Darah Para Tumbal 1
Putri Bong Mini Darah Para Tumbal Bagian 1
DARAH PARA TUMBAL Oleh D.
Mahardhika Cetakan pertama Penerbit Alam Budaya, Jakarta Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Telaga Ungu terlihat tenang.
Angin lembut melun-cur di permukaan airnya, menciptakan riak kecil yang menyatu dalam warna kehijauan.
Pepohonan cemara mengelilingi telaga tersebut, seolah barisan pengawal yang tak kenal lelah menjaga kedamaian tempat itu.
Sepasang anak muda yang belum saling mengenal tampak duduk berhadapan.
Yang satu adalah seorang pemuda bercaping lebar terbuat dari anyaman kulit bambu.
Sedangkan yang lain, seorang gadis bertubuh mungil dengan pakaian merah ketat.
Dia adalah Putri Bong Mini yang baru saja menikmati ikan bakar bersama pemuda itu (baca episode.
'Iblis Pulau Neraka').
Dengan bibir mengulum senyum serta pandangan lembut ke arah Bong Mini, tangan pemuda itu berge-rak membuka caping lebarnya.
Sehingga wajah yang semula terhalang oleh caping, kini terlihat jelas oleh gadis yang duduk di hadapannya.
Beberapa saat Bong Mini diam terpaku.
Sepasang matanya memandang pemuda itu tanpa berkedip.
"Baladewa...!"
Desis Bong Mini dalam keterpanaan-nya.
"Bagaimana bisa sampai di sini?"
Lanjutnya de-ngan suara tertahan, berusaha menekan rasa terke-jutnya.
"Aku memang sengaja mencarimu,"
Sahut Baladewa tenang. Bong Mini tersenyum.
"Bagaimana kabar orangtuamu?"
Tanya Bong Mini. Seolah-olah tidak mempedulikan ucapan Baladewa ta-di.
"Mereka baik-baik saja!"
"Kau cerita tentang aku yang berguru pada Kanjeng Rahmat Suci?"
"Tidak. Aku hanya menceritakan tentang keadaan-ku selama berada di Gunung Muda,"
Sahut Baladewa.
Bong Mini menghela napas.
Sebenarnya itu yang ia harapkan.
Sebagaimana halnya ia tidak bercerita me-ngenai pertemuannya dengan Baladewa pada papanya.
Biar mereka sendiri yang mengetahui nanti, pikirnya.
Bong Mini menoleh ke arah Baladewa.
Pemuda itu pun tengah memandang wajahnya dengan tatapan ma-ta yang berpijar-pijar.
"Kenapa kau memandangku seperti itu?"
Tanya Bong Mini, menutupi perasaannya yang langsung ber-getar hebat ketika bertatapan dengan mata Baladewa.
"Tak tahukah kau penyebabnya?"
Baladewa balik bertanya. Bong Mini tersenyum sambil menggelengkan kepala. Baladewa diam beberapa saat. Matanya yang sendu, tetap memandang gadis yang duduk di hadapannya.
"Aku mencintaimu!"
Ucap Baladewa dengan suara tersendat. Bagaimanapun tenangnya perasaan Bong Mini menghadapi pemuda itu, tapi hatinya bergetar juga mendengar pernyataan yang diungkapkan Baladewa. Kemudian dengan tatapan mata sendu ia berkata.
"Se-benarnya kita mempunyai perasaan yang sama. Tapi untuk saat ini belum waktunya kita bercinta!"
"Maksudmu?"
Tanya Baladewa cepat.
"Masih ada yang lebih penting daripada urusan cin-ta!"
Tandas Bong Mini. Baladewa termangu tak mengerti.
"Cinta kita sekarang ini milik rakyat. Dan kita ha-rus memberikannya dengan cara mengembalikan ke-bahagiaan dan kedamaian mereka, yang selama ini di-rampas oleh manusia-manusia berhati iblis!"
Kata Bong Mini.
Membuat pemuda yang duduk di hadapan-nya tergugu mendengarkan.
Tidak mengherankan jika cara berpikir Bong Mini lebih matang dari Baladewa.
Usia mereka memang sa-ma-sama delapan belas tahun.
Tapi dalam persamaan usia itu, cara berpikir Bong Mini rupanya lebih matang dibandingkan Baladewa.
"Aku tidak mengira kau berpikir sejauh itu,"
Puji Baladewa.
"Kurasa semua orang akan berpikir demikian. Ha-nya cara pengungkapannya saja yang mungkin berbe-da!"
Sahut Bong Mini.
Baladewa masih termangu kagum pada gadis yang duduk di hadapannya itu.
Kalau dulu ia mengagumi kecantikannya, maka sekarang ia mengagumi seluruh yang ada dalam diri Bong Mini.
Baik hati maupun pikirannya.
Baginya itu suatu keberuntungan.
Baru per-tama kali kenal dengan wanita, ia langsung bertemu dengan gadis yang menarik perhatian.
"Apa rencanamu selanjutnya?"
Baladewa mengalih-kan pembicaraan.
"Membersihkan negeri ini dari manusia-manusia ib-lis seperti Perguruan Topeng Hitam!"
Tegas Bong Mini.
"Kalau begitu kita harus secepatnya bertindak!"
Sambut Baladewa penuh semangat.
"Memang begitu seharusnya!"
Sambut Bong Mini se-raya berdiri, begitu pula dengan Baladewa. Sehingga keduanya berhadapan. Karena tubuh Baladewa lebih tinggi, maka Bong Mini pun berkata dengan kepala menengadah.
"Sebaiknya kita melakukan tugas secara terpisah. Ini akan memudahkan kita dan mempercepat pembas-mian orang-orang biadab seperti Perguruan Topeng Hitam!"
Kata Bong Mini berpendapat.
Baladewa termangu menatap wajah Bong Mini.
Ia merasa seperti ada beban yang menggayuti dinding-dinding hatinya.
Bong Mini tersenyum lembut, melihat sikap Bala-dewa yang berdiri bimbang.
Ia sudah dapat menerka, perasaan apa yang sedang menggeluti hati pemuda yang berhasil mencuri hatinya itu.
"Aku mengerti, kau memberatkan perpisahan ini. Tapi inilah salah satu perjuangan yang harus kita tempuh. Mengorbankan kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan orang banyak, merupa-kan langkah kita yang paling utama!"
Tutur Bong Mini dengan sorot matanya yang berpijar-pijar.
"Aku mengerti!"
Ucap Baladewa dengan suara lirih.
"Tapi aku minta kau berjanji!"
"Janji apa?"
Bong Mini mengerutkan keningnya.
"Kau tidak akan tertarik pada pemuda lain, selain diriku!"
Bong Mini mengembangkan senyumnya.
"Percayalah! Aku bukan tipe wanita yang mudah ja-tuh cinta!"
"Kau...!"
Desah Baladewa tanpa melanjutkan kata-katanya.
Hanya tangannya saja yang menyentuh ke-dua bahu gadis di depannya, lalu didekap ke dalam pelukannya.
Ketika kepalanya rebah dalam dada bidang pemuda tampan itu, Bong Mini langsung merasakan satu kese-jukan dan kedamaian yang tak dapat diuraikan de-ngan kata-kata.
Ia semakin terlena dalam dekapan Baladewa.
Sementara itu, Baladewa sendiri membelai-belai lembut rambutnya dengan ujung jari.
Setelah agak lama berpelukan, keduanya berdiri berhadap-hadapan dengan tatapan sendu.
"Selamat berjuang, Baladewa!"
Desah Bong Mini.
"Selamat berpisah...!"
Balas Baladewa dengan suara bergetar, menahan rasa berat terhadap perpisahan yang sebentar lagi diterimanya.
Usai Baladewa mengucap kata perpisahan, Bong Mini segera melesat ke arah utara tanpa menoleh, karena tak ingin semangat juangnya pudar sedikit pun.
*** Sementara itu, di Pulau Neraka, sebelas lelaki gagah tampak berdiri termangu menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan di hamparan tanah berumput.
Wajah mereka tampak tegang dan geram.
Mereka tidak lain sisa-sisa pasukan Iblis Pulau Neraka yang baru saja tiba.
Ketika tiba di sana, mereka terkejut karena teman-temannya tewas dalam keadaan mengerikan, terbungkus darah yang sudah mengering dan menye-barkan bau busuk.
"Ini pasti perbuatan orang-orang Perguruan Topeng Hitam!"
Geram seorang di antara mereka.
Dialah yang bernama Ong Lie.
Orang yang dipercaya Gonggo Gung untuk melakukan misi pendekatan terhadap Putri Bong Mini agar mau bekerja sama dengan orang-orang Iblis Pulau Neraka.
Ong Lie seorang lelaki gagah dan tampan.
Bermulut kecil dan bermata sipit.
Rambutnya yang panjang di-sisir ke belakang dan terikat di tengah kepalanya.
Tingginya sekitar seratus tujuh puluh lima sentimeter.
Dia paling tinggi di antara kesepuluh orang lainnya.
Berpakaian terpelajar yang berlapis jubah warna ku-ning.
Kumisnya tipis, sedangkan umurnya sekitar tiga puluh lima tahun.
"Apa mungkin pasukan Perguruan Topeng Hitam datang ke sini dan menewaskan pemimpin kita?"
Tanya seorang di antara mereka, ragu. Ia tidak percaya kalau Gonggo Gung yang terkenal tangguh dan sadis itu dapat dikalahkan oleh pasukan Perguruan Topeng Hitam.
"Siapa lagi kalau bukan mereka? Bukankah tempo hari pasukannya berhasil kita kalahkan?"
Kata Ong Lie mempertahankan pendapatnya.
"Bagaimana kalau gadis mungil dan pemuda yang memiliki baju berlukis naga emas yang melakukan ini semua? Bukankah pada saat kita bertempur dengan Perguruan Topeng Hitam, sepasang anak muda ini menyerang pasukan kita?"
Sela Jurik, seorang anggota pasukan berbaju seperti piyama berwarna hitam dengan sepasang golok di pinggang kiri dan kanannya.
Rambutnya ikal panjang sebatas bahu dengan menge-nakan ikatan kepala berwarna merah.
Dialah orang yang selamat dari amukan Bong Mini dan Khian Liong beberapa waktu lalu.
"Aku pikir tidak! Mereka mempunyai perhitungan yang matang dan tak mungkin datang ke sini hanya berdua saja. Apalagi sampai menewaskan pemimpin kita!"
Tukas Ong Lie. Teman-temannya mengangguk-angguk.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
Tanya Jurik ti-dak sabar. Ia ingin cepat-cepat mendapat keputusan dari Ong Lie yang menjadi pemimpin pasukan terse-but. Ong Lie diam beberapa saat, menimbang-nimbang keputusan yang akan diambilnya.
"Bagaimana kalau kita melanjutkan misimu menca-ri wanita yang memiliki Pedang Teratai Merah dan meminta bantuannya?"
Jurik mengajukan pendapat. Ong Lie terhenyak dari ketercenungannya. Ia baru ingat kembali pada misi yang akan dijalaninya.
"Kalau memang kau menyetujui, biar kami yang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Pergu-ruan Topeng Hitam!"
Lanjut Jurik lagi.
Ong Lie mengangguk-angguk.
Dia menyetujui pen-dapat temannya itu.
Dan dia merasa yakin kalau pen-dekatannya terhadap Bong Mini akan membawa hasil.
Sebab selama ini tak seorang pun yang tahu kalau dia salah seorang dari pasukan Iblis Pulau Neraka.
Karena setiap melaksanakan aksi, ia tak pernah diikutsertakan.
Kecuali tugas-tugas khusus seperti yang akan ia laksanakan kali ini.
"Aku menyetujui usulmu. Dan sebaiknya kita lak-sanakan tugas ini sekarang juga!"
Ucap Ong Lie, me-mutuskan.
"Memang demikianlah seharusnya!"
Sambut Jurik yang sudah tidak sabar hendak berhadapan dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam.
"Kalau begitu, kau kutugaskan untuk memimpin pasukan!"
Kata Ong Lie memberi kepercayaan kepada Jurik.
"Akan kulaksanakan!"
Sambut Jurik.
Kemudian tu-buhnya melesat ke punggung kuda.
Diikuti oleh sembilan temannya yang lain.
Dalam sekejap saja, kuda yang mereka tunggangi bergerak meninggalkan Pulau Neraka.
Setelah itu, barulah Ong Lie melangkah untuk melaksanakan niatnya menemui Bong Mini.
*** Senja mulai merayap.
Matahari jatuh ke arah barat.
Sinarnya yang siang tadi begitu menyengat, berubah redup.
Daun-daun pepohonan yang semula tegak me-nadahi cahaya matahari, kini perlahan-lahan merun-duk serta menari-nari, ditiup semilir angin senja.
Di Desa Buncit, suasana tampak lengang.
Hanya beberapa orang saja yang terlihat hilir-mudik di luar rumah, seolah-olah desa itu tenang, penuh kedamaian.
Padahal jika menilik lebih jauh, maka akan terlihat sikap was-was yang terpancar dari wajah dan mata me-reka.
Bila mereka berpapasan dengan orang yang tak dikenal, baik di perkampungan maupun di pasar, ma-ka mereka memandang penuh kecurigaan yang amat dalam dan penuh waspada pada orang tersebut.
Sikap khawatir dan saling curiga di kalangan pen-duduk ini cukup beralasan.
Orang-orang Iblis Pulau Neraka memang telah diganyang habis oleh Bong Mini.
Sedang orang-orang Perguruan Topeng Hitam tidak melakukan aksinya lagi.
Namun bukan berarti kejaha-tan orang-orang tersebut akan berhenti.
Sebab selama Ketua Perguruan Topeng Hitam, Kidarga dan Nyi Genit masih hidup, tentu kejahatan akan terus berlangsung meski untuk beberapa hari ini menghilang bagai dite-lan bumi.
Ada dua keresahan yang sekarang mencekam pen-duduk negeri Selat Malaka, khususnya penduduk De-sa Buncit.
Pertama mengenai Kidarga yang mengum-pulkan para tokoh sesat untuk bergabung dengannya, baik dari dalam maupun dari luar negerinya.
Terutama sekali dari negeri Manchuria, tempat ia menjalin persahabatan dengan raja negeri tersebut.
Kalau hal itu terus berlangsung, lalu suatu saat Kidarga mengerahkan mereka untuk menghadapi orang-orang yang me-nentangnya, maka kiamatlah negeri Selat Malaka.
Apalagi kalau orang-orang Perguruan Topeng Hitam benar-benar berkuasa di negeri itu.
Keresahan yang kedua, terutama bagi penduduk Desa Buncit yang dihantui kematian-kematian menge-rikan.
Para korban terdiri dari bayi lelaki dan anak muda berumur sekitar dua puluh tahun.
Setiap kematian para korban, selalu ditandai dengan lehernya yang berlubang.
Diperkirakan, si pembunuh sadis itu melakukan aksinya dengan cara menggigit leher korban dan mengisap darahnya.
Beberapa orang yang sempat menjadi saksi menga-takan, kalau yang melakukan tindakan biadab itu ada-lah seorang wanita cantik berumur sekitar tiga puluh tahun.
Karena itu, para penduduk mencurigai setiap perempuan asing yang datang ke desa mereka.
Bahkan beberapa orang jago silat telah dikumpulkan untuk melakukan penangkapan terhadap wanita keji itu, hi-dup atau mati.
Waktu merayap tanpa terasa.
Langit yang remang, perlahan-lahan menjadi gelap.
Disusul dengan kabut yang turun menutupi permukaan gunung dan seba-gian rumah-rumah penduduk di Desa Buncit.
Sehing-ga makin cepatlah kegelapan menyelimuti desa itu.
Dengan turunnya kegelapan di Desa Buncit, seiring itu pula kesunyian tercipta.
Jalan-jalan sepi dan lengang.
Seluruh pintu rumah dan jendela penduduk terkunci rapat, sehingga tak seorang pun terlihat berada di luar.
Dalam suasana sepi dan mencekam itu, seorang ga-dis bertubuh mungil dengan pakaian merah ketat serta usia tak lebih dari delapan belas tahun, berjalan tenang sambil menyebarkan pandangannya ke sekitar rumah penduduk yang berjajar rapi.
Hm..., sepi sekali desa ini, gumam gadis bertubuh mungil dalam hati, yang tidak lain Putri Bong Mini.
Dia berjalan di desa itu dalam rangka meneliti keadaan penduduk kampung yang selama kepulangannya tak pernah dilakukan.
Tanpa disadari oleh Bong Mini, empat lelaki tengah berjalan membayanginya dari jarak dua puluh meter.
Mereka terdiri dari orang-orang gagah bertubuh tinggi besar serta wajah yang beringas.
Hm..., di desa ini tak sebuah kedai pun yang tam-pak! Gumam hati Bong Mini dengan pandangan mata menyebar, mencari warung nasi.
Perutnya sudah tera-sa perih.
Di saat kaki Bong Mini melangkah tenang dengan mata mencari warung nasi, tiba-tiba telinganya men-dengar langkah yang mencurigakan.
Bong Mini memperlambat langkahnya.
Dipasang te-linganya lebih tajam lagi agar dapat mengira-ngira, berapa jumlah orang yang membayanginya.
Belum sem-pat ia menebak, tiba-tiba empat sosok tubuh ber-kelebat ke arahnya dan langsung mengurung.
Bong Mini cepat menghentikan langkah.
Sedangkan matanya memandang keempat pengepungnya.
"Siapa kalian? Mengapa menghalangi langkahku?"
Tanya Bong Mini tenang. Satu persatu ia menatap para pengepungnya dengan penuh waspada.
"Nona nampaknya bukan penduduk asli sini!"
Kata seorang dari mereka.
Ia mempunyai perawakan yang tinggi besar dengan kulit sawo matang.
Pakaiannya model piyama berwarna hitam dengan kain sarung membelit pinggangnya.
Sedangkan di balik kain sarung itu terselip sepasang golok.
Umurnya sekitar empat puluh tahun, seperti ketiga temannya yang lain.
Begitu pula penampilannya.
Hanya wajahnya saja yang membedakan lelaki itu dengan ketiga temannya.
Kalau dia memiliki kumis yang melintang lebat sehingga memberikan kesan angker, sedangkan ketiga temannya tidak.
Sementara rambut mereka semua dibiarkan bebas ter-gerai sampai sebatas pundak.
"Kalau aku bukan penduduk sini, memang kena-pa?"
Tanya Bong Mini. Dengan sikapnya yang tenang.
"Hm...,"
Lelaki itu terdengar bergumam.
"Ketahuilah, Nona! Bahwa setiap wanita asing yarg datang ke sini harus kami curigai!"
Lanjut lelaki itu.
"Termasuk aku juga?"
Tanya Bong Mini.
"Begitulah! Dan aku berharap kepada Nona untuk ikut bersama kami ke rumah kepala desa. Tapi kalau Nona menolaknya, terpaksa kami melakukan kekera-san!"
Katanya tegas.
"Hm...!"
Kini Bong Mini yang terdengar bergumam. Tampaknya sesuatu telah terjadi di desa ini. Dan orang-orang ini merupakan kepercayaan kepala desa untuk mengusut semua orang asing yang menginjak-kan kakinya ke desa ini! Nilai hati Bong Mini.
"Ayolah, Nona. Jangan mengulur-ulur waktu hingga habis kesabaran kami!"
Ujar lelaki berkumis tebal itu lagi, tanpa menunjukkan sikap manis dan lembut kepadanya sedikit pun. Begitu pula dengan ketiga lelaki lainnya yang sejak tadi hanya diam, mendengarkan percakapan antara Bong Mini dengan lelaki berkumis tebal.
"Baiklah, kalau memang itu kehendak kalian!"
Sa-hut Bong Mini.
Lalu kakinya melangkah mengikuti le-laki berkumis tebal.
Sedangkan ketiga temannya menggiring Bong Mini dari kiri, kanan, dan bela-kangnya.
*** Malam merayap perlahan.
Angin yang bertiup di malam itu terasa sepoi-sepoi basah.
Begitu dingin, hingga menusuk sampai ke tulang sumsum.
Tidak berapa lama mereka berjalan, sampailah Bong Mini dan keempat orang itu di rumah kepala de-sa.
Rumah itu cukup besar.
Halamannya luas, banyak ditumbuhi oleh pepohonan yang tinggi dan besar-besar.
Sedangkan di samping pintu rumah itu, terda-pat sebuah dipan yang terbuat dari belahan bambu.
Dan di atas dipan itu, tergantung lampu alit dengan lidah apinya yang bergoyang ke sana kemari, tertiup angin malam yang berhembus semilir.
Bila dilihat dari jauh, lampu itu mirip sebuah bintang yang berkelip-kelip di langit yang luas.
Rumah kepala desa terbuat dari dinding setengah papan.
Bagian atasnya disambung dengan bilik yang sudah usang termakan usia.
Sementara atapnya ditu-tupi oleh anyaman rumbia.
Bong Mini dan ketiga lelaki yang mengawalnya ber-diri tenang, memandang lelaki berkumis yang sudah mengetuk pintu.
Tidak lama kemudian, dari balik pin-tu itu muncul sesosok laki-laki yang sudah tua.
Usianya sekitar enam puluh tahun.
Kulitnya sawo matang dengan kedua pipi yang mulai kendur dan keriput.
Sedangkan tubuhnya pun terlihat agak kurus.
Matanya cekung dengan sorot yang tajam.
Menunjukkan kalau lelaki tua itu sedikit banyaknya mempunyai kepan-daian silat yang patut dibanggakan.
Buktinya dia diangkat menjadi kepala desa.
"Ada apa, Kundala?"
Tanya kepala desa itu dengan suara pelan dan berat. Menunjukkan kewibawaannya.
"Maafkan kami jika kedatangan ini mengganggu isti-rahat Bapak!"
Ucap lelaki berkumis melintang yang ternyata bernama Kundala dengan sikap hormat.
Hal itu sesuai dengan perkiraan Bong Mini terhadap kepala desa itu kalau ia memang bukan orang sembarangan.
Buktinya, walaupun sudah tua dengan kulit wajah yang keriput, lelaki muda dan gagah perkasa seperti Kundala begitu hormat kepadanya.
"Katakan saja maksud kedatanganmu,"
Pinta kepala desa yang malam itu hanya mengenakan piyama war-na merah dengan kain sarung yang berwarna merah pula. Sedangkan pinggangnya dibelit sabuk berwarna hijau muda yang lebarnya sekitar lima belas sentimeter.
"Begini, Bapak Kepala Desa! Kami datang ke sini membawa seorang gadis asing yang sempat kami curigai!"
Lapor Kundala.
"Hm...,"
Terdengar gumam kepala desa itu. Kemu-dian dia keluar pintu dua langkah lalu mengamati wa-jah Bong Mini dengan tajam. Bong Mini menyambut tatapannya dengan meng-anggukkan kepala seraya tersenyum, sebagai tanda hormat.
"Ayo, silakan duduk,"
Ucap kepala desa itu yang ternyata mempunyai sikap ramah terhadap Bong Mini.
Kemudian dia duduk di atas dipan terlebih dahulu.
Setelah itu, Bong Mini dan keempat lelaki yang memba-wanya menyusul.
Beberapa saat suasana hening.
Kepala desa itu te-rus mengamati wajah Bong Mini lebih lama lagi.
Hatinya menduga kalau gadis bertubuh mungil yang masih muda belia itu bukan seorang gadis lemah seperti kebanyakan gadis di desa itu.
Penilaian itu berdasarkan sebilah pedang yang tersandang di balik punggung Bong Mini, serta keberaniannya yang berjalan sendiri di desa yang akhir-akhir ini rawan dari bermacam kejahatan.
Terutama pembunuhan terhadap anak-anak muda dan penculikan bayi.
"Tampaknya kau seorang gadis keturunan Tiong-hoa!"
Ucap kepala desa itu menebak, karena melihat sepasang mata Bong Mini yang sipit.
"Aku memang dari Tiongkok. Tepatnya dari negeri Manchuria!"
Sahut Bong Mini menyebutkan nama ne-geri asalnya.
"Baru pertama kali menginjak ke desa ini?"
Tanya kepala desa lagi dengan mata yang tidak berkedip memandang wajah Bong Mini.
"Begitulah, Bapak Kepala Desa!"
Sahut Bong Mini seraya tersenyum ramah.
"Apa tujuanmu?"
Tanya kepala desa.
"Aku tidak punya tujuan apa-apa. Kecuali melihat-lihat keadaan kampung ini,"
Jawab Bong Mini jujur. Lelaki tua itu tampak mengangguk-angguk sambil meneruskan pertanyaannya.
"Siapa namamu?"
"Namaku Bong Mini!"
Sahut Bong Mini singkat. Mendengar nama itu disebutkan, kepala desa terce-kat kaget. Begitu pula dengan keempat lelaki yang membawa Bong Mini ke rumah kepala desa itu.
"Maafkan empat utusanku yang lancang telah men-curigaimu!"
Kata kepala desa.
Sikapnya yang tadi tegang berwibawa, kini tampak lunak dan sedikit meng-hormati Bong Mini.
Sebab ia tahu kalau gadis yang duduk di hadapannya itu seorang anak raja yang na-manya tersohor di negeri Selat Malaka.
Memang benar! Selama Bong Mini berpetualang dan membasmi kejahatan di setiap desa yang dilaluinya, namanya mulai dikenal oleh seluruh rakyat negeri Selat Malaka, terutama oleh para penduduk desa yang merasa telah ditolong oleh Bong Mini.
Namun demi-kian, tidak membuat Bong Mini tinggi hati dan mele-cehkan orang lain yang di bawah kepandaiannya.
Bah-kan ketika mendengar ucapan kepala desa itu, Bong Mini menjawab dengan bibir tersenyum.
"Tidak ada kesalahan yang diperbuat oleh keempat utusan Bapak. Malah aku bangga atas kewaspadaan mereka terhadap semua orang asing yang memasuki wilayah Desa Bun-cit ini!"
Kepala Desa Buncit dan keempat orang yang tadi mencurigai Bong Mini tampak terdiam. Mereka merasa malu terhadap kebesaran jiwa dalam diri gadis bertubuh mungil itu.
"Kalau boleh tahu, siapa nama Bapak dan keempat utusan Bapak ini?"
Kini Bong Mini yang balik bertanya.
"Namaku Ki Maja. Dan keempat orang ini masing-masing bernama Kundala, Bergajul, Harewong dan Kumaha!"
Jawab kepala desa itu memperkenalkan na-manya dan nama keempat utusannya. Bong Mini mengangguk setelah mendengar dan me-ngetahui nama-nama orang di sekelilingnya.
"Apa ada sesuatu yang bisa Bapak jelaskan kepada-ku?"
"Maksudmu?"
Tanya Ki Maja dengan kening berke-rut "Sejak pertama aku dibuntuti oleh keempat kepercayaan Bapak ini, aku mulai menduga kalau di desa ini telah terjadi sesuatu. Apa memang begitu?"
Tanya Bong Mini.
"Apa yang kau duga memang benar. Dalam bebe-rapa minggu ini, wargaku mengalami keresahan yang teramat sangat, baik siang atau malam,"
Tutur Ki Maja menjelaskan. Bong Mini menautkan alis rapat-rapat. Matanya memandang wajah lelaki tua itu sungguh-sungguh.
"Apa penyebabnya, Pak?"
Tanya Bong Mini ingin ta-hu.
"Selain perampokan dan pemerkosaan yang dilaku-kan oleh orang-orang Perguruan Topeng Hitam di desa ini, juga ada pembunuhan terhadap para pemuda dan penculikan bayi. Pembunuhan itu dilakukan secara keji dengan menggigit leher korban dan mengisap da-rahnya. Sedangkan terhadap bayi, si pelaku berbuat lebih keji lagi. Dia mengisap darah, sumsum dan otak si bayi sekaligus, setelah itu membuangnya begitu sa-ja,"
Cerita Ki Maja, mengenai penyebab keresahan penduduk Desa Buncit yang dipimpinnya itu. Bong Mini bergidik seram mendengar kejadian yang mengerikan itu. Namun begitu, hatinya masih ingin mendengar cerita Ki Maja lebih lanjut.
"Apakah ada warga yang mengetahui pelakunya?"
Tanya Bong Mini lagi.
"Inilah yang menyulitkan kami untuk melacaknya. Namun yang pasti, kejahatan itu dilakukan oleh seo-rang wanita cantik!"
Jawab Ki Maja dengan wajah yang menunjukkan kesedihan mendalam.
Bong Mini mengangguk-angguk sambil berpikir.
Na-mun sebelum berpikir lebih jauh, seorang lelaki setengah baya bercelana dan berbaju pangsi serta kain sarung yang tersampir di pundaknya datang tergopoh-gopoh ke arah mereka.
"Gawat..., gawat, Pak Kepala Desa!"
Seru lelaki itu dengan suara tersendat-sendat. Ki Maja segera bangkit begitu melihat kedatangan lelaki berselendang sarung itu, dan dia langsung bertanya.
"Ada apa, Kumang?"
"Ada perampok di ujung jalan ini!"
Kata lelaki yang bernama Kumang, lelaki bertubuh kurus dengan umur sekitar lima puluh tahun.
"Di rumah siapa?"
Tanya Ki Maja. Karena di ujung jalan yang dimaksud Pak Kumang banyak terdapat rumah penduduk.
"Di rumah Pak Jajang!"
Pak Kumang menjelaskan.
"Bangsat! Mereka pasti orang-orang Perguruan To-peng Hitam yang mulai melaksanakan aksinya kemba-li!"
Geram Ki Maja sambil terus masuk ke dalam untuk mengambil goloknya.
Setelah itu, ia melesat ke luar, diikuti empat orang kepercayaannya.
Sedangkan Bong Mini secara diam-diam membuntuti lari mereka.
*** Malam itu udara terasa dingin menusuk.
Apalagi angin bertiup sepoi-sepoi basah, membuat para pen-duduk Desa Buncit semakin malas keluar rumah.
Tidak lama berlari, Ki Maja dan keempat orang ke-percayaannya sampai di rumah yang ditunjuk Pak Kumang.
Dua orang di antara mereka langsung men-dobrak pintu rumah.
Di sana, mereka melihat Pak Ja-jang tengah duduk di kursi dalam keadaan terikat.
Mulut tampak disumbat sepotong kain.
Sementara itu istrinya sedang berusaha melepaskan diri dari cengke-raman orang-orang bertopeng hitam yang hendak menggagahinya.
"Kalian anjing-anjing lapar yang perlu diberi pelajaran!"
Geram Ki Maja menyaksikan peristiwa itu.
Mendengar bentakan itu, orang-orang bertopeng ta-di terkejut.
Tanpa banyak cakap lagi, mereka melesat ke luar disertai serangan ke arah Ki Maja dan empat orang kepercayaannya.
Sedangkan lelaki yang bernama Pak Kumang sudah sejak tadi bersembunyi di balik sebatang pohon.
Dia tidak berani turun ke dalam kancah pertempuran, karena tidak memiliki kepandaian silat.
Namun begitu, ia tetap berusaha membantu perjuangan kepala desanya dengan cara memata-matai dan melaporkan setiap ke-jadian yang dilihatnya seperti yang dilakukannya tadi.
"Hiyaaat!"
Enam lelaki bertopeng segera melancarkan sera-ngan yang kemudian disambut dengan tangkisan dan pukulan oleh Ki Maja serta empat orang kepercayaan-nya.
Des! Des! Des! Tiga di antara enam orang bertopeng tersungkur ja-tuh ketika mendapat pukulan dari lawan-lawannya.
Namun mereka segera bangkit kembali dengan menca-but goloknya masing-masing.
Sret! Sret! Sret! Dari cara mencabut golok terlihat kalau mereka cu-kup pandai dalam memainkan senjata itu.
Tampak pu-la dari serangan mereka yang begitu cepat dan gencar ke arah Ki Maja dan empat orang kepercayaannya.
Wut! Wut! Wut! Golok yang berputar di tangan keenam perampok bertopeng itu menimbulkan deru yang demikian keras dan bergulung-gulung.
Saat golok mereka masih ber-putar seperti baling-baling kapal, keenam orang berto-peng tadi melakukan gerakan melompat ke depan se-tinggi satu meter dan langsung menyerang lawan.
Trang! Trang! Trang! Benturan senjata dari arah berlawanan menimbul-kan suara yang amat keras.
Membuat tangan kedua pihak tergetar hebat, juga menimbulkan rasa perih di telapak tangan mereka.
Sementara itu, di bawah sebuah pohon yang tak jauh dari kancah pertarungan, Bong Mini terus meng-awasi jalannya pertempuran.
Ia kagum pada keberani-an dan ketangkasan Ki Maja serta empat orang keper-cayaannya dalam menghadapi lawan.
"Hiaaat!"
Crokkk! "Aaakh!"
Sabetan golok Ki Maja membabat leher seorang la-wan.
Seketika itu juga terdengar pekik mengerikan dari mulut lawan.
Disusul dengan robohnya tubuh orang bertopeng itu dengan leher hampir putus.
Para penduduk desa yang semula hanya berani mengintip dari rumah masing-masing, kini mulai bera-ni keluar untuk menyaksikan pertarungan lebih dekat.
Bahkan sebagian di antara mereka turut ambil bagian dengan kayu pemukul dan golok terhunus di tangan masing-masing.
Hingga tak lama kemudian pertaru-ngan pun berakhir dengan tewasnya semua perampok anak buah Perguruan Topeng Hitam.
Setelah para perampok bertopeng tewas bermandi-kan darah, Ki Maja segera masuk ke dalam dan mem-bebaskan Pak Jajang.
Sedangkan di atas dipan, istri Pak Jajang tergolek dalam keadaan tak sadarkan diri.
Dia pingsan karena kehabisan tenaga dan rasa takut saat berada dalam cengkeraman orang-orang berto-peng tadi.
"Terima kasih! Terima kasih atas pertolongan Ba-pak!"
Ucap Pak Jajang, merasa dirinya terbebas dari marabahaya. Ki Maja hanya membalas ucapan itu dengan meng-anggukkan kepala.
"Tenangkanlah dirimu dan jagalah istrimu itu!"
Kata Ki Maja.
"Apakah dia tidak apa-apa, Pak?"
Tanya Pak Jajang dengan wajah cemas saat melihat istrinya tergolek pingsan.
"Tidak apa-apa. Istrimu hanya kehabisan tenaga. Nanti pun akan sadar sendiri,"
Sahut Ki Maja. Kemu-dian kakinya melangkah ke luar menemani para war-ganya yang masih berkumpul di tempat kejadian itu.
"Jagalah keamanan rumah kalian masing-masing. Jangan cepat tidur. Kalau ada di antara kalian yang melihat perampokan di salah satu tetangga, segera laporkan seperti yang dilakukan oleh Pak Kumang. Ka-rena bantuan Pak Kumang, aku dan pengikutku bisa datang ke sini dan menggagalkan perampokan serta perkosaan yang hampir saja menimpa keluarga Pak Jajang!"
Kata Ki Maja mengingatkan warganya.
Para penduduk yang berkerumun di halaman ru-mah Pak Jajang mengangguk-angguk.
Setelah itu satu persatu mereka meninggalkan tempat itu.
Setelah keadaan sekeliling sepi, barulah Ki Maja dan empat orang kepercayaannya kembali ke tempat mereka.
Diikuti oleh Bong Mini.
"Itulah salah satu contoh yang membuat warga pen-duduk Desa Buncit ini resah. Mungkin setelah ini ada lagi perampokan-perampokan yang terjadi di tempat lain,"
Ucap Ki Maja menjelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk dengan pikiran yang terus berjalan, membayangkan keresahan yang melanda warga Desa Buncit.
"Kalau kau tidak keberatan, sudilah kiranya kau menginap beberapa hari di rumahku. Aku yakin, seba-gai putri raja yang sering membela rakyat, kau pasti tidak akan membiarkan kejahatan yang terjadi di de-panmu,"
Kata Ki Maja lagi setelah mereka sampai di halaman rumah kepala desa itu.
"Terima kasih atas tawaran Bapak yang menye-nangkan itu,"
Sahut Bong Mini ramah.
"Ketika baru sampai di desa ini, aku bermaksud hendak menginap di salah satu rumah penduduk. Tapi belum sempat mendatanginya, keempat utusan Bapak keburu men-cegat dan menggiringku ke sini,"
Lanjut Bong Mini. Empat orang kepercayaan kepala desa itu tampak tersenyum malu.
"Tapi ada untungnya kalian berempat menggiringku ke sini. Kalau tidak, tentu aku tak mungkin berkenalan dengan Ki Maja dan menginap di rumahnya!"
Tam-bah Bong Mini, berusaha menutupi rasa malu mereka.
Saat mereka hendak memasuki rumah Ki Maja, ti-ba-tiba terdengar tangis bayi yang menyayat hati.
Di-tingkahi oleh lengkingan seorang perempuan yang berteriak meminta pertolongan.
Suara itu terdengar sayup-sayup tertiup angin.
Pertanda tempatnya agak jauh dari mereka.
Namun begitu, Bong Mini, Ki Maja serta empat orang kepercayaannya segera melesat ke arah utara, asal suara itu.
Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di tem-pat kejadian.
Di sana, mereka melihat puluhan penduduk desa berkerumun di salah satu rumah.
Ki Maja dan Bong Mini segera menyeruak kerumu-nan orang itu dan masuk ke dalam rumah yang dike-rumuni.
Di sana, mereka melihat seorang perempuan muda menangis terisak-isak dalam dekapan seorang lelaki muda yang diperkirakan suaminya.
"Apa yang telah terjadi di sini?"
Tanya Ki Maja keheranan. Mendapat teguran itu, lelaki muda yang berumur ti-ga puluh tahun tadi menoleh ke arah Ki Maja. Kemu-dian ia melepaskan pelukannya dan berdiri di hadapan Ki Maja dengan sikap penuh permohonan.
"Bapak Kepala Desa, tolonglah kami, Pak!"
Ucap le-laki muda itu dengan wajah menunjukkan kecemasan.
"Tolonglah bayi kami, Pak!"
"Ada apa dengan bayimu?"
Tanya Ki Maja.
"Bayi kami diculik oleh seorang perempuan cantik!"
Lelaki muda itu menjelaskan. Ki Maja dan Bong Mini terkejut bukan main. Mereka saling bertatapan dengan wajah tegang.
"Ke mana perempuan itu lari?"
Tanya Bong Mini.
"Ke..., ke arah sana, Non!"
Sahut lelaki muda itu pa-nik seraya menunjuk ke arah kanan jalan di depan rumahnya.
Tanpa membuang waktu lagi, tubuh Bong Mini se-gera melesat ke arah jalan yang ditunjuk oleh lelaki muda tadi.
Diikuti oleh Ki Maja dan empat orang kepercayaannya.
*** Malam semakin larut.
Udara dingin semakin menu-suk sampai ke tulang sumsum.
Ketika Bong Mini, Ki Maja serta empat orang keper-cayaannya sampai di sebuah tempat yang tak jauh dari tempat kejadian tadi, tiba-tiba mata mereka melihat sesosok bayangan tengah berdiri di balik semak-semak.
Settt! Bong Mini meloncat ke depan dengan ketinggian se-kitar dua meter.
Ketika tubuh semakin dekat dengan orang yang dilihatnya, kaki kanan Bong Mini bergerak menendang punggung orang itu.
Dukkk! Karena tidak menyadari serangan mendadak, tubuh orang itu langsung terhuyung ke depan.
Namun de-ngan cepat dikerahkan ilmu peringan tubuhnya agar dapat menahan diri.
Sehingga tubuh yang terhuyung itu tidak sempat jatuh.
Melainkan berbalik arah lalu berdiri memandang orang yang menyerangnya.
Tapi karena suasana di sekitar gelap, orang tadi hanya dapat melihat tubuh Bong Mini samar-samar.
Begitu pu-la dengan Bong Mini dan Ki Maja serta empat orang kepercayaannya yang baru sampai di tempat itu.
"Siapa kalian! Mengapa menyerangku secara tiba-tiba!"
Terdengar jelas suara geram perempuan itu. Sedangkan kedua tangannya tampak memeluk seorang bayi.
"Perempuan iblis! Kembalikan bayi itu!"
Bentak Bong Mini. Matanya mencorong ke arah wanita di ha-dapannya. Mendapat bentakan itu, wanita tadi tertawa ngikik. Suaranya mirip kuntilanak. Membuat suasana malam di sekitar tempat itu terasa menakutkan.
"Kalau memang itu yang kau minta, kenapa harus melakukan serangan segala!"
Kata perempuan itu ke-mudian.
"Nih, ambillah!"
Lanjut perempuan itu sembari melemparkan bayi yang digendongnya ke arah Bong Mini. Bong Mini sangat terkejut melihat perempuan itu seenaknya melemparkan bayi. Dengan cepat ia me-nangkapnya.
"Heppp!"
Bong Mini semakin terkejut ketika melihat bayi yang sudah berada di tangannya. Bayi itu ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Di leher dan ubun-ubunnya terlihat luka gigitan. Rupanya perempuan itu telah mengisap darah dan otaknya! "Iblis terkutuk!"
Geram Bong Mini seraya meman-dang ke depan kembali.
Tetapi matanya tak melihat perempuan tadi.
Rupanya perempuan pengisap darah itu telah menghilang ketika Bong Mini menangkap mayat bayi tadi.
Dengan kemarahan yang memuncak, lalu Bong Mini dan Ki Maja serta empat orang kepercayaannya segera melesat, mengejar perempuan pengisap darah tadi.
Namun usaha mereka sia-sia.
Mereka kehilangan jejak.
Akhirnya mereka kembali ke tempat semula dengan membawa bayi yang sudah tidak bernyawa lagi.
Kedua orang-tua bayi itu menangis meraung-raung ketika Bong Mini menyerahkan bayi mereka.
Malah ibunya jatuh pingsan saat melihat luka pada ubun-ubun anaknya yang baru berumur empat puluh hari itu.
"Aku akan berusaha mencari wanita itu!"
Janji Bong Mini kepada orang-tua lelaki bayi itu.
Kemudian ia bersama Ki Maja dan pengikutnya kembali ke rumah Ki Maja dengan membawa sejuta kekesalan karena tak berhasil membekuk perempuan yang selama ini mem-buat onar di Desa Buncit.
*** Siang itu matahari gencar memancarkan panasnya.
Seakan hendak membakar seluruh permukaan bumi.
Sehingga banyak makhluk hidup yang tak kuasa me-nahan terik matahari yang menyengat, membakar tu-buh.
Seorang perempuan tampak berjalan sendiri di le-reng Bukit Buncit.
Sebuah bukit kecil yang letaknya masih berada dalam wilayah Desa Buncit.
Sehingga namanya pun sama dengan desa tersebut.
Wanita yang mengayunkan langkah di lereng bukit itu berwajah cantik.
Walaupun wanita itu sudah berumur tua, sekitar lima puluh tahun, namun wajahnya memancarkan daya tarik tersendiri.
Bahkan keriput-keriput kulit hampir tak terlihat pada wajahnya.
Wanita itu berjalan gontai seperti tak bertenaga.
Sehingga pinggulnya yang padat berisi bergoyang ke kiri kanan, mengundang gairah lelaki yang melihatnya.
Rambutnya yang panjang dan lebat digelung sedikit, sehingga bagian bawahnya tergerai sebatas pinggul.
Kuku tangannya yang meruncing seperti kuku kucing dipoles oleh warna kuning daun pacar, sehingga terlihat lebih manis dan menarik.
Pakaian yang dikena-kannya pun indah, tipis dan ketat.
Seakan-akan se-ngaja memperlihatkan lekuk tubuhnya yang menggai-rahkan! Sedangkan pada pinggangnya membelit selen-dang hitam panjang, membuat penampilan wanita itu benar-benar menarik.
Wanita cantik yang tengah berjalan itu tidak lain Nyi Genit.
Seorang tokoh sesat dari Perguruan Topeng Hitam.
Melihat keadaannya saat itu, orang tidak akan mengira kalau dia tokoh Perguruan Topeng Hitam.
Selain penduduk negeri itu tidak tahu bagaimana rupa Nyi Genit, murid-murid Perguruan Topeng Hitam juga mengenal Nyi Genit hanya sebagai seorang perempuan tua berumur sekitar enam puluh tahun, berkeriput dan tidak menarik.
Bahkan ketika meninggalkan Bukit Setan menuju Desa Larangan, tempat tinggalnya dulu, wajah Nyi Genit mirip seorang nenek sihir yang jahat dan menyeramkan! Dia mengunjungi Desa Larangan dengan tujuan hendak balas dendam terhadap pendu-duk yang telah menelanjangi dan mengaraknya keliling kampung saat tertangkap basah berbuat mesum dengan Brata yang sekarang bernama Kidarga.
Namun un-tuk membalas sakit hatinya kepada mantan suaminya belum kesampaian.
Ia tidak tahu kalau suaminya yang bernama Sunggih itu telah pindah ke Gunung Muda dan mengganti namanya dengan Kanjeng Rahmat Suci.
Sekarang, dalam perjalanannya menuju Bukit Se-tan, wajah Nyi Genit telah berubah muda dan cantik berseri dengan tubuh yang menggairahkan! Seperti telah diceritakan sebelumnya, bahwa ia sa-ngat gemar minum darah pemuda berumur sekitar dua puluh tahun.
Kegemaran itu sebenarnya merupakan satu syarat untuk menambah kesaktiannya.
Namun ji-ka ditambah dengan mengisap darah, otak, dan sum-sum seorang bayi lelaki berumur di bawah empat pu-luh hari, maka dalam waktu sekejap penampilannya akan berubah muda kembali seperti seorang wanita yang berumur dua puluh tahunan.
Semua persyaratan itu telah ia dapatkan ketika ka-kinya menjejak tanah Desa Larangan, tempat kelahi-rannya.
Sebuah desa yang terletak di kawasan Pulau Jawa.
Di sana, selain melakukan pembantaian sebagai tindakan balas dendam, ia pun mencari para lelaki untuk diisap darah, otak dan sumsumnya.
Kebetulan di desa itu banyak pemuda tanggung berumur belasan tahun.
Sehingga dengan mudah ia mendapatkan sega-la keinginannya itu.
Sekarang, dalam perjalanannya menuju Bukit Se-tan, wajah Nyi Genit yang telah berubah muda dan cantik itu tampak berseri-seri.
Karena di Desa Buncit ia sempat mendapatkan mangsa, empat bayi berumur di bawah empat puluh hari dan pemuda berumur dua puluh tahun sebanyak empat orang.
Sehingga tidak heran jika penampilannya kali ini semakin muda menggairahkan! Saat ia berjalan tenang, tiba-tiba ia terkejut dan segera menghentikan langkahnya.
Namun beberapa saat kemudian, bibirnya yang merah menggoda itu terse-nyum manis.
Matanya berbinar-binar penuh kegaira-han saat melihat enam lelaki muda berdiri mengha-dangnya dengan sikap gagah.
Gerak matanya terlihat jalang, membayangkan kepuasan dan kekaguman.
Be-gitulah sikap Nyi Genit jika berhadapan dengan pemu-da tampan yang usianya di bawah tiga puluhan.
Wani-ta gila pria ini selalu berdebar tegang setiap melihat pemuda gagah dan tampan.
Seperti memandang buah yang ranum mengundang selera.
"Siapa kalian berenam? Kenapa menghadangku? Apakah memang sengaja hendak berjumpa dan berke-nalan denganku?"
Tanya Nyi Genit dengan lenggak-lenggok pinggulnya yang dibuat-buat, agar dapat me-mancing gairah keenam lelaki muda yang mengha-dangnya itu.
"Iblis perempuan tua yang tak tahu malu! Masih suka mengumbar nafsu!"
Ejek seorang pemuda yang berdiri paling depan.
Rupanya, dialah yang menjadi pemimpin dari kelima pemuda lain.
Enam lelaki itu rata-rata berumur dua puluh lima tahun.
Tubuhnya gagah, berpakaian yang menunjuk-kan kalau mereka ahli silat.
Gerak-gerik mereka yang ringan cekatan membuktikan pula kalau mereka bukan orang sembarangan.
Wanita yang bernama Nyi Genit itu memainkan bola matanya nakal, memandangi wajah keenam pemuda itu secara bergantian.
Dan sambil mengulum senyum serta tubuh yang masih bergerak genit, ia berkata.
"Wah wah wah..., belum saling kenal sudah main ben-tak dan marah saja,"
Nyi Genit mencoba bersikap ra-mah agar dapat membujuk keenam pemuda yang menggiurkan hatinya itu.
"Ketahuilah, Wanita Iblis! Kami berenam adalah orang yang menamakan diri Enam Pendekar dari Desa Buncit!"
Kata seorang yang menjadi Ketua Enam Pen-dekar dari Desa Buncit itu.
Dia bernama Galih.
Se-dangkan lima teman yang dipimpinnya masing-masing bernama Ujun, Dadam, Junet, Juling dan Juher.
Pa-kaian yang mereka kenakan sama.
Baju koko berwar-na putih dengan celana pangsi berwarna hitam.
Dibelit oleh kain sarung di pinggangnya, seolah-olah kain sarung itu dijadikan ikat pinggang untuk menyelipkan golok mereka masing-masing.
Mereka baru saja kem-bali setelah melakukan pelacakan ke hutan-hutan dan bukit-bukit mencari wanita pengisap darah.
Menurut mereka, orang yang melakukan tindakan keji itu bi-asanya tinggal di tempat-tempat sepi seperti hutan dan pegunungan.
Karena itu mereka tidak tahu tentang peristiwa pengisapan darah yang terjadi semalam.
Kini, secara kebetulan mereka berpapasan dengan wanita cantik yang mereka curigai.
"Ck ck ck!"
Bibir wanita muda itu berdecak-decak sambil tak henti-hentinya tersenyum kagum.
"Kalau begitu, kalian orang-orang kepercayaan penduduk de-sa ini!"
"Begitulah! Dan aku peringatkan kepadamu untuk meninggalkan tempat ini!"
Geram Galih dengan sorot mata tajam penuh amarah.
"Mengapa?"
Tanya Nyi Genit terkejut.
"Karena kau telah mengganggu ketenteraman desa dengan membunuh para bayi serta anak-anak muda!"
Kata Galih, langsung menuduh. Karena pada setiap kejadian, ia selalu menanyakan orang-tua si bayi atau saksi mengenai ciri-ciri wanita pengisap darah. Dan ci-ri-ciri itu mirip dengan wanita yang dihadapinya sekarang ini.
"Aiiih, kalian salah duga. Aku adalah wanita baik-baik yang baru menginjakkan kaki di bukit ini!"
Elak Nyi Genit.
"Jangan coba-coba mengelak, Iblis Pelacur! Aku ta-hu perbuatanmu!"
Geram Galih. Menyadari perbuatannya diketahui oleh keenam le-laki itu, Nyi Genit pun segera mengambil sikap.
"Kalau aku tidak mau meninggalkan tempat ini, ka-lian mau apa?"
"Aku akan mencincangmu!"
"Hi hi hi..., boleh kalau kalian bisa melakukannya!"
Tantang Nyi Genit di sela tawanya yang berderai genit.
Sret sret sret! Enam Pendekar dari Desa Buncit segera mencabut golok besar ketika mendengar ucapan Nyi Genit yang mengandung tantangan itu.
Keenam pendekar itu me-mang merupakan ahli-ahli bermain golok dengan jurus andalan yang diberi nama 'Golok Pembelah Bumi'.
Selain itu mereka juga sangat mahir dalam ilmu menotok jalan darah yang diberi nama 'Semut Gigit Kuping Gajah'.
Semacam ilmu menotok yang menggunakan te-lunjuk dan ibu jari.
Ketika mendaratkan kedua jari itu, mereka akan mencubit kecil hingga terasa sakit seperti gigitan semut.
Selanjutnya orang yang terkena totokan akan menggelepar-gelepar dan pingsan.
Itulah sekilas mengenai ilmu-ilmu dahsyat yang dimiliki Enam Pendekar dari Desa Buncit.
"Siaaat...!"
Wut wut wut! Keenam pendekar itu langsung menghujamkan go-loknya ke arah leher dan kaki wanita cantik itu.
"Hi hi hi..., kalian memang tangkas-tangkas dalam bermain golok! Tentu kalian pun akan lebih tangkas dan bergairah lagi jika bermain asmara!"
Ledek Nyi Genit sambil mengelak menghindari serangan.
Saat me-ngelak, ia mengeluarkan sebuah tongkat hitam yang panjangnya sekitar setengah meter dari balik selen-dang hitam yang membelit pinggangnya.
Ini merupa-kan senjata istimewa yang ia miliki.
Terbuat dari sepotong ranting kayu jati yang ukuran bulatnya sekitar lima sentimeter.
Namun demikian senjata itu bukan tongkat sembarangan seperti kebanyakan tongkat lain.
Tongkat hitam yang dimiliki Nyi Genit ini mengandung kekuatan yang luar biasa.
Karena dipadukan dengan ilmu tongkat 'Karang Setan'.
Trang trang trang...! Bunga api berpijar-pijar ketika golok lawan-lawan-nya tertangkis oleh tongkat hitam Nyi Genit.
Kemudian tongkat mini berwarna hitam itu diputar-putar dengan kecepatan yang sulit dijangkau pandangan manusia biasa.
Sehingga yang terlihat hanya kilatan-kilatan dan angin yang bergulung-gulung di sekitarnya.
Membuat keenam pendekar itu mendapat kesulitan untuk mela-kukan serangan.
"Hey, kenapa terdiam? Lelah? Wah, payah! Bagai-mana nanti kalau aku ajak berkencan!"
Ujar Nyi Genit, ketika melihat penyerangnya kebingungan mencari kesempatan untuk menyerang.
"Perempuan rendah!"
"Hina!"
"Pelacur!"
"Iblis jalang!"
Keenam pemuda itu marah sekali mendengar kata-kata Nyi Genit yang kotor tadi.
Kemudian seorang dari mereka melompat ke depan setinggi dua meter dengan golok yang menyambar-nyambar dahsyat, namun tiba-tiba saja Nyi Genit membuka gelungan rambutnya yang ternyata amat panjang sampai sebatas mata kaki.
Adapun keistimewaan rambutnya, bukan cuma karena berwarna hitam, tebal dan menyebarkan aroma yang harum memikat, tetapi juga dapat dipergunakan seba-gai senjata yang amat ampuh.
Siuttt! Wut! Nyi Genit menyabetkan rambutnya ke arah Ujun, seorang dari keenam pendekar dari Desa Buncit yang mengeroyoknya.
Kemudian rambut berbentuk cambuk itu menggulung golok Ujun.
Disusul dengan hantaman tangan kiri Nyi Genit pada tengkuk orang itu dengan gerakan membacok.
Duggg! "Aaakh!"
Ujun merintih sejenak.
Lalu roboh tak dapat berdiri kembali.
Sebab pukulan membacok dari tangan Nyi Genit itu telah dialiri totokan istimewa yang disebut ilmu 'Jerat Asmara'.
Sehingga tubuh itu langsung lumpuh, hanya mata dan telinganya saja yang masih dapat melihat dan mendengar.
Lima orang lain terkejut bukan main ketika melihat temannya terkulai tanpa daya.
Mereka memutar golok-nya lebih gencar lagi.
Bahkan tangan kiri mereka turut membantu dengan serangan totokan 'Semut Gigit Kuping Gajah' yang amat ampuh.
Namun lawan mereka bukan perempuan sembara-ngan.
Dia memiliki ilmu kesaktian yang diberi nama ilmu 'Jayadiguna'.
Sehingga dalam menghadapi sera-ngan itu ia hanya terkikik mempermainkan lima pe-ngeroyoknya.
Trang trang trang! Setiap golok yang menyambar ke arahnya, selalu dapat ditangkis dengan tongkat hitamnya yang beru-kuran setengah meter.
Sedangkan rambutnya yang panjang tergerai seperti mengandung kekuatan gaib yang bisa menyambar-nyambar ganas.
"Matilah kau, Iblis!"
Seru Galih sambil mengirim sebuah totokan 'Semut Gigit Kuping Gajah'.
Cep! Ibu jari dan telunjuk Galih yang dipergunakan un-tuk menotok tepat mengenai buah dada Nyi Genit se-belah kiri yang besar.
Namun ketika ujung jarinya menyentuh dan mencubit buah dada besar itu, ia hanya merasakan sesuatu yang kenyal dan hangat.
Sedang-kan totokan jarinya sendiri tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap lawannya itu.
Malah sambil tersenyum genit wanita yang menjadi tokoh Perguruan To-peng Hitam itu pun berkata.
"Wih, nafsu amat kamu! Belum apa-apa sudah main colek dan cubit dada saja!"
Muka Galih, Ketua Enam Pendekar dari Desa Bun-cit berubah merah mendengar kata-kata yang dilon-tarkan mulut Nyi Genit tadi.
Ia merasa malu disangka mencolek dada perempuan itu.
Tapi hatinya sendiri heran, mengapa ilmu totok yang dimilikinya tidak mem-berikan reaksi apa-apa terhadap wanita cantik yang genit itu? Padahal dia dapat melihat dan merasakan dengan jelas kalau jarinya tadi menotok jalan darah perempuan centil itu di buah dadanya yang besar.
Dengan hati yang dihinggapi rasa penasaran, ia kem-bali menyerang bersama empat temannya.
Di lain pihak, Nyi Gehit sudah kehilangan kesaba-rannya.
Ia sudah tidak ingin berlama-lama melakukan pertempuran dengan pemuda-pemuda yang mengundang birahinya itu.
Maka lewat kesaktian yang dimiliki, rambutnya yang panjang dan tebal segera bergerak mengibas-ngibas bagai cemeti yang dipergunakan un-tuk memacu kuda.
Wut..! Tarrr! Wut...! Tar tar tarrr...! Empat dari lima pemuda yang menyerangnya roboh terkena sabetan ujung rambut.
Mereka tak dapat bangkit lagi.
Kecuali memandang dan mendengar se-perti yang dialami lelaki pertama.
Ujun kaget melihat lima temannya roboh tanpa daya.
Namun demikian, ia tidak merasa gentar sedikit pun.
Malah dengan darah bergolak serta murka yang meluap-luap, ia memaki wanita cantik di hadapannya.
"Perempuan iblis hina! Aku tidak akan pergi sebelum dapat menghabisi nyawamu dan membeset-beset wa-jahmu yang mengundang malapetaka itu!"
"Hi hi hi! Kau tak akan berkata begitu bila sudah merasakan kehangatan bibirku!"
Nyi Genit tertawa genit. Kemudian ia mengerahkan ilmu 'Tiupan Iblis' dari mulutnya.
"Fuuuh!"
Bibir yang merah tebal dan merangsang itu berge-rak berbentuk huruf O. Kemudian dari mulutnya itu berhembus angin dahsyat ke arah Ujun. Wesss...! "Aaakh!"
Ujun terpekik kaget mendapat dorongan angin yang demikian keras.
Tubuhnya terpental ke belakang se-perti dihantam sebuah batu besar.
Sebelum ia sempat bangkit, ujung rambut Nyi Genit telah menyambar dan membelit leher pemuda itu.
Pemuda itu berusaha melepaskan jeratan rambut Nyi Genit yang melilit di lehernya dengan kedua ta-ngan.
Namun ketika wanita cantik itu menggerakkan kepalanya, rambut itu terpecah menjadi lilitan-lilitan kecil.
Sebagian membelit leher dan sebagian lagi membelit pergelangan tangan pemuda itu, hingga pemuda itu tidak dapat bergerak sama sekali.
"Nah, kesinilah pemuda tampan! Nikmati kehanga-tan bibirku ini. Agar mulutmu tidak memaki-maki diri-ku!"
Ucap Nyi Genit dengan sorot mata yang berbinarbinar, mengandung birahi.
Seolah-olah hendak menci-umi dan melumat pemuda itu dengan segera.
Pemuda yang terbelit rambut Nyi Genit benar-benar tak berdaya.
Ia hanya dapat memandang dan berkedip ke arah lima temannya yang juga tengah tergeletak tanpa dapat menggerakkan tubuhnya.
Libatan rambut Nyi Genit semakin erat pada tubuh Ujun.
Dan saking eratnya, pemuda itu merasa sesak untuk bernapas.
Sedangkan tubuhnya sendiri semakin dekat dengan tubuh Nyi Genit.
Ketika tubuh Ujun menempel dengan tubuh Nyi Genit, hidungnya mencium aroma harum yang ditim-bulkan oleh rambut panjang wanita tersebut.
Hingga napasnya yang sesak perlahan-lahan lega kembali.
Bahkan menimbulkan rangsangan yang kuat pada da-rah pemuda itu.
Dengan sorot mata penuh nafsu birahi, wanita can-tik itu segera mendekap tubuh pemuda itu lebih rapat lagi ke tubuhnya dengan kedua tangan.
Kemudian bibirnya yang tebal dan merah terbuka lebar dengan lidah yang panjang menjulur ke arah pemuda di depan matanya, siap menjilat dan melumat bibir lawan yang hanya mampu mengedip-ngedipkan mata.
Melihat keadaan Ujun, lima temannya tampak me-mandang ngeri.
Mereka sudah dapat menduga, apa yang akan dilakukan oleh wanita itu terhadap Ujun yang berada dalam pelukannya yaitu mencium lalu mengisap darahnya.
Di saat bibir tebal dan merah itu hendak menempel di bibir pemuda itu, tiba-tiba sebuah tamparan keras menghantam wajah Nyi Genit.
Plakkk! Tubuh Nyi Genit terlempar dua meter ke samping kanan.
Sedangkan rambut yang membelit tubuh pe-muda itu terlepas.
Dengan mata mendelik penuh amarah, Nyi Genit bangkit dan memandang orang yang telah berani me-lakukan penyerangan kepadanya.
Di sana, di bawah sebuah pohon, berdiri seorang gadis mungil dengan baju merah ketat serta pedang tersandang di punggungnya.
Dia berdiri tegak dengan sorot mata yang mencorong tajam ke arah Nyi Genit.
Wajahnya merah menahan kemarahan.
Sebelum Nyi Genit melontarkan kata-kata ke arah gadis bertubuh mungil yang tidak lain Putri Bong Mini itu, muncul lima lelaki lain dari balik semak-semak dan langsung mengurung Nyi Genit.
Mereka tidak lain Ki Maja, Kepala Desa Buncit dan empat orang kepercayaannya.
"Bocah perempuan sialan! Berani benar kau kurang ajar kepadaku!"
Geram Nyi Genit dengan mata menco-rong tajam. Senyum genit yang selama ini diumbarnya hilang seketika. Berubah dengan wajah bengis, tak be-da dengan iblis yang gagal membuat tipu daya pada manusia.
"Siapa yang takut menghadapi iblis betina seperti kau?"
Balas Bong Mini tak kalah geram.
"Bocah tengik! Kurobek mulutmu yang kotor itu!"
Geram Nyi Genit dengan tubuh siap meloncat mener-jang Bong Mini. Namun sebelum niatnya terlaksana, Ki Maja dan empat pengikutnya telah mendahului menyerang wanita itu dengan golok masing-masing.
"Hiyaaat!"
Trang trang trang! Golok-golok terhunus itu segera disambut oleh Nyi Genit dengan tongkat hitamnya yang berukuran sete-ngah meter.
"Kalian berlima ingin cari mampus rupanya!"
Hardik Nyi Genit seraya mengibaskan rambutnya yang tebal ke arah lima penyerangnya.
Tarrr tarrr! Dua orang pengikut Ki Maja yang terkena sabetan rambut wanita itu langsung roboh.
Ketika jatuh di tanah, nasibnya sama dengan Enam Pendekar dari Desa Buncit, berkedip-kedip tanpa bisa bangun lagi.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba tubuh Bong Mini melesat di udara setinggi tiga meter ke arah Nyi Genit disertai tendangan ke wajahnya.
Namun dengan cepat wanita cantik yang haus darah perjaka itu mengelak ke belakang.
Sedangkan rambutnya yang tebal dan panjang menyambar tubuh Bong Mini.
Wut wut wut! Kibasan-kibasan rambut Nyi Genit yang demikian cepat menimbulkan angin yang demikian dahsyat.
Terpaksa Bong Mini menarik kembali kakinya.
"Huppp!"
Dengan menggunakan peringan tubuhnya yang hampir sempurna, Bong Mini meloncat ke belakang dan langsung berdiri tegak di atas tanah.
"Ki Maja, mundurlah! Ini bagianku!"
Seru Bong Mini.
Ki Maja dan dua orang pengikutnya yang masih ber-diri tegak, langsung mundur dari arena pertempuran mengikuti perintah Bong Mini.
Mereka telah mendengar kehebatan gadis mungil itu dalam menghadapi musuhnya.
Oleh karena itu mereka tidak khawatir ke-tika Bong Mini menghadapi wanita haus darah itu seorang diri.
"Bocah sombong! Sebutkan namamu sebelum nya-wamu kukirim ke neraka!"
Dengus Nyi Genit geram.
"Namaku Putri Bong Mini. Siapa pula namamu?!"
Kata Bong Mini.
Walaupun baru bertemu saat itu, Nyi Genit tersen-tak kaget mendengar nama Bong Mini disebutkan.
Se-bab ia tahu siapa Bong Mini, seorang gadis mungil yang selama ini menjadi penghalang bagi pekerjaan anak buahnya yang terkumpul dalam Perguruan To-peng Hitam.
Nyi Genit yang selama ini tidak pernah keluar dan tidak diketahui bagaimana rupa sesungguhnya segera menyebutkan nama samaran, agar siapa pun yang be-rada di sekitar situ tidak mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Namaku, Tinting!"
Ujar Nyi Genit mengenalkan na-ma samarannya.
"Sekarang, bersiaplah kau untuk ma-ti, Tikus Tengik!"
Lanjut Nyi Genit sambil memper-siapkan serangan.
Bong Mini yang belum mengetahui siapa sebenar-nya wanita yang sedang dihadapinya itu, karena belum pernah bertemu dengan Nyi Genit, tampak tenang-tenang saja mendengar nama asing itu disebutkan.
Na-ma yang tak pernah didengarnya selama terjun dalam dunia persilatan.
Ia hanya menduga kalau wanita itu pasti baru terjun dalam dunia persilatan.
Dan peker-jaannya dalam mengisap darah pemuda dan bayi, pasti untuk ilmu kesaktian yang dimilikinya.
Salah satunya kesaktian rambut panjang yang baru saja disaksikan Bong Mini, begitu pikir Bong Mini.
Karena itu ia tenang-tenang saja menghadapi wanita cantik di hada-pannya.
Setelah keduanya saling memperkenalkan diri, me-reka pun kembali berhadapan dengan sikap hati-hati.
Khawatir di antara mereka ada yang mendahului me-nyerang.
Dan Bong Mini sendiri harus hati-hati menghadapi lawannya setelah melihat kesaktian rambutnya saat menyambar tubuh kedua pengikut Ki Maja.
Ketika matanya melihat rambut tebal itu menyambar kedua orang pengikut Ki Maja, diam-diam Bong Mini mempe-lajari bagaimana cara mengelakkan rambut panjang milik wanita cantik yang mengandung kesaktian itu.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba wanita cantik itu menjerit dengan lengki-ngan panjang, rambutnya yang tebal dan panjang me-nyambar ke depan menuju leher Bong Mini.
Tak cuma itu, ia pun menyambarkan tongkat hitamnya ke arah lawan.
Wuttt...! Ujung rambut wanita cantik itu langsung membelit leher gadis bertubuh mungil yang tampaknya diam, tanpa melakukan perlawanan sedikit pun.
Namun keti-ka tongkat hitam menyambar ke arahnya, Bong Mini langsung menangkap dan menariknya dengan keras.
"Hiy!"
Tasss! Tongkat hitam yang berhasil ditarik Bong Mini itu segera digunakan untuk membabat rambut lawannya yang membelit lehernya. Dalam sekejap mata rambut yang mengandung kesaktian itu putus.
"Aowww!"
Wanita cantik pengisap darah menjerit kaget ketika melihat rambut kesayangannya putus terbagi dua.
Se-belum ia sempat membalikkan tubuhnya, Bong Mini kembali melancarkan serangan dengan telapak ta-ngannya yang terkembang.
Plakkk! Tangan kanan Bong Mini mendorong hebat pung-gung lawannya, hingga wanita cantik itu jatuh lemas seperti lumpuh.
Karena pada saat telapak tangannya menempel pada punggung lawan, Bong Mini langsung mengerahkan ilmu 'Penyerap Tenaga', membuat tenaga dalam tubuh wanita itu terkuras habis.
Sedangkan da-ri mulut wanita cantik itu keluar darah segar.
Wanita cantik pengisap darah itu merangkak ba-ngun dengan sorot mata tajam ke arah Bong Mini.
Pe-nuh dengan rasa dendam.
"Kelinci kecil! Aku tidak akan membiarkan penghi-naan ini!"
Setelah berkata begitu, Nyi Genit langsung pergi meninggalkan tempat pertempuran. Ki Maja dan kedua pengikutnya yang masih segar segera bergerak untuk mengejar wanita tadi. Tapi de-ngan cepat Bong Mini menahan.
"Tidak baik menyiksa orang yang sudah tidak ber-daya!"
Cegah Bong Mini.
"Tapi dia telah berbuat keji. Membunuh bayi-bayi dan pemuda yang tidak berdosa!"
Kilah Ki Maja dengan napas memburu. Ia bernafsu hendak menangkap wanita itu.
"Semua telah berlalu. Yang penting bagi kita seka-rang ini, wanita tadi telah pergi dan mudah-mudahan tidak akan mengganggu ketenteraman penduduk desa ini!"
Kata Bong Mini.
Ki Maja dan pengikutnya tertegun mendengar uca-pan gadis mungil itu.
Sedangkan Bong Mini tanpa me-nunggu lebih lama lagi segera menghampiri enam pe-muda dan dua orang kepercayaan Ki Maja yang terja-tuh lemas.
Kemudian, ia mengerahkan ilmu 'Pembang-kit Tenaga', pasangan dari ilmu 'Penyerap Tenaga'.
Ketika dua jari tangan Bong Mini yang telah disalurkan ilmu 'Pembangkit Tenaga' itu menempel ke dada seorang pemuda, tangannya mengalirkan hawa dingin yang menjalar ke seluruh tubuh pemuda itu.
Selanjutnya, tubuh pemuda itu langsung dapat digerakkan dan berdiri seperti semula.
Begitu pula dengan yang lain setelah dialiri ilmu 'Pembangkit Tenaga' oleh Putri Bong Mini.
"Ki Maja, tugasku sudah selesai. Aku akan kembali melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Selamat tinggal!"
Usai berkata, tubuh Bong Mini langsung melesat cepat.
Sehingga dalam sekejap, tubuhnya telah lenyap dari pandangan mereka yang masih berdiri terkagum-kagum.
*** Senja tiba.
Terik matahari yang sejak siang tadi membakar Desa Gilirang, perlahan-lahan redup.
Begi-tu pula dengan angin panas yang siang tadi bertiup kencang, kini perlahan-lahan pudar.
Berganti dengan kesejukan.
Karena angin yang bertiup di senja itu ber-campur dengan kabut yang mulai turun ke permukaan bumi.
Malah sebagian sudah menutupi puncak gu-nung yang menjulang tinggi.
Sedangkan cahaya mata-hari dari sebelah barat sesekali ditutupi oleh gumpalan awan hitam yang berarak.
Sehingga alam terkadang terang, terkadang pula redup.
Dalam suasana alam yang teduh serta hembusan angin yang bertiup semilir, empat orang berpakaian silat warna hitam dengan gelang bahar pada tangan masing-masing tampak memasuki Desa Gilirang.
Se-buah desa kecil yang bersebelahan dengan Desa Bun-cit.
Wajah mereka tampak begitu letih seperti baru menempuh perjalanan yang amat jauh.
Sedangkan keri-ngat tampak mengucur membasahi wajah mereka yang tegang dan hitam gesang.
Jika ditilik dari raut wajahnya, umur mereka rata-rata sekitar empat puluh ta-hun.
"Bagaimana kalau kita makan dulu sambil istira-hat?"
Usul lelaki berperawakan tinggi besar dengan tiga buah cincin sebesar mata berjejer di jari tangan kanan dan kirinya. Sedangkan sabuk merah yang lebarnya kurang lebih sepuluh sentimeter tampak melingkar pada pinggangnya. Ia bernama Barong.
"Sebuah usul yang baik!"
Jawab lelaki di sebelahnya yang juga mempunyai perawakan tak berbeda dengan Barong. Bedanya, lelaki itu mempunyai kumis yang panjang melintang serta berewok yang lebat di sekitar wajahnya. Ia bernama Jegal.
"Kalau begitu kita segera saja cari warung nasi!"
Temannya yang bernama Jargon mengusulkan.
Tubuh-nya tinggi dan agak kurus dengan gigi depan menjorok keluar, memperlihatkan warnanya yang kekuning-ku-ningan dan hitam di sela-selanya.
Menandakan kalau lelaki itu seorang pecandu rokok berat.
Sedang yang seorang lagi bernama Buraong.
Bertubuh tinggi besar dengan mata kanan tertutup oleh kain hitam, agar matanya yang cacat tak tampak oleh orang lain.
Setelah keempatnya mendapat kata sepakat, me-reka pun segera melangkah mencari warung nasi.
Se-pasang kaki mereka yang tak beralas tampak begitu ringan berjalan.
Sehingga bila dilihat sekilas, langkah keempat orang itu seperti tidak menyentuh tanah.
Tidak begitu lama mereka berjalan, sampailah di sebuah warung makan.
Tanpa ragu-ragu lagi mereka langsung masuk ke ruang dalam.
Di sana, mereka langsung mengambil tempat duduk di sudut ruangan serta memesan makanan yang disukai masing-masing.
Sambil menunggu pesanan datang, Barong, salah satu dari keempat orang itu tampak menyebarkan pan-dangan ke sekeliling ruangan.
Sepasang matanya yang bulat besar dan hitam kemerah-merahan terhenti pada lelaki yang sedang asyik menikmati hidangan.
Kemudian pandangannya beralih pada seorang pemuda yang tengah asyik menikmati hidangan.
"Rupanya banyak pula orang dari negeri lain yang datang ke tempat ini!"
Gumam Barong pada keempat lelaki, ketika melihat seorang pemuda yang tampaknya keturunan Tionghoa.
Ketiga temannya serentak menoleh pada lelaki yang dimaksud Barong.
Mata mereka turut meneliti wajah serta pakaian berlapis jubah wama kuning yang dipa-kai oleh pemuda bermata sipit itu.
Pemuda bermata sipit yang sedang mereka perhati-kan itu tidak lain Ong Lie.
Orang kepercayaan kawa-nan Iblis Pulau Neraka yang sedang melakukan penca-rian seorang gadis bernama Bong Mini.
Namun sampai saat itu, ia belum juga bertemu sampai akhirnya beris-tirahat di warung nasi tersebut.
Empat lelaki berwajah kasar yang sejak tadi mem-perhatikan pemuda tampan itu segera mengalihkan pandangannya, ketika dua pelayan membawa maka-nan yang dipesan.
Dan ketika dua pelayan itu selesai menaruh hidangan di atas meja mereka, Barong segera menarik salah seorang lengan pelayan tadi.
"Apakah perjalanan menuju Bukit Setan masih jauh dari sini?"
Tanya Barong dengan suara pecah.
Sehingga walaupun ia bertanya lembut, namun terdengar besar di telinga pelayan itu.
Pelayan itu kelihatan terkejut mendengar nama Bu-kit Setan yang disebutkan oleh Barong.
Tapi kemudian dia segera mengubah sikapnya kembali ketika melihat wajah yang menegurnya bertampang garang menakutkan.
"Masih..., masih jauh, Tuan! Sekitar satu hari satu malam lagi untuk bisa sampai ke bukit itu!"
Kata pelayan tadi dengan suara gugup serta wajah yang agak pias.
"Arahnya ke mana?"
Tanya Barong lagi.
"Kalau dari sini, Tuan bisa mengambil arah utara!"
Sahutnya lagi, masih gugup.
Barong mengangguk-angguk.
Hatinya lega.
Kemu-dian tangan kekarnya yang berbulu lebat dan panjang itu segera melepaskan cekalannya.
Lalu ia segera menyusul temannya yang sudah asyik menikmati hida-ngan.
Sementara itu, pelayan yang tadi ditegur Barong, segera meninggalkan tempat itu.
Sesaat dia berdiri di tengah pintu, memandang kembali wajah keempat lelaki itu dengan wajah pucat dan sikap takut Rasa takut yang menghinggapi diri pelayan itu me-mang bisa dipahami.
Selain wajahnya bengis, mereka juga tidak memiliki sikap ramah.
Terlebih ketika Barong menanyakan Bukit Setan tempat Kidarga dan Nyi Genit serta puluhan pasukannya.
Begitu pula dengan orang-orang di ruangan itu.
Ke-tika mendengar kata Bukit Setan dari mulut Barong, mereka bergegas menghabiskan hidangannya dan me-ninggalkan rumah makan itu setelah membayar ma-kanan.
Hanya Ong Lie saja yang tidak beranjak dari tempat duduknya.
Ia tetap bersikap tenang sambil mereguk anggur.
Ketika Barong dan ketiga temannya telah selesai makan dan keluar, diam-diam Ong Lie pun meninggal-kan warung nasi itu untuk membuntuti mereka.
*** Matahari terus merayap tanpa terasa.
Sehingga raja siang yang semula begitu angkuh menyoroti bumi, perlahan-lahan tenggelam ke arah barat.
Meninggalkan bias-bias cahaya di sekitarnya.
Sehingga alam menjadi temaram.
Belum jauh keempat lelaki tadi meninggalkan ru-mah makan, tiba-tiba mata mereka melihat tiga lelaki gagah yang berjalan dari arah sebelah kiri.
Ketiga lelaki itu tampak mengangkat tangan kanannya, seolah-olah memberi isyarat kepada Barong dan ketiga temannya.
Barong dan ketiga temannya segera menghentikan langkahnya.
Ketika ketiga lelaki itu sudah dekat ke arahnya, Barong segera menegur.
"Siapa kalian dan kenapa menghalangi perjalanan kami?"
"Kami adalah Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak! Nama kami Resmolo, Sentanu, dan aku sendiri berna-ma Gombreh!"
Kata lelaki yang bernama Gombreh, memperkenalkan julukan mereka serta nama masing-masing.
Gombreh bertubuh tinggi besar, tidak berbeda de-ngan Barong, kecuali pakaiannya.
Dia bersama dua temannya mengenakan celana hitam model pangsi dan berbaju model rompi tanpa kancing.
Sehingga kalung bermata tengkorak yang melingkar di leher mereka terlihat jelas.
Sedangkan di pinggang ketiga orang itu melingkar kain warna merah, seolah-olah menyembunyi-kan golok yang terselip di sana.
Rambut mereka berge-lombang sampai sebatas bahu.
Barong dan ketiga temannya mengangguk-angguk kasar.
Sedangkan mata mereka terus mencorong ke arah Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak dengan pan-dangan penuh selidik.
"Kalau tidak keberatan, boleh kutahu siapa kalian berempat?"
Tanya Gombreh ingin tahu.
"Kami Pendekar Bermata Iblis. Aku bernama Ba-rong, sedangkan tiga temanku bernama Jegal, Jargon, Buraong. Asal kami dari negeri Ngarumpuyuk. Negeri paling ujung daratan Pulau Jawa!"
Kata Barong dengan suara tegas menggelegar.
"Lalu negeri asalmu dari ma-na?"
"O, ya. Aku hampir lupa menyebutkan asal kami!"
Sahut Gombreh.
"Kami pun berasal dari daratan Pulau Jawa. Dari negeri Lumajang!"
Lanjut Gombreh.
"Lalu, apa maksud kalian menahan perjalanan ka-mi?"
Tegas Barong dengan mata tak berkedip.
"Aku hanya ingin bertanya, ke mana jalan menuju Bukit Setan?"
Jawab Gombreh.
"Ketika dari jauh tadi kulihat persimpangan jalan, aku bingung menentukan arah yang tepat untuk menuju Bukit Setan. Kebetulan di persimpangan ini aku melihat kalian, karena itu aku memanggil!"
Sambung Gombreh. Barong dan tiga temannya tercenung ketika men-dengar ucapan Gombreh yang ingin menuju ke Bukit Setan.
"Ada keperluan apa kau pergi ke sana?"
Tanya Ba-rong lagi, ingin tahu. Matanya menatap tajam penuh selidik.
"Kami dengar, Perguruan Topeng Hitam yang ber-markas di sana mencari para pendekar untuk berseku-tu dengannya. Karena itu kami ingin mencoba berga-bung dengan Perguruan Topeng Hitam,"
Tutur Gomb-reh menjelaskan maksud tujuannya. Barong dan ketiga temannya mengangguk-angguk.
"Kalau begitu kita punya tujuan yang sama!"
Kata Barong hangat, merubah sikap curiganya menjadi pe-nuh persahabatan.
"Apakah kalian juga hendak bersekutu dengan Per-guruan Topeng Hitam?"
Tanya Gombreh.
"Ya. Sekarang, kami pun hendak menuju ke sana!"
Sahut Barong.
"Kalau begitu kita sama-sama saja ke sana!"
Usul Gombreh.
"Memang itu yang aku kehendaki. Ayo!"
Ajak Ba-rong.
Dia siap melangkah, melanjutkan perjalanan kembali.
Karena jalan di hadapan mereka terbagi empat ja-lur, maka Barong mengambil jalan kiri yaitu jalan menuju Bukit Setan.
Namun sebelum mereka melangkah lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara yang ditujukan kepada mereka.
"Apakah ilmu kalian sudah hebat hingga ingin ber-sekutu dengan Perguruan Topeng Hitam?!"
Tujuh orang bertubuh kekar yang hendak melan-jutkan perjalanan itu segera menghentikan langkah.
Mereka terkejut mendengar suara yang menggetarkan jantungnya itu.
Mereka langsung sadar kalau orang yang mengeluarkan suara itu memiliki tenaga dalam yang amat kuat.
Dengan sigap, ketujuh orang itu langsung meloncat mundur sejauh tiga langkah, sambil melintangkan go-lok mereka masing-masing di depan dada.
Sedangkan sepasang mata ketujuh orang itu menatap tajam pada pemuda yang entah datangnya dari mana, tiba-tiba sudah berada di depan mereka.
Barong dan ketiga temannya terkejut melihat keha-diran pemuda tampan itu.
Karena pemuda tampan yang mengenakan baju berlapis jubah kuning itu tidak lain lelaki yang pernah dilihatnya ketika di warung makan.
Dan kini dia muncul tiba-tiba dan langsung menghadang mereka.
"Rupanya sejak tadi dia membayangi perjalanan ki-ta!"
Bisik Barong kepada ketiga temannya. Sedangkan kedua biji matanya terus mencorong ke arah pemuda itu.
"Siapakah kau, pemuda asing? Mengapa begitu berani menghalangi perjalanan kami?"
Geram Barong.
Darahnya mendidih sejak mendengar ucapan pemuda yang mengandung ejekan tadi.
Pemuda berjubah kuning melangkah setapak men-dekati ketujuh lelaki berwajah beringas.
Wajahnya tak sedikit pun menunjukkan rasa gentar.
Malah bibirnya memperlihatkan senyum ketika menatap mereka.
Sedangkan ketujuh orang yang ditatapnya bergerak mengatur posisi, sehingga ketika dia sudah berada di tengah-tengah, tubuhnya langsung dikurung.
"Aku bukan menghalangi perjalanan kalian. Aku hanya bertanya, sejauh mana kemampuan kalian hing-ga begitu bersemangat hendak bersekutu dengan Per-guruan Topeng Hitam!"
Kata pemuda berjubah kuning tenang. Bibirnya masih mengembangkan senyum.
"Phuih! Apa pedulimu, Anak Ingusan!"
Rutuk Ba-rong dengan sorot mata berkilat-kilat menahan marah.
"Tentu saja ini menjadi tugasku. Karena kalian ti-dak akan bisa melaksanakan niat kalian menuju Per-guruan Topeng Hitam sebelum dapat mengalahkanku!"
Tantang pemuda berjubah kuning yang tidak lain ber-nama Ong Lie. Ketujuh orang itu semakin geram mendengar uca-pan Ong Lie. Walaupun ucapannya lembut, tapi jelas mengandung penghinaan. Meremehkan ilmu yang me-reka miliki.
"Dari cara kalian memegang golok, aku dapat me-nilai kalau ilmu kalian masih mentah!"
Lanjut pemuda itu seperti sengaja memancing kemarahan tujuh orang yang dihadapinya.
"Setan kurap! Kau benar-benar harus diberi pelaja-ran!"
Bentak Barong yang dilanjutkan dengan meloncat ke depan setinggi setengah meter sambil membacok-kan goloknya ke tubuh lawan.
Wut wut wuttt! Gebrakan yang dilancarkan Barong berhasil dielak-kan Ong Lie dengan cara merunduk dan melompat.
Sehingga golok itu tak berhasil mengenai tubuhnya.
Melihat serangannya tidak mengenai sasaran, Ba-rong semakin murka.
Kemudian dengan lengkingan tinggi, tubuhnya kembali bergerak menyerang pemuda berjubah kuning itu.
Wut wut wuttt! Serangan goloknya kali ini lebih gencar mencecar tubuh lawan.
Tapi dengan mudah pula Ong Lie menge-lak.
Bahkan pada kesempatan lain dia berhasil balas menyerang.
Teppp! Duggg! Tangan kiri Ong Lie berhasil mencekal pergelangan tangan lawan yang memegang golok.
Sedangkan ta-ngan kanannya berhasil memukul dada lawan dengan telak.
"Aaakh!"
Barong mengerang.
Goloknya terlempar sejauh tiga meter dari tangannya.
Sedangkan tubuhnya sendiri langsung tersungkur di tanah dengan mulut memun-tahkan darah segar.
Dalam sekejap tubuh Barong mengejang-ngejang seperti ayam yang disembelih.
Se-lanjutnya tubuh itu kaku dengan mata mendelik.
"Bangsat! Kau benar-benar ingin cari mati rupa-nya!"
Geram Jargon ketika mengetahui temannya mati dalam satu gebrakan di tangan pemuda berjubah ku-ning. Bersama dua temannya yang lain, dia segera ma-ju untuk menyerang Ong Lie bertubi-tubi.
"Hiaaat!"
Trang trang trangngng! Lengkingan tiga Pendekar Bermata Iblis serta den-ting senjata membuat suasana jadi ramai.
Ong Lie yang menyadari serangan lawan begitu ber-tubi-tubi, segera mencabut pedang yang terselip di pinggang kirinya.
Kemudian pedang itu dipergunakan untuk menghalau serta menyerang lawan.
"Hiyyy...!"
Crattt blesss! Dengan permainan pedang yang cukup hebat, Ong Lie berhasil membabat leher seorang lawan di depan-nya hingga putus.
Dilanjutkan dengan gerakan menu-suk ke perut seorang lawan lagi yang berada di sebelah kirinya.
Dalam detik itu juga, kedua tubuh lawan yang terkena babatan pedangnya roboh tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Melihat ketiga temannya mati dalam keadaan me-ngerikan, muka Jegal langsung memucat.
Kemudian kakinya bergerak hendak melarikan diri.
Namun ketika baru mencapai sepuluh meter dari tempat pertempuran, Ong Lie langsung melemparkan pedangnya ke arah lawan.
Singngng...! Clebbb! Pedang Ong Lie yang mengarah lurus ke tubuh Jeg-al langsung mengenai punggungnya hingga tembus ke perut.
Membuat Jegal roboh seketika itu juga.
Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak yang menyak-sikan peristiwa itu tercengang kaget menyaksikan empat Pendekar Bermata Iblis yang mati dalam waktu singkat di tangan lelaki berjubah kuning yang masih muda itu.
"Kalian bertiga ingin mencoba seperti mereka?"
Ta-nya Ong Lie dengan sikap tenang serta senyum me-ngembang.
Tapi di balik ketenangannya itu, ia mem-punyai sifat sadis.
Sekali bertemu lawan yang dicurigai, pantang baginya untuk melepaskan.
Kepada keempat Pendekar Bermata Iblis, ia pun be-gitu kejam.
Sebab sejak di warung nasi tadi hatinya mulai geram saat Barong menanyakan letak Bukit Setan kepada seorang pelayan.
Pikirnya, pasti mereka akan bersekutu.
Dan kalau hal itu terjadi, akan semakin kuatlah Perguruan Topeng Hitam.
Sehingga pasu-kannya yang hanya sepuluh orang pasti akan kalah menghadapinya.
Karena pertimbangan itu, sebelum Perguruan Topeng Hitam mendapat pendekar-pende-kar baru, lebih baik ia melakukan penjegalan.
Mendapat pertanyaan itu, Gombreh segera mengem-bangkan senyum ramah dan berkata.
"Kami bukan orang-orang yang menyukai kekerasan dan saling menguji kekuatan!"
Kata Gombreh, menutupi hatinya yang kecut setelah mengetahui ketelengasan pemuda itu.
"Hm..., bagus!"
Puji Ong Lie dengan wajah sungguh-sungguh. Pikirannya mulai merasa, kalau ketiga orang itu pasti dapat dibujuk untuk bergabung dengannya.
"Nama kalian siapa dan berasal dari mana?"
Lanjut Ong Lie seraya maju lima langkah ke arah mereka.
"Kami menamakan diri dengan sebutan Tiga Se-rangkai Berkalung Tengkorak. Aku bernama Gombreh dan kedua temanku ini bernama Resmolo dan Senta-nu. Sedangkan kami berasal dari negeri Lumajang, sebelah timur Pulau Jawa!"
Urai Gombreh, memperke-nalkan diri.
"Kau sendiri siapa, Pemuda Tampan?"
Ia balik bertanya.
"Namaku Ong Lie berasal dari negeri Lanoa!"
Sing-kat Ong Lie. Gombreh dan dua temannya tampak mengangguk-angguk. Mereka merasa lega karena pemuda itu mau diajak bercakap-cakap dan bersahabat.
"Apa maksud kalian hendak menuju Bukit Setan?"
Tanya Ong Lie lagi ingin tahu. Tanpa ragu-ragu lagi, Gombreh yang menjadi pe-mimpin kedua temannya, menceritakan maksud me-reka yang hendak bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.
"Aku mendengar perguruan itu memiliki kesaktian yang sukar tertandingi hingga kami datang ke sini untuk berguru pada pemimpinnya!"
Kata Gombreh.
"Apakah kalian tidak tahu sepak-terjang Perguruan Topeng Hitam?"
Tanya Ong Lie dengan sorot mata pe-nuh selidik.
"Secara samar aku mendengar kalau mereka mela-kukan tindakan-tindakan keji terhadap rakyat negeri ini,"
Jawab Gombreh.
"Kalau memang tahu, kenapa kalian hendak berse-kutu dengan mereka?"
Pancing Ong Lie.
"Karena mereka yang sekarang berjaya di negeri ini,"
Sahut Gombreh cepat "Walaupun mereka berjaya, bukan berarti mereka bisa hidup tenang,"
Tukas Ong Lie.
"Maksudmu?"
Tanya Gombreh kurang paham.
"Ketua Perguruan Topeng Hitam saat ini sedang mencari para pendekar tangguh, itu berarti kalau mereka sedang mengalami keresahan akibat perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang tangguh di dalam negeri ini. Salah seorang yang akan menghancurkan Perguruan Topeng Hitam adalah diriku. Karena itu aku membunuh keempat orang tadi sebelum mereka sam-pai di tempat tujuan!"
Tutur Ong Lie menjelaskan.
"Kalau memang begitu, aku dan dua temanku ini akan membantumu!"
Ujar Gombreh yang mendadak berubah niat. Ong Lie tersentak mendengar pernyataan itu, wa-laupun semula, ia berniat hendak membujuk mereka untuk bersekutu dengannya.
"Mengapa tiba-tiba kau berubah niat?"
Pancing Ong Lie. Walau bagaimanapun ia harus mengetahui alasan dari pernyataan Gombreh yang tiba-tiba itu.
"Setelah mengetahui ada pemberontakan di sini dan salah satunya kau sendiri, hatiku langsung memihak padamu. Karena aku yakin kau berada di pihak golo-ngan putih yang menentang segala macam kesesatan dan kelaliman!"
Sahut Gombreh.
Golongan putih! Bisik hati Ong Lie.
Ia tercenung beberapa saat mendengar kata-kata itu.
Karena ia me-nyadari kalau dirinya pun tidak lebih dari manusia hitam yang penuh nafsu iblis.
Dan pertentangannya de-ngan Perguruan Topeng Hitam bukan karena berpihak pada rakyat, melainkan untuk merebut kekuasaan.
Karena itu ia mencari Bong Mini agar dapat membantu menghancurkan Perguruan Topeng Hitam, dengan alasan membantu penderitaan rakyat yang terjajah oleh Perguruan Topeng Hitam.
Bila ia dan Bong Mini berha-sil menghancurkan Perguruan Topeng Hitam, maka akan mudah menduduki negeri Selat Malaka.
Sedang-kan Bong Mini akan dibunuh dengan caranya sendiri setelah semua selesai.
"Kenapa kau tercenung?"
Tanya Gombreh heran.
"Ah, tidak! Tidak apa-apa. Aku hanya kagum atas pernyataan kalian yang tiba-tiba!"
Sahut Ong Lie cepat. Sekadar menutupi perasaannya sendiri.
"Semua itu tak akan terjadi bila tak bertemu de-nganmu!"
Sahut Gombreh seraya tersenyum.
"Kalau begitu, kita harus cepat mengatur siasat. Pergilah kalian mencari sepuluh orang temanku. Me-reka sedang bergerak menuju Bukit Setan untuk me-lakukan serangan. Mereka mengenakan baju koko dan celana pangsi!"
Kata Ong Lie. Gombreh dan kedua temannya mengangguk.
"Kau sendiri hendak ke mana?"
"Aku akan melakukan penyergapan terhadap orang-orang yang akan bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam seperti yang kulakukan pada keempat orang ta-di!"
Jawab Ong Lie.
Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak itu mengang-guk-angguk.
Kemudian mereka pun segera berpisah.
Ong Lie menuju pantai Selat Malaka, sedangkan Tiga Serangkai Berkalung Tengkorak bergerak mencari se-puluh orang berkuda yang dimaksud pemuda berjubah kuning itu.
*** Waktu terus berputar tanpa terasa.
Dari siang ke malam, hari ke minggu, minggu ke bulan, dan terus melaju demikian cepat.
Di pantai Malaka yang biasanya hanya disinggahi beberapa kapal dagang, kini kelihatan ramai.
Bahkan di darat banyak orang-orang yang hilir-mudik.
Mereka berasal dari berbagai negeri.
Kedatangan mereka ke tempat itu bukan sebagai orang biasa, melainkan sebagai pendekar dan orang-orang gagah.
Ini bisa diken-al lewat pakaian dan sikap mereka.
Tidak sedikit dari para pendekar atau orang-orang gagah ini mengenakan pakaian-pakaian aneh dan nyentrik seperti pakaian pertapa atau ala pengemis, butut, dan compang-camping.
Para pendekar yang datang ke tempat itu bukan sa-ja berkelompok, tetapi juga ada yang datang per-orangan.
Mereka datang dengan penampilan menarik dan wajah berseri.
Karena tempat yang baru mereka pijak itu bisa dijadikan ajang perkenalan antar sesama pendekar.
Baik pendekar yang datang dari berbagai negeri maupun yang datang dari pelosok kampung.
Apa sebenarnya yang akan dilakukan oleh para pendekar itu? Tak seorang pun yang tahu pasti.
Apa-kah akan bergabung dengan Perguruan Topeng Hitam yang memang sengaja mencari orang-orang gagah un-tuk menggulingkan Bongkap dan pengikutnya yang masih merongrong kekuasaannya, atau justru sebalik-nya, hendak membela penderitaan rakyat negeri Selat Malaka dari penindasan orang-orang Perguruan Topeng Hitam, tak ada yang tahu.
Sebab pendekar yang datang ke tempat itu, menyembunyikan maksudnya masing-masing.
Di antara banyaknya pendekar yang terdiri dari tua-muda, laki-perempuan yang datang ke situ, tampak seorang wanita bertubuh mungil dengan umur kurang lebih sekitar delapan belas tahun.
Rambutnya yang hitam panjang tampak melambai-lambai ketika terhela angin pantai, menutupi wajahnya yang selalu berseri-seri.
Sedangkan matanya yang sipit dan tajam di-arahkan kepada para pendekar yang berada di sekitar pantai itu.
Seakan-akan tengah memberikan penilaian terhadap mereka.
Namun sebenarnya tidak demikian.
Sorot matanya yang lincah itu bukan karena sedang memberikan pe-nilaian, melainkan karena ia merasa suka terhadap tingkah laku serta pakaian yang dikenakan oleh setiap pendekar, tanpa memberikan penilaian sedikit pun pa-da mereka.
Menurutnya, menilai seseorang tidak bisa hanya di-lihat dari tingkah laku, perbuatan, keturunan, pangkat, pendidikan ataupun pintar bodohnya seseorang.
Sebab penilaian seperti ini akan membuahkan hasil yang palsu.
Berdasarkan hal itu, Bong Mini selalu mengambil sikap apa adanya.
Bagi Bong Mini, kalau dirinya bersih dari segala penilaian, maka dia akan bisa menghadapi apa pun dengan hati dan pikiran yang bebas.
Tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin, pintar atau bodoh.
Jika manusia sudah lepas dari segala macam penilaian, selanjutnya dia hanya berhadapan dengan sesama manusia tanpa embel-embel yang mengotori diri manusia itu sendiri.
Baik itu kedudukan, pangkat, kekayaan, bangsa, ras, agama dan sebagainya.
Dari sini, ego yang selalu ingin menang sendiri akan lenyap.
Karena tidak mempunyai penilaian siapa diriku dan siapa dirimu.
Namun demikian, kewaspadaan tetap harus dipelihara.
Waspada terhadap diri sendiri.
Mengamati terus sampai sifat buruk yang kita punyai terlihat dan berusaha menggantinya dengan sifat-sifat baik.
Di saat Bong Mini mengalihkan pandangannya pada keramaian, tiba-tiba sepasang matanya yang sipit itu menangkap seorang pemuda sedang duduk malas di dekat sebatang pohon kelapa di pinggir pantai.
Pemu-da itu berwajah tampan.
Rambutnya yang panjang di-gelung ke atas, memperlihatkan bentuk wajahnya yang bulat telur.
Sedangkan pakaiannya terlihat indah, berjubah sutera berwarna kuning.
Bong Mini tertarik melihat penampilan pemuda yang umurnya sekitar tiga puluh lima tahun itu.
Dan ketika kaki pemuda itu mengikuti empat lelaki berkepala botak, Bong Mini mengikutinya secara diam-diam.
Keempat lelaki berkepala botak terus berjalan me-nuju Hutan Roban.
Tubuh mereka yang tinggi besar dan berotot dibiarkan telanjang dada.
Sehingga dada bertato kepala macan yang mulutnya menganga sangat jelas terlihat.
Mereka terus berjalan gagah sambil menikmati pemandangan di sekitar lereng bukit yang menakjubkan! "Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang demikian keras, membuat keempat lelaki berkepala botak itu terkejut seraya menghentikan langkahnya.
Mereka berdiri tegak.
Mata mereka memandang ke segenap penjuru, mencari asal suara itu.
Namun sampai begitu lama mengedarkan pandangan, keempat lelaki itu tidak melihat seorang pun di atas bukit kecuali mereka sendiri.
Mereka menjadi yakin kalau orang yang menghentikan langkah mereka pasti seorang pendekar yang memiliki kepandaian tenaga dalam yang cukup tinggi.
Belum sempat mereka berkata, tiba-tiba seorang pemuda berjubah kuning yang tidak lain Ong Lie telah berdiri tegak di hadapan mereka dengan wajah berseri, penuh senyum.
"Siapa kau, Anak Muda? Apa tujuanmu menghala-ngi perjalanan kami?"
Tanya seorang lelaki berkepala botak yang memegang tongkat panjang kira-kira dua meter.
Sepasang telinganya dihiasi anting besar.
Sedangkan celananya model pangsi berwarna hitam.
Umurnya kurang lebih lima puluh tahun.
Sama de-ngan ketiga temannya.
Ong Lie tersenyum sambil berjalan dua langkah ke depan.
Membuat jarak mereka semakin dekat.
"Seharusnya aku yang bertanya. Bukankah kalian orang-orang Tiongkok yang baru menginjakkan kaki ke negeri ini?"
Tanya Ong Lie. Matanya terus mengamati mata sipit keempat lelaki berkepala botak itu.
"Sombong sekali kau, Bocah!"
Dengus lelaki yang mengenakan anting di kedua telinganya tadi.
"Tapi, baiklah! Sebagai pendatang di negeri ini, aku terpaksa mengalah!"
Katanya sambil menggerakkan tubuh agar lebih enak dan gagah.
"Kami adalah Empat Iblis Pen-cabut Nyawa!"
Lanjut lelaki beranting itu. Ong Lie mengangguk-angguk.
"Apa tujuan kalian datang ke negeri ini?"
Tanya Ong Lie, seperti mendikte.
Mendengar pertanyaannya, Empat Iblis Pencabut Nyawa tersinggung.
Baru kali ini mereka merasa di-dikte.
Apalagi didikte oleh anak muda.
Wajah mereka yang putih berubah merah seakan darahnya hendak merembes lewat pori-pori tubuh.
"Apa urusanmu, Bocah Tengik?!"
Geram lelaki yang menjadi pemimpin ketiga temannya.
"Tentu saja urusanku. Sebab kalian telah menjejak-kan kaki di negeri ini,"
Sahut pemuda itu masih de-ngan sikap tenang.
"Atau kalian memang ingin berse-kutu dengan orang-orang Perguruan Topeng Hitam?"
Keempat lelaki berkepala botak itu terkejut. Mereka saling berpandangan. Tidak menyangka bila niat mereka telah terbaca oleh pemuda bau kencur.
"Kalau memang ya, mau apa?"
Tanya lelaki berant-ing dengan sikap geram.
"Aku akan melarang!"
Sahut Ong Lie kalem.
"Apa hakmu?"
Bentak lelaki yang memiliki senjata tongkat itu.
"Karena aku tidak ingin negeri ini dikotori oleh o-rang-orang semacam kalian!"
"Angkuh sekali ucapanmu, Bocah Tengik!"
Geram le-laki berkepala botak lagi. Matanya yang sipit mulai terlihat merah seperti bara api yang siap membakar.
"Hei, Cacing Kremi! Sebutkan namamu sebelum aku membeset mulutmu yang busuk itu!"
Seorang teman-nya yang sejak tadi hanya berdiam diri mulai angkat bicara. Dilepaskannya senjata rantai berujung bola berduri ke atas tanah.
"Kalian tak perlu tahu siapa aku. Kalau memang berani, hadapilah segera!"
Tantang Ong Lie tenang.
"Bangsat!"
Geram lelaki beranting. Dengan wajah terbakar serta sinar merah menyala di kedua matanya, lelaki itu maju dua tindak.
"Bersiaplah untuk mampus, Bocah Tengik!"
Geramnya lagi.
"Bagus! Berarti kalian memang orang-orang yang punya nyali. Nah sekarang, bersiaplah!"
Ucap Ong Lie.
Sementara itu, di atas sebuah cabang pohon yang terlindung oleh dedaunan rimbun, sosok tubuh mungil tampak sedang asyik duduk berongkang-ongkang kaki.
Sudah sejak tadi ia berada di atas pohon, menyaksikan empat lelaki berkepala botak dan seorang pemuda tampan yang siap bertarung.
Sikap pemuda berjubah kuning itu tampak tenang.
Tak ada tanda-tanda seperti hendak menyerang.
Ke-cuali matanya saja yang meneliti keadaan lawan.
"Hiyaaat!"
Tiba-tiba tubuh Ong Lie mencelat ke arah lelaki beranting dengan ketinggian sekitar dua meter.
Kedua tangannya melebar.
Tangan kiri lurus ke depan, se-dangkan tangan kanan ke belakang dengan gerakan hendak memukul.
Inilah yang disebut dengan jurus 'Bacokan Maut'.
Sebuah serangan membacok dengan sisi telapak tangan.
"Hiiih...!"
Ong Lie langsung melayangkan bacokan tangannya ke arah lawan.
Namun segera lawannya menyambut serangan itu dengan jurus 'Kincir Angin'.
Tangan kirinya menyilang ke dada untuk menahan tangan kiri la-wan, sedangkan tangan kanan menyilang ke atas un-tuk menangkis dan menangkap tangan kanan lawan yang membacok ke arahnya.
Dan kalau salah satu tangannya yang dipergunakan untuk menangkis dapat menyambar tangan lawan, maka secepat kilat dia akan membalikkan tubuh sambil memutar tubuh lawan dengan kecepatan yang amat dahsyat sebagaimana pu-taran kincir angin.
"Huppp!"
Ong Lie segera mencelat, membalikkan tubuhnya di udara ketika lawannya mampu menangkis.
Tubuhnya melewati kepala lawan.
Begitu kedua kakinya mengin-jak tanah, ia kembali menggenjot tenaganya untuk melakukan serangan dengan tendangan.
Dukkk! Lelaki botak yang mengenakan anting di kedua te-linganya itu tersentak kaget manakala kaki kanan lawan mendarat di dadanya.
Karena pada saat ia mem-balikkan tubuh, saat itu pula tendangan lawan mendarat ke dadanya tanpa mampu dielakkan lagi.
Akibat-nya, ia terdorong keras ke belakang sejauh dua meter.
Sehingga pada saat tubuhnya roboh di tanah, mulut-nya langsung mengeluarkan darah segar.
Namun lelaki itu bangkit kembali tanpa menghiraukan luka dalam tubuhnya.
Sreset! Tangannya mencabut kedua pedang yang tersang-kut di pinggang.
Kemudian tubuhnya melabrak lawan dengan sepasang pedang yang menyambar-nyambar.
Inilah jurus 'Pedang Samber Nyawa'.
Salah satu jurus yang banyak dimiliki oleh orang Tiongkok.
Sedangkan dahsyat tidaknya jurus ini tergantung dari kemampuan masing-masing pemiliknya.
"Hiyaaat..!"
"Hup hup huppp!"
Lelaki beranting terbelalak kaget melihat pemuda itu menangkap ujung pedangnya.
Sebab selama ia ter-jun dalam dunia persilatan, belum pernah ia melihat seorang pendekar yang berani menangkap ujung pedang yang sangat tajam itu.
Tapi pemuda di hadapan-nya begitu gagah menangkap kedua ujung pedangnya tanpa merasa takut akan luka.
"Hih!"
Lelaki beranting mencoba menarik kedua pedang-nya kembali.
Maksudnya agar tangan lawan terputus.
Tapi alangkah kaget ia, karena ketika menarik kedua pedangnya itu, tangan lawan malah semakin memper-erat genggamannya, seolah-olah tak ingin melepaskan.
"Hiyaaat...! Hahhh!"
Ong Lie mengeluarkan lengkingan tinggi seraya me-narik ujung pedang yang digenggamnya ke bawah.
Tu-buh lawannya terhuyung ke depan dengan kedua pe-dang yang terlepas dari kedua tangannya.
Pada saat itulah pemuda tampan berjubah kuning itu membalik-kan ujung pedang agar dapat memegang gagangnya.
Selanjutnya, ujung pedang itu diarahkan pada lawan dengan gerakan menusuk.
Creb! Creb! Tanpa menimbulkan erangan sedikit pun, tubuh le-laki beranting langsung roboh dengan kedua pedang yang menembus perutnya.
Tiga orang dari Iblis Pencabut Nyawa yang sejak ta-di hanya berdiri menyaksikan pertempuran menjadi terbelalak kaget melihat temannya tewas di tangan pemuda itu.
Kemudian kaki mereka melangkah dua tindak dan memandang pemuda itu dengan geram.
"Bangsat! Berani kau mempermainkan Iblis Penca-but Nyawa!"
Geram lelaki yang tadi membawa rantai berujung bola besi.
Wajahnya bengis.
Saat berkata, kumisnya yang panjang tebal bergerak-gerak.
Sedang-kan di tengah kepalanya yang botak, terkucir beberapa helai rambut yang panjangnya sekitar dua puluh lima sentimeter.
Kemudian senjata yang panjangnya sekitar tiga meter di tangannya mulai diputar perlahan-lahan.
Bila gandulan besi itu mengenai kepala lawan, sung-guh sangat sulit untuk dibayangkan! Sementara ia memutar-mutar rantai besinya, kedua teman lainnya pun siap pula dengan senjatanya ma-sing-masing.
Seorang lelaki berkalung kepala naga memutar-mutar tongkatnya di atas kepala dengan kecepatan yang luar biasa, hingga menimbulkan desingan keras.
Sedangkan sepasang matanya yang merah menyala mencorong tajam ke arah lawan.
Apa yang dilakukan dua orang itu diikuti oleh te-mannya yang berada di sebelah kiri lawan.
Pendekar Mabuk Pertarungan Di Bukit Jagal Pendekar Bayangan Sukma Undangan Berdarah Pendekar Mabuk Perawan Sesat