Ceritasilat Novel Online

Penghuni Telaga Iblis 1


Pendekar Rajawali Sakti Penghuni Telaga Iblis Bagian 1


.

   124.

   Penghuni Telaga Iblis Bag.

   1 19.

   September 2014 um 09.20 Pendekar Rajawali Sakti episode.

   PENGHUNI TELAGA IBLIS Oleh Teguh S.

   Penerbit Cintamedia, Jakarta Desa Weton Nyelap kali ini terasa hening.

   Ma-lam yang pekat sepertj larut dalam mendung yang sejak sore tadi memayungi desa yang cukup ramai ini.

   Gerimis mulai turun satu-satu.

   Di ujung langit sana sesekali terlihat kilat yang menjilat angkasa.

   Sejenak suasana jadi terang benderang, kemudian kembali gelap pekat.

   Glarrr! "Oeee...! Oeee...!"

   Di ujung desa yang menghadap ke sebuah ju-rang yang cukup dalam, berdiri sesosok tubuh ramping sambil menimang seorang bayi yang terus me-nangis.

   Ketika guntur membelah langit, tangis bayi itu berhenti sesaat.

   Dari denyut jantungnya yang berdetak cepat, agaknya bayi Itu terkejut kaget.

   Namun tangisnya kembali meledak, ketika rasa dingin dan lapar kembali menyengat "Anakku....

   Maafkan ibu, Nak.

   Ibu terpaksa melakukannya terhadapmu.

   Rasanya, tak ada cara lain lagi untuk mengobatimu.

   Ibu tak tahu harus berbuat apa.

   Hidup pun rasanya kau tak berguna.

   Bahkan hanya menjadi cercaan serta hinaan belaka yang lebih menyakitkan...."

   Perempuan itu menangis terisak, kemudian mengangkat bayinya agak tinggi.

   Lalu...

   Tidak! Kau tak boleh mati! Susah payah kau kulahirkan.

   Dan kau adalah anakku satu-satunya! Meskipun muka buruk dan tubuhmu menjijikkan, kau tetap anakku! Kau tetap anakku....'"

   Jerit perempuan yang rupanya ibu si bayi, sambil memeluk anaknya kembali erat-erat.

   Glarrr! Gemuruh petir kembali menggelegar.

   Ibu muda itu tersentak, dan terus memeluk anaknya, segera dia berlari kecil meninggalkan tempat itu, dan terus menelusuri jalan setapak melewati hutan yang tak begitu lebat.

   Kemudian, perempuan itu sudah tiba di sebuah pondok yang berada agak terpisah dari pondok-pondok lain di Desa Weton Nyelap ini.

   "Kang Rukmana, buka pintu! Buka pintunya, Kang...!"

   Teriak perempuan itu, ketika sudah berada di depan pintu.

   Krieeet! Perempuan itu mendorong pintu yang tak ter-kunci kemudian menyeruak masuk ke dalam.

   Segera bayinya diletakkan di atas tempat tidur.

   Bola matanya mencari-cari ke sekeliling ruangan, kemudian kembali menatap bayinya dengan wajah penuh haru.

   Tak terasa air matanya menitik satu persatu.

   "Kang Rukmana, oh...! Maafkan aku, Kang. Sejak kematianmu, aku jadi sering kalut. Aku masih merasa kalau kau ada di rumah ini mengawasi kami. Kang Rukmana.... Aku tak tahu, apa yang harus kulakukan terhadap Pulang Geni. Keadaannya terus menyiksaku...,"

   Desah perempuan itu lirih.

   Perlahan-lahan dibelai bayinya itu.

   Bocah berusia kurang dari setahun itu terdiam.

   Bola matanya menatap lucu ke arah ibunya.

   Terlihat bibirnya tersenyum beberapa kali, seperti hendak mengajak bercanda.

   Dan perempuan itu coba tersenyum, walau terlihat pahit.

   Tak kuasa dia menahan haru, sehingga sesekali berpaling ke arah lain.

   Bayi itu memang lain dari bayi lainnya.

   Sekujur tubuhnya dipenuhi koreng bernanah yang menebarkan bau busuk.

   Sehingga akan menimbulkan perasaaan jijik bagi siapa saja yang melihatnya.

   Seluruh penduduk di Desa Weton Nyelap ini telah mengetahui.

   Bahkan telah mengucilkan keluarga ini, karena penyakit yang dibawa bayi bernama Pulang Geni.

   Mereka takut, penyakit itu akan menular pada beberapa orang penduduk desa yang pernah bertandang di rumah ini.

   Dan kenyataannya memang demikian.

   Tak lama saja para penduduk tertular, dan kedapatan tewas.

   Padahal beberapa dukun dan tabib hebat telah didatangkan.

   Namun, tak seorang pun yang berhasil mengobati.

   Sehingga, orang-orang di desa ini tak ada yang berani mendekat ke rumah itu, karena takut tertular penyakit aneh bayi bernama Pulang Geni.

   Namun, kenyataan ada yang aneh.

   Ternyata, ibu si bayi sama sekali tak ketularan penyakit anaknya itu.

   Padahal, bapaknya sendiri tertular dan meninggal karena penyakit yang diderita anaknya.

   Dan yang lebih aneh lagi.

   Ibu muda itu malah terlihat lebih cantik dari biasanya! Sebagai seorang janda dengan paras cantik, perempuan bernama Setiasih itu memang sering menjadi incaran pemuda-pemuda di desa ini.

   Beberapa orang kelaki-lakiannya tergoda, sering berkunjung dengan maksud tertentu, sambil berpura-pura iba atas kemalangan yang menimpa anaknya.

   Tapi, justru merekalah yang kemudian tertular penyakit si bayi, dan tak berapa lama tewas.

   Inilah yang membuat beberapa pemuda desa tak ada lagi yang berani mendatangi rumahnya, meski menyimpan hasrat hati yang menggebu-gebu terhadap janda muda bernama Setiasih itu.

    *** Seseorang berlari-lari kecil di antara gerimisnya air hujan yang mulai merebak menjadi hujan lebat.

   Dia melewati sebuah tikungan jalan, lalu memasuki pekarangan sebuah rumah yang cukup besar.

   Tak lama, segera diketuknya pintu dengan tak sabar.

   "Ki, tolong bukakan pintu! Ki Gendi, tolong bukakan pintu..!"

   Sebentar saja terdengar langkah terseret di balik pintu. Tak berapa lama pintu terbuka. Dari dalam muncul, sesosok tubuh kurus berwajah lusuh yang hanya mengenakan sarung.

   "Oh, Wongso.... Kukira siapa? Ada apa hujan-hujan begini, seperti dikejar setan?"

   "Anu, Ki. Si Digul..., mati!"

   Sahut orang yang dipanggil Wongso itu lirih.

   "Hm!"

   Gumam laki-laki bernama Gendi sambil menggeleng lemah.

   "Sudah saatnya kita harus bertindak, Ki!"

   Lanjut Wongso geram.

   "Apa maksudmu?"

   "Yang lain sudah setuju. Mereka hanya me-nunggu perintah dari Ki Gendi. Kami sudah tak tahan! Kalau terus dibiarkan, akan semakin banyak korban jatuh!"

   "Kenapa si Digul masih nekat? Padahal, dia kan sudah tahu kalau mendekati Setiasih selagi anaknya masih ada, sama artinya bunuh diri...?"

   Gumam laki-laki itu lagi.

   "Aku juga telah memperingatkannya. Tapi, dasar si Digul mata keranjang. Dia bisa buta, begitu melihat Setiasih yang semakin cantik itu!"

   "Tapi, apa kita harus membunuh mereka?"

   "Ki Gendi kan sebagai kepala desa, pasti bisa menemukan jalan keluarnya. Kita tak bisa terus hidup dibayangi ketakutan begini. Cepat atau lambat, seluruh Desa Weton Nyelap akan ketularan!"

   Kepala Desa Weton Nyelap itu terdiam beberapa saat.

   Beberapa bulan belakangan ini, para penduduk terus mendesaknya agar mengusir Setiasih serta anaknya.

   Bahkan yang lebih keras lagi, menginginkan agar ibu dan anak itu dibunuh saja.

   Tapi sejauh ini, laki-laki setengah baya itu belum mengambil tindakan apa-apa.

   Memang, bagaimanapun juga, akal sehat serta sikapnya yang selama ini bijaksana masih bisa melihat kejadian itu dengan kepala dingin.

   Penduduk yang ketularan biasanya adalah pemuda-pemuda desa lelaki hidung belang yang bermaksud mengoda janda berwajah cantik itu.

   Baik dengan rayuan maupun tindakan kasar.

   Akibatnya bisaa diduga.

   Selain keinginan mereka gagal, orang-orang itu pun terkena penyakit yang menjijikkan.

   Dan akhirnya, penyakit itu ditularkan pada orang lain yang berdekatan.

   Padahal, selama ini Setiasih dan bayinya jarang berada di luar rumah.

   Mereka selalu mengurung diri, dan tak pernah bercampur penduduk lainnya, sejak anak pertamanya itu me-nimbulkan masalah.

   "Bagaimana, Ki Gendi? Kita harus mengambil tindakan sekarang juga. Kalau tidak, semua orang desa akan mengamuk!"

   Tanya Wongso mengingatkan.

   "Kenapa kau berkata begitu?"

   "Ki! Seluruh penduduk desa sekarang tengah berkumpul di rumah Setiasih. Mereka telah siap mencincang ibu dan anak itu. Ki Gendi cepat ber-tindak. Kalau tidak, mereka akan gelap mata!"

   "Astaga! Kenapa kau tak bilang dari tadi?!"

   Sentak kepala desa itu, seraya buru-buru masuk ke dalam untuk berpakaian.

   Tak berapa lama, Ki Gendi telah keluar dengan sebilah golok terselip di pinggang.

   Laki-laki sete-ngah baya itu berlari-lari kecil ke samping rumah-nya, kemudian telah kembali bersama dua pelepah daun pisang yang cukup besar.

   "Ayo lekas kita ke Sana!"

   Lanjut Ki Gendil sambil menyerahkan sebelah pelepah daun pisang itu pada Wongso.

    *** Ki Gendil Dan Wongso berlari-lari kecil menuju ujung desa di sebelah tenggara.

   Dari kejauhan terlihat nyala obor yang dibawa penduduk menerangi sekitar rumah kecil di ujung desa ini.

   Sementara teriakan-teriakan penuh amarah terdengar di antara deru rintik hujan yang semakin lebat.

   "Setiasih! Pergi kau dari desa ini, Perempuan Sial! Sejak kehadiranmu, desa ini terus ditimpa sial! Kaulah penyebabnya! Pergi dari sini, dan bawa anakmu yang menjijikkan. Cepaaat...!"

   Teriak seorang penduduk.

   "Pergi kalian dari sini atau kami bakar rumah-mu!"

   Tambah yang lain.

   "Perempuan sial! Kau dan bayimu telah me-nyebar bencana bagi desa ini. Pergi kalian, ce-paaat...!"

   Di antara penduduk desa, tampaknya ada se-bagian yang begitu geram dan dendam terhadap penghuni rumah itu.

   Serentak mereka maju dan menyulut dinding pondok yang terbuat dari anyaman bambu itu.

   Prasss! Werrr...! Meskipun hujan turun lebat, api tetap menyala pada bagian-bagian dinding yang kering, begitu beberapa penduduk menyulutkan obornya, dan api pun terus menjalar ke sekitarnya ketika mereka melempar obor ke rumah itu.

   "Oh! Tolong...! Tolooong...!"

   Teriak sebuah suara dari dalam. Mendadak sesosok tubuh keluar dari pintu be-lakang. Dengan tergopoh-gopoh sosok itu menuju hutan yang memang tak begitu jauh dari rumah ini.

   "Itu dia! Kejar! Bunuh saja sekalian...!"

   Teriak seorang penduduk. Yang lain segera berlari mengejar, begitu men-dengar seruan bernada perintah. Sambil berteriak riuh, mereka terus berlari mengacung-acungkan senjata-senjata tajam.

   "Tangkap! Jangan biarkan dia lolos! Kejar terus...!"

   "Bunuuuh...!"

   Mereka yang tadinya mengepung rumah itu, kini berbondong-bondong mengejar sesosok tubuh yang tadi keluar dari rumah. Sementara Ki Gendi dan Wongso baru tiba, ketika penduduk desa telah cukup jauh mengejar sosok yang tak lain Setiasih bersama bayinya.

   "Celaka! Mereka membakar rumahnya!"

   Kata kepala desa itu menyesalkan sambil menggeleng-kan kepala.

   "Sekarang mereka mengejar ke hutan. Barang-kali, Setiasih kabur membawa anaknya ke sana, Ki!"

   Sambung Wongso.

   "Sebaiknya kita menyusul mereka!"

   Sahut Ki Gendi sambil berlari kecil ke dalam hutan, ke arah sebagian penduduk desa menghilang ke sana.

   "Eh, Ki! Tunggu..!"

   "Apa lagi? Ayo, cepat! Mereka bisa binasa di tangan penduduk desa yang tengah kalap itu!"

   Sentak Kepala Desa Weton Nyelap tak mempedulikan teriakan laki-laki bernama Wongso.

   Wongso sendiri sedikit heran.

   Kenapa kepala desanya ini kelihatan begitu cemas memikirkan nasib Setiasih dan anaknya? Padahal, hampir seluruh penduduk desa ini bukan saja sekadar benci, tapi ingin melenyapkan ibu dan anak itu yang dianggap pembawa sial.

   Barangkali, itulah yang membuat para penduduk tak mau melapor, ketika berangkat mengepung rumah Setiasih.

   Mereka beranggapan, Ki Gendi pasti akan menghalangi niat mereka.

   Memang, selama ini yang membuat Setiasih dan anaknya masih selamat di Desa Weton Nyelap adalah karena belas kasihan kepala desa itu.

   Entah, apa yang membuat Ki Gendi begitu gigih membela ibu dan anaknya itu.

   Tak seorang pun mengetahuinya.

   Hanya, sejak kematian istrinya dua tahun lalu, Ki Gendi itu sering memberi perhatian pada Setiasih! Seluruh penduduk desa bukannya tak tahu.

   Bah kan ketika suami Setiasih masih hidup, Ki Gendi sering bertandang ke rumahnya.

   Dan ketika terdengar kabar kalau anak Setiasih temyata menyebar malapetaka dengan menularkan penyakit, barulah kepala desa itu tak berani lagi datang ke sana.

   Hanya, agaknya perhatian terhadap Setiasih masih terus berlanjut, dengan berusaha melindunginya dari amukan seluruh penduduk desa.

    *** Setiasih yang masih menggendong anaknya terkejut setengah mati ketika suara-suara itu semakin dekat terdengar.

   Dan kepalanya tak mau menoleh sedikit pun.

   Ketakutannya semakin menggebu-gebu dalam dada.

   Sehingga larinya terus dipacu semakin kencang.

   Aneh! Sepertinya Setiasih merasa ada tenaga gaib yang menggerakkannya.

   Sehingga, larinya semakin kencang.

   Bahkan mampu menembus kegelapan malam di dalam hutan yang mulai pekat dan rapat oleh pepohonan tanpa bantuan obor! Tentu saja hal ini membuat para pengejar semakin panasaran saja.

   Tapi lama kelamaan, mereka merasa ada sesuatu yang aneh dan tak wajar.

   Mustahil perempuan itu mampu berlari sedemikian cepat menembus kegelapan malam dan hutan yang begitu lebat.

   Mereka saja yang beramai ramai dan membawa penerangan obor, tersendat-sendat.

   Bahkan semakin ke dalam, malah tak bisa berlari karena banyak akar pohon dan ranting yang malang melintang menghalangi jalan.

   "Sial! Dia sudah tak kelihatan lagi!"

   Gerutu salah seorang penduduk mengayunkan golok me-nebas salah satu ranting pohon yang menghalangi jalan "Bagaimana sekarang?"

   Tanya yang lain.

   "Sekarang dia sudah kabur. Dan suatu saat, dia pasti kembali serta membuat bencana. Kalau dibiarkan begitu saja, kitalah kelak yang bakal celaka dan hidup tak tenang,"

   Selak yang lain.

   "Maksudmu, kita harus mengejarnya sampai dapat sekarang juga?"

   Tegas seorang laki-laki ber-tubuh kurus, berusia sekitar empat puluh tahun.

   "Kapan lagi kesempatannya kalau tidak sekarang?"

   Sahut orang itu enteng.

   "Huh! Kalian boleh mengejar perempuan itu sampai dapat. Tapi, kami tidak. Hutan di dalam sana angker. Malah bukan tak mungkin bahaya lain akan mengancam. Perempuan itu tentu tak akan selamat!"

   Sahut sebuah suara yang menolak usul agar mereka terus mengejar buruannya.

   "Ya. Aku juga tak sudi. Silakan kalau memang kalian ingin mengejarnya. Aku tak sudi mati sekarang!"

   Sambung yang lainnya.

   "Aku juga tak mau. Lebih ke dalam hutan ini, terdapat suatu daerah angker. Hiiiy...! Di situ terdapat sebuah Telaga Iblis. Tak seorang pun yang pernah kembali, setelah masuk ke Sana!"

   Desis orang tua berusia lanjut dengan raut wajah ketakutan.

   Tapi, beberapa orang penduduk desa lain yang masih penasaran tak mempedulikannya.

   Mereka terus kembali mengejar buruannya.

   Sementara, sebagian besar penduduk desa lain kembali pulang.

   'Sementara Setiasih masih terus berlari sambil mendekap bayinya erat-erat.

   Langkah kakinya terus menuju ke tengah hutan yang selama ini tak pernah dimasuki manusia.

   Dan langkahnya baru berhenti ketika didepannya menghadang sebuah telaga yang airnya tampak keruh dan menghitam.

   Tepat dua tombak di tepi telaga, terdapat sebuah nisan yang kusam dan ditumbuhi lumut.

   Bola mata perempuan itu memperhatikan ke sekeliling.

   Tampak banyak tulang-belulang berserakan di sekitamya.

   Entah kenapa, sedikit pun tak terbersit rasa ngeri dan takut di hatinya.

   Kakinya terus melangkah pelan mendekati nisan tua itu, dan berjongkok sambil memperhatikan dengan seksama.

   Diusapnya pelan-pelan nisan tua itu.

   Lalu dibersihkannya lumut serta lumpur yang menempel pada nisan itu.

   Sehingga, terlihatlah sederetan tulisan yang berbunyi, Di sini dikuburkan mayat Sukma Mangun Tapa.

   Krekkk! Nisan itu diputar-putar ke kiri dan kanan, masing-masing dua kali.

   Dan..., mendadak terde-ngar suara-suara tanah yang berjatuhan pada tanah yang mengelilingi nisan.

   Makin lama makin banyak, sehingga terciptalah sebuah lubang di dekat nisan itu yang menuju ke suatu ruang di bawah tanah.

   Tanpa pikir panjang lagi, perempuan itu membawa bayinya ke dalam.

   Ruangan di bawah tanah ini terasa lembab dan pengap.

   Ada penerangan dari nyala obor kecil.

   Entah, siapa yang menyalakannya.

   Namun Setiasih tidak mempedulikannya.

   Dia memperhatikan dengan seksama keadaan di dalam ruangan ini.

   Di dekat nyala obor itu terlihat beberapa tetes getah kental berwarna hitam kecoklatan yang terus berkumpul pada wadah, sehingga membuat api menyala.

   Tetesan getah itu sendiri berasal dari ranting pohon yang agaknya berasal dari atas permukaan tanah.

   Setiasih mencium tetesan getah itu, dan baru diketahuinya kalau itu tak lain dari getah damar.

   Kemudian kembali diperhatikannya keadaan di sekeliling.

   Di ujung ruangan terlihat sesosok tulang-belulang mayat manusia sedang duduk bersila.

   Perempuan itu melangkah pelan.

   Dan seraya meletakkan bayinya yang sejak tadi kelihatan diam membisu, dia bersujud di depan kerangka manusia itu.

   "Kisanak, maafkan kelancangan kami. Aku sendiri tak tahu, kenapa bisa berada di sini. Sepertinya, ada gambaran di mataku kalau tempat ini sama sekali tak asing. Dan, seolah-olah aku telah hafal betul. Padahal seumur hidup, aku belum pernah ke sini. Kalau benar kau telah menolong kami dari bahaya maut, maka aku mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya...,"

   Ucap Setiasih lirih.

   Tak terdengar sahutan apa-apa.

   Perempuan itu masih bersujud.

   Dan anehnya, bayinya tetap diam membisu seperti patung.

   Tak terdengar sedikit pun suara dari mulutnya.

   Mendadak ruangan di tempat itu menjadi hangat.

   Dan perlahan-lahan bertiup angin berbau busuk yang berputar-putar dalam ruangan.

   Ada sesuatu yang terasa bergerak, namun perempuan itu tak berani mengangkat muka.

   Ketika segalanya terasa kembali seperti sediakala, barulah kepalanya berani diangkat.

   Sesosok tubuh yang tinggal tulang belulang itu kini terangkat ke atas kira-kira dua jengkal lebih.

   Kini terlihat lebih jelas ternyata di atas tempatnya bersila, ada sebuah batu datar berbentuk segi empat yang tebal sekali.

   Perempuan itu melihat tulisan seperti digurat dengan tangan di sisi altar.

   Sukma Mangun Tapa! Di bawahnya terlihat sebuah tanda panah yang menuju ke bawah.

   Seperti ada yang menggerakkan, tangannya bergerak ke bawah seperti mengorek sesuatu.

   Betul saja! Bagian bawah altar, persis di tempat yang ditunjukkan anak panah itu terdapat sebuah lubang kecil.

   Tak begitu dalam dia mengorek, sebentar saja sudah mendapatkan sebuah kitab yang cukup tebal.

   Buru-buru diambil dan dibukanya kitab itu setelah kembali bersujud di hadapan tengkorak yang diyakininya sebagai Ki Sukma Mangun Tapa.

   "Kitab pelajaran ilmu silat?! Apakah aku, eh kami dipercayakan untuk mempelajarinya?"

   Desis perempuan itu dengan wajah heran bercampur takjub.

   Di halaman pertama kitab itu terdapat tulisan yang langsung dibaca.

   Pelajaran ilmu-ilmu sakti yang ada di dalam kitab ini adalah untuk kalian yang sengaja kubawa ke sini.! Perempuan itu merenung beberapa saat kemudian, lalu terlihat tersenyum haru.

   Langsung ditatapnya tengkorak Ki Sukma Mangun Tapa.

   "Ki Sukma Mangun Tapa! Kami sangat berte-rima kasih kalau kau benar bermaksud mengangkat murid pada kami berdua. Terima kasih, Ki! Aku bersumpah akan belajar sebaik-baiknya, agar tak mengecewakanmu. Demikian pula anakku nantinya!"

   Ucap perempuan itu. Barulang-ulang kali Setiasih bersujud sebagai ungkapan rasa terima kasih, kemudian berpaling pada bayinya. Bocah itu tampak tersenyum sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya seolah hendak menggapai ibunya.

   "Pulang Geni, Anakku! Oh! Aku tak akan biar-kan kau mati, Nak. Kau akan hidup! Kau harus hidup untuk membalaskan sakit hati kita pada penduduk Desa Weton Nyelap! Kau dengar, Nak?"

   Ujar Setiasih.

   Berkali-kali perempuan itu berkata demikian, sambil memeluk tubuh anaknya erat-erat untuk menumpahkan rasa haru.

   Pada saat itu, kembali bertiup hawa panas ke dalam ruangan yang berasal dari bawah batu, tempat tengkorak manusia itu berada.

   Sementara, Setiasih seperti tak menyadari keadaan.

   Namun lama-kelamaan baru disadari kalau secara aneh ternyata seluruh tubuh anaknya yang penuh koreng bernanah dan menimbulkan bau busuk, kini mendadak kering.

   Bahkan bau busuknya perlahan-lahan sirna bersamaan dengan hilangnya hawa panas yang menyelimuti ruangan itu.

   "Oh, Pulang Geni! Anakku, syukurlah penya-kitmu memperlihatkan tanda-tanda kesembuhan. Mudah-mudahan ada petunjuk yang bisa menyembuhkan seluruh luka yang ada di tubuhmu ini!"

   Desis Setiasih dengan wajah suka cita.

    *** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info 124.

   Penghuni Telaga Iblis Bag.

   2 19 septembre 2014, 09.21 Waktu terus bergulir sesuai kodratnya.

   Tak terasa sudah lima belas tahun lebih waktu berjalan sejak peristiwa di hutan dekat Desa Weton Nyelap.

   Dan selama itu pula, para penduduk desa beranggapan kalau Setiasih beserta anaknya yang bernama Pulang Geni telah tewas dimakan binatang buas di tengah hutan.

   Atau juga, karena kelancangan mereka memasuki kawasan hutan yang amat angker, sehingga penunggunya marah dan menghukum hingga binasa.

   Buktinya, beberapa penduduk desa yang waktu itu keras kepala ingin terus mencari Setiasih serta anaknya, tak pernah kembali lagi ke desa.

   Ini semakin memperkuat dugaan, kalau Setiasih dan Pulang Geni pasti binasa juga.

   Tapi benarkah hal itu terjadi pada mereka? Justru hari ini, ibu dan anak terlihat tengah menghadap Ki Sukma Mangun Tapa.

   Mereka agaknya kebingungan sehubungan dengan beberapa pelajaran terakhir ilmu sakti yang ada dalam kitab pusaka warisan itu "Ki Sukma Mangun Tapa! Meskipun kau tiada, tapi kami telah menganggapmu sebagai guru.

   Dan seolah-olah, kau tengah mengawasi setiap tindakan yang kami lakukan di sini.

   Dan sebagai seorang guru, sudah sepatutnya kau memberi petunjuk pada setiap kesulitan yang kami alami, sehubungan pelajaran ilmu olah kanuragan yang terdapat dalam warisan kitab pusaka milikmu.

   Kini, kami telah mempelajari semuanya dengan sebaik-baiknya.

   Tapi, hanya satu yang belum kami kuasai.

   Yaitu, puncak dari segala kesaktian yang ada dalam kitab itu.

   Ini sangat membingungkan, karena kami tak mampu menangkapnya dengan baik! Eyang Guru! Beri-lah kami petunjuk, kalau memang merestui kami sebagai muridmu...!"

   Kata Setiasih dengan suara lirih, namun menggema dalam ruangan.

   Hening sesaat ibu dan anak itu menunggu tanggapan sambil tetap dalam keadaan menunduk.

   Dan mendadak terdengar angin kencang yang berputar di tempat itu.

   Begitu kencangnya, sehingga pakaian yang dikenakan berkibar kibar.

   Kemudian, terdengar suara gemuruh dan guncangan hebat yang membuat ruangan ini bergetar.

   Tampak batu-batu kecil runtuh dari alas.

   "Oh!"

   "Ibu...!"

   Kedua orang itu tersentak. Kejadian itu baru sekali ini dialami, selama lima belas tahun mereka berada di sini. Mereka tersentak kaget, dan buru-buru menepi mencari perlindungan. Dan tiba-tiba....

   "Setiasih, dan kau Pulang Geni. Kalian memang telah kurestui menjadi muridku. Bahkan, akulah yang menarik kalian ke sini lima betas tahun lalu. Dan aku pula yang selalu mengawasi kalian selama ini. Pelajaran terakhir kitab pusakaku itu memang tak akan berhasil sebelum kalian memenuhi persyaratannya...,"

   Terdengar suara yang menggema memenuhi ruangan ini.

   "Siapa? Siapakah kau...?!"

   Sentak Setiasih, sambil memandang ke sekeliling ruangan, namun tak terlihat apapun. Keduanya memandang lekat-lekat ke arah tengkorak Ki Sukma Mangun Tapa. Namun tak ada yang berubah. Tengkorak itu masih tetap dalam keadaannya semula.

   "Apakah kau Eyang Sukma Mangun Tapa?"

   Tanya Pulang Geni dengan nada setengah yakin.

   "Ambillah hati dan jantung perempuan yang baru melahirkan. Lalu, bersama bayinya bawa ke sini..."

   Kembali terdengar suara, namun lebih sayup-sayup seperti orang berteriak di kejauhan.

   "Apa?!"

   Ibu danak anak itu seperti tersentak mendengar kata-kata barusan.

   Namun bersamaan dengan itu, guncangan yang sejak tadi melanda ruangan itu berhenti.

   Ruangan kembali sunyi.

   Hanya tercium bau busuk yang semakin menyengat dari kolam yang berada dj ruangan ini.

   "Lihat, Bu! Air kolam itu berubah merah ke-hitam-hitaman!"

   Tunjuk Pulang Geni. Perempuan itu mengangguk-angguk kecil, kemudian kembali berpaling pada tengkorak di hadapannya.

   "Eyang.... Kalau memang itu sudah keinginan-mu, aku akan berangkat sekarang juga...," lirih suara Setiasih sambil menundukkan kepala. Setelah melakukan sikap khidmat beberapa saat, Setiasih berpaling pada anaknya.

   "Pulang Geni. Tunggulah di sini sebentar. Ibu akan mencari persyaratan yang harus dipenuhi dulu,"

   Ujar Setiasih.

   Pulang Geni menganggukkan kepala.

   Dan tak lama kemudian perempuan itu beranjak keluar le-wat tangga batu yang menghubungkannya dengan nisan tua di atas permukaan tanah.

    *** Malam belum lagi larut.

   Namun karena hujan rintik-rintik masih turun, membuat sebagian penduduk Desa Weton Nyelap enggan keluar rumah.

   Sehingga, tak heran bila desa itu terlihat sepi.

   Bahkan hanya satu dua rumah saja yang di depan rumahnya dipasang obor sebagai penerangan.

   Sementara, ternyata ada juga sosok tubuh yang masih berkeliaran.

   Dia adalah seorang lelaki berusia lebih kurang dua puluh lima tahun yang tengah menelusuri jalan desa itu.

   Langkahnya lebar-lebar sambil melompat-lompat kecil menghindari genangan air hujan yang menciprati celananya.

   Tubuhnya dibalut kain sarung untuk sekadar pengusir hawa dingin.

   Sementara tangannya yang sebelah lagi memegangi daun pisang, untuk melindunginya dari curah air hujan.

   "Huh! Ada-ada saja istriku! Malam-malam begini melahirkan. Bukannya besok saja. Lagi pula, mana kutahu di mana rumah dukun beranak itu. Semua penduduk saat ini pasti sedang tertidur lelap. Apa musti kuketuk pintu rumah mereka satu persatu, untuk menanyakan rumah Nyai Kartinah?"

   Gerutu laki-laki itu sambil menunjukkan wajah kesal. Namun mendadak dia terkejut, ketika melihat sesosok tubuh di depannya yang tengah berjalan tenang. Orang itu bertubuh ramping, mengenakan kerudung kepala.

   "Eh, siapa itu? Kelihatannya seperti perempuan. Jangan-jangan, Kuntilanak. Mana Jumat Kliwon lagi! Tapi..., ah! Kedua kakinya menapak di tanah. Pasti dia manusia. Lebih baik, aku bertanya padanya. Siapa tahu, perempuan ini bisa membantu menunjukkan rumah dukun beranak itu...,"

   Kata laki-laki itu dalam hati. Maka dengan memberanikan diri, laki-laki itu mendekat.

   "Maaf, Nisanak. Apakah rumah Nyai Kartinah dukun beranak dari Desa Pace Asak masih jauh dari sini?"

   Tegur laki-laki itu sopan.

   "Hm.... Ada keperluan apa kau menanyakan-nya?"

   Sahut perempuan berkerudung itu balik bertanya.

   Laki-laki yang sebenarnya bernama Atmojo itu tak langsung menjawab.

   Lewat cahaya kilatan petir yang sekilas seperti membelah angkasa, paras perempuan itu dapat terlihat meskipun tak lama.

   Masih muda dan..., cantik sekali! Tanpa sadar, Atmojo tersentak kaget dan bulu kuduknya merinding.

   Jantungnya berdetak lebih kencang karena dugaan-dugaan buruk mulai merasuki benaknya.

   Jangan-jangan, dia kuntilanak yang sedang keluyuran mencari mangsa.

   Tapi saat ini, Atmojo telah berada persis di dekatnya.

   Kalaupun mau lari, barangkali tak akan sempat lagi.

   "Is..., istriku akan melahirkan. Dan aku..., aku bermaksud memanggilnya...,"

   Sahut Atmojo tergagap.

   "Kebetulan sekali! Akulah Nyai Kartinah. Di mana tempat tinggalmu?"

   "Desa Weton Nyelap...."

   "Hm ... Sungguh suatu kebetulan, karena aku pun akan ke sana untuk menolong saudara misanku yang katanya akan melahirkan besok. Mungkin, aku akan menginap barang sehari atau dua hari untuk menjaganya. Tapi sebelum itu, rasanya aku masih punya waktu untuk menolong istrimu...,"

   Kata perempuan cantik yang mengaku bernama Nyai Kartinah.

   "Oh, syukurlah. Terima kasih, Nyai. Silakan!"

   Sahut Atmojo girang.

   Mereka cepat meninggalkan tempat itu.

   Buat Atmojo memang amat kebetulan, karena tak usah bersusah payah menuju Desa Pace Asak lagi.

    *** Dengan wajah suka cita Atmojo mengantarkan Nyai Kartinah ke dalam satu ruangan yang tak terlalu luas.

   Di atas tempat tidur, tampak tergolek sesosok perempuan yang tengah ditunggui seorang perempuan tua.

   Perempuan di atas tempat tidur itu menggeliat-geliat sambil mengeluh kesakitan.

   "Silakan kalian keluar dan masak air yang banyak. Istrimu agaknya sulit melahirkan!"

   Ujar Nyai Kartinah dingin.

   "Eh! Biarkan aku berada disini Nyai. Dia anakku satu-satunya. Dan ini, kelahiran yang pertama. Dia tentu sangat khawatir bila tak ada orang dekat yang dikenalnya, saat-saat melahirkan nanti,"

   Sahut perempuan tua yang berada di dekat wanita yang akan melahirkan.

   "Hm, tak perlu. Biarkan aku sendiri saja di ka-mar ini. Dia malah akan bersikap manja, kalau ada Nyai. Dan itu bisa tambah menyulitkan keluarnya si jabang bayi...."

   Mendengar kata kata tak bersahabat dari Nyai Kartinah, mau tak mau perempuan tua itu terpaksa mengikutinya, meskipun hatinya penasaran. Mereka memang tak perlu masak air lagi, karena memang telah disiapkan sejak dukun beranak itu belum datang.

   "Dukun beranak itu aneh!"

   Desis perempuan tua itu ketika menghenyakkan pantat di dipan yang terdapat di ruang tengah.

   "Kenapa, Mak?"

   Tanya Atmojo.

   "Orang mau lihat, kok tak boleh! Sikapnya pun dingin, serta tak bersahabat. Padahal kata orang, Nyai Kartinah ramah, selalu murah senyum, dan...."

   "Dan kenapa, Mak!"

   "Perempuan itu terlalu cantik untuk menjadi seorang dukun beranak. Dia sama sekali tak pantas!"

   Dengus perempuan tua itu.

   "Ah! Itu bukan alasan, Mak. Bisa saja dia mewarisi kepintaran dari orang tuanya. Dan...."

   "Maksudku, kata orang-orang Nyai Kartinah itu sudah berusia lanjut. Bukan berusia muda seperti dia! Jo! Apa kau tak salah jalan ke rumah Nyai Kartinah dan malah main gila dengan perempuan itu?"

   Potong perempuan tua itu dengan nada kesal, sehingga membuat kata kata Atmojo terputus.

   "Hush! Jangan sembarangan, Mak! Mana mungkin aku melakukan perbuatan terkutuk itu. Aku mencintai Sukesih. Dan sungguh gila kalau aku masih memikirkan perempuan lain, selagi dia berjuang melahirkan anak pertamaku!"

   Sentak Atmojo menepis tuduhan mertuanya.

   "Ahhh! Jadi tak enak hatiku. Aku betul-belul curiga dengan perempuan itu!"

   Desah perempuan tua itu sambil menggelengkan kepala. Lalu dia bangkit dari duduknya, untuk berlalu ke dalam. Tapi, Atmojo langsung menangkap tangannya sambil menggeleng lemah.

   "Jangan, Mak! Biarkan saja. Mungkin ada baik-nya kita tak melihat ke dalam. Aku pun tak berani melihatnya!"

   "Kau ini apa?! Seorang suami seharusnya berada di samping istrinya pada saat melahirkan. Dan kau malah takut tak karuan. Bagaimana sih, kamu ini?!"

   Sentak mertuanya. Atmojo diam saja mendengar bentakan mertuanya. Dia memang tak berani masuk ke dalam, karena tak tahan mendengar keluhan-keluhan istrinya sejak tadi.

   "Sudah, lepaskan tanganmu! Pokoknya, aku mau masuk ke dalam! Dia anakku. Dan dia pasti membutuhkan aku, pada saat-saat begini!"

   Lanjut perempuan tua itu, dengan nada kesal.

   "Jangan, Mak Lebih baik kita menunggu saja. Barangkali sebentar lagi bayi itu akan lahir!"

   Cegah Atmojo. Namun, perempuan tua itu agaknya tak bisa ditahan lagi. Meskipun Atmojo berkeras menahannya, namun dia lebih keras lagi untuk masuk ke dalam. Dan pada saat itulah terdengar tangisan bayi dari dalam.

   "Oaaa...! Oaaa...!" *** Mereka tersentak dan saling berpandangan untuk beberapa saat. Tapi perempuan tua itu lebih cepat menerobos masuk ke dalam kamar dengan wajah cerah.

   "Cucuku! Oh, Cucuku...!"

   Teriak perempuan tua itu girang. Namun mendadak...

   "Aaa...!"

   Terdengar jeritan menyayat yang berasal dari kamar istri Atmojo yang tengah melahirkan.

   "Astaga!"

   Atmojo kontan tersentak kaget.

   Bersamaan dengan itu, mendadak tubuh mertuanya terlempar keluar dari kamar dalam keadaan menyedihkan dan jatuh keras di tanah.

   Kepala perempuan tua itu remuk dan tulang dadanya patah.

   Nyawanya melayang sebelum tu-buhnya menyentuh tanah.

   Dengan perasaan gusar, Atmojo menerobos masuk ke dalam.

   Laki-laki itu terkejut, begitu melihat apa yang terjadi di dalam kamar.

   Tampak Nyai Kartinah menggendong bayi dengan sebelah langan, sementara istrinya tergolek di tempat tidur dalam keadaan berlumur darah.

   Dada istrinya bolong.

   Tampak jantung dan hatjnya hilang! Atmojo langsung berpikir cepat, begitu melihat darah menetes dari bungkusan kain panjang yang dipegang perempuan berwajah cantik yang mengaku bernama Nyai Kartinah.

   "Keparat! Apa yang kau lakukan terhadap istriku?!"

   Atmojo kalap. Langsung goloknya dicabut dan diterjangnya perempuan itu Hiyaaa...!"

   Atmojo langsung membabatkan goloknya ke arah leher. Tapi Nyai Kartinah cepat sekali mengegos ke kiri, seraya menyodokkan tangan kanannya ke perut Atmojo. Begitu cepat gerakannya sehingga.... Dukkk! "Aaakh...!"

   Atmojo menjerit keras begitu satu pukulan telak mendarat di perutnya.

   Bahkan tubuhnya kontan melayang keluar kamar, langsung membentur dinding! Atmojo merasakan kepalanya jadi pening dan isi perutnya bagai diaduk-aduk tak karuan.

   Dengan amarah yang meluap-luap, laki-laki itu tak mempedulikan rasa sakit yang diderita.

   Cepat dia bangkit, dan mengangkat sebuah kursi kayu jati untuk dihantamkan pada perempuan itu.

   "Kuntilanak keparat! Mampuslah kau! Yeaaa...!"

   Nyai Kartinah tentu saja tak sudi kepalanya dihantam kursi dari kayu jati yang dilakukan Atmojo.

   Dengan gerakan tangkas sekali, perempuan itu merunduk, dan langsung menggerakkan tangannya untuk menangkap kursi yang dihantamkan Atmojo.

   Tap! Begitu kursi itu tertangkap, Nyai Kartinah langsung melepaskan tendangan yang begitu keras ke perut.

   Duk! "Hegkh!"

   Atmojo memekik kecil. Tubuhnya terjajar beberapa tindak. Dan kesempatan ini digunakan Nyai Kartinah untuk melepaskan dua hantaman ke kepala dan dada. Dugk! Prak! "Aaa...!"

   Atmojo kontan menjerit tinggi begitu kepala dan dadanya hancur terhantam keprukan tangan Nyai Kartinah.

   Tubuhnya ambruk dan langsung menggelepar-gelepar di tanah.

   Lalu, tubuhnya diam tak bergerak lagi.

   Mati bersimbah darah.

   Sementara, perempuan itu hanya melirik seki-las seraya melemparkan kursi yang telah direbut dari tangan Atmojo.

   Kemudian dengan ringan tubuhnya melesat dari tempat itu menerobos keluar lewat jendela.

   "Hi hi hi...!"

   Nyai Kartinah terus melesat memperdengarkan suara tawa yang nyaring mendirikan bulu roma.

   Dengan kecepatan luar biasa, dia terus menembus kegelapan malam menuju tengah hutan yang berbatasan dengan ujung desa itu.

   Sebentar saja perempuan itu telah berada di dekat sebuah telaga yang airnya hitam dan berbau amat busuk.

   Di dekatnya terdapat sebuah lubang yang menuju ke bawah.

   Tanpa berpikir panjang lagi dia terus menuruni anak tangga, masuk ke dalam goa.

   "Bagaimana, Bu? Apakah Ibu sudah menda-patkan persyaratan itu?"

   Tanya seorang pemuda tanggung berwajah tampan. Langsung didatanginya perempuan itu dengan wajah gembira. Tampak perempuan yang mengaku Nyai Kartinah dan sebenarnya Setiasih itu menggendong seorang bayi serta kantung yang masih meneteskan darah.

   "Mari kita menghadap Eyang Guru,"

   Ajak Setiasih setelah mengangguk. Setiasih dan pemuda yang bernama Pulang Geni melangkah pelan mendekati altar yang diatasnya terdapat tengkorak manusia.

   "Eyang, kami telah memenuhi apa yang kau perintahkan. Sekarang apa yang harus kami lakukan?"

   Tanya Setiasih dengan sikap hormat sambil menundukkan kepala. Tak terdengar sahutan. Hanya udara di tempat ini semakin panas dan angin kencang bertiup. Lalu, ruangan seperti dilanda gempa yang membuat dinding-dinding bergetar.

   "Bagus! Letakkan hati yang kau bawa itu ke dada tengkorakku. Kemudian makanlah jantung itu olehmu. Sedangkan bayi itu harus dilahap anakmu! Dan setelah itu, kalian berdua harus menyemplung ke dalam kolam itu!"

   Sayup-sayup kembali terdengar sebuah suara.

   "Ba..., baik, Eyang!"

   Dengan patuh mereka mengikuti apa yang di-katakan suara gaib itu.

   Namun sungguh di luar dugaan, baru saja mereka hendak menyemplung ke dalam kolam, mendadak melesat dua larik sinar merah jambu yang berasal dari tengkorak Ki Sukma Mangun Tapa.

   Sinar yang agak besar menghantam Pulang Geni.

   Dan yang lebih kecil menimpa tubuh Setiasih.

   Blas! Srat! "Aaakh...!"

   "Ugkh...!"

   Tubuh mereka kontan terasa kejang disengat ribuan kalajengking. Untung saja mereka tak sampai terjengkang jatuh.

   "Pulang Geni, cepat! Sebentar lagi ruangan ini akan roboh!"

   Teriak Setiasih sambil menarik lengan anaknya untuk melompat ke dalam kolam itu.

   Tanpa berpikir panjang lagi, mereka segera me-nyeburkan diri ke dalam kolam berwarna merah kehitaman dan berbau busuk itu.

   Baru saja mereka menyebur ke dalamnya, se-konyong-konyong dinding goa itu runtuh dan ba-gian atasnya ambruk, sehingga menimpa telaga itu.

   Sementara, ibu dan anak itu terus menyelam hingga ke dasarnya.

   Mereka terus berenang menelusuri dasar kolam yang berupa lorong bawah tanah.

   Rupanya kolam itu adalah bagian dari Telaga Iblis.

   Begitu ibu dan anak itu telah menembus lorong itu, mereka melihat dasar kolam menjadi luas sekali.

   Maka mereka segera berenang menuju ke permukaan air.

   Benar saja, ibu dan anak itu ternyata telah berada di Telaga Iblis.

   Dengan sisa-sisa napas yang ada, mereka terus berenang ke tepi telaga.

   "Kalian berdua telah mewarisi kesaktian yang kumiliki, maka pergilah dari sini. Tak seorang pun akan mewarisi kesaktianku lagi setelah kalian karena tempat ini telah terkubur di dasar Telaga Iblis. Pergilah kalian sekarang!"

   Sayup-sayup terdengar suara, ketika Setiasih dan Pulang Geni telah tiba di tepinya.

   "Ba..., baik, Eyang,"

   Sahut keduanya dengan nada lesu, karena hampir kehabisan napas.

    *** Pendekar Rajawali Sakti Articles de Pendekar Rajawali Sakti Bahasa Indonesia s  .

   124.

   Penghuni Telaga Iblis Bag.

   3 19.

   September 2014 um 09.22 Seorang gadis cantik tengah berlari-lari kecil menemui ibunya di belakang.

   Senyumnya terkembang dengan kedua belah tangan disembunyikan di balik tubuhnya.

   Ibunya melirik sekilas sambil geleng-geleng kepala, lalu menghentikan pekerjaannya.

   "Belakangan ini Ibu lihat kau selalu gembira, Surtiningsih. Apa yang menyebabkan hatimu begitu gembira?"

   Tanya wanita setengah baya itu, menatap anak gadisnya yang kini telah tumbuh menjadi perawan bertubuh sintal dan berwajah manis.

   "Coba Ibu tebak?"

   Gadis cantik yang bernama Surtiningsih malah memberi pertanyaan pada ibunya.

   "Mana bisa Ibu menebak. Tapi...."

   Ibunya tersenyum-senyum dikulum.

   "Apa?!"

   Tantang Surtiningsih. Perempuan setengah baya itu masih tersenyum-senyum kecil "Biasanya kalau anak perawan suka cengar-cengir sendiri dan rajin bersolek, tentu tak lain karena...."

   "Karena apa?"

   Potong Surtiningsih dengan suara mulai meninggi. Wajahnya tampak jengah menahan malu.

   "Karena memiliki pujaan hati!"

   Tebak wanita setengah baya itu yang dikenal bernama Nyi Su-parmi. Gadis itu seketika menundukkan wajah dengan tersipu-sipu malu. Nyi Suparmi mendekat dan mencoba meyakinkan.

   "Tadi malam kau pulang agak malam. Dan katanya diantar oleh seorang pemuda. Apakah itu kekasihmu?"

   Tanya Nyi Suparmi. Surtiningsih mengangguk sambil tersenyum kecil.

   "Siapa namanya. Dan, berasal dan desa mana?"

   "Eh! Aku belum sempat kenal namanya, Bu Tak sempat...,"

   Sahut Surtiningsih terheran-heran sendiri. Mendengar itu, tentu Nyi Suparmi semakin keheranan. Ditatap anaknya itu dengan wajah pe-nuh tanda tanya.

   "Bagaimana mungkin?"

   "Ah! Aku lupa, Bu. Tapi hari ini pasti akan ku-tanyakan. Dia berjanji akan menemuiku di luar desa!"

   Sahut Surtiningsih dengan wajah girang.

   "Bawalah dia nanti ke sini,"

   Ujar Nyi Suparmi.

   "Tentu, Bu. Surtiningsih berangkat dulu sekarang!"

   Pamit gadis itu sambil berbalik.

   "Eh, tunggu dulu! Kau sudah pamit pada ayahmu?"

   Surtiningsih menoleh sekilas sambil mengangguk cepat, kemudian kembali berlalu.

   Perempuan setengah baya itu hanya menggeleng kecil sambil tersenyum-senyum.

    *** Surtingsih tak langsung ke tempat tujuan.

   Gadis itu rupanya lebih memilih mampir ke rumah kawan akrabnya, yang bernama Prapti.

   Dan baru saja kakinya menginjak halaman rumah Prapti, di sana sudah banyak orang ramai berkumpul.

   Hatinya tercekat dan bertanya-tanya.

   Apa yang telah terjadi di rumah itu? Bergegas Surtiningsih menghampiri seorang laki-laki setengah baya yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

   Langsung ditanyakan, kenapa di rumah Prapti terjadi keramaian seperti itu.

   "Prapti meninggal..."

   Jelas laki-laki setengah baya itu.

   "Apa! Meninggal? Karena apa?!"

   Bukan main kagetnya Surtiningsih mendengar berita itu.

   Langsung diterobosnya orang-orang yang berkumpul.

   Dia langsung masuk ke dalam, mene-mui kedua orang tua sahabatnya itu.

   Apa yang dilihat Surtiningsih memang tak salah.

   Tampak Prapti terbujur kaku di sebuah dipan beralaskan tikar pandan.

   Sekujur tubuhnya penuh bisul-bisul bernanah.

   Sebagian telah pecah, membasahi kain putih yang menutupi tubuhnya.

   Bahkan bau busuk yang amat menusuk menyergap di tempat ini.

   Beberapa orang terlihat mual-mual.

   Malah ada yang muntah muntah, sampai jatuh pingsan.

   Tentu saja karena tak rahan oleh bau busuk yang luar biasa.

   "Ibu tak tahu sebabnya. Tapi mulanya dia sakit hati karena kekasihnya ternyata main gila dengan perempuan lain. Padahal, laki-laki itu telah berjanji, sehingga Prapti rela menyerahkan segalanya. Karena pikirnya tak lain lagi kekasihnya akan mengawininya,"

   Jelas perempuan berusia empat puluh dua tahun.

   Dan dia adalah ibu dari Prapti yang meninggal dunia itu.

   Surtiningsih termenung sesaat mendengar ce-rita itu.

   Kekasih? Prapti tak pernah menceritakan padanya, siapa sebenarnya yang menjadi kekasihnya.

   Dan Surtiningsih sendiri belum pernah bertemu kekasih Prapti.

   Tapi kenapa bisa jadi begini? Apa karena Prapti punya penyakit yang menjijikkan itu, sehingga kekasihnya tak sudi lagi padanya? Tapi sejak kecil, dia tahu betul kalau Prapti belum pernah menderita penyakit seperti ini.

   *** Surtiningsih memang tak langsung pulang.

   Gadis itu harus memenuhi janjinya terhadap seseorang di ujung desa ini.

   Dan dengan setengah berlari di hampirinya seorang pemuda berwajah tampan yang telah menunggu lama di depan sebuah pondok kecil yang biasa digunakan para petani untuk menunggu sawahnya.

   Pemuda berambut sebahu itu tampak duduk dengan gelisah, di bawah siraman matahari yang menerobos lewata atap pondok yang sudah rusak.

   Kelihatan pondok itu sudah sekian lama tak dipakai lagi.

   "Hm Mengapa lama sekali kau ke sini, Surti?"

   Sapa pemuda itu ketika Surtiningsih telah mendekat.

   "Aku mampir dulu di rumah kawan, Kang. Dia..., dia..., meninggal dunia tadi,"

   Sahut gadis itu lirih, seraya menempatkan pantat di sisi pemuda itu.

   "Oh! Aku turut berduka cita atas kemalangan yang menimpa kawanmu itu!"

   Seru si pemuda de-ngan wajah terkejut.

   "Oh, ya. Aku tak bisa lama-lama berada di sini, Kang. Kedua orangtuaku perlu diberi tahu tentang meninggalnya Prapti,"

   Kata Surtiningsih, memberi tahu.

   "Sabarlah. Sebentar lagi, Surti. Aku masih rindu denganmu. Mari kita berbincang-bincang di dalam,"

   Ajak pemuda itu.

   Dirangkulnya pinggang Surtiningsih dan ditatapnya dalam-dalam.

   Gadis itu juga balas memandang, Dan seperti mendapat kekuatan gaib, ketika pemuda itu menganggukkan kepala sambil tersenyum manis.

   Surtiningsih tak kuasa menolak.

   Dia pasrah saja saat pemuda itu membawanya ke dalam, sambil memeluknya.

   Di dalam gubuk kecil itu tak terdapat apa-apa, selain dipan kecil yang sudah reot.

   Sebelum dia sendiri duduk, pemuda itu juga mendudukkan Surtiningsih di dipan yang beralaskan tikar pandan.

   Dibelai-belainya rambut gadis itu perlahan-lahan.

   Sementara Surtiningsih diam saja sambil tertunduk malu.

   Dan tangan pemuda itu agaknya tak diam di situ.

   Dengan nakalnya, tangan pemuda itu terus menjelajahi daerah-daerah yang paling peka bagi seorang gadis.

   Surtiningsih tersentak kaget dan berusaha berontak.

   Namun pemuda itu malah memeluk tubuhnya makin erat.

   Kembali Surtiningsih seperti kerbau yang dicocok hidungnya.

   Malah ketika pakaiannya dibuka perlahan-lahan, dia hanya menatapi pemuda itu dengan sinar mata kosong.

   "Kang! Ja..., jangan...!"

   Hanya itu yang keluar dari bibir Surtiningsih.

   Namun penolakan itu malah membuat pemuda itu makin liar saja.

   Bahkan tangannya seperti tak mengenal lelah menjelajahi dua bukit ranum miliki Surtiningsih yang berbentuk indah menantang.

   Sementara Surtiningsih juga seperti lupa segalanya.

   Pelukannya pada pemuda itu makin dipererat.

   Desahan-desahan lirih makin sering terdengar, ditingkahi deru napas menggebu.

   "Jangan takut, Surti. Di sini sepi. Sejak tadi, tak seorang pun kulihat lewat sini,"

   Bujuk pemuda itu lirih.

   Dan belum juga Surtiningsih bersuara lagi, pemuda itu langsung melumat bibirnya dengan gemas.

   Surtiningsih gelagapan sendiri.

   Gadis desa yang baru menginjak usia dewasa itu sama sekali belum pernah merasakan pengalaman yang men-debarkan seperti ini.

   Sehingga tak heran kalau tubuhnya gemetar panas dingin.

   Tapi pemuda itu terus merayu dan mencumbunya tanpa henti.

   Sehingga, gadis itu seperti tak kuasa menolak.

   Dan ketika pemuda itu telah membuka pakaiannya sendiri, Surtiningsih malah seperti menunggu tak sabar.

   "Kang...,"

   Desah gadis itu lirih, seraya kembali memeluk pemuda itu.

   Dan kini yang terdengar hanya napas bagai kuda pacu saja dalam pondok itu.

   Kedua insan itu seperti sudah mabuk dalam bahtera nafsu.

    *** Walaupun sudah berpakaian, Surtiningsih me-rasakan bergetar dan panas dingin.

   Dia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya.

   Entah apa, dia sendiri tidak tahu.

   "Kang...,"

   Panggil gadis itu.

   "Hm..."

   Pemuda itu hanya bergumam.

   "Aku..., aku takut..."

   "Kenapa takut?"

   "Kau..., kau berjanji akan menikahiku, bukan?"

   "Tentu saja. Kenapa tidak"

   "Aku tak ingin nasibku seperti kawanku itu...."

   Pemuda itu hanya tersenyum. Kemudian dici-umnya gadis itu sesaat. Lalu, punggungnya ditepuk-tepuk.

   "Apakah kau tak percaya kata kataku?"

   Tanya pemuda itu.

   "Aku percaya...."

   "Nah! Kenapa diragukan lagi? Sekarang kau ingin pulang?"

   Surtiningsih mengganggukkan kepala. Kemudian ditatapnya pemuda itu dengan sorot mata penuh harap.

   "Ayah dan ibu ingin bertemu denganmu. Mau-kah kau bertemu mereka sekarang?"

   Kata Sur-tiningsih, seraya bangkit dari duduknya.

   "Aku senang sekali mendengarnya. Sampaikan salam hormatku pada beliau. Tapi untuk saat sekarang, aku belum bisa. Ada sesuatu yang harus kukerjakan di rumah. Kapan-kapan, aku pasti mampir. Tak apa-apa kan?"

   Kilah pemuda itu, juga bangkit dari duduknya.

   Surtiningsih menggeleng lemah.

   Ada sedikit rasa kecewa dalam hatinya mendengar penolakan itu.

   Tapi dia tak kuasa memaksa.

   Padahal keinginannya untuk memperkenalkan pemuda itu pada orangtuanya menggebu-gebu sekali.

   Dia sendiri tidak tahu, kenapa sampai terlalu percaya pada pemuda itu.

   Sepertinya, ada sesuatu kekuatan yang tak bisa ditolaknya.

   Dan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, gadis itu menurut saja ketika pemuda itu memba-wanya ke depan pondok "Aku pulang dulu, Kang,"

   Pamit Surtiningsih.

   Pemuda itu hanya tersenyum manis sambil mengangguk pelan.

   Dan sambil melangkah pelan, sesekali Surtiningsih menoleh ke arah pondok itu.

   Tampak pemuda itu melambai sambil tersenyum manis.

    *** "Surti! Kenapa mukamu pucat? Kau sakit?"

   Tanya Nyi Suparmi heran melihat wajah anaknya berkerut menahan sakit sehabis bangun tidur.

   "Aduh .., aduuuh...!"

   Keluh Surtiningsih.

   "Surti! Kenapa kau, Nak? Kenapa? Kang! Anakmu ini kenapa?! Dia..., dia...!"

   Perempuan setengah baya itu tampak bingung sambil berteriak-teriak memilukan.

   Sebentar saja seorang laki-laki setengah baya masuk ke dalam kamar.

   Seketika dia terkejut memandang Surtiningsih yang tergeletak dengan wajah pucat dan sekujur tubuh terasa dingin bagai disiram es.

   Tubuh gadis itu bergetar hebat dan keringat sebesar butiran butiran jagung mengucur dari pori-porinya.

   "Astaga! Surti! Kenapa kau, Nak?! Dari mana kau kemarin!"

   Sentak laki-laki yang tak lain ayah Surtiningsih. Dia bernama Ki Riman.

   "Ayah.... Ibu..., panas..., dingin. Aduuuh, sa..., sakit..."

   "Surti, kenapa kau? Kenapa?! Kang! Jangan diam saja. Ayo cepat panggil dukun! Cepat, Pak"

   Teriak Nyi Suparmi dengan wajah gelisah.

   "Baik, baik..,"

   Ki Riman langsung melompat keluar dari kamar.

   Dia segera berlari memanggil dukun yang hanya sepuluh tombak dari rumahnya.

   Sebentar saja Ki Riman sudah kembali membawa seorang dukun yang tersohor di Desa Weton Nyelap ini.

   Namun begitu tiba di depan rumah, terdengar jerit tangis istrinya yang memilukan.

   Laki-laki setengah baya itu cepat menerobos ke dalam.

   Dan ternyata anaknya sudah terbujur kaku dengan mata terpejam.

   Jantungnya telah berhenti berdetak.

   Demikian pula nadinya telah berhenti berdenyut.

   Nyi Suparmi langsung memeluk suaminya begitu tiba di dalam kamar.

   "Anak kita, Kang, Anak kita...!"

   Teriak Nyi Suparmi dengan suara memilukan. Laki-laki itu tak tahu, apa yang harus dilaku-kannya. Dia hanya membelai belai kepala istrinya dan berusaha menenangkan.

   "Sudahlah, Bu. Mungkin sudah ditakdirkan kalau ajal anak kita telah tiba hari ini...."

   "Kematiannya tak wajar!"

   Desis dukun yang dibawa Ki Riman setelah memeriksa tubuh gadis itu.

   "Apa?!"

   Sentak kedua orang suami istri itu he-ran.

   "Coba lihat! Sekujur tubuhnya timbul bercak-bercak merah yang cepat sekali menjalar. Lihat! Bercak merah di lehernya telah menjadi sebuah bisul yang terus membesar!"

   Tunjuk dukun itu dengan wajah kaget. Apa yang dikatakan dukun itu memang benar. Dan tentu saja ini membuat mereka kaget. Apalagi ketika bisul itu pecah dan menyebarkan bau busuk yang sangat menusuk! "Celaka! Penyakit yang dideritanya mirip Prapti!"

   Desis dukun itu kembali.

   "Prapti kawannya?"

   Tanya Ki Riman, ingin memastikan. Dukun itu mengangguk "Baru saja tadi Prapti meninggal. Dan...."

   Kedua suami istri itu terkejut dan mengira bahwa penyakit anaknya berasal dari Prapti karena ketularan.

   Dan memang tak ada yang tahu kalau kejadian yang sama telah menimpa perawan-perawan lain di desa Weton Nyelap.

   Satu persatu mereka tewas dengan didahului terserang penyakit aneh, berupa bercak-bercak bernanah yang menyebarkan bau busuk! Tentu saja kejadian itu membuat kalut seisi desa.

   Sebab, ternyata korban-korban yang tewas semakin bertambah dari hari ke hari.

   Bahkan kali ini tidak hanya perawan atau wanita bersuami, tapi juga pemuda-pemuda dan laki-laki penduduk desa ini.

    *** Ki Gendi berjalan mondar mandir di teras depan rumahnya.

   Sesekali matanya melirik ke de-pan, seperti hendak menembus kegelapan malam.

   Kemudian ketika mengetahui tak ada seorang pun di sana, Kepala Desa Weton Nyelap itu terhenyak kembali di kursi.

   Lalu, dihisapnya lintingan rokok bakaunya dalam-dalam.

   Dan mendadak laki-laki setegah baya itu tersentak kaget, ketika seseorang berlari tergopoh gopoh dari arah luar.

   "Wongso! Sudah kau temukan dia?"

   Tanya Gendi, langsung bangkit dari duduknya. Seorang laki-laki bertubuh kurus dengan kumis jarang tak beraturan, menganggukkan kepala.

   "Di mana?"

   Tanya kepala desa itu.

   "Di rumah Ki Sumarja."

   "Gila! Tua bangka itu ternyata masih doyan perempuan juga!"

   Desis Ki Gendi.

   "Kita akan menggerebeknya sekarang, Ki?"

   "Apa kau yakin kalau perempuan itu yang me-nyebabkan malapetaka di desa kita ini?"

   Wongso mengangguk cepat "Semua orang tahu kalau dia memang perempuan nakal dan penggoda suami orang...."

   "Hm.... Alasan lainnya?"

   "Semua orang juga tahu, kalau habis bercinta dengannya maka laki-laki itu terserang penyakit yang menjijikkan. Lalu, tak berapa lama laki-laki itu tewas. Dan dia tak sendiri, Ki. Tapi berdua dengan seorang pemuda tanggung berwajah tampan. Pada mulanya, tak ada seorang pun yang mengenalnya. Tapi seorang penduduk desa telah mengenali wajahnya, saat bersama seorang gadis penduduk desa ini,"

   Jelas Wongso.

   "Hm... Kalau begitu, mari kita berangkat. Bawa beberapa orang tangguh untuk berjaga-jaga, jangan sampai mereka melawan!"

   "Baik, Ki!"

   Kedua orang itu segera melangkah keluar halaman rumah kepala desa Ini.

   Tak berapa lama mereka berjalan.

   Ki Gendi langsung berbelok menuju tempat yang dimaksud.

   Sedangkan Wongso berjalan mendatangi beberapa orang desa yang selama ini dikenal sebagai jago-jago silat tangguh.

    *** "Sumarja! Buka pintumu, cepat!"

   Bentak Ki Gendi sambil mengetuk sebuah pintu rumah ketika telah tiba di rumah Ki Sumarja.

   "Siapa?!"

   Terdengar sahutan dari dalam. Tapi bukan hanya itu yang terdengar. Ada pula suara ribut-ribut kecil seperti orang yang kebingungan.

   "Aku, Ki Gendi..!"

   Jawab Ki Gendi dari luar.

   Tak berapa lama terdengar suara langkah terseret.

   Dan begitu pintu terbuka, muncul sese-orang dari dalam.

   Rambutnya kusut dan mukanya terlihat pucat.

   Pakaiannya pun berkesan acak-acakan.

   Laki-laki kurus dengan rambut sebagian besar telah ubanan itu tersenyum kecil ketika melihat orang yang datang.

   "Eh, Ki Gendi. Ada apa malam-malam begini ke sini, Ki?"

   Sapa orang yang dipanggil Ki Sumarja dengan suara serak bercampur sedikit gemetar.

   "Mana perempuan itu?"

   Tanya Ki Gendi tanpa tendeng aling-aling.

   "Perempuan? Perempuan mana?"

   "Jangan berpura-pura, Sumarja!"

   Bentak laki-laki berkumis tebal dengan tubuh besar, yang juga Kepala desa Weton Nyelap ini.

   "Eh! Aku tak mengerti maksudmu...?!"

   Ki Sumarja berusaha menutupi apa yang terjadi di rumahnya. Namun, mendadak seorang perempuan muda muncul dari dalam. Dan bibirnya langsung melepaskan senyum kecil pada Kepala Desa Weton Nyelap itu.

   "Akukah yang kau maksud?"

   Kata wanita itu dengan suara mendesah dan senyum genit.

   Ki Gendi terkejut begitu melihat wajah perempuan itu.

   Mana mungkin wajah yang selama ini selalu terbayang dalam ingatannya bisa terlupakan.

   Tapi kenangan itu telah berlalu lima belas tahun silam.

   Seharusnya, dia sudah sedikit berumur.

   Tapi yang berdiri di hadapannya, seperti gadis berusia belasan tahun! "Kau...

   Setiasih...?"

   "Jangan bergurau, Ki Gendi. Mana mungkin dia Setiasih. Kalaupun betul, tentu tak semuda ini. Setiasih telah mati lima belas tahun lalu!"

   Sahut Ki Sumarja sambil tertawa kecil. Ki Gendi cepat tersadar mendengar tawa Sumarja. Wajahnya kembali berubah kelam.

   "Setiasih atau bukan kau harus ikut untuk menerima hukuman!"

   Tegas Ki Gendi.

   "Tunggu dulu! Ada persoalan apa ini?!"

   Selak Ki Sumarja. Ki Gendi mendelik tajam pada laki-laki berusia kurang dari lima puluh tahun itu.

   "Tak tahukah, kalau jiwamu kini dalam baha ya!"

   Tanya kepala desa itu dingin.

   "Kau telah melakukan hubungan badan dengannya, bukan?"

   Ki Sumarja tak menyahut.

   "Nyawamu tinggal sesaat lagi, Sumarja!"

   Lanjut Ki Gendi.

   "Omong kosong!"

   Teriak Ki Sumarja ketika tubuhnya terasa mulai dingin.

   "Kau boleh telan ucapanmu itu. Tapi dia ber-kata benar. Kau akan mampus sesaat lagi!"

   Timpal satu suara yang tiba-tiba saja menggema di tempat itu.

   Serentak ketiganya berpaling ke arah sumber suara.

   Kini di depan pintu rumah Ki Sumarja berdiri seorang laki-laki bertubuh sedang.

   Wajahnya seram dengan kumis tebal.

   Tangannya membawa sebilah pedang besar.

   Bola matanya tajam menusuk ketika menatap ke arah perempuan yang berada di samping Ki Sumarja.

   "Perempuan keparat! Kau akan mampus di ta-nganku!"

   Dengus laki-laki itu sambil mendengus dingin.

   "Heh?!"

   Sring! Ki Sumarja dan Ki Gendi terkejut mendengar kata kata orang yang baru datang itu.

   Tapi lebih terkejut lagi ketika mendadak laki-laki itu mengibaskan pedangnya yang tajam berkilat ke arah perempuan di samping Ki Sumarja.

    *** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info ลบออก เราใช้งานคุกกี้เพื่อช่วยปรับแต่งเนื้อหาให้เข้ากับเฉพาะบุคคล ออกแบบและวัดผลโฆษณา และมอบประสบการณ์การใช้งานที่ปลอดภัยยิ่งขึ้น การคลิกหรือการใช้งานเว็บไซต์นี้แสดงว่าคุณยินยอมให้เราเก็บรวบรวมข้อมูลทั้งในและนอก ผ่านทางคุกกี้ เรียนรู้เพิ่มเติมเกี่ยวกับคุกกี้และวิธีควบคุมที่พร้อมใช้งานได้ที่.

   นโยบายคุกกี้ เข้าร่วมหรือเข้าสู่ระบบ อีเมลหรือโทรศัพท์ รหัสผ่าน ลืมบัญชีผู้ใช้ใช่ไหม เข้าสู่ระบบ คุณต้องการเข้าร่วมกับ หรือไม่ สมัครใช้งาน สมัครใช้งาน 124.

   Penghuni Telaga Iblis Bag.

   4 19 กันยายน 2014 เวลา 9.23 น.

    "Yeaaa...!"

   Dengan gerakan serentak, Ki Gendi dan Ki Sumarja cepat membuang diri ke depan.

   Mereka menduga gadis itu pasti tak akan selamat.

   Bahkan akan tewas terkena tebasan pedang laki-laki bertampang seram itu.

   Namun bukan main kagetnya kedua orang itu ketika bangkit.

   Tampak perempuan itu melesat keluar rumah.

   Sementara, laki-laki bertambang seram itu terus mengejar dengan kibasan-kibasan pedangnya.

   Dan ketika telah berada di halaman, perempuan cantik yang dikenali Ki Gendi sebagai Setiasih itu segera melayani serangan-serangan pedang dengan liukan-liukkan tubuhnya.

   "Gila! Tapi, aaakh.... Aduh...,"

   Desis Ki Sumarja kaget. Laki-laki tua itu tiba-tiba menggigil kedinginan. Dan sebentar saja tubuhnya berguling-gulingan sambil menjerit kesakitan.

   "Marja, kenapa kau? Kenapa?!"

   Sentak Ki Gendi sambil menggoyang-goyangkan tubuh laki-laki tua itu.

   Untuk sesaat, kepala desa itu menjadi kalut.

   Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan.

   Masih un-tung Wongso serta beberapa orang jagoan desa telah berada di tempat itu.

   Sementara penduduk yang terjaga dari tidur juga bergegas menuju rumah Ki Sumarja.

   "Cepat! Bawa dia ke tempat Ki Gringsing. Mudah-mudahan orang tua itu bisa menyembuh-kan!"

   Perintah Ki Gendi.

   "Percuma, Ki...,"

   Sahut salah seorang yang berada di dekatnya.

   "Kenapa?"

   "Ki Sumarja tak akan selamat. Dia telah terke-na racun jahat perempuan itu...."

   "Keparat!"

   Maki Ki Gendi.

   "Beberapa orang yang dibawa berobat ke tempat Ki Gringsing tak ada yang sembuh. Dan semuanya tewas,"

   Lanjut orang tadi.

   "Kalau begitu, kalian bantu dia. Dan, tangkap perempuan itu untuk dihukum!"

   "Baik, Ki!"

   Lima orang jagoan Desa Weton Nyelap langsung melompat, hendak membantu meringkus perempuan yang tengah bertarung. Namun....

   "Sial! Siapa yang menyuruh kalian mencam-puri urusanku, heh?!"

   Bentak lelaki berwajah seram.

   "Maaf, Kisanak Perempuan itu telah lama kami cari, karena telah meresahkan desa ini. Maka sudah sepatutnya kami tangkap!"

   Sahut seorang di antara kelima jagoan desa itu.

   "Phuih! Siapa peduli dengan urusan kalian. Dia telah membunuh adikku. Maka sudah sepatutnya dia mampus di tanganku!"

   Dengus laki-laki seram itu.

   "Huh! Kenapa berebutan jika ingin mampus?! Ayo, majulah kalian semua. Biar mudah aku me-ngirim kalian ke akherat!"

   Dengus perempuan berwajah cantik itu menantang.

   Begitu selesai kata-katanya, perempuan yang dikenali sebagai Setiasih itu melenting ke atas seraya berputar-putar di udara.

   Sementara laki-laki berwajah seram itu mengikuti dari bawah sambil mengayunkan pedang.

   Begitu juga kelima jagoan itu.

   Mereka langsung menghadang di bawah dengan golok terhunus.

   "Yeaaa...!"

   Mendadak Setiasih mengayunkan telapak tangan kirinya.

   Wusss...! Seketika dari telapak kiri perempuan itu me-nebar segumpal kabut berwarna hitam kemerahan yang menghalangi pandangan.

   Bahkan kabut itu membawa bau busuk yang amat menyengat.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga tak disadari para pengeroyoknya.

   Maka....

   "Aaa...!"

   Terdengar jeritan panjang dan menyayat, yang diiringi terlemparnya beberapa orang termasuk laki-laki seram yang tadi berhadapan dengan Setiasih.

   Rupanya, kabut berwarna hitam kemerahan-merahan itu membawa racun yang amat mematikan.

   Akibatnya mereka kontan ambruk di tanah dengan dada hangus.

   Tampak dari mulut, hidung, dan telinga mengeluarkan darah berwarna kehitam-hitaman.

   Jelas, nyawa mereka telah terenggut secara mengenaskan.

   Sementara itu dari kelima jagoan desa itu, hanya seorang yang berhasil menyelamatkan diri, karena tadi sempat menjatuhkan diri ke tanah, langsung bergulingan menghindari serangan yang cepat dan tak terduga itu.

   Melihat kejadian ini tentu saja kemarahan penduduk Desa Weton Nyelap yang sejak tadi semakin banyak berkumpul, serentak bangkit.

   Dan secara berbarengan mereka maju sambil mengacung acungkan senjata apa saja untuk menghajar perempuan itu.

   "Hi hi hi..! Kalian pikir bisa berbuat sesuka hati seperti lima belas tahun lalu?! Hari ini adalah pembalasan yang setimpal, atas perbuatan kalian terhadapku dan anakku. Kalian akan mampus! Kalian akan mampus!"

   Kata perempuan berwajah cantik itu dengan suara melengking.

   "Heh?! Kalau demikian, benar dugaanku! Dia Setiasih. Tapi apa betul?"

   Gumam sebuah suara.

   "Huh! Siapa yang peduli?! Yang penting, perempuan laknat ini harus mampus!"

   "Bunuh dia...!"

   Teriak beberapa oang.

   Seperti air bah, puluhan penduduk Desa Weton Nyelap menyerbu ke arah Setiasih.

   Namun saat itu, pula terdengar satu suitan nyaring yang menggema di tempat itu.

   Kemudian, disusul melesatnya sesosok tubuh yang langsung menyerang penduduk desa.

   "Bagus, Pulang Geni! Mari kita hancurkan mereka bersama-sama!"

   Kata Setiasih sambil tertawa nyaring.

   "Hiyaaa...!"

   Dalam sekejap saja beberapa orang penduduk desa memekik kesakitan dan ambruk tak berdaya begitu Setiasih bersama seorang pemuda tampan membantai satu persatu penduduk desa yang tak memiliki kepandaian apa-apa.

   Sementara di tempat itu pun mendadak tercium bau busuk yang menyengat.

   Bahkan beberapa saat kemudian muncul...

   tengkorak-tengkorak manusia! Entah dari mana datangnya, tapi tengkorak itu yang jumlahnya mencapai puluhan langsung mengepung dan menyerang penduduk Desa Weton Nyelap.

   Tentu saja hal itu membuat mereka ketakutan dan berlarian ke sana kemari untuk menyelamatkan diri.

   Namun, sebagian lainnya melawan dengan gigih meskipun harus menemui ajal di tangan kedua orang yang memiliki kepandaian tinggi dan di tangan kerangka-kerangka manusia yang tak kenal ampun.

   Dalam sekejap tempat itu berubah menjadi la-dang pembantaian, dengan mayat-mayat yang bergelimpangan.

   Hampir seluruh penduduk Desa Weton Nyelap tewas dengan cara amat mengerikan.

   Sementara beberapa orang saja yang selamat, karena telah lebih dulu kabur! "Hi hi hi...! Kini terimalah akibat perbuatan kalian terhadap kami dulu.

   Hi hi hi...! Tak akan kubiarkan seorang pun yang akan menghina kami!"

   Teriak Setiasih dengan ketawa nyaring.

   Setiasih dan anaknya yang bernama Pulang Geni merayapi sekitarnya yang telah penuh dengan mayat.

   Lalu mereka melesat meninggalkan tempat itu dengan gerakan gesit Sementara kerangka-kerangka manusia tadi juga mengikuti, dengan melangkah perlahan-lahan.

   Kini Desa Weton Nyelap, kembali sunyi, sepi dan berubah menjadi kuburan penduduknya sendiri! *** Sepasang anak muda tampak tengah memacu kudanya perlahan-lahan ketika telah memasuki batas sebuah desa.

   Dari papan yang terpancang di dekat sebatang pohon warna diketahui kalau desa ini bernama Kedu Halang, Sebuah desa yang cukup ramai, karena merupakan jalan pintas antara dua kerajaan yang selama ini selalu bersahabat akrab.

   Sehingga, tak heran bila siang dan malam tempat ini selalu ramai dikunjungi orang.

   "Kakang, aku lapar. Sebaiknya kita mengisi perut dulu sebelum melanjutkan perjalanan,"

   Usul gadis berbaju biru muda itu dengan wajah berkerut. Pemuda tampan di sampingnya yang mengendarai kuda berbulu hitam itu tersenyum kecil, memandang gadis cantik berbaju biru muda di sebelahnya.

   "Baiklah, Pandan kita berhenti di depan sana!"

   Tunjuk pemuda berbaju rompi putih ketika melihat sebuah kedai makanan di depan sana.

   Memang, pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung itu tak lain dari Rangga yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti Sedangkan gadis di sebelahnya tentu saja Pandan Wangi.

   Sepasang pendekar dari Karang Serra itu segera menjalankan kudanya menuju kedai.

   Begitu sampai, mereka segera turun dan menambatkan kudanya di depan kedai ini yang kelihatan cukup ramai.

   Dan sebenarnya Pandan Wangi merasa enggan untuk memasukinya.

   Tapi di desa ini memang tak ada lagi kedai lainnya.

   Karena, hanya kedai ini satu satunya.

   "Aku kesal kalau sudah ramai orang begini. Coba lihat, Kakang. Mereka memperhatikan, seo-lah-olah kita berasal dari dunia lain,"

   Bisik Pandan Wangj, ketika memasuki kedai.

   Mereka juga langsung disambut oleh seorang pelayan yang juga mencarikan meja.

   Memang saat itu seisi kedai yang tadinya ramai kini mendadak sepi begitu melihat kehadiran mereka.

   Bahkan satu persatu pengunjung mulai meninggalkan kedai seperti ketakutan melihat Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.

   Tentu saja hal itu menarik perhatian Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti.

   "Kakang! Kau melihat keanehan di tempat ini, bukan?"

   Tanya Pandan Wangi.

   Rangga mengangguk pelan, namun berusaha tak memperhatikan sekelilingnya.

   Tapi, mana mau Pandan Wangi bersikap begitu.

   Malah dibalasnya siapa saja yang menatap dengan mata mendelik tajam dan wajah tak senang.

   Sehingga, tindakannya mungkin membuat beberapa orang berwajah kasar merasa tak senang.

   Dan kini mereka sudah langsung menghampiri dan mengelilingi sepasang anak muda itu.

   "He he he...! Perempuan cantik! Kudengar dari bisik-bisik orang, kalian adalah Setan Kuburan? Ah! Tak salah. Yang perempuan katanya cantik, dan mau diajak tidur bersama,"

   Kata seorang laki yang bertubuh kurus dengan cambang bauk tebal.

   Mendengar ucapan orang itu, bukan main ge-ramnya Pandan Wangi.

   Amarahnya langsung menggelegak, seketika gadis itu bangkit dari kur-sinya, sambil menatap tajam penuh amarah.

   Se-dangkan Rangga tetap tenang-tenang saja di kur-sinya.

   "Kurang ajar! Mau kutampar mulut busukmu itu, he?!"

   Maki Pandan Wangi sambil menuding ke arah laki-laki kurus Itu.

   "Ha ha ha...! Kata orang lagi, kau memang he-bat. Tapi jangan sembarangan bicara di depan Jarot Kelono!"

   Kata laki-laki kurus bernama Jarot Kelono.

   Pandan Wangi agaknya tak bisa menahan amarah dan jengkelnya sejak mendengar kata-kata laki-laki itu.

   Tanpa basa-basi lagi kepalan tangannya diayunkan.

   Wuttt! Namun laki-laki kurus bernama Jarot Kelono sedikit membuktikan kata-katanya, seketika ditangkisnya serangan itu.

   "Hih!"

   Plakkk! Serangan Pandan Wangi tak berhenti sampai di situ.

   Maka dengan tiba-tiba lutut kanannya kembali menghantam perut.

   Untungnya Jarot Kelono mundur beberapa langkah, sehingga lutut gadis itu tak sampai bersarang di perutnya.

   Namun ternyata ujung kaki Pandan Wangi terus mengejar ke arah pelipis.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga tak mampu dihindari Jarot Kelono.

   Desss! "Ukh...!"

   Jarot Kelono kontan terhuyung-huyung ke be-lakang sambil meringis kesakitan, begitu ujung kaki Pandan Wangi mendarat telak di pelipisnya.

   "Kurang ajar! Berani kau memukul kakangku, perempuan rendah! Mampuslah bagianmu!"

   De-ngus dua lelaki yang tadi bersama Jarot Kelono. Begitu mencabut golok, mereka langsung menye-rang Pandan Wangi dengan geram.

   "Huhhh..."

   Pandan Wangi mendengus garang. Seketika kipas mautnya dicabut, bersiap menghantam balik serangan dua orang lawannya. Dan begitu golok-golok itu hampir menyentuh kulitaya, tangannya yang memegang kipas langsung dikebutkan.

   "Hiyaaa...!"

   Trak! Trak! Dengan sekali kebut kedua senjata lawan ter-pental begitu terpapak senjata milik Pandan Wangi. Bersamaan dengan itu Pandan Wangi juga melepaskan dua tendangan keras yang cepat dan beruntun. Sehingga.... Diegkh! Dugkh! "Aaakh! Ugkh!"

   Kedua orang itu kontan terjajar ke belakang sambil merintih kesakitan. Mereka bermaksud bangkit dan akan menghajar gadis itu kembali. Tapi...

   "Tahan...!"

   Cegah Jarot Kelono.

   "Kenapa, Kang? Perempuan rendah ini telah mempermalukan kita. Dia patut dihajar!"

   "Sekali lagi kau berkata begitu, kurobek murutmu!"

   Bentak Pandan Wangi sambil memelototkan matanya ke arah orang yang berkata barusan. Orang itu melirik pada Jarot Kelono dengan wajah bingung. Tampak Jarot Kelono mendekati gadis itu sambil menyelipkan goloknya ke pinggang.

   "Nisanak! Melihat kipasmu, apakah kau yang berjuluk si Kipas Maut?"

   Tanya Jarot Kelono dengan sikap lebih sopan dari sebelumnya "Kalau memang benar, apa lantas kau akan terus kurang ajar padaku?"

   Dengus Pandan Wangj, masih geram.

   "Kalau begitu, maafkan kesalahpahaman ini, Nisanak..,"

   Ucap Jarot Kelono seraya menjura.

   "Apakah maksudmu sebagai kesalahpahaman?"

   Tanya Pandan Wangi tanpa membalas peng-hormatan itu! "Kami kira kalian adalah sepasang Setan Ku-buran yang sering membuat kekacauan,"

   Jelas Jarot Kelono. Pandan Wangi menaikkan alisnya yang membentuk indah. Wajahnya masih tetap menunjukkan kebingungan.

   "Apakah kalian tak mendengar berita tentang Setan Kuburan?"

   Tanya Jarot Kelono meyakinkan. Pandan Wangi menggelengkan kepala.

   "Huh! Berpura-pura tidak tahu, atau memang kau sendiri orangnya?"

   Sentak sebuah suara di dalam kedai.

   "Heh?!" *** Serentak mereka berpaling ke arah sumber suara dan tampak seorang perempuan tua berambut panjang yang telah memutih dan dibiarkan tak terurus tengah duduk tenang di kursinya. Memang tidak ada orang lain lagi selain perempuan tua itu. Karena pengunjung kedai lainnya memang telah sejak tadi pergi dari sini. Perempuan tua berbaju hitam itu, memegang tongkat kayu terbuat dari cabang pohon yang agaknya telah berumur ratusan tahun. Wajahnya tak bersahabat, bahkan cenderung seram. Kelopak matanya cekung dan hidungnya panjang, bengkok ke bawah. Bibirnya hitam dan tebal.

   "Nisanak! Apakah maksud kata-katamu itu?!"

   Tanya Pandan Wangi dengan nada suara tak se-nang.

   "Hik hik hik...! Kau sendiri pasti mengerti. Tapi yang jelas, kau tak akan selamat dari tempat ini. Dan kau tak akan kubiarkan pergi dengan nyawa masih melekat di tubuh!"

   Ancam perempuan tua itu enteng.

   "Nisanak! Aku semakin tak mengerti, ke mana arah pembicaraanmu. Datang-datang bicara nga-wur. Kenal denganmu pun, baru hari ini. Jadi ba-gaimana mungkin aku bisa berurusan denganmu!"

   Dengus Pandan Wangi semakin kesal.

   "Benar, kita memang baru berkenalan hari ini. Tapi kalau aku tak keluar dari pertapaanku karena ulahmu yang meracuni cucuku sampai mati, maka aku akan terus penasaran. Huh! Setan Kuburan mau bertingkah di hadapan Gagak Setan Pemakan Bangkai!"

   Dengus nenek yang ternyata berjuluk Gagak Setan Pemakan Bangkai.

   "Hm... Kiranya kau pun menuduhku Setan Kuburan. Orang tua! Agaknya kau sudah kelewat tua, sehingga membuatmu pikun. Aku tak pernah kenal cucumu. Dan aku tak tahu-menahu tentang Setan Kuburan. Dan kau pikir, dengan begitu aku takut meninggalkan tempat ini?!"

   Sahut Pandan Wangi, dengan sikap menantang. Pandan Wangi lalu berbalik. Ditatapnya Rangga yang masih tak peduli. Tampaknya, Pendekar Rajawali Sakti masih asyik dengan santapannya.

   "Mari, Kakang. Kita tinggalkan kedai yang pe-nuh orang-orang sinting. Lama-lama berada di tempat ini, aku bisa ketularan sinting,"

   Ajak Pandan Wangi, geram.

   "Nyai Gagak Setan Pemakan Bangkai! Apakah yang dikatakan gadis itu benar. Dia bukan Setan Kuburan, dan sama sekali tak tahu-menahu soal cucumu yang menjadi korban. Dialah pendekar wanita kenamaan yang berjuluk si Kipas Maut,"

   Kata Jarot Kelono yang agaknya ingin menjernihkan suasana.

   "Huh! Siapa yang peduli ocehanmu!"

   Dengus Gagak Setan Pemakan Bangkai sambil melepaskan satu pukulan maut jarak jauh ke arah Pandan Wangi.

   Werrr! Pandan Wangi agaknya sudah menduga.

   Maka sebelum pukulan yang mengandung desir angin kuat itu menghantam dirinya, dengan gerakan cepat tubuhnya melenting, dan mendarat manis di atas meja di sebelah kirinya.

   Bola matanya langsung menatap tajam ke arah nenek itu.

   "Orang tua sial! Agaknya kau memang tak bisa diberi pengertian. Kalau sudah dikepruk kepalamu mungkin baru kau bisa mengerti!"

   Maki Pandan Wangi berang.

   "Bocah kurang ajar! Kau pikir siapa dirimu, sampai berani berkata begitu padaku! Hih!"

   Wajah perempuan tua itu tampak garang. Dan dengan kemarahan memuncak dia sudah langsung melompat menyerang gadis itu.

   "Sal!"

   Maki Pandan Wangi kembali. Seketika kipas mautnya yang tadi sudah diselipkan ke ping gangnya kembali dicabut. Dan dia telah bersiap menyambut serangan.

   "Hiyaaa...!"

   Satu sabetan keras ujung tongkat Gagak Setan Pemakan Bangkai menderu menghantam batok kepala Pandan Wangi.

   Namun dengan gesit gadis itu mengelak sambil menundukkan kepala.

   Ujung tongkat nenek itu tahu-tahu telah melesat kembali, menyodok ke arah jantung.

   Maka terpaksa Pandan Wangi menangkis dengan kipas yang terbuat dari baja putih.

   Wuttt! Trakkk! Gadis itu mengeluh ketika senjata mereka ber-adu.

   Dia merasakan dorongan tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat tongkatnya begitu kuat.

   Namun begitu, gadis itu masih sempat menyodokkan sebelah kaki ke perut Gagak Setan Pemakan Bangkai.

   "Haiiit..!"

   Dengan gerakan lincah, nenek itu melompat ke atas untuk menghindarinya. Dan bersamaan dengan itu, ujung tongkatnya menggebuk punggung Pandan Wangi. Pandan Wangi menyadari kedudukannya yang tak memungkinkan melakukan serangan. Maka....

   "Hiyaaa...!"

   Tubuh Pandan Wangi langsung mencelat keluar dari kedai itu. Tapi dengan gerakan nyaris sama, perempuan tua itu pun mengikuti sambil terus mengayunkan tongkatnya.

   "Huh! Kau pikir bisa lolos dari seranganku!"

   Dengus Gagak Setan Pamakan Bangkai garang.

   "Yeaaa...!"

   Pandan Wangi terkejut setengah mati ketika merasakan angin serangan tongkat nenek itu yang begitu dekat dan keras sekali.

   Apalagi, dia tak sempat mengelak banyak.

   Dengan sedikit memiringkan tubuhnya, dicoba menangkis dengan kipas baja putihnya.

   Dan ternyata, serangan tongkat itu hanya tipuan belaka.

   Karena serangan nenek itu yang sesungguhnya adalah tendangan kaki.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga Pandan Wangi tak mampu menghindari.

   Dan...

   Wuttt! Dukkk! "Aaakh...!"

   Gadis itu mengeluh kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ketika perutnya dihantam tendangan nenek itu. Sementara Gagak Setan Pemakan Bangkai sudah langsung melesat dengan tongkatnya untuk menghabisi gadis itu.

   "Perempuan keparat. Mampuslah kau sekarang juga! Hih!"

   "Gagak Setan Pemakan Bangkai, tahan se-ranganmu!"

   Tiba-tiba sebuah suara terdengar.

   "Heh?!" *** Pendekar Rajawali Sakti บันทึกโดย Pendekar Rajawali Sakti บันทึกทั้งหมด ฝังโพสต์ ภาษาไทย 日本語 สมัครใช้งาน เข้าสู่ระบบ มือถือ ค้นหาเพื่อน ผู้คน เพจ สถานที่ เกม ตำแหน่งที่ตั้ง คนดัง กลุ่ม สูตรอาหาร กีฬา เกี่ยวกับ สร้างโฆษณา สร้างเพจ ผู้พัฒนา ร่วมงานกับ ความเป็นส่วนตัว คุกกี้ ตัวเลือกโฆษณา เงื่อนไข ความช่วยเหลือ การตั้งค่า บันทึกกิจกรรม  . 124. Penghuni Telaga Iblis Bag. 5 19. September 2014 um 09.24 Gagak Setan Pemakan Bangkai agaknya tak merasa terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan tiba-tiba dilepaskannya satu pukulan jarak jauh ke arah satu sosok bayangan putih yang melesat ke arahnya. Sesosok tubuh berbaju rompi putih itu melenting ke udara untuk menghindari pukulan jarak jauh yang mengarah ke arahnya. Kemudian cepat dikirimkannya serangan balasan berupa pukulan jarak jauh pula. Perempuan tua itu tersentak kaget. Maka tubuhnya langsung melenting menghindar. Rambut dan pakaiannya sampai berkibar-kibar laksana dilanda badai topan hebat begitu serangan itu lewat. Dengan sekuat tenaga dicobanya untuk bertahan. Bahkan dengan gesit tongkatnya diayunkan ketika lawan barunya semakin mendekat "Mampus!"


Ibu Hantu Karya Ang Yung Sian Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat Pendekar Bloon Karya SD Liong

Cari Blog Ini