Rahasia Pengkhianatan Baladewa 2
Putri Bong Mini Rahasia Pengkhianatan Baladewa Bagian 2
"Mereka ini orang-orang yang akan membantu perjuangan kita!"
Bongkap dan Prabu Jalatunda mengangguk-angguk kagum pada mereka.
"Terima kasih atas kesediaan kalian yang berkenan membantu perjuangan rakyat!"
Ucap Bongkap ramah.
"Semua itu sudah menjadi kewajiban kami sebagai manusia yang harus hidup tolong-menolong!"
Kata Kao Cin Liong.
Kemudian mereka pun sama-sama duduk untuk menikmati hidangan yang telah tersedia di lantai beralaskan tikar.
*** Malam dingin dan sunyi.
Bong Mini rebah di atas ranjang dalam kamar tersendiri.
Tapi walaupun ia berada di kamar yang luas, indah dan apik, ia tetap tidak bisa tidur.
Hatinya gelisah.
Pikirannya mengawang pa-da seorang pemuda yang sudah merebut hatinya.
"Ka-sihan Baladewa", pikirnya. Di sini ia bisa tidur di kasur empuk dengan makanan yang enak. Sedangkan Baladewa? Mungkin ia makan seadanya dan tidur di tem-pat sembarangan. Malam ini tentu Baladewa kedi-nginan.
"Eh, kenapa aku jadi mengingat Baladewa?"
Bisik-nya, tersadar dari lamunan.
Kemudian dia berusaha memejamkan mata.
Tapi sejauh itu usahanya sia-sia.
Semakin dia berusaha memejamkan kedua matanya, semakin gelisah pula hatinya.
Akhirnya ia keluar dari dalam kamar dan berjalan menuju taman bunga yang terhampar di sekitar rumah mewah itu.
Ketika berada di tempat itulah perasaan yang semu-la gelisah berubah tenang.
Apalagi ketika melihat bunga-bunga indah beraneka warna serta menikmati sa-paan angin malam yang mempermainkan anak ram-butnya, membuat hati dan pikirannya terhibur.
Di saat asyik berjalan-jalan sambil menikmati udara sejuk yang memanjakan kulit, tiba-tiba matanya melihat Ningrum sedang duduk di ruang tengah disertai isak tangisnya.
"Ada apa dengan Bibi Ningrum?"
Tanya Bong Mini. Kemudian dengan langkah hati-hati dihampirinya wa-nita setengah baya yang tengah terisak itu.
"Bibi Ningrum,"
Tegur Bong Mini setengah berbisik.
"Mengapa menangis?"
Ningrum menghentikan isak tangisnya.
Wajahnya yang suram menengadah, memandang gadis yang ber-diri di sampingnya.
Dalam keadaan sedih itu, ia berdiri menghadap Bong Mini dan memeluknya.
Isak tangisnya kembali terdengar.
Kali ini lebih memilukan.
Bong Mini menghela napas agar dapat menahan air matanya yang terasa hendak turut meleleh.
Hatinya mudah terenyuh bila melihat orang bersedih.
Apalagi orang yang sedang menangis itu berada dalam pelukannya seperti saat ini.
"Apa yang membuat Bibi Ningrum menangis?"
Bisik Bong Mini. Ningrum melepas pelukannya. Kemudian ia duduk di kursi panjang, tempatnya semula. Diikuti oleh Bong Mini yang duduk di sampingnya.
"Aku teringat putraku, Baladewa,"
Sahut Ningrum di sela sisa tangisnya. Bong Mini tercenung beberapa saat. Sesungguhnya ia pun merasakan kerinduan seperti yang dialami Ningrum. Itu sebabnya ia tidak bisa memejamkan ma-ta.
"Sudah, Bi. Bibi Ningrum jangan mengingatnya terus-menerus!"
Kata Bong Mini, berusaha menghibur.
Bukan dia sok pintar menasihati orang yang lebih tua.
Tapi karena ia tahu kalau orang yang sedang dirun-dung kesedihan, biasanya sulit untuk berpikir jernih.
Oleh karena itu Bong Mini mencoba memancing piki-ran yang kosong itu agar dapat berfungsi kembali.
"Bagaimana aku tidak sedih dan mengingatnya te-rus-menerus. Baru seminggu tinggal di sini, dia sudah pergi lagi. Tanpa tahu kapan akan kembali,"
Tutur Ningrum.
"Semua orang yang dekat dengan Baladewa akan merasakan hal itu, termasuk Paman Prabu Jalatunda. Tapi bukan berarti kesedihan itu harus diikuti setiap hari. Itu hanya akan menambah kesusahan kita,"
Ungkap Bong Mini, menyatakan pendapatnya. Ningrum menghentikan tangis lalu memandang Bong Mini lamat-lamat.
"Kau berbicara seperti nenek-nenek saja. Dari buku mana kau pelajari semua itu?"
Tanya Ningrum, masih dengan wajah yang basah. Namun seulas senyum sempat tersembul di bibirnya.
"Itu kudapatkan bukan dari buku. Membaca buku pun tidak ada artinya bila hanya untuk dihafal dan hanya dijadikan perhiasan untuk menasihati orang lain, sementara jiwanya sendiri kosong,"
Kilah Bong Mini.
"Lalu dari mana kau dapatkan?"
"Dari pengalaman yang telah kupelajari. Terutama pengalaman kematian Mama dan perpisahan dengan Papa akibat pertempuran,"
Sahut Bong Mini.
"Kau benar-benar seorang gadis yang pandai. Pan-tas papamu begitu murung ketika kehilanganmu,"
Kata Ningrum setengah memuji.
Wanita setengah baya itu mulai dapat menyingkirkan kesedihannya dengan ke-hadiran Bong Mini.
Disapanya sisa air mata yang me-ngambang di pelupuk matanya.
Termasuk yang mem-basahi pipi wanita itu.
Sesaat kemudian dia mencoba melepas senyum.
"Kepandaian itu pun datang karena pertambahan pengalaman dan usia!"
Sahut Bong Mini seraya me-ngulum senyum.
"Berapa sekarang usiamu?"
"Dua puluh tahun!"
"O, ya? Tapi badanmu tetap kecil?"
Gurau Ningrum dengan wajah terkejut, tidak mengira kalau gadis di dekatnya telah beranjak menjadi gadis remaja.
"Habis, Papa memberiku nama Mini, sih! Makanya tak pernah besar-besar!"
Balas Bong Mini bersama ta-wa berderai. Begitu pula dengan Ningrum. Membuat suasana sepi saat itu pecah oleh tawa mereka yang berdesah.
"Kalau saja Baladewa ada di sini sekarang, tentu dia akan kagum dan terpesona padamu!"
Cetus Ningrum.
"Ah, Bibi. Itu kan pendapat Bibi sendiri!"
Kilah Bong Mini seraya tersenyum. Sengaja dia tidak memberitahu tentang hubungannya selama ini dengan Baladewa. *** Sementara itu, Khian Liong, yang sedang mencari jejak Bong Mini telah menjejakkan kedua kakinya di Kota Girik.
"Huh! Sulit juga mencari gadis itu!"
Keluh Khian Liong.
Ia sudah hampir putus asa mencari Bong Mini.
Dengan rasa malas, Khian Liong melanjutkan lang-kahnya.
Kali ini tujuannya bukan hendak mencari Bong Mini, melainkan mencari warung nasi agar dapat mengisi perutnya yang sudah lapar.
Setelah menempuh perjalanan lima ratus meter, sampailah ia di Rumah Makan Hin-Hin.
Dengan wajah gembira, Khian Liong menghampiri rumah makan ter-sebut.
Tapi ketika tinggal sepuluh meter lagi mencapai rumah makan itu, tiba-tiba matanya tertuju pada potongan selendang hitam yang tergeletak di pekarangan rumah makan.
Dia langsung membungkuk dan mengambil potongan selendang hitam itu.
"Aku seperti mengenal pemilik selendang ini!"
Gu-mam Khian Liong. Terus diawasinya potongan selen-dang itu.
"Hm, ya. Ini milik Nyi Genit. Istri Kidarga!"
Desis Khian Liong, memastikan.
Kemudian ia mema-sukkan potongan selendang hitam tersebut di balik bajunya.
Bergegas lelaki itu kembali menuju Bukit Setan dan membatalkan niatnya untuk makan di rumah makan tadi.
Ia ingin cepat-cepat menemui Kidarga untuk memperlihatkan potongan selendang yang diketemu-kannya.
*** Sementara itu di Bukit Setan, Kidarga dan para pendekar yang bersekutu dengannya tampak gembira.
Malam itu Kidarga mengadakan pesta tuak untuk me-nyambut kehadiran para pendekar sesat yang telah berkumpul di Bukit Setan.
"Nah, saudara-saudara sekalian! Nikmatilah pesta malam ini sepuas-puasnya. Sebentar lagi kita akan melaksanakan semua rencana yang sudah kita atur!"
Seru Kidarga di tengah para pendekar yang tengah tertawa senang dengan minumannya.
"Hidup Kidarga! Hidup Perguruan Topeng Hitam!"
Sambut para pendekar itu sambil mengangkat gelas minumannya tinggi-tinggi. Dalam suasana gembira itu, tiba-tiba muncul Khian Liong yang baru pulang mencari jejak Bong Mini. Kidarga yang mengetahui kehadiran Khian Liong segera menghampiri.
"Bagaimana? Berhasil?"
Tanyanya.
"Gagal!"
Sahut Khian Liong pendek. Wajahnya sedi-kit menunjukkan kegusaran.
"Maksudmu?"
Tanya Kidarga dengan wajah sung-guh-sungguh.
"Aku belum menemukan kembali jejak Bong Mini!"
Kidarga tampak menghela napas. Wajahnya gusar.
"Tapi masalah itu hal yang mudah, Ketua. Aku bisa mencari Bong Mini atau Bongkap serta melakukan pendekatan di lain hari. Namun sekarang ini ada kabar yang lebih penting buat Ketua!"
Kata Khian Liong mengalihkan persoalan.
"Apa itu?"
Tanya Kidarga dengan kening berkerut. Khian Liong mengeluarkan sesuatu dari balik ju-bahnya.
"Ketua tentu mengenali potongan selendang hitam ini!"
Lanjut Khian Liong. Diperlihatkannya potongan selendang hitam. Kidarga mengamati potongan selendang hitam itu dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berubah, sedang-kan matanya memandang Khian Liong lekat-lekat.
"Ini selendang milik istriku!"
Sergah Kidarga dengan wajah terkejut.
"Tadi aku pun menduga demikian, Ketua. Sehingga kubawa selendang ini dan memperlihatkan kepada Ke-tua!"
Kata Khian Liong.
"Di mana kau menemukannya?"
Tanya Kidarga lagi.
"Aku menemukannya di Kota Girik, saat hendak memasuki sebuah Rumah Makan Hin-Hin,"
Lapor Khian Liong.
Kidarga tertegun.
Wajahnya gusar.
Dia sudah me-nyangka kalau istrinya telah bertempur dengan seo-rang pendekar sakti dan mengalami kekalahan.
Ter-bukti dari selendang saktinya yang terputus dan di-tinggalkan begitu saja.
Dalam kemarahan yang memuncak, Kidarga lang-sung membentak kepada seluruh pendekar yang se-dang asyik menikmati minuman.
"Hentikan pesta kalian! Hentikan!"
Geram Kidarga.
Suaranya begitu keras menggema.
Para pendekar yang tengah asyik menikmati minu-man itu langsung terdiam.
Mereka serentak meman-dang Kidarga dengan wajah keheranan.
Baladewa yang sejak tadi hanya mengamati jalan-nya pesta tuak di sudut ruangan segera melangkah menghampiri Kidarga.
"Apa yang telah terjadi, Ketua?"
Tanya Baladewa. Kidarga memandang tegang pada wajah Baladewa.
"Ada seorang pendekar sakti di negeri ini dan ber-hasil mengalahkan kesaktian istriku!"
Kata Kidarga dengan suara berat dan bergetar.
"Bagaimana Ketua tahu kalau istri Ketua menderita kekalahan?"
Tanya Baladewa ingin tahu.
"Putusnya selendang sakti milik istriku ini telah menunjukkan kekalahannya!"
Sahut Kidarga seraya mem-perlihatkan selendang hitam milik Nyi Genit yang putus tertebas pedang Bong Mini saat bertempur. Baladewa mengangguk-angguk sambil memandangi selendang hitam yang panjangnya satu meter itu.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Ketua?"
Tanya Baladewa seolah-olah siap mendapat tugas.
"Menghubungi pemilik rumah makan itu dan me-nanyakan orang yang telah berhadapan dengan istri-ku. Selanjutnya, mencari jejak istriku serta pendekar yang telah mengalahkannya!"
Kata Kidarga dengan na-da suara yang masih menyimpan kemarahan.
Dia ti-dak mengira kalau kesaktian istrinya dapat dikalahkan oleh seseorang yang belum diketahui ciri-cirinya.
Baladewa dan beberapa orang pendekar yang berdiri di dekat Kidarga tampak mengangguk-angguk.
"Khian Liong, kembalilah ke Kota Girik. Tanyakan ciri-ciri pendekar yang telah bertempur dengan istriku itu!"
Perintah Kidarga.
"Akan kulaksanakan, Ketua!"
Kata Khian Liong.
"Dan kau Siangkoan Kun Hok, cari istriku sampai dapat!"
Lanjut Kidarga kepada pengemis penyebar bau busuk.
"Siap, Ketua!"
Ujar Siangkoan Kun Hok.
"Bagaimana dengan tugasku, Ketua?"
Tanya Bala-dewa.
"Kau tetap di sini, menunggu tugas yang lebih be-rat!"
Kata Kidarga. Ia sengaja menyerahkan tugas berat kepada Baladewa sesuai dengan kepandaian yang dimilikinya. Khian Liong diam-diam mangkel kepada Baladewa yang mendapat tugas lebih terhormat. Kebenciannya terhadap Baladewa semakin dalam.
"Khian Liong, Siangkoan Kun Hok. Jalankan tugas kalian sebaik-baiknya!"
Ucap Kidarga lagi.
"Baik, Ketua!"
Sahut Khian Liong dan Siangkoan Kun Hok berbarengan. Kemudian keduanya melang-kah keluar. *** Pagi hari, sebagaimana biasa rumah Ningrum telah ramai oleh teriakan orang-orang yang sedang berlatih silat.
"Haiiit..., hah! Haiiit..., hah! Haiiit..., yaaat!"
Hentakan-hentakan berirama keras terdengar beru-lang-ulang dan penuh tenaga.
Bong Mini yang menyaksikan latihan itu tampak tersenyum kagum.
Terutama kepada Ningrum, Thong Mey, dan Ratih Purbasari.
Walaupun mereka baru be-lajar silat, tapi gerakan tubuh mereka begitu luwes dan hampir sempurna.
Hal itu karena ditunjang oleh ke-cerdasan dan daya tangkap mereka yang amat cepat.
Tidak heran jika setiap jurus yang diturunkan pelatih-nya, baik Prabu Jalatunda maupun Bongkap selalu dapat dikuasai dengan baik.
Apalagi Ningrum yang sudah dua tahun berlatih silat, tentu kemahirannya sudah bisa diandalkan.
Sedangkan Thong Mey dan Ratih Purbasari juga belajar kungfu pada Sang Piao dan Ashiong, tanpa sepengetahuan Bongkap.
"Mereka orang-orang berbakat!"
Puji Bongkap yang berdiri di samping putrinya sambil terus mengawasi ti-ga puluh orang yang sedang berlatih silat. Mereka terdiri dari pria dan wanita berumur sekitar dua puluh sampai empat puluh tahun.
"Kalau saja dari dulu mereka punya kesempatan untuk berlatih silat, tentu desa mereka akan aman da-ri orang-orang sesat yang mengacau ketenteraman!"
Kata Bong Mini.
"Semua peristiwa ada hikmahnya, Putriku. Adanya Perguruan Topeng Hitam yang mengacaukan negeri ini pun ada hikmahnya!"
Kata Bongkap. Bong Mini menoleh pada Bongkap dengan wajah tak mengerti.
"Kenapa Papa berkata begitu? Padahal sudah jelas kalau Perguruan Topeng Hitam telah melakukan tin-dakan-tindakan biadab, tak berperikemanusiaan!"
Ce-tus Bong Mini. Bongkap tersenyum bijak. Dia maklum dengan per-tanyaan putrinya.
"Kalau orang-orang Perguruan Topeng Hitam tidak membuat kerusuhan di negeri ini, tentu mereka tidak menyadari pentingnya ilmu bela diri,"
Kata Bongkap menjelaskan. Bong Mini mengangguk-angguk mengerti.
"Sebenarnya ada hal penting yang ingin kubicara-kan pada Papa,"
Ucap Bong Mini.
"Tentang apa?"
"Mengenai pemuda yang bernama Khian Liong,"
Sa-hut Bong Mini.
"Khian Liong?"
Ucap Bongkap seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Hm, ya. Papa ingat. Dia pun pernah menceritakan pertemuannya denganmu ketika berkunjung ke Kampung Dukuh!"
Lanjut Bongkap setelah i-ngat nama pemuda yang dimaksud putrinya.
"Ada apa dengan dia?"
Bong Mini tidak segera menyahut. Dia menoleh pa-da papanya sekilas, lalu melangkah perlahan me-ninggalkan tempat berlatih. Diikuti oleh papanya.
"Kita harus hati-hati terhadap dia, Pa!"
Kata Bong Mini sambil terus mengayunkan langkahnya.
"Memangnya kenapa?"
Tanya Bongkap agak terke-jut. Bong Mini tersenyum tipis.
"Papa mau tahu siapa dia?"
Bongkap diam.
"Dia mata-mata Raja Manchuria yang diutus ke sini untuk menangkap Papa!"
Bongkap terkejut mendengar penjelasan putrinya. Seolah tidak percaya pada ucapan Bong Mini.
"Kamu ngomong apa, heh?"
"Aku bicara yang sebenarnya, Pa!"
Sahut Bong Mini meyakinkan.
"Bagaimana mungkin seorang pemuda yang bertu-tur kata lemah lembut dan sopan mau menjadi mata-mata Raja Tiongkok keparat itu?"
Kilah Bongkap sera-ya menghentikan langkahnya.
"Lagi pula dia datang ke sini untuk meminta bantuanku menolong rakyat negeri Manchuria yang sedang mengalami penindasan!"
Bong Mini lagi-lagi tersenyum.
"Papa. Tidak semua orang yang sopan dan lemah lembut dalam bertutur kata memiliki hati dan niat yang baik. Papa sendiri pernah mengatakan kepadaku bahwa menilai seseorang tidak bisa dilihat dari pe-nampilannya. Karena penampilan lahiriah manusia bukan jaminan dari hati dan niat manusia itu sendiri. Papa ingat?"
Ungkap Bong Mini.
"Ya, Papa ingat! Memang Papa sendiri yang menga-takan itu kepadamu,"
Sahut papanya.
"Tapi kenapa sekarang Papa jadi tertipu oleh pe-nampilan Khian Liong?"
Tanya Bong Mini.
"Gerak-geriknya tak mencurigakan. Lagi pula, jika dia hendak berbuat jahat, bisa saja dia membunuh Papa dengan mudah. Apalagi perkenalanku dengan Khian Liong sudah berjalan dua tahun, sejak kau menghilang,"
Tutur Bongkap menyatakan alasannya.
"Manusia punya cara sendiri untuk memperdaya seseorang yang tidak disukainya. Ada yang terang-terangan, ada pula secara diam-diam. Di depan meme-luk kita penuh keakraban. Sedangkan tangannya hen-dak membunuh kita dari belakang!"
Kata Bong Mini mengungkapkan pendapatnya. Bongkap tercenung mendengar kata-kata Bong Mini yang mengandung kebenaran itu.
"Dari mana kau tahu kalau Khian Liong mata-mata Raja Tiongkok?"
Tanya Bongkap mulai percaya.
"Dari Tiga Pendekar Mata Dewa. Mereka datang ke sini justru mencari Khian Liong,"
Ujar Bong Mini.
"Kalau Papa ingin tahu jelas, Papa bisa tanyakan langsung pada mereka,"
Lanjut Bong Mini.
Bongkap mengangguk-angguk.
Kemudian keduanya melanjutkan langkah untuk menghampiri Tiga Pen-dekar Mata Dewa yang sedang asyik menyaksikan para pesilat berlatih.
Kebetulan para pesilat sudah selesai berlatih, hingga mereka pun bisa langsung bercakap-cakap di ruang pertemuan yang letaknya berdekatan dengan ruang tamu.
*** "Saudara Kao Cin Liong, apakah kau kenal betul de-ngan Khian Liong?"
Tanya Bongkap setelah mereka berkumpul di ruang pertemuan. Termasuk Prabu Jalatun-da, Ningrum serta pendekar lain yang duduk mengisi ruang pertemuan itu.
"Kami memang tidak kenal dekat dengan Khian Liong. Melihat wajahnya pun tidak pernah. Tapi me-ngenai kepergiannya ke negeri ini dan ciri-ciri orang itu kami ketahui dari seorang penduduk yang bisa dipercaya,"
Sahut Kao Cin Liong menjelaskan. Bongkap mengangguk-angguk.
"Tapi apa benar-benar bisa dipercaya keterangan penduduk itu kalau Khian Liong mata-mata Kerajaan Manchuria?"
Tanya Bongkap lagi.
"Aku dapat membuktikannya,"
Sela Seyton tiba-tiba. Bongkap menoleh pada Seyton.
"Coba jelaskan!"
Pinta Bongkap.
"Saat kami bertempur dengan pengikut Perguruan Topeng Hitam, Khian Liong ada di antara mereka. Pada pertempuran itu, kami dapat mengalahkannya, lalu Khian Liong bersama seorang temannya memacu kuda untuk kembali ke markasnya di Bukit Setan!"
Tutur Seyton. Bongkap kembali mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, peristiwa pembakaran rumah pendu-duk di Kampung Dukuh yang dilakukan orang-orang bertopeng ada hubungannya dengan Khian Liong. Ka-rena sebelumnya ia berkunjung ke sana dan mene-muiku,"
Gumam Bongkap.
"Bisa jadi, Papa. Dia langsung mengutus pasukan Perguruan Topeng Hitam setelah mengetahui di mana Papa berada!"
Timpal Bong Mini.
"Ya, Papa pikir juga begitu,"
Sahut Bongkap sepen-dapat.
"Lalu, apa tindakan kita selanjutnya, Bongkap?"
Ta-nya Prabu Jalatunda.
"Sebab bagaimanapun juga kita tidak bisa membiarkan rakyat menderita lebih lama,"
Lanjut Prabu Jalatunda.
"Aku punya usul!"
Potong Kao Cin Liong.
"Katakan!"
"Kita langsung saja membentuk pasukan! Sebab dua hari lagi, prajurit kerajaan akan tiba di Selat Malaka,"
Ujar Kao Cin Liong. Kabar itu ia ketahui sehari sebelum ia berangkat ke negeri Selat Malaka.
"Jadi, sebelum mereka sampai di Bukit Setan, ada baiknya kita menghadang dan menyerang mereka!"
"Sebuah pendapat yang baik, Papa!"
Cetus Bong Mini, langsung menyetujui. Bongkap mengangguk-angguk. Ia sendiri sangat menyetujui usul yang disampaikan Kao Cin Liong.
"Bagaimana dengan yang lain? Apakah setuju de-ngan pendapat Kao Cin Liong?"
Tanya Bongkap sambil mengedar pandangannya ke sekeliling ruangan yang dipenuhi oleh para pendekar dan pesilat.
"Setuju sekali!"
Sahut para pendekar yang hadir se-rentak.
"Nanti dulu!"
Sergah Ningrum tiba-tiba, membuat semua yang hadir terpana dan memandang ke arah-nya.
"Kuminta, sebelum melakukan penyergapan terha-dap prajurit Kerajaan Manchuria, izinkanlah aku mencari putraku, Baladewa. Aku mengkhawatirkan kese-lamatannya. Karena sekarang ini dia berjuang sendiri-an,"
Kata Ningrum.
Bongkap dan Prabu Jalatunda terhenyak.
Apalagi Bong Mini.
Harus diakui Bong Mini bahwa dalam ha-tinya sudah terpatri nama Baladewa, sekaligus sosok dan pribadinya.
Tak heran kalau gadis itu merasakan getaran halus di dadanya saat nama Baladewa disebut Ningrum.
"Bibi Ningrum. Tetaplah Bibi di sini! Biar aku yang mencari putra Bibi!"
Kata Bong Mini, berusaha mene-nangkan perasaan Ningrum. Sesungguhnya, ia sendiri mempunyai perasaan yang sama dengan Ningrum. Bahkan semalam ia pun tidak dapat tidur karena sela-lu memikirkan Baladewa yang belum diketahui ke-adaannya.
"Betul?"
Tanya Ningrum dengan wajah gembira.
Dia sangat setuju kalau Bong Mini yang langsung mencari putranya.
Pikirnya, siapa tahu Bong Mini tertarik pada Baladewa atau sebaliknya.
Karena secara diam-diam ia ingin sekali kalau Putri Bong Mini jadi menantunya.
Bong Mini mengangguk sambil tersenyum.
"Aku akan berangkat sekarang juga mencari putra Bibi,"
Sahut Bong Mini. Kemudian pandangannya di-alihkan pada Bongkap untuk meminta izin.
"Papa. Aku berangkat dulu!"
Bong Mini mencium kedua pipi Bongkap dengan manja.
"Hati-hati!"
Pesan Bongkap memperingatkan.
"Ya, Papa!"
Sahut Bong Mini. Kemudian dengan lin-cah kakinya melangkah keluar, diiringi pandangan Bongkap, Ningrum, Prabu Jalatunda, dan para pende-kar lain.
"Dia seorang gadis luar biasa yang mengagumkan!"
Puji Kok Thai Ki ketika tubuh Bong Mini telah menghilang dari pandangan mata mereka. Bongkap tersenyum bangga mendengar pujian ter-hadap putrinya itu.
"Dalam usianya yang masih muda, dia mampu mengimbangi dan mengalahkan Nyi Genit, seorang to-koh Perguruan Topeng Hitam!"
Lanjut Kok Thai Ki. Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum serta para pe-silat yang hadir di situ tampak tersentak mendengar ucapan Kok Thai Ki.
"Apa aku tidak salah dengar, Saudara Kok Thai Ki?"
Tanya Bongkap ragu.
"Aku melihat sendiri bagaimana gagahnya Putri Bong Mini menghadapi Nyi Genit!"
Tambah Kok Thai Ki.
"Apa yang dikatakan Saudara Kok Thai Ki tadi me-mang benar!"
Kao Cin Liong ikut menambahkan.
"Nya-wa kami pun diselamatkan oleh Putri Bong Mini dari cengkeraman Nyi Genit!"
Lanjut Kao Cin Liong. Bongkap dan semua yang hadir di situ mengang-guk-angguk. Ia mulai percaya ucapan Kok Thai Ki maupun Kao Cin Liong.
"Kalau begitu, kita sekarang sudah siap melakukan penyerangan ke Bukit Setan!"
Ujar Prabu Jalatunda.
"Benar, Prabu. Kekalahan Nyi Genit di tangan Bong Mini, bisa dijadikan ukuran untuk melihat kepandaian Kidarga!"
Kata Kao Cin Liong.
Mendengar pujian beruntun terhadap Putri Bong Mini, Bongkap hanya dapat diam dengan bibir terse-nyum.
Perasaan bangganya hanya terpancar dari wa-jahnya.
*** Bong Mini terus berjalan tenang di bawah hujaman terik matahari yang tegak lurus di cakrawala.
Wajahnya tampak begitu berseri, seolah tidak mempedulikan kegarangan sinar matahari yang begitu menyengat.
Sedang asyiknya ia berjalan di tengah Hutan Roban, tiba-tiba lima lelaki bertubuh tinggi besar dan bertam-pang beringas muncul dari balik semak belukar.
Mere-ka langsung menghadang Bong Mini.
Bong Mini menghentikan langkahnya.
Pendekar muda itu berdiri gagah dengan mata mencorong ke arah lima lelaki yang menghadangnya.
Hatinya jijik melihat penampilan kelima lelaki itu.
Karena selain tubuh mereka tinggi besar dan hitam, kelima lelaki itu pun tidak mengenakan baju.
Seolah-olah sengaja memperlihatkan otot-otot seperti kawat baja.
Sedangkan pada kepala botak mereka, tersisa segunduk ram-but di tengahnya.
Dan segunduk rambut sepanjang li-ma belas sentimeter itu diikat buntut kuda.
Sehingga penampilan kelimanya semakin seram.
"Siapa kalian berlima? Bisakah aku melanjutkan perjalanan?"
Tanya Bong Mini lembut. Ia mencoba bersikap tenang menghadapi kelima orang berumur seki-tar empat puluh tahun itu. Sebelum kelima orang itu menjawab, tiba-tiba me-loncat seorang lelaki dari atas pohon, lalu berdiri terkekeh-kekeh ke arah Bong Mini.
"Nona masih mengenaliku?"
Tanya lelaki itu. Bong Mini masih diam. Matanya meneliti kehadiran lelaki berpakaian pengemis itu. Ia merasa kesal de-ngannya.
"Apakah kau salah seorang dari Perkumpulan Pen-gemis Sakti?"
Tanya Bong Mini menebak. Lelaki itu terkekeh kembali.
"Ternyata ingatanmu tajam juga, Nona!"
Sahut lelaki berpakaian pengemis yang tidak lain Siangkoan Kun Hok, orang yang ditugaskan Kidarga untuk mencari jejak Nyi Genit.
Sebagai orang yang telah tahu kalau Nyi Genit menderita kekalahan ketika melawan Bong Mini, Siangkoan Kun Hok tidak melaksanakan tugasnya seorang diri.
Dia mengajak lima pengikut Perguruan Topeng Hitam untuk sama-sama mencari jejak Nyi Genit yang belum diketahui rimbanya.
Bong Mini tersenyum mengejek pengemis yang sela-lu menyebarkan bau amis itu.
Kemudian matanya be-ralih memandang lima lelaki yang bertelanjang dada.
"Apakah kalian berlima tidak salah memilih lelaki pecundang menjadi pemimpin pasukan?"
Sindir Bong Mini sambil tersenyum sinis.
"Phuih! Kau pikir aku takut karena kau berhasil mengalahkan Nyi Genit?!"
Geram Siangkoan Kun Hok. Tanpa ia sadari kalau ucapannya tadi telah menge-jutkan lima temannya.
"Saudara Siangkoan Kun Hok. Kenapa kau tidak te-rus terang kepada Kidarga kalau kau mengetahui per-tempuran antara Nyi Genit dengan gadis ini?"
Tanya seorang dari lima temannya agak geram.
"Karena kalau Siangkoan Kun Hok berterus terang, tentu mereka tidak harus mencari jejak Nyi Genit,"
Pikirnya.
"Lelaki pecundang macam pengemis ini mana mau berterus terang di hadapan pemimpin kalian!"
Bong Mini menyela, seolah sengaja memancing kemarahan Siangkoan Kun Hok.
"Bocah tengik! Kau rasakan pukulanku!"
Usai ber-kata begitu, Siangkoan Kun Hok langsung membuka serangan dengan pukulan 'Tangan Geledek' ke wajah gadis yang berdiri tenang di depannya.
Wut! Plakkk! Pukulan tangan Siangkoan Kun Hok yang mengan-dung tenaga dahsyat itu segera dielakkan Bong Mini dengan memiringkan tubuhnya sedikit ke samping.
Se-dangkan tangan kirinya menangkap tangan kanan yang mengarah ke wajahnya itu.
Dilanjutkan dengan pukulan tangan kanannya ke wajah lawan.
"Huppp!"
Bong Mini segera menarik tangan kanannya kemba-li ketika Siangkoan Kun Hok hendak menangkisnya. Sedangkan tangan kirinya yang masih memegangi ta-ngan kanan lawan segera dihentakkan ke bawah diser-tai tendangan lutut ke wajah lawan. Dukkk! "Aaakh!"
Siangkoan Kun Hok terpekik ketika lutut Bong Mini menghentak wajahnya, hingga ia terdongak dari ter-huyung ke belakang. Namun demikian, dengan sikap gagah ia kembali berdiri menghadap Bong Mini yang tampak tetap tenang.
"Hiaaat!"
Siangkoan Kun Hok mengeluarkan lengkingan ting-gi bersama terjangan ke arah Bong Mini.
Sedangkan kedua tangannya melakukan gerakan menotok ke ba-hu kiri dan pinggang kanan lawan.
Dengan mudah Bong Mini menyambut serangan itu.
Jari-jari kedua tangannya mengerahkan jurus menotok pula.
Ketika serangan lawan mendekat, kedua tangan Bong Mini segera menyambutnya.
Tuk! Tuk! Ujung-ujung jari Siangkoan Kun Hok melekat erat pada ujung-ujung jari tangan Bong Mini.
Ketika Siangkoan Kun Hok hendak menariknya, seketika itu juga ia merasakan hawa panas di sekitar ujung-ujung jari tangannya.
Semakin dia berusaha melepaskan jari-jarinya, semakin lekat dan semakin panas pula terasa olehnya.
Hingga bibirnya terlihat meringis menahan perih yang teramat sangat.
"Hiaaat! Huhhh!"
Tiba-tiba Bong Mini menggerakkan tangan ke atas, hingga tangan Siangkoan Kun Hok yang masih me-nempel pada jari-jarinya ikut terbawa ke atas. Kemudian ia menariknya kembali ke bawah disertai henta-kan keras. Bukkk! "Aaakh!"
Siangkoan Kun Hok memekik keras.
Hentakan ta-ngan Bong Mini yang mengandung kekuatan dahsyat telah membuat tubuhnya tersungkur dengan wajah mencium tanah.
Sedangkan jari-jarinya yang tadi me-nempel terlepas dari tangan Bong Mini.
Dengan wajah meringis menahan sakit, Siangkoan Kun Hok bangkit kembali.
"E, eh! Masih bandel! Tidak kapok, ya?"
Ejek Bong Mini sambil tersenyum.
"Aku belum kalah, Tikus Kecil!"
Dengus Siangkoan Kun Hok dengan lagak angkuh.
Padahal saat itu ia merasakan seluruh tulangnya ngilu.
Bong Mini mencibir melihat kesombongan lawan.
Padahal ia tahu kalau Siangkoan Kun Hok tengah me-rasakan sakit luar biasa.
Terlihat dari wajahnya yang masih meringis-ringis.
Sebenarnya Siangkoan Kun Hok menyadari akan ketinggian ilmu lawannya.
Bahkan ia merasa sudah tidak sanggup melanjutkan pertarungan.
Namun karena takut dilecehkan oleh kelima temannya serta dikeluarkan dari Perguruan Topeng Hitam, maka ia pun me-maksakan diri untuk melanjutkan pertarungan.
Di pihak lain, lima temannya dari Perguruan Topeng Hitam terpaku melihat Siangkoan Kun Hok dibuat ti-dak berdaya oleh seorang gadis mungil.
Kenyataan itu membuat mata mereka terbuka.
Tak heran kalau pe-mimpin mereka, Kidarga, kewalahan menghadapi gadis bernama Bong Mini ini.
Gadis itu memang tidak bisa dianggap remeh.
Apalagi telah mampu mengalahkan Nyi Genit.
Keduanya telah berhadapan kembali.
Siangkoan Kun Hok telah siap dengan jurus barunya yang disebut 'Macan Lapar Mengamuk'.
Dengan jurus ini wajahnya berubah liar.
Kedua tangannya terangkat dengan jari-jari merenggang seperti kuku-kuku macan yang hen-dak menerkam mangsa.
Sedangkan kedua kakinya se-tengah berjongkok dengan lutut melengkung ke sam-ping.
Dan kepalanya bergerak-gerak kaku, tak ubah-nya seekor macan yang hendak bertarung.
"Hauuungngng...!"
Mulut Siangkoan Kun Hok mengeluarkan erangan.
Erangan yang mengandung tenaga dalam 'Angin Sakti' yang amat dahsyat.
Lima temannya menutup telinga mereka.
Karena erangan itu sangat memekakkan telinga.
Lain halnya dengan Bong Mini.
Ia mengerahkan ilmu 'Angin Laut Pengusir Suara', salah satu ilmu 'Pancaran Sinar Sakti' warisan Putri Teratai Merah.
Sehingga suara erangan musuhnya itu hanya terdengar sayup-sayup.
"Hauuungngng...!"
Siangkoan Kun Hok kembali mengerang disertai ter-kaman tubuhnya.
Jari-jari kedua tangannya yang mi-rip cakar macan mengarah pada leher lawan.
Gera-kannya begitu cepat dan kuat.
Sehingga pada saat ia menyambar tubuh lawan, angin pun berputar sangat keras.
Wes wes wes! Bong Mini terkejut merasakan sambaran angin yang demikian keras di sekitar tempatnya berdiri.
Untung-lah ia memiliki ilmu 'Pasak Bumi'.
Sebuah ilmu yang membuat tubuhnya tetap berdiri kokoh, walaupun ter-serang angin yang demikian dahsyat.
Sambil menge-rahkan ilmu 'Pasak Bumi', kedua tangannya meren-tang ke depan, menyambut sambaran tangan lawan.
Plekkk! Plekkk! Kedua telapak tangan Bong Mini yang dikembang-kan bertemu dengan kedua tangan Siangkoan Kun Hok yang berbentuk cakar.
Sedangkan masing-masing jari tangan Bong Mini menyelip pada celah-celah jari tangan lawannya dengan kuat.
Begitu pula, dengan ja-ri-jari tangan lawannya.
Terjadilah saling tekan dan saling dorong dari kedua belah pihak.
Lima teman Siangkoan Kun Hok menyaksikan per-tarungan itu dengan wajah tegang.
Karena adu kekua-tan itu akan berakhir dengan kematian seorang dari mereka.
Ilmu 'Telapak Tangan Sakti' yang dimiliki Bong Mini serta ilmu 'Lahar Panas Membelah Bumi' yang dikerahkan Siangkoan Kun Hok, telah menimbulkan asap putih dari kedua telapak tangan mereka.
Kemudian asap putih itu menyebar ke sekeliling, menghalangi pandangan lima kawan Siangkoan Kun Hok yang menyaksikan pertarungan itu.
Sesaat kemudian asap putih itu perlahan-lahan pudar, tertiup oleh hembusan angin.
"Aaakh...!"
Siangkoan Kun Hok mengeluarkan lengkingan ting-gi. Tubuhnya terkulai lemas, lalu ambruk. Sedangkan dari mulutnya keluar darah kental kehitam-hitaman. Dilanjutkan dengan kedua tangannya yang hangus terbakar. Lelaki itu pun tewas.
"Kepuuung...!"
Lima murid Perguruan Topeng Hitam segera me-ngeroyok Bong Mini dengan geram.
"Yeaaat...!"
"Aaakh!"
"Aaakh!"
Kedua tangan Bong Mini yang masih mengandung ilmu 'Telapak Tangan Sakti' segera menyambut sera-ngan itu.
Dua pengeroyok yang terkena sentuhan ta-ngannya mengerang-erang kesakitan di tanah bagai ayam disembelih.
Lalu keduanya tewas dengan sekujur tubuh menghitam bagai arang.
Begitulah dahsyatnya ilmu 'Telapak Tangan Sakti' yang dimiliki Bong Mini saat berguru pada Kanjeng Rahmat Suci.
Walaupun pukulannya tidak keras, tapi kalau sudah menyentuh sesuatu, maka benda yang disentuhnya akan hangus seperti terbakar.
"Majulah kalian bertiga! Biar sekalian kukirim ke neraka!"
Geram Bong Mini. Dia sudah tidak ingin lagi berlama-lama, bahkan untuk memberi ampun kepada orang-orang Perguruan Topeng Hitam itu. Sret sret sret! Lawan mencabut pedang yang sejak tadi terselip di pinggang masing-masing.
"Hiaaat!"
Tiga orang dari Perguruan Topeng Hitam segera me-nyerang Bong Mini dengan jurus 'Seribu Tangan Iblis Menyambar Nyawa'.
Wut wut wut! Angin sambaran tiga pedang lawan itu begitu dah-syat menderu-deru di kedua telinga Bong Mini.
Bergulung, menyambar-nyambar dan susul-menyusul.
Membuat Bong Mini harus mengelak dengan cara me-lompat, bergulingan dan bersalto.
Ketika dia berdiri kembali, pedang saktinya telah tergenggam di tangan kanannya.
Dia sadar, kalau ti-dak mempergunakan senjata, pertarungan itu akan memakan waktu lama.
Sedangkan ia sendiri ingin ber-gegas menemukan Baladewa.
Dengan begitu bisa me-lakukan penyerangan ke Bukit Setan lebih cepat lagi.
Pengeroyoknya terpaku sejenak melihat pedang Bong Mini yang memancarkan sinar merah berbentuk bunga teratai.
Membuat ketiga orang itu menjadi ngeri untuk melanjutkan pertarungan.
Mereka tahu kalau pedang itu memiliki kesaktian yang luar biasa.
Terbukti dari sinarnya yang berbeda dengan pedang lain.
Apalagi bila dibandingkan dengan pedang mereka yang tidak memiliki kesaktian apa-apa.
"Lariii...!"
Teriak seorang di antara mereka seraya mengambil langkah seribu.
Diikuti oleh dua temannya.
Pedang Bong Mini yang sudah telanjur dikeluarkan, biasanya pantang dimasukkan ke sarungnya kembali sebelum dibasahi darah lawan.
Maka ketika tiga la-wannya melarikan diri, Bong Mini segera mengejarnya dengan mengerahkan ilmu 'Halimun Sakti'.
Ilmu yang membuatnya bisa melesat cepat tanpa diketahui mu-suh.
Wesss! Angin yang ditimbulkan oleh lesatan tubuh Bong Mini begitu keras, mampu menerbangkan debu-debu di sekitar tempat tadi.
Plekkk! Dengan ringan Bong Mini mendaratkan kedua kaki-nya di depan dua musuh yang sedang berlari.
"Lomba lari yang kurang menarik!"
Ledek Bong Mini seraya tersenyum mengejek.
Dua orang Perguruan Topeng Hitam tentu saja ter-kejut melihat Bong Mini telah berdiri menghadang.
Dengan gerakan yang tak terduga, tiba-tiba mereka me-nubruk kedua kaki Bong Mini.
Keduanya berlutut meminta pengampunan.
"Ampun, Nona! Ampuni kami! Kami bersedia men-jadi budak Nona jika Nona mengampuni kami!"
Iba ke-dua pengikut Perguruan Topeng Hitam itu.
Bong Mini yang hendak mengayunkan pedangnya untuk menghabisi nyawa kedua orang itu segera me-nariknya kembali.
Matanya menatap kedua orang yang berlutut di kedua kakinya.
Baru kali ini ia menyaksikan pemandangan seperti itu.
Gadis bertubuh mungil itu masih berdiam diri.
Tak sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya.
Ia ma-sih termangu.
Menimbang-nimbang permohonan ke-dua orang itu.
"Bong Mini!"
Tiba-tiba terdengar suara halus dan merdu di kedua telinganya. Namun hanya dia sendiri yang dapat mendengarnya.
"Kalau Tuhan Maha Peng-ampun, alangkah baiknya kalau kau juga suka meng-ampuni orang yang telah mengakui kesalahannya di depanmu!"
Lanjut suara itu lagi, sampai akhirnya menghilang.
Bong Mini menghela napas.
Dia berdiri tegak de-ngan wajah menengadah ke langit.
Sedangkan kedua matanya terpejam, merenungi kalimat-kalimat yang dikatakan suara gaib tadi.
Setelah beberapa saat menengadah, Bong Mini kem-bali menundukkan kepala.
Dipandangnya dua orang yang sedang menunggu keputusan itu.
"Bangunlah...."
Suara Bong Mini terdengar lembut di telinga kedua orang itu. Mendengar ucapan yang lembut tanpa kemarahan, kedua orang itu segera bangkit dengan wajah gembira.
"Terima kasih, Nona. Terima kasih!"
Ucap kedua orang itu tertunduk-tunduk, sebagaimana orang ber-salah yang bebas dari hukuman. Bong Mini tidak menyahut. Ia memasukkan pedang-nya. Setelah itu kakinya melangkah pelan meninggal-kan kedua orang tadi.
"Tunggu, Nona!"
Teriak seorang dari mereka. Bong Mini menghentikan langkah dan berbalik me-mandang kedua lelaki itu.
"Ada apa?"
"Izinkan kami berdua untuk ikut bersama Nona,"
Pinta seorang di antara mereka. Bong Mini menghela nafas.
"Siapa namamu?"
Tanya Bong Mini.
"Namaku Kudu dan temanku ini Kitu!"
Sahut Kudu memperkenalkan. Bong Mini mengangguk angguk.
"Apakah Nona yang bernama Putri Bong Mini?"
Lan-jut Kudu bertanya.
"Ya!"
Sahut Bong Mini sambil mengangguk.
"Sebaiknya Nona kembali!"
Kata Kitu ikut bicara.
"Kenapa?"
Tanya Bong Mini. Keningnya berkerut rapat.
"Orang-orang Perguruan Topeng Hitam sedang dike-rahkan untuk mencari dan menangkap Nona Mini!"
Kata Kitu menjelaskan. Bong Mini kembali mengangguk-angguk sambil ber-pikir.
"Aku harus tetap melanjutkan perjalananku untuk mencari sahabatku!"
Ucap Bong Mini.
"Siapa sahabat yang sedang Nona cari itu? Izinkan kami ikut mencarinya!"
Pinta Kudu.
"Baladewa."
Kudu dan Kitu terkejut mendengar nama itu dis-ebutkan.
"Apakah Nona tidak salah menyebut namanya?"
Ta-nya Kitu dengan wajah terkejut.
"Memangnya kenapa?"
"Orang yang Nona Mini cari itu telah bersekutu de-ngan Perguruan Topeng Hitam!"
Bagai tersambar petir di siang hari bolong, Bong Mini terkejut bukan main mendengar penjelasan Kitu. Wajah dan matanya merah menahan marah.
"Kau ngomong apa?"
Geram Bong Mini.
"Aku bersedia mati di ujung pedang Nona Mini ka-lau berkata dusta!"
Kata Kitu mantap. Bong Mini berdiri tegang. Ucapan kedua orang itu bisa ia terima. Apalagi mereka bersedia menyerahkan nyawanya andai keterangannya bohong.
"Kalian ikut aku!"
Cetus Bong Mini.
Wajahnya masih menunjukkan kemarahan yang amat sangat.
Tanpa banyak pertanyaan lagi, keduanya mengikuti langkah Bong Mini.
*** Malam mulai merambah.
Kegelapan kembali menye-limuti bumi.
Lampu-lampu minyak yang dipasang di rumah-rumah penduduk Desa Padomorang tampak bergoyang-goyang.
Tertiup semilir angin yang masuk lewat celah-celah pintu dan jendela.
Bila dilihat dari kejauhan, lampu-lampu itu mirip kelap-kelip cahaya bintang.
Di ruang pertemuan rumah Prabu Jalatunda, Bong-kap, Prabu Jalatunda, Ningrum dan para pendekar lain terlihat sedang berkumpul.
Selain membicarakan rencana penyerangan ke Bukit Setan, mereka sedang menunggu kedatangan Bong Mini dengan harap-harap cemas.
Ketika Bong Mini datang bersama dua lelaki tinggi besar, Kudu dan Kitu, mata mereka langsung tertuju pada Bong Mini dengan pandangan mata penuh tanda tanya.
Terlebih jika melihat sikap Bong Mini yang berbeda dari biasanya.
Sikapnya yang selalu lincah, man-ja, dan penuh senyum, berubah ketus dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan.
Seolah ada per-soalan yang menggayuti pikirannya.
"Kau sudah pulang, Sayang!"
Ningrum langsung memburu dan memeluk Bong Mini. Bong Mini tampak dingin, tanpa memberikan reaksi apa-apa ketika tubuhnya dipeluk oleh Ningrum.
"Ada apa denganmu? Kok ngambek? Baladewa ma-na?"
Tanya Ningrum beruntun. Bong Mini mengangkat wajahnya. Dipandangnya Ningrum dengan sorot mata yang memancarkan ke-marahan tak terhingga.
"Kalau Bibi ingin mengetahui Baladewa, tanyakan saja kepada dua orang yang menyertaiku itu,"
Kata Bong Mini tanpa gairah.
Dilepaskannya pelukan Ning-rum, lalu melangkah menuju sudut ruangan.
Gadis itu duduk di sana dengan wajah yang masih cemberut.
Ningrum tersentak melihat sikap Bong Mini yang mendadak berubah itu.
Dalam suasana yang dipenuhi tanda tanya seperti itu, tiba-tiba Gunala berdiri.
Dia berseru kepada kedua orang yang menyertai Bong Mini.
"Kau? Bukankah kau bernama Kudu dan Kitu?"
Tanya Gunala dengan wajah terkejut.
Mendapat teguran itu, Kudu dan Kitu pun tak kalah terkejut.
Mereka pun kenal pada orang yang tadi me-negur.
Mereka memang sama-sama dari Perguruan Topeng Hitam.
Bedanya, Gunala serta ketiga temannya Gagap, Ontohod, dan Geblek di bawah pimpinan Yang Seng yang sudah tewas di tangan Bong Mini (baca episode.
'Iblis Pulau Neraka'), sedangkan Kudu dan Kitu langsung di bawah pimpinan Kidarga dan Nyi Genit dan bermarkas di Bukit Setan.
Namun demikian, me-reka sering bertemu jika ada pertemuan di Bukit Setan yang dilakukan sebulan sekali.
Melihat Gunala mengenali kedua orang yang dibawa Bong Mini tadi, Bongkap segera berdiri dan mengham-piri.
"Apakah kalian berdua orang-orang dari Perguruan Topeng Hitam?"
Tanya Bongkap, menduga. Sebab di antara para pendekar lain, tidak ada yang mengenal kedua orang itu kecuali Gunala dan ketiga temannya.
"Dugaan Tuanku memang benar. Kami dari Pergu-ruan Topeng Hitam!"
Sahut Kudu terus terang.
Mendengar pengakuan itu, semua pendekar terke-jut, termasuk Prabu Jalatunda dan Ningrum.
Hanya Bongkap, Ashiong, dan Sang Piao saja yang tampak biasa-biasa saja.
Mereka sudah biasa menerima orang-orang Perguruan Topeng Hitam yang telah sadar kare-na pengaruh Putri Bong Mini.
"Siapa nama kalian?"
Tanya Bongkap lagi.
"Namaku Kudu."
"Namaku Kitu,"
Sahut Kitu pula memperkenalkan namanya. Bongkap mengangguk-angguk.
"Apa hubungan kalian dengan Baladewa?"
Tanya Bongkap, langsung pada persoalan. Kudu dan Kitu saling berpandangan. Kemudian ke-duanya mengalihkan pandangan pada Bong Mini. Tampaknya mereka ingin minta persetujuan.
"Katakanlah apa yang kau ketahui tentang Bala-dewa!"
Ketus Bong Mini kepada Kudu.
Wajahnya masih terlipat.
Kudu mengangguk.
Kemudian ia pun menceritakan tentang pertemuannya dengan Bong Mini.
Mulai dari pertarungan antara Siangkoan Kun Hok sampai ke-duanya bertekuk lutut di hadapan Bong Mini.
Sampai akhirnya tiba pada masalah Baladewa.
Tidak lupa pula diceritakannya tentang ciri-ciri Baladewa.
"Kalau memang Baladewa itu yang dimaksud Nona Mini, dia sekarang berada di Bukit Setan dan menjadi orang kepercayaan Kidarga,"
Tutur Kudu mengakhiri ceritanya.
"Baladewa..., Putraku!"
Keluh Ningrum.
"Tidak ku-sangka kau menjadi pengkhianat negeri!"
Lanjutnya bergetar.
Kemudian dengan deraian air mata, ia berlari menuju kamarnya.
Prabu Jalatunda yang mempunyai sifat pendiam, dalam menghadapi persoalan itu pun tampak tetap te-nang.
Namun demikian hatinya terasa terbakar.
Kalau saja Baladewa hadir di sana, tentu kedua tangannya akan menghajar putranya.
Beberapa saat setelah Ningrum masuk ke dalam kamar, Bong Mini pun menghambur ke dalam kamar-nya bersama tangis.
"Prabu!"
Ujar Bongkap dengan sikap tenang.
"Seba-iknya kau tenangkan dulu istrimu. Biar kubujuk pu-triku!"
Usul Bongkap. Tanpa menyahut, Prabu Jalatunda melangkah te-nang memasuki kamar istrinya.
"Kalian tenang-tenang saja di sini. Aku akan mem-bujuk putriku!"
Pamit Bongkap kepada para pendekar yang hadir di ruang pertemuan itu.
Kemudian kakinya melangkah tenang menghampiri kamar putrinya.
*** Bongkap membuka pintu kamar Bong Mini.
Di sa-na, ia melihat anak gadisnya sedang menelungkup di atas ranjang.
Punggungnya turun naik, pertanda dia sedang menangis.
Bongkap melangkah pelan mendekati putrinya.
Di-dudukinya tepi ranjang sambil mengusap-usap rambut Bong Mini.
Merasa kepalanya ada yang mengusap, Bong Mini segera menghentikan tangisnya.
Dengan lesu, dia du-duk di samping papanya.
Bongkap tersenyum melihat mata sembab putrinya yang masih meneteskan air mata.
"Kenapa kau menangis, Putriku?"
Tanya Bongkap lunak.
"Apakah Papa belum tahu penyebabnya?"
Tanya Bong Mini sendu.
"Karena Baladewa pengkhianat?"
Bong Mini mengangguk sambil berusaha menge-ringkan sisa-sisa air matanya dengan punggung ta-ngan. Bongkap tersenyum. Tangannya kembali mengusap kepala Bong Mini lembut.
"Kalau dulu kau selalu bercerita pada Papa tentang segala yang kau alami, kenapa sekarang justru menu-tup diri?"
Ucap Bongkap. Suaranya tetap lunak.
"Aku tidak mengerti maksud Papa?"
Kata Bong Mini dengan sikap yang mulai tenang.
"Kau mau jujur pada Papa?"
"Apakah aku pernah membohongi Papa selama ini?"
Sendu Bong Mini.
"Memang tidak. Tapi pertanyaan yang akan kuaju-kan sekarang ini benar-benar membutuhkan keterbu-kaanmu,"
Lanjut Bongkap.
"Aku akan berusaha menjawab sesuai dengan kei-nginan Papa,"
Sahut Bong Mini berjanji. Bongkap mengangguk-angguk seraya tersenyum.
"Sudah berapa lama kau mengenal Baladewa?"
Tanya Bongkap lagi. Bong Mini tersentak mendapat pertanyaan yang tak diduganya itu.
"Kenapa Papa menanyakan hal itu?"
Tanya Bong Mini.
"Papa merasa kesedihanmu tadi bukan karena pengkhianatan Baladewa terhadap negeri ini semata. Melainkan karena sebelumnya kau dan Baladewa su-dah saling mengenal,"
Tutur Bongkap, langsung me-nyatakan dugaannya. Bong Mini diam menunduk sambil menggigit-gigit bibir bawahnya.
"Papa ini sudah tua, Sayang! Sudah banyak penga-laman. Sikapmu tadi tidak bisa menutupi perasaanmu yang sesungguhnya dari pandangan Papa."
"Papa!"
Sergah Bong Mini. Kemudian direbahkan kepalanya di pangkuan Bongkap.
"Aku memang telah lama mengenal Baladewa, Papa. Sejak aku menghilang dari sisi Papa,"
Lanjut Bong Mini berterus terang.
Kemudian ia pun menceritakan awal pertemuannya de-ngan Baladewa di Gunung Muda, saat ia berguru pada Kanjeng Rahmat Suci.
Malah ia pun menceritakan pula bagaimana Baladewa mengungkapkan perasaan terhadap dirinya saat bertemu di Telaga Ungu.
"Papa sudah menduga kalau kau memang punya hubungan erat dengan Baladewa,"
Kata Bongkap me-rasa tenang karena dugaannya tidak meleset.
"Tapi sekarang aku benci dia, Papa! Dia tidak seperjuangan dengan kita!"
Maki Bong Mini kesal.
"Belum pasti, Sayang!"
Kata Bongkap.
"Bagaimana belum pasti? Sudah jelas dia sekarang berada di Bukit Setan dan menjadi orang kepercayaan Kidarga!"
Kilah Bong Mini.
"Papa tahu! Tapi mungkin ia sendiri punya rencana tersendiri, hingga harus bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam!"
Jelas Bongkap. Bong Mini tercenung.
"Kalaupun Baladewa benar pengkhianat, apa boleh buat. Kau harus tegar menghadapinya. Jangan kau campur-adukkan antara perasaanmu terhadap Bala-dewa dengan amanat penderitaan rakyat!"
Kata Bong-kap lagi, memberi semangat. Bong Mini merasa terhibur dengan dorongan se-mangat dari papanya itu. Hatinya yang semula terasa rapuh, kini perlahan bangkit, kembali pada ketegaran.
"Terima kasih, Papa!"
Ucap Bong Mini sambil men-cium dan memeluk papanya.
Bongkap tersenyum sambil membalas pelukan pu-trinya dengan erat.
Ia gembira karena Bong Mini telah melepaskan kesedihannya.
*** Pada waktu yang bersamaan, suasana di Bukit Se-tan tampak sepi.
Semua pendekar yang bersekutu de-ngan Perguruan Topeng Hitam telah tertidur pulas.
Termasuk Kidarga sendiri.
Kecuali sepuluh penjaga yang mendapat tugas malam itu.
Sepuluh orang itu dibagi menjadi tiga kelompok.
Pintu gerbang dan pintu ruang dalam masing-masing dijaga oleh dua orang, sedangkan enam orang lainnya berjaga-jaga di sekitar benteng.
Dalam suasana hening dan sepi itu, tiba-tiba ter-dengar teriakan yang mengejutkan dari ruang tidur pa-ra pendekar.
"Pembunuhan! Pembunuhan! Bangun semuanya...! Ada pembunuhan!"
Teriak suara itu, membangunkan semua orang yang tertidur.
Bersamaan dengan itu, se-sosok bayangan hitam bertopeng melesat dari tempat kejadian menuju salah satu ruangan.
Gerakannya be-gitu cepat, hingga tak sempat terlihat oleh para penjaga dan para pendekar yang sudah terbangun.
Mereka yang terjaga langsung berkerumun, melihat sepuluh pendekar yang tewas dengan leher berlumu-ran darah.
Rupanya, sang pelaku melakukan pembu-nuhan dengan cara menusukkan ujung pedang ke leh-er korban.
Terbukti dari leher korban yang berlubang dan tembus sampai ke belakang.
Membuat para korban tidak sempat berteriak.
"Ada apa ribut-ribut?"
Terdengar suara berwibawa dari pintu masuk ruangan. Ketika para pendekar menoleh, ternyata Baladewa tengah melangkah tenang. Sedangkan tiga tombak di belakang Baladewa, terlihat Kidarga sedang berjalan pula.
"Pembunuhan! Sepuluh orang pendekar telah mati dibunuh oleh orang tak dikenal!"
Lapor Chiang Su Kiat, Ketua Tiga Siluman Ular Belang.
"Bangsat!"
Geram Baladewa dengan mata menyala penuh kemarahan.
"Semua ini terjadi di depan hidung-ku!"
Semua pendekar yang hadir di situ terdiam melihat kemarahan Baladewa.
Termasuk Kidarga.
Mereka me-mang sangat segan bila Baladewa sudah marah.
Kare-na selain memiliki kepandaian ilmu silat dan kesaktian yang luar biasa, usianya juga baru mencapai dua puluh tahun.
Tidak mustahil kalau dia memiliki tenaga luar biasa.
Sedangkan Kidarga sendiri telah menyerahkan semua persoalan yang menyangkut perguruan itu kepada Baladewa.
Termasuk persoalan yang baru ter-jadi tadi.
"Aku merasa ada pengkhianatan di antara kita!"
Ge-ram Baladewa sambil menyebarkan pandangan pada seluruh pendekar. Sedangkan para pendekar yang mendapat tuduhan itu tampak gusar. Mereka khawatir kalau Baladewa menjatuhkan tuduhan semena-mena.
"Kalau memang ada pengkhianat di perguruan kita, siapa kira-kira orangnya?"
Tanya Kidarga, sama ge-ramnya dengan Baladewa. Karena sepuluh pendekar yang terbunuh adalah pendekar pilihan yang terga-bung dalam Perkumpulan Pendekar Siluman.
"Aku merasa pembunuhan ini dilakukan oleh Khian Liong!"
Tuduh Baladewa, membuat Kidarga dan para pendekar lain terkejut.
"Apa alasanmu menuduh dia?"
Tanya Kidarga.
"Sejak Ketua menerima aku di perguruan ini dan menjadikan aku sebagai wakil Ketua, Khian Liong tampak tidak senang padaku!"
Papar Baladewa.
"Lalu, apa hubungannya dengan pembunuhan ini?"
Tanya Kidarga.
"Tentu saja erat hubungannya, Ketua! Agar Ketua tidak lagi mempercayai aku sebagai wakil karena tidak becus bekerja!"
Sahut Baladewa. Kidarga mengangguk-angguk.
"Tapi pada saat peristiwa ini terjadi, Khian Liong sedang berada di luar!"
Kata Kidarga.
"Bisa saja dia pura-pura keluar untuk mencari jejak Bong Mini dan Bongkap. Tapi tanpa sepengetahuan ki-ta, dia justru melaksanakan siasat yang sudah matang direncanakan. Bagaimanapun juga pembunuhan terhadap sepuluh pendekar ini pasti sudah direncana-kan!"
Kata Baladewa.
"Lalu tindakan apa selanjutnya yang akan kau am-bil?"
Tanya Kidarga.
"Satu-satunya jalan aku harus menghadapi Khian Liong secara jantan!"
Sahut Baladewa. Para pendekar yang hadir di situ tampak berdiri te-gang mendengar ucapan Baladewa. Karena kalau Ba-ladewa bertarung secara jantan dengan Khian Liong berarti keduanya akan bertarung sampai di antara mereka ada yang tewas.
"Kalau tindakan itu merupakan jalan terbaik, laku-kanlah! Semua persoalan ini kuserahkan padamu,"
Ka-ta Kidarga memberikan kepercayaan kepada Baladewa. Sebelum Baladewa membalas ucapan Kidarga, muncul Khian Liong dan menghampiri mereka. Tanpa sempat mengajukan pertanyaan, Baladewa telah men-dahuluinya.
"Kau datang tepat pada waktunya, Khian Liong!"
Ujar Baladewa dengan wajah sinis.
"Memangnya ada apa?"
Tanya Khian Liong, tak ka-lah sinis. Dia sendiri sudah lama menyimpan rasa ben-ci dan dendam di hati, sejak dia dikalahkan Baladewa saat uji coba.
"Begitulah sikap pengkhianat bila sudah melakukan kesalahan. Menutupi perbuatannya dengan sikap pu-ra-pura bodoh!"
"Apa maksudmu?"
Sergah Khian Liong sengit saat mendengar tuduhan itu.
"Kau masih juga bersikap pura-pura Khian Liong!"
Geram Baladewa.
"Seharusnya langsung kau akui saja kalau kau melakukan pembunuhan terhadap sepuluh pendekar itu!"
Tuduh Baladewa.
"Monyet! Kurobek mulutmu yang suka menuduh orang tanpa bukti itu!"
Kalap Khian Liong.
"Lakukanlah kalau kau mampu!"
Tantang Baladewa dengan gagah.
Membuat Kidarga dan para pendekar lain mundur sejauh lima tombak.
Mereka sudah men-duga pertarungan antara Khian Liong dan Baladewa pasti terjadi.
Dugaan mereka memang benar.
Setelah para pen-dekar mengambil jarak, Khian Liong langsung menye-rang Baladewa disertai lengkingan tinggi.
"Hiaaat!"
Khian Liong menerjang Baladewa dengan gerakan menubruk.
Sedangkan tangan kirinya mencengkeram ubun-ubun lawan.
Sementara tangan kanannya me-notok leher Baladewa.
Inilah yang disebut jurus 'Monyet Liar Mencaplok Mangsa'.
Sebuah jurus yang di-sertai tenaga pukulan yang amat dahsyat.
"Heiiit!"
Dukkk! Plakkk! Baladewa menangkis serangan berbahaya itu de-ngan cepat.
Tangan kirinya menangkis tangan kiri lawan yang mencengkeram ubun-ubunnya, sedangkan tangan kanan lawan yang menotok lehernya dielakkan dengan sedikit menunduk.
Bahkan pada saat menang-kis dan mengelak itu, Baladewa pun berhasil memba-las serangan.
Plakkk! Dua jari Baladewa berhasil mendarat di pergelangan tangan Khian Liong.
"Auuuh!"
Khian Liong meringis kesakitan karena pergelangan tangannya tergetar hebat saat ilmu 'Totok Tanduk Kerbau' yang dikerahkan Baladewa mendarat di punggung tangannya.
Dalam keadaan meringis itu, Baladewa kembali me-lancarkan serangan berupa tendangan.
Desss! Tubuh Khian Liong terjengkang sejauh dua tombak dan jatuh terbanting keras di lantai.
Bukkk! "Aaakh!"
Khian Liong terpekik kesakitan saat tubuhnya keras menubruk lantai.
Beberapa saat kemudian ia bangun kembali sambil mencabut pedangnya.
Kemudian pe-dang yang sudah tergenggam di tangan kanannya itu diputar-putar dengan gerakan yang amat cepat.
Se-hingga pedang itu berubah menjadi gulungan sinar bi-ru.
Sing sing sing! Gulungan sinar biru itu mengeluarkan desingan nyaring saat Khian Liong bergerak menerjang Bala-dewa.
Wut wut wut! Serangan Pedang Naga Liar yang dilancarkan Khian Liong ke arah leher dan perut lawan hanya menimbul-kan angin keras saat tubuh lawannya bergerak lincah, menghindari serangan pedang yang demikian gencar.
Kidarga dan para pendekar berdecak-decak kagum melihat ketangkasan Baladewa dalam menghadapi se-rangan senjata lawannya.
Sehingga, ke mana pun pe-dang Khian Liong menyambar, Baladewa selalu dapat mementahkannya.
Pantaslah jika Kidarga memperca-yakan Baladewa sebagai wakilnya.
Menyadari serangannya selalu gagal, Khian Liong bertambah geram.
Kemarahannya semakin memuncak.
Diputarnya pedang lebih cepat lagi.
Membuat pedang yang berputar itu hanya menyerupai gulungan sinar.
Namun ketika ia hendak menerjang lawan, tiba-tiba Baladewa mengeluarkan bentakan keras.
"Lepas pedang!"
Wut! Cringngng! Pedang yang sedang berputar itu langsung terlepas dari tangan Khian Liong dan jatuh ke lantai.
Ternyata bentakan Baladewa tadi disertai pengerahan ilmu 'Kontak Batin' yang didapat dari Kanjeng Rahmat Suci.
Sebuah ilmu yang membuat pemiliknya mampu mengua-sai pikiran lawan.
Melihat kenyataan itu, semua pendekar dan Kidarga kembali berdecak kagum.
Mereka memuji ilmu 'Kontak Batin' milik Baladewa.
Karena ilmu yang mempunyai pengaruh kuat itu sangat jarang dimiliki oleh para pendekar.
Bahkan para pendekar yang bersekutu de-ngan Perguruan Topeng Hitam pun tak memiliki ilmu yang sangat ampuh itu.
Khian Liong terkejut bukan main melihat pedang-nya tiba-tiba saja terlepas.
Pada saat itu pula hatinya mulai gentar.
Ia mengakui ilmu Baladewa lebih tinggi dari ilmunya.
Namun karena pertarungan itu di hadapan orang banyak, bahkan disaksikan oleh Kidarga, pemimpinnya, maka rasa gentar itu segera ditepisnya.
Ia memaksakan diri untuk terus menghadapi lawan sampai salah seorang di antara mereka tewas.
"Hiaaat!"
Dengan kemarahan memuncak, Khian Liong mener-jang lawan dengan tendangan kaki kanannya yang ber-usaha menjebol dada Baladewa. Wuttt! Plak plak plakkk! "Aduuuh!"
Serangan Khian Liong kembali gagal. Sebaliknya, tubuhnya terlempar ke samping dan bergulingan. Mu-lutnya mengerang, karena telapak tangan Baladewa yang menyentak pundaknya terasa meremukkan tu-lang.
"Oekkk!"
Khian Liong langsung memuntahkan darah segar ketika tubuhnya tertelungkup di lantai.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya diam tak berkutik lagi.
Dilanjutkan dengan perubahan tubuhnya yang mendadak hitam seperti arang, akibat pukulan 'Telapak Tangan Sakti' yang dilancarkan Baladewa pada pundaknya.
Kidarga dan para pendekar yang sejak tadi berada di situ tampak termangu-mangu menyaksikan kema-tian Khian Liong yang begitu mengerikan.
Di samping itu, mereka juga kagum dan gembira karena dapat menyaksikan ilmu kesaktian Baladewa Kidarga melangkah mendekar Baladewa dengan wa-jah gembira.
"Kau telah menjalankan tugas dengan baik!"
Puji Kidarga sambil menepuk-nepuk pundak Baladewa.
"Terima kasih, Ketua!"
Ucap Baladewa seraya terse-nyum bangga karena dapat memenangkan pertempu-ran itu.
Sementara itu, para pendekar lain pun melangkah mendekati Baladewa.
Mereka berkerumun memuji-muji Baladewa yang menjadi wakil pemimpin Pergu-ruan Topeng Hitam.
Sementara peristiwa pembunuhan yang menimpa sepuluh pendekar telah hilang dari pikiran mereka.
*** Pagi datang beriring cahaya jingga kemilau dari ufuk timur.
Kabut tebal yang sejak sore kemarin me-nyelimuti Bukit Setan, beranjak lamban di pucuk-pucuk pepohonan.
Dalam suasana pagi yang cerah itu, para pendekar yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam tam-pak sedang berlatih silat, sekadar berolah raga agar badan tetap sehat serta melancarkan gerakan.
Kidarga dan Baladewa tampak tersenyum-senyum menyaksikan mereka itu.
Rasa kagum terkadang mem-bias pula di wajah kedua orang itu jika melihat keman-tapan jurus-jurus yang diperagakan beberapa pende-kar.
Di saat mereka asyik menyaksikan para pendekar berlatih, tiba-tiba muncul seorang anak buah Kidarga yang bertubuh tinggi besar dan berkepala botak.
Hanya bagian tengah saja yang disisakan sedikit dan dikucir.
Dia datang dengan langkah tergopoh-gopoh.
Kidarga memicingkan mata melihat seorang anak buahnya melangkah tergesa-gesa ke arahnya.
Ketika orang itu telah sampai dan memberi hormat kepada-nya, Kidarga langsung mengajukan pertanyaan.
"Ada apa?"
"Gawat, Ketua!"
Sahut orang itu dengan sikap takut-takut.
"Ngomong yang benar!"
Bentak Kidarga. Matanya melotot, napasnya tersengal. Pertanda kemarahannya mulai naik. Kemarahannya memang sangat mudah ter-pancing.
"Siangkoan Kun Hok dan dua temanku mati!"
Lapor orang itu. Kidarga dan Baladewa saling bersitatap tegang. Da-rah panasnya menyembur ke sekujur tubuh mende-ngar kematian Siangkoan Kun Hok, pengemis sakti yang juga sangat diandalkan oleh Kidarga.
"Dengan siapa dia bertarung?"
Tanya Kidarga dalam kemarahan yang meluap-luap.
"Putri Bong Mini!"
Mendengar nama Bong Mini disebutkan, wajah Ki-darga langsung berubah tegang.
Dia berdiri diam de-ngan gigi-gigi bergemerutuk geram.
Begitu pula dengan Baladewa.
Bedanya, ia terkejut karena tidak menyangka kalau Siangkoan Kun Hok akan berhadapan dengan Bong Mini.
Hal itu pasti akan melibatkan dirinya pula sebagai wakil Kidarga untuk memimpin pasukan.
Mau tidak mau dia harus berhadapan dengan Bong Mini, musuh besar Perguruan Topeng Hitam yang menjadi kekasihnya.
"Apakah hanya kau sendiri yang berhasil menyela-matkan diri?"
Tanya Kidarga setelah beberapa saat terdiam menahan marah.
"Semula kami bertiga melarikan diri, Ketua! Tapi dua orang sempat dikejar oleh Bong Mini dan tidak ta-hu bagaimana nasib mereka!"
Tutur lelaki tinggi besar yang berhasil meloloskan diri dari cengkeraman Bong Mini itu.
"Bangsat!"
Geram Kidarga lagi, membuat para pen-dekar yang sedang berlatih silat segera berhenti. Kemudian mereka melangkah gagah mendekati Ketua Perguruan Topeng Hitam itu dan memandangnya de-ngan penuh tanda tanya.
"Lalu bagaimana dengan istriku yang kalian cari?"
Tanya Kidarga lagi.
"Istri Ketua..., istri Ketua..., tewas!"
Lapor anak buahnya dengan suara tersendat-sendat.
"Kau jangan ngomong sembarangan!"
Bentak Kidar-ga menahan marah, sehingga kalimat yang diucapkan-nya terpatah-patah. Sedangkan tangan kanannya men-cengkeram kepala anak buahnya itu, hingga meringis-ringis kesakitan.
"Hamba tidak bohong, Ketua!"
Ucap anak buahnya itu di sela ketakutan.
"Kau menyaksikannya sendiri?"
"Memang tidak, Ketua!"
"Lalu dari mana kau dapatkan berita itu!"
Bentak Kidarga seraya mengencangkan cengkeramannya.
"Hamba..., hamba mengetahuinya dari Siangkoan Kun Hok. Dia menyebut-nyebut nama Nyi Genit yang telah kalah dan lari saat bertarung dengan Bong Mini!"
"Tapi orang yang melarikan diri belum tentu mati, kan?!"
Geram Kidarga dengan mata merah berkilat.
"Memang belum tentu,"
Sahut anak buah yang me-lapor terbata-bata.
"Kau memang tidak becus melapor!"
Geram Kidarga. Diperkeras cengkeraman tangannya pada kepala anak buahnya itu.
"Aaakh...!"
Lelaki berkepala botak berkucir itu mengeluarkan pekikan tertahan karena menahan hawa panas di seki-tar kepalanya. Sedangkan pada bagian kepalanya yang dicengkeram jari-jari Kidarga tampak pecah-pecah disertai darah yang mengalir deras.
"Hihhh!"
Kidarga mendorong anak buahnya itu hingga ter-sungkur jatuh.
Anak buah Kidarga yang dicengkeram kepalanya tampak menggelepar-gelepar di tanah tanpa suara.
Mirip seekor ayam disembelih.
Kedua biji matanya melotot.
Sedangkan lidahnya menjulur keluar.
Kemudian tubuh yang menggelepar-gelepar tadi langsung berhen-ti, tanpa bergerak lagi.
Ia mati dengan kepala retak seperti tanah kering-kerontang.
Baladewa dan seluruh para pendekar yang berada di situ tampak terkejut melihat anak buah Kidarga yang mati di tangan pemimpinnya sendiri.
Mati dengan cara mengenaskan akibat 'Telapak Tangan Iblis' yang dikerahkan Kidarga.
Sebuah ilmu sesat yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.
"Dia sudah tidak berharga lagi buat kita!"
Kata Ki-darga tatkala melihat keterkejutan para pendekarnya. Para pendekar terdiam. Mereka masih terpaku meli-hat kematian seorang pengikut Perguruan Topeng Hi-tam itu.
"Baladewa!"
Kata Kidarga lagi.
"Ada apa, Ketua!"
Sahut Baladewa cepat.
"Pimpin pasukan dan cari Bong Mini hari ini juga. Tangkap gadis itu hidup atau mati!"
Perintah Kidarga.
"Siap, Ketua!"
Kata Baladewa.
Namun hati dan piki-rannya sendiri berkecamuk.
Karena dia harus menang-kap Putri Bong Mini, kekasihnya sendiri.
*** Sementara itu di Desa Padomorang, Bongkap, Prabu Jalatunda, Ningrum, dan para pendekar tampak du-duk tegang di ruang pertemuan.
Dalam suasana tegang seperti itu, tiba-tiba Bong Mini muncul dari dalam kamarnya.
Berpakaian merah ketat, lengkap dengan Pedang Teratai Merah yang tersandang di punggungnya.
Bongkap dan semua orang yang hadir di ruang per-temuan itu langsung mengalihkan pandangannya pada Bong Mini yang tengah melangkah menghampiri mere-ka.
"Papa!"
Ujar Bong Mini seraya mendekati papanya yang masih termangu-mangu memandang putrinya.
Bukan memandangi penampilan Bong Mini yang me-mang selalu menarik, melainkan mengamati peruba-han sikap yang terlihat pada wajah putrinya.
Wajahnya yang selalu segar berseri, kini tampak tegas berwibawa, tanpa sedikit pun senyum.
Sehingga terlihat se-perti gadis remaja yang menginjak dewasa.
"Hari ini aku akan melakukan penyerangan ke Bu-kit Setan!"
Lanjut Bong Mini, menyampaikan maksud-nya. Mendengar ucapannya, semua orang termasuk Bong-kap tampak terkejut.
"Jangan tergesa-gesa, Putriku! Sebaiknya kita men-jalankan tugas seperti rencana yang telah kita sepakati bersama!"
Cegah Bongkap.
"Tidak, Papa! Tanganku sudah gatal hendak meng-habisi orang-orang Perguruan Topeng Hitam serta para sekutunya. Sedangkan penyerangan terhadap prajurit Kerajaan Manchuria yang akan mendarat di pantai Se-lat Malaka, biar Papa yang memimpin!"
Kata Bong Mini bersikeras. Bongkap terdiam beberapa saat, mempertimbang-kan keinginan Bong Mini. Ia tahu, keinginan putrinya untuk langsung menyerang Bukit Setan karena dipe-ngaruhi kemarahan terhadap Baladewa, putra Prabu Jalatunda.
"Papa jangan khawatir!"
Kata Bong Mini lagi, saat melihat keraguan terpancar dari air muka papanya.
"Aku tidak pergi sendiri. Akan kuajak Pendekar Mata Dewa atau Pendekar Teluk Naga untuk menyertaiku ke sana,"
Lanjut Bong Mini. Bongkap masih terdiam. Hanya pandangannya saja yang kini beralih pada Pendekar Mata Dewa dan Pen-dekar Teluk Naga.
"Kalian bersedia menyertai putriku?"
Tanya Bongkap kepada enam pendekar yang duduk di seberang me-janya.
"Kami bersedia, Tuanku!"
Sahut keenam orang itu hampir bersamaan.
"Kalau begitu, kalian semua menyertai putriku! Ka-lau ada apa-apa, kalian segera hubungi aku di pantai Selat Malaka,"
Pesan Bongkap.
"Baik, Tuanku!"
Sahut Kao Cin Liong, Ketua Pende-kar Mata Dewa. Lalu mereka bersama Pendekar Teluk Naga segera bangkit dan melangkah mendekati Putri Bong Mini.
"Papa, aku berangkat!"
Pamit Bong Mini sambil mencium kedua pipi Bongkap. Namun wajahnya tetap dingin, tanpa senyum.
"Aku ikut!"
Ujar Ningrum tiba-tiba sambil bangkit dari kursinya. Dihampirinya Bong Mini. Bong Mini berdiri tercenung memandang wajah wa-nita setengah baya yang masih menampakkan kecan-tikannya itu.
"Sebaiknya Bibi ikut bersama-sama Papa dan Pa-man Prabu menghadang prajurit Kerajaan Manchuria di Selat Malaka!"
Cegah Bong Mini.
"Tidak! Aku harus ikut! Biar aku sendiri yang akan menghajar putraku itu!"
Sahut Bibi Ningrum agak ge-ram, mengingat putranya yang telah menjadi pengkhianat negeri.
Bong Mini menghela napas.
Tak tahu apa yang ha-rus dikatakannya lagi agar Ningrum bisa mengubah keinginannya untuk ikut ke Bukit Setan.
Matanya be-ralih pada Prabu Jalatunda, sebagai permohonan agar Prabu Jalatunda mau membujuk Ningrum.
Prabu Jalatunda yang memang ingin mencegah is-trinya segera bangkit dan menghampiri.
"Rayi! Biarkanlah Bong Mini bersama Pendekar Ma-ta Dewa dan Pendekar Teluk Naga yang melakukan se-rangan ke sana,"
Bujuk Prabu Jalatunda.
"Kau tidak tahu perasaanku, Kakang! Sejak umur sebelas tahun kita mendidik dia dan menitipkannya kepada Kanjeng Rahmat Suci di Gunung Muda untuk menuntut ilmu. Setelah ia pandai, ilmu itu malah di-salahgunakan untuk kepentingan orang-orang sesat seperti Kidarga dan pengikutnya!"
Ucap Ningrum de-ngan suara meninggi, disertai isakan tangis. Tentu saja akibat penyesalan terhadap tindakan putra satu-satunya, Baladewa.
"Apa yang kau rasakan, sama dengan perasaanku saat ini. Tapi bukan berarti kita harus bertindak membabi-buta tanpa perhitungan. Kidarga dan pengikutnya bukan orang-orang yang bisa kita anggap remeh. Apalagi setiap orang yang ingin bersekutu dengannya harus diuji tingkat kepandaiannya terlebih dahulu. Ini membuktikan kalau pertahanan mereka saat ini semakin kuat. Kita tidak boleh gegabah menyerangnya!"
Papar Prabu Jalatunda. Ningrum tidak menyahut. Hanya isaknya saja yang terdengar semakin keras.
"Berangkatlah anakku! Semoga kau berhasil!"
Kata Bongkap kepada Bong Mini yang masih berdiri ter-mangu.
Bong Mini mengangguk.
Kemudian bersama Pende-kar Mata Dewa dan Pendekar Teluk Naga, dia berang-kat menuju Bukit Setan.
*** Matahari semakin tinggi.
Panasnya kian menyengat kulit kepala.
Dalam suasana panas seperti itu, Bong Mini, Pen-dekar Mata Dewa, dan Pendekar Teluk Naga telah sampai di Hutan Roban.
Mereka terus melangkah di-sertai ilmu peringan tubuh yang mereka miliki masing-masing.
Sehingga langkah mereka begitu cepat dan ri-ngan.
Layaknya bulu tertiup angin.
"Berhenti!"
Seru Bong Mini tiba-tiba sambil meng-angkat tangan kanannya sebagai aba-aba. Enam pendekar yang berjalan di belakangnya sege-ra menghentikan langkah.
"Kalian lihat di bawah sana! Serombongan orang te-ngah berjalan menaiki bukit ini!"
Kata Bong Mini kepada enam pendekar yang menyertainya. Pandangan-nya terus tertuju pada dua puluh orang lelaki gagah yang sedang mendaki Hutan Roban, tempat mereka berdiri.
"Pasti mereka para pendekar yang bersekutu de-ngan Perguruan Topeng Hitam,"
Duga Kao Cin Liong.
"Dugaanmu tepat!"
Sambut Bong Mini.
"Karena Ba-ladewa ada di antara mereka!"
Lanjut Bong Mini. Ma-tanya yang hitam gemerlap mampu meneliti wajah ke-dua puluh orang yang sedang melakukan pendakian itu. Wajah Baladewa dapat dikenalinya dengan baik. Walaupun matanya melihat secara samar-samar.
"Bagaimana kalau kita langsung menyergap mere-ka?"
Usul Kao Cin Liong tidak sabar.
"Bagus! Jarak langkah mereka pun sudah semakin dekat!"
Timpal Bong Mini menyetujui. Sesungguhnya, ia pun sudah tidak sabar untuk segera berhadapan dan menghabisi para pendekar yang bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam itu.
"Tapi ingat! Pemuda bernama Baladewa itu jangan kita lukai sedikit pun. Beri saja peringatan atau kita tangkap lalu kita hadapkan pada Prabu Jalatunda. Bi-ar orangtuanya sendiri yang memberi hukuman!"
Kata Kok Thai Ki memperingatkan teman-temannya.
"Begitu pun baik!"
Sahut Kao Cin Liong.
Hening.
Bong Mini dan keenam pendekar itu kembali meng-amati langkah dua puluh orang sekutu Perguruan To-peng Hitam yang kian dekat.
Ketika mereka benar-benar telah dekat, Bong Mini dan pengikutnya lang-sung berloncatan disertai lengkingan tinggi.
"Hiat hiat hiaaat!"
Dengan tangkas dan ringan ketujuh pendekar itu melompat, kemudian berdiri menghadang Baladewa bersama sembilan belas pengikutnya dalam jarak sekitar sepuluh tombak.
Baladewa dan pasukannya terkejut melihat tujuh orang gagah tiba-tiba menghadang mereka.
Namun ke-tika matanya menemukan Bong Mini, hati Baladewa menjadi tenang kembali.
Kini bibirnya malah terse-nyum pada gadis yang membuatnya kasmaran itu.
"Aku tidak menyangka, pemuda gagah dengan tutur kata yang lemah lembut sepertimu, ternyata menjadi pengikut orang-orang sesat!"
Geram Bong Mini.
Wajahnya merah dengan mata yang mencorong tajam ke arah Baladewa.
Tak sedikit pun ada perasaan rindu menghinggapi hatinya saat itu, kecuali kemarahan dan dendam yang begitu berat menggayuti hatinya.
Sembilan belas pendekar yang menyertai Baladewa terkejut ketika mengetahui gadis itu mengenal pemimpinnya.
Baladewa tersenyum tipis ke arah Bong Mini.
Se-nyum yang disertai pandangan kerinduan.
Karena se-lama ini mereka tidak pernah bertemu.
"Kalau kau mengetahui aku bersekutu dengan Per-guruan Topeng Hitam, apa yang akan kau lakukan?"
Tanya Baladewa tenang.
"Aku akan menangkap dan mengadilimu di hada-pan kedua orangtuamu!"
Lantang Bong Mini dengan mata berkilat-kilat.
"Kalau memang itu yang kau kehendaki, silakan!"
Tantang Baladewa dengan senyum yang tak pernah le-kang dari bibirnya.
Telinga Bong Mini terasa panas mendengar ucapan Baladewa tadi.
Sebuah ucapan yang jelas-jelas me-ngandung nada tantangan.
Seketika itu juga, ia mem-beri aba-aba kepada enam pendekar yang menyer-tainya.
"Seraaang!"
Bong Mini dan enam pengikutnya langsung berge-rak menyerang dua puluh pendekar di hadapan mere-ka.
"Hiaaat!"
Trang trang trang! Lengkingan tinggi serta denting senjata berbaur menjadi satu.
Dalam waktu singkat, Hutan Roban yang biasanya selalu tenang, kini menjadi hingar-bingar.
Bong Mini yang sudah menaruh rasa benci terha-dap sikap Baladewa, segera mencari kesempatan agar dapat berhadapan dengan pemuda itu.
Tapi di luar dugaan, Baladewa justru selalu mengelak bila mendapat serangan Bong Mini.
Saat mengelak, ia malah menghujamkan pedangnya ke tubuh pendekar yang menyer-tainya, hingga membingungkan Bong Mini.
Padahal pendekar wanita itu sudah bernafsu menyerangnya.
Wut! Pedang Bong Mini menyambar bagian kaki Bala-dewa.
Dengan cepat Baladewa menghindar.
Tubuhnya melompat setinggi dua meter.
Sambil melompat, pe-dang di genggamannya menyambar kepala seorang pendekar Perguruan Topeng Hitam.
Crokkk! "Aaakh!"
Pekik menggiris hati terdengar ketika pedang Bala-dewa membelah kepala temannya sendiri. Hingga lelaki itu roboh tanpa dapat berkutik lagi.
"Gila kau! Teman sendiri dihajar!"
Pekik Kwan-Kwan ketika matanya sempat melihat perbuatan Baladewa.
"Di Perguruan Topeng Hitam kita teman. Di luar ki-ta jadi musuh!"
Kata Baladewa Mendengar jawaban itu, bukan saja para sekutu Perguruan Topeng Hitam yang terkejut. Bong Mini dan enam pendekar pengiringnya pun turut tersentak.
"Bangsat! Rupanya selama ini kau menjadi musuh dalam selimut!"
Geram Kwan-Kwan setelah mengetahui kalau kehadiran Baladewa di Perguruan Topeng Hitam hanya topeng belaka. Niat yang sebenarnya justru hendak memata-matai gerakan Perguruan Topeng Hi-tam lebih dekat lagi.
"Hanya orang bodoh yang mau bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam!"
Sahut Baladewa pula sambil melakukan gerakan menangkis dan menyerang ke arah pengikut Perguruan Topeng Hitam.
"Kalau begitu, kaulah yang melakukan pembunu-han terhadap sepuluh pendekar semalam!"
Tuduh Ci Bun yang sedang melakukan serangan ke arah Bala-dewa bersama seorang temannya.
"Jadi kau baru tahu sekarang?"
Ejek Baladewa.
Mendengar pengakuan itu, Ci Bun menjadi geram.
Serangan pedangnya dipercepat.
Bong Mini dan enam pendekar pengikutnya menjadi lega setelah mengetahui maksud Baladewa sebenar-nya.
Kenyataan itu mendorong semangat mereka un-tuk melakukan serangan-serangan gencar dengan pe-dang di tangan masing-masing.
Trang trang trang! Pertemuan senjata kedua belah pihak kembali ter-dengar nyaring.
Bahkan setiap kali senjata mereka beradu, selalu timbul pijaran api yang cukup terang.
"Hiaaat!"
Tiba-tiba Bong Mini mengeluarkan lengkingan ting-gi, tubuhnya menerjang cepat ke arah tiga penge-royoknya.
Dengan ilmu 'Halimun Sakti' serta jurus 'Pe-dang Samber Nyawa', tubuhnya yang mungil semakin lincah menyambar-nyambarkan pedangnya ke arah lawan.
Sing sing sing! Bret bret bret! Crokkk! Pedang Teratai Merah yang mengandung kesaktian luar biasa berhasil membabat tiga lawan sekaligus.
Detik itu juga ketiga orang lawan yang terkena sabetan pedang Bong Mini langsung roboh dengan leher hampir putus.
Di lain sisi, Pendekar Mata Dewa, Pendekar Teluk Naga, dan Baladewa pun berhasil merobohkan lawan.
Hingga dalam waktu singkat mereka berhasil mene-waskan delapan belas orang lawan.
Tinggal satu orang yang masih bisa bertahan.
Itu pun tidak berlangsung lama.
Ketika mengetahui dirinya sendiri yang masih hidup, Kwan-Kwan langsung mengambil langkah seribu.
Baladewa sudah memutuskan untuk tidak mem-biarkan Kwan-Kwan lolos.
Itu berbahaya.
Sebab akan membongkar penyamarannya sebagai pengikut Pergu-ruan Topeng Hitam.
Itu berarti akan membuyarkan se-luruh rencana penyerangan yang sudah dirancangnya dengan baik.
"Heh, Pengecut!"
Bentaknya.
"Jangan lari! Lawanlah aku kalau kau memang lelaki!"
Teriak Baladewa lagi.
Ia terus berlari disertai pengerahan ilmu peringan tubuhnya yang hampir sempurna.
Tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat, sambil terus meneriakkan ejekan kepa-da Kwan-Kwan, pendekar asal negeri Manchuria yang dikirim oleh Raja Tiongkok untuk bersekutu dengan Perguruan Topeng Hitam.
Baladewa terus berlari dengan cepat dan ringan.
Sepuluh langkah lagi ia dapat mencapai tubuh Kwan-Kwan yang juga berlari kencang di depannya.
Tiupan angin kencang di siang itu membuat rambut Baladewa tergerai berayun-ayun tiada henti.
Angin yang bertiup kencang itu terdengar bergemuruh ketika menyapu kedua telinganya.
Ketika tubuhnya sudah demikian dekat dengan la-wannya, Baladewa langsung melompat ke punggung Kwan-Kwan.
Siuttt...! Bukkk! Dengan kuat Baladewa menubruk tubuh lawan di depannya hingga jatuh berdebum dan bergulingan.
Be-lum sempat Kwan-Kwan bangkit, sebuah tinju kanan Baladewa menghujam kepalanya.
Duk duk dukkk! "Aaakh!"
Darah membasahi tangan Baladewa saat memukul kepala dan wajah lawannya.
Saat itu juga tengkorak kepala Kwan-Kwan hancur berkeping-keping.
Sedang-kan kedua biji matanya lepas dari ceruknya.
Tidak puas sampai di situ, Baladewa menghujam-kan kembali pukulan 'Tangan Besi'-nya ke tubuh la-wan.
Tulang-tulang rusuk yang patah pun mencuat dari kulitnya.
Baladewa menarik napas lega sambil mengamati tu-buh lawan yang sudah jadi mayat mengenaskan.
De-ngan hati puas, ia kembali ke tempat di mana keka-sihnya, Bong Mini dan pengikutnya menunggu.
"Berhasil?"
Suara Bong Mini terdengar ketika dua puluh langkah lagi Baladewa sampai di tempat. Walaupun Baladewa mendengar pertanyaan itu, ia tidak segera menjawab, melainkan berlari kecil ke arah Bong Mini.
"Sudah kau tangkap orang yang melarikan diri itu?"
Ulang Bong Mini dengan mata berpijar-pijar meman-dang wajah Baladewa.
"Bukan kutangkap lagi. Kuremukkan kepala dan tulang-tulangnya hingga hancur!"
Sahut Baladewa se-raya tersenyum gembira.
Kegembiraannya bukan saja karena keberhasilan membabat habis dua puluh orang sekutu Perguruan Topeng Hitam.
Lebih dari itu karena ia dapat berjumpa kembali dengan kekasih yang selama ini mengganggu hari-harinya, Bong Mini.
"Duh, sadisnya!"
Gurau Bong Mini sambil mendelik-kan mata.
Kedua mata yang selalu berpijar-pijar itu semakin indah dipandang mata.
Baladewa yang menyaksikan keindahan bola mata Bong Mini menjadi gemas.
Kalau saja dia tidak menyadari ada enam pendekar lain di situ, tentu kedua tangannya akan merengkuh bahu Bong Mini dan men-dekap tubuh kecil itu erat-erat sebagai pelepas kerin-duannya.
"Siapa kalian berenam?"
Tanya Baladewa seraya mengalihkan pandangannya pada enam pendekar yang berdiri di dekat Bong Mini. Melihat penampilan serta ketampanan para pendekar muda itu, Baladewa jadi cemburu juga.
"Siapa tahu satu di antara mereka ada yang jatuh hati pada Bong Mini atau sebaliknya,"
Pikir Baladewa saat itu.
"O, ya! Tiga pemuda ini dari Perkumpulan Pendekar Mata Dewa dan tiga orang muda ini dari Pendekar Te-luk Naga!"
Bong Mini yang memperkenalkan. Baladewa dan keenam pendekar muda itu saling mengangguk dan tersenyum ramah. Selanjutnya, me-reka saling menjabat tangan sambil menyebutkan na-ma masing-masing.
"Kenapa tidak diberitahu sebelumnya kalau kau akan menyusup dan menyelidiki keadaan Perguruan Topeng Hitam?"
Tanya Bong Mini setelah Baladewa dan enam pendekar itu saling memperkenalkan diri.
"Gagasan itu datang secara kebetulan. Dalam perja-lananku, tiba-tiba terlintas di benakku untuk berpura-pura menjadi sekutu orang-orang Perguruan Topeng Hitam,"
Sahut Baladewa menjelaskan.
"Tapi akibat tingkahmu ini, Bibi Ningrum uring-u-ringan dan marah besar kepadamu!"
Lapor Bong Mini.
"Ibuku?"
Baladewa terkejut.
"Kau sempat bertemu dengannya?"
Bong Mini mengangguk.
"Malah aku dan papaku menginap di rumahmu se-lama beberapa hari!"
Kata Bong Mini menambahkan.
"Bagaimana kau tahu kalau mereka orangtuaku?"
Tanya Baladewa heran. Bong Mini tersenyum melihat wajah Baladewa yang menunjukkan keheranan.
"Sebelum aku bertemu denganmu di Gunung Muda, aku lebih dulu mengenal kedua orangtuamu!"
Jelas Bong Mini.
"Kenapa pada waktu itu kau tidak bercerita pada-ku?"
"Kalau bercerita, tentu aku tidak dapat berpura-pura marah kepadamu!"
Sahut Bong Mini sambil terse-nyum. Wajahnya yang tadi kusut berubah menjadi ber-seri-seri kembali. Karena kekasihnya yang semula diduga pengkhianat, justru memata-matai dengan cara berpura-pura menjadi sekutu Perguruan Topeng Hi-tam.
"Sekarang, di mana kedua orangtuaku dan papa-mu?"
Tanya Baladewa lagi.
"Mereka sedang bergerak menuju Selat Malaka. Ka-rena kudengar kabar, prajurit Kerajaan Manchuria yang dikirim ke sini akan tiba besok!"
Kata Bong Mini menjelaskan.
"Dari mana kau dapat kabar itu?"
"Dari anak buah Kidarga yang telah menyadari ke-keliruannya dan bergabung dengan pasukan Papa!"
Baladewa mengangguk-angguk.
"Sebaiknya kita menyusul mereka untuk bergabung dan melakukan serangan ke Bukit Setan!"
Usul Bala-dewa.
"Lalu bagaimana dengan prajurit Kerajaan Manchu-ria yang akan tiba besok?"
Tanya Bong Mini.
"Sasaran utama kita bukan prajurit Kerajaan Man-churia. Biarlah mereka berlabuh di sini. Karena kalau kita berhasil mengalahkan Perguruan Topeng Hitam berikut Kidarga, prajurit itu akan berhadapan pula dengan kita setelah sampai di Bukit Setan,"
Tutur Baladewa, menyampaikan pendapatnya. Bong Mini dan enam pendekar lain mengangguk-angguk setuju.
"Kalau memang begitu, biarlah kami yang akan me-nyusul mereka dan memberitahukan rencana penye-rangan ke Bukit Setan,"
Pinta Kok Thai Ki.
"Begitu juga bagus! Biar aku membawa Bong Mini ke Perguruan Topeng Hitam!"
Kata Baladewa. Enam orang pendekar itu berdiri ragu mendengar rencana Baladewa. Mereka mengkhawatirkan kesela-matan Putri Bong Mini.
"Kalian jangan khawatir!"
Sergah Baladewa melihat keterkejutan para pendekar itu.
"Kehadiranku sebagai mata-mata di perguruan itu belum diketahui!"
"Justru keselamatan Putri Bong Mini yang kami khawatirkan. Karena dialah yang menjadi incaran to-koh perguruan itu!"
Kata Kao Cin Liong. Baladewa tersenyum.
"Masalah keselamatan Bong Mini ada di tanganku. Karena aku menjadi wakil Kidarga di Perguruan To-peng Hitam!"
Tutur Baladewa, menjelaskan tentang ke-dudukannya di Perguruan Topeng Hitam.
"Bagaimana menurut Nona Mini sendiri?"
Tanya Kao Cin Liong. Karena semua keputusan memang berada di tangan Bong Mini sebagai orang yang bersangkutan.
"Kalau memang kedudukan Baladewa di Perguruan Topeng Hitam sebagai wakil Kidarga, aku tidak kebe-ratan. Sebab Baladewa yang akan diminta pertimba-ngan oleh Kidarga untuk menjatuhi hukuman buatku nanti!"
Sahut Bong Mini.
Enam pendekar itu tampak mengangguk-angguk.
Mereka tak dapat berkata apa-apa lagi walaupun ma-sih sangsi dengan keberhasilan Baladewa.
Tapi karena Bong Mini sendiri tidak keberatan, maka mereka pun terpaksa diam dan menyetujui rencana Baladewa.
"Kalau begitu kami berangkat dulu. Biar kami bisa secepatnya kembali ke Bukit Setan!"
Kata Kok Thai Ki.
"Baiklah!"
Ucap Baladewa.
"Selamat jalan!"
"Selamat berjuang! Semoga berhasil!"
Balas Kok Thai Ki.
Kemudian ia bersama lima pendekar lain me-lesat meninggalkan Baladewa dan Bong Mini.
Setelah keenam pendekar itu pergi, Baladewa dan Bong Mini pun melangkah menuju Bukit Setan, di ma-na markas Perguruan Topeng Hitam berada.
Apakah rencana Baladewa untuk melakukan pem-berontakan di dalam Perguruan Topeng Hitam berha-sil? Bagaimana sikap Kidarga setelah melihat Bong Mini berhasil ditangkap Baladewa? Apakah ia akan menyerahkan hukuman bagi Bong Mini kepada Bala-dewa? Bagaimana pula dengan pasukan Kerajaan Manchuria yang hendak membantu Perguruan Topeng Hitam? Ikutilah cerita selanjutnya dalam episode.
'Api Berkobar di Bukit Setan'.
SELESAI Scan/Edit.
Clickers PDF.
Abu Keisel Document Outline *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** SELESAI
Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar Mencari Busur Kumala Karya Batara Pendekar Rajawali Sakti Dendam Datuk Geni