Misteri Tabib Siluman 2
Pendekar Rajawali Sakti Misteri Tabib Siluman Bagian 2
"Apakah kau akan pergi berobat. Anak Muda?"
Tanya perempuan tua ini.
"Ah, tidak. Hanya ingin beranjangsana saja,"
Sahut Rangga dengan senyum ramah.
"Sebaiknya memang tidak usah. Tabib itu memang hebat. Namun, juga membawa malapetaka. Para pemuda yang berobat padanya bisa dipastikan akan menemui ajalnya beberapa hari kemudian!"
Kata perempuan tua itu, penuh kekhawatiran melihat pemuda tampan di depannya ini seperti mencari mati.
"Ya.... Kegemparan itu memang kudengar...."
"Tidak perlu dekat-dekat dengannya! Kau akan celaka...!"
"Begitu jahatnyakah tabib itu?"
"Huh! Dia bukan sekadar tabib tapi juga iblis wanita yang amat jahat! Tak heran kalau kemudian orang-orang menjulukinya Tabib Siluman!"
Umpat wanita yang berusia enam puluh tahun ini.
"Dan mana Nyisanak bisa begitu yakin?"
Pancing Rangga.
"Di desa ini sudah tidak ada seorang pemuda pun yang tinggal. Beberapa orang menemui ajalnya, setelah berobat pada tabib itu. Dan yang lainnya mengungsi jauh-jauh meninggalkan desanya!"
"Apakah kepala desa tidak bertindak terhadap tabib itu?"
"Apa yang bisa dilakukannya? Kami sudah tidak mempunyai bukti. Tidak ada alasan menuduh tabib itu. Meski demikian, bukan hanya penduduk desa ini saja yang percaya kalau tabib wanita itu adalah pembunuh keji!"
"Siapa nama kepala desa ini, Nyisanak?"
Tanya Rangga, mengalihkan pembicaraan.
"Ki Somareksa. Apakah kau akan menemuinya? Untuk apa?"
"Ya! Ada beberapa hal yang mungkin akan kubicarakan dengannya sehubungan peristiwa ini...."
"Huh! Kami tidak butuh bicara, Anak Muda! Satu-satunya yang kami perlukan adalah mengusir wanita iblis itu dari sini!"
Cibir perempuan tua itu, sinis.
"Lalu kenapa tidak kalian lakukan?"
Pancing Rangga kembali.
"Siapa yang berani? Setiap mereka yang bermaksud jahat kepadanya, pasti gagal. Orang itu kemudian sakit dan tidak berapa lama mati tanpa diketahui sebabnya!"
Rangga mengangguk perlahan mendengarkan penjelasan itu.
"Siapa kau sebenarnya? Dan, apa kepentinganmu mengurusi persoalan ini? Kalau memang kau tak ada urusan apa-apa, sebaiknya lekas menjauh sebelum dirimu celaka. Tapi kalau memang berkepentingan dalam hal ini maka usirlah wanita iblis itu! Berjalanlah kau ke arah sana. Bila kau menemukan pohon mahoni yang cukup besar, maka akan menemukan rumah yang paling besar pula. Di sanalah dukun iblis itu tinggal!"
Tunjuk perempuan tua ini, ke arah kanan.
"Aku memang punya kepentingan. Dan, akan kulakukan sebisaku! Setiap kebusukan selalu akan tercium meski serapat mungkin disembunyikan. Demikian pula halnya kejahatan!"
Tandas Rangga.
"Oh, ya. Di mana tempat tinggal Kepala Desa Galuh itu, Nyisanak?"
"Sama arahnya, namun kau harus berbelok ke arah kiri. Lima puluh tombak dari pohon mahoni itu, ada belokan ke kiri. Dan bila kau menemukan rumah yang cukup besar dan apik, itulah rumah kepala desa ini...."
"Ciri-ciri kepala desa itu?"
"Usianya sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya gagah, tinggi besar. Wajahnya bercambang bauk dan berjenggot lebat...,"
Urai perempuan tua ini.
"Wah..., terima kasih banyak, Nyisanak. Aku telah terlalu banyak mulut,"
Ucap Rangga, halus.
"Aku tak keberatan kau tanya-apa saja, selama bisa menjawab. Asalkan, bantulah kami melenyapkan Tabib Siluman itu,"
Kata perempuan tua ini penuh harap.
"Mudah-mudahan Nyisanak. Aku toh hanya manusia belaka. Semuanya hanya karena pertolongan Yang Maha Kuasa. Lain, tidak!"
Sahut Rangga merendah.
"Aku mohon pamit, Nyisanak."
Tanpa mengharapkan jawaban lagi. Pendekar Rajawali Sakti berbalik. Kakinya melangkah cepat ke arah kudanya yang berdiri tenang. Dengan gerakan indah sekali Pendekar Rajawali Sakti naik ke atas punggung Dewa Bayu, lalu menggebahnya.
"Hm.... Aku harus ke rumah kepala desa ini lebih dulu. Setahuku, seluruh desa di sekitar Telaga Air Mata Dewa berada di wilayah Karang Setra. Dan aku paling benci bila rakyatku hidup dalam ketidaktenangan, sementara kepala desanya, tenang-tenang saja!"
Gumam Rangga yang juga Raja Karang Setra ini, sambil terus menggebah kudanya. *** "Ada keperluan apa kau bertanya tentang tabib itu?"
Tanya laki-laki setengah baya bertubuh tegap dengan cambang bauk dan berjenggot lebat.
Rangga yakin, laki-laki inilah yang bernama Ki Somareksa, Kepala Desa Galuh ini.
Namun kepala desa ini kelihatan angkuh sekali.
Sejak tadi Rangga hanya dibiarkan di luar.
Malah sambil menemui tamunya dengan cara seperti itu, Ki Somareksa terus saja asyik dengan burung-burungnya yang berada di dalam sangkar.
Sedikit pun kepalanya tak menoleh pada pemuda itu.
"Tabib itu agaknya berkait dengan peristiwa yang terjadi...."
"Semua orang berkata begitu,"
Potong Ki Somareksa.
"Dan kau tidak perlu menambahkannya lagi! Dan kalau benar dia bersalah, maka tidak ada orang yang mau berobat lagi padanya. Nyatanya, sampai saat ini tetap saja banyak orang dari mana-mana berobat padanya."
Kembali Kepala Desa Somareksa bersiul sambil menjentik-jentikkan jari-jari ke dekat sangkar burung.
"Kalau begitu, apa yang telah kau lakukan sebagai kepala desa?"
Singgung Rangga.
Nada bicara Pendekar Rajawali Sakti datar saja.
Tapi terasa pedas didengar Ki Somareksa.
Seketika wajahnya berbalik ke arah Rangga.
Perlahan-lahan tubuhnya ikut berbalik sambil terus menatap tajam pemuda itu.
Dahinya berkerut dan tatapan matanya tajam seperti hendak menghujam jantung Rangga.
"Kau bicara apa, heh?!"
Dengus kepala desa itu sedikit kasar.
"Apakah kerjamu hanya bersiul-siul di depan sangkar burung sementara rakyatmu satu persatu mati tanpa sebab-sebab yang jelas? Bahkan kau sepertinya menutup mata bagi pemuda-pemuda yang telah meninggalkan desanya, karena ketakutan oleh sesuatu yang akan menyebabkan kematian?!"
Sindir pemuda itu datar. Rangga bukan tidak tahu kemarahan laki-laki setengah baya di depannya. Dengan kata-katanya tadi, agaknya dia sengaja ingin membakar amarah kepala desa itu.
"Kurang ajar! Tahukah kau tengah bicara dengan siapa, Anak Muda?! Kau orang asing di sini. Dan, tidak tahu persoalan. Tidak usah mengajariku macam-macam! Aku tahu apa yang harus kulakukan!"
Bentak Ki Somareksa.
"Kalau memang kau tahu apa yang harus dilakukan, kenapa tidak dilakukan sejak dulu sehingga korban tidak terus berjatuhan?"
Sahut Rangga tenang. Wajah kepala desa itu semakin berkerut geram. Dan tatapan matanya tajam seperti hendak menerkam pemuda di depannya. Hela napasnya terasa memburu dan kasar, menandakan amarah di hatinya yang semakin bergelora.
"Anak muda! Kalau kedatanganmu ke sini untuk mengurusi tugasku, enyahlah! Kalau tidak, kau tidak akan sempat menyesal!"
Kali ini agaknya Ki Somareksa jelas-jelas mengancam padanya. Sementara Rangga tetap tenang-tenang saja. Malah tersenyum sinis.
"Mestinya kau sadar, dengan siapa berhadapan saat ini, Ki!"
Ujar Rangga, masih tetap kalem.
"Apa peduliku? Kau hanya seorang pengembara kesasar yang mau tahu urusan orang!"
"Tidakkah kau tahu kalau wilayah ini termasuk Kerajaan Karang Setra? Dan, bukankah rajanya seorang pengembara?!"
Nada bicara Rangga datar saja tanpa maksud menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya.
Rangga hanya berpura-pura dengan maksud menggertak.
Dan ternyata kata-kata Rangga membuat kepala desa itu tertegun.
Dahinya berkerut.
Tatapan matanya yang tadi galak, perlahan-lahan berubah lembut.
"Apa maksudmu...?"
Tanya Ki Somareksa dengan nada lunak.
"Aku hanya sekadar mengingatkan bahwa penguasa kerajaan ini pun seorang pengembara...."
Kepala Desa Galuh ini terkesima memandang Pendekar Rajawali Sakti.
Kali ini ditelitinya setiap sudut kecil di wajah pemuda itu untuk memastikan dugaan yang ada di benaknya.
Sebentar Ki Somareksa mengingat-ingat.
Dan baru disadari kalau Raja Karang Setra adalah seorang pendekar pengembara.
Dia juga pernah mendengar kalau ciri-ciri rajanya bila tengah mengembara, selalu memakai baju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
Sungguh dia tadi tidak menyadarinya.
Maka laki-laki tua ini menjatuhkan diri bersujud.
"Ampun, Kanjeng Gusti Prabu...! Maafkan kelancangan hamba! Maafkan kekasaran hamba...! Maafkan hamba...!"
Ucap Ki Somareksa, penuh penyesalan.
"Kisanak! Apa yang kau lakukan? Kenapa tiba-tiba saja berlutut dan meminta maaf padaku?"
"Oh! Maafkan hamba, Kanjeng Gusti Prabu! Hamba mengaku salah. Maafkan hamba...!"
Ratap kepala desa itu tanpa beringsut. Seakan, dia begitu takut dijatuhi hukuman berat. Rangga jadi geleng-geleng kepala, tak mengira kalau gertakannya cukup ampuh untuk menjatuhkan nyali Ki Somareksa.
"Baiklah, kau kumaafkan. Sekarang bangkitlah...."
"Oh! Terima kasih. Kanjeng Gusti Prabu...." *** Ki Somareksa bangkit perlahan-lahan. Namun badannya sedikit membungkuk dengan pandangan mata menekuri tanah.
"Kenapa kau memanggilku Kanjeng Gusti Prabu? Apa kau kira aku ini seorang raja?"
Tanya Rangga.
"Kanjeng Gusti Prabu telah menjelaskannya tadi...,"
Sahut Ki Somareksa takut-takut.
"Kapan? Aku tidak merasa mengaku sebagai raja?!"
Tukas Rangga.
"Kanjeng Gusti Prabu mengatakan, bahwa Raja Karang Setra adalah seorang pengembara. Dan itu memberi isyarat bahwa sesungguhnya Kanjeng Gusti Prabu sendiri yang bicara demikian,"
Sahut kepala desa itu, memojokkan Rangga.
"Jangan terlalu yakin kalau tidak tahu pasti. Aku hanya pengembara biasa. Kedudukanku sama seperti rakyat kebanyakan. Kebetulan aku tertarik menyelidiki kejadian-kejadian aneh yang menimpa daerah ini...,"
Kilah Pendekar Rajawali Sakti.
"Dengan senang hati hamba berusaha akan membantu. Silakan masuk ke gubuk hamba, Kanjeng Gusti Prabu...!"
Ujar kepala desa itu.
Sekarang Rangga tidak berkutik lagi.
Dia pasrah, mau dianggap apa.
Yang penting, tujuannya membasmi Tabib Siluman terlaksana.
Segera diikutinya langkah kepala desa itu masuk ke rumah cukup besar ini.
Dan Rangga diterima di ruang tamu.
"Apa yang bisa hamba bantu untuk Paduka...?"
Tanya Ki Somareksa setelah Pendekar Rajawali Sakti duduk di ruang tamu. Rangga tidak langsung menjawab. Dipandanginya kepala desa itu beberapa saat lamanya. Dan ini membuat Ki Somareksa jadi salah tingkah.
"Entahlah.... Kenapa kau masih menyangka kalau aku seorang raja. Padahal, aku tidak pernah mengatakannya...."
"Siapa yang tidak kenal dengan rajanya sendiri, Gusti Prabu? Hamba pernah mendengar tentang ciri-ciri Gusti Prabu jika tengah mengembara. Tapi sungguh. Hamba sama sekali tidak menyangka kalau Gusti Prabu mengembara ke desa kami yang terpencil dan jauh ini...,"
Sahut Ki Somareksa. Rangga kali ini benar-benar terpojok. Tak bisa berkilah lagi.
"Ya, sudah. Itu terserahmu saja...,"
Desah Rangga.
"Maafkan penyambutan hamba yang tidak semestinya, Kanjeng Gusti Prabu...!"
Ucap Ki Somareksa.
"Sebagai orang biasa, maka ini sudah berlebihan,"
Kata Rangga.
"Paduka selalu merendahkan diri. Padahal, itu tidak pantas...."
"Seorang raja hanya pengemban amanat rakyat Dan bukan kehinaan bila senantiasa bersikap rendah hati. Tapi, sudahlah. Bukan untuk itu aku datang ke sini...."
"Mengenai tabib itu. Paduka...?"
Tebak laki-laki setengah baya ini.
"Ya. Sejak kapan dia datang ke desa ini...?"
Tanya Rangga.
"Belum lama.... Sekitar tiga bulan yang lalu...."
"Selama ini, bagaimana sikapnya terhadap penduduk?"
"Dia ramah dan baik. Bahkan sering menolong tanpa pamrih. Kebanyakan orang yang berkunjung ke tempatnya berasal dari kalangan miskin. Tapi dia sama sekali tidak mengharap imbalan apa-apa,"
Jelas kepala desa itu.
"Hm, ya...,"
Gumam Rangga mengangguk pelan.
"Semua penduduk memang curiga, bahwa tabib itu biang keladi dari kematian para pemuda di desa sekitar Telaga Air Mata Dewa. Tapi, hamba tidak yakin kalau dia pelakunya,"
Lanjut Ki Somareksa. Rangga tidak langsung menyahut. Kepalanya manggut-manggut dengan kening berkerut dalam.
"Gusti Prabu hendak ke sana?"
Tanya Ki Somareksa.
"Ya,"
Sahut Pendekar Rajawali Sakti, pendek.
"Begitu memang lebih baik. Sehingga Gusti Prabu bisa melihat dan menilai sendiri bagaimana tabib itu sebenarnya...."
Rangga tersenyum.
"Dengan siapa dia tinggal di rumah itu?"
Tanya Rangga lagi.
"Bersama dua pembantunya, Kanjeng Gusti Prabu. Satu laki-laki sudah agak tua. Dan seorang lagi gadis belia berusia sekitar lima belas tahun. Mereka membantu mencarikan dedaunan atau akar-akaran yang dijadikan obat oleh tabib itu...."
"Ketika datang ke sini, tabib itu sudah membawa keduanya?"
Cecar Rangga.
"Eh, iya...,"
Jawab Ki Somareksa agak gugup.
"Bagaimana sikap kedua pembantunya?"
"Sama seperti majikannya. Mereka ramah pada setiap penduduk. Hanya saja, sejak peristiwa belakangan ini, para penduduk membenci mereka juga. Tiap kali mereka menegur, maka tak seorang pun yang menyahut,"
Jelas Ki Somareksa.
"Dan tabib itu sendiri?"
"Ya! Sejak para penduduk membencinya, dia jadi jarang keluar seperti dulu."
"Kau katakan orang yang datang berobat padanya semakin banyak. Apakah mereka berasal dari luar desa ini?"
"Ya! Penduduk di sekitar sini sudah tidak percaya lagi padanya. Mereka membencinya. Juga, para pemuda yang kabur meninggalkan desanya sering menceritakan tentang tabib itu...."
"Dengan maksud memburuk-burukkannya?"
Sambung Rangga.
"Tentu saja! Tapi pada kenyataannya, mereka yang berobat tidak pernah berkurang. Malah semakin bertambah."
"O, begitu. Kelihatannya kau kenal betul dengannya, Ki?"
"Tidak terlalu. Tapi beberapa kali tabib itu pernah ke sini...,"
Sahut Ki Somareksa malu-malu.
"Dan kau sering ke sana, Ki?"
Pancing Rangga seraya tersenyum. Kepala desa itu hanya tersipu malu.
"Boleh kutahu, kapan waktu istirahat tabib itu, Ki?"
"Tengah hari. Dan sebelum tengah malam sampai subuh,"
Jelas Ki Somareksa.
"Sebentar lagi tengah hari. Sebaiknya aku berangkat menemuinya...,"
Kata Rangga seraya bangkit dari duduknya.
"Eh! Boleh kuantar. Kanjeng Gusti Prabu?!"
"Boleh. Tapi, asal jangan kau mempermalukan aku dengan panggilan kehormatan itu!"
"Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian, kalau kau mau mengantarku!"
Tukas Rangga cepat.
"Baiklah...,"
Desah Ki Somareksa sambil mengangkat kedua bahunya.
*** Selanjutnya Bagian 4-6 Misteri Tabib Siluman Kembali ke Daftar Isi Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info .
172.
Misteri Tabib Siluman ~ Bag.
4-6 17.
Februar 2015 um 06.20 Baru saja Rangga dan Ki Somareksa tiba di pekarangan rumah Tabib Siluman, sudah terdengar teriakan-teriakan penuh amarah dari kerumunan orang-orang menuntut agar tabib itu keluar rumah.
"Ada apa ini, Ki?"
Tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Entahlah.... Mungkin mereka hendak membuat keonaran di desaku...,"
Sahut Ki Somareksa.
"Mereka penduduk Desa Galuh?"
"Ada beberapa orang yang bukan penduduk desa ini...."
"Cepat redakan kemarahan mereka, Ki!"
Ujar Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa diperintah dua kali, Ki Somareksa berlari dan langsung menyeruak kerumunan.
"Berhenti...! Ada apa ini?!"
Bentak Ki Somareksa sambil mengangkat kedua tangannya. Melihat siapa yang datang, orang-orang yang mengenal Ki Somareksa langsung berhenti berteriak. Sebagian menggumam tak jelas, bagai kawanan lebah.
"Ki Soma! Kenapa kau melarang kami untuk menghukum iblis itu?!"
Teriak seorang penduduk.
"Ya, benar! Kenapa kau melarang kami?!"
Timpal yang lain.
"Siapa yang kau maksud iblis?!"
Ki Somareksa malah balik bertanya.
"Siapa lagi kalau bukan tabib keparat itu!"
Sahut beberapa penduduk, hampir berbarengan.
"Dia bukan iblis! Kalau benar tuduhanmu, maka tak seorang pun yang mau berobat padanya!"
Sergah Ki Somareksa.
"Tanya pada penduduk desamu! Juga, katakan pada penduduk dua desa lainnya yang berada di sekitar sini! Mereka akan mengatakan bahwa tabib itu iblis betina! Dia penyebab kematian pemuda-pemuda di desamu. Dia juga penyebab kematian para pemuda di desa-desa yang berdekatan dengan Telaga Air Mata Dewa. Dan dia juga penyebab kematian adik kami!"
Teriak seorang laki-laki setengah baya dengan muka garang dan suara kasar. Begitu selesai kata-katanya, para penduduk berteriak-teriak mendukungnya.
"Tuduhanmu tidak beralasan. Dan tidak ada bukti sedikit pun!"
Tangkis kepala desa itu.
"Apakah kebencian para pendudukmu terhadapnya bukan bukti nyata? Apakah mereka semua sepakat membencinya tanpa alasan?!"
Cecar orang ini, yang sepertinya bukan penduduk Desa Galuh.
"Ki Soma! Jangan ikut campur! Lebih baik menyingkir!"
Teriak seseorang.
"Mundur! Kau tidak pantas menjadi kepala desa!"
Timpal yang lain.
"Kalau dia tidak mau mundur, usir saja dari sini...!"
"Usir, usiiir...!"
Teriakan-teriakan itu berubah cepat menjadi kenyataan.
Dan puluhan warga desa baik lelaki maupun wanita bergerak cepat menyerbu ke arah Ki Somareksa sambil mengacung-acungkan berbagai macam senjata.
Bahkan batu-batu mulai menghujani kepala desa itu! Agaknya para penduduk itu telah lama memendam kebencian pada Ki Somareksa.
Sehingga ketika menemukan saat yang tepat, maka kebencian mulai dilampiaskan.
Ki Somareksa jadi ciut nyalinya.
Sementara lemparan batu semakin banyak menyerangnya.
Sedangkan para penduduk desa mulai rapat mengepungnya.
Untung pada saat yang gawat, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas melewati kepala para penduduk dan hinggap di depannya.
Seketika dihalaunya serangan batu itu, hingga tak ada satu pun yang mengenai sasaran.
"Berhenti...!"
Teriak Rangga keras menggelegar, membuat para penduduk yang terus maju jadi berhenti seketika.
"Tolong.... Tolong aku, Kanjeng Gusti Prabu...!"
Ratap Ki Somareksa, ketakutan sambil bersembunyi di belakang pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kisanak! Apa maksudmu melindunginya? Orang itu tidak layak dilindungi. Dia bersekutu dengan iblis betina itu, untuk menimbulkan kekacauan di desa ini!"
Bantah salah seorang penduduk dengan suara lantang.
"Aku tidak bermaksud melindunginya. Hanya saja menghindari kalian dari tindakan biadab...,"
Teriak Rangga, tak kalah lantang.
"Orang itu seperti binatang. Dan dia patut menerima ganjaran yang setimpal!"
Sahut yang lain dengan suara bernada gusar. Penduduk lain menimpali dengan nada sama. Mereka berteriak-teriak seraya memaki dan menyumpah-nyumpah Kepala Desa Somareksa.
"Berikan dia pada kami. Dan, pergilah kau dari sini! Jangan campuri urusan kami!"
Teriak yang lainnya.
"Anak muda! Kau orang asing di sini! Tidak perlu campur tangan!"
"Pergi kau...! Pergiii...!"
Meski berteriak-teriak garang begitu, namun tak seorang pun yang berani melakukan pelemparan batu seperti tadi.
Agaknya mereka merasa yakin kalau pemuda itu bukan orang sembarangan.
Apalagi dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.
Dengan penampilan seperti itu Pendekar Rajawali Sakti jadi kelihatan wibawa sekali.
"Aku memang orang asing. Tapi aku paling tak suka melihat kalian bertindak semena-mena!"
Sahut Rangga, dingin.
"Kalau begitu, tangkap iblis betina itu. Dan enyahkan dia dari desa ini!"
"Ya! Bawa dia pergi. Dan, jangan sampai datang ke desa ini lagi!"
Timpal yang lain.
"Diamlah kalian semua...!"
Teriak pemuda itu lantang. Orang-orang itu terdiam. Mereka ingin mendengarkan, apa yang akan dikatakan.
"Aku akan bicara pada tabib itu. Dan kalau perlu, tinggal di desa ini barang beberapa hari untuk menyelidikinya. Sekarang bubarlah. Dan jangan buat kerusuhan di sini! Ayo, bubaaar...!"
Teriak Pendekar Rajawali Sakti. Meski menggerutu dan tidak puas, tapi perlahan-lahan para penduduk satu persatu meninggalkan tempat itu. *** "Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...,"
Ucap seorang gadis cantik, begitu Pendekar Rajawali Sakti yang ditemani Ki Somareksa telah berada di dalam rumah tabib itu.
Bibir gadis ini yang merah merekah menyungging senyum.
Tangan kanannya terjulur.
Jarak mereka dekat sekali, sehingga Rangga terpaksa mundur sedikit seraya menyambut jabat tangannya.
"Namaku Dewi Saraswati. Kau boleh memanggilku Dewi atau sesuka hatimu...,"
Lanjut tabib yang bernama Dewi Saraswati ini.
"Rangga...,"
Sebut Rangga, memperkenalkan diri.
"Hm, bagus sekali namamu!"
"Maaf, kejadian tadi membuat mereka yang hendak berobat padamu ikut pergi,"
Ucap pemuda itu, tidak menanggapi pujian Dewi Saraswati.
"Tidak mengapa. Mereka mengerti keadaan. Silakan dicicipi kopi dan kue-kuenya. Maaf aku tidak punya sesuatu yang istimewa. Hanya sekadar kue-kue dan kopi hangat ini."
"Kau tidak perlu repot-repot, Dewi. Aku sudah dijamu Ki Somareksa. Dan, bukan maksudku menolak hidangan yang kau suguhkan. Tapi, aku punya pantangan untuk tidak makan dan minum dalam waktu yang dekat,"
Kilah Rangga mencari alasan.
Bukannya tanpa alasan Pendekar Rajawali Sakti menolak halus hidangan yang disediakan tuan rumah.
Sejak semula mata hatinya berkata kalau gadis yang dijuluki Tabib Siluman ini bukan orang baik-baik.
Sikapnya yang terlihat sedikit genit, membuatnya jengah.
Tadi saat bersalaman, pandangan matanya begitu tajam seperti hendak menghujam sanubarinya.
Rangga bisa merasakan daya sihir kuat dari pandangan mata itu.
Juga jabatan tangan yang membuat tubuhnya merinding dan sedikit gemetar.
Wanita ini memang cantik.
Tapi bukan itu yang membuat tubuhnya merinding dan gemetar.
"Hm.... Sayang sekali...,"
Gumam Dewi Saraswati dengan wajah kecewa.
"Ya, sayang sekali...,"
Ki Somareksa membeo.
"Tapi bukan karena terpengaruh cerita orang-orang, bukan?"
Lanjut gadis ini sambil tersenyum kecil.
"Maksudnya?"
"Mereka yang berobat, lalu ditemukan mati di telaga itu. Kemudian, kau mengira bahwa aku membubuhkan racun pada makanan dan minuman ini...,"
Jelas Dewi Saraswati, terus terang.
"Hm, tidak...,"
Sahut Rangga berdusta.
"Yaaah, syukurlah. Nah, kini apa yang bisa kubantu untuk mempermudah tugas penyelidikanmu? Orang-orang menuduh bahwa aku penyebab kematian beberapa orang pemuda. Juga, penyebab mengapa banyak pemuda kabur dan meninggalkan desanya. Kau sudah lihat dan dengar sendiri, bukan? Semuanya menuduhku begitu. Padahal, aku sama sekali tidak melakukannya. Kau bisa lihat sendiri. Aku mengobati dan menyembuhkan mereka yang datang ke sini dengan ikhlas, tanpa maksud apa pun selain ingin mengabdikan kepandaian yang kumiliki...."
Pendekar Rajawali Sakti tidak banyak bicara.
Dan dia hanya mendengarkan wanita itu bicara panjang lebar tentang perlakuan-perlakuan buruk yang diterimanya dari penduduk desa-desa di sekitar Telaga Air Mata Dewa.
*** Rangga memutuskan untuk menerima tawaran menginap di rumah Ki Somareksa.
Selain di tempat kepala desa itu ada sebuah kamar kosong, Rangga pun seperti punya kewajiban untuk melindungi Ki Somareksa dari amukan penduduk yang sewaktu-waktu akan meletus lagi.
Sementara bagi Ki Somareksa hal itu seperti anugerah saja.
Karena, seorang raja sudi menginap di tempatnya.
Dia tetap merasa yakin kalau pemuda itu adalah Raja Karang Setra! Kamar yang ditempati Rangga tidak terlalu luas, tapi cukup tertata rapi.
Tampak sebuah tempat tidur dari kayu jati yang diukir indah, dan sebuah lemari.
Di sebelahnya terdapat meja yang di atasnya terletak guci beserta dua cangkir dan sebuah wadah dari kuningan berisi buah-buahan segar.
Tok! Tok! Tok! Belum sempat Rangga merebahkan diri, terdengar pintu kamar diketuk.
"Masuk! Tidak dikunci...!"
Ujar Pendekar Rajawali Sakti. Begitu pintu terbuka, seorang wanita muda masuk. Dan dia langsung bersimpuh di muka pintu dengan kepala tertunduk.
"Siapa kau...?"
Tanya Pendekar Rajawali Sakti ramah.
"Hamba Warsih, diutus Ki Somareksa untuk meladeni semua keperluan Kanjeng Gusti Prabu...,"
Kata gadis bernama Warsih ini.
"Terima kasih, Warsih. Tapi sekarang aku belum memerlukan apa-apa. Aku ingin istirahat Kau boleh keluar...,"
Ucap Rangga, ramah.
"Hamba menunggu di luar. Kanjeng Gusti Prabu...."
"Ya, silakan...."
Warsih beringsut setelah menghaturkan sembah.
Lalu dia berbalik melangkah keluar seraya menutup pintu.
Rangga tidak buru-buru merebahkan diri.
Cepat dia duduk bersila untuk bersemadi.
Kedua telapak tangannya telah merapat di depan dada.
Matanya perlahan-lahan memejam, memusatkan perhatian pada satu titik.
Di luar, malam merambat semakin kelam.
Hanya gemersik dedaunan tertiup angin yang terdengar.
Cukup lama Pendekar Rajawali Sakti merasakan keheningan.
Dan tiba-tiba kelopak mata Rangga terbuka.
Telinganya mendengar bisikan halus sekali.
Dan rasanya, bagai disapu angin.
"Aku tahu kau mendengar suaraku. Keluarlah.... Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu...."
Setelah merasa yakin kalau bisikan itu bukan sekadar khayalan, Rangga menghentikan semadinya.
Cepat dia beranjak dari tempat tidur.
Matanya melirik sekilas ke arah pintu, kemudian melangkah ke dekat jendela.
Bila keluar dari jendela , rasanya tidak akan menarik perhatian penghuni rumah.
Begitu pikirnya.
Angin dingin segera menyambut begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti berada di luar.
Rangga menutup jendela, kemudian memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Tampak gelap.
Di langit terlihat awan hitam berkumpul, membentuk hamparan permadani luas yang semakin menambah gelapnya malam.
"Ikuti aku...."
Kembali terdengar bisikan. Srak! "Hm...."
Rangga menggumam pelan ketika melihat sesuatu bergerak tidak jauh di depannya.
Sesosok bayangan yang mirip manusia, melesat cepat ke arah tenggara.
Dan berarti, menuju Telaga Air Mata Dewa.
Saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti mengempos tenaga, dan berkelebat mengejar.
Kejar-mengejar di antara mereka tidak terlalu lama.
Orang yang dikejar seperti membiarkan dirinya terus diikuti.
Bahkan memberi kesempatan pada pengejarnya agar tidak kehilangan jejak.
Begitu tiba di tepi Telaga Air Mata Dewa, sosok bayangan itu berhenti berlari.
Dia berdiri tegak menghadap ke telaga.
Dan Rangga cepat pula berhenti, namun tidak mau berada terlalu dekat dengannya.
Pendekar Rajawali Sakti mengambil jarak di sebelah kiri, sejauh tujuh langkah.
Matanya melirik sekilas pada sosok yang tubuhnya terbungkus kain hitam.
Demikian pula bagian muka.
Sehingga, pemuda itu tidak bisa mengenalinya.
Namun dari bentuk tubuhnya yang ramping, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau sosok itu adalah seorang wanita.
Keyakinannya makin mantap.
"Apa maksudmu mengajakku ke sini?"
Tanya Rangga datar. Tak ada sahutan, selain semilir angin yang mengibar-ngibarkan rambut. Sementara hawa dingin terasa menusuk tulang sumsum.
"Siapa kau sebenarnya. Dan apa maksudmu mengajakku ke sini?"
Tanya Rangga.
"Telaga...,"
Sahut sosok itu sambil menuding ke bawah. Suaranya terputus. Rangga memandang heran padanya. Sejak tadi sosok ini sedikit pun tak melirik ke arahnya.
"Nisanak! Aku tidak cukup sabar untuk melayani kemauanmu. Katakan, apa yang kau inginkan. Dan, siapa kau sebenarnya?!"
Desak Pendekar Rajawali Sakti sedikit keras. Seketika wanita berkerudung hitam itu menoleh. Dan sesaat Rangga terperanjat kaget melihat sepasang mata berkilau tajam laksana mata seekor kucing di kegelapan.
"Kau tidak sabar, Bocah? Padahal kematianmu sudah dekat...!"
Desis wanita itu tajam.
"Hiaaat..!"
Selesai berkata demikian, mendadak wanita itu melejit bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Rangga mendapat serangan mendadak dengan gerakan sedemikian cepat.
Cepat tubuhnya menunduk, dan bergulingan ke belakang.
Sementara sebelah tangannya masih menangkis hantaman tangan sosok itu.
Plak! "Uhhh...." *** Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan.
Tangannya yang habis memapak terasa linu dan dingin.
Disadari kalau tenaga dalam sosok itu sangat tinggi.
Namun begitu secepat kilat dia bangkit dan bersiap menghadapi serangan berikutnya.
Sementara wanita itu telah berdiri tegak di depan Rangga dalam jarak tujuh langkah.
Sorot matanya masih tajam ketika memandang pada pemuda berbaju rompi putih itu.
"Kau akan mati di dasar telaga ini, karena berani mencampuri urusan orang!"
Desis wanita itu. Suara sosok ini terdengar serak dan parau. Dan sepertinya, dikeluarkan dari tenggorokan.
"Siapa pun adanya kau, jangan harap bisa menyurutkan langkahku untuk menyelidiki pembunuh keji di desa ini!"
Balas Rangga, tak mau kalah gertak.
"Kalau begitu kau memang harus mampus!"
Setelah berkata begitu, kembali sosok itu melesat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Namun kali ini Rangga telah siap menangkis. Plak! "Heh?!"
Pendekar Rajawali Sakti sempat terkejut. Ternyata gerakan sosok ini cepat bukan main, begitu habis menangkis, sosok itu kembali menyerang. Dan ini membuat Rangga jadi kewalahan, tanpa sempat balas menyerang.
"Sial...!"
Desis Rangga geram, sambil terus menghindar dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib".
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti? Maaf, riwayatmu hanya sampai di sini!"
Leceh sosok ini.
"Terserah, bagaimana kau memanggilku. Yang jelas, aku tidak akan menyerah begitu saja!"
"Hik hik hik...!"
Orang berselubung hitam itu malah tertawa mengikik mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Suaranya serak, tapi nyaring seperti membelah udara malam yang dingin.
"Hik hik hik...! Pemuda dungu! Kau kira bisa menyelesaikan segala persoalan dengan kepandaianmu yang masih seujung kuku!"
Ejek sosok itu.
"Heaaat..!"
Disertai teriakan keras sosok ini menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Tubuhnya meluruk sambil melepaskan pukulan bertubi-tubi ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dengan wajah dingin.
Pendekar Rajawali Sakti berusaha melayaninya dengan mengandalkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus "Rajawali Sakti".
Kadang tubuhnya melenting ringan, namun tak jarang meluruk deras sambil melepaskan pukulan berbahaya.
"Hik hik hik...! Jurus yang hebat.... Tapi apakah kau kira mampu membunuhku?! Ayo, carilah bagian terempuk dari tubuhku!"
Ejek sosok ini.
"Heaaat...!"
Tanpa menunggu lebih lama, Pendekar Rajawali Sakti meningkatkan serangannya. Langsung tangannya mengibas disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan rasanya, kali ini serangannya akan telak mendarat di sasaran. Tapi.... Bet! Klap! "Heh?!"
Kembali Rangga dibuat terkejut ketika kibasan tangannya membabat tempat kosong. Padahal jelas, tangannya menebas ke arah leher. Namun ternyata tahu-tahu saja sosok itu lenyap entah ke mana.
"Hik hik hik...!"
Tiba-tiba terdengar tawa cekikikan. Dan ini semakin membuat Rangga kalap. Namun sebelum dia kembali menyerang, mendadak.... Begkh! "Akh...!"
Rangga mengeluh kesakitan begitu dadanya terhantam pukulan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan kiri mendekap dada.
"Heaaa...!"
Terdengar jeritan serak tapi melengking, dari mulut sosok yang tak terlihat lagi. Dan Rangga hanya merasakan kelebatan angin yang cepat bagai kilat. Dan.... Duk! "Aaakh...!"
Untuk kedua kalinya Rangga menjerit kesakitan.
Satu hantaman keras kembali menghajar perutnya.
Pendekar Rajawali Sakti terjungkal ke belakang dengan darah menetes dari sudut bibirnya.
Hantaman itu cepat dan keras bukan main.
Kalau saja tidak diiringi pengerahan tenaga dalam tinggi niscaya tidak akan membuat pemuda itu menderita luka dalam.
Tapi yang dirasakannya terasa berat bukan main, seperti dihantam bandul besi yang beratnya puluhan kati! "Hik hik hik...! Pendekar Rajawali Sakti, pendekar masyhur kata orang.
Memiliki kepandaian laksana dewa.
Tapi, siapa yang nyana hari ini akan menemui ajalnya di tangan orang yang tak terkenal.
Hik hik hik...!"
Ledek orang berkerudung hitam yang kini tak terlihat bentuk wujudnya.
"Uhhh...!"
Rangga mengeluh tertahan. Dengan sekuat tenaga, dia berusaha menahan rasa sakit yang diderita, dan bersiaga terhadap serangan berikut. Padahal pemuda itu mulai bingung, bagaimana caranya menghadapi ilmu aneh yang diduga sebagai ilmu "Halilintar".
"Hup...!"
Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti memejamkan kedua kelopak mata, siap menghadapi serangan dengan mengandalkan pendengaran. *** Pendekar Rajawali Sakti mengira, dengan cara mengerahkan aji "Pembeda Gerak dan Suara", dapat mengimbangi serangan.
"Heaaa...!"
Terdengar teriakan nyaring.
Dan Rangga merasakan adanya serangkum angin serangan dari depan.
Buru-buru tubuhnya melejit ke belakang sambil berusaha memapak.
Tapi tetap saja Rangga sia-sia saja mengerahkan aji "Pembeda Gerak dan Suara".
Karena justru, perhatiannya jadi pecah tertuju ke segala arah.
Dia yang merasa serangan datang dari depan, sungguh tak menduga kalau tiba-tiba serangan itu berhenti.
Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, tiba-tiba satu hajaran menghantam punggungnya.
Desss...! "Aaakh...!"
Pendekar Rajawali Sakti tersungkur ke depan. Cepat tubuhnya bergulingan ke kiri seraya membuka kelopak mata. Pada saat yang sama serangan selanjutnya datang.
"Yeaaat...!"
Dengan untung-untungan Rangga kembali bergulingan. Dug! Dug! Begitu Pendekar Rajawali Sakti melihat ke arah tadi, tampak permukaan tanah melesak ke dalam sampai batas lutut. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila jejakan itu mengenainya.
"Apakah kau telah berdoa untuk kematianmu, Bocah? Pendekar Rajawali Sakti yang malang! Siapa kini yang bisa menolongmu dari kematian? Hik hik hik...!"
Ejek sosok yang tak terlihat wujudnya.
"Jahanam terkutuk! Sebelum kau mati di tanganku, barangkali kau mau mengakui dosa-dosamu terlebih dulu!"
Bentak Rangga, seraya bangkit berdiri.
"Dosa? Dosa apa gerangan?!"
"Bukankah kau yang telah membunuh pemuda-pemuda desa ke dalam telaga ini?"
"Hik hik hik...! Dari mana kau punya dugaan seperti itu?"
"Kau tidak butuh dugaanku. Sebaliknya, jawab saja pertanyaanku tadi!"
"Sebagai orang yang mau mampus, rasanya tidak keberatan kujawab pertanyaanmu kalau saja bisa memuaskan hatimu. Nah! Aku tidak tahu-menahu soal pemuda-pemuda yang mati di telaga ini. Puaskah kau dengan jawabanku?"
"Dusta! Kaulah penyebab kematian mereka...!"
"Hik hik hik...! Apa pun penilaianmu, apa peduliku? Pertanyaanmu sudah kujawab."
"Kau memang iblis wanita yang tidak malu! Kau perempuan jalang yang haus pemuda-pemuda untuk memuaskan nafsu iblis yang bersemayam di jiwamu!"
Maki Pendekar Rajawali Sakti geram.
"Hik hik hik...!"
Mendengar makian itu, terdengar tawa mengikik dari sosok yang tak jelas ini. Suaranya masih tetap serak dan parau. Tapi, terdengar amat menakutkan di tengah malam buta seperti sekarang.
"Akan kubuktikan sekarang juga! Heaaat...!"
Disertai teriakan menggelegar, menderu angin serangan dari sosok yang tak jelas.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti dengan mengandalkan pendengaran yang tajam hanya berusaha menghindar dengan jurus "Sembilan Langkah Ajaib".
Kendati demikian tetap saja dia semakin keteter menghadapi serangan-serangan dahsyat ini.
"Hiaaat!"
Secara meraba-raba, Pendekar Rajawali Sakti menghindar ke samping ketika merasakan angin sambaran ke dadanya. Pada saat yang sama, kembali datang serangan mengarah ke leher. Cepat bagai kilat, Rangga berusaha menyampoknya. Plak! "Uhhh...!"
Kembali Rangga mengeluh tertahan, begitu terjadi benturan tangan.
Mukanya berkerut menahan sakit.
Pergelangan tangan sosok yang tak jelas itu terasa dingin amat menusuk.
Dan belum lagi Rangga sempat mengatur jarak untuk menghindari serangan selanjutnya, satu sambaran berkelebat ke arah tengkuknya.
Dan....
Desss...! "Akh...!"
Pendekar Rajawali Sakti mengeluh tertahan. Tubuhnya sempoyongan dan bergeser ke samping seperti kehilangan keseimbangan. Dan belum sempat memperbaiki keseimbangannya.... Begkh! "Aaa...!"
Byurrr...! Dalam keadaan begitu, tiba-tiba satu hajaran keras mendarat di perut Rangga. Pemuda itu terjungkal dan tercemplung ke dalam telaga disertai pekik kesakitan. Tubuhnya tidak bergerak langsung tenggelam ke dasar Telaga Air Mata Dewa.
"Hik hik hik...! Mampuslah kau sekarang, Bocah! Mulai hari ini tidak akan pernah terdengar lagi nama Pendekar Rajawali Sakti. Kau telah terkubur di dasar telaga ini. Dan jasadmu akan menjadi makanan bagi penghuninya. Hik hik hik...!"
Terdengar suara meledek yang disertai tawa mengikik dari sosok yang tak jelas ini.
Perlahan-lahan, sosok yang tak jelas memperlihatkan jasadnya kembali.
Kemudian matanya melirik ke telaga.
Disertai dengusan sinis, dia berkelebat menghilang dari tempat itu.
Belum lama sosok itu pergi, sekonyong-konyong sebuah bayangan hitam lain bergerak cepat ke arah telaga.
Dan....
Byur...! Sosok itu langsung menceburkan diri ke dasar telaga.
Lalu tak lama dia muncul kembali membawa jasad Pendekar Rajawali Sakti.
Dan tanpa berpijak lagi, tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu.
Suasana kembali sunyi, dan tenang seperti tak pernah terjadi apa-apa....
*** Rangga tidak tahu sudah berapa lama tak sadarkan diri.
Namun ketika siuman, kepalanya terasa berat.
Pandangannya berputar-putar begitu matanya membuka.
Dada dan perutnya terasa sakit bukan main.
Pemuda itu berusaha bangkit, namun sebuah tangan menempel di keningnya untuk menahan geraknya.
Perlahan-lahan kepalanya menoleh ke samping kanan.
Tampak seorang bertubuh ramping duduk bersila di samping kanannya.
Pandangannya berusaha ditegaskan, namun yang terlihat hanya samar-samar.
"Ohhh.... Di mana aku sekarang...?"
Keluh Rangga lirih.
"Kau di tempat yang aman, Kisanak...."
Pendekar Rajawali Sakti kembali berusaha menegaskan pandangan, namun tetap saja belum bisa melihat dengan terang.
"Si..., siapakah kau ini?"
Tanya Rangga, pelan sekali.
"Aku yang menolongmu...!"
"Aku..., aku...."
Pendekar Rajawali Sakti berusaha mengingat-ingat, namun kepalanya terasa berat dan pusing sekali.
"Jangan banyak bergerak atau berpikir. Keadaanmu gawat, Kisanak. Istirahatlah. Dan tenangkan pikiranmu...."
"Ohhh...."
Pendekar Rajawali Sakti berusaha istirahat dan menenangkan pikirannya. Namun peristiwa yang menimpa dirinya terbayang tiba-tiba dan membuatnya terjaga. Tiba-tiba dia bangkit dari tidurnya.
"Berbaringlah. Dan jangan dulu bergerak. Itu akan membuat luka dalam yang kau derita semakin parah...,"
Ujar sosok berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup topeng.
Suara sosok ini terdengar lembut dan terasa merdu di telinga.
Sehingga rasa nyeri yang baru saja diderita Rangga sedikit terobati.
Perlahan kembali tubuhnya rebah kembali.
Rangga merasakan jari-jari yang lembut mengusap-usap dahinya ketika matanya memejam.
Usapan itu agaknya bukan sembarangan, sebab pemuda itu merasakan hawa hangat mengalir di sekitar kepala, kemudian turun ke bawah hingga merata ke sekujur tubuhnya.
Rasa sakit yang dirasakannya perlahan-lahan mulai berkurang.
Dan tubuhnya yang tadi lemah seperti tak bertenaga, kini terasa lebih baik.
"Apa yang kau rasakan saat ini?"
Tanya sosok berpakaian serba hitam yang bila melihat bentuk tubuhnya adalah seorang wanita ini.
Pendekar Rajawali Sakti mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya untuk memperhatikan lebih jelas sosok itu.
Seorang bertubuh ramping itu memakai baju hitam pudar, berukuran agak besar.
Rambutnya panjang sepinggang dan dibiarkan tergerai begitu saja.
Tapi yang paling menyolok adalah sebuah topeng kayu yang melekat menutupi wajahnya.
Topeng kayu itu berwarna putih memperlihatkan sepasang bola mata yang jernih.
"Baik...."
Rangga berusaha bangkit dan duduk saling berhadapan.
Kini baru disadari kalau mereka duduk beralas tikar pandan dalam sebuah ruangan lebar.
Tidak jauh di dekatnya, tersedia dua mangkuk porselen yang berisi cairan berwarna kehitaman.
Sedang satu lagi berwarna merah.
Kemudian pada jarak sekitar empat langkah di kanannya terlihat sebuah jendela berjeruji kayu yang terbuka lebar, sehingga cahaya matahari masuk dengan bebasnya.
"Kaukah yang menolongku?"
Tanya Pendekar Rajawali Sakti setelah mengingat-ingat kejadian yang menimpa dirinya.
"Sudah kukatakan tadi...."
"Aku amat berterima kasih dan berhutang budi padamu!"
Ucap Rangga seraya membungkuk dan menghaturkan hormat. Orang bertopeng itu terdiam beberapa saat sampai Rangga kembali duduk tegak dan memandang padanya.
"Namaku Rangga. Aku...."
Pemuda itu tidak meneruskan kata-katanya ketika orang bertopeng ini mengangkat sebelah tangannya.
"Aku sudah tahu siapa kau sebenarnya...,"
Kata orang bertopeng ini, sepergi menggumam.
"Dari mana kau tahu?"
Tanya Rangga dengan kening berkerut.
"Sejak pertama kau memutuskan datang ke tempat ini...."
"Maksudmu?"
Orang bertopeng itu bangkit. Dan kini baru disadari Rangga kalau kedua kaki wanita bertopeng ini buntung sebatas lutut.
"Kau lihat apa yang terjadi padaku, bukan?"
Kata wanita ini, seraya kembali duduk. Pendekar Rajawali Sakti mengangguk.
"Untuk inilah aku membawamu ke tempat ini."
Rangga terdiam. Tapi wajahnya jelas kelihatan bingung. Dia sama sekali belum mengerti maksud kata-kata orang bertopeng ini.
"Akulah yang memanggilmu ke sini melalui tenaga batin. Karena menurutku, kaulah satu-satunya orang yang bisa mengalahkannya."
"Kau memanggilku ke sini?"
Tanya Rangga, bertambah bingung.
"Ya! Tujuanmu sebenarnya tidak ke sini. Namun sejak berada di istanamu, aku telah menghubungimu. Bahkan berusaha mengalihkan perjalananmu ke sini melalui tenaga batin. Aku ingin minta pertolonganmu untuk membalaskan dendamku pada seseorang...."
"Siapa yang kau maksud?"
"Orang berpakaian serba hitam yang bertarung denganmu di tepi Telaga Air Mata Dewa."
Rangga terdiam dan tidak langsung menjawab.
"Bagaimana? Apakah kau mau menolongku?" *** "Orang itu memiliki kepandaian hebat. Dan aku sendiri berhasil dikalahkannya. Bagaimana mungkin kau memintaku untuk membalaskan dendammu...?"
Tanya Rangga, lesu.
"Itu tidak menjadi masalah. Sehebat apa pun seseorang, pasti ada kelemahannya. Dan aku tahu kelemahannya!"
"Kalau tahu kelemahannya, kurasa kau tidak perlu pertolonganku lagi."
Orang bertopeng itu terdiam, lalu kembali duduk bersila.
"Aku tidak bisa...,"
Desah orang bertopeng ini lirih.
"Kenapa?"
Tanya Rangga.
"Kemampuanku tak cukup untuk melawannya. Lagi pula, aku telah terkena racunnya yang amat ganas,"
Sahut wanita bertopeng itu pelan.
"Kau tentu mengenal orang itu?"
Orang bertopeng ini mengangguk.
"Siapa dia?"
"Kakak seperguruanku...."
Rangga terdiam. Sementara orang bertopeng itu pun ikut membisu.
"Bagaimana?"
Tanya orang bertopeng ini setelah sekian lama suasana hening.
"Bagaimana caraku untuk mengalahkannya?"
Rangga balik bertanya.
"Dia memiliki aji "Halimunan"
Yang membuat lawan tidak mampu menyarangkan pukulan.
Sedangkan dia leluasa memukul lawan.
Di samping itu, dia pun memiliki pukulan sakti bernama "Sinar Api Neraka".
Hanya kedua hal itu agaknya yang perlu kau perhatikan.
Bila kau berhasil mematahkan kedua ilmu andalannya, maka aku yakin kau akan mampu mengalahkannya."
Pendekar Rajawali Sakti Istana Ratu Sihir Pendekar Rajawali Sakti Kembang Karang Hawu Pendekar Rajawali Sakti Istana Ratu Sihir