Ceritasilat Novel Online

Pengkhianatan Dewa Maut 2


Pengemis Binal Pengkhianatan Dewa Maut Bagian 2



"Bodoh! Masa' tidak tahu apa yang kumaksud?!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, Suropati celingukan.

   Ditatapnya para pengemis dan gelandangan yang berada di sekitarnya.

   Tiba-tiba terbersit sinar aneh di matanya.

   Sambil mengulum senyum, kakinya melangkah menghampiri seorang pengemis wanita yang sedang berdiri dengan kepala tertunduk.

   "Siapa namamu?"

   Tanya Suropati. Yang ditanya mengangkat wajahnya. Senyum Suropati semakin mengembang. Tiba-tiba remaja konyol itu mencolek dagu wanita di hadapannya, yang ternyata seorang gadis berumur sekitar tujuh belas tahun. Wajahnya manis, walau tampak kotor.

   "Apa-apaan, Kau...?!"

   Bentak gadis itu.

   "Uh! Gitu saja marah?! Kau manis! He-he-he...."

   Suropati tertawa terkekeh, kemudian kembali menowel dagu gadis itu.

   Tentu saja gadis itu marah-marah.

   Tapi, Suropati malah tertawa keras.

   Dan dia semakin berani menggoda.

   Melihat ulah remaja yang berpakaian putih penuh tambalan itu, para pengemis dan gelandangan teman Wirogundi saling berbisik.

   "Pengemis Binal...."

   "Ya! Dia memang Pengemis Binal!"

   "Sikapnya konyol dan gila-gilaan. Tapi, menyenangkan."

   "Sangat pantas dijuluki Pengemis Binal...."

   Mendadak Suropati berjalan menghampiri sekumpulan pengemis dan gelandangan yang sedang berbisik-bisik membicarakan dirinya.

   "Apa yang kalian katakan...?!"

   Bentak remaja konyol itu sambil menatap tajam salah seorang pengemis muda yang berambut riap-riapan.

   "Ah, tidak.... Aku tidak berkata apa-apa ..."

   "Hei? Kau mau mungkir! Aku tadi mendengar kamu membicarakan aku!"

   "Ehm... Aku tadi hanya bilang, bahwa kau sangat pantas dijuluki Pengemis Binal...."

   "Apa? Pengemis Binal?"

   "I..., eh! Maaf...."

   "Pengemis Binal...,"

   Gumam Suropati.

   "Ha-ha-ha...."

   Tiba-tiba remaja konyol ini tertawa terbahak-bahak sambil meloncat-loncat kegirangan. Dan semua yang berada di tempat itu pun segera ikut tertawa.

   "Eh! Kalian jangan ikut tertawa...!"

   Bentak Suropati.

   "Bagaimana kalau empat begundal jelek itu tadi kembali memeras kalian ketika aku tidak ada...?"

   Para pengemis dan gelandangan itu pun jadi diam.

   "Bagaimana kalau aku mengajari kalian beberapa jurus ilmu silat..?"

   Tanya Suropati lagi. Ucapan Suropati itu segera disambut suara gemuruh tanda setuju.

   "Nah! Sekarang cepat ambil sebatang kayu,..!"

   Dengan serta-merta, Wirogundi dan teman-temannya berhamburan.

   Mereka segera mematahkan ranting-ranting pohon untuk dipergunakan sebagai tongkat.

   *** Setelah mengajarkan gerakan-gerakan dasar ilmu silat, Suropati segera memperlihatkan jurus 'Tongkat Memukul Anjing'.

   Remaja konyol itu bergerak lincah.

   Tangannya yang memegang sebuah ranting pohon berputar-putar, membentuk sebuah perisai.

   Setelah melompat ke atas, ranting pohon yang berada dalam genggamannya diayunkan ke tanah.

   Duuummm...! Tanah tempat sasaran kontan berlubang beberapa jengkal.

   Dan pertunjukan Suropati segera disambut sorak-sorai berkepanjangan.

   "Ayo, jangan menonton saja! Cepat tirukan gerakanku!"

   Teriak Suropati, memerintah.

   Dan di pagi yang cerah itu, para pengemis dan gelandangan Kota Kadipaten Bumiraksa berlatih ilmu silat dengan sungguh-sungguh.

   Suropati benar-benar telah menjadi pemimpin bagi mereka! Ketika seorang bocah merasa sudah sangat tinggi Seharusnya malu pada diri sendiri Karena sesungguhnya belum banyak yang dimengerti Alam pun menertawakan perbuatan yang merugi Si bocah berlari ketika diuji Sang guru mengeluh bingung, ke mana hendak mencari? Ketika sudah menemui Pelajaran apa yang harus diberi? Tak lain adalah hukuman, untuk lebih mengerti pada diri sendiri Sebuah tembang mengalun syahdu.

   Getaran suaranya merayap, menuju halaman Kuil Seloka di pinggir Kota Kadipaten Bumiraksa.

   Diiringi hembusan angin dan ayunan ranting-ranting pohon, makna tembang itu menyusup mengelus sanubari.

   Seorang remaja tampan berpakaian putih penuh tambalan yang tengah duduk di bawah pohon tersentak, langsung menajamkan telinga.

   "Guru...,"

   Bisik pemuda itu pada diri sendiri. Sebelum pemuda yang tak lain Suropati itu bangkit berdiri, sebuah bayangan berkelebat mendekati.

   "Bocah Gendheng tak tahu diuntung! Ke mana saja kau selama ini...?!"

   Maki bayangan yang baru datang.

   "Maafkan Suropati, Guru...,"

   Ucap Suropati kepada seorang kakek kurus yang telah berdiri di hadapannya.

   "Kau telah berpaling dari tanggung jawabmu, Suro...,"

   Gumam kakek kurus yang tak lain si Periang Bertangan Lembut Suropati menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tiba-tiba kakek kurus yang juga berpakaian penuh tambalan itu tertawa keras.

   "Ha-ha-ha.... Rupanya kau bisa juga merasa bersalah, Bocah Gendheng...!"

   Si Periang Bertangan Lembut menepuk-nepuk bahu muridnya.

   "Suro! Aku menyuruhmu bersemadi selama empat puluh hari empat puluh malam. Kau tahu itu, Suro! Di bawah bimbinganku, kau sedang berlatih menyempurnakan ilmu 'Arhat Tidur'! Kenapa kau malah lari...?!"

   Omel kakek kurus berpakaian tambalan itu Suropati mendongakkan kepalanya. Mendadak, kekonyolannya muncul.

   "Aku bosan tinggal di gunung. Sepi! Tiap hari monyet-monyet mengejekku. Bahkan jangkerik suka menggelitik masuk ke dalam celanaku.... Siapa yang tahan, Kek...?!"

   Kilah remaja tampan ini, polos. Bahkan mengubah panggilan kepada gurunya. Si Periang Bertangan Lembut kembali tertawa.

   "Itu tandanya kau tidak tahan uji, Bocah Gendheng! Kewajibanmu sebagai murid adalah belajar, dan selalu menuruti perintah guru! Tapi, kenapa kau malah berpaling dari kewajibanmu...?!"

   Tegur Periang Bertangan Lembut Suropati menggaruk-garuk kepalanya.

   "Kau harus segera menjalani hukumanku, Suro...!"

   Bentak Periang Bertangan Lembut Tiba-tiba Suropati melonjak seraya tertawa terkekeh-kekeh.

   "Aku baru saja diangkat menjadi seorang pemimpin! Walaupun hanya seorang pemimpin bagi pengemis-pengemis, mau kuletakkan di mana wibawaku kalau kau menghukumku, Kek...?!"

   Sergah Suropati. Si Periang Bertangan Lembut ikut tertawa terkekeh-kekeh.

   "Berbuat baik akan mendapat ganjaran. Berbuat jahat akan mendapat pembalasan. Siapa melakukan perbuatan benar, dia akan mendapatkan manfaat. Sebaliknya, siapa yang melakukan perbuatan salah, akan mendapat hukuman,"

   Kata si Periang Bertangan Lembut "Suro! Karena kau telah melakukan perbuatan salah, kau pun harus mendapat hukuman...!"

   Selesai berkata demikian, kakek kurus itu cepat menggerakkan kedua tangannya.

   Langsung dilancarkannya ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'.

   Tuk! Tuk! Suropati tak sempat berkata-kata lagi.

   Walaupun totokan yang dilancarkan si Periang Bertangan Lembut hanya sepertiga bagian, namun seluruh kekuatannya menjadi hilang.

   Karena keterkejutannya, remaja tampan itu meloncat Bruuukkk...! Tubuh Suropati jatuh ke tanah, seperti sudah kehilangan semua keseimbangannya.

   "Apa yang telah kau lakukan, Kek...?"

   Tanya Suropati gusar.

   "Aku telah menotok enam pusat aliran darahmu. Bagaimana rasanya Suro...?"

   Kakek kurus itu malah balik bertanya. Suropati bangkit. Segera kedua tangan dan kakinya digerak-gerakkan. Dan, dia pun terkejut setengah mati....

   "Kau telah memusnahkan ilmu silatku, Kek...?"

   Tanya Suropati, tak percaya. Si Periang Bertangan Lembut tertawa terbahak-bahak.

   "Itu hukuman untukmu, Suro...,"

   Kata kakek itu, enteng. Melihat Suropati yang bengong, Periang Bertangan Lembut itu memperkeras tawanya.

   "Ha-ha-ha.... Katanya kau telah menjadi pemimpin pengemis, Suro...?! Nah! Untuk menjadi seorang pemimpin yang bijaksana, kau harus dapat merasakan penderitaan kawulamu,"

   Ujar si Periang Bertangan Lembut sambil menatap Suropati dalam-dalam.

   "Untuk menyambung nyawamu, kau harus mengemis! Tak seorang pun dari teman-temanmu yang boleh membantumu. Jika mereka membantumu, tahu sendiri akibatnya. Dan kau harus makan dari hasil keringatmu sendiri...!"

   Mata Suropati mendelik.

   "Kau kejam, Kek...!"

   "Itu hukuman yang setimpal untukmu, Suro...."

   "Tapi, Kek! Kau harus tahu kalau para pengemis dan gelandangan di Kota Kadipaten Bumireksa ini selalu ditindas orang yang merasa dirinya berkuasa...? Aku baru saja melakukan tanggung jawabku untuk melatih mereka beberapa jurus ilmu silat, sebagai perisai untuk menghadapi tindakan sewenang-wenang. Dan, kau telah menghalangiku untuk melakukan kewajibanku itu, Kek...,"

   Kata Suropati mencoba berkilah.

   "Ck... ck... ck.... Pintar berkhotbah juga kau rupanya, Bocah Gendheng! Kau tak perlu khawatir. Akulah yang akan melaksanakan kewajibanmu...."

   Mendengar ucapan gurunya, Suropati mengambil napas panjang, dan menghembuskannya dengan deras.

   *** Sejak saat itu, Suropati telah benar-benar menjadi seorang pengemis.

   Dari rumah ke rumah, dari kedai ke kedai, dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya, dia berjalan mencari sesuap nasi.

   Tak seorang pun teman-temannya yang bersedia membantu, karena takut kepada si Periang Bertangan Lembut yang telah menjadi guru mereka.

   Hari ini, di pinggir alun-alun Kadipaten Bumiraksa, Suropati berpapasan dengan Empat Begundal Sakti yang pernah ditaklukkannya! "He, Empat Begundal Jelek! Rupanya kalian masih punya nyali menampakkan batang hidung di hadapanku...!"

   Tegur Suropati memasang wajah angker.

   "Memang kami sengaja mencarimu, Tuan Muda...,"

   Kata Gitapati yang menjadi pemimpin seraya menjatuhkan diri, berlutut di hadapan Suropati. Ulah Gitapati itu segera diikuti teman-temannya.

   "Aku tidak mau kalian sembah...! Kalau minta uang, aku tidak punya...!"

   Cegah Suropati.

   "Kami bukan minta uang, Tuan Muda.... Tapi, kami minta sudilah kiranya Tuan Muda mengajari kami beberapa jurus ilmu silat...,"

   Ujar Gitapati, tanpa merasa malu.

   "Aku tidak mau...!"

   Jawab Suropati ketus. Remaja tampan itu pun segera melangkah. Tapi, hingga beberapa lama, Empat Begundal Sakti selalu mengikutinya.

   "Bedhes Jelek! Kenapa kalian mengikutiku...?!"

   Maki Suropati ketika menyadari dirinya diikuti.

   "Kami meminta beberapa jurus saja, Tuan Muda...,"

   Ratap Gitapati sambil membungkukkan badan.

   "Sudah kubilang, aku tidak sudi...!"

   Bentak Suropati Mendadak remaja itu menggedrukkan kakinya ke tanah dengan sekuat tenaga. Duuukkk...! "Aughhh...!"

   Suropati menyeringai kesakitan karena tulang kaki kanannya terkilir. Dia lupa kalau ilmu silatnya telah dimusnahkan si Periang Bertangan Lembut Melihat Suropati yang kini berjalan terpincang-pincang, kening Empat Begundal Sakti berkerut.

   "Kakimu terkilir, Tuan Muda...,"

   Usik Gitapati berusaha melembutkan suaranya.

   "Aku mengerti sedikit, ilmu urut. Barangkali bisa membantu...."

   "Monyet Kudisan! Belum juga kalian pergi...!"

   Tiba-tiba Suropati melayangkan kaki kirinya ke arah Gitapati! Buuukkk...! "Aughhh...!"

   Kembali remaja konyol itu menyeringai kesakitan. Telapak kakinya seperti membentur tembok tebal. Tubuhnya pun terpelanting, jatuh ke tanah "Aduh! Kasihan kau, Tuan Muda...,"

   Desah Gitapati perlahan. Tapi, tiba-tiba lelaki ini melayangkan kaki kanannya, menyepak pantat Suropati yang masih terbaring di atas tanah. Bukkk! "Aduhh...!"

   Tentu saja remaja konyol itu mengerang kesakitan. Melihat itu, Empat Begundal Sakti tertawa terbahak-bahak.

   "Rupanya kau sama sekali tak berilmu, Bocah Geblek...!"

   Ejek Gitapati seraya menghadiahkan sebuah tendangan kembali. Buuukkk...! "Aughhh...!"

   Suropati mengaduh keras, merasakan tubuhnya terlempar jauh.

   Menyaksikan keadaan remaja konyol itu yang sama sekali tak berdaya, Empat Begundal Sakti segera menjadikannya sebagai bulan-bulanan.

   Sementara itu, sepasang mata menatap kejadian ini dari balik sebuah pohon beringin besar.

   Si pengintip berulang kali mendesah, karena tak tega melihat keadaan Suropati yang tampak mengenaskan.

   "Aku tak bisa membiarkan empat lelaki bercambang bauk lebat itu berbuat kejam...,"

   Gumam si pengintip yang tak lain si Periang Bertangan Lembut, guru Suropati.

   Kakek kurus itu mendengus, melihat kaki kanan Gitapati yang melayang cepat hendak menginjak leher Suropati! Seketika dia menarik sebuah kerikil, dan langsung dilemparkannya.

   Seeettt...! Tak! "Auuuh...!"

   Kerikil itu tepat mengenai telapak kaki kanan Gitapati, hingga merasa kesemutan. Segera pergelangan kakinya diturunkan sambil celingukan. Tapi karena tak melihat sesuatu yang mencurigakan, dia menatap ketiga anak buahnya.

   "Eh! Pernahkah kalian merasakan daging manusia...?"

   Tanya Gitapati penuh kesungguhan. Yang ditanya menggelengkan kepalanya serempak.

   "Nah! Tubuh bocah gendheng ini tentu masih empuk karena umurnya masih belum seberapa. Bagaimana kalau dipanggang?"

   Anak buah Gitapati saling berpandangan. Tapi mereka segera tertawa terbahak-bahak. Mendadak Suropati menatap Empat Begundal Sakti dengan tajam.

   "Monyet-monyet Kudisan, segera cium kakiku...!"

   Empat lelaki bercambang bauk lebat itu tercengang beberapa saat. Tapi, mereka pun kembali tertawa.

   "Sudah mendekati liang kubur, masih mengajak bercanda, Bocah Geblek...!"

   Ejek Gitapati.

   Suropati terkejut.

   Disadari kalau kekuatan sihirnya kini juga telah musnah bersama ilmu silatnya.

   Mendadak Gitapati menendang punggung remaja konyol itu, hingga terlontar satu tombak.

   Lalu orang yang bernama Bureksa membopong tubuh Suropati, dan membawanya lari menuju hutan kecil di pinggir Kota Kadipaten Bumiraksa, diikuti tiga temannya.

   Si Periang Bertangan Lembut keluar dari tempat persembunyiannya, dan segera berlari menguntit.

   Hatinya khawatir akan keselamatan muridnya.

   Matahari sudah condong ke barat ketika Empat Begundal Sakti sampai di tanah datar berumput yang dikelilingi pohon-pohon besar.

   Setelah mengikat tangan dan kaki Suropati, mereka segera membuat perapian.

   "Bocah Geblek itu kita sembelih dulu atau langsung dipanggang hidup-hidup...?"

   Tanya orang yang bernama Sarmapati.

   "Ha-ha-ha...,"

   Gitapati tertawa lebar.

   "Kita panggang saja hidup-hidup. Biar dia merasakan terlebih dahulu sebuah siksaan yang sangat menyakitkan!"

   Mata Suropati mendelik ketika tubuhnya diangkat beramai-ramai.

   Dalam hati dia pun segera berdoa, untuk mengiringi kematiannya.

   Hilang sudah segala kekonyolan remaja tampan itu waktu melihat lidah api yang menjilat-jilat.

   Sambil memejamkan mata, dia berpasrah diri kepada Tuhan.

   Tawa panjang mengiringi perbuatan Empat Begundal Sakti yang melontarkan tubuh Suropati ke perapian! Sementara itu si Periang Bertangan Lembut yang terus menguntit Empat Begundal Sakti segera bangkit dari tempat persembunyiannya.

   Tapi, kakek kurus itu mengurungkan niatnya, karena melihat sebuah bayangan berkelebat ke arah Suropati.

   Wusss...! Dengan sebuah angin pukulan yang berlambarkan kekuatan tenaga dalam, tubuh Suropati yang sudah melayang di atas lidah api tiba-tiba terlontar, dan jatuh di samping perapian.

   Empat Begundal Sakti terkesiap.

   Mereka memicingkan mata sambil celingukan mencari seseorang yang telah menolong calon korbannya.

   "Kenapa susah-susah mencari? Aku di sini, Monyet-monyet Bau!"

   Empat Begundal Sakti mendongakkan kepala. Mereka melihat seorang gadis sedang duduk santai di atas dahan pohon besar.

   "Turun kau, Perempuan Edan...!"

   Bentak Gitapati.

   "Kau saja yang naik, Monyet Bau...!"

   Balas gadis itu.

   Mendengar ucapan itu, Gitapati jadi naik pitam.

   Segera dipungutnya sebutir batu sebesar kepalan tangan, lalu dilontarkannya! Wuuuttt...! Tap...! Dengan mudah gadis itu menangkap batu yang dilontarkan ke arahnya.

   Namun mendadak gadis itu melemparkannya kembali.

   Dan....

   Wuuuttt...! Taaakkk...! "Adaaauwww...!"

   Gitapati meraung kesakitan. Kepalanya benjol sebesar telur ayam, tertimpa lontaran batu.

   "Perempuan Edan! Beraninya kau mempermainkan aku...!"

   Dengus lelaki bercambang bauk lebat itu seraya meraup batu-batu yang berada di dekatnya.

   Lalu...

   Weeesss...! Gadis yang menjadi sasaran hujan batu hanya menggerakkan tangan kanannya perlahan.

   Wuuusss...! Taaakkk...! Taaakkk...! Taaakkk...! Taaakkk...! Empat Begundal Sakti sama-sama meraung kesakitan dengan kepala benjol-benjol tertimpa batu-batu yang melontar balik akibat hempasan tenaga dalam gadis yang tengah duduk santai di dahan pohon.

   Untuk beberapa lama, mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat.

   Tiba-tiba Gitapati menggerendeng gusar.

   Seketika goloknya dibabatkan! Beeettt...! Buuummm...! Batang pohon itu tumbang.

   Dan gadis yang bertengger di atasnya meloncat ke tanah.

   Tappp...! Manis sekali gadis ini mendarat "Perempuan Edan! Kenapa kau mencampuri urusanku...?!"

   Bentak Gitapati. Gadis yang tak lain Anjarweni itu mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

   "Perbuatanmu itu sangat biadab, Monyet Bau!"

   "Bangsat! Masih saja kau menghinaku dengan sebutan itu...!"

   Kembali Gitapati membabatkan goloknya.

   Kali ini sasarannya pinggang Anjarweni.

   Gadis itu hanya mundur beberapa tindak, seraya mengayunkan kakinya ke tanah.

   Wuuuttt..! Taaakkk...! Seketika batu sebesar kepalan tangan bersarang di kepala Gitapati.

   Untuk ketiga kalinya lelaki ini mengaduh kesakitan.

   Empat Begundal Sakti segera mengeroyok Anjarweni Mereka yang sudah terbiasa berbuat jahat, tak sungkan-sungkan lagi mengerubut gadis cantik murid Dewi Tangan api itu.

   Wuuuttt..! Wuuuttt...! Anjarweni menghemposkan tubuhnya ke atas, menghindar dari sambaran golok empat lelaki bercambang bauk lebat itu.

   Tiba-tiba gadis itu memutar tubuhnya di udara.

   Seketika tubuhnya menukik, sambil mengebutkan tangannya.

   Plak...! Plak...! Plak...! Plak...! Empat Begundal Sakti mendekap pipi masing-masing yang telah kena tampar.

   Sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, Anjarweni mengayunkan tangan! Wuuusss...! Brash...! Empat Begundal Sakti kontan berjingkrak-jingkrak.

   Ternyata, celana yang mereka kenakan tiba-tiba mengepulkan asap.

   Terbakar! "Wadooowww...!"

   Mereka kontan lari berserabutan sambil mendekap anunya yang keselomot api! Anjarweni memandangi kepergian mereka sambil terbahak-bahak.

   "Aduh...! Tolooong...!"

   Mendadak terdengar jeritan Suropati yang masih tergeletak di tanah. Anjarweni menolehkan kepala, melihat Suropati sedang menggeliat-geliat kepanasan karena sebagian bajunya terjilat lidah api yang berasal dari perapian.

   "Aduh...! Gadis bloon! Kenapa bengong saja?!"

   Teriak Suropati kepada Anjarweni.

   Dengan bibir cemberut karena dikatakan bloon, gadis itu segera mengibaskan tangannya, memberi pertolongan.

   Wuuusss...! Api yang menjilat baju Suropati langsung padam, terkena kibasan telapak tangan Anjarweni.

   Sedangkan Suropati meronta-ronta, berusaha melepaskan tali yang mengikat tangan dan kakinya.

   Melihat ulah Suropati yang seperti ulat dipatuk ayam itu, Anjarweni tertawa lebar.

   "Kenapa kau tertawa, Gadis Bloon?! Ayo, segera lepaskan tali yang mengikatku ini...!"

   Tegur Suropati konyol.

   "Enak saja kau menyebutku 'gadis bloon'! Menyesal aku menolongmu...,"

   Gerutu Anjarweni Mendengar ucapan Anjarweni, Suropati segera memasang wajah memelas.

   "Pendekar wanita yang cantik dan budiman, tolonglah aku untuk melepaskan tali terkutuk ini...,"

   Pinta Suropati.

   "Aku mau menolong, tapi ada syaratnya...,"

   Ujar Anjarweni. Kening Suropati berkerut. Setelah berpikir sejenak, dia mengembangkan senyum.

   "Baiklah. Apa pun syaratnya, aku bersedia...."

   Anjarweni mengerlingkan mata.

   "Setelah kutolong, kau harus bersedia jadi pembantuku seumur hidup."

   "Tidak mau!"

   Jawab Suropati, langsung.

   "Kenapa tidak mau?"

   "Aku ini pemimpin pengemis. Gadis Bloon! Walaupun pemimpin para pengemis, tepi tetap pemimpin! Tak lucu kalau dijadikan pembantumu. Apalagi seumur hidup. Bisa-bisa aku nanti kau suruh menyuapimu...."

   Anjarweni tertawa lebar.

   "Kalau tidak mau, ya sudah.... Aku pun tak sudi menolong."

   Sambil menggerutu panjang-pendek, Suropati meronta semakin keras. Tapi, ikatan talinya tak juga terlepas. Hingga membuat kulit lengan dan kakinya lecet-lecet. Melihat itu, rasa iba Anjarweni timbul. Dan gadis itu segera membantu.

   "Kalau kau tidak pernah menolongku, aku pun tidak akan menolongmu, Bocah Edan!"

   Cibir Anjarweni, ketus. Suropati tertawa.

   "Itu namanya pendekar budiman. Tak melupakan budi orang,"

   Kata Suropati sambil mencoba berdiri.

   "Aduh...!"

   Tiba-tiba remaja konyol itu jatuh kembali. Dia lupa pada kaki kanannya yang telah terkilir.

   "Kasihan juga kau rupanya, Bocah Edan...."

   Melihat Suropati yang meringis kesakitan, Anjarweni segera memegang kaki kanannya.

   "Aduh...!"

   Jerit Suropati keras.

   "Memangnya pelan-pelan saja. Dan, cepat kau urut. Aku mau pingsan, nih..."

   Seperti terkena sihir, Anjarweni menuruti perintah Suropati.

   "Aduh...!"

   Jerit Suropati lagi.

   "Gurunya jangan seperti itu! Pelan-pelan saja...!"

   Kembali Anjarweni menuruti perintah remaja konyol itu. Tiba-tiba.... Coup...! Suropati mencium pipi Anjarweni. Gadis itu terkejut! Lalu.... Plak...! Suropati terpelanting kena tampar.

   "Bocah Edan! Rupanya kau pintar mencari kesempatan dalam kesempitan!"

   Bentak Anjarweni, dengan wajah memerah menahan malu.

   Melihat Anjarweni yang marah-marah, Suropati hanya tertawa.

   Dan gadis itu pun berkelebat cepat, melepaskan serangan.

   Buuukkk...! Buuukkk...! Tubuh remaja konyol yang sudah babak-belur itu kini jadi bulan-bulanan Anjarweni.

   "Sudahlah, Kak Weni..."

   Tiba-tiba terdengar suara teguran dari belakang. Anjarweni menolehkan kepalanya. Ternyata Ingkanputri yang muncul.

   "Bocah Edan ini memang layak untuk dihajar, Putri...!"

   Dengus Anjarweni masih diliputi kemarahan.

   "Jangan membuang-buang waktu, Kak Weni. Segeralah tanya dia. Barangkali tahu, di mana orang yang kita cari berdiam diri,"

   Kata Ingkanputri, lembut. Anjarweni menatap tajam Suropati.

   "Bocah Edan! Pernahkah kau dengar seseorang yang bernama Brajadenta yang bergelar si Dewa Maut?"

   Tanya Anjarweni. Suropati memicingkan matanya sambil memegang bagian tubuhnya yang terasa sakit "He, Bocah Edan! Tuliskan kau?!"

   Bentak Anjarweni. Suropati terperangah.

   "Ada apa?"

   "Pernahkah kau dengar seseorang yang bernama Brajadenta yang bergelar si Dewa Maut?"

   Ulang Anjarweni.

   "Apakah itu ayahmu?"

   Suropati ganti bertanya. Buuukkk...! "Hugh...!"

   Anjarweni menendang perut Suropati.

   "Segera jawab pertanyaanku, Bocah Edan!"

   "Aduh.... Kalau kau marah-marah begitu, mana aku sempat berpikir...."

   Suropati mengerutkan kening, pura-pura berpikir.

   "Oh, ya. Aku tahu...!"

   Kata Suropati kemudian Anjarweni dan Ingkanputri segera berjalan mendekati "Aku tahu...,"

   Kata Suropati lagi tampak sungguh-sungguh.

   "Aku tahu. Tapi, sekarang sudah lupa."

   Buuukkk...! Tubuh Suropati menggelosor ke tanah terkena tendangan Anjarweni.

   "Bocah Edan! Rupanya kau benar-benar sudah sinting!"

   Setelah mengucapkan kata-kata itu, Anjarweni berkelebat cepat menghilang dari tempat itu, diikuti Ingkanputri.

   Suropati yang ditinggalkan seorang diri, hanya bisa mengaduh berkali-kali.

   Tubuhnya yang babak-belur terasa bagai dirajam! Tiba-tiba remaja konyol itu tertawa keras.

   "Ha ha.... Nikmat juga rasanya mencium pipi gadis cantik...."

   Remaja itu pun ngeloyor pergi dengan langkah sempoyongan. Tiga puluh hari setelah Suropati menjalani hukuman, si Periang Bertangan Lembut memanggilnya. Remaja konyol itu harus menghadap di dalam Kuil Saloka.

   "Bagaimana rasanya menjadi pengemis, Suro?"

   Tanya kakek kurus ini. Suropati tersenyum.

   "Senang sekali, Kek...,"

   Sahut remaja konyol itu.

   "Sungguh nikmat merasakan makanan sisa. Sungguh syahdu suara orang yang mencariku. Dan kalau aku kena tendang pun, rasanya badan seperti dipijit-pijit..."

   Mendengar kalimat muridnya itu, si Periang Bertangan Lembut kontan tertawa.

   "Kau benar-benar bocah gendheng, Suro. Tapi, aku sangat suka. Kau memang pantas menjadi murid si Periang Bertangan Lembut...,"

   Puji Periang Bertangan Lembut Suropati menggerakkan bola matanya ke kiri dan kanan.

   "Suro! Hari ini adalah hari terakhir kau menjalani hukumanmu...."

   Mata Suropati berbinar mendengar ucapan gurunya.

   "Setelah genap tiga puluh hari kau mengalami penderitaan, hikmah apa yang dapat kau petik, Suro?"

   Tanya Periang Bertangan Lembut "Hikmah? Hikmah apa, Kek?"

   Suropati malah balik bertanya.

   "Sebenarnya kau sudah tahu, tapi pura-pura tidak tahu."

   Suropati mengernyitkan hidungnya.

   "Apa, Kek?"

   "Penderitaan itu sakit, Suro. Tapi dari rasa sakit itulah, jiwamu ditempa untuk menjadi orang yang bijaksana."

   Suropati diam mendengarkan petuah gurunya.

   "Orang yang bijaksana, selalu berpikir dari dua sudut yang saling bertentangan. Namun, saling isi. Ketika seseorang merasakan kebahagiaan, hendaknya ingat akan penderitaan. Agar dia tidak hanyut dalam kebahagiaan nya. Karena kalau hanyut, sesungguhnya telah berada di ambang pintu penderitaan. Sebab apa? Sebab apabila dia hanyut dalam kebahagiaan nya, dia sama sekali tak mempunyai persiapan untuk menyambut datangnya penderitaan. Karena tidak mempunyai persiapan itulah penderitaan yang menimpa akan terasa berlipat-lipat."

   Suropati menundukkan kepala dalam-dalam, merasakan kebenaran ucapan si Periang Bertangan Lembut.

   "Sebaliknya, apabila seseorang telah seringkali merasakan penderitaan, sesungguhnya telah punya modal berharga untuk menjadi seseorang bijaksana yang mengerti kodratnya sebagai manusia. Dan, ketika dianugerahi kebahagiaan, dia pun tak akan pernah lupa akan penderitaan yang telah dialami. Dia akan terhindar dari sifat sombong dan congkak, karena sadar kalau kebahagiaan itu tak kekal. Jadi, dia perlu hanyut pada kebahagiaan yang telah diperoleh"

   Suropati membuka mata hatinya untuk melihat, merasakan, dan mencamkan pengertian petuah gurunya.

   "Kau mengerti, Suro?"

   Tanya si Periang Bertangan Lembut kepada muridnya. Suropati mengangguk.

   "Jawab pertanyaanku, Suro!"

   Sentak si Periang Bertangan Lembut "Ya, Kek. Aku mengerti,"

   Sahut Suropati, mantap. Tiba-tiba si Periang Bertangan Lembut menggerakkan tangannya, melepaskan totokan di tubuh Suropati.

   "Ilmu silatmu telah kukembalikan, Suro. Untuk sementara, kau telah terbebas dari penderitaan...."

   Baru saja kata-kata Periang Bertangan Lembut selesai, seorang pengemis memasuki ruangan Kuil Saloka. Segera dihampirinya si Periang Bertangan Lembut yang tengah duduk bersila bersama muridnya.

   "Seseorang ingin bertemu, Guru...,"

   Lapor pengemis itu. Si Periang Bertangan Lembut segera bangkit dari duduknya, lalu melangkah keluar. Di depan halaman kuil telah berdiri menunggu seorang lelaki setengah baya berpakaian prajurit "Aku diutus Yang Mulia Baginda Prabu...,"

   Ucap prajurit itu ketika Periang Bertangan Lembut telah berada di depannya.

   "Ada perlu apa? Bukankah Baginda Prabu tahu kalau aku sudah tak mau lagi mencampuri urusan kerajaan?"

   Tanya si Periang Bertangan Lembut.

   "Tapi, ini sangat penting. Karena, menyangkut kewibawaan Yang Mulia Baginda Prabu,"

   Tegas prajurit itu.

   "Urusan apa?"

   "Brajadenta alias si Dewa Maut telah berkhianat."

   "Pengawal kerajaan itu berkhianat?"

   Tanya si Periang Bertangan Lembut seperti minta ketegasan, seraya mengerutkan keningnya.

   "Ya,"

   Jawab utusan kerajaan.

   "Brajadenta telah mencuri Kitab Batu Kumala Hitam."

   Si Periang Bertangan Lembut terkejut bagai disambar petir.

   "Bukan hanya itu saja. Dia pun telah berani menodai seorang dayang-dayang,"

   Tambah utusan ini. Mendengar hal ini, kakek kurus guru Suropati itu seperti dilolosi tulang-tulangnya. Lemas sekali.

   "Oh, Gusti Yang Maha Agung! Kenapa Brajadenta berani melakukan perbuatan biadab seperti itu...?"

   Desah si Periang Bertangan Lembut sambil mengelus dada.

   "Hal itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu,"

   Lanjut utusan ini "Apakah tokoh-tokoh kerajaan tidak ada yang sanggup menyeretnya kembali ke hadapan Baginda Prabu?"

   Tanya si Periang Bertangan Lembut Utusan kerajaan itu menggelengkan kepalanya.

   "Dia telah menguasai ilmu 'Batu Kumala Hitam' dari kitab yang telah dicurinya. Oleh karenanya, tak satu tokoh kerajaan pun yang sanggup menghadapinya...."

   "Dan, kedatanganmu ini tak lain untuk menyampaikan titah Baginda Prabu agar aku menghukum Brajadenta yang telah berkhianat itu, begitu...?"

   Utusan kerajaan itu mengangguk.

   "Baik, aku menyanggupi. Segera kau sampaikan hal ini kepada Baginda Prabu...,"

   Tegas si Periang Bertangan Lembut Setelah mendapat jawaban yang diinginkan, utusan kerajaan itu menjura beberapa kali.

   Kemudian dia mohon diri untuk pamit Dahi si Periang Bertangan Lembut berkerut-kerut memikirkan tugas yang harus diembannya.

   Untuk beberapa lama, dia sama sekali tak menampakkan senyum yang biasa menghiasi bibirnya.

   Melihat gurunya yang tampak berpikir keras, Suropati segera mendekati.

   "Apakah Brajadenta yang bergelar si Dewa Maut itu sangat sakti, Kek?"

   Tanya Suropati polos. Dan, remaja ini pun segera ingat kepada dua orang gadis yang juga tengah mencari pengkhianat kerajaan itu.

   "Kalau si Dewa Maut benar-benar telah menguasai ilmu 'Batu Kumala Hitam', rasa-rasanya tak seorang pun yang sanggup mengatasinya...,"

   Gumam si Periang Bertangan Lembut, masygul.

   "Bagaimana kalau dikeroyok, Kek?"

   Cecar Suropati. Mendengar ucapan muridnya, si Periang Bertangan Lembut tersenyum.

   "Tidak semudah yang kau kira, Suro."

   "Jadi, dia benar-benar tak bisa dikalahkan?"

   "Tentu bisa. Ilmu yang telah dikuasai Brajadenta berinti kepada Batu Kumala Hitam. Apabila batu itu terpisah dari tubuh, kekuatannya pun akan hilang. Tapi, mustahil bisa merampas baru itu tanpa terlebih dulu membunuh si Brajadenta...,"

   Jelas si Periang Bertangan Lembut.

   "Dan satu lagi kelemahannya, ilmu 'Batu Kumala Hitam' akan tak berdaya apabila berhadapan dengan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'. Tapi, aku tak yakin mampu menghadapinya. Karena aku sendiri hanya menguasai ilmu totokan itu sampai tingkat ketujuh belas."

   "Ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'? Kenapa Kakek tidak mengajarkannya padaku?"

   "Bocah Gendheng! Bagaimana aku akan mengajarimu? Sedang, ilmu "Arhat Tidur' saja belum kau kuasai?!"

   Kening Suropati kontan berkerut.

   Tiba-tiba timbul penyesalan dalam hatinya.

   Kalau saja waktu itu tidak melarikan diri ketika disuruh bersemadi untuk memperdalam ilmu "Arhat Tidur', dia tentu sudah diajari ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'.

   Mendadak si Periang Bertangan Lembut mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya.

   Langsung diserahkannya kepada Suropati.

   Remaja konyol yang sudah pandai membaca karena diajari gurunya itu menjadi sangat gembira.

   Matanya berbinar-binar memandang benda di tangannya yang tak lain adalah sebuah kitab ilmu olah kanuragan yang berjudul Delapan Belas Tapak Dewa.

   "Kalau terjadi apa-apa pada diriku, kau pelajari sendiri ilmu totokan itu, Suro...,"

   Ujar si Periang Bertangan Lembut.

   Setelah mengatakan itu, si Periang Bertangan Lembut berkelebat cepat langsung menghilang dari tempat ini.

   Suropati tak sempat berkata-kata lagi.

   Dia hanya diam terlongong-longong memandangi kitab yang berada di tangannya.

   Berhari-hari Suropati tak bosan-bosannya membuka lembar demi lembar halaman Kitab Delapan Belas Tapak Dewa.

   Halaman pertama dari kitab itu bergambar delapan belas pusat aliran darah di tubuh manusia.

   Halaman selanjutnya, merupakan petunjuk untuk menguasai ilmu totokan yang terkandung di dalamnya.

   Suropati mempelajarinya secara berurutan.

   Karena kecerdasan dan kemampuannya menafsir, maka waktu yang diperlukannya hanya sepekan untuk menghafal semua inti sari dari ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'.

   Ketika remaja konyol ini menutup kitab pemberian gurunya, matanya memancarkan sinar aneh.

   Pada kulit belakang kitab terpampang huruf besar-besar yang bertuliskan.

   Kekuatan sakti yang maha sakti hanya sanggup menguasai ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' sampai tingkat tujuh belas.

   Satu tingkat lagi, kesempurnaan akan didapat.

   Tapi bila kekuatan yang maha sakti hanya berasal dari diri sendiri, jangan coba-coba melangkah ke tingkat delapan belas.

   Karena, nyawa taruhannya.

   Kening Suropati berkerut ketika membaca tulisan itu.

   Tapi, dia tak mau membuang-buang waktu untuk berpikir.

   Segera kakinya melangkah menuju halaman belakang kuil bobrok bernama Saloka yang menjadi tempat tinggalnya.

   *** Di pagi yang cerah ini, Suropati berlatih ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' yang maha sakti itu.

   Setelah memusatkan seluruh pikirannya, tubuh Suropati berkelebat mengitari sebuah pohon sebesar tubuh manusia.

   Gerakannya sangat cepat.

   Tambahan lagi, ilmu totokan itu didasari kekuatan sihir.

   Maka, tubuh Suropati seakan-akan hilang tak berbekas! Teppp....! Suropati mendaratkan kakinya ke tanah.

   Pandangan matanya tertuju pada pohon yang tadi menjadi sasaran dari ilmu totokannya.

   Ternyata, batang pohon itu telah berlubang-lubang tertusuk ujung jarinya yang dilambari tenaga dalam.

   Sekejap kemudian, dari lubang-lubang itu menyembur getah berwarna putih.

   Suropati tersenyum puas menyaksikan hasil yang telah didapatkan.

   Segera didekatinya pohon yang telah menjadi sasaran dari ilmu totokannya.

   Tapi, dia menjadi terkejut.

   Ternyata, lubang yang terdapat di pohon itu hanya berjumlah tujuh belas! Remaja yang oleh kawan-kawannya dijuluki Pengemis Binal ini diam untuk beberapa lama.

   Menurut perasaannya, dia telah melakukan gerakan 'Delapan Belas Tapak Dewa'.

   Tapi, kenapa lubang di pohon itu hanya berjumlah tujuh belas? Hingga beberapa saat si Pengemis Binal berpikir keras.

   Karena belum menemukan jawaban atas keanehan itu, segera latihannya diulangi.

   Tubuhnya kembali berkelebat cepat, mengitari pohon lain yang jadi sasarannya.

   Teppp...! Kembali kaki Suropati mendarat di tanah.

   Seperti yang pertama, pohon kedua yang menjadi sasaran dari ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' juga berlubang-lubang, menyemburkan getah berwarna putih.

   Tapi untuk kedua kalinya, Suropati menjadi terkejut.

   Ternyata lubang di pohon itu tetap berjumlah tujuh belas! Suropati segera menyadari keanehan ini.

   Dia pun tahu, kenapa gurunya juga hanya menguasai ilmu totokan itu pada tingkat tujuh belas.

   Namun, Suropati tidak mau putus asa.

   Dia beranggapan, dalam dirinya tentu ada sesuatu yang kurang.

   Sehingga, menjadikan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' tidak sempurna dikuasainya.

   Segera Suropati memusatkan pikirannya lebih tinggi lagi.

   Seluruh hawa murninya dikumpulkan.

   Dan segenap kekuatannya disatukan untuk mengawali latihannya kembali.

   Perlahan-lahan dari kepalanya menyembul asap tipis.

   Tubuhnya bergetar, semakin lama semakin keras.

   Dan....

   Kini tubuh Suropati melayang menuju ke sebuah pohon.

   Dengan kecepatan melebihi suara, dua ujung jari telunjuknya bergerak....

   Ketika mencapai totokan ketujuh belas, tiba-tiba tubuh Suropati terpental tinggi! Buuummm...! Suropati jatuh telentang.

   Untuk sesaat tubuhnya tak mampu digerakkan.

   Tulang-tulangnya terasa remuk.

   Kepalanya pusing, membuat pandangannya mengabur.

   Perlahan-lahan dari hidung dan mulutnya meleleh darah segar....

   Suropati mencoba bangkit, tapi segera jatuh lagi.

   Dadanya sesak bagai dipukul selaksa palu godam! *** Pagi itu juga, Suropati bertekad menyusul gurunya yang tengah mencari Brajadenta alias si Dewa Maut Setelah menunjuk Wirogundi sebagai pemimpin sementara bagi para pengemis, Suropati segera melangkah meninggalkan Kota Kadipaten Bumiraksa.

   Sama sekali tak dipedulikannya luka dalam yang sedang dideritanya.

   Matahari sudah tepat di atas kepala, ketika Suropati sampai di pinggir lembah kecil yang masih termasuk wilayah Kadipaten Bumiraksa.

   Baru saja Suropati mengedarkan pandangan ke sekeliling, tiba-tiba keningnya berkerut.

   Telinganya yang tajam mendengar suara-suara pertarungan.

   Saat itu juga, dia kembali berkelebat cepat ke arah sumber suara pertarungan.

   Tepat di tengah lembah, Suropati melihat dua orang tengah bertarung.

   Cepat dia menyelinap, bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengamati jalannya pertarungan.

   Buuummm...! Sebuah pohon sebesar tubuh manusia tumbang terkena sasaran pukulan jarak jauh.

   "He, Banjaranpati. Masihkah kau tidak mau menyerah...?!"

   Kata salah seorang lantang kepada lawannya seorang kakek berpakaian serba putih.

   "Aku tidak tahu siapa dirimu. Kenapa aku mesti menyerah kepadamu...?!"

   Kata kakek berpakaian serba putih yang tak lain Banjaranpati alias Bayangan Putih Dari Selatan.

   "Sudah kukatakan, aku Pramubagas utusan kerajaan! Aku memegang kuasa Baginda Prabu untuk menangkapmu!"

   Tegas lelaki tua yang mengaku sebagai utusan kerajaan dan bernama Pramubagas.

   "Menangkapku? Apa salahku? Dan, kenapa aku harus ditangkap?"

   Tukas Banjaranpati.

   "Jangan berlagak bodoh, Banjaranpati! Kau telah bersekongkol dengan Brajadenta untuk mencuri Kitab Batu Kumala Hitam!"

   Sentak utusan kerajaan itu. Bayangan Putih Dari Selatan mendengus.

   "Itu fitnah, Saudara! Walaupun Brajadenta adalah keponakan muridku, tapi aku sama sekali tak tahu menahu atas perbuatannya yang telah berani mencuri Kitab Batu Kumala Hitam."

   Pramubagas menggelengkan kepala, tak mempercayai ucapan Bayangan Putih Dari Selatan.

   "Kau jangan banyak bacot, Banjaranpati! Aku sama sekali tak mempercayai ucapanmu!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, utusan kerajaan itu segera melancarkan serangan kembali.

   "Kau termakan fitnah, Saudara!"

   Kata Bayangan Putih Dari Selatan sambil melompat ke kiri, mengelak dari pukulan Pramubagas.

   Utusan kerajaan itu sama sekali tak mempedulikan ucapan Banjaranpati.

   Segera serangannya disambung dengan tendangan berputar.

   Wuuuttt...! Tendangan kaki Pramubagas tak mengenai sasaran karena Banjaranpati sudah merundukkan tubuhnya.

   Namun, sebelum kakinya mendarat di tanah, tangan kanannya telah terayun.

   Pada saat yang sama, Banjaranpati sengaja menadahi pukulan Pramubagas.

   Buuukkk...! Utusan kerajaan itu pun terkejut Tubuh Bayangan Putih Dari Selatan ternyata sama sekali tak bergeming menerima pukulannya.

   "Heaaah...!"

   Dengan cepat, Pramubagas melenting ke belakang seraya menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke kedua telapak tangan.

   Begitu mendarat di tanah, dengan serta-merta kedua tangannya dihentakkan ke depan! Breeesss...! Buuummm...! Pukulan jarak jauh itu tak mengenai sasaran karena, Bayangan Putih Dari Selatan melenting ke atas.

   Namun, sebatang pohon besar di belakang Bayangan Putih Dari Selatan kontan tumbang.

   Tiba-tiba Bayangan Putih Dari Selatan yang berada di atas, melepas jurus 'Udang Menghantam Batu'.

   Mendadak tubuhnya meluruk dengan kecepatan tinggi dengan kaki terjulur ke depan.

   Duuukkk...! "Ahhh...!"

   Pramubagas melenguh tertahan ketika pundaknya terserempet ujung kaki Banjaranpati.

   Utusan kerajaan itu mendengus penuh kemarahan dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke samping.

   Setelah bisa menguasai keseimbangannya, dilepaskannya sebuah cemeti dari pinggang.

   Sambil meluruk, Pramubagas melecutkan senjatanya ke arah Bayangan Putih Dari Selatan.

   Cletaaarrr...! Kakek berpakaian serba putih itu hanya tersenyum melihat serangan itu seraya menjatuhkan diri ke tanah, sehingga sambaran cemeti luput.

   Pertempuran itu berlangsung sangat seru.

   Dua pendekar golongan tua itu sama-sama mengerahkan seluruh ilmu kepandaian.

   Suropati yang menyaksikan dari balik pohon besar berdaun rimbun bersorak seperti sedang menyaksikan sebuah permainan menarik.

   Matanya enggan untuk berkedip.

   Dia yang sudah mengenal kakek berpakaian serba putih itu menjadi sangat kagum.

   Gerakan ilmu silat Bayangan Putih Dari Selatan memang tak mencerminkan keganasan.

   Hal itu sangat disukai Suropati yang konyol, tapi berhati lembut.

   Kini tampak tubuh Bayangan Putih Dari Selatan melenting, bangkit.

   Begitu menjejak tanah, langsung dilancarkan ilmu 'Pukulan Tanpa Bayangan'.

   Seketika kedua tangannya dihentakkan.

   Wuuusss...! Pramubagas terperangah merasakan sambaran angin pukulan Banjaranpati yang berhawa dingin.

   Karena untuk mengelak sudah tak ada waktu, maka utusan kerajaan itu cepat memapak dengan menyilangkan tangan.

   Duuukkk...! "Aaakh...!"

   Pramubagas mengerang kesakitan ketika pukulan jarak jauh Banjaranpati menghantam tangannya. Tulang sikunya kontan patah. Tubuhnya terpelanting sejauh beberapa tombak.

   "Maafkan aku, Saudara...,"

   Ucap Bayangan Putih Dari Selatan, seperti menyimpan penyesalan.

   "Bangsat kau, Banjaranpati! Tunggu pembalasanku...!"

   Maki utusan kerajaan itu, seraya bangkit Pramubagas menyadari tak akan mendapat kemenangan.

   Maka dia segera berbalik, dan berlalu dari tempat ini.

   Sementara Bayangan Putih Dari Selatan hanya memandang kepergian kakek utusan kerajaan itu dengan tatapan mata penuh arti.

   Ketika Pramubagas tak terlihat lagi, dia pun menghemposkan tubuhnya, meninggalkan tempat pertempuran.

   Suropati yang merasa penasaran segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar.

   Tapi, ternyata dia sama sekali tak mampu menandingi kecepatan lari Banjaranpati.

   Hingga sepeminum teh kemudian, Suropati kehilangan jejak.

   Sambil menggerutu panjang-pendek, larinya segera dihentikan.

   Kini remaja itu jalan santai.

   Namun.....

   Seorang bocah berlari penasaran menendang kerikil Kerikil melayang menghunjam pohon Pohon bergetar merontokkan daun Daun luruh di samping kerikil Kerikil dan daun diam tenang berdampingan Seorang kakek rindu kehadiran si bocah Seperti mendapat durian runtuh Tak dinyana si bocah datang Dengan kesadarannya Pucuk dicinta ulam tiba Sebuah syair mengalun, membuat Suropati mengerlingkan matanya.

   Dia berusaha mencari asal suara.

   Begitu kepalanya mengarah ke kanan, tampak Bayangan Putih Dari Selatan tengah duduk bersantai di atas sebongkah batu besar.

   "Kenapa kau mengikutiku, Suropati?"

   Tanya Banjaranpati, langsung. Suropati tak segera memberi jawaban. Dipandangnya kakek berbaju putih itu tanpa berkedip.

   "Kini, kau datang padaku, Bocah. Kenapa dulu menolak menjadi muridku?"

   Tegur Banjaranpati.

   "Aku tidak mau sembarangan memilih guru, Kek,"

   Tukas Suropati.

   "Guruku haruslah orang yang pilih tanding...."

   Bayangan Putih Dari Selatan tersenyum. Wajahnya yang kemerahan menampakkan kelembutannya.

   "Betul katamu, Bocah. Melihat bakatmu yang luar biasa, kau memang tak pantas berguru pada pesilat penjual obat."

   "Tapi jangan salah sangka, Kek. Aku bukan hendak berguru kepadamu."

   Kening Banjaranpati berkerut.

   "Lalu apa maksudmu dengan bersusah-payah mengikutiku?"

   Tanya Banjaranpati.

   "Aku hendak mencari murid keponakanmu yang bernama Brajadenta...,"

   Sahut Suropati. Banjaranpati tertawa mendengar ucapan Suropati.

   "Ada urusan apa kau hendak mencarinya, Bocah?"

   Tanya Bayangan Putih Dari Selatan.

   "Aku hendak menghukumnya!"

   Sahut Suropati, mantap. Kembali Banjaranpati tertawa, mendengar ucapan Suropati yang polos.

   "Ketahuilah, Bocah. Brajadenta sekarang telah menjadi seorang raja kecil yang menguasai Wilayah Utara. Istananya berada di lereng Bukit Parahyangan. Sebagian besar tokoh rimba persilatan yang beraliran hitam, telah bertekuk lutut kepadanya. Mereka telah menjadi kaki-tangan si Dewa Maut itu. Oleh karenanya, kau jangan coba-coba mencari perkara...!"

   Jelas Bayangan Putih Dari Selatan. Aku tidak takut!"

   Kata Suropati tegas. Tiba-tiba bayangan putih dari selatan menatap tajam kepada Suropati.

   "Rupanya kau sedang menderita luka dalam,"

   Gumam Banjaranpati. Suropati hanya tersenyum, menampakkan kekonyolannya.

   "Dari mana kau tahu kalau aku sedang menderita luka dalam, Kek?"

   Tanya Suropati, heran.

   "Wajahmu tampak pucat. Dan aku dapat merasakan aliran darahmu yang tak teratur."

   Mendadak Suropati merasakan tubuhnya jadi limbung. Matanya berkunang-kunang, lalu jatuh terduduk.

   "Bocak geblek yang sok pintar! Mengurus diri sendiri saja tak becus, mau berulah macam-macam...,"

   Umpat Banjaranpati seraya mendekati Suropati yang nyaris pingsan.

   Kakek itu segera menempelkan kedua telapak tangannya ke dada Suropati.

   Tenaga dalam yang bersifat lembut mengalir, membantu remaja itu untuk mengatasi rasa sakit yang diderita.

   Saat itu juga, Suropati merasakan sebuah hawa nikmat yang mengelus tubuhnya.

   Semakin lama hawa nikmat itu semakin terasa, membuatnya jadi terlena.

   "Bocah Geblek! Rupanya kau keenakan...,"

   Umpat Bayangan Putih Dari Selatan. Banjaranpati segera melepas telapak tangannya dari dada Suropati.

   "Kalau kau memang jagoan, datang saja ke Bukit Parahyangan!"

   Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Banjaranpati berkelebat cepat.

   Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sebentar saja dia telah lenyap dari pandangan.

   Bukit Parahyangan terselimut kabut Puncak bukit yang berwarna hijau kehitam-hitaman menjulang ke atas, membentuk kerucut terpotong.

   Sebuah jurang menganga lebar, berkelok memagari kaki bukit.

   Jurang itu tak terukur lagi dalamnya.

   Hanya binatang-binatang bersayap yang berani bermain-main di dekatnya.

   Di lereng bukit itu sebuah istana kecil berdiri megah.

   Beberapa orang berpakaian serba hitam tampak berjaga-jaga.

   Raut wajah mereka rata-rata menampakkan kebengisan.

   Tangan mereka yang kekar berotot memegang sebuah perisai dengan golok terselip di pinggang.

   Di bagian dalam, Brajadenta tengah bercengkerama bersama para gundiknya yang berwajah cantik dan bertubuh sintal.

   Tiada henti-hentinya, Brajadenta mengeluarkan tawa sambil memegang-megang tubuh para gundiknya.

   "Kau sangat cantik, Mayang,"

   Puji Brajadenta kepada salah seorang gundiknya. Gundik bernama Mayang itu tersenyum menggoda. Melihat senyuman yang memikat, mata Brajadenta berbinar.

   "Kau memang sangat cantik.... Ehm..."

   Brajadenta mencium pipi Mayang.

   "Ah! Kakang Brajadenta jangan berlebihan,"

   Ujar Mayang, pura-pura jual mahal.

   "Aku tidak berlebihan, Mayang. Kau memang sangat cantik."

   Pipi Mayang merona merah mendengar pujian Brajadenta.

   Dengan serta-merta dipeluknya tubuh Brajadenta.

   Si Dewa Maut segera balas memeluk Bibir Mayang dipagutnya dengan ganas.

   Melihat hal ini, para gundik Brajadenta yang lain menjadi iri.

   Bibir mereka cemberut.

   Mereka cepat melengos ke arah lain.

   "Eh, kalian jangan marah...,"

   Ujar Brajadenta.

   "Kalian pun akan mendapat giliran. Ayolah segera mendekat kemari, Sayang."

   Seketika para gundik Brajadenta berhamburan memeluk tubuh tuannya. Dan si Dewa Maut pun menjadi kewalahan.

   "Ehmmm..."

   Brajadenta tak sempat berkata-kata lagi. Bibirnya lumat terkena ciuman para gundiknya. Baru saja Brajadenta menikmati pelayanan para gundiknya, di luar telah terjadi kegaduhan. Tak lama, seorang pengawal sudah mengganggu keasyikannya.

   "Ada apa di luar, Pragota?"

   Tanya Brajadenta kepada pengawalnya yang baru datang tergopoh-gopoh "Prajurit kerajaan menyerbu...,"

   Lapor pengawal yang dipanggil Pragota.

   "Bangsat! Dedemit Busuk!"

   Umpat Brajadenta sejadi-jadinya.

   "Segera enyahkan mereka, Pragota! Jangan biarkan seorang pun dari mereka hidup!"

   Melihat amarah Brajadenta yang meluap, Pragota segera mengundurkan diri. Tubuhnya berkelebat, membantu bawahannya yang tengah bertempur.

   "Kau tak perlu risau, Kakang...,"

   Hibur Mayang.

   "Semua pengawal Kakang adalah orang yang sakti. Apalagi, si Pragota itu. Tentu mereka akan sanggup mengatasi para prajurit kerajaan...."

   Brajadenta hanya tersenyum. Dingin.

   "Eighff...!"

   Brajadenta langsung memagut bibir Mayang.

   Para gundik si Dewa Maut yang lain segera menyerbu.

   Tak lama kemudian, mereka sudah bergulat dengan nafsu birahi.

   Brajadenta tertawa-tawa menghadapi keroyokan itu.

   Usianya yang sudah mendekati setengah abad, masih bisa menunjukkan keperkasaannya.

   Seperti tak punya lelah, si Dewa Maut meladeni hasrat hatinya yang menggelora bak lautan api yang tak terpadamkan.

   Di luar, para pengawal Brajadenta berjuang mati-matian menghadapi amukan prajurit kerajaan yang bertempur bahu-membahu.

   Bangkai-bangkai manusia tergeletak di tanah tak berharga.

   Diiringi sambaran pedang dan ayunan golok, darah menyembur bagai pancaran mata air yang tak pernah kering.

   Teriakan kematian membahana menyayat telinga.

   Prajurit kerajaan yang jauh lebih banyak terus merangsek Para pengawal Brajadenta pun memberi perlawanan gigih.

   Mereka yang rata-rata berasal dari golongan hitam, sedikit pun tak punya rasa gentar.

   Di medan pertempuran bagian selatan, tampak seorang kakek tengah mengamuk bagai malaikat pencabut nyawa.

   Sekali tangannya terayun, tiga-empat pengawal Brajadenta terjungkal menyemburkan darah segar.

   Kakek yang tengah mengamuk itu tak lain Pramubagas yang menjadi pemimpin penyerbuan itu.

   Usianya yang sudah lanjut sedikit pun tak menampakkan kewalahan menghadapi keroyokan yang membabibuta.

   Memang, setelah berhasil menyembuhkan tangannya yang patah karena bertarung melawan Bayangan Putih Dari Selatan, Pramubagas segera memimpin penyerbuan ke istana Brajadenta yang telah dianggap sebagai pengkhianat kerajaan.

   Di tengah-tengah keasyikannya bertarung tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat memapaki serangan Pramubagas.

   Plakk...! "Tua bangka tak tahu diuntung! Sudah mendekati liang kubur, masih suka membuat perkara!"

   Rutuk bayangan yang baru saja memapak serangan Pramubagas.

   Ternyata dia adalah Pragota.

   Kakek itu hanya mendengus, lalu mengayunkan tangannya.

   Wuuuttt..! Namun Pragota cepat berkelit dengan mengegos ke samping, sehingga pukulan itu tak mengenai sasaran....

   Pramubagas segera menyambung serangan dengan melepas tendangan.

   Pragota pun tak mau tinggal diam.

   Tubuhnya melejit ke atas.

   Begitu di udara, tubuhnya meluruk melepas hantaman ke dada Pramubagas.

   Pramubagas berkelit dengan melompat ke samping, seraya menyalurkan seluruh tenaga dalam ke tangan kanan.

   Begitu lawannya mendarat, kedua tangannya dihentakkan.

   Wuuusss...! Sebuah pukulan jarak jauh Pramubagas menyambar.

   Namun Pragota cepat menghemposkan tubuhnya ke atas, sehingga serangan itu luput.

   "Aaa...!"

   Ternyata para pengawal Brajadenta yang lain menjadi sasaran. Tubuh mereka terpental beberapa tombak, untuk kemudian meregang melepas nyawa.

   "Tua bangka kudisan! Jangan memamerkan kekuatanmu di hadapanku...!"

   Teriak Pragota penuh marah.

   Pragota segera mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengimbangi gempuran Pramubagas.

   Dua tokoh sakti itu segera terlibat dalam pertempuran sengit.

   Mereka saling serang penuh nafsu membunuh.

   Tubuh mereka pun berkelebat cepat, memamerkan jurus-jurus ampuh masing-masing.

   Hingga pada suatu saat...

   Wuuuss...! "Arghhh...!"

   Pramubagas berteriak ngeri melihat sebagian bajunya yang hangus terbakar terserempet pukulan jarak jauh Pragota.

   "Punya kepandaian juga rupanya kau, Cecunguk!"

   Maki Pramubagas, geram. Pragota tertawa keras.

   "Tahu begitu, kenapa tak segera ajak anak buahmu untuk menyingkir...?!"

   Kata Pragota, sinis.

   "Bangsat! Jangan berlagak di hadapanku!"

   Pramubagas pun menghemposkan tubuhnya, menerjang Pragota kembali sambil menghentakkan kedua tangannya.

   Wuuuss...! Wuuusss...! Dua sambaran pukulan jarak jauh tak mengenai sasaran, karena Pragota telah cepat melenting ke belakang sambil memutar tubuhnya.

   Pramubagas menggerendeng marah.

   Segera ajian pamungkasnya dikeluarkan.

   Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat.

   Semakin lama tubuh Pramubagas menjadi bergoyang ke kiri dan ke kanan.

   Bersamaan dengan itu, bermunculan sosok-sosok yang berwajah dan berpenampilan mirip Pramubagas.

   Hingga jumlahnya tak kurang dart sepuluh orang.

   Itulah ilmu 'Sukma Kembar' yang dimiliki Pramubagas.

   Pragota yang baru saja mendaratkan kakinya terperangah menyaksikan kehebatan ilmu Pramubagas.

   Namun, belum sempat berbuat sesuatu, dia telah diserbu sepuluh Pramubagas! Pengawal Brajadenta itu menjadi sangat kerepotan menghadapi gempuran yang saling susul-menyusul tiada henti.

   Untuk mengambil napas pun tak sempat Sehingga pada satu kesempatan, salah satu Pramubagas melepas serangan.

   Cepat Pragota melenting ke atas.

   Namun justru kesempatan itu yang ditunggu Pramubagas.

   Begitu tubuh Pragota melayang, dengan cepat Pramubagas yang lain meluruk sambil melepaskan hantaman ke dada.

   Dan....

   Dheeesss...! Pragota kontan terpental dengan melesak terkena pukulan dahsyat Dia menjerit menyayat, dan langsung terjatuh di tanah tak bangun-bangun lagi.

   Mati dengan mata mendelik.

   Mulutnya ternganga lebar.

   Pramubagas tertawa terbahak-bahak, menyaksikan tubuh Pragota yang sudah tiada bergerak lagi.

   Kemudian tubuhnya meluruk, menerjang pengawal Brajadenta yang lain.

   Tubuh kakek itu bergerak cepat, menyebar kematian.

   Siapa pun yang berada di dekatnya, seperti memasrahkan nyawa saja.

   Tubuh mereka terjungkal dalam keadaan mengenaskan.

   *** Siang hari ini, Bukit Parahyangan benar-benar banjir darah.

   Para pengawal Brajadenta sama sekali tak berdaya menghadapi keganasan Pramubagas.

   Kakek yang sedang kalap itu seperti sedang haus darah.

   Mayat-mayat yang bergelimangan di atas tanah, seperti menambah semangatnya untuk terus menyebar kematian.

   "Hentikan perbuatanmu, Pramubagas!"

   Mendadak terdengar sebuah suara yang disusul dengan berkelebatnya satu sosok bayangan ke medan pertempuran. Pramubagas mengerlingkan matanya, dan langsung meloncat mendekati sosok bayangan yang tak lain Brajadenta.

   "Akhirnya batang hidungmu tampak juga, Brajadenta...,"

   Kata utusan kerajaan itu.

   "Aku tak punya banyak waktu, Tua Bangka! Bila kau menginginkan sesuatu, segera katakan!"

   "Aku menginginkan nyawamu!"

   Sahut Pramubagas. Brajadenta tertawa keras mendengar ucapan Pramubagas.

   "Kalau kau mampu, segera wujudkan keinginanmu itu!"

   Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pramubagas segera melancarkan serangan dengan menghentakkan kedua tangannya. Wuuussss...! Sebuah pukulan jarak jauh yang disertai dengan angin kencang meluruk deras.

   "Itu hanya mainan anak kecil, Tua Bangka!"

   Kata Brajadenta sambil mengegos ke kanan, menghindari serangan.

   Wuuusss...! Sebagai jawaban, Pramubagas kembali menghentakkan kedua tangannya.

   Pukulan jarak jauhnya langsung meluncur deras.

   Wuuuttt....

   Brajadenta mengibaskan ujung lengan bajunya.

   Sehingga, pukulan jarak jauh itu pun melenceng.

   Melihat kehebatan Brajadenta, Pramubagas segera mengeluarkan ajian pamungkasnya ilmu 'Sukma Kembar'.

   Sebentar kemudian, tubuh kakek itu menjadi berlipat sepuluh.

   "Ilmu 'Sukma Kembar',"

   Ucap Brajadenta.

   "Kau kira dengan ilmumu itu kau akan sanggup menghadapiku, Tua Bangka...?!"

   Tanpa pikir panjang lagi, Brajadenta segera mengeluarkan ilmu 'Batu Kumala Hitam' yang telah dikuasainya dengan baik.

   Tiba-tiba kulit tubuhnya menjadi sangat hitam bagai arang.

   Diiringi suara menggelegar, tubuhnya berkelebat menggempur Pramubagas yang telah menjadi sepuluh orang.

   Blaaammm...! Satu tubuh Pramubagas hancur berkeping-keping terkena pukulan Brajadenta.

   Tapi, suatu keanehan segera terjadi.

   Dari kepingan-kepingan itu, mendadak bermunculan Pramubagas-Pramubagas yang lain.

   Bahkan segera menerjang si Dewa Maut! Blaaammm...! Satu tubuh Pramubagas hancur lagi terkena pukulan Brajadenta.

   Dan keanehan itu segera terulang kembali.

   Pramubagas-Pramubagas bermunculan semakin banyak.

   Si Dewa Maut terperangah menyaksikan kehebatan lawan.

   Maka segera tubuhnya dihempos, menjauhi ajang pertempuran.

   Begitu mendarat, tiba-tiba tubuh Brajadenta menjadi diam tak bergeming.

   Perlahan-lahan dari sekujur tubuhnya mengepul asap hitam.

   Dan, suasana di sekitarnya diliputi hawa di alam sihir.

   Kini kedua tangan si Dewa Maut terpentang ke atas.

   Dan....

   Wooosss...! Mendadak tubuh Pramubagas yang telah menjadi banyak tersedot! Blaaammm...! Suara ledakan menggema.

   Pramubagas-Pramubagas palsu kontan hancur berkeping-keping tanpa ampun.

   Brajadenta tertawa lebar.

   Matanya bersinar tajam, menatap Pramubagas asli yang kini berdiri limbung.

   Tanpa mau membuang waktu lagi, si Dewa Maut segera mengerahkan seluruh kekuatannya, membuat tubuh Pramubagas tersedot! Utusan kerajaan itu berusaha sekuat tenaga melawan kekuatan yang sedang menyeret.

   Tapi Pramubagas yang memang sudah menderita luka dalam, tak mampu memberi perlawanan berarti.

   Hingga kemudian....

   Blaaammm...! Ledakan dahsyat segera terdengar lagi.

   Tubuh Pramubagas pun hancur berkeping-keping, menjadi serpihan daging yang mengeluarkan bau amis! Tubuh Brajadenta yang berwarna hitam pekat kemudian melayang, menggempur prajurit-prajurit kerajaan.

   Sebentar kemudian, orang-orang yang mengemban titah Baginda Prabu menjadi kocar-kacir.

   Tapi, Brajadenta yang sudah dirasuki setan, sama sekali tak memberi ampun.

   Tubuh para prajurit itu tak satu pun yang masih menyimpan nyawa! Tawa si Dewa Maut langsung menggema di seluruh Bukit Parahyangan, mendirikan bulu roma....

   Dengan langkah pasti Anjarweni dan Ingkanputri menaiki Bukit Parahyangan.

   Tekad mereka sudah bulat untuk menghabisi riwayat Brajadenta.

   Dendam di dada kedua gadis itu seperti sanggup menghancurkan gunung.

   Anjarweni berlari cepat sambil menggigit bibirnya sendiri.

   Bayang-bayang kelabu masa lalu tiba-tiba terpampang kembali di matanya.

   Kekejaman dan kebiadaban si Dewa Maut benar-benar membuat darahnya menggelegak.

   Demikian pula Ingkanputri.

   Mata gadis belia berumur tujuh belas tahun itu berkaca-kaca.

   Kematian kedua orangtuanya yang paling dicintai membuatnya tak kuasa meneteskan air mata.

   Ketika sampai di tepi jurang yang memagari bukit, langkah kedua gadis itu berhenti.

   Mereka ragu sejenak.

   Jika mengikuti jalan setapak, terpaksa harus berjalan melingkar yang memakan banyak waktu.

   Jalan pintas yang tercepat hanyalah dengan melewati jurang yang menganga lebar di depan Tapi, karena kebulatan tekad dan dorongan amarah yang meluap, tanpa berpikir panjang lagi kedua gadis itu segera menghentakkan kaki.

   "Hiaaattt..!"

   Kedua gadis itu melayang ke atas sambil berputaran di udara ke arah seberang jurang.

   Lalu....

   Teppp...! Begitu berhasil mendarat di seberang jurang kedua gadis itu mengerutkan kening, mencium bau anyir darah yang menusuk hidung.

   *** Di depan istana Brajadenta, Anjarweni dan Ingkanputri berdiri.

   Tampak darah masih membasahi tanah.

   Burung-burung membisu menyaksikan jagal manusia yang berpesta kematian.

   Sunyi-senyap menangkupi palagan berdarah itu.

   Alam seperti menyesali apa yang telah terjadi.

   "Panggil Brajadenta keluar...!"

   Bentak Anjarweni kepada seorang lelaki berewokan yang sedang membersihkan sisa-sisa pertempuran.

   Lelaki itu memandang curiga.

   Hatinya diliputi rasa gusar dan keterkejutan, karena tak mendengar langkah kaki dua orang gadis yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.

   "Kau tidak mendengar perkataanku?! Panggil Brajadenta keluar...!"

   Bentak Anjarweni lagi.

   Melihat kedua tamu yang tak diundang itu menunjukkan sikap tak bersahabat, lelaki brewokan ini segera mencabut golok dan langsung mengayunkannya.

   Wuuuttt...! Anjarweni menghindar seraya mengayunkan kepalan tangannya.

   Duk...! "Ughhh...!"

   Lelaki berewokan itu kontan terjungkal ke tanah. Mulutnya meringis kesakitan sambil mendekap dadanya yang terhantam. Belum sempat lelaki itu berbuat sesuatu, Anjarweni telah menendang punggungnya. Duk! "Ahhh...!"

   Lelaki itu kontan Jatuh tengkurap, tak sadarkan diri.

   Dan mendadak kedua gadis itu berpaling, ketika puluhan orang berlari serabutan.

   Dan mereka langsung mengeroyok Anjarweni dan Ingkanputri.

   Tapi, dua gadis cantik murid Dewi Tangan Api itu bukanlah lawan yang seimbang bagi mereka.

   Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh, Anjarweni dan Ingkanputri bergerak cepat sambil melancarkan totokan.

   Akibatnya, sebentar saja puluhan pengawal Brajadenta pun terperangah dengan mata mendelik, karena tak bisa menggerakkan tubuhnya yang tiba-tiba jadi kaku.

   Belasan orang yang masih tersisa segera meloncat, menjauh dengan nyali ciut.

   Mereka tidak menyangka bila dua orang gadis yang tampak lemah itu dapat bertindak sedemikian hebat Tiba-tiba dari pintu gerbang istana muncul lima orang wanita cantik berpakaian sangat tipis.

   Sehingga, tak mampu menyembunyikan lekuk-lekuk tubuh mereka yang sangat menggiurkan.

   "Siapa kalian...?!"

   Tanya salah seorang wanita itu dengan suara lantang.

   "Kau tak perlu tahu siapa kami! Segera panggil Brajadenta!"

   Ujar Ingkanputri, tak kalah lantang.

   Mendengar ucapan kasar itu, kelima wanita cantik yang baru muncul segera menerjang dengan pedang terhunus.

   Pada saat yang sama, belasan pengawal Brajadenta yang telah bernyali kecut ikut menerjang dengan sabetan golok! Anjarweni dan Ingkanputri menggeram.

   Mereka berdua segera berloncatan, menghindari sambaran senjata tajam yang datang saling susul.

   Tanpa mau membuang tenaga, dua gadis murid Dewi Tangan Api itu mengeluarkan ilmu 'Pukulan Api Neraka'.

   Kini kedua pergelangan tangan mereka pun jadi merah membara, mengeluarkan hawa panas! Salah satu gundik Brajadenta yang bernama Mayang segera melompat, menjauhi pertempuran.

   Tapi, teman-temannya terlambat menyadari keadaan.

   Akibatnya...

   Wooosss...! Para pengawal dan gundik Brajadenta menjerit kesakitan seraya berlari pontang-panting.

   Ternyata hawa panas yang dikeluarkan Anjarweni dan Ingkanputri membakar pakaian mereka! Melihat itu, Mayang bergidik ngeri.

   Tubuhnya menggigil ketakutan.

   Tanpa terasa, pedang yang dipegangnya melorot dan jatuh ke tanah.

   Anjarweni menatap tajam, kemudian berjalan mendekati.

   "Ampuuunnn...."

   Mayang menjatuhkan tubuhnya ke tanah, berlutut di hadapan Anjarweni.

   "Tunjukkan di mana Brajadenta berada!"

   Ujar Anjarweni, kasar.

   Mayang segera bangkit, dan berjalan memasuki istana.

   Sementara Anjarweni dan Ingkanputri mengikuti.

   Istana Brajadenta benar-benar dipenuhi kemewahan.

   Lantainya licin mengkilat terbuat dari batu manner bermutu tinggi.

   Tiang-tiang saka guru yang kokoh kuat penuh ukiran, menjadi hiasan yang sedap dipandang mata.

   Dinding dihiasi puluhan lukisan karya seniman kawakan.

   Memasuki ruang utama, Anjarweni dan Ingkanputri disambut permadani berbulu lembut terhampar.

   Tampak Brajadenta duduk santai di singgasananya yang bertahtakan emas.

   Bajunya yang berwarna ungu semakin menyorotkan sinar gemerlap.

   "Segera mendekat, Gadis-gadis Manis,"

   Sambut si Dewa Maut melihat kedatangan Anjarweni dan Ingkanputri.

   "Dari tadi aku gelisah menunggu kedatangan kalian...."

   "Jahanam! Tak perlu kau bermanis mulut!"

   Umpat Anjarweni. Brajadenta tertawa.

   "Kalau kau marah, kecantikanmu semakin mempesona...."

   "Jahanam! Tak tahu malu!"

   Umpat Anjarweni lagi.

   "Jangan terus marah begitu, Manis. Aku tahu maksud kedatanganmu kemari. Bukankah kau hendak mengulang kenangan manis di Lembah Sungai Balirang...?"

   Anjarweni menggigit bibirnya sendiri, menahan geram mendengar ucapan Brajadenta. Tiba-tiba semua peristiwa pahit yang telah menimpanya muncul dalam ingatan.

   "Dan kau siapa, Gadis Kecil?"

   Tanya Brajadenta kepada Ingkanputri.

   "Aku anak Reksapati yang telah kau bunuh dengan biadab!"

   Sahut Ingkanputri, ketus.

   "Jadi, kau anak Ketua Perguruan Harimau Terbang itu?!"

   Kata si Dewa Maut seraya tertawa kembali.

   "Sekarang aku tahu maksud kedatanganmu, Gadis Kecil. Bukankah kau hendak mengantarkan nyawa untuk menyusul arwah orang tuamu yang mati sia-sia itu...?"

   "Iblis keji! justru aku yang akan meminta nyawamu sebagai penebus hutangmu padaku!"

   "Pandai berlagak juga rupanya kau, Gadis Kecil"

   Ejek Brajadenta. Tiba-tiba si Dewa Maut itu memandang tajam kepada Mayang yang dari tadi hanya diam membisu.

   "Mayang! Coba beri pelajaran kepada gadis kecil itu...!"

   Gundik Brajadenta yang memendam rasa takut tiba-tiba menjatuhkan diri, dan mencium kaki tuannya.

   "Ampunkan aku, Kakang.... Aku tak sanggup...,"

   Ratap Mayang. Mendengar ucapan gundiknya, mata Brajadenta mendelik.

   "Kau takut..?"

   Tanya si Dewa Maut Mayang mendongakkan kepala seraya mengangguk perlahan.

   "Bangsat..!"

   Bentak Brajadenta marah seraya menggerakkan kakinya cepat Buuukkk...! Tubuh Mayang kontan terbang membentur dinding setebal dua jengkal. Dan tak ayal lagi, tanpa sempat mengeluarkan suara erangan, nyawanya segera loncat dari tubuhnya.

   "Kau memang manusia biadab, Brajadenta!"

   Teriak Anjarweni, keras. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Anjarweni pun menerjang si Dewa Maut yang masih duduk santai di singgasananya sambil menghentakkan kedua tangannya. Wuuussss...! Namun tubuh Brajadenta telah lebih cepat melesat ke atas.

   "Rupanya kau ingin bermain-main denganku, Gadis Manis...,"

   Kata si Dewa Maut sambil meluruk.

   Kakinya berputar, menyodok perut Anjarweni.

   Namun gadis itu cepat menangkis.

   Plak! Sehabis terjadi benturan, tangan kiri Anjarweni terayun, menghantam dada Brajadenta.

   Kini ganti si Dewa Maut yang menangkis serangan murid Dewi Tangan Api itu.

   Plak! Melihat kakak seperguruannya tengah menggempur Brajadenta yang kesohor kejam dan bengis, Ingkanputri segera menghemposkan tubuhnya.

   Si Dewa Maut terperangah sejenak melihat kehebatan murid Dewi Tangan Api yang masih berumur belasan tahun.

   Maka, dia pun segera meloncat ke udara.

   Tubuhnya berputar-putar laksana sebuah gangsingan.

   Dan seketika tangan kanannya menyambar kain merah di pundaknya.

   Lalu....

   Weeerrr...! Selembar kain merah itu berputaran di udara dan mengembang.

   Lalu tercium aroma harum, ketika serangkum angin menyebar ke sekitarnya.

   "Awas racun, Putri...!"

   Teriak Anjarweni memberi peringatan.

   Kedua gadis itu segera menahan napas, dan menelan pil penawar racun yang selalu berada di dalam kantong mereka.

   Tiba-tiba tubuh Brajadenta yang masih berputar-putar di udara menghunjam ke arah Anjarweni tanpa bisa dihindari.

   Wuuusss...! "Ahhh...!"

   Anjarweni terkejut setengah mati melihat sebagian bajunya yang robek dua jengkal tersambar angin pukulan si Dewa Maut. Brajadenta tertawa lebar.

   "Kulit tubuhmu semakin menggairahkan saja, Gadis Manis. Sebentar lagi aku akan menelanjangimu...!"

   Kata Brajadenta, menggiriskan.

   Bahu Anjarweni turun-naik menahan luapan hawa amarah.

   Lalu segera diterjangnya Brajadenta dengan kalap sambil menghentakkan tangannya disertai tenaga dalam penuh.

   Wuuusss...! Pukulan jarak jauh Anjarweni meluncur deras.

   Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam, Brajadenta menyampok.

   Sehingga, pukulan Anjarweni berbelok arah.

   Blaaammm...! Dinding istana Brajadenta kontan berlubang besar, terkena pukulan nyasar.

   Melihat kemampuan lawan yang sedemikian hebat, kedua murid Dewi Tangan Api segera menyatukan seluruh tenaga dalam.

   Kedua belah tangan mereka pun merah membara.

   Hawa panas menerpa.

   Saat itu juga, Anjarweni dan Ingkanputri mengayunkan tangannya ke depan secara bersamaan! Mata si Dewa Maut mendelik.

   Seluruh kekuatan tenaga dalamnya pun dipusatkan kembali.

   Dan tiba-tiba, kedua tangannya menghentak ke depan.

   Blaaarrr...! Dua kekuatan bertemu di udara, menimbulkan suara menggelegar laksana petir menyambar.

   Tubuh Anjarweni dan Ingkanputri terpental, membentur dinding hingga jebol! Lalu dari mulut mereka menyembur darah segar....

   Sedangkan tubuh Brajadenta hanya melayang satu tombak dari permukaan lantai.

   Dan dengan bersalto di udara, si Dewa Maut berhasil mendarat mulus.

   Tawa panjang segera membahana.

   Gema suaranya memantul tak henti-hentinya.

   Brajadenta benar-benar menikmati kemenangan itu.

   Kini lelaki melengas itu menghampiri kedua murid Dewi Tangan Api yang masih meringkuk di lantai menderita luka dalam.

   "Kau bunuh saja aku...!"

   Teriak Anjarweni dengan mata mendelik. Si Dewa Maut tersenyum.

   "Kalau untuk membunuhmu, semudah membalikkan tangan, Manis.... Namun, aku ingin bermesraan dulu denganmu...,"

   Kata Brajadenta tersenyum dingin.

   "Jahanam...!"

   Umpat Ingkanputri seraya memungut sebongkah batu pecahan dinding, dan melemparkannya ke tubuh Brajadenta.

   Brajadenta malah menadahi luncuran batu itu dengan dadanya.

   Dukkk...! Kemudian lelaki itu tertawa bergelak.

   Ingkanputri menyeret tubuhnya, beringsut mendekati kakak seperguruannya.

   "Segera kau bunuh kami, Iblis...!"

   Bentak Ingkanputri sambil mendekap tubuh Anjarweni dari samping.

   "Baiklah, kalau memang itu permintaanmu...."

   Si Dewa Maut menyalurkan tenaga dalam ke kedua belah tangannya.

   Dan, segera dia mengambil ancang-ancang....

   Anjarweni dan Ingkanputri saling berpelukan.

   Dengan mata terpejam, mereka memanjatkan doa untuk sambut kedatangan malaikat pencabut nyawa.

   Tiba-tiba....

   "Brajadenta! Segera keluar dari persembunyianmu...!"

   Si Dewa Maut mendengus gusar begitu mendengar suara teriakan di luar istananya.

   Setelah menatap dua murid Dewi Tangan Api yang sudah tak berdaya, dia segera meloncat *** Di luar, seorang kakek kurus berpakaian penuh tambalan berdiri tegak menanti kedatangan si Dewa Maut.

   Dia tak lain dari si Periang Bertangan Lembut yang sedang menjalankan titah Baginda Prabu.

   "Rupanya kau pun senang ikut-ikutan, Pragolawulung!"

   Sambut Brajadenta, menyebut nama kecil si Periang Bertangan Lembut. Kakek kurus berpakaian penuh tambalan itu menatap sejenak kepada Brajadenta.

   "Ck... ck... ck.... Kau semakin hebat, Brajadenta. Istanamu bagus. Dan, kau pun tampak hidup bergelimang kemewahan...,"

   Decak si Periang Bertangan Lembut. Si Dewa Maut tertawa tergelak.

   "Berbeda dengan kau, Pragolawulung. Menilik pakaianmu yang penuh tambalan, apakah Baginda Prabu sudah tak mampu lagi untuk menggajimu, sehingga kau terpaksa menjadi seorang pengemis...?!"

   Leceh Brajadenta. Si Periang Bertangan Lembut tersenyum mendengar ejekan itu.

   "Tak perlu banyak cakap, Brajadenta. Baginda Prabu menitahkanmu untuk menghadap, guna mempertanggung-jawabkan semua perbuatanmu yang biadab...,"

   Kata Pragolawulung.

   "Di sini aku telah menjadi raja, Pragolawulung! Baginda Prabu pun tak berhak untuk memerintahkanku...,"

   Sahut si Dewa Maut, enteng.

   "Terpaksa aku akan menyeretmu...."

   Si Periang Bertangan Lembut segera mengambil ancang-ancang untuk menyerang.

   Lalu tubuhnya meluncur dengan kecepatan tinggi, menerjang Brajadenta.

   Si Dewa Maut pun tak mau tinggal diam.

   Tubuhnya melayang, memapak serangan Periang Bertangan Lembut.

   Blaaarrr....! Terdengar ledakan dahsyat ketika dua kekuatan bertemu di udara.

   Dua orang tokoh sakti sama-sama terhempas.

   Dengan bersalto beberapa kali di udara, mereka berhasil mendaratkan kaki di tanah dalam waktu bersamaan.

   Sebentar kemudian si Periang Bertangan Lembut dan si Dewa Maut saling terjang.

   Maka, pertempuran hebat segera terjadi.

   Bukit Parahyangan hari itu benar-benar menjadi sebuah tempat yang harus darah.

   Burung-burung tak lagi berkicau riang.

   Mereka pergi menjauh, tak sudi melihat kebrutalan manusia....

   Sementara itu, setelah mendapat petunjuk Banjaranpati, Suropati yang oleh para pengemis dijuluki Pengemis Binal segera menuju ke Bukit Parahyangan mengikuti suara hatinya.

   Ada dua alasan, mengapa Suropati sangat berhasrat untuk dapat bersitatap dengan Brajadenta atau si Dewa Maut Pertama, karena penasaran mendengar kesaktian pengawal kerajaan yang telah berkhianat itu.

   Terutama, keingin-tahuannya terhadap ilmu 'Batu Kumala Hitam' yang telah dikuasai Brajadenta.

   Kedua, mengikuti jiwa ksatrianya.

   Suropati merasa ikut terpanggil untuk membantu melenyapkan keangkara-murkaan di bumi! Ketika sampai di halaman istana Brajadenta, yang pertama dilihat Suropati adalah dua bayangan yang bergerak cepat saling serang.

   Melihat jurus-jurus yang digunakan, Suropati segera tahu kalau salah satu dari bayangan itu adalah gurunya yang bergelar si Periang Bertangan Lembut.

   Sedangkan yang seorang lagi, tentu Brajadenta atau si Dewa Maut Melihat dua orang yang sedang bertempur mati-matian itu, Pengemis Binal mendapat keasyikan tersendiri.

   Maka, segera dicarinya tempat persembunyian yang teduh untuk dapat menikmati tontonan tanpa tersengat sinar matahari.

   Blaaarrr...! Kembali terdengar ledakan, ketika dua kekuatan tenaga dalam bertemu di udara.

   Tubuh Brajadenta dan si Periang Bertangan Lembut melayang.

   Tapi mudah sekali mereka berdua dapat mendarat di tanah dengan sempurna.

   Kekuatan tenaga dalam mereka berdua tampak seimbang.

   Oleh sebab itu, masing-masing tak mengalami cidera yang berarti akibat bentrokan barusan.

   Mendadak, si Dewa Maut mengayunkan tangannya.

   Seketika ribuan jarum beracun meluncur deras ke arah si Periang Bertangan Lembut.

   Namun dengan gerakan dahsyat, si Periang Bertangan Lembut memutar tongkatnya yang sejak tadi belum digunakan.

   Wuuuttt...! Traak...! Si Periang Bertangan Lembut berhasil membuat jarum-jarum itu rontok di tanah.

   "Kau licik, Brajadenta...!"

   Umpat si Periang Bertangan Lembut.

   Brajadenta hanya menatap dengan sinar mata kebencian.

   Sebentar saja, dia segera menerjang kembali.

   Si Periang Bertangan Lembut yang masih memegang sebatang tongkat tak mau menyia-nyiakan senjata di tangannya.

   Segera dikeluarkannya jurus 'Tongkat Memukul Anjing'.

   Tongkat di tangan kakek kurus itu berputar-putar sangat cepat, mengeluarkan suara angin menderu-deru.

   Kemudian tubuhnya mencelat ke udara, lalu menghunjam ke arah Brajadenta sambil menyambarkan tongkatnya.

   Pada saat yang sama si Dewa Maut mengeluarkan tenaga simpanannya.

   Seketika dipapaknya sambaran tongkat itu.

   Traaakkk...! Si Periang Bertangan Lembut terkejut setengah mati melihat tongkatnya patah menjadi dua.

   Namun, sebelum menyadari keadaan, tangan Brajadenta telah meluncur ke dada si Periang Bertangan Lembut Dan....

   Duuukkk...! "Aaah...!"

   Si Periang Bertangan Lembut terjajar beberapa tindak sambil mendekap dadanya yang tersodok tangan Brajadenta. Pengemis Binal yang menyaksikan adegan itu segera melompat dari tempat persembunyiannya.

   "Kau tak apa-apa, Kek...?"

   Tanya remaja belasan tahun itu. Melihat muridnya yang tiba-tiba muncul di hadapannya, si Periang Bertangan Lembut menggeram gusar.

   "Pergi kau, Bocah Gendheng!"

   Bentak Periang Bertangan Lembut.

   Namun, Pengemis Binal tak mau menuruti perintah gurunya.

   Malah, matanya memandang si Dewa Maut yang sedang tertawa terbahak-bahak.

   Tiba-tiba si Periang Bertangan Lembut mengibaskan tangannya, membuat tubuh Suropati terpelanting menjauhi ajang pertempuran.

   Dan tiba-tiba tubuh si Periang Bertangan Lembut meluncur melebihi kecepatan suara sambil menyambarkan tangannya.

   Brettt...! "Heh...?!"

   Brajadenta yang tidak menduga datangnya serangan, merasakan tubuhnya limbung.

   Bahunya telah terserempet angin pukulan si Periang Bertangan Lembut.

   Darah si Dewa Maut naik sampai ke ubun-ubun.

   Dia pun segera mengeluarkan ilmu andalannya, ilmu 'Batu Kumala Hitam'! Si Periang Bertangan Lembut terperangah, menyaksikan tubuh lawannya yang berubah jadi hitam legam seperti arang.

   Belum sempat berpikir panjang, mendadak kakek kurus itu merasakan tubuhnya tersedot ke arah Brajadenta.

   Namun, tiba-tiba kakek kurus itu menguap.

   Dan tubuhnya lalu jatuh ke tanah.

   Jelas, si Periang Bertangan Lembut mengeluarkan ilmu 'Arhat Tidur'.

   Tubuh si Periang Bertangan Lembut tetap tersedot kekuatan ilmu 'Batu Kumala Hitam'.

   Tapi, ketika tubuhnya sudah dekat, mendadak melenceng ke samping, dan menjauh lagi.

   Hal demikian terulang hingga beberapa kali, membuat Brajadenta semakin dikuasai amarah.

   Tanpa pikir panjang lagi, Brajadenta segera mengerahkan seluruh kekuatannya.

   Dan tubuhnya yang sudah hitam legam semakin bertambah hitam.

   Tak terkecuali, kedua matanya juga bersorot hitam.

   Kini wajah si Dewa Maut sudah tidak lagi menyerupai manusia.

   Wujud kemanusiaannya telah hilang, berganti menjadi sesosok tubuh yang mengerikan! Kedua tangan Brajadenta terayun ke atas, dan bertepuk.

   Blaaarrr...! Timbul suara menggelegar laksana petir menyambar ketika telapak tangan si Dewa Maut beradu.

   Bersamaan dengan itu, satu bentuk tenaga telah menyedot tubuh si Periang Bertangan Lembut yang tak terbendung lagi.

   Kini, tubuh si Periang Bertangan Lembut benar-benar terseret, tanpa mampu berbuat apa-apa lagi.

   Pengemis Binal yang menyaksikan keadaan gurunya yang tengah berjuang melawan maut, segera menghemposkan tubuhnya ke arah Brajadenta.

   Namun ketika dua depa lagi tubuhnya tiba....

   Blaaarrr...! Remaja belasan tahun yang mencoba memusnahkan tenaga sedotan ilmu 'Batu Kumala Hitam' merasakan tubuhnya mental balik, ketika membentur satu kekuatan kasat mata.

   Dan tubuhnya kontan terhempas jatuh ke tanah disertai semburan darah segar! Pengemis Binal bingung, bagaimana harus bertindak untuk menolong gurunya yang tengah berkutat melawan arus kematian dari ilmu 'Batu Kumala Hitam' yang dahsyat.

   Mata remaja belasan tahun itu jelalatan.

   Bola matanya membesar.

   Namun, kelopak matanya tiba-tiba terpejam ketika menyaksikan tubuh gurunya yang tinggal beberapa jengkal lagi akan membentur pusat kekuatan ilmu 'Batu Kumala Hitam'.

   Tapi, sesuatu yang tak terduga terjadi.

   Mendadak tubuh si Periang Bertangan Lembut yang tampak sudah tak berdaya berkelebat cepat, melancarkan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' sambil memutari tubuh Brajadenta.

   Wuuusss...! Blaaarrr...! Setelah melancarkan ilmu totokannya, tubuh si Periang Bertangan Lembut terpental sejauh empat tombak! Tubuh kakek kurus itu bergulingan di tanah.

   Setelah bisa mengendalikan gerak tubuhnya, dia mencoba bangkit.

   Namun, si Periang Bertangan Lembut segera terjungkal kembali dengan mulut menyemburkan darah berwarna kehitam-hitaman dari hidung dan telinganya.

   Agaknya, si Periang Bertangan Lembut menderita luka dalam yang sangat parah! Sedangkan tubuh si Dewa Maut tetap berdiri tegak.

   Tapi tak lama kemudian, dari tujuh belas pusat aliran darahnya memancar darah segar laksana sebuah pancuran yang baru saja diisi air.

   Tubuh si Dewa Maut bergoyang-goyang sejenak.

   Namun Brajadenta tetap bertahan untuk tidak jatuh.

   Dan tiba-tiba dikeluarkannya sesuatu dari balik baju! Sementara si Periang Bertangan Lembut yang telah terluka parah memandang penuh keterkejutan.

   Tampak tangan kanan si Dewa Maut menggenggam sebuah batu berwarna hitam kelam sebesar kepalan tangan orang dewasa.

   Tangan kiri si Dewa Maut mendadak bergerak, menyobek kulit perutnya sendiri menggunakan kuku! Darah segar segera menyembur dari luka yang menganga.

   Tapi, Brajadenta sama sekali tak merasakan sakit.

   Bibirnya malah mengulum senyum.

   Dan perlahan-lahan dimasukkannya Batu Kumala Hitam ke dalam luka di perutnya.

   Sebentar kemudian, luka itu sudah terbalut selembar kain berwarna merah.

   Si Dewa Maut meringis, memperlihatkan gigi dan gusinya yang juga telah berwarna hitam legam! Bersamaan dengan itu, dari kepalanya mengepul asap hitam.

   Semakin lama semakin tebal, mengaburkan pandangan.

   Itulah puncak dari ilmu 'Batu Kumala Hitam'! "Suropati...!"

   Dengan sisa-sisa tenaganya, si Periang Bertangan Lembut memanggil muridnya yang berada tak jauh, darinya.

   Pengemis Binal yang juga sudah terluka dalam segera mendekati gurunya.

   Dia kemudian duduk bersila, di hadapan si Periang Bertangan Lembut "Kau sudah mempelajari ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa', Suro?"

   Tanya si Periang Bertangan Lembut terbata-bata. Pengemis Binal mengangguk lemah.

   "Tapi, hanya sampai tingkat tujuh belas...."

   "Ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' tingkat tujuh belas belum bisa memusnahkan ilmu 'Batu Kumala Hitam'. Untuk itu, aku akan menyempur-nakannya...."

   Setelah berkata demikian, si Periang Bertangan Lembut menempelkan kedua telapak tangan ke dada muridnya.

   Maka saat itu juga, sebuah kekuatan tenaga dalam segera mengalir.

   Pengemis Binal langsung merasakan sebuah arus deras sedang berputar di sekujur tubuhnya yang segera memusat ke pusar.

   Semakin lama putaran arus itu semakin lemah.

   Dan....

   "Uookkk...!"

   Mulut si Periang Bertangan Lembut kembali menyemburkan darah berwarna kehitam-hitaman.

   "Guru...!"

   Suropati menjerit keras ketika menyaksikan tubuh gurunya jatuh terjengkang. Sesaat Pengemis Binal memeluk tubuh gurunya yang sudah tak bernyawa, lalu segera bangkit! Si Dewa Maut tertawa tergelak.

   "Aku belum memperlihatkan seluruh kepandaianku. Kenapa si Tua Bangka itu sudah melepas nyawa...?!"

   Ejek Brajadenta, pongah.

   "Jangan banyak ucap, Keparat! Aku akan menuntut balas kematian guruku...!"

   Sentak Suropati. Tawa si Dewa Maut semakin keras.

   "Bocah Gendheng! Kalau kau tak ingin menyusul arwah gurumu, segera buktikan ucapanmu...!"

   Tantang Brajadenta.

   "Baik! Aku akan menjajal ilmu 'Batu Kumala Hitam'-mu!"

   Melihat kesungguhan Suropati, si Dewa Maut segera mengerahkan seluruh kekuatannya, hingga sampai ke puncak.

   Tangan si Dewa Maut terpentang ke atas.

   Dan setelah mengeluarkan suara menggelegar, tubuh Pengemis Binal pun terseret! Suropati sama sekali tak melawan arus kekuatan yang sedang menyeretnya.

   Karena disadari, perlawanannya akan sia-sia.

   Perlahan-lahan tubuh Pengemis Binal mendekati pusat kekuatan ilmu 'Batu Kumala Hitam'! Dan mendadak tubuh Suropati berkelebat dengan kecepatan melebihi kecepatan suara.

   Lalu diputarinya tubuh Brajadenta seraya mengerahkan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' sambil mengerahkan ilmu sihirnya yang terdahsyat.

   Begitu cepat gerakan Suropati, sehingga....

   Blaaarrr...! Tubuh murid si Periang Bertangan Lembut itu terhempas, lalu bergulingan di atas tanah, Namun, dia segera berdiri tegak! Sementara itu, tubuh si Dewa Maut terhuyung-huyung.

   Dari berbagai tempat di tubuhnya memancar darah segar.

   Kemudian....

   Blaaarrr...! Dengan diiringi bunyi menggelegar, tubuh si Dewa Maut meledak, hancur menjadi abu! Ternyata, ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' yang dilancarkan Pengemis Binal tak dapat dielakkan si Dewa Maut.

   Karena, ilmu totokan itu telah dilambari kekuatan sihir, sehingga membuatnya terpukau tanpa mampu berbuat apa-apa.

   Hal itu membuat ujung jari Pengemis Binal dapat bergerak bebas, mencari jalan kematian di tubuh si Dewa Maut.

   Empat totokan Pengemis Binal bersarang di kepala, empat di leher, empat di dada, empat di punggung, dan dua di pangkal paha si Dewa Maut.

   Pada tempat-tempat itulah, tubuh pengkhianat kerajaan itu memancarkan darah segar, untuk kemudian meledak dan hancur menjadi abu.

   Tak lama kemudian, Pengemis Binal berjalan menuruni Bukit Parahyangan sambil membopong jenazah gurunya...

   Anjarweni dan Ingkanputri berlari susah-payah mengikuti langkah kaki Suropati.

   "Tunggu dulu, Bocah...!"

   Teriak Anjarweni.

   "Memangnya aku anakmu? Kok, kau panggil 'bocah'...?"

   Kata Suropati konyol.

   "Lalu, aku harus panggil siapa?"

   Tanya Anjarweni.

   "Suropati alias Pengemis Binal,"

   Sebut remaja belasan tahun itu tanpa menghentikan langkah kakinya.

   Anjarweni dan Ingkanputri yang masih belum sembuh dari luka dalamnya terus mengikuti dengan kening berkerut.

   Mereka kini baru sadar, kalau remaja yang berpakaian putih penuh tambalan itu berjuluk Pengemis Binal.

   "Hei, mengapa kau dijuluki Pengemis Binal? Pantas kelakuanmu memang binal!"

   Timpal Ingkanputri.

   "Yah, karena kelakuanku memang binal! Tapi kalian suka, kan. Kalian tahu, teman-temankulah yang menjuluki aku demikian...,"

   Sahut Suropati sambil terus melangkah.

   "Tunggu dulu, Pengemis Binal...!"

   Ujar Ingkanputri lagi.

   "Tidak mau!"

   Jawab Pengemis Binal, asal buka mulut.

   "Aku ingin mengucapkan terima kasih, Pengemis Binal...."

   "Untuk mengucapkan kata itu, apa susahnya? Sambil berjalan pun bisa...."

   Ingkanputri terdiam mendengar ucapan Suropati. Memang pas bila dia dijuluki Pengemis Binal! "Eh! Aku tidak hanya ingin mengucapkan terima kasih. Aku juga ingin memberi hadiah...,"

   Cetus gadis itu. Mendengar itu mata Pengemis Binal berbinar. Dan, tubuhnya pun segera berbalik. Untuk sementara diturunkannya jenazah si Periang Bertangan Lembut "Benarkah apa yang kau katakan?"

   Tanya Pengemis Binal.

   "Benar, Suro...,"

   Jawab Ingkanputri. Dan.... Cuppp...! Suropati meraba pipinya yang terkena ciuman, dan langsung tertawa lebar.

   "Uh! Ciumanmu tak enak. Kau jarang gosok gigi, ya?"

   Ledek Suropati. Mendengar. ucapan Suropati itu, papi Ingkanputri merona merah.

   "Bocah Gendheng! Kalau mau minta tambah, katakan saja! Tak perlu berkata yang macam-macam!"

   Bentak Ingkanputri nakal. Bola mata Suropati bergerak ke kiri dan ke kanan. Tiba-tiba.... Cuppp...! Ganti Ingkanputri yang meraba pipinya.

   "Kau pun jarang gosok gigi, Suro...,"

   Ledek Ingkanputri. Suropati tertawa terbahak-bahak Tapi, tiba-tiba tubuh Suropati menggelosor ke tanah. Anjarweni tersenyum.

   "Bocah Gendheng! Rupanya kau suka berulah macam-macam...! Pantas bila dia dijuluki Pengemis Binal!"

   Mendengar itu, Suropati hanya diam saja.

   "He he he...,"

   Anjarweni tertawa.

   "Mungkin dia minta yang lebih 'panas' lagi, Putri...."

   Ingkanputri cemberut mendengar ucapan kakak seperguruannya.

   "Kita biarkan saja, Kak Weni. Kalau kepanasan dipanggang matahari baru tahu rasa...!"

   Anjarweni dan Ingkanputri segera berteduh di bawah pohon rindang. Tapi hingga beberapa saat, tubuh Suropati sama sekali tak bergerak.

   "Mungkin terjadi apa-apa dengan dirinya, Kak Weni. Coba kita lihat...,"

   Ujar Ingkanputri kepada kakak seperguruannya. Mereka berdua segera mendekati tubuh Suropati yang terbujur di samping jenazah gurunya.

   "Jangan sentuh dia...!"

   Tiba-tiba terdengar teriakan, yang disusul berkelebatnya, seorang kakek berpakaian serba putih ke arah mereka. Anjarweni dan Ingkanputri mengerutkan kening.

   "Dalam tubuh Suropati tersimpan racun ganas. Dan, kini racun itu sedang bekerja. Bila kalian sentuh tubuhnya, racun itu akan menjalar ke tubuh kalian...,"

   Kata kakek itu. Anjarweni dan Ingkanputri memandang tubuh Suropati yang masih belum bergerak. Mereka pun jadi bergidik ngeri, merasakan kebenaran ucapan kakek yang baru datang itu. Mendadak Pengemis Binal menggeliat.

   "Oughhh.... Siapa nama gadis yang menghadiahkan ciuman tadi...?"

   Mendengar itu, Anjarweni dan Ingkanputri tertawa lebar.

   Tapi, kakek berpakaian serba putih yang baru datang itu mengerutkan kening....

   Apa sesungguhnya yang sedang terjadi dalam diri Pengemis Binal? Benarkah tubuhnya telah menyimpan racun ganas? SELESAI Ikutilah kelanjutan kisah ini dalam episode .

   KEMELUT KADIPATEN BUMIRAKSA Scan/E-Book.

   Abu Keisel Juru Edit.

   Fujidenkikagawa

   

   

   

Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar

Cari Blog Ini