Istana Ratu Sihir 1
Pendekar Rajawali Sakti Istana Ratu Sihir Bagian 1
. 142. Istana Ratu Sihir Bag. 1 22. November 2014 um 21.50 Pendekar Rajawali Sakti episode. Istana Ratu Sihir Oleh Teguh S. Penerbit Cintamedia, Jakarta "Keparat..!"
Brak! Sebuah meja kayu jati yang sangat tebal, se-ketika hancur berkeping-keping terhantam kepalan tangan Ki Warungkul.
Wajah laki-laki tua ini jadi merah membara, seperti terbakar.
Kedua bola matanya yang merah seperti sepasang bola api, berputar liar memandangi putrinya yang duduk bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk.
Darah sudah tidak lagi mengalir dari luka robek di bahu gadis itu akibat terkena sambaran senjata Kipas Maut Pandan Wangi.
"Siapa nama gadis itu, Worodini?"
Tanya Ki Warungkul. Nada suaranya memendam amarah membara.
"Aku tidak tahu, Ayah. Tiba-tiba saja mereka muncul dari langit, dan langsung mengobrak-abrik pasukanku,"
Sahut Worodini pelan, seraya mengangkat kepala sedikit. Dan langsung ditatapnya laki-laki tua yang berdiri di depannya.
"Edan...! Hanya dua orang saja, kau dan sera-tus orang anak buahmu tidak dapat menghadapi-nya...?"
Desis Ki Warungkul, seperti tidak percaya.
"Mereka memang hanya dua orang saja, Ayah. Tapi yang membantu mereka, seekor burung raja-wali raksasa! Sulit untuk menghadapinya, Ayah. Mereka seakan sepasang dewa yang turun dari kahyangan,"
Jelas Worodihi lagi.
"Phuih! Tidak ada dewa yang membunuh ma-nusia!"
Dengus Ki Warungkul.
"Tapi mereka benar-benar datang dari langit, Ayah. Mereka menunggang burung rajawali raksasa,"
Worodini beruraha meyakinkan ayahnya yang masih juga kelihatan belum percaya terhadap semua ceritanya.
Memang dalam satu malam saja, Ki Warungkul sudah kehilangan lebih dari dua ratus orang pengikutnya.
Dan mereka terbantai hanya oleh dua anak muda berkepandaian tinggi yang datang menunggang seekor burung rajawali raksasa.
Masih untung, Worodini bisa selamat.
Sedangkan hampir semua anak buahnya tewas dihajar burung rajawali raksasa itu.
Gadis itu sendiri mendapat luka yang cukup dalam di bahu kirinya, karena bertarung melawan gadis cantik yang datang bersama seorang pemuda dan burung rajawali raksasa.
Worodini begitu yakin kalau mereka bukan manusia biasa.
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa menunggangi burung.
Dan baru kali ini Worodini bisa melihat seekor burung rajawali yang sangat besar seperti gunung.
Di saat mereka terdiam, tiba-tiba saja....
"Khraaagkh...!"
"Oh...?!"
"Heh...?! Apa itu...?"
Sentak Ki Warungkul, kaget setengah mati.
"Mereka datang, Ayah...,"
Desis Worodini, langsung bergetar jantungnya.
Ketika gadis itu dan pasukannya diserang, memang terlebih dulu terdengar suara keras menggelegar dari angkasa.
Kemudian, disusul munculnya seekor burung rajawali raksasa yang ditunggangi sepasang anak muda yang tangguh dan sukar ditandingi.
Sekarang, suara itu kembali terdengar.
Dan ini membuat tubuh Worodini seketika bergetar.
"Mereka datang, Ayah. Mereka pasti akan me-nyerang kita di sini...,"
Desis Worodini, tidak dapat menahan getaran suaranya.
Ki Warungkul hanya diam saja, dengan pan-dangan lurus ke depan.
Tampak pengikutnya yang kini tinggal sekitar seratus orang, sudah berkumpul di tengah-tengah halaman depan istana kadipaten ini.
Mereka tampaknya juga terkejut mendengar suara yang begitu keras menggelegar dari angkasa tadi.
Dan mereka berusaha mencari sumber arah suara itu, tapi memang sulit.
Karena saat ini malam begitu gelap.
Hanya warna hitam saja yang terlihat di langit.
Ki Warungkul segera mengayunkan kakinya, keluar dari dalam istana yang dikuasai setelah merebutnya dari tangan Adipati Wiyatala.
Dan Worodini mengikuti dari belakang tanpa mengeluarkan suara sedikit pun juga.
Mereka langsung keluar, meniti anak-anak tangga beranda istana yang terbuat dari batu pualam putih.
Begitu kakinya menjejak tanah, tiba-tiba saja....
"Ki Warungkul...! Tinggalkan kadipaten ini, kalau kau dan semua orang-orang masih ingin hi-dup...!"
"Oh...?!"
Bukan hanya Worodini saja yang terkejut mendengar suara keras menggema yang seakan datang dari langit.
Bahkan semua orang yang ada di situ seperti terpaku dengan kepala menengadah ke atas.
Mereka berusaha mencari sumber arah suara itu, tapi yang terlihat hanya langit hitam bertaburkan sedikit cahaya bintang.
"Hup...!"
Ki Warungkul cepat melesat ke atas, lalu naik ke atap bangunan istana yang dikelilingi pagar benteng ini.
Begitu indah dan ringan gerakannya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak atap.
Tahu-tahu, orang tua itu sudah berdiri tegak di atas atap bangunan istana kadipaten ini.
Pandangannya segera beredar ke sekeliling, tapi tidak terlihat seorang pun yang mencurigakan.
Kesunyian begitu mencekam menyelimuti mereka semua.
Seakan-akan, suatu pengadilan langsung dari dewata tengah dihadapi malam ini.
"Setan...! Siapa kau?! Tunjukkan dirimu...!"
Seru Ki Warungkul lantang menggelegar.
Belum lagi lenyap suara orang tua itu, tiba-tiba saja dari kegelapan malam di angkasa melesat sebuah bayangan putih keperakan yang begitu besar.
Begitu bayangan putih itu berkelebat, hingga tidak ada seorang pun yang bisa jelas melihatnya.
Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan putih lain melesat dengan kecepatan bagai kilat.
Belum ada seorang pun yang bisa menyadari, tahu-tahu di depan Ki Warungkul sudah berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih.
Kemunculan pemuda itu bersamaan dengan lenyapnya bayangan putih keperakan yang sangat besar tadi di angkasa.
Kemunculan pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Pendekar Rajawali Sakti, tentu saja membuat Ki Warungkul jadi kaget setengah mati.
Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat ke belakang tiga langkah.
Hampir tidak dipercaya! Kemunculan pemuda yang sudah membuat kegemparan ini, bagaikan dewa saja yang turun dari langit "Siapa kau...?!"
Desis Ki Warungkul agak bergetar nada suaranya. *** "Kau tidak perlu tahu siapa aku, Ki Warungkul. Yang perlu kau ketahui, kedatanganku ke sini untuk mengusirmu dari kadipaten ini,"
Dingin sekali jawaban Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat! Kau pikir bisa seenaknya mengusirku begitu saja, heh...?! Dewa sekalipun tidak mampu mengusirku dari istana ini!"
Bentak Ki Warungkul, langsung berang.
Bet! Ki Warungkul langsung saja mengebutkan tongkatnya ke depan.
Maka ujung tongkatnya yang runcing, tertuju lurus ke dada pemuda di depannya.
Namun pemuda yang nama sebenarnya adalah Rangga atau dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti, kelihatan tenang seperti tidak mempedulikan ujung tongkat yang mengancam dadanya.
"Hanya sekali aku memperingatimu, Ki Warungkul. Kau tidak berhak sama sekali berada di Kadipaten Parunggungan ini. Pergilah, sebelum jatuh korban lebih banyak lagi,"
Desis Rangga.
Suaranya semakin terdengar dingin menggetarkan.
Sementara, semua pengikut Ki Warungkul hanya bisa menyaksikan dari bawah.
Tidak ada seorang pun yang berani melakukan tindakan, tanpa diperintah.
Sedangkan Worodini kelihatan cemas atas munculnya pemuda seperti dewa itu.
Apalagi, kini pemuda itu berhadapan dengan ayahnya.
Worodini tidak ingin ayahnya mendapat celaka.
Dia tahu, pemuda itu memiliki kepandaian laksana dewa.
Buktinya hanya seorang diri saja, dia mampu mengobrak-abrik seratus orang pengikutnya! "Kau boleh bangga bisa menghancurkan orang-orangku, Anak Muda.
Tapi, aku ingin tahu.
Sampai di mana kepandaianmu,"
Desis Ki Warungkul dingin menggetarkan.
"Hm...."
Rangga hanya sedikit menggumam saja.
Sementara, Ki Warungkul sudah mengayunkan kakinya dua langkah mendekati.
Tongkatnya masih terhunus lurus, dengan ujungnya yang runcing tertuju langsung ke dada pemuda di depannya.
Dan saat ujung tongkatnya tinggal dua jengkal lagi dari dada Pendekar Rajawali Sakti, dengan kecepatan bagai kilat orang tua berjubah merah itu menghentakkannya ke depan.
"Upths!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegos-kan tubuhnya, tongkat itu lewat di samping kiri.
Dan tanpa diduga sama sekali, tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti mengibas, menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Bet! Tapi, Ki Warungkul rupanya sudah tahu akan tindakan Pendekar Rajawali Sakti.
Maka dengan cepat tongkatnya ditarik berputar, dan langsung disabetkan ke arah kaki pemuda itu sambil sedikit mcmbungkukkan tubuhnya.
"Haiiit...!"
Cepat-cepat Rangga melompat ke atas, meng-hindari sambaran tongkat kayu yang tidak bera-turan bentuknya itu.
Dan tubuhnya langsung berputar ke belakang, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di atas atap bangunan istana ini.
Saat itu, Ki Warungkul sudah kembali melesat cepat sambil menyabetkan tongkatnya beberapa kali secara beruntun.
"Hup! Yeaaah...!"
Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari setiap serangan Ki Warungkul yang cepat dan gencar ini.
Beberapa kali tongkat kayu itu mengibas, mengincar tubuhnya.
Tapi dengan gerakan indah sekali, Rangga selalu dapat menghindarinya.
Pertarungan di atas atap istana itu berlangsung sengit.
Ki Warungkul yang sudah begitu berang, karena putranya berhasil ditewaskan pemuda ini, tidak segan-segan lagi menyerang dengan jurus-jurus tingkat tinggi.
Setiap kebutan tongkatnya, selalu menimbulkan hempasan angin begitu kuat menderu bagai badai, disertai hembusan hawa panas yang begitu menyengat.
Bahkan setelah pertarungan berlangsung lebih dari delapan jurus, tampak tongkat kayu yang ke-lihatannya biasa, jadi berwarna merah seperti mengeluarkan api.
Sementara hawa panas yang ditimbulkannya juga semakin menyengat, membuat udara di sekitarnya jadi menipis.
Rangga yang cepat menyadari akan keadaan ini, segera memindahkan jalan pernapasannya melalui perut.
Sehingga dia tidak lagi merasa sulit bernapas walaupuri udara di sekitarnya semakin menipis.
"Edan...! Dia bisa menahan delapan jurus se-ranganku! Ilmu apa yang dimilikinya...?!"
Dengus Ki Warungkul dalam hati.
Walaupun kagum dengan ketahanan lawan-nya, tapi Ki Warungkul juga jadi penasaran.
Maka serangan-serangannya semakin ditingkatkan.
Bahkan tubuhnya seakan lenyap dari pandangan mata.
Hanya bayangan jubah merah yang dikenakan saja terlihat berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga sendiri masih menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Sehingga setiap serangan yang dilancarkan orang tua itu bisa dihindari dengan manis.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti juga merasa kalau tidak akan mungkin bisa bertahan lebih lama menghadapi serangan yang semakin gencar dan berbahaya ini.
"Jebol! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja, Ki Warungkul membentak keras menggelegar.
Dan dengan gerakan begitu cepat, tubuhnya diputar ke bawah.
Lalu tongkatnya dikelebatkan begitu cepat, menyambar kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Namun di saat pemuda berbaju rompi putih itu melesat ke atas menghindari sambaran tongkat itu, mendadak saja Ki Warungkul melesat cepat mendahului tanpa diduga sama sekali.
Dan bagaikan kilat, dilepaskannya satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri tanpa terduga sebelumnya.
Begitu cepat pukulannya, sehingga....
Diegkh! "Akh...!"
Rangga jadi terpekik, begitu merasa kan pukulan yang dilepaskan Ki Warungkul keras menghantam dadanya.
Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke belakang.
Hingga tak ayal lagi, Pendekar Rajawali Sakti meluncur ke bawah dan jatuh keras sekali menghantam tanah.
Kembali terdengar pekikan agak tertahan.
Tampak Pendekar Rajawali Sakti bergulingan beberapa kali di tanah.
Dan ketika Ki Warungkul yang juga melesat memburu sudah menjejakkan kakinya, Rangga cepat melompat bangkit berdiri.
Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa menjejakkan kakinya secara sempurna di tanah, Ki Warungkul sudah melesat begitu cepat sambil menghujamkan ujung tongkatnya ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
"Uphts!"
Cepat-cepat Rangga mengegoskan tubuhnya ke kanan, membuat hujaman tongkat Ki Warungkul lewat di depan dadanya.
Dan dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan tangan kiri, mencoba menghantarn perut lawannya yang lowong ini.
Bet! "Ikh...?!"
Ki Warungkul jadi tersedak kaget.
Sungguh tidak disangka pemuda ini masih bisa memberi se-rangan.
Cepat dia menarik diri ke belakang, dengan melenting berputar dua kali.
Maka kesempatan ini digunakan Rangga untuk membuat jarak.
Seketika dilakukannya beberapa gerakan tangan, sambil menyelimuti seluruh rongga dadanya, seketika lenyap.
Dan Rangga mengambil napas segar sebanyak-banyaknya.
Sementara saat itu Ki Warungkul sudah memutar tongkatnya cepat sekali di depan tubuhnya.
*** Belum juga perhatian Rangga bisa terpusat kembali pada pertarungan, Ki Warungkul sudah kembali melesat cepat sambil memutar tongkatnya hingga mengeluarkan suara menderu yang begitu dahsyat bagai badai.
Dan tongkatnya langsung dihantamkan dari atas kepala Pendekar Rajawali Sakti ini.
Begitu keras hantamannya, hingga deru angin yang ditimbulkannya sempat membuat jantung siapa pun yang mendengarnya jadi terhenti berdetak.
Sementara semua orang yang menyaksikan pertarungan sudah menduga, apa yang akan terjadi pada pemuda berbaju rompi putih ini, jika terhantam tongkat yang sangat dahsyat itu.
Namun....
Glarrr...! Mendadak saja satu ledakan yang begitu dahsyat seketika terdengar bagai guntur memecah angkasa, ketika tongkat itu sepertinya menghantarn tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Tampak debu dan asap berwarna kemerahan mengepul bagai kabut tebal menggumpal.
Saat itu juga, terlihat Ki Warungkul melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya beberapa kali.
Lalu, manis sekali orang tua berjubah merah itu menjejakkan kakinya di tanah.
Tatapan matanya menyorot begitu tajam, memperhatikan kepulan asap kemerahan bercampur debu yang bergulung-gulung di depannya.
Kesunyian begitu terasa menyelimuti sekitar nya.
Bukan hanya Ki Warungkul saja.
Tapi, semua pengikutnya terus memperhatikan gumpalan asap kemerahan dengan dada berdebar-debar.
Mereka sudah barang tentu mengharapkan pemuda berbaju rompi putih itu hancur jadi debu, terkena hantaman tongkat Ki Warungkul yang dahsyat.
Tapi ketika kepulan asap itu mulai menipis tertiup angin, puluhan pasang mata yang sejak tadi terus memperhatikan jadi terbeliak lebar dengan mulut ternganga.
Seakan, mereka tidak percaya dengan apa yang disaksikan.
Di dalam kepulan debu dan asap kemerahan yang sudah tipis itu, tidak ada seorang pun di sana.
Entah, ke mana Pendekar Rajawali Sakti pergi.
Dan, kapan itu dilakukannya.
Tidak ada seorang pun yang tahu.
Bahkan Ki Warungkul sendiri tidak tahu, bagaimana pemuda yang menjadi lawan bertarungnya bisa menghindari serangan dahsyatnya.
Bahkan sampai lenyap tanpa diketahui, bagai tertelan bumi saja.
"Keparat..!"
Geram Ki Warungkul berang.
Bergegas orang tua itu melangkah mendekati kepulan debu dan asap yang sudah hampir tidak terlihat.
Di sana, yang didapati hanya tanah yang terbongkar, berlubang sangat besar akibat hantaman tongkatnya tadi.
Rangga benar-benar lenyap, bagai ditelan bumi.
Dan ini membuat Ki Warungkul semakin berang saja.
Sementara, semua pengikut orang tua itu tidak ada seorang pun yang bersuara.
Mereka juga terheran-heran melihat semua kejadian ini.
Sulit dipercaya, ada orang yang bisa menghindari serangan dahsyat dari tongkat Ki Warungkul yang sudah terkenal kedigdayaannya.
Perlahan Ki Warungkul berbalik.
Dipandangi-nya orang-orang yang sejak tadi berkumpul melihat tanpa bersuara sedikit pun.
Kedua bola mata Ki Warungkul jadi mendelik, melihat orang-orangnya hanya diam saja tanpa melakukan sesuatu yang berarti.
"Kenapa kalian diam saja...?! Ayo, cari bocah keparat itu sampai dapat...!"
Bentak Ki Warungkul memberi perintah.
Mendengar bentakan lantang menggelegar itu mereka langsung berhamburan, menyebar ke seluruh pelosok istana ini.
Hanya Worodini saja yang masih berada di tempatnya.
Gadis itu segera melangkah menghampiri ayahnya yang kelihatan begitu tegang, memendam amarah yang meluap-luap bagai tak tertahankan lagi.
Agak ngeri juga Worodini melihat wajah ayahnya memerah seperti terbakar, dengan bola mata berapi-api mengerikan.
"Kemasi barang-barangmu, Woro,"
Kata Ki Warungkul.
"Untuk apa...?"
Tanya Worodini terkejut.
"Kita tinggalkan istana ini sekarang juga."
"Tapi, Ayah...."
"Sudah! Turuti kata-kataku...!"
Bentak Ki Warungkul.
Worodini langsung terdiam mendengar bentakan ayahnya yang begitu keras, bagai guntur yang menggelegar di angkasa.
Tanpa banyak bicara lagi, kakinya bergegas melangkah menaiki anak-anak tangga beranda depan istana.
Sedangkan Ki Warungkul masih tetap berdiri diam mematung di tempatnya.
Entah, apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.
Sementara orang-orangnya yang setia sudah kembali lagi, memberi laporan kalau tidak berhasil menemukan Pendekar Rajawali Sakti di sekitar istana ini.
Ki Warungkul hanya diam saja menerima laporan orang-orangnya ini.
Kemudian laki-laki tua itu memerintahkan mereka semua untuk bersiap-siap meninggalkan Istana Kadipaten Parunggungan.
Walau hati mereka bertanya-tanya, tapi semua menuruti perintah itu.
Mereka segera mempersiapkan kuda-kuda, dan mengemasi perbekalan.
Dan malam itu juga, mereka berangkat meninggalkan istana yang diduduki dalam beberapa hari ini.
*** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info 142.
Istana Ratu Sihir Bag.
2 22 ноября 2014 г.
в 21.51 Sementara itu, tidak jauh dari bangunan Istana Kadipaten Parunggungan ini, Rangga dan Pandan Wangi yang berdiri berlindung di balik bayang-bayang sebuah pohon terus memperhatikan rombongan orang-orang berbaju serba merah.
Rombongan yang dipimpin Ki Warungkul ini tengah keluar dari dalam tembok pagar benteng istana ini.
Mereka semua menunggang kuda.
Tidak ada seorang pun yang berjalan kaki.
Pada barisan belakang, terlihat enam buah pedati yang ditarik masing-masing empat ekor kuda mengikuti rombongan berjumlah cukup besar itu.
"Mereka sudah pergi, Kakang,"
Kata Pandan Wangi.
"Ya,... Tapi, itu bukan berarti persoalannya sudah selesai, Pandan."
"Maksudmu...?"
Pandan Wangi tidak mengerti.
"Aku yakin, mereka akan kembali lagi ke sini. Paling tidak, kadipaten ini tidak dibiarkan kembali hidup seperti semula,"
Sahut Rangga pelan suaranya.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
Tanya Pandan Wangi.
Rangga tidak langsung menjawab.
Dia sendiri tidak tahu, apa yang akan dilakukan sekarang ini.
Tapi baginya yang penting sudah memenuhi janjinya pada Adipati Wiyatala untuk mengusir mereka dari kadipaten ini.
Hanya saja, masih belum bisa dimengerti, kenapa mereka begitu mudah meninggalkan istana ini...? Padahal tadi, hampir saja Pendekar Rajawali Sakti tidak sanggup menandingi ketangguhan Ki Warungkul dalam pertarungannya yang begitu menguras tenaga.
"Kakang, apa tidak sebaiknya Adipati Wiyatala diberitahu dulu?"
Ujar Pandan Wangi, memberi saran.
"Hm...,"
Rangga hanya menggumam saja sedikit.
Sementara rombongan Ki Warungkul sudah tidak terlihat lagi.
Dan saat itu, malam sudah hampir berganti pagi.
Kokok ayam jantan sudah mulai terdengar di kejauhan.
Dan di ufuk timur, rona merah jingga mulai terlihat membayang.
"Pandan, pergilah temui Adipati Wiyatala dan keluarganya. Aku akan menjaga segala kemung-kinan di sini,"
Kata Rangga.
"Kau sudah temukan kudamu...?"
"Sudah,"
Sahut Pandan Wangi.
"Tidak pernah jauh dari Dewa Bayu."
Rangga hanya tersenyum saja.
Pendekar Rajawali Sakti memang sudah memberi perintah pada kuda tunggangannya yang bernama Dewa Bayu, untuk selalu menjaga si Putih, kuda tunggangan Pandan Wangi yang hanya seekor kuda biasa.
Sedangkan Dewa Bayu, bukanlah kuda biasa.
Bahkan tidak ada duanya di dunia ini.
"Pergilah sekarang, Pandan. Kau dampingi mereka sampai ke sini,"
Kata Rangga meminta.
Pandan Wangi hanya mengangguk sedikit.
Dan tanpa banyak bicara lagi, gadis cantik berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah berlari cepat sekali ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan Rangga sendiri masih tetap berada di balik bayang-bayang pohon itu.
Sebentar kemudian kepalanya terdongak memandang ke atas.
Tampak Rajawali Putih masih saja berputar-putar di atas sana.
"Suiiit...! Ke sini, Rajawali...!"
Seru Rangga sambil bersiul nyaring.
"Khraaagkh...!"
Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung meluruk turun.
Lesatannya cepat sekali, hingga sebentar saja sudah mendarat di depan Rangga.
Pemuda berbaju rompi putih itu segera menghampiri, dan langsung melompat naik ke punggung Rajawali Putih.
"Ayo, Rajawali. Kita ikuti mereka. Kau tahu, ke mana mereka pergi, kan...?"
Ujar Rangga me-minta.
"Khraaagkh...!"
Wusss...! Hanya sekali saja Rajawali Putih mengepakkan sayap, sudah melambung tinggi ke angkasa.
Dan dari atas ini, Rangga bisa melihat Pandan Wangi yang kini sudah memacu kuda putihnya, begitu cepat menerobos hutan.
Sedangkan di tempat lain, terlihat rombongan orang-orang berpakaian serba merah bergerak cepat, semakin jauh meninggalkan kota Kadipaten Parunggungan.
"Ikuti mereka, Rajawali. Tapi jangan sampai mereka mengetahui,"
Pinta Rangga.
"Khrrr...!"
Rajawali Putih hanya mengkirik saja perlahan.
Dan burung raksasa ini terus melayang mengikuti rombongan orang-orang berbaju merah yang terus bergerak cepat melintasi sebuah padang rumput, lalu masuk ke dalam sebuah lembah yang tidak begitu besar di bawah sana.
Mereka terus bergerak ke arah timur, seperti ingin menghampiri matahari yang baru saja menampakkan diri dari persembunyiannya di balik bukit *** Jelas sekali Rangga melihat kalau orang-orang berpakaian serba merah itu terus bergerak mendaki sebuah bukit gersang yang berbatu.
Rangga tahu, itu adalah Bukit Ular.
Sebuah bukit yang tidak pernah dimasuki manusia.
Dan bukit itu kabarnya dihuni ribuan ular berbisa segala jenis.
Hingga tidak seorang pun yang berani mendekatinya.
Bahkan mendekati sekitarnya saja, harus berpikir seribu kali.
Mereka kini meninggalkan kuda-kudanya di kaki bukit itu.
Hanya sekitar lima belas orang saja dari mereka yang menjaga kuda-kuda itu.
Rangga tidak tahu, apa yang mereka lakukan di bukit gersang berbatu itu.
Mereka terus bergerak cepat, semakin tinggi menuju puncak bukit.
Dari angkasa ini, Rangga melihat di tengah-te-ngah puncak bukit itu terdapat sebuah bangunan besar, seperti sebuah istana tua yang sudah tidak terpakai lagi.
Tampak Ki Warungkul bersama anak gadisnya dan semua pengikutnya masuk ke dalam bangunan istana tua itu.
Sulit diketahui apa yang mereka lakukan di dalam istana itu.
Karena, seluruh bangunan istana itu terbuat dari batu dan tertutup rapat.
Dan Rangga hanya bisa menunggu.
Tapi, orang-orang itu tidak ada lagi yang kelihatan keluar dari dalamnya.
"Coba dekati bangunan itu, Rajawali,"
Pinta Rangga.
Tapi belum juga Rajawali Putih bergerak mendekati bangunan istana itu, tiba-tiba saja bagian tengah atap istana tua yang berbentuk bulat dan besar itu terbuka.
Dan tiba-tiba dari dalam melesat cepat bagai kilat sesuatu yang sangat besar berwarna hitam.
"Khraaagkh...!"
Bukan hanya Rajawali Putih yang terkejut, setelah tahu apa yang keluar dari dalam istana tua itu.
Malah Rangga sampai terpekik, seakan tidak percaya.
Dari dalam bangunan istana tua itu, mendadak keluar seekor burung rajawali raksasa yang sangat mirip Rajawali Putih! Hanya saja, burung rajawali raksasa itu berbulu hitam legam seperti arang.
"Awas...!"
Rangga jadi terpekik, ketika tiba-tiba burung rajawali raksasa yang keluar dari bagian atas istana tua itu, melesat menyerang dengan kecepatan kilat.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih segera mengepakkan sayapnya, dan cepat melesat naik ke atas.
Sehingga, terjangan burung rajawali raksasa hitam itu tidak sampai mengenainya.
Dan pada saat burung rajawali hitam itu berada tepat di bawahnya, Rajawali Putih langsung berputar.
Lalu seketika tubuhnya menukik deras dengan paruh yang besar terbuka lebar.
"Khraaagkh...!"
Prak! Tepat sekali paruh Rajawali Putih yang besar dan kokoh itu menghantam batok kepala burung rajawali hitam.
Begitu keras patokannya, hingga kepala burung rajawali hitam raksasa itu pecah seketika.
Tapi saat itu, satu keanehan tiba-tiba terjadi.
Burung rajawali hitam itu mendadak menghilang.
"Heh...? Ke mana dia, Rajawali...?"
Seru Rangga terkejut.
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih yang tampak gelisah mengha-dapi kenyataan, berkaokan keras sekali.
Kepalanya berputaran, mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Tapi memang, burung rajawali hitam itu tidak tampak lagi.
Lenyap begitu saja bagai asap, ketika batok kepalanya dihantam paruh Rajawali Putih tadi.
Dan ketika mereka tengah kebingungan, tiba-tiba dari atap bangunan istana tua yang masih terbuka lebar melesat sebuah bola api yang sangat besar.
Kecepatannya bagai kilat, mengarah pada burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini.
"Awas, Rajawali...!"
Seru Rangga memperi-ngatkan.
"Khraaagkh... !"
Wusss...! Cepat sekali Rajawali Putih memiringkan tubuhnya ke kanan dengan merentangkan sayapnya yang lebar ke atas.
Sehingga, terjangan bola api itu tidak sampai mengenainya.
Lalu dengan kecepatan begitu tinggi, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini berputar di udara.
Dan pada saat yang sama, bola api yang sangat besar itu berputar, langsung melesat cepat menerjang.
Begitu besarnya bola api itu, hingga dalam jarak yang masih jauh pun panasnya yang menyengat sudah terasa.
"Khraaagkh...!"
Wusss! Kembali bola api raksasa itu tidak menemui sasaran, karena Rajawali Putih begitu cepat menghindarinya.
Dan dengan kecepatan tinggi pula, Rajawali Putih langsung berputar.
Tapi pada saat yang bersamaan, bola api itu sudah berputar balik.
Bahkan langsung melesat hendak menyerang kembali burung rajawali raksasa ini.
"Ke bawah, Rajawali...!"
Seru Rangga lantang.
"Khraaagkh...!"
Tepat di saat bola api itu sudah dekat, Rajawali Putih segera menukik cepat ke bawah.
Dan pada saat itu juga, Rangga mencabut pedang pusakanya yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan.
Secepat kilat, Pendekar Rajawali Sakti mengibaskan pedang pusakanya ke atas kepala, tepat ketika bola api itu berada di atas kepalanya.
Dan....
Glarrr...! Seketika itu juga, terdengar ledakan dahsyat bagai hendak memecah alam ini, di saat Pedang Pusaka Rajawali Sakti menghantam bola api yang kontan pecah berhamburan.
Bahkan lenyap seketika, menimbulkan kepulan asap merah yang menggumpal membentuk bulatan.
Namun ketika asap merah itu lenyap, muncul seekor ular naga yang sangat besar berwarna merah menyala seperti terbakar.
Aneh! Ular naga itu bisa melayang di angkasa, seakan-akan berada di atas tanah saja! Rangga yang saat itu berdiri di punggung Rajawali Putih jadi tersedak kaget setengah mati.
Pedang pusakanya yang memancarkan cahaya biru terang, langsung disilangkan ke depan dada.
Sedangkan Rajawali Putih juga tampak seperti gelisah, melihat kenyataan seperti ini.
Mereka mendapat serangan-serangan aneh yang begitu sulit dipercaya.
Serangan-serangan itu muncul begitu saja, dari dalam bangunan istana tua di atas Bukit Ular ini.
"Ini pasti sihir, Rajawali. Jangan gelisah. Kita hadapi bersama-sama,"
Desis Rangga, mencoba menenangkan burung rajawali raksasa tunggangannya.
"Khraaagkh...!"
"Bagus, Rajawali. Jangan percaya semua itu. Ini pasti hanya sihir,"
Dengus Rangga.
Ular naga raksasa merah itu meliuk-liuk di udara, seakan ingin memperlihatkan kekuatannya.
Dari mulut dan lubang hidungnya menyembur api yang mengepulkan asap berwarna merah.
Saat itu, Rangga merasakan kalau semburan api dan asap itu mengandung racun sangat mematikan.
Tapi hatinya tidak merasa cemas sedikit pun.
Tubuhnya memang sudah kebal terhadap segala jenis racun yang paling berbahaya sekalipun di dunia ini.
Karena sejak kecil Rangga selalu makan jamur yang mengandung sari kebal racun di Lembah Bangkai (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.
"Iblis Lembah Tengkorak").
"Hosss...!" *** Dengan gerakan begitu cepat, ular naga raksasa itu meluruk ke arah Rajawali Putih yang ditunggangi Rangga. Api yang menyembur dari moncongnya, hampir saja mengenai sayap burung rajawali raksasa. Untung saja Rajawali Putih segera mengepakkan sayapnya ke atas. Dan cepat tubuhnya melesat tinggi, hingga melewati ular naga raksasa ini. Dan pada saat itu juga, tanpa diduga sama sekali Rangga melompat dari punggung Rajawali Putih.
"Hiyaaat...!"
"Khraaagkh...!"
Rajawali Putih tampak terkejut melihat kene-katan Rangga yang melompat sambil mengangkat pedangnya ke atas kepala.
Dan begitu dekat dengan kepala ular naga raksasa ini, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti menghantamkan pedang pusakanya disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Yeaaah...!"
Bet! Begitu cepat serangan Pendekar Rajawali Sakti ini, hingga ular naga raksasa itu tidak sempat lagi menghindarinya. Dan..... Cras! "Aaargkh...!"
Ular naga raksasa berwarna merah itu meraung keras dengan kepala terbelah.
Dan pada saat itu juga, dari seluruh tubuhnya mengepul asap berwarna merah.
Sementara, Rangga terus meluruk deras ke bawah, tanpa dapat menguasai keseimbangan tubuhnya kembali.
"Khraaagkh...!"
Melihat Rangga dalam keadaan bahaya, Rajawali Putih segera meluruk deras ke bawah.
Langsung dihadangnya pemuda ini di bawahnya.
Maka dengan manis sekali, Rangga jatuh tepat di punggung sahabat tunggangannya.
Sementara di atas kepala mereka, asap merah yang mengepul menyelubungi tubuh naga raksasa itu tampak melesat ke arah atap bangunan istana tua yang ada di puncak Bukit Ular ini.
Dan asap itu langsung menghilang begitu masuk ke dalam melalui atap yang terbuka.
Seketika, atap itu bergerak cepat menutup kembali.
Sedangkan Rajawali Putih sudah kembali melambung tinggi ke angkasa, bersama Rangga yang berdiri tegak di atas punggungnya sambil memegang Pedang Pusaka Rajawali Sakti tersilang di depan dada.
Cring! Rangga memasukkan kembali pedang pusakanya ke dalam warangka di punggung.
Maka cahaya biru terang yang memancar dari pedang itu lenyap seketika.
Dia pun kembali duduk di punggung burung rajawali raksasa ini.
Cukup lama Rajawali Putih berputar-putar di atas bangunan istana tua ini, tapi tidak ada satu serangan pun yang datang lagi.
Namun, Rangga bisa merasakan kalau udara di atas puncak bukit ini mengandung hawa racun dan sihir yang sangat berbahaya.
"Kita kembali dulu, Rajawali. Tidak mungkin menerobos istana itu sekarang,"
Kata Rangga.
"Khraaagkh...!"
Tanpa diminta dua kali, Rajawali Putih langsung melesat, kembali ke arah kota Kadipaten Pa-runggungan.
Sementara, keadaan di sekitar Bukit Ular itu tetap sunyi seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Dan mereka yang masuk ke dalam bangunan istana tua itu juga tidak ada yang terlihat keluar lagi.
Dan kini Rajawali Putih dan Rangga sudah jauh meninggalkan bukit itu menuju kota Kadipaten Parunggungan.
*** Rangga mengayunkan kakinya memasuki kota Kadipaten Parunggungan.
Sengaja kedatangannya ke kota kadipaten ini hanya berjalan kaki.
Sedangkan Rajawali Putih ditinggalkan di tempat yang cukup jauh dan aman, yang tidak mungkin dijarah manusia.
Dan Rangga memang tidak perlu merasa cemas ada orang yang melihat burung rajawali raksasa sahabatnya.
Pendekar Rajawali Sakti terus mengayunkan kakinya dengan ringan.
Dan dia jadi tergegun, melihat kota yang semula kosong ditinggalkan penduduknya, kini terlihat mulai ramai.
Entah, dari mana orang-orang ini datang.
Begitu cepat keberadaan mereka.
Namun Rangga tidak sempat berpikir lebih ba-nyak lagi.
Kakinya terus saja melangkah menuju ke Istana Kadipaten Parunggungan.
Ayunan langkah yang cepat, membuatnya sebentar saja sudah sampai di depan bangunan istana megah yang dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan kokoh ini.
Hanya saja, pintu gerbang pagar benteng itu hancur berkeping-keping.
Sehingga dari jalanan, bisa terlihat jelas sekali keadaan di dalamnya.
"Kakang...!"
Rangga tersenyum begitu melihat Pandan Wangi berlari-lari kecil, keluar dari gerbang benteng istana kadipaten ini.
Tampak dua orang berseragam prajurit sudah menjaga pintu gerbang itu.
Sementara, Pandan Wangi sudah berdiri dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Ingin rasanya gadis itu memeluk dan menciumnya.
Tapi semua keinginan itu hanya ada dalam hati saja, karena memang tidak mungkin melakukannya di depan orang banyak.
"Aku cemas memikirkanmu, Kakang. Kau tidak apa-apa...?"
Ujar Pandan Wangi langsung melepaskan kecemasan hatinya.
Rangga hanya tersenyum saja, sambil melangkah mendekati pintu gerbang benteng istana.
Pandan Wangi mengikuti, menjajarkan langkahnya di samping kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Dua orang prajurit yang menjaga pintu gerbang, langsung membungkuk memberi hormat.
Dan saat mereka melewati halaman depan istana yang sangat luas ini, di beranda depan istana terlihat Adipati Wiyatala bersama istri dan anaknya yang masih kecil.
Tampaknya, mereka memang sudah menanti.
Mereka didampingi abdi-abdi setianya yang selama ini terpaksa mengungsi menuruti perintah Adipati Wiyatala.
Rangga segera membungkukkan tubuhnya sedikit dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, begitu berada di depan Adipati Wiyatala.
Dan adipati muda itu langsung menyambutnya, dengan kedua tangan terulur penuh rasa persaudaraan.
Ramah sekali Adipati Wiyatala meminta Rangga masuk.
Dan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat menolak lagi.
Mereka kemudian duduk melingkari sebuah meja besar yang ada di tengah-tengah ruangan tengah istana yang megah ini.
"Aku tidak tahu, dengan apa harus membalas semua jasamu pada Kadipaten Parunggungan ini, Rangga...,"
Ujar Adipati Wiyatala membuka suara lebih dulu.
"Ah! Semua yang kulakukan hanya sekadarmenjalankan sedikit tugas,"
Kata Rangga merendah.
"Kau benar-benar seorang pendekar, Rangga. Atau, kau memang dewa yang sengaja turun dari kahyangan untuk menyelamatkan kadipaten ini... ?"
Ujar Adipati Wiyatala lagi, langsung mengemukakan rasa keingintahuannya pada pendekar muda yang sangat digdaya ini.
"Aku hanya manusia biasa, Gusti Adipati. Sama seperti yang lain. Kalau aku bisa membebas kan kadipaten ini dari tangan-tangan iblis mereka, itu memang sudah kehendak Sang Hyang Widhi. Dan aku hanya sebagai perantaranya saja,"
Lagi-lagi Rangga merendah.
Tapi Adipati Wiyatala hanya tersenyum-senyum saja.
Walaupun Rangga berulang kali merendahkan diri, Adipati Wiyatala tetap menaruh hormat pada pendekar muda ini.
Bahkan begitu menyanjungnya, karena berhasil mengembalikan istana kadipaten ini padanya.
Malah kini, kota kadipaten kembali terisi oleh napas-napas kehidupan yang sarat harapan dan impian seluruh rakyatnya.
"Rangga, masih banyak rakyatku yang belum kembali. Dan aku tidak tahu, di mana mereka se-karang ini. Tapi aku yakin, cepat atau lambat, mereka pasti akan kembali. Hanya saja..., kuminta padamu, selama beberapa hari ini kau sudi tinggal dulu di istana ini. Terus terang, aku masih mencemaskan mereka kembali lagi ke sini dalam waktu dekat,"
Kata Adipati Wiyatala langsung mengutarakan keinginan hatinya.
Dan Rangga tidak bisa cepat menjawab.
Pendekar Rajawali Sakti hanya diam merenung, mempertimbangkan tawaran adipati yang masih sebaya dirinya ini.
Memang tidak ada salahnya kalau dia tinggal di kadipaten ini dalam beberapa hari saja.
Dan di dalam hatinya, sebenarnya juga masih memikirkan kemungkinan bila Ki Warungkul dan orang-orangnya kembali lagi, setelah merasa cukup kuat.
Apalagi semua tujuan dan keinginan orang tua itu belum lagi tercapai.
Rangga tahu, orang seperti Ki Warungkul itu tidak akan merasa puas, setelah menderita keka-lahan yang begitu besar.
Kehilangan seorang putra, dan pengikut yang sangat besar jumlahnya.
Lebih dari setengah jumlah kekuatan yang dimiliki kini sudah musnah! Dari pertimbangan itu, Rangga tidak bisa me-nolak keinginan adipati ini.
Sambil mengembang-kan senyum, kepala Pendekar Rajawali Sakti bergerak terangguk.
Dan saat itu juga senyuman lebar mengembang di bibir Adipati Wiyatala.
Hatinya begitu senang, Rangga menerima permintaannya.
Adipati Wiyatala langsung memerintahkan emban-embannya menyiapkan dua kamar untuk beristirahat kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.
*** Pendekar Rajawali Sakti Заметки Pendekar Rajawali Sakti Bahasa Indonesia 142.
Istana Ratu Sihir Bag.
3 22 novembre 2014, 21.52 Tidak hanya beberapa hari saja Rangga berada di kota Kadipaten Parunggungan ini.
Bahkan sampai satu purnama lamanya berada di kota ini.
Hanya saja kini Pendekar Rajawali Sakti tak lagi harus tinggal di dalam lingkungan benteng istana kadipaten yang langsung berbenah diri, setelah dirusak gerombolan liar yang dipimpin Ki Warungkul.
Hanya sesekali saja Rangga datang mengunjungi Adipati Wiyatala di dalam istananya.
Dan adipati itu selalu menyambutnya dengan ramah.
Namun sampai saat ini, adipati itu belum tahu siapa Rangga yang sebenarnya.
Hanya Kaliga saja yang tahu, siapa Rangga sebenarnya.
Tapi Rangga sudah berpesan pada prajurit muda yang berasal dari Karang Setra itu, untuk tidak membuka rahasianya pada siapa pun juga.
Kaliga hanya menjawab kalau bertemu pendekar muda ini di tengah jalan, jika ada yang bertanya padanya.
Kaliga menepati janjinya pada Pendekar Rajawali Sakti.
Sehingga, sampai kini tidak ada seorang pun yang tahu, siapa Rangga sebenarnya.
Siang ini Rangga datang mengunjungi Adipati Wiyatala di istana kadipatennya yang megah.
Dan kedatangannya disambut adipati muda itu di dalam taman belakang yang sangat indah ini.
Di dalam taman itu hanya ada beberapa gadis emban, istri Adipati Wiyatala, dan putranya yang masih berusia sekitar dua tahun.
Mereka semua segera meninggalkan taman ini, setelah Adipati Wiyatala memintanya pergi.
Dan kini, hanya ada mereka berdua saja yang tetap di dalam taman yang sangat indah dan tertata apik.
Rangga sendiri sampai mengagumi keindahannya.
Kelihatannya memang tidak kalah dengan taman-taman keputren yang ada di istana kerajaan mana pun juga.
"Rangga ada yang ingin kubicarakan pada-mu...,"
Kata Adipati Wiyatala membuka suara lebih dulu.
"Tentang apa, Gusti Adipati?"
Tanya Rangga.
"Hhh...!"
Adipati Wiyatala menghembuskan napas pan-jang. Seakan hatinya begitu berat untuk menga-takan persoalan yang sedang dihadapi saat ini. Sedangkan Rangga sendiri sudah bisa menebak kalau ada sesuatu yang membuat wajah adipati muda ini jadi murung.
"Katakan, apa persoalanmu, Gusti. Mungkin bisa kubantu menyelesaikan,"
Kata Rangga meminta, halus.
"Dalam beberapa hari ini, aku selalu dihantui mimpi-mimpi buruk yang begitu mengerikan. Dan mimpi itu selalu terulang setiap malam, hingga aku sulit memejamkan mata...,"
Jelas Adipati Wiyatala setelah menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
Rangga hanya diam saja, menunggu kelanjutan kisah mimpi adipati itu.
Dan untuk beberapa saat, mereka berdua membisu.
Kembali Adipati Wiyatala menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.
Seakan, ada sesuatu yang mengganjal rongga dadanya.
Dan ganjalan itu berusaha dihalau dengan tarikan napasnya yang panjang dan berat sekali.
"Dalam mimpi itu, aku berada dalam sebuah ruangan gelap dan pengap seperti dalam penjara. Dan di sana, aku diperintahkan untuk membunuh anakku sendiri. Mimpi itu selalu muncul setiap malam dalam tidurku, Rangga. Dan aku yakin ini bukan hanya sekadar mimpi. Bahkan mungkin merupakan tanda peringatan untukku,"
Jelas Adipati Wiyatala, menceritakan tentang mimpi anehnya.
Sedangkan Rangga hanya diam saja, sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Walaupun hanya sepotong-sepotong saja Adipati Wiyatala menceritakannya, tapi Rangga sudah bisa menarik kesim-pulan.
Dan kesimpulannya tidak berbeda jauh dengan yang diutarakan Adipati Wiyatala barusan.
Dia juga menduga, kalau mimpi-mimpi itu merupakan sebuah peringatan.
Hanya saja mereka tidak tahu, apa artinya.
"Bagaimana aku harus mengatakan pada istri-ku, kalau mimpi itu menjadi kenyataan...? Rangga, aku benar-benar membutuhkan pertolonganmu. Aku ingin tahu, siapa penyebar bencana di sini. Aku yakin, masih ada orang lain lagi di belakang Ki Warungkul,"
Sambung Adipati Wiyatala.
"Itu hanya sekadar mimpi, Gusti. Tidak perlu dirisaukan,"
Ujar Rangga mencoba menenangkan.
"Tapi tempat itu aku tahu, Rangga. Dan benar-benar ada...."
Kening Rangga jadi berkerut. Dipandanginya wajah adipati itu dalam-dalam, seakan ingin men-can satu kepastian di dalam bola matanya.
"Aku yakin, itu bukan hanya sekadar mimpi. Itu merupakan peringatan bagiku, Rangga,"
Ujar Adipati Wiyatala sungguh-sungguh.
"Hm.... Bagaimana kau bisa begitu yakin?"
Tanya Rangga setengah menggumam.
"Kau lihat ini, Rangga?"
Adipati Wiyatala menunjukkan lengan kanannya.
Seketika kelopak mata Rangga jadi berkerut, melihat guratan panjang pada lengan adipati itu.
Sebuah guratan, seperti bekas tersayat sebuah pedang, dan tampaknya belum lama.
Rangga mengangkat kepalanya, langsung menatap bola mata adipati muda ini.
"Dalam mimpi itu, aku melukai diriku sendiri tanpa sadar dengan sebuah keris. Dan ketika ba-ngun, luka sayatan itu berbekas. Apa ini sebuah mimpi belaka, Rangga...? Tidak! Aku yakin, ini merupakan peringatan bagiku,"
Tandas Adipati Wiyatala meyakinkan.
Rangga hanya diam saja, tidak tahu apa yang harus dikatakan pada adipati ini.
Memang tidak mungkin kalau sebuah mimpi bisa meninggalkan bekas yang nyata.
Tapi sangat sulit bisa menerima kenyataan ini.
Suatu kenyataan yang berada di luar akal sehat manusia.
"Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu, Rangga. Aku bisa gila kalau terus-menerus begini,"
Keluh Adipati Wiyatala.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Gusti Adipati?"
Tanya Rangga pelan.
"Cari orang yang mengganggu ketenteraman-ku, Rangga. Aku yakin, orang itu ada hubungan-nya dengan Ki Warungkul,"
Tegas Adipati Wiyatala.
"Kau pernah melihat ada seseorang di dalam mimpimu?"
Tanya Rangga lagi.
Adipati Wiyatala tidak langsung menjawab.
Keningnya berkerut begitu dalam.
Seakan-akan, dia tengah mengingat-ingat semua peristiwa yang terjadi dalam mimpi-mimpinya.
Peristiwa dalam mimpi yang membuat gelisah hatinya, karena yakin kalau itu bukan mimpi biasa.
Tapi, sebuah peringatan baginya yang dikirim seseorang melalui mimpi buruk.
Cukup lama Adipati Wiyatala diam termenung.
Kemudian terlihat kepalanya bergerak menggeleng perlahan.
Dan Rangga langsung menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.
Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam membisu.
Tidak ada seorang pun yang bersuara lagi.
Namun kening mereka tampak berkerut begitu dalam.
Entah, apa yang ada dalam benak masing-masing saat ini.
Sementara keadaan di taman belakang itu mulai temaram.
Senja sudah turun sejak tadi, menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Parunggungan.
Tidak ada seorang pun yang terlihat di dalam tanah belakang ini, kecuali mereka berdua yang masih tetap diam membisu.
Sesekali terdengar tarikan napas yang panjang dan terasa begitu berat.
Sambil menghembuskan napas panjang, Rangga bangkit berdiri dari kursi panjang yang terbuat dari bambu.
Kemudian kakinya melangkah tiga tindak ke depan, dan menatap lurus ke langit dengan kepala terdongak.
Sedangkan Adipati Wiyatala hanya memandangi saja.
Tidak tahu, apa yang akan dilakukan pemuda berbaju rompi putih yang sudah menyelamatkan nyawanya.
Lama juga Rangga diam membisu membelakangi adipati berusia muda ini.
Kemudian tubuhnya berbalik sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.
"Malam ini, kau kutunggu di perbatasan timur kota...,"
Kata Rangga terdengar pelan dan agak berat suaranya.
"Untuk apa...?"
Tanya Adipati Wiyatala tidak mengerti.
"Entahlah, Gusti. Hanya saja, aku merasa kalau malam nanti semua yang membuatmu gelisah akan terjawab,"
Sahut Rangga agak mendesah pelan.
Adipati Wiyatala tidak menyahuti, diam saja memandangi wajah tampan yang kelihatan datar itu.
Dia sudah begitu percaya dan mengagungkan pemuda berbaju rompi putih ini.
Maka sulit untuk bisa menolak lagi semua yang dikatakannya.
Apa-lagi, Adipati Wiyatala masih menganggap kalau Rangga adalah sosok dewa yang menyamar menjadi manusia.
"Baiklah, Rangga. Aku akan datang menemui saat menjelang tengah malam nanti,"
Kata Adipati Wiyatala.
"Aku menunggu, Gusti. Dan sebaiknya, jangan membawa pengawal,"
Kata Rangga sedikit mem-beri senyum.
Adipati Wiyatala hanya mengangguk saja.
Sementara Rangga berbalik, dan melangkah meninggalkan adipati itu tanpa bicara lagi.
Sedangkan Adipati Wiyatala masih tetap duduk di kursi panjang dari bambu ini, dengan mata terus memandangi punggung Rangga sampai menghilang di balik pintu.
Beberapa saat Adipati Wiyatala masih tetap duduk merenung di dalam taman ini.
Dan di saat matahari sudah hampir menenggelamkan diri di ufuk timur, baru dia bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan taman belakang ini.
Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja....
Wus! "Heh...?! Hup!"
Cepat-cepat Adipati Wiyatala melompat ke belakang dengan memutar tubuh dua kali, begitu ti-ba-tiba terdengar suara mendesing dari arah sam-ping kiri yang begitu mengejutkan.
Tampak seba-tang anak panah meluncur begitu cepat tepat me-lewati dada, ketika adipati muda itu baru saja menjejakkan kakinya di tanah.
Dan tangkas sekali tangan kanan mengibaskan, hingga anak panah itu tertangkap dengan mantap.
Kening Adipati Wiyatala jadi berkerut, melihat pada bagian tengah batang anak panah itu terikat selembar kulit dengan pita merah menyala seperti darah.
Dengan kedua bola mata terbuka lebar, lembaran kulit kayu yang sudah kering itu dibuka.
Dan di sana, tertera sebaris kalimat yang membuat seluruh tubuhnya jadi menggigil geram.
"Keparat...!" *** Sudah tengah malam, tapi Adipati Wiyatala belum juga kelihatan batang hidungnya. Sementara, Rangga sudah mulai kelihatan cemas. Berbagai macam dugaan muncul dalam benaknya. Tapi semua dugaan buruk yang timbul cepat disingkirkan. Hatinya masih tetap bersabar, menunggu kedatangan Adipati Wiyatala yang berjanji datang menemuinya di tempat ini. Tapi sampai lewat tengah malam, tanda-tanda kedatangannya belum juga kelihatan.
"Hm, kenapa dia belum juga datang? Apa yang terjadi dengannya...?"
Gumam Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Sementara angin malam yang berhembus me-nyebarkan udara dingin, membuat Rangga harus melipat kedua tangannya di depan dada.
Beberapa kali tubuhnya terlihat bergidik menggigil, diterpa angin malam yang sangat dingin.
Sedangkan langit tampak kelam, tidak terlihat cahaya bulan maupun bintang di sana.
Awan hitam bergulung-gulung, pertanda tidak lama lagi bumi akan diguyur hujan lebat.
"Ah! Kenapa hatiku jadi tidak enak...?"
Desis Rangga, bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pikiran Pendekar Rajawali Sakti itu terus tertuju pada Adipati Wiyatala yang belum juga menampakkan diri.
Dan kegelisahan hatinya semakin menjadi-jadi, saat titik-titik air mulai turun menyentuh kulit tubuhnya.
Sejenak Rangga mendongakkan kepala ke atas, melihat awan hitam yang bergulung-gulung, seakan begitu dekat di atas kepalanya ini.
"Sebaiknya aku lihat saja dia di istananya,"
Gumam Rangga langsung memutuskan.
Tapi belum juga kaki Rangga terayun melangkah, tiba-tiba dari balik pepohonan dan semak belukar yang ada di perbatasan kota sebelah timur ini, bermunculan sosok-sosok tubuh berbaju merah menyala.
Mereka yang berjumlah sepuluh orang ini, langsung berlompatan mengepung Pendekar Rajawali Sakti dengan pedang terhunus di tangan masing-masing.
Dan mereka langsung bergerak berputar, mengelilingi pemuda itu.
Rangga melihat kalau mereka adalah anak muda yang mungkin usianya sebaya dengannya.
Dan tampaknya, mereka adalah para pengikut Ki Warungkul.
Tapi tentu saja Rangga tidak mau menganggap enteng ke sepuluh orang itu.
Karena bisa diperkirakan, rata-rata kemunculannya tadi, yang melesat begitu ringan dan cepat.
Bahkan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Malah Rangga sama sekali tidak tahu kalau mereka sudah berada di tempat ini sejak tadi.
"Seraaang...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar memberi perintah.
Dan seketika itu juga, sepuluh orang yang semuanya berpakaian merah menyala itu langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti, sambil berteriak-teriak keras bagai hendak menggetarkan jantung.
Dan ketika seorang yang berada tepat di depannya mengebutkan pedangnya ke arah kepala, cepat sekali Rangga merunduk, sehingga tebasan pedang itu lewat di atas kepalanya.
Tapi belum juga Rangga bisa menegakkan tubuhnya kembali, satu serangan lain datang dengan cepat dari arah sebelah kanan.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya menggeser ke kiri, menghindari serangan pedang lawan.
"Hup!"
Cepat Rangga melompat ke belakang, begitu seorang lawannya yang berada di sebelah kiri me-lompat sambil mengibaskan pedang ke pinggang.
Dan saat itu juga, Rangga langsung melesat.
Tubuhnya langsung berputar cepat sekali sambil mengembangkan kedua tangan lebar-lebar ke samping, seperti seekor burung yang hendak mengepakkan sayapnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti berputar cepat sekali.
Tangan kanannya langsung mengibas bagai kilat ke arah salah seorang lawan yang berada tepat di belakang tadi.
Begitu cepat gerakan dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' itu, hingga-orang berpakaian serba merah ini tidak sempat lagi menyadarinya.
Maka, kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantarn dadanya.
Begkh! "Akh...!"
Begitu keras kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu, hingga seluruh tulang dada orang berpakaian serba merah itu jadi remuk seketika.
Bahkan keras sekali tubuhnya menghantarn tanah.
Hanya sedikit saja ada gerakan pada tubuhnya, kemudian diam sama sekali.
Tampak cairan merah yang kental mengalir keluar dari lubang hidung dan mulutnya.
Sementara Rangga sendiri sudah harus melompat ke atas, menghindari sabetan pedang lawan lainnya yang datang dari arah sebelah kanan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu berada di udara, Rangga cepat sekali meluruk ke arah penyerangnya.
Dan kaki kanannya langsung bergerak menghentak begitu cepat, dengan gerakan berputar.
Begitu cepat gerakan dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', hingga pemuda berpakaian serba merah ini tidak dapat lagi menghindarinya.
Dan sambaran kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantarn batok kepalanya.
Prak! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat, bagai hendak memecah kesu-nyian malam di perbatasan kota sebelah timur ini.
Orang itu pun kontan menggeletak tewas dengan kepala pecah berantakan.
Darah berhamburan keluar deras sekali membasahi rerumputan.
Sementara itu Rangga sudah kembali berdiri tegak, siap menghadapi serangan lawan-lawannya yang kini tinggal delapan orang dalam dua kali gebrakan saja.
Dan delapan orang pemuda berpakaian serba merah itu tampaknya mulai dihinggapi keraguan, melihat Rangga begitu mudah sekali menjatuhkan dua orang temannya.
Bahkan kedua orang itu tidak lagi bergerak-gerak, menandakan kalau mereka sudah tidak bernyawa lagi.
Kini mereka yang tersisa ini hanya bergerak memutari Pendekar Rajawali Sakti perlahan-lahan, sambil mempermainkan pedangnya di depan dada.
*** "Seraaang...!"
Tepat di saat terdengar suara keras menggelegar memberi perintah, delapan orang berpakaian serba merah itu langsung berlompatan secara bersamaan menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Namun serangan itu memang sudah diperhitungkan Rangga sejak tadi.
Dan pada saat itu juga, tubuhnya langsung melenting ke atas.
Dan secepat kilat pedang pusakanya yang selalu bertengger di punggung dicabut.
Sret! Cring...! Keadaan malam yang semula begitu gelap, tiba-tiba saja jadi terang benderang bagai siang hari, begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangka.
Sudah barang tentu, kedahsyatan pamor pedang itu membuat delapan orang pemuda berbaju merah menyala ini jadi terperangah.
Dan pada saat itu juga, Rangga sudah bergerak cepat bagai kilat sambil membabatkan pedangnya.
Begitu cepat gerakannya, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa.
Dan yang terlihat hanya kilatan cahaya biru menyilaukan mata.
Trang! Tring...! Terdengar suara-suara senjata beradu saling sambut.
Dan ketika Rangga melesat ke belakang sambil berputar di udara beberapa kali, delapan orang berpakaian serba merah itu jadi terlongong.
Seakan, mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi! Hanya sekali saja Rangga mengebutkan pedang, delapan bilah pedang yang tergenggam seketika buntung tepat pada bagian pangkal tang-kai.
Dan mata pedang mereka yang terpenggal itu jatuh tepat di ujung jari kaki masing-masing.
Sementara, Rangga kini sudah berdiri tegak sekitar satu batang tombak di depan delapan orang pemuda berbaju merah menyala ini.
Dan pedangnya juga sudah kembali tersimpan dalam warangka yang selalu tersampir di punggung.
Keadaan yang tadi terang benderang oleh cahaya biru berkilauan yang memancar dari mata pedangnya, kini kembali gelap gulita berselimut awan hitam di langit.
"Dengar! Aku tidak akan segan-segan membu-nuh kalian. Bagiku, semudah membalikkan tangan untuk mengirim kalian semua ke neraka...,"
Dingin sekali nada suara Rangga.
Delapan orang pemuda berbaju serba merah menyala itu tidak dapat berkata-kata lagi.
Dan mereka hanya bisa terpaku, dengan kedua bola mata terbuka lebar menatap Pendekar Rajawali Sakti.
Seakan, mereka kini berhadapan dengan sosok dewa yang turun dari kahyangan.
"Aku tidak pernah bermain-main dengan ucapanku sendiri. Aku akan membebaskan dan membiarkan kalian tetap hidup, kalau memberitahukan di mana markas kalian semua,"
Masih terdengar dingin sekali nada suara Rangga.
Tidak ada seorang pun yang membuka suara.
Mereka hanya memandangi, dengan sinar mata begitu sulit diartikan.
Dan Rangga membalas tatapan mata mereka dengan sinar yang sangat tajam menusuk.
Dan..., entah kenapa mereka semua jadi menunduk.
Seakan, tidak sanggup lagi menentang sorot mata Pendekar Rajawali Sakti yang begitu tajam, bagai hendak mengiris langsung seluruh rongga dada mereka semua.
Sedangkan Rangga sendiri, tampak menyunggingkan senyum tipis, melihat lawan-lawannya ini seakan sudah menyerah.
"Ayo, katakan...! Di mana sarang kalian?!"
Bentak Rangga. Salah seorang mengangkat kepala, dan langsung menatap ke bola mata Rangga yang merah berapi-api, bagai hendak membakar hangus seluruh tubuh delapan orang pemuda di depannya.
"Katakan! Di mana teman-teman kalian lain-nya?!"
Tanya Rangga mendesak lagi.
"Di puncak Bukit Ular,"
Sahut pemuda berbaju merah itu pelan.
"Baik...,"
Gumam Rangga pelan.
"Kalian boleh pergi sekarang. Dan, jangan coba-coba lagi datang ke kadipaten ini. Kalian paham...?!"
"Delapan orang berpakaian serba merah itu menganggukkan kepala. Mereka memang lebih memilih hidup, daripada harus mati sia-sia di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sungguh disadari kalau kepandaian yang mereka miliki selama, ini belum ada seujung kuku dari kepandaian yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti. Terbukti, hanya dalam dua gebrakan saja dua orang dari mereka kini sudah tergeletak tidak bemyawa.
"Cepat pergi...!"
Bentak Rangga mengusir.
Dan tanpa diperintah dua kali, delapan orang berpakaian serba hitam itu langsung berlarian meninggalkan tempat ini, menerobos hutan yang sangat lebat dan gelap gulita tanpa penerangan sedikit pun juga.
Dan pada saat mereka semua benar-benar sudah lenyap dari pandangan mata, terdengar hen-lakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
Tampak seorang gadis berbaju ketat warna biru muda tengah menunggang seekor kuda putih yang dipacu cepat menuju ke arah Rangga berdiri menanti.
"Pandan Wangi.... Mau apa dia datang ke sini...?"
Desis Rangga, pelan suaranya. *** Pendekar Rajawali Sakti Articles de Pendekar Rajawali Sakti Bahasa Indonesia s . 142. Istana Ratu Sihir Bag. 4 22. November 2014 um 21.53 Ada apa, Pandan? Kenapa kau datang ke sini...?"
Rangga langsung saja melontarkan pertanyaan, begitu gadis cantik berbaju biru yang menunggang kuda putih itu sudah dekat di depannya.
Dan gadis yang memang Pandan Wangi langsung melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan sangat indah dan ringan.
Kakinya langsung menjejak sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Pandan Wangi juga tampak terkejut, melihat dua sosok tubuh berbaju merah tergeletak tidak bernyawa lagi di belakang Pendekar Rajawali Sakti.
Walaupun bertanya-tanya dalam hati, tapi sudah bisa diduga apa yang tejadi di sini.
Namun pertanyaan dalam hatinya tidak juga dikeluarkan.
Gadis itu kembali menatap wajah tampan pemuda di depannya.
"Kau harus segera ke istana kadipaten, Kakang...,"
Kata Pandan Wangi terputus.
"Ada apa di sana?"
Tanya Rangga, dengan dada seketika berdebar menggemuruh.
"Raden Pinangsang hilang,"
Sahut Pandan Wangi.
"Apa...?!"
Rangga tersentak kaget setengah mati mendengar putra Adipati Wiyatala hilang.
Dipandanginya wajah Pandan Wangi dengan bola mata berputar.
Seakan, ingin dicari kebenaran di dalam wajah yang cantik itu.
Sebentar kemudian Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan napas panjang, dengan kepala terdongak ke atas, menatap langit kelam.
Titik-titik air semakin banyak berjatuhan dari langit.
Tampaknya, hujan deras mulai mengguyur seluruh wilayah kota Kadipaten Parunggungan ini.
"Lalu, bagaimana dengan Adipati Wiyatala sendiri?"
Tanya Rangga, setelah beberapa saat membisu.
"Pergi mencari Raden Pinangsang bersama prajuritnya,"
Sahut Pandan Wangi memberitahu lagi.
"Ke mana?"
Pandan Wangi mengangkat bahunya sedikit. Dia sendiri tidak tahu, ke mana adipati itu pergi mencari anaknya yang hilang. Dan Rangga kembali menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.
"Kau kembali saja ke kota, Pandan. Aku akan coba mencari Raden Pinangsang,"
Kata Rangga akhirnya.
"Ke mana kau akan mencarinya, Kakang?"
Kali ini Rangga yang tidak bisa menjawab.
Hanya bahunya diangkat saja sedikit.
Sementara Pandan Wangi sendiri tidak dapat lagi mendesak.
Dan tubuhnya segera berbalik, lalu melangkah menghampiri kudanya.
Sedangkan Rangga masih tetap berdiri di tempatnya, memandangi gadis itu naik ke punggung kudanya.
Pandan Wangi juga menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti beberapa saat.
Pandan Wangi membalikkan arah kudanya tanpa bersuara lagi.
Kemudian kudanya digebah kencang, hingga kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Kemudian binatang itu melesat cepat kembali memandangi sampai gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu lenyap dari pandangan.
"Hm, aku tahu, siapa yang menculik Raden Pinangsang. Aku juga tahu, ke mana mereka membawanya pergi,"
Gumam Rangga dalam hati.
"Hm.... Aku harus meminta bantuan Rajawali Putih untuk pergi ke sana. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera memanggil Rajawali Putih tunggangannya. Dan tidak lama berselang, burung rajawali raksasa itu sudah datang memenuhi panggilannya. Rangga langsung melompat naik ke punggung Rajawali Putih, dan memintanya mengantarkan ke puncak Bukit Ular. Rangga yakin, pasti orang-orangnya Ki Warungkullah yang menculik Raden Pinangsang. Dan dia juga tahu, ke mana mereka membawanya pergi.
"Khraaagkh...!"
Tanpa diminta dua kali, burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu langsung melesat tinggi ke angkasa, membawa Rangga di punggungnya.
Dan burung raksasa itu langsung melesat cepat menuju Bukit Ular.
*** Hujan turun deras sekali bagai ditumpahkan dari langit.
Suaranya menggemuruh dahsyat, sea-kan-akan hendak meruntuhkan seluruh permukaan bumi.
Suara guntur meledak-ledak membelah angkasa, disertai percikan cahaya kilat yang seakan-akan ingin merobek langit yang gelap gulita tertutup awan tebal menghitam.
Dan di angkasa, Rangga bersama Rajawali Putih sudah berada tepat di atas puncak Bukit Ular.
Dalam kegelapan malam seperti ini, keadaan di bukit itu sungguh membuat bulu kuduk siapa saja yang melihat jadi meremang berdiri.
Rangga sendiri sempat bergidik, melihat pemandangan di sekitar Bukit Ular ini.
Tapi hatinya dimantapkan, karena yakin Raden Pinangsang berada di dalam bangunan istana yang ada di puncak Bukit Ular ini.
"Turunkan aku di depan istana tua itu, Rajawali,"
Pinta Rangga.
"Khraaagkh...!"
"Heh?! Ada apa, Rajawali? Kenapa kau tidak mau turun...?"
Sentak Rangga terkejut, melihat Rajawali Putih tidak menuruti perintahnya.
Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu tetap saja terbang berputar-putar, mengelilingi bagian atas atap bangunan istana tua di puncak Bukit Ular ini.
Seakan, permintaan Rangga barusan tidak didengarkannya.
Burung itu terus berputar-putar sambil berkoakan keras, bagai hendak mengalahkan suara gemuruh angin yang membawa hujan deras ini.
"Turunkan aku di sini, Rajawali...!"
Perintah Rangga lagi, dengan mengerahkan suaranya.
"Khraaagkh...!" ''Tapi Rajawali Putih tetap saja tidak menuruti perintah pemuda ini. Bahkan semakin melambung tinggi, hingga melewati gumpalan awan hitam yang menggantung di langit. Kilatan cahaya kilat seakan-akan hendak menyambar sayap burung yang putih dan lebar ini. Tapi, ujung cahaya kilat itu hanya sampai di ujung sayap Rajawali Putih. Hanya ledakan suaranya saja yang membuat telinga Rangga seakan-akan pecah.
"Ada apa, Rajawali? Kenapa kau tidak menu-runkan aku di sana?"
Tanya Rangga meminta pen-jelasan.
"Khrrrkh...!"
"Aku tidak mengerti, Rajawali Kenapa kau jadi takut..? Ke mana keberanianmu, Rajawali? Ke mana...?"
Agak tersedak nada suara Rangga, saat mengetahui burung rajawali raksasa tunggangannya merasa takut untuk menurunkannya di depan bangunan istana tua itu.
Tapi, entah apa yang membuat Rajawali Putih tidak berani mendekati istana tua itu.
Atau karena pernah mendapat serangan dahsyat dari penghuni istana tua itu...? Semua ini memang sulit dimengerti.
Bahkan Rangga sendiri tidak tahu, apa sebabnya.
Sementara Rajawali Putih malah membawa pemuda ini menjauhi bangunan istana tua itu.
Dia terus melesat cepat menuju arah timur.
Sedangkan Rangga yang berada di punggungnya, tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hanya benaknya saja yang terus berputar, bertanya-tanya tidak mengerti atas sikap burung rajawali raksasa tunggangannya.
Hingga sampai pada sebuah lembah yang sangat dalam dan lebar, Rajawali Putih meluruk turun cepat bagai kilat.
Begitu dalamnya lembah itu, hingga terlihat gelap terselimut kabut tebal.
Dan Rangga tahu, apa nama lembah ini.
Keningnya jadi berkerut dengan benak terus diliputi berbagai macam pertanyaan yang sulit dijawab.
Untuk apa Rajawali Putih membawanya ke Lembah Bangkai...?! Lembah Bangkai.
Sebuah lembah yang tidak pernah dimasuki manusia.
Lembah tempat Rangga dibesarkan oleh burung rajawali raksasa ini.
Di tepi lembah itu, semua peristiwa berdarah yang membuat kedua orang tuanya mati terbunuh kembali terlintas.
Di dalam lembah ini pula, dia tumbuh besar menjadi seorang pemuda digdaya yang dipenuhi ilmu-ilmu kedigdayaan tingkat tinggi yang sukar dicari tandingannya.
Di dalam lembah ini, Pendekar Rajawali Sakti mendapatkan begitu banyak kitab pusaka yang memuat ilmu kedigdayaan tingkat tinggi.
"Khraaagkh...!"
"Hup!"
Rangga langsung melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa ini, begitu mendarat di dasar lembah yang sangat dalam dan sulit dimasuki manusia.
Rajawali Putih mendarat tepat di depan sebuah makam tua yang kelihatan terawat rapi, dengan cungkup terbuat dari perak.
Burung rajawali raksasa berbulu putih itu mendekam tidak jauh dari makam tua ini.
Sementara itu Rangga yang masih diliputi ke-tidak mengertian, sudah melangkah mendekati makam tua yang dianggapnya makam gurunya ini.
Padahal dia hanya bertemu arwah pemilik makam itu saja.
Memang, di sana terbaring seorang pendekar besar pada masa lebih dari seratus tahun yang lalu.
Seorang pendekar digdaya yang tidak tertandingi kesaktiannya, yang dulu dikenal sebagai Pendekar Rajawali.
Dan kini semua ilmunya dikuasai Rangga dengan sempurna.
(Jika ingin lebih jelas lagi asal usul Pendekar Rajawali Sakti, baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode .
"Iblis Lembah Tengkorak").
"Guru.... Aku tidak mengerti, kenapa Rajawali Putih membawaku datang menemuimu ke sini. Datanglah padaku, Guru. Berilah petunjuk dan penjelasan dari semua kejadian yang membingungkan diriku ini,"
Ujar Rangga penuh rasa hormat di depan makam Pendekar Rajawali.
Tidak ada suara sedikit pun terdengar.
Begitu sunyi keadaan di dalam lembah ini.
Bahkan suara angin pun tidak terdengar mengusik telinga Pendekar Rajawali Sakti yang tetap duduk bersimpuh di depan makam tua yang dianggap makam gurunya.
Namun kesunyian itu mendadak saja pecah, oleh ledakan yang sangat dahsyat.
Dan bersamaan dengan itu, terlihat secercah cahaya kilat menyambar di angkasa, tepat menghantarn bagian tengah makam bercungkup perak itu.
Glarrr...! Kembali terdengar ledakan amat dahsyat, membuat tanah di sekitar dasar lembah ini jadi bergetar bagai diguncang gempa.
Saat itu juga, dari kuburan yang tiba-tiba terbelah itu mengepul asap putih yang bergulung-gulung panjang ke atas.
Rangga yang tahu kalau arwah gurunya akan muncul dari dalam kuburnya itu, tetap tenang duduk bersila.
Pendekar Rajawali Sakti langsung merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, ketika dari kepulan asap putih itu muncul seorang laki-laki tua berwajah bersih.
Dia mengenakan baju jubah putih panjang.
Rambut dan jenggotnya juga sudah berwarna putih semua.
Laki-laki bermata tajam bercahaya itu berdiri mengambang di atas kepulan asap putih, yang berada tepat di tengah-tengah makam tua ini.
"Kau sudah datang, Rangga...,"
Terdengar berat sekali suara laki-laki yang muncul dari dalam kuburan itu.
"Benar, Guru. Aku datang memenuhi pang-gilanmu,"
Sahut Rangga dengan sikap begitu hor-mat "Dengar, Rangga. Aku tidak akan meminta Ra-jawali Putih membawamu datang ke sini, kalau tidak memandang perlu dan sangat mendesak."
Rangga hanya diam saja memandangi sosok tubuh gurunya.
Dia tidak tahu, apa maksud gurunya memanggil, dengan menyuruh Rajawali Putih menjemputnya.
Rangga hanya bisa diam membisu.
Ditunggunya, apa yang akan dikatakan laki-laki tua yang dulu ketika masa seratus tahun lalu, merupakan seorang pendekar digdaya tidak tertandingi.
"Aku tahu apa yang sedang kau hadapi seka-rang ini, Rangga. Kau tentu bertanya-tanya, kenapa Rajawali Putih sampai begitu takut mendekati istana tua itu, kan...? Rajawali Putih memang kuperintahkan untuk tidak mendekati istana itu. Dan kalau kau ingin terus menyelesaikan persoalanmu, harus kau hadapi sendiri tanpa harus meminta bantuan pada Rajawali Putih...."
"Kenapa Rajawali Putih tidak boleh mendekati istana itu, Guru?"
Tanya Rangga.
"Karena istana itu dihuni Nyai Wisantika."
"Siapa dia?"
Tanya Rangga ingin tahu.
"Dia seorang perempuan yang seharusnya sudah mati seratus tahun yang lalu. Tapi karena memiliki sebuah ilmu yang bisa membuat dirinya tidak akan pernah mati sepanjang zaman, dia masih tetap hidup. Ilmu iblis yang tidak akan bisa kau pahami, Rangga. Dan dia akan benar-benar bangkit menjadi manusia tangguh tanpa tanding, jika seluruh tubuhnya dilumuri darah seorang anak berusia tiga tahun yang lahir pada hari ketiga bulan ketiga juga. Dan anak itu, sekarang sudah ada. Hanya saja, dia harus mendapatkannya melalui orang-orang yang mengabdi padanya."
Rangga mengangguk-angguk.
Dia tahu, apa yang dimaksudkan gurunya.
Anak yang dimaksudkan adalah Raden Pinangsang, putra Adipati Wiyatala.
Dan sekarang, anak itu sudah berada dalam istana tua itu, setelah diculik pengikut-pengikut Ki Warungkul.
Dan rupanya, Ki Warungkul sendiri adalah abdi setia penghuni istana tua yang ditakuti Rajawali Putih.
"Rangga, perlu kau ketahui. Nyai Wisantika itu seorang wanita penyihir. Ilmu-ilmunya sulit ditan-dingi. Dia bisa menjadikan apa saja yang ada di dunia ini. Dia pernah membuat Rajawali Putih hampir mati. Itu sebabnya, kenapa Rajawali Putih tidak ingin berhadapan lagi dengan perempuan penyihir itu. Dan sekarang, dia punya kesempatan untuk meneruskan keinginannya menguasai dunia ini dengan darah anak itu. Kau harus bisa menghentikannya, Rangga. Kalau dia sampai terjun dalam dunia persilatan lagi, dunia akan jadi neraka. Dan kau tidak akan bisa lagi memusnahkannya. Seperti juga yang pernah kualami. Hanya dialah satu-satunya orang yang tidak bisa kutandingi."
Rangga hanya diam saja mendengar penjelasan gurunya dengan kepala tertunduk. Dan perlahan kepalanya diangkat langsung menatap arwah gurunya yang muncul dari dalam kuburnya itu.
"Guru, dengan apa aku harus menghadapi-nya?"
Tanya Rangga pelan sekali suaranya.
"Kau tidak akan mampu menghadapinya, Rangga. Hanya satu yang bisa kau lakukan seka-rang."
"Apa itu...?"
"Cegah dia mendapatkan anak itu. Dan, han-curkan istananya agar tidak ada orang lagi yang menjadi pengikutnya."
"Tapi, Guru. Anak itu sudah mereka dapatkan sekarang."
"Apa...?"
"Mereka sudah mendapatkan anak itu. Dan sekarang, ada di dalam istana itu, Guru."
"Celaka.... Kau harus segera pergi ke sana. Keluarkan anak itu sekarang juga. Jangan menung-gu waktu lagi, Rangga. Cepatlah pergi, Rajawali Putih akan mengantarkanmu sampai ke kaki Bukit Ular saja."
"Baik, Guru."
"Dengar, Rangga. Kalau kau sudah mendapatkan anak itu, bawa dia ke tempat yang aman dan jauh dari jangkauan pengikut-pengikut iblis wanita itu. Kau mengerti...?"
Rangga mengangguk.
"Setelah itu, hancurkan istananya. Juga semua orang yang mengabdi padanya. Karena, mereka yang mengabdi akan menjadikan dunia ini neraka. Nah, pergilah sekarang juga sebelum terlambat. Aku akan membantumu dari sini, Rangga."
Rangga langsung memberi sembah hormat dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung.
Dan saat itu juga, sosok laki-laki tua berjubah putih itu menghilang bersama merapatnya kembali kuburan yang terbelah tadi.
Rangga segera bangkit berdiri dan berbalik.
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung burung rajawali raksasa tunggangannya.
"Antarkan aku ke Bukit Ular secepatnya, Rajawali.
"
Pinta Rangga.
"Khraaagkhk...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rajawali Putih segera mengepakkan sayap dan langsung melesat ke atas, keluar dari dalam Lembah Bangkai ini bersama Rangga yang duduk dipunggungnya.
Begitu cepat Rajawali Putih melesat, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa.
Hanya kilatan cahaya putih keperakan saja yang terlihat, bagai membelah langit yang hitam terselimut awan tebal.
Sementara hujan sudah berhenti mengucur membasahi bumi.
Hanya titik-titik air kecil saja yang masih terlihat turun dari langit.
Sedangkan Rangga dan Rajawali Putih terus meluncur di angkasa yang gelap dengan kecepatan bagai kilat.
Begitu cepatnya, hingga dalam waktu tidak begitu lama sudah sampai di atas puncak Bukit Ular.
Dan Rajawali Putih segera meluruk deras, ke kaki bukit sebelah timur.
Begitu ringan burung rajawali raksasa ini mendarat di tempat yang agak lapang.
Dan Rangga segera melompat turun.
Beberapa saat mereka saling berpandangan, seakan-akan mereka tahu isi hari masing-masing saat ini.
"Pergilah, Rajawali. Tinggalkan aku di sini,"
Kata Rangga pelan.
"Khrrr...!"
"Aku akan hati-hati, Rajawali,"
Ujar Rangga seraya memberikan senyum.
Entah apa arti senyum Pendekar Rajawali Sakti.
Dan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini segera mengepakkan sayapnya, sambil mengeluarkan suara nyaring melengking tinggi.
Rangga tahu, Rajawali Putih sangat mencemaskan dirinya yang harus seorang diri menghadapi penghuni istana tua di puncak Bukit Ular.
Beberapa saat Rangga menatap ke atas.
Dan kakinya baru melangkah setelah bayangan Rajawali Putih tidak terlihat lagi, lenyap tertelan gumpalan awan hitam yang masih menggantung menyelimuti langit.
Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien