Ceritasilat Novel Online

Misteri Menara Berkabut 1


Raja Naga Misteri Menara Berkabut Bagian 1


MISTERI MENARA BERKABUT Hak cipta dan Copy Right Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit Serial Raja Naga Dalam Episode 003 .

   128 Hal.; 12 x 18 Cm UNTUK sesaat Raja Naga merasakan kepalanya agak bergoyang ke belakang.

   Kedua kakinya pun surut.

   Tapi di saat lain sepasang matanya yang bersinar angker memandang tajam pada gadis jelita berpakaian putih yang menatapnya tak mengerti.

   "Boma... ada apa?"

   Tanya si gadis pelan dan tanpa sadar dia merasa ngeri dengan tatapan tajam itu.

   "Diah Harum... ulangi lagi apa yang kau katakan tadi,"

   Kata Raja Naga, suaranya dingin.

   "Apa... apa yang harus ku ulangi?"

   Tanya si gadis yang pada bagian atas kedua dadanya yang membusung itu terdapat dua kuntum bunga mawar.

   "Siapa gurumu?"

   "Dia... bernama Dadung Bongkok...."

   "Keparat!!"

   "Boma! Ada apa ini? Mengapa kau kelihatan gusar?!"

   Seru Diah Harum alias Dewi Bunga Mawar terkejut. Raja Naga menatapnya dalam.

   "Diah... apakah kau tidak tahu siapa gurumu itu?"

   "Yang kutahu Guru adalah seorang kakek baik-baik, seorang tokoh yang berada di jalan kebenaran."

   "Kau tahu siapa perempuan yang telah dibunuh oleh gurumu dua belas tahun yang lalu?!"

   "Dia... dia seorang perempuan biadab, istri seorang pendekar keparat berjuluk Pendekar Lontar...."

   "Dan kau tahu siapa orang yang berada di hadapanmu ini?!"

   "Boma! Ada apa ini? Mengapa kau menjadi begitu kasar?!"

   Seru Diah Harum makin tak mengerti.

   Bentakan bernada menuntut dan serak itu menyadarkan Raja Naga dari amarah yang mengamuk di dadanya.

   Untuk beberapa saat pemuda berompi ungu ini menarik napas sambil menghentakkan kepalanya ke atas.

   Sepasang matanya yang bersinar angker menatap angkasa luas.

   Berulang kali dia menarik napas.

   Dewi Bunga Mawar yang tak mengerti akan sikap Boma Paksi memandang pemuda gagah yang berambut dikuncir, yang masih memandang angkasa.

   "Rasanya ada sesuatu yang salah yang membuatnya menjadi gusar seperti itu. Ada apa ini? Yang manakah ucapanku yang salah?"

   Desisnya dalam hati bertanya-tanya. Didengarnya lagi kata-kata pemuda yang masih menengadah itu.

   "Diah Harum... maafkan sikapku tadi...."

   "Boma... aku tak mengerti mengapa kau menjadi gusar seperti itu! Katakan padaku, apakah ada ucapanku yang salah?!"

   "Gadis ini sama sekali tak mengerti apa yang telah terjadi. Tentunya Dadung Bongkok telah memutar kenyataan dan membikin si gadis menjadi mendendam pada Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Aku bisa meraba sekarang apa yang diinginkannya menuju ke Lembah Naga. Tentunya Dadung Bongkok memerintahkannya untuk mengetahui keberadaan Guru dan diriku. Karena menurut cerita Guru, dia telah mengancam Dadung Bongkok atas perbuatannya yang menyebabkan Ibuku tewas,"

   Kata Boma Paksi dalam hati.

   "Boma! Katakan padaku, katakan! Ada apa? Jangan kau berdiam seperti itu?!"

   Suara Dewi Bunga Mawar mengiba.

   Gadis yang baru saja ditolong dari kenistaan yang akan dilakukan oleh Renggana itu merasa tidak enak bila membuat si pemuda menjadi gusar terhadapnya.

   Raja Naga perlahan-lahan menurunkan kepalanya.

   Walaupun tatapannya tidak seangker tadi, tetapi tetap berkesan angker.

   Sesaat dipandanginya wajah jelita yang telah menggedor dadanya.

   "Diah Harum... kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gurumu telah menanamkan bibit permusuhan di dalam hatimu terhadap keturunan mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar...."

   "Aku tak mengerti apa yang kau katakan, Boma."

   Murid Dewa Naga menarik napas panjang. Sejenak dibawa pandangannya ke kejauhan sebelum kembali menatap wajah jelita yang masih menunggu jawabannya dengan tidak sabar.

   "Pendekar Lontar dan Dewi Lontar adalah sepasang suami istri yang berada di jalan kebenaran. Dan sesuatu yang mengejutkan terjadi karena pada malam dua belas tahun lalu, Pendekar Lontar ditemukan telah tewas tanpa ada yang mengetahui siapakah pelakunya. Menyusul kematian istrinya di tangan gurumu. Saat itu Dewi Lontar memang telah menyerahkan pusaka Pendekar Lontar yang berupa gumpalan daun lontar kepada putranya, yang kemudian muncul untuk membantu ibunya. Alangkah pedih hati si bocah tatkala mengetahui ibunya telah meninggal. Lalu dengan keberanian penuh dicobanya untuk menuntut balas kematian ibunya pada orang yang telah membunuhnya. Tetapi jelas dia bukanlah tandingan si pembunuh. Sampai kemudian muncul Dewa Naga yang menyelamatkan si bocah. Si pembunuh sebenarnya sudah berulang kali mencoba merampas pusaka Pendekar Lontar tetapi selalu gagal. Dan malam itu dia juga gagal mendapatkannya karena ngeri terhadap Dewa Naga...."

   "Boma... kau menceritakannya begitu jelas seolah kau menyaksikan semua itu...,"

   Suara Diah Harum terdengar sinis. Boma Paksi menganggukkan kepalanya pasti.

   "Ya! Karena aku memang menyaksi-kannya!"

   "Oh!"

   Bola mata si gadis menghujam tepat pada bola matanya. Lalu katanya terbata dibaluri ketegangan.

   "Boma... siapakah kau sebenarnya?"

   "Aku adalah putra mendiang Pendekar Lontar dan Dewi Lontar. Bocah yang hendak dibunuh oleh gurumu yang bernama Dadung Bongkok dan telah diselamatkan oleh Dewa Naga...."

   "Astaga!"

   Surut kedua kaki Dewi Bunga Mawar dengan pandangan tegang. Lalu serunya tertahan.

   "Jadi... jadi... kau juga murid... Dewa Naga?!"

   "Ya! Aku adalah murid Dewa Naga!"

   Saat itu pula Dewi Bunga Mawar merasa kepalanya pusing. Otaknya kontan dipenuhi berbagai pikiran yang simpang siur. Berkali-kali gadis ini menggelenggelengkan kepalanya dengan cara disentak.

   "Tak mungkin... tak mungkin Guru membohongiku...."

   "Itulah kenyataannya. Gurumu menghendaki pusaka Pendekar Lontar untuk kepentingan pribadinya. Tetapi berulang kali dia gagal mendapatkannya. Bahkan di saat dia sudah berhasil, masih gagal pula karena kemunculan Dewa Naga. Diah... aku tahu apa yang diinginkan oleh gurumu dengan menyuruhmu untuk mendatangi Lembah Naga. Gurumu hendak memantau keadaan putra dari Pendekar Lontar karena dia tentunya teringat pada peristiwa dua belas tahun yang lalu. Dan perlu kau ketahui... aku pun akan menuntut balas atas perbuatan gurumu terhadap ibuku!"

   Diah Harum masih terdiam dengan kepala laksana dibebani oleh berjuta batu besar. Gadis Ini tak bisa mempercayai apa yang dikatakan Boma Paksi barusan.

   "Tak mungkin... tak mungkin Guru membohongiku...,"

   Desisnya berulang ulang. Boma Paksi tak menjawab. Pemuda dari Lembah Naga ini hanya memandang saja. Tiba-tiba dilihatnya Diah Harum mengangkat kepala. Pandangannya angkuh dan tajam. Mulutnya merapat sebelum membuka.

   "Boma! Belum lama ini aku kagum terhadapmu! Tetapi sekarang kekaguman itu lenyap! Kau tak lebih dari seorang tukang fitnah belaka?"

   Raja Naga tak menyahuti ucapan Dewi Bunga Mawar. Dia hanya memandang saja. Karena sikap Boma Paksi itulah yang membuat Dewi Bunga Mawar yang sedang dipusingkan dengan apa yang didengarnya, meradang kembali.

   "Aku tahu kau memiliki ilmu yang sangat tinggi! Tetapi aku tak peduli! Siapa pun yang memfitnah guruku, dia akan mendapatkan balasan yang sangat menyakitkan!"

   "Diah... seharusnya aku yang marah karena ternyata kau adalah murid musuh besarku! Tetapi tindakan itu adalah sebuah kesalahan bila kutumpahkan kepada mu! Kau hanyalah seorang murid yang tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang telah dilakukan gurumu dua belas tahun yang lalu!"

   "Jangan banyak omong! Kau telah memfitnah, Boma!"

   "Yang kukatakan adalah sebuah kebenaran! Dadung Bongkok telah menjejali pikiranmu dengan sebuah penjelasan palsu! Dia telah memutarbalikkan kenyataan!"

   "Selama ini aku sangat menghormati guruku, karena kebaikannya yang telah merawatku selama enam belas tahun! Dia adalah pengganti kedua orangtuaku yang tak pernah kukenal!"

   "Kau tahu bagaimana kau bisa menjadi muridnya?!"

   "Apa pedulimu dengan pertanyaanmu itu, hah?!"

   "Karena kau akan dapat menyusuri kebenaran!"

   "Peduli setan!"

   Bentak Dewi Bunga Mawar berang.

   "Kau telah memfitnah guruku! Setinggi apa pun ilmu yang kau miliki aku tak peduli! Mulutmu harus kutampar karena kelancanganmu itu!!"

   Habis ucapannya dengan teriakan yang keras Dewi Bunga Mawar menerjang ke depan.

   Tangan kanan kirinya segera di dorong dengan keras yang segera menghampar gelombang angin berkekuatan tinggi.

   Raja Naga memandang tak berkedip.

   Keangkeran matanya menggigit kembali.

   "Gadis ini telah ditanamkan kebencian oleh gurunya pada keturunan Pendekar Lontar dan Dewa Naga! Hemm... apa yang dilakukannya semata karena dia tak suka mendengar gurunya dikatakan sebagai seorang pecundang."

   Masih tanpa bergeser dari tempatnya Raja Naga mengangkat kedua tangannya.

   Buk! Buk! Benturan keras itu terjadi.

   Tetapi jangankan berpindah, Raja Naga bergeming saja tidak.

   Di pihak lain justru gadis jelita itu yang terpental ke belakang.

   Raja Naga memandang dingin.

   Kekuatan kedua tangannya yang sebatas siku dipenuhi sisik coklat memang luar biasa.

   Kalau dia mau, tadi dia bisa mematahkan kedua tangan Diah Harum! "Diah...

   kau terlalu dibutakan oleh perasaanmu sendiri! Padahal bila kau mau memikirkannya lebih dulu, kau akan sadar siapa gurumu!"

   "Guruku adalah orang baik-baik! Dan sekarang kau melontarkan fitnah yang menyakitkan! Boma... di balik perlakuan baikmu terhadapku, kau sebenarnya mempunyai maksud busuk! Aku yakin pertemuan kita yang kedua ini bukannya tidak disengaja, bahkan kau sengaja! Kau telah membuntutiku dengan harapan agar aku membawamu pada guruku!"

   "Diah Harum! Tanpa dirimu pun aku akan mencari pembunuh ibuku! Tetapi kau salah besar kalau mengatakan aku membuntutimu! Tidak sama sekali!"

   "Apakah aku harus mempercayai lagi ucapan seorang pembohong?!"

   Seru Dewi Bunga Mawar dengan kemarahan bergolak. Dada padatnya bergerak turun naik. Kali ini Raja Naga tak menjawab.

   "Bila diladeni, gadis Ini akan menjadi semakin berang. Ternyata dia seorang yang keras kepala dan memiliki kepatuhan tinggi pada gurunya. Hemm... Dadung Bongkok yang memang harus bertang-gung jawab, dia telah mengisi perasaan si gadis dengan kebencian terhadap orang-orang yang dimusuhinya,"

   Katanya dalam hati.

   "Kau tidak menjawab, berarti kau memang menerima kukatakan sebagai seorang pembohong! Dan itu artinya kau memang pembohong!!"

   "Aku tak menjawab karena tak ingin menambah silang urusan ini semakin panjang! Urusanku adalah dengan gurumu!"

   "Setiap urusan Guru menjadi urusanku! Kita selesaikan saat ini juga!!"

   Habis bentakannya.

   si gadis memasukkan tangan kanannya ke balik pakaiannya.

   Ketika tangannya dikeluarkan, telah terdapat sebuah benda sepanjang sebuah pensil.

   Benda itu berwarna hitam berkilat.

   Raja Naga hanya memperhatikan.

   Dan mendadak ditegakkan kepalanya karena begitu digerakkan oleh Dewi Bunga Mawar, benda hitam sebesar pensil itu telah menjadi sepanjang dua lengan orang dewasa.

   "Urusan ini tak perlu berlarut-larut lagi! Harus diselesaikan sekarang juga!"

   Belum habis seruannya, Dewi Bunga Mawar sudah menggebrak ke arah Raja Naga.

   Senjata anehnya yang kini telah berubah menjadi sepanjang dua lengan orang dewasa, dikibaskan dengan cepat ke arah leher Raja Naga.

   Yang diserang hanya mundur satu tindak ke belakang.

   Wuusss!! Angin yang keluar dari kibasan senjata aneh Dewi Bunga Mawar mendadak menyebar.

   Kalau sebelumnya Raja Naga hanya mundur satu tindak ke belakang, kali ini dia justru melompat ke samping! Angin yang mendadak menyebar itu menghantam ranggasan semak yang seketika berhamburan ke udara! "Kau berilmu tinggi! Tapi kau hanya bisa melompat seperti seekor katak!"

   "Diah... aku tak ingin berurusan denganmu! Urusanku adalah dengan gurumu! Tak ada sangkut pautnya denganmu!"

   "Kau telah menyebarkan fitnah yang akan menyebar luas! Sebelum aib yang kau timpakan pada guruku semakin mengembang jauh, sebaiknya kau kubungkam terlebih dulu!"

   Dewi Bunga Mawar semakin ganas mencecar Raja Naga.

   Gadis jelita yang tersinggung karena gurunya dianggap sebagai seorang pembohong terus menyerang bagian-bagian berbahaya dari tubuh Raja Naga.

   Sesungguhnya menghadapi Dewi Bunga Mawar, Raja Naga tak mengalami kesulitan sama sekali.

   Tetapi dia hanya menghindar saja setiap kali Dewi Bunga Mawar melancarkan serangannya.

   Dan hal ini semakin membuat gusar Dewi Bunga Mawar.

   Serangannya kian ganas dan serampangan.

   Karena serampangan itu justru membuat Raja Naga agak kelimpungan.

   Bukkk! Perutnya terhantam tendangan keras yang dilepaskan Dewi Bunga Mawar.

   Mendapati serangannya berhasil mengenai sasarannya, gadis jelita itu terus merangsek masuk.

   "Diah! Tak ada gunanya kau melakukan tindakan ini! Kau telah dibutakan oleh kata-kata gurumu yang jahat itu!"

   Diah Harum tak menjawab, terus menyerang ganas. Di lain pihak Raja Naga yang sejak tadi hanya menghindar dan tak membalas, berpikir.

   "Kalau terus menerus diserang seperti ini aku bisa kena juga karena serangannya semakin kalap dan serampangan. Tetapi kalau kulayani justru akan memancing amarahnya. Berarti...."

   Memutus jalan pikirannya sendiri murid Dewa Naga segera melompat mundur sambil menggerakkan tangan kanannya.

   Dewi Bunga Mawar yang terus mendesak memekik keras tatkala merasakan tubuhnya seperti disampok dari kiri.

   Cepat gadis ini memutar tubuh dua kali di udara sebelum hinggap di atas tanah.

   "Diah Harum! Sampai kapan pun aku tak ingin menjadi lawanmu! Aku hanya ingin kita berkawan! Dan kupikir... lebih baik kita sudahi saja urusan ini!"

   "Boma Paksi! Jangan kabur kau! Sebelum kau menjalankan niat untuk membunuh guruku, hadapi aku lebih dulu!"

   Pemuda berambut dikuncir itu geleng-gelengkan kepalanya. Kalau biasanya tatapannya sedemikian angker, kali ini terlihat sinar murung di sana. Lalu katanya sambil menggelengkan kepala.

   "Saat ini mungkin kau tak akan bisa menerima segala yang kukatakan tentang gurumu! Tetapi percayalah, suatu hari kau akan melihat kebenarannya!"

   Diah Harum tak menyahuti seruan si pemuda.

   Dia telah menarik tangan kirinya sebatas dada, lalu didorong kuat-kuat.

   Saat itu pula menghampar awan-awan hitam yang menebarkan hawa dingin! Raja Naga menjerengkan matanya dengan dada sedikit berdebar.

   Dia menyesali mengapa keadaan berkembang buruk.

   Awan-awan hitam yang menebarkan hawa dingin itu semakin mendekat ke arahnya.

   Raja Naga segera menjentikkan telunjuk dan ibu jarinya.

   Triikk! Wrrrrr!! Wuussss!! Pyaaar...!! Awan-awan hitam itu pecah berantakan ke sana kemari, yang untuk sesaat menghalangi pandangan.

   Pecahannya menghantam ranggasan semak yang seketika membeku! Dewi Bunga Mawar menunggu tak sabar sampai awan-awan hitam yang menghalangi pandangannya itu lenyap.

   Baru saja awan-awan hitam itu lenyap, gadis ini sudah melesat ke depan seraya mengibaskan senjatanya.

   "Aku tak akan menyesal bila membunuhmu hah ini juga, Boma! Heaaaaattt...!!"

   Wussss!! Blaairrr! Tanah langsung merengkah dan membubung tinggi begitu senjata si gadis menyusurnya! Tubuh si gadis sendiri masuk dalam kepulan tanah itu. Saat lain dia sudah melompat keluar dan berdiri tegak. Sepasang mata indahnya melotot gusar.

   "Brengsek! Di mana kau, hah?!"

   Serunya keras.

   Karena Boma Paksi sudah tak berada di tempatnya.

   Dewi Bunga Mawar masih berteriak-teriak penuh kegusaran.

   Dadanya yang membusung bulat dan akan memancing perhatian kaum adam, bergerak turun naik.

   Saat lain dia sudah mendengus.

   Lalu menekan hulu senjatanya yang kembali menjadi sebesar telunjuk.

   Setelah masukkan kembali ke balik pakaiannya, gadis jelita berpakaian putih bersih itu sudah berkelebat meninggalkan tempat itu.

   * * * DEWI Bunga Mawar terus berlari dengan dada masih dibuncah kemarahan.

   Kebenciannya pada Boma Paksi semakin menjadi-jadi.

   "Walaupun dia pernah menolongku, aku tak peduli! Siapa pun orangnya yang menghina Guru, akan kuhajar sampai babak belur!"

   Makinya sambil terus berlari. Wajah jelitanya dipenuhi rona merah karena amarah. Di sebuah persimpangan, murid Dadung Bongkok ini menghentikan langkahnya. Di hapus keringatnya dengan telapak tangannya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.

   "Keparat! Ke mana perginya pemuda bersisik coklat itu?!"

   Desisnya geram karena dia sudah kehilangan jejak pemuda yang dikejarnya.

   Dewi Bunga Mawar menghentakkan kaki kanannya di atas tanah yang seketika muncrat sebatas dengkul.

   Dada padatnya yang selalu menarik mata lelaki untuk terus memandang, bergerak naik turun.

   Gadis berpakaian putih ini kepalkan kedua tangannya kuat-kuat.

   "Aku akan tetap mencari Lembah Naga! Perintah Guru harus kujalankan!"

   Desisnya kemudian dengan mulut agak dirapatkan.

   Baru saja habis ucapannya, Dewi Bunga Mawar menoleh ke samping kiri karena dia menangkap suara bernada kesakitan.

   Saat itu pula dilihatnya seorang lelaki tua berjubah hitam melangkah sempoyongan sambil memegangi dadanya.

   Sejenak Diah Harum memperhatikan si kakek yang di kepala plontosnya terdapat tanda matahari itu, sebelum kemudian dia melengak dan buru-buru bergerak.

   Karena sosok si kakek sudah sempoyongan dan akan ambruk.

   "Bertahan, Kek!"

   Desisnya sambil merebahkan tubuh si kakek berjubah hitam di atas rumput.

   Kakek yang bukan lain Iblis Telapak Darah adanya ini mengeluh.

   Wajahnya pucat pasi.

   Keringat membanjiri sekujur tubuhnya.

   Dewi Bunga Mawar cepat bertindak.

   Dibukanya pakaian yang dikenakan si kakek.

   Dilihatnya tanda merah di sana.

   "Terkutuk! Siapa yang membuatmu celaka begini, Orang Tua?!"

   Serunya dengan amarah yang mendadak naik. Iblis Telapak Darah menahan sakit.

   "Dia... dia... akhhh!"

   "Jangan banyak bicara dulu! Kau tenanglah... kosongkan tenaga dalammu..,"

   Desis Dewi Bunga Mawar kemudian.

   Lalu segera ditempelkan telapak tangan kanannya di atas dada Iblis Telapak Darah dan dialirkan tenaga dalamnya.

   Dalam waktu yang singkat sekujur tubuh si gadis sudah dibanjiri keringat.

   Sesungguhnya Dewi Bunga Mawar memiliki kelembutan dan hati yang baik.

   Dia memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, terutama tentang gurunya sendiri.

   "Gila!"

   Desisnya dengan wajah agak pucat.

   "Telapak tanganku terasa panas! Tentunya orang yang mencelakakan kakek ini memiliki ilmu yang tinggi!"

   Lalu ditempelkan pula telapak tangan kirinya.

   Dengan kedua telapak tangan yang menempel di dada si kakek, kembali dialirkan tenaga dalamnya.

   Ditahannya hawa panas yang keluar dari tubuh si kakek kuat-kuat.

   Keringat makin banyak membanjiri tubuhnya.

   Mendadak dia melihat si kakek mengembung.

   "Muntahkan, Kek!"

   "Huaaakkk!!"

   Darah hitam menyembur dari mulut Iblis Telapak Darah, sebagian mengenai kedua tangan Dewi Bunga Mawar.

   Bersamaan muntahan darah itu Iblis Telapak Darah jatuh pingsan.

   Dewi Bunga Mawar mengangkat kembali kedua telapak tangannya.

   Dipandanginya wajah si kakek yang pingsan.

   "Aku tidak tahu siapa kakek ini. Tahu-tahu dia muncul dengan membawa luka parah. Ah, bila saja aku tak segera menolongnya, mungkin dia tak akan bisa hidup lebih lama...."

   Lalu diperhatikan sekelilingnya yang sepi.

   Kemudian dia beranjak untuk mencuci tangannya.

   Di sekitar sungai di mana dia mencuci tangan banyak tumbuh pohon manggis hutan yang berbuah lebat.

   Dengan mudah saja Diah Harum mendapatkannya dan kembali ke tempat Iblis Telapak Darah.

   Iblis Telapak Darah masih pingsan.

   "Ah, banyak waktuku yang terbuang sekarang padahal aku harus segera menemukan Lembah Naga! Juga menemukan kembali di mana Boma Paksi berada! Aku tak mau pemuda itu menyebarkan fitnahnya ke segenap penjuru! Tapi...."

   Kembali dipandanginya wajah plontos yang pingsan ini.

   "Bagaimana dengan Kakek ini? Tak mungkin aku meninggalkannya sendirian?"

   Desisnya pelan.

   Setelah beberapa saat terdiam, Dewi Bunga Mawar akhirnya memutuskan untuk menunggu sampai si kakek siuman.

   Hampir sepenanakan nasi dia berlutut di samping Iblis Telapak Darah yang pingsan sebelum kemudian didengarnya suara batuk-batuk si kakek.

   Cepat Diah Harum mengalirkan lagi tenaga dalamnya, kali ini melalui kedua ibu jari kaki si kakek.

   Wajah pucat si kakek perlahan-lahan mulai menghilang, demikian pula dengan keringatnya.

   Iblis Telapak Darah membuka kedua matanya.

   Sesaat langsung dipejamkannya kembali.

   "Anak gadis... terima kasih atas bantuanmu...,"

   Desisnya pelan. Karena memburu waktu, Diah Harum langsung mengajukan tanya.

   "Orang tua... apa yang telah terjadi denganmu?"

   Iblis Telapak Darah tak buka suara. Dia berbaring sesaat. Di saat lain perlahan-lahan dia bangkit, duduk ber-selonjor. Dadanya tidak lagi dirasakan nyeri. Napasnya sudah mulai teratur. Lalu dipandanginya gadis di hadapannya ini.

   "Siapa gadis ini sebenarnya? Dari caranya bertindak, aku yakin dia memiliki sifat baik hati yang tinggi. Jarang sekali ada orang yang mau menolong sesama. Peduli setan walau dia telah menolongku! Dan terlalu bodoh bila kulewatkan kesempatan ini untuk menikmati kegairahan barang sejenak!"

   Iblis Telapak Darah yang punya pikiran kotor itu, masih memandang Diah Harum. Yang dipandang justru mengerutkan keningnya.

   "Kenapa dia memandangiku seperti itu?"

   Desisnya dalam hati.

   "Kecantikannya sungguh luar biasa. Kulitnya putih mulus. Tentu tubuhnya penuh gairah yang menjanjikan,"

   Kata Iblis Telapak Darah dalam hati.

   "Aku harus mencari kesempatan untuk menikmati apa yang dimilikinya...."

   Kemudian katanya.

   "Anak gadis... mungkin kau tak akan percaya dengan apa yang terjadi padaku...."

   "Kau belum mengatakannya. Siapakah yang telah melakukan tindakan ini?"

   Iblis Telapak Darah terdiam. Kegeraman perlahan-lahan muncul pada wajahnya.

   "Sahabatku telah mampus dibunuh pemuda keparat itu! Setan alas! Akan kucari dia! Akan kubalas semua perlakuan ini!"

   Kata-kata yang tak tahu juntrungannya itu membuat Diah Harum mengerutkan keningnya.

   "Orang tua... aku tak mengerti apa yang kau katakan. Sebaiknya kau jelaskan agar aku tidak banyak bertanya tanya...."

   Kembali Iblis Telapak Darah memandang gadis jelita di hadapannya. Sifat kotor-nya yang muncul itu semakin bergolak.

   "Sungguh bodoh bila aku tidak bisa menikmati keindahan tubuhnya!"

   Desisnya dalam hati. Lalu katanya.

   "Sebenarnya aku mempunyai seorang sahabat yang berjuluk Iblis Penghancur Raga. Kami adalah dua tokoh dari timur yang selalu membela kebenaran! Dulu kami memang adalah pelaku keonaran tiada banding, tetapi kami sudah insyaf."

   "Bagus bila kau sudah tak melakukan lagi apa yang kau lakukan dulu!"

   "Beberapa hari lalu kami sedang melakukan perjalanan. Di tengah jalan kami berjumpa dengan musuh bebuyutan kami yang banyak buat keonaran! Mereka berjuluk Dua Serangkai Jubah Hijau! Karena tahu kedua orang itu selalu menimbulkan petaka, kami mencoba untuk menghentikan sepak terjang mereka! Tetapi begitu hampir berhasil, mendadak seorang pemuda muncul! Dia membela Dua Serangkai Jubah Hijau! Bahkan... sahabatku tewas di tangannya!!"

   "Orang tua... siapa pemuda keparat itu?"

   Iblis Telapak Darah yang memutar-balikkan kenyataan itu memandang si gadis dalam-dalam. Kemudian katanya.

   "Dia seorang pemuda yang kedua tangannya bersisik coklat...."

   Dilihatnya kepala si gadis menegak. Kendati merasa agak heran, Iblis Telapak Darah melanjutkan.

   "Dia bernama... Boma Paksi atau berjuluk Raja Naga!"

   Dilihatnya wajah si gadis berubah memerah. Ketegangan terbayang jelas, terutama dari sorot matanya yang menyi-ratkan amarah tinggi. Menyusul....

   "Keparat! Lagi-lagi pemuda itu! Akan kubunuh dia! Akan kubunuh dia!!"

   Sudah tentu Iblis Telapak Darah terkejut mendengar ucapan Diah Harum.

   "Dari kata-katanya aku yakin kalau gadis ini pernah berjumpa dengan Raja Naga yang kesaktiannya seperti setan itu! Dan tentunya telah terjadi sesuatu yang membuatnya murka."

   Ditunggunya beberapa saat sampai gadis jelita di hadapannya itu kelihatan tenang. Lalu katanya.

   "Anak gadis... apa yang telah terjadi? Apakah kau mengenal pemuda itu?"

   Kepala Diah Harum mengangguk kaku.

   "Aku bukan hanya telah mengenalnya, tetapi juga akan membunuhnya!"

   "Mengapa?"

   "Pemuda itu telah memfitnah guruku!"

   "Memfitnah? Siapakah gurumu itu?"

   Diah Harum menatap tajam-tajam kakek yang di ubun-ubunnya terdapat gambar matahari. Lambat-lambat dia berkata.

   "Guruku bernama Dadung Bongkok!"

   Kontan kepala Iblis Telapak Darah menegak.

   "Astaga! Beruntung aku belum melakukan apa-apa terhadapnya! Dadung Bongkok! Gila! Bila kujalankan maksudku untuk mempermalukannya, bisa hancur tubuh ku dihajar oleh Dadung Bongkok!"

   Kendati merasa aneh dengan sikap kakek berjubah hitam itu, Diah Harum tak mempedulikannya.

   Gadis ini masih kesal pada Boma Paksi.

   Bahkan sekarang dia tahu kalau Boma Paksi telah mencelakakan kakek di hadapannya.

   (Bagi teman-teman yang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi terhadap Iblis Telapak Darah dan Iblis Penghancur Raga, silakan baca .

   "Kutukan Manusia Sekarat").

   "Boma Paksi telah memfitnah guruku! Dia mengatakan kalau guruku adalah orang jahat! Dan pemuda yang ternyata putra mendiang Dewi Lontar itu akan menuntut balas atas kematian ibunya yang tewas di tangan guruku!"

   "Aku pernah mendengar kematian Dewi Lontar, tetapi aku tidak tahu siapa yang melakukannya. Dan sekarang aku tahu kalau Dadung Bongkok yang melakukan pembunuhan itu,"

   Kata Iblis Telapak Darah dalam hati. Kemudian katanya.

   "Anak gadis... siapakah namamu?"

   "Namaku Diah Harum. Guruku memberiku julukan Dewi Bunga Mawar...."

   "Dewi Bunga Mawar... ketahuilah, aku dan gurumu adalah bersahabat. Dan tak kusangka kalau pemuda berompi ungu itu adalah putra mendiang Dewi Lontar dan Pendekar Lontar. Lantas apa yang dilakukannya lagi?"

   "Dia muncul kembali setelah dua belas tahun menghilang untuk membalas dendam pada guruku! Padahal bila dia mau mempergunakan otaknya, tentunya dia akan maklum apa yang dilakukan Guru terhadap ibunya dua belas tahun yang lalu! Menurut Guru, Pendekar Lontar dan Dewi Lontar adalah manusia-manusia keji yang telah banyak menimbulkan keonaran hingga Guru merasa terpanggil untuk menghentikan sepak terjang kedua orang itu. Tetapi Boma Paksi justru memutar balikkan kenyataan!!"

   "Hebat! Dadung Bongkok berhasil memperdayai muridnya sendiri dengan memutar kenyataan yang ada! Bagusnya aku juga telah membohonginya! Dan nampaknya gadis ini begitu menjunjung tinggi gurunya hingga tidak rela orang memfitnah gurunya!"

   Habis membatin demikian, Iblis Telapak Darah yang langsung surut niat busuknya tadi berkata.

   "Dewi Bunga Mawar... apa yang dikatakan gurumu itu memang benar. Begitu pula dengan apa yang kau pikirkan. Tak seharusnya pemuda itu melakukan fitnahan terhadap gurumu. Dan juga tak seharusnya pemuda berompi ungu itu menolong Dua Serangkai Jubah Hijau, orang-orang golongan sesat yang banyak membuat keonaran. Kau tentunya akan bermaksud untuk menghajar pemuda itu, bukan?"

   Dewi Bunga Mawar memalingkan kepalanya. Memandang tajam pada Iblis Telapak Darah.

   "Orang tua... aku bukan hanya akan menghajarnya! Tetapi aku juga akan membunuhnya! Perlakuannya sudah kelewat batas mengingat kau terluka parah dan sahabatmu juga telah tewas dibunuhnya!"

   "Sebagai seorang sahabat gurumu dan seorang yang tak menyukai keonaran, sudah tentu aku berada di pihakmu! Aku pun akan membalas kematian sahabatku itu!"

   Dewi Bunga Mawar tersenyum.

   "Aku senang karena berjumpa dengan sahabat-sahabat Guru...."

   "Aku pun senang berjumpa dengan murid sahabatku itu,"

   Sahut Iblis Telapak Darah sambil tersenyum. Lalu sambungnya dalam hati.

   "Tak kusangka perkembangannya jadi seperti ini. Begitu mudah. Aku yakin, bila gadis ini tidak dalam keadaan amarah dan tidak dipengaruhi oleh gurunya yang dihormatinya, tentunya akan sulit mempengaruhinya. Aku yakin Dadung Bongkok pun mengalami kesulitan untuk mempengaruhinya...."

   "Orang tua... apakah kau sudah lebih baik sekarang?"

   Iblis Telapak Darah mengangguk.

   "Kalau begitu, kita berangkat sekarang. Karena... aku juga hendak menuju ke Lembah Naga!"

   Iblis Telapak Darah yang sedang berdiri mendadak terhuyung mendengar kata-kata Dewi Bunga Mawar, dengan kedua mata terbeliak.

   "Orang tua! Kau masih lemah!"

   Seru Dewi Bunga Mawar sambil menyambar tubuh Iblis Telapak Darah. Iblis Telapak Darah menggeleng-gelengkan kepala dan diam-diam menelan ludahnya.

   "Tidak, aku tidak apa-apa!"

   "Kau yakin, Orang Tua?"

   Iblis Telapak Darah buru-buru mengangguk.

   "Ya! Kita berangkat sekarang! Tetapi menurutku, yang terpenting sekarang adalah menemukan dulu pemuda bersisik coklat itu!. Karena aku khawatir dia sudah menyebarkan fitnahnya!"

   Kata-kata Iblis Telapak Darah di setujui oleh Dewi Bunga Mawar.

   "Ya! Kita lakukan itu sekarang!"

   Lalu keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Sambil berjalan, Iblis Telapak Darah membatin.

   "Menemukan Lembah Naga? Astaga! Sudah tentu aku tak mau ke sana! Aku hanya memanfaatkan kesempatan agar dia membantuku membunuh Boma Paksi! Sebagai murid Dadung Bongkok, tentunya ilmunya tak perlu disangsikan lagi!" * * * MENJELANG senja Boma Paksi tiba di sebuah hutan kecil yang dipenuhi pepohonan tinggi. Matahari masih mampu menerobosi pucuk-pucuk pepohonannya. Pemuda dari Lembah Naga ini memperhatikan sekelilingnya yang sepi sebelum kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, menyesali apa yang telah terjadi. Menyesali kenyataan kalau Dewi Bunga Mawar ternyata adalah murid dari musuh besarnya.

   "Dia begitu cantik, lembut dan bersahaja. Sungguh sangat disayangkan bila dia menjadi seorang murid manusia sesat seperti Dadung Bongkok."

   Sesaat murid Dewa Naga terdiam sebelum menghela napas panjang.

   "Ah, mengapa aku harus bertikai dengan gadis yang telah mengguncangkan perasaanku?"

   Keluhnya pelan. Lalu di arahkan pandangannya pada seekor kelinci yang keluar dari sarang dan langsung berlari ke antara ranggasan belukar.

   "Memaksanya untuk mengatakan di manakah Dadung Bongkok berada merupakan sebuah tindakan yang tepat seharusnya, karena aku bisa mempersingkat waktu untuk menemukan orang yang telah membunuh ibuku. Tetapi... ah, aku tak mengerti, aku tak mengerti...."

   Pemuda tampan bermata angker ini kembali menggeleng-gelengkan kepalanya penuh keresahan. Untuk beberapa saat dia terdiam. Lalu ditariknya napas dalam-dalam.

   "Aku tak boleh mendua hati. Dadung Bongkok adalah salah seorang musuh besarku. Demikian pula halnya dengan Hantu Menara Berkabut. Kedua manusia itu harus menerima ganjaran atas perbuatan mereka dua belas tahun yang lalu pada kedua orangtuaku. Mereka harus mendapatkannya! Sayangnya... aku tak tahu di mana mereka berada?"

   Kalau sebelumnya murid Dewa Naga dipusingkan dengan apa yang terjadi antara dirinya dan Dewi Bunga Mawar, kali ini dia segera memusatkan perhatiannya pada dua musuh besarnya.

   Sepasang matanya yang dapat menciutkan nyali orang bila melihatnya kembali bersinar angker.

   "Sebaiknya... kuteruskan langkah untuk menemukan di mana Menara Berkabut berada. Nenek Konde Satu pernah berkata padaku, kalau aku harus terus melangkah ke arah timur. Tetapi sampai sejauh ini aku belum menemukan tanda-tanda di mana Menara Berkabut berada. Jangan-jangan... aku telah melewatinya dan tidak tahu kalau di sanalah Menara Berkabut berada? Mengingat, tempat itu selalu diliputi kabut tebal yang sukar ditembus oleh pandangan? Ah... apa pun yang...."

   "Brengsek! Brengsek betul! Bandung Sulang telah mampus! Aku yakin manusia penghuni Menara Berkabut itu yang telah melakukannya! Keparat brengsek! Manusia itu benar-benar sudah melaksanakan aksinya!"

   Ucapan keras yang memutus kata-kata Raja Naga itu terdengar dari balik ranggasan semak.

   Menyusul semak setinggi dada itu merebak dan menyeruak satu sosok tubuh buntal memegang tombak warna biru.

   Orang yang baru muncul ini masih menggerutu panjang pendek.

   "Keparat betul manusia satu itu! Dia bukan hanya telah membunuh Pendekar Lontar, tetapi juga Bandung Sulang! Sialan! Jangan-jangan Pendekar Harum pun telah mampus dibuatnya! Sayang, waktuku masih dua hari lagi untuk menjumpai Dewa Segala Obat, jadi aku belum tahu apakah Pendekar Harum memang sudah tewas atau belum! Keparat betul!"

   Munculnya kakek gemuk berpakaian biru itu membuat kening Raja Naga berkerut.

   Karena si kakek masih saja mendumal tak karuan seperti tak tahu adanya orang di sana.

   Yang membuat Raja Naga merasa heran, karena dia sama sekali tak menangkap adanya gerakan orang.

   Tahu-tahu telah terdengar suara keras dan munculnya kakek gemuk itu! Bahkan tiba-tiba si kakek yang seperti tak memiliki leher karena banyaknya lemak, mengangkat kepalanya.

   Matanya memandang pada Raja Naga yang balas tak berkedip.

   "Hei, anak muda! Kau tahu... manusia keparat itu telah membunuh sahabatku Bandung Sulang! Bisa jadi dia juga telah membunuh Pendekar Harum! Terkutuk! Akan kurajam tubuhnya dengan tombakku ini!"

   Sementara itu kendati agak kaget karena tiba-tiba diajak bicara oleh orang yang baru muncul, Raja Naga mengerutkan keningnya. Matanya yang bersinar angker memandang tak berkedip pada si kakek yang tingginya hanya sebahunya saja.

   "Aneh! Baru kali ini aku berjumpa dengannya. Tetapi mengapa aku seperti sudah sangat mengenalnya?"

   Desisnya dalam hati. Di pihak lain, si kakek bertubuh buntal sudah berseru lagi.

   "Kau tahu, melihat kuburannya yang masih baru, jelas Bandung Sulang belum lama tewas! Brengsek tidak?! Manusia keparat itu rupanya memberi selang waktu selama dua belas tahun untuk membalas segala kekalahannya dulu! Hei, Anak muda! Kau tahu apa yang akan kulakukan terhadap manusia sialan itu?! Aku bukan hanya akan merajamnya dengan tombakku ini, tetapi juga mencabik-cabik tubuhnya sampai menjadi ratusan kerat! Brengsek betul!"

   Raja Naga tak menyahuti kata-kata orang.

   Dia masih mencoba mengingat-ingat siapakah si kakek yang rasa-rasanya pernah dilihatnya.

   Dibiarkan saja si kakek gemuk itu berbicara keras.

   Tetapi karena tak menemukan jawaban akan keheranannya itu, berhati-hati Raja Naga buka suara.

   "Kakek bertubuh buntal! Ada apa kau tiba-tiba muncul dan mengomel-ngomel sendiri?"

   "Bagaimana aku tidak ngomel kalau sahabatku telah dibunuhnya?!"

   Sahut si kakek dengan kepala terangkat.

   "Ini namanya keterlaluan! Manusia itu benar-benar sedang menjalankan aksi balas dendamnya!"

   "Kau tadi mengatakan kalau sahabatmu itu bernama Bandung Sulang?"

   Tanya Boma Paksi hati-hati.

   "Betul! Kau mengenalnya?!"

   Raja Naga mengangguk dan menggeleng.

   "Busyet! Apa-apaan kau mengangguk dan menggeleng seperti itu, hah?! Kalau kau mengenalnya ya kenal, tetapi kalau kau tidak mengenalnya ya tidak!"

   "Aku mengenalnya karena aku menemukannya dalam keadaan sekarat dan menguburkannya! Aku tidak mengenalnya karena baru kali itu aku berjumpa dengannya! Kalaupun aku tahu siapa namanya karena aku berjumpa dengan perempuan tua berjuluk Nenek Konde Satu!" (Untuk mengetahui soal ini, silakan baca.

   "Kutukan Manusia Sekarat").

   "Busyet! Rupanya nenek itu muncul juga? Brengsek! Pasti dia mau cari gara-gara lagi? Dulu dia yang menolak cinta Bandung Sulang, sekarang malah dia yang mengejar-ngejarnya!"

   Kakek bertubuh gemuk itu memaki-maki tak karuan.

   "Kakek gemuk ini sepertinya bukan hanya mengenal kakek bernama Bandung Sulang tetapi dia juga mengenal Nenek Konde Satu. Ah, mengapa aku begitu merasa akrab dengannya? Siapa sebenarnya kakek ini?"

   Tanya batin Raja Naga dalam hati sambil memandang si kakek yang mulutnya masih berbentuk kerucut. Tiba-tiba si kakek gemuk memalingkan kepalanya lagi dan berseru.

   "Kau tahu siapa yang telah membunuhnya?! Kau... hei!!"

   Seperti baru menyadari keadaan pemuda di hadapannya, kakek gemuk ber-senjata tombak biru itu melotot. Mulutnya menganga sejenak sebelum bicara.

   "Kulit kedua tanganmu sebatas siku bersisik coklat, Anak Muda!"

   Raja Naga hanya mengangguk. Lama si kakek gemuk memandanginya seperti itu sampai kemudian dia buka mulut.

   "Di dunia ini... hanya seorang yang memiliki kulit penuh sisik, tetapi berwarna hijau! Dia adalah kakek brengsek tukang kentut yang berjuluk Dewa Naga! Anak muda... kedua tanganmu sebatas siku bersisik coklat. Aku tidak tahu apakah kamu ada hubungannya dengan Dewa Naga atau tidak! Biar aku tidak banyak tanya, sebaiknya kau jelaskan!"

   Karena merasa sudah pernah mengenal si kakek gemuk tetapi tidak ingat lagi di mana, Raja Naga menganggukkan kepalanya.

   "Dia adalah guruku...."

   "Astaga! Gurumu?! Busyet! Sejak kapan dia mengangkat seorang murid. hah?! Sejak kapan?!"

   "Sejak dua belas tahun yang lalu!"

   Kakek gemuk itu menggeleng gelengkan kepalanya sambil memandang Raja Naga.

   "Kau memiliki tatapan yang mengerikan, Anak muda. Tatapanmu seperti hendak menerkam orang yang kau lihat! Tetapi aku yakin kau memiliki hati yang lembut dan kebaikan tiada tanding! Tadi kau katakan kalau Dewa Naga adalah gurumu... sekarang, bagaimana kabarnya?!"

   "Sepeninggalku dari Lembah Naga, dia baik-baik saja...."

   "Bagus! Apakah dia masih suka kentut sembarangan?!"

   Raja Naga hanya tersenyum. Lalu katanya.

   "Kakek bertubuh gemuk! Baru kali ini kita pernah bertemu, tetapi mengapa aku seperti telah mengenalmu?"

   "Brengsek! Apakah kau saja yang merasa seperti itu? Aku juga seperti mengenalmu!"

   Balas si kakek gemuk ketus.

   "Astaga! Jadi dia juga merasa pernah mengenalku?"

   Desis Boma Paksi dalam hati. Tiba-tiba kepala si kakek menegak. Karena seperti tak memiliki leher, jadi tegaknya kepala si kakek kelihatan lucu.

   "Anak muda... kau mengatakan kalau kau adalah murid Dewa Naga! Apakah sisik coklat pada kedua tanganmu, berasal dari ilmu yang diturunkan oleh Dewa Naga?"

   "Menurut Guru, aku sudah memilikinya semenjak lahir."

   "Tadi katamu pula kalau kau berguru padanya sudah dua belas tahun?"

   "Begitulah adanya!"

   "Berapa usiamu sekarang?"

   "Tujuh belas tahun!"

   "Astaganaga!"

   Kakek gemuk itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu katanya dengan suara sedikit tegang.

   "Apakah... apakah kau bernama... Boma Paksi?"

   Bersamaan dengan si kakek mengajukan pertanyaan seperti itu, Raja Naga pun berseru.

   "Kek! Kau tentunya Dewa Tombak, bukan? Ya, ya! Dewa Tombak!"

   "E, busyet! Ditanya apa menjawab apa! Tapi apa yang kau katakan tadi memang benar! Orang-orang rimba persilatan menjulukiku Dewa Tombak!"

   Raja Naga tersenyum. Tatapannya tetap berkesan angker.

   "Kau juga tidak salah, Kek. Namaku Boma Paksi. Pantas aku seperti pernah mengenalmu. Kalau tak salah ingat, kau hadir di saat ayahku meninggal, bukan?"

   "Brengsek betul!"

   Maki Dewa Tombak tiba-tiba.

   "Dicari ke sana kemari selama dua belas tahun, rupanya kakek tukang kentut itu yang membawamu kabur, ya?!"

   Raja Naga cuma tersenyum.

   Ingatannya kembali pada peristiwa dua belas tahun yang lalu, di mana ayahnya ditemukan tewas tanpa diketahui penyebabnya.

   Dan kakek gemuk berpakaian biru ini pun datang ke sana (Untuk mengetahui lebih jelas silakan baca serial Raja Naga dalam episode .

   "Tapak Dewa Naga"). Di pihak lain si kakek gemuk yang ternyata Dewa Tombak masih mendumal tak karuan. Setelah berpisah dengan Dewa Segala Obat, Dewa Tombak segera menuju ke Bukit Gulungan untuk menjumpai Bandung Sulang. Karena saat itu Dewa Tombak punya satu pikiran, kalau Hantu Menara Berkabut yang menurut Dewa Segala Obat adalah orang yang telah membunuh Pendekar Lontar, saat ini sedang menjalankan aksi balas dendamnya. Sementara itu Dewa Segala Obat sendiri segera berangkat untuk melihat keadaan Pendekar Harum (Baca .

   "Kutukan Manusia Sekarat").

   "Boma Paksi...,"

   Panggil Dewa Tombak.

   "Tentunya Dewa Naga telah menceritakan apa yang terjadi pada mendiang ayahmu, bukan?"

   "Ya!"

   "Jadi aku tak perlu menceritakannya lagi. Hantu Menara Berkabutlah yang telah membunuhnya."

   "Tetapi Guru tak pernah mengatakan bagaimana Hantu Menara Berkabut membunuh ayahku! Beliau memintaku untuk mencari Dewa Segala Obat!"

   "Kau tak perlu mencarinya karena saat ini kakek tukang obat itu sedang menemui Pendekar Harum! Boma... kau telah tumbuh menjadi pemuda gagah! Sisik-sisik coklat di kedua tanganmu dulu sangat halus hingga tak begitu kentara, tetapi sekarang cukup nyata! Anak muda... menurut Dewa Segala Obat, Hantu Menara Berkabut membunuh ayahmu dengan mempergunakan seekor lebah yang telah dilumuri berbagai jenis bisa ular!"

   "Lebah?"

   "Ya! Lebah itulah yang telah membunuhnya! Tetapi sayangnya, kendati ibumu mengetahui bagaimana ayahmu dibunuh, tetapi dia tidak tahu kalau Hantu Menara Berkabut yang telah melakukannya! Sekarang, ada persoalan yang masih membingungkanku! Siapakah orang yang telah membunuh ibumu?"

   Kepala Boma Paksi terangkat. Sorot angker mata nya semakin memancar dingin. Dewa Tombak yang melihatnya tanpa sadar agak bergidik.

   "Astaga! Tatapan itu benar-benar mengerikan!"

   Desisnya dalam hati. Lamat-lamat dilihatnya si pemuda mengarahkan pandangannya ke kejauhan.

   "Dewa Tombak... orang yang membunuh ibuku bernama Dadung Bongkok!"

   "Busyet! Dia lagi rupanya! Aku juga sudah menduga seperti itu sebenarnya, tetapi aku masih meragu!"

   "Dewa Tombak... aku telah berjumpa denganmu, berarti aku tak perlu lagi mencari Dewa Segala Obat untuk mengetahui sebab-sebab kematian ayahku! Sekarang aku hendak bertanya padamu! Tahukah kau di mana Menara Berkabut berada?!"

   Kepala Dewa Tombak menggeleng.

   "Menara Berkabut adalah sebuah tempat yang sangat sukar dilihat oleh mata karena terhalangi oleh gumpalan kabut tebal! Sekencang apa pun angin berhembus kabut-kabut tebal itu tak akan bergeser sedikit juga!"

   "Kalau begitu... kau tahu di mana aku bisa menemukan Dadung Bongkok?"

   "Manusia satu itu selalu berpindah-pindah tempat! Dia tak pernah menetap di satu tempat lebih dari satu tahun! Kabar yang kudengar terakhir dia berdiam di Puncak Angin! Tetapi bisa jadi kalau dia sudah tidak berada di sana sekarang!"

   Paras Raja Naga terlihat agak kecewa. Sepasang matanya mengerjap-ngerjap.

   "Boma... kau telah tumbuh menjadi seorang yang gagah dan aku yakin kau telah mewarisi ilmu Dewa Naga! Kau tak sendiri di dalam niatmu untuk menemukan Dadung Bongkok!"

   Raja Naga tak menyahuti ucapan si kakek gemuk. Otaknya dipenuhi berbagai pikiran. Lalu katanya seraya memandang Dewa Tombak.

   "Terima kasih atas kesediaan mu membantuku! Tetapi biarlah aku yang tangani urusan ini!"

   "Sok tahu! Kau belum tahu kehebatan Hantu Menara Berkabut dan Dadung Bongkok?! Mungkin kau bisa menghadapi mereka bila satu lawan satu! Tapi bagaimana bila keduanya bergabung dan siap menghabisimu?! Bicara seenaknya saja!"

   Raja Naga tak menghiraukan kata-kata si kakek gemuk. Dia berkata.

   "Kedua orangtuaku dibunuh secara kejam oleh Hantu Menara Berkabut dan Dadung Bongkok! Biarpun keduanya bergabung, aku tak peduli! Aku akan menghadapinya dengan segenap kemampuanku!"

   "Kau tentunya telah mewarisi seluruh ilmu si kakek tukang kentut itu! Bisa jadi kau memang akan mampu menghadapi keduanya! Tetapi perlu kau ingat, ilmu yang telah kita miliki belum tentu menjadi jaminan untuk menghadapi seseorang! Karena terkadang kelicikan lebih mengerikan akibatnya daripada ilmu kesaktian!"

   Raja Naga membenarkan apa yang dikatakan Dewa Tombak.

   "Aku akan berhati-hati...."

   "Bagus! Aku hanya mengetahui sedikit tentang Menara Berkabut! Menurut kabar tempat itu berada di sebelah timur! Teruslah kau melangkah ke sana untuk menemukan tempat penuh misteri itu! Dan ingat, berhati-hatilah!"

   Raja Naga merangkapkan kedua tangannya.

   "Bukannya aku tak punya banyak waktu atau tak mau bercakap-cakap lebih lama, tetapi aku ingin menyelesaikan urusanku secepat mungkin!"

   "Ya, sudah! Sana pergi!"

   Raja Naga mengangguk. Saat lain dia sudah berlari meninggalkan tempat itu. Diiringi pandangan mata Dewa Tombak, murid Dewa Naga terus berlari ke arah timur.

   "Kegagahannya tentunya diwarisi dari ayahnya! Dan di balik kegagahannya itu juga terdapat kelembutan yang tentunya diwarisi dari ibunya! Tak kusangka, bocah yang selama dua belas tahun membuatku bertanya-tanya tentang nasibnya, rupanya sudah diambil murid oleh Dewa Naga! Hemm... kakek tukang kentut itu berhasil juga menjalankan apa kemauannya! Karena aku ingat kalau dia pernah meminta bocah yang pada punggungnya terdapat gambar seekor naga hijau untuk dijadikan muridnya. Tetapi Dewi Lontar menolaknya karena dia tentunya masih sedih atas kematian suaminya. Ah, waktu memang cepat berjalan. Bocah itu sudah tumbuh menjadi pemuda gagah dengan sisik-sisik coklat pada kedua tangannya sebatas siku yang semakin kentara? Heii! Apakah gambar seekor naga hijau pada punggungnya yang dibawanya dari lahir itu masih ada?"

   Dewa Tombak memutus kata-katanya dengan pertanyaannya sendiri. Untuk beberapa saat kakek gemuk ini menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Sisik coklat pada kedua tangannya masih ada, tentunya gambar seekor naga pada punggungnya juga masih ada. Ah, apa makna gambar seekor naga itu sebenarnya?"


Pendekar Rajawali Sakti Teror Si Raja Api Pendekar Pedang Matahari Misteri Batu Mustika Ibu Hantu Karya Ang Yung Sian

Cari Blog Ini