Bidadari Lentera Merah 1
Pengemis Binal Bidadari Lentera Merah Bagian 1
BIDADARI LENTERA MERAH Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Cover oleh Henky Penyunting .
Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak Sebagian atau seluruh isi buku ini Tanpa izin tertulis dari penerbit Serial Pengemis Binal Dalam episode 003 .
Bidadari Lentera Merah 128 hal.
http.//duniaabukeisel.blogspot.com Malam itu di Kota Kadipaten Tanah Loh semua orang larut dalam kegembiraan.
Suara tepuk tangan dan teriakan kegembiraan menyemarakkan suasana.
Semua orang, besar kecil, tua muda, lelaki perempuan berdiri di halaman rumah.
Mereka menyaksikan atraksi yang dipertunjukkan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Perkumpulan yang beranggotakan wanita-wanita cantik itu melakukan perjalanan keliling Kota Kadipaten Tanah Loh.
Dua puluh lima orang wanita berpakaian serba merah tampak berjalan perlahan sambil mengulum senyum di bibir.
Kedua tangan mereka memegang sehelai kain merah yang diputar hingga menyerupai kitiran.
Gerakan mereka terlihat seirama.
Di atas bahu wanita-wanita cantik itu berdiri para wanita berpakaian merah lainnya Tangan kanan mereka memegang sebuah lentera berkerudung merah.
Lentera itu bertuliskan nama perkumpulan mereka.
Dari balik kerudung lentera sesekali keluar pijaran bunga api.
Sementara itu, tangan kiri mereka menggenggam sebuah kebutan yang juga berwarna merah.
Bulu-bulu kebutan itu berputar membentuk lingkaran.
Sesekali dilontarkan ke atas dalam keadaan masih berputar.
Sorak-sorai membahana apabila kebutan yang terlontar itu tertahan di udara untuk beberapa lama.
Di belakang barisan itu, sebuah kerudung besar berwarna merah tampak melayang.
Kerudung besar itu bentuknya mirip kuncup kelopak bunga mawar.
Di dalamnya terdapat seorang wanita berwajah sangat cantik.
Matanya indah berbinar.
Bila mengerjap, keindahannya tampak mempesona bak bintang kejora.
Hidungnya mancung, menghiasi kulit wajahnya yang putih dan bersemu merah pada kedua pipi.
Bibirnya tipis basah dan selalu menampakkan senyum manis.
Rambutnya hitam panjang.
Rambut itu digelung ke atas dengan diikat oleh kain sutera merah dan tusuk konde emas.
Seperti wanita-wanita yang berbaris di depannya, wanita ini pun berpakaian serba merah.
Dia adalah Sekar Mayang atau Bidadari Lentera Merah, ketua Perkumpulan Bidadari Lentera Merah.
Setiap Sekar Mayang menggerakkan tubuhnya, kerudung kuncup bunga mawar yang ditumpanginya akan mengangkasa semakin tinggi.
Sesekali melesat ke depan melewati barisan anak buahnya.
Sorak-sorai terdengar semakin keras ketika kerudung kuncup bunga mawar itu berputar cepat di angkasa.
Bersamaan dengan itu, bunga aneka warna yang beraroma harum berjatuhan menyerupai hujan bunga.
Semua mata memandang dengan penuh rasa kagum.
Suara decak berulangkali dikeluarkan.
Tepukan tangan dan sorak-sorai meng-gambarkan rasa takjub yang tiada habisnya.
Anjarweni dan Ingkanputri yang melihat atraksi Perkumpulan Bidadari Lentera Merah dari tingkat atas sebuah penginapan, juga menampakkan keka-gumannya.
"Siapa mereka, Kak Weni?"
Tanya Ingkanputri.
"Kau bisa baca sendiri dari tulisan yang terdapat pada kerudung lentera mereka,"
Jawab Anjarweni.
"Bukan itu maksudku. Mereka berasal dari golongan mana?"
"Aku tak tahu. Tapi, kedatangan mereka ke Kota Kadipaten Tanah Loh ini sepertinya sengaja untuk memamerkan kepandaian."
"Untuk apa?"
"Pertanyaan itulah yang sedang berkecamuk dalam pikiranku."
"Dulu, ketika ayahku masih hidup beliau pernah bercerita tentang Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar. Apakah mereka ada hubungannya dengan perkumpulan itu?"
Anjarweni tak menjawab pertanyaan Ingkanputri. Gadis berusia dua puluh tahunan itu tampak berpikir keras.
"Bagaimana cerita Guru tentang Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar?"
Tanya Anjarweni. Dia menyebut ayah Ingkanputri dengan sebutan guru. Karena, ayah Ingkanputri memang bekas guru Anjarweni ketika dia menuntut ilmu di Perguruan Harimau Terbang.
"Menurut cerita Ayah, perkumpulan itu beraliran sesat. Walaupun ang-gotanya wanita-wanita cantik, tapi sepak terjang mereka di luar batas kemanusiaan. Mereka sangat suka pada pemuda-pemuda tampan untuk dijadikan pelampiasan nafsu birahi. Apabila pemuda-pemuda itu dianggap sudah tidak berguna lagi, tanpa segan-segan mereka akan membunuhnya."
"Apakah Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar itu sekarang masih ada?"
Tanya Anjarweni. Ingkanputri menggelengkan kepala.
"Sudah tidak ada? Kenapa?"
"Tak satu pun tokoh rimba persiiatan yang tahu. Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar menghilang bagai ditelan bumi."
"Apakah Guru pernah bercerita tentang suatu peristiwa yang mungkin menjadi latar belakang hilangnya perkumpulan itu?"
Mendengar pertanyaan kakak seperguruannya, dahi Ingkanputri jadi berkerut. Gadis berusia sembilan belas tahun itu tampak sedang mengumpulkan ingatannya.
"Oya, aku ingat...!"
Anjarweni menatap adik seper-guruannya dengan penuh minat.
"Bagaimana ceritanya?"
"Pada masa itu Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar diketuai seorang wanita yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Wanita itu bernama Ratnasari Dia memakai gelar Bidadari Bunga Mawar, sesuai dengan nama perkumpulannya."
"Lalu...."
"Anggotanya sangat banyak. Mereka semua wanita-wanita cantik yang haus kasih sayang lelaki. Seperti yang kukatakan tadi, lelaki itu akan dibunuh apabila dipandang sudah tidak berguna lagi. Dari sekian banyak lelaki yang bernasib malang itu terdapat seorang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga...."
"Kemudian timbul permusuhan antara Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar dengan Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga, begitu?"
Anjarweni menyela. Ingkanputri mengangguk pelan.
"Terjadi pertempuran besar-besaran?"
"Tidak,"
Jawab Ingkanputri.
"Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga yang dipimpin Datuk Risanwari sedang menghadapi masalah yang lebih pelik."
Masalah apa?"
Desak Anjarweni.
"Pihak kerajaan memusuhi mereka."
"Lalu, apa hubungannya masalah yang dihadapi Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga dengan menghilangnya Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar?"
"Kau tampak begitu bernafsu ingin mengetahui riwayat Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar, Kak Weni?"
Ujar Ingkanputri dengan tersenyum geli. Tapi, tiba-tiba bola mata Ingkanputri melebar. Tatapannya diarahkan ke luar jendela.
"Lihat itu, Kak Weni...!"
Anjarweni segera menuruti perintah adik seperguruannya.
Matanya memandang ke jalan kota kadipaten.
Decak kagum pun seketika keluar dari mulutnya.
Barisan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah menunjukkan atraksi yang lebih hebat.
Wanita-wanita cantik yang memanggul temannya tampak melayang di udara.
Telapak kakinya sama sekali tak menyentuh permukaan tanah.
Dengan diiringi deru angin keras, tubuh mereka berputar cepat laksana baling-baling merah.
Kerudung kuncup bunga mawar yang membawa ketua perkumpulan itu meluncur ke atas salah satu baling-baling merah.
Ketika kerudung itu hampir menyentuh putaran tubuh anak buahnya, tiba-tiba meluncur kembali menuju ke atas baling-baling merah lainnya.
Hal demikian terus berulang sampai seluruh baling-baling merah ciptaan putaran tubuh anak buahnya didekati.
Akhirnya, kerudung kuncup bunga mawar itu berputar di angkasa seraya mengeluarkan hujan bunga.
Semerbak harumnya menyebar mengelus hidung.
Tiba-tiba, dari dalam kerudung meluncur empat selendang panjang berwarna merah.
Selendang itu meliuk-liuk, mempertunjukkan sebuah tarian yang indah.
Sorak-sorai terdengar semakin keras.
Ratusan pasang mata memandang tanpa berkedip.
Rasa kagum pun memuncak.
"Ilmu mereka sangat tinggi...,"
Gumam Anjarweni sambil memperhatikan kepergian barisan Bidadari Lentera Merah yang melanjutkan perjalanannya.
"Kau sedang memikirkan apa, Kak Weni?"
Tanya Ingkanputri.
"Ah, aku tak bisa membayangkan apabila Perkumpulan Bidadari Lentera Merah itu beraliran sesat. Betapa sulit untuk menghancurkannya."
Ingkanputri menatap tajam wajah kakak seperguruannya.
"Kita tak perlu berpikiran yang macam-macam. Toh, selama kemunculan perkumpulan itu, mereka tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbuat jahat..."
"Untuk saat ini mereka belum menunjukkan perbuatan yang mengarah ke situ. Tapi aku yakin, pada saatnya nanti mereka akan membuka kedoknya!"
"Sudah, Kak Weni. Aku tidak mau membicarakan hal itu. Sebaiknya kita segera beristirahat. Besok pagi-pagi sekali kita harus melanjutkan perjalanan,"
Kata Ingkanputri kemudian menutup daun jendela "Kau belum melanjutkan ceritamu tentang Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar, Putri...,"
Ujar Anjarweni seraya mendekati Ingkanputri yang sudah merebahkan diri di pembaringan.
"Ayolah, Putri. Bukankah kau telah berjanji akan melanjutkan ceritamu?"
Anjarweni lalu meletakkan pantatnya di tepi pembaringan.
"Kenapa kau begitu bernafsu untuk mengetahui cerita tentang perkumpulan itu, Kak Weni?"
"Firasatku mengatakan kalau Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar mempunyai hubungan dengan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah. Tidak kah kau lihat kerudung besar yang menunjukkan atraksi itu? Bentuknya mirip kuncup bunga mawar. Lagi pula, kemunculan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah bersamaan waktunya dengan semakin berkembangnya Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti...."
Ingkanputri merasakan kebenaran ucapan kakak seperguruannya.
"Menurut cerita Guru, setelah Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga yang dipimpin Datuk Risanwari dapat dibubarkan oleh kerajaan, bagaimana keadaan Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar? Apakah perkumpulan itu berkembang semakin pesat?"
Ingkanputri menarik napas panjang.
"Justru sebaliknya, Kak Weni,"
Katanya sambil memandang langit-langit kamar penginapan "Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar pun ikut bubar setelah Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga dibubarkan."
"Aneh...,"
Gumam Anjarweni.
"Dengan bubarnya Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga, bukankah hal itu merupakan suatu kesempatan bagi Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar untuk semakin memperbesar kekuatan? Tapi, kenapa perkumpulan itu malah ikut bubar?"
Ingkanputri membisu. Matanya menerawang. Coba dicernanya ucapan Anjarweni.
"Ke manakah perginya Datuk Risanwari setelah perkumpulan penge-misnya dibubarkan oleh kerajaan?"
Tanya Anjarweni lagi. Rupanya gadis itu begitu tertarik dengan cerita Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar.
"Tokoh itu menghilang. Tak seorang pun tahu di mana dia berada."
Jawab Ingkanputri.
"Ketua Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar yang bernama Ratnasari itu apakah juga menghilang?"
"Tepat!"
"Aneh...,"
Gumam Anjarweni kembali.
"Ah, sudanlah. Kak Weni. Kau jangan terlalu memikirkan hal itu,"
Ingkanputri memejamkan matanya, bersiap-siap hendak pergi tidur.
"Putri...,"
Panggil Anjarweni. Ingkanputri terpaksa membuka kelopak matanya kembali.
"Ada apa?"
Tanyanya.
"Tentu kau sudah tahu tentang perkembangan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang dipimpin oleh Suropati...."
Mendengar ucapan kakak seper-guruannya, mata Ingkanputri langsung menerawang jauh. Tiba-tiba dia teringat sosok remaja pujaan hatinya itu.
"Di manakah dia sekarang? Masihkan dia tetap berperilaku konyol seperti dulu? Ah, kapan aku bisa bertemu dengannya lagi?"
Ingkanputri melamunkan Suropari.
"Putri...."
Panggilan Anjarweni menyadarkan Ingkanputri dari lamunannya.
"Kau ingat remaja konyol itu, Putri?"
Ingkanputri tak menjawab pertanyaan kakak seperguruannya. Namun, kedua pipinya tampak merona merah. Melihat itu, bibir Anjarweni mengulum senyum.
"Kelihatannya adik seperguruanku ini sedang merindukan kehadiran Suropati,"
Kata Anjarweni dalam hati.
"Eh, Kak Weni. Kenapa kau tiba-tiba membicarakan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti?"
Tanya Ingkanputri, berusaha menepis bayangan Suropati yang menggoda benaknya.
"Mungkinkah akan terjadi bentrok antara perkumpulan pengemis itu dengan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah?"
"Ah, kau ini aneh, Kak Weni.sela Ingkanputri.
"Antara kedua perkumpulan itu tidak ada sangkut-pautnya, kenapa mesti terjadi bentrok?"
Anjarweni menatap wajah adik seperguruannya.
"Kalau memang benar Perkumpulan Bidadari Lentera Merah ada hubungannya dengan Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar, hal itu aku kira mungkin saja terjadi. Mereka menyimpan dendam lama. Aku dengar, sesepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang bernama Gede Panjalu adalah putra Datuk Risanwari."
"Mungkin benar demikian, Kak Weni. Tapi sekarang aku tidak dapat menemanimu bicara. Kelopak mataku sudah terasa sangat berat. Aku mau tidur...,"
Suara Ingkanputri terdengar lirih seperti orang yang terserang kantuk berat.
Anjarweni menatap adik seperguruannya.
Kelopak mata gadis berumur sembilan belas tahun itu tampak terpejam rapat.
Tak lama kemudian, hembusan napasnya terdengar sangat teratur.
Ingkanputri telah terlelap dibuai mimpi.
Anjarweni membaringkan tubuhnya di sisi saudara seperguruannya itu.
Ditariknya selimut hingga sebatas leher.
Dia mencoba untuk memejamkan mata tapi tak mampu.
Pikiran tentang Perkumpulan Bidadari Lentera Merah terlalu mengusik benaknya.
Matanya nanar memandang langit-langit kamar.
Dalam kesendiriannya itu, tiba-tiba telinganya menangkap suara gerakan yang mencurigakan di atas atap.
"Malam sudah larut begini. Orang yang berada di atas atap itu tentu mempunyai maksud buruk...,"
Bisik murid Dewi Tangan Api itu dalam hati. Bergegas Anjarweni bangkit dari berbaringnya. Setelah membuka daun jendela, dia pun melompat keluar. Lalu, tubuhnya melenting ke atas atap.
"Setan alas! Apa yang sedang kau lakukan?!"
Bentak Anjarweni. Orang yang sedang berdiri membe-lakangi Anjarweni itu terkejut bukan main. Cepat sosok hitam itu meloncat turun dan berlari menerobos kegelapan malam.
"Hei, Bangsat! Jangan lari...!"
Anjarweni mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar.
Sementara sosok yang dikejarnya berkelebat cepat meninggalkan Kota Kadipaten Tanah Loh.
Beruntung bagi Anjarweni, purnama sedang memancarkan cahayanya dengan penuh.
Bias cahaya rembulan membantunya untuk terus mengikuti gerak sosok itu.
Ketika sampai di pinggir hutan kecil, bayangan misterius itu membalikkan badan.
Dari kedua belah telapak tangannya tiba-tiba meluncur sehelai selendang panjang berwarna merah.
Selendang itu kaku mengejang, dan menghunjam ke tubuh Anjarweni! Wuuuttt...! Wuuuttt...! Murid Dewi Tangan Api itu berkelit.
Namun belum sempat dia members serangan balasan, bayangan misterius itu telah berkelebat dan untuk selanjutnya menghilang.
Mata Anjarweni nanar memandang kegelapan malam.
Dia menajamkan pendengarannya ketika merasakan deru angin bersiutan di sekitar tempatnya berdiri.
"Mereka mengepungku!"
Desis gadis itu.
Tiba-tiba mata Anjarweni menjadi silau.
Cahaya terang benderang menyibak kegelapan! Terlihatlah keadaan sekelilingnya.
Keningnya berkerut mengetahui dirinya benar-benar telah terkepung.
Sepuluh wanita cantik berpakaian serba merah berdiri mengitarinya.
Kesepuluh wanita cantik itu masing-masing memegang sebuah lentera.
"Bidadari Lentera Merah!"
Bisik Anjarweni. Dan ketika Anjarweni masih terpaku, sepuluh ujung selendang menghunjam deras ke arahnya! "Bangsat!"
Umpat murid Dewi Tangan Api itu.
Buru-buru Anjarweni berusaha menyampok ujung selendang yang tampak mengejang itu.
Serangkaian angin pukulan berhawa panas menerpa.
Tapi, ujung-ujung selendang berbelok arah! Kemudian, segera meluncur kembali ke arah Anjarweni.
Gadis itu cepat menjatuhkan diri ke tanah dan meraup segenggam kerikil.
Lalu...
Wuuusss! Kerikil itu meluncur menuju tubuh kesepuluh wanita penyerangnya.
Tapi, serangan Anjarweni tak berarti apa-apa.
Kerikil yang menyebar rontok di tanah terkena kebutan selendang.
"Selendang Membelit Sukma ...!"
Salah seorang dari anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah itu berteriak, memberi komando kepada teman-temannya.
Selendang di tangan kesepuluh wanita itu lalu bergerak sangat cepat.
Meliuk-liuk, berusaha mencapai tubuh Anjarweni, Tentu saja gadis itu berusaha mengelak.
Tapi, mendadak dia merasakan tangan kanannya menjadi kaku dan tak dapat digerakkan.
Tangan kanannya telah terbelit selendang lawan.
Bet! Bet! Bet! Anjarweni menjadi gusar bukan main.
Sekujur tubuhnya tiba-tiba terasa mengejang.
Dia pun segera sadar kalau tubuhnya telah terbelit kesepuluh selendang merah.
"Siapa kau? Kenapa mencampuri urusan kami?!"
Tanya salah seorang wanita cantik berpakaian merah.
Anjarweni tak menjawab.
Dia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berusaha melepaskan diri dari belitan selendang.
Peluh bergulir dari kening murid Dewi Tangan Api itu.
Selendang yang membelitnya ternyata sangat kuat.
Apabila dia mengerahkan tenaga dalamnya, mendadak selendang itu mengendor.
Sedangkan apabila menarik tenaga dalamnya, selendang itu terasa menjepit tubuhnya.
"Siapa kau? Dan, kenapa mencampuri urusan kami?!"
Pertanyaan itu kembali dilontarkan.
"Gadis Bandel! Apabila kau tidak segera menjawab pertanyaanku, nyawamu akan segera kukirim ke neraka!"
Bentak wanita cantik yang tadi melontarkan pertanyaan dan tak ditanggapi Anjarweni. Anjarweni tersenyum dingin.
"Siapa takut terhadap ancamanmu?! Kalau kau mampu, segera lakukan!"
Katanya dengan berani.
Tiba-tiba, selendang-selendang yang membelit tubuh murid Dewi Tangan Api itu bergetar.
Anjarweni merasakan rasa sakit yang hebat.
Kulit tubuhnya terasa panas.
Tulang-belulangnya seperti mau remuk.
Mata gadis itu tampak melotot merasakan jalan napasnya terhenti....
"Ha ha ha...!"
Kesepuluh anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah tertawa keras.
Lalu, selendang di tangan mereka bergerak pelan.
Tapi, akibatnya sungguh di luar dugaan.
Tubuh Anjarweni yang sudah tak berdaya itu terlontar ke atas.
Dan ujung-ujung selendang di tangan kesepuluh anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah meluncur laksana tombak.
Siap menghunjam tubuh Anjarweni! Gadis itu sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi.
Dia segera memejamkan mata untuk menyambut datangnya Dewa Kematian.
Tiba-tiba...
Bret! Bret! Bret! Sesosok bayangan berkelebat cepat dan menyampok hunjaman selendang dengan menggunakan sebatang tongkat! Jlek! Bayangan itu mendarat di tanah dengan membopong tubuh Anjarweni.
Anjarweni tersenyum dalam pondongan dewa penolongnya.
"Suro...,"
Bisik gadis itu pelan. Tapi, raut muka gadis itu segera merona merah. Dia pun melompat turun dari pondongan penolongnya. Diperhatikannya sosok itu. Sepintas memang mirip dengan Suropati. Pakaiannya juga penuh tambalan.
"Aku Wirogundi,"
Kata pemuda itu memperkenalkan diri melihat Anjarweni berdiri tertegun.
"Selendang Menggempur Sukma ...!"
Teriakan itu terdengar melengking nyaring.
Sesaat kemudian, sepuluh selendang merah berkelebatan cepat.
Membentuk gulungan sinar merah yang menimbulkan suara menderu-deru.
Anjarweni dan Wirogundi terperangah sesaat.
Tapi, keduanya segera menyadari keadaan dan buru-buru menyiapkan serangan untuk menyambuti.
Wuuusss...! Anjarweni melancarkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'-nya.
Akibatnya, lima selendang di tangan anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah hangus terbakar.
Tongkat di tangan Wirogundi digunakan untuk membabat hujan selendang yang meluncur ke arahnya.
Lima anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah menggeram gusar ketika melihat selendangnya terkoyak.
"Lentera Penyebar Kematian ...!"
Suara komando terdengar lagi.
Sepuluh lentera berkerudung merah yang dipegang wanita-wanita cantik itu meluncur ke arah Anjarweni dan Wirogundi.
Wuuuttt...! Wuuuttt...! Wirogundi berusaha menggeprak lentera-lentera.
Tapi benda yang mengeluarkan sinar merah itu mampu menepis, seperti bernyawa saja.
Bahkan kemudian berputar mengitari Anjarweni dan Wirogundi.
Dan ketika kedua orang muda itu kebingungan, mendadak dari dalam lentera-lentera meluncur keluar puluhan jarum beracun! Tes! Tes! Tes! Wirogundi menghalau dengan putaran tongkatnya.
Namun, Anjarweni kesulitan untuk menepis serangan itu.
Dia hanya mengandalkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menyampok hujan jarum beracun.
Sehingga....
"Ah...!"
Gadis itu menjerit ketika bahu kirinya tertusuk sesuatu.
Sesaat kemudian tubuhnya limbung.
Pandangannya pun mengabur.
Tapi sebelum tubuh murid Dewi Tangan Api itu terjerembab ke tanah, Wirogundi bertindak cepat.
Disambarnya tubuh Anjarweni lalu dibawanya berlari meninggalkan tempat itu.
Wirogundi terus berlari tanpa sekali pun menoleh ke belakang.
Suhu badan Anjarweni yang berada di atas bahunya terasa meninggi.
Tanpa mau membuang waktu lagi, pemuda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu segera mengerahkan seluruh kemampuannya untuk berlari cepat.
Tubuh pemuda itu bermandi keringat.
Tapi, dia bernapas lega mengetahui tak seorang pun dari anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah yang mengejarnya.
Sesampainya di tanah lapang berumput tebal, Wirogundi memperlambat larinya.
Kemudian diturunkannya tubuh Anjarweni dari pondongan.
Dengan di-bantu sinar rembulan pemuda ini memeriksa bagian tubuh Anjarweni yang terkena jarum beracun.
Pemuda itu menyobek lengan baju Anjarweni.
Darah Wirogundi langsung berdesir ketika menyaksikan kulit Anjarweni yang putih mulus.
Namun melihat ketidak berdayaan Anjarweni yang sangat membutuhkan pertolongan, Wirogundi segera menepis perasaannya yang tiba-tiba menggelora.
Pemuda berumur dua puluh dua tahun itu tampak bingung sejenak menyaksikan luka kecil di bahu kiri Anjarweni.
"Bagaimana caraku untuk mengeluarkan racun dalam tubuhnya?"
Wirogundi bertanya-tanya sendiri.
"Untuk mendorong racun itu keluar tenaga dalamku belum begitu sempurna. Aku takut terjadi bentrokan dalam tubuhnya. Dan kalau hal itu terjadi, bukan mustahil aku sendiri akan ikut celaka...."
Kening Wirogundi berkerut. Peluh sebesar biji-biji jagung bergulir dari dahinya.
"Jalan satu-satunya untuk menolongnya adalah... Ah...,"
Dalam batin Wirogundi terjadi perang.
"Persetan dengan semua itu! Nyawanya terancam. Aku harus bertindak cepat!"
Setelah dapat mengatasi perang yang berkecamuk dalam batinnya, Wirogundi segera merundukkan kepala ke bahu kiri Anjarweni.
Bibir pemuda itu mengulum bagian luka di bahu Anjarweni.
Darah Wirogundi kembali berdesir, merasakan kehalusan kulit Anjarweni yang tersentuh bibirnya.
Perlahan-lahan Wirogundi menyedot racun yang berkumpul di dalam luka itu.
Dan ketika pemuda itu meludah, darah berwarna kehitam-hitaman keluar dari mulutnya.
Wirogundi kembali mengulum luka di bahu gadis itu.
Akhirnya, darah yang diludahkan Wirogundi pun berwarna merah sehat.
"Uhhh.... Di mana aku...?"
Anjarweni menggeliat kecil. Gadis itu rupanya tersadar dari pingsannya. Perlahan-lahan kelopak matanya membuka. Dia terperanjat ketika melihat Wirogundi duduk tak jauh dari tempatnya berbaring.
"Siapa kau?!"
"Aku Wirogundi,"
Jawab pemuda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu tenang.
"Kenapa aku berada di sini?"
Anjarweni meraba bahu kirinya yang masih terasa panas. Bagian tubuhnya itu terbuka. Tiba-tiba, gadis itu meloncat bangkit.
"Apa yang telah kau lakukan?!"
"Tenanglah, Nona. Tubuhmu belum begitu kuat. Berbaringlah kembali."
Belum juga ucapan Wirogundi selesai, tubuh Anjarweni mendadak limbung dan jatuh terduduk di tanah.
"Kau sedang terluka, Nona. Istirahatlah dulu. Tak perlu kau ber-prasangka buruk padaku,"
Ujar Wirogundi lagi. Anjarweni menarik napas panjang. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang baru saja dialaminya.
"Kaukah yang menolongku ketika menghadapi serangan angota-anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah?"
Tanya gadis itu sambil menatap wajah Wirogundi dalam-dalam. Wirogundi cuma tersenyum kecil.
"Terima kasih,"
Ucap Anjarweni kemudian. Diperhatikannya lebih sek-sama wajah Wirogundi.
"Aku seperti pernah melihatmu...."
"Benar, Nona. Kita memang pernah berjumpa di sebuah kedai di Kota Kadipaten Bumiraksa."
"Jangan memanggilku dengan sebutan 'nona'. Namaku Anjarweni,"
Kata murid Dewi Tangan Api itu sambil menyungging senyum manis.
"Oya, siapa namamu? Wirogundi?"
Yang ditanya menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba Anjarweni tercenung.
"Perkumpulan Bidadari Lentera Merah,"
Gumamnya.
"Apa yang kau katakan, No..., eh...."
"Kau bisa panggil aku dengan 'Weni'."
Mendengar ucapan Anjarweni yang bernada persahabatan itu, Wirogundi menundukkan kepala. Dia berusaha mengusir perasaan hatinya yang tiba-tiba jadi tak karuan.
"Kenapa kau menolongku, Wirogundi?"
"Ah, hanya kebetulan saja. Aku melihat dirimu tengah terancam bahaya, lalu timbul keinginanku untuk memberi pertolongan,"
Jawab Wirogundi seraya mendongakkan kepala. Melihat tatapan mata Anjarweni, darah pemuda itu kembali berdesir.
"Aku tidak percaya bila kau katakan itu hanya kebetulan saja. Bukankah kau juga sedang menguntit salah seorang anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah?"
"Benar, Weni. Ketika aku sedang beristirahat di emper sebuah kedai, aku melihat sebuah bayangan mencurigakan berkelebat cepat. Aku segera mengejarnya, Tapi ketika langkah kakiku sampai di pinggir hutan, aku kehilangan jejak. Dan ketika kulihat di kejauhan ada sinar terang benderang, aku pun mendekati. Saat itulah aku melihat dirimu tengah terancam bahaya."
"Lalu kau menolongku, begitu?"
Wirogundi menganggukkan kepala.
"Terima kasih, Wirogundi."
"Kau sudah mengatakannya,"
Ucap Wirogundi dengan tersipu.
"Uhhh...!"
Tiba-tiba Anjarweni menjatuhkan tubuhnya ke tanah.
"Bahu kiriku terasa sangat panas...,"
Rintihnya. Melihat Anjarweni yang tampak menahan sakit itu, Wirogundi bergegas beringsut mendekat.
"Cobalah kau lihat bahu kiriku, Wirogundi,"
Pinta Anjarweni. Tanpa pikir panjang lagi Wirogundi segera menuruti permintaan gadis itu. Tapi, Wirogundi jadi terkesiap ketika Anjarweni mendekap telapak tangannya.
"Ah, apa yang kau lakukan, Weni?"
"Badanku terasa sangat panas, Wirogundi. Apakah kau bisa menyalurkan hawa murni?"
"Akan kucoba..."
Anjarweni melepas telapak tangan Wirogundi yang didekapnya. Sebentar kemudian, pemuda anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu pun menyalurkan hawa murni ke tubuh Anjarweni.
"Rasa panas itu telah berkurang,"
Kata murid Dewi Tangan Api seraya menggeliat.
Tak disengaja kakinya menendang lutut Wirogundi.
Pemuda berumur dua puluh dua tahun itu pun jatuh terjerembab di atas tubuh Anjarweni.
Dia memang sedang dalam kedudukan berjongkok ketika menyalurkan hawa murninya "Ah, maaf...,"
Bisik Anjarweni. Otak Wirogundi jadi linglung ketika merasakan hembusan napas Anjarweni mengelus pipinya. Dia mencoba bangkit berdiri. Tapi, darahnya berdesir begitu keras melihat bagian tubuh Anjarweni yang terbuka.
"Ehm... ah...,"
Wirogundi jadi gelagapan.
"Kau... kau sangat cantik, Weni..."
Tanpa sadar pemuda bertubuh kurus itu menatap wajah Anjarweni berlama-lama. Kemudian, tatapannya beralih ke bagian tubuh Anjarweni yang tiba-tiba jadi sangat mempesona.
"Apa yang kau lihat?"
Tanya Anjarweni.
"Eh, tidak...."
Melihat sikap Wirogundi yang mendadak jadi aneh, Anjarweni yang sedang terbaring telentang mencoba bangkit.
Dengan bertelekan pada kedua tangannya ke tanah, akhirnya dia berhasil duduk di hadapan Wirogundi.
Saat itulah baju Anjarweni yang telah robek melorot turun.
Wirogundi pun terkesiap.
Sebuah pemandangan yang sangat menggiurkan terpampang di depan matanya.
Anjarweni segera menyadari kea-daan itu.
Dia menjatuhkan tubuhnya kembali seraya mengeluarkan isakan tangis.
"Bunuh saja aku!"
Kata gadis itu di sela-sela tangisnya. Wirogundi jadi kebingungan.
"Maafkan aku, Weni...,"
Bisik pemuda itu dengan rasa bersalah yang tiba-tiba datang menyergap.
"Aku malu. Kau bunuh saja aku, Wirogundi!"
Mata Wirogundi jadi nyalang menyaksikan tangis Anjarweni yang semakin hebat.
"Uhhh...! Aduh...!"
Tiba-tiba Anjarweni menjerit kesakitan. Gadis itu menggeliat-geliat seperti sedang merasakan kesakitan yang sangat.
"Eh, kau kenapa, Weni?!"
Tanya Wirogundi tak mengerti. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Anjarweni. Tubuh gadis itu bergerak mengejang! "Ah, jangan-jangan sisa racun yang bersarang dalam tubuhnya sedang bekerja,"
Desis Wirogundi cemas sekali. Dan karena terbawa rasa khawatir akan keselamatan Anjarweni, Wirogundi buru-buru membungkukkan tubuhnya untuk memeriksa.
"Aduh, bahu kiriku terasa panas lagi!"
Anjarweni mengaduh.
Serta-merta Wirogundi meraba bagian tubuh Anjarweni yang terluka.
Kembali disalurkannya hawa murni untuk menolong murid Dewi Tangan Api itu.
Usai menyalurkan hawa murni, mendadak Wirogundi memeluk tubuh Anjarweni.
Lalu, mencium bibirnya yang merah bagai delima merekah.
Tanpa sadar Anjarweni membalas ciuman Wirogundi.
Mereka pun segera berkutat dengan ciuman melenakan.
Kedua tangan Wirogundi meraba-raba seluruh bagian tubuh Anjarweni.
Bibirnya pun tak mau kalah, menelusuri keindahan yang terbentuk dari kehalusan kulit gadis yang berada dalam dekapannya itu.
Malam yang dingin membuat mereka berdua semakin terlena.
Suara jangkrik dan burung hantu mengiringi dengus napas mereka yang memburu.
Kedua anak manusia itu semakin erat berpelukan....
*** Di sebuah gua yang terletak di Bukit Hantu, obor-obor gas alam menyala terang.
Tonjolan-tonjolan batu di dinding gua tampak berkilat tajam.
Sementara tebaran batu runcing meratai permukaan atas gua.
Di lantai gua pun kerikil-kerikil tajam berserakan hingga ke lorong-lorong sempit.
Seorang nenek tua renta terlihat duduk tiada bergeming di singgasananya yang terbuat dari tulang-belulang manusia.
Bahu nenek itu diapit dua tempurung kepala.
Kedua tangannya tergeletak lemah dengan ditopang tulang paha.
Kakinya yang terjulur ke bawah dijepit oleh tulang-tulang iga.
Wujud nenek yang duduk di singgasana aneh itu pun tak menyerupai manusia pada umumnya.
Tubuhnya kurus kering tiada berdaging.
Hanya kulit keriput yang membungkus tulang-tulang tubuhnya.
Rupa nenek itu sudah menyerupai tengkorak yang berbalut kulit tipis.
Kulit wajah itu ditumbuhi jamur.
Rambutnya yang berwarna putih riap-riapan menambah kengerian bagi siapa pun yang memandangnya.
Yang membedakan wujud nenek itu dari rupa sesosok mayat adalah hembusan napasnya yang masih teratur.
Kelopak matanya terpejam rapat.
Ujung hidungnya bengkok ke samping.
Sebuah jamur payung berwarna putih tampak menempel di ujungnya.
Bentuk bibirnya sudah tak karuan lagi.
Jatuh ke bawah laksana serpihan lilin yang habis terbakar.
Tak jauh dari tempat duduk nenek berwujud mengerikan itu, seorang kakek duduk bersimpuh di atas batu lebar.
Rupa kakek itu pun tak kalah menyedihkan.
Rambutnya yang putih riap-riapan terjuntai panjang menutupi seluruh wajahnya.
Ujung-ujung rambut itu berserakan di atas permukaan batu.
Pakaian yang dikenakannya nyaris hancur termakan usia.
Hingga, tak mampu menutupi tulang-tulangnya yang terbungkus kulit keriput.
Nenek yang duduk di singgasana tulang itu adalah Ratnasari.
Atau, biasa disebut Bidadari Bunga Mawar.
Sedangkan kakek yang duduk bersimpuh adalah Datuk Risanwari, pendiri Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga! Ratnasari dan Datuk Risanwari sesunggihnya sedang menunggu saat kebangkitan mereka cembali.
Yakni, kebangkitan menuju usia muda dan memulihkan seluruh kekuatan yang pernah mereka miliki.
Tiba-tiba dari luar gua, sebuah bayangan berkelebat masuk kemudian menjatuhkan diri di hadapan Ratnasari.
"Sekar Mayang datang menghadap...,"
Kata wanita cantik yang berlutut di hadapan nenek berwajah mengerikan. Perlahan-lahan kelopak mata Ratnasari terbuka. Debu yang menempel di dahinya rontok. Dengan sinar mata tajam ditatapnya kehadiran Sekar Mayang.
"Sekar Ma... yang..."
Suara yang terdengar lebih mirip suara iblis penunggu kuburan ketika Ratnasari menggerakkan bibirnya.
"Hamba, Ketua Pertama...,"
Kata Sekar Mayang sambil mendongakkan kepala. Ditatapnya rupa junjungannya yang pucat pasi.
"Bagaimana dengan tujuh perawan itu?"
"Hamba sudah mendapatkannya."
Tiba-tiba Ratnasari tertawa terkekeh. Suara yang keluar dari mulutnya terasa mengandung hawa magis yang sanggup mendirikan bulu roma.
"Cepat kau bawa kemari, Mayang!"
"Baik, Ketua Pertama."
Sekar Mayang beringsut ke belakang.
Lalu, tubuhnya melesat ke luar gua.
Tak lama kemudian, tujuh bayangan berkelebat masuk dengan membawa sesuatu.
Mereka meletakkan tubuh tujuh gadis yang tergolek pingsan di lantai.
Ratnasari kembali tertawa terkekeh.
Getaran suaranya menggema hingga debu tebal yang menempel pada dinding gua beterbangan.
"Bagus!"
Kata Ratnasari dengan suara lantang.
"Kau memang patut menjadi ketua Perkumpulan Bidadari Lentera Merah!"
Sekar Mayang tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya, kepalanya terangguk pelan.
"Segera kau siapkan upacara pemulihanku, Mayang!"
Kepala Sekar Mayang mendongak, lalu menunduk dalam-dalam seraya menghaturkan sembah.
Tiba-tiba dia mengangkat telapak tangannya.
Gerakannya mirip seseorang yang sedang mengiba kepada Dewa Langit.
Pergelangan tangannya yang sedikit bengkok seperti siap menyambut datangnya anugerah.
Dengan kedua mata terpejam, bibir gadis cantik berumur dua puluh tujuh tahun itu bergetar mengucapkan mantera-mantera.
Lalu, tubuhnya mengangkasa dan berputar menyamping, menghadap dinding gua yang terdapat sebongkah batu besar menyerupai sebuah pintu.
Seeerrr...! Batu besar itu bergeser.
Tampaklah sebuah kolam indah yang berair sangat jernih.
Pinggir kolam berhiaskan patung-patung kecil wanita cantik berwarna merah.
Ruangan yang baru saja dibuka itu berdinding batu pualam halus mengkilat.
Lantai di sisi-sisi kolam dihampari bunga mawar yang beraroma harum semerbak.
Pada bagian ujung yang sedikit menjorok ke dalam, sebuah singgasana emas berada.
Obor-obor gas alam yang menempel di dinding berkerudung kain merah.
Cahaya yang terpendar pun jadi berwarna kemerah-merahan.
Tanpa membuka matanya, kedua tangan Sekar Mayang bergerak menghadap ke tubuh tujuh gadis yang tergolek pingsan di lantai.
Perlahan tubuh-tubuh tak berdaya itu terangkat.
Lalu, meluncur ke permukaan kolam....
"Ha ha ha...!"
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
Bahunya naik turun hingga menggetarkan tempurung kepala yar.j terletak di sisi kiri dan kanannya.
Lalu, ujung jari tangan kanannya bergerak cepat.
Tujuh sinar kemerahan meluncur menuju dahi ketujuh gadis yang tubuhnya tengah melayang di atas kolam.
Sraaattt! Tubuh-tubuh tak berdaya itu tampak menggeliat lemah.
Dari dahi mereka yang telah bocor mengucur darah segar.
Cucuran darah segera berbaur dengan air kolam.
Ratnasari kembali mengeluarkan suara tawa.
Dan ketika tetes-tetes darah tujuh gadis korban itu telah habis, Ratnasari mengayunkan telapak tangannya! Wuuusss! Serangkaian angin pukulan menerpa.
Ketujuh tubuh gadis manis itu melayang dan menghantam dinding gua.
Tubuh mereka terbanting tanpa mengeluarkan suara jeritan.
"Ha ha ha...!"
Ratnasari tertawa penuh rasa puas.
Dalam keadaan terduduk, tubuh nenek berwajah mengerikan itu kemudian melayang dari singgasana tulang-belulangnya.
Dan...
Byuuurrr...! Air kolam yang telah memerah oleh darah menggelegak tertimpa tubuh Ratnasari.
Perlahan-lahan air kolam itu mengeluarkan gelembung-gelembung udara.
Lalu, tubuh Ratnasari tenggelam....
Bunyi gemuruh timbul dari permukaan air kolam.
Kemudian, muncul pusaran air.
Berputar cepat laksana digerakkan oleh kekuatan maha dahsyat! Air kolam terus bergolak hingga warna merah darah memudar dan air kembali jemih.
Ketika permukaan air telah kembali tenang, muncul riap-riap rambut hitam panjang.
Lalu seraut wajah cantik jelita.
Dan tak lama kemudian, sesosok tubuh halus mulus berkulit kuning langsat bergerak pelan mendaki tangga kolam.
"Ha ha ha...!"
Ratnasari tertawa tergelak. Tapi segera terhenti. la mendengar suara tawanya masih tetap ngorok seperti suara iblis penunggu kuburan. Dengan tubuh telanjang, ditatapnya Sekar Mayang yang telah duduk kembali di tempatnya.
"Upacara pemulihan belum sempurna, Mayang!"
Kata Ratnasari.
Sekar Mayang hanya mendongakkan kepalanya sedikit.
Diperhatikan tubuh junjungannya yang berubah wujud menjadi sosok wanita cantik.
Rambut Ratnasari hitam panjang.
Tergerai basah di punggungnya.
Wajahnya kelihatan begitu sempurna.
Sekar Mayang memandang dengan penuh kekaguman.
Dia merasa kalah bila dibandingkan kecantikan Ratnasari.
Tapi, tiba-tiba Sekar Mayang terperanjat menyaksikan jemari tangan junjungannya.
Kulitnya meleleh seperti terbeset.
"Apa yang kau lihat, Mayang?!"
Tegur Ratnasari. Ratnasari mengangkat kedua tangannya. Dia menggeram gusar melihat jemari tangannya masih membiaskan pemandangan mengerikan.
"Upacara pemulihanku belum sempurna, Mayang...,"
Kata Ratnasari lagi.
"Pada malam purnama ketujuh nanti kau harus menyediakan korban lagi. Jumlahnya bukan tujuh, Mayang. Tapi empat puluh! Kau dengar? Empat puluh!"
"Hamba akan mengusahakannya, Ketua Pertama,"
Kata Sekar Mayang dengan suara berat. Tiba-tiba mata Ratnasari mendelik.
"Kau tidak boleh hanya mengusahakannya! Empat puluh perawan itu harus benar-benar ada!"
Sekar Mayang menganggukkan kepala.
"Nyawamu sebagai taruhannya, Mayang!"
Ancam Ratnasari. Sekar Mayang kembali menganggukkan kepala.
"Sekarang hamba mohon diri...,"
Katanya seraya bangkit berdiri.
Lalu, bergerak meninggalkan gua bersama keenam kawannya.
Ratnasari tertawa terbahak-bahak.
Pantulan suaranya menggema tiada henti.
Dinding gua sampai bergetar hebat.
Batu-batu kecil yang menempel di atap gua rontok bertebaran memenuhi lantai.
Wanita cantik itu lalu berkelebat memasuki sebuah lorong sempit.
Sesaat dia telah kembali dengan tubuh terbungkus pakaian indah berwarna merah.
Pakaian ketat itu memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang indah.
Kedua tangannya mengenakan sarung tangan yang berhias pernik-pernik gemerlap.
Rambutnya disanggul tinggi.
Bunga mawar diselipkan di antara lekuk sanggul.
"Hei, Risanwari...!"
Ratnasari memanggil kakek tua renta yang duduk diam di atas batu besar.
"Tidakkah kau mau membuka sedikit matamu untuk menyaksikan kesempurnaan yang telah kudapat?!"
Datuk Risanwari tak memberikan tanggapan. Rambutnya yang putih riap-riapan tetap menutupi seluruh wajahnya.
"Monyet Busuk! Orang Tua Bodoh!"
Ratnasari mengumpat.
"Bila kau hanya duduk terpuruk menunggu saat kebangkitanmu, mustahil pemulihan usia akan kau dapatkan!"
Datuk Risanwari tetap tak memberikan tanggapan. Ratnasari mendengus gusar.
"Untuk apa kau duduk di situ? Hanya akan menyakiti dirimu sendiri!"
Katanya dengan suara lantang.
"Bila kau sedang menunggu datangnya Dewa Kematian, tak perlu berlama-lama lagi. Akuakan segera mengirimmu ke neraka!"
Kedua tangan Ratnasari dipen-tangkan lebar-lebar.
Kemudian dengan sebuah gerakan indah, telapak tangannya bergerak ke depan.
Serangkaian angin pukulan meluruk deras menghantam tubuh Datuk Risanwari.
Wuuusss! Blaaarrr...! Debu tebal mengepul.
Kerikil dan batu berham-buran.
Dinding gua pun bergetar hebat! Ratnasari menyeringai dingin menyaksikan tubuh Datuk Risanwari masih diam di tempatnya.
"Bangsat!"
Umpat Ratnasari "Rupanya kau masih menyimpan kepandaian, Orang Tua Jelek!"
Usai mengucapkan kalimatnya, kembali kedua tangan Ratnasari terpentang lebar.
Kini seluruh kekuatan tenaga dalamnya disalurkan.
Lalu...
Blaaarrr...! Suara menggelegar kembali membahana.
Seluruh ruang gua bergetar hebat.
Batu-batu runcing yang menempel pada atap gua berjatuhan bagai puluhan batang tombak! Ratnasari meloncat untuk mencari tempat bernaung.
Tapi, serangan dahsyat yang dilancarkan wanita cantik itu tetap tak berpengaruh apa-apa terhadap Datuk Risanwari.
Mata Ratnasari melotot lebar.
Secepat kilat diterjangnya kakek itu.
Dhesss...! Bruuukkk...! Tendangan wanita cantik itu membentur kekuatan gaib yang melindungi tubuh Datuk Risanwari.
Akibatnya, tenaga yang tersalur pada kaki kanannya berbalik hingga membuat tubuhnya jatuh bergulingan.
Wanita cantik bekas ketua Perkumpulan Bidadari Bunga Mawar itu bangkit dengan napas terengah-engah.
"Kau jangan menggangguku...,"
Terdengar suara lirih dari mulut Datuk Risanwari.
"Keparat!"
Umpat Ratnasari.
"Aku tahu kau telah mengalami penyempurnaan. Tapi, hal itu tak perlu kau pamerkan di hadapanku,"
Kata Datuk Risanwari.
"Tubuhmu sudah mau hancur, Orang Tua Bodoh!"
Kata Ratnasari dengan mata berkilat tajam.
"Bila kau tidak segera melakukan penyempurnaan, tubuhmu itu akan lumat dimakan cacing tanah!"
"Aku sudah merasa bahagia dengan keadaanku seperti sekarang ini. Dan, aku tak tak perlu mengorbankan nyawa manusia tak berdosa untuk kepentingan diriku."
"Lalu, untuk apa kau duduk terpuruk di tempat itu?! Menunggu keajaiban? Wujudmu tak akan pulih dengan sendirinya, Orang Tua Bodoh!"
"Justru aku sedang menunggu kuasa Sang Pencipta untuk memanggil nyawaku."
"Ha ha ha...!"
Ratnasari tertawa tergelak.
"Bila kau memang ingin mati, kenapa kau melindungi tubuhmu dari gempuranku?"
"Aku tidak mau mati di tangan manusia tak beradab sepertimu, Wanita Picik!"
Ratnasari menggeram marah mendengar ucapan Datuk Risanwari. Namun, tiba-tiba tubuhnya bergerak limbung.
"Oh.... Penyempurnaanku benar-benar belum sempurna. Tubuhku masih terasa sangat lemah,"
Rintih wanita cantik itu.
Tubuhnya segera dlgerakkan melayang dan jatuh tepat di singgasana emas.
Kemudian, tubuh wanita cantik itu duduk diam dengan mata terpejam rapat...
*** Siang itu panas mentari terasa begitu menyengat.
Permukaan tanah mengeluarkan asap tipis dan menguapkan air tanah.
Rerumputan mengering layu.
Daun-daun kuning rontok berguguran menutupi akar pohon yang bertonjolan.
Burung-burung enggan memamerkan suaranya.
Satwa lainnya pun berteduh di tempat terlindung.
Seorang remaja tampan berpakaian putih penuh tambalan tampak berjalan bersungut-sungut seraya menyusuri tepian sungai.
Tongkat di tangan kanannya berkali-kali menghantam batu yang menghalangi langkah kakinya.
"Uh.... Kenapa bayangan Dewi Ikata tak pernah lepas dari ingatanku?"
Terdengar gerutuan pemuda itu.
"Tentu saja karena dia sangat cantik. Tatapan matanya tak dapat aku lupakan. Ehm, seandainya..."
Remaja tampan yang tak lain Suropati itu tersenyum-senyum seorang diri. Sesekali dia memutar bola matanya. Sambil mengerutkan kening, tangannya tak pernah bosan menggaruk-garuk kepala. Rambut panjangnya yang tergerai ke punggung jadi awut-awutan.
"Huh...!"
Suropati mendengus seraya menyibak rambut yang menutupi wajahnya.
"Rambut sialan! Sebaiknya kugelung saja. Tapi... Ah, tak pantas. Seperti banci. He he he...."
Pengemis Binal lalu tertawa terkekeh. Bahunya sampai bergerak naik turun. Tapi, sebentar kemudian dia mengeluh kepanasan.
"Uh...! Kenapa udara panas begini? Duh, betapa bodohnya aku. Bukankah sedari tadi aku berjalan menyusuri sungai?"
Suropati tak kuasa membendung hasrat hatinya.
Seluruh pakaiannya segera ditanggalkan.
Kemudian, tubuhnya meluncur masuk ke dalam sungai.
Sekejap kepalanya sudah menyem-bul muncul di permukaan air.
Didekapnya keningnya yang benjol terbentur batu di dasar sungai.
Suropati mencak-mencak.
Tinggi air sungai ternyata hanya sebatas paha.
Namun, perhatiannya segera tersita pada sepasang rusa yang tengah berada di tepi sungai tidak jauh dari tempatnya berada.
Sepasang rusa itu tampak asyik masyuk.
Mulut si jantan memagut leher pasangannya.
Si betina terlihat menggeliat manja.
"Keparat!"
Umpat Suropati.
"Rupanya kau sedang mengejekku, Rusa Jelek!"
Perlahan-lahan Suropati berjalan mendekat. Suara kecipak air yang ditimbulkan membuat sepasang rusa itu menolehkan kepala.
"Nguuukkk...!"
Mulut si betina mengeluarkan suara.
"Heh, apa katamu, Rusa Jelek?!"
Tanya Suropati, jengkel.
"Nguuukkk...!"
Ganti si jantan yang mengeluarkan suara.
"Goblok! Kenapa kau mengulang kata itu? Aku tak mengerti, Rusa Jelek!"
"Nguuukkk...!"
Mulut sepasang rusa itu mengeluarkan suara bersamaan. Suropati yang jengkel lalu menggoyang-goyangkan pantatnya.
"Nguuukkk...!"
Suara keras dikeluarkan si betina. Lalu, kakinya dihentakkan ke tanah dan lari cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Si jantan menatap Suropati sejenak. Mata rusa itu menyempit. Ia segera membalikkan badan dan mengejar pasangannya.
"He he he...!"
Suropati tertawa terkekeh. Senang juga dia berhasil menakut-nakuti sepasang rusa itu. Pemuda itu lalu kembali menerjunkan dirinya ke dalam sungai dan mandi sepuas-puasnya.
"Wuih! Segar...!"
Setelah puas dan merasa tubuhnya telah segar, Suropati naik ke darat dan memakai celananya. Tapi, kepala remaja konyol itu tampak celingukan. Dia berjalan ke sana kemari mencari bajunya.
"Mungkinkah digondol oleh rusa jelek itu? Atau, terbawa tiupan angin? Ah, rasanya tak mungkin...."
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan.
"Koaaakkk...!"
Seekor burung gagak besar tiba-tiba mengeluarkan jeritan. Burung itu bertengger di dahan pohon dekat Suropati. Cakar-cakarnya tampak menjepit sehelai baju putih penuh tambalan. Suropati menatapnya dengan sinar mata nyalang.
"Hei! Kembalikan bajuku!"
"Koaaakkk...!"
Burung gagak besar itu melebarkan sayapnya. Lalu, yang sebelah kanan bergerak-gerak seperti memanggil Suropati supaya mendekat.
"Gagak Jelek! Kenapa mencuri bajuku? Tak laku dijual, Goblok!"
Teriak Suropati.
"Koaaakkk...!"
Tiba-tiba burung gagak itu terbang sambil membawa baju Suropati.
"Hei Pencuri Goblok! Bajuku itu tak berharga! Kenapa kau bawa lari?!"
"Koaaakkk...! Koaaakkk...!"
Burung gagak besar terus terbang mengangkasa.
Suropati pun menggeram gusar.
Tiba-tiba burung gagak itu menjatuhkan baju yang dibawanya.
Tapi....
Weeesss...! Suropati mendelik.
Bajunya telah disambar kembali oleh burung gagak itu sebelum dia sempat menangkapnya.
"Burung keparat!"
Umpat Suropati. Dia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar. Gerutuan panjang pendek berulang kali dikeluarkannya. Namun, beberapa saat kemudian Suropati kehilangan jejak.
"Lho, di mana gagak jelek itu?"
"Koaaakkk...!"
Di ujung dahan sebuah pohon yang menjulang tinggi tampak burung gagak besar mengkepak-kepakkan sayapnya. Baju Suropati berkibar-kibar di cengkeramannya.
"Gagak Jelek, rupanya kau pantas untuk dipanggang!"
Kata Suropati seraya memungut sebuah kerikil.
Wuuuttt...! Kerikil itu dilontarkan kuat-kuat dengan mengerahkan tenaga dalam.
Burung gagak menggerakkan kepalanya.
Baju Suropati yang berada di cengkeraman diperguna-kan untuk menyambut lontaran kerikil.
Suropati ter-perangah.
Bajunya jadi bolong tertembus oleh kerikil yang dilontarkannya sendiri.
"Huh! Aku tak perlu memanggang gagak! Tubuhnya akan kulumat menjadi serpihan daging sate!"
Ancam Suropati dengan marah.
Remaja konyol itu meraup segeng-gam kerikil.
Lalu, dilontarkannya kembali ke arah gagak dengan keras! Si burung usil melebarkan sayapnya.
Tubuhnya melayang di tempat.
Kakinya bergerak-gerak mengibaskan baju Suropati yang terjepit di cakar.
Sraaattt...! Hujan kerikil membuat baju Suropati semakin bolong-bolong.
Melihat itu, si empunya baju mengumpat tak karuan.
Sementara si burung usil telah melesat pergi.
"Hei, kembalikan bajuku!"
Suropati segera berlari mengejar.
Tubuh remaja telanjang dada itu melesat cepat.
Tapi, si burung usil terbang tak kalah pesat.
Terbangnya rendah seperti sengaja mengajak berlomba Suropati.
Ketika sampai di sebuah bukit kecil, burung gagak besar itu mengeluarkan suara lantang.
Kemudian, melesat laksana batu meteor dan kedua kakinya hinggap di bahu seorang pemuda berpakaian biru yang duduk tenang di atas sebatang pohon besar yang telah roboh.
"He he he...!"
Pemuda berbaju biru itu tertawa.
"Jangan heran, Suro. Aku memang menyuruh Gagak Saktiku untuk mencuri bajumu,"
Katanya dengan memperlihatkan jajaran giginya yang putih rapi.
Wajah pemuda itu sangat tampan.
Berkulit kuning halus seperti kulit wanita.
Rambutnya berwarna pirang dan dijepit gelang emas.
Alisnya tebal dengan sinar mata menyorot tajam.
Hidungnya mancung.
Dan, bibirnya yang kemerah-merahan selalu menyunggingkan senyum manis.
"Siapa kau?"
Tanya Suropati.
"Kapi Anggara. Tapi, orang-orang biasa menyebutku si Pendekar Asmara. He he he...."
"Uh! Dasar hidung belang!"
Gerutu Suropati.
"Namun kali ini kau salah pilih, Pendekar Mata Maling! Aku laki-laki. Tak perlu kau mencuri bajuku!"
Kapi Anggara kembali tertawa.
"Aku tidak salah pilih, Suro! Sengaja aku mengundangmu kemari...."
"Kau tahu namaku dari siapa?!"
Tanya Suropati heran.
"O, rupanya Pengemis Binal berotak udang! Namamu sudah ramai dibicarakan orang-orang. Masa' kau tidak merasa?"
Suropati menggaruk-garuk kepala-nya.
"Benarkah apa yang dikatakannya?"
Gumam Suropati di dalam hati.
"Kalau memang benar, wuih..., alangkah senangnya. Gadis-gadis tentu akan memperebutkanku. He he he...."
Suropati tersenyum-senyum sendiri.
"Eh, apa yang sedang kau pikirkan?"
Tanya Kapi Anggara.
"Kau belum mengembalikan bajuku,"
Ucap Suropati untuk menutupi kegembiraan hatinya.
"Oh ya, aku lupa...."
Kapi Anggara menggerakkan bahu kirinya. Si Gagak Sakti melesat ke arah Suropati. Remaja konyol itu segera menyambut bajunya yang dijatuhkan burung gagak hitam.
"Waduh... waduh...!"
Suropati mencak-mencak melihat bajunya banyak yang berlubang.
"Berapa tambalan lagi yang mesti aku buat? Bedebah! Burung tak tahu diuntung! Kau harus bertanggung jawab, Gagak Jelek...!"
"Tak perlu kau bertingkah macam orang gila seperti itu, Suropati!"
Kata Kapi Anggara.
"Aku akan mengganti bajumu."
"Heh, benarkah?"
Kedua alis Suropati terlihat naik.
"Tapi.... Ah, aku lebih senang baju yang penuh tambalan. Semakin banyak tambalan, semakin sip! He he he...."
Remaja konyol itu tersenyum simpul sambil mengenakan bajunya. Kemudian, kakinya melangkah dengan menyeret tongkat pemberian Gede Panjalu.
"Eh, tunggu dulu!"
Kapi Anggara buru-buru mencegah. Dia meloncat untuk menghadang langkah Suropati.
"Aku tak punya urusan denganmu, Pendekar Mata Maling."
"Tapi aku punya urusan denganmu, Pendekar Konyol!"
Suropati menghentikan langkahnya. Ditatapnya Kapi Anggara tajam-tajam.
"Siapa yang kau sebut dengan 'Pendekar Konyol'?"
"Kau."
"Aku bukan Pendekar Konyol!"
"Aku juga bukan Pendekar Mata Maling!"
"He he he...!"
Suropati tertawa.
"Kau senang mencuri barang milik orang. Kenapa tidak mau disebut Pendekar Mata Maling?!"
"Siapa yang senang mencuri? Kalau Gagak Saktiku menyambar bajumu, itu karena aku bermaksud mengundangmu."
"Untuk apa?"
"Aku menantangmu!"
"Aku tidak mau berkelahi!"
"Siapa yang menantangmu berkelahi?!"
Kening Suropati berkerut. Heran dia mendengar ucapan lawan bicaranya.
"Kau bicara tak tentu arahnya, Kapi Anggara!"
Omel Suropati.
"Kau hanya butuh sedikit penjelasan, Suro."
Suropati mengayunkan tongkatnya. Batu sebesar kepalan tangan segera melayang jauh ketika terantam tongkat.
"Cepat katakan!"
Katanya setengah membentak. Kapi Anggara tersenyum simpul.
"Rupanya kau cepat naik darah, Suro,"
Ujarnya pelan.
"Kau tahu Perkumpulan Bidadari Lentera Merah?"
"Kenapa?!"
"Waduh! Sulit bicara dengan manusia konyol semacam kau!"
"Jelas! Karena kau senang mencuri!"
Kapi Anggara menggeram. Kepalanya menggeleng lemah.
"Kau tahu Perkumpulan Bidadari Lentera Merah atau tidak?"
Katanya mengulangi pertanyaannya.
"Kalau tahu, kenapa?"
"Ketua perkumpulan itu bernama Sekar Mayang."
"Aku sudah tahu!"
Sergah Suropati seraya melangkahkan kakinya kembali.
"Eit...! Tunggu dulu! Kau belum mendengar penjelasanku!"
Cegah Kapi Anggara. Suropati menatap wajah si Pendekar Asmara lekat-lekat.
"Wuih! Dia sangat tampan,"
Kata Suropati dalam hati. Sayang, dia berhidung belang. Aku jadi merasa tersaingi. He he he...."
Senyum Pengemis Binal segera mengembang.
"Sekar Mayang itu sangat cantik, Suro,"
Beri-tahu Kapi Anggara kemudian.
"Lalu...?"
"Tidakkah kau ingin memilikinya?"
"Kau sendiri?"
"Tentu saja aku ingin. Tapi, aku sudah bosan menggaet gadis cantik tanpa taruhan."
"Kalau begitu, kau menantangku bertaruh?!"
"Ya. Kita berlomba untuk mendapatkan Sekar Mayang."
Suropati menggaruk kepalanya.
"Sebuah tantangan yang menyenangkan,"
Bisiknya dalam hati.
"Tak pantas untuk ditolak."
"Eh, rupanya kau butuh obat pembasmi kutu, Suro,"
Goda Kapi Anggara yang melihat kebiasaan buruk Suropati.
"Aku tidak punya kutu!"
"Lalu kenapa kau selalu menggaruk-garuk kepalamu?"
Suropati membisu. Dia tak mampu menjawab pertanyaan si Pendekar Asmara. Itu memang kebiasaannya.
"Ah, sudahlah. Tak perlu kau ributkan kebiasaanku itu!"
Kata Suropati dengan tegas.
"Aku menerima tantanganmu. Tapi, apa taruhannya?"
Kapi Anggara tersenyum lebar. Tangan kanannya bergerak mengeluarkan cepuk kecil dari saku bajunya.
"Aku punya Air Mata Duyung, Suro. Kalau kau bisa mengalahkan aku, cairan ajaib ini akan menjadi milikmu."
"Ah, hanya Air Mata Duyung, bukan Air Mata Dewa!"
"Eit, jangan memandang rendah dulu! Bagi laki-laki, Air Mata Duyung ini sangatlah berguna. Selain sebagai obat awet muda, juga sebagai penambah keperkasaan...."
"Aku tidak tertarik!"
"Uh! Sombong! Kau sendiri, apa taruhanmu?!"
Suropati kembali menggaruk kepalanya.
"Aku tidak punya apa-apa...."
Kapi Anggara tertawa terbahak-bahak.
"Kau gentong tak berisi, Suro. Sombong hanya untuk menjaga gengsi!"
Ujar pemuda itu menyindir.
"Kita tak usah bertaruh saja. Aku tahu, kau tak mungkin mempertaruhkan kepalamu!"
"Tapi perlombaan tetap jalan terus, bukan?"
"Tentu, Suro."
"Kapan dimulai?"
"Sekarang juga."
"Baik."
Mendengar perkataan Suropati, Pendekar Asmara membalikkan badan dan bergegas berlalu dari tempat itu.
"Eh, tunggu dulu!"
Suropati mencegah.
"Di mana tempat tinggal Sekar Mayang?"
"Ha ha ha...!"
Kapi Anggara tertawa keras.
"Kalau kuberitahu, namanya bukan perlombaan,"
Katanya seraya melanjutkan langkah kakinya.
"Uh! Selain senang mencuri rupanya kau juga pelit, Kapi Anggara!"
Gerutu Suropati.
Si Pendekar Asmara tak mempe-dulikan.
Dengan langkah tegap, dia berjalan di bawah ganasnya hawa siang yang panas.
Sesekali ujung lengan bajunya dikebutkan untuk mengusir gerah.
Perlahan-lahan dari mulutnya terdengar senandung lagu.
Wanita, oh wanita....
Cantik, elok nan rupawan Menggoda hati, risaukan sukma Menyusup ke semak kalbu, ciptakan rindu Pilu menggelut, ingin bertemu Cinta, oh cinta....
Cinta wanita melebihi segalanya Korban harta belum apa-apa Nyawa melayang pun tak kan terasa Demi rindu untuk menyatu Sendu luruh, hasrat menggebu Hampir seharian penuh Anjarweni dan Wirogundi berputar-putar mengelilingi Kota Kadipaten Tanah Loh.
Orang-orang yang ditanya sepanjang perjalanan mereka tak satu pun yang dapat memberikan keterangan.
Mereka jadi putus asa ketika tak menemukan satu petunjuk pun.
"Kira-kira di manakah dia, Wiro?"
Tanya Anjarweni.
"Entahlah,"
Jawab Wirogundi.
"Mungkinkah dia menyendiri di suatu tempat?"
"Kau yang lebih tahu sifat dan tabiat adik seperguruanmu itu, Weni."
"Ah, firasatku mengatakan Ingkanputri sedang menghadapi masalah,"
Suara Anjarweni terdengar begitu cemas.
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Tidakkah kau tahu kalau banyak warga kota kadipaten ini yang juga bingung mencari anak gadisnya. Jangan-jangan...."
Anjarweni tak melanjutkan bicaranya. Wajahnya tampak diliputi rasa khawatir.
"Kau jangan berpikiran yang bukan-bukan, Weni,"
Hibur Wirogundi.
"Mungkinkah Ingkanputri diculik orang?"
Akhirnya tercetus juga kekhawatiran Anjarweni. Wirogundi menggelengkan kepalanya.
"Adik seperguruanmu itu bukan anak kecil lagi. Kukira dia sanggup menjaga diri."
"Tapi bila yang menculik orang-orang dari Perkumpulan Bidadari Lentera Merah, bukankah itu tidak mustahil?"
Kedua alis Wirogundi terangkat. Dia merasakan kebenaran dalam ucapan Anjarweni.
"Untuk apa mereka menculik Ingkanputri?"
Tanya Wirogundi. Anjarweni terdiam. Dia sendiri tak mampu menjawab. Melihat itu, Wirogundi segera memeluk tubuh gadis itu dari belakang.
"Kau tak perlu resah, Weni,"
Bisiknya.
"Kesedihanmu adalah kesedihanku."
Anjarweni melepas pelukan itu.
Ditatapnya wajah Wirogundi lekat-lekat.
Lalu, dia menghambur ke dalam pelukan tubuh Wirogundi.
*** Malam melingkupi bumi.
Cahaya rembulan dan gemerlap bintang tertutup oleh tirai awan.
Angin berhembus cukup keras.
Desaunya sanggup mendirikan bulu roma.
Suara binatang malam pun seperti disusupi iblis penunggu neraka.
Mengundang rasa ngeri di hati.
Di sebuah pekuburan sepi terasa begitu memagut.
Gelap lebih pekat.
Hitam kelam, membutakan mata.
Ranting pohon kamboja meliuk lemah bagai targan-tangan setan.
Mendadak, sesosok bayangan berkelebat cepat di atas alang-alang.
Gerakannya ringan bagai menyatu dengan tiupan angin.
"Berhenti!"
Sosok bayangan lain berusaha menghadang. Tapi, sehelai benda pipih panjang menyerangnya.
"Eit...!"
Sosok kedua berusaha menghindar. Dengan kecepatan laksana kilat tangannya menangkap ujung benda itu. Sosok bayangan pertama segera mengerahkan seluruh tenaga untuk membetot.
"He he he...!"
Sosok kedua yang tak lain Suropati itu tertawa.
"Ayo, kerahkan seluruh kemampuanmu, Penculik!"
Dua kekuatan saling tarik-menarik.
Benda pipih panjang yang berupa selendang itu bergetar pelan.
Lalu, mengejang! Bret! Wanita cantik pemilik selendang itu terperangah menyaksikan senjatanya putus.
Dengan sigap dia melontarkan sesosok tubuh yang berada di bahunya.
Suropati bergegas menyambut.
Kemud-an, tubuhnya meluncur cepat! Tuk! Bruk! Totokan Suropati tepat mengenai sasaran.
Tubuh wanita cantik berselendang merah jatuh terkulai di tanah.
Suropati memandangnya sejenak.
Lalu, tangannya bergerak cepat membebaskan totokan gadis yang berada dalam pondongannya.
"Aku akan mengantarmu pulang,"
Kata Suropati. Sosok Pengemis Binal melesat cepat meninggalkan tubuh wanita cantik yang terkulai lemah di tanah. Sebentar kemudian Suropati telah kembali ke tempat itu.
"Kau rasakan sekarang, Penculik. Ganti aku yang akan menculikmu!"
"Siapa kau?!"
Tanya wanita cantik anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah itu.
"Kau tidak berhak bertanya. Sebutkan namamu sebelum aku mengantarkan nyawamu ke neraka!"
Ancam Suropati.
"Cih! Siapa takut mati?!"
Balas wanita cantik berbaju merah dengan beraninya.
"He he he...!"
Suara tawa keluar dari mulut Suropati.
"Baik. Aku akan menguji keberanianmu.... Suropati berjalan mendekat. Lalu, dipeluknya tubuh wanita cantik anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah itu.
"Ehmmm...."
Wanita cantik itu menggelinjang ketika merasakan bibirnya dipagut.
"Uh! Rupanya kau merasakan keenakan,"
Sungut Suropati.
"Kau sangat nakal, Bocah Gendeng!"
"Siapa yang kau sebut, 'Bocah Gendeng'?"
"Kau!"
"Aku bukan bocah lagi,"
Sembur Suropati. Tiba-tiba remaja konyol itu membuat gerakan seperti hendak mencopot celananya.
"Eh, jangan!"
"Jangan apa?"
"Jangan mencopot celanamu!"
"Siapa yang mau mencopot celana?! Aku hanya menggaruk pahaku yang gatal, Goblok!"
Bentak Suropati seperti ingin menunjukkan kemarahan.
"Namamu siapa?"
Tanyanya kemudian.
"Puspita."
"He he he.... Nah, begitu baru pintar. Kenapa mesti jual mahal pada Pengemis Binal. Untuk apa kau menculik gadis itu?"
Puspita tak menjawab. Matanya membelalak lebar untuk melihat wajah Suropati.
"Heh, kenapa diam saja?! Kau tidak mendengar pertanyaanku?"
"Aku dengar."
"Kenapa diam?"
"Karena aku tak mau menjawab!"
"Goblok! Apakah kau tak takut kubunuh?!"
"Tidak!"
"Baik. Aku akan menguji keberanianmu...."
Suropati kembali memeluk tubuh Puspita. Dilumatnya bibir wanita cantik itu.
"Ehmmm...."
Napas Puspita terengah.
"Uts! Sudah... sudah...."
"Kau sekarang mau mengatakannya?"
Tanya Suropati seraya melepas pelukan. Puspita mengatur jalan napasnya. Matanya berkedip mesra. Lidahnya terlihat dijulurkan keluar untuk menjilat bibirnya yang basah.
"Oh, rupanya kau ketagihan!"
Kata Suropati seraya menampakkan kekonyolannya. Tapi, tiba-tiba wajahnya menjadi tegang.
"Cepat kau katakan apa maksudmu menculik gadis tadi?!"
"Gadis itu untuk korban."
"Korban?!"
Suropati terkejut.
"Untuk apa?"
"Untuk upacara pemulihan Ketua Pertama."
"O, jadi ketuamu ada dua. Yang pertama siapa namanya?"
Tanya Suropati ingin tahu.
"Ratnasari."
"Umurnya?"
"Seratus lima puluh tahun lebih."
Suropati mengerutkan keningnya. Tak dapat dibayangkannya rupa wanita itu di usia setua tersebut.
"Kira-kira bagaimana wujud ketua pertamamu itu?"
Tanyanya kemudian.
"Kau tahu Sekar Mayang?"
Wanita berbaju merah balik bertanya.
"Ya. Kenapa?"
"Ratnasari lebih cantik dari dia."
"Apa?!"
Suropati terkejut.
"Kau tidak salah bicara? Umur seratus lima puluh tahun mestinya lebih mirip wewe gombel!"
"Dia sudah menjalani upacara pemulihan."
"Dengan mengorbankan gadis-gadis itu?"
"Ya. Uh...!"
Puspita menggeliat mencoba bangkit berdiri.
"Bebaskan totokanmu,"
Pintanya.
"Nanti kau lari."
"Tidak."
"Tapi ada syaratnya. Kau harus membawaku untuk menemui Sekar Mayang."
"Aku tidak mau!"
"Kau akan kubunuh!"
"Aku tidak takut!"
"Baik. Aku akan menguji keberanianmu..."
Untuk ketiga katinya Suropati memeluk tubuh Puspita. Bibirnya lincah bergerak menelusuri wajah wanita cantik itu.
"Katanya kau hendak menguji keberanianku, tapi... Uh.... Kenapa men... uh...,"
Puspita tak dapat melanjutkan bicaranya.
"Beginilah caraku menguji keberanian."
"Uh... Suro..., aku senang..."
Mendadak Suropati menghempaskan tubuh Puspita.
"Kau tahu namaku?"
Tanyanya.
"Kau tadi mengatakan dirimu adalah Pengemis Binal. Kenapa? Apakah kau takut bila aku melaporkan perbuatanmu ini kepada ibumu?"
"Tidak. Aku sudah tidak punya ibu."
"Syukurlah kalau begitu."
"Heh, apa katamu? Kau senang bila aku sudah tidak punya ibu?"
"Ya. Karena, bila ibumu masih ada dia akan menghajarmu habis-habisan. Kau sangat nakal!"
"Tapi, walaupun begitu kau suka padaku, kan?"
"Ehm...."
"He he he...,"
Suropati tertawa terkekeh.
"Kalau kau memang suka padaku, kau harus membawaku untuk menemui Sekar Mayang."
"Kau suka padanya?"
"Itu urusan pribadi!"
"Uh...!"
Puspita merajuk. Suropati tersenyum. Didaratkannya sebuah ciuman di kening Puspita yang tampak sewot.
"Kalau kau ingin menjadi kekasihku, bawalah aku menemui Sekar Mayang, Sayang...,"
Kata Pengemis Binal dengan suara lembut menggoda.
"Baiklah...,"
Kata Puspita kemudian.
"Aku akan meluluskan permintaanmu. Tapi, bebaskan dulu totokanmu."
Tangan Suropati bergerak cepat. Suasana malam yang kelam sama sekali tak menjadi penghalang. Puspita menggeliat merasakan tubuhnya telah tarbebas dari totokan.
"Sekarang juga bawa aku menemui Sekar Mayang!"
Puspita hanya diam di tempatnya. Mata wanita cantik itu mengerling penuh arti. Kemudian, terpejam sambil mengeluarkan desahan panjang. Kepalanya didongakkan ke atas. Tampaklah leher Puspita yang halus mulus. Pengemis Binal pun tersenyum senang.
"Kau sangat cantik, Puspita...,"
Katanya seraya mendekap tubuh Puspita yang terbaring di atas tanah. Remaja konyol itu lalu menyibak anak rambut yang menutupi wajah Puspita. Kemudian, bibirnya ditempelkan pada bibir gadis itu.
"Kau masih perawan?"
Tanya Suropati dengan konyolnya.
"Buktikan sendiri,"
Sahut Puspita.
"Ehm.... Lain kali saja!"
Suropati lalu bangkit berdiri, Puspita mengeluarkan desahan panjang. Matanya membersitkan sinar kekecewaan. Perlahan-lahan dia bangkit sambil menggerutu.
"Uh! Dasar masih anak-anak...!"
Suropati segera menggandeng lengan wanita cantik itu.
Mereka berlalu meninggalkan daerah pemakaman.
Saat itu malam hampir menjelang fajar.
Malam berlalu.
Pagi pun datang menghantarkan terang.
Di mulut sebuah gua yang hampir tertutup batu-batu cadas, Suropati menyibak rumput ilalang yang tumbuh subur setinggi pinggangnya.
Sambil menimang-nimang tongkatnya, remaja konyol itu menatap kedalaman gua yang gelap gulita.
"Bagaimana mungkin Sekar Mayang tinggal di tempat seperti ini?"
Gumam Suropati.
"Kenapa kau ragu, Suro?"
Tanya Puspita.
"Ini bukan jebakan?"
"Apa untungnya menjebakmu?"
Dahi Pengemis Binal jadi ber-kerut. Dia belum yakin akan perkataan wanita cantik yang berdiri di sampingnya itu.
"Aku tidak bisa berlama-Iama di tempat ini. Kalau di antara teman-temanku ada yang tahu, tamatlah riwayatku,"
Bisik Puspita di dekat telinga Suropati.
"Kalau hal itu berbahaya, kenapa kau bersedia menunjukkan tempat ini?"
"Pada saatnya nanti kau akan tahu sendiri."
"Bukan karena kau menyukaiku?"
"Itu hanya sebagian dari alasan."
"Alasan lain?"
"Ah, sudahlah. Cepat kau masuk!"
Perintah wanita cantik berpakaian serba merah itu.
"Aku bisa memegang kata-katamu?"
"Kenapa tidak?"
Kata Puspita meyakinkan.
"Ayolah, Suro. Aku sudah tak punya waktu lagi...."
"Kau tidak ikut?"
"Itu sama saja dengan bunuh diri."
"Baiklah, aku akan masuk. Tapi kalau kau menipuku, awas, hidungmu akan kupotong dan kubikin sate!"
Puspita hanya tersenyum kecil. Suropati segera mencongkel sebongkah batu cadas dengan tongkatnya. Batu sebesar anak bayi itu ditendangnya masuk ke dalam gua.
"Hati-hati, Suro...,"
Kata Puspita sebelum pergi menghilang dari tempat itu. Suropati hanya mengangguk. Per-lahan-lahan kakinya melangkah memasuki gua. Sinar mentari yang hanya satu tombak dapat menerangi kedalaman gua.
"Kalau aku tidak menerima tantangan Kapi Anggara, aku tidak akan mendapat susah seperti ini,"
Gerutu remaja konyol itu.
Hanya dengan mengandalkan perasaannya Suropati terus melangkahkan kaki.
Tapi belum sampai sepuluh tindak dia melangkah, tiba-tiba....
Wuuusss...! Suropati meloncat ke samping menghindari hunjaman tombak yang meluncur deras ke arahnya.
Dengan tetap berdiri di tempat ditajamkannya indera pendengarannya.
Tapi, tidak terdengar suatu gerakan yang mencurigakan.
Dia segera melanjutkan langkahnya kembali.
Wuuusss...! Beberapa batang tombak kini meluncur ke arahnya! Traaakkk! Traaakkk! Suropati menangkis dengan tongkatnya.
"Wuih, tempat ini penuh jebakan!"
Desis Suropati.
"Apakah Puspita ingin mencelakakanku? Tapi, aku bisa merasakan kebenaran ucapannya. Sikap wanita cantik itu sangat aneh. Kenapa dengan begitu mudahnya dia bersedia menunjukkan sarang Perkumpulan Bidadari Lentera Merah?"
Ketika kemudian dia bergerak setindak, telinganya segera menangkap sambaran benda-benda halus di sekitar tempatnya berdiri.
Suropati memutar tongkatnya laksana baling-baling untuk melindungi tubuh.
Sraaattt...! Puluhan batang jarum beracun rontok ke tanah.
"Uh...! Hampir saja,"
Keluh Suropati.
Brooolll...! Tiba-tiba, permukaan tanah tempat Suropati berdiri ambrol.
Tanpa dapat dihindari lagi tubuh remaja itu meluncur masuk ke dalam sebuah lubang besar! Buru-buru Suropati bersalto beberapa kali hingga dia dapat mendarat dengan kedua kaki.
Suropati memperhatikan gua yang diterangi jajaran obor gas alam.
Berbeda dengan gua yang tadi dilewatinya, dinding gua yang baru di-masukinya ini berdinding halus.
Permukaan tanahnya pun datar tanpa diseraki bebatuan.
Suropati segera berjalan mengikuti lorong yang ada.
Semakin lama cahaya obor gas alam semakin terang.
Namun, langkahnya terhenti ketika di hadapannya terpampang tiga cabang jalan dari lorong yang sedang ditelusurinya.
"Hm... Aku harus lewat yang sebelah mana?"
Setelah terdiam sejenak, Suropati memutuskan untuk memasuki lorong sebelah kanan. Tiba-tiba, sebongkah batu sebesar gajah meluncur dari atas dan hampir menimpa tubuh Pengemis Binal.
"Uh...! Hampir saja tubuhku lumat jadi rempeyek,"
Sungut Suropati sambil menggaruk-garuk kepala.
"Lorong yang sebelah kanan sudah tertutup, aku akan memasuki yang tengah...."
Blaaarrr! Untuk kedua kalinya sebongkah batu sebesar gajah meluncur jatuh dari atas dan menutup lorong tengah.
"Wuih...! Kau senang membuatku terkejut, Batu Kasar!"
Umpat Suropati.
Tubuhnya miring-miring terbawa oleh guncangan yang ditimbulkan oleh luncuran batu.
Ketika debu yang mengepul sudah hampir hilang, Suropati mengayunkan tongkatnya.
Blaaarrr! Batu besar yang berada di hadapannya hancur berkeping-keping.
Pecahannya menyebar ke berbagai penjuru.
Debu mengepul mengaburkan pandangan.
"Kau rasakan itu, Batu Kasar!"
Maki Pengemis Binal seperti orang tak waras. Tapi sebelum dia melangkahkan kakinya, sesosok tubuh yang hanya berupa bayangan berkelebat keluar dari lubang lorong sebelah kiri.
"Eit! Siapa kau?!"
Bentak Suropati.
Bayangan yang baru muncul itu langsung menyerang Suropati.
Tendangan dan pukulannya datang bertubi-tubi mengancam bagian berbahaya di tubuh Suropati.
Tapi, dengan mudah pemuda itu menghindarinya.
Lalu, tongkatnya diputar cepat dengan menggunakan jurus 'Tongkat Memukul Anjing'! Zeb! Ceeesss...! Bayangan merah itu tertembus ujung tongkat Suropati.
Tepat mengenai dadanya.
Tapi, Suropati menjadi terkejut melihat dada bayangan merah itu mengeluarkan asap tebal, sementara sosoknya tetap berdiri tegak tanpa sedikit pun menunjukkan rasa sakit.
Des! Suropati yang lengah segera mendapat buah dari kecerobohannya.
Tubuhnya terjengkang ke belakang dan membentur dinding gua.
Didekapnya erat-erat dadanya yang terkena tendangan.
Jalan pernapasannya untuk beberapa lama terganggu.
Lalu, dengan lengkingan tinggi diayunkan tongkatnya tertuju ke pingang bayangan merah! Ceeesss...! Bayangan merah itu tampak terpotong dua.
Dan, asap tebal mengepul dari bekas sambaran tongkat Suropati.
"Sihir!"
Desis Pengemis Binal. Suropati segera memejamkan matanya. Seluruh kekuatan batinnya dipusatkan pada pikiran. Perlahan-lahan asap tipis mengepul dari kepalanya.
"Hm.... Rupanya si empunya sihir itu berada di belakang bayangan merah,"
Gumam Pengemis Binal dalam hati.
Tongkatnya segera dijatuhkan ke tanah.
Kemudian, tanpa membuka mata tubuhnya meluncur ke depan secepat kilat! Tubuh Pengemis Binal menembus bayangan merah.
Telapak tangannya yang terkepal.
membentur gelombang tenaga kasat mata.
Buuummm! Tubuh Suropati terpental ke belakang setelah membentur dinding gua dengan kerasnya.
Remaja konyol itu mengusap bibirnya yang berdarah.
Matanya nanar mencari bayangan merah yang tiba-tiba lenyap.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar gema tawa mirip suara iblis yang baru bangun dari Hang lahat.
Pedang Bunga Bwee Karya Tjan ID Pendekar Rajawali Sakti Iblis Lembah Tengkorak Pertentangan Kaum Persilatan Yoe hiap eng hiong 1 Karya OKT