akhirnya dipecahkan oleh bentakan keras Dewi Karang Samudera dengan kemarahan meluap.

   "Lelaki keparat berpunuk! Kembalikan Kitab Pemanggil Mayat itu!"

   Lelaki berpunuk yang baru saja meletakkan jenazah kekasihnya yang menebarkan bau busuk menoleh. Tatapan matanya membuat Dewi Karang Samudera bergidik melihatnya.

   "Perempuan cantik berbaju hijau! Kau tak bisa mengelabui ku dengan wajah cantik mu itu dari usiamu yang sebenarnya! Jangan bertindak bodoh di hadapanku!"

   "Keparat! Siapa kau, hah?!"

   "Setan perempuan hina! Kau berhadapan dengan Pengusung Jenazah......."

   SELESAI RAJAWALI EMAS Segera menyusul!! Serial Rajawali Emas dalam episode. PENGUSUNG JENAZAH Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. Lola Ariatna

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Perempuan Siluman Pengemis Binal Kemelut Kadipaten Bumiraksa Dendam Kesumat Kaum Persilatan Bu Lim Ki Siu Karya Wen Lung

Cari Blog Ini