Huru Hara Di Watu Kambang 2
Pendekar Rajawali Sakti Huru Hara Di Watu Kambang Bagian 2
Ujar Rangga agak mendesah.
"Apa yang kau lakukan tadi, Kakang?"
Tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Memperlambat aliran darah dan mengurangi rasa sakitnya. Tapi itu hanya untuk sementara saja. Mungkin sampai setengah hari,"
Jelas Rangga.
"Sudah cukup, Kakang. Ayo kita segera berangkat...!"
Seru Pandan Wangi cepat.
Gadis itu bergegas menghampiri kudanya, lalu melompat naik.
Sebentar kemudian, dituntunnya kuda Pendekar Rajawali Sakti.
Saat itu Rangga sudah memondong tubuh Paman Legiwa, dan langsung melompat naik ke punggung kudanya.
Kemudian dengan cepat kuda hitamnya digebah.
"Hiyaaa!"
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga kedua ekor kuda itu berlari cepat menuju timur.
Rangga sengaja berada di belakang Pandan Wangi yang mengetahui tempat tabib yang dimaksudkan.
Mereka harus bergerak cepat agar laki-laki tua ini bisa tertolong.
Sehingga kedua pendekar muda itu memacu cepat kudanya, tidak mempedulikan kalau jalan yang dilalui sangat lebat oleh pepohonan dan semak belukar.
Mereka terus menggebah cepat kudanya.
*** Rangga duduk mencangkung di sebuah balai-balai bambu, di beranda depan sebuah pondok kecil.
Seluruh dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan atapnya dari daun-daun rumbia yang dirangkai rapat.
Sementara di depan pondok itu terlihat Pandan Wangi tengah bermain-main bersama seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh tahun.
Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti itu menjulurkan kepalanya ke arah pintu pondok yang tertutup rapat.
Pemuda berbaju rompi putih itu bangkit berdiri ketika pintu pondok terbuka.
Dari dalam muncul seorang laki-laki tua mengenakan jubah lusuh yang warnanya sudah memudar.
Seluruh rambutnya sudah memutih semua.
Janggutnya yang putih, terjuntai panjang sampai melewati lehernya.
"Bagaimana, Ki...?"
Tanya Rangga langsung.
"Keadaannya parah sekali. Hhh...! Untung belum terlambat dibawa ke sini,"
Sahut laki-laki tua itu.
Dari Pandan Wangi, Rangga tahu kalau laki-laki tua ini bernama Ki Raksapati.
Dia seorang tabib yang sangat pandai, di samping seorang pertapa yang berilmu tinggi sekali.
Laki-laki tua itu menghenyakkan tubuhnya di balai-balai bambu yang tadi diduduki Rangga.
Sementara Pendekar Rajawali Sakti itu pun duduk kembali di samping Ki Raksapati.
"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Anak Muda,"
Ungkap Ki Raksapati dengan suara agak berat "Apa, Ki?"
"Tahukah kau, siapa yang melukainya?"
Tanya Ki Raksapati dengan tatapan agak tajam, tertuju langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berada di sampingnya.
"Kami menemukannya sudah demikian, Ki,"
Sahut Rangga.
"Hm.... Terlalu berani kalau dia sampai berurusan dengan Dewi Asmara Maut...,"
Suara Ki Raksapati seperti bergumam.
"Dewi Asmara Maut...? Siapa dia, Ki?"
Tanya Rangga.
Ki Raksapati belum menjawab, namun Pandan Wangi sudah datang menghampiri sambil menggendong bocah perempuan yang tadi bermain-main dengannya.
Anak kecil itu langsung berpindah ke pangkuan Ki Raksapati.
Kelihatannya dia begitu manja sekali.
Sementara Rangga memberikan senyuman padanya.
"Bagaimana keadaannya, Kakang? Apa masih bisa disembuhkan?"
Tanya Pandan Wangi seraya duduk di samping Rangga.
"Mudah-mudahan,"
Sahut Rangga, langsung menoleh ke arah Pandan Wangi.
"Kemungkinan untuk sembuh memang ada. Tapi, aku tidak bisa menjamin akan pulih seperti semula,"
Ki Raksapati mengakui secara jujur.
"Maksudmu?"
Pandan Wangi ingin memastikan.
"Ada kemungkinan dia lumpuh, atau kehilangan kekuatannya sama sekali,"
Sahut Ki Raksapati.
"Begitu parah...?!"
Pandan Wangi terkejut.
"Ya...! Itulah akibat pukulan 'Tarian Bunga Berbisa'. Memang tidak langsung mematikan, tapi akibatnya sangat menyakitkan,"
Jelas Ki Raksapati. Pandan Wangi memandang laki-laki tua itu dalam-dalam, kemudian beralih pada Rangga yang berada di sampingnya. Sedangkan yang dipandang hanya diam saja. Kembali si Kipas Maut itu menatap Ki Raksapati.
"Siapa yang melakukan itu, Ki?"
Tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Jurus 'Tarian Bunga Berbisa' hanya dimiliki Dewi Asmara Maut. Tapi aku tidak yakin kalau perempuan itu berkeliaran sampai ke daerah ini,"
Sahut Ki Raksapati, agak ragu-ragu nada suaranya.
Kembali Pandan Wangi menatap Rangga.
Dia tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti membutuhkan suasana tenang dan damai.
Tapi tampaknya kali ini tidak ada kesempatan lagi untuk menikmati ketenangan yang diinginkannya.
Pandan Wangi kasihan juga melihat kekasihnya yang tampaknya lelah sekali.
Hampir setiap hari Pendekar Rajawali Sakti itu harus bergelut dengan segala macam kekerasan dan bergelimang darah.
Dan itu memang sudah risiko seorang pendekar.
Memang, bagaimanapun digdayanya seorang pendekar, tetap saja tidak bisa melupakan kodratnya sebagai manusia biasa.
Yang pasti, dirinya akan mengalami kelelahan dan kejenuhan.
Dan ini bisa hilang dengan beristirahat dalam satu atau dua hari.
Hanya saja, memang tidak mudah bagi seorang pendekar seperti Rangga untuk bisa tetap diam begitu saja, sementara satu persoalan menghadang di depannya.
"Pesanku pada kalian, jika ingin berhadapan dengan Dewi Asmara Maut, berhati-hatilah. Perempuan itu sangat licik. Terutama untukmu, Rangga. Kegemarannya pada anak-anak muda yang tampan dan gagah sangat besar. Yang pasti, korbannya tidak akan dilepaskan begitu saja dari cengkeramannya,"
Jelas Ki Raksapati.
"Pasti perempuan genit itu...,"
Desis Pandan Wangi langsung bisa menangkap kata-kata Ki Raksapati.
"Ah! Apakah kalian sudah pernah bertemu?"
Tanya Ki Raksapati agak terkejut mendengar desisan Pandan Wangi.
"Kalau yang kau maksudkan perempuan cantik berbaju merah muda, kami memang pernah bentrok. Aku benci melihat tingkahnya yang genit,"
Nada suara Pandan Wangi terdengar sengit. Gadis itu sempat melirik Pendekar Rajawali Sakti yang hanya diam saja mendengarkan.
"Ah...., sangat berbahaya bagi kalian. Terutama untukmu, Rangga. Mungkin kalian masih beruntung bisa terlepas darinya. Tapi aku yakin, itu hanya sementara saja. Yang jelas, dia pasti akan mencari kalian berdua,"
Kata Ki Raksapati agak mendesah.
"Itu lebih baik, Ki. Bia r kubuat rusak wajahnya. Sembarangan saja mau...,"
Pandan Wangi tidak melanjutkan.
Hampir saja si Kipas Maut itu membongkar sendiri hubungannya dengan Rangga.
Untung dia masih bisa mengekang diri.
Bahkan Rangga sudah mendelik pada gadis itu.
Dan pada saat mereka tengah terdiam, mendadak saja dikejutkan oleh suara tawa mengikik yang menggema.
"Hik hik hik...."
Rangga dan Pandan Wangi langsung melompat keluar dari beranda depan pondok kecil itu.
Gerakan mereka sungguh cepat dan ringan, dan tahu-tahu sudah berada di tengah-tengah halaman pondok.
Suara tawa mengikik itu masih juga terdengar menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin.
Sementara Ki Raksapati tetap duduk di tempatnya sambil memeluk anak perempuan kecil yang ketakutan mendengar suara tawa itu.
"Hei, Pengecut...! Keluar kau...!"
Bentak Pandan Wangi lantang.
Bentakan si Kipas Maut itu seketika menghentikan tawa mengikik itu.
Dan tiba-tiba saja sebuah bayangan merah muda berkelebat cepat ke arah kedua pendekar muda itu.
Dan kini di depan mereka sudah berdiri seorang wanita cantik mengenakan baju agak ketat berwarna merah muda.
Usianya memang sudah tidak bisa dikatakan muda lagi.
Namun wajah dan bentuk tubuhnya benar-benar membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya.
"Sulit sekali mencarimu, Bocah Bagus,"
Ujar wanita itu seraya mengerling genit pada Rangga.
"Kakang Rangga tidak akan melayanimu, Perempuan Jalang!"
Sentak Pandan Wangi ketus.
"Ou...! Rupanya adik manis ini masih galak juga...,"
Wanita itu benar-benar meremehkan Pandan Wangi.
"Setan. Aku bukan anak kecil lagi!"
Bentak Pandan Wangi langsung meluap amarahnya.
"Sabar, Pandan...,"
Rangga mencoba menyabarkan si Kipas Maut itu.
"Huh!"
Dengus Pandan Wangi.
Rangga melangkah maju dua tindak mendekati wanita berbaju merah muda dan cantik itu.
Sementara, wanita itu semakin kelihatan genit saat Rangga memberi senyuman padanya.
Hal ini membuat Pandan Wangi semakin geram saja.
Meskipun gadis itu sangat percaya kalau Rangga seorang laki-laki yang tidak mudah terpikat, tapi Dewi Asmara Maut cantik sekali.
Laki-laki mana pun pasti akan terpikat padanya.
Dan Pendekar Rajawali Sakti juga manusia biasa, yang tidak mungkin luput dari nafsu kelaki-lakiannya.
"Kaukah yang berjuluk Dewi Asmara Maut?"
Tanya Rangga dengan suara lembut.
"Ah..., rupanya kau bisa cepat mengetahui tentang diriku, Bocah Bagus,"
Sahut wanita itu diiringi senyuman menawan dan kerlingan mata menggoda.
"Tentu saja. Siapa pun akan mencari kabar tentang wanita cantik yang pernah dijumpainya,"
Kata Rangga lagi.
"Kakang...!"
Sentak Pandan Wangi terkejut mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.
"Gadismu marah lagi tuh."
"Biarkan saja,"
Sahut Rangga.
"Keparat..!"
Geram Pandan Wangi langsung memuncak amarahnya.
Si Kipas Maut itu tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.
Sambil berteriak keras, gadis itu menerjang wanita cantik berbaju merah muda yang tak lain Dewi Asmara Maut.
Senjata andalannya yang berupa sebuah kipas baja putih, langsung dicabut.
"Hiyaaa...!"
Bet! Tiba-tiba Rangga mengebutkan tangannya, dan langsung menyambar perut Pandan Wangi. Kibasan itu membuat Pandan Wangi begitu terkejut, dan tidak bisa lagi mengelak "Akh...!"
Pandan Wangi terpekik agak tertahan.
Gadis itu terpental balik ke belakang.
Namun setelah melakukan putaran dua kali, kakinya mendarat manis sekali di tanah.
Pandan Wangi menatap Rangga dengan sinar mata tidak percaya.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri di samping Dewi Asmara Maut.
"Kakang.., kau...,"
Tercekat suara Pandan Wangi.
Benar-benar tidak bisa dipercayai, apa yang dilakukan Rangga padanya tadi.
Pendekar Rajawali Sakti itu telah berubah dalam waktu singkat! Dan kini...
Pandan Wangi jadi gusar, marah, dan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.
Jelas sekali kalau Rangga benar-benar menyukai wanita itu.
Bahkan membiarkan wanita cantik itu melingkarkan tangan ke pinggangnya.
Rangga dipeluk manja.
Wanita itu benar-benar menunjukkan kemesraan secara liar.
"Setan...!"
Desis Pandan Wangi menggeram.
Ledakan api cemburunya seketika bergolak dalam dada.
Hatinya marah, cemburu, kesal, juga tidak percaya.
Yang jelas, berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dadanya.
Napasnya tersengal, wajahnya memerah bagai besi terbakar.
Pandan Wangi tak mampu lagi menahan diri.
Kembali dia melompat cepat penuh kemarahan menggelegak dalam dada.
"Hiyaaat..!"
Bet! Bet! Pandan Wangi langsung memberi serangan beruntun dengan kebutan kipas ke arah Dewi Asmara Maut.
Namun manis sekali, wanita cantik berbaju merah muda itu menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun.
Bahkan licik sekali, menjadikan Rangga sebagai tameng untuk dirinya.
Maka beberapa kali Pandan Wangi terpaksa menarik cepat serangannya, karena tidak ingin melukai Pendekar Rajawali Sakti.
Yang membuat si Kipas Maut ini keheranan, Rangga sama sekali tidak bertindak apa-apa.
Bahkan hanya diam saja dijadikan benteng hidup oleh Dewi Asmara Maut.
Hal ini membuat Pandan Wangi jadi semakin geram.
Timbul niatnya untuk menyerang Rangga Namun....
"Hentikan, Pandan...."
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Pandan Wangi, sampai-sampai langsung melompat mundur beberapa tindak.
Suara itu jelas sekali terdengar di telinganya.
Dan suara itu dikenalinya betul.
Jelas itu adalah suara Rangga.
Tapi, sama sekali tidak terlihat Rangga berbicara tadi "Jangan berhenti, Pandan.
Terus serang aku,"
Kembali terdengar bisikan halus di telinga Pandan Wangi.
Tentu saja gadis itu kebingungan.
Tapi begitu Rangga mengerdipkan matanya, Pandan Wangi hampir tertawa dibuatnya.
Namun, dirinya masih bisa dikendalikan.
Dan dengan cepat, si Kipas Maut melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Kini Pandan Wangi bisa mengetahui, kalau sikap Rangga yang demikian ternyata tidaklah bersungguh-sungguh.
Meskipun tidak mengetahui rencana sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi kerdipan mata tadi sudah memberikan suatu isyarat yang sekaligus membuat hati gadis itu jadi tenang.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi terus menyerang Pendekar Rajawali Sakti, dan menganggapnya sebagai latihan saja.
Meskipun menyerang sungguh-sungguh, tapi gadis itu yakin kalau tidak akan mungkin mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti.
Untuk membuatnya terdesak saja, tidak akan bisa dilakukan.
Menyadari hal ini, gadis itu tidak tanggung-tanggung lagi memberi serangan.
Tentu saja kejadian ini membuat Dewi Asmara Maut tertawa kesenangan.
Itu berarti tidak perlu lagi bersusah-payah memisahkan Rangga dari gadis itu.
"Biarkan aku pergi, Pandan. Percayalah! Aku tetap mencintaimu,"
Kembali Pandan Wangi mendengar bisikan halus. Sambil terus menyerang, si Kipas Maut menganggukkan kepalanya. Dan ini dilakukan dalam waktu yang tepat, sehingga tidak terlihat sama sekali.
"Bagus. Sekarang, biarkan aku memukulmu. Kau boleh mengikutiku nanti. Jangan khawatir, aku akan menunjukkan jalan padamu,"
Kembali Pandan Wangi mendengar bisikan halus.
Dan sebelum gadis itu menyetujui, mendadak saja Rangga sudah memberi satu pukulan ke dada gadis itu.
Tentu saja Pandan Wangi terkejut, tapi tidak bisa berkelit lagi.
Dan memang, pukulan itu telak menghantam dadanya.
Namun Pandan Wangi jadi terkejut bukan main.
Ternyata dia tidak merasakan apa-apa setelah terkena pukulan, meskipun tubuhnya terpental deras ke belakang.
Pandan Wangi jatuh bergulingan di tanah beberapa kali, dan langsung diam menggeletak tak bergerak-gerak lagi.
Sementara Dewi Asmara Maut tertawa terbahak-bahak kesenangan.
Dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dan memberi senyuman manis pada wanita itu.
"Ayo, Bocah Bagus. Kita tinggalkan tempat ini,"
Ajak Dewi Asmara Maut.
Rangga kembali tersenyum dan mengangguk.
Mereka kemudian berjalan meninggalkan tempat itu.
Sementara Ki Raksapati bergegas menghampiri Pandan Wangi yang tergeletak di tanah.
Saat itu Rangga dan Dewi Asmara Maut sudah jauh masuk ke dalam hutan.
Mereka berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja sudah tidak terlihat bayangannya.
"Pandan...,"
Agak tersedak suara Ki Raksapati.
"Aku tidak apa-apa, Ki,"
Jelas Pandan Wangi seraya membuka matanya.
"Oh..!"
Ki Raksapati mendesah lega.
Pandan Wangi bangkit berdiri.
Debu yang melekat di bajunya dikibaskan.
Gadis itu menyelipkan kembali kipas andalannya ke balik ikat pinggang.
Sementara Ki Raksapati memandangi, namun sinar matanya penuh diliputi berbagai macam tanda tanya atas kejadian yang baru saja disaksikannya.
"Kau benar tidak apa-apa, Pandan...?"
Tanya Ki Raksapati.
"Tidak. Tadi Kakang Rangga hanya berpura-pura saja. Pukulannya tidak terasa apa-apa, kok,"
Sahut Pandan Wangi seraya tersenyum.
"Tapi...,"
Ki Raksapati tidak melanjutkan, lalu matanya memandang ke arah kepergian Rangga dan Dewi Asmara Maut tadi.
"Aku pergi dulu, Ki...,"
Pamit Pandan Wangi yang saat itu mendengar bisikan halus di telinganya.
Dan sebelum Ki Raksapati bisa menjawab, gadis itu sudah melesat cepat bagai kilat.
Kini tinggal laki-laki tua itu yang terbengong tidak mengerti.
Kepalanya digeleng-gelengkan sambil menghembuskan napas panjang.
"Hhh..., anak-anak muda sekarang...." *** Rangga duduk di tepi pembaringan besar di dalam sebuah ruangan yang cukup luas dan tertata indah. Seluruh dindingnya dari belahan papan tebal berwarna coklat muda agak kemerahan, persis seperti buah mahoni. Sedangkan lantainya beralaskan permadani tebal yang warnanya sama dengan dinding. Ruangan ini seperti kamar seorang putri bangsawan. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menyangka kalau di Puncak Gunung Jangkar ini ada sebuah bangunan megah seperti istana. Dan sekarang dirinya berada dalam salah satu ruangan bangunan itu. Juga tidak dimengerti, mengapa Dewi Asmara Maut membawanya ke bangunan yang katanya sebagai istananya ini. Hanya satu yang membuat Pendekar Rajawali Sakti itu merasa heran, sejak berada di tempat ini, tidak satu pun terlihat ada orang lain di sekitar bangunan yang cukup besar dan megah ini.
"Kakang...."
Rangga tersentak ketika mendengar suara halus dari arah jendela yang tertutup rapat.
Bergegas dia bangkit dari pembaringan itu, kemudian menghampiri jendela.
Pelahan dan hati-hati Pendekar Rajawali Sakti itu membuka jendela kamar ini.
Begitu terbuka, menyembul seraut wajah cantik.
"Pandan.... Bagaimana kau bisa tahu aku ada di kamar ini?"
Tanya Rangga.
"Nanti aku jelaskan. Cepat keluar dari sini,"
Sahut Pandan Wangi yang berada di luar jendela.
Rangga bergegas melompat ke luar.
Gerakannya ringan sekali, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah berumput.
Pandan Wangi bergegas menutup kembali jendela itu, kemudian menarik tangan Rangga dan membawanya pergi menjauh.
Mereka berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Sepasang pendekar itu baru berhenti setelah cukup jauh dari bangunan besar dan megah itu.
Rangga memutar tubuhnya, memandang ke arah bangunan besar bagai istana yang masih terlihat jelas, meskipun jaraknya sudah begitu jauh.
Sedangkan Pandan Wangi berdiri di sampingnya.
"Seharusnya kau tidak datang secepat ini, Pandan,"
Ungkap Rangga.
"Mengapa? Menyesal...?"
Agak ketus suara Pandan Wangi "Aku belum sempat melakukan apa-apa."
"Jangan harap aku membiarkanmu bercumbu dengan perempuan itu!"
Dengus Pandan Wangi.
Rangga menghembuskan napas panjang.
Memang sukar jika menyelesaikan satu persoalan yang dicampur perasaan cemburu.
Jelas sekali kalau Pandan Wangi cemburu pada Dewi Asmara Maut.
Dan ini ditunjukkannya secara jelas, tanpa ditutup-tutupi.
Tapi Rangga bisa memaklumi.
Memang, Dewi Asmara Maut sangat cantik, meskipun usianya sudah tidak muda lagi.
Lekuk-lekuk tubuhnya sungguh menggairahkan.
Rangga sendiri mengakui kalau wanita itu memang cantik dan menggairahkan sekali.
Tapi, ada sesuatu yang selalu menjadi pegangan kuat Pendekar Rajawali Sakti itu.
Dia tidak bisa bermain cinta dengan wanita mana pun juga.
Terlebih lagi sampai melangkah jauh.
Belum sampai perbuatan kotor itu terjadi, pasti sudah diperingatkan oleh Rajawali Putih yang selalu mengawasi, meskipun dari tempat yang sangat jauh.
"Ada berapa orang di dalam sana, Kakang?"
Tanya Pandan Wangi.
"Tidak ada siapa-siapa,"
Sahut Rangga.
"Kau tidak melihat seorang pun di sana?"
Pandan Wangi tidak percaya.
Rangga hanya menggelengkan kepalanya saja, seraya menatap gadis itu dalam-dalam.
Tatapan itu seakan-akan hendak meyakinkan kalau memang tidak ada seorang pun di dalam bangunan berbentuk istana itu.
Tapi rupanya Pandan Wangi tidak juga mau percaya.
"Lalu, apa kau juga melihat orang lain di sana, Pandan?"
Tanya Rangga.
"Ya, seorang gadis,"
Sahut Pandan Wangi.
"Siapa?"
"Mana aku tahu...,"
Sahut Pandan Wangi seraya mengangkat pundaknya.
Kembali mereka terdiam dengan pandangan lurus ke arah bangunan itu.
Entah apa yang ada di dalam pikiran masing-masing.
Dan tampaknya perhatian Rangga mulai tertumpah pada masalah ini.
Bahkan keinginannya untuk bisa menikmati ketenangan dalam satu atau dua hari saja seperti terlupakan.
"Mungkin sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini, Pandan,"
Ajak Rangga tiba-tiba.
"Heh...?!"
Pandan Wangi tersentak kaget.
"Rasanya tidak ada gunanya berada di tempat ini. Kita tidak tahu, untuk apa dan ada urusan apa berada di sini,"
Kata Rangga lagi.
"Kau ini aneh, Kakang. Apakah kau sudah lupa perkataan Ki Raksapati...? Selama perempuan itu masih hidup, akan semakin banyak korban yang jatuh. Bisa-bisa semua anak muda di dunia ini habis olehnya,"
Tegas Pandan Wangi.
"Kau ingin membunuhnya?"
Tanya Rangga.
"Harus,"
Sahut Pandan Wangi mantap.
"Dengan alasan apa?"
Kali ini Pandan Wangi tidak menjawab.
Memang mereka berdua tidak ada persoalan apa-apa terhadap Dewi Asmara Maut.
Maka, tidak ada alasan untuk membunuh wanita itu.
Kalau toh hanya karena persoalan cemburu, rasanya riskan sekali.
Dan itu tidak perlu sampai terjadi pertumpahan darah.
"Merunduk, Pandan...!"
Desis Rangga tiba-tiba.
Pandan Wangi segera merundukkan kepalanya ketika melihat Dewi Asmara Maut keluar dari bangunan istana itu.
Meskipun jarak mereka terlalu jauh, tapi bisa melihat jelas.
Memang, puncak gunung ini merupakan padang rumput luas, sehingga bisa memandang jauh ke segala arah secara leluasa.
Jelas sekali kalau wanita berbaju merah muda itu sedang mencari sesuatu.
Dan sudah bisa ditebak kalau Ranggalah yang dicari, karena kabur dari kama rnya.
Dewi Asmara Maut tampak kesal.
Tak lama kemudian, dari dalam bangunan itu keluar seorang gadis berbaju kuning, diikuti seorang laki-laki tua berjubah hitam.
Pada tangan kanannya terdapat sebatang tongkat yang bagian ujungnya berbentuk kepala seekor musang.
Tak lama kemudian, dari dalam bangunan itu bermunculan orang-orang berpakaian segala bentuk, corak, dan warna.
Melihat dari penampilan dan senjata yang tersandang, jelas kalau mereka semua dari rimba persilatan.
"Heran..., dari mana mereka berdatangan...?"
Gumam Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Entah apa yang mereka bicarakan, terlalu jauh untuk bisa didengar.
Bisa saja Rangga mempergunakan Ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Tapi dikhawatirkan getarannya akan tertangkap.
Bisa-bisa malah menimbulkan kesulitan.
Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Hal ini bisa terlihat dari sorot mata dan penampilannya.
"Ayo, Pandan. Kita pergi,"
Ajak Rangga ketika orang-orang itu kembali masuk ke dalam bangunan megah bagai istana.
"Tunggu dulu, Kakang,"
Cegah Pandan Wangi.
"Ada apa lagi?"
"Aku jadi ingin tahu, apa yang mereka kerjakan di sini,"
Sahut Pandan Wangi.
"Jangan edan-edanan, Pandan...!"
Sentak Rangga dengan suara pelan.
Pandan Wangi tidak menanggapi.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa mendesah dan menggelengkan kepalanya saja.
Memang sudah menjadi watak Pandan Wangi yang selalu saja ingin tahu, setiap kali tertarik pada suatu kejadian.
Dan kali ini Rangga benar-benar khawatir jika rasa keingintahuan kekasihnya itu begitu menggebu.
Sudah bisa diduga kalau orang-orang yang berada di dalam bangunan istana itu berasal dari rimba persilatan golongan hitam.
Tentang apa yang mereka lakukan di sana, sebenarnya bukan urusannya.
Tapi....
"Heh! Pandan...!"
Rangga tersentak ketika tiba-tiba Pandan Wangi melesat cepat mendekati bangunan besar dan megah itu.
Namun gadis itu sudah tidak bisa dicegah lagi, karena sudah berlari jauh dan semakin mendekati bangunan megah itu.
Rangga tak punya pilihan lain lagi.
Maka dia cepat melompat dan berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.
Tidak heran kalau sebelum Pandan Wangi mencapai bangunan istana itu, dia sudah berhasil mengejarnya.
Rangga mengurangi kecepatan larinya, dan mensejajarkan diri di samping gadis itu.
"Kau gila, Pandan!"
Sentak Rangga.
Pandan Wangi hanya diam saja, tidak mempedulikan gerutuan pemuda berbaju rompi putih itu.
Gadis itu terus berlari, dan melompat cepat bagai kilat begitu dekat bangunan itu.
Dan kini, tahu-tahu si Kipas Maut itu sudah merapat di dinding.
Secepat kilat, Rangga mengikuti.
Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di samping Pandan Wangi.
Mereka merapatkan punggung ke dinding yang agak terlindung oleh tanaman rambat.
"Tunggulah aku di sini, Kakang,"
Pinta Panda Wangi.
"Mau ke mana?"
Tanya Rangga berbisik.
"Aku akan menyelidiki ke dalam."
Rangga tidak sempat lagi mencegah, karena tubuh Pandan Wangi sudah melenting ke atas.
Dan dengan ringan sekali, gadis itu hinggap di atap bangunan ini.
Sementara Rangga hanya bisa memandangi sambil menarik napas dalam-dalam.
Dan sebelum bisa berbuat sesuatu, Pandan Wangi sudah menghilang entah ke mana.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Nekat..!"
Dengus Rangga dalam hati.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke atap, tapi tidak lagi melihat Pandan Wangi lagi di sana.
Pandangannya kini tertumbuk pada sebuah jendela.
Di balik jendela itulah dirinya pernah berada, di sebuah kamar indah dan tertata apik.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?"
Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu terdiam berpikir keras, kemudian melompat cepat dan ringan sekali mendekati jendela kamar itu.
Sebentar telinganya ditempelkan ke daun jendela itu, lalu mendadak saja dia tersentak.
Seketika wajahnya jadi berubah pucat, lalu kembali berubah memerah.
"Laknat..!"
Desis Rangga dalam hati.
Pendekar Rajawali Sakti itu mendongak, lalu tubuhnya melenting ke atas.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, pemuda berbaju rompi putih itu hinggap di atap, tepat di atas kamar itu.
Pelahan Rangga membuka atap yang terbuat dari belahan kayu yang dihaluskan.
Hanya sedikit, tapi cukup untuk melihat ke dalam kamar itu.
Seketika dadanya berdebar keras.
Bahkan seluruh aliran darahnya seperti berhenti mengalir, saat menyaksikan dua manusia berlainan jenis tengah berpacu dalam gelombang lautan birahi di atas ranjang.
Desah napas dan rintihan lirih tertahan terdengar jelas menguak telinga.
Rangga yang tak sanggup la gi menyaksikan adegan itu segera melompat menjauhi atap kamar.
Sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di bagian atap lain, di dekat cerobong asap.
"Hm...,"
Gumam Rangga pelahan.
Tapi belum juga niatnya untuk masuk melalui cerobong asap terlaksana, entah dari mana mendadak saja pundaknya terasa ditepuk dari belakang.
Dan belum juga kepala Pendekar Rajawali Sakti bisa menoleh, seketika satu hantaman keras mendarat di punggungnya.
Rangga sadar betul kalau hatinya diliputi ketegangan, sehingga tak menyadari adanya bahaya.
Deghk! "Akh...!"
Rangga memekik tertahan.
Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh tersungkur, dan bergulingan di atap yang miring.
Namun dia cepat melesat bangkit berdiri.
Dan pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat menerjang ke arahnya.
Slap! "Uts...!" *** Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, maka bayangan itu lewat sedikit di sampingnya.
Seketika Rangga mengibaskan tangannya menyampok bayangan hitam itu.
Namun tanpa diduga sama sekali, bayangan hitam itu mampu menghindar dengan manis sekali.
Bahkan cepat berputar, dan kembali menyerang.
"Yeaaah...!"
Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Rajawali Sakti kecuali menghentakkan cepat kedua tangan ke depan sambil memutar tubuhnya menghadap bayangan hitam itu. Tak pelak lagi, tangan mereka berbenturan keras.
"Akh...!"
Terdengar jeritan keras, tepat saat bayangan hitam itu terpental.
Sedangkan Rangga sendiri sempat terdorong sekitar tiga langkah ke belakang.
Seketika Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat mengejar bayangan hitam itu, sebelum jatuh terguling ke tanah.
"Yeaaah...!"
Degkh! Kembali terdengar jeritan keras melengking tinggi begitu pukulan yang dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti menghantam bayangan hitam itu.
Deras sekali sosok tubuh berbaju hitam itu terpental jatuh ke tanah.
Hanya sebentar tubuhnya mampu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi.
Sementara Rangga berdiri tegak di pinggir atap.
Pandangannya lurus pada sosok tubuh berbaju hitam yang tergeletak tak bernyawa di atas tanah berumput.
Dari mulut, hidung, dan telinga orang itu mengucurkan darah.
Tampak dadanya melesak ke dalam dengan tulang-tulang hancur terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna tadi.
Pertarungan yang singkat itu rupanya membuat keributan juga.
Dan sebelum Rangga bisa melakukan sesuatu, tampak dari dalam bangunan besar ini bermunculan orang-orang rimba persilatan.
Mereka tampak terkejut begitu melihat sosok tubuh berbaju hitam tergeletak di dekat jendela.
"Itu dia di atas...!"
Seorang laki-laki bertubuh tegap mengenakan pakaian kulit binatang menunjuk ke atap bangunan besar bagai istana ini.
Maka sekitar delapan orang yang ada di situ seketika menengadahkan kepalanya ke arah Pendekar Rajawali Sakti yang masih berdiri di sana.
"Sial...!"
Dengus Rangga.
Tidak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk menghindar, karena delapan orang itu sudah berlompatan ke atap bangunan ini.
Gerakan mereka yang ringan dan cepat, sudah menandakan kalau rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi.
"Hup!"
Rangga bergegas melompat mundur beberapa tindak.
Saat itu delapan orang rimba persilatan itu sudah berada di atas atap dan langsung bergerak mengepung.
Seketika senjata mereka dimain-mainkan lincah sekali.
Deru angin terdengar dari delapan penjuru.
Pelahan-lahan Rangga memutar tubuh mengamati delapan orang yang sudah mengepungnya.
"Hhh! Terpaksa...!"
Desah Rangga berat di dalam hati.
Memang Rangga tidak punya pilihan lain lagi selain menghadapi delapan orang ini.
Padahal mereka tidak pernah saling bertemu, apalagi mengenal.
Tapi tampaknya kedelapan orang ini tidak bersahabat.
Buktinya sebelum Rangga sempat membuka mulut untuk bertanya, dua orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya sudah berlompatan menyerang.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
"Hap!"
Kaki Rangga segera bergeser sedikit ke belakang, dan manis sekali tubuhnya diliukkan menghindari serangan dari dua arah itu.
Namun sebelum tubuhnya sempat ditarik kembali, serangan berikut datang dari depan.
Bahkan disusul dari arah belakang.
Rangga benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bicara lagi.
Sedangkan untuk menarik napas sebentar saja, rasanya sulit sekali.
Delapan orang ini menyerang secara bergantian dan cepat sekali dari delapan arah.
Serangan yang dilakukan delapan orang ini sungguh cepat dan berbahaya.
Setiap pukulan, tusukan, dan tebasan senjata mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti kerepotan juga menghadapinya.
Malah beberapa kali terpaksa mengumpat, karena hampir saja terkena pukulan atau tebasan senjata lawan-lawannya.
Namun sampai sejauh ini Pendekar Rajawali Sakti itu masih bisa mengimbangi, meskipun tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang.
"Aaakh...!"
Mendadak saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi.
Tampak seorang yang mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti terjungkal dengan kepala hampir terpisah.
Darah seketika muncrat keluar dari lubang yang menganga di leher.
Bukan hanya tujuh orang saja yang terkejut.
Bahkan Rangga pun tersentak kaget, karena tadi tidak merasa memberi serangan.
Dan sebelum keterkejutan mereka lenyap, mendadak seorang lagi menjerit keras dan langsung terjungkal deras turun dari atap ini.
Pada saat itu, Rangga melihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat.
Dan tak lama kemudian, kembali terdengar dua jeritan panjang melengking tinggi.
Dalam waktu sebentar saja, sudah empat orang terjungkal tak bernyawa lagi.
"Hiyaaa...!"
Merasa ada kesempatan untuk bisa selamat dari keroyokan ini, maka cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat.
Tubuhnya berputaran cepat menghajar dua orang sekaligus yang berada di dekatnya.
Saat itu Rangga mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkatan yang terakhir, sehingga kedua kepalan tangannya memerah membara bagai besi terbakar.
"Akh!"
"Aaa...!"
Dua kali jeritan menyayat terdengar saling susul.
Kemudian disambung oleh pekikan-pekikan panjang melengking tinggi.
Dalam waktu singkat saja, tinggal dua orang yang masih hidup.
Dan tampaknya mereka sudah gentar melihat enam orang sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
Namun sebelum mereka mengambil tindakan, Rangga sudah memberi satu pukulan keras lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
Pada saat yang sama, bayangan putih itu menerjang yang seorang lagi.
Sesaat kemudian kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi dan menyayat.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, kedua orang itu terjungkal deras ke bawah.
Keras sekali tubuh mereka terbanting ke tanah berumput halus.
Hanya sebentar mereka mampu menggeliat, sesaat kemudian sudah diam tak bernyawa lagi.
Rangga memutar tubuhnya, tepat ketika bayangan putih itu mendarat tidak jauh dari tempat berdirinya.
Kini di depan Rangga berdiri seorang pemuda berwajah tampan.
Bajunya berwarna putih agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap, padat, dan berotot.
"Maaf, aku terpaksa ikut campur,"
Ucap pemuda itu, sopan sekali.
"Terima kasih. Kau datang tepat pada waktunya,"
Ucap Rangga merendah.
Padahal, Pendekar Rajawali Sakti itu masih mampu menghadapi delapan orang itu sendirian.
Hanya saja dia tidak ingin jumawa.
Yang jelas, dengan adanya pemuda itu pekerjaannya semakin ringan, dan tidak perlu menguras tenaga terlalu banyak.
"Kalau boleh kutahu, siapakah Kisanak ini?"
Tanya Rangga, sopan dan lembut sekali.
"Aku Wikalpa, dan kau sendiri?"
Pemuda itu kini balik bertanya.
"Rangga,"
Sahut Rangga memperkenalkan namanya.
"Hm..., sepertinya aku pernah mendengar namamu. Jika kau pernah singgah di Kadipaten...."
"Ah..., ya! Benar sekali. Pasti kau Raden Wikalpa, putra tunggal Adipati Baka Witara,"
Potong Rangga cepat Pemuda berbaju putih ketat itu hanya tersenyum saja.
Dia memang putra tunggal Adipati Baka Witara.
Semua orang di seluruh Kadipaten Watu Kambang selalu memanggilnya dengan sebutan raden.
Suatu sebutan yang hanya diberikan untuk bangsawan atau orang berdarah biru.
Dan sebutan itu biasanya berlaku untuk putra keluarga istana, atau putra pembesar dan bangsawan.
Tapi sebenarnya Raden Wikalpa tidak menyukai sebutan itu.
Anggapannya dengan adanya sebutan itu justru akan menimbulkan jurang pemisah saja.
Namun dia tidak bisa melarang dan memberontak.
Sebutan itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu hingga sekarang ini.
"Kudengar, kau menghilang dari istana kadipaten. Boleh aku tahu, kenapa kau berada di tempat ini?"
Tanya Rangga kembali.
"Cukup panjang ceritanya. Tapi yang jelas, sebagian besar rencanaku sudah berjalan mulus,"
Sahut Raden Wikalpa.
Rangga mengangkat bahunya sedikit.
Dia tahu kalau Raden Wikalpa merasa keberatan atas pertanyaannya.
Namun keberatan itu hanya ditunjukkan lewat sikap dan kata-kata yang halus sekali, sehingga tidak sampai menyinggung perasaan lawan bicaranya.
"Raden, sebaiknya kita menyingkir dulu dari sini,"
Ajak Rangga yang merasa tempat ini kurang cocok bagi mereka untuk saling membagi pengalaman selama ini.
"Baiklah. Ayo!" *** Rangga tercenung memandangi bangunan megah yang berada cukup jauh di hadapannya. Sementara Raden Wikalpa sendiri hanya diam saja setelah menceritakan kalau Dewi Lanjani sengaja dilepaskan. Memang, calon adipati ini ingin mengetahui maksud sebenarnya, mengapa Dewi Lanjani hendak membunuhnya. Kemudian pemuda itu terus membuntuti Dewi Lanjani sampai ke puncak gunung ini, tapi menemui jalan buntu. Memang tidak mudah untuk menyelidiki lebih jauh lagi. Apalagi untuk masuk ke dalam bangunan istana itu. Bangunan itu memang dijaga ketat, meskipun kelihatannya tidak ada seorang pun yang menghuni bangunan megah itu. Dan ini sudah dibuktikan sendiri oleh Rangga tadi, yang mencoba masuk ke dalam sana. Belum juga keinginannya sempat terlaksana, serangan sudah keburu datang.
"Temanku ada di dalam sana,"
Jelas Rangga pelan seperti untuk dirinya sendiri.
"Sama. Calon ketua pengawalku juga ada di dalam sana,"
Sahut Raden Wikalpa. Rangga menatap pemuda yang berdiri di sampingnya.
"Aku melihat seorang wanita membawa Jaka Kumbara, calon ketua pengawalku. Aku sendiri tidak tahu, mengapa dia sampai bisa tidak berdaya begitu,"
Jelas Raden Wikalpa.
Rangga masih terdiam.
Bisa ditebak, kalau wanita yang dimaksudkan pemuda ini pasti Dewi Asmara Maut.
Seorang wanita yang memiliki ilmu untuk melemahkan dan memperdaya laki.
Gairah laki-laki akan bangkit tanpa disadarinya.
Hal ini pernah terjadi pada Pendekar Rajawali Sakti itu, meskipun masih mampu melawannya.
Dan Rangga sempat berada di dalam istana itu, atas keinginannya sendiri untuk mengikuti Dewi Asmara Maut.
Kalau memang Raden Wikalpa selalu mengamati bangunan megah itu, tentu juga melihat Rangga masuk ke dalam bangunan itu.
"Kau melihatku pernah masuk ke sana?"
Tanya Rangga ingin tahu.
"Ya! Tampaknya kau akrab sekali dengan wanita itu,"
Sahut Raden Wikalpa tanpa berpaling sedikit pun.
"Semula aku hanya ingin menyelidiki saja. Tapi belum sempat melakukan sesuatu, Pandan Wangi sudah keburu datang. Dan sekarang dia berada di dalam sana,"
Rangga mencoba menjelaskan.
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengatakan kalau di dalam kamar itu hampir saja ia terlena dan tidak sadar oleh rangsangan yang diberikan Dewi Asmara Maut.
Untung saja ada seseorang yang memanggil wanita itu.
Entah untuk keperluan apa.
Yang jelas, gadis yang memanggil, baru diketahui Rangga setelah Raden Wikalpa menceritakan tentang dirinya.
Pada saat itu, dari dalam bangunan megah terlihat sebuah bayangan biru berkelebat cepat keluar.
Rangga sedikit tersentak begitu mengetahui kalau bayangan yang berkelebat itu ternyata Pandan Wangi.
Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu sempat bergerak untuk menjemput, mendadak saja dari dalam bangunan istana itu juga berkelebat sebuah bayangan lagi yang langsung menghadang Pandan Wangi.
"Celaka...!"
Desis Rangga begitu melihat Pandan Wangi sudah diserang seorang laki-laki tua, berjubah kuning gading.
Belum berapa lama mereka bertarung, dari dalam bangunan istana itu bermunculan orang-orang bersenjata beraneka ragam bentuknya.
Mereka berlarian cepat ke arah pertarungan itu.
Tentu saja Rangga tidak bisa lagi menahan diri ketika Pandan Wangi mulai dikeroyok tidak kurang dari sepuluh orang.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah halaman depan bangunan istana.
Cukup jauh juga jarak antara Rangga dengan tempat itu.
Dan setibanya di sana, pemuda berbaju rompi putih itu langsung masuk dalam arena pertarungan.
Segera dikerahkannya jurus-jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang dahsyat dan sukar dicari tandingannya.
Kedatangan Pendekar Rajawali Sakti membuat Pandan Wangi semakin bersemangat lagi.
Bahkan gadis itu menggunakan dua senjata sekaligus.
Kipas Maut di tangan kiri, dan Pedang Naga Geni berada di tangan kanannya.
Dengan kedua senjata maut itu, Pandan Wangi seperti sosok malaikat pencabut nyawa.
Sementara Rangga masih menggunakan tangan kosong.
Namun begitu, seorang lawan pun tidak berhasil mendesaknya, karena jurus-jurus yang dimainkan Pendekar Rajawali Sakti itu sangat cepat dan dahsyat luar biasa.
"Modar...!"
Seru Rangga tiba-tiba.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara, lalu meluruk deras mempergunakan Jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.
Kedua kakinya bergerak cepat mengarah kepada salah seorang pengeroyoknya.
Serangan yang cepat dan dahsyat itu tak bisa dihindari lagi.
Sehingga....
Prak! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking seketika terdengar menyayat.
Tampak orang yang menggunakan senjata rantai, berputaran sambil meraung-raung memegangi kepalanya.
Dan sebelum orang itu sempat menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah memberi satu pukulan keras lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Yeaaah...!"
Des! "Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan melengking tinggi.
Seketika orang itu terjungkal keras menghantam tanah setelah terlontar sejauh tiga batang tombak.
Hanya sebentar dia mampu menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
Empat orang yang juga mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main.
Karena gerakan Rangga begitu cepat luar biasa, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa.
Dan sebelum mereka bisa menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali bergerak.
Tubuhnya melayang berputaran dengan tangan terentang lebar ke samping.
Kali ini jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dikerahkan.
Tak lama kemudian, terdengar jeritan melengking dan menyayat saling sambut.
Rangga yang sudah menguasai dengan sempurna jurus-jurus 'Rajawali Sakti', memang sukar ditandingi.
Terlebih lagi oleh empat orang yang hanya memiliki kepandaian tanggung.
Tak heran kalau mereka tidak sempat lagi menghindari serangan cepat dan dahsyat itu.
Empat orang pengeroyok itu kini sudah menggelepar dengan dada koyak mengucurkan darah.
Dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', kedua tangan Rangga memang seperti mata pedang saja.
Tubuh manusia bisa terbelah bila terkena tebasannya! Pada saat itu, Pandan Wangi juga sudah berhasil menjatuhkan tiga orang lawannya.
Dan kini tinggal dua orang lagi yang tampaknya lebih tangguh dari yang lain.
Terutama sekali laki-laki tua berbaju kuning gading yang memegang tongkat berkeluk tak beraturan itu.
"Serahkan satu padaku, Pandan...!"
Seru Rangga.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat.
Langsung diserangnya laki-laki tua berbaju kuning gading.
Terjangan yang cepat dan tidak terduga itu membuat laki-laki tua berbaju kuning gading jadi kelabakan juga.
Semampunya tongkatnya dikibaskan mencoba menghalau serangan Rangga yang cepat itu.
Namun serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti itu memang dahsyat sekali.
Tak heran dalam beberapa gebrakan saja, laki-laki tua berbaju kuning gading itu sudah terpekik terkena pukulan keras di dada.
"Akh...!"
"Nih, satu lagi... Hih! Yeaaah...!"
Teriak Rangga keras. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melontarkan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Serangan yang datangnya sangat cepat dan mendadak itu tidak bisa lagi dihindari. Degkh! "Aaa...!"
Lki-laki tua itu menjerit keras.
Tubuhnya yang kurus terbungkus baju kuning gading yang longgar, terpental deras menghantam sebatang pohon.
Dan hanya sebentar saja tubuhnya mampu menggeliat, kemudian tak bergerak-gerak lagi.
Pada saat yang sama, Pandan Wangi juga sudah menyelesaikan pertarungannya, setelah menusukkan pedangnya ke perut lawan.
Gadis itu langsung melompat begitu melihat lawannya telah tewas.
Segera dihampirinya Rangga yang tampaknya seperti sedang berpikir sesuatu.
Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti sangat heran juga, sebab dedengkot penghuni bangunan istana itu tidak muncul.
Padahal pasti suara pertarungan tadi terdengar sampai ke dalam.
Timbullah berbagai dugaan dalam benak Rangga.
Mungkinkah Dewi Asmara Maut tengah mengatur siasat untuk menjeratnya kembali? Atau mungkin sengaja mengorbankan anak buahnya untuk memenuhi hasratnya lebih dulu? Lalu, ke mana anak buah Dewi Asmara Maut yang lain.
Apakah hanya sekian jumlahnya...? *** "Kakang,"
Panggil Pandan Wangi.
"Ada apa?"
Tanya Rangga.
"Benarkah dia putra adipati?"
Pandan Wangi balik bertanya.
"Tidak kuragukan lagi,"
Sahut Rangga "Kalau begitu, harus kusampaikan padanya kalau orang-orang di dalam sana sedang merencanakan untuk menyerang Kadipaten Watu Kambang,"
Ungkap Pandan Wangi memberitahu hasil penyelidikannya di dalam bangunan megah itu. Rangga mengerutkan keningnya.
"Semula aku menduga kalau Dewi Asmara Maut yang memimpin. Tapi ternyata masih ada lagi, Kakang,"
Lanjut Pandan Wangi.
"Siapa?"
Tanya Rangga.
"Raja Musang Hitam."
Kembali kening Rangga berkerut.
Dia memang pernah mendengar julukan itu.
Raja Musang Hitam adalah tokoh beraliran sesat yang sangat tinggi keandalannya.
Selama ini dia selalu merajai rimba persilatan bagian timur.
Dan Kadipaten Watu Kambang ini memang termasuk wilayah timur.
Tapi apa maksud Raja Musang Hitam hendak menyerang Kadipaten Watu Kambang? Pertanyaan ini tiba-tiba saja timbul dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu.
Satu pertanyaan yang belum bisa terjawab saat ini.
Rangga kemudian bergegas menghampiri Raden Wikalpa, diikuti Pandan Wangi.
Pendekar Rajawali Sakti itu menyuruh Pandan Wangi untuk mengatakan apa saja yang diketahuinya selama berada di dalam bangunan megah bagai istana itu.
Maka dengan gamblang, si Kipas Maut itu menceritakan semua yang diketahuinya.
"Raja Musang Hitam...,"
Desis Raden Wikalpa setengah bergumam.
"Kau mengenalnya, Raden?"
Tanya Rangga.
"Tidak. Tapi aku pernah mendengarnya,"
Sahut Raden Wikalpa.
Untuk beberapa saat mereka terdiam dengan pikiran masing-masing.
Sebentar Raden Wikalpa memandang Pandan Wangi, dan sebentar kemudian beralih ke arah bangunan megah di depannya.
Beberapa kali napasnya ditarik panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat.
"Hm, aku ingat. Ayahku pernah bertarung dengannya ketika sama-sama masih muda. Dan aku sendiri belum lahir waktu itu. Memang, pernah kudengar kalau Raja Musang Hitam beberapa kali sering mencoba menyerang Kadipaten Watu Kambang, tapi tidak pernah berhasil. Hhh.... Rupanya kali ini dia ingin mengulangnya lagi,"
Ujar Raden Wikalpa, pelan suaranya.
"Kau tahu persoalannya?"
Tanya Rangga.
"Kalau tidak salah, karena memperebutkan ibuku,"
Sahut Raden Wikalpa.
"Dendam lama...,"
Desah Rangga dalam hati.
Tapi kini bukan lagi persoalan pribadi antara si Raja Musang Hitam dengan Adipati Baka Witara.
Persoalan itu sudah melibatkan banyak orang dari kalangan persilatan.
Dan kalau mereka sampai benar-benar menyerang, sudah pasti prajurit-prajurit kadipaten tidak akan sanggup menghadapinya.
Rangga sudah beberapa kali berhadapan, sehingga sudah bisa mengukur kekuatannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu juga sudah mengetahui tentang kekuatan prajurit-prajurit kadipaten.
Yang pasti, tidak akan jauh berbeda dengan prajurit-prajurit kadipaten lainnya.
Mereka biasanya hanya mengerti ilmu olah kanuragan yang sedikit saja.
Jangankan prajurit kadipaten, prajurit yang kuat sekalipun tidak akan sanggup menghadapi orang-orang persilatan yang rata-rata berkemampuan tinggi.
"Aku harus bertindak lebih dahulu sebelum mereka menyengsarakan rakyat,"
Tekad Raden Wikalpa mantap.
"Jumlah mereka cukup banyak, Raden,"
Pandan Wangi memberitahu.
"Berapa orang?"
Tanya Raden Wikalpa.
"Mungkin dua puluh, tiga puluh, atau mungkin juga lebih dari lima puluh orang. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, jumlah mereka cukup untuk menghancurkan sebuah kadipaten hanya dalam waktu satu hari saja."
"Lalu, mengapa waktu kita bertempur di sana, mereka tidak menyerang kita semuanya?"
Tanya Raden Wikalpa lagi.
"Itu memang sengaja, Raden. Raja Musang Hitam memang tidak ingin mengorbankan pasukannya secara sia-sia. Yang penting baginya menyusun siasat, lalu sama-sama menghancurkan atau dihancurkan,"
Jelas Pandan Wangi.
Raden Wikalpa terdiam.
Disadari kalau kekuatan prajurit Kadipaten Watu Kambang tidak seberapa.
Sedangkan untuk meminta bantuan kerajaan, tidaklah mungkin.
Masalahnya, Pandan Wangi bilang kalau mereka akan menyerang dua atau tiga hari lagi.
Dan untuk meminta bantuan dari istana kerajaan, paling tidak membutuhkan waktu sedikitnya dua belas hari perjalanan pulang pergi.
"Kalian punya saran?"
Pinta Raden Wikalpa seperti putus asa.
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan Dalam keadaan seperti ini, memang sukar untuk berpikir wajar.
Terlebih lagi keadaan sudah begitu mendesak.
Dan mereka semua tentu saja tidak menginginkan Kadipaten Watu Kambang yang tenteram, damai, dan makmur, hancur karena persoalan dendam pribadi.
Tapi yang jelas, Raden Wikalpa tidak akan mungkin membiarkan si Raja Musang Hitam memenggal leher ayahnya.
Untuk melakukan pertarungan pun, rasanya Adipati Baka Witara tidak mampu lagi.
Ini karena usianya yang sudah demikian lanjut.
Terlebih lagi, sudah puluhan tahun Adipati Baka Witara tidak pernah melatih jurus-jurusnya lagi.
Malah Raden Wikalpa pernah mengalahkannya dalam satu kali latihan.
Apalagi sekarang harus menghadapi si Raja Musang Hitam yang sehari-harinya jelas selalu bergelut dengan kekerasan.
"Apa tidak sebaiknya hal ini diberitahukan Adipati Baka Witara saja,"
Pandan Wangi memberikan saran.
"Bagaimana, Raden?"
Tanya Rangga agak mendesak.
Raden Wikalpa tidak segera menjawab, dan tampaknya sedang berpikir keras.
Meskipun masalah ini menyangkut orang tuanya, tapi rasanya sungkan untuk melibatkannya.
Dia ingin menyelesaikan persoalan ini tanpa melibatkan pihak kadipaten.
Tapi calon adipati itu jadi berpikir juga setelah Pandan Wangi tadi memberitahukan kalau kekuatan musuh tidak mungkin dihadapi seorang diri saja.
"Kalian pasti berkemampuan tinggi. Bagaimana kalau kuminta untuk membantuku menumpas mereka...?"
Pinta Raden Wikalpa seraya memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
Sedangkan yang dipandangi malah saling melontarkan pandangan.
Permintaan Raden Wikalpa memang tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Terlebih lagi Rangga, yang sebenarnya lebih menyetujui pendapat Pandan Wangi untuk memberitahukan hal ini pada penguasa Kadipaten Watu Kambang ini.
Namun tampaknya Raden Wikalpa ingin menyelesaikannya tanpa melibatkan seorang pun dari kadipaten.
"Raden, kalau hanya kita bertiga, rasanya tidak mungkin menghadapi mereka,"
Kilah Pandan Wangi yang sudah tahu persis kekuatan orang-orang di dalam bangunan istana itu.
"Memang. Tapi kita bisa melakukannya dengan cara mengurangi kekuatan mereka sedikit demi sedikit,"
Jelas Raden Wikalpa.
"Maksud Raden?"
Tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
"Serang, lalu menghilang,"
Usul Raden Wikalpa.
Pandan Wangi masih belum bisa memahami, sedangkan Rangga sudah bisa menangkap maksud Raden Wikalpa.
Memang cara seperti itu bisa saja dilakukan.
Tapi itu akan membuat mereka semaian berang.
Dan tentu saja ini bisa lebih berbahaya.
Mungkin belum separuh kekuatan lenyap, sudah membuat mereka menyerang Kadipaten Watu Kambang secara brutal Bahkan bukannya tidak mungkin, akan membalas lebih menyakitkan lagi Sedangkan untuk saat ini saja, mereka sudah kehilangan kekuatan yang tidak sedikit.
Dan Rangga sudah bisa menduga kalau saat ini mereka pasti tengah menyusun rencana dan kekuatan yang lebih berlipat ganda.
*** Malam sudah merayap menyelimuti seluruh permukaan puncak gunung ini.
Kesunyian begitu terasa mencekam, setelah kabut mulai menggumpal tebal.
Sementara itu, di salah satu ruangan di dalam bangunan megah bagai istana di puncak gunung ini, tampak Dewi Asmara Maut berdiri tegak membelakangi jendela besar yang terbuka lebar.
Pandangan wanita itu tidak berkedip menjilati seorang pemuda yang tergeletak di atas pembaringan.
Pelahan-lahan wanita cantik yang sudah tidak muda lagi itu melangkah menghampiri pembaringan besar beralaskan kain sutra halus berwarna jingga.
Kemudian tubuhnya dibaringkan di samping pemuda itu dengan posisi miring.
"Tidak kusangka, kau begitu kuat dan perkasa, Jaka Kumbara,"
Kata Dewi Asmara Maut lembut Pemuda tampan bertubuh tegap dan berotot itu membuka matanya.
Bibirnya tersenyum melihat Dewi Asmara Maut sudah berada di sampingnya.
Pelahan tangan pemuda yang memang Jaka Kumbara itu menjulur dan melingkar di pinggang yang ramping.
Kemudian dipeluk dan langsung dilumatnya bibir Dewi Asmara Maut disertai gairah menggelegak.
"Ah...,"
Desah Dewi Asmara Maut lirih.
Wanita itu menggeliat-geliat ketika jari-jari tangan Jaka Kumbara mulai menjelajahi bagian-bagian tubuhnya yang peka.
Kembali bibirnya merintih dan mendesis, dan tubuhnya agak mengejang.
Cepat sekali gairah wanita itu bangkit setelah mendapat cumbuan yang begitu liar, tapi menghanyutkan.
Sampai-sampai tidak dirasakan lagi kalau Jaka Kumbara telah melepaskan pakaiannya.
Hampir saja seluruh pakaian wanita itu terlepas semua, ketika terdengar ketukan pintu dari luar.
"Setan...!"
Maki Dewi Asmara Maut kesal.
Didorongnya tubuh Jaka Kumbara hingga menggelimpang ke samping ketika dirinya akan dipeluk.
Tapi pemuda itu malah menarik tangan Dewi Asmara Maut dan memeluknya kuat-kuat.
Sementara ketukan di pintu kembali terdengar lebih keras.
Dewi Asmara Maut mencoba melepaskan pelukan pemuda itu, tapi Jaka Kumbara malah memagut bibirnya.
Bahkan melumatnya liar sekali.
"Hih!"
Dengan kasar sekali Dewi Asmara Maut mendorong tubuh pemuda itu.
Dan segera saja dia melompat bangkit berdiri.
Jaka Kumbara yang sudah tidak ingat dirinya lagi, mencoba memburu.
Namun Dewi Asmara Maut sudah lebih dulu menotok pemuda itu hingga terkulai seketika.
Bergegas wanita itu memungut pakaiannya, dan langsung cepat mengenakannya.
Ketukan di pintu kembali terdengar keras.
"Tunggu...!"
Seru Dewi Asmara Maut.
Sebentar wanita itu memandang Jaka Kumbara yang tergeletak lemas di pembaringan, kemudian bergegas menghampiri pintu kamar yang tertutup rapat.
Dewi Asmara Maut kembali memandang Jaka Kumbara.
Sebenarnya pemuda tampan yang begitu perkasa di atas ranjang itu disukainya.
Dan baru kali ini seorang pemuda ditahannya sampai satu hari lebih.
Biasanya, kalau sudah dinikmati keperkasaannya, langsung dicampakkan begitu saja.
Tapi kali ini Dewi Asmara Maut seperti merasa sayang melenyapkan Jaka Kumbara cepat-cepat.
Terasa ada sesuatu yang lain dalam permainan asmara dengan pemuda itu.
Suatu perasaan yang belum pernah dialaminya selama ini.
Dewi Asmara Maut tidak jadi membuka pintu, tapi kembali menghampiri pemuda itu.
Seketika diberikannya totokan beberapa kali.
"Tidak lama kau akan bisa bergerak lagi, Bocah Bagus,"
Kata Dewi Asmara Maut. Wanita itu bergegas menghampiri pintu yang kembali diketuk keras, kemudian membukanya. Tampak seorang gadis berbaju kuning berdiri di a mbang pintu kamar ini.
"Dewi Lanjani.... Ada apa?"
Agak kesal nada suara Dewi Asmara Maut.
"Maaf, Bibi Dewi. Raja Musang Hitam memanggilmu."
"Hm.... Ada apa malam-malam begini memanggilku...?"
Dewi Asmara Maut mengerutkan keningnya.
"Barangkali minta dipijat,"
Sahut Dewi Lanjani seraya tersenyum dikulum.
"Setan kau!"
Dengus Dewi Asmara Maut.
Dewi Lanjani hanya terkikik geli sambil beranjak pergi.
Sedangkan Dewi Asmara Maut menutup pintu kamarnya, dan melangkah setelah gadis itu tidak terlihat lagi.
Ayunan kakinya cepat dan bergegas menuju ujung lorong yang agak gelap ini.
Tapi di dalam benaknya terus bertanya-tanya, tidak biasanya Raja Musang Hitam memanggilnya tengah malam begini.
Wanita itu berhenti melangkah di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka.
Pelahan-lahan diketuknya pintu itu.
Tak ada jawaban sama sekali dari dalam.
Kemudian kembali diketuk lebih keras lagi.
"Masuk...!"
Dewi Asmara Maut melangkah masuk setelah terdengar suara berat dari dalam.
Kemudian ditutupnya pintu kamar yang keadaannya tidak terlalu terang.
Hanya sebuah pelita kecil yang menyala redup di sudut ruangan besar ini.
Pandangan wanita itu langsung tertuju pada sesosok tubuh yang setengah terbaring di ranjang.
Separuh tubuhnya tertutup kain berwarna biru tua.
Dia seorang laki-laki yang berusia setengah baya, namun masih kelihatan gagah dan tegap.
"Kemarilah...."
Dewi Asmara Maut mendekat, lalu hanya berdiri saja di dekat pembaringan itu. Sedikit bibirnya digigit ketika tangan laki-laki itu menjulur dan meraba pahanya. Pelahan Dewi Asmara Maut naik ke atas ranjang itu, lalu tubuhnya direbahkan di sana.
"Malam ini kau tidur di sini, Dewi."
Dewi Asmara Maut tidak menjawab, karena laki-laki setengah baya itu sudah melumat bibirnya, ganas dan liar sekali.
Wanita itu memang tidak bisa menolak ajakan laki-laki setengah baya yang dikenal berjuluk si Raja Musang Hitam ini, dan selalu tunduk dalam pelukannya.
"Ohhh...,"
Desah Dewi Asmara Maut.
Memang sudah menjadi kebiasaan si Raja Musang Hitam.
Tak banyak bicara, tapi rangsangan dan cumbuan yang diberikan membuat wanita itu seketika merintih dan menggeliat sehingga tak mampu menguasai dirinya lagi.
Di dalam kamar yang diterangi sebuah pelita kecil itu, hanya terdengar desah napas dan rintihan lirih.
Tak ada kata-kata terucapkan, karena mereka langsung tenggelam dalam deburan ombak gairah yang berdebur meruntuhkan seluruh persendian.
*** "Heh...?!"
Raja Musang Hitam terperanjat ketika tiba-tiba terdengar suara-suara teriakan dan denting senjata beradu keras.
Seketika laki-laki setengah baya itu melompat dari pembaringan, lalu cepat menyambar pakaian dan mengenakannya.
Sementara Dewi Asmara Maut juga bergegas mengenakan pakaiannya kembali.
Raja Musang Hitam segera menyambar tongkatnya dan melompat keluar dari kamar ini.
"Setan alas...!"
Umpat Dewi Asmara Maut seraya bergegas berlari keluar dari kamar ini.
Wanita itu berlari-lari mengikuti Raja Musang Hitam.
Mereka langsung keluar dari bangunan megah bagai istana itu.
Betapa terkejutnya mereka begitu sampai di luar, karena suara-suara teriakan dan denting senjata beradu tadi sudah tidak terdengar lagi.
Namun yang lebih mengejutkan, di pelataran bangunan besar ini sudah tergeletak mayat-mayat yang masih mengucurkan darah.
Raja Musang Hitam baru menyadari kalau gerombolannya kalah cepat.
Waktu Rangga dan Pandan Wangi menyerbu ke sini, dia menyangka kalau dua pendekar itu pasti bisa dikalahkan.
Makanya, laki-laki setengah baya itu tidak mengeluarkan seluruh anak buahnya.
"Bangsat! Mereka telah mendahului kita lagi!"
Sentak Raja Musang Hitam seraya memandangi mayat-ma yat yang bergelimpangan saling tumpang tindih.
"Masa kehancuranmu, Raja Musang Hitam...."
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya Raja Musang Hitam begitu tiba-tiba terdengar suara menyahuti. Dan begitu kepalanya diangkat, tahu-tahu tidak jauh di depannya sudah berdiri dua orang pemuda dan seorang gadis.
"Siapa kalian?!"
Bentak Raja Musang Hitam.
"Aku putra Adipati Baka Witara,"
Sahut pemuda yang berdiri di tengah, yang ternyata memang Raden Wikalpa.
Sedangkan yang dua orang lagi tak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
Rupanya mereka benar-benar melaksanakan rencana yang dicetuskan Raden Wikalpa.
Menyerang secara diam-diam dan bertahap.
Hanya saja pada pertarungan di depan pintu utama bangunan istana ini, seluruh penghuni keluar semua.
Untung semuanya sudah diperhitungkan secara matang, sehingga tidak ada kesukaran bagi mereka bertiga untuk membabat habis orang-orang itu.
Terlebih lagi, Rangga telah menggunakan pedang pusakanya yang tak ada tandingannya di jagad ini.
Pedang Rajawali Sakti memang sangat dahsyat dan luar biasa.
"Dewi Asmara Maut, perintahkan mereka semua keluar!"
Perintah Raja Musang Hitam. Dia menyangka anak buahnya masih berada di dalam.
"Tidak ada gunanya, Raja Musang Hitam. Semua anak buahmu sudah tidak ada lagi,"
Raden Wikalpa yang menyahuti.
"Keparat..!"
Desis Raja Musang Hitam menggeram. Saat itu, dari arah samping bangunan istana, Dewi Lanjani berlari-lari. Gadis itu tampak terkejut melihat Raden Wikalpa sudah berdiri berhadap-hadapan dengan Raja Musang Hitam.
"Dari mana saja kau?! Ke mana yang lain?!"
Tanya Raja Musang Hitam ketus, begitu melihat Dewi Lanjani.
"Keliling. Dan mereka..., mereka semua tewas,"
Sahut Dewi Lanjani seraya melirik Raden Wikalpa.
"Phuih...!"
Raja Musang Hitam menyemburkan ludahnya. Sementara, Raden Wikalpa tersenyum-senyum penuh kemenangan. Ternyata semua rencananya berjalan lancar. Dan sekarang tinggal tiga orang lagi yang harus dihadapinya.
"Terimalah kematianmu, Musang Hitam! Hiya...!"
Cepat sekali Raden Wikalpa melompat sambil mencabut pedangnya yang masih berlumuran darah.
Seketika itu juga pedangnya dikebutkan ke arah dada si Raja Musang Hitam.
Namun dengan gerakan manis, laki-laki setengah baya itu mengegoskan tubuhnya.
Maka serangan Raden Wikalpa hanya menyambar tempat kosong.
Pada Saat yang sama, Dewi Asmara Maut sudah menyerang Pandan Wangi.
Wanita itu memang memiliki satu persoalan yang belum terselesaikan dengan si Kipas Maut.
Dewi Asmara Maut menganggap Pandan Wangi hanya sebagai penghalang dalam menjerat Pendekar Rajawali Sakti ke dalam pelukannya.
Sementara itu, Dewi Lanjani kelihatan ragu-ragu untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Keraguan gadis itu dapat diketahui Rangga.
"Kalau kau akan pergi, aku memberi kesempatan padamu,"
Kata Rangga.
Dewi Lanjani tidak menjawab, dan semakin kelihatan bimbang.
Sementara dua pertarungan sudah berjalan sengit.
Gadis itu menatap Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, kemudian memandang ke arah pertarungan antara Raja Musang Hitam dan Raden Wikalpa.
"Sebaiknya kau bantu Raden Wikalpa. Dia tidak akan mampu menandingi Raja Musang Hitam,"
Kata Dewi Lanjani. Rangga hanya tersenyum saja. Saat itu Dewi Lanjani menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku ingin agar dia hidup. Katakan, satu saat aku akan datang membalaskan dendam ayahku,"
Kata Dewi Lanjani setengah berbisik.
"Hm.... Raden Wikalpa membunuh ayahmu?"
Tanya Rangga.
"Dialah yang memberi perintah hukuman mati pada ayahku."
"Kenapa?"
"Tanyakan saja padanya!"
Sahut Dewi Lanjani ketus.
"Siapa nama ayahmu?"
Tanya Rangga.
"Bromokati."
Dewi Lanjani langsung melesat pergi, tepat ketika Raja Musang Hitam mendaratkan satu pukulan tongkatnya ke punggung Raden Wikalpa.
"Akh...!"
Raden Wikalpa terhuyung-huyung.
Dan pada saat yang tepat, Raja Musang Hitam sudah melompat sambil menusukkan salah satu ujung tongkatnya yang runcing ke arah dada pemuda itu.
Tak ada kesempatan lagi bagi Raden Wikalpa.
Namun ketika ujung tongkat sedikit lagi menembus dada Raden Wikalpa, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat.
Langsung ditotoknya ujung tongkat laki-laki berbaju serba hitam itu.
Tak! "Heh...?!"
Raja Musang Hitam terperanjat. Buru-buru tongkatnya ditarik pulang ketika terasa bergetar terkena totokan jari Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Bantu Pandan Wangi, Raden,"
Ujar Rangga. Sebelum Raden Wikalpa menjawab, Rangga sudah cepat melompat bagai kilat menyerang Raja Musang Hitam. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti itu melontarkan pukulan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali.
"Hiyaaat..!"
"Uts!"
Bergegas Raja Musang Hitam mengegoskan tubuhnya ke samping, menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Namun sebelum bisa menarik kembali tubuhnya agar tegak, Pendekar Rajawali Sakti sudah memberi serangan cepat dan beruntun.
Serangan-serangan itu demikian dahsyat, membuat Raja Musang Hitam kedodoran menghindarinya.
Sementara Raden Wikalpa sudah membantu Pandan Wangi menyerang Dewi Asmara Maut.
Saat itu pagi sudah mulai datang menjelang.
Rona merah menyemburat keluar dari balik gunung sebelah timur.
Sedangkan pertarungan masih terus berlangsung sengit sekali.
Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung.
Dan kini masih saja berlangsung semakin sengit.
Hingga matahari semakin naik tinggi, pertarungan seperti tidak akan berhenti.
"Hup! Heyaaa...!"
Tiba-tiba saja Raja Musang Hitam melompat ke belakang beberapa langkah.
Tongkatnya ditancapkan di samping kakinya.
Sedangkan Rangga berdiri tegak, menunggu apa yang akan dilakukan laki-laki setengah baya berbaju hitam itu.
Beberapa saat mereka saling menatap tajam.
"Hm. Rupanya dia hendak mengeluarkan ilmu kesaktian,"
Gumam Rangga dalam hati.
Dan memang, Raja Musang Hitam tengah memusatkan perhatiannya untuk mengerahkan aji kesaktiannya.
Kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada.
Kemudian tubuhnya dimiringkan sedikit ke kanan, lalu pelahan ditarik ke kiri dengan kaki terentang lebar.
Begitu tubuhnya kembali tegak, tampak dari sela-sela jari tangannya mengepulkan asap hitam yang berbau tidak sedap.
"Hep...!"
Rangga segera bersiap sambil menahan napas, lalu memindahkan pernapasannya ke perut. Kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada, lalu diangkat hingga sampai ke atas kepala. Kemudian kedua tangan itu ditarik cepat sampai sejajar pinggang.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Tepat ketika kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti memancarkan sinar biru, Raja Musang Hitam melompat menerjang sambil menjulurkan kedua telapak tangannya yang terbuka lebar ke depan.
Rangga segera melebarkan kakinya ke samping.
Dan dengan cepat sekali tangannya dihentakkan ke depan, menyambut serangan laki-laki setengah baya itu.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'. Yeaaah...!"
Seru Rangga keras menggelegar. Glarrr! "Aaakh...!"
Raja Musang Hitam menjerit melengking tinggi ketika kedua telapak tangannya beradu dengan telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Laki-laki berbaju hitam itu menggeliat-geliat dengan tangan melekat erat pada tangan Rangga.
Sementara sinar biru langsung menyelimuti seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu.
"Yeaaah...!"
Mendadak saja Rangga berteriak keras.
Dan seketika tangannya cepat dihentakkan, melebar ke samping.
Secepat itu pula, kepala Raja Musang Hitam dikeprak dengan keras sekali.
Prak! Blarrr...! Ledakan keras seketika terdengar menggelegar.
Rangga langsung melompat mundur begitu tubuh Raja Musang Hitam meledak dan hancur seketika.
Kepingan-kepingan tubuhnya bertebaran ke segala arah.
Ledakan yang keras menggelegar itu membuat Dewi Asmara Maut yang tengah dikeroyok Pandan Wangi dan Raden Wikalpa jadi terkejut, dan lengah.
Kesempatan ini tidak disia-siakan Raden Wikalpa.
Seketika itu juga dia melompat cepat sambil menusukkan pedangnya tepat ke arah ulu hati wanita itu.
"Hiyaaat...!"
Crab! "Aaa...!"
Dewi Asmara Maut memang tidak sempat lagi berkelit.
Tusukan pedang Raden Wikalpa begitu cepat dan kuat, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sebentar wanita itu masih mampu berdiri, kemudian setelah pedang Raden Wikalpa ditarik kembali, tubuh itu pun ambruk di tanah.
Darah segar seketika mengalir dari dadanya.
"Hhh...!"
Raden Wikalpa menarik napas panjang.
Segera pedangnya yang berlumuran darah itu dimasukkan ke dalam sarungnya.
Saat itu Pandan Wangi sudah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.
Kalau saja tidak cepat dicegah, pasti gadis itu sudah memeluknya.
Sementara Raden Wikalpa masih berdiri mematung memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan.
Baru pertama kali ini dia melakukan pertarungan yang begitu lama dan melelahkan.
Tapi hatinya puas, karena bisa menyelesaikan semuanya tanpa harus menyertakan orang-orang kadipaten.
Raden Wikalpa memutar tubuhnya dan langsung menghampiri Rangga dan Pandan Wangi.
Sebentar pemuda itu memandangi Rangga, kemudian mengulurkan tangannya.
Dengan hangat Pendekar Rajawali Sakti itu menyambutnya.
"Terima kasih. Sungguh tak kusangka kalau akan berhasil menghancurkan gerombolan pengacau kadipaten. Padahal, tadinya aku tak bermaksud ke arah itu. Aku hanya bermaksud menjalankan rencanaku saja,"
Ucap Raden Wikalpa, sedikit terharu.
"Sudah sewajarnya sesama manusia saling tolong, Raden,"
Ucap Rangga merendah.
"Hm. Raden, ada persoalan yang masih mengganjal benakku. Tadi kau mengatakan bahwa tengah menjalankan rencana. Apa rencanamu itu?"
Desak Rangga kembali ketika teringat kalau Raden Wikalpa belum menceritakan semuanya.
"Tujuan utama, kau sudah tahu. Aku ingin mencari penyebab mengapa Dewi Lanjani ingin membunuhku. Tapi, sebenarnya rencana kedualah yang paling penting,"
Jelas Raden Wikalpa.
"Apa itu?"
Desak Rangga.
"Mencari dan menguji calon pengawal pribadiku."
"Lho! Bukankah calon pengawal pribadimu ada di dalam istana itu?"
"Benar. Tapi dia sudah tak berdaya."
"Lalu?"
"Aku sudah mendapatkan penggantinya!"
Tegas Raden Wikalpa.
"Siapa?"
Rangga jadi ingin tahu.
"Diriku sendiri."
Rangga tersentak, tapi langsung kagum terhadap pemuda itu.
Betapa tidak? Jelas kalau pemuda itu sudah cukup dewasa untuk menjadi adipati.
Sebab, sebagai seorang adipati sebenarnya tak perlu merisaukan adanya pengawal pribadi.
Dan yang jelas, kepercayaan pada diri sendirilah yang diperlukan.
Dan sebenarnya, hanya kepercayaan pada diri sendirilah yang menjadi pengawal pribadi seorang pemimpin.
Masalahnya, banyak pengawal pribadi yang just ru berkhianat pada junjungannya sendiri.
"Oh, ya. Ada pesan dari Dewi Lanjani, Raden,"
Kata Rangga.
"Hm..., ke mana dia?"
Raden Wikalpa baru menyadari kalau Dewi Lanjani sudah tidak ada lagi.
"Dia akan datang kembali, khusus untuk menuntut balas atas kematian ayahnya yang bernama Bromokati,"
Kata Rangga menyampaikan pesan Dewi Lanjani.
Raden Wikalpa sedikit tersentak.
Kini jelas sudah, mengapa Dewi Lanjani berniat ingin membunuhnya.
Ternyata diri gadis itu diselimuti dendam.
Bahkan dia sampai bergabung dengan Raja Musang Hitam dan Dewi Asmara Maut untuk melenyapkannya.
"Hm, ya. Kini aku ingat. Bromokati memang terpaksa kuhukum penggal. Dia sebenarnya seorang patih, tapi mencoba memberontak. Dan aku ditugaskan Gusti Prabu untuk menangkap dan menghukum mati. Tapi sungguh tak kusangka kalau dia memiliki seorang anak yang kini hendak membalas dendam padaku,"
Jelas Raden Wikalpa tanpa diminta.
"Kalau begitu kami tidak perlu ikut campur, Raden,"
Tegas Rangga.
"Ah! Kau sudah banyak membantuku. Memang sebaiknya persoalanku dengan Dewi Lanjani menjadi urusanku sendiri. Hm, kapan dia akan menemuiku?"
"Suatu saat, katanya."
"Baiklah. Akan kutunggu dia."
Mereka tidak berbicara lagi, kemudian pelahan meninggalkan tempat itu.
Tiga orang itu berpisah setelah sampai di lereng gunung ini.
Pandan Wangi sempat memberitahu kalau Paman Legiwa sedang terluka dalam dan kini tengah berada dalam perawatan seorang tabib.
Raden Wikalpa langsung menuju pondok tabib yang disebutkan Pandan Wangi.
"Mungkin sekarang aku bisa tenang, Pandan,"
Kata Rangga "Yah, mudah-mudahan saja ada persoalan lagi,"
Desah Pandan Wangi menggoda.
"Hus...!"
"Ha ha ha...!"
SELESAI Pembuat Ebook . Scan buku ke djvu . Abu Keisel Conver t . Abu Keisel Editor . Clickers Ebook oleh . Dew i KZ
http.//kangzusi.com/
http.//dew i-kz.info/
Dendam Kesumat Karya Tabib Gila Pedang Inti Es Karya Okt Pendekar Rajawali Sakti Jago Dari Mongol