Ceritasilat Novel Online

Teror Topeng Merah 2


Pendekar Rajawali Sakti Teror Topeng Merah Bagian 2



Bentak Tunggul Wetu garang pada seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.

   Entah dari mana datangnya, Tunggul Wetu sendiri tak tahu.

   Lagi pula, ke mana perginya Janang Uwung, sehingga tidak melihat pemuda ini masuk lalu mengganggu acaranya? Tapi Tunggul Wetu tidak sempat memikirkan, karena amarahnya lebih kuat merasuki benaknya.

   Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki ini melompat menerjang pemuda berbaju rompi putih itu.

   "Rasakan hajaranku, Bocah!"

   Sementara pemuda berbaju rompi putih tidak berusaha menghindar. Namun sebelah tangannya bergerak mengibas menyampok tendangan. Plak! "Uhhh...!"

   Tunggul Wetu geram bukan main.

   Kakinya terasa bergetar hebat saat berbenturan dengan tangan pemuda itu.

   Tapi mana mau kekurangannya ditunjukkan? Padahal sebagai orang persilatan seharusnya dia mengerti, dari benturan tadi saja bisa diduga kalau tenaga dalam pemuda berbaju rompi putih itu jauh di atasnya.

   "Heaat...!"

   Kini Tunggul Wetu menerjang.

   Tubuhnya langsung meluruk sambil bergulungan dengan kepala yang akan jadi sasaran.

   Namun dengan gerakan ringan sekali pemuda berbaju rompi putih itu memiringkan kepala.

   Kemudian tubuhnya berputar sambil mengayunkan tangannya yang mengancam ke dada Tunggul Wetu.

   Dan....

   Desss...! "Aaakh...!"

   Tunggul Wetu terkesiap dan kontan menjerit tertahan. Gerakan pemuda berbaju rompi putih itu cepat bukan main. Sampai-sampai dia tidak mampu berkelit. Dan akibatnya, hantaman itu telak menghajar dadanya.

   "Keparat! Kau akan menyesal seumur hidup!"

   Bentak Tunggul Wetu garang.

   Cepat laki-laki anggota Gerombolan Topeng Merah ini bangkit.

   Tangannya cepat bergerak ke pinggang, menggenggam kipasnya.

   Set! Bet! Dengan sekali sentak, kipas dari lempengan-lempengan besi tipis telah terkembang di tangan Tunggul Wetu.

   Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, dia melompat menerjang.

   "Yeaaa...!"

   Pemuda berbaju rompi putih itu hanya tenang-tenang saja. Namun ketika ujung kipas menyambar, tubuhnya mengegos ke samping. Dan tiba-tiba sebelah kakinya menghantam perut Tunggul Wetu. Begkh...! "Hekh...!"

   Tubuh Tunggul Wetu kontan tertekuk, tidak sempat menghindari tendangan pemuda berbaju rompi putih itu.

   Tubuhnya ambruk tak tertahankan.

   Perut terasa mual bukan main mendapat hajaran yang cukup keras itu.

   Saat itu juga, Tunggul Wetu merasa tak mampu bangkit lagi.

   Isi perutnya bagaikan diaduk-aduk.

   Lalu....

   "Hoekh...!"

   Begitu kuatnya dorongan dari dalam, membuat Tunggul Wetu tak mampu lagi menahan keluar isi perutnya yang disertai onggokan darah.

   "Pergilah.... Dan jangan membuat keonaran lagi!"

   Ujar pemuda berbaju rompi putih, mengandung ketegasan.

   Tunggul Wetu berusaha bangkit sambil memungut kipasnya yang terjatuh.

   Diselipkannya kipas itu ke pinggang.

   Tangan kirinya mengusap mulut yang dikotori muntahan bercampur darah.

   Sementara sepasang matanya memandang dengan sorot dendam penuh amarah.

   "Kau akan berurusan dengan kami, Bocah! Persoalan ini belum selesai. Ingat Ketua Gerombolan Topeng Merah akan datang membuat perhitungan denganmu!"

   Dengus Tunggul Wetu.

   Agaknya Tunggul Wetu sadar tidak ada gunanya lagi melawan pemuda berbaju rompi putih ini.

   Bukan saja dia demikian mudah menangkis serangannya, tapi juga cepat mampu membalas.

   Dari sini jelas kalau kepandaian pemuda itu berada beberapa tingkat di atasnya.

   "Musuh tidak kucari. Tapi kalau datang, aku tidak akan lari. Pergilah. Dan bawa serta kawanmu yang ada di depan!"

   Sahut pemuda berbaju rompi putih itu.

   Tunggul Wetu terkesiap mendengar kalimat terakhir yang diucapkan pemuda itu.

   Kawannya di luar? Jelas, pasti telah terjadi sesuatu pada Janang Uwung sehingga tidak masuk membantunya melawan pemuda ini.

   Cepat Tunggul Wetu berkelebat keluar.

   Ketika keluar, benar saja.

   Didapatinya Janang Uwung duduk terdiam seperti patung.

   Agaknya tubuhnya telah tertotok.

   Tanpa banyak bicara lagi, dipanggulnya tubuh Janang Uwung dan segera pergi dari tempat itu.

    *** Sri Dewi masih menangis terisak.

   Buru-buru dia bangkit, duduk di tepi ranjang sambil membelakangi pemuda yang menolongnya dari aib.

   "Sudahlah, jangan menangis. Kau harus menganggap bahwa itu pengalaman yang harus selalu diingat. Hidup di luaran tidak mudah. Banyak kejadian tak terduga akan menimpa kita...,"

   Bujuk pemuda berbaju rompi putih itu. Sejenak Sri Dewi menoleh. Dan baru disadari bahwa penolongnya masih berada di ruangan ini. Berdiri tegak membelakanginya.

   "Te..., terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Aku Sri Dewi...,"

   Ucap gadis itu.

   "Namaku Rangga...,"

   Sahut pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

   "Kulihat kau tidak biasa bepergian. Tentunya kau anak seorang hartawan yang kabur dari rumah...."

   "Ya. Aku tinggal di...."

   Sesaat gadis itu ragu melanjutkan kata-katanya.

   Sebab, kakeknya dulu pernah berpesan agar tidak mudah percaya begitu saja kepada orang asing meskipun baik dan telah berjasa.

   Sebab bisa saja kebaikan itu ternyata kedok yang menutupi hati yang sebenarnya culas, jahat, menyimpan maksud busuk.

   Dan sebenarnya, Sri Dewi tidak tahu apa kaitannya antara menunjukkan tempat kediamannya dengan pemuda itu.

   Apakah kakeknya takut dirampok? Rasanya sulit.

   Sebab di perkampungannya bercokol jago-jago silat yang tidak bisa dikalahkan begitu saja oleh para perampok.

   "Keadaan sudah aman. Dan kau boleh melanjutkan perjalanan kembali,"

   Kata Rangga tak mempedulikan apa yang tengah dipikir gadis itu. Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti beranjak keluar dengan tenang. Sehingga tanpa sadar Sri Dewi bangkit dan menguntitnya dari belakang dengan perasaan bersalah.

   "Ma..., maaf. Aku tidak bermaksud menyembunyikan diriku...,"

   Ucap gadis ini lirih. Rangga menoleh dan tersenyum manis.

   "Aku tidak merasa bahwa kau menyembunyikan sesuatu. Lagi pula, meski kau menyembunyikan sesuatu, aku tidak hendak memaksamu untuk menceritakannya padaku,"

   Sahut Rangga, datar.

   "Kau..., eh! Tidak marah?"

   Tanya Sri Dewi, agak canggung juga. Gadis ini menaksir, usia pemuda ini beberapa tahun di atasnya. Bahkan di atas Kamajaya, yang mesti dipanggilnya kakang.

   "Tidak...,"

   Sahut Rangga seperti tidak merasakan kecanggungan gadis itu.

   "Sungguh?"

   Rangga tertawa.

   "Kenapa aku mesti marah? Kenal denganmu pun baru sekarang ini. Dan kenapa aku mesti marah, kalau kau menyembunyikan sesuatu? Tidak. Aku tidak marah. Tugasku menyelamatkan kau dari kebuasan mereka telah selesai. Nah, pulanglah. Orangtuamu mungkin kelabakan mencari-carimu."

   Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah dan kini berada di halaman pondok kecil yang dijadikan anggota Gerombolan Topeng Merah untuk memperkosa Sri Dewi. Sementara itu, Sri Dewi mengikuti dari belakang.

   "Eh, rumahku jauh sekali dari sini! Maukah kau mengantarku...?"

   Usik Sri Dewi ketika pemuda itu terus melangkah pergi.

   Sebenarnya gadis ini agak canggung meminta seperti tadi.

   Tapi ketakutannya masih banyak tersisa di hati.

   Dia khawatir kedua orang bertopeng itu akan kembali, lalu melanjutkan niat busuknya.

   Dan kalau sudah begitu, siapa lagi yang akan menolong? "Di mana?"

   Tanya Rangga.

   "Lawang! Eh, maksudku tidak persis di kotanya. Sebuah perkampungan yang ada di kaki Gunung Arjuna."

   Rangga mengerutkan dahi sebentar.

   "Tempat itu tidak terlalu jauh...."

   "Ya, tapi...."

   Sri Dewi tidak melanjutkan kata-katanya.

   Dia berusaha mencari alasan agar pemuda ini bersedia mengantarnya.

   Tapi syukur, akhirnya Rangga tersenyum dengan kepala mengangguk.

    *** Senja baru saja berlalu.

   Sebagian rombongan yang ditugaskan Ki Jayeng Rono untuk mencari Sri Dewi, telah kembali.

   Namun rombongan yang lain terus melakukan perjalanan untuk mencarinya sampai bertemu.

   Dilaga sejak tadi sibuk mendiamkan istrinya yang terus menangis dengan perasaan cemas dan takut.

   Bukan cuma istrinya saja yang mengalami hal itu.

   Tapi, dia juga merasakannya.

   Bahkan bercampur amarah.

   Dan amarah laki-laki setengah baya itu semakin bertambah ketika melihat jago-jago bayaran yang disewa ayahnya berdatangan satu persatu ke perkampungan ini.

   Jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh orang dengan senjata lengkap.

   Menilik dari tindak-tanduknya paling tidak mereka memiliki kepandaian lumayan.

   Tengah Ki Dilaga duduk di ruang depan setelah gagal membujuk istrinya, terdengar ketukan dari pintu.

   "Masuk!"

   Kata Dilaga, agak keras. Wajar saja kalau Dilaga tadi bersuara cukup keras. Karena, hatinya memang masih kesal. Tapi begitu tahu siapa yang muncul, dia berusaha mempermanis sikap dan wajahnya. Ternyata yang datang adalah Ki Jayeng Rono, ayahnya.

   "Sudah kau bujuk istrimu?"

   Tanya Ki Jayeng Rono tanpa dipersilakan langsung duduk di depan putranya.

   "Sudah,"

   Sahut Dilaga.

   "Tidak usah khawatir. Sebentar lagi Sri Dewi pasti akan ditemukan,"

   Lanjut orang tua itu.

   "Tapi, mereka yang baru datang mengatakan gagal mencarinya...."

   "Ah! Mereka cuma malas saja!"

   Tepis Ki Jayeng Rono.

   "Yang lainnya tengah mencari lebih cermat."

   "Aku khawatir dia kepergok Gerombolan Topeng Merah...,"

   Desah Dilaga cemas.

   "Kita semua mengkhawatirkan hal yang sama. Tapi, Sri Dewi tidak bodoh untuk menjerumuskan dirinya memancing serta menantang orang-orang itu."

   "Tapi, Sukasrana mengatakan sendiri bahwa kepergiannya sengaja untuk mencari Gerombolan Topeng Merah, Ayah!"

   "Sukasrana terkadang suka melebih-lebihkan cerita. Kau tidak perlu terlalu mempercayainya. Sudah lama Sri Dewi ingin bertamasya ke tempat-tempat indah. Dan aku selalu saja belum sempat mengajaknya. Kurasa dia kesal. Dan akhirnya nekat untuk pergi sendiri,"

   Tangkis Ki Jayeng Rono, coba mengusir kegelisahan di hati putranya.

   Dilaga terdiam.

   Dia tahu banyak putrinya.

   Kalau sekadar kakeknya tidak sempat mengantarnya bertamasya, dia pasti akan pergi sendiri.

   Atau, bersama beberapa pengawal dan pasti akan minta izin.

   Tapi kalau Sri Dewi sampai nekat kabur tanpa pamit, itu pasti karena niatnya dihalangi.

   Dan jelas, soal orang-orang bertopeng merah yang membuat Ki Jayeng Rono tidak mengizinkan putrinya keluar dari perkampungan.

   Dan belum ada yang sempat bicara lagi, terdengar suara ribut-ribut dari arah luar.

   Keduanya bergegas melihat ke pintu.

   Tampak beberapa pekerja di keluarga Ki Jayeng Rono berlarian ke satu arah.

   "Keparat! Pengacau itu muncul lagi di sini!"

   Desis Ki Jayeng Rono geram. Tanpa banyak mulut lagi, Dilaga segera masuk ke kamar. Begitu keluar kembali, dia telah menggenggam sebilah pedang.

   "Akan kubinasakan mereka hari ini!"

   Desis Dilaga geram.

    *** Apa yang diperkirakan Ki Jayeng Rono dan Dilaga memang benar.

   Dua pengacau yang telah berada di dalam perkampungan tengah menghajar para pegawai mereka.

   Dan ciri-ciri khusus yang berupa topeng merah, telah membuat kedua orang itu naik darah.

   Kedua orang bertopeng merah itu terlihat ganas sekali.

   Yang seorang bersenjata caping bambu yang ujung-ujungnya tajam.

   Sekali senjatanya terbang berputar-putar, maka nyawa dua atau tiga orang pegawai Ki Jayeng Rono melayang.

   Sedangkan yang bersenjata tongkat baja berujung runcing, bergerak amat cepat.

   Gerakan tongkatnya langsung menebas leher serta perut lawan tanpa ampun.

   "Kurang ajar! Aku tidak bisa membiarkan mereka berbuat seenaknya saja!"

   Desis Dilaga geram seraya melompat menghadapi laki-laki bercaping yang lebih banyak menimbulkan korban.

   Sikap Dilaga memang tidak salah.

   Para pegawai keluarganya yang rata-rata memiliki kemampuan rendah, tidak bisa menandingi kedua orang bertopeng merah ini.

   Padahal mereka dibantu jago-jago bayaran yang didatangkan Ki Jayeng Rono.

   Baru saja Dilaga melompat beberapa tindak, laki-laki bercaping telah melepaskan senjatanya.

   Senjata caping itu langsung melesat kencang berputaran.

   Dengan gerakan yang disertai tenaga dalam tinggi, Dilaga langsung mengebutkan pedangnya yang telah terhunus.

   Wuttt...! Trak! "Heh?!"

   Betapa terkejutnya Dilaga.

   Dalam perhitungannya, mestinya caping bambu itu akan terkoyak disambar pedangnya.

   Tapi yang terjadi, malah pedang Dilaga yang bergetar.

   Tangannya kontan terasa kesemutan sampai ke jantung akibat benturan barusan.

   Sementara caping bambunya tidak rusak sedikit pun.

   Sadarlah dia, bahwa tenaga laki-laki bertopeng ini tidak di bawahnya.

   Bahkan mungkin saja di atasnya.

   "He he he...! Jadi kau keturunan si Jayeng? Boleh juga! Tapi, sebaiknya suruh saja ayahmu yang melawanku. Dan kau pergilah menetek pada ibumu!"

   Ejek laki-laki bercaping dengan tawa lebar. Mendengar ejekan, bukan main geramnya Dilaga. Bahkan dengan seenaknya menyuruhnya menetek pada ibunya yang telah almarhumah.

   "Tutup mulutmu, Keparat! Dan lihat pedangku!"

   Bentak Dilaga seraya menyerang dengan ganas.

   Tapi laki-laki bercaping tampak tenang-tenang saja meladeninya.

   Tubuhnya bergerak gesit, menghindari tebasan pedang laki-laki setengah baya itu.

   Padahal, Ki Dilaga sudah memperhebat serangan.

   Pedangnya berkelebat seperti baling-baling dan mengurung ruang gerak laki-laki bercaping dengan ketat.

   "Apa hebatnya ilmu silat keluarga Jayeng Rono? Huh! Sepuluh kali lebih hebat dari ini pun tak berarti bagiku!"

   Begitu selesai kata-katanya, laki-laki bercaping seperti ingin membuktikannya.

   Tangannya yang sudah memegang caping langsung dikebutkan.

   Wuttt...! Caping bambu itu langsung bergerak menyambar.

   Saat itu juga pedang Dilaga berusaha memapak! Trak! Tubuh Dilaga kontan terjajar mundur, tak mampu menahan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam caping itu.

   Dan belum sempat dia memperbaiki keseimbangannya, mendadak laki-laki bercaping itu telah meluruk melepaskan tendangan.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga....

   Desss...! "Aaakh...!"

   Dilaga menjerit kesakitan begitu tendangan orang bercaping mendarat di dadanya. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang. Melihat itu Ki Jayeng Rono gusar bukan main. Namun sebelum dia turun tangan, mendadak....

   "Keparat busuk, lihat serangan!"

   Ki Jayeng Rono menoleh, melihat satu sosok tubuh berkelebat menerjang orang bertopeng.

   Ternyata, dia tak lain dari Ki Sabda Kalaka yang merupakan saudara tua istri Dilaga.

   Kepandaian Ki Sabda Kalaka yang berjuluk si Kelelawar Hitam itu tidak rendah.

   Buktinya, Ki Jayeng Rono pun menyeganinya.

   Senjatanya adalah sepasang tongkat hitam yang di ujungnya terdapat pisau kecil.

   "He he he...! Kukira siapa. Ternyata, hanya kelelawar buduk!"

   Ejek laki-laki bercaping sambil tertawa mengejek. Dipandang rendah demikian, si Kelelawar Hitam yang selalu memakai jubah hitam itu tidak mempedulikannya. Langsung dia menyerang ganas.

   "Yeaaa...!" *** Kepalan tangan Ki Sabda Kalaka yang berisi tenaga dalam tinggi ditangkis dengan mudah oleh telapak tangan kiri laki-laki bertopeng. Plak! "Uhhh...!"

   Kakak ipar Dilaga itu mengeluh tertahan, merasakan dorongan tenaga yang lebih kuat menghantamnya.

   Seperti tidak mempedulikan kekuatan laki-laki bercaping itu, dia terus melenting ke atas.

   Setelah membuat gerakan jungkir balik dua kali, tubuhnya meluruk sambil menyambar batok kepala lawannya.

   "Hup!"

   Orang bertopeng dan bercaping hanya terkekeh dingin.

   Dalam keadaan masih berdiri tegak, sepertinya dia tidak berusaha menghindar.

   Namun sedikit lagi serangan Ki Sabda Kalaka akan menghantam, dengan gerakan sangat mengagumkan, tubuhnya melenting ke belakang.

   Begitu mendarat, kaki kanannya langsung melepas tendangan maut.

   Dalam keadaan melayang di udara, mana mungkin si Kelelawar Hitam mampu menghindar.

   Akibatnya....

   Desss! "Aaakh...!"

   Ki Sabda Kalaka kontan berteriak kesakitan. Tubuhnya terjerembab ke depan sejauh tujuh langkah dengan dada dan perut serasa remuk.

   "He he he...! Ayo bangun, Kelelawar Buduk! Apa kau hendak bertelor di situ?!"

   Ejek laki-laki bercaping itu.

   "Keparat!"

   Bentak si Kelelawar Hitam, geram bukan main. Saat itu juga, Ki Sabda Kalaka mencabut sepasang tongkat hitamnya. Lalu dia melompat menyerang.

   "Sekarang kau boleh tertawa di akherat sana!"

   Desis Ki Sabda Kalaka. Pada saat itu juga Dilaga telah ikut siap membantu.

   "Kakang! Biar aku membantumu merencanakan batok kepalanya!"

   Si Kelelawar Hitam agaknya tidak berusaha menolak bantuan.

   Karena disadari, menghadapi orang bercaping itu seorang diri belum mampu menjatuhkannya.

   Maka dibantu beberapa pegawai kedua orang itu segera mengeroyok laki-laki bercaping.

   Sementara, laki-laki bertopeng dan bercaping kelihatan tenang-tenang saja, meski tidak sebebas tadi ketika menghadapi keroco-keroco.

   Dua lawan utama yang dihadapi tidak bisa dipandang sebelah mata.

   Di arena pertarungan lain, laki-laki bertopeng bersenjata tongkat baja sudah berusaha menahan gempuran dua orang lawan yang ternyata Ki Joyologo dan Ki Sukatan Jember.

   Permainan tongkatnya memang masih berada di atas Ki Sukatan Jember.

   Namun gerakannya sering dikacaukan oleh pedang Ki Joyologo.

   Sehingga semakin lama, dia betul-betul tak berdaya.

   Trak! Terjadi benturan ketika tongkat orang bertopeng merah itu menangkis tongkat Ki Sukatan Jember.

   Sebelum dia sempat melakukan serangan balasan, sodokan pedang Ki Joyologo telah mengincar jantungnya dari samping.

   Secepat kilat, orang bertopeng merah ini menggerakkan tongkatnya.

   Trang! Begitu berhasil menangkis, serangan Ki Sukatan Jember telah menanti orang bertopeng ini dari belakang.

   Tidak ada waktu lagi untuk menangkis.

   Dan....

   Duk! "Aaakh...!"

   Orang bertopeng merah dan bersenjata tongkat itu menjerit kesakitan ketika pinggangnya kena gebuk Ki Sukatan Jember. Sesaat tubuhnya sempoyongan.

   "Hei?!"

   Melihat kawannya terdesak, laki-laki bertopeng merah yang mengenakan caping menoleh. Pada saat itu juga mereka saling menoleh mengangguk seperti memberi isyarat. Lalu....

   "Suiiittt..!"

   Sesaat orang-orang di perkampungan kecil ini terkejut mendengar suitan dari salah satu orang bertopeng merah.

   Meski tidak tahu maksudnya, namun sedikit-sedikit mereka mengerti apa yang diperbuat kedua orang bertopeng itu.

   Kalau tidak melarikan diri, tentu mencari bantuan.

   Sementara kedua orang bertopeng ini kembali melanjutkan pertarungan.

   Itu berarti, suitan barusan mengisyaratkan permintaan bantuan.

   Ternyata benar saja.

   Sebentar saja telah berlompatan dua orang bertopeng merah lain, masuk ke arena pertarungan.

   Yang seorang bertubuh tinggi besar.

   Sepasang lengannya panjang kokoh dan kelihatan kuat.

   Yang seorang lagi tidak terlalu tinggi, namun rambutnya panjang riap-riapan.

   Di pinggangnya terlihat sepasang senjata tongkat pendek yang salah satu ujungnya berbentuk cakar dari besi.

   Kedua orang itu langsung mengamuk sejadi-jadinya.

   Dalam waktu singkat mereka telah membuat banyak korban.

   "Kurang ajar! Ini tidak bisa dibiarkan! Danang Rejo! Kau bisa meladeni yang seorang lagi!"

   Ujar Ki Jayeng Rono seraya menyongsong orang bertopeng yang bersenjata sepasang tongkat berujung cakar besi.

   Laki-laki berusia enam puluh tahun yang dipanggil Ki Danang Rejo, adalah kawan Ki Jayeng Rono.

   Tokoh yang juga Ketua Perguruan Tapak Buana ini memang sejak tadi belum turun tangan.

   Maka begitu mendapat isyarat dari Ki Jayeng Rono, dia segera berkelebat, menghadang orang bertopeng yang bertubuh tinggi besar tanpa senjata sebuah pun.

    *** "He he he...! Jadi, ini Jayeng Rono yang kesohor itu? Sayang sekali.

   Kau dan seluruh keluargamu akan musnah hari ini!"

   Ejek orang bertopeng yang bersenjata sepasang tongkat berujung cakar besi sambil tertawa, ketika Ki Jayeng Rono mendarat satu tombak di depannya.

   "Siapa pun kalian, jangan harap bermimpi bisa berbuat seenaknya di tempatku!"

   Dengus Ki Jayeng.

   "He he he...! Kau hendak menunjukkan kegaranganmu, Orang Tua Busuk?! Kalau dulu boleh saja. Tapi sekarang, jangan harap! Gerombolan Topeng Merah akan menghancurkanmu!"

   "Apa sebenarnya yang kalian inginkan dariku?"

   Tanya laki-laki tua itu heran dengan dahi berkerut.

   "Aku tidak bermusuhan dengan kalian. Tapi, tiba-tiba saja Gerombolan Topeng Merah mencari gara-gara."

   "Sebenarnya ini bukan urusan pribadiku, tapi dua kawanku. Kau pasti mengenal mereka. Dan kemudian, ketua kami menemukan hal lain yang menarik sehingga menjadi urusan kami semua,"

   Jelas orang bertopeng merah itu.

   "Tidak usah banyak omong! Katakan saja apa mau kalian?!"

   Bentak Ki Jayeng Rono.

   "Gulungan kulit itu. Lalu, semua hartamu! Serahkan, atau kau tidak akan selamat! Kau dan seluruh keluargamu akan disapu bersih!"

   "Apa maksudmu? Gulungan kulit yang mana yang dimaksudkan?"

   Tanya Ki Jayeng Rono pura-pura tidak mengerti.

   "Tidak usah berpura-pura, Bangsat! Serahkan saja cepat kalau mau selamat!"

   "Huh! Aku tidak mengerti alasan kalian. Gulungan kulit yang mana yang kalian inginkan? Seingatku, memang aku punya gulungan kulit Tapi itu sudah dijadikan hiasan atau lukisan,"

   Kilah Ki Jayeng Rono.

   "Kau terlalu banyak berpura-pura, Orang Tua Busuk! Kau kira kami ke sini dengan niat kosong, he?! Kenalkah kau dengan kedua saudara angkatmu?"

   "Aku semakin tidak mengerti bicaramu. Seumur hidup, aku sama sekali tidak mempunyai saudara angkat!"

   Bantah orang tua itu.

   "Bagaimana dengan Tunggul Wetu dan Janang Uwung?"

   Ketika disebutkan kedua nama itu, darah Ki Jayeng Rono seketika berdesir.

   Jantungnya berdetak lebih kencang.

   Wajahnya separo pucat Kedua nama yang disebutkan itu memang saudara angkatnya.

   Pikirannya langsung melayang pada peristiwa puluhan tahun lalu pada masa mudanya.

   Saat itu mereka sering melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji seperti merampok, membunuh, serta memperkosa para wanita.

   Ketiganya mulai terkenal sebagai Tiga Perampok Bukit Tunggul, karena wilayah kekuasaan mereka memang di sekitar Bukit Tunggul.

   "Kau kenal mereka, bukan?"

   Sindir orang bertopeng itu, terdengar sinis.

   Sesaat Ki Jayeng Rono melirik ke arah lain, khawatir ada orang yang mendengar pembicaraan itu.

   Karena, perbuatan-perbuatan di masa mudanya dulu tentu saja bisa meruntuhkan wibawanya di depan keluarganya.

   Padahal, mereka sudah kepalang menganggapnya sebagai orang terhormat.

   "Huh! Kau salah duga. Aku sama sekali tidak kenal nama-nama yang kau sebutkan!"

   Sergah Ki Jayeng Rono.

   "He he he...! Bagi seorang terhormat sepertimu, terang saja membantahnya. Tapi siapa peduli? Kami tetap meminta gulungan kulit itu dan seluruh harta kekayaanmu. Atau, kau dan semua keluargamu mati sia-sia!"

   Ancam orang bertopeng ini.

   "Tidak perlu mengancam kami. Sebab kalian tidak akan mendapatkan apa yang diinginkan!"

   Dengus Ki Jayeng Rono.

   "Hiaaat...!"

   Bersamaan dengan itu Ki Jayeng Rono meluruk menyerang ganas.

   Kelihatannya, dia hendak membunuh laki-laki bertopeng itu secepatnya.

   Paling tidak, untuk membungkam orang yang mungkin tahu banyak tentang dirinya semasa muda.

   Bet! Wut! Dengan jurus-jurus andalan yang dipadu permainan pedang, gerakan Ki Jayeng Rono jadi amat berbahaya sekaligus sulit dihindari.

   Tangan kiri mencakar dan tangan kanan memainkan jurus ilmu pedang.

   Itulah jurus yang dibanggakannya, jurus "Macan Terbang".

   Tapi orang bertopeng merah yang dihadapi Ki Jayeng Rono bukanlah sembarangan orang.

   Saat itu juga senjata tongkatnya bergerak menangkis pedang orang tua ini.

   Trang! Pada saat yang sama, orang bertopeng itu juga mengebutkan tongkat bercakar besinya ke arah tangan kiri Ki Jayeng Rono.

   Wuttt...! "Uts...!"

   Dengan sebisanya, Ki Jayeng Rono melompat ke belakang.

   Sehingga sambaran itu hanya mengenai tempat kosong.

   Ki Jayeng Rono menyadari.

   Dari beberapa kali benturan senjata ternyata, tenaga dalam orang bertopeng itu tidak berada di bawahnya.

   Maka bila tadi memapak, akibatnya akan parah.

   Senjata cakar besi yang disalurkan tenaga dalam tinggi, bukan tidak mungkin akan membuat tangannya remuk.

   Pada saat itu di tempat yang lain, Ki Danang Rejo tampak mulai terdesak.

   Ketua Perguruan Tapak Buana itu betul-betul kewalahan menghadapi tenaga dalam orang bertopeng yang laksana gabungan lima ekor singa jantan.

   Beberapa kali dalam benturan pukulan, Ki Danang Rejo mesti meringis.

   Melihat itu beberapa pegawai keluarga Jayeng Rono yang sejak tadi masih berdiri di pinggir arena pertarungan, langsung membantu.

   "Ayo, semuanya boleh maju bersamaan! Biar lebih mudah aku mengirim kalian ke neraka!"

   Tantang orang bertopeng itu dengan sikap jumawa. *** Mendengar sesumbar orang bertopeng, darah muda Sukasrana mendidih. Saat itu juga tubuhnya meluruk ke arena pertarungan.

   "Paman! Biar aku membantumu membereskannya!"

   Teriak anak muda belia itu, lantang.

   Meski sudah cukup tua, namun Ki Danang Rejo sering bertandang ke sini dan akrab dengan bocah itu.

   Sehingga, Sukasrana tidak canggung-canggung lagi menyebutnya paman.

   Meski masih muda, namun tenaga Sukasrana cukup besar.

   Gerakannya pun lumayan gesit.

   Bersama Ki Danang Rejo, dia cukup merepotkan orang bertopeng itu.

   Secara keseluruhan, empat orang bertopeng merah itu memang telah memporak-porandakan keluarga Ki Jayeng Rono.

   Mereka mampu menghadapi lawan yang jumlahnya sepuluh kali lipat tanpa kesulitan berarti.

   Tidak terbayangkan, apa jadinya bila hal itu berlangsung beberapa lama lagi.

   Keluarga Ki Jayeng Rono mungkin akan musnah.

   "Suiiittt...!"

   Mendadak dalam keadaan demikian, kembali terdengar suitan panjang dari arah lain.

   Salah seorang dari keempat kawanan bertopeng merah ini membalas suitan itu.

   Belum juga gema suitan itu hilang, telah berkelebat dua orang bertopeng yang lain.

   Yang seorang bersenjata kipas, dan seorang lagi bersenjata kapak.

   "Ha ha ha...! Bagus kalian cepat datang. Tua bangka busuk ini coba-coba hendak mengelabuiku!"

   Sambut orang bertopeng yang tengah bertarung melawan Ki Jayeng Rono.

   "Keparat! Serahkan pada kami!"

   Dengus orang bertopeng yang bersenjata kapak.

   "He he he...! Boleh saja kalian cincang dia. Tapi jangan lupa, gulungan kulit itu mesti didapatkan!"

   "Jangan khawatir, Singodimejo! Kami akan dapatkan gulungan kulit itu untuk ketua kita!"

   Sahut orang bertopeng yang bersenjata kipas.

   "Baiklah. Kalau begitu, kalian boleh bereskan orang tua busuk ini. Biar aku membereskan yang lain!"

   Sahut orang bertopeng merah yang tadi dipanggil Singodimejo.

   Dan sebenarnya Ki Jayeng Rono agak terkejut mendengar nama Singodimejo disebut-sebut.

   Laki-laki tua ini tahu, Ki Singodimejo adalah berjuluk Singa Bermuka Merah yang terkenal bengis dan kejam.

   "Jayeng Rono! Kali ini kau tidak lagi bisa menghindar dari kami!"

   Bentak salah seorang dari dua orang bertopeng yang baru datang.

   "Siapa kalian?!"

   Balas orang tua itu.

   "Kau tentu tahu dua adik angkatmu yang kau lemparkan ke dalam jurang, bukan?"

   Sahut orang bertopeng yang bersenjata kipas.

   "Huh! Jangan coba-coba mengelabuiku! Kalian hanya keroco-keroco licik. Aku tidak bisa kalian tipu begitu saja!"

   Dengus Ki Jayeng Rono.

   "Terserah apa katamu, Jayeng Rono. Tapi perlu kau tahu, sesungguhnya kami tidak mati saat itu. Ketua Gerombolan Topeng Merah telah menyelamatkan dan mendidik kami dengan baik. Saat itu, mungkin saja ilmu silatmu di atas kami. Tapi sekarang jangan harap kau bisa lolos dari kematianmu!"

   Dengus orang bertopeng yang bersenjata kapak.

   Ki Jayeng Rono tercekat.

   Kini jelas sudah, siapa orang-orang yang mengaku saudara angkatnya.

   Mereka tak lain Tunggul Wetu dan Janang Uwung.

   Yang pernah bergabung dengannya dalam suatu gerombolan bernama Tiga Perampok Bukit Tunggul, sebuah keserakahan telah membuat Ki Jayeng Rono gelap mata.

   Setelah berhasil merampok sebuah istana kecil di Kadipaten Tegalwungu, dia berkeinginan untuk memiliki seluruh harta, dan sepotong kulit kambing yang berisi peta harta.

   Maka tanpa ragu-ragu lagi, Ki Jayeng Rono memerangi kedua saudara angkatnya yang bernama Tunggul Wetu dan Janang Uwung.

   Ki Jayeng Rono yang menduga kalau dua saudara angkatnya telah tewas, segera membuang mereka ke dalam jurang.

   Namun sayang, dugaan itu keliru.

   Ternyata Tunggul Wetu dan Janang Uwung belum tewas, dan akhirnya malah berhasil diselamatkan Ketua Gerombolan Topeng Merah.

   Dan sebenarnya, Ki Jayeng Rono sudah mendengar kabar itu.

   Hanya saja, dia belum yakin.

   Dan kini, dia telah membuktikannya sendiri.

   Kendati demikian, dia masih tetap berkilah kalau kedua orang itu bukan saudara angkatnya.

   Sebab, mana mau dia mengakui mereka.

   Kalau hal itu dilakukannya, sama artinya membongkar aibnya sendiri yang selama ini selalu ditutup-tutupi di depan anak serta cucu dan kaum kerabatnya yang lain.

   "Phuih! Siapa pun adanya kalian yang mengaku-ngaku sebagai saudara angkatku, jangan harap lepas dari pedangku!"

   Bentak Ki Jayeng Rono. Saat itu juga, orang tua ini memasang kuda-kuda sambil memainkan pedangnya dengan jurus-jurus "Macan Terbang"

   Yang diandalkannya.

   "Ha ha ha...! Kau hendak menghadapi kami dengan jurus-jurus "Macan Terbang", Jayeng Rono? Ketahuilah. Sudah lama kau hidup dalam kemewahan. Sehingga, kegaranganmu yang dulu terhapus. Kini kau tidak lebih dari macan ompong!"

   Ejek Tunggul Wetu.

   "Sudahlah, Kakang Tunggul Wetu! Buat apa berdebat segala dengannya? Tanganku sudah gatal ingin memberi pelajaran padanya!"

   Timpal Janang Uwung.

   "Kau benar, Janang Uwung. Orang busuk ini mesti merasakan penderitaan yang kita alami bertahun-tahun. Dia akan mengalami dalam waktu singkat, tapi amat perih!"

   Setelah berkata demikian, kedua orang bertopeng itu bergerak menyambut serangan Ki Jayeng Rono yang sudah meluncur tiba.

   Puluhan tahun mereka berlatih di bawah bimbingan Ketua Gerombolan Topeng Merah, maka kemajuan yang diperoleh pun amat pesat.

   Apalagi setelah sekian puluh tahun berlalu, ternyata ilmu silat yang dimiliki Ki Jayeng Rono tidak bertambah.

   Maka dengan mudah kedua orang bertopeng merah itu mendesaknya.

   Saat ujung pedang Ki Jayeng Rono menikam tajam, Tunggul Wetu mengembangkan kipasnya untuk menangkis.

   Trakkk! Pada saat yang hampir bersamaan, kapak Janang Uwung melesat menyambar pinggang.

   "Uhhh...!"

   Ki Jayeng Rono melenguh, merasa tidak mungkin menghindari serangan yang demikian cepat.

   Jalan satu-satunya, dia mesti mundur ke belakang.

   Cepat kakinya melangkah mundur.

   Namun baru saja bergerak, Tunggul Wetu sudah maju selangkah.

   Kemudian sebelah kakinya mengirim tendangan keras ke perut.

   Desss...! "Aaakh...!"

   Ki Jayeng Rono menjerit kesakitan. Namun begitu dia masih mampu berjumpalitan, lalu tegak berdiri meski agak sempoyongan.

   "Kau boleh mampus sekarang juga!"

   Desis Janang Uwung, langsung berkelebat sambil mengibaskan kapak.

   Sebisa-bisanya Ki Jayeng Rono mengibaskan pedang untuk menangkis.

   Trang! Pada saat hampir bersamaan, serangan Tunggul Wetu telah berkelebat mengancamnya.

   *** Dengan gerakan mengagumkan, Ki Jayeng Rono menangkis kipas Tunggul Wetu.

   Trang! Begitu habis terjadi benturan senjata, Ki Jayeng Rono balas menyerang lewat tendangan ke ulu hati.

   Dengan demikian tubuhnya sedikit maju ke depan.

   Agaknya hal itu telah diperhitungkan.

   Namun, Ki Jayeng Rono agaknya salah perhitungan.

   Meski kelihatan gerakan Tunggul Wetu agak lambat, namun mendadak bisa berubah secepat kilat.

   Tiba-tiba saja tubuhnya mengegos ke kiri dengan sikut bergerak ke wajah.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga....

   Diekh! "Aaakh...!"

   Ujung sikut Tunggul Wetu menghantam ke wajah Ki Jayeng Rono. Lalu kipasnya mendadak terkembang, dan menyabet ke samping kanan. Wuttt! Crasss...! "Aaakh...!"

   Ki Jayeng Rono terpekik, ketika tangan kanannya putus setengah jengkal dari pergelangan disabet ujung kipas Tunggul Wetu yang runcing.

   Sementara hidungnya berdarah, terhantam sikut Orang tua itu kontan mundur beberapa langkah, sambil memegangi tangannya yang buntung.

   "Sebaiknya serahkan gulungan kulit itu pada kami. Dan pergilah kau serta keluargamu dari sini. Kalau tidak, kau tidak akan selamat!"

   Ancam Tunggul Wetu sinis.

   "Huh! Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan!"

   Tukas Ki Jayeng Rono.

   "Kau masih berusaha menghindar dan mengelak dari kami?!"

   Bentak Janang Uwung. Ki Jayeng Rono meringis kesakitan.

   "Aku tidak kenal kalian. Dan, jangan coba-coba memaksaku!"

   Dengus laki-laki tua ini geram.

   "Ha ha ha...! Kalau memang kau ingin melihat kematian keluargamu satu persatu, maka pertahankan saja benda itu. Lihatlah ke sekelilingmu! Mereka tidak punya harapan hidup lagi!"

   Ki Jayeng Rono langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling.

   Benar apa yang dikatakan Tunggul Wetu.

   Satu persatu pembantu orang tua itu telah dibantai habis.

   Sedang yang lainnya masih bertahan.

   Namun agaknya tidak akan lama, sebab luka-luka di sekujur tubuh mereka semakin mempersulit gerakan.

   Padahal saat itu, laki-laki bertopeng yang bernama Singodimejo tengah mengamuk pula, menimbulkan korban yang tidak kalah banyak.

   "Bagaimana, Jayeng Rono? Kau masih tetap ngotot ingin mempertahankan gulungan kulit itu?"

   Desak Tunggul Wetu.

   Ki Jayeng Rono jadi bimbang.

   Sesaat pikirannya berkecamuk.

   Apakah mesti menuruti permintaan mereka? Dengan begitu, dia akan terhina.

   Bahkan seluruh harta kekayaannya akan dirampas.

   Tapi kalau terus bertahan, maka keluarganya pasti akan disapu bersih.

   Ini pilihan yang betul-betul sulit! Tapi...

   "Iblis-iblis bertopeng, enyahlah kalian dari sini!"

   Mendadak terdengar seseorang berteriak marah. Dan tahu-tahu seorang gadis yang baru meningkat remaja mendadak muncul di ambang pintu gerbang. Dia langsung mencelat menyerang Ki Singodimejo yang berjuluk si Singa Bermuka Merah.

   "Yeaaa...!"

   Gadis ini langsung melepaskan tendangan terbang bertenaga kuat Namun orang yang dihadapi telah kenyang makan asam garam dunia persilatan.

   Ki Singodimejo segera mengetahui kalau serangan itu sama sekali tidak membahayakannya.

   Maka segera disiapkan sebuah hantaman bertenaga dalam tinggi.

   Sedikit lagi hantaman si Singa Bermuka Merah itu menghantam kaki gadis yang menyerangnya, mendadak berkelebat satu sosok yang langsung mengebutkan tangannya.

   Plak! "Heh?!"

   Ki Singodimejo terkejut merasakan pukulannya seperti membentur batu karang.

   Padahal tenaga dalamnya yang disalurkan di tangan telah dikerahkan begitu tinggi.

   Dia bisa merasakan tenaga dalam sosok bayangan putih itu hebat luar biasa.

   Buktinya tangannya terasa nyeri bukan main.

   Ki Singodimejo mundur beberapa langkah seraya memandang kepada sosok pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang burung rajawali menyembul di balik punggung yang menghadang serangannya.

   Sementara itu gadis yang menyerang Ki Singodimejo tadi tak kalah kagetnya.

   Dia sudah melangkah mundur sambil mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi.

   "Sri Dewi...!"

   Tiba-tiba sebuah suara terdengar menggigil. Gadis yang tak lain memang Sri Dewi menoleh.

   "Ibu...!"

   Sambil berteriak, Sri Dewi menghambur ke arah seorang wanita setengah baya yang memang ibunya. Sesaat ibu dan anak itu saling berpelukan haru.

   "Siapa kau, Bocah Edan?!"

   Pelukan ibu dan anak itu langsung terlepas, begitu terdengar suara bentakan.

   "Aku Rangga...!"

   Sahut sosok pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti. Rupanya, Sri Dewi datang tadi bersama Rangga.

   "Ki Singodimejo, hati-hati! Bocah itu bisa menghajarmu!"

   Teriak Tunggul Wetu yang melihat kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di tempat ini.

   "Huh! Segala bocah ingusan kenapa dibuat takut segala?!"

   Dengus Ki Singodimejo, memandang enteng.

   Tunggul Wetu menyesalkan sikap sahabatnya.

   Bukan tanpa sebab dia berkata begitu.

   Karena dia sendiri pernah mencicipi sendiri hajaran Pendekar Rajawali Sakti.

   Padahal, ilmu silatnya tidak terpaut jauh dengan si Singa Bermuka Merah.

   Dan di samping itu pula hatinya ketar-ketir menyadari bahwa pemuda itu berada di sini.

   Tapi hatinya sedikit tenteram mengetahui bahwa kini mereka berenam.

   "Memang tak ada yang perlu ditakutkan. Toh kedatanganku ke sini hanya untuk mencegah kalian agar jangan terlalu mengumbar keangkaramurkaan...,"

   Kata Rangga, halus.

   "Bocah tengik, apa kehebatanmu sehingga bertingkah di depanku?!"

   Bentak Ki Singodimejo.

   "Hiaaat..!"

   Seketika si Singa Bermuka Merah menerjang sambil menggerakkan kedua tangannya, seperti mencakar.

   "Uts!"

   Namun dengan mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib", Pendekar Rajawali Sakti mampu menghindarinya.

   Tubuhnya meliuk-liuk seperti orang mabuk.

   Sehingga serangan kedua tangan berbentuk cakar itu tak satu pun yang berhasil mendarat tepat.

   Mendapati serangannya gagal, Ki Singodimejo meningkatkan serangannya.

   Tangan kanannya, yang membentuk cakar, kembali berkelebat disertai tenaga dalam tinggi.

   Namun kali ini Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha menghindar.

   Bahkan tiba-tiba tangannya yang membentuk paruh rajawali berkelebat memapak.

   Plak! "Aaakh...!"

   Si Singa Bermuka Merah itu menjerit kesakitan begitu tangannya terpapak.

   Terdengar suara berderak menandakan tulang-tulang jari yang patah.

   Wajahnya meringis kesakitan.

   Ki Singodimejo kelihatan penasaran sekali.

   Saat itu juga sebelah tangannya yang masih utuh langsung mencabut senjata andalannya.

   Dan seketika kembali diserangnya Pendekar Rajawali Sakti.

   "Yeaaa...!" *** Rangga bersiap-siap menghadapi sambaran senjata tongkat berujung cakar dari baja. Dua kali sabetan ke perut dan lehernya dapat dihindari dengan melompat ke samping sambil merendahkan tubuh. Tangan kirinya kemudian bergerak cepat menangkap pergelangan tangan Ki Singodimejo. Tap! "Hih!"

   Seketika Pendekar Rajawali Sakti menarik tangan si Singa Bermuka Merah dengan kaki kanan bergerak menggedor dada. Begkh! "Aaakh...!"

   Kembali si Singa Bermuka Merah terpekik kesakitan.

   Senjatanya langsung lepas dari genggaman.

   Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.

   Wajahnya pucat dan berkerut kesakitan.

   Tangannya yang tak cedera menyeka darah yang meleleh di ujung bibirnya.

   Melihat keadaan demikian agaknya orang bertopeng yang tadi bertarung melawan Ki Danang Rejo dan Sukasrana tidak tinggal diam, segera ditinggalkannya kedua lawannya.

   Langsung diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti.

   "Bocah usil! Rasakan pukulanku! Heaaat...!"

   Bentak orang bertopeng itu sambil menghantamkan tangan ke batok kepala Pendekar Rajawali Sakti.

   Tapi, Rangga dengan seenaknya membuka tangan kiri.

   Langsung disambutnya kepalan itu dengan kibasan telapak tangannya.

   Plak! Plak! Orang bertopeng itu kontan persendiannya bergetar dan terasa linu.

   Meski begitu dia kembali melanjutkan serangan dengan sebuah hantaman kepalan tangan kiri.

   Sekali lagi, dengan tangkas Rangga menangkis.

   Namun kali ini dibarengi tendangan keras ke arah perut.

   Plak! Des! "Aaakh...!"

   Orang bertopeng itu kontan terpental ke belakang sambil menjerit kesakitan.

   Namun dia cepat bangkit Pada saat yang sama, Ki Singodimejo sudah bangkit berdiri.

   Kini kedua orang bertopeng itu siap mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti.

   Namun belum sempat mereka bergerak....

   Sriiing! Seketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

   Tujuannya jelas untuk sekadar menakut-nakuti.

   Dan ternyata, kedua orang bertopeng itu terkejut setengah mati dan langsung menghentikan serangan.

   Mereka hanya terpaku, memandang perbawa pedang yang memancarkan sinar biru berkilauan.

   "Hei? Dia Pendekar Rajawali Sakti?!"

   Teriak Ki Singodimejo, begitu berhasil menguasai keterkejutannya.

   "Celaka! Pantas saja kita tidak mampu melawannya!"

   Timpal orang bertopeng satunya. Mendengar teriakan itu, seluruh orang bertopeng menghentikan pertarungan. Mereka kini tahu betul, siapa yang dihadapi. Seorang pendekar besar yang namanya menggetarkan rimba persilatan.

   "Kenapa berhenti, Kisanak? Apa yang aneh pada diriku?"

   Tanya Rangga, dingin.

   "Pendekar Rajawali Sakti! Masalah yang ada di sini bukan urusanmu. Maka, sebaiknya jangan mencampurinya!"

   Dengus Ki Singodimejo.

   "Kalian membantai manusia seenaknya. Maka itu sudah menjadi urusanku!"

   Sahut Rangga, tegas.

   "Ini urusan pribadi kami dengan mereka!"

   Sambung laki-laki bertopeng di samping Ki Singodimejo.

   "Menjadi urusan pribadiku pula, bila kalian tidak bisa menjelaskan kenapa melakukan pembantaian di sini."

   "Si Jayeng Rono itu manusia durjana. Untuk apa kau membelanya?!"

   Bentak Ki Singodimejo.

   "Yang kulihat durjana malah kalian. Maka jangan bersilat lidah di depanku! Pergilah. Dan, bawa anak buahmu sejauh-jauhnya. Jangan sampai pikiranku berubah!"

   Ancam Pendekar Rajawali Sakti. Ki Singodimejo dan orang bertopeng di sampingnya menggeram marah. Namun keduanya hanya bisa saling pandang, tanpa bisa berbuat apa-apa. Karena mereka tahu, bila melawan sama artinya mencari penyakit.

   "Kau telah berurusan dengan Gerombolan Topeng Merah. Maka, jangan anggap urusan ini selesai begitu saja. Ketua kami tentu akan membuat perhitungan denganmu!"

   Ancam Ki Singodimejo seraya berbalik.

   Segera kawan-kawannya diajak untuk angkat kaki.

   Bagi Tunggul Wetu dan Janang Uwung yang sudah tahu kehebatan Pendekar Rajawali Sakti tentu memilih angkat kaki daripada bertahan di sini.

   Demikian pula yang lainnya.

   Rata-rata mereka kenal, siapa Pendekar Rajawali Sakti.

   "Katakan pada ketuamu. Jangan terlalu mengumbar nafsu, bila tidak ingin berhadapan denganku!"

   Ujar Rangga kalem.

   Orang-orang bertopeng itu segera berkelebat cepat dari tempat ini.

   Begitu cepatnya, sehingga mereka cepat lenyap dari pandangan.

   Ki Jayeng Rono yang merasa lepas dari lubang jarum, bernapas lega.

   Buru-buru dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti.

   "Pendekar Rajawali Sakti.... Namamu menjulang tinggi di rimba persilatan. Dan, telah banyak orang tertindas yang merasakan pertolonganmu. Tidak sangka bahwa hari ini akulah yang mendapat anugerah pertolonganmu...,"

   Ucap Ki Jayeng Rono, sambil meringis menahan sakit pada tangan kirinya yang buntung. Tubuhnya membungkuk sedikit, saat membuka suara.

   "Jangan terlalu memuji, Ki. Aku hanya manusia biasa yang hanya sedikit mempunyai kepandaian untuk membantu orang lemah. Aku tidak beda dengan kalian semua,"

   Sahut Rangga merendahkan diri.

   "Ah! Kau terlalu merendahkan diri, Pendekar Rajawali Sakti. Aku Ki Jayeng Rono, pemimpin perkampungan ini. Kalau kau tidak keberatan, sudilah bertamu ke gubuk kami."

   "Aku Rangga. Jadi panggil saja aku dengan namaku. Jangan menyebut gelarku!"

   Ujar Pendekar Rajawali Sakti.

   "Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti..., eh! Rangga! Sudilah menginap di tempat ini!"

   Ki Jayeng Rono setengah memaksakan keinginannya untuk mengundang Pendekar Rajawali Sakti ke tempatnya.

   Ini suatu kebetulan yang amat diharapkannya.

   Kepandaian pemuda ini bisa digunakannya untuk menakut-nakuti Gerombolan Topeng Merah yang tengah menekannya belakangan ini.

   Dan Rangga tidak bisa menolak ketika yang lain pun seperti mendesaknya untuk bermalam di tempat itu.

   Sehingga mau tidak mau terpaksa menyetujuinya.

   *** Malam telah larut dan suasana di perkampungan itu terlihat sunyi.

   Bukan saja karena semua penghuninya tengah berkabung karena kehilangan banyak anggota, tapi juga karena terlalu letih akibat pertarungan tadi.

   Tenaga mereka seperti terkuras habis.

   Pembicaraan antara Pendekar Rajawali Sakti dengan tuan rumah pun berlangsung tidak lama.

   Mereka hanya mengulang-ulang pernyataan terima kasih atas pertolongan Pendekar Rajawali Sakti yang telah menyelamatkan Sri Dewi, sekaligus keluarga ini dari serbuan Gerombolan Topeng Merah.

   Rangga menghela napas.

   Dia yang terlebih dulu mengundurkan diri karena merasa jemu mendengar puja-puji Ki Jayeng Rono yang setinggi langit Orang tua itu kelewat ramah, sehingga membuatnya jengah.

   Telinganya sumpek mendengar puji-pujian dan sikap manis yang seperti dibuat-buat.

   Ruangan yang dihuni Pendekar Rajawali Sakti, tidak luas namun rapi.

   Sebuah ranjang yang beralas sutera halus, membuat Pendekar Rajawali Sakti seperti ingin menikmatinya.

   Tapi entah kenapa, matanya tak mau terpejam.

   Dan tiba-tiba....

   "Kebakaran...! Kebakaran...!"

   "Aaa...!"

   "Aaakh...!"

   Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat dari tempat tidur begitu terdengar teriakan kebakaran dan jerit kematian yang saling sambung-menyambung.

   Ketika berada di luar terlihat malam yang pekat tiba-tiba dikejutkan cahaya merah menyala.

   Tampak asap hitam mengepul-ngepul di udara.

   Api menyala dengan garangnya, membakar apa saja pada bangunan rumah milik Ki Jayeng Rono.

   Dan itu pun masih ditingkahi pekik kematian dari segala arah.

   "Kurang ajar!"

   Umpat Pendekar Rajawali Sakti geram.

   Secepat kilat, Rangga berkelebat ke belakang bangunan rumah ini, tempat asal jeritan.

   Begitu tiba di belakang, Pendekar Rajawali Sakti melihat seorang bertopeng merah tengah membantai anak buah serta para pegawai Ki Jayeng Rono yang berusaha memadamkan api.

   Jumlah mereka ternyata cukup banyak.

   Karena di-beberapa sudut terlihat orang-orang bertopeng merah lain yang melakukan sepak terjangnya dengan beringas.

   Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat ke arah orang bertopeng yang bersenjata sepasang trisula.

   Plak! "Aaakh...!"

   Orang bertopeng itu terkejut, ketika tahu-tahu trisulanya terpental, terpapak sambaran tangan Rangga.

   Tanpa berpikir panjang lagi trisulanya yang satu lagi langsung berkelebat menyerang.

   Tapi dengan liukan tubuh yang manis, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindarinya.

   Bahkan tiba-tiba tangannya bergerak mengibas dengan jurus "Pukulan Maut Paruh Rajawali"

   Yang berisi tenaga dalam tinggi ke arah kepala. Prak! "Aaakh...!"

   Orang bertopeng itu kontan terjengkang dengan kepala retak.

   Dari sela-sela kedua telapak tangannya yang memegangi kepala, tampak mengalir darah segar.

   Sebentar orang itu kelojotan, lalu diam tidak berkutik lagi.

   Tanpa peduli lagi Rangga terus berkelebat menghampiri orang bertopeng yang lain.

   Memang kali ini dia tidak mau bertindak tanggung-tanggung.

   Dia merasa orang-orang bertopeng merah ini tidak mengindahkan ancamannya.

   Terbukti mereka datang dengan jumlah yang berkali lipat lebih banyak.

   *** Baru saja Pendekar Rajawali Sakti tiba di depan sosok orang bertopeng yang akan jadi sasarannya, mendadak berkelebat satu bayangan merah yang langsung menghadang gerakannya pada jarak dua tombak.

   Rangga kini berhadapan dengan seorang laki-laki tua renta berambut panjang digelung ke atas.

   Dia memakai jubah merah yang berkibar-kibar ditiup angin.

   Jenggotnya panjang berwarna putih, seperti warna rambutnya.

   Demikian pula kumisnya.

   Wajahnya dingin, mengandung hawa maut! "Kaukah orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?"

   Desis laki-laki tua ini.

   "Benar! Dan kau sendiri siapa, Kisanak?"

   "Kau kini berhadapan dengan Ketua Gerombolan Topeng Merah, Orang Usilan! Heaaat..!"

   Tanpa memberi kesempatan pada Rangga, laki-laki tua yang mengaku sebagai Ketua Gerombolan Topeng Merah meluruk, melepaskan pukulan maut bertenaga dalam tinggi.

   "Hiiih!"

   "Wesss!"

   Seketika selarik cahaya merah menyambar ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Seketika, Rangga melompat ke samping seraya mengerahkan jurus "Sembilan Langkah Ajaib"

   Untuk menghindarinya.

   "Huh...! Kurang ajar!"

   Laki-laki tua berjubah merah yang merupakan Ketua Gerombolan Topeng Merah itu mendengus geram, melihat serangannya yang tiba-tiba tidak mengenai sasaran.

   Padahal, bila orang biasa, sudah pasti tak akan bisa lolos.

   Kini Ketua Gerombolan Topeng Merah menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti, sinar matanya menyiratkan kebencian.

   Bibirnya tertarik, mengembangkan senyum sinis.

   "Bagus! Pantas saja kau berani petantang-petenteng. Rupanya kau punya kepandaian lumayan!"

   Leceh Ketua Gerombolan Topeng Merah.

   "Aku tidak bermaksud petantang-petenteng. Tapi, sekadar memperingatkan kalau kalian tidak bisa seenaknya saja main bunuh tanpa alasan kuat,"

   Kilah Rangga, berusaha membela diri.

   "Tahu apa kau tentang si Jayeng Rono, Bocah?!"

   "Aku memang tidak tahu banyak. Tapi, itu tidak penting. Yang terpenting adalah, aku tahu orang seperti apa kalian ini!"

   "Banyak mulut! Sudah waktunya kau mampus!"

   Bentak Ketua Gerombolan Topeng Merah.

   Begitu habis kata-katanya, laki-laki tua itu mencelat ke atas melepaskan pukulan bertubi-tubi yang berisi tenaga dalam tinggi.

   Agaknya, dia bermaksud membuat pemuda ini repot.

   Tapi, perkiraan Ketua Gerombolan Topeng Merah ini terlalu gegabah.

   Sebab, dengan masih menggunakan jurus "Sembilan Langkah Ajaib"

   Rangga mampu menghindari. Tubuhnya terus meliuk-liuk. Bahkan kadang condong hampir jatuh. Hingga tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.

   "Hup!"

   Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Jurusnya langsung berubah menjadi "Sayap Rajawali Membelah Mega". Kedua tangannya bergerak mengebut-ngebut, bagaikan sayap rajawali.

   "Yeaaa...!"

   Pada saat yang sama, laki-laki Ketua Gerombolan Topeng Merah tidak menyia-nyiakan kesempatan.

   Secepat kilat kedua tangannya dihentak, ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

   Wesss...! Seketika selarik cahaya merah menderu dahsyat ke arah Rangga.

   Namun agaknya Pendekar Rajawali Sakti memang telah memperhitungkan.

   Sengaja tubuhnya melenting, agar Ketua Gerombolan Topeng Merah menyerangnya.

   Dan ternyata pancingannya mengena.

   Maka begitu satu tombak lagi serangan itu menghantam, tubuhnya berkelit dengan bergulingan di udara.

   Dan begitu cahaya merah itu lewat, Rangga cepat merubah jurusnya menjadi "Rajawali Menukik Menyambar Mangsa".

   "Heaaa...!"

   Pendekar Rajawali Sakti langsung meluruk cepat, ke arah Ketua Gerombolan Topeng Merah yang tersirap kaget.

   Laki-laki tua ini benar-benar tak menduga gerakan Pendekar Rajawali Sakti yang cepat bukan main.

   Dan sebelum dia sempat berbuat apa-apa....

   Sring! Dengan gerakan cepat luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

   Lalu secepat kilat pula, pedang yang mengeluarkan sinar biru berkilauan ini berkelebat ke arah leher.

   Dan....

   Crasss...! "Aaa...!"

   Disertai pekik kematian Ketua Gerombolan Topeng Merah ambruk di tanah dengan leher buntung. Tubuhnya kontan merejang-rejang dijemput ajal. Kepalanya menggelinding terpisah beberapa tombak dari lehernya yang terus mengucurkan darah.

   "Hhh...!"

   Rangga menghela napas lega.

   Dipandangnya mayat Ketua Gerombolan Topeng Merah.

   Lalu perhatiannya beralih pada pertarungan yang belum selesai.

   Orang-orang bertopeng itu agaknya belum menyadari kalau ketua mereka telah tewas, sehingga mereka terus menyerang.

   "Hentikan pertarungan kalian. Dan, menyerahlah! Pemimpin kalian telah binasa di tanganku...!"

   Teriak Pendekar Rajawali Sakti, lantang. Suara Rangga langsung bergema di sekitar tempat itu, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam cukup hebat.

   "Heh?!"

   Orang-orang bertopeng merah itu terkesiap. Sesaat mereka berusaha meyakinkan penglihatan kalau pemimpin mereka telah tewas.

   "Aku tidak mau cari penyakit dengan mati konyol!"

   Desis salah satu orang bertopeng.

   Saat itu juga, tubuhnya berbalik dan berkelebat kabur dari tempat itu.

   Tindakan orang bertopeng itu segera diikuti beberapa kawannya, yang kemudian segera mengajak yang lain untuk kabur.

   Tidak lama, seluruh orang bertopeng telah kabur dari tempat itu.

    *** Sementara suasana di perkampungan Ki Jayeng Rono kelihatan berkabung.

   Semua orang berkumpul di halaman paling besar dan di antara halaman-halaman rumah yang ada di perkampungan ini.

   Tampak mayat-mayat korban keganasan Gerombolan Topeng Merah telah dikumpulkan di tempat ini.

   Hal yang paling mengenaskan adalah, tewasnya Ki Jayeng Rono, Sukasrana, dan Ki Danang Rejo.

   Tak seorang pun yang tahu kalau sebelum pertempuran tadi, Ketua Gerombolan Topeng Merah telah bersembunyi di ruangan khusus yang biasa digunakan Ki Jayeng Rono.

   Di sinilah, sesepuh perkampungan itu terbantai, setelah tak bersedia menyebutkan tempat disembunyikannya kulit binatang yang menyimpan peta harta.

   Secara kebetulan, Sukasrana pada saat itu juga hendak menemui kakeknya.

   Maka, pemuda itu pun menjadi korban pula.

   Sementara Ki Danang Rejo yang kamarnya berdekatan, begitu mendengar jeritan segera berusaha membalas kematian sahabatnya.

   Namun dengan mudah dia tewas di tangan Ketua Gerombolan Topeng Merah.

   Semua orang termasuk tamu-tamu telah berkumpul untuk menghormati jenazah almarhum.

   Namun, bola mata gadis bernama Sri Dewi mencari-cari seseorang.

   Rasanya ada yang kurang.

   Ternyata pemuda berbaju rompi putih berjuluk Pendekar Rajawali Sakti tidak ada dalam kerumunan orang-orang.

   "Kau mencarinya, Sri Dewi...?"

   Terdengar suara teguran, membuat Sri Dewi menoleh.

   "Eh, Ibu..., kukira siapa."

   "Kau tengah mencari Rangga?"

   Ulang wanita setengah baya yang memang ibu dari Sri Dewi.

   "Benar, Ibu.... Apakah Ibu melihatnya?"

   "Sayang sekali. Dia sudah pergi sejak tadi...,"

   Sahut wanita setengah baya itu.

   "Pergi? Tanpa pamit?"

   Tanya Sri Dewi. Wanita itu mengangguk pelan. Dan terlihat Sri Dewi terpaku untuk beberapa saat.

   "Dia pergi setelah melihat orang-orang bertopeng merah itu kabur. Aku sendiri tak tahu kenapa dia tidak mau pamit. Mungkin ada sesuatu yang membuatnya sungkan. Atau..., entahlah. Mungkin juga ada persoalan mendesak yang mesti diselesaikannya. Tapi dia kirim salam untukmu...,"

   Lanjut wanita setengah baya ini.

   Gadis yang baru beranjak besar itu masih terpaku di tempatnya.

   Sepertinya dia tak percaya kalau penolongnya, sekaligus tokoh yang dikagumi, pergi meninggalkannya begitu saja.

   Padahal dia ingin sekali berbincang-bincang tentang berbagai hal dalam waktu yang cukup lama.

   Tapi....

   "Kau menyukainya...?"

   Usik wanita setengah baya istri Dilaga ini dengan bibir tersenyum.

   Sri Dewi tidak menjawab.

   Kepalanya langsung melengos, lalu melangkah pergi.

   Dia kembali bergabung di antara kerumunan orang.

   Dan diam terpaku seperti patung! SELESAI Serial Pendekar Rajawali Sakti selanjutnya.

   SEPASANG TAJI IBLIS Scan.

   Clickers Juru Edit.

   Aura Pandra PDF.

   Abu Keisel www.duniaabukeisel.blogspot.com www.jagatsatria.com Pendekar Rajawali Sakti Articles de Pendekar Rajawali Sakti Bahasa Indonesia s

   

   

   

Pendekar Rajawali Sakti Sepasang Walet Merah Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini