Ceritasilat Novel Online

Dendam Anak Pengemis 2


Pendekar Rajawali Sakti Dendam Anak Pengemis Bagian 2



"Ada seseorang yang memintaku untuk membawamu kepadanya,"

   Sahut Rangga kalem.

   "Seseorang..!? Siapa?"

   "Sayang sekali, dia tidak suka kalau aku mengatakannya. Dia ingin agar kau sendiri yang mengetahuinya."

   "Sepertinya kau bukan orang bayaran. Dan lagi memang aku tidak percaya kalau kau dibayar seseorang hanya untuk mencariku tanpa alasan pasti!"

   Dengus Puspa Ningrum sambil bergumam.

   Rangga tersenyum getir.

   Benar-benar patut dipuji kecerdikan gadis Ini.

   Tapi dia sudah janji untuk tidak mengatakan apa pun pada gadis ini, dan hanya untuk membawa Puspa Ningrum dengan selamat.

   Hanya itu saja! "Di mana dia menungguku?"

   Tanya Puspa Ningrum, merasa tidak mungkin bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti itu.

   "Tidak jauh dari sini,"

   Sahut Rangga.

   "Kau tidak bermaksud buruk padaku, bukan?"

   Selidik Puspa Ningrum.

   Rangga hanya tertawa saja, tawanya begitu lepas, dan terdengar renyah di telinga.

   Namun Puspa Ningrum jadi bersungut.

   Dirinya merasa dipermainkan, tapi jadi penasaran juga.

   Ingin diketahui, siapa yang menunggu-nya, dan apa maksudnya ingin bertemu dengannya.

   "Kalau tidak salah, kau katakan tadi pernah mendengar namaku. Kalau tahu siapa aku, pasti kau tidak punya pikiran buruk terhadapku,"

   Kata Rangga setelah reda tawanya.

   Puspa Ningrum terdiam.

   Memang pernah didengarnya nama itu.

   Tapi....

   Mendadak gadis itu tersentak.

   Langsung saja langkahnya terhenti.

   Ditatapnya dalam-dalam wajah pemuda itu yang ikut berhenti berjalan.

   Hampir-hampir tidak percaya kalau sekarang ini dia tengah berjalan dengan seorang tokoh rimba persilatan yang begitu ternama dan menjadi buah bibir di mana-mana.

   Gadis itu baru ingat.

   Gurunya, yang bernama Eyang Lenteng, sering bercerita tentang sepak terjang orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan bernama asli Rangga Pati Permadi.

   Eyang Lenteng sering mengatakan padanya kalau tindakan dan tingkah laku Pendekar Rajawali Sakti patut jadi teladan bagi pendekar-pendekar lainnya di muka bumi ini.

   Puspa Ningrum hampir tidak percaya, kalau orang yang disegani seluruh tokoh rimba persilatan, ternyata masih muda dan begitu tampan.

   "Apa yang kau pikirkan, Puspa?"

   Tegur Rangga lembut "Oh...!"

   Puspa Ningrum tersentak dari lamunannya.

   "Ayo, kita jalan lagi,"

   Ajak Rangga.

   Mereka kembali melangkah menembus hutan yang semakin lebat.

   Sementara malam terus merambat semakin larut.

   Kegelapan menyelimuti seluruh hutan ini, sehingga harus hati-hati melangkah agar tidak ter-sangkut akar yang menyembul keluar dari dalam tanah.

   "Maaf, seharusnya aku tidak bersikap ketus padamu."

   Ucap Puspa Ningrum setelah cukup lama terdiam.

   "Lupakan saja,"

   Sahut Rangga kalem *** Puspa Ningrum memandangi mulut goa yang terpampang di depannya.

   Kedua bola matanya tiba-tiba membeliak tak berkedip melihat seorang laki-laki kurus kering telah berdiri di depan mulut goa itu.

   Sebentar tatapannya terarah ke depan, sebentar kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya.

   Sementara laki-laki bertubuh kurus kering dan berbaju compang-camping itu, menghampiri.

   "Terima kasih atas kedatanganmu ke sini, Puspa,"

   Ucap laki-laki muda bertubuh kurus kering itu "Gota...,"

   Hanya itu yang bisa terucapkan Puspa Ningrum.

   "Mungkin kau sangka, aku sudah tewas di tangan Ki Jayakrama dan orang-orangnya. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti ini tidak menyelamatkan nyawaku, entah apa jadinya,"

   Kata Gota seraya melirik Rangga.

   "Hanya kebetulan saja,"

   Ucap Rangga merendah.

   "Memang, aku yakin kau bisa selamat, Gota. Kakang Dipa pun mengatakannya padaku,"

   Kata Puspa Ningrum.

   "Baik sekali dia."

   Agak sinis nada suara Gota.

   "Gota, apa maksudmu ingin bertemu denganku?"

   Tanya Puspa Ningrum langsung pada pokok persoalan-nya. Gota tidak segera menjawab, tapi malah melirik Rangga yang masih berdiri di samping Puspa Ningrum. Rangga, mengerti, dan segera menyingkir.

   "Aku ada di dalam jika kalian membutuhkanku,"

   Pesan Rangga sambil terus melangkah mendekati goa.

   Gota menggamit lengan gadis itu, kemudian mengajaknya duduk di bawah sebatang pohon kemuning.

   Mereka masih berdiam diri dan saling pandang saja, meskipun sudah cukup lama Rangga meninggalkan tempat itu.

   Masing-masing membisu, tanpa ada yang bicara sedikit pun.

   "Kau mengundangku ke sini bukan untuk jadi patung, bukan?"

   Tegur Puspa Ningrum jengah.

   "Maaf,"

   Ucap Gota buru-buru.

   "Apa maksudmu sebenarnya, Gota?"

   Tanya Puspa Ningrum tegas. Dia tidak ingin hanyut oleh perasaan yang tiba-tiba menggayut di hatinya. Perasaan aneh yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

   "Puspa, sebenarnya hal ini tidak boleh kukatakan padamu. Tapi juga tidak mungkin kupendam terus-menerus, sementara Dipa Sentana dan Ki Jayakrama makin menjadi-jadi saja."

   Kata Gota pelan dan terdengar berat nada suaranya.

   "Gota. Aku tidak tahu, persoalan apakah yang terjadi antara kau dengan kakakku. Sebenarnya aku tidak ingin terlibat, tapi...,"

   Puspa Ningrum menghentikan kata-katanya, dan langsung teringat ucapan Ki Jayakrama di depan mayat Kumbana.

   "Puspa! Ingatkah kau ketika kau sebutkan namamu dan nama kedua orang tuamu pada guruku?"

   Tanya Gota mengingatkan.

   "Ki Tunggul, maksudmu? Ya aku ingat,"

   Puspa Ningrum mengangguk pasti.

   "Sebenarnya Ki Tunggul tidak bermaksud menghinamu. Dia tertawa karena mendengar keteranganmu yang menyebutkan nama Paradipa dan Wulandari sebagai kedua orang tuamu,"

   Kata Gota tanpa bermaksud menyinggung perasaan gadis ini.

   "Aku mengatakan yang sebenarnya!"

   Sentak Puspa Ningrum agak tersinggung juga.

   "Aku tahu, Puspa. Memang, kau mengatakan yang sebenarnya. Tapi tidak demikian bagi Ki Tunggul. Dan aku sendiri sebenarnya...."

   "Kau juga menertawakanku, Gota?"

   Potong Puspa Ningrum cepat.

   "Tidak,"

   Sahut Gota tegas.

   "Justru aku merasa iba padamu."

   "Kau jangan main-main, Gota!"

   Sentak Puspa Ningrum. Mendadak perasaannya jadi tidak enak.

   "Aku tidak main-main, Puspa. Aku sungguh-sungguh iba padamu, dan ingin mengembalikan dirimu yang sesungguhnya. Tidak ada maksud buruk terselip di hatiku,"

   Terdengar serius nada suara Gota kali ini.

   Puspa Ningrum terdiam.

   Perasaannya semakin tidak menentu.

   Terlebih lagi mendengar nada suara Gota yang begitu serius.

   Selama ini kehidupannya memang selalu dalam lingkungan padepokan yang tertutup dan terpencil, sehingga yang dikenali hanya wajah ibunya.

   Sejak kecil dia tidak pernah melihat wajah ayahnya, meskipun sering mendengar nama ayahnya disebut-sebut.

   "Puspa, apakah kau tidak pernah mendengar atau meminto ibumu menceritakan perihal ayahmu?"

   Tanya Gota.

   "Sering,"

   Sahut Puspa Ningrum pelan.

   "Kau mempercayai semua ceritanya?"

   Puspa Ningrum tidak menjawab, tapi hanya menatap tajam pada laki-laki yang kelihatan baru berusia sekitar dua puluh tahun ini. Wajahnya yang kurus dengan mata cekung ke dalam, membuat tampang Gota jauh lebih tua.

   "Aku tahu siapa Eyang Lenteng. Kami sering bertemu dan berbicara di luar padepokan. Sebenarnya dia juga iba padamu, tapi tidak bisa berbuat banyak untuk menolongmu. Terpaksa dirimu dijejali dengan cerita-cerita palsu,"

   Jelas Gota lagi.

   "Gota, apa maksudmu sebenarnya? Kau ingin memecah belah diriku dengan Kakang Dipa? Kau pikir aku masih bocah ingusan yang dapat dengan mudah diperdayai? Jangan harap, Gota!"

   Puspa Ningrum jadi sengit. Dia menebak ada maksud buruk yang tersembunyi dalam diri laki-laki pengemis ini.

   "Jangan berprasangka buruk dulu, Puspa."

   "Kalau tidak, lalu untuk apa mengatakan hal itu padaku?"

   "Demi kebenaran. Puspa."

   "Kebenaran untuk mempengaruhiku, sehingga harus memusuhi kakakku sendiri. Begitu?"

   "Puspa..."

   "Cukup, Gota!"

   Sentak Puspa Ningrum seraya berdiri.

   "Aku tidak suka lagi mendengar segala macam ocehan busukmu!"

   "Memang benar apa yang dikatakan Eyang Lenteng. Sulit menjelaskan hal ini padamu...."

   Desah Gota setengah bergumam.

   "Jangan bawa-bawa nama guruku, Gota. Beliau terlalu suci untuk disertakan dalam kebusukan hatimu!"

   Bentak Puspa Ningrum sengit.

   "Tidak kusalahkan pendirianmu, Puspa. Kau memang punya hak untuk tidak mempercayaiku. Tapi ketahuilah! Dipa Sentana itu bukan kakakmu. Paradipa juga bukan ayahmu. Ayahmu yang sebenarnya adalah Ki Sawung! Dia tewas karena membela kehormatan ibumu Dipa Sentanalah yang membunuh ayahmu!"

   Agak keras suara Gota.

   "Tidak! Kau bohong...! Kau dusta...!"

   Bentak Puspa Ningrum kalap.

   "Sayang sekali ibumu sudah meninggal. Kalau saja masih hidup, bisa kau desak agar menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana waktu itu hampir diperkosa oleh Paradipa. Kau tahu, siapa bajingan tengik itu? Dia adalah ayah kandung Dipa Sentana. Paradipa tewas di tangan ayahmu, dan secara tidak sengaja Dipa Sentana membunuh ayahmu. Dia menyesal, lalu membawa ibumu yang waktu itu hamil tiga bulan ke Padepokan Tapak Wisa. Bahkan juga berjanji akan mengangkatmu sebagai adik setelah kau lahir. Janji itu dibuktikannya untuk menebus segala dosa dan kesalahan yang dilakukan orang tua serta dirinya!"

   "Cukup!"

   Bentak Puspa Ningrum sambil menutup teliganya.

   "Tapi turunan bajingan tetap saja bajingan! Ibumu tidak kuasa, dan terpaksa melayani kemauan Dipa Sentana. Kau tahu, apa yang terjadi setelah kau lahir? Setelah kau berusia dua tahun, lahir kembali seorang anak laki-laki dari rahim ibumu, yang kemudian dibuang ke dalam hutan. Dipa Sentana mengira bayi merah itu akan dimakan binatang buas. Tapi Dewata masih melindunginya. Bayi itu ditemukan seorang laki-laki tua yang hidup serba kekurangan. Seorang pengemis, tapi berjiwa luhur dan satria. Kau tahu Puspa, siapa anak laki-laki itu? Aku...!"

   "Tidak...! Tidak mungkin...!"

   Puspa Ningrum menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Kita kakak beradik, Puspa. Meskipun lain ayah. Tapi, sama sekali Dipa Sentana tidak kuakui sebagai ayahku. Dia seorang iblis yang telah membuang darah dagingnya sendiri. Orang macam itukah yang kau hormati, kau sanjung, dan kau anggap sebagai kakak? Buka matamu lebar-lebar, Puspa. Lihatlah perbedaan usiamu dengan Dipa Sentana! Berapa usia ibumu saat meninggal? Berapa sekarang usia Dipa Sentana? Adakah seorang anak yang hanya terpaut tiga tahun dari ibunya? Kau buta, Puspa. Bukan hanya matamu, tapi hatimu pun buta!"

   "Tidak..."

   Rintih Puspa Ningrum langsung menjatuh-kan dirinya di atas rerumputan.

   Gadis itu tidak kuasa lagi menahan air matanya, dan menangis sambil merintih menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Sementara Gota hanya berdiri saja sambil memandang lurus pada Puspa Ningrum yang menangis dan merintih.

   "Maafkan aku, Puspa Ningrum. Terpaksa kubuka semua rahasia ini. Aku..., aku...,"

   Tersendat suara Gota.

   Gota juga tidak kuasa lagi menahan perasaannya.

   Dia jatuh duduk dan memukuli tanah berumput di depannya.

   Sementara itu, di depan mulut goa, Rangga hanya memperhatikan saja.

   Semua percakapan itu telah didengarnya.

   Meskipun sebelumnya sudah diberitahu oleh Gota, tapi keharuan masih juga menyelimuti hatinya.

   Pertemuan yang seharusnya menggembirakan, tapi malah sebaliknya.

   *** Seharian penuh Puspa Ningrum duduk memandang matahari yang hampir tenggelam di dalam peraduannya.

   Dia duduk sambil melamunkan semua kata-kata yang diucapkan Gota semalam.

   Memang, semuanya tidak dipercayai begitu saja, tapi hati kecilnya membenarkan juga semua cerita Gota, Puspa Ningrum juga tidak bisa membantah, bahwa ada satu ikatan batin yang begitu kuat antara dirinya dengan pemuda pengemis itu.

   Perasaan itu memang sudah dirasakan kerika pertama kali bertemu.

   Puspa Ningrum tidak tahu, kenapa memiliki perasaan itu pada seorang pemuda yang baru dikenalnya.

   Seorang pemuda gembel kurus kering yang raut wajahnya lebih tua sepuluh tahun dari usia sebenarnya.

   Semakin dipikirkan kata-kata Gota semalam, semakin bimbang hatinya.

   Sampai-sampai tidak diketahui ada seseorang mendekatinya.

   Gadis itu pun juga tidak menyadari kalau orang itu sudah duduk di sampingnya.

   "Puspa...."

   Puspa Ningrum tersentak bangun dari lamunannya, lalu menoleh.

   Kepalanya tertunduk ketika mendapati Rangga sudah duduk di sampingnya.

   Dua kali gadis itu menarik napas panjang dan dihembuskan kuat-kuat, seakan-akan ingin dilonggarkan rongga dadanya yang terasa sesak seketika.

   "Boleh kutemani duduk di sini?"

   Pinta Rangga.

   "Hhh...!"

   Puspa Ningrum hanya menghembuskan napasnya saja.

   "Aku ikut prihatin dengan ..."

   "Terima kasih,"

   Potong Puspa Ningrum cepat.

   "Aku mendengar semua pembicaraan kalian semalam,"

   Kata Rangga lagi. Puspa Ningrum menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu. Agak terkejut juga mendengarnya, tapi kemudian dipalingkan mukanya. Kembali ditatapnya matahari yang sudah hampir tenggelam.

   "Memang berat untuk menghadapi kenyataan pahit ini. Tapi aku yakin kau mampu mengatasinya dengan baik,"

   Kata Rangga, berusaha menghibur. Puspa Ningrum hanya diam saja.

   "Tidak mudah untuk menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar. Hanya kau dan Gota yang bisa menentukannya. Aku bisa memahami perasaanmu. Maaf kalau aku terlalu banyak ikut campur dalam hal ini,"

   Kata Rangga pelan. Puspa Ningrum kembali menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebentar ditenga-dahkan kepalanya menatap langit yang memerah jingga, kemudian ditolehkan kembali wajahnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu.

   "Mungkin saat ini aku membutuhkan seseorang untuk bicara."

   Ujar Puspa Ningrum setengah mendesah.

   "Kalau kau percaya padaku...."

   Sambut Rangga dengan hati lapang.

   "Kau terlalu baik...,"

   Ucapan Puspa Ningrum terputus.

   "Bolehkah aku memanggilmu kakang?"

   "Dengan senang hati."

   Puspa Ningrum tersenyum tipis.

   "Eyang Lenteng sering bercerita tentang dirimu. Mungkin kau orang yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Ah.... Aku terlalu berharap padamu, Kakang. Semua ini persoalan pribadi, tidak seharusnya kau kusertakan."

   "Ada kalanya persoalan pribadi membutuhkan orang lain untuk menyelesaikannya."

   Kata Rangga bijaksana.

   "Terima kasih."

   Ucap Puspa Ningrum.

   "Nah, apa yang ingin kau katakan padaku?"

   "Entahlah, aku masih bingung. Sepertinya aku kehilangan diriku sendiri. Tidak tahu lagi, apa yang harus kukatakan. Aku seperti orang yang terbuang tanpa cinta,"

   Pelan suara Puspa Ningrum.

   "Tidak seburuk yang dialami Gota,"

   Timpal Rangga.

   "Gota...?"

   Puspa Ningrum menatap Rangga.

   "Kau masih beruntung, Puspa. Ada orang yang menyayangi, mencintai, mengurus, serta memperhati-kanmu. Tapi Gota...? Sejak bayi sudah dibuang ke tengah hutan, dan hidup bersama pengemis tua yang untuk hidup sendiri saja sudah sulit"

   Puspa Ningrum terdiam, dan jadi teringat kerika pertama kali bertemu Gota. Terbayang kembali perlakuan penduduk Desa Watu Gayam yang begitu me-rendahkan dan menghina seperti seonggok sampah busuk.

   "Kakang, benarkah yang dikatakan Gota semalam?"

   Tanya Puspa Ningrum.

   "Menurutmu bagaimana?"

   Rangga malah balik bertanya.

   "Entahlah! Aku bingung,'' sahut Puspa Ningrum ragu-ragu.

   "Cobalah ambil dari kenyataan yang ada, Puspa,"

   Usul Rangga.

   "Aku tidak tahu, mana yang benar dan mana yang palsu. Sepertinya aku ini hidup di alam lain,"

   Keluh Puspa Ningrum.

   "Sebenarnya aku tidak memihak pada siapa pun, dan hanya berada di tengah-tengah. Tapi menurut pendapat pribadiku, Gota ada benarnya juga. Dan di pihakmu, juga tidak semuanya salah. Orang yang kau anggap kakak selama ini, telah berbuat baik padamu dengan alasan tertentu. Sedangkan ibumu, kurasa sangat ter-tekan, sehingga tidak sanggup menceritakan yang sebenarnya padamu. Demikian pula dengan Eyang Lenteng. Mungkin ada satu persoalan pada dirinya, sehingga tidak bisa menceritakan yang seharusnya diceritakan. Dan sebenarnya, hanya kau sendirilah yang bisa menilai,"

   Jelas Rangga panjang lebar, mencoba membuka jalan pikiran gadis itu.

   "Apa yang harus kulakukan, Kakang?"

   Tanya Puspa Ningrum meminta saran.

   Rangga hanya mengangkat bahu.

   Tidak mudah baginya untuk memberi sedikit saran pada Puspa Ningrum.

   Masalahnya, persoalan yang dihadapi gadis itu sangat pelik, dan terlalu pribadi sifatnya.

   Sampai saat ini, belum juga bisa ditentukan, mana yang salah dan mana yang benar.

   Persoalan ini sangat peka, dan sukar diselesaikan.

   *** Hampir satu pekan Puspa Ningrum menghilang.

   Dan selama itu Dipa Sentana seperti tidak bergairah lagi.

   Sehari-hari, kerjanya hanya duduk melamun di beranda depan rumahnya.

   Sedangkan Ki Jayakrama semakin sibuk, karena belakangan ini banyak pengemis bermunculan.

   Tidak diketahui, dari mana datangnya dan apa maksudnya pengemis-pengemis itu bermunculan di Desa Watu Gayam ini.

   "Rasanya bosan melihatmu begitu terus, Dipa!"

   Tiba-tiba Ki Jayakrama muncul sambil bersungut-sungut.

   "Hhh...!"

   Dipa Sentana mendesah panjang seraya mengangkat kepalanya.

   "Sudah berapa kali kukatakan, jangan menyesali diri! Kau sudah cukup menebus kesalahanmu! Biarkan Puspa Ningrum hidup dengan caranya sendiri!"

   Rungut Ki Jayakrama lagi.

   Dipa Sentana hanya menarik napas panjang saja.

   Sedikit pun tidak disahuti gerutuan itu.

   Pandangannya lurus menatap ke depan "Dipa, keadaan kini semakin bertambah parah.

   Kian hari kian banyak pengemis yang datang ke sini.

   Mereka berpakaian pengemis, tapi tidak pernah mengemis.

   Bahkan untuk makan mereka membeli.

   Aku jadi curiga.

   Perhatikanlah perubahan itu, Dipa!"

   Kata Ki Jayakrama lagi.

   "Mungkin mereka teman-temannya Gota,"

   Celetuk Dipa Sentana asal saja.

   "Itu yang aku khawatirkan, Dipa!"

   Sergah Ki Jayakrama cepat.

   Dipa Sentana menoleh, langsung menatap bola mata laki-laki tua yang sudah duduk di sampingnya.

   Hanya sebuah meja bundar yang menghalangi mereka.

   Tadi sebenarnya dia hanya berkata seenaknya saja, tapi justru perkataannya itu yang terpenting.

   "Kau tahu, Dipa. Setiap hari, satu atau dua orang kita lenyap tanpa diketahui jejaknya. Sekarang jumlahnya tidak ada tiga puluh orang lagi. Keyakinanku, pasti ada ancaman serius yang tidak bisa dianggap enteng. Dan ini ada hubungannya dengan kemunculan pengemis-pengemis itu!"

   Agak keras nada suara Ki Jayakrama.

   "Mereka hanya menuntut hak saja, Ki,"

   Ujar Dipa Sentana setengah bergumam.

   "Bicaramu semakin tidak karuan saja, Dipa!"

   Dengus Ki Jayakrama sengit.

   "Terus terang, beberapa hari ini sudah kupikirkan dan kutimbang masak-masak. Kita memang tidak punya hak di sini. Kita tidak ubahnya gerombolan perampok yang menikmati hidup dari merebut hak orang lain...."

   "Dipa! Kau ini bicara apa...?"

   Sentak Ki Jayakrama terkejut.

   "Aku bicara yang sebenarnya, Ki Selama ini hidup kita selalu dipenuhi kepalsuan! Kau gembar-gemborkan kalau akulah yang membangun dan menghidupkan kembali desa ini setelah musnah akibat peperangan. Padahal semua itu palsu! Bukan aku yang telah berbuat banyak begitu, tapi...."

   "Dipa...!"

   Bentak Ki Jayakrama gusar.

   "Biarkan aku bicara, Ki. Rasanya beban dalam dada akan berkurang kalau sudah kukeluarkan semua yang ada di sini!"

   Dipa Sentana menepuk dadanya.

   "Kau hanya membesar-besarkan perasaan saja, Dipa,"

   Agak lunak suara Ki Jayakrama.

   "Justru ingin kuperkecil kesalahan ini, Ki. Kau selalu mengatakan kalau aku sudah menebus semua dosa dan kesalahanku dan orang tuaku. Tapi kenyataannya, justru semakin besar dosa-dosaku. Tidak sepatutnya Puspa Ningrum dan ibunya kuperlakukan seperti itu. Dan sekarang dia lenyap. Padahal, aku sudah berjanji pada Eyang Lenteng untuk menjaga dan memberikan haknya kelak!"

   Lantang kata-kata Dipa Sentana.

   "Cukup, Dipa! Aku tidak suka mendengar lagi ocehan tololmu!"

   Bentak Ki Jayakrama sengit.

   "Tolol...? Heh...! Siapa yang tolol!"

   Terdengar sinis nada suara Dipa Sentana.

   "Kau mulai berani padaku, Dipa. Hati-hatilah! Aku tidak segan-segan menghukum muridku sendiri!"

   Ancam Ki Jayakrama.

   "Aku memang pantas dihukum, Ki!"

   Tantang Dipa Sentana.

   "Setan! Darah pengkhianat rupanya mengalir juga pada dirimu!"

   Dengus Ki Jayakrama seraya bangkit berdiri.

   "Ayahku memang pengkhianat! Dan aku tidak ingin meneruskan jejaknya untuk menghancurkan Desa Watu Gayam ini! Aku muak semua ini! Aku muak...!"

   "Cukup!"

   Bentak Ki Jayakrama geram.

   Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Dipa Sentana.

   Laki-laki yang usianya hampir berkepala lima itu langsung berdiri.

   Merah seluruh wajahnya.

   Kedua bola matanya berapi-api menatap tajam orang tua yang selama ini membimbing dan mendampinginya.

   Tamparan itu memang keras, dan sangat menyakitkan.

   Tapi yang lebih sakit lagi adalah hatinya! "Dipa, ingatlah pesan mendiang ayahmu.

   Kau harus meneruskan cita-citanya! Bangunlah desa ini agar menjadi lebih besar.

   Ubahlah menjadi sebuah kadipaten, bahkan kalau bisa menjadi sebuah kerajaan, dan kau menjadi raja di sini.

   Itu semua kulakukan untuk meneruskan cita-cita ayahmu, adik kandungku! Mengerti-kah kau, Dipa Sentana?! Kau dengar itu...?!"

   Agak keras suara Ki Jayakrama.

   "Dengan merebut kekuasaan orang lain?! Menghancurkan sebuah kadipaten yang sudah ada, dan membangkitkannya kembali seperti dulu? Tidak, Ki! Kehancuran Kadipaten Watu Gayam disebabkan oleh ayahku, dan saudara-saudaraku sendiri yang haus kekuasaan. Mereka telah membantai semua orang yang menentang, dan membiarkan orang-orang yang patuh pada kita. Tapi coba lihat! Apakah mereka bisa hidup dengan layak!? Apakah mereka bahagia?"

   Dipa Sentana menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.

   "Mereka sengsara, Ki! Tidak ubahnya hidup di atas bara api neraka. Sayang, mereka tidak punya kekuatan untuk menentang!"

   "Setan mana yang masuk ke dalam dirimu, Dipa?"

   Dengus Ki Jayakrama.

   "Kesadaran, Ki. Kesadaran yang terlambat, tapi ingin kuperbaiki!"

   Tegas Dipa Sentana.

   "Heh! Percuma saja bicara banyak-banyak padamu, Dipa. Pengawal..!"

   Empat orang bersenjata golok di pinggang bergegas menghampiri, lalu membungkuk memberi hormat.

   "Masukkan anak setan ini ke penjara!"

   Perintah Ki Jayakrama. Empat orang itu terperangah mendengar perintah Ki Jayakrama. Sedangkan Dipa Sentana hanya tersenyum sinis, dan tanpa berkata apa-apa lagi langsung melangkah pergi.

   "Aku akan masuk sendiri, biar kau puas!"

   Lantang suara Dipa Sentana.

   "Anak setan!"

   Gerutu Ki Jayakrama sambil mendengus.

   Bergegas laki-laki tua itu melangkah menyusul Dipa Sentana, diikuti empat orang yang dipanggil tadi.

   Sementara Dipa Sentana terus berjalan menuju ke bangunan penjara yang terletak di belakang rumah besar yang dulunya adalah sebuah kadipaten.

   Dipa Sentana terus saja melangkah masuk ke dalam bangunan yang terbuat dari baru kali ini tanpa menoleh sedikit pun.

   Dua orang penjaga tampak kebingungan, tapi langsung membungkuk memberi hormat.

   Ki Jayakrama berdiri di depan pintu penjara itu, dan menguncinya dengan rantai baja.

   "Jangan biarkan seorang pun menengoknya, kecuali aku!"

   Pesan Ki Jayakrama.

   "Baik, Gusti"

   "Lipat gandakan penjagaan, jangan sampai lolos!"

   Setelah berkata demikian, Ki Jayakrama berbalik dan melangkah pergi.

   Kakinya selalu menghentak, pertanda sedang diliputi kekesalan.

   Sementara delapan orang penjaga hanya bisa bengong bertanya-tanya, mengapa pemimpin mereka dijebloskan ke dalam tahanan? *** Ki Jayakrama semakin kewalahan menghadapi serbuan pengemis yang semakin hari semakin bertambah banyak jumlahnya.

   Tidak sedikit penduduk yang mengadu.

   Para pengemis itu ternyata semakin berani, bahkan tidak segan-segan merampas dan berlaku kasar.

   Ki Jayakrama mencoba mengirim anak buahnya untuk mengusir para pengemis itu.

   Tapi di luar dugaan, lima orang anak buahnya dalam keadaan babak belur begitu mereka kembali.

   Mereka mengadu kalau pengemis-pengemis itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

   Laki-laki tua yang memegang tongkat berbentuk ular cobra itu, jadi semakin kelabakan.

   Dilipatgandakan penjagaan di sekitar rumah besar itu.

   Hal ini dilakukan karena ada lima orang pengemis yang mencoba menembus penjagaan, tapi semuanya tewas di tangan Ki Jayakrama.

   Laki-laki tua itu berpendapat kalau pengemis-pengemis memang sengaja datang untuk meruntuhkan kekuasa-annya di Desa Watu Gayam ini.

   Siang itu Ki Jayakrama tampak gelisah, berjalan mondar-mandir di beranda depan rumah besar yang dijaga ketat.

   Dia seperti menunggu seseorang yang akan datang hari ini.

   Sebentar-sebentar dilayangkan pandangannya ke arah pintu gerbang yang tertutup rapat Ki Jayakrama bergegas turun dari beranda begitu pintu gerbang terbuka.

   Terlihat tiga orang penunggang kuda menerobos masuk.

   Dua penjaga pintu gerbang, bergegas menutup pintu itu kembali.

   Tiga penunggang kuda itu langsung berlompatan turun dengan gerakan yang indah dan segera menghampiri Ki Jayakrama.

   Ki Jayakrama tampak gembira menyambut mereka, dan segera membawa masuk ke dalam rumah.

   Mereka kemudian duduk menghadapi meja bundar dari batu pualam putih.

   "Terima kasih, kalian bersedia datang memenuhi undanganku,"

   Ucap Ki Jayakrama. Wajahnya cerah berseri-seri.

   "Kita berempat sudah mengikat janji untuk saling membantu. Jangan kau sangsikan kesediaan kami untuk membelamu, Jayakrama,"

   Jelas seorang yang kelihatannya berusia sekitar lima puluh tahun. Di tangannya tergenggam tombak panjang bermata tiga.

   "Terima kasih, Tombak Iblis,"

   Ucap Ki Jayakrama.

   "Dan kau juga, Pedang Setan, Cakar Maut"

   "Langsung saja, Jayakrama. Apa kesulitanmu sehingga minta bantuan kami?"

   Selak si Pedang Setan.

   "Hm..., kalian tentu sudah menyaksikan di luar sana. Tempat ini bagaikan desa pengemis. Di mana-mana hanya ada pengemis berkeliaran,"

   Jelas Ki Jayakrama membuka permasalahannya.

   "Hanya karena pengemis kau meminta bantuan, Jayakrama...?"

   Si Cakar Maut setengah tidak percaya.

   "Kalau hanya pengemis biasa, tidak perlu meminta bantuan kalian."

   "Teruskan, Jayakrama,"

   Pinta si Tombak Iblis.

   "Pengemis-pengemis itu ada yang memimpin! Mereka adalah Partai Pengemis Tongkat Hitam."

   "Tunggul...,"

   Desis si Tombak Iblis pelan. Semua mata memandang si Tombak Iblis. Namun yang dipandang hanya menghentak-hentakkan tombaknya ke lantai.

   "Berapa tahun kau menguasai desa ini, Jayakrama?"

   Si Tombak Iblis malah bertanya.

   "Sekitar dua puluh dua tahun,"

   Sahut Ki Jayakrama.

   "Selama itu rupanya kau sudah lupa karena bergelimang kesenangan. Kau rebut tempat ini dari saudaramu sendiri, dan kau hancurkan mereka. Dan sekarang, kau bangun kembali desa ini dengan akal licikmu memecah belah semua orang? Kau lupa, Jayakrama! Ki Tunggul adalah pemimpin besar Partai Pengemis Tongkat Hitam!"

   Tenang namun tegas kata-kata si Tombak Iblis.

   Ki Jayakrama tersentak mendengar penjelasan itu.

   Dia seperti baru terbangun dari mimpi panjang yang melenakannya.

   Sungguh tidak disadari kalau para pengemis itu adalah anak buah Ki Tunggul, bekas adipati di Watu Gayam ini, yang juga adik kandungnya sendiri.

   Kini baru disadari kalau para pengemis itu menghimpun kekuatan dan ingin meruntuhkannya.

   "Tapi kau tidak perlu khawatir, Jayakrama. Besok orang-orangku yang berjumlah tiga puluh orang datang ke sini. Meskipun selama ini kau telah melupakan sahabat, tapi sebagai pribadi aku tidak akan berdiam diri begitu saja melihatmu dalam kesulitan,"

   Kata si Pedang Setan.

   "Maaf, aku telah buta. Aku tidak lagi memandang kalian sebagai sahabat,"

   Sesal Ki Jayakrama.

   "Sudahlah, lupakan semua itu. Yang penting sekarang apa keinginanmu?"

   Celetuk si Cakar Maut.

   "Terima kasih. Kalian memang sahabat sejati."

   "Hm..., sejak tadi aku tidak melihat murid tunggalmu, Jayakrama. Ke mana dia?"

   Selak si Tombak iblis tiba-tiba.

   Ki Jayakrama terdiam.

   Dipandangi satu persatu sahabatnya.

   Perlahan-lahan diceritakannya tentang Dipa Sentana yang telah berubah, dan sekarang mendekam dalam penjara.

   Semua itu terpaksa dilakukan, karena tidak ingin segala sesuatu yang telah diperjuangkannya selama puluhan tahun berantakan.

   Tombak Iblis, Pedang Setan, dan si Cakar Maut mendengarkan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Ki Jayakrama diam cukup lama setelah selesai menceritakan semuanya.

   Memang berat, tapi harus dilakukan.

   Baginya kehilangan seorang murid tidak ada artinya, jika dibanding dengan segala yang diinginkan-nya di Watu Gayam ini.

   Dan itu memang disadari ketiga sahabatnya.

   Mereka juga tidak memberikan komentar apa-apa, karena itu adalah urusan pribadi Ki Jayakrama sendiri terhadap muridnya.

   Mereka tahu betul, siapa Ki Jayakrama itu.

   Dia tidak akan pernah memandang saudara, murid, atau kerabat, untuk mencapai setiap keinginannya.

   Baginya penghalang harus dilenyapkan untuk selama-lamanya.

   "Boleh aku melihatnya, Jayakrama?"

   Pinta si Pedang Setan.

   "Silakan. Aku juga ingin minta pendapat kalian, hukuman apa yang pantas bagi murid durhaka itu,"

   Sahut Ki Jayakrama, agak tertahan suaranya.

   "Kau yang menentukan, Jayakrama,"

   Sahut si Tombak Iblis.

   "Mari, kuantarkan menengoknya. Setelah itu aku akan memberi hukuman padanya di depan kalian."

   Mereka bangkit berdiri dan berjalan ke luar.

   Ki Jayakrama berjalan paling depan.

   Tiga sahabatnya mengikuti dari belakang setelah saling melempar pandangan.

   Sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak pernah terucapkan.

   Saran apa pun yang dikeluarkan, tidak akan pernah ditanggapi Ki Jayakrama, meskipun laki-laki itu memintanya.

   Mereka ingin tahu, hukuman apa yang akan diberikan kepada Dipa Sentana.

   Mereka terus berjalan tanpa banyak bicara.

   Dua orang prajurit penjaga pintu penjara segera membungkukkan badan begitu Ki Jayakrama dan ketiga sahabatnya sampai di depan pintu penjara.

   Ki Jayakrama memandang ketiga sahabatnya sebentar, kemudian memberi isyarat pada penjaga untuk membuka pintu.

   Salah seorang penjaga bergegas membuka lebar-lebar pintu yang terbuat dari baja itu.

   Ki Jayakrama melangkah masuk diikuti ketiga sahabatnya.

   Seketika mereka tersentak begitu berada di dalam ruangan tahanan yang tidak begitu besar itu.

   "Setan! Terkutuk kau, Dipa Sentana...!"

   Umpat Ki Jayakrama berang.

   Dengan wajah merah padam, Ki Jayakrama bergegas ke luar.

   Ketiga sahabatnya mengikuti sambil saling melempar pandang.

   Di dalam kamar tahanan itu tidak ada seorang pun yang terlihat.

   Semuanya kosong, dan dinding bagian belakang jebol berantakan.

   Ki Jayakrama memanggil semua anak buahnya.

   Dengan suara lantang menggelegar, diperintahkan anak buahnya untuk mencari Dipa Sentana.

   "Biar aku yang mencarinya, Jayakrama."

   Kata si Tombak Iblis. Ki Jayakrama memandang sahabatnya itu.

   "Perintahkan keputusanmu,"

   Desak Tombak Iblis.

   "Bunuh anak keparat itu!"

   Dengus Ki Jayakrama geram.

   "Aku akan membawa kepalanya padamu,"

   Janji si Tombak Iblis mantap.

   "Aku Juga akan mencarinya, Jayakrama,'' selak si Cakar Maut.

   "Aku tidak bisa mencegah. Tapi, hati-hatilah pada Partai Pengemis Tongkat Hitam. Aku yakin, anak keparat itu bergabung bersama mereka."

   Si Tongkat Iblis dan si Cakar Maut bergegas melangkah menghamptri kudanya, kemudian melompat naik dan menggebah cepat kudanya.

   Sedangkan Ki Jayakrama itu bergegas kembali ke dalam rumah besar itu.

   Si Pedang Setan mengikutinya.

   Dia tidak ikut mencari Dipa Sentana, karena harus menunggu anak buahnya dulu.

   *** Sementara itu jauh di tengah hutan sebelah Barat Desa Watu Gayam, Rangga tengah berjalan bersama Puspa Ningrum dan Gota.

   Di belakang, ada dua orang berpakaian compang-camping.

   Arah yang dituju, jelas Desa Watu Gayam.

   Mendadak langkah mereka terhenti.

   Tampak dari kejauhan, terdengar suara orang tengah bertarung.

   Pekik melengking bercampur menjadi satu bersama denting senjata.

   "Hup!"

   Rangga langsung melompat cepat bagai kilat.

   Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi.

   Gota segera menggamit tangan Puspa Ningrum, dan mengajaknya berlari ke arah suara pertempuran itu.

   Sementara Rangga sudah lebih dahulu sampai di tempat pertempuran itu.

   Agak terkejut juga dia ketika melihat dua orang bertempur sengit menggunakan senjata.

   Yang seorang memegang pedang panjang berkilat, sedangkan seorang lagi menggunakan tombak panjang bermata tiga.

   "Hm...,"

   Rangga bergumam pelan. Dia hanya berdiri memperhatikan, karena sama sekali tidak mengenali kedua orang itu. Saat Pendekar Rajawali Sakti itu tengah berpikir, muncul Gota dan Puspa Ningrum, yang langsung menghampiri Rangga.

   "Kakang..."

   Puspa Ningrum mendesah begitu mengenali orang yang memegang pedang.

   "Dipa Sentana..."

   Gota juga mendesis tertahan.

   Gota dan Puspa Ningrum saling berpandangan.

   Pertentangan batin terjadi di antara mereka berdua.

   Gota sangat membenci Dipa Sentana, meskipun sejak semula tahu kalau laki-laki itu adalah ayahnya yang telah membuangnya sejak masih bayi.

   Sedangkan lain lagi yang dirasakan Puspa Ningrum.

   Dia masih belum percaya penuh terhadap perbuatan buruk Dipa Sentana pada ayah dan ibunya.

   Gadis itu masih diliputi kebimbangan.

   Selama ini yang diketahuinya bahwa Dipa Sentana adalah kakaknya, meskipun hatinya membantah karena perbedaan usia yang begitu menyolok.

   "Aku akan membunuhnya, Puspa."

   Kata Gota, agak tersendat suaranya.

   Puspa Ningrum hanya diam saja, karena tidak tahu harus berkata apa lagi.

   Saat ini batinnya juga sedang berperang.

   Sementara itu pertarungan masih terus berlangsung, dan jelas terlihat kalau Dipa Sentana terdesak.

   Gota yang akan terjun ke dalam pertarungan itu, cepat-cepat dicegah Rangga.

   "Siapa pun lawannya, aku tidak peduli! Dia harus mati di tanganku!"

   Sentak Gota menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti itu.

   "Bukan satria jika mengeroyok orang yang terdesak,"

   Kata Rangga memperingatkan.

   "Dia juga bukan satria! Dia Iblis!"

   Pada saat itu, tanpa diduga sama sekali, Puspa Ningrum melompat sambil berteriak keras.

   Rangga dan Gota tersentak kaget.

   Gadis itu telah meloloskan sabuk peraknya, dan dikebutkan kuat-kuat.

   Sabuk yang langsung menegang itu, dikibaskan ke arah leher orang yang bertarung melawan Dipa Sentana.

   "Puspa Ningrum...!"

   Sentak Dipa Sentana terkejut.

   "Uts!"

   Orang yang menggunakan tombak bermata tiga, langsung mengegoskan kepalanya, dan buru-buru melompat mundur.

   Dia mengumpat habis-habisan, tapi Puspa Ningrum terus mencecar tanpa memberi kesempatan orang itu memberikan perlawanan.

   Sementara Dipa Sentana terpaku sesaat kemudian melompat hendak membantu Puspa Ningrum.

   Namun pada saat itu, Gota melompat menghadangnya.

   "Gota...,"

   Desis Dipa Sentana kembali terkejut.

   "Lama aku menunggu kesempatan ini, Dipa!"

   Dingin nada suara Gota.

   "Gota, aku tahu kau membenciku. Tapi ingatlah, aku ayahmu."

   "Ayah...?! Iblis! Tidak pantas rasanya mengaku ayah padaku! Kau sudah membuangku. Kau bukan manusia, Dipa! Kau iblis...!"

   "Kuakui kesalahanku, Gota. Sekarang aku tidak akan melawan seandainya kau membunuhku. Hukuman apa pun akan kuterima jika ingin kau limpahkan padaku. Lakukan, Gota,"

   Dipa Sentana membuang pedangnya.

   "Setan! Ambil pedangmu, keparat'"

   Geram Gota.

   "Kau tidak akan bisa membunuhku, Gota. Lakukan, dan aku tidak akan melawan. Aku rela mati di tanganmu, Gota. Bunuhlah aku!"

   Tegas kata-kata Dipa Sentana.

   Gota mengangkat tongkatnya yang berwarna hitam pekat.

   Satu ujungnya yang runcing, diarahkan ke dada Dipa Sentana.

   Namun belum sempat ujung tongkatnya ditusukkan, mendadak terdengar suara pekikan keras.

   Dipa dan Gota langsung menoleh, dan kontan terkejut melihat Puspa Ningrum terjajar memegangi dadanya.

   Dari sudut bibir gadis itu merembes darah kental.

   "Puspa...!"

   "Puspa Ningrum ..!"

   "Ha ha ha...! Bagus! Rupanya kalian sudah kumpul semua! Bagus...! Sekarang bisa kubawa kepala kalian pada Jayakrama!"

   Gota berlari menghampiri Puspa Ningrum yang tengah berusaha bangkit berdiri, lalu membantu gadis itu berdiri. Puspa Ningrum berdahak, dan memuntahkan kembali darah kental dari mulutnya. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengotori bibir.

   "Kau tidak apa-apa, Puspa?"

   Ada nada kecemasan pada suara Gota.

   "Uh, dadaku...."

   Keluh Puspa Ningrum tersendat.

   "Duduklah dulu."

   Gota dan Puspa Ningrum menoleh.

   Entah kapan datangnya, tahu-tahu Rangga sudah berada di belakang mereka.

   Pendekar Rajawali Sakti itu menuntun Puspa Ningrum, dan membawanya ke bawah pohon.

   Dimintanya gadis itu untuk duduk bersila.

   Puspa Ningrum tidak membantah, lalu duduk bersila.

   Kedua telapak tangannya menempel di lutut.

   Rangga kemudian duduk bersila di depan Puspa Ningrum.

   Sebentar dipejamkan matanya, lalu dipusat-kan hawa murni pada telapak tangannya.

   Kemudian pelahan-lahan ditempelkan telapak tangannya di dada gadis itu.

   Puspa Ningrum agak tersentak.

   Namun begitu merasakan hawa panas mengalir melalui dadanya, dia terdiam dengan mata terpejam.

   "Hoek...!"

   Puspa Ningrum memuntahkan darah kental berwarna merah kekuning-kuningan.

   Sesaat kemudian, tubuhnya mengejang, lalu roboh lunglai.

   Gota langsung memburu, tapi buru-buru dicegah Rangga.

   Pemuda pengemis itu hanya bisa memperhatikan di samping gadis itu.

   Sedangkan Rangga menggerakkan jari-jari tangannya di beberapa bagian tubuh Puspa Ningrum.

   "Hih!"

   "Akh!"

   Puspa Ningrum terpekik tertahan.

   Satu hentakan tangan Rangga menggoncangkan dada gadis itu.

   Namun Puspa Ningrum hanya merintih lirih, lalu bangkit duduk bersila kembali.

   Sementara Rangga menarik napas panjang.

   Dia bangkit berdiri dan membiarkan gadis itu bersemadi.

   ""Bagaimana dia?"

   Tanya Gota tidak dapat menyem-bunyikan kecemasannya.

   "Tidak apa-apa, untung belum terlambat."

   Sahut Rangga sedikit mendesah.

   "Terkena racun?"

   Tebak Gota.

   "Betul. Tapi sekarang tidak lagi. Puspa Ningrum butuh beberapa saat untuk bersemadi. Pasti akan pulih kembali "

   "Oh, syukurlah..."

   Desah Gota lega.

   Gota mengalihkan perhatiannya pada Dipa Sentana dan laki-laki setengah baya bersenjata tombak panjang bermata tiga.

   Kedua orang itu sudah terlibat kembali dalam pertarungan.

   Sementara Puspa Ningrum masih tetap bersemadi memulihkan tenaga dan mengeluarkan sisa-sisa racun yang mengendap di dalam tubuhnya.

   *** "Modar! Hiyaaa...!"

   "Akh!"

   Sambil menjerit keras, Dipa Sentana terpental deras ke belakang setelah satu pukulan telak bertenaga dalam penuh mendarat di dadanya.

   Laki-laki bersenjata tombak mata tiga langsung melompat mengejar sambil menghunjamkan ujung senjatanya ke arah dada Dipa Sentana.

   Pada saat yang tepat, Rangga sudah melompat cepat, lalu menyentil ujung tombak itu.

   "Ikh!"

   Si Tombak Iblis tersentak kaget.

   Buru-buru dia menarik pulang senjatanya, dan dilentingkan tubuhnya dua kali ke belakang.

   Manis sekali sepasang kakinya mendarat di tanah.

   Sedangkan Rangga telah berdiri tegak membelakangi Dipa Sentana yang tengah berusaha bangkit, namun jatuh kembali sambil memuntahkan darah kental yang berwarna merah ke kuning-kuningan "Jangan bergerak! Pusatkan hawa mumi ke jantung dan seluruh aliran darah,"

   Kata Rangga tanpa menoleh. Dia tahu kalau si Tombak Iblis mendaratkan pukulan beracun yang sangat mematikan. Dipa Sentana segera memusatkan hawa murninya, tapi malah memuntahkan darah kembali. Tubuhnya kini tergeletak dan napasnya terengah-engah.

   "Gota, salurkan hawa murni melalui punggungnya!"

   Seru Rangga.

   Gota terlihat ragu-ragu.

   Kebencian dan rasa dendam pada Dipa Sentana menyayat dadanya.

   Tapi melihat laki-laki yang telah membuang dan menyia-nyiakannya dalam keadaan kritis, hatinya tidak tega juga.

   Dengan perasaan masih belum menentu, dihampirinya juga.

   Gota membantu Dipa Sentana duduk bersila, kemudian ia sendiri duduk bersila di belakang laki-laki yang sebenarnya ayahnya itu.

   Dengan kedua telapak tangan menempel pada punggung Dipa Sentana, Gota menyalurkan hawa murni untuk mencegah menjalarnya racun ke seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu.

   "Tutup jalan darahnya, Gota,"

   Perintah Rangga seraya menggeser kakinya ke depan beberapa langkah.

   "Hup...!"

   Gota bergegas menutup beberapa jalan darah yang belum dimasuki racun.

   Sementara Rangga kembali melangkah ke depan mendekati si Tombak Iblis.

   Tatapan matanya tajam menusuk, dan bibirnya terkatup rapat.

   Sedangkan si Tombak Iblis sudah bersiap-siap hendak menyerang kembali.

   "Setan keparat! Aku tak peduli siapa dirimu! Yang jelas, kau harus mampus di tanganku! Hiyaaat..!"

   Si Tombak Iblis melompat menerjang sambil meng-geram marah.

   Senjatanya yang bermata tiga, dikebutkan dan ditusukkan dengan kecepatan tinggi.

   Pendekar Rajawali Sakti berlompatan meliuk-liukkan tubuhnya menghindari serangan beruntun itu.

   Dikerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang selalu digunakan pada awal-awal pertarungannya.

   Dengan jurus itu Rangga dapat mengukur tingkat kepandaian lawan.

   Si Tombak Iblis sudah mengeluarkan lima Jurus, tapi belum juga dapat menyentuh tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

   Dan itu sudah dirasakan cukup oleh Rangga untuk mengetahui tingkat kepandaian lawannya.

   Maka langsung dirubah jurusnya menjadi Jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

   "Awas kepala!"

   Teriak Rangga tiba-tiba.

   "Uts!"

   Si Tombak Iblis langsung merunduk begitu satu pukulan keras dan tiba-tiba, melayang ke arah kepalanya.

   Tapi tanpa diduga sama sekali, satu tendangan melayang mengarah ke pinggang.

   Si Tombak Iblis merungut kesal.

   Buru-buru ditarik mundur tubuhnya.

   Dan pada saat itu, Rangga mengibaskan tangan kiri ke arah dada.

   "Hap!"

   Si Tombak Iblis menangkis menggunakan tombaknya.

   Betapa terperangahnya dia, karena dengan cepat sekali Rangga memutar tangannya dan langsung menyodok bagian atas perut.

   Si Tombak Iblis jadi terbeliak mendapat serangan yang begitu cepat dan beruntun.

   Buru-buru dia melompat mundur beberapa langkah.

   Namun pada saat itu Gota melompat cepat sambil mengibaskan tongkatnya ke arah punggung.

   "Akh!"

   Si Tombak Iblis memekik tertahan.

   Tubuhnya langsung terhuyung ke depan.

   Pada saat yang sama, Rangga yang sudah melompat mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', menjadi terkejut dan tak mungkin lagi menarik pulang serangannya.

   Maka satu tendangan keras mendarat di kepala si Tombak Iblis.

   "Aaa...!"

   Si Tombak Iblis meraung keras sambil memegangi kepalanya.

   Darah merembes keluar dari sela-sela jarinya.

   Selagi si Tombak Iblis meraung sambil terhuyung, Gota kembali melancarkan pukulan dibarengi tendangan.

   Segera diakhirinya pertarungan itu dengan satu tusukan tepat ke jantung si Tombak Iblis.

   "Aaa...!"

   Sekali lagi si Tombak Iblis menjerit melengking tinggi.

   "Hih"

   Bersamaan dengan Gota menarik keluar tongkatnya, tubuh si Tombak iblis terjungkal jatuh.

   Seketika itu juga nyawanya melayang dari badan.

   Darah mengucur dari kepala yang retak dan dada berlubang dalam sampai tembus ke punggung.

   Gota memandangi mayat yang membujur bersimbah darah itu.

   Tidak jauh di seberangnya berdiri Pendekar Rajawali Sakti.

   *** Agak lama juga Rangga bersama Gota menunggu Puspa Ningrum dan Dipa Sentana selesai bersemadi.

   Sedangkan dua orang pengemis yang menyertai mereka, sudah menyiapkan ranting kering untuk api unggun.

   Saat ini senja memang sudah mulai merayap turun.

   Langit mulai remang-remang bersimbah cahaya merah jingga.

   Mayat si Tombak Iblis masih menggeletak membujur.

   Darah di sekujur tubuhnya mulai mengering.

   "Tunggu...!"

   Cegah Rangga ketika Gota akan bangkit begitu melihat Dipa Sentana sudah selesai bersemadi.

   Gota duduk kembali, namun pandangannya tetap tajam tertuju pada laki-laki setengah baya itu.

   Sementara Dipa Sentana menggerak-gerakkan tangannya, menyempurnakan keadaan tubuhnya.

   Dia langsung menatap Gota, lalu bangkit berdiri.

   Dengan langkah tegap, Dipa Sentana menghampiri pemuda pengemis itu.

   "Sebaiknya kau cepat pergi sebelum pikiranku berubah,"

   Ujar Gota ketus.

   "Kau telah menyelamatkan nyawaku, Gota. Aku harus membalas budimu."

   Ucap Dipa Sentana lembut.

   "Aku tidak mengharapkan imbalan darimu!"

   Ketus jawaban Gota.

   "Mungkin kau tidak membutuhkan. Tapi, teman-temanmu semua memerlukan, Gota. Aku tahu, kau kini bergabung dengan Partai Pengemis Tongkat Hitam yang sekarang semuanya berada di Watu Gayam. Aku tahu maksudnya, tapi itu akan sia-sia saja. Meskipun kalian berjumlah seribu orang, tidak akan mampu mengalah-kan Ki Jayakrama dan teman-temannya."

   Kata Dipa Sentana, tetap tenang suaranya.

   "Satu orang sudah mampus!"

   Dengus Gota seraya melirik mayat si Tombak Iblis.

   Dipa Sentana terdiam.

   Memang baru satu orang, tapi yang lainnya masih banyak.

   Dipa Sentana menatap Gota, kemudian berpaling memandang Rangga yang ada di sebelah pemuda pengemis itu.

   Pandangan Dipa Sentana kembali beralih ke arah Puspa Ningrum yang sudah bangun dari semadi-nya.

   Gadis itu berdiri dan melangkah menghampiri, lalu berhenti di antara Gota dan Dipa Sentana.

   "Malapetaka besar akan menimpa Watu Gayam,"

   Desah Dipa Sentana setengah bergumam.

   "Ya, seperti yang kau lakukan terhadap ayahnya Puspa Ningrum!"

   Dengus Gota.

   Dipa Sentana mendesah panjang, seakan-akan ingin melonggarkan dadanya yang mendadak saja jadi sesak.

   Sebentar ditatapnya Puspa Ningrum, kemudian pelahan-lahan kepalanya tertunduk.

   Saat itu Gota bangkit berdiri diikuti Rangga.

   Sejak tadi Pendekar Rajawali Sakti itu hanya diam saja.

   Dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa.

   Terlalu tipis jenjang pemisah antara yang benar dan salah.

   "Bertahun-tahun kau selalu meracuni gadis tidak berdosa itu. Kau menjejalinya dengan cerita-cerita palsu... Dipa, meski pun aku lahir karena perbuatanmu, tapi jangan harap kau kuanggap ayahku. Aku sudah lama menganggap ayahku mati. Sekarang ceritakan pada Puspa Ningrum yang sebenarnya kalau kau ingin menebus semua kesalahanmu!"

   Mantap suara Gota.

   "Kakang...,"

   Agak bergetar suara Puspa Ningrum.

   "Dia bukan kakakmu, Puspa!"

   Sentak Gota sengit.

   "Kakang, benarkah itu?"

   Puspa Ningrum meminta kepastian. Dipa Sentana menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Ditatapnya dalam-dalam gadis cantik yang tengah diliputi kebimbangan. Pelahan kepalanya terangguk lemah.

   "Oh...!"

   Puspa Ningrum menutup bibirnya.

   Sepasang bola mata yang indah membeliak lebar menatap tidak percaya pada Dipa Sentana.

   Pelahan-lahan dia melangkah mundur dua tindak.

   Tubuhnya agak bergetar bagai terserang demam.

   Sementara Dipa Sentana hanya bisa menatap dengan sinar mata penuh rasa penyesalan.

   Sudah bisa diduga hal ini pasti terjadi, tapi perikiraannya tidak akan seburuk ini.

   Dipa Sentana melangkah hendak mendekati gadis itu.

   "Jangan dekat!"

   Sentak Puspa Ningrum tiba-tiba "Puspa.... maafkan aku. Aku..."

   Tersendat suara Dipa Sentana.

   "Penipu! Pembohong...! Kau yang selama ini kuhormati, ternyata tidak lebih dari seorang bajingan! "Pengecut..!"

   Pekik Puspa Ningrum, berlinang air matanya.

   "Maafkan aku, Puspa...,"

   Ucap Dipa Sentana penuh penyesalan.

   "Pergi kau! Pergiii...!"

   Jerit Puspa Ningrum histeris.

   Puspa Ningrum menangis sesenggukan.

   Rangga menghampiri dan merengkuh gadis iItu ke dalam pelukannya.

   Pendekar Rajawali Sakti itu membiarkan Puspa Ningrum menangis di dalam pelukannya.

   Sementara Gota tampak bergetar menahan marah.

   Sedangkan Dipa Sentana tertunduk diam penuh penyesalan.

   "Bajingan kau, Dipa...!"

   Geram Gota memuncak amarahnya "Hiyaaat..!"

   "Gota...!"

   Sentak Rangga terkejut.

   Tapi Gota tidak bisa lagi membendung amarah dan dendamnya.

   Dia sudah melompat dan mengirimkan beberapa pukulan beruntun.

   Dipa Sentana yang sedang dihinggapi rasa penyesalan, tidak melawan sedikit pun.

   Dibiarkan saja tubuhnya menjadi sasaran empuk pukulan dan tendangan pemuda pengemis yang lahir dari darah dagingnya sendiri.

   Pemuda yang sewaktu bayi dibuang karena tidak ingin menimbulkan malapetaka.

   "Gota, hentikan...!"

   Teriak Puspa Ningrum langsung melepaskan diri dari pelukan Rangga.

   "Biar kubunuh dia! Manusia keparat! Setan...!"

   Gota seperti kemasukan setan saja.

   Dia mengamuk dan menghajar Dipa Sentana dengan pukulan-pukulan dan tendangan yang keras.

   Namun tidak sedikit pun Dipa Sentana melawan.

   Dia diam saja, jatuh bangun kena amukan pemuda pengemis itu.

   Darah sudah mengucur dari sudut bibirnya.

   Tubuhnya babak belur, biru lebam.

   "Gota, hentikan!"

   Bentak Rangga langsung melompat, dan mencekal tangan pemuda itu.

   "Lepaskan! Biar kubunuh dia...!"

   Jerit Gota berusaha memberontak.

   Tapi Rangga mencekalnya kuat-kuat.

   Sementara Puspa Ningrum jadi termangu.

   Sebentar ditatapnya Dipa Sentana yang menggeletak mengerang lirih, sebentar kemudian beralih ke arah Gota yang tengah mem -berontak mencoba melepaskan diri.

   "Kendalikan amarahmu, Gota. Tidak ada gunanya mengumbar amarah..."

   Kata Rangga mencoba menya-darkan pemuda pengemis itu.

   "Oh...!"

   Gota mengeluh.

   Tubuhnya bergetar menggigil, dan jatuh berlutut.

   Dia menangis sesenggukan seperti anak kecil.

   Rangga melepaskan cekalannya pada tangan pemuda itu.

   Dibiarkan saja Gota yang menangis memukuli tanah berumput.

   Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri Dipa Sentana, dan memeriksa luka-lukanya.

   "Kenapa kau mencegahnya? Aku rela mati di tangannya. Hanya itu jalan satu-satunya untuk menebus semua dosa-dosaku padanya. Aku memang pantas mati... Aku bukan ayah yang baik. Aku telah membuangnya hanya untuk kekuasaan. Aku berdosa..."

   Rintih Dipa Sentana lirih. Puspa Ningrum menghampiri dan berlutut di samping Rangga. Dipa Sentana memandang gadis itu. Ada setitik air bening menggulir dari sudut matanya.

   "Maafkan aku, Puspa...,"

   Lirih suara Dipa Sentana.

   "Kakang...,"

   Ujar Puspa Ningrum di sela isaknya.

   "Tidak pantas aku menerima air matamu, Puspa. Aku telah membunuh ayahmu, memperkosa ibumu. Meruntuhkan kejayaan orang tuamu. Kaulah satu-satunya ahli waris Watu Gayam. Aku bukan kakakmu. Aku hanya seorang pembunuh yang haus kekuasaan. Maafkan aku, Puspa...."

   Semakin lirih suara Dipa Sentana.

   Puspa Ningrum tidak bisa berkata-kata lagi.

   Dia hanya menangis, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

   Pengakuan Dipa Sentana memang menghancurkan hatinya, tapi juga membahagiakannya.

   Entah apa lagi yang ada dalam hatinya saat ini.

   Hanya air mata yang bisa ditumpahkan untuk mengeluarkan perasaannya.

   Tangan Dipa Sentana bergetar menggapai menjulur.

   Diusapnya air mata yang berlinang membasahi pipi Puspa Ningrum.

   Bibirnya yang berlumuran darah, bergetar memberikan senyuman.

   Sesaat kemudian, tubuhnya mengejang, lalu jatuh lunglai.

   "Oh! Tidak..!"

   Jerit Puspa Ningrum tersentak.

   Rangga cepat-cepat merengkuh bahu gadis itu, dan memeluknya erat-erat.

   Puspa Ningrum semakin keras tangisnya.

   Sementara Dipa Sentana sudah terbujur mati, dengan bibir mengulas senyum.

   Rangga membawa Puspa Ningrum bangkit dan melangkah menjauh.

   Sempat diliriknya Gota yang menatap terpaku pada tubuh Dipa Sentana.

   "Ayah...,"

   Bergetar dan pelan sekali suara Gota.

   "Ayaaah...!"

   Tiba-tiba saja Gota melompat dan menubruk tubuh Dipa Sentana yang membujur kaku.

   Gota terus histeris sambil memeluk memanggil-manggil ayahnya.

   Sementara Rangga yang menyaksikan itu menjadi serba salah.

   Dia harus menenangkan Puspa Ningrum, tapi sekarang Gota malah histeris memeluk dan mengguncang-guncang tubuh Dipa Sentana.

   "Oh, tidak...! Tidak.... Ayah, kau tidak boleh mati. Kau harus hidup...! Kau ayahku!"

   Rintih Gota seraya mengguncang-guncang tubuh yang tak bernyawa lagi itu.

   Mendadak, Gota terdiam.

   Dipandanginya wajah Dipa Sentana yang berada di dalam pelukannya.

   Pelahan-lahan diturunkan tubuh ayah kandungnya itu, kemudian bangkit berdiri.

   Tatapan matanya tetap tertuju pada tubuh Dipa Sentana yang membujur tidak bergerak lagi.

   "Aku tidak membunuhmu, Ayah. Mereka yang menyebabkan semua ini!"

   Dengus Gota dingin.

   "Jayakrama.... Kau harus membayar mahal nyawa ayahku. Kau harus mampus Jayakrama keparat..!"

   Suara Gota terdengar keras menggelegar. Tanpa disadari teriakannya disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga suaranya bagaikan mengguncangkan bumi, dan menggugurkan daun-daun.

   "Kubunuh kau, Jayakrama...!" *** Lima ekor kuda berpacu cepat membelah fajar yang baru saja menyingsing. Sinar matahari membias di cakrawala Timur. Kabut masih menyelimuti permukaan Desa Watu Gayam. Lima ekor kuda itu terus berpacu meninggalkan debu yang mengepul di udara. Beberapa orang yang kebetulan berada di jalan itu bergegas menyingkir, karena takut terlanda kuda yang dipacu bagai kesetanan. Lima ekor kuda itu berhenti tepat di depan sebuah pintu gerbang yang tertutup rapat Tembok benteng yang tinggi dan kokoh menghalangi mereka. Lima penunggang kuda itu berlompatan turun. Mereka adalah Rangga, Gota, Puspa Ningrum, dan dua orang lelaki bertongkat hitam yang masih muda dengan baju compang-camping. Semuanya berdiri tegak di depan pintu gerbang itu.

   "Jayakrama! Keluar kau...!"

   Teriak Gota lantang.

   Teriakan yang disertai penyaluran tenaga dalam itu menggema, membuat burung-burung yang tengah ber-kicau langsung terdiam.

   Sepertinya gema suara itu di-pantulkan oleh bukit yang mengelilingi desa ini.

   Namun suasana tetap sepi, tidak ada sahutan dari dalam benteng itu.

   Rupanya teriakan Gota yang begitu keras, mengejut-kan semua orang.

   Tampak dari berbagai arah, bermunculan orang berpakaian compang-camping.

   Tampak di antara mereka ada Ki Tunggul, pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam.

   Laki-laki tua bertongkat hitam itu menghampiri Gota.

   "Mereka masih di dalam. Sejak kemarin tempat ini kuawasi terus."

   Kata Ki Tunggul memberitahu.

   "Awas...!"

   Tiba-tiba Rangga berseru keras.

   Pada saat itu, dari atas tembok benteng yang tinggi bermunculan beberapa kepala.

   Dan hampir bersamaan pula, meluruk puluhan anak panah bagai hujan.

   Rangga dengan sigap merampas tongkat salah seorang pengemis yang berada di dekatnya.

   Disertai gerakan cepat, diputarnya tongkat itu bagai baling-baling.

   Sementara para pengemis yang berkumpul, langsung berlompatan menghindar.

   Beberapa di antaranya tidak sempat menghindari hujan anak panah itu.

   Jerit melengking terdengar saling sahut.

   Hujan anak panah itu terus berdatangan tanpa henti.

   Rangga memerintahkan untuk menjauhi benteng ini.

   Tongkat rampasannya terus berputar melindungi orang-orang yang berada di dekatnya.

   Dia sendiri bergerak mundur, dan baru berhenti setelah berada dalam jarak yang cukup jauh dari jangkauan anak panah.

   "Keparat! Pengecut..!"

   Geram Gota sengit. Rangga mengembalikan tongkat itu pada pemiliknya. Dipandanginya pintu benteng yang masih tertutup rapat dan kokoh. Terdengar suara gumaman pelan, kemudian pelahan-lahan tangannya bergerak ke atas, meraih tangkai pedangnya.

   "Apa yang akan kau lakukan, Kakang?"

   Tanya Puspa Ningrum sebelum Rangga mencabut pedangnya.

   "Aku harus menjebol pintu itu,"

   Sahut Rangga tanpa berpaling.

   "Jangan nekad, Kakang. Anak panah akan meng-hujanimu!"

   Sentak Puspa Ningrum.

   "Tidak ada jalan lain. Bersiap-siaplah,"

   Kata Rangga mantap.

   Sret! Cring...! Cahaya biru berkilau langsung menyeruak begitu pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.

   Semua orang yang melihat, membeliak lebar.

   Belum pernah disaksikan pamor pedang yang begitu dahsyat.

   Mata mereka menjadi silau melihat cahaya biru yang me-mancar dari pedang itu.

   Rangga melintangkan pedangnya di depan dada.

   Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi sampai di atas kepala.

   Dengan kaki terpentang lebar dan agak ter-tekuk, ditarik pedangnya menyamping.

   Tangkai pedang digenggam erat dengan kedua tangannya.

   Sesaat kemudian...

   "Hiyaaat..!"

   Sambil berteriak keras, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat cepat bagaikan kilat.

   Pada saat yang sama, puluhan anak panah menghujaninya.

   Namun Rangga mengibaskan cepat pedangnya menghalau anak panah itu.

   Dan begitu jaraknya tinggal beberapa langkah lagi di depan pintu, dia melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar.

   "Hiyaaa..!"

   Glarrr...! Begitu pedang Rajawali Sakti menghantam pintu yang terbuat dari kayu jari tebal, terdengar ledakan dahsyat. Seketika, pintu itu hancur berkeping-keping. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti langsung menerobos masuk.

   "Seraaang...!"

   Teriak Gota memberi komando.

   Tanpa menunggu perintah dua kali, puluhan pengemis berlarian sambil berteriak menyerukan pekik peperangan.

   Tampak cahaya biru berkilatan di atas tembok benteng.

   Terdengar suara-suara jeritan melengking tinggi.

   Beberapa tubuh terjungkal bersimbah darah jatuh dari atas tembok benteng itu.

   Puluhan pengemis yang dikomando Gota, menyerbu masuk melalui pintu gerbang yang sudah hancur berantakan.

   *** Pertempuran tidak dapat dihindari lagi.

   Jerit kematian dan pekik pertempuran bercampur-baur dengan denting senjata beradu.

   Tubuh-tubuh bersimbah darah bergelim-pangan.

   Sementara Puspa Ningrum dan Gota mengamuk bagai sepasang harimau.

   Senjata mereka berkelebatan cepat meminta nyawa dari orang-orang yang mendekatinya.

   Tidak terhitung lagi nyawa yang melayang tersambar senjata mereka.

   "Ha... ha.. ha...! Hayo keluar semua, anjing-anjing keparat! Biar kurobek perut kalian! Ha ha ha...!"

   Di tempat lain, terlihat Ki Tunggul bertarung sambil tertawa-tawa.

   Meskipun sudah berusia lanjut, namun Pemimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam itu masih gesit.

   Gerakan tubuhnya cepat luar biasa.

   Setiap kebutan dan tusukan tongkat hitamnya selalu meminta nyawa lawan.

   Sementara itu Rangga melompat mendekati Puspa Ningrum yang mengamuk dahsyat bagai singa betina kehilangan anaknya.

   Rangga hanya sesekali saja mengibaskan pedangnya.

   Diikutinya setiap gerak langkah kaki gadis itu.

   Merasa tidak ada gunanya menggunakan pedang, Pendekar Rajawali Sakti itu memasukkan senjata pusaka itu ke dalam warangkanya di balik punggung.

   "Kau tidak mengatakan jumlah mereka begini banyak, Puspa Ningrum,"

   Kata Rangga sambil melayangkan tangan pada salah seorang yang mencoba menyerangnya.

   Orang itu kontan terjungkal muntah darah, dan tidak bangun-bangun lagi.

   Rangga terus mengikuti setiap gerak gadis di depannya.

   Satu dua orang yang mencoba menyerang, harus melepaskan nyawanya.

   "Aku tidak tahu, kemarin jumlah mereka tiga puluh orang,"

   Sahut Puspa Ningrum sambil tidak henti-henti-nya mengebutkan sabuk peraknya.

   "Ini bukan tiga puluh orang, tapi seratus!"

   Dengus Rangga.

   "Mereka anak buahnya si Cakar Maut!"

   Tiba-tiba Ki Tunggul menyahuti. Rangga melirik pada laki-laki tua itu yang jaraknya cukup jauh juga. Pendekar Rajawali Sakti itu kagum juga pada kehebatan Ki Tunggul yang bisa mendengar meskipun sibuk mengatasi lawan-lawannya.

   "Aku tak melihat Jayakrama, Puspa?"

   Tanya Rangga.

   "Mungkin ada di ruangan depan,"

   Sahut Puspa Ningrum.

   "Hup!"

   Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga me-lompat melewati beberapa kepala. Dua kali berputaran di udara, kemudian dengan manis tubuhnya malesat, dan mendarat di tangga depan. Namun pada saat itu enam orang keluar dari dalam, dan langsung menyerang.

   "Uts! Hiyaaa...!"

   Rangga tidak tanggung-tanggung lagi.

   Langsung dikeluarkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

   Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak cepat.

   Kedua tangannya bergerak bagai kilat menghajar enam orang yang tiba-tiba menyerangnya.

   Mereka memang bukan tandingan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga dalam waktu singkat sudah menggeletak tak bernyawa lagi.

   "Hup!"

   Rangga langsung melompat ke beranda.

   Dan begitu kakinya menjejak beranda, melesat seorang laki-laki sambil memegang pedang terhunus.

   Tanpa berkata-kata lagi, diserangnya Rangga dengan ganas.

   Pendekar Rajawali Sakti yang memang sudah siap, tidak meng-alami kesulitan untuk berkelit menghindari serangan orang itu.

   "Hati-hati, Anak Muda! Dia si Pedang Setan...! Pedangnya bisa mengeluarkan uap beracun!"

   Tiba-tiba Ki Tunggul memperingatkan.

   "Terima kasih, Ki!"

   Seru Rangga semakin kagum pada laki-laki tua itu.

   Bagaimana tidak? Dalam keadaan bertarung pun masih sempat memperhatikan ke arah lain, dan memberi peringatan.

   Hal itu sudah menandakan kalau tingkat kepandaian Ki Tunggul tinggi sekali.

   Sementara Rangga bukannya meremehkan, tapi memang kebal terhadap segala jenis racun apa pun di dunia ini.

   Peringatan Ki Tunggul memang benar.

   Pedang di tangan si Pedang Setan mulai mengeluarkan asap tipis berwarna hitam kebiru-biruan.

   Namun Rangga sama sekali tidak terpengaruh, bahkan tetap lincah dan mampu melayani si Pedang Setan meski pun tidak menggunakan senjata.

   "Gila! Seharusnya dia mampus oleh uap beracunku!"

   Dengus si Pedang Setan menggerutu dalam hati.

   Menghadapi lawan yang ternyata kebal terhadap uap beracunnya, si Pedang Setan mulai tidak percaya diri.

   Serangan-serangannya jadi tidak terarah dan sering melakukan kesalahan.

   Akibatnya memang cukup fatal bagi dirinya sendiri.

   Sudah tidak terhitung lagi, berapa tendangan dan pukulan bersarang di tubuhnya.

   Si Pedang Setan semakin kewalahan.

   Dia terus terdesak dan tidak mampu lagi membalas serangan-serangan Pendekar Rajawali Sakti.

   Hingga pada satu saat, satu tendangan keras tidak dapat dielakkan lagi.

   Tendangan bertenaga dalam cukup sempuma itu mendarat di dadanya.

   "Akh...!"

   Si Pedang Setan memekik keras.

   Tubuhnya terlontar jauh, hingga keluar dari beranda.

   Pada saat itu, Puspa Ningrum melompat ke arahnya sambil mengebutkan sabuknya hingga menjadi kaku.

   Sambil berteriak keras, gadis itu mengibaskan senjatanya ke leher si Pedang Setan.

   "Aaa...!"

   Si Pedang Setan menjerit melengking tinggi.

   Lehernya hampir putus terpenggal senjata Puspa Ningrum.

   Tubuhnya ambruk, dan darah memuncrat deras dari lehernya.

   Hanya sebentar si Pedang Setan mampu bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi.

   Puspa Ningrum mengacungkan ibu jarinya pada Rangga yang dibalas kerlingan oleh Pendekar Rajawali Sakti itu.

   "Awas di belakangmu, Puspa...!"

   Teriak Rangga.

   "Hait....!"

   Puspa Ningrum memutar tubuhnya setengah merunduk sambil mengibaskan senjatanya.

   Dan satu orang yang akan membokongnya menjerit melengking.

   Dadanya sobek terkena sabetan senjata gadis itu Puspa Nmgrum langsung melompat ke beranda begitu Pendekar Rajawali Sakti menerobos masuk.

   Pada saat yang sama, Gota juga melesat, langsung menerobos ke dalam bangunan besar bagai istana itu.

   Rangga, Gota, dan Puspa Ningrum saling ber-pandangan.

   Mereka tidak mendapatkan seorang pun di dalam ruangan besar yang tertata indah ini.

   Mereka bergerak melangkah pelahan-lahan melintasi ruangan depan itu.

   Pandangan mereka tajam mengedar berkeliling.

   "Apa tidak mungkin mereka sudah kabur, Kakang?"

   Puspa Ningrum menduga-duga.

   "Hm..."

   Rangga menggumam tidak jelas.

   "Kau tahu, mungkin ada jalan lain selain dari depan?"

   "Tidak. Aku baru beberapa hari di sini."

   Sahut Puspa Ningrum.

   "Gota...?"

   Rangga melirik Gota yang berada di samping kirinya.

   "Hanya sekali aku berada di sini. Itu pun karena ter-tangkap."

   Sahut Gota.

   "Bangunan seperti ini biasanya punya jalan rahasia. Hanya orang dalam saja yang mengetahuinya,"

   Kata Rangga setengah bergumam.

   "Aku tahu...!"

   Ketiga anak muda itu langsung menoleh terkejut. *** Ki Tunggul melangkah menghampiri sambil menyunggingkan senyuman. Dihentak-hentakkan ujung tongkatnya ke lantai. Sementara Rangga, Gota dan Puspa Ningrum hanya saling pandang saja tidak mengerti.

   "Dulu aku sering datang ke sini, ketika Watu Gayam masih menjadi sebuah kadipaten. Aku tahu persis seluk beluk istana ini."

   Kata Ki Tunggul.

   "Apakah mereka kabur lewat jalan rahasia, Ki?"

   Tanya Gota.

   "Benar,"

   Sahut Ki Tunggul kalem.

   "Kalau begitu, sebaiknya kita cepat kejar!"

   Seru Gota.

   "Tidak ada gunanya mengejar lewat jalan rahasia. Jalan itu penuh jebakan! Hanya mereka yang tahu kunci-nya saja yang bisa selamat melewatinya. Hanya dua orang yang tahu. Ayahmu, dan Ki Jayakrama,"

   Kata Ki Tunggul seraya melirik Puspa Ningrum.

   "Jalan itu tembus ke mana, Ki?"

   Tanya Rangga "Perbatasan sebelah Utara."

   Rangga yang seorang raja, mengerti betul seluk-beluk jalan rahasia sebuah bangunan istana.

   Jalan itu sengaja dibuat untuk menghadapi keadaan darurat.

   Untuk melewatinya, memang tidak mudah.

   Memerlukan banyak waktu untuk mencapai pintu tembus, dan diperlukan sikap hati-hati yang seksama.

   "Kakang...! Mau ke mana?"

   Seru Puspa Ningrum melihat Rangga berbalik.

   "Mencegat mereka!"

   Sahut Rangga sambil terus melangkah cepat.

   "Aku ikut'"

   Seru Puspa Ningrum bergegas melangkah.

   "Kau Juga, Gota. Biar di sini aku yang tangani,"

   Ujar Ki Tunggul.

   "Baik, Ki."

   Sahut Gota.

   Ketiga anak muda itu bergegas melangkah ke luar.

   Sementara pertarungan di halaman bangunan besar bagat istana ini masih terus berlangsung.

   Tapi para pengemis yang tergabung dalam Partai Pengemis Tongkat Hitam tampaknya bisa menguasai keadaan.

   Mereka kini berada di atas angin.

   Rangga sengaja mengambil jalan lewat samping menuju sebelah Utara, untuk menghlndari mereka yang sedang bertarung.

   Pendekar Rajawali Sakti itu segera melesat melewati tembok benteng yang tingginya lebih dari tiga batang tombak.

   Gota dan Puspa Ningrum mengikuti, dan bersama-sama melompati tembok itu dengan mudah.

   Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, ketiga anak muda itu berlarian cepat menuju ke batas Utara Watu Gayam ini.

   Ilmu mertngankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga Gota dan Puspa Ningrum agak kewalahan untuk mengejarnya.

   Mereka tertinggal jauh di belakang, meskipun sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuh sampai batas kemampuan.

   Dalam waktu yang tidak berapa lama, Rangga sudah sampai di perbatasan Utara.

   Dia berhenti dan memandang sekitarnya.

   Setiap semak menjadi perhatiannya.

   Dibongkarnya semua semak yang ada, tapi pintu tembus jalan rahasia yang dimaksud tidak juga ditemukan.

   Sementara itu Gota dan Puspa Ningrum sudah sampai dengan napas terengah-engah.

   "Bagaimana, Kakang?"

   Tanya Puspa Ningrum.

   "Belum kutemukan,"

   Sahut Rangga sambil mem-bongkar sebuah semak belukar.

   "Apakah sebaiknya kita tunggu saja sampai mereka keluar, Kakang?"

   Usul Puspa Ningrum.

   "Pintu jalan tembus itu harus ditemukan lebih dahulu, Puspa,"

   Sahut Rangga seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

   Sementara itu Gota yang memisahkan diri.

   Juga tengah mencari pintu jalan tembus itu.

   Namun, pada akhirnya tampak kesal juga, karena tidak kunjung menemukannya.

   Gota berdiri seraya matanya beredar ke sekeliling.

   Wajahnya memerah bagai kepiting rebus.

   Dilampiaskan kekesalannya dengan memukul sebongkah batu besar yang ada di sampingnya.

   Dan tanpa disadari, batu itu bergeser sedikit.

   Rangga yang melihat, segera melompat menghampiri.

   Dikerahkan tenaganya untuk menggeser batu itu.

   Melihat ada sebuah celah di balik batu itu, Gota langsung membantu.

   Batu sebesar kerbau itu pun terguling.

   Tampak sebuah mulut goa yang tidak begitu besar terpampang di depan mereka.

   Selagi mereka memandangi mulut goa itu, mendadak dua orang melesat dari dalam.

   "Awas....!"

   Seru Rangga sambil mendorong Gota ke samping, seraya cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Ki Jayakrama....!"

   Desis Gota, begitu mengenali salah seorang yang baru keluar dan dalam goa itu. *** "Gembel busuk! Rupanya kau tahu juga tempat ini, heh?!"

   Dengus Ki Jayakrama geram.

   "Ke mana pun pergi, kau akan kukejar, Jayakrama!"

   Sahut Gota mantap.

   "Phuih! Gurumu saja belum tentu mampu menan-dingiku!"

   Ejek Ki Jayakrama.

   "Tongkatku ini yang akan membungkam mulutmu!"

   "Bocah setan! Hiyaaa...!"

   Ki Jayakrama melompat menerjang Gota.

   Namun pemuda pengemis itu gesit sekali menghindarinya sambil melompat.

   Sementara si Cakar Maut juga tidak ingin ketinggalan.

   Dia memilih Puspa Ningrum untuk menjadi lawannya.

   Sedangkan Rangga hanya jadi penonton.

   Rasanya tidak mungkin membantu salah seorang karena jiwa kependekarannya tidak mengijinkan untuk main keroyok.

   Pertarungan berlangsung sengit.

   Tampak sekali kalau Gota memang bukan tandingan Ki Jayakrama.

   Baru beberapa jurus saja, pemuda pengemis itu sudah terdesak.

   Bahkan ketika pukulan Ki Jayakrama menyodok dadanya, Gota tidak mampu menghindar.

   Dia memekik keras, dan tubuhnya terjungkal menghantam pohon.

   "Mampus kau, gembel busuk! Hiyaaa...!"

   Ki Jayakrama melompat cepat sambil mengayunkan tongkatnya yang berbentuk ular kobra ke arah Gota.

   Dan pada saat yang tepat, Rangga melompat cepat menghalau sabetan tongkat laki-laki tua itu.

   Ki Jayakrama segera melentingkan tubuhnya ke belakang.

   Dia bersungut-sungut karena serangannya dipatahkan Pendekar Rajawali Sakti.

   "Bocah setan! Siapa kau?"

   Bentak Ki Jayakrama jengkel.

   "Aku lawanmu, Ki Jayakrama,"

   Kata Rangga dingin.

   "Phuih! Bocah bau kencur mau melawanku!"

   Dengus Ki Jayakrama meremehkan.

   "Kita lihat saja, kau atau aku yang lebih dahulu masuk ke liang kubur "

   "Kadal buduk! Terimalah kematianmu! Hiaaat...!"

   Merah padam muka Ki Jayakrama mendapat tantangan itu.

   Dia langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

   Laki-laki bertongkat ular kobra itu segera menggunakan jurus-jurusnya yang dahsyat.

   Sementara Rangga hanya menggunakan jurus "Sembilan Langkah Ajaib".

   Meskipun tadi sudah melihat pertarungan Ki Jayakrama melawan Gota, tapi ingin juga dirasakan angin pukulan tenaga dalam lawannya.

   "Hm.... Aku tidak mungkin melawannya dengan tangan kosong,"

   Gumam Rangga dalam hati.

   Setelah mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian lawan, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat tinggi ke udara seraya mencabut pedang pusakanya.

   Cahaya biru berkilau langsung menyemburat begitu pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.

   Ki Jayakrama sempat terkesima melihat pamor pedang itu, tapi dengan cepat menyerang kembali begitu Rangga menjejak tanah.

   Rangga kini tidak lagi main-main.

   Disadari betul kalau lawannya memiliki ilmu yang cukup tinggi, maka langsung saja dikeluarkan Jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.

   Gerakan-gerakan Pendekar Rajawafi Sakti itu semakin cepat dan membingungkan.

   Pedangnya berkelebatan bagai kilat, sehingga yang terlihat hanya gurungan sinar biru yang mengurung tubuh Ki Jayakrama.

   Beberapa gerakan berlalu, Ki Jayakrama tampak begitu kacau memainkan jurus-jurusnya.

   Jurus 'Pedang Pemecah Sukma' mulai mempengaruhi laki-laki tua itu.

   Perhatiannya jadi terpecah, dan aliran darahnya serasa tidak teratur.

   Jantungnya terasa lebih cepat berdetak Ki Jayakrama tidak mengerti, kenapa jadi tidak bisa memusatkan perhatiannya.

   Sekuat tenaga dicobanya untuk berkonsentrasi.

   Tapi, semakin keras mencoba, semakin pening terasa kepalanya.

   Pandangannya pun mulai mengabur.

   "Awas kaki..!"

   Seru Rangga tiba-tiba.

   "Uts!"

   Ki Jayakrama buru-buru melompat menghindari sepakan kaki Pendekar Rajawafi Sakti.

   Tapi tanpa diduga sama sekali, pedang di tangan Rangga berkelebat cepat bagai kilat menyambar leher Ki Jayakrama, buru-buru ditarik kepalanya ke belakang.

   Namun gerakannya terlambat.

   Ujung pedang Rangga lebih cepat membabat lehernya.

   "Aaa...!"Ki Jayakrama menjerit keras melengking. Darah menyembur dari leher yang koyak. Belum lagi laki-laki tua itu bisa menguasai tubuhnya. Rangga sudah mengibaskan pedangnya, langsung merobek dada Ki Jayakrama. Kembali dia menjerit melengking. Tubuhnya limbung beberapa saat, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Hanya sebentar menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati. Jeritan kematian Ki Jayakrama membuat si Cakar Maut jadi kecut hatinya. Buru-buru dia melompat keluar dari pertarungannya melawan Puspa Ningrum. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Gota melompat cepat dan menusukkan ujung pedangnya. Si Cakar Maut tidak bisa menghindar lagi. Ujung tongkat Gota menembus dadanya hingga ke punggung. Kembali jeritan menyayat terdengar. Begitu Gota menarik keluar tongkatnya, si Cakar Maut ambruk dengan nyawa melayang dari badan. Puspa Ningrum berlari menghampiri Gota. Mereka memandang tubuh lawan-lawannya yang sudah tidak bernyawa lagi, kemudian saling berpandangan.

   "Kak Puspa..."

   Desah Gota pelan.

   "Gota, adikku...."

   Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berpelukan hangat.

   Mereka adalah kakak beradik yang terpisah, meskipun terlahir dari lain ayah.

   Sementara Rangga yang menyaksikan semua itu, segera melangkah ringan meninggalkannya.

   Dan dengan satu lesatan cepat, Pendekar Rajawali Sakti itu menghilang.

   Agak lama juga kakak beradik itu berpelukan.

   Mereka baru melepaskan pelukan itu begitu menyadari ada orang lain yang ikut membantu.

   Tapi mereka jadi celingukan, karena tidak lagi melihat Rangga di tempat-nya.

   "Dia sudah pergi,"

   Desah Gota pelan.

   "Ya. Kita patut berterima kasih padanya,"

   Sahut Puspa Ningrum pelan. Gota menatap kakaknya. Saat yang sama Puspa Ningrum juga menatap pemuda itu.

   "Apa rencanamu selanjutnya, Kak?"

   Tanya Gota.

   "Entahlah. Aku merasa Watu Gayam bukan tempat yang tepat untukku,"

   Sahut Puspa Ningrum.

   "Aku juga tidak akan kembali ke sana. Terlalu pahit bagiku,"

   Ujar Gota.

   "Gota, sebaiknya kita ke Padepokan Tapak Wisa saja. Eyang Lenteng pasti menerimamu dengan senang hati,"

   Usul Puspa Ningrum.

   "Eyang Lenteng memang pernah menawarkan padaku."

   "Kalau begitu, kita berangkat sekarang."

   "Aku harus pamitan dulu pada Ki Tunggul. Dia begitu mengharapkanku untuk memimpin Partai Pengemis Tongkat Hitam. Aku tidak ingin mengecewakannya."

   "Aku akan menunggu sampai kau siap, Gota,"

   Tiba-tiba Ki Tunggul sudah ada di situ.

   "Ki...!"

   Gota terkejut.

   "Memang seharusnya kau ke Padepokan Tapak Wisa. Aku sudah bicara kepada Eyang Lenteng. Dia berjanji akan menurunkan ilmunya padamu. Juga kau, Puspa,"

   Jelas Ki Tunggul lagi.

   "Terima kasih, Ki,"

   Ucap Gota dan Puspa Ningrum bersamaan.

   "Pergilah. Aku menunggu di Padepokan Partai Pengemis Tongkat Hitam."

   Setelah berkata demikian, Ki Tunggul langsung melesat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan mata.

   "Mari, Kak,"

   Ajak Gota.

   Puspa Ningrum mengangguk.

   Mereka kemudian berjalan berdampingan, sambil menceritakan tentang diri masing-masing.

   Tidak ada lagi perasaan ber-musuhan atau saling curiga.

   Yang ada kini hanya rasa rindu selama dua puluh tahun berpisah.

   Mereka berjalan menuju lembaran hidup baru.

   Lembaran yang begitu banyak menjanjikan bagi masa depan mereka berdua.

   SELESAI

   

   

   

Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Pendekar Mabuk Darah Asmara Gila Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini