Ceritasilat Novel Online

Hantu Karang Bolong 2


Pendekar Rajawali Sakti Hantu Karang Bolong Bagian 2



"Den, seumur hidupku belum pernah kudengar adanya orang mati bisa hidup kembali setelah puluhan tahun, bahkan ratusan tahun terkubur. Tapi.... Yah, mungkin saja hal itu bisa terjadi pada orang yang mati secara tidak wajar, dan menyimpan dendam dalam hatinya,"

   Kata Ki Giri.

   "Dendam...?!"

   "Itu juga belum pasti, Den. Banyak tokoh rimba persilatan yang tewas dalam pertarungan. Dan yang pasti juga menyimpan dendam atas kekalahannya. Tapi toh mereka tidak pernah muncul kembali setelah jasadnya terkubur di dalam liang."

   "Ki, adakah satu ilmu yang membuat orang tidak bisa mati?"

   Tanya Rangga.

   "Ha ha ha...!"

   Ki Giri tertawa mendengar pertanyaan bernada ragu-ragu itu.

   Sedangkan Rangga hanya tersenyum kecut.

   Baru disadari kalau pertanyaan itu seperti membuatnya bodoh sekali.

   Pertanyaan yang seharusnya tidak pernah terlontar dari seorang pendekar yang sangat ternama dan disegani baik lawan maupun kawan.

   "Dulu, ketika masih muda dan gagah sepertimu, aku juga sering mengembara. Selama malang melintang di dalam rimba persilatan, belum pemah kudengar ada orang yang mempunyai ilmu menolak kematian. Yaaah.... Memang, pernah juga mendengarnya, tapi tidak pemah kupercayai!"

   Kata Ki Giri.

   "Ilmu apa itu, Ki?"

   Tanya Rangga.

   "Ilmu 'Batara Karang',"

   Sahut Ki Giri.

   "Ah! Sudahlah, Den. Tidak ada ilmu seperti itu. Semua makhluk di bumi ini pasti mati. Dan itu sudah takdir yang digariskan Hyang Widi. Tidak ada satu makhluk pun yang sanggup menentangnya."

   Rangga terdiam.

   Tiba-tiba teringat salah satu kitab yang pernah dibacanya di goa Lembah Bangkai, tempatnya selama dua tahun hidup bersama seekor burung rajawali raksasa, Di dalam kitab peninggalan Pendekar Rajawali, gurunya, tertulis adanya suatu ilmu yang bernama 'Batara Karang'.

   Tapi belum ada seorang pun yang sanggup memilikinya.

   Meskipun ada yang mampu, tapi tidak akan mencapai kesempurnaan.

   Ajal pasti merenggutnya juga.

   Di dalam kitab itu juga tertulis agar Rangga tidak mempelajari ilmu terkutuk itu, karena dapat menyesatkan orang yang mempelajarinya.

   Tetapi, benarkah Hantu Karang Bolong memiliki ilmu 'Batara Karang'? Kalau memang benar, tidak mungkin bisa terkubur selama puluhan tahun begitu.

   Orang yang memiliki ilmu 'Batara Karang"

   Tidak akan mati selama masih menyentuh tanah.

   "Den, waktu makhluk itu mengubah ujud, apakah menyebutkan namanya?"

   Tanya Ki Giri setelah lama berdiam diri.

   "Tidak, tapi hanya mengatakan satu kalimat saja. Dan itu ditujukan padaku,"

   Sahut Rangga.

   "Hm.... Dari ciri-ciri yang kau sebutkan, memang persis dengan si Hantu Karang Bolong. Dia memang seorang pemuda yang sangat tampan. Meskipun belum pernah bertemu dengannya, tapi sering kudengar sepak terjangnya. Dunia benar-benar terancam kepunahan kalau memang dia bangkit kembali,"

   Jelas Ki Giri setengah bergumam.

   "Ki Giri tahu, bagaimana dia bisa terkubur?"

   Tanya Rangga.

   "Entahlah, aku tidak tahu pasti. Aku hanya mendengar dari cerita orang-orang tua dulu saja,"

   Sahu Ki Giri tidak yakin.

   "Katakan, Ki. Mungkin bisa bermanfaat,"

   Desak Rangga.

   "Dulu, Hantu Karang Bolong pernah menantang seorang pendekar tangguh yang pada saat itu belum ada tandingannya. Mereka bertarung di sebelah Selatan Gunung Puring, tempat Hantu Karang Bolong dikuburkan. Aku tidak tahu pasti, bagaimana caranya pendekar itu bisa mengalahkan Hantu Karang Bolong,"

   Tutur Ki Giri.

   "Siapa nama pendekar itu, Ki?"

   Desak Rangga lagi. Dia memang begitu berminat untuk mengetahui lebih jauh perihal Hantu Karang Bolong itu.

   "Pendekar Bayangan Dewa. Tempat tinggalnya dulu di Puncak Gunung Puring. Mungkin sampai saat ini masih ada sisa-sisanya. Tapi telah lama tidak ada orang yang pernah menginjak tempat itu lagi, karena harus melewati kuburan Hantu Karang bolong. Memang ada jalan lain, tapi terlalu sulit ditempuh."

   "Kenapa?"

   Tanya Rangga ingin tahu.

   "Selain daerahnya yang berbukit dan bertebing terjal, juga banyak binatang berbisa. Belum lagi harus melewati daerah rawa berlumpur yang dapat menyedot apa saja yang melewatinya. Lalu, juga harus melalui lebatnya padang berduri. Lain halnya jika melewati kuburan Hantu Karang Bolong. Jalannya mudah dilewati dan tidak ada hambatan sama sekali,"

   Jelas Ki Giri.

   "Berapa lama untuk sampai ke sana?"

   Tanya Rangga lagi.

   "Ah, Aden bercanda...,"

   Desah Ki Giri.

   "Aku sungguh-sungguh, Ki."

   "Sebaiknya jangan, Den. Lewat jalan mana pun juga sekarang ini, tidak akan mudah mencapai Puncak Gunung Puring. Apalagi sekarang Hantu Karang Bolong telah bangkit kembali. Itu pun kalau dia memang benar-benar bangkit dari kuburnya,"

   Ki Giri langsung bisa menebak maksud Rangga.

   "Dia memang bangkit!"

   Rangga dan Ki Giri terkejut begitu tiba-tiba terdengar suara lain dari arah belakang.

   Serentak mereka menoleh ke belakang.

   Lebih terkejut lagi begitu melihat seseorang yang berada tidak jauh di belakang.

   Rangga dan Ki Giri saling berpandangan beberapa saat, kemudian sama-sama bangkit berdiri.

   Sama sekali Rangga tidak menyadari kalau pembicaraannya dengan Ki Giri juga didengar orang lain.

   Bahkan Ki Giri terkejut bukan main, sehingga tidak bisa berkata apa-apa lagi.

   Kebisuan terjadi untuk beberapa saat lamanya.

   *** "Laras! Sejak kapan kau di sini?"

   Tanya Rangga setelah hilang rasa terkejutnya.

   "Lama Juga. Yang jelas, semua yang kalian bicarakan telah kudengar,"

   Sahut Laras.

   "Den Ayu! Bagaimana kau bisa begitu yakin?"

   Tanya Ki Giri ingin tahu.

   "Terus terang, sebenarnya aku takut untuk mengatakannya. Karena telah mendengar semua pembicaraan kalian, maka kuputuskan untuk berterus terang. Aku tidak ingin adanya jatuh korban lagi. Biarlah ayah mertuaku dan suamiku yang jadi korban,"

   Wajah Laras berubah mendung.

   Laras melangkah menghampiri dan duduk di depan kedua laki-laki itu.

   Sebentar dihirupnya udara banyak-banyak agar mendapat kekuatan untuk menceritakan semua yang dilihatnya malam itu.

   Peristiwa yang selama ini disimpannya dalam-dalam.

   Namun, kali ini berat rasanya untuk menyimpan beban itu.

   Dia tidak ingin orang yang telah menyelamatkan dan menolongnya tewas di tangan makhluk liar itu.

   "Rangga, kau ingat ketika pertama kali menemukan diriku?"

   Tanya Laras pada Pendekar Rajawali Sakti.

   "Ingat,"

   Sahut Rangga mengangguk "Kau juga ingat saat menemukan barang-barangku?"

   Tanya Laras lagi.

   "Tentu,"

   Lagi-lagi Rangga mengangguk.

   "Apa yang kau lihat di dangau itu?"

   "Tidak ada apa-apa, kecuali bercak-bercak darah. Aku tidak tahu, apakah sudah lama atau masih baru. Dan bercak darah itu sudah bercampur air hujan dan lumpur,"

   Sahut Rangga menjelaskan.

   "Itu darah suamiku dan darah ayah mertuaku,"

   Jelas Laras agak tertahan suaranya. Rangga terkejut mendengarnya. Ditatapnya dalam-dalam sepasang bola mata wanita itu, seolah-olah ingin mencari kebenaran. Namun yang didapatkannya hanya sepasang bola mata yang mendung dan agak berkaca-kaca.

   "Aku berasal dari sebuah desa yang sangat terpencil, dan sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi sejak berusia tujuh tahun. Aku tinggal bersama seorang wanita tua yang sangat kejam, dan memperlakukanku seperti binatang. Aku harus patuh pada setiap perintahnya. Dia tidak segan-segan mencambuk, atau mengurungku dalam kerangkeng kalau melakukan sedikit kesalahan. Sampai berusia tujuh belas tahun, aku selalu hidup dalam tekanan dan penderitaan. Akhirnya, datang seorang laki-laki tua yang membebaskanku dari wanita itu..,"

   Tutur Laras tentang kehidupan pahitnya. Rangga dan Ki Giri saling pandang. Mereka diam saja, mendengarkan penuh perhatian. Baru kali inil Laras mau terbuka tentang dirinya.

   "Laki-laki tua itu kemudian membawaku pergi. Aku tidak bisa memberikan apa-apa untuk membalas jasanya. Maka ketika diminta untuk jadi menantunya, aku tidak bisa menolak, sehingga mendapatkan seorang putra. Anak itu kami beri nama Surya Paku. Dengan nama itu, aku berharap datangnya sinar kebahagiaan yang selama ini tidak kunjung menyinariku. Tapi semua harapanku jadi sia-sia, karena ternyata ayah mertuaku seorang kepala penyamun. Akhirnya, hari naasnya datang. Seluruh anak buahnya tewas oleh pasukan kerajaan yang dirampasnya. Kami lari, hingga sampai di Lereng Gunung Puring,"

   Kembali Laras berhenti.

   "Bagaimana mungkin kau tidak tahu pekerjaan ayah mertua dan suamimu?"

   Tanya Rangga.

   "Aku tidak pernah menanyakan setiap kali mereka pergi. Yang penting, aku hanya berbakti saja, karena merasa berhutang budi pada mereka. Pada suatu saat, suamiku bercerita akan pergi ke suatu tempat. Aku takut. Tapi karena sudah terlanjur mencintainya, aku rela ikut bersamanya ke mana saja pergi"

   "Kau tahu tujuannya?"

   Tanya Rangga lagi.

   "Suamiku memang memberitahu, meskipun seharusnya tidak boleh untuk diceritakan. Dan aku harusberpura-pura tidak tahu di depan ayahnya."

   "Ke mana?"

   Desak Rangga.

   "Puncak Gunung Puring."

   "Puncak Gunung Puring..?! Apa maksudnya kesana?"

   Ki Giri terperanjat.

   "Menurut suamiku, di sana kami bisa bangkit kembali. Bahkan bisa lebih besar lagi. Aku sendiri tidak mengerti, apa yang dicari suamiku di sana. Aku juga tidak mau banyak tanya, dan hanya menurut saja."

   "Lalu, apa yang terjadi saat tiba di Lereng Gunung Puring?"

   Tanya Rangga.

   "Mengerikan...!"

   Desis Laras.

   "Ceritakan,"

   Desak Ki Giri.

   "Kami tiba sudah malam dan hujan lebat. Ayah mertuaku memilih sebuah dangau untuk beristirahat sambil menunggu hujan reda. Di situ...,"

   Laras tidak sanggup lagi meneruskan.

   "Apa yang terjadi, Laras?"

   Desak Rangga.

   "Makhluk itu.... Makhluk itu tiba-tiba muncul setelah kilat menyambar kuil kecil. Kuil itu terbakar, dan makhluk itu muncul dari kobaran api...,"

   Laras kembali terhenti. Ditutupi wajahnya dengan telapak tangan, tidak sanggup membayangkan peristiwa mengerikan itu.

   "Hhh...! Sudahlah, Laras,"

   Desah Rangga tidak tega.

   "Aku tidak tahu lagi lalu lari...!"

   Laras mulai menangis.

   Rangga menarik napas dalam-dalam.

   Ditatapnya Ki Giri yang saat itu juga tengah menatap padanya.

   Sesaat kemudian Ki Giri melingkarkan tangannya pada pundak Laras.

   Lalu membawanya bangkit berdiri.

   Sebentar laki-laki tua itu menatap Pendekar Rajawali Sakti, kemudian membawa Laras kembali masuk ke dalam rumahnya.

   Sementara Rangga masih duduk diam di tempatnya.

   Di dalam benaknya, kembali terulang cerita Laras lalu dihubungkan dengan semua yang dialaminya.

   Hanya satu yang menjadi pertanyaannya.

   Untuk apa mereka ke Gunung Puring? Dan apa yang dimaksudkan suami Laras dengan kebangkitan yang lebih besar?! Rangga masih memikirkan hal itu sampai Ki Giri datang kembali, dan duduk di depannya.

   Tampak raut wajah laki-laki tua itu tidak seperti biasanya yang selalu ceria, penuh kata-kata menggoda.

   Rangga melirik saat mendengar desahan napas panjang keluar dari hidung Ki Giri.

   "Mungkin hari kiamat sudah dekat, Den,"

   Gumam Ki Giri seraya mendesah panjang. Rangga mengangkat kepalanya, dan langsung menatap ke bola mata laki-laki tua di depannya. Tidak dimengerti kata-kata Ki Giri barusan. Meskipun sudah menduga, tapi belum yakin.

   "Ramalan bahwa Hantu Karang Bolong bangkit kembali dari kuburannya ternyata benar. Dan ini pertanda suatu malapetaka besar. Tidak ada seorang pun yang sanggup menandingi kesaktiannya. Hanya...,"

   Kata-kata Ki Giri terputus.

   "Hanya apa, Ki?"

   Desak Rangga.

   "Ah! Sudahlah, Den. Tidak ada gunanya dibicarakan lagi."

   "Ki...,"

   Rangga tetap mendesak. Ki Giri menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebentar ditatapnya dalam-dalam Pendekar Rajawali Sakti itu, kemudian kepalanya digelengkan beberapa kali disertai hembusan napas panjang.

   "Tidak ada gunanya, Den. Hantu Karang Bolong tidak mungkin bisa dikalahkan. Dia bukan manusia, tapi jelmaan iblis neraka yang ingin menghancurkan manusia di atas bumi ini,"

   Kata Ki Giri terasa berat mengatakannya.

   "Tapi mengapa dia bisa dikalahkan Pendekar Bayangan Dewa?"

   "Itu dulu, Den. Sekarang pendekar itu sudah tidak ada lagi."

   "Pasti ada satu senjata ampuh yang dimiliki Pendekar Bayangan Dewa, sehingga bisa mengalahkan si Hantu Karang Bolong itu. Hm...! Dan ini tentu diketahui ayah mertua Laras ataupun suaminya. Aku yakin, mereka menuju ke Puncak Gunung Puring untuk menemukan senjata itu. Yaaa...! Mungkin inilah yang dikatakannya bangkit kembali yang lebih besar!"

   Rangga gembira bisa menemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri.

   "Den...!"

   Sentak Ki Giri bernada cemas.

   "Aku harus ke puncak gunung itu, Ki. Senjata Pendekar Bayangan Dewa harus kutemukan. Hantu Karang Bolong harus dimusnahkan selama-lamanya, sebelum benar-benar menghancurkan dunia ini!"

   Tekad Rangga.

   "Jangan, Den. Berbahaya...! Lagi pula tidak ada yang tahu, di mana dan bagaimana senjata itu. Sia-sia saja, Den. Tidak ada gunanya,"

   Cegah Ki Giri, jelas nada suaranya begitu cemas.

   "Apa pun bentuknya, senjata itu pasti ada. Dan harus kutemukan sebelum ada yang mengetahui tentang ini, Ki. Aku yakin, Pendekar Bayangan Dewa menggunakan senjata itu untuk mengalahkan Hantu Karang-Bolong. Aku yakin, Ki!"

   Tegas kata-kata Rangga.

   "Tapi...."

   "Tolong jangan cegah aku, Ki,"

   Potong Rangga cepat.

   "Aku akan berterima kasih sekali jika Ki Giri bersedia menerima Laras sebagai anak, dan mengijinkannya tinggal di sini. Kasihan dia,"

   Kata Rangga pelahan.

   Ki Giri menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.

   Terdengar desahan panjang dan berat.

   Bisa dipahami jiwa kependekaran pemuda itu.

   Dan jiwa itu dulu juga ada dalam dirinya ketika masih malang melintang dalam rimba persilatan.

   Ki Giri seolah-olah melihat dirinya kembali dalam diri Pendekar Rajawali Sakti.

   "Baiklah, Den. Aku tidak akan mencegahmu lagi. Hanya pesanku, segeralah kembali kalau gagal,"

   Ucap Ki Giri menyerah. 'Terima kasih, Ki."

   "Masalah Laras, jangan dikhawatirkan. Dia boleh tinggal di sini sesukanya, asal tidak bosan mengurusi laki-laki tua cerewet ini,"

   Gurau Ki Giri. Rangga tersenyum juga mendengar gurauan itu.

   "Kapan berangkat?"

   Tanya Ki Giri.

   "Besok, pagi-pagi sekali,"

   Sahut Rangga.

   *** Pagi-pagi sekali, sebelum matahari menampakkan diri, Rangga sudah memacu kuda hitamnya meninggalkan rumah Ki Giri.

   Laki-laki tua itu mangantarkan sampai di depan pintu rumahnya.

   Sebenarnya dia ingin ikut serta, tapi Rangga tidak mengijinkan.

   Biar bagaimanapun, keselamatan Laras juga harus diperhatikan.

   Jangan sampai wanita dan anaknya itu berada seorang diri di rumah ini.

   Ki Giri hanya bisa berharap Rangga kembali dengan selamat, dan berhasil mengalahkan Hantu Karang Bolong.

   Rangga cepat memacu kudanya melintasi jalan Desa Caruban yang masih sepi lengang.

   Namun mendadak lari kudanya dihentikan begitu tiba di perbatasan desa.

   Tampak di depannya berdiri sesosok tubuh ramping.

   Di sampingnya seekor kuda putih tengah merumput dengan tenang.

   Rangga melompat turun dar menghampirinya.

   "Ayu Kumala! Apa yang kau lakukan di sini?"

   Tanya Rangga begitu dekat dengan gadis yang seperti sedang menantinya.

   "Kau pikir, aku sedang apa di sini?"

   Ayu Kumala malah balik bertanya.

   "Jangan main-main, Ayu."

   "Aku serius!"

   "Kau tidak bermaksud menungguku di sini, bukan?"

   Tebak Rangga berharap meleset.

   "Aku memang sengaja menunggumu,"

   Ringan sekali jawaban Ayu Kumala.

   "Ayu..!"

   "Jangan katakan aku wanita tidak tahu diri karena menunggu laki-laki di pagi buta begini, Kakang!"

   Potong Ayu Kumala cepat.

   Rangga geleng-geleng kepala.

   Benar-benar sulit dimengerti sikap gadis satu ini.

   Biasanya Rangga selalu bisa mengatasi setiap gadis yang mencoba masuk ke dalam kehidupannya.

   Tapi menghadapi Ayu Kumala, Rangga seperti kehilangan akal.

   Sukar baginya untuk menebak maksud yang terkandung di dalam hati gadis ini.

   Sikapnya tidak pernah tetap, dan sukar sekali untuk bisa dipahami.

   "Aku tahu ke mana kau akan pergi, Kakang. Makanya aku menunggumu di sini,"

   Kata Ayu Kumala.

   "Aku ada urusan penting, Ayu,"

   Jelas Rangga mencoba meminta pengertian.

   "Begitu pentingkah sehingga melupakan diriku, Kakang?"

   Rangga tidak bisa menjawab.

   Benar-benar sulit dimengerti sikap gadis ini.

   Tapi dalam hatinya timbul juga kecemasan.

   Ayu Kumala selalu cepat mengetahui apa yang terjadi di Desa Caruban ini.

   Bahkan jika setiap orang mempunyai rencana, pasti dapat dike tahuinya.

   Terlebih lagi kalau hal itu sangat diminati.

   "Kita berangkat sekarang, Kakang,"

   Ujar Ayu Kumala.

   "Berangkat ke mana?!"

   Sentak Rangga terkejut.

   "Ke Gunung Puring,"

   Sahut Ayu ringan.

   "Ayu...!"

   "Kau pasti membutuhkanku, Kakang. Aku tahu jalan yang mudah ke sana. Ki Giri sengaja tidak memberitahu kepadamu, supaya kau membatalkan semuanya. Dia terlalu cemas dan takut kehilanganmu, celoteh Ayu Kumala lancar bagai air sungai mengalir tanpa hambatan.

   "Ayu, apa yang kau bicarakan?"

   "Aku kan sudah bilang, aku tahu ke mana tujuanmu. Ayolah, nanti keburu siang."

   "Tunggu dulu, Ayu!"

   Ayu Kumala tidak jadi naik ke kudanya.

   "Dari mana kau tahu semua ini?"

   Tanya Rangga penasaran.

   Dia memang selalu penasaran bila menghadapi gadis ini, yang sepertinya mengetahui semua kejadian di sini.

   Ayu Kumala hanya tersenyum saja, kemudian melompat naik ke punggung kudanya.

   Tanpa menghiraukan pertanyaan Rangga, gadis itu menghentakkan tali kekang kudanya agar melaju.

   Rangga bergegas melompat naik ke punggung kudanya, menyusul gadis itu.

   "Ayu, jawab pertanyaanku! Dari mana kau tahu rencana kepergianku ini?"

   Desak Rangga. Ayu tetap tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Dia terus mengendalikan kudanya.

   "Ki Giri yang mengatakannya padamu?"

   Desak Rangga menebak.

   "Bukan siapa-siapa,"

   Sahut Ayu tenang.

   "Dengar, Ayu! Tujuanku sangat berbahaya. Rencanaku akan kubatalkan kalau kau tidak mengatakan terus terang,"

   Ancam Rangga jadi sengit.

   Ayu Kumala menghentikan langkah kudanya.

   Dan Rangga juga demikian.

   Sebentar mereka saling pandang.

   Tiba-tiba saja Ayu Kumala tertawa terbahak-bahak, begitu renyah dan terbuka.

   Rangga jadi dongkol, dan menggerutu dalam hati.

   Gadis ini benar-benar membuat kepalanya berputar tujuh keliling.

   Baru kali ini Rangga merasa kewalahan menghadapi seorang gadis nakal.

   Namun diakui, kalau Ayu Kumala benar-benar cerdik.

   "Ayo, Kakang! Kita berpacu!"

   Ajak Ayu Kumala.

   "Ayu.., tunggu! Kau belum menjawab pertanyaanku!"

   Tapi Ayu Kumala sudah menghentakkan tali kekang kudanya.

   Dan kuda putih Itu berlari cepat bagai angin.

   Rangga bergegas memacu kudanya untuk mengejar gadis itu.

   Dewa Bayu bukanlah kuda sembarangan, maka dengan cepat kuda putih yang ditunggangi gadis cantik itu bisa disusul.

   "Ayu, aku tidak main-main! Ini sangat berbahaya!"

   Kata Rangga sedikit keras.

   "Aku juga,"

   Sahut Ayu kalem.

   "Kau benar-benar nakal!"

   Gerutu Rangga.

   "Biar, asal kau tidak mati sendirian!"

   "Gila!"

   Lagi-lagi Rangga menggerutu kesal.

   "Kau akan membutuhkan orang gila, Kakang. Percayalah!"

   "Aku tidak akan percaya lagi kepadamu!"

   "Oh, ya...? Lihat saja nanti."

   Ayu kembali tertawa terbahak-bahak, dan terus memacu cepat kudanya mendaki Lereng Gunung Puting.

   Sementara Rangga masih bersungut-sungut.

   Tapi, benarkah dia akan membutuhkan gadis ini nanti? Atau sebaliknya, malah menambah kesulitan saja.

   Yang jelas, Sekarang Ayu Kumala tidak bisa lagi disuruh pulang! Untuk pertama kalinya, Rangga mengucapkan terima kasih kepada Ayu Kumala, meskipun hanya dalam hati saja! Jalan yang dipilih Ayu Kumala memang mudah dilalui, bahkan kuda mereka dengan leluasa dapat berpacu kencang.

   Hingga matahari belum lagi sepenggalan, ternyata sudah tiba di Puncak Gunung Puring.

   Mereka baru menghentikan lari kudanya setelah sampai di tengah puncak gunung itu.

   Sebentar Rangga memandangi sekitar Puncak Gunung Puring.

   Kabut tebal menyelimuti seluruh permukaan puncak gunung itu.

   Udara dingin berhembus kencang membawa butir-butir air bagai permata menghias dedaunan.

   Sungguh indah pemandangan di sini, dan seolah-olah tidak menyimpan misteri apa pun.

   Namun Pendekar Rajawali Sakti itu bisa merasakan adanya sesuatu yang ganjil, yang begitu kuat menghentak jantungnya.

   Rangga tidak tahu, kekuatan yang dirasakannya saat ini.

   Yang jelas dirasakan jantungnya jadi lebih cepat berdetak.

   Bahkan sepertinya aliran darahnya tidak teratur.

   "Hm...,"

   Gumam Rangga pelahan..

   Pendekar Rajawali Sakti itu mencoba untuk menahan perasaan yang tiba-tiba saja muncul dalam dirinya.

   Tapi semakin keras mencoba, semakin kuat pula daya tarik itu terasakan.

   Rangga membuka aliran hawa murni dari pusat tubuhnya, dan mencoba mengalirkan ke seluruh tubuh.

   Tapi, tubuhnya malah menggigil.

   Hawa murni itu balik menyerang pusat kekuatannya.

   Buru-buru ditarik kembali hawa murni dalam tubuhnya.

   "Ada apa, Kakang?"

   Tanya Ayu kumala. Rupanya gadis itu memperhatikan sejak tadi.

   "Tidak apa-apa. Hanya aku...,"

   Rangga tidak melanjutkan.

   "Kau merasakan ada kekuatan gaib di sini, Kakang?"

   Tebak Ayu Kumala. Rangga langsung menatap dalam gadis itu. Hatinya benar-benar terkejut mendengar tebakan yang begitu tepat.

   "Tidak perlu dirisaukan. Itu hanya sebuah gejala kekuatan gaib yang ada di sekitar Puncak Gunung Puring ini. Semua orang akan merasakannya bila pertama kali menginjakkan kakinya di sini. Nanti juga hilang sendiri,"

   Jelas Ayu Kumala.

   Rangga tetap diam.

   Dan memang, dirasakan kekuatan daya tarik itu pelahan-lahan mengendur.

   Dan akhirnya hilang sama sekali.

   Dia jadi tidak mengerti, apa sebenarnya yang baru saja dirasakannya.

   Pendekar Rajawali Sakti itu kembali menatap Ayu Kumala, seperti minta penjelasan.

   "Rasanya tidak perlu dijelaskan, lagi, Kakang. Ki Giri pasti sudah mengatakannya padamu,"

   Kata Ayu Kumala seolah mengerti arti tatapan Pendekar Rajawali Sakti itu.

   "Kau sering ke sini, Ayu?"

   Tanya Rangga menyelidik.

   "Kadang-kadang,"

   Sahut Ayu Kumala enteng.

   "Kau tahu, di mana letak makam Pendekar Bayangan Dewa?"

   "Di sini,"

   Sahut Ayu tetap ringan suaranya.

   "Kau jangan main-main. Ayu"

   Ayu Kumala hanya tersenyum saja.

   Dituntun kudanya, dan ditambatkan di bawah pohon beringin besar yang akar-akarnya menjuntai ke bawah.

   Rangga mengikuti, lalu juga menambatkan kudanya di sana.

   Kemudian diedarkan pandangannya ke sekeliling.

   Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kalau di sekitar sini ada sebuah makam.

   Sepanjang mata memandang, hanya kelebatan hutan yang berselimut kabut cukup tebal.

   Kembali ditatapnya Ayu Kumala yang tengah mengumpulkan ranting kering, dan menumpuknya di dekat kuda mereka.

   "Untuk apa itu?"

   Tanya Rangga.

   "Membuat api,"

   Sahut Ayu kalem.

   "Masih terlalu siang, Ayu. Untuk apa membuat api?"

   Tanya Rangga jadi tidak mengerti.

   "Kita akan bermalam di sini."

   Rangga menghampiri gadis yang sedang menata ranting-ranting itu.

   Dipandanginya gadis itu dalam-dalam.

   Pendekar Rajawali Sakti semakin merasakan adanya keanehan yang tersimpan dalam diri Ayu Kumala.

   Satu misteri yang tidak mudah diungkapkan.

   Namun Ayu Kumala hanya membalasnya dengan senyuman saja.

   Dihenyakkan dirinya, duduk di atas akar yang menyembul dari dalam tanah.

   "Kan sudah kubilang, kau akan membutuhkan diriku, Kakang,"

   Kata Ayu Kumala, jengah juga dipandangi terus.

   "Dan ini salah satu bantuanmu?"

   "Aku rasa masih ada yang lain. Percayalah, kau tidak akan berhasil tanpa bantuanku. Yang dihadapi sekarang ini bukan lagi manusia, tapi perujudan seseorang yang sudah mati puluhan tahun silam."

   "Ayu! Tampaknya kau sudah tahu banyak. Katakan, dari mana kau ketahui semua ini?"

   Desak Rangi tidak main-main lagi.

   "Kau selalu mendesakku, Kakang. Baiklah, akan kukatakan terus terang. Tapi kuharap jangan menyalahkan siapa-siapa. Ini semua untuk dirimu sendiri dan juga seluruh manusia yang ada di dunia ini,"

   Kata Ayu Kumala bernada menyerah.

   "Katakan, dari mana kau tahu semua ini?"

   Desak Rangga tidak sabar lagi.

   "Baiklah. Tapi jangan tegang begitu dong...,"

   Goda Ayu masih juga bisa bercanda.

   "Kunyuk!"

   Gerutu Rangga dalam hati. Dihenyakkan tubuhnya di rerumputan yang lembab.

   "Aku tahu semua ini dari Ki Giri. Dia datang ke rumah dan menceritakan semua rencanamu, dan semua yang kau ketahui tentang Hantu Karang Bolong...,"

   Ayu Kumala mengakui terus terang.

   "Sudah kuduga...,"

   Dengus Rangga.

   "Terus terang, tadinya juga tidak kupercayai kalau ada orang mati bisa bangkit kembali. Tapi setelah ayahku menjelaskan semuanya, baru aku percaya. Terlebih lagi aku memang sudah melihat sendiri. Memang menyeramkan, seperti mayat baru bangkit dari kuburnya."

   "Apa yang dikatakan ayahmu?"

   Tanya Rangga.

   "Sama seperti yang Ki Giri katakan padamu."

   "Lantas, kenapa kau membantuku? Kau kan tahu pekerjaan ini sangat berbahaya."

   "Ayah yang menyuruhku."

   "Mustahil!"

   Dengus Rangga tidak percaya.

   "Aku berkata sesungguhnya, Kakang. Ayah begitu mengkhawatirkan dirimu. Demikian pula dengan Ki Giri. Mereka yakin kalau kau Bdak akan berhasil tanpa bantuanku. Kau tidak mungkin mendapatkan benda yang kau maksud di sini,"

   Kali ini nada Ayu Kumala bersungguh-sungguh.

   "Kenapa?"

   Tanya Rangga.

   "Karena yang dicari tidak ada di sini,"

   Tegas Ayu kumala.

   Kembali Rangga menatap gadis itu dalam-dalam.

   *** Waktu terus berjalan cepat.

   Senja mulai merayap turun menyelimuti permukaan Gunung Puring.

   Matahari sudah demikian condong ke arah Barat, dan sebentar lagi kegelapan akan menyelimuti alam ini.

   Sementara Ayu Kumala sudah menyalakan api pada ranting-ranting yang tadi dikumpulkan.

   Rangga sendiri telah berhasil menangkap tiga ekor kelinci gemuk yang bisa digunakan untuk makan malam.

   Suasana di Puncak Gunung Puring ini semakin terasa lengang.

   Tak terdengar suara binatang malam, tapi hanya desir angin saja yang mengganggu gendang telinga.

   Udara semakin dingin, seakan-akan nyala api tidak sanggup mengusirnya.

   Semakin gelap menyelimuti seluruh puncak, semakin senyap suasananya.

   "Ayu! Kau tentu tahu tentang Hantu Karang Bolong dan Pendekar Bayangan Dewa, bukan?"

   Tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.

   "Tidak banyak, Ku pun kuketahui dari cerita Ayah dan Ki Giri,"

   Sahut Ayu Kumala.

   "Pengetahuanmu tentu lebih banyak dariku."

   "Tidak juga."

   "Ayu, kau tentu punya alasan lain sehingga berada di sini, kan?"

   Ayu Kumala tidak menjawab, tapi malah menundukkan kepalanya.

   Disembunyikan rona merah yang mendadak saja menyemburat di wajahnya.

   Tapi Rangga sudah lebih dulu melihat wajah yang bersemu merah dadu itu, dan ini tentu saja tidak diinginkannya.

   Bisa diduga, alasan apa yang membuat Ayu Kumala berani mempertaruhkan nyawanya di tempat sunyi penuh misteri ini.

   "Kuharap, bukan karena alasan pribadi sehingga kau berada di sini, Ayu. Aku lebih senang jika kau pertaruhkan nyawa karena menegakkan kebenaran dan keadilan. Mengerti maksudku, Ayu?"

   Lembut, namun sangat bermakna sekali kata-kata yang diucapkan Rangga.

   "Aku mengerti, Kakang. Tapi apakah seseorang akan terhina jika...,"

   Ayu Kumala tidak melanjutkan kalimatnya. Pelahan-lahan dia mengangkat wajahnya, dan ditatapnya lurus bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

   "Kakang...,"

   Agak bergetar suara Ayu Kumala.

   "Ah, sudahlah. Tidak pantas membicarakan masalah seperti ini dalam suasana yang...,"

   Ucap Rangg tiba-tiba terputus.

   Saat itu telinganya mendengar suara yang membuat aliran darahnya seketika serasa berhenti mengalir.

   Rangga bergegas berdiri, dan melayangkan pandangan ke arah suara yang tadi didengarnya.

   Suara yang begitu halus, bagai desiran angin.

   "Ada apa, Kakang?"

   Tanya Ayu Kumala.

   "Ssst...,"

   Rangga mendesis.

   Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu melompat bagai kilat.

   Tubuhnya langsung menerobos gerum bul semak yang bergerak menimbulkan suara gemerisik.

   Namun begitu tubuh Pendekar Rajawali Sakti lenyap di dalam semak, mendadak saja terdengar suara pekikan tertahan yang disusul melesatnya sosok tubuh ke angkasa dengan cepatnya.

   Tubuh itu kembali menukik keras, dan jatuh bergulingan di tanah yang berumput lembab.

   Ayu Kumala memekik begitu mengenali tubuh yang sedang berusaha bangkit berdiri itu.

   Buru-buru dia berlari menghampiri.

   "Kakang...!"

   Ayu Kumala membantu Rangga berdiri.

   "Ugh...!"

   Rangga berdahak sekali dan menyemburkan darah kental dari mulutnya.

   Selagi Pendekar Rajawali Sakti itu bangkit, dari dalam semak belukar melesat satu bayangan putih.

   Tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang laki-laki muda berwajah tampan, dan sorot matanya merah tajam.

   Laki-laki itu mengenakan baju putih bersih agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap berotot.

   Dia menatap tajam pada Rangga dan Ayu Kumala.

   "Hhh! Menyesal memberi kesempatan hidup kepadamu!"

   Dengus pemuda itu dingin.

   "Siapa dia, Kakang?"

   Tanya Ayu Kumala tidak lepas menatap laki-laki tampan yang kini berada di hadapannya.

   "Hantu Karang Bolong,"

   Sahut Rangga pelan.

   "Oh...!"

   Ayu Kumala mendesah terkejut.

   Gadis itu tidak menyangka kalau orang yang bernama Hantu Karang Bolong begitu tampan.

   Namun sorot matanya yang merah membara bagai bola api itu....

   Ayu Kumala tidak sanggup memandangnya terlalu lama.

   Tengkuknya bergidik setiap kali menatap bola mata merah menyala itu.

   "Menyingkirlah, Ayu,"

   Kata Rangga seraya mendorong gadis itu ke belakang.

   Ayu Kumala melangkah beberapa tindak ke belakang.

   Tatapan matanya tidak lepas ke arah pemuda tampan dan berwajah keras.

   Tatapan matanya tajam dan menusuk.

   Masih belum dipercaya kalau laki-laki tampan itu adalah Hantu Karang Bolong, yang namanya begitu ditakuti sepanjang zaman.

   Dan karena dia pula, kini desanya kembali diliputi ketegangan dan kecemasan.

   *** Rangga menggeser kakinya ke kiri beberapa langkah.

   Dia ingin agar Ayu Kumala jauh dari incaran orang liar yang sebenarnya sudah terkubur puluhan tahun lalu.

   Pendekar Rajawali Sakti itu baru berhenti setelah Ayu Kumala cukup jauh dari tempat itu.

   Sedikit diliriknya tempat gadis itu tadi berdiri, kemudian perhatiannya kembali tercurah pada laki-laki tampan yang dikenal bernama Hantu Karang Bolong.

   "Sebelumnya, belum pernah aku memberi kesempatan hidup pada seseorang yang lancang mencampuri urusanku. Tapi karena kau telah berjasa menyempurnakan kehidupanku, maka baru kali inilah aku mengucapkan rasa terima kasih pada manusia. Sayang, rupanya kebaikan hatiku kau sia-siakan,"

   Dingin dan datar suara Hantu Karang Bolong.

   "Terima kasih,"

   Ucap Rangga tidak kalah dingin-nya.

   "Hm..., sekali ini aku rasanya masih bermurah hati lagi padamu. Dan sebaiknya, cepat tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pikiran!"

   Nada suara Hantu Karang Bolong terdengar mengancam.

   "Sayang sekali, aku ada urusan sendiri di sini,"

   Sahut Rangga.

   "Aku tahu urusanmu, Anak Muda. Sayang..., terpaksa aku harus membunuhmu. Aku tidak suka ada duri dalam diriku!"

   "Begitu mudahnya kau mengatakan membunuh. Rasanya sukar untuk kau lakukan,"

   Ejek Rangga geram.

   "Ha ha ha...!"

   Hantu Karang Bolong tertawa terbahak-bahak.

   Sikapnya begitu meremehkan, dan tidak memandang sebelah mata pun pada Pendekar Rajawali Sakti.

   Sedangkan Rangga sedikit pun tidak memandang ringan pada Hantu Karang Bolong.

   Dua kali bentrok, dan sudah bisa diukur tingkat kepandaiannya.

   Meskipun saat itu Hantu Karang Bolong masih berbentuk makhluk setengah mayat.

   Dan Rangga belum bisa memastikan apakah akan mampu menghadapinya.

   Akibat dari pukulan aji 'Cakra Buana Sukma', kehidupan Hantu Karang Bolong bisa menjadi lebih sempurna lagi.

   Dan Rangga tidak bisa meramalkan, dengan ilmu apa dia mampu menjatuhkannya.

   Setidaknya, sudah dicoba semua ilmu yang dimilikinya, tapi waktu itu Hantu Karang Bolong yang belum] sempurna dalam kehidupannya malah semakin liar saja.

   Bahkan kehidupannya menjadi sempurna.

   "Dengar, Anak Muda. Semua ilmu yang kau miliki tidak ada seujung kuku dari yang kumiliki. Kau memang boleh bangga dengan ilmumu. Tapi, di hadapanku kau harus lebih banyak belajar lagi! Paling tidak, butuh waktu lima puluh tahun untuk menyamai ku!"

   Kata Hantu Karang Bolong pongah.

   "Boleh kita coba,"

   Tantang Rangga.

   "Keparat! Rupanya kau tidak bisa dikasih hati, Anak Muda!"

   Geram Hantu Karang Bolong.

   "Maaf, kau juga tidak bisa dibiarkan hidup lebih lama lagi. Tempatmu bukan di sini. Seluruh Dewa di Kahyangan mengutuk kebangkitanmu kembali!"

   "Ha ha ha...! Tidak ada satu Dewa pun yang bisa menandingi kesaktianku, Anak Muda!"

   Hantu Karang Bolong semakin pongah.

   "Tapi aku bisa membuatmu kembali mendekam di dalam kubur!"

   "Kurang ajar! Kurobek mulutmu, bocah keparat!"

   Hantu Karang Bolong benar-benar geram mendapat tantangan terbuka begitu. Dia segera berteriak nyaring, dan melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Terjangan yang begitu cepat, disertai lontaran dua pukulan dahsyat bertenaga dalam luar biasa.

   "Hup!"

   Rangga yang sudah siap sejak tadi, langsung melompat ke samping, seraya mengirimkan satu tendangan bertenaga dalam cukup sempurna.

   Serangan Hantu Karang Bolong luput dari sasaran, namun tendangan Rangga juga mengenai tempat yang kosong.

   Mereka kembali saling berhadapan, dan kembali bersiap untuk melakukan pertarungan.

   "Hiya...!"

   "Yaaa...!"

   Pertarungan tidak bisa dihindari lagi.

   Masing-masing segera mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki.

   Sementara itu di tempat yang cukup jauh, Ayu Kumala memperhatikan jalannya pertarungan itu dengan hati diliputi kecemasan.

   Kepalanya menjadi pening mengikuti setiap gerakan dua tokoh sakti itu.

   Sangat sukar bagi Ayu Kumala untuk mengikuti setiap gerak pertarungan itu.

   Dan memang, baik Rangga maupun Hantu Karang Bolong bertarung menggunakan jurus-jurus yang sukar untuk diikuti pandangan mata biasa.

   Jurus-jurusnya begitu cepat dan sangat berbahaya.

   Terlebih lagi suasana saat ini begitu gelap, karena malam sudah turun menyelimuti permukaan Puncak Gunung Puring ini.

   Ditambah kabut yang semakin tebal, sehingga menyulitkan pandangan.

   *** Sementara pertarungan di Puncak Gunung Puring terus berlangsung.

   Dan di kejauhan terlihat beberapa ekor kuda sedang mendaki Lereng Gunung Puring itu.

   Ada sekitar delapan ekor kuda yang dipacu cepat.

   Tampak paling depan, Ki Giri bersama Kepala Desa Caruban.

   Suara ledakan dan gemuruh dari puncak gunung, membuat mereka menghentikan lari kudanya.

   Ki Giri dan kepala desa itu saling berpandangan sesaat.

   Tampak wajah mereka begitu diliputi kecemasan.

   Mereka sama-sama memandang enam orang pemuda yang berada di belakang.

   Mereka semua membawa senjata golok yang terselip di pinggang.

   "Bagaimana, Ki Bonang?"

   Tanya Ki Giri seolah meminta pertimbangan.

   "Hm...,"

   Ki Bonang hanya menggumam tidak jelas. Pandangannya kembali mengarah ke puncak gunung yang kelam tertutup kabut tebal.

   "Sepertinya mereka sudah bertarung, Ki,"

   Kata Ki Giri lagi, yang juga tengah menatap ke arah Puncak Gunung Puring.

   "Hm..., mudah-mudahan kita belum terlambat membantu Pendekar Rajawali Sakti,"

   Ucap Ki Bonang setengah bergumam.

   "Kenapa tidak kau berikan saja Besi Kuning itu pada anakmu?"

   Tanya Ki Giri seraya menghentakkan tali kekang kudanya.

   Ki Bonang tidak menyahut.

   Juga digebah kudanya agar kembali berpacu cepat mendaki lereng gunung ini.

   Enam orang pemuda yang mengikutinya, juga segera memacu kudanya mengikuti dua orang laki-laki tua yang terpandang di Desa Caruban.

   Delapan ekor kuda itu terus berpacu cepat menembus pekat a maiam, dan kelebatan hutan di sekitar lereng gunung itu.

   Namun sepertinya mereka sudah sering meiintasi jalan ini, sehingga tidak sukar untuk mencapai Puncak Gunung Puring ini.

   Mereka tiba setelah Rangga dan Hantu Karang Bolong bertarung menggunakan ilmu-ilmu kesaktian.

   Baik Ki Giri maupun Ki Bonang begitu terkejut melihat sekitar Puncak Gunung Puring ini porak poranda bagai baru saja diamuk puluhan ekor gajah.

   Sementara agak jauh di depan, dua orang tokoh sakti dan digdaya, sedang bertarung mengadu ilmu kesak tian.

   Sebentar-sebentar terdengar suara ledakan menggelegar, disusul memerciknya bunga api ke segala arah.

   "Ayah...!"

   Terdengar seruan halus.

   "Ayu...!"

   Sentak Ki Bonang begitu melihat putrinya berlari mengrampiri.

   Ayu Kumala langsung menghambur memeluk ayahnya, lalu segera dilepaskan pelukannya.

   Ditatapnya Ki Giri serta enam orang anak muda di belakang kedua laki-laki tua itu.

   Ayu Kumala menoleh memandang pertarungan yang masih berlangsung sengit.

   "Apakah itu si Hantu Karang Bolong, Ayu?"

   Tanya Ki Bonang pada anaknya.

   "Benar, Ayah,"

   Sahut Ayu Kumala tanpa menoleh.

   "Hm...,"

   Gumam Ki Bonang tidak jelas.

   "Tampaknya mereka masih memerlukan waktu lama, Ki Bonang,"

   Kata Ki Giri yang berada di samping kepala desa itu.

   "Ya, aku tidak yakin Pendekar Rajawali Sakti mampu menandingi Hantu Karang Bolong,"

   Sahut Ki Bonang pelan.

   "Kita lihat saja dulu,"

   Sergah Ki Giri.

   Sementara pertarungan antara Rangga melawan Hantu Karang Bolong, terus berlangsung sengit.

   Belum ada tanda-tanda bakal ada yang terdesak.

   Masih sama-sama tangguh, dan masih berimbang.

   Mereka bertarung sambil bergerak terus menuruni Puncak Gunung Puring ini.

   Dan nampaknya Rangga sengaja mengajak Hantu Karang Bolong menuju ke lereng sebelah Selatan.

   "Pendekar Rajawali Sakti benar-benar cerdik!"

   Gumam Ki Giri yang mengetahui maksud Rangga menggiring Hantu Karang Bolong ke Lereng Gunung Puring sebelah Selatan.

   "Mereka ke Selatan, Ki!"

   Seru Ayu Kumala.

   "Memang itu tujuan Pendekar Rajawali Sakti,"

   Sahut Ki Giri kalem.

   "Celaka! Hantu Karang Bolong pasti murka kalau tahu digiring ke sana!"

   Desak Ki Bonang.

   "Mau ke mana, Ki Bonang?"

   Tanya Ki Giri melihat Ki Bonang sudah melangkah cepat mengikuti pertarungan yang bergerak terus ke arah Selatan.

   "Memberikan Besi Kuning ini pada Rangga,"

   Sahut Ki Bonang terus saja melangkah cepat.

   "Jangan sekarang!"

   Cegah Ki Giri seraya mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping Ki Bonang.

   "Kenapa?"

   Tanya Ki Bonang yang sudah merasa bersalah, karena tidak memberikan Besi Kuning itu cepat-cepat pada Rangga.

   "Biarkan mereka sampai ke tempat yang dituju dulu. Jangan merusak rencana Den Rangga,"

   Kata Ki Giri.

   Ki Bonang menatap laki-laki tua di sampingnya, kemudian menganggukkan kepalanya.

   Mereka terus berjalan mengikuti dua tokoh yang masih bertarung sengit.

   Dan memang jelas kalau Rangga sengaja mundur menarik perhatian si Hantu Karang Bolong.

   Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak membalas serangan lawannya, dan hanya berkelit dan berlompatan menghindari setiap serangan yang datang.

   Namun gerakannya jelas menuju ke arah Selatan Lereng Gunung Puring ini.

   *** Sementara orang-orang di Gunung Puring diliputi kecemasan melihat pertarungan Rangga melawan Hantu Karang Bolong, demikian juga di rumah Ki Giri.

   Di sini, Laras juga tengah diliputi kecemasan yang amat sangat.

   Semua yang terjadi di Gunung Puring, berawal dari dirinya.

   Wanita ini benar-benar mengutuki dirinya yang selalu menyebabkan kesengsaraan setiap orang.

   Di mana dia berada, selalu terjadi bencana.

   Sudah seharian Rangga dan Ki Giri meninggalkan rumah ini.

   Dan Laras tahu, ke mana tujuan mereka meskipun tidak diberitahu.

   Semua percakapan Ki Giri dengan Rangga telah didengarnya dari bilik kamar.

   Dirasakan, semua peristiwa di sini karena kesalahan-nya.

   Kalau saja dia tidak dilahirkan, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi.

   Sejak pagi buta, hingga malam, dan datang pagi lagi, Laras selalu diliputi kecemasan.

   Laras tidak bisa lagi menunggu di rumah ini.

   Dititipkan Surya Paku pada seorang tetangga yang selalu baik padanya, kemudian bergegas pergi menuju ke Gunung Puring.

   Sedikitnya dia pernah belajar menunggang kuda ketika tinggal bersama mertua dan suaminya.

   Laras pergi menggunakan kuda milik Ki Giri, dan dipacu cepat kudanya bagai kesetanan.

   "Hiya! Hiyaaa...!"

   Laras semakin cepat memacu kudanya begitu melewati batas Desa Caruban dengan Gunung Puring.

   Tapi belum juga jauh meninggalkan batas desa itu, mendadak kudanya meringkik keras, dan kaki depan-nya terangkat tinggi.

   Laras terkejut, tidak bisa lagi mengendalikan kudanya yang mendadak saja jadi liar.

   Tubuh yang ramping itu terlontar jauh, dan jatuh keras ke tanah.

   Kuda coklat belang putih itu juga jatuh menggelepar di tanah.

   Sebatang anak panah tertancap dalam di lehernya.

   Sebentar kuda itu menggelepar, kemudian diam tidak berkutik lagi.

   Laras berusaha bangkit berdiri, namun sebuah kaki besar menahan dadanya.

   Kedua bola mata wanita itu membeliak lebar begitu melihat seorang laki-laki tinggi besar, dan berwajah kasar berdiri sambil sebelah kaki menekan dadanya.

   "He he he.... Kau tidak bisa lepas dariku, Manis,"

   Laki-laki tinggi besar itu menyeringai lebar.

   "Oh...!"

   Laras berusaha melepaskan diri.

   Kaki laki-laki itu terangkat.

   Kesempatan ini dimanfaatkan Laras untuk beringsut kemudian bergegas bangkit.

   Tapi belum juga bisa berlari, muncul tiga orang laki-laki lain.

   Laras tahu kalau keempat orang inilah yang dulu pernah akan memperkosanya di tepi sungai.

   "He he he...!"

   Keempat laki-laki beringas itu terkekeh, dan bibirnya menyeringai lebar.

   Empat pasang mata liar menatap Laras, dan dipenuhi hawa nafsu yang meluap-luap.

   Laras jadi bergidik, dan hanya celingukan dengan wajah ketakutan.

   Empat orang laki-laki itu melangkah mendekati sambil tertawa terkekeh-kekeh.

   "Hup!"

   Salah seorang yang berada di belakang Laras, melompat langsung menerkam wanita itu.

   Laras memekik kaget, tapi terlambat.

   Tangan laki-laki itu sudah memeluk tubuhnya kuat-kuat.

   Laras berusaha memberontak, melepaskan diri dari pelukan laki-laki bertampang beringas itu Dia memekik, memaki, dan berteriak meminta tolong.

   Tapi suaranya tenggelam oleh derai tawa orang-orang itu.

   "Setan! Lepaskan aku...! Lepaskan, keparat!"

   Maki Laras terus memberontak.

   Tapi pelukan laki-laki itu demikian kuat.

   Sia-sia saja Laras memberontak, meskipun mengerahkan seluruh tenaganya.

   Sedangkan tiga orang lainnya sudah mendekat.

   Mereka memegangi tangan wanita itu, dan merentangkannya.

   Yang berada di depan berusaha memeluk dan menciumi wajah wanita itu.

   "Bajingan! Lepaskan...!"

   Pekik Laras. Plak! "Auh...!"

   Laras memekik keras ketika satu tamparan keras mendarat di pipinya. Wanita itu langsung terkulai lemas. Pelahan-lahan kesadarannya menghilang, kemudian benar-benar terkulai tidak sadarkan diri lagi.

   "Ha ha ha...!"

   Empat orang laki-laki itu tertawa terbahak-bahak.

   Mereka melepaskan cekalannya, sehingga tubuh Laras melorot jatuh menggeletak di tanah.

   Kain yang dikenakannya tersingkap, sehingga menampakkan sepasang paha yang putih gempal menggiurkan.

   Empat pasang mata merah menatap liar.

   Salah seorang langsung menubruk, dan buas sekali menciumi wajah serta leher Laras.

   Bret! Kasar sekali orang itu merenggut bagian dada baju Laras, sehingga terbuka lebar.

   Tiga orang lainnya langsung berhenti tertawa.

   Bola mata mereka membeliak lebar begitu melihat bentuk tubuh yang sangat indah terbalut kulit putih bersih tanpa noda.

   "Iblis...!"

   Tiba-tiba saja terdengar satu bentakan keras, membuat keempat laki-laki itu terkejut.

   Mereka serentak melompat berdiri, melepaskan Laras yang sudah polos tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.

   Bola mata mereka membeliak begitu melihat seorang pemuda yang wajahnya dipenuhi cambang dan jenggot kasar.

   "Laras...,"

   Pemuda yang wajahnya kelihatan kasar, dan bajunya robek di beberapa bagian itu mendesis begitu melihat sesosok tubuh wanita tergolek tanpa busana lagi.

   Ditatapnya empat orang laki-laki yang sudah menghunus goloknya.

   Satu suara geraman terdengar.

   Pemuda itu cepat melompat sambil mencabut sebilah golok besar yang salah satu bagian matanya bergerigi "Keparat..! Mampuslah kalian! Hiyaaa...!"

   Wut! Pemuda itu bagai kerasukan setan.

   Dikibaskan golok besarnya dengan kekuatan penuh.

   Trang! Trang! Dua kali benturan senjata terdengar, maka dua orang dari keempat laki-laki beringas itu memekik tertahan.

   Golok mereka terpental jauh ke udara.

   Dan belum lagi mereka bisa menyadari apa yang terjadi, senjata pemuda berwajah penuh brewok itu berkelebat cepat.

   Dua pekikan panjang terdengar saling sahut, kemudian disusul ambruknya dua sosok tubuh tinggi besar.

   Mereka menggelepar, dan lehernya koyak hampir putus.

   Dua orang lagi yang tersisa, jadi membeliak begitu melihat temannya tewas seketika hanya dalam satu gebrakan saja.

   Dan belum lagi bisa melakukan sesuatu, golok besar yang salah satu matanya bergerigi kembali berkelebat cepat bagaikan kilat.

   "Hiyaaa...!"

   "Aaakh...!"

   "Aaa...!"

   Dua orang laki-laki itu tidak mampu lagi berkelit.

   Golok besar bergerigi pemuda itu langsung membabat buntung leher mereka.

   Nyawa pun langsung hilang sebelum tubuh mereka menyentuh tanah.

   Pemuda berbaju kumal dan robek-robek itu, bergegas menghampiri Laras yang belum sadarkan diri.

   Dia tampak kebingungan, kemudian mengambil kain yang teronggok tidak jauh dari wanita itu.

   Meskipun banyak koyaknya, tapi kain itu cukup untuk menutupi tubuh Laras.

   "Laras...,"

   Pemuda itu berusaha menyadarkan Laras.

   Agak lama juga Laras tidak sadarkan diri, tapi kemudian pelahan-lahan mengerang, dan kelopak matanya terbuka.

   Dia memekik tertahan ketika melihat seraut wajah penuh brewok berada tidak jauh darinya.

   Laras langsung beringsut, dan membenahi kainnya.

   Wajahnya pucat pasi, dan tubuhnya gemetar.

   "Laras, ini aku.... Anggas,"

   Pemuda itu menyebut namanya.

   "Anggas...,"

   Pelan suara Laras.

   Wanita itu memandangi seluruh tubuh pemuda yang mengaku bernama Anggas.

   Sesaat kemudian Laras menubruk pemuda itu dan menangis.

   Anggas membiarkan saja wanita itu menangis dalam pelukaan-nya.

   Lama juga Laras menguras air matanya.

   Kemudian dilepaskan pelukan itu setelah bisa menguasai diri.

   "Mana anakmu?"

   Tanya Anggas setelah melihat Laras tenang kembali.

   "Ada,"

   Sahut Laras.

   "Bagaimana kau bisa begini?"

   "Ceritanya panjang, Laras,"

   Sahut Anggas. Dipandangi wanita di depannya, kemudian pandangannya terarah pada empat mayat yang bergelimpangan.

   "Sudah dua kali mereka berusaha memperkosaku,"

   Kata Laras memberitahu.

   "Siapa mereka?"

   Tanya Anggas.

   "Nanti kuceritakan. Yang penting, sekarang aku harus segera ke Lereng Gunung Puring,"

   Tegas Laras langsung teringat akan tujuannya semula meninggalkan rumah Ki Giri.

   "Gunung Puring...? Ada apa di sana?"

   Tanya Anggas seraya menatap ke arah Gunung Puring di depannya.

   "Nanti kuberitahu. Ayo cepatlah, sebelum terlam bat!"

   Sahut Laras.

   Anggas masih tidak mengerti, tapi tidak bisa lagi bertanya.

   Laras sudah melangkah cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

   Maka, Anggas pun bergegas melangkah juga, dan mensejajarkan dirinya di samping wanita itu.

   Rasa penasaran masih menghinggapi dirinya, sehingga tidak sabaran lagi bertanya.

   Laras terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada dirinya.

   Juga tentang kematian ayah mertua dan suaminya di tangan makhluk liar yang bangkit dari kuburnya.

   Wanita itu tidak lupa menceritakan pertemuannya dengan seorang pendekar muda, yang kemudian membawanya ke sebuah rumah di Desa Caruban.

   "Kau sendiri, bagaimana bisa sampai di sini?"

   Laras balik bertanya, meminta penjelasan setelah selesai menceritakan perjalanannya selama ini.

   "Kau tahu, bahwa seluruh anak buah Paman Selong habis dibantai pasukan kerajaan. Waktu itu aku berusaha bertahan, dan meminta Paman dan suamimu pergi menyelamatkan diri. Aku sendiri bergegas pergi, tapi pasukan tentara kerajaan itu terus mengejarku. Aku berhasil ditangkap, dan dijebloskan ke dalam penjara,"

   Tutur Anggas tentang perjalanannya.

   "Bagaimana kau bisa keluar dari penjara?"

   "Seorang prajurit penjaga berhasil kuperalat. Aku kemudian terus kabur setelah membebaskan seluruh tawanan kerajaan. Dalam suasana gaduh, aku berhasil lolos dan meninggalkan istana kerajaan itu. Karena yakin kau pasti selamat, maka aku terus mencarimu, Laras. Sayang sekali, Paman dan suamimu tewas. Aku menyesal...,"

   Agak pelan suara terakhir Anggas.

   "Sudahlah, Anggas. Semua bukan salahmu. Kau sudah berusaha keras menyelamatkan Ayah."

   "Aku menyesal belum bisa membalas budi Paman. Sejak kecil aku dirawat dan dibesarkan olehnya. Bahkan Kakang Pandu begitu baik, sehingga menjadikanku seperti adik kandungnya sendiri."

   Laras diam saja, dan terus saja melangkah cepat dibarengi Anggas yang berjalan di sampingnya.

   Dia tahu kalau Anggas sejak kecil sudah ikut Ki Selong, dan diangkat sebagai anak.

   Tidak jelas asal-usul pemuda ini.

   Yang Laras tahu, Anggas adalah adik angkat suaminya..

   Hanya itu saja.

   *** Sementara itu pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan Hantu Karang Bolong sudah sampai di Lereng Gunung Puring sebelah Selatan.

   Mereka sudah berada di sekitar reruntuhan batu-batuan yang menjadi makam Hantu Karang Bolong beberapa puluh tahun lalu.

   Menyadari berada kembali di tempat saat dirinya pernah dikalahkan, Hantu Karang Bolong jadi geram setengah mati.

   Dirasakan dirinya terjebak.

   "Bocah keparat...! Kau sengaja membawaku ke sini, heh!?"

   Geram Hantu Karang Bolong.

   "Di sini kau mati, di sini kau bangkit kembali. Maka di sini pula kau harus kembali ke alammu, Hantu Karang Bolong!"

   Kata Rangga sambil mengelakkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari lawan-nya.

   "Kurang ajar...! Kau harus mampus, bocah!"

   Bentak Hantu Karang Bolong sengit.

   Kemarahan orang yang seharusnya sudah mati itu, semakin memuncak tatkala setiap serangannya kini dapat dielakkan Pendekar Rajawali Sakti.

   Mereka sudah bertarung satu malam penuh tanpa beristirahat sedikit pun.

   Dan sekarang ini hari sudah demikian tinggi.

   Sekitar tempat pertarungan itu sudah porak poranda.

   Matahari bersinar terik seakan-akan hendak memanggang seluruh mayapada ini.

   "Hiyaaa...!"

   Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras, dan tangan-nya cepat menghentak ke depan.

   Satu desiran angin kuat menghempas ke arah Hantu Karang Bolong.

   Namun laki-laki muda yang bermata merah bagai mata binatang buas itu, cepat bisa berkelit dengan melompat! ke samping.

   Ledakan keras terdengar begitu pukulan aji 'Batara Naga' yang dipelajari Rangga dari Satria Naga Emas, menghantam puing-puing batu bekas kuburan Hantu Karang Bolong.

   Batu-batu itu terpental keras ke udara, sehingga debu mengepul tinggi bagai memayungi sekitar tempat itu dari sengatan sinar matahari.

   Tampak, bekas pukulan aji 'Batara Naga' itu sangat luar biasa.

   Tanah yang terkena hantaman berlubang besar dan sangat dalam.

   Cukup untuk mengubur seekor gajah dewasa yang sehat dan gemuk.

   Sementara itu Hantu Karang Bolong segera bangkit dan melompat cepat sambil menjulurkan kedua tangannya ke depan.

   Rangga yang pada saat itu belum siap, tidak bisa lagi menghindar.

   Segera diangkat tangannya untuk mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

   Cahaya biru langsung memancar membentuk lingkaran pada kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

   Dan pada saat itu pula, kedua tangan Hantu Karang Bolong sudah demikian dekat.

   "Yaaa...!"

   "Hiyaaa...!"

   Ledakan keras kembali terdengar begitu dua pasang telapak tangan beradu.

   Seketika itu juga, terlihat dua sosok tubuh yang saling bertarung mengerahkan ilmu kesaktian masing-masing, terpental balik ke belakang.

   Rangga sampai menghantam tiga batang pohon besar berturut-turut.

   Sedangkan Hantu Karang Bolong, berputaran dua kali di udara, sebelum kakinya mendarat manis di tanah.

   Lain halnya yang dialami Rangga.

   Tubuhnya tergeletak di antara reruntuhan pepohonan yang terlanda tubuhnya.

   Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas bangkit berdiri, namun terhuyung-huyung Dari sudut bibirnya mengucur darah segar.

   Tangan kirinya menekap dada yang terasa sesak, sukar untuk bernapas.

   "Ha ha ha...!"

   Hantu Karang Bolong tertawa terbahak-bahak.

   "Ugh...!"

   Sambil terhuyung-huyung, Rangga melangkah keluar dari reruntuhan pepohonan.

   "Kakang, awas...!"

   Tiba-tiba Ayu Rumala berteriak keras.

   Pada saat itu, Hantu Karang Bolong sudah melompat menerjang kembali dengan cepatnya.

   Sesaat Rangga terkesiap.

   Buru-buru dibanting tubuhnya ke samping, dan bergulingan beberapa kali.

   Terjangan Hantu Karang Bolong hanya mengenai sebongkah batu besar, hingga hancur berantakan! "Grrr...!"

   Hantu Karang Bolong menggerung geram.

   Dia cepat berbalik, dan kembali mengadakan penyerangan yang lebih dahsyat lagi.

   Rangga yang baru saja bisa bangkit berdiri, tidak mungkin lagi bisa menghindari serangan itu.

   Sedangkan Hantu Karang Bolong sudah cepat menyerang kembali.

   Pada saat yang begitu kritis, tiba-tiba saja Ki Bonang melemparkan sebuah benda berwarna kuning keemasan yang panjangnya kira-kira satu hasta! Benda bulat berwarna kuning emas itu melayang ke arah Rangga.

   Tepat pada saat itu, Hantu Karang Bolong yang tengah menghantamkan pukulannya kearah dada lawan, mendadak menarik pulang serangan-nya.

   Dia langsung melompat mundur.

   "Hap!"

   Tap! Rangga setengah melompat, menyongsong benda kuning yang dilemparkan Ki Bonang padanya.

   Benda itu seperti tongkat, dan kedua ujungnya berbentuk mata tombak.

   Kini senjata itu sudah berada di dalam genggaman Pendekar Rajawali Sakti.

   Sementara itu, wajah Hantu Karang Bolong menjadi pucat pasi melihat benda kuning keemasan telah berada di tangan lawannya.

   "Gunakan senjata itu, Rangga!"

   Teriak Ki Bonang memberitahu.

   Rangga melirik pada laki-laki tua Kepala Desa Caruban itu.

   Ditimang-timangnya benda keemasan berbentuk tongkat itu di tangannya.

   Benda ini terasa begitu ringan, seperti tidak memiliki daya berat sama sekali.

   Warnanya kuning keemasan berkilat tertimpa cahaya matahari.

   "Keparat..!"

   Geram Hantu Karang Bolong.

   "Hm...,"

   Kening Rangga berkerut menatap lawannya.

   Agak sedikit heran juga Pendekar Rajawali Sakti ketika wajah Hantu Karang Bolong berubah pucat saat benda berwarna kuning keemasan berada di tangan-nya.

   Rangga memutar-mutar benda itu, dan langsung ia terkejut! Ternyata putaran yang sedikit saja menimbulkan deru angin bagai topan.

   Dan ini membuat Hantu Karang Bolong menutupi muka dengan kedua tangannya.

   "Cepat, Kakang! Musnahkan dia, jangan sampai hari gelap!"

   Teriak Ayu Kumala keras.

   Hantu Karang Bolong menggeram hebat mendengar suara gadis itu.

   Matanya tajam menatap Ayu Kumala.

   Tapi begitu Rangga menggerakkan tangan yang menggenggam besi kuning bermata dua itu, Hantu Karang Bolong langsung menutupi mukanya dengan kedua tangan menyilang.

   "Apa pun nama benda ini, tampaknya kau takut menghadapinya, Hantu Karang Bolong,"

   Kata Rangga seraya mengulas senyuman.

   "Bocah keparat..! Ayo, hadapi aku! Kita bertarung sampai mati!"

   Tantang Hantu Karang Bolong geram.

   "Hm.", rasanya kau sudah mati, Hantu Karang Bolong,"

   Ejek Rangga.

   "Kadal! Kurobek mulutmu, keparat..!"

   Amarah Hantu Karang Bolong memuncak saat mendengar ejekan Pendekar Rajawali Sakti.

   Sambil menggeram dahsyat bagai binatang buas, laki-laki berwajah tampan dan memiliki sorot mata tajam itu langsung melompat menyerang.

   Namun kali ini Rangga seperti mendapat tenaga baru setelah menggenggam sebentuk senjata itu.

   Dia sendiri tidak tahu, untuk apa senjata ini diberikan Ki Bonang padanya.

   "Hait..!"

   Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri menghindari pukulan lurus Hantu Karang Bolong.

   Dan dengan cepat dikibaskan senjata di tangannya ke arah perut.

   Hantu Karang Bolong melenting ke atas, dan tubuhnya setengah berputar menghindari tebasan itu.

   Kemudian cepat sekali kakinya melayang menyampok ke arah pundak Pendekar Rajawali Sakti.

   "Akh!"

   Rangga memekik tertahan begitu pundaknya kena tendangan lawannya.

   Pendekar Rajawali Sakti itu sedikit terdorong kesamping, namun cepat memanfaatkan tenaga tendangan itu untuk melesat membuat jarak.

   Dan begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat melompat tinggi ke angkasa, lalu menukik tajam.

   Kedua kakinya bergerak cepat mencecar kepala.

   Rangga mengulangi kembali jurusnya yang pernah diandalkan, yakni jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

   Hantu Karang Bolong menganggap remeh jurus itu.

   Dengan ringan sekali dielakkan serangan dari jurus itu, bahkan kini mengirimkan satu pukulan keras begitu kaki Rangga mendarat di tanah.

   Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga menyampokkan senjata kuning keemasannya ke arah tangan lawan.

   "Eh!"

   Hantu Karang Bolong terperanjat setengah mati.

   Buru-buru ditarik pulang pukulannya.

   Tapi sabetan Rangga yang sudah direncanakan sebelumnya memang hanya sebuah pancingan.

   Dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' sebagai pancingan, Hantu Karang Bolong memekik keras begitu tangan-nya terhantam senjata kuning itu.

   Hantu Karang Bolong melompat mundur ke belakang, sambil memegangi tangannya yang terhantam senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

   Tangan yang terhantam Besi Kuning itu, terlihat hitam membusuk.

   Kedua bola mata Hantu Karang Bolong membeliak lebar melihat sebelah tangannya membusuk seperti mayat! Lain halnya dengan Rangga yang begitu gembira setelah melihat hasilnya.

   Kini baru diketahui kegunaan senjata yang diberikan Ki Bonang padanya.

   Rupanya senjata yang pernah digunakan Pendekar Bayangan Dewa untuk mengalahkan Hantu Karang Bolong beberapa puluh tahun lalu, benar-benar dahsyat *** "Tamatlah riwayatmu sekarang, Hantu Karang Bolong!"

   Desis Rangga.

   "Kurang ajar! Monyet buduk...!"

   Hantu Karang Bolong menyumpah serapah menahan kemarahan yang memuncak. Sebelah tangannya sudah tidak bisa lagi digunakan. Tangan kanan itu cepat membusuk, dan beberapa bagian dagingnya mulai mengelupas.

   "Tusukkan saja ke arah jantung, Rangga!"

   Teriak Ki Bonang memberitahu.

   "Tutup mulutmu, tua bangka keparat!"

   Bentak Hantu Karang Bolong gusar.

   "Terlambat, Hantu Karang Bolong. Aku sudah tahu!"

   Ejek Rangga.

   "Setan...!"

   Hantu Karang Bolong tidak bisa lagi menahan amarahnya.

   Sambil berteriak keras melengking tinggi, diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti.

   Namun terjang an itu dengan mudah dapat dielakkan Rangga.

   Bahkan hampir saja dadanya tertusuk senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.

   Tapi satu tendangan keras, tidak bisa dielakkan Hantu Karang Bolong.

   Tubuhnya terjungkal mencium tanah, namun mampu cepat bangkit kembali.

   Bahkan kini langsung menerjang kembali disertai kemarahan yang semakin memuncak.

   Memang tidak mudah bagi Rangga untuk menancapkan senjata kuning itu ke dada lawannya.

   Meskipun tinggal sebelah tangan yang masih berfungsi, Hantu Karang Bolong masih cukup tangguh dan gesit menghadapi Pendekar Rajawali Sakti.

   Sedangkan saat ini, Rangga sudah kelihatan lelah karena semalaman penuh bertarung.

   Dan sekarang, matahari sudah mulai condong ke arah Barat, ini berarti waktunya tinggal sedikit lagi untuk mengalahkan Hantu Karang Bolong.

   Makhluk satu ini akan berlipat ganda kekuatannya jika malam datang.

   Cahaya bulan akan melipatgandakan kekuatannya.

   Jelas tidak ada harapan lagi buat Rangga untuk mengalahkannya, meskipun memegang Besi Kuning.

   Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, Rangga mendesak Hantu Karang Bolong.

   Jurus-jurus andalannya dikeluarkan, disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

   Beberapa kali ujung senjatanya hampir menembus dada Hantu Karang Bolong, namun selalu bisa dielakkan.

   "Awas kepalamu, Hantu Karang Bolong...! Tiba-tiba saja Ayu Kumala melompat sambil berteriak nyaring. Pedangnya terhunus, berkelebat mengarah kepala Hantu Karang Bolong. Hal ini tentu saja membuat Ki Giri maupun Ki Bonang terkejut setengah mati.

   "Ayu...!"

   Teriak Ki Bonang khawatir.

   Dan pada saat itu, Hantu Karang Bolong mengibaskan tangannya ke arah Ayu Kumala.

   Akibatnya secara tak sadar pertahanannya terbuka sedikit.

   Kesempatan yang hanya sedikit ini, tidak disia-siakan Rangga.

   Dengan cepat dihunjamkan ujung senjata ke dada lawannya itu.

   "Aaa...!"

   Hantu Karang Bolong menjerit melengking tinggi.

   Dan pada saat yang bersamaan, tangan kirinya berhasil menyampok tubuh Ayu Kumala.

   Gadis itu memekik tertahan, dan tubuhnya terpental keras menghantam pohon.

   Hampir dalam waktu yang bersamaan pula, Rangga melontarkan satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna ke kepala lawannya.

   Untuk kedua kalinya, Hantu Karang Bolong menjerit melengking tinggi.

   Kepalanya retak, mengucurkan darah kehitaman berbau busuk.

   Hantu Karang Bolong meraung keras, dan tubuhnya pelahan-lahan membusuk.

   "Satu lagi! Htyaaa...!"

   Teriak Rangga keras.

   Seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil melontarkan satu tendangan keras.

   Hantu Karang Bolong terpental, dan langsung jatuh ke dalam lubang yang terbuat akibat pukulan Pendekar Rajawali Sakti.

   Rangga berdiri tegak di bibir lubang itu.

   Pandangannya tertuju langsung pada tubuh yang berubah menjadi sosok mayat membusuk, menggeliat-geliat sambil meraung-raung bagai binatang buas.

   Pelahan-lahan tubuh itu mencair, dan tidak bergerak-gerak lagi.

   Kening Rangga agak berkerut begitu melihat ada dua bentuk senjata berwarna kuning tertancap pada bagian dada.

   Yang satu, jelas senjata yang digunakan Rangga dari Ki Bonang Sedangkan sebuah lagi berukuran hampir sama, tapi hanya berbentuk warangka dari senjata itu.

   Rangga mencoba untuk bisa mengerti, tapi untuk saat ini otaknya belum bisa diajak berpikir.

   *** "Ayu...,"

   Desah Ki Bonang seraya membantu anaknya berdiri.

   Ayu Kumala meringis, lalu bangkit berdiri dari reruntuhan pohon yang terlanda tubuhnya akibat terkibas tangan kiri si Hantu Karang Bolong.

   Sementara itu Rangga melangkah pelarian menghampiri Ki Giri yang tetap berdiri pada tempatnya.

   Enam orang pemuda bersenjata golok, berada di belakang laki-laki tua itu.

   Ki Giri memerintahkan enam orang anak muda itu untuk merimbuni lubang yang berisi mayat Hantu Karang Bolong dengan batu cadas yang banyak terdapat di sekitar tempat ini.

   Tanpa membantah sedikit pun, enam orang pemuda dari Desa Caruban itu melaksanakan perintah Ki Giri.

   "Hhh...! Untung belum terlambat,"

   Desah Ki Giri seperti untuk dirinya sendiri.

   "Apa yang belum terlambat, Ki?"

   Tanya Rangga tiba-tiba.

   "Besi Kuning itu,"

   Sahut Ki Giri.

   Sementara itu Ki Bonang menghampiri sambil memapah anaknya.

   Ayu Kumala masih meringis setiap kali melangkah.

   Seluruh tubuhnya terasa remuk.

   Ki Bonang membantu anaknya duduk di bawah pohon beringin yang besar dan rindang Demikian pula dengan Rangga dan Ki Giri yang juga duduk di bawah pohon itu.

   Sementara enam pemuda masih menimbuni batu-batuan ke dalam lubang kuburan Hantu Karang Bolong.

   "Kulihat ada senjata lain yang bentuknya hampir sama di dalam tubuh iblis itu,"

   Kata Rangga bernada bertanya.

   "Itu adalah warangka dari senjata Besi Kuning,"

   Jelas Ki Bonang.

   "O...!"

   Rangga meminta penjelasan lebih lanjut.

   "Senjata itu adalah milik Pendekar Bayangan Dewa. Sebenarnya ketika Hantu Karang Bolong bertarung melawan Pendekar Bayangan Dewa, senjata bersama warangkanya itu telah tertanam di dalam tubuhnya. Tapi sebelum mati, Hantu Karang Bolong berhasil mencabut senjata Besi Kuning, dan tidak sempat mengeluarkan warangkanya. Kalau hanya salah satu yang tertanam dalam tubuhnya, maka beberapa puluh tahun kemudian dia akan bangkit kembali. Itulah sebabnya kenapa dia bisa bangkit kembali. Tapi kalau keduanya berada dalam tubuhnya, dia akan mati selamanya. Asalkan kedua senjata itu tetap berada bersama mayatnya di dalam kubur,"

   Jelas Ki Bonang.

   "Dan senjata Besi Kuning bisa diperoleh Ki Bonang tiga tahun lalu, melalui pertapaan di Puncak Gunung Puring ini,"

   Sambung Ki Giri.

   "Pertapaan...?"

   Tanya Rangga.

   "Pendekar Bayangan Dewa menghabiskan waktunya di dalam sebuah kuil di Puncak Gunung Puring. Selama itu dia bertapa sambil menunggu kalau-kalau Hantu Karang Bolong bangkit kembali,"

   Ki Bonang menjelaskan.

   "Dan sampai ajalnya, iblis itu tidak juga bangkit, sampai Ki Bonang mendapatkan senjata itu,"

   Sambung Ki Giri lagi.

   "Aku mengerti sekarang! Jadi, Pendekar Bayangan Dewa sengaja memiliki senjata itu hanya untuk menghadapi Hantu Karang Bolong...?"

   Tebak Rangga mulai mengerti.

   "Benar! Dan itu juga diperoleh melalui pertapaan yang panjang dan hampir merenggut nyawanya,' sahut Ki Bonang.

   "Nampaknya Ki Bonang tahu persis,"

   Kata Ranga.

   "Itu sudah menjadi legenda bagi rakyat Desa Caruban, Rangga. Hampir semua orang, di desa ini mengetahui hal itu. Jadi sudah bukan rahasia umum lagi,"

   Jelas Ki Bonang lagi.

   "Hm...,"

   Rangga bergumam dan kepalanya terangguk-angguk.

   Desa Caruban memang tidak berapa jauh dari tempat ini.

   Tidak heran kalau semua penduduknya mengetahui tentang hal ini.

   Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh ketika telinganya mendengar suara langkah kaki.

   Tidak berapa lama setelah Rangga berdiri, Laras datang bersama seorang laki-laki yang pakaiannya bagaikan seorang gembel.

   Laras dan lelaki muda itu bergegas menghampiri mereka yang sedang duduk di bawah pohon beringin.

   Sementara itu enam pemuda Desa Caruban sudah menyelesaikan pekerjaannya.

   "Laras, mengapa kau ke sini?"

   Tanya Ki Giri seraya bangkit berdiri.

   "Maaf, Ki Aku cemas, soalnya...."

   "Ah! Sudahlah, Laras. Semuanya sudah berakhir,"

   Potong Ki Giri cepat.

   "Berakhir...?!"

   Laras kelihatan bingung.

   "Benar, Kak Laras. Hantu Karang Bolong sudah musnah,"

   Celetuk Ayu Kumala yang sudah bisa menormalkan keadaan dirinya kembali.

   "Oh...,"

   Laras mendesah lega.

   "Laras...,"

   Ki Giri menatap pada laki-laki yang berada di samping wanita itu.

   "Oh, iya! Ki, ini adik suamiku. Namanya Anggas. Kebetulan kami bertemu di jalan,"

   Kata Laras memperkenalkan.

   Ki Giri mengangguk ramah, kemudian dibalas oleh Anggas yang juga mengangguk pada Ki Bonang.

   Tapi Ki Giri malah menatap agak tajam pada Laras yang hanya memakai kain sobek-sobek, sehingga beberapa bagian tubuhnya menyembul.

   Laras jadi kikuk juga.

   "Nanti kujelaskan, Ki,"

   Kata Laras buru-buru.

   "Ada sedikit kesulitan dihadapi Kak Laras,"

   Kata Anggas membantu bicara.

   "Kau tidak apa-apa?"

   Tanya Ki Giri. Ada nada kecemasan dalam suaranya.

   "Tidak, Ki,"

   Sahut Laras.

   "Syukurlah."

   "Sudah hampir malam, sebaiknya kita kembali saja,"

   Kata Ki Bonang mengingatkan.

   "Hey...! Di mana...?!"

   Tiba-tiba Ki Giri teringat pada Rangga.

   Semua orang yang ada di tempat itu baru sadar kalau Rangga sudah tidak ada lagi.

   Mereka celingukan mencari-cari, kemudian saling pandang.

   Seakan-akan saling menanyakan satu sama lainnya.

   Tapi mereka sama-sama mengangkat-bahu.

   Tidak-ada yang melihat kapan dan ke arah mana Pendekar Rajawali Sakti itu pergi.

   "Hhh...! Dua kali aku tidak sempat berbuat apa-apa padanya,"

   Desah Ki Bonang bernada mengeluh! "Seorang pendekar sejati tidak memerlukan balas jasa, Ki,"

   Tegas Ki Giri.

   "Ya, aku tahu. Tapi paling tidak ucapan terima kasih harus ada."

   "Ah, sudahlah. Sebaiknya segera saja kita kembali. Mudah-mudahan saja dia kembali lagi pada kita, Ki Giri menengahi. Memang tidak ada gunanya lagi mengharapkan Rangga muncul. Mereka segera bergerak meninggalkan tempat itu. Tapi Ayu Kumala masih juga berdiri tanpa melangkah sedikit pun. Raut wajahnya begitu kosong, sukar untuk diartikan.

   "Ayu...!"

   Panggil Ki Bonang "Oh! Ya, Ayah...!"

   Ayu Kumala bergegas melangkah menyusul yang lainnya. Sementara Laras diam-diam memperhatikan, dan mensejajarkan langkahnya di samping gadis itu. Mereka berjalan pelahan-lahan paling belakang.

   "Kau mencintainya, Ayu?"

   Tebak Laras langsung Ayu Kumala tidak langsung menjawab, tapi malah menatap lurus ke bola mata Laras.

   Pertanyaan itu tidak mungkin dijawab saat ini juga.

   Dia sendiri tidak tahu, apakah mencintainya atau tidak.

   Yang jelas, saat ini hatinya begitu kosong.

   Seperti ada sesuatu yang hilang terbawa pergi bersama Pendekar Rajawali Sakti.

   "Untuk bisa hidup bersama seorang pendekar, harus juga bisa mengerti jiwa pendekar. Maaf, bukannya ingin mencampuri kehidupan pribadimu. Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya tentang kehidupan seorang pendekar,"

   Kata Laras lagi.

   "Tampaknya Kak Laras tahu banyak tentang pendekar,"

   Kata Ayu Kumala.

   "Sedikit. Tapi, paling tidak aku pernah hidup bersama seseorang yang.... Ya..., bisa dikatakan selalu bepergian mengembara."

   "Menarik sekali. Boleh aku tahu lebih banyak, Kak?"

   Ayu Kumala begitu berminat.

   "Tentu saja."

   "Terima kasih, Kak."

   "Tapi dengan satu syarat."

   "Apa?"

   "Jangan terlalu berharap untuk bisa hidup bahagia bersama seorang pendekar."

   "Ah, Kakak...."

   Seketika wajah Ayu Kumala jadi bersemu merah jambu.

   Dia menunduk dan terus berjalan pelahan-lahan.

   Sementara di dalam hatinya tetap berharap bisa berjumpa kembali dengan Pendekar Rajawali Sakti.

   Bagaimanapun juga, diakui kalau ada sekeping hatinya yang tercuri oleh Pendekar tampan itu.

   Tapi..., benar juga kata Kak Laras, jangan terlalu berharap bisa hidup berbahagia bersama seorang pendekar.

   SELESAI Pembuat Ebook .

   Scan buku ke djvu .

   Abu Keisel Convert .

   Abu Keisel Editor .

   Abu Leisel Ebook oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com/

   

   

   

Pendekar Perisai Naga Hantu Lereng Lawu Dendam Empu Bharada Karya SD Djatilaksana Pendekar Slebor Lembah Kutukan

Cari Blog Ini