Ceritasilat Novel Online

Pencuri Kitab kitab Pusaka 1


Raja Petir Pencuri Kitab kitab Pusaka Bagian 1


PENCURI KITAB-KITAB PUSAKA oleh Bondan Pramana Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting .

   Puji S.

   Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Bondan Pramana Serial Raja Petir dalam episode.

   Pencuri Kitab-Kitab Pusaka 128 hal.

   .

   12 x 18 cm.

   "Heaaa...!"

   Trak! Trak! Sosok berpakaian serba merah yang seluruh wajahnya hampir tertutup kain berwarna merah juga, melompat mundur dua langkah.

   Pada kain yang menutupi wajahnya itu terdapat dua lubang yang menampakkan dua bola matanya.

   Tampak bola mata itu bergerak-gerak garang.

   Sementara, lima orang berpakaian sama mengelilingi seorang lelaki berpakaian hitam dan bersenjatakan tongkat berkepala serigala, terbuat dari logam keras berwarna keperakan.

   "Ki sanak, sekali lagi, kuminta baik-baik padamu. Jangan lewat perbatasan Hutan Lindakhulu. Dan kau bisa mencari jalan lain!"

   Tegas sosok berpakaian serba merah itu.

   "Cuh...!"

   Lelaki berpakaian hitam yang berjuluk Tongkat Perak membuang ludah begitu kasar.

   "Apa urusan kalian melarangku melewati perbatasan Hutan Lindakhulu ini?!"

   "Kau tak perlu tahu apa urusannya, Ki sanak! Yang jelas, aku tak ingin melihatmu melewati perbatasan hutan ini. Sekali lagi kuperingatkan, carilah jalan lain, kalau kau tak ingin nyawamu terbuang percuma. Dan Jatamura tak segan-segan melakukannya!"

   "Setan! Kau pikir nyawaku kau yang punya?! Lakukanlah kalau kalian mampu!"

   Ujar si Tongkat Perak seraya melirik ke arah lima orang yang mengeli-linginya.

   "Baik!"

   Jatamura yang bersenjatakan sebatang tombak hitam merangsek maju.

   Tombak yang tercekal kuat di-tusukkan ke arah bagian tubuh mematikan lelaki berpakaian hitam itu.

   Berkali-kali si Tongkat Perak dihujani tusukan-tusukan penuh tenaga.

   Namun setiap laki-laki berpakaian merah itu mengarahkan serangan, acapkali pula si Tongkat Perak dapat menghindar.

   Bahkan ketika Jatamura mengarahkan tombaknya ke kepala, si Tongkat Perak tak segan-segan memapak dengan tongkatnya.

   Bisa ditebak, laki-laki berpakaian hitam itu hendak mengadu tenaga dalam.

   Maka....

   Trak! Tuk! "Kkh!"

   Benturan keras antara dua senjata terjadi.

   Sebuah benturan yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu membuat sosok berpakaian merah terjajar dua langkah, Matanya nampak sedikit terkejut.

   Jatamura tak percaya kalau si Tongkat Perak ternyata mempunyai tenaga dalam di atasnya.

   "Seraaang...!"

   Jatamura seketika berteriak lantang.

   Maka, lima sosok tubuh berpakaian serba merah juga seketika merangsek maju dengan senjata sebatang tombak berkelebat cepat terarah pada bagian-bagian yang mematikan.

   Namun si Tongkat Perak bukanlah tokoh kemarin sore.

   Pengalamannya dalam rimba persilatan mampu membuatnya memberikan perlawanan sengit.

   Tongkatnya yang berwarna perak berkelebat cepat, mencecar tubuh dan kepala salah seorang pengeroyoknya.

   "Hiaaa...!"

   Bet! Bet! Trak! "Aaakh...!"

   Sosok berpakaian merah yang bertubuh gemuk terpental jatuh.

   Dia kelihatan memegangi kepalanya karena tongkat berkepala serigala itu mendarat cukup keras.

   Melihat seorang kawannya roboh, lima sosok berpakaian merah yang lain semakin meningkatkan serangan.

   Lima batang tombak berkelebatan cepat, mengincar tubuh lawan yang paling mematikan.

   Mendapat serangan yang begitu ganas, si Tongkat Perak tampak kewalahan juga.

   Sepertinya, lawan-lawannya tidak memberi kesempatan sedikit pun.

   Malah kini dia sudah melesat cepat, menyerang dari arah yang berlawanan.

   "Hiaaa...!"

   Serangan itu didahului oleh teriakan nyaring.

   Sebagai tokoh persilatan yang berpengalaman, si Tongkat Perak tidak gugup mendapat serangan itu.

   Dengan gerakan berputar setengah lingkaran, dipapaknya serangan-serangan itu.

   Trak! Trak! Namun belum lagi dia dapat menyempumakan keseimbangannya, seorang lawan melepaskan ten-dangan keras kaki kiri, tepat ke ulu hati.

   Bugkh! "Ukh...!"

   Si Tongkat Perak mengeluh tertahan ketika ulu hatinya mendapat sodokan cukup keras. Tubuhnya ja-di limbung, sehingga keseimbangannya jadi hilang. Maka keadaan itu secepatnya dimanfaatkan salah seorang berpakaian merah yang berbadan tinggi besar.

   "Rasakan ini! Hiaaa...!"

   Lelaki tinggi besar itu seketika melepas tombaknya sekuat tenaga.

   Sing...! Bunyi berdesing mengiringi tibanya luncuran tombak yang begitu cepat.

   Si Tongkat Perak terkesiap menyaksikan serangan yang begitu tiba-tiba.

   Semula, lelaki berpakaian hitam itu hendak menangkis kedatangan tombak dengan tongkat kepala serigalanya.

   Tapi hal itu rasanya tak munjgkin, karena keseimbangannya belum sempurna.

   Akibatnya, bisa-bisa dia sendiri yang terjajar.

   Akhirnya diambilnya keputusan untuk mengelak dengan memiringkan tubuh.

   Tetapi, terlambat.

   Maka....

   "Akh!"

   Mata tombak yang meluncur begitu cepat tak terbendung lagi menyerempet dadanya. Darah kontan merembes dari pakaiannya yang koyak. Mulut si Tongkat Perak tampak meringis kesakitan.

   "Kurang ajar!"

   Maki lelaki berpakaian hitam itu geram.

   "Jangan panggil aku si Tongkat Perak kalau tak mampu membuat kalian mampus semua!"

   Si Tongkat Perak kembali merangsek maju. Tak dipedulikan lagi luka di dadanya yang terasa begitu perih.

   "Ki sanak! Mata tombak itu setiap saat diolesi racun. Kau akan mati jika tak menuruti kata-kataku!"

   Bentak Jatamura, tiba-tiba.

   "Akh...!"

   Tubuh si Tongkat Perak sesaat limbung. Tubuhnya seketika terasa terserang demam. Namun lelaki berpakaian hitam itu tetap berteguh hati. Dalam keadaan limbung seperti itu, dia masih berusaha menyerang orang-orang berpakaian merah di hadapannya.

   "Hiaaa...!"

   Bet! Bet! "Ukh!"

   Lelaki berpakaian hitam itu kini merasakan kepalanya jadi berat. Matanya pun berkunang-kunang dan seperti berputar-putar. Racun pada mata tombak dari salah seorang pengeroyoknya telah menjalar ke seluruh tubuhnya.

   "Ukh.... Hoeeek!"

   Darah segar kehitaman keluar dari mulut si Tongkat Perak. Dia semakin tidak mampu menguasai keadaan. Hingga....

   "Hiaaa...!"

   Jatamura seketika menerjang ganas. Des! Des! "Aaakh...!"

   Si Tongkat Perak terpental sejauh lima batang tombak begitu mendapat dua pukulan beruntun dari Jatamura yang disertai pengerahan tenaga dalam pe-nuh.

   Akibatnya, si Tongkat Perak tak mampu bangkit lagi.

   Lelaki berpakaian hitam itu sesaat menggeliatkan badan, kemudian diam tak berkutik lagi.

   "Huh! Ternyata sampai di situ saja kepandaianmu, Tongkat Perak. Tapi, aku mengagumi keberanianmu!"

   Jatamura segera melesat masuk ke dalam hutan Lindakhulu setelah diyakininya si Tongkat Perak betul-betul mati.

   Lelaki berpakaian merah yang bertubuh tinggi besar itu bermaksud melaporkan keberhasilannya pada pimpinannya.

   Sementara, temannya yang lain tetap berjaga-jaga di mulut Hutan Lindakhulu.

   "Orang yang berjuluk si Tongkat Perak sudah dimusnahkan, Tuan,"

   Lapor sosok berpakaian merah bertubuh tinggi besar, setelah masuk ke dalam hutan.

   Dia menjura hormat pada seorang lelaki muda yang duduk di sebelah gadis cantik.

   Usia mereka sepertinya memang tak berbeda jauh.

   Lelaki muda itu berusia sekitar dua puluh tahun.

   Dia tampak tersenyum bangga, atas keberhasilan anak buahnya.

   Sementara, gadis yang duduk di sebelahnya juga tersenyum.

   "Bagus!"

   Puji lelaki muda berpakaian warna biru terang itu. Di punggungnya tampak tersandang sebatang pedang.

   "Kembali ke penjagaan. Jangan biarkan seorang pun melintasi Hutan Lindakhulu ini."

   "Baik, Tuan."

   Lelaki berpakaian merah yang kepalanya ter-selubung kain warna merah itu segera membalikkan tubuhnya.

   Kemudian, meninggalkan lelaki muda yang duduk bersebelahan dengan teman perempuannya.

   Di situ, ada pula tiga orang yang masing-masing berpakaian merah, putih, dan hijau.

   Mereka juga mengenakan selubung kain yang warnanya sama dengan pakaiannya masing-masing.

   "Baiklah. Perundingan dilanjutkan lagi,"

   Ujar lelaki muda berpakaian biru terang, setelah sosok berpakaian merah kembali ke perbatasan Hutan Lindakhulu.

   Angin berhembus keras menebarkan hawa panas yang menyengat kulit.

   Sementara, matahari bersinar tepat di atas kepala.

   Di kejauhan nampak sosok lelaki berpakaian kuning keemasan berjalan menuju ke arah Utara.

   Arah yang ditempuh adalah perbatasan Hutan Lindakhulu.

   Lelaki berpakaian kuning keemasan dan berambut ikal itu terus berjalan.

   Sikapnya tampak tenang dan penuh kegembiraan.

   Sementara, kulit wajahnya yang putih kelihatan menjadi kemerahan karena tersengat sinar matahari yang menyorot tajam.

   Langkah lelaki berpakaian kuning keemasan yang tak lain dari Jaka Sembada dan berjuluk Raja Petir itu seketika berhenti.

   Dari jarak sekitar sepuluh batang tombak, tampaklah lima sosok tubuh berpakaian dan berselubung kepala merah tengah berdiri berbaris.

   Ditilik dari cara berdirinya, kelima sosok berpakaian merah itu seperti mempunyai maksud yang tidak baik.

   Setelah berhenti sesaat, Jaka kembali melangkah.

   Hatinya sedikit penasaran, ia ingin tahu maksud lima sosok berpakaian merah menghadangnya di tengah jalan.

   Belum lagi Raja Petir meneruskan langkahnya, sosok berpakaian merah yang bertubuh tinggi besar telah mengangkat sebelah tangannya.

   "Maaf, Anak Muda,"

   Tegur sosok berpakaian merah dan bertubuh tinggi besar.

   "Apakah kau bermaksud melintasi Hutan Lindakhulu ini?"

   Jaka tak segera menjawab pertanyaan itu. Dicobanya menatap wajah yang terselubung kain merah di depannya. Jaka memang tak mengenali orang itu. Tetapi dari bola mata yang garang, nyatalah kalau sosok itu bermaksud tidak baik dengannya.

   "Aku memang ingin melintasi Hutan Lindakhulu, Ki sanak,"

   Jawab Jaka.

   "Kalau boleh kusarankan, carilah jalan lain saja, Anak Muda,"

   Sosok lain berpakaian merah yang bertubuh gemuk ikut bicara.

   "Kenapa Ki sanak melarangku melintasi Hutan Lindakhulu? Apakah di dalam hutan itu banyak bina-tang buas? tanya Jaka berlagak polos.

   "Tidak,"

   Jawab Jatamura.

   "Lalu, kenapa Ki sanak semua melarangku melintasi hutan itu? Menurut hematku, kalau aku melintasi Hutan Lindakhulu, maka perjalananku akan lebih singkat dan lebih cepat,"

   Ujar Jaka lagi, dengan air muka dibuat seperti orang bodoh.

   "Ini permintaanku, Anak Muda!"

   Suara Jatamura mulai terdengar keras.

   "Kau tak perlu tahu, kenapa aku melarangmu melintasi Hutan Lindakhulu ini! Yang kuinginkan, kau memenuhi permintaanku! Itu bila kau ingin memperlambat kematian!"

   "Kalau aku tak mau?"

   Tantang Jaka. Jatamura membelalakkan matanya.

   "Aku tak segan-segan mengirim nyawamu ke akhirat!"

   Sentak Jatamura garang.

   "Aku memilih yang terakhir!"

   Suara Jaka tak kalah keras.

   "Bocah edan!"

   "Heaaa...!"

   Jatamura lebih dahulu merangsek maju. Senja-tanya yang berupa sebatang tombak dengan bagian matanya beracun, ditusukkan ke arah lambung Jaka.

   "Eit!"

   Jaka memiringkan sedikit tubuhnya. Dan dengan kecepatan luar biasa, ditepaknya tombak yang terarah ke lambung. Plak! "Akh!"

   Lelaki tinggi besar berpakaian merah itu memekik seketika, begitu seluruh tangannya terasa linu. Pada-hal, barusan Jaka hanya sedikit menyertakan tenaga dalamnya sebagai penjajakan atas tenaga dalam lawan. Dan ternyata, memang masih jauh di bawahnya.

   "Keparat!"

   Maki lelaki tinggi besar berpakaian merah itu sambil kembali menyerang.

   "Heaaa...!"

   Bet! Bet! "Heaaa!"

   Serangan yang dilakukan Jatamura semakin gencar.

   Tapi Jaka seperti tidak meladeninya.

   Dia hanya menggunakan kecepatan gerak untuk menghindari sambaran senjata lawan.

   Jatamura seketika geram bukan main.

   Dirinya tnerasa dipermainkan pemuda berpakaian kuning keemasan yang dianggapnya masih bau kencur.

   Serangan-serangannya yang dirasa cukup berbahaya, hanya dihindari, tanpa harus mengirim serangan balasan.

   "Anak muda! Jangan menyesal kalau sampai mati tak memberi perlawanan!"

   Keras suara Jatamura yang keluar. Setelah berkata seperti itu, Jatamura kembali merangsek maju. Tombaknya yang bermata racun di-tebas-tebaskan disertai pengerahan seluruh tenaga dalam.

   "Heaaa...!"

   Jatamura melesat seraya membabat dengan tombaknya ke lambung Raja Petir.

   "Eit!"

   Jaka menghindar dengan menarik kaki kanannya ke samping dalam kuda-kuda rendah.

   "Heaaa...!"

   Melihat serangannya luput, Jatamura cepat mem-balikkan arah tombaknya.

   Yang diancamnya kini adalah kepala lawan.

   Tanpa diduga sama sekali, si Raja Petir tak ber-geming sedikit pun.

   Dan begitu tombak hampir men-capai sasaran, Jaka menangkapnya.

   Jatamura berusaha mencoba menarik pulang senjatanya.

   Namun, Jaka telah lebih dulu membetot tombak milik lawan.

   Maka, tubuh tinggi besar itu seketika terhuyung ke depan.

   Bersamaan dengan itu, tangan Jaka yang terkepal dihantamkan ke perut lawan.

   Bug! "Hikh...!"

   Jatamura kontan terjerembab ke belakang.

   Dan belum lagi ia sempat bangkit, Jaka telah melempar tombak bermata racun milik lawannya.

   Singgg...! Laki-laki tinggi besar berpakaian merah itu seketika terhenyak.

   Namun hatinya sedikit lega ketika melihat laju tombak miliknya yang tidak terarah ke tubuhnya.

   Crab! Tombak beracun itu tertanam di tanah sebelah kanan tubuh Jatamura.

   Jaka memang tidak bermaksud menghabisi nyawa orang itu, karena tak merasa pernah punya urusan dengannya.

   "Sekarang, izinkan aku melintasi Hutan Lindakhulu,"

   Kata Jaka sambil membersihkan telapak tangannya. Lelaki tinggi besar berpakaian merah itu tak menjawab pertanyaan Jaka. Namun tiba-tiba....

   "Serang...!"

   Empat sosok berpakaian merah lain yang sejak tadi hanya menjadi penonton, seketika itu juga merangsek maju.

   Senjata mereka yang juga sebatang tombak, ditusukkan ke arah yang mematikan di tubuh Jaka.

   Seperti menghadapi Jatamura, Jaka kini tidak memberi perlawanan.

   Dia hanya mengandalkan kecepatan gerak untuk menghindari sambaran senjata lawan.

   "Eit!"

   "Ups!"

   Raja Petir melakukan lompatan ke udara dan melakukan putaran beberapa kali.

   "Hup!"

   Begitu mendarat dengan manis, Jaka langsung merentangkan tangannya. 'Tahan, Ki sanak...!"

   Keras ucapan Jaka.

   "Aku merasa tidak pernah punya urusan dengan kalian. Namun, kelihatannya kalian begitu bernafsu membunuhku. Sebelum kesabaranku habis, kuharap Kisanak semua meraberiku jalan untuk melintasi Hutan Lindakhulu!" 'Tidak bisa!"

   Jatamura kembali merangsek maju.

   Tongkatnya kernbali terdengar berdesing-desing.

   Raja Petir yang semula memberikan kelong-garan gerak pada lawan-lawannya, kini jadi geram.

   Dia kelihatan mulai memapaki setiap sambaran yang berkelebat cepat disertai pengerahan tenaga dalam sedikit.

   Akibatnya....

   Plak! Plak! "Akh!"

   "Aaa...!"

   Dua lelaki berpakaian merah yang mencoba menusukkan tombak ke wajah Jaka, seketika berpentalan sejauh tiga batang tombak. Mereka merasakan tangannya linu teramat sangat.

   "Sekali lagi kalian berani menghalangi perjala-nanku, aku tak segan-segan memberi pelajaran!"

   Bentak Jaka sambil melangkah tenang.

   "Mampus kau, Bocah Sombong! Heaaa...!"

   Jatamura kembali menerjang, diikuti keempat temannya. Maka Jaka kembali harus berlompatan ke sana kemari untuk menghindari serangan-serangan yang cukup tajam dan cepat. Plak! Plak...! "Aaa...!"

   "Aaakh...!"

   Kejadian serupa kembali terulang. Sosok-sosok berpakaian merah itu kembali berpentalan.

   "Kalian semua, tahan pemuda setan itu,"

   Perintah Jatamura. Dan ketika sosok tinggi besar itu punya kesempatan melarikan diri, segera diman-faatkannya.

   "Hei!"

   Sentak Jaka agak keheranan.

   Namun belum sempat Jaka menahan sosok tinggi besar yang melarikan diri, beberapa serangan lain datang dengan gencar.

   Dan sambil melawan, pikiran Jaka terus bekerja.

   Dugaannya, lelaki tinggi besar yang melarikan diri tadi hendak melapor pada pimpinannya., Afau paling tidak memanggil teman-temannya yang lain untuk meminta bantuan.

   Dengan memperlambat tempo penyerangannya, Jaka terus menanti kedatangan Jatamura bersama pimpinannya.

   Akan tetapi kenyataannya? Setelah sekian lama menanti, lelaki bertubuh tinggi besar itu tak kunjung kembali.

   Sementara, empat sosok berpakaian merah seketika mengendorkan serangannya.

   Dan sesaat kemudian,..

   Keempat sosok berpakaian merah dengan selu-bung muka berwarna merah melarikan diri.

   Semula, Jaka ingin mengejar.

   Tetapi setelah dipertimbangkan, maksudnya diurungkan.

   Toh dia tak pernah punya urusan dengan orang-orang aneh itu.

   Memasuki Hutan Lindakhulu, Jaka tak menemui keanehan di dalamnya.

   Apalagi hambatan seperti yang telah dihadapinya barusan.

   *** Malam merayap begitu perlahan.

   Bulan yang menampakkan wajah sebagian, membagi-bagikan si-narnya tak merata ke pelosok Desa Kilangduga.

   Desa yang kini kelihatan sepi itu, nampak menjadi lebih sunyi.

   Di luar, tampak dua orang peronda malam te-ngah menjalankan tugasnya.

   Sementara di salah satu kamar sebuah perguruan silat, seorang lelaki berumur sekitar lima puluh lima tahun tengah duduk di pinggiran ranjang.

   Dari raut wajahnya yang nampak keruh, menandakan kalau lelaki yang menjabat sebagai Ketua Perguruan Tameng Kencana tengah gelisah.

   'Tidurlah, Ki.

   Hari sudah jauh malam,"

   Ujar perempuan setengah baya yang tergolek di pemba-ringan. Perempuan itu tak lain istri Ketua Perguruan Tameng Kencana.

   "Aku tidak bisa tidur, Nyi,"

   Jawab lelaki yang bernama Rantasanu seraya bangkit dari sisi ranjang.

   "Sepertinya, akan terjadi sesuatu di tempat ini."

   Istri Ki Rantasanu bangkit dari berbaringnya.

   "Omonganmu terlalu melantur, Ki. Sebaiknya pergi tidur saja,"

   Dengus perempuan itu.

   "Nyi Nurimah! Aku tak akan mengikuti perasa-anku, jika perasaanku itu tidak betul,' bantah Ki Rantasanu.

   "Perasaanku benar-benar tidak enak. Dan ini tidak biasanya. Pasti akan terjadi sesuatu di sini. Entah apa bentuknya, aku tak berani mengira-ngira. Sebaiknya kau tidurlah, Nyi. Biar aku berjaga-jaga sepanjang malam ini."

   Nyi Nurimah mengikuti perintah suaminya.

   Maka tubuhnya kembali direbahkan.

   Sebentar matanya masih menatap suaminya yang mondar-mandir tak karuan, tapi sebentar kemudian sudah tak sanggup menahan kantuknya.

   Dia langsung tertidur pulas.

   Deru napasnya terdengar begitu teratur.

   Malam terus beranjak perlahan.

   Ki Rantasanu masih terus mondar-mandir di dalam kamarnya.

   Pikir-annya belum bisa tenang kalau malam belum berganti pagi.

   Ketika Ki Rantasanu merasa kantuk begitu kuat menyerangnya, suara kokok ayam terdengar.

   Itu menandakan kalau fajar sebentar lagi akan datang.

   Namun, hati Ki Rantasanu belum juga hilang rasa ce-masnya.

   Dan ia berharap tak akan terjadi sesuatu setelah matahari terbit nanti.

   "Kau tidak tidur, Ki?"

   Tanya Nyi Nurimah setelah beberapa saat memicingkan matanya.

   "Kalau mau tidur sekarang, tidurlah."

   "Sekarang aku tak mengantuk lagi, Nyi,"

   Kata Ki Rantasanu yang kemudian pergi ke belakang membangunkan putri tunggalnya, Suciati.

   *** Pagi yang indah tak dirasakan Ki Rantasanu se-bagaimana biasanya.

   Kegelisahan yang sesaat tadi lenyap, mendadak hadir kembali.

   Ki Rantasanu benar-benar merasakan hatinya tidak tenteram.

   "Ada apa sesungguhnya dengan perasaanku ini?"

   Kata batin Ki Rantasanu heran.

   Seperti ada yang menggerakkan, kaki Ki Rantasanu melangkah ke ruangan khusus penyim-panan benda pusaka.

   Dan terlebih dahulu, dia pergi ke kamarnya untuk mengambil kunci di lemari.

   Ki Rantasanu keluar dari kamarnya, lalu berjalan menuju ruang tengah tempat penyimpanan benda pusaka.

   Letaknya memang tidak jauh, hanya di sebelah kamarnya.

   Memasuki ruangan khusus penyimpanan benda pusaka, kegelisahan Ki Rantasanu semakin menjadi-jadi.

   Bahkan tangannya agak sedikit gemetar kerika membuka lemari besi berukir.

   Krieeet...! Bunyi lemari terbuka semakin membuat kegelisahan hati Ki Rantasanu bertambah-tambah.

   Hatinya agak lega kerika di dalam lemari masih ada sebuah kotak besi yang masih tertutup rapat.

   Namun, itu belum menghilangkan kelegaannya kalau belum membuka kotak kecil itu.

   Dan saat anak kunci yang lain telah membuka kotak kecil yang berisi kitab pusaka itu, seketika....

   Ki Rantasanu merasakan darahnya seperti berhenti mengalir, dan kepaianya seketika berdenyut-denyut keras.

   Bahkan jantungnya juga berdetak lebih cepat dari biasanya.

   "Nurimaaah...!"

   Ki Rantasanu tiba-tiba berteriak nyaring, sehingga seisi ruangan seolah-olah terlanda geledek yang amat keras. Dan tak lama, seorang perempuan setengah baya berpakaian hijau berlari tergopoh-gopoh menghampiri arah teriakan tadi.

   "Ada apa, Ki?"

   Nyi Nurimah bertanya cemas, begitu telah tiba di depan Ki Rantasanu.

   Ki Rantasanu tidak menjawab.

   Tangannya hanya bergerak menunjuk kotak besi berukir tempat penyimpanan kitab pusaka.

   Sementara Nyi Nurimah begitu terkejut menyaksikan isi kotak itu temyata tak ada di tempatnya.

   Namun perempuan itu lebih mampu menahan amarahnya ketimbang Ki Rantasanu.

   "Kita kumpulkan semua orang yang ada, tak terkecuali Suciati. Kita teliti wajah mereka satu persatu! Kalau ada yang mencurigakan, kita tekan orang itu agar mau mengakui perbuatannya,"

   Ujar Ki Rantasanu.

   Ki Rantasanu dan Nyi Nurimah segera bertindak cepat.

   Mereka langsung memerintahkan seluruh muridnya untuk bangun.

   Dari murid utama sampai murid paling bawah dikumpulkan pada ruangan khusus.

   Suciati, putri tunggal Ki Rantasanu juga ada di situ.

   "Kalian tahu kenapa aku mengumpulkan kalian sepagi ini, di tempat ini?"

   Suara Ki Rantasanu, Ketua Perguruan Tameng Kencana, terdengar keras namun penuh wibawa, ketika mereka semua telah berkumpul di ruangan khusus. Semua murid Perguruan Tameng Kencana diam. Satu pun tak ada yang berani buka mulut, kecuali Suciati.

   "Saya tidak tahu, Ayah,"

   Jawab Suciati.

   "Seorang pencuri telah memasuki perguruan ini!"

   Menggelegar ucapan Ki Rantasanu. Murid-murid Perguruan Tameng Kencana terkejut bukan main mendengar ucapan sang Ketua. Mereka saling menatap penuh keheranan.

   "Pencuri...?"

   Begitu semua ucapan yang bergaung di hati mereka.

   "Apa yang dicuri...?"

   "Kalian tahu, apa yang dicuri dari perguruan ini?!"

   Tanya Ki Rantasanu masih bernada keras. Kembali murid-murid Perguruan Tameng Kencana terdiam. Di hadapan sang Ketua mereka seperti cacing terinjak.

   "Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu!"

   Suara Ki Rantasanu semakin keras terdengar.

   Tatapan matanya yang tajam diarahkan ke seluruh wajah murid-muridnya secara bergantian.

   Begitu juga yang dilakukan Nyi Nurimah.

   Melihat sang Ketua murka sedemikian rupa, seluruh murid Perguruan Tameng Kencana tak ada yang berani mendongakkan kepala.

   Apalagi menyahuti.

   Sedangkan Suciati nampak menundukkan wajahnya dalam-dalam.

   Ngeri juga hatinya menyak-sikan kemurkaan ayahnya.

   "Aku tak ingin menuduh kalian. Namun..., jika ada di aniara kalian yang memang telah berlaku khilaf memindahkan Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu, berlakulah secara jantan. Tonjolkan jiwa kependekaran kalian! Aku akan bertindak bijaksana jika di antara kalian ada yang mengakui kekhilafannya,"

   Ujar Ki Rantasanu.

   Kembali Ketua Perguruan Tameng Kencana itu mengedarkan pandangannya yang tajam pada wajah murid-muridnya.

   Tak terkecuali, putri tunggalnya.

   Sesaat Ki Rantasanu tidak mengucapkan sepatah kata pun.

   Suasana di dalam ruangan itu menjadi hening.

   Murid-murid Perguruan Tameng Kencana tertunduk hormat.

   Namun, rasa takut tak urung menguasai hati mereka.

   "Kalian tahu, apa manfaat Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu bagi perguruan ini? Dan tahukah kalian akibatnya bagi perguruan ini?"

   Tanya Ki Rantasanu, memecahkan keheningan. Lelaki berusia lima puluh lima tahun itu nampak tengah mencoba meredakan kemarahannya. Napasnya yang memburu diatur agar tidak tersengal.

   "Betapa besar arti kitab pusaka itu bagi perguruan kita murid-muridku. Dan akibat yang akan timbul atas hilangnya kitab pusaka itu, juga besar sekali. Apalagi, jika jatuh ke tangan orang-orang rimba persilatan golongan hitam! Gusti! Akan celakalah dunia persilatan ini, khususnya perguruan kita. Jika orang-orang rimba persilatan golongan hitam telah berhasil mempelajarinya, kita semua hanya tinggal menunggu waktu saja menyaksikan keporakporandaan dunia. Dunia akan dipimpin orang-orang bermoral bejat, orang-orang persilatan berpikiran cetek, dan orang-orang yang kerjanya selalu berurusan dengan nyawa dan kematian,"

   Jelas Ki Rantasanu. Hening kembali menyergap. Ki Rantasanu merasakan ruangan ini menjadi tiga kali lebih panas, sepanas hatinya yang seperti terbakar api.

   "Kumohon, tonjolkan jiwa kependekaran kalian jika memang ada yang melakukannya,"

   Perlahan dan mantap suara Ki Rantasanu. Beberapa saat, suasana tetap hening. Ki Rantasanu nampak berbisik di telinga Nyi Nurimah.

   "Baiklah! Jika memang kalian tak merasa mela-kukan hal yang memalukan itu, kupersilakan mening-galkan tempat ini,"

   Tukas Ki Rantasanu kemudian.

   "Gerda Pituha, Yaya Mayada, dan kau Wana RedikaKtetaplah tinggal di tempat!" *** "Apa yang dapat kita lakukan terhadap hilangnya Kitab Pusaka Tameng Kencana Ungu itu, Ayah?"

   Tanya Suciati setelah seluruh murid-murid Perguruan Tameng Kencana meninggalkan ruangan pertemuan. Mereka tinggal berenam saja di ruangan itu.

   "Untuk itulah kita berada di sini, Suciati. Kita akan mencari jalan keluar yang terbaik,"

   Kata Ki Rantasanu lembut. Suciati mengangguk-anggukkan kepala, tanda mengerti. Sementara itu, Ki Rantasanu menatap seorang muridnya yang bernama Yaya Mayada. Kakinya kemudian melangkah beberapa tindak.

   "Kau, Yaya Mayada. Menurutmu, apa yang kita lakukan sekarang ini?"

   Tanya Ki Rantasanu pada murid utamanya yang berusia sekitar tiga puluh tahun.

   "Maaf, Guru. Menurutku, kita harus melarang setiap orang termasuk aku, Kakang Gerda Pituha, dan Adi Wana Redika, bahkan kalau mungkin Suciati, untuk pergi dari perguruan ini. Lalu kita melipatgandakan penjagaan malam hari. Kita berikan wewenang pada setiap penjaga malam untuk menangkap siapa saja yang dianggap mencurigakan,"

   Usul Yaya Mayada. Ketua Perguruan Tameng Kencana mengang-guk-anggukkan kepala mendengar saran bagus dari Yaya Mayada.

   "Lalu kau, Gerda Pituha?"

   Lempar Ki Rantasanu pada murid utamanya yang lain.

   "Ampun, Guru. Pendapatku sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan Adi Yaya Mayada. Hanya saja, kuusulkan agar dalam beberapa hari ini semua penghuni Perguruan Tameng Kencana dilarang keras keluar dari ruang lingkup perguruan. Dan barang siapa yang melanggar, siapa pun dia, harus tetap dikenakan hukuman. Hanya itu saja usulku, Guru."

   "Kau, Wana Redika?"

   Tunjuk Ki Rantasanu.

   "Maaf, Guru. Menurutku, bagaimana kalau kita sebar beberapa telik sandi untuk mencari tahu, siapa pencuri itu. Kiranya begitu saja usulku, Guru."

   "Kau, Suciati?"

   "Aku sependapat dengan Kakang Gerda, Kakang Yaya, dan Kakang Wana Redika, Ayah,"

   Kata Suciati, agak sedikit tersendat.

   "Lalu, menurutmu bagaimanya, Nyi?"

   Ki Rantasanu menatap lekat-lekat mata istrinya.

   "Kusarankan, mulai sekarang diadakan penjagaan ketat. Kalau yang mencuri orang-orang perguruan juga, ada kemungkinan kitab pusaka itu belum jatuh ke tangan orang lain dan masih berada di sekitar perguruan. Namun karena kita semua tidak tahu pasti kapan lenyapnya kitab pusaka itu, maka kita harus menangkap orang-orang yang mencuri-gakan. Siapa saja, tanpa terkecuali! Jika orang yang mencurigakan itu terbukti bersalah, maka kita akan menghukum dengan cara Perguruan Tameng Kencana,"

   Tandas Nyi Nurimah.

   "Baik! Kurasa aku tidak lagi memberikan masukan apa-apa. Apa yang telah kalian sarankan, memang sejalan pemikiranku. Sekarang, tinggal bagaimana kita menjalankannya,"

   Sahut Ki Rantasanu lebih tenang. Ki Rantasanu menghentikan bicaranya sebentar. Dirayapinya wajah orang-orang yang ada di situ.

   "Kau Gerda Pituha, Yaya Mayada, Wana Redika, dan Suciati. Kalian pimpinlah murid-murid Perguruan Tameng Kencana dengan baik. Atur tugas jaga mereka agar tidak sampai lengah,"

   Lanjut Ki Rantasanu.

   "Atur secara bergiliran,"

   Tambah Nyi Nurimah.

   "Aku dan Ki Rantasanu akan mengusahakan beberapa orang telik sandi, yang hanya kami berdua yang tahu. Sudah, lakukan rencana kita dari sekarang."

   Gerda Pituha, Yaya Mayada, Wana Redika, dan Suciati segera meninggalkan ruang pertemuan. Sementara, Ketua Perguruan Tameng Kencana dan Istrinya terus bercakap-cakap.

   "Kegelisahanmu semalam menjadi kenyataan, Ki,"

   Ujar Nyi Nurimah pelan.

   "Ya, Nyi. Tapi aku tak habis pikir, kenapa kegelisahan itu baru datang semalam. Padahal, dugaanku, kitab pusaka itu dicuri tempatnya sekitar tiga hari lalu. Atau malah tujuh hari lalu ketika aku mengunjungi Dirgan Saluyu, Ketua Perguruan Kamboja Merah,"

   Ki Rantasanu menatap mata Nyi Nurimah.

   "Apa mungkin orang-orang perguruan kita yang mencurinya, Nyi?"

   Nyi Nurimah tak segera menjawab pertanyaan Ki Rantasanu.

   "Entahlah. Yang jelas, kita harus berusaha mendapatkan kembali kitab pusaka itu." *** Hari-hari yang berlalu kemudian, adalah hari-hari yang penuh ketegangan dan kecurigaan. Masing-masing murid Perguruan Tameng Kencana saling menyelidiki satu sama lain. Apalagi terhadap orang lain yang secara kebetulan melintas daerah tempat perguruan itu berada. Semuanya tak luput dari perhatian kecurigaan. Seperti yang terjadi pada malam ketiga, setelah diberlakukan penjagaan ketat. Seorang lelaki ber-pakaian warna biru tampak tengah dikepung murid-murid Perguruan Tameng Kencana.

   "Apa maksud Kisanak malam-malam begini melewati daerah perguruan kami?"

   Tanya Suciati dengan sorot mata tajam, penuh selidik.

   "Pasti Ki sanak membawa tujuan yang tidak baik!"

   "Aku tengah mengejar seseorang yang lari ke daerah ini,"

   Sangkal lelaki berpakaian biru itu.

   "Bohong! Kau pasti salah seorang pencuri kitab pusaka perguruan kami!"

   Tuduh Suciati, berapi-api.

   "Jaga mulutmu, Ni sanak! Aku, Sarpanaya pantang dituduh seperti itu. Perlu kau tahu, aku tak pernah mau usil dengan urusan orang lain. Terlebih, terhadap kitab pusaka milik perguruanmu yang mungkin tidak berarti buatku!"

   Lantang suara lelaki yang mengaku bernama Sarpanaya itu.

   "Huh!"

   Dengus Suciati, kesal.

   "Maling di manapun sama saja, tak ada yang pernah mau mengaku!"

   "Mulutmu berbau busuk, Ni sanak! Aku tak suka itu!"

   Sarpanaya seketika merangsek maju. Langsung dilepaskannya satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin menderu mengisyaratkan kedatangan serangan yang begitu cepat.

   "Eit!"

   Suciati cepat-cepat memiringkan sedikit tubuhnya ke kiri sambil mengirim serangan balasan berupa kibasan tanjgan kanan. Namun, kibasan itu dapat dihindari Sarpanaya dengan mundur dua langkah.

   "Heaaa!"

   "Eit!"

   Sarpanaya berlompatan ketika serangan Suciati yang beruntun mencecar bagian-bagian tubuhnya yang mematikan.

   Sarpanaya melenting ke udara dan berputaran dua kali, ketika Suciati melepaskan satu tendangan geledek ke tubuhnya.

   Dan ketika mendarat, langsung dilancarkannya serangan yang tak diduga sama sekali oleh Suciati.

   Sebuah pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

   "Hiaaa...!"

   Bug! "Akh!"

   Suciati terpekik ketika pukulan jarak jauh Sarpanaya mendarat cukup telak di perutnya. Gadis cantik putri tunggal Ki Rantasanu itu terhuyung dua langkah ke belakang. Rasa mual seketika terasa di perutnya.

   "Kurang ajar!"

   Maki Suciati sambil mencabut senjatanya berupa sebatang pedang dari pinggang.

   Lalu....

   Begitu pedang sudah tercabut, Suciati mengangatnya tegak lurus di depan wajah.

   Sementara, tangan kirinya yang membentuk kepalan, disilangkan dengan tangan kanan yang memegang pedang.

   "Heaaa...!"

   Bet! Bet! Pedang Suciati dikibas-kibaskan di depan wajah, sambil meluruk menyerang Sarpanaya.

   Sarpanaya terus menghindar dari serangan-serangan Suciati yang memang tak main-main, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Sesekali, Sarpanaya mencoba balik menyerang.

   Namun kelebatan pedang Suciati seolah tak memberikan kesempatan untuk mendaratkan serangannya.

   "Gadis edan!"

   Rutuk Sarpanaya dalam hati.

   Meskipun di tempat asalnya dia termasuk orang yang disegani, tapi menghadapi gadis cantik di hadapannya, Sarpanaya tidak berani memandang sebelah mata.

   Permainan pedang gadis berpakaian putih longgar itu memang cukup berbahaya.

   Sementara Sarpanaya sibuk dengan pikirannya, Suciati terus menebas-nebaskan pedangnya ke tubuh lelaki berpakaian biru yang juga berusaha memper-tahankan selembar nyawanya.

   Sarpanaya terus ber-lompatan dan berjumpalitan.

   "Kalau terus begini keadaannya, bisa-bisa leherku putus oleh pedang gadis ini?"

   Gumam Sarpanaya dalam hati.

   Sambil berjumpalitan, Sarpanaya meraih senja-tanya yang berupa sepasang belati.

   Suciati tampak terkejut bukan main melihat lawan menyiapkan senjatanya.

   Dugaannya, lelaki itu kini tidak hanya menghindari serangannya.

   Malah, juga bermaksud membunuhnya.

   Dua tebasan pedang dilepaskan Suciati, namun berhasil dipapak Sarpanaya dengan belati yang ada di genggamannya.

   Melihat serangannya gagal, seketika Suciati berteriak lantang.

   "Seraaang...!"

   Murid-murid Perguruan Tameng Kencana yang sejak tadi hanya jadi penonton, kini merangsek maju kerika mendengar aba-aba dari anak pemimpin mereka.

   Pedang di tangan masing-masing berkelebat ganti-berganti, terarah ke bagian-bagian tubuh yang peka dari Sarpanaya.

   Menghadapi lawannya yang berjumlah tidak sedikit, Sarpanaya tak berani kalau hanya menghindar.

   Apalagi, rata-rata lawannya memiliki kemampuan yang lumayan.

   Manakala mempunyai kesempatan, maka Sarpanaya tak tanggung-tanggung melepaskan tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Yang dituju adalah bagian ulu hati salah seorang murid Perguruan Tameng Kencana.

   "Hiyaaa...!"

   Desss! "Ugkh!"

   Satu tendangan keras tepat mendarat pada sasarannya. Lelaki berpakaian purih murid Ki Rantasanu itu terjengkang ke belakang cukup keras oleh tendangan Sarpanaya. Sesaat bagian perutnya dipegangi. Kemudian....

   "Hoeeek...!"

   Orang itu kontan muntah darah.

   Dan sesaat dia ambruk.

   Nyawanya telah terlepas dari badannya.

   Menyaksikan salah seorang murid Perguruan Tameng KeAcana roboh sebegitu mudah, Suciati merangsek maju.

   Bahkan kali ini dibantu Gerda Pituha, murid utama Perguruan Tameng Kencana yang baru hadir setelah mendengar keributan.

   Sarpanaya terkejut menyaksikan kemampuan lelaki yang baru datang membantu, yang kepandaiannya sedikit di atas lawannya.

   Dan begitu dia mencoba menyerang, lelaki berkumis tipis itu mampu menghindari tusukan-tusukan sepasang belati Sarpanaya.

   Begitu juga yang dirasakan Gerda Pituha.

   Ter-nyata lawannya kali ini begitu gesit, sehingga mampu menghindari setiap tebasan pedangnya.

   Berpuluh-puluh jurus telah dikerahkan Gerda Pituha dan Suciati.

   Begitu juga Sarpanaya.

   Namun sampai saat ini belum ada tanda-tanda-tanda yang ter-desak.

   "Terus terang, Ni sanak! Aku tak pernah merasa punya urusan dengan kalian semua. Tapi untuk lari dari pertarungan ini, bagiku adalah sebuah pantang-an!"

   Bentak Sarpanaya yang merasa dirinya tidak bersalah, di sela-sela permainan jurusnya.

   "Sebaiknya, panggil saja ketua perguruan kalian. Biar beliau yang memeriksa, apakah Sarpanaya punya tampang pencuri! Atau kalau keberatan memanggil guru kalian, biar aku yang datang menghadap!"

   "Jangan sembarangan berbicara, Sarpanaya. Niat jahatmu sudah bisa kucium seiring dengus napasmu!"

   Bentak Suciati lantang. Gadis itu kembali menggelar serangan, seakan tak ingin memberi kesempatan pada Sarpanaya untuk membantah tuduhannya.

   "Gadis binal!"

   Maki Sarpanaya sambil menangkis tebasan pedang djengan belatinya.

   "Hiaaa!"

   Belum selesai Sarpanaya menahan serangan gencar Suciati, Gerda Pituha telah mengancam pung-gungnya dengan tebasan pedang dari arah belakang.

   "Hup!"

   Sarpanaya langsung menggenjot tubuhnya kuat-kuat. Tubuhnya cepat melenting ke udara, lalu mendarat agak jauh dari Suciati dan Gerda Pituha. Gerakannya begitu indah dan manis dilihat.

   "Berhenti...!"

   Putri tunggal Ki Rantasanu dan murid utama Perguruan Tameng Kencana yang bermaksud merangsek kembali, langsung menghentikan niatnya.

   Karena tiba-tiba saja terdengar bentakan cukup lantang dan menggelegar.

   Suara keras yang memang cukup dikenali.

   Belum juga gema bentakan itu hilang, tiba-tiba melesat cepat sosok lelaki dari dalam bangunan Perguruan Tameng Kencana.

   Dia tak lain adalah Ki Rantasanu.

   Seketika itu juga Ki Rantasanu menatap tajam ke arah lelaki berpakaian biru dengan senjata sepasang belati tergenggam di tangan.

   "Ada urusan apa kau malam-malam begini datang ke sini, Kisanak?"

   Tanya Ki Rantasanu bijak. Mendengar perkataan sopan dari mulut laki-kaki berpakaian putih dengan rambut digelung ke atas, Sarpanaya seketika membungkukkan sedikit badannya.

   "Aku sebenarnya tak bermaksud datang ke tempat ini, Ki,"

   Jawab Sarpanaya terus terang.

   "Tapi karena orang yang kukejar lari ke daerah ini, mau tak mau aku harus memasuki wilayah ini. Tapi tiba-tiba saja, aku dihadang orang-orangmu dengan tuduhan mencuri kitab pusaka perguruan ini. Jelas aku tak menerima tuduhan itu, Ki."

   Ki Rantasanu terus menatap lelaki berpakaian biru itu. Dalam hati, dia yakin kalau ucapan yang barusan diucapkan laki-laki itu keluar secara jujur.

   "Kenapa kau mengejar orang yang lari ke daerah ini?"

   Selidik Ki Rantasanu.

   "Dia telah membuat keonaran di wilayahku dan telah menghilangkan dua nyawa muridku."

   Tiba-tiba Ki Rantasanu mengerutkan kening-nya. Matanya langsung terpaku pada senjata laki-laki berpakaian biru itu.

   "Anak muda! Sepertinya aku kenal dengan senjata yang kau pegang. Apakah kau salah seorang anggota keluarga Padepokan Sepasang Belati Maut?"

   Tanya Ki Rantasanu sambil menajamkan panglihatannya.

   "Betul!"

   Jawab Sarpanaya tegas.

   "Aku putra kedua Suryapati."

   "Putra Suryapati?"

   Ki Rantasanu terkejut bukan main. Dengan langkah cepat dihampirinya Sarpanaya.

   "Ah! Maafkan kesalahpahaman putri tunggal dan murid-muridku,"

   Ucap Ki Rantasanu.

   "Namaku Sarpanaya, Ki."

   "Sarpanaya! Mereka semua tidak tahu kalau kau putra seorang sahabat baikku. Mereka hanya menjalani tugas untuk menghadang setiap orang yang nampak mencurigakan. Perguruan ini tengah tertimpa musibah, Sarpanaya. Jadi, kuharap kau sudi memaklumi tindakan yang diambil putri tunggal dan murid-muridku,"

   Tambah Ki Rantasanu.

   "Kalian semua kembali ke tempat tugas masing-masing. Suci, Gerda. Kuminta tinggalkan tempat ini."

   Setelah memberi perintah kepada murid-muridnya, Ki Rantasanu kembali berpaling ke arah Sarpanaya.

   "Kau bisa memakluminya, bukan?"

   Sarpanaya menganggukkan kepala.

   "Sebuah kitab pusaka milikku telah lenyap dari tempatnya. Tapi, wajar kalau mereka mencurigai setiap pendatang. Ah! Aku berterima kasih sekali kalau kau sudi memaklumi kesalahpahaman ini, Sarpanaya. Ba-gaimana kalau kau singgah ke dalam sebentar?"

   Ujar Ki Rantasanu. 'Terima kasih, Ki. Aku tidak bisa lama-lama berada di tempat ini. Aku khawatir, orang yang kukejar kembali ke tempatku, dan membuat keonaran.

   "tolak Sarpanaya, sopan.

   "Aku juga mohon maaf, Ki. Lain kali, pasti aku akan datang ke tempat ini."

   "Baiklah,"

   Ujar Ki Rantasanu tak bisa menahan.

   "Titip salam untuk ayahmu."

   "Akan kusampaikan salammu, Ki. Permisi. Kedai Ki Julak nampak dipenuhi pendatang siang ini. Selain itu, penduduk daerah itu pun nampak tengah menikmati tuak yang selalu dituangkan anak perempuan Ki Julak, yang cantik dan bahenol.

   "Setengah gelas lagi, Ni. Rasanya, kok jantung Akang deg-degan setelah minum tuak ini,"

   Ujar lelaki berwajah lucu.

   Bola matanya tak lepas memandang anak perempuan Ki Julak yang memang cantik.

   Anak perempuan Ki Julak yang bernama Surti itu menuangkan setengah gelas tuak manis untuk lelaki berwajah lucu.

   Lelaki berkumis tipis itu kelihatannya memang punya minat untuk meminangnya.

   "Kamu cantik, Ni,"

   Goda lelaki berwajah lucu itu sambil meraih gelas yang sudah diisi tuak manis.

   Surti tersenyum mendengar pujian itu.

   Rupa-rupa cerita terus mengalir dari dalam kedai milik Ki Julak.

   Namun yang menarik minat Jaka yang kebetulan ada di kedai itu adalah pembicaraan empat orang berpakaian seragam salah sebuah perguruan silat.

   "Pencurinya pasti seorang tokoh yang hebat dan ilmunya pasti tinggi,"

   Kata lelaki berpakaian hitam dan bertubuh pendek.

   "Itu sudah pasti, Karji,"

   Timpal lelaki tinggi di sebelahnya.

   "Buktinya, kitab pusaka itu berhasil dicuri tanpa diketahui pemiliknya. Setahuku, Ketua Perguruan Tameng Kencana adalah seorang lelaki yang memiliki ilmu kesaktian tinggi,"

   Balas yang lain.

   "Jelas itu, Buang. Tanpa memiliki kesaktian tinggi, Ki Rantasanu tak mungkin berani mendirikan sebuah perguruan silat,"

   Selak lelaki kerempeng berambut lebat "Kau kenal ketua perguruan itu?"

   Tanya orang yang dipanggil Buang dengan mata berkilat penuh kekaguman.

   "Kenal sih tidak. Hanya pernah dengar namanya saja,"

   Jawab lelaki kerempeng itu.

   "Uuu.... Kalau begitu, aku juga kenal Ketua Perguruan Kamboja Merah. Meskipun, hanya kenal namanya saja.,"

   Tambah lelaki bertubuh pendek yang bernama lagi. Sementara itu, Jaka yang mengambil tempat duduk di bagian sudut, tersentak mendengar ucapan Karji. Hatinya jadi ingin lebih tahu lagi perkembangan pembicaraan mereka.

   "Seperti halnya Ki Rantasanu, Eyang Dirgan Saluyu pun pasti punya kedigdayaan. Tapi kenapa ya, kok kitab-kitab pusaka milik mereka bisa lenyap tanpa bisa dicegah! Heran jadinya,"

   Lanjut Karji.

   "Tidak salah lagi, pasti pencuri itu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Bahkan melebihi ilmu kedua ketua perguruan yang kitab pusakanya dicuri. Mungkin juga pencuri itu punya aji 'Sirep',"

   Tegas lelaki bertubuh kerempeng. Mendengar pembicaraan empat lelaki yang nampak tidak main-main, Raja Petir seketika bangkit dari duduknya. Pemuda itu berjalan perlahan menghampiri mereka.

   "Maaf, Ki sanak. Bolehkah aku turut berbincang-bincang dengan kalian?"

   Pinta Jaka sopan. Keempat lelaki yang tengah berbicara itu seketika berhenti berbicara, dan menumpahkan pandangannya ke wajah Jaka.

   "Aku ingin bertanya sesuatu pada Ki sanak sekalian. Bolehkah?"

   "Boleh. Tentu saja boleh,"

   Jawab Karji. 'Terima kasih,"

   Jaka mengambil kursi dan diletakkan di antara keempat lelaki itu. Sementara, keempat orang itu terus saja merayapi wajah Jaka, yang mungkin saja pernah mereka kenal.

   "Kalian semua tahu dari mana kalau Perguruan Tameng Kencana dan Perguruan Kamboja Merah ke-hilangan kitab-kitab pusaka mereka?"

   Tanya Jaka, lembut "Semua orang yang merasa bertetangga dengan Desa Kilangduga dan desa tempat Perguruan Kamboja Merah berada, sepertinya sudah pasti tahu mengenai hilangnya kitab-kitab pusaka itu,"

   Kali ini yang menyahuti adalah Buang.

   "Betul! Mereka tahu dari penduduk Desa Kilangduga,"

   Timpal lelaki bertubuh tinggi.

   "Seperti juga kami."

   Jaka Sembada mengangguk-anggukkan kepala.

   "Terima kasih atas keterangan kalian, Ki sanak,"

   Ucap Jaka seraya kembali ke tempat semula.

   *** Mendengar keterangan empat lelaki yang menu-rutnya tidak berbohong, Jaka sempat berpikir keras akan kejadian yang terjadi.

   Bagaimana mungkin kalau kitab pusaka yang seharusnya tersimpan secara rahasia bisa hilang dari tempatnya? Apalagi kejadian itu tanpa sedikit pun diketahui pemiliknya.

   Padahal Jaka tahu betul, siapa itu Eyang Dirgan Saluyu.

   Dia adalah orang tua digdaya yang pada zaman ini sukar dicari tandingannya.

   Atau....

   Adakah orang lain yang memiliki kedigdayaan yang melebihi Eyang Dirgan Saluyu, sehingga orang itu mampu mengecoh Ketua Perguruan Kamboja Merah yang terkenal kearifannya? Atau mungkin, ada juga orang dalam perguruan yang berkhianat dan bekerjasama dengan orang luar? Raja Petir terus memikirkan kemungkinan-ke-mungkinan yang berkaitan dengan lenyapnya Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja milik Perguruan Kamboja Merah.

   "Aku harus bertemu langsung pada Eyang Dirgan Saluyu,"

   Putus Jaka, tiba-tiba.

   Setelah meninggalkan beberapa keping uang, Raja Petir berkelebat cepat Gerakannya begitu cepat, sehingga membuatnya teriihat seperti seleretan sinar kuning.

   Salah seorang dari empat lelaki yang ditanyai Jaka terkesima menyaksikan bayangan yang berkelebat cepat.

   Dan ketika lelaki berambut kemerahan menolehkan kepala ke meja tempat Jaka berada....

   "Anak muda yang barusan bertanya itu manusia atau memedi, ya?"

   "Dia manusia seperti kita juga. Tapi, dia memiliki ilmu yang amat tinggi,"

   Kata Karji.

   "Sok tahu kamu, Ji!" *** Langit sudah menampakkan warna jingga di ufuk Barat ketika Jaka dalam perjalanan menuju Perguruan Kamboja Merah. Dengan mengerahkan ilmu larinya yang sudah mencapai tingkat tinggi, maka sudah dapat dipastikan kalau sebentar lagi akan tiba di perguruan yang dipimpin Eyang Dirgan Saluyu. Tiba di pintu gerbang Perguruan Kamboja Merah, langit sudah berwarna pekat. Bintang-bintang yang bersinar redup, tak mampu menerangi Desa Kilangduga yang dipenuhi pepohonan. Kegelapan sang malam menyelimuti sekitamya. Ketika Jaka menghampiri penjaga yang berdiri di mulut pintu pagar besi, tiba-tiba....

   "Berhenti!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras dari seseorang.

   "Anak muda, apa urusanmu malam-malam berkunjung ke sini?!"

   "Aku ada urusan dengan Eyang Dirgan Saluyu,"

   Cukup lantang suara Jaka.

   "Urusan apa?!"

   Tanya penjaga yang bersenjatakan golok besar dengan bagian ujungnya sedikit melengkung dan tajam.

   "Maaf. Aku tak bisa menyebutkannya,"

   Jawab Jaka tenang.

   "Kalau kau tak mau menyebutkan, aku tak akan memberimu ijin untuk bertemu guru kami,"

   Penjaga yang bertubuh tinggi tegap itu tetap bersikeras.

   "Baiklah!"

   Jaka mengalah.

   "Sebelum aku memberitahukan keperluanku datang kemari, sudikah Ki sanak memberitahukan pada Eyang Dirgan Saluyu kalau Raja Petir ingin bertemu."

   "Raja Petir?"

   Lelaki bertubuh tinggi tegap itu bergumam dalam hati.

   Antara percaya dan tidak, kepala penjaga itu terus memandangi Jaka dari ujung kaki sampai kepala.

   Sesungguhnya, kepala regu penjaga itu berat menerima pengakuan anak muda berpakaian kuning keemasan di hadapannya.

   Dia sudah tahu, bagaimana hebatnya Raja Petir.

   Bahkan Eyang Dirgan Saluyu pernah memberi tahu kalau Raja Petir adalah seorang tokoh golongan putih yang sukar dicari tandingannya.

   Dan menurut dugaan kepala regu penjaga itu, Raja Petir adalah seorang lelaki yang sudah cukup punya umur.

   Tetapi, anak muda yang berada di depannya kini? Paling-paling usianya baru dua puluh tahun! "Apakah ucapanmu dapat dipercaya, Anak Muda?"

   Tanya penjaga yang kelihatannya adalah pemimpin regu itu. Jaka tersenyum.

   "Pantang bagiku berbohong, Ki sanak."

   Mata kepala regu penjaga itu kembali merayapi tubuh Jaka.

   Sesaat kemudian tatapannya beralih kepada temannya sambil menganggukkan kepalanya.

   Melihat kepala regu penjaga itu mengangguk, seorang rekannya seketika masuk ke dalam.

   Dia nampak tergopoh-gopoh menuju ruangan guru besarnya yang menjadi satu dengan bangunan perguruan.

   "Seseorang ingin bertemu Eyang di luar,"

   Lelaki bertubuh sedang itu menjura hormat, ketika telah sampai di hadapan gurunya.

   "Siapa dia?"

   Berat suara Ketua Perguruan Kamboja Merah.

   "Anak muda itu mengaku sebagai Raja Petir."

   Tersentak hati Eyang Dirgan Saluyu mendengar pemberitahuan muridnya.

   "Kau masih ingat ciri-cirinya?"

   "Dia memakai pakaian serba kuning keemasan, dengan sabuk juga warna kuning,"

   Jawab murid Perguruan Kamboja Merah itu.

   "Kau melihat ada sesuatu di pergelangan tangan kirinya?"

   Penjaga malam yang melapor itu menganggukkan kepala.

   "Aku melihat, Eyang. Seperti dua buah batang bambu kuning berukuran kecil."

   Eyang Djrgan Saluyu tidak menanggapi pemberitahuan muridnya.

   "Dia pasti diutus Terala untuk membantuku,"

   Kata batin Eyang Dirgan Saluyu.

   Belum lagi penjaga itu mendapatkan kepastian, Eyang Dirgan Saluyu telah berlalu meninggalkan ruangannya.

   Gerakannya begitu cepat, hingga penjaga itu tak mampu mengikuti.

   Begitu tiba di halaman Perguruan Kamboja Merah, Eyang Dirgan Saluyu kembali terkejut melihat Raja Petir masih berada di luar pagar pintu gerbang.

   "Kenapa tidak kalian buka pintu itu?!"

   Bentak Eyang Dirgan Saluyu keras. Seorang lelaki yang bertubuh tinggi tegap dengan tergopoh-gopoh membuka pintu, dan Raja Petir segera masuk setelah sebelumnya menundukkan kepala memberi hormat.

   "Eyang senang sekali kau bertandang ke sini, Raja Petir,"

   Ucap Eyang Dirgan Saluyu sambil melangkah menuju ruang dalam. '"Panggil aku Jaka, Eyang,"

   Pinta Jaka malu-malu.

   "Kenapa?"

   Tanya Eyang Dirgan Saluyu.

   "Aku lebih senang namaku disebut, ketimbang julukan itu,"

   Tegas Jaka.

   "Kesannya lebih akrab, Eyang."

   Eyang Dirgan Saluyu tersenyum mendengar ke-rendahan anak muda yang memiliki ilmu kesaktian begitu tinggi.

   "Silakan duduk, Jaka,"

   Eyang Dirgan Saluyu menyodorkan kursi berukir berwarna coklat mengkilat. 'Terima kasih."

   "Apakah kedatanganmu atas perintah Adi Terala, Jaka?"

   Tanya Eyang Dirgan Saluyu sambil meletakkan segelas air putih. Jaka menggeleng.

   "Atau hanya kebetulan saja?"

   Tanya Eyang Dirgan Saluyu lagi.

   "Tidak"

   "Lalu?"

   "Aku ingin mendapatkan kepastian akan kebe-naran ucapan-ucapan mereka."

   "Tentang apa?"

   Selak Eyang Dirgan Saluyu.

   "Tentang hilangnya Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja."

   "Mereka semua memang berkata benar, Jaka. Kitab pusaka itu hilang dari tempatnya tanpa kuketahui kapan dan siapa pencurinya,"

   Jelas Eyang Dirgan Saluyu. Suaranya begitu sarat dengan penyesalan.

   "Apakah ada orang-orang yang dicurigai?"

   Eyang Dirgan Saluyu menggelengkan kepala.

   "Pencuri itu terlalu cakap menjalankan tugasnya, Jaka. Mungkin menggunakan ilmu kesaktian yang begitu tinggi."

   Jaka menatap bola mata Eyang Dirgan Saluyu yang menyimpan bara kemarahan.

   "Apa tidak mungkin justru orang-orang dalam perguruan sendiri yang telah memindahkan kitab pu-saka itu, Eyang?"

   Pelan ucapan Jaka.

   Eyang Dirgan Saluyu tak membantah dugaan pendekar muda yang digdaya itu.

   Sesungguhnya, dia )uga memiliki dugaan seperti itu.

   Tapi, pada siapa dugaan itu harus ditujukan? *** Dua hari Jaka tinggal di kediaman Eyang Dirgan Saluyu.

   Nalurinya yang peka sudah dapat menangkap sesuatu yang aneh pada lingkungan Perguruan Kamboja Merah.

   Selama keberadaannya di sini, Jaka memang tak luput memperhatikan setiap gerak-gerik seluruh murid Eyang Dirgan Saluyu, termasuk murid-murid utamanya.

   Terutama sekali, pada lelaki berkumis tebal dan berperawakan kurus yang bernama Sutriwa.

   Lelaki murid Eyang Dirgan Saluyu itu terlalu memberi perhatian lebih kepadanya.

   Di mana Jaka berada, di situ pula murid utama Perguruan Kamboja Merah yang bernama Sutriwa berusaha melayani dengan keramahan yang seperti dibuat-buat.

   Seperti juga malam ini.

   Sutriwa menemani Jaka yang sebetulnya tak memerlukan kehadirannya.

   "Kau tak ada tugas lain malam ini, Sutriwa?"

   Tanya Jaka pada lelaki kurus berkumis tebal itu.

   "Tidak,"

   Jawab Sutriwa.

   "Kau tidak mengantuk?"

   Pertanyaan Jaka tak diterima Sutriwa sebagai usiran halus.

   "Ah! Aku lebih senang menemani kau, Raja Petir. Daripada tidur di dalam tanpa seorang teman,"

   Jawa Sutriwa sopan. Jaka menatap Sutriwa yang berpura-pura tak merasa diselidiki.

   "Sebenarnya, aku ingin berada seorang diri malam ini."

   "Bukankah lebih baik ada teman? Kau bisa mendapatkan lawan bicara. Kita bisa bercerita apa saja, dalih Sutriwa.

   "Ingin sekali aku mendengar pengalamanmu menghadapi tokoh-tokoh sakti golongan hitam. Kudengar, kau telah berhasil menyingkirkan mereka."

   "Rasanya aku tak berminat menceritakan pengalamanku malam ini, Sutriwa. Entahlah kalau di lain waktu. Malam ini, aku ingin mencari jalan untuk mendapatkan kembali Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja yang dicuri manusia tak tahu diri,"

   Kilah Jaka sambil memperhatikan air muka lelaki di hadapannya, Sutriwa merasakan air mukanya berubah mendengar ucapan Jaka.

   Tetapi dia berusaha menyembunyikannya serapi mungkin.

   Sutriwa merasa perubahan air mukanya tak diketahui Jaka, karena sina bulan yang hanya sepotong itu tak mampu menerangi wajahnya.

   Namun kenyataannya lain bagi Raja Petir.

   Sesungguhnya, perubahan air muka Sutriwa dapat jelas terlihat.

   "Seandainya aku berhasil menangkap pencuri edan itu, akan kucincang tubuhnya!"

   Cukup keras ucapan Jaka.

   "Bagaimana denganmu, Sutriwa?"

   "Aku akan melakukannya lebih kejam daripa-da mu,"

   Jawab Sutriwa.

   "Aku akan menyiksanya lebih dahulu untuk mendapatkan keterangan dengan siapa orang itu bekerjasama, baru setelah itu nyawanya ku-kirim ke neraka."

   Jaka tersenyum mendengar ucapan basa-basi lelaki kurus berkumis tebal itu.

   "Aku setuju dengan ucapanmu, Sutriwa,"

   Puji Jaka.

   "Makanya, aku akan terus menyelidiki manusia yang tak tahu diri itu."

   "Aku pun begitu."

   "Aku akan menyelidiki Hutan Lindakhulu."

   Kembali air muka Sutriwa berubah. Kali ini, malah lebih jelas tertangkap bola mata Jaka.

   "Ada apa memangnya di Hutan Lindakhulu?"

   Tanya Sutriwa agak keheranan juga mendengar ucapan pendekar yang cukup digdaya di hadapannya.

   Darimana dia tahu kalau Hutan Lindakhulu menyimpan suatu rahasia di dalamnya? "Sekelompok orang berpakaian serba merah dengan tutup kepala merah pernah melarangku untuk melintasi Hutan Lindakhulu.

   Aku tak tahu, apa sebab-nya.

   Kemudian, aku bertarung, lalu mereka melarikan diri.

   Namun sewaktu aku memasuki Hutan Lindakhulu, tak kutemukan suatu keanehan pun di situ,"

   Papar Jaka dengan mata yang tak lepas memandang wajah Sutriwa.

   "Kupikir, itu hanya keisengan mereka. Ata dalih mereka yang sesungguhnya ingin merampok!"

   "Mungkin juga dugaanmu yang terakhir itu be-nar,"

   Timpal Sutriwa.

   "Ya! Mungkin dugaan itulah yang benar." *** Malam kelima menjelang fajar, Jaka masih terlelap dalam mimpi indahnya. Namun di luar kamarnya, tiga orang mengenakan tutup kepala warna hitam tampa mengendap-endap seperti mengintai. Ketiga orang itu tampak seperti mengatur tugas masing-masing dengan bahasa isyarat. Kemudian salah seorang tampak mendekati pintu kamar. Sebentar dia membuat kuda-kuda. Lalu, tiba-tiba tangannya dihentakkan ke depan. Dan.... Brak!. Jaka kontan tersentak bangun dan langsung berdiri. Matanya langsung terbentur pada tiga orang yang mengepung dirinya. Salah seorang sepertinya sudah dikenali ciri-cirinya oleh Jaka. Siapa lagi kalau bukan Sutriwa? "Sebelum fajar datang, kuharap kau sudah me-ninggalkan tempat ini, Raja Petir. Aku tak gentar dengan nama besarmu. Kau akan kukirim ke neraka ka-lau mengacuhkan perintahku!"

   Bentak salah seorang yang bertubuh lebih pendek.

   "Seharusnya aku yang berkata begitu, Ki sanak Kalian sudah masuk ke kamar orang tanpa tata krama. Kalian lancang!"

   Bentak Raja Petir, memancing kemarahan orang-orang berpakaian hitam dengan tutup kepala berwarna hitam.

   "Kau memang patut disingkirkan, Raja Petir!"

   Seiring ucapan itu, sosok bertubuh pendek mengkelebatkan senjata berbentuk aneh ke arah teng-gorokan Jaka.

   Senjata itu seperti clurit, namun matanya bergerigi.

   Jaka merendahkan badannya, maka tebasan clurit bergerigi yang juga mengandung hawa beracun lewat beberapa rambut di atas kepalanya.

   Dan seketika itu juga, Raja Petir memberi serangan balasan ke arah iga sosok berperawakan pendek.

   "Uts!"

   Sosok bertubuh pendek bergerak manis menghindari sodokan tangan Jaka. Namun sayang, gerakan manis yang bermaksud mengecoh sudah didahului kecepatan gerak kaki Jaka! "Hiyaaa!"

   Digkh! "Aaakh,..!"

   Sosok bertubuh pendek itu terpelanting ke belakang terkena tendangan keras Jaka yang menghantam telak dadanya.

   "Kurang ajar! Habisi langsung!"

   Dua sosok berpakaian hitam lainnya bersamaan merangsek maju.

   Senjata-senjata mereka berkelebatan, mengeluarkan hawa dan bau amis terarah kebagian tubuh Jaka yang mematikan.

   Sementara, oran yang tadi mendapat tendangan, sudah ikut mengeroyok Raja Petir.

   Menyaksikan serangan lawan yang tidak main-main, Raja Petir jadi ingin memberi pelajaran.

   Segera dikerahkannya aji 'Bayang-bayang' ke hadapan tiga pengeroyoknya.

   Kamar yang memang berukuran cukup luas, seketika itu juga diisi lima bayangan Jaka.

   Dan ternyata pengerahan ajian itu membuat tiga sosok berpakaian hitam itu terkejut.

   Dengan mengandalkan senjata yang berbentuk clurit bergerigi, mereka membabat-babatkan ke arah Jaka dengan gencar dan beruntun.

   Namun setiap kali menebas, setiap kali itu pula salah seorang pengeroyok harus merasakan dorongan keras akibat tarikan tenaganya sendiri yang menghantam tempat kosong.

   Dan begitu mendapat kesempatan, Raja Petir cepat melenting ke udara.

   Setelah berputaran dua kali, tubuhnya meluruk dengan sambaran-sambaran tangan disertai suara menderu tajam.

   Arahnya langsung pad tiga orang pengeroyoknya sekaligus.

   "Heaaa...!"

   Tuk! Tuk! Tuk! Ketiga sosok berpakaian hitam seketika bergelimpangan manakala totokan Jaka cepat menghantam jalan darah di tubuh mereka.

   Ketiga sosok itu ingin berusaha bangkit, tapi tak mampu melepaskan totokan yang dilakukan Raja Petir.

   Seiring robohnya ketiga sosok berpakaian hitam, Eyang Dirgan Saluyu muncul agak tergesa-gesa.

   Dan dia langsung terhenyak menyaksikan tiga sosok berpakaian hitam tengah tergeletak di kamar orang yang dihormatinya.

   "Siapa mereka, Jaka?"

   Tanya Eyang Dirgan Saluyu geram. Dalam hati, ia menduga kalau ketiga lelaki yang tergeletak itu adalah pencuri Kitab Pusaka Mustika Bunga Kamboja.

   "Aku belum mengorek keterangan dari mereka, Eyang,"

   Jawab Jaka.

   "Huh!"

   Eyang Dirgan Saluyu bergerak hendak melucuti kain hitam yang menutupi wajah tiga sosok yang tergeletak.

   "Tahan, Eyang!"

   Pinta Jaka. Eyang Dirgan Saluyu menghentikan tangannya yang hampir meraih kain hitam penutup wajah itu.

   "Kenapa, Jaka?"

   Tanya Eyang Dirgan Saluyu, heran.

   "Sosok yang satu, sepertinya Sutriwa, murid Perguruan Kamboja Merah,"

   Tunjuk Jaka pada sosok bertubuh kurus. Eyang Dirgan Saluyu membelalakkan matanya mendengar ucapan Jaka. Secepat kilat, dibetotnya kain penutup wajah sosok bertubuh kurus.

   "Ah!"

   Terkejut juga Jaka menyaksikan sosok yang wajahnya kini terpampang jelas.

   Sosok kurus itu temyata bukan Sutriwa yang di duga Jaka, melainkan seorang perempuan yang memiliki wajah cukup cantik.

   Belum lepas keheranan Eyang Dirgan Saluyu dan Jaka, sosok Sutriwa tiba-tiba muncul menyeruak kerumunan murid-murid perguruan yang datang bersa Eyang Dirgan Saluyu tadi.

   "Biar kuhabisi ketiga nyawa manusia tak tahu diri itu, Eyang!"

   Dengus Sutriwa sambil mengayunkan senjatanya. Namun sayang, gerakannya kalah cepat dengan gerakan Jaka yang seketika menangkap pergelangannya.

   "Kau pernah mengatakan, kita harus mengorek keterangan dan setiap orang yang dicurigai?"

   Kata Jaka agak sinis.

   Dugaan Jaka akan keterlibatan murid utama Eyang Dirgan Saluyu ini semakin kuat saja.

   Ini bisa dilihat dari cara Sutriwa yang ingin cepat-cepat menghabisi tiga orang yang kini tak berdaya itu.

   Paling tidak agar mereka tidak buka mulut.

   "Tinggalkan aku dan Eyang di sini. Kau dan teman-temanmu, uruslah ketiga orang tak tahu adab ini Tapi, awas! Jangan sekali-kali membunuh ketiga orang ini sebelum mendapatkan keterangan yang berarti untuk penyelidikan ini,"

   Tandas Jaka, Eyang Dirgan Saluyu menyetujui tindakan yang diambil Jaka.

   "Lakukan apa yang diperintahkan Raja Petir Sutriwa!"

   Tegas ucapan yang keluar dari bibir Ketua Perguruan Kamboja Merah yang mengenakan jubah merah itu. Sutriwa dibantu murid-murid Perguruan Kamboja Merah segera menyeret tubuh tiga sosok berpakaian hitam dengan paksa.

   "Aku akan terus mengawasi murid Eyang yang bernama Sutriwa,"

   Ujar Jaka setelah murid-murid Eyang Dirgan Saluyu menghilang di balik kelokan ruangan.

   "Lakukanlah, apa yang sepatutnya kau lakukan, Jaka. Aku memang ingin secepatnya mengetahui pencuri biadab itu,"

   Pelan ucapan Eyang Dirgan Saluyu.

   "Kelakuan Sutriwa cukup aneh,"

   Gumam Jaka.

   "Aku melihatnya barusan,"

   Timpal Eyang Dirgan Saluyu.

   *** Kejadian yang telah menimpa Perguruan Tameng Kencana dan Perguruan Kamboja Merah ternyata di alami juga oleh Perguruan Gading Kembar.

   Tampak di beranda perguruan itu berdiri beberapa lelaki yang tengah terlibat pertengkaran seru.

   "Cecunguk-cecunguk Karsabijaksa...!"

   Terdengar bentakan keras dari lelaki berhidung bangir. Telunjuk tangan kanannya menuding-nuding ke arah orang-orang yang bersenjatakan logam keras berbentuk seperti tanduk.

   "Kecurigaan kalian padaku sudah lama kuketahui. Sekarang kukatakan terus terang, akulah pencuri Kitab Pusaka Gading Kembar yang sudah tak layak lagi menjadi milik si tua bangka Karjabijaksa! Katakan pada lelaki peot tak tahu diri itu. Dia harus menyingkir dari jabatannya sebagai guru besar perguruan ini! Kalau dia tak mau, biar kusingkirkan sendiri ke alam kubur!"

   Mendengar ucapan Rekong Rapah atau si murid murtad Perguruan Gading Kembar yang sangat menyakitkan itu, seorang murid yang lain marah bukan main.

   Namun sesungguhnya disadari kalau kepandaiannya masih di bawah Rekong Rapah, murid kesayangan Ki Karsabijaksa sendiri.."Murid laknat! Jangan sembarangan umbar bacot busukmu itu! Siapa yang telah meracunimu hingga berani berkhianat seperti itu? Kau tahu! Tanpa Ki Karsabijaksa, mana mungkin kau memiliki kemampuan ilmu silat begitu tinggi? Susu kau balas dengan air tuba!"

   Bentak lelaki tempan yang kulit wajahnya berwarna kemerahan.

   "Lindang! Kau tahu apa akan semua ini, heh?! Kau lelaki tak memiliki cita-cita! Selamanya mau saja menjadi kacung si Karsabijaksa yang sok wibawa. Sebaiknya ikutilah jejakku untuk menggeser kedu-dukan Karsabijaksa. Di belakangku, telah berdiri beberapa tokoh yang memiliki kesaktian lebih tinggi dari tua renta yang sok kuasa itu,"

   Kilah Rekong Rapah meladeni.

   "Murid keparat!"

   Lelaki yang bernama Lindang memekik geram seraya menerjang tubuh Rekong Rapah.

   "Heaaa...!"

   Namun dengan menggeser kaki kanannya, Rekong Rapah berhasil menghindarinya. Bahkan langsung dilepaskannya satu tendangan keras setengah lingkaran dengan kaki kiri. Maka.... Digkh! "Akh!"

   Blug! Lindang terpental ke belakang begitu tendangan Rekong Rapah mendarat di tubuhnya.

   "Ha ha ha.... Jangankan hanya kau, Lindang! Si tua bangka Karsabijaksa pun belum tentu menandingiku sekarang ini,"

   Rekong Rapah kembali tertawa lepas.

   "Murid sinting!"

   Lindang kembali meneriang Rekong Rapah. Se-rangannya kali ini menggunakan senjata dan logam keras berbentuk tanduk.

   "Mampus kau, Murid Sesat! Heaaa...!"

   Rekong Rapah menarik mundur kakinya seraya memiringkan badan. Tebasan senjata yang dilakukan Lindang hanya tiga rambut lewat di depan dada bidang Rekong Rapah. Bahkan murid murtad itu begitu cepat memberi serangan balasan.

   "Kau yang mampus, Kacung Dungu!"

   "Hih!"

   Plak! Tanpa dapat dihindari lagi, satu tendangan keras mendarat telak di wajah Lindang, sehingga membuatnya tersuruk. Dia memekik sesaat sambil berusah bangkit. Tapi niatnya diurungkan begitu menyadari kalau dari sela bibirnya mengalir darah kental.

   "Kalian habisi nyawa murid murtad itu!"

   Perintah Lindang pada teman-temannya.

   "Aku akan memanggil Ki Karsabijaksa."

   Murid-murid Perguruan Gading Kembar yang berjumlah enam orang segera mengurung Rekong Rapah yang entah mengapa berkhianat pada perguruannya "Heaaa...!"

   Crak! "Akh!"

   Salah seorang murid Perguruan Gading Kembar seketika ambruk terbabat pedang.

   Entah bagaimana, tahu-tahu pedang itu sudah di tangan Rekong Rapah dan langsung dibabatkan.

   Sebentar dia menggeliat, dan sebentar kemudian diam tak bergerak lagi.

   Darah tampak mengucur deras dari leher yang terbabat itu.

   "Kenapa kalian bengong seperri sapi ompong! Ayo serang aku, biar kalian lebih cepat mampir ke ku-buran!"

   Sentak Rekong Rapah.

   "Atau kalian ingin ber-komplot denganku untuk menyingkirkan si tua bangka, heh?!"

   "Setan!"

   Dua pengikut setia Ki Karsabijaksa kembali me-rangsek maju.

   Kemarahannya yang meluap mende-ngar ucapan Rekong Rapah tadi, membuat mereka tidak setengah-setengah melancarkan serangan.

   Te-basan-tebasan senjata berbentuk tanduk itu begitu cepat mengarah ke bagian tubuh Rekong Rapah yang mematikan.

   Namun, Rekong Rapah bukanlah murid Ki Karsabijaksa yang dulu lagi.

   Ilmunya kini lebih tinggi dan seperti beraneka ragam.

   "Sudah kuperingatkan, kalian semua tak akan mampu menandingiku,"

   Ejek Rekong Rapah keras. Seiring ucapannya, senjata Rekong Rapah ber-kelebat cepat meminta korban dua murid Perguruan Gading kembar yang tak mampu menghindar lagi. Srat! Srat! "Akh!"

   Tiga orang murid yang tersisa terbengong-bengong menyaksikan kecepatan sambaran pedang Rekong Rapah.

   Bahkan kini, dua rekan mereka telah ambruk di tanah bersimbah darah.

   Jelas, dua orang itu telah tewas seketika.

   Melihat hal itu, tiga lelaki murid Perguruan Gadin Kembar bermaksud menyerbu Rekong Rapah yan tampak begitu pongah.

   Tetapi gerakan mereka seketika tertahan oleh suara yang begitu berwibawa.

   "Tahan!"

   Tiba-tiba seorang lelaki tua berumur sekitar tujuh puluh lima tahun telah melesat cepat mendahului gerakan ketiga orang itu.

   "Dia bukan tandingan kalian. Mundurlah!"

   Ujar lelaki berpakaian longgar berwarna kuning gading. Rambutnya yang masih berwarna hitam, tergelung rapi ke atas. Dialah Ketua Perguruan Gading Kembar. Rekong Rapah bertolak pinggang menyaksikan kedatangan Ki Karsabijaksa.

   "Lebih cepat kau datang, lebih cepat urusanku selesai!"

   Kata Rekong Rapah tanpa sopan santun, tak lagi memandang sebelah mata pun pada lelaki yang telah berjasa besar terhadap dirinya itu.

   "Urusan apa, Rekong?"

   Berat suara Ki Karsabijaksa yang keluar.

   "Menyuruhmu mundur dari jabatan ketua perguruan, atau melenyapkanmu jika kau keberatan!"

   Lelaki tua berpakaian longgar warna kuning gading itu tersenyum lebar.

   "Kemampuan apa yang kau andalkan hingga berani menantang gurumu sendiri, Rekong?"

   Rekong Rapah tak menjawab pertanyaan Ki Karsabijaksa.

   Bola matanya yang tajam diarahkan lekat-lekat ke wajah laki-laki tua itu.

   Sesaat saja Rekong Rapah menentang tatapan mata Ki Karsabijaksa.

   Sesaat kemudian, tangannya sudah bergerak ke balik pakaiannya.

   Segera dikeluarkannya sesuatu yang membuat mata Ki Karsabijaksa terbeliak.

   "Apa hubunganmu dengan Sepasang Nuri Biru?"

   Tanya Ki Karsabijaksa. Rekong Rapah tersenyum.

   "Kau terkejut?"

   "Kau pasti telah terpengaruh Pulokaliwa."

   "Ha ha ha.... Tua bangka berpikiran dungu! Aku sebenamya murid kesayangan Sepasang Nuri Biru. Hampir lima tahun aku mengabdi di perguruanmu, Karsabijaksa. Tapi, itu hanyalah kedok belaka untuk menutupi siapa diriku yang sebenarnya. Sudah lama Sepasang Nuri Biru menginginkan Kitab Pusaka Gading Kembang. Dan sekarang, cita-cita itu sudah menjadi kenyataan. Yang belum, hanyalah mengubur dirimu yang renta, Karsabijaksa! Bersiaplah!"

   Ketua Perguruan Gading Kembar membawa mundur tubuhnya satu langkah, ketika menyaksikan Rekong Rapah menggerak-gerakkan saputangan besar warna biru cerah.

   Saputangan beracun dahsyat itu mengeluarkan selarik sinar dari setiap ujungnya.

   Tras! Tras! Tras! Tiga larik sinar berwarna biru keluar dari saputangan besar yang dikebutkan Rekong Rapah, dan melunak cepat ke arah Ki Karsabijaksa yang belum siap menangkis.

   Namun, sesungguhnya Ki Karsabijaksa memang tak mempunyai maksud menangkis.

   Ki Karsabijaksa hanya melenting ke udara dan berputaran dengan manis.

   Akan tetapi, tak urung pakaiannya hangus karena sempat tersambar hawa panas dari selarik sinar biru yang lebih dekat.

   "Ups!"

   Ki Karsabijaksa menjejakkan kakinya ringan.

   "Ha ha ha.... Baru segitu saja kau sudah pontang-panting, Tua Bangka! Seperti kera terbakar bulu!"

   Ejek Rekong Rapah sambil tertawa terbahak-bahak. '"Kera Terbakar Bulu'?"

   Gumam Ki Karsabijaksa dalam hati. Pantas saja serangan itu begitu dahsyatnya. 'Kera Terbakar Bulu' adalah sebuah ilmu andalan yang hanya dimilili Sepasang Nuri Biru.

   "Ayo seranglah aku, Karsabijaksa! Jangan bisanya hanya menghindar. Sebagai seorang guru, seharusnya kau mampu memberi perlawanan berarti. Janga sia-siakan sisa umurmu, Tua Bangka!"

   Merah padam wajah Ki Karsabijaksa mendengar ucapan Rekong Rapah yang begitu pedas. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi senjatanya yang berupa sepasang gading kembar dikeluarkan.

   "Mainkan senjatamu. Aku ingin tahu, sejauh mana keampuhannya!"

   Tantang Rekong Rapah.

   Ki Karsabijaksa merapatkan kedua tangannya perlahan.

   Telapak tangannya yang menggenggam dua buah gading besar seketika disatukan.

   Dan....

   Crat! Crat...! Slap! Slap! Slap! Tiga larik sinar putih meluruk dari ujung senjata berbentuk gading yang digesek-gesekkan Ki Karsabijaksa.

   Begitu cepatnya luncuran sinar putih itu, hingga Rekong Rapah yang tengah berdiri pongah tak menyadarinya.

   Kiblatan sinar itu tahu-tahu sudah berada di depan dadanya.

   "Hah?!"

   Rekong Rapah terbeliak mendapatkan hawa aneh yang tiba-tiba mendekat.

   "Hip! Hip!"

   Seketika murid murtad itu melompat ke belakang, kemudian cepat membuang tubuh ke kanan seraya bergulingan di tanah.

   "Keparat!"

   Maki Rekong Rapah setelah bangkit berdiri dengan satu lentingan manis.

   "Kau tak pernah mengajarkan permainan ini padaku, Tua Bangka!"

   Ki Karsabijaksa tersenyum lebar mendengar ucapan Rekong Rapah.

   "Seorang guru harus mempunyai tameng untuk menghadapi muridnya yang suatu saat bisa berubah menjadi pengkhianat macam kau!"

   Keras suara Ki Karsabijaksa.

   "Phuih!"

   Rekong Rapah membuang ludah, lalu.... Plak! Plak! Plak Begitu Rekong Rapah selesai menepuk tangannya, tiba-tiba melenting dua sosok tubuh. Dengan gerakan indah, mereka mendarat ringan di sebelah kanan Rekong Rapah.

   "Kau belum kalah, Rekong. Kenapa sudah me-manggilku?"

   Sentak perempuan berpakaian biru cerah dan bersenjatakan sebatang pedang bercabang dua.

   "Sepasang Nuri Biru?"

   Gumam Ki Karsabijaksa.

   "Kau terkejut melihat kedatanganku, Karsabijaksa?"

   Ucap perempuan muda berpakaian biru cerah itu.

   "Tidak, Ratnawijati! Aku malah senang menerima kedatanganmu,"

   Sangkal Ki Karsabijaksa.

   "Jangan berbasa-basi, Karsabijaksa. Aku bisa membaca denyut jantungmu yang tak menentu lagi itu!"

   "Kau masih seperti puluhan tahun silam, Ratnawijati. Masih tinggi kepongahanmu."

   "Betul! Tapi aku juga masih tetap awet muda seperti dulu. Tidak seperti kau yang berkulit keriput begitu. Uh! Seandainya saja kau waktu itu menerima cintaku, mungkin sampai sekarang akan tetap muda. Hik hik hik...!"

   "Siapa yang sudi berhubungan dengan perempuan siluman macam kau, Ratnawijati!"

   "Sebetulnya semua sudi jadi kekasihku, Karsabijaksa. Hanya kau saja yang tak punya nyali. Buktinya sahabat dekatmu, si Pulokaliwa ini sampai sekarang tetap menjadi pendamping setiaku,"

   Bantah Ratnawijati sambil melirik laki-laki di sebelahnya.

   "Itu setelah nyawa kalian terkubur hidup-hidup oleh Raja Petir,"

   Kilah Ki Karsabijaksa.

   Wajah perempuan yang bernama Ratnawijati itu seketika berubah.

   Air mukanya menjadi sedikit tegang mendengar nama Raja Petir disebut-sebut.

   Sementara pasangan di sebelahnya hanya diam membisu, persis seperti mayat hidup.

   Puluhan tahun silam, memang tak ada seorang lelaki pun yang mampu menolak keinginan Ratnawijati untuk dijadikan kekasih.

   Selain cantik, perempuan itu juga memiliki sebuah ilmu warisan yang dahsyat pengaruhnya.

   Sebuah ilmu yang bisa membuat sese-orang tetap muda sepanjang hidupnya.

   Pada masa sepak terjangnya, mungkin hanya Raja Petir yang tak berhasil dipengaruhi Ratnawijati.

   Bahkan setiap orang yang menjadi kekasih Ratnawijati, yang waktu itu berjuluk si Nuri Biru, mampu dibebaskan dari pengaruh ilmu sesatnya.

   Hanya ada satu lelaki yang tak bisa dibebaskan oleh Raja Petir.

   Karena pada dasarnya, orang itu memang sangat ingin menjadi kekasih Ratnawijati.

   Orang itu adalah sahabat dekat Ki Karsabijaksa.

   Pulokaliwa namanya.

   Dia sampai saat ini menjadi pasangan setia Ratnawijati yang sesungguhnya sudah mati di tangan Raja Petir puluhan tahun silam.

   "Kebangkitanku sekarang justru untuk mengu-langi cita-citaku yang kandas. Dan sekarang, tiga perguruan tersohor sudah berada dalam genggaman tanganku. Kau kenal Perguruan Tameng Kencana dan Perguruan Kamboja Merah?"

   Tanya Ratnawijati dengan senyum mengejek.

   "Kau juga telah mencuri Kitab Pusaka Musti Bunga Kamboja?"

   Tersentak hati Ki Karsabijaksa.

   Firasat laki-laki tua itu mengatakan kalau perempuan siluman ini ingin mengacau dunia persilatan.

   Bahkan telah mencuri kitab-kitab pusaka beberapa perguruan.

   Jadi bukan mustahil dunia persilatan aka dikuasainya, karena sudah mengetahui inti dan kelemahan dari ilmu perguruan yang kitabnya tercuri.

   "Firasatmu tepat sekali, Karsabijaksa,"

   Kata Ratnawijati melihat keterpakuan Ketua Perguruan Gading Kembar itu.

   "Cita-citaku sejak dulu memang ingin me-nguasai dunia persilatan dan menjadikan tokoh-tokoh golongan hitam menjadi pemimpin di atas bumi ini. Ha ha ha.... Nantinya, dunia akan banyak disajikan pertunjukan menarik."

   Rekong Rapah diam membisu mendengar percakapan aneh antara si Nuri Biru dengan Ki Karsabijaksa.


Pendekar Rajawali Sakti Misteri Naga Laut Pendekar Pedang Matahari Iblis Bukit Setan Pendekar Mabuk Darah Asmara Gila

Cari Blog Ini