Ceritasilat Novel Online

Satria Pondok Ungu 2


Pendekar Rajawali Sakti Satria Pondok Ungu Bagian 2



Sahut Rangga, tegas.

   "Hm...! Kalau tidak salah, kau Pendekar Rajawali Sakti...!"

   Timpal Setan Bungkuk dengan kening berkerut, seperti mengingat-ingat.

   "Begitulah orang menjuluki aku. Dan orang-orang pun tahu, aku paling benci pada orang telengas. Maka pergilah kalian, sebelum kesabaranku habis...!"

   Ujar Pendekar Rajawali Sakti, setengah mengancam.

   Sementara itu, dua orang perwira kerajaan yang masih selamat, segera mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga dalam yang banyak terbuang, setelah bertarung dengan Setan Hitam dan Setan Bungkuk yang selalu menebar racun.

   Tampak keduanya sudah terlelap dalam alunan napas teratur, sehingga wajahnya jadi bersemu merah kembali.

    *** "He he he...! Sombong benar kau, Bocah! Boleh jadi orang lain gentar dan silau dengan kepan-daianmu! Namun, bagiku kau tidak kupandang sebelah mata...!"

   Balas Kuntarawang menggertak sambil memainkan tongkat ular di tangannya.

   "Aku tahu nama Pendekar Rajawali Sakti cukup disegani dalam dunia persilatan.... Tetapi, Se-tan Hitam tidak percaya sebelum menjajalnya sendiri. Maka, bersiaplah menerima seranganku ini...!"

   Timpal Sakurang sambil mengejangkan tangan sampai terdengar suara berkerotokan dari tulang belulangnya.

   Ketika ucapan Setan Hitam selesai, Kuntarawang menyodokkan tongkatnya ke arah perut Rangga.

   Namun cepat bagai kilat, Rangga memiringkan tubuhnya.

   Sehingga tongkat ular itu hanya lewat beberapa jari saja dari tubuhnya.

   Tetapi sekarang Setan Bungkuk tidak berhenti sampai di situ saja.

   Dengan memutar, tongkat di tangannya berbalik menghantam kaki. Berbarengan dengan datangnya serangan, Setan Hitam mengirimkan serangan tangan kosong yang berisi racun hitam sangat ganas.

   Rangga merasakan tekanan kuat dari kedua orang sesat tersebut.

   Dengan cepat, digunakannya jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

   Tubuhnya langsung meliuk-liuk ke sana kemari bagaikan orang mabuk.

   Dan nyatanya kedua serangan itu luput dari sasaran walau Rangga terlihat terdesak.

   Melihat Rangga terdesak, Rajawali Putih segera menerjang sambil mengepakkan sayap.

   Angin keras menderu tajam langsung menyambar tokoh sesat itu.

   Maka segera Sakurang dan Kuntarawang menggabungkan tenaga dalam, untuk menahan serangan dahsyat Rajawali Putih.

   Namun, apa yang terjadi? Ternyata tenaga gabungan mereka berdua tidak sanggup menahan dorongan tenaga hewan raksasa yang memiliki tenaga luar biasa itu.

   Kedua tokoh sesat itu terpelanting ke belakang sampai beberapa tombak.

   Sambil merambat bangun, keduanya mengawasi Rajawali Putih dengan raut wajah penuh kemarahan.

   Sekali mengepakkan sayapnya, rajawali raksasa itu terbang tinggi ke udara dengan kecepatan luar biasa.

   Namun tiba-tiba tubuhnya menukik, menerjang ke bawah.

   "Heaaat...!"

   Sambil berteriak keras, kedua tokoh sesat itu menyambuti serangan Rajawali Putih.

   Kedua ta-ngan mereka segera menghentak.

   Maka saat itu juga meluncur dua rangkum angin berbau amis.

   Rangga yang cepat menyadari ketidakberesan, serangan itu segera menghentakkan tangannya dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' untuk memapak.

   Maka saat itu juga dari kedua tangannya, meluncur dua sinar merah.

   Lalu....

   Blam...! Blam...! Dua ledakan keras menggelegar terdengar ketika pukulan-pukulan mengandung tenaga dalam tinggi bertemu.

   Batu dan daun-daun kering beterbangan ke sana kemari.

   Sementara kedua tokoh sesat itu terpental ke belakang beberapa langkah.

   Tangan mereka terasa sakit dengan dada sesak.

   Darah segar terasa akan tumpah dari mulut.

   "Khraaagkh...!"

   Sedangkan rajawali raksasa itu sendiri begitu terjadi benturan, cepat membelokkan arah terjangannya. Dan tubuhnya langsung melayang ke atas.

   "Menjauhlah, Rajawali.... Jangan ikut campur dalam urusan ini. Biarlah mereka aku yang menghadapi...!"

   Teriak Rangga sambil memandang ke angkasa.

   Lalu tatapannya beralih pada dua tokoh sesat itu.

   Sementara itu kedua perwira Kerajaan Sekar Kuning setelah selesai bersemadi segera menghampiri Rangga.

   Mereka menyatakan terima kasih pada Pendekar Rajawali Sakti.

   Ketika mereka menyatakan diri untuk ikut membantu, Rangga mencegah dengan halus.

   "Paman berdua, menepilah.... Biar setan-setan ini aku yang menghadapi...! Lagi pula mereka terlalu berbahaya. Biar aku akan coba menangkap-nya...!"

   Ujar Pendekar Rajawali Sakti, tanpa maksud merendahkan.

   Menyadari kalau kepandaiannya terpaut jauh di bawah kedua tokoh sesat itu kedua perwira Kerajaan Sekar Kuning ini tanpa sungkan lagi menepi sambil menyaksikan apa yang akan dilakukan Pendekar Rajawali Sakti.

   Pada dasarnya Sakurang dan Kuntarawang sedang berang.

   Maka tanpa membuang waktu lagi mereka berkelebat menyerang Pendekar Rajawali Sakti secara berbarengan.

   "Chiaaat!" "Yeaaah!"

   Tongkat di tangan Kuntarawang bergulung-gulung mengincar tempat yang mematikan.

   Sedangkan pukulan beracun Sakurang yang mengandung racun mematikan, berseliweran membendung jalan keluar Pendekar Rajawali Sakti.

   Kemana pun Rangga bergerak mengelak, serangan mereka selalu memburu.

   Untuk menghindari serangan susulan berikut-nya, Rangga berjumpalitan beberapa kali.

   Dan begitu mendarat Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' kembali.

   Tubuhnya tampak terhuyung-huyung ke sana kemari bagaikan orang mabuk.

   Anehnya tak satu serangan pun yang berhasil menemui sasaran.

   Hal itu membuat kedua lawannya penasaran setengah mati.

   "Yeaaah...!"

   "Saaat...!"

   Dengan rasa geram, kedua tokoh itu mulai mengerahkan jurus-jurus yang dipelajari dalam lorong.

   Serangan mereka dahsyat bukan main.

   Suara babatan tongkat milik Kuntarawang terdengar menderu-deru.

   Tangan kirinya yang berisi pukulan ilmu 'Racun Merah' turut mengancam keselamatan Rangga.

   Zeb! Zeb! Zeb! Sementara itu, angin pukulan dan suara jurus, tangan kosong Sakurang terasa menyakitkan telinga.

   Bahkan sempat mengacaukan jalan pikiran Rangga.

   Untuk sementara, Pendekar Rajawali Sakti hanya mampu mengelak ke sana kemari dengan mengandalkan jurus mengelaknya yang aneh.

   Kadang kala tubuhnya roboh ke depan, lalu terjeng-kang ke belakang bagaikan hendak jatuh.

    *** Pertarungan berlangsung semakin seru dan mencekam.

   Memang, jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', masih terlihat tangguh bagi Sakurang dan Kuntarawang.

   Terbukti semua serangan mereka tidak berhasil menyentuh tubuhnya.

   Dengan menggeram gusar, Setan Hitam melenting ke belakang beberapa langkah.

   Begitu mendarat, tiba-tiba tangannya bergerak cepat melemparkan binatang-binatang berbisa dari kantung bajunya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

   Set! Set! "Awas...! Itu binatang beracun....

   Jangan tang-kap benda itu.

   Sangat berbahaya bagi keselamatan dirimu...!"

   Seru salah seorang perwira yang terus memperhatikan jalannya pertarungan.

   "Terima kasih...! Heaaa...!"

   Tap! Tap! Rangga yang sesungguhnya sudah tahu benda apa yang sedang meluncur dari Kuntarawang ke arahnya, segera mengerahkan tenaga dalam serta jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada kedua tangannya.

   Sinar merah membara tampak membaluri kedua tangannya.

   Bressst...! Dengan tangkapan Pendekar Rajawali Sakti, membuat binatang-binatang berbisa itu hangus dan berjatuhan ke tanah setelah meremasnya.

   Pada saat yang sama, Setan Bungkuk berkelebat membokong sambil membabatkan tongkat ularnya.

   Pendekar Rajawali Sakti yang merasakan angin sambaran dari belakang cepat berbalik.

   Seketika tangan kirinya bergerak menyentil dengan kecepatan luar biasa, dan dengan tenaga dalam tinggi.

   Tik! "Heh?!"

   Tongkat Kuntarawang langsung terpental.

   Bahkan tangannya sampai terasa kesemutan.

   Belum juga Setan Bungkuk bisa menghilangkan keterkejutannya, Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat sambil melepas tendangan berisi tenaga dalam penuh.

   Sementara kedua tangannya menghentak, dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

   Diegkh...! "Wuaaakh...!"

   Tepat ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di wajah Setan Bungkuk, selarik sinar kemerahan melesat ke arah Setan Hitam. Begitu cepatnya, sehingga tak sempat dielakkan lagi oleh Sakurang. Desss! "Aaakh...!"

   Tak ampun lagi kedua tokoh sesat itu terpental deras ke belakang.

   Dari sela-sela bibir, tampak menetes darah segar.

   Sambil merangkak bangkit, mereka menatap Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata penuh dendam.

   Dan bagai diberi aba-aba mereka berbalik, lalu melangkah pergi dari tempat ini.

   Sementara, Rangga tidak berusaha mengejar.

   Malah dia menghampiri dua perwira Kerajaan Sekar Kuning.

   "Kisanak tentu yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Hmm.... Kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Rajawali Sakti! Kalau tidak ada pendekar, entah apa yang akan terjadi dengan kami...?!"

   Ucap salah seorang perwira sambil membungkukkan tubuhnya.

   "Sudahlah, tak perlu paman berdua memang-gilku demikian. Panggil saja aku Rangga. Hm.... Tentang mereka, biarlah mendapat kesempatan hidup beberapa saat lagi. Namun yang jelas, aku tak akan membiarkan sepak terjang mereka selanjutnya...,"

   Ujar Rangga.

   "Kau kurang paham tentang mereka, Tu, eh! Rangga. Mereka terlalu kejam dan tidak berpe-rikemanusiaan. Sudah banyak prajurit kerajaan yang binasa di tangan kedua iblis itu! Pokoknya, pihak kerajaan telah dibuat pusing. Mereka sudah sepantasnya mati...!"

   Timpal perwira kerajaan satunya.

   "Kalau begitu, maafkan. Hm... berarti aku telah membuat mereka lolos dari tempat ini. Tapi seperti yang kukatakan, aku berjanji kelak akan menangkap mereka untuk kalian nanti...!"

   Tegas Pendekar Rajawali Sakti.

   "Tapi, kau tidak bersalah Rangga...!"

   Tukas perwira itu.

   "Sudahlah..., jangan diributkan lagi. Sekarang, aku hendak minta diri, karena masih banyak urusan yang harus diselesaikan.,.!"

   Ujar Rangga, sambil tersenyum.

   Setelah saling memberi hormat, mereka berpisah.

   Dalam sekali berkelebat saja, Pendekar Rajawali Sakti telah jauh dari tempat itu.

   Sementara kedua perwira kerajaan itu menggeleng-geleng dan berdecak kagum melihat kepandaian Pendekar Rajawali Sakti yang sudah sangat tinggi.

    *** Beberapa purnama berikutnya, keadaan dunia persilatan mulai tenang dan tidak terjadi apa-apa.

   Kedua tokoh sesat yang selama ini menggegerkan seolah-olah lenyap ditelan bumi.

   Padahal, mereka berdua sedang mengobati luka dalam yang diderita, akibat bertempur dengan Pendekar Rajawali Sakti.

   "Gila.... Kepandaian pendekar itu benar-benar di luar dugaan! Sampai-sampai kita berdua tidak sanggup menghadapinya...!"

   Kata Kuntarawang sambil mendengus gusar.

   "Benar...! Ilmu yang dimiliki sangat luar biasa...! Kita harus berhati-hati menghadapinya. Kalau bisa, jangan sampai berbenturan dengan pendekar sakti itu.... Hal itu dapat mengacaukan keadaan kita!"

   Sahut Sakurang.

   "Iya.... Lebih baik perhatian kita dipusatkan pada kedua bocah yang berada dalam lorong ku-buran terlarang tempo hari. Kedua bocah itu pasti mendatangkan bahaya pada kita kelak...!"

   Kata Kuntarawang lagi.

   "Itu tidak dapat dipungkiri lagi, karena mereka pasti akan membalaskan dendam bagi Sangka Le-lana.... Lalu, apa yang harus kita lakukan terlebih dahulu...?!"

   Tanya Sakurang.

   "Kita tunggu keadaan saja. Kalau memung-kinkan, kita serbu lorong kuburan itu...! Kalau berbahaya, kita tunggu sampai mereka berada di luar!"

   Tandas Setan Bungkuk sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya.

   "Bagaimana kalau kita minta bantuan paman guruku yang bermukim di Gunung Merapi...?"

   Usul Setan Hitam.

   "Paman gurumu? Apakah dia yang bernama Cakra Dana dan bergelar si Tangan Api...?!"

   Kun-tarawang balik bertanya.

   "Benar.... Kurasa, bila dia bersedia turun tangan, segala pendekar murahan seperti Pendekar Rajawali Sakti itu tidak akan ada gunanya lagi! Mereka bagaikan sekumpulan serangga yang hendak menerjang api unggun...!"

   "Ha ha ha...! Kenapa kita masih membuang-buang waktu? Mari kita pergi ke sana untuk minta bantuan...!"

   Ajak Kuntarawang dengan pandangan mata cerah.

   Tanpa membuang waktu lagi mereka berdua segera mengalihkan perjalanannya menuju ke Gunung Merapi.

   Di sanalah tokoh yang menjadi datuk kaum sesat bermukim.

   Siapa pun akan menyingkir bila mendengar nama Cakra Buana disebutkan.

    *** Matahari baru saja bersinar cerah, menerangi mayapada.

   Namun, sinarnya seolah-olah tak mampu menembus kabut di Puncak Gunung Merapi.

   Dalam keremangan pagi, dua sosok tampak berdiri di depan sebuah gubuk yang hanya satu-satunya di puncak gunung itu.

   Tok! Tok! TokK! Pintu rumah gubuk itu diketuk perlahan.

   Tetapi, tetap tenang tak ada jawaban dari dalam.

   Kembali ketukan terdengar berkali-kali.

   "Masuklah, Sakurang! Pintu tidak dikunci...!"

   Terdengar sahutan bernada perintah dari dalam.

   Dan ini membuat dua sosok yang tak lain Setan Hitam dan Setan Bungkuk terperangah.

   Sebab, suara dari dalam itu seolah-olah tahu siapa yang datang.

   Padahal, keduanya belum bersuara apa-apa.

   Jelas, hal ini menunjukkan betapa tingginya kepandaian sosok yang berada di dalam gubuk ini.

   Dengan hati-hati, Setan Hitam membuka pintu, hingga menimbulkan suara berderit.

   Begitu pintu terbuka, dari dalam menyambar angin panas yang kuat luar biasa.

   Bagaikan dihempas badai, Sakurang dan Kuntarawang terlempar keluar.

   Blug! Blug! Sambil merayap bangun mereka memandang ke arah pintu gubuk.

   Dengan tertatih-tatih Sakurang dan Kuntarawang kembali masuk ke dalam gubuk.

   Begitu masuk, kedua tokoh sesat itu melihat seorang laki-laki tua berkulit hitam.

   Rambutnya sebagian telah rontok dan berwarna putih tak terurus.

   "Keponakan tolol...! Semakin tua, semakin ge-blek saja! Mau apa kau datang kemari, Sakurang?!"

   Tanya penghuni gubuk yang tak lain Cakra Dana.

   "Aku sedang dalam kesusahan, Paman. Aku ingin minta tolong...,"

   Jawab Sakurang sambil me-nundukkan kepala, begitu telah berada satu tombak di depan laki-laki tua itu.

   "Sudah kuduga...!"

   "Menduga apa, Paman...?!"

   Tanya Sakurang kembali.

   "Kalau kau muncul kemari, pasti mau minta tolong...! Coba kalau lagi senang, mana mau ingat padaku...!"

   Gerutu Cakra Dana yang dikenal sebagai datuk sesat yang sangat ditakuti.

   "Maafkan aku, Paman. Nanti kalau sudah selesai urusanku, pasti aku datang kemari dengan membawa hadiah kesukaanmu...!"

   Ucap Sakurang sambil tetap menundukkan kepala.

   "Katakan, apa tujuanmu datang ke sini...?"

   Tanya Cakra Dana kembali.

   "Dan, siapa temanmu itu?"

   Dengan singkat, Sakurang memperkenalkan Kuntarawang, sekaligus menceritakan segala yang telah terjadi pada dirinya.

   Sementara datuk sesat yang berjuluk Tangan Api itu hanya mendengarkan dengan pandangan mata berubah tajam.

   Dan tiba-tiba tangannya bergerak cepat ke arah meja.

   Lalu....

   Brak! Meja dari kayu jati itu hancur berantakan terkena hantaman tangan kurus kering milik si Tangan Api.

   Bahkan kayu jati itu hangus bagaikan terbakar.

   "Hm.... Sebaiknya sekarang juga kita berangkat! Kalau sampai membuat malu, akan kupecah-kan kepala kalian...!"

   Ajak Cakra Dana sambil mengancam, setelah mendengar cerita keponakannya.

    *** Kembali, dunia persilatan seperti ditantang untuk menuntaskan keangkaramurkaan.

   Petaka seolah tak mau tuntas dari mayapada.

   Telah terdengar kabar kalau desa-desa yang terdapat disepanjang jalur Gunung Merapi dan Bukit Renggawas terjangkit penyakit aneh yang tak dapat diobali.

   Para penduduk binasa dalam keadaan menyedihkan.

   Di tubuh penduduk yang tewas, penuh bisul dan nanah.

   Lalu tubuh mereka mencair sedikit demi sedikit.

   Akhirnya, yang tersisa hanya tinggal tulang-belulang saja.

   Dari hasil penyelidikan, diketahui kalau kematian para penduduk diakibatkan racun-racun yang ditebar di sumber-sumber air.

   Dan racun sejenis itu, hanya seorang yang memiliki.

   Beberapa tokoh persilatan aliran putih segera mengetahui kalau semua itu hasil perbuatan Setan Hitam dan paman gurunya yang bernama Cakra Dana, serta seorang tokoh yang dikenal bernama Kuntarawang alias Setan Bungkuk.

   Seperti sepakat, para tokoh putih segera mencari manusia kejam yang tidak berperikemanusiaan itu.

   Petaka itu cepat tersebar luas dari mulut ke mulut.

   Maka tak heran kalau sekarang di tiap desa berkumpul beberapa tokoh persilatan golongan putih yang hendak menangkap biang keladi petaka itu.

   Sementara itu di Desa Selagah, para tokoh persilatan berhasil memergoki tiga biang perusuh yang meresahkan selama ini.

   "Ha ha ha...! Kiranya kemunculan kita telah disambut para tokoh persilatan! Ini merupakan suatu kehormatan besar bagi diriku yang sudah tua bangka ini...!"

   Kata Cakra Dana tenang. Sementara cambuk merah di tangannya dilecutkan, menimbulkan suara meledak-ledak memecah kesunyian.

   "Huh...! Dasar manusia iblis! Di mana-mana selalu haus darah!"

   Dengus salah seorang tokoh persilatan yang ikut mengepung.

   Dia adalah seorang laki-laki tua dengan guci arak di tangan.

   Mulutnya yang keriput tertawa-tawa lebar.

   Para tokoh persilatan tahu, kalau kakek itu bernama Ki Demong, seorang tokoh yang telah membuat nama besar sebagai Pamabuk dari Gunung Kidul.

   Melihat kalau orang itu tak lain adalah Ki Demong yang selama ini menghilang entah ke mana, dan kini muncul menghadang, Sakurang dan Kuntarawang jadi berang dan marah bukan main.

   Jari-jemari mereka mengepal sampai terdengar suara berkerotokan keras.

   "Hei, Demong.... Pemabuk Gila! Agaknya kau sudah bosan hidup! Biar kepala jelekmu itu kuremukkan pakai tongkatku ini!"

   Seru Kuntarawang.

   "Ha ha ha...! Biar jelek, aku masih sayang. Ke-palaku ini selalu berpikir, bagaimana melenyapkan nyawamu...!"

   Sahut Ki Demong menggertak.

   Saat itu juga, Setan Bungkuk mengebutkan tongkatnya.

   Namun dengan sigap, Pemabuk dari Gunung Kidul mengebutkan tongkatnya.

   Namun dengan sigap, Pemabuk dari Gunung Kidul mengangkat gucinya.

   Trang! Tongkat itu mental kembali.

   Sementara dari dalam guci, munrat tuak merah yang langsung meluncur ke muka Kuntarawang.

   Setan Bungkuk sadar tuak itu dapat melukai mukanya.

   Maka dengan cepat dia melompat mundur, sehingga serangan itu lewat di bawah kakinya.

   Begitu menjejak tanah, Setan Bungkuk kembali meluruk sambil mengebutkan tongkat ularnya.

   "Sheaat!"

   Berkali-kali tongkat di tangan Kuntarawang menyerang Ki Demong.

   Tetapi Pemabuk dari Gunung Kidul selalu dapat menangkis dengan guci yang penuh berisi tuak merah itu.

   Bahkan dengan seenaknya Ki Demong menenggak tuak merah itu berkali-kali.

   Tidak lama, Ki Demong telah mabuk.

   Tubuhnya terhuyung-huyung ke sana kemari.

   Tetapi semakin mabuk, jurus silatnya jadi semakin ampuh.

   Bahkan mulutnya berkali-kali menyemburkan tuak ke arah muka Kuntarawang.

   Kelihatannya sepele.

   Padahal, pada waktu cipratan tuak mengenai pundak Setan Bungkuk sakitnya bukan main.

   Bahkan bajunya sampai banyak berlubang.

   Tentu saja Setan Bungkuk jadi bertambah be-ringas.

   Tongkatnya dimainkan sedemikian rupa, sampai menimbulkan angin menderu-deru.

   Lewat beberapa jurus, pertempuran mereka jadi berlangsung seru dan sengit.

   Lengah sedikit, berarti kematian akan menjemput.

   Ketika Sakurang hendak membantu, langkahnya tertahan oleh seorang wanita tua dengan senjata setangkai bunga merah yang terbuat dari besi baja yang berukir indah sekali.

   "Aha...! Kiranya aku berhadapan dengan Nyai Dayang Sumbi, seorang tokoh terkenal yang telah lama tidak muncul dalam dunia persilatan ini! Se-lamat jumpa, Nyai...!"

   Kata Setan Hitam, pongah.

   "Huh...! Tidak perlu berbasa-basi! Kalian terialu banyak berbuat kejahatan! Maka, aku terpaksa turun gunung lagi, bersiaplah untuk mampus...!"

   Hardik wanita tua yang bernama Dayang Sumbi. Sehabis berkata, Nyai Dayang Sumbi menggerakkan tangan kanannya. Maka tangkai bunga merah itu bergerak-gerak, bagaikan setangkai bunga di atas pohon yang bergerak tertiup angin.

   "Heyaaat...!"

   Tiba-tiba senjata aneh itu meluncur ke depan.

   Kembang dan daun-daun sekaligus menyerang tujuh jalan darah di tubuh Sakurang secara bertubi-tubi.

   Namun dengan tidak kalah cepatnya, tokoh sesat itu berkelit sambil mengibaskan tangannya untuk merampas senjata Nyai Dayang Sumbi.

   "Hebat...!"

   Puji Sakurang sambil terpaksa mengeluarkan jums menghindar yang dimilikinya.

   "Bagus...! Mari kita mengadu jiwa! Aku sudah muak melihat kau hidup dalam dunia ini!"

   Tantang Nyai Dayang Sumbi.

   Setelah melenting membuat jarak, Setan Hitam segera mengirimkan serangan jarak jauh.

   Angin pukulan yang mengandung racun dan berbau amis segera meluruk ke arah tubuh Nyai Dayang Sumbi.

   Namun dengan memutar senjatanya yang ber-bentuk bunga, wanita tua itu berhasil menghalau serangan.

   Sementara itu, Cakra Dana hanya mengawasi jalannya pertarungan dengan pandangan dingin.

   Namun kewaspadaan tak lepas dari sikapnya.

   Dalam hati, Cakra Dana mengakui kehebatan orang yang menjadi lawan keponakannya.

   Di pihak penghadang ternyata masih ada sembilan orang yang belum turun tangan.

   Mereka semua mengawasi Cakra Dana dengan pandangan tajam dan mengancam.

   Mendapat pandangan seperti itu, si Tangan Api mengerutkan keningnya.

   "Hei, Monyet-monyet Buduk...! Mau apa kalian mengawasi aku seperti itu.... Sudah bosan me-lihat dunia rupanya...?!"

   Tegur Cakra Dana, mengejek.

   "Kalau melihat usiamu, kau tidak lama lagi akan mati...! Tetapi, lagakmu pongah sekali...! Kalau sudah ingin mati, biar kuturuti keinginanmu itu!"

   Hardik seorang tokoh persilatan itu.

   Sambil memperdengarkan suara gerengan bagai harimau luka, Cakra Dana menghentakkan tangannya, mengirimkan serangan jarak jauh.

   Hawa panas bagaikan angin prahara seketika bergulung-gulung menerpa ke arah tokoh persilatan itu.

   "Haiiit!" Namun dengan kewaspadaan penuh, tokoh persilatan ini cepat menghentakkan tangannya, memapaki. Blarrr! "Aaakh...!"

   Terdengar ledakan dahsyat yang disusul jeritan kesakitan begitu dua pukulan beradu.

   Tampak tubuh pendekar yang memapak terlempar dengan tangan patah-patah.

   Belum sempat dia jatuh ke tanah Cakra Dana telah berkelebat ke arahnya.

   Lalu....

   Desss...! "Aaa...!"

   Entah bagaimana caranya, tahu-tahu dada pendekar itu telah terpukul dengan telak.

   Tubuhnya terpelanting kembali dengan dada hangus dan tertera cap telapak tangan berwarna hitam.

   Melihat seorang kawannya mati, lima orang pendekar lain segera menerjang dengan geram.

   Li-ma buah senjata tajam langsung mengurung dan mengancam daerah berbahaya di tubuh si Tangan Api.

    *** Sambil tertawa-tawa pongah, Cakra Dana berkelebat di antara senjata tajam para pendekar.

   Tangannya dengan gerakan aneh bergerak bagaikan ular, menutuk ke sana kemari.

   Siapa kurang cepat, berarti akan menerima nasib naas.

   Karena dalam setiap gerakannya, si Tangan Api selalu menggunakan tenaga dalam yang tinggi, dan sanggup menghancurkan siapa saja.

   Dalam waktu singkat, datuk sesat itu telah berada di atas angin.

   Sementara itu ketiga orang pendekar yang belum bertarung segera mengeroyok Setan Hitam.

   "Yeaaat!"

   Trang! Trang! Sakurang memusatkan perhatian pada Nyai Dayang Sumbi.

   Senjata Bunga Merah di tangan kanan wanita tua itu sangat berbahaya dan selalu mengancam.

   Untuk menghadapi mereka semua, Setan Hitam merogoh sakunya.

   Dan begitu tangannya keluar, langsung disentakkan dengan cepat.

   Ser! Ser! Para pendekar itu segera memutar senjata bagai baling-baling untuk memapak benda-benda yang meluruk.

   Beberapa benda yang tak Iain binatang-binatang berbisa berhasil dipukul jatuh.

   Tapi dua binatang berbisa berhasil mengenai leher dua orang pendekar.

   Sambil menjerit keras, kedua pendekar itu jatuh berkelojotan, lalu mati kaku dengan lehernya terdapat dua ekor kalajengking merah.

   Sementara, yang menuju ke arah Nyai Dayang Sumbi berhasil dihantam senjata Bunga Merah yang selalu bergerak aneh.

   Sedangkan pendekar yang seorang lagi jadi nekat.

   Dengan mengerahkan seluru? kemampuan, pedangnya membabat kaki Sakurang.

   'Yeaaa...!"

   Dengan gerak cepat Setan Hitam melompat ke atas.

   Dan tiba-tiba kakinya melepas tendangan melingkar, menendang ke arah kepala.

   Dengan cepat pendekar itu berhasil menghindar dengan mengegoskan, tubuhnya.

   Namun tangan Setan Hitam yang beracun mendadak berkelebat menghantam muka.

   Diegkh! "Aaa...!" Tidak ampun lagi, pendekar itu meraung keras sambil menutupi mukanya yang hancur dan hangus.

   Bagai nangka busuk tubuhnya jatuh dalam keadaan binasa.

   Melihat kejadian mengenaskan, Nyai Dayang Sumbi meluruk sambil mengirim gelombang serangan dengan senjatanya sampai tujuh kali secara beruntun.

   Setiap serangannya mempunyai tujuh tikaman, mengurung tubuh Sakurang dari semua jurusan.

   Maka Setan Hitam seakan dikeroyok belasan orang yang berpedang hebat.

   Tak tanggung-tang-gung lagi jurus yang dimainkan Nyai Dayang Sumbi.

   Orang-orang persilatan mengenalnya sebagai jurus 'Pedang Bunga Merah' yang paling tinggi.

   Jarang ada orang yang sanggup menahan serangan itu.

   Warna merah segera mengurung tubuh Sakurang yang berkulit hitam.

   Sehingga warna hitam dan merah jadi saling libat dengan kecepatan luar biasa.

   Pukulan beracun tokoh sesat itu selalu kandas dalam gulungan sinar senjata bunga merah milik Nyai Dayang Sumbi.

   Sementara itu Ki Demong, selalu berhasil membendung serangan tongkat Kuntarawang dengan gucinya.

   Bahkan sesekali tuaknya disemburkan ke wajah lawannya.

   "Ciaaat...!"

   Menghadapi serangan, Setan Bungkuk jadi kelabakan.

   Maka dengan cepat jurusnya dirubah.

   Dan kini kaki dan tangannya ikut bergerak menyerang.

   Sehingga serangannya kali ini datang bagaikan hujan angin.

   Namun, pendekar yang gemar mabuk dan sedikit urakan itu, masih dapat mengimbangi Kuntarawang dengan jurus anehnya.

   Tubuhnya selalu terhuyung-huyung.

   Kadangkala berjongkok dengan kaki bergerak mundur dan maju.

   Lalu tubuhnya rebah hampir mencium tanah, kemudian melompat-lompat dengan lutut melayang-layang bagaikan sakit ayan.

   "Sheaaat...!"

   Tiba-tiba dengan gerakan tidak terduga, tubuh Pemabuk dari Gunung Kidul melenting ke udara. Ki Demong telak menghajar punggungnya dengan keras. Derrr...! "

   "Aaakh...!"

   Sambil mengeluarkan suara melenguh, tubuh Setan Bungkuk terlempar sambil memuntahkan darah segar.

   Melihat rekannya dalam bahaya, Sakurang yang sempat melirik melemparkan beberapa bina-tang-binatang berbisa yang sangat berbahaya.

   Namun sambil tertawa-tawa, Ki Demong malah menenggak tuak merahnya.

   Dan dengan cepat bagai kilat, tuak merah itu disemburkan pada binatang berbisa yang meluncur ke arahnya.

   Tidak ampun lagi binatang berbisa itu terbakar, dan hangus sebelum sampai pada tujuan.

   Bagaikan barang rongsokan, binatang berbisa itu berjatuhan ke tanah.

   Menggunakan kesempatan yang sedikit, Nyai Dayang Sumbi menghantamkan senjata Bunga Merahnya ke perut Sakurang.

   Tetapi, sambil berteriak keras Setan Hitam melompat ke samping.

   Sayang, kali ini dia salah langkah.

   Memang, serangan itu hanya pancingan belaka! Karena serangan yang sesungguhnya adalah tendangan berputar ke arah pundak.

   Dagkh! "Aaakh...!"

   Tubuh Setan Hitam terhuyung-huyung terkena tendangan Nyai Dayang Sumbi. Dia berusaha berjumpalitan, menjauhi. Dia khawatir wanita itu akan melepaskan serangan berbahaya.

   "Yeaaat!"

   Begitu mendarat di tanah, Setan Hitam melemparkan binatang-binatang beracun ke arah Nyai Dayang Sumbi.

   Serangan ini sangat berbahaya, karena dilancarkan dalam jarak dekat.

   Karena tidak menyangka ada kalajengking dan kelabang yang berhasil menempel di tubuhnya, Nyai Dayang Sumbi terperangah.

   Apalagi, binatang berbisa itu langsung saja menyengat.

   Tetapi karena tenaga dalam wanita sakti ini tinggi, tak heran kalau masih dapat bertahan.

   Melihat kesempatan baik Sakurang segera me-manfaatkannya.

   Diberondongnya Nyai Dayang Sumbi dengan serangan jarak jauh yang mematikan.

   "Baiklah.... Manusia keparat...! Aku akan adu jiwa denganmu!"

   Desis wanita tua itu sambil menerjang, tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi.

   "Ha ha ha...! Tidak perlu diadu-adu lagi, Nenek Jelek! Sesaat lagi, kau akan mati dengan sendirinya. Karena tidak ada seorang pun yang tahu terhadap racun binatang peliharaanku...!"

   Ejek Sakurang sambil terus mempermainkan lawannya yang sudah termakan racun jahat.

   "Aaakh...!"

   Benar saja! Karena tidak diberi kesempatan untuk mengobati bekas gigitan binatang beracun, Nyai Dayang Sumbi mulai limbung dengan pandangan jadi gelap.

   Tangan yang memegang senjata Bunga Merah mulai gemetar.

   Dan yang lebih celaka lagi, tenaga dalamnya seakan-akan lenyap tiada bekas.

   Brukkk! Tubuh perempuan tua itu ambruk dengan kulit berubah warna menjadi hitam legam.

   "He he he...! Segala wanita tua mau banyak tingkah di hadapanku! Tahu rasa kau sekarang...!"

   Ejek Sakurang sambil tertawa terbahak-bahak.

   "Aaa...!"

   Di pertarungan lain, terdengar beberapa teriakan kematian.

   Tampak semua lawan Cakra Dana terpental dengan tubuh hangus.

   Itulah akibat pukulan 'Tangan Api' yang dahsyat.

   Bahkan jarang ada yang sanggup menahannya.

    *** Pendekar Rajawali Sakti Notizen von Pendekar Rajawali Sakti info  178.

   Satria Pondok Ungu ~ Bag.

   7-8 (selesai) 12 марта 2015 г.

   в 2.17 Si Tangan Api yang sudah bosan bermain-main telah menghabisi lawan-lawannya.

   Kini yang tertinggal hanyalah si Pemabuk dari Gunung Kidul yang sedang bertarung sengit dengan Setan Bungkuk.

   Sementara Sakurang yang tidak mempunyai lawan, segera turut mengeroyok Ki Demong.

   Walaupun memiliki kepandaian tinggi, Pemabuk dari Gunung Kidul jadi terdesak keras.

   Dia hanya mampu mengelak dan bermain mundur saja.

   Sehingga keadaannya jadi semakin berbahaya.

   Pada saat yang semakin gawat tiba-tiba meluruk sebuah bayangan ungu yang langsung mener-jang Sakurang.

   "Hei.... Gadis gila dari mana ini?! Datang-da-tang sudah berani mengacau!"

   Sentak Sakurang, seraya langsung meladeni serangan. Gadis cantik berbaju ungu itu tidak menjawab. Mulutnya hanya memperdengarkan suara tidak jelas. Melihat hal ini, Setan Hitam segera mengingatingat peristiwa beberapa tahun yang lalu.

   "Kebetulan...! Ada ular mencari penggebuk,"

   Ujar Sakurang setelah mengenali gadis itu.

   "Uuu.... Uuuh...!"

   Sambil berteriak seperti itu gadis yang ternyata gagu ini menyerang dengan pedangnya.

   Gerakannya begitu mantap dan berbahaya.

   Bahkan kecepatan geraknya mengagumkan.

   Sakurang sendiri sampai terkejut.

   Cepat tangannya ditarik, kalau tak ingin terbabat putus.

   "Gila...! Gadis gagu ini sekarang telah memiliki ilmu olah kanuragan yang tidak dapat dibuat main-main! Aku harus hati-hati menghadapinya...,"

   Pilar Setan Hitam dalam hati.

   "Ciaaat...!"

   Beberapa pukulan beracun segera dilancarkan Setan Hitam dengan cepat.

   Tetapi dengan ilmu meringankan tubuhnya, gadis yang tak lain Puspita Dewi itu mampu menghindari dengan melenting ringan ke sana kemari.

   Sementara, Setan Hitam semakin geram saja.

   Dan itu makin membuatnya penasaran saja.

   Seketika, tangannya merogoh saku.

   Begitu tangannya menghentak....

   Set! Set! Saat itu juga berbagai jenis binatang beracun dilemparkan Setan Hitam.

   Puspita Dewi bergerak sigap.

   Cepat pedangnya yang tajam luar biasa berputar membabat.

   Tas! Tas! Pedang Puspita Dewi bergerak ke arah Setan Hitam.

   Begitu membabat habis, binatang-binatang berbisa itu....

   "Hup!"

   Cepat-cepat Setan Hitam menggulingkan diri ke tanah, sehingga berhasil menghindari serangan.

   "Bangsat... Mampuslah kau, Gagu Jelek...!"

   Diejek demikian membuat gadis ini jadi mata gelap.

   Dengan seluruh kepandaiannya, diterjangnya Setan Hitam dengan kalang kabut.

   Tubuhnya yang memiliki meringankan tubuh hebat, berkelebatan bagaikan kupu-kupu bermain-main di antara bunga.

   Tiba-tiba....

   Bret! "Aaakh...!"

   Setan Hitam memekik tertahan, ketika tergores pedang Puspita Dewi.

   Walaupun tidak mematikan, pedihnya sampai terasa ke hati.

   Darah pun mengucur deras dari lukanya.

   Terpaksa tubuhnya berjumpalitan beberapa kali di udara untuk menjauhi lawannya.

   Namun Puspita Dewi terus memburu tanpa kenal ampun.

   Dengan gerakan begitu cepat, membuat gadis ini mampu menghindari serangan balasan.

   Sementara, Cakra Dana merasa heran melihat gadis muda itu berhasil mendesak keponakannya yang jarang menemui tandingan dalam dunia persilatan.

   Pada saat yang sama, Kuntarawang sendiri sedang terdesak oleh serangan Pemabuk dari Gu-nung Kidul yang menerjang bertubi-tubi bagaikan angin topan.

   Semburan tuak yang seperti mata pisau telah merepotkan Setan Bungkuk.

   "Pruh!"

   "Hait!"

   Dengan cepat Setan Bungkuk meloncat ke atas.

   Begitu tubuhnya meluruk, tongkatnya di-ayunkan ke arah kepala Ki Demong.

   Namun sambil memiringkan kepala, Pemabuk dari Gunung Kidul mengangkat gucinya ke atas.

   Trang! Bentrokan keras tidak terhindari lagi.

   Dan sambil berteriak keras, keduanya terjajar ke bela-kang satu tombak.

   Tetapi sambil berputar, kaki Ki Demong menghantam kaki Setan Bungkuk.

   "Hup!"

   Dengan gerakan bagai udang, Kuntarawang melentik ke udara, sehingga berhasil mengelakkan serangan. Namun tanpa diduga, Ki Demong mengejar sambil menghantamkan gucinya. Begkh! "Ugkh...!"

   Dengan teriakan tertahan, Setan Bungkuk ter-pental makin tinggi ke udara.

   Melihat Setan Bungkuk terdesak, Cakra Dana menggerang murka.

   Dan tiba-tiba kedua tangannya menghentak, mengirimkan serangan jarak jauh yang menimbulkan angin panas membara.

   Merasakan adanya angin sambaran sebelum serangan sesungguhnya tiba, Pemabuk Dari Gu-nung Kidul cepat tersadar.

   Cepat diminumnya tuak dalam guci, dan langsung disemburkannya ke arah datangnya serangan.

   "Pruhhhh!"

   "Heh?!"

   Tetapi, ketika semburan itu beradu dengan angin pukulan Cakra Dana, tuak itu tertolak balik ke arah pemiliknya.

   Ki Demong tersentak kaget, dan untung segera membuang diri ke belakang.

   Tubuhnya cepat bergulingan di tanah menjauhi.

    *** Baru saja Ki Demong melompat bangun, Setan Bungkuk memburunya.

   Tongkat ularnya berkele-batan mengancam seluruh tubuh pemabuk itu.

   Namun dengan gerakan cepat luar biasa, Pemabuk dari Gunung Kidul segera memutar-mutar gucinya.

   "Trang...!"

   Dua tenaga dalam beradu keras.

   Akibatnya Pemabuk dari Gunung Kidul terlempar dengan telapak tangan terasa panas.

   Tubuhnya lantas bergulingan di tanah.

   Namun, Setan Bungkuk terus mengejarnya.

   Bahkan baru saja hendak melenting bangun, Setan Bungkuk telah menghantamkan tongkatnya.

   Wuttt...! Diegkh...! "Aaakh...!"

   Telak sekali punggung Ki Demong terhajar tongkat. Kembali tubuhnya terjengkang disertai pekik kesakitan.

   "He he he...! Orang usil! Mampuslah kau...!"

   Dengus Setan Bungkuk sambil menghantamkan kembali tongkatnya ke kepala Ki Demong.

   "Celakalah aku kali ini...,"

   Desah Pemabuk dari Gunung Kidul dalam hati.

   Pada saat yang berbahaya bagi keselamatan Ki Demong, mendadak berkelebat satu bayangan ungu yang langsung memapak tongkat Setan Bungkuk.

   Serangan itu begitu tiba-tiba, sehingga benturan keras tidak terhindari lagi.

   Trak...! Tangan Setan Bungkuk kontan bergetar keras.

   Bahkan senjatanya hampir terlepas dari tangan.

   Betapa terkejutnya Kuntarawang ketika melihat yang menangkisnya adalah seorang pemuda.

   Bahkan setelah menangkis, pemuda itu langsung menghadapi Cakra Dana tanpa rasa takut sedikit pun.

   "Heh...? Mengapa kau yang sudah setua ini masih ikut campur dalam urusan ini...?!"

   Tanya pemuda berbaju ungu yang baru datang.

   "He he he...! Dasar anak kambing yang tidak takut pada harimau! Pergilah sebelum kesabaranku hilang...!"

   Ujar Cakra Dana.

   "Pendekar muda! Jangan layani dia...! Sebaiknya pergi dari tempat ini. Dan, bawa serta juga gadis pemberani itu.... Biar mereka bertiga aku yang menghadapi! Larilah lekas! Mereka sangat berbahaya! Orang yang kau hadapi adalah seorang datuk sesat yang kejam dan sangat berbahaya!"

   Seru Pemabuk dari Gunung Kidul.

   Tetapi seruan itu tidak mungkin dilayani pemuda yang baru datang itu.

   Karena, pemuda itu adalah Bima Sena saudara seperguruan Puspita Dewi.

   Tentu saja, kedatangannya karena dendam lama.

   Maka tanpa banyak kata lagi, diterjangnya Cakra Dana.

   "Chiaaat!"

   Pedang di tangan kanan Bima Sena, meliuk-liuk mengancam tenggorokan Cakra Dana.

   Namun sambil tertawa besar, datuk sesat itu menyentil badan pedang dengan jarinya.

   Tuk! Bima Sena merasa tangannya bergetar hebat.

   Malah tubuhnya sampai terjajar dua tombak ke belakang.

   Tahulah dia kalau lawannya memiliki kepandaian tinggi.

   Terutama, tenaga dalamnya.

   "Hem.... Boleh juga tenaga dalam yang kau miliki, Anak Muda! Pasti gurumu sangat sakti. Karena, jarang ada yang sanggup menahan serangan 'Jari Sakti Api' yang kumiliki...,"

   Puji Cakra Dana.

   "Tapi, coba dulu yang satu ini...!"

   Begitu kata-katanya habis, si Tangan Api cepat menarik tangannya. Dan tiba-tiba dihentakkannya....

   "Hiyaaat!"

   Bima Sena cepat menyadari, betapa berbaha-yanya serangan ini.

   Maka tak tanggung-tanggung lagi tenaga dalamnya cepat disalurkan ke tangan.

   Dan secepat itu pula dipapaknya serangan.

   Blarrr...! Tenaga dalam mereka bertemu.

   Tampak Bima Sena tergetar mundur beberapa langkah.

   Menyadari kalau tenaga dalam lawannya satu tingkat di atasnya, Bima Sena merubah jurusnya.

   Mulai ilmu meringankan tubuhnya digunakan untuk mengulur waktu dan menguras napas Cakra Dana.

   Namun kali ini, Bima Sena yang baru turun gunung bertemu lawan tangguh dan sakti.

   Terutama, tangannya yang sepertinya berapi, sehingga dapat menghanguskan lawan.

   Sehingga segala usahanya menemui jalan buntu.

   Ternyata, Cakra Dana memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa pula! Semakin lama, Bima Sena semakin terdesak.

   Kalau diteruskan bisa dipastikan, dalam tempo beberapa jurus lagi akan mengalami celaka.

   Sementara Ki Demong terus sibuk menghadapi Setan Bungkuk yang memainkan tongkatnya secara habis-habisan.

   Bahkan semua ilmu yang dipelajari belakangan ini, telah dipakai Kuntarawang untuk menghadapi pemabuk tua itu.

   Keadaan mereka sampai saat ini masih tetap seimbang.

   Walaupun semakin mabuk, Ki Demong tetap tangguh.

   Bahkan semakin sulit diterka gerakannya.

   Sementara itu, lain halnya Setan Hitam.

   Sambil bertarung, dia terus melempar binatang beracun yang sangat berbahaya.

   Untung saja Puspita Dewi memiliki gerakan yang jarang terlihat dalam dunia persilatan.

   Sehingga agak sulit bagi Sakurang untuk mengalahkannya secara cepat.

   "Setan.... Keparat...! Gadis gagu kurang ajar! mampuslah kau!"

   Dengus Setan Hitam, sambil mempercepat serangan dan melipatgandakan tenaganya. Keadaan Puspita Dewi memang kelihatan ter-jepit. Dan itu tak lepas dari perhatian Ki Demong yang masih sempat melirik sambil bertarung.

   "Nisanak, sebaiknya cepat pergi dari tempat ini. Rasanya, kita tak akan mampu menandingi orang-orang telengas ini...!"

   Sambil berusaha menghindari serangan, Puspita Dewi melirik ke arah si Pemabuk dari Gunung Kidul.

   Dia yakin, laki-laki tua itu yang mengirimi suara jarak jauh.

   Buktinya ketika melirik tadi, Ki Demong sempat menganggukkan kepala.

   Kemudian dengan cepat gadis bisu itu melirik Bima Sena yang juga terdesak.

   Nyatanya, kepala pemuda ini mengangguk.

   Berarti, Bima Sena juga mendapat kiriman suara jarak jauh.

   Juga, pemuda itu tampaknya menyetujui usul si Pemabuk dari Gunung Kidul.

   Maka mendadak saja, seperti mendapat aba-aba mereka melenting ke arah yang sama.

   Lalu secepat itu pula mereka berkelebat cepat, mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat tinggi.

   Sebentar saja, mereka telah lenyap dari pandangan.

   "Bangsat... Mereka akhirnya dapat lolos juga...!"

   Maki Kuntarawang sambil memukul-mukulkan tongkatnya.

   "Bocah-bocah itu kelak akan menjadi batu sandungan bagi kita!"

   Potong Sakurang sambil mengepalkan tinjunya.

   "Biarkan sajalah.... Bukankah kalian juga mendapat luka dalam? Lebih baik sembuhkan luka kalian dulu!"

   Ujar Cakra Dana sambil mengambil obat pulung dari balik bajunya. *** Rupanya, kedatangan Cakra Dana, Sakurang, dan Kuritarawang telah ditunggu beberapa orang murid Perguruan Pondok Ungu yang kembali dibangun oleh Bima Sena.

   "Berhenti...! Mau apa kalian datang kemari?!"

   Bentak seorang murid.

   "Ha ha ha....! Segala kutu busuk mau banyak tingkah didepanku. Mampuslah kau...!"

   Hardik Sakurang sambil melemparkan binatang-binatang beracun yang mematikan.

   Ser! Ser! Tap! Tap! Binatang berbisa mematikan itu berhasil menempel pada leher dan tubuh murid-murid Perguruan Pondok Ungu yang masih tersisa, dan kebe-tulan pulang kampung sewaktu pembantaian dulu.

   Jumlah mereka sekarang hanya sekitar dua puluhan.

   Mendapat serangan tidak terduga, para murid tidak berdaya.

   Bagai daun kering, mereka berja-tuhan terkena racun binatang berbisa.

   Yang lainnya segera mencabut senjata, sambil membunyikan kentongan tanda bahaya.

   Maka dalam waktu singkat, halaman perguruan telah ramai oleh para murid.

   Sementara itu, tiba-tiba Cakra Dana menghen-takkan tangannya.

   Langsung digunakannya ilmu 'Tangan Api'.

   Maka saat itu juga meluncur beberapa bola api ke arah atap perguruan yang kebetulan terbuat dari rumbia.

   Tak ayal lagi, atap itu kontan terbakar.

   Tidak lama kemudian, api pun berkobar dengan jilatannya yang melalap seluruh bangunan perguruan.

   Malam yang semula gelap jadi terang benderang oleh nyala api.

   "Api.... Api.... Lekas padamkan api celaka itu...! Para pengacau keparat itu telah membakar perguruan kita. Lekas ambil air!"

   Teriak murid-murid Perguruan Pondok Ungu.

   Ketika mereka sibuk, para tokoh sesat itu sibuk pula menyebar maut ke sana kemari.

   Murid-murid berkepandaian rendah, berjatuhan dengan jiwa melayang.

   Teriakan kematian menggema berkali-kali.

   Sedangkan api semakin membesar saja dan melalap bangunan di sekitarnya.

   "Ha ha ha...! Ayo bikin habis mereka!"

   Seru Kuntarawang. Namun pada saat yang sama melesat satu ba-yangan ke arah Setan Bungkuk. Begitu cepat ge-rakannya, sehingga dia tak dapat menghindari lagi. Dan.... Des! 'Waakh...!"

   "Heh?!" *** Betapa murkanya Setan Bungkuk menyadari dirinya terlontar dan jatuh berdebuk di tanah, ketika sebuah tendangan menghantam punggungnya. Begitu bersalto bangkit, dia menatap tajam sosok penyerangnya yang tak lain si Pemabuk dari Gunung Kidul. Disertai teriakan membahana, Kuntarawang menerjang orang tua pemabukan yang berkepan-daian tinggi itu. Maka pertarungan sengit terjadi kembali. Kini dalam keadaan sama-sama segar dan mempunyai tenaga penuh. Dan mereka kelihatan tetap seimbang dan sulit ditentukan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang.

   "Chiaaat!"

   Sementara itu, Sakurang kembali dihadang gadis gagu bernama Puspita Dewi yang memiliki ilmu pedang luar biasa.

   Kini gadis itu mengamuk bagaikan orang kemasukan setan.

   Pedangnya bergulung-gulung laksana gelombang lautan yang selalu datang tak ada henti.

   Dan yang paling seru adalah pertarungan antara Bima Sena melawan Cakra Dana.

   Kedua orang ini saling serang, menggunakan ilmu silat tingkat tinggi.

   Namun di pihak Bima Sena, keadaannya malah mencemaskan.

   Jurus-jurus andalan telah terkuras habis.

   Dan lambat laun tetapi pasti, Bima Sena mulai jatuh di bawah angin.

   Zeb! Zeb! "Haiiit!"

   Bima Sena melompat ke atas ketika secara bertubi-tubi Cakra Dana menyentakkan tangannya.

   Dia memang tidak berani mengambil bahaya atas serangan itu.

   Blam...! Dan benar saja.

   Pohon besar yang berada di belakang pemuda berbaju ungu itu kontan hangus terkena serangan tangan api Cakra Dana.

   Bagaikan disambar petir, pohon itu tumbang dan terbakar habis.

   "Hm...! Tidak salah lagi! Kepandaian yang kau miliki adalah warisan Aria Pamuji yang menjadi sesepuh Perguruan Pondok Ungu...! Tetapi, menghadapi aku, tua bangka itu tidak ada artinya...! Suruh dia keluar kalau berani...!"

   Ejek Cakra Dana.

   "Yeaaa!"

   Mendengar gurunya diejek, Bima Sena jadi kalap.

   Tindakannya jadi sembrono.

   Tanpa mem-perhitungkan pertahanannya, pemuda itu meluruk maju sambil melepaskan pukulan bertubi-tubi.

   Sebentar Cakra Dana memperhatikan gerak pemuda ini.

   Lalu tiba-tiba tubuhnya bergerak ke samping seraya melepaskan hantaman telak ke dada, dengan badan merunduk sedikit.

   Dan....

   Desss...! "Aaakh...!"

   Tidak ampun lagi, Bima Sena tersentak ke belakang terkena hantaman telak.

   Dia menjerit ter-tahan, lalu memuntahkan darah.

   Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu ambruk ke tanah.

   Pingsan.

   Cakra Dana tak bermaksud membunuh langsung pemuda itu.

   Tokoh sesat ini bermaksud menyandera pemuda itu, untuk memancing kemunculan Aria Pa-muji, yang sejak dulu adalah musuh besarnya.

   Sementara itu, guci Ki Demong tengah me-nangkis tongkat ular Kuntarawang yang mengarah ke kepalanya.

   Trang! Kedua orang itu sama-sama tergetar mundur.

   Dari sini, Cakra Dana melihat kesempatan baik.

   Maka cepat dikirimkannya serangan jarak jauh dengan menghentakkan tangannya.

   Serangkum sinar merah memburu melesat, langsung mengantam Ki Demong hingga terlempar dan jatuh berdebuk keras di tanah.

   Agaknya dia mendapat luka dalam yang lumayan.

   Karena tidak dapat bangkit lagi, Kuntarawang tertawa terbahak-bahak sambil memuji kelicikan Cakra Dana.

   Kini yang tertinggal hanyalah Puspita Dewi.

   Tetapi gadis itu tidak memperlihatkan rasa gentar sedikit pun.

   Dengan teriakan yang tidak dimengerti, tubuhnya terus menerjang Setan Hitam.

   Melihat kawannya terdesak, Setan Bungkuk cepat meluruk membantu.

   Akibatnya, kini ganti Puspita Dewi yang terdesak.

   Gadis itu kini hanya dapat menangkis dan main mundur saja.

   Melihat keadaan ini, jelas beberapa saat lagi dia akan mendapat celaka.

   Pada saat yang gawat ini, mendadak saja....

   "Kraaagkh...!"

   "Heh?!"

   Sebuah suara keras menggelegar di angkasa, memaksa Setan Hitam dan Setan Bungkuk menghentikan serangan dengan wajah terkejut.

   Tak urung, Cakra Dana pun terjingkat kaget.

   Seperti mendapat kata sepakat, mereka semua menatap ke atas.

   Dan mereka makin terkejut, ketika di angkasa terlihat seekor rajawali raksasa melayang-layang.

   Agaknya, kebakaran yang melanda Perguruan Pondok Ungu sempat menarik perhatian burung rajawali itu.

   Sebelum keterkejutan para tokoh sesat ini hilang, burung raksasa itu telah meluruk ke bawah.

   Sekitar sepuluh tombak di atas permukaan tanah, dari punggung burung itu melompat ringan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pdang bergagang kepala burung di punggung.

   "Paman guru! Dia Pendekar Rajawali Sakti yang telah kuceritakan itu! Hati-hati, Paman. Ke-pandaiannya sangat tinggi!"

   Teriak Setan Hitam, sambil menunjuk ke arah pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti, setelah berdiri lima tombak di hadapan mereka.

   "Bangsat...! Jadi, ini bocah yang mempunyai sedikit nama, tapi berani jual lagak di depanku?! Kalau sudah bosan hidup, biar kuturuti kehendakmu...!"

   Bentak Cakra Dana seraya, mempersiapkan pukulan 'Tangan Api' ilmu andalannya.

   "Sabar, Kisanak! Bukankah persoalan ini bisa diselesaikan dengan kepala dingin...?"

   Cegah Rangga, kalem.

   "Jangan banyak bacot! Bersiaplah! Terima pukulanku.... Hih...!"

   Begitu selesai dengan bentakannya, Cakra Dana langsung menghentakkan kedua tangannya.

   Maka seketika meluncur dua sinar merah membara ke arah Rangga yang agaknya telah membaca gelagat tak baik.

   Tadi pun, bicaranya pada Cakra Dana hanya sekadar basa basi saja.

   Begitu kedua sinar merah itu sedikit lagi menghantam, Pendekar Rajawali Sakti mengempos tenaganya.

   Saat itu juga kedua tangannya juga menghentak.

   "AjiGuntur Geni! Yeaaah...!"

   Wusss...! Blarrr...! Terdengar ledakan dahsyat.

   Tampak Cakra Dana dan Rangga tergetar mundur.

   Sementara, tokoh sesat itu terkejut ketika mengetahui tenaga pemuda itu begitu dahsyat.

   Namun sgcepat itu pula tubuhnya meluruk, menyerang Rangga dengan Tangan Apinya.

   Cepat Rangga memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

   Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan dahan pohon ditiup angin.

   Kadang kala terhuyung-huyung bagaikan orang mabuk, lalu roboh rebah hampir mencium tanah.

   Tetapi anehnya, semua serangan Cakra Dana tidak ada yang mengenai sasaran.

   "Ayo, serang aku, Kunyuk! Jangan bisanya hanya menghindar!"

   Teriak Cakra Dana. Dia merasa marah, melihat Pendekar Rajawali Sakti hanya menghindar saja. Dan itu baginya adalah penghinaan! "Hm.... Agaknya kau tidak bisa diajak berpikir dingin, Kisanak. Baiklah.... Akan kuturuti permintaanmu. Bersiaplah,"

   Ujar Rangga.

   Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang, membuat jarak.

   Dan begitu kakinya mendarat, dibuatnya gerakan sedemikian rupa.

   Sebentar tubuhnya miring ke kiri, lalu ke kanan.

   Begitu tubuhnya tegak kembali, kedua tangannya sudah menangkap di depan dada.

   Lalu....

   "Aji Cakra Buana Sukma..., Heaaa...!"

   Disertai teriakan keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan.

   Saat itu juga, meluncur sinar biru ke arah Cakra Dana.

   Tokoh sesat itu berusaha memapak dengan kedua tangannya.

   Namun, sinar merah yang meluruk dari kedua tangannya tertahan oleh sinar biru dari tangan Pendekar Rajawali Sakti.

   Bahkan perlahan-lahan, sinar biru itu terus merangsek, dan akhirnya menyelubungi tangan Cakra Dana.

   Perlahan tapi pasti, sinar biru itu mulai merayap ke jubah Cakra Dana.

   Bahkan kini, seluruh tubuhnya terselubung sinar biru.

   Di saat yang demikian, Cakra Dana merasa kekuatannya bagai tersedot keluar.

   Tokoh sesat ini berusaha melepaskan diri dari selubung sinar biru itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya.

   Tapi justru, semakin tenaga dalamnya dipaksa keluar, tubuhnya makin lemas saja.

   Sementara itu, melihat Cakra Dana dalam keadaan mengkhawatirkan, Setan Hitam dan Setan Bungkuk berniat membokong.

   "Hiaaat...!"

   Disertai teriakan keras, mereka meluruk sambil melepaskan serangan jarak jauh. Namun.... Darrr...! Darrr...! "Aaakh...!"

   Kedua tokoh sesat itu kontan terpental dengan dada terasa sesak. Begitu jatuh di tanah, pandangan mereka terasa berkunang-kunang dengan perut mual. Lalu....

   "Hoekhhh...!"

   Hampir bersamaan, Setan Hitam dan Setan Bungkuk memuntahkan darah segar.

   Mereka tak tahu, kalau Pendekar Rajawali Sakti tengah mengerahkan tenaga dalamnya yang paling tinggi.

   Sehingga tanpa melepas serangan pun, tubuhnya telah terlindungi.

   Maka akibatnya seperti yang terjadi barusan.

   Saat itu tingkat tenaga dalam Rangga terus bertambah, terarah pada Cakra Dana.

   Hingga pada akhirnya....

   "Hiaaa...!"

   Blarrr...! Tanpa dapat berteriak lagi, tubuh Cakra Dana hancur berantakan.

   Serpihan-serpihan dagingnya beterbangan ke segala arah.

   Tamat sudah riwayat tokoh hitam ini.

   Rangga menarik napas lega, sambil memperhatikan tubuh lawannya yang berceceran dalam keadaan hangus.

   Perlahan-lahan tubuhnya berbalik.

   Segera dihampirinya kedua anak muda itu.

   Tampak Bima Sena yang telah tersadar dari pingsannya, ditemani Puspita Dewi.

   Sedangkan si Pemabuk dari Gunung Kidul juga telah tersadar.

   Kini dia tengah bersemadi.

   Pada saat yang sama, Setan Hitam dan Setan Bungkuk telah merambat bangun.

   Mereka bemsaha menyalurkan hawa murni untuk memulihkan luka dalam dan jalan pernapasannya yang terasa sesak.

    *** "Maaf, Pendekar Rajawali Sakti....

   Kali ini biarkanlah kami yang membereskan mereka...!"

   Ucap Bima Sena dengan mata merah.

   "Uuuh.... Aaah.... Uaaah...!"

   Puspita Dewi ikut menyelak dengan menga-cungkan pedangnya.

   Sementara, Rangga hanya mengangkat bahu saja.

   Dia yakin kedua anak muda ini mampu menghadapi kedua tokoh sesat itu.

   Sewaktu berada di angkasa tadi, Rangga sempat memperhatikan jalannya pertarungan.

   Dan dia mengambil kesimpulan kalau yang paling berbahaya adalah Cakra Dana.

   Maka, segera dihadapinya tokoh sesat itu lebih dulu.

   Melihat Puspita Dewi sudah bergerak, Bima Sena segera ikut mengeroyok Sakurang.

   Pukulan-pukulan tangan yang berisi tenaga dalam kuat telah berhasil mengimbangi pukulan beracun Sakurang.

   Sedangkan Kuntarawang telah dihadapi si Pemabuk dari Gunung Kidul yang sudah menyelesaikan semadinya.

   Keduanya mati-matian untuk menjatuhkan satu sama lain secepat mungkin.

   Seperti biasa, sambil bertarung Ki Demong selalu menenggak tuaknya yang sesekali disemburkan.

    *** Ketika pertarungan memasuki jurus ke lima puluh dua, senjata di tangan Puspita Dewi dan Bima Sena telah berhasil melukai tangan dan perut Setan Hitam.

   Ini semua akibat perhatian Setan Hitam terganggu akibat binasanya Cakra Dana yang dianggap dapat dijadikan pelindungnya.

   "Bedebah kalian...! Waspadalah! Aku akan mengadu jiwa dengan kalian...!"

   Dengus Sakurang.

   "Hih...!"

   Begitu Setan Hitam menghentakkan kedua tangannya, seketika meluncur angin berkesiutan yang berbau amis.

   Bisa dibayangkan, betapa beracunnya pukulan itu.

   Namun Bima Sena juga tak ingin ayal-ayalan lagi.

   Disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, kedua tangannya menghentak.

   "Heaaah...!"

   Blarrr...! Terdengar ledakan dahsyat ketika dua pukulan bertenaga dalam tinggi beradu.

   Tubuh masing-masing terlempar beberapa tombak dengan dada terasa sesak.

   Namun sayang, tubuh Setan Hitam justru terlontar ke arah Puspita Dewi.

   Melihat kesempatan baik ini, gadis itu segera mengelebatkan pedangnya.

   Dan....

   Crasss...! Tak ada suara ketika kepala Setan Hitam menggelinding putus terbabat pedang Puspita Dewi.

   Tubuhnya kontan ambruk di tanah, menggelepar meregang nyawa.

   Darah merah pun menggenangi sekitar tubuhnya.

   Tepat ketika Puspita Dewi membersihkan pedangnya dari noda darah di baju tokoh sesat itu, tubuh Setan Hitam telah kaku.

   Mati membawa dendam.

   Sedangkan Puspita Dewi segera melangkah menghampiri Bima Sena yang masih terduduk le-mah, setelah mengadu tenaga dalam dengan Setan Hitam barusan.

   Dibantunya pemuda itu bangkit berdiri.

   Sementara itu melihat kedua rekannya binasa, gerakan silat Kuntarawang tampak mulai kacau.

   Apalagi, Pemabuk dari Gunung Kidul terus mendesak dengan guci dan semburan tuaknya.

   Pada satu kesempatan, tepat ketika Kuntarawang melenting untuk menghindari luncuran tuaknya, Ki Demong melesat ke atas memburu.

   Saat itu juga, gucinya langsung dihantamkan ke dada Setan Bungkuk.

   Diegkh...! "Aaakh...!"

   Setan Bungkuk terpental disertai teriakan keras. Sementara tongkatnya terpental, dan jatuh ke arah tempat Pendekar Rajawali Sakti berdiri.

   "Hih...!"

   Dengan sekali tendang, Pendekar Rajawali Sakti berhasil membuat tongkat itu meluncur ke arah tubuh Setan Bungkuk yang meluncur turun.

   Dan...

   Crep! Tubuh Setan Bungkuk kontan tertancap tongkatnya sendiri hingga tembus ke punggung.

   Seke-tika itu juga tubuhnya terbawa luncuran tongkat yang ditendang Rangga dengan tenaga dalam tinggi.

   Clap! Ujung tongkat itu menancap pada sebuah pohon yang cukup besar dengan membawa tubuh Setan Bungkuk.

   Setelah berkelojotan sejenak, tokoh tua itu tewas dengan mata melotot.

   Bima Sena dan Puspita Dewi, menarik napas lega melihat kematian pembunuh guru mereka.

   Sedangkan Pemabuk dari Gunung Kidul yang baru saja mendarat di tanah hanya terlongong bengong, karena tahu-tahu Setan Bungkuk sudah tertancap tongkatnya sendiri.

   Sementara kobaran api yang melalap Perguruan Pondok Ungu mulai mengecil dan hampir padam.

   Pembakaran perguman memang berhasil.

   Tetapi para muridnya tidak dapat dilenyapkan begitu saja.

   Para murid itu pasti akan melanjutkan perju-angan dengan mendirikan kembali Perguruan Pondok Ungu yang sudah terkenal dan termashyur.

   Puspita Dewi dan Bima Sena saling berpelukan.

   Mereka sama-sama mengucapkan terima kasih pada Ki Demong yang berjuluk si Pemabuk dari Gunung Kidul.

   Namun orang tua pemabuk itu hanya tersenyum haru.

   Ketika mereka hendak mengucapkan terima kasih pada Pendekar Rajawali Sakti ternyata pendekar itu telah tidak ada di tempatnya.

   Memang setelah mengirim Setan Bungkuk ke neraka, Rangga langsung berkelebat sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa.

   Memang masih banyak tugas lain yang harus diembannya dalam menumpas keangkaramurkaan.

    SELESAI Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya .

   PATUNG DEWI RATIH Pendekar Rajawali Sakti Заметки Pendekar Rajawali Sakti Bahasa Indonesia

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Penghuni Telaga Iblis Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana

Cari Blog Ini