Rahasia Cincin Mustika 2
Pendekar Rajawali Sakti Rahasia Cincin Mustika Bagian 2
Kemudian, terlihat sebentuk kepala yang kotor penuh lumpur menyembul dari dalam tanah.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan dengan mata tidak berkedip.
Hingga akhirnya, di depan mereka kini berdiri seorang anak kecil yang berusia sekitar tiga belas tahun.
Anak itu bertubuh kurus dan kotor penuh tanah berlumpur.
Kulitnya ditumbuhi sisik seperti seekor ular berwarna hijau kehitaman.
Dia berdiri tegak di atas tanah yang tadi ditembus.
Anak itu seakan-akan sesosok makhluk yang sudah mari saja.
Matanya menatap kedua pendekar muda dari Karang Setra itu dengan sinar tajam memerah.
"Siapa kalian?! Apa maksud kalian datang mengganggu wilayahku...?"
Terasa begitu dingin dan datar suara bocah kecil itu.
"Aku Rangga. Dan ini adikku. Pandan Wangi...,"
Sahut Rangga memperkenalkan diri.
"Maaf kalau kedatanganku ke sini mengganggumu. Tapi, aku tidak bermaksud mengganggu. Aku dan adikku ini hanya tersesat di dalam hutan ini."
Bocah kecil yang keluar dari dalam tanah itu memandangi Rangga dan Pandan Wangi dengan mata merah dan tajam menusuk, seakan tidak percaya dengan alasan yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti barusan.
Dan Rangga tahu, bocah aneh itu tidak mempercayai keterangannya barusan.
"Baiklah. Jika ketenanganmu merasa terusik, aku akan pergi dari sini,"
Kata Rangga tidak ingin lagi memperpanjang.
"Tunggu...!"
Sentak bocah itu sebelum Rangga bisa melangkah pergi meninggalkannya. Rangga yang sudah akan berbalik, jadi mengurungkan niatnya. Sedangkan Pandan Wangi hanya diam saja memandangi bocah kecil yang kulit tubuhnya kotor dan bersisik seperti ular ini.
"Aku melihat kejujuran di matamu, Kisanak. Dan kuminta, kau jangan pergi dulu,"
Kata bocah kecil itu, mulai terdengar ramah nada suaranya.
"Hm...,"
Rangga hanya menggumam saja sedikit.
"Kau seorang pendekar...?"
Tanya bocah itu. Rangga tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang mengangguk.
"Aku memerlukan seorang pendekar sejati yang tidak pernah tergiur gemerlapnya dunia dan segala macam benda pusaka milik orang lain. Aku yakin, kau bisa mengerti maksudku,"
Kata bocah kecil itu lagi.
"Maaf, pertolongan apa yang kau perlukan da-riku?"
Tanya Rangga sopan.
"Aku tidak bisa mengatakannya di sini. Kalau kau bersedia, ikutlah bersamaku. Nanti ayahku yang akan menjelaskannya,"
Sahut anak kecil itu.
"Tapi..., boleh aku tahu apa julukanmu...?"
"Untuk apa?"
Rangga balik bertanya.
"Terus terang, aku sedang menunggu seorang pendekar yang harus kubawa menghadap ayahku. Dan aku tidak mau salah membawa orang."
Rangga terdiam sebentar memandangi bocah itu. Sedikit matanya melirik Pandan Wangi yang juga sejak tadi diam saja memandang ke.arah yang sama.
"Pendekar Rajawali Sakti,"
Sahut Rangga menyebutkan julukannya.
"Ah...! ternyata aku tidak salah. Kau memang orang yang sedang kutunggu. Mari kuantarkan kalian menemui ayahku. Biar nanti kalian tahu, apa maksudnya,"
Kata bocah kecil bersisik itu dengan bola mata berbinar cerah.
"Hm.... Siapa ayahmu?"
Tanya Pandan Wangi menyelak.
"Dan kau sendiri juga belum mengatakan namamu."
"Oh, maaf.... Aku lupa,"
Sahut bocah kecil itu agak tersipu.
"Biasanya, aku dipanggil Putra Naga. Dan ayahku adalah Naga Prata. Kami tinggal di dalam Goa Naga yang ada di dalam tanah."
"Di dalam tanah...?"
Pandan Wangi jadi terbeliak.
Bocah kecil bertubuh kotor dan bersisik seperti ular yang tadi mengaku bernama Putra Naga jadi tersenyum melihat keterkejutan Pandan Wangi.
Tapi disadari kalau memang tidak mungkin bagi orang biasa untuk bisa bertahan lama hidup di dalam tanah.
Sedangkan dia sendiri memang sudah sejak lahir berada di dalam tanah.
"Kau tidak perlu khawatir, Kak Pandan. Tempat tinggalku berada tepat di bawah kakiku ini. Ayo ikuti aku,"
Ajak Putra Naga.
Tanpa banyak bicara lagi, bocah kecil yang bernama Putra Naga itu langsung mengambil tangan Pandan Wangi.
Lalu dengan cepat sekali tubuhnya melesat masuk ke dalam tanah, membuat Pandan Wangi yang tertarik masuk jadi tersentak kaget dan menjerit.
"Kakang...! Akh...!"
"Heh...?!"
Rangga juga jadi kaget setengah mati.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat masuk ke dalam tanah yang terbuka seperti sumur itu.
Jeritan Pandan Wangi langsung tenggelam, bersama menutupnya kembali tanah yang berlubang.
Kini tanah itu telah rapat tertutup rerumputan dan daun-daun kering.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi sudah lenyap masuk ke dalam tanah mengikuti Putra Naga.
Kedua pendekar muda dari karang Setra itu meluncur deras sekali ke dalam lereng yang panjang seperti goa di dalam tanah ini.
Mereka tidak dapat melihat apa-apa, selain kegelapan yang menyelimuti sekelilingnya.
Tapi, Pandan Wangi masih merasakan kalau pergelangan tangan kanannya dipegangi jari-jari tangan kecil yang kasar dan bersisik.
Sedangkan sebelah kakinya dipegangi Rangga yang mengikuti dari belakang.
--myrna--"Inilah tempat tinggalku,"
Kata Putra Naga.
"Oh...."
Pandan Wangi jadi terlongong bengong, begitu melihat sebuah istana yang begitu megah berdiri di dalam tanah.
Lebih tercengang lagi, keadaan di sekitarnya begitu terang seperti tengah hari saja.
Padahal, tidak terlihat adanya cahaya matahari yang masuk.
Di atas kepala mereka yang terlihat hanya gumpalan tanah berwarna hitam pekat.
"Ayo, kita temui ayahku,"
Ajak Putra Naga.
Rangga dan Pandan Wangi mengikuti anak kecil itu memasuki bangunan istana yang sangat megah ini.
Namun sungguh mencengangkan, mereka tidak melihat ada seorang pun di dalam istana ini.
Keadaannya begitu sunyi, tidak terlihat prajurit seorang pun yang menjaga, sebagaimana layaknya sebuah istana.
Apalagi istana ini begitu megah.
Dan rasanya Rangga sendiri baru melihat sebuah bangunan istana yang begitu megahnya.
Jauh bila dibandingkan dengan Istana Karang Setra.
"Kalian tunggu di sini. Aku panggil Ayah dulu,"
Ujar Putra Naga, setelah mereka berada di dalam sebuah ruangan yang sangat luas dan indah.
Langit-langit ruangan itu begitu tinggi, seakan tidak berujung.
Tiang-tiang yang besar, terdapat sebuah tiang sokoguru yang berukuran sangat besar berwarna kuning keemasan, bagai terbuat dari emas murni.
Lantainya berwarna putih bersih dan berkilat, hingga bayangan tubuh mereka terlihat jelas.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Mereka tidak bisa lagi menyembunyikan kekagumannya melihat kemegahan istana ini.
Mereka langsung berpaling ke arah pintu yang dimasuki Putra Naga tadi, ketika terdengar suara mendesis yang begitu keras dari dalam pintu itu.
Dan dari dalam pintu itu, muncul Putra Naga bersama seekor ular naga yang begitu besar wujudnya.
Ular naga itu berkulit hijau kehitaman, dan kelihatan lemah seperti tidak ada daya lagi.
"Kakang Rangga, Kak Pandan.... Ini ayahku,"
Kata Putra Naga memperkenalkan.
"Oh...!"
Pandan Wangi jadi terlenguh melihat orangtua si Putra Naga ternyata berbentuk seekor ular naga raksasa yang begitu besar.
Pantas saja istananya ini sangat besar dan tinggi, seperti istana yang dihuni raksasa saja.
Sementara ular naga yang kelihatan lemah itu melingkar diam di sudut ruangan berpermadani.
Sedangkan Putra Naga duduk di sampingnya.
Pandan Wangi dan Rangga segera mengambil tempat, duduk bersila di depan mereka.
"Maaf, aku menerima kalian dalam wujud seperti ini...,"
Ucap ular naga itu dengan suara berat dan pelan.
"Oh...?!"
Lagi-lagi Pandan Wangi terlenguh kaget mendengar ular naga itu berbicara seperti manusia. Sedangkan Rangga hanya diam saja, memandangi naga raksasa yang dikenalkan Putra Naga tadi sebagai ayahnya, yang bernama Naga Prata.
"Aku tidak lagi bisa berubah menjadi manusia, karena mustika kekuatanku hilang dicuri seorang anak yang kuselamatkan dari kematian. Bahkan kalian lihat sendiri, anakku juga jadi seperti ini. Dan istana ini.... Tidak ada lagi prajurit, dan rakyatku. Mereka semua sudah kembali berubah menjadi ular. Mereka tidak akan bisa berubah wujud lagi, selama mustika itu tidak berada padaku,"
Kata Naga Prata langsung mengemukakan kesulitannya.
"Mustika apa yang kau maksudkan?"
Tanya Rangga yang sejak tadi diam saja.
"Sebuah batu mustika berwarna hijau sebesar kuku, dan berbentuk cincin,"
Jelas Naga Prata.
"Lalu, siapa anak yang telah mencuri mustika kekuatanmu itu?"
Selak Pandan Wangi.
"Kunjang,"
Sahut Naga Prata.
"Kunjang...,"
Gumam Rangga mengulangi nama pencuri mustika kehidupan Naga Prata itu.
"Ya! Namanya Kunjang asalnya dari Desa Payakan. Waktu itu Kunjang dianiaya dan hampir mati di dalam hutan. Untung saja aku segera membawanya ke sini. Bahkan aku telah mengangkat sebagai anak untuk menemani anakku bermain. Dia kuberi pelajaran ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan sama dengan putraku. Tapi, rupanya Kunjang bukan anak baik Dia tahu tentang mustika kekuatanku, lantas mencurinya ketika aku sedang tidur. Dengan cincin mustika itu, Kunjang nyaris tidak akan bisa terkalahkan oleh siapa pun juga. Bahkan bisa sangat berbahaya bagi semua orang. Tapi, bukan itu yang kukhawatirkan...."
Naga Prata menghentikan ceritanya sebentar. Seperti ada sesuatu yang membebani harinya. Dan itu memang harus diungkapkannya.
"Aku mencemaskan kelangsungan hidup bangsaku. Tanpa mustika itu, bangsaku tidak akan bisa lagi hidup di sini. Dan mereka akan menjadi liar kembali, tanpa ada yang dapat mengendalikannya. Bisa kau bayangkan, bagaimana kalau seluruh bangsaku yang berbentuk ular itu sampai ke permukaan bumi. Aku rasa, tidak akan ada seorang pun yang bisa lagi menghalanginya. Jumlahnya lima kali lipat dari jumlah manusia yang ada di bumi,"
Jelas Naga Prata lagi.
"Belum lagi, ditambah ular-ular yang memang hidup dan bebas berada di atas permukaan bumi. Mereka akan memangsa apa saja yang ada di bumi ini. Bahkan manusia pun, tidak luput dari keganasan mereka. Kau harus hentikan semua ini sebelum terjadi, Pendekar Muda. Hanya kau yang bisa melakukannya...."
"Kenapa harus aku...?"
Tanya Rangga tidak mengerti.
"Aku tahu siapa dirimu, Anak Muda. Kau adalah Pendekar Rajawali Sakti, murid tunggal Pendekar Rajawali yang memiliki tunggangan seekor burung rajawali. Antara gurumu dan aku, saling bersahabat. Aku tahu kemampuan yang kau miliki. Bahkan kau juga menjadi murid Satria Naga Emas, yang sebenarnya saudara sepupuku. Jadi aku tidak bisa memilih orang lain lagi selain dirimu, Pendekar Rajawali Sakti,"
Jelas Naga Prata.
Rangga hanya bisa diam saja, mendengar penjelasan ular naga raksasa itu.
Dia jadi teringat ketika berada di kediaman Satria Naga Emas.
Memang, wujud Satria Naga Emas bisa berubah menjadi seekor ular naga raksasa, selain juga bisa berubah wujud menjadi manusia.
Dan Rangga merasa tidak aneh lagi, kalau Naga Prata bisa tahu terang dirinya.
Pendekar Rajawali Sakti sudah sering berjumpa orang-orang aneh yang bisa mengubah wujud dan mengetahui segalanya yang ada di bumi ini.
Dan yang pasti, Naga Prata juga tahu nama asli Pendekar Rajawali Sakti tanpa harus diperkenalkan lagi.
"Pergilah kalian. Cari anak itu, dan bawa ke sini,"
Pinta Naga Prata.
"Aku akan usahakan semampuku, Eyang Naga,"
Ucap Rangga, langsung menyebut Naga Prata dengan sebutan eyang.
Sebutan itu memang merupakan penghormatan bagi mereka yang dianggap lebih tinggi dan dihormati.
Rangga langsung memanggilnya eyang, setelah tahu kalau Naga Prata adalah saudara sepupu Satria Naga Emas.
Bahkan sahabat dari gurunya sendiri, Pendekar Rajawali yang hidup lebih dari seratus tahun yang lalu.
"Putra Naga akan mengantarkan kalian kembali,"
Kata Naga Prata lagi. Setelah berkata demikian, ular naga raksasa itu bergerak meninggalkan ruangan ini dengan gerakan begitu lambat Sedangkan Putra Naga segera beranjak bangkit, dan menghampiri kedua pendekar muda dari Karang Setra ini.
"Mari, kuantarkan kalian kembali,"
Ajak Putra Naga sopan.
--myrna--Tidak seperti saat datang, kali ini Rangga dan Pandan Wangi sama sekali tidak merasakan apa-apa ketika meninggalkan istana megah tempat tinggal Naga Prata.
Mereka berjalan seperti biasa, menembus lorong goa yang begitu panjang dan gelap serta berliku.
Namun, Pandan Wangi merasa kalau goa itu terus menanjak naik.
Hingga akhirnya, mereka tiba di mulut sebuah goa yang berada di tengah-tengah hutan.
Sebuah mulut goa yang cukup besar, terlindung semak dan pepohonan yang cukup rapat.
Sinar matahari yang menerobos melalui rerimbunan dedaunan, membuat kulit mereka seketika jadi terasa hangat.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu langsung melangkah keluar dari dalam goa ini, tapi Putra Naga tetap berada agak jauh dari mulut goa ini.
"Kau tidak keluar, Putra Naga...?"
Tegur Rangga. 'Tidak,"
Sahut Putra Naga.
"Kenapa?"
Tanya Rangga ingin tahu "Sinar matahari akan membakar tubuhku. Tidak ada lagi pelindung pada diriku. Nanti kalau kalian sudah mendapatkan cincin mustika itu kembali, aku baru bisa berjalan-jalan keluar,"
Jelas Putra Naga. Rangga hanya mengangguk-angguk saja. Rupanya memang kehidupan mereka tergantung dari cincin mustika itu. Tapi, kini cincin itu berada dalam kekuasaan seorang bocah kecil yang tidak jelas berada di mana sekarang ini.
"Baiklah, Putra Naga. Aku akan kembali lagi ke sini dengan cincin mustika itu,"
Kata Rangga.
"Aku tunggu kalian di mulut Goa Naga ini,"
Sahut Putra Naga.
"Kami pergi dulu, Putra Naga,"
Pamit Rangga.
"Kuda kalian ada di tepi hutan,"
Kata Putra Naga memberi tahu.
Rangga hanya tersenyum saja.
Sedang Pandan Wangi melambaikan tangannya, yang dibalas Putra Naga dari dalam goa itu.
Kini kedua pendekar muda dari Karang Setra ini segera melangkah meninggalkan mulut Goa Naga.
Mereka mengambil arah selatan, langsung menuju Desa Payakan.
Tujuan utama mereka kini hanya Desa Payakan yang menjadi petunjuk satu-satunya untuk bisa menemukan bocah yang dikatakan Naga Patra telah mencuri cincin mustika kekuatan dan kehidupannya.
Mereka terpaksa harus berjalan kaki menembus hutan yang lebat dan gelap ini, walaupun matahari bersinar cukup terik di atas awan.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, mereka bisa lebih cepat sampai ke tepi hutan.
Teriknya cahaya matahari langsung membakar kulit tubuh kedua pendekar ini.
Dan benar saja, kuda-kuda mereka sudah menunggu di tepi hutan ini.
Bahkan langsung menghampiri, sambil mendengus-dengus.
"Hup!"
Sepasang pendekar dari Karang Setra itu langsung saja naik ke punggung kudanya masing-masing, tapi tidak langsung menggebahnya.
Sementara tidak seberapa jauh di depan mereka, terlihat Desa Payakan yang tampak sunyi seperti tidak ber-penghuni lagi.
Beberapa saat kedua pendekar muda dari Karang Setra ini memandangi desa yang tampak sunyi itu.
"Ada apa, Kakang? Kau seperti memikirkan sesuatu...,"
Tegur Pandan Wangi, melihat Rangga memandangi Desa Payakan dengan kelopak mata agak menyipit dan kening sedikit berkerut "Aku merasa ada kelainan di sana, Pandan,"
Sahut Rangga.
"Kelainan apa, Kakang? Aku tidak mengerti maksudmu...,"
Ujar Pandan Wangi, meminta penjelasan.
"Perhatikan, Pandan. Desa itu tampak sunyi. Aku tidak merasakan adanya napas kehidupan lagi di sana,"
Sahut Rangga pelan, seolah bicara pada diri sendiri.
Pandan Wangi jadi terdiam.
Dipandanginya desa yang memang kelihatan sunyi dengan kelopak mata agak menyipit Memang tidak terlihat seorang pun di sana.
Seakan desa itu benar-benar sudah ditinggalkan penghuninya.
Sesaat kemudian, gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu berpaling, memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo, Pandan. Kita lihat ke sana,"
Ajak Rangga.
"Hiyaaa...!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, Rangga langsung saja menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi.
Dan Pandan Wangi tidak mau ketinggalan.
Segera kuda putihnya digebah keras-keras, hingga meringkik dan langsung melesat cepat sekali bagai anak panah lepas dari busur.
Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu memacu kudanya dengan cepat menuju Desa Payakan yang masih terbhat sunyi seperti tidak ber-penduduk.
Sebentar saja mereka sudah sampai di desa itu.
Memang tidak terlihat satu orang pun berada di desa ini.
Semua rumah yang ada, pintu dan jendelanya tertutup rapat.
Rangga memperlambat jalan kudanya.
Dan Pandan Wangi mensejajarkan langkah kudanya di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka terus memasuki desa itu semakin ke dalam, menelusuri jalan tanah berdebu yang penuh daun-daun serta rerumputan kering.
"Mereka semua ada di dalam rumahnya, Kakang. Aku bisa merasakan napas mereka,"
Kata Pandan Wangi pelan seperti berbisik.
"Hm...."
Rangga hanya menggumam saja sedikit.
Pandangannya beredar ke kiri dan kanan jalan yang dilalui.
Diperhatikannya rumah-rumah yang sunyi, tanpa satu pun yang terlihat membuka pintu maupun jendela.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti bisa mendengar adanya tarikan-tarikan napas tertahan dari dalam rumah-rumah di sepanjang jalan yang membelah desa ini.
Dan Rangga merasa, kehadirannya bersama Pandan Wangi di sini mendapat perhatian dari semua penduduk yang bersembunyi di dalam rumah masing-masing.
Entah, apa yang membuat mereka jadi ketakutan seperti itu, hingga tidak lagi berani keluar dari dalam rumah.
Walaupun, saat ini matahari bersinar cukup terik membakar kulit Mereka baru menghentikan langkah kaki kudanya, setelah tiba di depan sebuah rumah yang paling besar dan paling megah di desa ini.
Rumah yang berdiri.di atas hamparan tanah yang sangat luas itu juga kelihatan sunyi, seperti tidak lagi berpenghuni.
Tapi, hanya rumah ini yang seluruh jen dela dan pintunya terbuka.
Hanya saja, tidak terlihat seorang pun di sana.
"Hup!"
Rangga melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan indah dan ringan sekali.
Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah di samping kuda hitam tunggangannya.
Pandan Wangi ikut melompat turun dari punggung kuda putihnya, dan berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti.
Matanya juga memandangi rumah besar bagai sebuah istana kecil di tengah desa ini.
"Ini pasti rumah Ki Junggut...,"
Gumam Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi kenapa tampak sepi, Kakang? Apa rumah ini sudah ditinggalkan penghuninya?"
Tanya Pandan Wangi juga pelan suaranya.
"Kau tunggu saja di sini, Pandan. Aku akan lihat ke dalam,"
Kata Rangga meminta.
"Hati-hati, Kakang. Mungkin hanya jebakan saja,"
Pandan Wangi memperingatkan.
Rangga hanya tersenyum saja.
Kakinya terus melangkah, mendekati pintu pagar yang terbuat dari bambu ini.
Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah perlahan-lahan dengan ayunan kaki begitu ringan, memasuki halaman yang sangat luas dan ditumbuhi rerumputan cukup tebal ini.
Sementara Pandan Wangi tetap menunggu di luar.
Gadis itu terus memperhatikan sekelilingnya, berjaga-jaga kalau keadaan yang sunyi hanya sebuah jebakan saja.
Kini Rangga sudah berada di depan beranda rumah ini.
Matanya memperhatikan sekeliling beberapa saat Dan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat masuk ke dalam rumah ini.
Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi.
Cukup lama juga Rangga berada di dalam, membuat Pandan Wangi mulai merasa gelisah.
Tapi di saat kegelisahan Pandan Wangi berada pada puncaknya, Rangga muncul dari dalam rumah itu seraya melambaikan tangan memanggil gadis ini.
Bergegas Pandan Wangi melangkah, menyeberangi halaman yang luas itu sambil menuntun kuda-kuda tunggangan mereka.
Gadis itu langsung menghampiri Rangga yang menanti di ambang pintu.
"Kau dapatkan sesuatu, Kakang?"
Tanya Pandan Wangi langsung begitu dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Mereka semua sudah mati,"
Sahut Rangga pelan.
"Apa...?!" --myrna--Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak, seakan tidak percaya melihat tubuh-tubuh yang sudah tidak-bemyawa lagi saling tumpang tindih di dalam sebuah kamar berukuran cukup besar di rumah ini. Bau busuk yang tidak sedap mulai menyebar, menyeruak ke dalam hidung. Pandan Wangi bergegas meninggalkan kamar itu. Sementara, Rangga beberapa saat masih mengamati keadaan sekitarnya. Pendekar Rajawali Sakti melihat beberapa mayat itu dikenali sebagai orang-orang yang pernah menyerangnya di dalam hutan. Dan memang di antara mayat-mayat ada Ki Sampulut, Ki Jampur dan Nyai Waringki bersama orang-orang yang pernah dibawanya. Dan di sudut kamar ini, terlihat seorang pemuda yang sudah menjadi mayat dengan dada berlubang besar. Siapa lagi kalau bukan mayat Rantaki.
"Kakang...! Coba lihat ini!"
Rangga cepat berbalik, ketika tiba-tiba terdengar teriakan Pandan Wangi.
Bergegas kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi yang berada di dalam ruangan lain.
Tampak gadis cantik berbaju biru muda yang dijuluki si Kipas Maut itu sidang memandangi guratan-guratan pada dinding kayu ruangan ini.
Rangga menghampiri, dan berdiri di sebelah kanannya.
"Kau percaya kalau semua ini perbuatan binatang buas, Kakang...?"
Tanya Pandan Wangi langsung.
Rangga tidak langsung menjawab.
Diperhatikannya guratan-guratan di dinding itu yang seperti cakaran seekor binatang buas.
Pada guratan itu juga terdapat noda-noda darah yang sudah kering dan menghitam.
Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Keadaan di dalam kamar ini sungguh berantakan.
Tidak ada satu pun barang-barang di dalam kamar ini yang masih utuh.
Semuanya hancur berantakan.
"Ayo, Pandan...,"
Ajak Rangga.
Pandan Wangi menurut saja, saat Rangga menggamit tangannya, mengajak keluar dari kamar ini.
Mereka langsung menuju ruangan depan, dan terus keluar dari rumah ini.
Tapi mereka berhenti, begitu sampai di beranda depan.
Keadaannya masih tetap sunyi seperti tadi.
Tetap tidak terlihat seorang pun berada di rumah.
Semua orang bersembunyi di dalam rumahnya.
Entah, apa yang membuat mereka jadi ketakutan seperti itu.
"Ada yang datang, Kakang,"
Kata Pandan Wangi setengah berbisik.
"Hm...."
Rangga menggumam sedikit, ketika melihat seorang laki-laki berusia setengah baya mendatangi dengan langkah cepat dan kelihatan terburu-buru.
Wajahnya kelihatan seperti ketakutan ketika memasuki halaman rumah ini.
Kedua bola matanya beredar ke sekeliling merayapi sekitarnya, seakan takut ada yang melihat kemunculannya di rumah Ki Junggut ini.
"Maaf.... Kalian siapa...?"
Tanyanya dengan suara tergagap bergetar.
"Kami dua orang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini, Paman,"
Sahut Rangga.
"Namaku Rangga. Dan ini adikku, Pandan Wangi."
"Aku Prakuti. Kalian boleh memanggilku Paman Prakuti,"
Laki-laki setengah baya yang raut wajah memancarkan penderitaan itu juga memperkenalkan diri.
"Aku Kepala Desa Payakan ini."
"Kebetulan sekali. Kami memang sedang membutuhkan orang yang bisa diajak bicara,"
Kata Rangga.
"Kalau kalian ingin bicara, sebaiknya jangan di sini,"
Kata Prakuti.
"Kenapa?"
Tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Rumah ini sudah kosong. Tidak ada lagi penghuninya."
"Memang, rumah ini sudah kosong. Tapi Ki Junggut masih hidup. Dan sesekali dia datang ke sini mengumpulkan orang-orangnya yang mati dibantai setan kecil itu,"
Jelas Prakuti.
"Setan kecil...?"
Kening Rangga jadi berkerut.
"Ayolah, kita bicara saja di rumahku,"
Ajak Prakuti.
Sebentar Rangga menatap Pandan Wangi.
Tapi yang dipandang hanya mengangkat bahu saja sedikit.
Dan mereka kemudian melangkah mengikuti kepala desa itu, meninggalkan rumah Ki Junggut yang sudah tidak dihuni lagi ini.
Sepanjang jalan, berbagai macam pertanyaan bergelut dalam benak Rangga maupun Pandan Wangi Mereka ingin lebih tahu lagi mengenai keadaan Desa Payakan yang semakin terselimut teka-teki.
--myrna--Rumah Prakuti tidak terlalu besar, namun terlihat nyaman dan bersih terawat Kedatangan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu disambut istri dan tiga orang yang sudah besar.
Mereka semua berkumpul di ruangan depan, hingga bisa memandang langsung ke jalan.
"Sudah berapa lama keadaan seperti ini berlangsung?"
Tanya Rangga setelah mereka bicara banyak.
"Entalah, Rangga. Mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun. Yaaah..., sejak Ki Junggut dan orang-orangnya datang ke sini,"
Sahut Prakuti, menjelaskan.
"Dan selama itu, apa tidak ada yang menentangnya?"
Selak Pandan Wangi.
"Dulu pernah ada yang menentang. Mereka adalah satu keluarga yang masih ada kaitan keluarga dengan istriku. Tapi, mereka habis dibantai. Dan setelah itu, tidak ada lagi yiang berani menentangnya, hingga Ki Junggut semakin menggila saja,"
Jelas Prakuti lagi.
"Lalu, kenapa sekarang dia tidak ada? Bahkan rumahnya kosong, penuh mayat,"
Kata Pandan Wangi meminta penjelasan.
"Tiga hari yang lalu, datang seorang anak kecil yang sangat tangguh dan digdaya. Kepandaiannya sukar sekali ditandingi. Dia langsung mendatangi rumah Ki Junggut, dan membunuh banyak anak buahnya. Bahkan Ki Junggut sendiri tidak bisa menandinginya. Tiga orang tukang pukul kepercayaannya tewas. Bahkan anak kembarnya juga tewas di tangannya. Hanya Ki Junggut dan Ki Sampak saja yang bisa menyelamatkan diri. Tapi, entah sekarang mereka berada di mana. Terkadang Ki Junggut dan Ki Sampak memang terlihat datang ke rumah itu mengumpulkan mayat bekas tukang pukulnya di dalam kamar menjadi satu,"
Jelas Prakuti panjang lebar.
"Tiga hari...?"
Pandan Wangi jadi terkejut. Sungguh tidak disangka kalau dia dan Rangga sudah tiga hari berada di Istana Goa Naga. Padahal hanya beberapa saat saja mereka berada di sana. Tapi, ternyata di alam nyata ini sudah sampai tiga hari lamanya.
"Hm.... Kau tahu siapa anak itu, Paman?"
Tanya Pandan Wangi dengan suara agak menggumam.
Sedikit Rangga melirik Pandan Wangi yang duduk bersila di sebelahnya.
Gadis itu juga melirik sedikit padanya.
Pandan Wangi tahu, apa yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Sama seperti dirinya.
Tentu Rangga juga menduga kalau bocah aneh itu adalah Kunjang yang telah mencuri cincin pusaka kehidupan dari Istana Goa Naga.
"Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia,"
Sahut Prakuti.
"Dia datang bersama seorang gadis,"
Selak istri Prakuti.
"Gadis...?!"
Kening Rangga berkerut.
"Ya! Aku tahu namanya,"
Sahut istri Prakuti lagi.
"Siapa dia, Bibi?"
Tanya Pandan Wangi.
"Wulandari."
"Dia seorang gadis sebatang kara di desa ini. Kedua orang tua dan saudara-saudaranya dibunuh tukang-tukang pukulnya Ki Junggut Tapi, entah sudah berapa hari ini Wulandari menghilang,"
Jelas Prakuti.
"Kenapa kau katakan dia bocah setan, Paman?"
Tanya Rangga ingin tahu.
"Tindakannya memang seperti iblis, Rangga. Siapa saja yang mencoba menghalangi dibunuhnya. Bahkan setelah memporak-porandakan rumah Ki Junggut, dia juga membunuh beberapa orang penduduk di sini tanpa sebab yang pasti,"
Jelas Prakuti lagi.
"Hm.... Tindakannya sudah di luar batas, Kakang,"
Gumam Pandan Wangi pelan, sambil melirik Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di sebelahnya. Rangga hanya diam saja.
"Kalian kenal anak itu?"
Tanya Prakuti. 'Tidak,"
Sahut Rangga cepat 'Tapi kami memang sedang mencarinya, Paman. Dia sangat berbahaya,"
Jelas Pandan Wangi menyelak, tanpa peduli lirikan tajam dari Rangga.
"Oh! Kalau begitu, kalian tinggal saja di sini. Aku yakin dia pasti akan datang lagi ke sini, karena masih mencari Ki Junggut"
Kata Prakuti.
Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak permintaan kepala desa itu.
Mereka memang tidak punya pilihan lain lagi.
Dan saat itu, hari sudah menjelang senja.
Matahari sudah begitu condong ke arah barat.
Sinarnya tidak lagi terik menyengat kulit.
Hanya rona merah saja yang membias di ufuk barat.
Anak gadis Prakuti meminta Pandan Wangi tidur di kamarnya.
Sedangkan Rangga disediakan kamar yang berada di bagian depan bersama anak laki-laki kepala desa itu.
Sementara, keremangan terus merayap menyelimuti seluruh permukaan bumi di Desa Payakan ini.
Dan suasananya juga semakin terasa mencekam.
Hawa kematian begitu terasa dalam diri Pendekar Rajawali Sakti yang tengah duduk mencangkung di berarida depan rumah kepala desa itu.
--myrna--Malam ini Rangga sengaja tidak masuk ke dalam kamarnya.
Sejak sore tadi Pendekar Rajawali Sakti terus duduk mencangkung di beranda depan rumah Kepala Desa Payakan ini.
Sementara, suasana di sekitarnya sudah begitu sunyi mencekam.
Kegelapan menyelimuti sekitar desa.
Tidak ada satu rumah pun yang menyalakan lampu.
Hanya rumah Prakuti saja yang kelihatan terang.
Dan keadaan ini memang disengaja Rangga, untuk menarik perhatian.
"Sudah muncul setan kecil itu...?"
"Oh...?!"
Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya.
Cepat kepalanya berpaling, dan tersenyum sedikit melihat Prakuti tahu-tahu sudah ada di belakangnya.
Laki-laki berusia setengah baya itu mengambil tempat di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.
"Belum, Paman,"
Sahut Rangga seraya kembali mengarahkan pandangan ke depan.
"Mungkin dia tahu kau ada di sini,"
Kata Prakuti lagi.
"Di antara kami, belum pernah ada yang bertemu, Paman,"
Kata Rangga memberi tahu.
"Belum pernah bertemu...? Tapi kenapa kau mencarinya?"
Tanya Prakuti.
"Panjang ceritanya, Paman. Mungkin kau tidak bisa memahaminya,"
Sahut Rangga, enggan untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Persoalan pribadi?"
Tebak Prakuti.
Rangga tidak menyahut Untuk memuaskan kepala desa ini, hanya kepalanya saja yang mengangguk Dan Prakuti tidak bertanya lagi.
Dan menduga, ada salah satu keluarga pemuda ini yang tewas dibunuh bocah tangguh itu.
Dan mereka pun terdiam membisu.
Rangga berpaling sedikit ke belakang, melihat pintu rumah yang terbuka lebar.
Tidak terlihat seorang pun di dalam rumah ini.
"Pandan Wangi bersama ibunya anak-anak di belakang,"
Kata Prakuti memberi tahu tanpa diminta.
Rangga hanya tersenyum saja.
Pendekar Rajawali Sakti memang meminta Pandan Wangi unluk menjaga keluarga ini.
Sementara dia akan menghadapi bocah tangguh yang namanya saja baru dikenal dari Naga Prata.
Rangga tidak mengeluarkan suara lagi, dan kembali mengarahkan pandangan lurus ke depan.
Seakan matanya hendak menembus gelapnya malam yang menyelimuti seluruh Desa Payakan ini.
"Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa berat, Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri.
Kakinya lantas melangkah keluar dari beranda depan rumah kepala desa ini.
Dan berhenti melangkah, setelah sampai di tengah-tengah halaman yang tidak seberapa luas ini.
Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya yang masih terlihat begitu sunyi dan mencekam.
Sedangkan Prakuti hanya diam saja memperhatikan dari beranda depan rumahnya.
"Rangga, coba lihat itu...!"
Seru Prakuti tiba-tiba, sambil menunjuk ke arah selatan.
Rangga langsung berpaling memandang ke arah yang ditunjuk kepala desa itu.
Agak terkesiap juga harinya, melihat kobaran api yang sangat besar di selatan desa ini.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat ke arah kobaran api itu.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi.
Sementara Prakuti masih terlongong bengong tidak bisa berbuat apa-apa.
Dan pada saat itu, Pandan Wangi yang mendengar seruan kepala desa ini tadi bergegas keluar dari dalam rumah.
Gadis itu langsung menatap ke arah kobaran api yang berada di sebelah selatan desa ini.
"Mana Kakang Rangga, Paman?"
Tanya Pandan Wangi.
"Ke sana,"
Sahut Prakuti.
Pandan Wangi bergegas melangkah keluar dari beranda ini.
Dan saat itu, istri serta anak-anak Prakuti ikut keluar, tapi tidak berani jauh dari pintu.
Mereka bisa melihat dengan jelas kobaran api yang begitu besar dari arah selatan desa ini.
Sementara, Pandan Wangi sudah berada di tengah-tengah halaman rumah kepala desa ini.
Hatinya seperti ragu-ragu untuk menyusul Pendekar Rajawali Sakti.
Sedikit kepalanya berpaling memperhatikan Prakuti dan keluarganya yang masih tetap berada di depan pintu rumahnya.
"Kalian masuk saja semua. Tutup semua pintu dan jendela. Jangan ada lampu yang dinyalakan,"
Perintah Pandan Wangi.
"Kau akan ke mana, Pandan?"
Tanya Prakuti.
"Menyusul Kakang Rangga. Mungkin dia membutuhkan bantuanku,"
Sahut Pandan Wangi.
"Tunggu...! Aku ikut denganmu,"
Kata Prakuti langsung saja melompat keluar dari beranda depan rumahnya.
Sejenak Pandan Wangi jadi tertegun melihat gerakan melompat kepala desa ini.
Dari gerakannya saja sudah bisa diketahui kalau Prakuti menguasai ilmu olah kanuragan yang tidak bisa dikatakan rendah.
Saat itu, anak sulung Prakuti yang bernama Kelana masuk ke dalam rumah.
Tapi, tidak lama dia sudah keluar lagi membawa dua bilah golok.
Bergegas dihampiri ayahnya yang sudah berada di sebelah Pandan Wangi.
"Ini goloknya, Ayah,"
Kata Kelana. Prakuti menerima golok itu, tapi matanya memandangi golok yang sudah terselip di pinggang anaknya.
"Aku ikut dengan kalian,"
Tegas Kelana.
Prakuti tidak bisa mencegah lagi tekad anaknya ini.
Dan Pandan Wangi juga tidak bisa menolak mereka.
Setelah memberikan pesan pada keluarganya, Prakuti bergegas melangkah dengan ayunan kaki cepat dan lebar-lebar meninggalkan rumahnya.
Pandan Wangi berada di sebelahnya, diikuti Kelana di belakang.
Mereka kini berjalan cepat menembus malam yang pekat ini.
Sementara dari arah selatan sudah terdengar suara teriakan-teriakan ketakutan dari warga desa yang terbakar rumahnya.
Dan api dari sebelah selatan desa terlihat semakin besar saja bagai hendak menerangi seluruh Desa Payakan ini.' --myrna--Sementara itu, Rangga sibuk menyelamatkan orang-orang yang rumahnya terbakar.
Dan Pendekar Rajawali Sakti juga merobohkan beberapa rumah, agar api tidak meluas ke rumah-rumah lain yang belum terbakar.
Pada saat itu, Pandan Wangi, Prakuti, dan anaknya datang.
Mereka langsung mengumpulkan penduduk desa yang rumahnya terbakar di tanah lapang yang tidak jauh dari tempat kebakaran itu.
Sedangkan Rangga dibantu Pandan Wangi dan Kelana, masih sibuk mencegah api agar tidak lebih meluas lagi.
Mereka memang tidak mungkin lagi memadamkannya, dan hanya bisa mencegah agar tidak meluas saja dengan mengorbankan beberapa rumah yang berdekatan.
Setelah bekerja keras, akhirnya mereka berhasil juga mencegah meluasnya api yang ingin menghanguskan seluruh desa ini.
Rangga yang ditemani Pandan Wangi dan Kelana segera menghampiri Prakuti, yang bersama penduduk berkumpul di tanah lapang di sebelah selatan Desa Payakan ini.
"Untung kau cepat bertindak, Rangga. Kalau tidak..., sudah habis semua rumah di desa ini,"
Kata Prakuti begitu Rangga dekat di depannya "Tanyai mereka, apa yang menyebabkan terjadinya kebakaran ini, Paman. Aku akan memeriksa sekitar desa ini,"
Kata Rangga tegas.
"Baik,"
Sahut Prakuti. Rangga menatap sebentar pada Kelana dan Pandan Wangi.
"Kalian ke arah barat. Aku ke timur. Nanti, kita bertemu lagi di sini,"
Kata Rangga membagi tugas.
"Aku minta kalian jangan terpisah. Dan jangan melakukan sesuatu sendiri-sendiri."
Pandan Wangi dan Kelana hanya mengangguk saja.
Sementara, Rangga sudah melesat cepat sekali ke arah timur.
Pandan Wangi langsung mengajak Kelana menjalankan tugas yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti tadi.
Sedangkan Prakuti mulai menanyai penduduk desa yang rumahnya sudah habis terbakar.
Dicobanya untuk mencari keterangan dan sebab dari kebakaran itu.
Sementara itu, Pandan Wangi dan Kelana sudah jauh menelusuri daerah sebelah barat.
Tapi, tidak ada yang didapatkan di sini, kecuali hanya kegelapan dan kesunyian yang mencekam saja.
Tidak terlihat seorang pun sepanjang jalan yang dilalui.
Dan begitu sampai di persimpangan jalan yang bersimpang tiga arah, mereka berhenti tepat di tengah-tengahnya.
Pandan Wangi mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Dan ketika arah pandangannya tertuju ke jalan yang berada di sebelah kirinya, kelopak matanya jadi menyipit "Ada apa, Kak Pandan?"
Tanya Kelana.
"Kau lihat di sana itu, Kelana?"
Tanya Pandan Wangi sambil menunjuk ke arah jalan yang ada di sebelah kanannya.
Kelana menyipitkan kelopak matanya sedikit Tapi sesaat kemudian matanya jadi terbeliak lebar, ketika melihat seseorang berdiri di tengah jalan seperti ingin menghadang.
Dia adalah seorang laki-laki tua bertubuh tinggi besar dan kekar, dengan sebilah pedang berukuran besar dan panjang tergantung di pinggangnya.
Dan di sebelah kanan agak ke belakang, tampak seorang laki-laki tua berjubah hitam berdiri.
Sebuah tongkat tergenggam di tangan kanan tampak bagai menyangga tubuhnya.
Entah kenapa, mendadak saja seluruh tubuh Kelana jadi bergidik menggigil.
"Ki Junggut...,"
Desis Kelana langsung mengenali kedua oran tua itu.
"Hm...,"
Sedangkan Pandan Wangi hanya menggumam saja sedikit.
Pandan Wangi memutar tubuhnya menghadapi dua orang laki-laki tua yang berada sekitar lima batang tombak di depannya.
Sedangkan Kelana hanya diam saja berada di belakang si Kipas Maut itu.
Dan untuk beberapa saat mereka terdiam, tanpa ada yang bersuara sedikit pun juga.
"Kau temui Kakang Rangga, Kelana. Cepat "
Perintah Pandan Wangi dengan suara agak berbisik pelan.
"Ba.... Baik, Kak Pandan,"
Sahut Kelana agak tergagap.
Tanpa diperintah dua kali, Kelana bergegas berlari cepat meninggalkan gadis ini.
Sedangkan Pandan Wangi sudah melangkah beberapa tindak, mendekati dua orang laki-laki tua yang berdiri tegak di tengah jalan bagai sengaja menantinya.
Dan gadis itu bam berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar satu batang tombak lagi.
Belum ada seorang pun yang membuka suara.
Mereka hanya saling berpandangan saja dalam kegelapan, seakan sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
Saat itu, terlihat Ki Sampuk menggeser kakinya ke kanan, menjauhi Ki Junggut yang tetap diam tidak bergeming sedikit pun.
Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan saja dengan tatapan tajam, tidak berkedip sedikit pun.
"Bunuh dia, Ki Sampuk!"
Perintah Ki Junggut tiba-tiba.
"Baik,"
Sahut Ki Sampuk mantap.
"Yeaaah...!"
"Eh, tunggu...!" --myrna--Pandan Wangi mencoba mencegah serangan Ki Sampuk. Tapi, tampaknya orang tua itu tidak mempedulikannya sedikit pun. Tubuhnya terus saja melesat menerjang Pandan Wangi dengan kecepatan tinggi. Maka terpaksa gadis itu harus melesat ke belakang dengan berputaran beberapa kali, menghindari sabetan tongkat Ki Sampuk yang berkelebat begitu cepat dan beruntun.
"Hap!"
Manis sekali Pandan Wangi melesat ke atas dengan tubuh berputar beberapa kali.
Dan dengan gerakan cepat sekali, dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek ke arah kepala orang tua ini.
Tapi, Ki Sampuk cepat sekali melompat ke belakang.
Sehingga, pukulan gadis itu tidak sampai menghantam kepalanya.
Dan kesempatan itu pun digunakan Pandan Wangi untuk menjejakkan kakinya kembali ke tanah.
"Tahan...!"
Bentak Pandan Wangi lantang.
"Jangan hiraukan dia, Kisanak! Serang saja. Bunuh...!"
Perintah Ki Junggut.
Ki Sampak memang tidak mau menghiraukan Pandan Wangi.
Kakinya sudah bergeser menelusuri tanah berdebu yang penuh daun-daun kering ini, mendekati gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut.
Sementara Pandan Wangi sendiri sudah cepat menyadari kalau tidak mungkin lagi bisa mencegah bentrokan ini.
Segera gadis itu bersiap setelah mencabut senjatanya yang berupa sebuah kipas dari baja berwarna putih keperakan.
Bet! Pandan Wangi langsung membuka senjatanya di depan dada.
Ujung-ujung kipas yang runcing seperti mata anak panah, membuat kedua bola mata Ki Sampuk jadi terbeliak lebar.
Dan geseran kakinya jadi berhenti dalam mendekati gadis ini.
"Siapa kau, Nisanak...?"
Tanya Ki Sampuk, jadi ingin tahu.
"Aku si Kipas Maut,"
Sahut Pandan Wangi menyebutkan julukannya.
"Kau si..., si Kipas Maut...?!"
Kedua bola mata Ki Sampuk semakin terbeliak lebar, begitu mendengar Pandan Wangi menyebutkan julukannya.
Bukan hanya Ki Sampuk saja yang terkejut.
Tapi, Ki Junggut juga tersentak kaget.
Sungguh tidak disangka kalau gadis yang dihadangnya ini adalah si Kipas Maut.
Mereka berdua tahu, siapa gadis ini.
Dia adalah seorang gadis cantik yang bukan saja menjadi teman seperjalanan Pendekar Rajawali Sakti.
Bahkan juga kekasih pendekar muda yang sudah terkenal kedigdayaannya.
Dan di kalangan persilatan, nama mereka begitu harum.
Hingga semua orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, baik dari golongan putih maupun hitam, sangat menyegani-nya.
Jelas orang akan berpikir seribu kali untuk mencoba bertarung melawan kedua pendekar itu.
"Phuih! Aku tidak peduli siapa kau, Kisanak! Kau berani datang ke sini, berarti juga berani bertarung nyawa,"
Dengus Ki Junggut, langsung menghilangkan kegentaran dalam hatinya.
"Kenapa kau ingin membunuh semua orang di desa ini?"
Tanya Pandan Wangi.
"Mereka sudah membunuh kedua anakku. Juga, semua anak buahku. Jadi sudah sepantasnya kalau mereka juga harus mampus!"
Sahut Ki Junggut dengan suara berang.
"Mereka tidak tahu apa-apa. Jangan kau jadikan sasaran kemarahanmu, Kisanak. Aku tahu, siapa orangnya yang sudah menghancurkan kekejamanmu di sini,"
Kata Pandan Wangi.
"Keparat...! Apa yang kau tahu, heh...?!"
"Banyak,"
Sahut Pandan Wangi kalem.
"Phuih!"
"Dan sebenarnya, kedatanganku ke sini justru ingin menyeretmu ke kotaraja untuk diadili,"
Sambung Pandan Wangi.
"Ha ha ha...!"
Entah kenapa, Ki Junggut jadi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata terakhir Pandan Wangi barusan.
Sedangkan Pandan Wangi hanya memandangi saja dengan tajam.
Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip.
Dan yang paling utama, diperhatikannya adalah Ki Sampuk yang berada tidak seberapa jauh di depannya.
Kalau Ki Sampuk mengebutkan tongkatnya sekali saja, ujungnya yang runcing itu bisa merobek perutnya.
Dan ini yang terus menjadi perhatian gadis itu.
Dia tidak ingin kecolongan sedikit pun juga, yang bisa membuatnya celaka.
"Sebaiknya kau kembali saja pada kekasihmu, Nisanak. Tidak ada gunanya di sini,"
Ujar Ki Junggut pongah.
"Aku tidak akan kembali, sebelum menyeretmu,"
Sambut Pandan Wangi tegas.
"Phuih! Kau memang tidak bisa dikasih hati! Bunuh dia...!"
Bentak Ki Junggut memberi perintah.
"Yeaaah...!"
Seketika itu juga, Ki Sampuk mengebutkan tongkatnya lurus ke depan, cepat seperti yang telah diduga Pandan Wangi.
Namun, cepat sekali Pandan Wangi menarik tubuhnya ke belakang, hingga ujung tongkat yang runcing dan berwarna hitam pekat itu lewat sedikit saja di depan perutnya.
Saat itu juga, Pandan Wangi menggeser kakinya sedikit ke kiri.
Dan dengan gerakan meliuk yang begitu indah, tangan kanannya dikebutkan, hendak menyambar tongkat Ki Sampuk dengan Kipas Maut andalannya.
Bet! "Hap!"
Namun, Ki Sampuk sudah lebih cepat lagi menarik tongkatnya pulang.
Sehingga sambaran Kipas Maut gadis itu tidak sampai mengenainya.
Saat itu juga, tongkatnya cepat diputar sekali ke atas, dan langsung dikibaskan ke arah kepala gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut ini.
"Yeaaah...!"
Wut! "Heh...?!" --myrna--Kedua bola mata Ki Sampak jadi terbeliak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba Pandan Wangi mengebutkan Kipas Maut andalannya.
Dan tongkat nya yang sudah melayang deras sekali ke arah kepala gadis ini tidak sempat lagi ditarik kembali.
Dan....
Bet! Trak! Ujung-ujung kipas putih yang mncing seperti mata anak panah itu menyambar tepat di bagian tengah tongkat hitam berbentuk ular milik Ki Sampuk.
"Keparat...!"
Ki Sampuk jadi geram setengah mati, melihat tongkatnya terpotong menjadi dua bagian. Dengan geraham bergemeletak menahan marah, laki-laki tua ini membuang potongan tongkatnya. Dan langsung saja dia melompat, menerjang si Kipas Maut.
"Kubunuh kau! Yeaaah...!"
"Haiiit...!"
Dengan gerakan indah sekali, Pandan Wangi berhasil menghindari beberapa pukulan beruntun yang begitu cepat dilancarkan Ki Sampuk.
Dan begitu mendapat kesempatan, Pandan Wangi langsung melompat ke belakang.
Saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, di saat tubuhnya berputar ke belakang di udara.
Begitu cepatnya tendangan si Kipas Maut itu, sehingga Ki Sampuk tidak sempat lagi menyadari.
Dan laki-laki tua itu tidak lagi memiliki kesempatan menghindar.
Hingga....
Diegkh! "Akh...!"
Ki Sampuk jadi memekik tertahan, begitu tendangan Pandan Wangi tepat menghantam dadanya. Laki-laki tua berjubah hitam itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Sementara, Pandan Wangi sudah menjejakkan kakinya ke tanah lagi. Dan....
"Satu lagi untukmu, Tikus Busuk! Yeaaah...!"
Sambil membentak keras, Pandan Wangi melompat cepat menerjang orang tua itu. Dan bagaikan kilat Kipas Maut-nya dikibaskan, tepat mengarah ke leher. Begitu cepat serangannya, sehingga Ki Sampuk tidak dapat lagi mengelak. Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar, bagai hendak membelah kesunyian malam di Desa Payakan ini.
Tampak Ki Sampuk terhuyung-huyung dengan darah mengucur deras dari lehernya yang dirobek ujung Kipas Maut senjata andalan Pandan Wangi.
Sedangkan si Kipas Maut itu sendiri sudah kembali berdiri tegak, dengan senjata terkembang di depan dada.
Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus Ki Junggut yang jadi terpana melihat Ki Sampuk tergeletak dengan leher robek berlumuran darah.
Hanya dalam waktu tidak lama saja, gadis cantik yang kelihatan lemah itu sudah merobohkan Ki Sampuk.
Padahal di Desa Payakan ini, laki-laki tua itu tidak ada tandingannya.
"Sekarang giliranmu, Iblis...!"
Desis Pandan Wangi dengan suara begitu dingin dan datar menggetarkan.
Perlahan Pandan Wangi melangkah mendekati Ki Junggut yang sudah gentar melihat ketangguhan gadis ini.
Bahkan sudah merasa gentar ketika Pandan Wangi menyebutkan julukannya yang sangat terkenal di seluruh rimba persilatan.
"Kau..., kau tidak bisa membunuhku...!"
Bentak Ki Junggut agak tergagap.
"Aku memang tidak akan membunuhmu. Aku hanya akan menyerahkanmu pada semua orang di sini, untuk diadili!"
Dengus Pandan Wangi dingin menggetarkan. Ki Junggut menarik kakinya perlahan ke belakang, mengimbangi gerakan kaki Pandan Wangi yang terus melangkah maju mendekatinya.
"Tidak...! Mereka tidak bisa mengadiliku! Mereka semua akan mampus...!"
Bentak Ki Junggut. Pandan Wangi hanya diam saja, namun tetap terus melangkah semakin mendekati. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja....
"Kau yang akan mati, Ki Junggut..!"
Terdengar suara kecil yang sangat mengejutkan.
"Oh...?! Kau...."
Pandan Wangi langsung berpaling ke kanan, ke arah datangnya suara itu.
Entah kapan datangnya, tahu-tahu seorang bocah kecil bertubuh kurus dan kotor sudah ada di tempat ini.
Tampak kedua bola mata Ki Junggut jadi terbeliak lebar.
Bahkan wajahnya seketika memucat bagai mayat, begitu melihat kemunculan bocah kecil seperti gelandangan itu.
"Terimalah kematianmu, seperti kau membunuh kedua orangtuaku!"
Desis bocah itu dingin.
Kedua tangan bocah itu sudah menjulur, dengan jari-jari yang berkuku runcing mengembang kaku.
Dan ini membuat Ki Junggut semakin terkesiap, tidak bisa lagi berbuat sesuatu.
Saat itu pula, Pandan Wangi melihat sebuah cincin berbentuk seekor naga melingkar, yang bagian kepalanya terdapat sebuah batu berwarna hijau, memancarkan cahaya terang berkilauan.
Dan gadis itu langsung tahu, bocah itu pasti Kunjang.
Bocah kecil yang sedang dicarinya bersama Rangga, karena telah mencuri cincin pusaka kehidupan semua makhluk ular penghuni Goa Naga.
"Tunggu...!"
Bentak Pandan Wangi tiba-tiba, sebelum bocah itu menyerang Ki Junggut.
Bocah kecil yang tidak lain Kunjang itu berpaling, menatap Pandan Wangi.
Sorot matanya begitu tajam, memancarkan cahaya merah menyala bagai sepasang bola api.
Saat itu Pandan Wangi agak terkesiap juga melihat tatapan yang sangat tajam menusuk ini.
Tapi, dia bisa cepat menguasai diri.
"Kau yang bernama Kunjang?"
Tanya Pandan Wangi ingin menegaskan.
"Benar,"
Sahut bocah itu.
"Kau boleh saja menumpahkan dendammu pada Ki Junggut. Tapi, setelah itu kau harus ikut denganku,"
Ujar Pandan Wangi.
"Aku tidak kenal denganmu. Dan sebaiknya, jangan coba-coba mencampuri segala urusanku!"
Bentak Kunjang kasar.
"Heh...?! Kau ada urusan denganku, Kunjang."
"Menyingkirlah. Atau, terpaksa aku akan membunuhmu juga kalau coba-coba menghalangi,"
Ancam Kunjang tidak main-main.
Untuk kedua kalinya, Pandan Wangi jadi berdesir darahnya.
Dia ingat kata-kata Naga Prata.
Bocah ini memang bisa sangat berbahaya, kalau tetap memakai cincin itu.
Bahkan tidak mudah untuk ditaklukkan.
Sementara Kunjang sudah kembali mengarahkan perhatiannya pada Ki Junggut.
"Mampus kau! Hsss...!"
Sambil memperdengarkan suara mendesis seperti ular, tiba-tiba saja Kunjang melesat, kecepatannya begitu tinggi.
Sehingga, gerakannya sangat sukar diikuti pandangan mata.
Dan tahu-tahu jari-jarinya yang berkuku hitam runcing itu sudah membenam dalam leher Ki Junggut.
"Aaa...!"
Seketika terdengar jeritan melengking tinggi.
Dan saat itu juga Pandan Wangi jadi tersentak, seperti baru terjaga dari tidurnya.
Dan seluruh tubuhnya jadi bergidik, melihat Ki Junggut tergeletak di tanah dengan leher masih tercengkeram jari-jari tangan Kunjang yang kecil dan kurus berkuku runcing itu.
Sementara dari bibir bocah itu terus mengeluarkan desisan seperti ular.
Sedangkan Ki Junggut masih menggeliat-geliat meregang nyawa, berusaha melepaskan lehernya dari cengkeraman bocah ini.
Tapi, usahanya hanya sia-sia saja.
Lehernya semakin terkoyak lebar.
Dan darah semakin banyak mengucur keluar.
Sementara Pandan Wangi seperti terkesima melihat peristiwa itu.
Dia hanya berdiri saja memandangi, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Hingga Ki Junggut tidak bergerak-gerak lagi, Pandan Wangi masih tetap diam.
Tapi ketika melihat Kunjang menghujamkan tangan kanannya menembus dada orang tua itu, kembali hatinya tersentak.
Dan....
"Hei...!"
Pandan Wangi jadi memekik, begitu melihat Kunjang mengambil jantung Ki Junggut. Dan hampir saja, jantung berwarna merah berlumuran darah itu hendak dikunyahnya, kalau saja Pandan Wangi tadi tidak memekik. --myrna--"Apa yang kau lakukan...?!"
Sentak Pandan Wangi dengan tubuh bergidik.
"Hsss...!"
Kunjang hanya mendesis saja, seakan ingin memperlihatkan baris-baris giginya yang hitam dan bertaring tajam.
Kemudian dimasukkannya jantung yang berlumuran daran itu ke mulutnya.
Dan seketika seluruh rongga perut Pandan Wangi jadi bergolak mual, seakan hendak tertumpah keluar semua isinya, melihat bocah itu mengunyah jantung Ki Junggut seperti menyantap makanan saja.
"Iblis...,"
Desis Pandan Wangi begitu tersadar.
"He he he...! Aku kira jantungmu tidak kalah nikmatnya dari jantung Wulandari...,"
Kata Kunjang sambil menyeka darah yang melekat di bibir dengan punggung tangan, disertai suara tawanya yang terkekeh kering.
Merah padam seluruh wajah Pandan Wangi, mendengar kata-kata yang diucapkan Kunjang barusan.
Rupanya, bocah itu juga sudah membunuh Wulandari, dan memakan jantungnya.
Bahkan baru saja tadi mengunyah jantung Ki Junggut yang dibunuhnya di depan si Kipas Maut itu.
"Kau benar-benar sudah menjadi iblis, Kunjang...,"
Desis Pandan Wangi datar.
"He he he...! Aku akan jadi raja di dunia ini. Tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan aku lagi. Siapa pun yang mencoba menghalangi, harus mati di tanganku...!"
Seluruh tubuh Pandan Wangi jadi menggeletar menahan geram, mendengar kata-kata yang memang sangat dikhawatirkan itu.
Tampaknya Kunjang benar-benar sudah menyadari akan arti cincin yang dikenakannya.
Malah sikapnya semakin angkuh saja.
Di dalam otaknya, memang sudah temkir satu keinginan untuk menguasai dunia ini.
Dan inilah yang menjadi kekhawatiran Pandan Wangi.
Sementara, Kelana yang disuruhnya mencari Pendekar Rajawali Sakti belum juga kembali.
Pandan Wangi merasa kalau harus menghadapi bocah setan ini seorang diri.
Maka Kipas Maut-nya langsung dikebutkan, dan dikembangkan di depan dada.
Sementara, Kunjang kelihatan seperti tidak menganggap sikap gadis ini.
Dia terus terkekeh memandang rendah pada Pandan Wangi.
"Aku tahu semua rahasiamu, Kunjang. Aku juga tahu, apa yang membuatmu jadi tangguh seperti ini,"
Kata Pandan Wangi dingin.
"Heh! Apa katamu...?!"
Sentak Kunjang terkejut.
"Serahkan cincin itu, Kunjang!"
Bentak Pandan Wangi.
"Apa...?! Kau..., kau tahu...?"
Seketika itu juga, pucat pasi seluruh wajah Kunjang mendengar bentakan Pandan Wangi barusan. Seakan tidak dipercaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sungguh tidak disangka kalau gadis berbaju biru muda itu tahu semua tentang rahasianya.
"Dari mana kau tahu semua itu...?"
Tanya Kun jang dengan suara langsung bergetar.
"Tidak perlu kau tahu, dari mana aku mengetahui semua rahasiamu itu, Kunjang. Malam ini juga, aku harus meminta cincin itu kembali,"
Tegas Pandan Wangi agak sinis nada suaranya.
"Tidak...! Tidak seorang pun yang bisa merebutnya dariku. Cincin itu sudah jadi milikku!"
Sentak Kunjang.
"Cincin itu bukan milikmu, Kunjang. Kau mendapatkan cincin itu dari mencuri."
Seluruh tubuh Kunjang jadi bergetar, karena rahasianya sudah terbongkar.
Tapi, mendadak saja wajah yang pucat itu berubah memerah.
Dan seluruh tubuhnya mengejang kaku.
Sorot matanya kembali tajam, menatap Pandan Wangi.
Dan kini terdengar suara mendesis seperti ular dari belahan bibirnya yang terkatup rapat Sementara Pandan Wangi sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
"Kau harus mati...!"
Desis Kunjang dingin menggetarkan.
"Serahkan cincin itu, Kunjang. Kau tidak berhak memilikinya."
"Kubunuh kau! Hiyaaat...!"
Cepat sekali Kunjang melompat menerkam si Kipas Maut, dengan jari-jari tangannya yang mengembang kaku.
Sementara Pandan Wangi yang memang sudah siap, segera mengegoskan tubuhnya untuk menghindari terjangan bocah itu.
Sehingga, terjangan Kunjang tidak sampai mengenai sasaran.
Dan ketika tubuh bocah kecil itu lewat di samping tubuhnya, cepat sekali Pandan Wangi menghentakkan tangan kirinya.
Langsung diberikannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Begitu cepat pukulannya, sehingga Kunjang tidak sempat lagi menghindarinya.
Buk! "Ikh...?!" --myrna--Bukan Kunjang yang memekik terkena pukulan, tapi justru Pandan Wangi.
Padahal, pukulan gadis itu mendarat tepat di tubuh bocah ini.
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat menjauhinya.
Mulutnya meringis merasakan sakit pada tangannya.
Seakan tulang-tulang tangannya remuk, karena seperti menghantam sebongkah batu karang yang begitu keras melebihi baja.
"Ha ha ha...!"
Kunjang jadi tertawa terbahak-bahak melihat Pandan Wangi meringis merasakan sakit pada tangan kirinya.
"Kau tidak bisa membunuhku, Nisanak!"
"Iblis keparat...!"
Desis Pandan Wangi jadi geram menyadari kekutan dahsyat bocah kecil itu. Sementara Kunjang terus tertawa terbahak-bahak sambil berkacak pinggang menantang.
"Hiyaaat...!"
Pandan Wangi benar-benar kalap diremehkan begitu.
Tanpa peduli lagi kalau lawannya hanya seorang anak berusia tiga belas tahun, gadis itu langsung saja melancarkan serangan.
Langsung dilepaskannya pukulan tangan kanan yang disertai pengerahan tenaga dalam penuh.
Tapi Kunjang sedikit pun tidak berusaha menghindar.
Bahkan dadanya dipasang lebar-lebar, menjadi sasaran pukulan si Kipas Maut itu.
Dan....
Derrr! "Akh...!"
Kembali Pandan Wangi memekik keras, begitu tangan kanannya menghantam dada bocah kecil ini.
Padahal, begitu tinggi tenaga dalam yang dikerahkan Pandan Wangi pada pukulannya ini.
Dan gadis itu jadi terpental jauh ke belakang, termakan tenaga dalamnya sendiri.
Lalu, keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah.
Dia bergulingan beberapa kali, sebelum bisa bangkit berdiri kembali.
Pandan Wangi merasakan seluruh tulang tangan kanannya remuk.
Rasa sakit yang menyengat, membuatnya meringis.
Sementara, Kunjang tetap berdiri tegap dengan angkuhnya.
Sedikit pun dia tidak bergeming mendapat pukulan yang dahsyat tadi.
"Kerahkan semua kemampuanmu, Nisanak,"
Tantang Kunjang pongah.
"Huh!"
Pandan Wangi hanya bisa mendengus saja. Kembali Kipas Maut-nya dikembangkan di depan dada. Sebentar dibuatnya beberapa gerakan, mempersiapkan jurus yang akan digunakannya. Dan....
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking uniM' Pandan Wangi kembali melompat menyerang Kl pas Maut-nya cepat mengibas ke dada bocah itu Tapi, tetap saja Kunjang tidak bergeming sedikit pun juga, sehingga ujung-ujung kipas yang runcing itu menghantam dadanya.
Namun....
Bet! "Heh...?!"
Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak lebar, begitu melihat Kipas Maut andalannya tidak bisa merobek kulit dada bocah itu.
Bahkan seluruh lengan kanannya terasa jadi bergetar, ketika ujung kipasnya menghantam dada yang kurus kerempeng tanpa baju itu.
"Hup!"
Cepat-cepat Pandan Wangi melompat mundur ke belakang beberapa langkah.
Memang sulit dipercaya dengan apa yang baru saja terjadi ini.
Bocah laki-laki berusia tiga belas tahun itu sama sekali tidak tertembus senjata di tubuhnya.
Dan semua itu memang karena pengaruh Cincin Pusaka Istana Goa Naga yang dikenakannya.
Cincin itu benar-benar membuat Kunjang jadi manusia tangguh yang sukar ditandingi.
"Menyingkirlah kau, Pandan Wangi..."
"Oh?! Kakang...."
Pandan Wangi jadi tersentak kaget bercampur gembira, begitu tiba-tiba saja terdengar suara yang sangat dikenalnya.
Dan belum lagi rasa terkejutnya lenyap, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat sekali.
Dan tahu-tahu, di depan gadis itu sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti.
Pemuda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu berdiri tegak, menghadapi si bocah ajaib ini.
Dan pada saat itu, dari ujung jalan terlihat Kelana berlari-lari menghampiri.
Putra kepala desa itu langsung menghampiri Pandan Wangi, dan berdiri di sebelahnya dengan napas memburu.
--myrna--"Huh! Rupanya malam ini aku terpaksa harus mengunyah jantung lebih dari satu...!"
Dengus Kunjang, begitu melihat kedatangan Pendekar Rajawali Sakti yang disusul Kelana. Rangga tidak menghiraukan ucapan Kunjang. Kepalanya berpaling ke belakang, menatap Pandan Wangi dan Kelana yang berada tepat di belakangnya.
"Menyingkirlah kalian yang jauh. Aku akan hadapi dia,"
Kata Rangga meminta.
Pandan Wangi yang sudah tahu benar watak Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tangan Kelana, dan mengajaknya menjauhi tempat ini.
Dan Rangga pun kembali memusatkan perhatian pada bocah laki-laki yang tangguh dan digdaya karena cincin pusaka kehidupan Istana Goa Naga.
"Berikan cincin itu padaku, Kunjang. Kau itcl.ik berhak memilikinya. Ada yang lebih berhak dan membutuhkannya dari padamu,"
Kata Rangga, mencoba menghindari kekerasan. Kunjang hanya diam saja memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata tajam. Dan tiba-tiba saja, terdengar suara mendesis mirip suara ular dari belahan bibirnya yang terkatup rapat. Kemudian...
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Cepat sekali Kunjang melompat menerjang Rangga.
Kedua tangan menjulur ke depan, dan jari-jari tangannya terkembang lebar seperti cakar burung elang.
Sedangkan Rangga sepertinya tidak ada lagi kesempatan untuk menghindari.
Terpaksa disambutnya serangan itu dengan menghentakkan kedua tangan ke depan, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sempurna.
Dan....
Jder! "Akh...!"
"Ugkh...!"
Kunjang terpental balik ke belakang sambil memekik agak tertahan.
Sedangkan Rangga mengeluh sedikit, ketika terdorong ke belakang dua langkah.
Tampak bocah laki-laki itu bergulingan beberapa kali di tanah, tapi dengan gerakan cepat sekali bisa bangkit berdiri.
Dan bocah itu kembali bersiap hendak menyerang.
"Kau..., kau mampu menghadang serangan-ku...,"
Terdengar bergetar suara Kunjang.
"Hm...."
Rangga hanya menggumam saja sedikit Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengerahkan tenaga dalam yang dipelajarinya dari Satria Naga Emas, sudah barang tentu tidak bisa menghadapi serangan bocah ini.
Dan Rangga memang sudah tahu.
Bocah ini memang harus dihadapi dengan ilmu yang juga berasal dari satu sumber.
Semua kekuatannya yang berasal dari Cincin Pusaka Istana Goa Naga itu memang tidak bisa dihadapi dengan ilmu-ilmu biasa, tapi harus dilawan dengan ilmu sejenis.
"Hiyaaat..!"
Kunjang kembali melompat menyerang dengan pengerahan seluruh kekuatan yang dimiliki.
Sementara Rangga sudah siap menghadapinya.
Dan begitu tangan kanan bocah itu mengibas ke arah kepala, manis sekali Rangga mengegoskan sedikit.
Maka serangan bocah kecil itu berhasil dihindari.
Dan pada saat itu juga, Rangga mengibaskan tangan kanannya, menggunakan jurus 'Ekor Naga Mengibas Gunung'.
"Yeaaah...!"
Bet! Begitu cepat serangan balik yang dil.uv .iik.in Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Kunjung v mg memang sama sekali belum berpengalaman d.ilun bertarung tidak dapat lagi mengetahui arah serang an Rangga. Dan.... Diegkh! "Akh...!"
Kunjang jadi memekik keras, begitu dadanya terkena kibasan tangan Rangga yang begitu cepat dan keras ini.
Tubuh bocah kecil itu langsung kembali terpental ke belakang deras sekali.
Dan pada saat itu juga, Rangga melompat cepat bagai kilat mengejarnya.
Lalu....
"Yeaaah....!"
Wut! Tap! "Aaakh...!"
Kembali Kunjang memekik, begitu tangan kanannya tersambar tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
Dan belum juga bisa menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah mencopot cincin berbentuk ular yang dikenakan di jari manis tangan kanan bocah itu.
Cepat Rangga menyentakkan tubuh bocah kecil itu, lalu melesat berputar ke belakang beberapa kali.
Sementara, Kunjang terus meluncur deras tanpa dapat terbendung lagi, sambil mengeluarkan jeritan panjang melengking tinggi.
Dan bersamaan dengan mendaratnya kedua kaki Rangga di tanah, tubuh bocah itu jatuh menghantam sebatang pohon yang sangat besar.
Brak! "Akh...!"
Kembali terdengar jeritan keras yang agak tertahan, ketika punggung bocah itu menghantam pohon.
Tampak Kunjang terjatuh ke tanah, dan bergulingan beberapa kali.
Aneh...! Bocah itu tidak dapat bangkit berdiri lagi.
Bahkan tidak bergerak-gerak lagi sedikit pun juga.
Sementara, Pandan Wangi dan Kelana yang menyaksikan semua itu jadi terlongong bengong tidak mengerti.
Sedangkan Rangga hanya diam, berdiri tegak memandangi tubuh bocah kecil yang sudah tidak bergerak-gerak lagi.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri.
Dan Pandan Wangi juga bergerak mendekati.
Rangga langsung memeriksa bocah kecil itu.
Keningnya jadi berkerut, melihat bocah itu sudah tidak bernyawa lagi.
Dirasakan kalau seluruh tulang di tubuh bocah itu remuk berparahan.
Mungkin akibat membentur pohon yang besar itu tadi.
Sedangkan cincin yang membuatnya jadi tangguh, sudah tidak melingkar lagi di jari manisnya.
Cincin itu kini berada di dalam genggaman tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga kembali bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang.
"Dia mati, Kakang...?"
Tanya Pandan Wanql, setelah berada di samping Pendekar Rajawali Sakl "Ya...,"
Sahut Rangga sambil menghembuskan napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti menatap Kelana beberapa saat.
"Kau beri tahu ayahmu. Katakan semua sudah selesai. Desa ini kembali tenang,"
Ujar Rangga.
"Baik... Baik, Kakang,"
Sahut Kelana agak tergagap. Bergegas Kelana berlari meninggalkan pendekar-pendekar muda itu.
"Ayo, Pandan. Kita ke Goa Naga mengantarkan cincin ini,"
Ajak Rangga.
"Kenapa tidak besok saja, Kakang...?"
Usul Pandan Wangi.
"Cincin ini sangat diperlukan di sana. Aku tidak ingin menundanya lebih lama lagi. Aku khawatir, rakyat Naga Prata sudah sampai ke permukaan dan mengganas di sini,"
Kata Rangga beralasan.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja.
Dan kakinya terus terayun mengikuti Rangga yang sudah melangkah lebih dulu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Terpaksa Pandan Wangi juga mengerahkan ilmu meringankan tubuh, untuk mengimbangi Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang! Kau mudah sekali mengalahkannya. Sedangkan aku tadi hampir tadak sanggup menghadapinya. Ilmu apa yang kau gunakan tadi, Kakang? Rasanya baru kulihat..,"
Ujar Pandan Wangi mengutarakan ketidakmengertiannya.
"Itu ilmu yang diperoleh dari Satria Naga Emas. Memang selama ini tidak pernah kugunakan. Aku hanya menggunakannya pada lawan-lawan yang menggunakan ilmu-ilmu ular saja. Ilmu Satri Naga Emas memang tidak ada yang bisa menandingi. Karena sumbernya adalah dari ilmu segala ilmu ular yang ada di dunia ini,"
Rangga menjelaskan singkat.
"O.... Pantas saja Kunjang tidak bisa menghadapimu,"
Desah Pandan Wangi kagum.
"Kalau saja dia bukan anak kecil dan sudah berpengalaman dalam bertarung, tentu aku juga akan mendapat kesulitan menghadapinya, Pandan. Tapi dia sama sekali tidak berpengalaman. Dan aku bisa mudah memperdayanya. Lagi pula, kekuatan yang ada dalam dirinya belum lagi terolah sempurna, hingga tidak bisa mengerahkan kekuatan cincin ini sepenuhnya,"
Jelas Rangga lagi.
"Aku baru mengerti sekarang. Kenapa Naga Patra memilihmu, Kakang,"
Ujar Pandan Wangi dengan kepala terangguk.
Rangga hanya tersenyum saja.
Bisa mengerti, kenapa Pandan Wangi mengajukan pertanyaan seperti itu.
Memang selama mereka sama-sama mengembara.
Dan baru kali ini Rangga menggunakan ilmu yang diperolehnya dari Satri Naga Emas.
Sudah barang tentu Pandan Wangi jadi bertanya-tanya tadi, karena Pandan Wangi baru melihatnya kali ini.
"Kakang! Kau mau mengajariku sedikit saja ilmu itu padaku...?"
Pinta Pandan Wangi langsung "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang, Pandan. Nanti aku tanyakan dulu pada Satria Naga Emas,"
Sahut Rangga.
"Tapi, waktu kau ajarkan aku pengolahan tenaga dan pernapasan Rajawali, kau juga tidak main izin dulu pada Rajawali Putih,"
Kata Pandan Wangi.
"Itu karena Rajawali Putih sudah mengenalmu, Pandan. Dan lagi, Rajawali Putih tidak keberatan. Karena, kau selamanya akan menjadi pendampingku,"
Sahut Rangga setengah bergurau.
"Ah, Kakang...,"
Bersemu merah wajah Pandan Wangi Rangga hanya tersenyum saja.
"Kakang! Kapan kau akan meminta izin pada Satria Naga Emas?"
Tanya Pandan Wangi.
"Kalau kau bersedia, setelah mengantarkan cincin ini ke Istana Goa Naga, aku bisa membawamu sekalian ke sana. Biar kau sendiri bisa memperolehnya langsung dari Satria Naga Emas,"
Sahut Rangga.
"Sungguh...?"
Rangga hanya mengangguk saja.
Dan Pandan Wangi pun jadi senang bukan main, karena bisa memperoleh tambahan ilmu lagi dari Satria Naga Emas nanti.
Dan itu akan membuat diri gadis itu semakin sulit dicari tandingannya.
Dengan apa yang sudah dimilikinya sekarang ini saja, sudah sulit bagi lawan untuk menjatuhkan gadis ini.
Apa lagi, kalau ditambah ilmu-ilmu Satria Naga Emas...? Pandan Wangi memang tidak bisa membayangkan.
Dan dia memang berharap, paling tidak kepandaian yang dimiliki tidak terpaut jauh dengan Rangga.
Paling tidak dia bisa mewakili Pendekar Rajawali Sakti dalam menumpas segala macam bentuk kejahatan di muka bumi ini.
SELESAI Pembuat Ebook .
Djvu .
Abu Keisel Convert & Pdf .
Myrna KZ
http.//kangzusi.com
http.//dewikz.byethost22.com
Pendekar Rajawali Sakti Penghuni Telaga Iblis Durhaka Karya Boe Beng Tjoe Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto