Ceritasilat Novel Online

Bidadari Sungai Ular 1


Pendekar Rajawali Sakti Bidadari Sungai Ular Bagian 1


BIDADARI SUNGAI ULAR oleh Teguh S.

   Cetakan pertama, 1990 Penerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh Tony G.

   Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa Izin tertulis dari penerblt Teguh S.

   Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.

   Bidadari Sungai Ular 128 hal ; 12 x 18 cm Pembuat Ebook .

   Scan buku ke djvu .

   Abu Keisel Convert .

   Abu Keisel Editor .

   Deeemart86 Ebook pdf oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com/
http.//dewi-kz.info/

   
http.//kangzusi.info/

   
http.//cerita_silat.cc/ Seekor kuda putih tinggi kekar berlari bagai kilat menyusuri tepian sungai.

   Bentuk sungai yang berliku-liku, seakan-akan bergerak bagai seekor ular naga yang menyusuri lereng dan bukit-bukit di sekitarnya.

   Oleh karena bentuknya yang mirip dengan ular naga, maka sungai itu dinamakan sungai ular.

   Kuda itu ditunggangi seorang wanita cantik dengan pakaian serba biru.

   Wajahnya basah oleh keringat.

   Sebilah pedang bertengger di pung-gungnya.

   Dia adalah Saka Lintang, anak angkat Geti Ireng, ketua gerombolan Panjl Tengkorak.

   Ditinggalkannya Lembah Tengkorak, setelah seorang pendekar muda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti mengobrak-abrik partainya, Panji Tengkorak.

   (Baca.

   Serial Pendekar Rajawali Sakti.

   Episode.

   Iblis Lembah Tengkorak).

   "Hooop...!"

   Saka Lintang menarik tali kekang kudanya kuat-kuat.

   Kuda putih meringkik kencang lalu berhenti.

   Dengan gerakan ringan dan tangkas, Saka Lintang melompat dari kudanya.

   Ketika kakinya sampai di tanah, segera dijejakkan kakinya hingga tubuhnya melenting ke udara dan hinggap di pohon yang cukup tinggi.

   Saka Lintang bertengger pada sebuah cabang pohon, seraya matanya mengawasi bagian hulu sungai.

   Bibirnya tersenyum kctika sebuah perahu besar dengan layar lebar mulai terlihat.

   Di ujung tiang layar, berkibar selembar bendera bergamhar bunga melati yang dilingkari rantai.

   Dari lambang gambar bendera, dapat dipastikan kalau kapal layar itu milik seorang saudagar kaya dari Kadipaten Balungan.

   Sebuah Kadipaten kecil di wilayah Timur kerajaan Singasari yang berpenduduk cukup makmur.

   "Suii t...!"

   Saka Lintang bersiul nyaring yang disertai tenaga dalam.

   Mendengar siul yang bergema itu, serentak dari rimbunan semak-semak tepi sungai bermunculan empat buah perahu berukuran sedang, dikayuh oleh beberapa orang.

   Saka Lintang segera terjun diiringi gerakan salto beberapa kali, dan hinggap tepat di punggung kudanya.

   Gadis itu lantas menghentak tali kekang kudanya, lalu memacu ke arah perahu gerombalannya yang makin dekat.

   Ketika perahunya yang berwarna biru pekat itu telah menepi, Saka Lintang menarik tali kekang kuda, dan tanpa berpikir banyak dia segera melompat ke udara.

   Perahu yang telah siap menunggunya itu menerima tubuh Saka Lintang yang hinggap di tengah-tengahnya "Ayo, cepat! Kepung kapal layar itu!"

   Teriak Saka Lintang.

   Enam orang laki-laki bertubuh kekar segera mengayuh dayung.

   Perahu itu pun meluncur deras mendekati kapal layar besar.

   Tiga perahu lain yang berwarna biru pekat pula, bergerak menyerang.

   Sedangkan di kapal layar besar itu tengah terjadi kesibukan.

   Beberapa orang telah siap dengan panah yang mengarah pada gerombolan Saka Lintang.

   "Awas, panah!"

   Teriak Saka Lintang ketika melihat anak panah meluncur deras.

   Saka Lintang pun mencabut pedangnya.

   Dengan cepat pedang itu telah berputar-putar bagai baling-baling.

   Anak-anak panah yang meluncur cepat itu rontok seketika tersapu oleh pedang.

   Layaknya sebuah payung yang melindungi dari serangan hujan.

   Empat perahu Saka Lintang makin dekat ke arah kapal layar.

   Sementara anak-anak panah terus meluncur mencari mangsa.

   Namun anak buah Saka Lintang mudah saja merontokkannya.

   Saka Lintang tersenyum melihat keberhasilan anak buahnya itu.

   "Serang...!"

   Teriak Saka Lintang nyaring.

   Mendengar aba-aba itu serentak anak buah Saka Lintang yang berseragam biru pekat berlompatan ke atas kapal layar.

   Gerakan mereka sangat ringan dan cepat.

   Jelas mereka bukan orang-orang sembarangan.

   Rata-rata mereka memiliki ilmu silat cukup tinggi.

   Sementara pertarungan kini bergejolak di atas kapal layar.

   Saka Lintang mengamuk bagai banteng terluka.

   Tubuh-tubuh mulai ambruk bergelimang darah menyusul suara jeritan hasil kelebatan pedang Saka Lintang.

   Memang orang-orang di atas kapal bukan tandingan Saka Lintang dan anak buahnya.

   Banyak sudah lawan yang telah berjatuhan.

   Beberapa lawan malah menyelamatkan diri dengan terjun ke sungai.

   Dan memang, Saka Lintang dan pasukannya berhasil menguasai kapal layar.

   Dimasukkan pedangnya ke dalam sarung di punggung.

   Matanya tajam mengawasi sekitar geladak kapal yang penuh oleh darah.

   "Buang semua mayat ke sungai!"

   Perintah Saka Lintang.

   Anak buah Saka Lintang yang berjumlah kira-kira dua puluh orang itu segera mengerjakan perintahnya.

   Diseret dan dilemparkan seluruh mayat ke sungai.

   Sekejap saja permukaan sungai telah berubah warnanya menjadi merah oleh darah.

   Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan wajah ditumbuhi cambang mendekati Saka Lintang.

   Sebilah golok besar tergantung di ping gangnya.

   Dibungkukkan badannya sedikit di de-pan Saka Lintang yang berdiri angkuh.

   Kedua tangannya berada di atas pinggang.

   "Ada apa, Codet?"

   Tanya Saka Lintang datar.

   "Hamba menemukan satu peti berisi perhiasan emas dan perak, Tuan Putri,"

   Sahut laki-laki yang dipanggil Codet Memang di pipi kanannya terdapat guratan panjang sehingga menambah seram wajahnya.

   "Bagus, pindahkan semua barang berharga ke perahu kita!"

   Perintah Saka Lintang.

   "Hoi! Angkat semua yang berharga!"

   Teriak Codet keras. Kesibukan kembali terjadi. 'Tuan Putri ingin melihat-lihat?"

   Ujar Codet sambil membungkuk lagi.

   Saka Lintang tidak menyahut.

   Dilangkahkan kakinya dengan angkuh melewati laki-laki tegap dan kasar itu.

   Codet mengikuti dari belakang.

   Kapal layar ini tidak terlalu besar.

   Hanya sebentar saja Saka Lintang telah menelusuri bagian-bagian kapal.

   Dia sangat terkesan ketika masuk ke sebuah bilik dalam kapal.

   Bilik itu memang cukup indah, bagaikan peraduan seorang bangsawan.

   Saka Lintang menduga, kapal layar ini pasti milik seorang bangsawan kaya.

   Rasanya tidak mungkin Kadipaten memiliki kapal seindah ini.

   Tapi kenapa bendera kapal menunjukkan milik saudagar Gantar dari Kadipaten Balungan? Atau mungkin kapal ini telah dijual oleh saudagar itu kepada bangsawan kerajaan? "Ah! Masa bodoh.

   Kenapa harus dipiklrkan? Yang penting aku suka kapal ini!"

   Dengus Saka Lintang dalam hati.

   "Codet!"

   Panggil Saka Lintang.

   "Hamba, Tuan Putri,"

   Jawab Codet sambil membungkukkan badan.

   "Turunkan bendera kapal, ganti dengan bendera kita!"

   Perintah Saka Lintang.

   "Hamba siap menjalankan perintah."

   "Kemudian kapal ini, bawa pulang!"

   Codet berlalu setelah sebelumnya memberi hormat Saka Lintang melangkah memasuki bilik kapal kembali.

   Mulutnya tak henti-hentinya berdecak kagum.

   Di dalam bilik ini, Saka Lintang merasa bagai putri raja.

   Atau paling tidak putri bangsawan.

   Dijatuhkan tubuhnya ke atas pembaringan yang berlapiskan kain sutra lembut.

   Sungguh nyaman berada di pembaringan ini.

   Saka Lintang tersenyum-senyum sendiri.

   Selama malang melintang menguasai sungai ular ini, baru sekarang dia mendapat sebuah kapal layar yang mengagumkan.

   Rasanya sayang kalau kapal ini mesti dibakar seperti yang sudah-sudah.

   Dia ingin memiliki kapal ini.

   Dengan kapal ini dia bisa lebih leluasa menjadi penguasa sungai Ular.

   "Ha ha ha..., akulah ratu sungai Ular ini! Bidadari sungai Ular....Ha ha ha...!"

   Saka Lintang tertawa sambil berteriak-teriak bagai orang glla. Saka Lintang menari-nari berputar mengelilingi bilik kapal. Tawanya belum berhenti. Dihampirinya sebuah meja terbuat dari batu pualam. Matanya memperhatikan guci arak.

   "Hm, arak buatan desa Cacah. Sungguh tinggi seleranya,"

   Gumam Saka Lintang sambil menuang arak ke dalam gelas perak.

   Basah sudah tenggorokannya oleh arak.

   Kepalanya terangguk-angguk beberapa kali.

   Arak desa Cacah memang telah terkenal kenikmatannya.

   Arak ini memang pilihan kaum bangsawan.

   Harganya hanya terjangkau oleh orang-orang kaya.

   Tanpa terasa, gelas peraknya telah kosong.

   Dia telah menenggak habis arak itu.

   Saka Lintang menoleh ke pintu ketika diketuk dari luar.

   "Masuk!"

   Bentak Saka Lintang karena merasa terganggu kenikmatannya. Dia duduk di kursi berukir di samping meja pualam itu. Codet muncul setelah pintu terbuka. Dia membungkuk sedikit memberi hormat.

   "Ada apa lagi?"

   Tanya Saka Lintang kembali memasang sikap angkuh.

   "Hamba menemukan seorang wanita bersembunyi di balik tumpukan peti,"

   Sahut Codet.

   "Hm, siapa dia?"

   Tanya Saka Lintang mengerutkan kening.

   Codet menjentikkan jarinya.

   Kemudian muncul dua orang laki-laki mengapit seorang wanita muda berusia sekitar tujuh belas tahun.

   Cantik dan berkulit kuning langsat.

   Pakaiannya dari sutra halus.

   Perhiasannya semua dari emas.

   Wajahnya menyimpan rasa takut yang dalam.

   Saka Lintang memberi isyarat agar anak buahnya keluar.

   Codet menutup pintunya lagi.

   Saka Lintang kembali mengamati wanita muda itu.

   Mukanya pucat dan tubuhnya gemetar.

   "Siapa kau?"

   Tanya Saka Lintang. Wanita muda itu tidak menjawab. Tapi berusaha mengangkat kepalanya pelan-pelan. Ketika matanya tertumbuk pada Saka Lintang, tubuhnya seketika mengejang, Ketakutannya kian sangat.

   "Kau dengar pertanyaanku, kan? Siapa kau?"

   Dengus Saka Lintang mulai kesal karena wanita itu diam saja.

   "Aku..., aku Intan Kemuning,"

   Jawab wanita muda itu tergagap.

   "Aku putri patih kerajaan Galung."

   "O, rupanya kau putri seorang patih? Tidak seharusnya putri seorang patih kerajaan seperti tikus kena gebuk begitu!" 'Tolong bebaskan aku, aku berjanji tidak akan mengatakan apa-apa pada ayahanda,"

   Rengek Intan Kemuning.

   "Ha ha ha...!"

   Saka Lintang tertawa gelak.

   Intan Kemuning mulai terisak.

   Dia sungguh sangat menyesal ikut dengan kapal ini.

   Padahal orang tuanya sudah melarang.

   Intan Kemuning telah dibujuk agar pulang bersama-sama saja tewat jalan darat.

   Tapi Intan Kemuning ingin menikmati perjalanan melalui sungai Ular bersama kapal yang baru dibeli ayahnya untuk pesiar.

   Tidak diduga sama sekali, gerombolan perom-pak membegal kapal itu.

   Pengawalnya yang berjumlah tidak kurang dari tiga puluh orang tewas semuanya.

   Sedangkan awak kapalnya mencari selamat dengan terjun sungai.

   Intan Kemuning yang sehari-harinya tinggal di tembok kebangsawanan, tidak dapat berbuat apa-apa.

   Dia tidak pernah belajar ilmu silat.

   Jadi wajar saja kalau dia begitu ketakutan melihat para perompak mengganas di kapalnya.

   *** Kapal mewah terus melaju menyusuri alur sungai Ular diiringi empat perahu gerombolannya.

   Masing-masing perahu berisi barang-barang berharga dan djkawal oleh empat orang.

   Sementara di dalam bilik kapal mewah, Saka Lintang tengah berbaring tengkurap dengan punggung terbuka.

   Punggung yang terbuka itu terasa nikmat setelah Intan Kemuning memijitinya.

   Dia dengan terpaksa harus mengikuti perintah Saka Lintang yang menjadi pemimpin perompak sungai Ular.

   Perhiasan yang melekat di tubuhnya juga sudah ditanggalkan, Intan Kemuning hanya bisa menerima nasib saja menjadi budak kepala perompak itu.

   "Pijatanmu enak juga. Siapa yang mengajari?"

   Tanya Saka Lintang.

   "Bibi Emban. Katanya, biar suami betah di rumah, istri harus pintar memijat,"

   Sahut Intan Kemuning pelan.

   Saka Lintang membalikkan badan dan merapikan pakaiannya kembali.

   Matanya tajam menatap wajah Intan Kemuning yang tertunduk.

   Saka Lintang yang hidup dari dibesarkan di lingkungan keras, sangat terkejut mendengar kata-kata Intan Kemuning.

   Dalam kamus hidupnya, tidak ada istilah perempuan harus tunduk pada kaum laki-laki.

   "Kau bilang tadi bahwa kau anak patih. Apa kau tidak pernah belajar ilmu kanuragan?"

   Tanya Saka Lintang. 'Tidak, Ayahanda tidak mengijinkan aku belajar ilmu-ilmu keprajuritan. Beliau menginginkan aku menjadi seorang wanita bangsawan sejati,"

   Polos sekali jawaban Intan Kemuning.

   "Apa enaknya? Kau akan dijajah laki-laki, tahu!"

   Saka Lintang jadi terhenyak hatinya. Dia tidak terima kaumnya jadi bulan-bulanan kaum lelaki.

   "Aku tidak bisa menentang keinginan Ayahanda."

   "Bodoh! Itu artinya kau sudah dijajah laki-laki,"

   Dengus Saka Lintang gemas. Intan Kemuning hanya tertunduk saja.

   "Kalau kau tidak berbuat macam-macam dan menuruti kata-kataku, aku akan mengajarimu ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian lainnya. Supaya kau tidak jadi wanita yang lemah. Coba kau pikirkan! Baru lihat anak buahku yang hanya bisa main gertak saja, kau sudah ketakutan setengah mati. Untung kau tidak digagahi!"

   Intan Kemuning terlonjak kaget. Tubuhnya menggigl ketakutan.

   "Mereka tidak akan mengganggumu! Dengan syarat, kau harus turuti kata-kataku!"

   Kata Saka Lintang.

   Tidak ada pilihan lain bagi Intan Kemuning kecuali menyanggupi kemauan Saka Lintang.

   Nasibnya sekarang berada di tangan pemimpin perompak ini.

   Pikirnya, membangkang sedikit saja bisa-bisa mati konyol! Atau malah dijadikan pemuas nafsu anak buah Saka Lintang...? Intan Kemuning tidak sanggup membayangkannya.

   "Aku hidup di lingkungan laki-laki kasar dan brutal. Tapi mereka semua tunduk pada perintahku! Berani menentang dan kurang ajar. Nyawa taruhannya!"

   Jelas Saka Lintang.

   "Kau seorang pemimpin perompak, tapi mengapa kau baik padaku?"

   Tanya Intan Kemuning tidak mengerti dengan sikap Saka Lintang.

   Saka Lintang tertawa terbahak-bahak.

   Telinganya terasa dikilik, dirinya dianggap "baik".

   Hidupnya penuh kekerasan.

   Tangannya selalu dilumuri darah.

   Kenapa masih ada juga orang yang mengatakan dirinya baik? Apa tidak salah pendengarannya? Masih adakah kebaikan di hatinya? Dia sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba jadi iba melihat Intan Kemuning.

   Lebih-lebih setelah mendengar penuturannya yang polos itu.

   Saka Lintang merasa seolah-olah dialah yang diinjak-injak kaum lelaki setelah mendengar per-jalanan hidup Intan Kemuning.

   Hatinya berontak dan dengan seketika dia ingin segera nienjadikan Intan Kemuning seorang wanita yang kuat seperti dirinya.

   Saka Lintang bangkit dari pembaringannya.

   Dilangkahkan kakinya mendekati meja.

   Diraihnya guci arak, lalu dituangkan ke dalam dua gelas pe-rak Satu gelas disodorkan pada Intan Kemuning, segelas lagi buat dirinya.

   "Aku tidak biasa minum arak,"

   Tolak Intan Kemuning.

   "Untuk jadi pengikutku, harus bisa minum arak!"

   Paksa Saka Lintang. Ragu-ragu Intan Kemuning menerima segelas arak yang disodorkan buatnya. Tangannya gemetar memegang gelas itu. Sebab selama hidupnya, belum pernah dia minum arak! Mencium baunya saja, kepalanya terasa pening.

   "Ayo, minum!"

   Paksa Saka Lintang lagi.

   Intan Kemuning memejamkan matanya.

   Sambil menahan napas, diminumnya arak itu sedikit.

   Saka Lintang tersenyum melihat cara Intan Kemuning minum arak.

   Tiba-tiba Intan Kemuning terbatuk-batuk dan berdahak beberapa kali.

   Wajahnya memerah dan matanya berair.

   Saka Lintang makin tertawa keras.

   "Maaf, aku tidak bisa,"

   Ucap Intan Kemuning setelah reda batuknya.

   "Lama-lama kau akan terbiasa,"

   Sahut Saka Lintang kalem. 'Tapi...."

   "Di istanaku, semua minum arak! Tidak ada air minum, kecuali sanggup memasaknya sendiri!"

   Potong Saka Lintang.

   Intan Kemuning terdiam.

   Menginjakkan kakinya ke dapur saja tidak pernah, apalagi memasak.

   Hatinya hanya bisa mengeluh dan menyesali diri.

   Kenapa harus hidup dengan orang dan lingkungan yang sama sekali asing? Intan Kemuning tidak dapat membayangkan apakah dia bisa hidup dengan cara seperti ini, Saka Lintang menoleh ke pintu setelah diketuk dari luar.

   Intan Kemuning juga memandang ke arah pintu.

   "Masuk!"

   Teriak Saka Lintang. Codet muncul.

   "Ada apa?"

   Tanya Saka Lintang.

   "Sebentar lagi kapal sandar, Tuan Putri,"

   Iapor Codet.

   "Hm, biar saja. Aku dan Intan tetap di sini Kalian bereskan semua barang-barang."

   "Hamba laksanakan, Tuan Putri."

   "Tunggu!"

   Cegah Saka Lintang melihat Codet akan berbalik. Codet membungkukkan badannya lagi.

   "Beritahu pada semua anggota, kalau ada yang berani mengganggu Intan Kemuning, akan berurusan denganku! Dia kini jadi adik angkatku!"

   Ujar Saka Lintang keras.

   "Hamba, Tuan Putri,"

   Codet membungkuk hormat. Hatinya sedikit diliputi keraguan.

   "Pergilah! Laksanakan tugasmu!"

   Codet membungkuk lagi, kemudian berbalik Pintu kamar kembali tertutup rapat. Saka Lintang memandang Intan Kemuning yang masih duduk di tepi pembaringan.

   "Kau lihat, laki-laki tadi hanya bentuknya saja yang kasar. Nyalinya kecil,"

   Saka Lintang menjentikkan jarinya.

   Intan Kemuning hanya menelan ludah saja.

   Dia selalu ngeri jika lihat tampang laki-laki yang kasar dan kejam.

   Dia tidak yakin apakah mampu seperti Saka Lintang.

   Dari sini Intan Kemuning mulai bersimpati pada wanita yang usianya tidak terpaut jauh dari dirinya itu.

   Saka Lintang, masih muda, cantik, tapi mampu menguasai dan memerintah laki-laki bertampang kasar dan bengis.

   Intan Kemuning yang polos, mudah sekali jatuh simpati pada sikap Saka Lintang.

   Meski dia tadi sempat melihat bagaimana Saka Lintang membantai para pengawal Kadipaten dengan kejam.

   Namun bayangan kekejaman di wajah Saka Lintang makin sirna dalam pandangan Intan Kemuning.

   Dia hanya melihat suatu kelembutan dan kebaikan hati dalam diri Saka Lintang sebagai wanita yang tegar.

   *** Seminggu rasanya belum cukup bagi Intan Kemuning untuk menyesuaikan diri di lingkungan para perompak.

   Di sekelilingnya kecuali Saka Lintang, hanya laki-laki berwajah kasar dan sc-ram.

   Dan selama seminggu itu Saka Lintang telah memberi dasar-dasar ilmu olah kanuragan.

   Cukup keras latihan yang diberikan.

   Hampir-hampir Intan Kemuning tidak sanggup menjalaninya.

   Sejak itu pula, Saka Lintang tidak pernah lagi ikut merompak kapal yang lewat di sungai Ular.

   Pemimpin perompak dipercayakan pada Codet.

   Hasilnya memang tidak mengecewakan.

   Codet selalu pulang membawa hasil.

   "Kau tidak keluar, Codet?"

   Tanya Saka Lintang melihat Codet tengah bermalas-malasan.

   "Hari ini tidak ada kapal yang lewat, Tuan Putri. Mereka takut terhadap Bidadari Sungai Ular!"

   Sahut Codet.

   "Kau tidak berolok-olok padaku, Codet?"

   "Mana berani hamba mengolok-olok Tuan Putri? Bisa-bisa kepala hamba pisah dari badan."

   "Bagus kalau kau tahu!"

   Codet melirik Intan Kemuning yang duduk di bangku bawah pohon. Agak jauh memang. Sebuah buku bersampul hitam lusuh berada di tangannya.

   "Maaf, Tuan Putri. Apa Tuan Putri tidak salah mengangkat dia jadi adik?"

   Takut-takut Codet bicara sambil ibu jari tangannya diarahkan pada Intan Kemuning.

   "Maksudmu.... Intan?"

   Jawab Saka Lintang.

   "Benar, Dia itu seorang putri patih. Berbahaya sekali buat kita kalau...."

   "Cukup!"

   Sentak Saka Lintang memotong.

   "Kau tahu, apa akibatnya menentang kehendakku?"

   "Hamba, Tuan Putri,"

   Codet cepat-cepat menghormat.

   "Kau kupercaya untuk jadi wakilku. Bukan untuk mengaturku! Paham?!"

   "Hamba mengerti,"

   Sahut Codet.

   "Sekarang pergilah! Dan jangan coba-coba mengusik Intan Kemuning!"

   Codet membungkuk lalu pergi.

   Matanya masih sempat melirik Intan Kemuning.

   Codet yakin kalau buku itu berisi dasar-dasar ilmu pukulan tangan kosong dan latihan pengerahan tenaga dalam.

   Dikhawatirkan Intan Kemuning akan jadi duri dalam daging! Codet sendiri dulu adalah seorang begal sebelum dikalah kan Saka Lintang.

   Kemudian dia berjanji untuk selalu setia dan mengabdi pada gadis itu.

   Sepuluh anak buahnya pun ikut dalam gerombolan ini.

   Dan sekarang jumlah gerombolan ini tidak kurang dari tiga puluh orang.

   Mereka semua bekas begal yang biasa berkeliaran mencari mangsa di hutan-hutan atau merambah desa-desa.

   Kehidupan seperti itu memang bukan hal yang asing bagi mereka.

   Tapi justru baru kali ini mereka tunduk oleh seorang wanita! Codet menghampiri tiga orang temannya yang duduk melingkar menghadapi rusa panggang.

   Bau harum menusuk hidung dan membangkitkan selera.

   "Kalian ikut aku,"

   Kata Codet sambil mencomot sepotong daging rusa.

   "Ke mana, Det?"

   Tanya salah seorang.

   "Ke desa,"

   Jawab Codet.

   "Cari apa ke desa?"

   Tanya yang lain.

   "Cari hiburan!"

   Ketiga orang Itu tertawa seketika.

   Mereka tahu kalau Codet mengincar Intan Kemuning, tapi takut kepada Saka Lintang.

   Sebagai pelampiasan nafsunya, dia sering pergi ke desa terdekat.

   Codet hanya menggerutu saja sambil membayangkan wajah Intan Kemuning.

   Codet melangkah pergi.

   Ketiga temannya mengikuti sambil tertawa-tawa.

   Tak ada orang yang tak tertarik dengan Intan Kemuning.

   Semua laki-laki di tempat itu pasti berkhayal dapat menikmati kemulusan tubuhnya.

   Tapi hanya sekedar berkhayal.

   Tidak lebih.

   Mereka takut oleh aturan yang diberikan Saka Lintang.

   Intan Kemuning memang selalu di bawah lindungan Saka Lintang.

   Hal inilah yang selalu mengganggu pikiran Codet.

   Pikirnya, oleh karena Intan Kemuning putri seorang patih, sudah tentu pihak Kadipaten tidak akan ringgal diam.

   Apalagi jika nanti Intan Kemuning berkhianat.

   Ini jelas menyulitkan mereka.

   Codet menyayangkan pemimpinnya yang tidak menyadari kemungkinan yang akan berakibat fatal! *** Suasana di Kadipaten kerajaan Galung tengah dirundung duka.

   Sudah seminggu ini Patih Giling Wesi memerintahkan prajurit-prajurit pilihan untuk mencari kapal layar yang membawa putrinya.

   Sampai saat ini mereka belum memperoleh kabar berita sama sekali.

   Di Pendopo Kepatihan, Patih Giling Wesi seperti orang kebingungan.

   Melangkah hilir mudik dengan hati diselimuti kegelisahan.

   Tiba-tiba langkahnya terhenti.

   Matanya memandang ke depan Pendopo.

   Seorang tamtama berjalan tergopoh-gopoh menuju Pendopo.

   "Tamtama, ada apa?"

   Tanya Patih Giling Wesi setelah tamtama itu mendekat memberi hormat.

   "Hamba menerima Iaporan dari beberapa telik sandi, Gusti Patih,"

   Jawab tamtama itu.

   "Cepat laporkan!"

   "Beberapa telik sandi yang hamba kirim untuk mencari keterangan tentang Putri Intan Kemuning, telah kembali pagi tadi. Dilaporkan bahwa kapal yang membawa Putri Intan Kemuning dirampok gerombolan Bidadari Sungai Ular,"

   Tamtama itu menuturkan dengan sikap hormat.

   "Bedebah!"

   Geram Patih Giling Wesi murka. Gerahamnya sampai bergemerutuk dengan wajah merah padam.

   "Gerombolan Bidadari Sungai Ular sangat ganas, Gusti Patih. Tidak peduli kapal siapa yang akan jadi sasaran,"

   Lanjut tamtama itu lagi.

   "Kumpulkan prajurit pilihan, kita berangkat sekarang juga ke sungai Ular!"

   Perintah Patih Giling Wesi.

   "Sendika, Gusti Patih,"

   Tamtama itu memberi hormat, lalu melangkah mundur.

   Patih Giling Wesi bergegas masuk ke kamar pribadinya.

   Istrinya terheran-heran melihat wajah suaminya yang merah padam.

   Dan betapa terkejutnya istri Patih Giling Wesi ketika suaminya mengambil pedang pusaka.

   Telah lama patih itu tidak menyentuhnya lagi.

   "Kang Mas...."

   Patih Giling Wesi menoleh. Dia baru sadar kalau istrinya, Rara Angken, berada di kamar ini. Pikirannya terpusat penuh pada keselamatan putri mereka, sehingga tak sadar kalau istrinya sejak tadi memperhatikan tingkah lakunya.

   "Untuk apa pedang itu?"

   Tanya Rara Angken. Nada suaranya bergetar penuh kecemasan.

   "Aku akan mencari Intan Kemuning,"

   Sahut Patih Giling Wesi. 'Tapi mengapa harus membawa pedang pusaka?"

   "Beberapa telik sandi melaporkan kalau kapal yang membawa Intan Kemuning dirampok oleh Gerombolan Bidadari Sungai Ular."

   "Oh...!"

   Rara Angken menekap mulutnya.

   "Berdoalah pada Hyang Widi untuk keselamatan anak kita,"

   Lembut suara Patih Giling Wesi.

   "Intan, anakku...,"

   Rara Angken tak kuasa lagi menahan air matanya.

   "Dinda Rara Angken, tidak ada gunanya kau menangis. Berdoalah agar anak kita selamat. Perompak itu memang ganas, tapi firasatku mengatakan bahwa Intan Kemuning masih hidup. Tenangkan hatimu. Aku berjanji akan membawa kembali anak kita,"

   Ujar Patih Giling Wesi sambil mengelus-elus kepala dan bahu istrinya. Rara Anken masih terisak. Air matanya menganak sungai di pipi.

   "Aku pergi, Dinda,"

   Pamit Patih Giling Wesi setelah menarik napas panjang.

   "Kang Mas...,"

   Lirih suara Rara Angken.

   Pedih hati Patih Giling Wesi melihat istrinya menangis.

   Namun kakinya melangkah tegap, terayun ke luar kamar.

   Sementara sekitar lima puluh prajurit bersenjata lengkap sudah berbaris menunggunya di depan Pendopo.

   Seorang prajurit menuntun seekor kuda hitam tinggi kekar ketika Patih Giling Wesi tiba di depan Pendopo.

   Tanpa banyak basa-basi lagi, patih yang terkena! pemberang itu segera melompat ke punggung kuda dengan gerakan yang lincah.

   Para prajurit bergegas menaiki kudanya masing-masing.

   Patih Giling Wesi segera memacu kudanya dengan cepat diikuti oleh pasukannya.

   Derap langkah kuda terdengar bergemuruh meninggalkan kepulan debu bergulung-gulung.

   Kepatihan kembali sepi setelah mereka ke luar dari benteng diiringi oleh mata beberapa penjaga yang terkesima.

   "Hiya...! Hiya...!"

   Patih Giling Wesi meng-geprak kudanya agar lebih kencang lagi.

   Kuda hitam mengkilat itu mendengus-dengus berlari bagai anak panah melesat cepat Kuda Patih Giling Wesi memang kuda pilihan.

   Tidak heran kalau para prajuritnya tertinggal di bela-kang.

   Padahal mereka telah memacu kudanya secepat mungkin.

   Sebuah jalan desa yang kanari kirinya berdiri rumah penduduk, mereka lewati.

   Semua orang yang berada di jalan segera menepi.

   Mereka terheran-heran melihat banyak prajurit yang sudah terkenal kedigjayaannya seperti akan perang.

   Tiba kini sebuah kedai mereka lewati.

   Semua orang dalam kedai menoleh.

   Tetapi yang terlihat hanya kepulan debu saja.

   Di antara pengunjung kedai, duduk tenang seorang pemuda tampan yang tengah menghadapi guci arak.

   Pemuda itu tidak merasa terganggu oleh ulah prajurit kepatihan yang memacu kuda dengan cepat itu.

   Padahal banyak orang dalam kedai bertanya-tanya dan menduga-duga.

   Pemuda itu mengenakan baju rompi putih yang lusuh.

   Di punggungnya bertengger sebilah pedang dengan gagang berbentuk kepala burung rajawali.

   Dia adalah Rangga, Pendekar Rajawali Sakti.

   "Seperti akan perang saja prajurit-prajurit itu,"

   Terdengar suara dari meja tidak jauh dari tempat duduk Rangga.

   Rangga melirik ke arah suara itu.

   Dua anak muda duduk menghadapi empat guci arak.

   Dari pakaiannya dapat ditebak kalau mereka anak seorang bangsawan kaya.

   Atau paling tidak anak saudagar.

   'Tidak biasanya, Patih Giling Wesi ikut serta.

   Pasti ada sesuatu yang gawat,"

   Sahut temannya.

   "Mereka mencari putri Intan Kemuning!"

   Semua orang di kedai terdongak dan menatap arah suara yang datang tiba-tiba itu.

   Ternyata seorang kakek tua mengenakan baju compang-camping dengan tongkat merah menyangga tubuhnya.

   Kakek tua itu bersandar pada tiang kedai.

   Dari tongkat dan pakaiannya semua orang tahu dia adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah.

   Tapi jarang yang tahu kalau nama sebenamya adalah Aki Lungkur.

   Hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang tahu nama aslinya.

   "Kakek gembel! Kau jangan bicara sembarangan!"

   Bentak salah seorang dari dua pemuda tadi.

   "He he he...,"

   Aki Lungkur atau si Pengemis Sakti Tongkat Merah itu hanya terkekeh saja.

   Dia tahu siapa dua pemuda congkak itu.

   Mereka putra-putra para punggawa kerajaan.

   Yang memakai baju berwarna merah, bernama Hanggara.

   Sedangkan yang berpakaian warna hijau bernama Rangkasa.

   Mereka hanya pemuda-pemuda yang besar mulut tanpa nyali sedikit pun.

   Dan semua orang tahu siapa Intan Kemuning.

   Bunga Kepatihan yang menjadi incaran dan impian putra-putra bangsawan dan punggawa kerajaan.

   Memang, hilangnya Intan Kemuning belum tersebar luas kecuali para prajurit pilihan.

   "Kecongkakanmu melebihi tingginya gunung, tapi matamu buta! Kau tidak bisa melihat kejadian di sekelilingmu!"

   Aki Lungkur bergumam.

   Merah padam wajah kedua pemuda itu.

   Jelas ucapan Pengemis Sakti Tongkat Merah tertuju pada mereka.

   'Tanyakan pada Gusti Rara Angken.

   Kalau kata-kataku salah, kalian boleh memancung leherku.

   Tapi, kalau aku benar maka aku minta kalian membebaskan putri Intan Kemuning dari sarang Bidadari Sungai Ular!"

   Setelah selesai kata-katanya, Aki Lungkur dengan cepat melompat dan hilang dari pandangan mata.

   Suara menggumam terdengar bagai lebah ditepuk sarangnya.

   Hanggara dan Rangkasa saling berpandangan.

   Kata-kata kakek tua tadi bisa jadi ada benamya tetapi patut dipertanyakan pula.

   Rasanya sulit dipercaya bila putri seorang patih yang terkenal dengan julukan Singa Medan Laga bisa ditawan oleh gerombolan Bidadari Sungai Ular.

   Semua orang tahu kalau hal itu benar-benar terjadi, maka gerombolan perompak itu bukan saja berhadapan dengan para prajurit tetapi juga dengan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan.

   Patih Giling Wesi mempunyai banyak sahabat dari tokoh-tokoh rimba persilatan.

   Maka kalau berita itu sampai tersebar luas, bukan tidak mungkin mereka akan membantu Patih Giling Wesi.

   Tanpa diketahui orang-orang di kedai, rupanya dua orang gerombolan Bidadari Sungai Ular ada pula di kedai itu.

   Mereka mendengar pembicaraan Aki Lungkur dan segera angkat kaki ketika kakek tua itu menghilang.

   "Kita harus laporkan segera pada Tuan Putri,"

   Bisik salah seorang.

   "Benar, Kakang Badil,"

   Sahut temannya. 'Pacu kudamu dan kita ambil jalan pintas, Adi Gering!"

   Mereka pun memacu kudanya dengan cepat.

   Dan kini keadaan kedai menjadi sunyi.

   Satu persatu pengunjung kedai berlalu pergi dari tempat itu.

   Bahkan dua pemuda congkak sudah sejak tadi meninggalkan kedai.

   Tinggal Rangga sendirian masih duduk menghadapi mejanya.

   Seorang pelayan tua sekaligus pemilik kedai menghampiri.

   'Tambah lagi araknya, Tuan?"

   Pak Tua menawarkan.

   "Tidak, duduklah di sini. Aku perlu teman ngobrol"

   Sahut Rangga.

   Pak Tua itu duduk di depan Rangga.

   *** Matahari hampir condong ke Barat.

   Dua ekor kuda berpacu memasuki hutan di kaki lereng bukit Guntur.

   Penunggang kuda itu adalah Badil dan Gering, dua orang dari gerombolan Bidadari Sungai Ular.

   Penuh dengan kesigapan, mereka melompat turun setelah kuda yang mereka tunggangi berhenti di depan rumah terbuat dari kayu.

   Inilah markas gerombolan Bidadari Sungai Ular.

   Dengan tergesa-gesa Badil menghampiri pintu dan mengetuknya dengan keras.

   Ketika pintu terbuka, kedua tangan Saka Lintang telah berada di pinggang.

   "Ada apa?"

   Tanya Saka Lintang angkuh.

   "Kami punya berita penting, Tuan Putri,"

   Kata Badil segera membungkukkan badannya.

   "Katakan cepat!"

   "Menyangkut..., Intan...,"

   Badil setengah berbisik Matanya menerobos ke dalam.

   Saka Lintang mengerutkan keningnya.

   Dia melangkah dua tindak'Tadi hamba berdua minum-minum di kedai Pak Tua.

   Di situ hamba melihat serombongan prajurit berkuda dipimpin langsung oleh Patih Giling Wesi,"

   Jelas Badil ketika Saka Lintang telah berada di luar rumah.

   "Lalu?"

   Desak Saka Lintang sudah bisa menebak "Di situ juga ada Pengemis Sakti Tongkat Merah. Si gembel Itu tahu kalau Intan Kemuning ada di sini. Dia yang menyebar kabar itu, Tuan Putri,"

   Lanjut Badil.

   "Kau takut?"

   Cibir Saka Lintang.

   "Tidak!"

   Sahut Badil dan Gering bersamaan.

   "Kalau begitu, siapkan semua yang ada. Sambut kedatangan mereka!"

   Perintah Saka Lintang tegas.

   "Jumlah mereka banyak, Tuan Putri,"

   Kata Gering.

   "Mereka hanya tikus!"

   Bentak Saka Lintang. Dia mendengar nada cemas pada suara Gering.

   "Hamba laksanakan, Tuan Putri,"

   Cepat-cepat Gering membungkuk. Dia tahu gelagat kalau Saka Lintang sudah membentak keras. Ketika kedua orang itu telah pergi, Saka Lintang bergegas masuk ke kamar kembali. Dia menghampiri Intan Kemuning yang menunggu di balai tengah-tengah ruangan.

   "Ada apa Kakak Lintang?' tanya Intan.

   "Ada tikus yang mencoba masuk,"

   Jawab Saka Lintang lalu duduk di balai berhadapan dengan Intan Kemuning. 'Tikus...?"

   Intan Kemuning belum mengerti.

   "Yah..., tikus bodoh yang cari mampus!"

   Intan Kemuning mulai mengerti.

   Yang dimaksud tikus tentulah orang.

   Bukan tikus sebenarnya.

   Kadang-kadang dia harus berpikir lebih dulu untuk dapat mengerti.

   Itulah Saka Lintang.

   Bukan hanya kata-katanya saja yang sulit dimengerti.

   Sikapnya pun demikian.

   Kadang-kadang kasar, kadang-kadang lembut.

   Tapi di balik kekasaran-nya, Intan Kemuning dapat melihat suatu pelampiasan kekesalan pada Saka Lintang.

   Sebenarnya ingin sekali Intan bertanya.

   Tapi setiap kali akan bertanya, di saat itu pula niatnya diurungkan.

   Dia takut Saka Lintang tersinggung.

   Intan Kemuning harus bisa menjaga diri dan berbuat apa saja yang dikehendaki Saka Lintang.

   "Mengapa kau memandangiku begitu?"

   Tanya Saka Lintang risih dipandangi terus.

   "Tidak..., tidak apa-apa,"

   Sahut Intan Kemuning tergagap.

   "Aku..., aku heran saja."

   "Apa yang kau herankan?"

   Tanya Saka Lintang.

   "Kakak Lintang,"

   Pelan suara Intan Kemuning.

   "Aku...? Ha ha ha...!"

   Saka Lintang tertawa gelak Intan Kemuning makin bingung melihat Saka Lintang tertawa terbahak-bahak.

   Padahal kata-katanya tidak ada yang lucu.

   Kenapa dia sampai tertawa gelak seperti itu? Namun dalam tawa itu, Intan Kemuning menangkap semacam kegetiran yang ditutup-tutupi di wajah Saka Lintang.

   "Sudahlah, tidak usah memikirkan aku! Yang penting, sekarang giatlah berlatih. Aku lihat jurus-jurus pukulan tangan kosongmu sudah mantap. Perdalamlah lagi agar lebih sempurna,"

   Ujar Saka Lintang setelah reda tawanya. Intan Kemuning hanya mengangguk.

   "Nah, berlatihlah sekarang!"

   Perintah Saka Lintang.

   "Kakak Lintang mau ke mana?"

   Tanya Intan Kemuning ketika Saka Lintang turun dari balai.

   "Ke luar! Aku akan kembali lagi jika kau sudah selesai berlatih,"

   Sahut Saka Lintang.

   "Ingat, setelah kau selesai latihan tenaga dalam, bersemadilah!"

   Intan Kemuning mengangguk kembali.

   Saka Lintang melangkah dan menoleh sebentar pada Intan Kemuning.

   Bibirnya tersungging melihat Intan Kemuning mulai berlatih.

   Sebentar matanya mengawasi keadaan sebelum menutup pintu, lalu keluar.

   Saka Lintang melenting tinggi lalu membuat gerakan berputar beberapa kali di udara dan hinggap dengan manis di atap rumah.

   Pandangannya berkeliling.

   Bibirnya tersenyum melihat anak buahnya telah siap menanti datangnya para prajurit kepatihan.

   Mata Saka Lintang menatap lurus ke depan.

   Tampak sekitar sepuluh orang berjalan menuju sungai Ular dipirhpin oleh Codet.

   Di belakang mereka, berjalan sepuluh orang dipimpin oleh Badil dan sepuluh orang lagi dipimpin oleh Gering.

   Lima belas orang berjaga-jaga di markas mereka.

   Saka Lintang sedikit kagum pada Codet yang pandai mengatur anak buahnya.

   Dengan gerakan indah, Saka Lintang melompat turun.

   Saat kakinya mendarat di tanah, kembali dilentingkan tubuhnya dan hinggap di atas punggung kudanya.

   Segera dia menggebrak kudanya lalu melesat cepat menuju ke sungai Ular yang tidak jauh dari lereng bukit Guntur markas Saka Lintang sekarang ini.

   Sungai Ular memang indah dipandang, namun menyimpan keganasan yang luar biasa.

   Sebentar saja Saka Lintang telah sampai di sungai Ular mendahului anak buahnya.

   Matanya yang bulat bening memandang sekitar sungai yang tenang.

   Setenang sikapnya saat ini.

   Codet menggerak-gerakkan tangannya ke atas ketika mereka telah sampai di sungai itu.

   Dengan seketika anak buahnya berpencar masuk ke dalam semak-semak dan ke balik bongkahan-bongkahan batu.

   Kini di tepi sungai tersisa empat orang.

   Mereka semua memang terlatih baik dalam menguasai daerah sekitar sungai Ular.

   Maka dalam sekejap saja tidak ada orang yang terlihat.

   Mereka bagaikan lenyap ditelan bumi.

   Pandai menyamarkan diri dengan alam! "Dengar...!"

   Seru Saka Lintang tiba-tiba.

   "Suara kuda,"

   Gumam Codet.

   "Hm, siapa dia,"

   Gumam Saka Lintang. *** Suara kaki kuda kuda makin jelas terdengar. Saka Lintang mengerutkan keningnya. Dia hanya mendengar langkah dari satu ekor kuda saja. Matanya langsung melirik Badil.

   "Hamba akan menyongsong, Tuan Putri!"

   Ujar Badil mengerti maksud lirikan Saka Lintang.

   Badil dengan cepat melompat ke kudanya.

   Segera digebahnya kuda itu.

   Dengan cepat kuda yang ditunggangi Badil sudah tidak terlihat lagi.

   Lenyap di balik rimbunan pepohonan.

   Badil memacu kudanya menuju arah datangnya suara kaki kuda.

   Tiba-tiba ditarik tali kekang kudanya dan seketika tubuhnya melontar tinggi.

   Kakinya dengan sigap hinggap di sebuah batang pohon yang tinggi.

   Matanya dengan seksama berkeliling.

   Tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seekor kuda yang ditunggangi seorang pemuda.

   Tampak dua bilah pedang bertengger di punggungnya.

   "Kala Srenggi,"

   Desis Badil mengenali penunggang kuda itu.

   Badil menunggu beberapa saat sampai Kala Srenggi mendekat.

   Kemudian dia meloncat turun ketika Kala Srenggi tepat di bawah pohon yang dinaiki Badil.

   Kala Srenggi dengan tangkas melompat dari kudanya ketika merasakan ada penyerang gelap dari atas.

   Pedang Badil segera membabat namun luput Dia kecewa.

   Padahal dia yakin penunggang kuda itu akan pecah kepalanya tersambar pedang.

   Yang didapati hanya tempat kosong saja.

   "Licik!"

   Dengus Kala Srenggi ketika kakinya menjejak di tanah.

   "Kau juga lebih licik dariku, Kala Srenggi,"

   Balas Badil.

   "Siapa kau?' tanya Kala Srenggi yang heran melihat penyerang gelapnya tahu tentang dirinya.

   "Aku Badil. Macan Gunung Sinai!"

   Sahut Badil angkuh.

   "Hm..., Macan Gunung Sinai sampai nyasar ke bukit Guntur,"

   Gumam Kala Srenggi mencibir.

   "Ada urusan apa kau datang ke sini?"

   Tanya Badil.

   "Aku hanya lewat,"

   Jawab Kala Srenggi acuh.

   "Tidak seorang pun diijinkan masuk ke bukit Guntur!"

   "He! Sejak kapan aku...."

   Kala Srenggi belum menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba Badil telah menyerang dengan cepat.

   Kala Srenggi agak kewalahan menghindari serangan-serangan pedang Badil yang cepat dan berbahaya.

   Macan Gunung Sinai memang bukan nama kosong, dan Kala Srenggi tahu itu.

   Dengan cepat dia bersalto di udara.

   Tangannya segera menarik pedang kembarnya.

   Sret! Traaang! Dua pedang berbenturan di udara.

   Pijaran api akibat benturan pedang berlompatan bersamaan dengan terpentalnya dua orang itu.

   Mereka memang bukan orang sembarangan.

   Tanpa kesulitan apa-apa, kaki mereka telah menjejak di tanah dengan lincah.

   Dua orang itu sama-sama kaget dan sama-sama merasakan kesemutan setelah pedang mereka beradu.

   Kini mereka sama-sama menyiapkan jurus-jurus selanjutnya.

   Sambil berteriak nyaring, mereka kembali terlibat dalam pertarungan sengit.

   Masing-masing ingin segera menjatuhkan.

   Namun sampai lima jurus berlalu, belum ada yang terdesak.

   Memasuki jurus selanjutnya masih tetap seimbang.

   Beberapa kali ujung pedang mereka hampir menemui sa-saran satu sama lain.

   Namun semuanya masih dapat dihindari.

   Hingga pada suatu ketika, Kala Srenggi melompat mundur sejauh dua tombak sambil memasukkan pedang kembar ke sarung di punggungnya.

   Kini dikeluarkannya 'Aji Racun Merah".

   Melihat lawan tengah mengerahkan ilmu andalan, Badil pun tak ketinggalan dengan ilmu andalannya pula.

   Mereka sudah saling berhadapan siap menyerang dengan kesaktian masing-masing.

   "Hiya...!"

   "Hiya...!"

   Kedua orang itu melompat berbarengan.

   Kini kedua telapak tangan mereka bertemu di udara.

   Ledakan keras terjadi, disusul dengan terpentalnya dua tubuh.

   Kala Srenggi jatuh bergulingan di tanah beberapa depa.

   Sedangkan Badil tidak kalah parah.

   Dari hidung dan mulutnya ke luar darah.

   "Uhk!"

   Badil memuntahkan darah merah kehitaman.

   Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Badil berusaha bangkit.

   Tubuhnya sempoyongan.

   Sementara Kala Srenggi juga berusaha berdiri.

   Dari sudut bibimya mengalir darah segar.

   Tangan kirinya menghitam terkena ajian 'Macan Gunung' yang dilepaskan Badil.

   "Setan! Salah satu di antara kita harus mampus!"

   Geram Kala Srenggi.

   "Huh!"

   Badil hanya mendengus.

   Badil sadar kalau tubuhnya telah dialiri 'Racun Merah' dan hidupnya tak akan bertahan lebih lama lagi.

   Kala Srenggi pun demikian.

   Dia terluka parah.

   Mereka sama-sama kepalang basah.

   Kembali ajian masing-masing mulai mengarah satu sama lain.

   "Berhenti!"

   Tiba-tiba suara bentakan melengking nyaring.

   Namun terlambat! Kedua orang itu sudah kembali melompat dan beradu di udara.

   Kala Srenggi lagi-lagi bergulingan di tanah.

   Dari mulutnya menyembur darah kental kehitaman.

   Dia berusaha bangun, tetapi malah jatuh dan tak bergerak sama sekali.

   Mati.

   Kedua tangannya seperti hangus terbakar.

   Di pihak Badil, lebih mengerikan.

   Dia tergeletak dengan dada pecah.

   Darah bersimbah membasahi tubuhnya.

   Badil tewas seketika setelah tubuhnya tenanting di tanah.

   Sebuah bayangan biru berkelebat dan mendarat di tengah-tengah arena pertarungan tadi.

   Dia adalah Saka Lintang, kemudian disusul oleh Codet dan Gering.

   Kedua orang itu terkejut melihat Badil tewas dengan dada pecah.

   Saka Lintang malah tenang-tenang saja.

   "Hm, Kala Srenggi,"

   Gumam Saka Lintang.

   Gadis itu mengayunkan langkahnya mendekati mayat Kala Srenggi.

   Sebentar diamati dan dengan ujung kakinya dibalikkan tubuh Kala Srenggi.

   Tampak di bagian dadanya hangus terbakar.

   Tidak ada luka di tubuhnya.

   Juga tidak ada tanda-tanda Kala Srenggi masih hidup.

   Saka Lintang mengambil ranting, lalu menekan dada Kala Srenggi dengan ranting.

   Terkejut juga Saka Lintang ketika melihat dada Kala Srenggi yang mendadak ambrol setelah tersentuh ranting.

   Bagai ditiup angin saja! Dada Itu kini berlubang besar tembus sampai ke punggung.

   Sungguh dahsyat ajian 'Macan Gunung' yang dilepaskan Badil.

   "Bagaimana?"

   Tanya Saka Lintang menoleh pada dua anak buahnya.

   "Mati,"

   Sahut Codet.

   "Kuburkan kedua mayat ini,"

   Perintah Saka Lintang. 'Tidak ada waktu, Tuan Putri. Sebentar lagi gelap,"

   Sahut Codet.

   "Kalau begitu, tinggalkan saja di sini!"

   Tanpa banyak bicara, mereka meninggalkan dua sosok mayat yang tergeletak di tanah.

   Sungguh tragis nasib mayat-mayat itu.

   Tak ada seorang pun yang sedia menguburkannya.

   Tetapi untungnya, Gering yang setiap hari selalu bersama-sama dengan Badil merasa tidak tega juga terhadap mayat temannya itu.

   Dia kembali lagi lantas menggali tanah.

   Saka Lintang hanya melirik, kemudian melanjutkan langkahnya.

   Toh tadi dia juga sudah memerintahkan untuk mengubur mayat itu.

   Kini malah Codet yang bimbang.

   Dia hanya berdiri dengan pandangan berganti-ganti dari Saka Lintang ke arah Gering yang tengah menggali dengan pedangnya.

   'Tuan Putri...,"

   Agak bergetar suara Codet. Saka Lintang membalikkan tubuhnya.

   "Tidakkah...."

   "Bantu dia!"

   Potong Saka Lintang cepat sambil menunjuk pada Gering. Tanpa menghiraukan Codet lagi, Saka Lintang melangkah cepat. Codet bergegas mengham-\piri Gering dan membantu menguburkan mayat Badil. 'Terima kasih,"

   Ucap Gering. 'Tuan Putri yang memerintahku,"

   Sahut Codet. Gering menatap Saka Lintang yang hanya terlihat bayangan bajunya saja di antara pepohonan. Sampai selesai menguburkan Badil, mereka belum bicara. Gering menatap mayat Kala Srenggi.

   "Biarkan saja dia jadi santapan anjing hutan!"

   Kata Codet Gering mengangkat bahunya.

   Mereka memang tidak pernah mengurus mayat musuh.

   Kini dengan hati lega; mereka tinggalkan tempat itu.

   Meninggalkan salah seorang teman yang kini terbaring di dalam tanah.

   *** Matahari baru saja menampakkan diri.

   Sinarnya membias menerangi mayapada.

   Patih Giling Wesi duduk di atas punggung kudanya dengan lesu.

   Semalaman dia mencari di sekitar sungai Ular, tapi tidak sedikit pun jejak kapal layar yang membawa putrinya ditemukan.

   "Rapaksa!"

   "Hamba, Gusti Patih,"

   Salah seorang tamtama segera mendekat.

   "Beritahu prajurit, kita istirahat sebentar di sini,"

   Kata Patih Giling Wesi.

   "Adya Bala, istirahat!"

   Teriak tamtama Rapaksa keras.

   Para prajurit serentak turun dari kuda masing-masing.

   Mereka mencari tempat beristirahat dan membuka perbekalan.

   Patih Giling Wesi pun telah turun dari kudanya lalu menghampiri sebuah batu besar yang menjorok ke sungai.

   Dia duduk di atas batu menatap ke arah sungai yang berliku.

   Belum sempat Patih Giling Wesi beristirahat banyak, tiba-tiba datang seorang prajurit berlari-lari menghampirinya.

   Didekatinya Patih Giling Wesi.

   "Ampun, Gusti Patih. Hamba menemukan tanda keprajuritan di pinggir sungai,"

   Kata prajurit itu sambil menyerahkan sebuah kalung tanda keprajuritan.

   Patih Giling Wesi lantas menyambar kalung itu.

   Matanya mengamati sebentar.

   Ada noda darah melekat di kalung itu.

   Berarti telah terjadi sesuatu pada kapal itu.

   Dan yang jelas kejadiannya di sungai Ular ini! "Rapaksa!"

   Teriak Path Giling Wesi. Rapaksa berlari menghampiri. Dia segera memberi hormat setelah tiba di depan Path Giling Wesi.

   "Siapkan prajurit!"

   Perintah Patih Giling Wesi.

   Rapaksa belum sempat menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan dan disusul dengan rubuhnya lima orang prajurit.

   Dada mereka tertancap tombak.

   Serentak para prajurit yang lain bersiaga.

   Patih Giling Wesi cepat melompat ke arah lima prajuritnya yang tewas.

   Dia mencabut sebatang tombak dari salah seorang prajuritnya yang sudah tidak bergerak itu.

   Sebuah tombak berwarna biru dengan tangkai berukir huruf yang rapi dan indah.

   "Bidadari Sungai Ular,"

   Desis Patih Giling Wesi "Rupanya ada tamu agung berkenan mengunjungi wilayahku!"

   Patih Giling Wesi dan para prajuritnya terkejut mendengar suara yang tinggi menggema dibarengi pengerahan tenaga dalam yang sempurna.

   Rasa terkejut mereka belum juga hilang ketika tiba-tiba muncul seorang wanita cantik mengenakan pakaian serba biru.

   Dia tidak lain adalah Saka Lintang.

   Dengan angkuh dia berdiri di atas batu tempat Patih Giling Wesi tadi beristirahat.

   "Siapa kau?!"

   Bentak Patih Giling Wesi.

   "Bidadari Sungai Ular!"

   Jawab Saka Lintang mantap.

   "Setan! Kembalikan putriku!"

   Geram Patih Giling Wesi.

   "Ha ha ha..., tidak semudah itu patih yang gagah."

   "Adya Bala!"

   Teriak Patih Giling Wesi memberi aba-aba.

   Begitu prajurit bersiap, seketika itu pula dari rimbunan semak dan dari balik bongkahan batu, bermunculan orang-orang yang semuanya ber-seragam biru.

   Mereka semua telah siap dengan senjata di tangan.

   Patih Giling Wesi makin geram menyadari keadaannya telah terkepung.

   Dua kelompok itu hampir seimbang jumlah-nya.

   Kelihatannya prajurit Kepatihan lebih banyak.

   Tapi bukan berarti mereka bisa dengan mudah mengalahkan gerombolan ini.

   Mereka semua memiliki tingkat kepandaian rata-rata di atas para prajurit pilihan sekali pun.

   "Intan Kemuning akan kukembalikan pada saatnya nanti. Percuma saja kau kerahkan seluruh prajurit! Mereka hanya mengantar nyawa ke tempat ini!"

   Ujar Saka Lintang pongah.

   "Kalian perompak liar, dan harus dimusnahkan!"

   Geram Patih Giling Wesi.

   "Tidak semudah itu, Patih gagah,"

   Kata Saka Lintang meremehkan.

   Sudah tak tertahankan lagi amarah Patih Giling Wesi.

   Pikirannya hanya terpusat pada keselamatan putrinya.

   Segera diperintahkan prajuritnya untuk menyerang.

   Maka pertempuran pun berlangsung sengit.

   Bunyi senjata beradu dan teriakan-teriakan pertempuran terdengar membahana.

   Patih Giling Wesi tak ketinggalan dengan cepat melompat menerjang Saka Lintang.

   Tetapi belum sampai dekat Saka Lintang, sebuah bayangan berkelebat menghadang.

   "Huh! Sontoloyo!"

   Dengus Patih Giling Wesi.

   Gering berdiri dengan pedang terhunus.

   Kalau saja bukan Patih Giling Wesi, mungkin kepalanya sudah terpisah dari badan tersambar pedang Gering yang berkelebat cepat.

   Patih Giling Wesi tidak membuang-buang waktu lagi.

   Dia menerjang dengan jurus-jurus mautnya.

   Namun yang dihadapinya adalah Gering yang cukup tinggi ilmunya.

   Tidak heran kalau Gering dapat mengimbangi permainan pedang Patih Giling Wesi.

   Bahkan beberapa kali dia dapat membalas serangan itu.

   Sementara itu pertarungan semakin sengit.

   Beberapa prajurit telah banyak yang roboh.

   Sedang dari pihak Bidadari Sungai Ular, belum ada satu pun yang tewas.

   Jerit-jerit kematian makin sering terdengar menyayat dari pihak prajurit.

   Patih Giling Wesi berteriak melengking dan merubah permainan pedangnya.

   Yang terlihat kini hanya bayang-bayang pedang yang bergulung-gulung menyelimuti tubuh Gering.

   Menyadari lawan telah menggunakan jurus yang ampuh, Gering pun segera merubah jurusnya pula.

   Pertarungan makin seru dan tak terlihat lagi oleh mata biasa.

   Tubuh mereka seperti lenyap ditelan gulungan sinar pedang yang menimbulkan suara bersiutan.

   "Aaaakh...!"

   Tiba-tiba Gering berteriak memekik.

   Ketika tubuhnya keluar dari gulungan sinar pedang, dada telah basah oleh darah.

   Rupanya ujung pedang Patih Giling Wesi telah mengenai sasarannya.

   Di saat yang genting itu, tiba-tiba Codet menerjang masuk.

   Gering segera mundur sambil menekap dadanya yang robek.

   "Kau akan bernasib lebih buruk dari temanmu!"

   Dengus Patih Giling Wesi.

   "Sebaliknya kau akan kukirim ke neraka!"

   Sembur Codet.

   "Majulah, setan!"

   Geram Patih Giling Wesi.

   Codet mencabut golok besarnya.

   Kelihatannya, golok itu berat sekali.

   Namun ketika berada di tangan Codet seperti ringan saja.

   Benda tajam itu berkelebat cepat dan mengarah ke bagian-bagian tubuh Patih Giling Wesi.

   Serangan-serangan yang dibangun Codet memang lebih dahsyat dan berbahaya dibandirig Gering.

   Patih Giling Wesi harus lebih hati-hati lagi.

   Dia merasakan angin sambaran golok lawannya menimbulkan hawa panas.

   Di luar arena pertarungan, Saka Lintang hanya mengamati saja sambil bibimya menyungging senyum.

   Tampaknya prajurit-prajurit Kepatihan makin kewalahan dan terdesak.

   Jumlah mereka makin berkurang.

   Sedang dari pihaknya, hanya dua yang tewas.

   Hanya Gering yang kelihatan terluka parah dan kini dirawat oleh anak buah Saka Lintang.

   Gadis ini cukup memaklumi keadaan Gering karena lawannya memang tangguh.

   Kedudukan Codet pun kelihatan makin kewalahan.

   Saka Lintang sudah bisa menduga kalau sebentar lagi Codet akan jatuh.

   Gerakan-gerakan Codet makin ngawur.

   Sementara Patih Giling Wesi terus mendesak dengan penuh nafsu.

   Hingga pada suatu kesempatan....

   "Aaaakh.,.!"

   Codet menjerit keras.

   Tepat seperti dugaan Saka Lintang.

   Pedang Patih Giling Wesi berhasil menembus dada Codet.

   Darah segar segera muncrat ketika pedang itu ditarik ke luar.

   Codet limbung sebentar, lalu ambruk tak berkutik.

   Patih Giling Wesi dengan cepat melompat ke tengah-tengah prajurit-prajuritnya yang sedang kewalahan menerima gempuran yang datang bagai air bah.

   Prajurit Kepatihan tinggal lima belas orang jumlahnya.

   Seperti orang kesetanan layaknya, Patih Giling Wesi mengamuk membabi buta.

   Setiap pedangnya berkelebat, pasti ada seorang lawan yang ambruk mandi darah.

   Prajurit-prajurit yang semula kendor semangatnya, seketika bangkit kembali melihat pemimpinnya mengamuk bagai banteng terluka.

   Sepuluh orang sudah roboh di ujung pedang Patih Giling Wesi dalam tempo yang singkat.

   Memang tidak sia-sia dia dijuluki Singa Medan Laga.

   Gerakannya cepat, sukar diduga.

   Meskipun hatinya terbakar amarah, namun kelihatan sekali kalau Patih Giling Wesi bertarung menggunakan otak yang dingin.

   Dia cepat membaca gerakan lawan.

   Dia pun dapat mematahkan serangan lawan sebelum sampai, bahkan dengan cepat mendahuluinya.

   Melihat orang-orangnya kewalahan menghadapi amukan Singa Medan Laga, Saka Lintang jadi geram.

   Apalagi orang-orangnya makin banyak yang tumbang.

   Sebentar saja, dua puluh mayat sudah menggeletak.

   'Patih Giling Wesi, akulah lawanmu!"

   Teriak Saka Lintang. Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke udara dan menghadang serangan Patih yang mengamuk.

   "Huh!"

   Patih Giling Wesi mendengus sambil menyemburkan ludahnya.

   Seketika pertempuran terhenti.

   Masing-masing kelompok melompat mundur.

   Mereka seperti memberi peluang bagi masing-masing pemimpin untuk berlaga.

   Patih Giling Wesi menatap tajam pada Saka Lintang yang sudah menghunus pedangnya.

   "Serahkan anakku, atau kau harus mati di ujung pedangku!"

   Dengus Patih Giling Wesi.

   "Aku tidak akan membunuhmu, Patih Giling Wesi. Aku hanya ingin memberirnu sedikit pelajaran agar kau tidak lagi pongah!"

   Kalem dan tenang sekali suara Saka Lintang.

   "Bocah setan!"

   Geram Patih Giling Wesi merasa terhina.

   "Ha ha ha..., putrimu yang cantik akan jadi ratu setan!"

   Dia langsung menyerang dengan jurus-jurus berbahaya.

   Saka Lintang melayaninya sambil tertawa -tawa.

   Sejak tadi sudah diperhatikannya jurus-jurus Patih Giling Wesi.

   Dia telah tahu kelebihan dan kelemahannya.

   Saka Lintang sengaja tidak membalas serangan lawan.

   Dia hanya menghindar dan menangkis dengan gerakan-gerakan indah memukau.

   Patih Giling Wesi memang tangguh dalam olah keprajuritan.

   Tetapi dalam menghadapi tokoh rimba persilatan seperti Saka Lintang ini, dia harus mengerahkan tenaga dan kepandaiannya.

   Semua serangan-serangannya, mentah dan rontok di tengah jalan oleh gadis ini.

   Patih Giling Wesi mulai merasa sulit menghadapi.

   Mengingat dirinya adalah seorang patih yang disegani, Patih Giling Wesi tidak mau menyerah begitu saja.

   Dirubahnya serangan dengan menggunakan jurus-jurus andalan.

   Dan memang, kali ini Saka Lintang tidak main-main lagi.

   Jurus yang digunakan patih ini memang dahsyat, penuh gerak tipu yang berbahaya.

   Sedikit saja lemah, akibatnya sangat fatal.

   "Awas kepala!"

   Teriak Saka Lintang tiba-tiba.

   Patih Giling Wesi terkejut Cepat-cepat dia menggerakkan pedangnya melindungi kepala.

   Tapi tak disangka-sangka, gerakan yang menyambar kepala hanya tipuan belaka.

   Sedangkan sasaran sesungguhnya adalah perut.

   Dengan cepat pedang Saka Lintang berputar mengarah ke perut yang lowong.

   Untung Patih Giling Wesi cepat menarik pedangnya.

   Trang! Dua pedang berbenturan tepat di depan perut Patih Giling Wesi.

   Terlambat sedikit saja, perut itu pasti sobek.

   Dalam hati, Saka Lintang mengakui kehebatan patih ini.

   Tiga puluh jurus telah berlalu, tapi kelihatannya belum ada seorang pun yang terdesak.

   Mereka masih seimbang meskipun telah mengeluarkan jurus-jurus pedang tingkat tinggi.

   *** Pertarungan antara Patih Giling Wesi dengan Saka Lintang telah meningkat pada taraf yang genting.

   Seratus jurus telah berlalu dengan cepat.

   Masing-masing belum ada yang terdesak.

   Semula Saka Lintang menduga kalau kepandaian Patih Giling Wed berada jauh di bawahnya.

   Kenyataannya sangat tak disangka sama sekali.

   Patih Giling Wesi belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

   Saka Lintang kini meningkatkan permainan jurus-jurusnya.

   Kombinasi antara ilmu pedang dengan jurus 'Pukulan Geledek' yang dikeluarkannya kini, sangat dahsyat.

   Selain pedang yang menyambar-nyambar, pukulan tangan kiri Saka Lintang juga mencari sasaran.

   Semua sama-sama dahsyat.

   Batu-batuan dan pohon-pohon yang terkena pukulannya, langsung hancur berkeping-keping.

   Sedangkan Patih Giling Wesi juga sudah mengeluarkan kesaktiannya.

   Dengan 'Ajian Sayuti Angin', Patih Giling Wesi dapat bergerak melebihi kecepatan angin topan.

   Tebasan dan tusukan pedangnya makin berbahaya dan menimbulkan tenaga dorongan yang dahsyat.

   Batang-batang pohon segera tumbang terkena tebasan pedang Patih Giling Wesi.

   Daun-daun segera berguguran terkena sambaran angin kelebatan pedang yang menimbulkan suara gemuruh bagai angin puting beliung.

   "Setan! Ilmu apa yang dia pakai?"

   Dengus Saka Lintang dalam hati.

   Setiap kali pedangnya membentur pedang Patih Giling Wesi, tangan Saka Lintang selalu bergetar bagai tersengat ribuan kala berbisa.

   Sedapat mungkin dihindarinya benturan senjata.

   Tapi....

   Trang! Trak! Saka Lintang melompat mundur dengan wajah terkejut.

   Bagian ujung pedangnya sempal.

   Tangannya seperti dijalari jutaan semut yang menggigit.

   Perih dan bergetar ke seluruh persendian tangannya.

   Buru-buru gadis itu memasukkan pedang ke dalam sarungnya.

   Dan kini dia telah siap dengan jurus 'Tarian Bidadari'.

   Gerakan-gerakan tubuh Saka Lintang jadi berubah.

   Dia seperti menari.

   Meliuk-liuk dengan indahnya dengan tangan bergerak-gerak lemah gemulai.

   Matanya mengerling genit disertai gerak-gerak bibir yang mengundang birahi.

   Sesaat Patih Giling Wesi terpana.

   Hatinya mendadak bergetar melihat tubuh indah meliuk-liuk dan sikap yang mengundang birahi.

   Namun tiba-tiba, dengan cepat dan tak terduga sama sekali, tangan kanan Saka Lintang melayang mengarah dadanya.

   Patih itu terkejut bukan kepa-lang.

   "Setan!"

   Dengus Patih Giling Wesi dengan cepat melompat sambil membabatkan pedangnya.

   "Ah!"

   Saka Lintang memekik manja.

   Tangannya yang sudah terulur cepat, dengan lembut ditarik.

   Dan....

   Sulit dipercaya! Pedang yang sudah sedernikian dekat tangan Saka Lintang yang bergerak lemah, tidak bisa membabat-nya putus.

   Bahkan lewat begitu saja.

   Padahal tebasan pedang patih itu sangat cepat.

   Tidak sebanding dengan gerakan tangan yang lemah itu! Patih Giling Wesi segera menyadari kalau gerakan lemah gemulai yang mengundang birahi itu sangat berbahaya dan dapat mematikan lawan.

   Patih itu berusaha untuk tidak terpengaruh pada setiap gerakan tubuh yang indah itu.

   "Mampus kau!"

   Bentak Patih Giling Wesi kembali melancarkan serangan mautnya.

   "Ouw!"

   Saka Lintang hanya mendesah manja sambil menggerakkan tubuh dengan indah.

   Serangan Patih Giling Wesi yang bertubi-tubi mengarah pada bagian-bagian yang mematikan.

   Tetapi serangan dahsyat itu tidak pernah dapat menyentuh tubuh Saka Lintang.

   Patih Giling Wesi memutar otak, mencari kelemahan jurus aneh yang dimainkan lawannya itu.

   Setiap kali pedangnya berkelebat dan dipastikan akan menebas lawan, namun dengan manis Saka Lintang berhasil mengelak.

   Ujung pedang patih itu hanya menyerempet beberapa rambut saja.

   Itulah kelebihan dari jurus Tarian Bidadari yang membuat lawan jadi frustasi karena mengira serangannya berhasil.

   "Huh! Ilmu setan mana yang dipakainya?"

   Dengus Patih Giling Wesi.

   Patih Giling Wesi makin kewalahan.

   Di samping harus menghadapi jurus aneh itu, dia juga harus berperang dengan batinnya sendiri.

   Daya pikat yang dipancarkan Saka Lintang begitu kuat Gerakan-gerakan patih itu jadi tidak teratur karena terpecah konsentrasinya.

   Sekuat daya Patih Giling Wesi menekan nafsu birahinya yang semakin berkobar-kobar.

   "hey! Uts!"

   Tiba-tiba Patih Giling Wesi tersentak.

   Tangan halus gemulai itu mendadak hampir menepuk pundaknya.

   Untung saja patih itu masih memiliki sedikit kewaspadaan sehingga tepukan tangan Saka Lintang berhasil dihindari.

   Tetapi tak urung, tepukan lembut itu menyerempet bahunya.

   Patih Giling Wesi merasakan suatu hawa panas menyebar.

   Seketika dia tersentak kaget.

   "Racun...!"

   Desisnya.

   Segera Patih Giling Wesi mengerahkan hawa mumi ke seluruh tubuhnya.

   Belum dapat dipastikan racun itu berbahaya atau tidak.

   Namun dari anginnya sudah dapat dirasa.

   Mendadak kepala Patih Giling Wesi terasa pening.

   Secara tidak langsung, dia telah menghirup hawa racun yang disebar oleh telapak tangan Saka Lintang.

   Hawa murni itu telah menutup seluruh aliran darahnya.

   Perlahan-lahan rasa pening di kepala berkurang.

   Tubuhnya jadi terasa hangat.

   Patih Giling Wesi membuka lagi jalan darahnya setelah terasa racun yang terhisap tadi telah keluar dari tubuhnya.

   Patih Giling Wesi menatap Saka Lintang yang berdiri tenang dengan bibir menyungging senyum memikat.

   Dalam hati Patih Giling Wesi mengatakan bahwa tidak mungkin bertarung sambil menutup jalan darah dan mengerahkan hawa murni.

   Tetapi kalau tidak begitu, racun bakal terhisap lagi! Untuk menutup jalan darah dan mengerahkan hawa murni juga terlalu besar resikonya.

   Bisa-bisa malah mati karena di dalam tubuh terjadi pertentangan dua hawa yang ber-lainan.

   "Jalan satu-satunya harus menahan panas. Ya, menahan napas!"

   Bisik hati Patih Giling Wesi.

   Tapi apakah mampu menahan napas sambil bertarung? Kalau hanya sepuluh jurus saja dia masih mampu.

   Tetapi lewat dari sepuluh, rasanya tidak mungkin.

   Patih Giling Wesi seperti kehilangan akal dalam menghadapi lawannya kali ini.

   Sementara Saka Lintang telah mulai lagi dengan jurus 'Tarian Bidadari'.

   Di saat Patih Giling Wesi dalam kebingungan, mendadak sebuah blsikan lembut terdengar di telinganya.

   Bisikan yang entah datang dari mana.

   Sepertinya suara itu begitu dekat dan jelas.

   Patih Giling Wesi tidak dapat berpikir lebih banyak lagi.

   Yang jelas bisikan itu mengatakan tentang kelemahan jurus 'Tarian Bidadari'.

   *** "Jangan hiraukan tangannya, tetapi pandanglah matanya.

   Arahkan pedang pada pusarnya,"

   Jelas bisikan itu. Tanpa ragu-ragu lagi, patih itu segera menatap mata Saka Lintang. Pedangnya terhunus ke arah pusar.

   "Ikuti setiap gerak kakinya,"

   Terdengar lagi bisikan itu.

   Patih Giling Wesi segera bergerak mengikuti setiap gerakan kaki Saka Lintang.

   Dan benar saja, baru dua petunjuk saja, kelihatan Saka Lintang mulai kebingungan.

   Namun semuanya tertutupi oleh gerakan-gerakan lemah gemulainya.

   "Pusatkan napas pada perut. Hembuskan melalui mulut,"

   Bisikan itu terdengar lagi.

   Mudah dan sederhana sekali petunjuk yang diberikan sehingga Patih Giling Wesi dengan cepat memahaminya.

   Hatinya gembira.

   Semangat timbul lagi.

   Dia sudah mulai merasakan kalau Saka Lintang menemui kesulitan.

   Setiap gerakan Saka Lintang selalu dapat dibaca olehnya.

   Saka Lintang mulai sulit menebarkan racun lewat pukulannya.

   Kian lama gerakannya menjadi kacau, tidak beraturan.

   Bahkan beberapa kali ujung pedang Patih Giling Wesi hampir menembus perutnya.

   "Ih!"

   Saka Lintang terkejut ketika ujung pedang patih itu berhasil merobek baju bagian perutnya.

   Merah pada wajah gadis itu menahan malu.

   Cepat-cepat ditutupinya bagian yang terbuka itu.

   Cukup besar sayatan menggores bajunya.

   Saka Lintang segera melompat mundur.

   Dia jadi geram karena kelemahan jurus andalannya terbaca lawan.

   Patih Giling Wesi makin gembira karena merasa di atas angin.

   Rupanya gerakan-gerakan lemah lembut Saka Lintang harus dihadapi pula dengan gerakan yang lemah sedikit kaku.

   Untuk bisa melakukannya, digunakan pernapasan perut di samping memandang mata lawan.

   Sedangkan pada bagian perut yang terbuka, sering luput dari perhatian.

   Mungkin karena lawan telah terpengaruh oleh gerakan-gerakan yang mengundang syahwat itu, hingga jadi lupa terhadap daerah lowong itu.

   Dalam menghadapi Patih Giling Wesi, Saka Lintang kali ini memang menelan pil pahit.

   Dia sama sekali tidak tahu kalau patih itu mendapat petunjuk dari bisikan misterius yang hanya dapat didengar oleh patih itu sendiri.

   "Keluarkan seluruh kesaktianmu, biar lebih cepat kau kukirim ke neraka!"

   Dengus Patih Giling Wesi. Saka Lintang hanya mendengus saja. Kini disiapkannya jurus andalannya yang terakhir. Jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.

   "Huh! Ilmu setan mana lagi yang digunakannya?!"

   Dengus Patih Giling Wesi. Gerakan-gerakan yang diperlihatkan memang aneh. Kadang lambat, tetapi segera berubah cepat. Sebentar dia melompat, kemudian merayap cepat menyusur tanah. Mulutnya mendesis bagai ular.

   "He he he...!"

   Suara terkekeh tiba-tiba terdengar menggema dari segala penjuru. Kemudian muncul seorang kakek tua mengenakan baju compang-camping dengan tongkat merah di tangannya.

   "Ular harus dilawan dengan tongkat!"

   Kata kakek tua yang tidak lain adalah Pengemis Sakti Tongkat Merah atau Aki Lungkur.

   "Aki Lungkur...,"

   Desis Patih Giling Wesi. Seketika dia menduga kalau kakek tua inilah yang membisikkannya tadi.

   "Adi Patih Giling Wesi, mundurlah. Dia bukan lawanmu,"

   Kata Aki Lungkur tanpa mengecilkan kepandaian patih itu.

   Patih Giling Wesi pun mundur dua tindak.

   Dia sudah tahu siapa kakek tua itu.

   Tingkat kepandaiannya memang sulit diukur.

   Patih Giling Wesi sangat menghormatinya meski dia hanya seorang yang lebih mirip pengemis.

   "Selamatkan putrimu di bukit Guntur,"

   Kata Aki Lungkur lagi.

   "Bedebah! Kakek busuk, jangan campuri urusanku!"

   Bentak Saka Lintang geram.

   "Cepatlah berangkat! Jangan buang-buang waktu lagi,"

   Kata Aki Lungkur tanpa mempedulikan bentakan Saka Lintang.

   "Baik, Aki. Hati-hatilah,"

   Sahut Patih Giling Wesi.

   "He he he...,"

   Aki Lungkur terkekeh lagi.

   Tanpa mendapat peringatan pun, Aki Lungkur tahu siapa lawan yang dihadapinya kini.

   Seorang gadis, anak angkat Geti Ireng.

   Tentulah kepandaiannya tidak bisa dianggap enteng.

   Terbukti Patih Giling Wesi tidak mampu menandinginya.

   Patih Giling Wesi segera berangkat.

   Bersama prajurit-prajuritnya dia menuju bukit Guntur.

   Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, Saka Lintang segera memerintahkan anak buahnya menghalangi para prajurit Kepatihan itu.

   Tanpa dikomando lagi, mereka langsung menyerang para prajurit yang belum pergi jauh itu.

   *** Pada waktu yang bersamaan, seorang pemuda berbaju rompi putih berjalan menelusuri kaki bukit Guntur sambil bersiul-siul.

   Dari gagang pedang yang menempel di punggungnya dapat diketahui kalau pemuda itu adalah Rangga, si Pendekar Rajawali Sakti.

   Sambil bersiul-siul dengan irama yang tak jelas, Rangga terus melenggang.

   Kepalanya tergeleng-geleng begitu mendengar suara berkeresek.

   Suara siulannya berhenti.

   Bibirnya menyungging senyum.

   "1..., 2..., 3.... Ah, hanya 15,"

   Gumam Rangga menghitung. Rangga masih melenggang tenang. Dia tahu kalau dirinya telah memasuki daerah markas Bidadari Sungai Ular. Telinganya yang tajam menangkap suara gerak langkah kaki tersembunyi. Dan kini telah mengepung dirinya.

   "Hm..., mungkin rumah itu sarangnya,"

   Kembali Rangga bergumam ketika melihat sebuah rumah kayu di depannya.

   Rumah beratap rurnbia itu bertengger di kaki lereng yang cukup terjal.

   Tidak terlalu sulit untuk mencapai sana.

   Dan, mendadak dari rimbunan semak-semak bermunculan orang-orang berpakaian serba biru dengan senjata terhunus.

   "Berhenti!"

   Bentak salah seorang dengan keras.

   "Waduh, galak sekali,"

   Rangga berlagak kaget.

   "Siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini?"

   Tanya orang yang membentak tadi. Dia salah seorang kepercayaan si Bidadari Sungai Ular. Namanya Jambak.

   "Aku hanya pengembara dan kebetulan lewat sini,"

   Jawab Rangga kalem. 'Tidak ada seorang pun yang boleh memasuki kawasan ini!"

   Kata Jambak galak.

   "Lho, kenapa?"

   Rangga berlagak dungu.

   "Jangan banyak tanya. Ayo, kembali! Atau tubuhmu kujadikan dendeng!"

   Ancam Jambak.

   "Wuih! Sadis sekali."

   "Pergi!"

   Bentak Jambak keras.

   Rangga hanya tersenyum saja.

   Diayunkan langkahnya.

   Tanpa peduli Rangga meneruskan perjalanannya.

   Jambak jadi gusar karena kata-katanya tidak digubris sama sekali.

   Dia segera melompat dengan ilmu peringan tubuhnya.

   Pedangnya terayun cepat mengarah kepala Rangga.

   Namun tebasan pedang itu hanya mengenai angin.

   "Teman-teman, serang keparat ini!"

   Perintah Jambak.

   Seketika empat belas orang temannya dengan cepat mengurung Rangga sambil berteriak-teriak mengacungkan senjata.

   Rangga hanya tersenyun.

   Digenjot kakinya, dan dengan cepat tubuhnya melenting di udara.

   Bagaikan terbang saja, Rangga melayang menuju rumah kayu di tebing bukit.

   Kelima belas orang itu hanya melongo.

   Jambak yang memiliki kepandaian cukup tinggi, segera memerintahkan teman-temannya mengejar.

   Dia sendiri berlompatan dengan bantuan ilmu peringan tubuhnya.

   "Hm..., kalian hanya kronco!"

   Dengus Rangga begitu kakinya menjejak tanah di depan rumah kayu itu.

   Jambak yang datang lebih dulu dari teman-temannya dengan cepat menyerang ganas.

   Rangga hanya berkelit menghindari tebasan pedang yang datang bagai air bah itu.

   Namun bagi Rang-ga, semua serangan Jambak hanya dianggap main-main saja.

   Dia hanya meliuk-liukkan tubuhnya tanpa menggeser kaki sedikit pun.

   Kaki Rangga baru bergerak jika datang serangan lain secara keroyokan.

   Macam-macam bentuk senjata bertebaran mengepung tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

   Namun sampai sejauh ini, belum ada satu pun senjata yang berhasil menyentuh tubuhnya.

   Rangga bagai seekor belut.

   Licin dan berkelit ke sana kemari menghindari segala bentuk serangan yang datang bertubi-tubi.

   "Maaf, pinjam tombakmu!"

   Kata Rangga kalem.

   Selesai ucapannya, tangan Rangga bergerak cepat.

   Sekejap saja seorang dari pengeroyoknya yang menggenggam tombak terhuyung ke belakang.

   Tombak itu telah berpindah tangan.

   Dan kini orang itu telah ambruk tak berkutik.

   Darah menguncur deras dari keningnya yang bolong.

   Rupanya Rangga menggunakan satu jarinya untuk menotok kening orang itu.

   Sangat keras totokannya, sehingga kening orang itu bolong! Kini dengan tombak di tangan, Rangga tidak lagi kewalahan.

   Denting macam-macam senjata beradu dengan tombak di tangan Rangga.

   Dalam keadaan dikeroyok seperti itu, Rangga masih sempat melirik ke arah pintu rumah yang terbuka.

   Dan tiba-tiba muncul seorang wanita muda, cantik, dan menggiurkan, mengenakan pakaian merah muda dari bahan sutra halus di depan pintu.

   Rangga sedikit terpana melihat kecantikan wanita yang tidak lain adalah Intan Kemuning.

   Namun dia tidak dapat memperhatikan lebih lama lagi.

   Rangga kini sibuk menghadapi para pengeroyoknya yang semakin ganas.

   Rangga menggerakkan tombaknya semakin cepat.

   Dua orang kini terhuyung sambil menekap dada, lalu ambruk tidak berkutik lagi.

   Darah segar segera mengucur dari dada yang robek itu.

   Belum lagi kering darah itu, menyusul dua orang terhuyung-huyung lalu ambruk.

   Pekik kematian kini terdengar saling susul.

   Tubuh-tubuh bermandikan darah mulai bergelim-pangan.

   Sebentar saja sudah delapan orang yang telah mengantar nyawa.

   Jambak merasakan lawannya bukan tandingan mereka semua.

   Hatinya bergetar juga.

   Lebih-lebih setelah mendengar lagi suara jeritan panjang melengking, disusul am-bruknya dua orang lagi.

   "Cukup!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras melengking.

   "Bayangan hitam...!"

   Seru Jambak gembira melihat berkelebatnya sebuah bayangan.

   Sebentar saja sesosok tubuh kurus tinggi berbalut baju hitam ketat telah berdiri di tengah-tengah lapangan depan rumah kayu itu.

   Dari raut wajah yang panjang kurus, dapat ditebak kalau orang itu wanita.

   "Jambak, siapa tikus itu?"

   Tanya Bayangan Hitam.

   "Dia coba-coba menggerogoti lumbung."

   "Huh! Lalu di mana Gusti Putrimu?' "Menghadang perusuh di sungai Ular."

   Si Bayangan Hitam mendongak seraya memonyongkan bibir.

   Terdengarlah siulan yang panjang dan melengking tinggi.

   Siulan itu menggema dipantulkan oleh bukit-bukit batu dan lembah.

   Serentak dari balik-balik pepohonan muncul sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam.

   Mereka semua menyandang pedang di punggung.

   "Bagi dua!"

   Teriak Bayangan Hitam. Tanpa banyak omong, orang-orang yang baru bermunculan itu segera membentuk dua kelompok.

   "Jambak, bawa satu kelompok orangku. Bantu Gusti Putrimu!"

   Perintah Bayangan Hitam.

   "Oh, terima kasih"

   Jambak membungkukkan tubuhnya.

   Jambak cepat memberi isyarat pada salah satu kelompok Bayangan Hitam.

   Segera mereka berlari menuruni lereng bukit menuju sungai Ular.

   Sisa empat orang teman-teman Jambak masih terdiam di tempatnya.

   Secercah harapan muncul dan terbias di wajah mereka melihat kehadiran Bayangan Hitam.

   Mereka semua tahu siapa Bayangan Hitam.

   Dia adalah seorang tokoh sakti yang tangguh dan sukar dicari tandingannya.

   Benar-benar suatu kebetulan, Bayangan Hitam datang membawa anak buahnya.

   Semangat mereka timbul kembali setelah hampir diporak-porandakan.

   *** Bayangan Hitam bukan orang lain bagi Saka Lintang.

   Dia adik kandung Geti Ireng, ayah angkat Saka Lintang.

   Jadi Bayangan Hitam adalah bibi angkatnya.

   Meski Saka Lintang telah mengetahui asal-usulnya, namun dia sama sekali tidak membenci Bayangan Hitam.

   Wanita kurus ini sangat baik terhadap Saka Lintang.


Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Dendam Kesumat Karya Tabib Gila Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka

Cari Blog Ini