Ceritasilat Novel Online

Iblis Lembah Tengkorak 1


Pendekar Rajawali Sakti Iblis Lembah Tengkorak Bagian 1


IBLIS LEMBAH TENGKORAK oleh Teguh S.

   Cetakan pertama, 1990 Penerbit Cintamedia, Jakarta Gambar sampul oleh Tony G.

   Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh S.

   Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.

   Iblis Lembah Tengkorak Pembuat Ebook .

   Scan buku ke djvu .

   Abu Keisel Convert .

   Abu Keisel Editor .

   Dhee_mart Ebook pdf oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com/
http.//dewi-kz.info/

   
http.//kangzusi.info/

   
http.//cerita_silat.cc/ Di kaki bukit Cubung, membentang sebuah danau yang indah pada senja hari.

   Danau Cubung.

   Permukaan airnya tenang.

   Bias cahaya matahari sore dari ufuk Barat, memantulkan warna keperakan.

   Hanya ada satu jalan menuju danau itu.

   Sepanjang kaki bukit sebelah Timur danau, terdapat jurang yang lebar dan dalam bernama Lembah Bangkai.

   Pemandangannya memang indah, namun jika malam telah menjelang, tak seorang pun yang berani melintasi kawasan itu.

   Selain bau bangkai yang selalu menyengat pada tiap malam, jurang itu seakan-akan menyimpan misteri yang sulit diungkapkan.

   Sebuah kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda putih, meluncur di bawah siraman matahari sore membelah jalan di antara danau dan jurang.

   Di belakangnya, menyusul pasukan berseragam di atas kuda yang berjumlah sekitar dua puluh ekor itu.

   Dari umbul yang dibawa menandakan bahwa mereka adalah rombongan Kadipaten Karang Setra.

   Di dalam kereta, duduk Adipati Karang Setra dan seorang wanita cantik bernama Tunjung Melur yang tengah mernangku bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun.

   "Sudah hampir malam, Kang Mas,"

   Tunjung Melur bergumam. Matanya menatap lurus kearah danau. Tangannya yang putih halus memeluk putra tunggalnya.

   "Ya. Sebentar lagi tempat ini terlewati,"

   Sahut Adipari Karang Setra. Matanya menatap iba pada istrinya itu.

   "Adakah jalan lain selain jalan ini?"

   Tanya Tunjung Melur.

   "Ada, tapi harus memutari bukit Cubung. Paling tidak, bisa memakan waktu satu minggu perjalanan."

   Tunjung Melur mendesah pelan.

   Matanya menatap Rangga Pati, anaknya.

   Hatinya merasa gelisah.

   Keangkeran kaki bukit Cubung dengan lembah Bangkainya, menghantui pikirannya.

   Telah banyak orang yang mencoba melintasi jalan ini, namun hilang tak kembali bagai ditelan bumi.

   Senja terus merayap rnenjelang malam.

   Matahari mengintip takut-takut di antara pepohonan di kaki bukit.

   Sinar keemasan itu mulai redup, memberi kesempatan pada embun dan kabut untuk menampakkan diri.

   Rombongan Kadipaten Karang Setra terus memacu menuju arah terbenamnya matahari.

   "Mestinya Kang Mas sendiri saja yang menemui Ayahanda Prabu,"

   Tunjung Melur sedikit bergumam.

   "Ayahanda Prabu sudah rindu ingin bertemu dengan cucu pertamanya."

   Kembali Tunjung Melur mendesah.

   Dia tahu bukan Ayahanda Prabu yang rindu pada cucunya, tapi suaminyalah yang rindu dengan ayahandanya.

   Memang, sejak mereka menikah hingga dikaruniai seorang putra, tak pernah sekali pun mengunjungi orang tua Adipari Karang Setra ini.

   Seorang penunggang kuda hitam yaing semula berada di depan, menghampiri kereta.

   Di seragamnya terdapat sulaman bunga karang berjumlah lima.

   Tingkat dan kedudukan prajurit Kadipaten Karang Setra memang dilihat dari sulaman macam itu yang ada di bagian dada.

   Makin banyak jumlah sulaman, makin tinggi tingkat dan kedudukannya.

   Penunggang kuda itu membungkukkan badan dan menoleh ke dalam kereta.

   Adipati Karang Setra menjulurkan kepalanya.

   "Ada apa, Gagak Lodra?"

   Tanya Adipari Karang Setra.

   "Jalan kita terhalang, Gusti Adipati,"

   Sahut Gagak Lodra.

   "Maksudmu?"

   Adipati belum menangkap makna nya.Gagak Lodra belum sempat menjawab, tiba-tiba saja kereta terhenti.

   Adipati Karang Setra melongokkan kepalanya menatap ke depan.

   Dia mendapatkan sebuah pohon besar tumbang menghalangi jalan mereka.

   Adipari Karang Setra ke luar dari kereta.

   Dengan langkah ringan, dihampirinya pohon tumbang itu.

   Gagak Lodra melompat dari kudanya, diikuti prajurit-prajurit lain.

   Dihampirinya Adipari Karang Setra yang ternyata sudah didampingi Gajah Rimang yang juga memiliki lima sulaman bunga karang.

   Langkah Gagak Lodra belum sampai di tempat itu, namun tiba-tiba Adipati Karang Setra mundur tiga langkah.

   Kepalanya agak dimiringkan sedikit Wajahnya tegang.

   Pohon besar yang merintangi jalan, jelas suatu kesengajaan.

   Meski tumbang berikut akar-akar-nya, tetapi terasa ada keganjilan.

   Jika karena bencana alam, mestinya pohon-pohon lain di sekitarnya pasti ikut rusak.

   Tapi mengapa hanya pohon besar itu saja yang rusak? "Hmmm..., ada tamu tak diundang,"

   Gumam Adipari 'Tampaknya jumlah mereka cukup banyak, Gusti,"

   Sahut Gagak Lodra yang juga menangkap suara-suara kecil yang mencurigakan di sekitarnya "Mereka seperti tak bermaksud baik, Gusti,"

   Sambung Gajah Rimang.

   "Ya, mereka bukan orang-orang sembarangan. Napas dan gerakannya terlatih sempurna,"

   Kata Adipati. Matanya tak lepas menatap sekelilingnya. Suasana jadi hening.

   "Perintahkan para prajurit untuk bersiap-siap!"

   Sambung Adipati Karang Setra seketika.

   "Siap, Gusti!"

   Seru Gajah Rimang seraya melompat menghampiri para prajurit yang juga sudah bersiaga. 'Dan kau...,"

   Adipati Karang Setra belum lagi meneruskan perintahnya, mendadak dari rimbunan semak dan pohon-pohon bermunculan segerombolan orang berpakaian serba hitam dengan senjata terhunus.

   Gajah Rimang yang baru saja memberi aba-aba pada prajurit, terkejut sekali.

   Dalam sekejap gerombolan itu mengepung.

   Adipati Karang Setra menatap satu persatu para pengepungnya.

   Harinya terkesiap ketika matanya tertumbuk pada Seorang laki-laki tinggi tegap berkulit kuning.

   Wajahnya kasar penuh brewok sambil memegang tongkat btrkepala tengkorak manusia.

   Adipari tahu siapa laki-lakl Itu.

   "Iblis Lembah Tengkorak...,"

   Desis Adipari Karang Setra bergetar.

   Gajah Rimang dan Gagak Lodra terkejut pula mendengar desisan Adipari Karang Setra.

   Mereka tahu bahwa Iblis Lembah Tengkorak adalah seorang tokoh dari golongan hitam yang sulit dicari tandingannya.

   'Ilmu Tongkat Samber Nyawa' yang dimilikinya, sangat dahsyat.

   Belum lagi ilmu andalannya, yakni 'Bayangan Setan Neraka' benar-benar tak tertandingi.

   Banyak tokoh aliran putih yang tewas di tangan iblis ini.

   Dan kini, dia muncul dengan tiba-tiba! "He he he...,"

   Iblis itu terkekeh. Tawanya disertai tenaga dalam yang sempurna hingga menggema ke seluruh penjuru. Seketika itu juga seluruh prajurit Karang Setra bergetar harinya.

   "Tak kusangka, Adipari Karang Setra mengantarkan upeti hari ini,"

   Sambung Iblis Lembah Tengkorak. Suaranya menggelegar meski diucapkan dengan tenang.

   "Hhhh...!"

   Adipari Karang Setra mendesah panjang, coba menenangkan diri.

   Meskipun dia seorang Adipari dan memiliki kepandaian cukup tinggi, tapi ilmunya masih jauh bila dibandingkan dengan Iblis berwajah kasar itu.

   Sepuluh orang yang memiliki kepandaian setingkat dengannya, belum tentu mampu mengalahkannya.

   *** Di dalam kereta, wajah cantik Tunjung Melur berubah pucat pasi.

   Tubuhnya gemetar.

   Tangannya makin erat memeluk Rangga Pari.

   Tunjung Melur memang belum pernah mendengar nama Iblis Lembah Tengkorak.

   Tapi nalurinya mengatakan bahwa gerombolan itu tidak bermaksud baik.

   "lbu...,"

   Rangga memandang wajah ibunya Sepertinya dia menangkap kegelisahan ibunya.

   Sinar mata polos yang memandangi Tunjung Melur itu hanya membuat hatinya gelisah.

   Dia hanya mampu memeluk dan memohon keselamatan pada Yang Kuasa.

   Tunjung Melur hanyalah seorang wanita yang dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan kaum bangsawan, yang tak mengerti dunia kependekaran.

   "Serang...!"

   Tiba-tiba suara itu menyentak hati Tunjung Melur. Disusul suara teriakan-teriakan dan dentingan senjata beradu.

   "Oh!"

   Pekik Tunjung Melur ketika para prajurit yang mengawalnya sudah terlibat pertempuran sengit dengan gerombolan itu. ' Gagak Lodra! Bawa istri dan anakku pergi!"

   Teriak Adipari Karang Setra.

   Adipari telah sibuk melayani lima orang yang mengeroyoknya dengan ganas.

   Terpaksa dikeluarkan pedangnya.

   Dengan mengerahkan Ilmu Bayu Mega', diputar-putarnya pedang itu dengan gerakan yang sangat cepat Dengan ilmu andalan itu, pedangnya hanya terlihat berkelebat bagai titik-titik air jatuh dari awan.

   Gagak Lodra bergegas menghampiri kereta ketika mendengar perintah junjungannya itu.

   Namun ketika sampai di atas kereta, dia disambut oleh sebuah kelebatan bayangan hitam.

   Dengan tangkas, Gagak Lodra berkelit menjatuhkan diri ke tanah.

   Bayangan hitam itu terus menyerang Gagak Lodra walau dia masih bergulingan di tanah.

   Dan betapa terkejutnya Gagak Lodra ketika tahu si penyerang adalah Iblis Lembah Tengkorak.

   "Uts!"

   Gagak Lodra berkelit dan melompat bangkit.

   Tongkat berkepala tengkorak itu menyambar bagian kosong di sisi Gagak Lodra.

   Iblis itu terkekeh ketika serangannya dapat terelakkan.

   Kembali Gagak Lodra bersiap dengan pedang menyilang di dada.

   Matanya tajam memandang Iblis Lembah Tengkorak yang tegak di depannya.

   "Trak!"

   Benturan senjata tajam terjadi lagi.

   Iblis Lembah Tengkorak dengan tenang menangkis serangan pedang yang begitu cepat dari Gagak Lodra.

   Seketika Gagak Lodra melompat mundur sejauh dua tombak.

   Tangannya seperti kesemutan saat pedangnya berbenturan dengan tongkat berkepala tengkorak.

   Dan alangkah terkejutnya Gagak Lodra ketika melihat pedangnya telah patah menjadi dua.

   Rasa terkejutnya belum lagi hilang, tiba-tiba ujung tongkat iblis itu meluruk deras ke arah lehernya.

   Gagak Lodra berusaha berkelit dengan menarik kepalanya ke be-lakang.

   Namun....

   "Aaaakh...!"

   Kebutan yang tiba-tiba itu tak sempat terhindari.

   Ujung tongkat yang seperti bernyawa itu menebas leher Gagak Lodra.

   Hanya sebentar Gagak Lodra mampu berdiri, selanjutnya ambruk ke tanah.

   Darah dengan segera menyembur dari leher yang telah buntung itu.

   ltulah keistimewaan tongkat Iblis Lembah Tengkorak.

   Meskipun bentuknya bulat, namun keampuhan untuk memenggal kepala manusia tak kalah dengan mata pedang yang tajam.

   "He he he...!"

   Kembali Iblis Lembah Tengkorak terkekeh.

   Adipari Karang Setra yang sibuk menghadapi serangan-serangan anak buah Iblis Lembah Tengkorak, masih sempat mendengar jeritan Gagak Lodra.

   Betapa terkejutnya Adipati ketika melirik Gagak Lodra telah membujur kaku bersimbah darah dengan kepala terpisah.

   Pertempuran terus berlangsung.

   Banyak prajurit Karang Setra yang terjungkal mandi darah.

   Kemampuan ilmu silat orang-orang Iblis Lembah Tengkorak memang jauh di atas prajurit-prajurit Karang Setra.

   Hanya Gagak Lodra, Gajah Rimang, dan Adipati sendiri yang memiliki kepandaian yang cukup tinggi.

   Adipari Karang Setra menggenjot tubuhnya, dan dalam sekejap telah melayang di udara, lalu meluruk ke arah Iblis Lembah Tengkorak.

   Dengan ringan dijejakkan kakinya di depan pemimpin gerombolan yang sudah dekat dengan kereta.

   "Ayah...!"

   Teriak Rangga ketika melihat ayahnya sudah berdiri di samping kereta.

   Bocah kecil itu segera melompat ke luar dari jendela dan berdiri di samping ayahnya.

   Meskipun masih bocah, gerakannya lincah dan ringan menandakan dirinya telah dilatih dengan baik dasar-dasar ilmu kanuragan dan ilmu meringankan tubuh.

   Betapa terkejutnya Tunjung Melur melihat tingkah anaknya.

   Dengan cepat dia keluar dari dalam kereta.

   Dengan wajah yang diliputi rasa ketakutan, Tunjung Melur menghampiri putranya.

   Ditarik tangan bocah itu dan digendongnya.

   Bergegas dia menjauhi tempat itu.

   "He he he.... Rupanya ada bidadari di sini,"

   Iblis Lembah Tengkorak terkekeh.

   Matanya liar menatap Tunjung Melur yang ketakutan.

   Gajah Rimang yang melihat keadaan junjungannya tak menguntungkan, segera melompat ke arah Adipati Karang Setra.

   Tiga orang yang mencoba menghadangnya, dengan cepat dibabat oleh pedangnya.

   Ambruklah orang-orang itu dengan perut terbelah.

   "Bawa istri dan anakku pergi!"

   Perintah Adipari Karang Setra kepada Gajah Rimang. Pandangannya tetap pada iblis itu.

   "Tapi, Gusti...." 'Tak ada waktu lagi, Gajah Rimang. Selamatkan mereka!"

   Sentak Adipari cepat memotong.

   Belum sempat Gajah Rimang bicara kembali, Adipati Karang Setra telah lebih dulu melompat dan menyerang Iblis Lembah Tengkorak.

   Meski disadari bahwa lawannya jauh di atas kepandaiannya, Adipari Karang Setra tak peduli lagi.

   Harapannya, Gajah Rimang secepatnya membawa Tunjung Melur dan Rangga Pati menyingkir dari tempat ini.

   Belum sempat Gajah Rimang melaksanakan perintah junjungannya, dia sudah disibukkan dengan lima orang yang menyerang dengan ganas.

   Adipati mendengus geram.

   Prajuritnya mulai kocar-kacir.

   Keadaannya sendiri sudah sangat kewalahan menghadapi Iblis itu.

   Dua puluh mayat prajurit Karang Setra telah bergelimpangan.

   Mereka kini tinggal sepuluh orang termasuk Gajah Rimang.

   Sementara dari gerombolan Iblis Lembah Tengkorak hanya tujuh orang saja yang tergeletak tak bernyawa.

   "Aaaakh...!"

   Tiba-tiba Gajah Rimang memekik keras.

   Tubuhnya terhuyung-huyung dengan darah mengucur dari tangannya yang telah buntung.

   Belum sempat Gajah Rimang menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja seorang dari pengeroyoknya menghunus pedang dengan kecepatan yang luar biasa, dan tepat menembus jantung Gajah Rimang.

   Prajurit Karang Setra ini men jerit keras.

   Hanya sebentar dia mampu berdiri.

   Ketika pedang itu ditarik, tubuhnya segera ambruk tak ber kutik.

   "Keparat!"

   Dengus Adipati saat mengetahui Gajah Rimang tewas. Adipati menjadi lengah. Dan kelengahan itu tidak disia-siakan Iblis Lembah Tengkorak yang berakibat fatal buat Adipati. Lalu....

   "Akh!"

   "Kakang...!"

   Jerit Tunjung Melur memilukan.

   Adipati Karang Setra terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang koyak berlumuran darah.

   Men tang, begitu cepat serangan itu sehingga sulit bagi Adipati menghindari ujung tongkat Iblis Lembah Tengkorak.

   Perhatiannya memang terpecah saat itu.

   "Dinda, lari...!"

   Teriak Adipati yang teringat akan keselamatan anak istrinya.

   "Kakang..., kau terluka,"

   Bergetar suara Tunjung Melur.

   "Jangan hiraukah aku! Cepatlah lari. Selamatkan anak kita!"

   Perintah Adipati Karang Setra.

   Tunjung Melur belum sempat berbuat apa-apa, ketika tiba-tiba Iblis Lembah Tengkorak melompat ke arahnya.

   Melihat keselamatan istrinya terancam, Adipati dengan sisa-sisa tenaga menggenjot tubuhnya menghalangi Iblis Lembah Tengkorak.

   Benturan di udara tak terhindarkan lagi.

   Bersamaan dengan terdengarnya jeritan yang menyayat, tubuh Adipati Karang Setra ambruk ke tanah.

   Sebentar dia meregang nyawa, lalu diam tak bergerak dengan leher yang koyak, hampir putus.

   Dada dan perutnya berlubang besar mengeluarkan darah segar.

   "Kakang...!"

   Tunjung Melur histeris.

   Sambil menggendong putranya, dia berlari menghambur ke arah suaminya yang sudah tak bernyawa lagi Namun langkahnya tiba-tiba terhenti karena dengan cepat Iblis Lembah Tengkorak sudah menghadang di depannya.

   Bibir Iblis itu menyeringai dengan mata liar penuh nafsu menatap keelokan tubuh Tunjung Melur.

   "He he he.... Cantik, cantik sekali...,"

   Bibir Iblis Lembah Tengkorak makin menyeringai lebar. Liurnya tertahan.

   "Oh...!"

   Tunjung Melur tersentak.

   Wajahnya makin pucat.

   Perlahan Tunjung Melur melangkah mundur.

   Tangannya kian erat memeluk putranya.

   Anehnya, Rangga Pati sedikit pun tak menangis.

   Dia malah menatap tajam pada laki-laki kasar berpakaian serba hitam yang ada di depannya itu.

   Nalurinya mengatakan bahwa laki-laki itu bukan orang baik-baik.

   Menyadari gelagat yang tak menguntungkan itu, Tunjung Melur segera berbalik dan berlari sekuat-kuat-nya.

   Iblis Lembah Tengkorak terkekeh sambil berjalan dengan mengerahkan ilmu peringan tubuhnya.

   Meski Tunjung Melur sudah beriari sekuat tenaga, tapi jarak antara dia dengan iblis itu kian dekat saja.

   Tunjung Melur terus beriari menerobos semak dan pepohonan.

   Dia justru tak menyadari kalau arah larinya Itu mendekati jurang.

   Iblis Lembah Tengkorak tersenyum menang, karena dia kenal betul daerah ini seperti dia mengenal dirinya sendiri.

   "Oh!"

   Tunjung Melur terkejut setelah menyadari di depannya terdapat jurang yang menganga lebar, siap untuk menerkam. Begitu dalamnya sehingga dasar jurang tidak terlihat.

   "He he he...,"

   Kembali Iblis itu terkekeh.

   "Mau ke mana, Cah Ayu?"

   "Oh, tolooong...!"

   Jerit Tunjung Melur sekuat-kuatnya.

   "Tak seorang pun yang dapat menolongmu, Cah Ayu,"

   Iblis Lembah Tengkorak makin lebar menyeringai.

   Sengaja Iblis Lembah Tengkorak mendekat perlahan agar Tunjung Melur makin ketakutan.

   Tanpa disadarinya, Tunjung Melur melangkah mundur.

   Padahal...

   satu langkah lagi saja tubuhnya akan terjerumuske dalam jurang! Saat kaki Tunjung Melur akan melangkah mundur, dengan cepat Iblis Lembah Tengkorak melompat sambil mengerahkan ilmu peringan tubuhnya meraih pinggang Tunjung Melur.

   Wanita itu terkejut luar biasa.

   Tanpa dapat dicegah lagi, mereka jatuh terguling menjauhi bibir jurang.

   Rangga yang berada digendong-annya terlepas, dan jatuh mendekati bibir jurang.

   "Rangga...!"

   Jerit Tunjung Melur saat melihat putranya terguling mendekati jurang.

   Tubuh kecil itu terus berguling, dan untunglah sebuah pohon besar yang tumbuh di bibir jurang menahannya.

   Dengan sekuat tenaga, Tunjung Melur berontak lalu berlari mengejar anaknya.

   Tetapi dengan sigapnya, Iblis Lembah Tengkorak menarik kain wanita itu.

   "Auw...!"

   Tunjung Melur memekik tertahan. Kain penutup tubuhnya sobek terjambret Tangan Tunjung Melur segera menutupi tubuhnya yang terbuka itu.

   "He he he...!"

   Iblis Lembah Tengkorak terkekeh melihat tubuh putih mulus di depannya. Seketika gairah nafsunya bergejolak. Tanpa membuang waktu lagi, Iblis Lembah Tengkorak memburu Tunjung Melur yang telah sampai di dekat Rangga.

   "Akh, lepaskan!"

   Pekik Tunjung Melur ketika tangan Iblis Lembah Tengkorak memeluk pinggangnya.

   Sekali lagi mereka bergulingan.

   Tampaknya kali ini Iblis itu tak akan melepaskannya lagi.

   Nafsunya kian tak terkendalikan.

   Dengan buas direjang dan diciuminya tubuh Tunjung Melur.

   Rangga yang menyaksikan hal itu segera bangkit dari jatuhnya.

   Tanpa menghiraukan tubuhnya yang kecil dan sakit yang sangat, Rangga menubruk sambil memekik tinggi.

   Tangannya yang kecil dihantamkan ke punggung laki-laki yang tengah merejang ibunya.

   Hantaman itu memang tidak berarti apa-apa bagi Iblis Lembah Tengkorak, namun cukup merepotkan.

   "Bocah setan!"

   Dengus Iblis itu kesal karena merasa terganggu. Iblis Lembah Tengkorak menyentakkan tangannya. Dengan seketika tubuh kecil itu melayang deras dan menghantam pohon di pinggir jurang.

   "Rangga...!"

   Jerit Tunjung Melur.

   Ingin rasanya Tunjung Melur menghambur dan memeluk putranya, tapi tangan Iblis Lembah Tengkorak terlampau kuat memeluknya.

   Tunjung Melur terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit berusaha melepaskan diri.

   Semaldn kuat dia meronta, Iblis itu makin bergairah.

   Rontaan itu dianggap sebagai geliatan yang menggairahkan.

   Jeritannya terdengar bagai rintihan kenikmatan.

   Tak ada yang menolong.

   Tak ada yang menyaksikan kecuali sepasang mata bulat bocah kecil itu.

   Tatapannya penuh perasaan.

   Walau tak mengerti apa yang dilakukan oleh Iblis itu terhadap ibunya, namun nalurinya mengatakan bahwa ibunya menjadi korban manusia berhati binatang.

   "Ibu...,"

   Rintih Rangga sambil berusaha bangun.

   Dicobanya untuk berdiri, tapi tubuhnya terasa lemas.

   Hentakan tangan Iblis itu seakan-akan meremukkan tulang-tulangnya.

   Untungnya dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya, benturan keras dengan pohon besar itu secara reflek dapat sedikit tertahan.

   Sementara itu Tunjung Melur sudah tak berdaya lagi.

   Dia hanya dapat menangis dan merintih akibat digagahi oleh Iblis Lembah Tengkorak.

   "He he he...!"

   Tawa Iblis Lembah Tengkorak penuh kemenangan.

   Tubuh putih mulus itu tergolek di rerumputan.

   Titik-titik air mata mengalir membentuk anak sungai di pipinya.

   Hati Tunjung Melur kian hancur karena telah ternoda.

   Sementara itu Rangga berusaha merayap mendekati ibunya yang kini tanpa benang sehelai pun di tubuhnya.

   "Ibu...,"

   Rintih Rangga. Tangannya menggapai-gapai berusaha meraih ibunya.

   "Huh! Anak ini bisa jadi duri!"

   Dengus Iblis Lembah Tengkorak.

   "Jangan...!"

   Pekik Tunjung Melur ketika melihat Iblis itu menggerakkan tongkatnya.

   Dengan sisa-sisa tenaganya, Tunjung Melur berusaha menghalangi tongkat yang terarah kepada anaknya itu.

   Dan betapa malangnya nasib Tunjung Melur ketika dengan cepat tongkat berkepala tengkorak itu menghantam kepalanya.

   Dia tewas seketika.

   Rangga terbelalak.

   Matanya tajam mengarah pada laki-laki yang telah membunuh kedua orang tuanya.

   "Setan cilik!"

   Dengus Iblis Lembah Tengkorak merasa mendapat tantangan dari sorot mata yang tajam penuh kebencian.

   Dengan kemarahan yang memuncak, ditendangnya tubuh Rangga dengan kuat.

   Tendangan yang disalurkan dengan tenaga dalam itu, membuat tubuh kecil itu meluncur deras masuk ke dalam jurang.

   Tanpa teriakan dan tanpa terhindari lagi.

   Iblis Lembah Tengkorak memang pantas geram, karena niatnya untuk memiliki wanita cantik itu gagal total.

   Kematian Tunjung Melur diluar dugaannya sama sekali.

   Iblis Lembah Tengkorak melompat bagai kilat meninggalkan tempat yang kini berubah menjadi sepi dan seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.

   *** Jurang Lembah Bangkai memang angker.

   Iblis Lembah Tengkorak yang berasal dari daerah itu sendiri sama sekali tak tahu seberapa dalamnya jurang itu.

   Yang jelas, kecil kemungkinan untuk selamat jika terjerumus ke dalam jurang Lembah Bangkai yang kini menganga lebar siap melumat tubuh Rangga.

   Tubuh kecil itu meluncur deras hampir menyentuh dasar.

   Bersamaan dengan itu, tiba-tiba seekor rajawali raksasa berwarna putih menyambar tubuh Rangga dengan cakarnya yang tajam dan kuat.

   "Khraaaghk...!"

   Suaranya nyaring sambil membawa tubuh Rangga dan meletakkannya di atas tumpukan ranting kering dan rerumputan yang ditata menyerupai sebuah sarang Rangga tergolek pingsan.

   Burung rajawali itu memperhatikan dengan matanya yang merah, bulat.

   Kepalanya terangguk-angguk.

   Sarang yang terletak dalam sebuah goa yang besar dan lembab itu, selalu terselimuti kabut.

   Ini membuat udara di sekitar situ menjadi dingin.

   Rajawali putih meraih beberapa daun lebar dengan paruh, lalu ditutupinya tubuh Rangga.

   Dia mendekam di samping bocah kecil itu sambil menutupi tubuh Rangga dengan sayapnya yang lebar, seolah-olah ingin memberi kehangatan.

   Setelah lama tak sadarkan diri, tiba-tiba mulut Rangga mengerang.

   Kepalanya bergerak lemah.

   Burung rajawali memandanginya dengan mata yang berbinar-binar.

   Disingkirkannya daun-daun yang menutupi tubuh Rangga.

   "Ibu...!"

   Bocah itu memekik keras ketika matanya terbuka memandang sekelilingnya.

   Dia terkejut ketika matanya tertumbuk pada rajawali putih raksasa yang ada di dekatnya.

   Rangga berusaha bangkit, namun tubuhnya sangat lemas tak bertenaga.

   Hanya matanya saja yang terbelalak lebar memancarkan ketakutan.

   Burung rajawali putih mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mengerti perasaan yang meng-hinggapi bocah itu.

   Pelan-pelan dijulurkan kepalanya seraya mematuk beberapa bagian tubuh rangga dengan paruh yang kekar itu.

   Rangga merasakan tubuhnya berangsur-angsur segar seketika.

   Rasa nyeri dan sakit dengan sekejap hilang.

   Burung itu memang telah menotok jalan darah di bagian-bagian tertentu tubuh Rangga.

   Sepertinya burung itu ingin mengatakan kalau Rangga tak perlu takut.

   Dasar bocah! Rasa takut Rangga hilang seketika.

   Kini Rangga malah tertawa keras karena kegelian.

   Rajawali putih berkoak-koak seperti gembira melihat Rangga tertawa gelak.

   Rangga kini malah membalas canda rajawali dengan menarik-narik paruhnya yang sebesar kepalanya itu.

   Sebentar saja kedua makhluk yang berlainan kodrat itu kian akrab.

   Bahkan kini burung rajawali itu seakan-akan siap melayani segala kebutuhan Rangga baik, makan, minum, maupun tidur.

   Jika Rangga mengantuk, maka sayap yang lebar itulah yang menyelimutinya.

   Pada saat Rangga melamun teringat ayah dan ibunya, maka burung itulah yang selalu menghiburnya.

   Mengajaknya bermain dan bercanda.

   Komunikasi yang berlainan, tak menghalangi kedua makhluk itu untuk saling mengerti dan memahami setiap kata yang terucap.

   *** Waktu terus berganti, hingga tak terasa telah setahun Rangga hidup di dasar lembah Bangkai bersama rajawali putih raksasa.

   Sepertinya mereka memang telah ditakdirkan untuk bertemu di Lembah Bangkai.

   Selama setahun itu, Rangga dengan cepat memahami dan mengikurj gerak-gerik burung rajawali raksasa itu.

   Tanpa disadarinya, gerak-gerik itu adalah dasar dari jurus-jurus silat Rajawali Sakti, tokoh yang hidup dan tak ada tandingannya seratus tahun yang lalu.

   Rangga yang memang cerdas ditambah dasar-dasar ilmu silat yang telah diperoleh dari mendiang ayah dan paman-pamannya, membuat gerakan-gerakan yang diperliharkan burung itu cepat dipahaminya.

   Sore ini, Rangga tengah berlompat-Iompatan dari satu batu ke batu yang lain di luar goa, mengikuti gerakan rajawali putih.

   Rangga tak sadar kalau burung itu tengah mengajarkan dasar-dasar jurus andalan yang pertama yakni,'Sayap Rajawali Membelah Mega' Jika gerakan jurus itu dibarengi dengan ilmu peringan tubuh dan penyaluran tenaga dalam yang sempurna, maka tubuh Rangga dapat bergerak ringan seperti kapas.

   Seorang yang berilmu tinggi sekalipun, akan sulit meraba dan melihat gerakan-gerakan itu.

   Keistimewaan lainnya, kaki Rangga dapat bergerak cepat bagai tak menyentuh tanah.

   Kibasan tangannya, bagaikan sepasang sayap yang siap menghancurkan batu karang yang keras sekalipun.

   Jari-jari tangannya bagai mata pedang tajam yang siap membabat seba-tang pohon besar hingga tumbang.

   "Khraaaghk...!"

   Rajawali putih berseru gembira melihat Rangga berhasil melintasi batu terakhir dengan mulus.

   Satu kali lompatan, Rangga telah berada di depan burung raksasa itu.

   Rajawali putih menundukkan kepalanya.

   Rangga memeluk seraya tangannya yang kecil itu mengusap bulu-bulu halus yang memenuhi kepala burung itu.

   "Aku haus, lapar...,"

   Kata Rangga pelan.

   Rajawali putih mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mengerti apa yang diucapkan Rangga.

   Dikepakkan kedua sayapnya, dan dalam sekejap saja burung itu telah mengangkasa.

   Rangga memperhatikan dengan mata bocahnya, sambil menunggu di tempat itu.

   Ketika burung raksasa itu telah kembali, diparuhnya telah bergelayut dua butir kelapa.

   Cakarnya mencengkeram beberapa jamur besar.

   Rangga sama sekali tak tahu kalau jamur itu mempunyai khasiat penawar segala macam racun yang dahsyat sekalipun.

   Itulah santapan sehari-hari Rangga.

   'Terima kasih, kau baik sekali,"

   Rangga menerima kelapa dan jamur-jamur itu.

   "Khraaaghk...!"

   Rajawali putih mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Habis sudah jamur-jamur itu dimakan Rangga.

   Dibelahnya kelapa yang kini berada di tangannya.

   Hebat! Sekali kepruk saja, kelapa terbelah dua! Rajawali putih terlihat gembira ketika Rangga berhasil membelah kelapa dengan sekali pukul.

   Itulah salah satu khasiat yang ada pada jamur itu yang telah nampak dalam kekuatan Rangga.

   Jamur yang dimakan Rangga, ternyata juga membentuk hawa murni secara alami.

   Tenaga dalam yang tersalur lewat hawa murni ini dapat menjadi kekuatan yang luar biasa bagi Rangga.

   Jika Rangga benar-benar melatih tenaga dalamnya, tak mustahil dalam waktu singkat dia akan menjadi seorang tokoh silat yang sulit dicari tandingannya.

   Rangga tanpa sadar telah berlatih jurus-jurus silat Rajawali Sakti sepertinya ia adalah pewaris tunggal ilmu-ilmu Rajawali Sakti, yang seratus tahun lalu sempat menggegerkan dunia persilatan.

   Tak ada seorang tokoh pun yang sanggup menandinginya.

   Baik dari golongan hitam maupun putih.

   Lama jurus-jurus Rajawali Sakti menghilang begitu saja bersamaan dengan lenyapnya tokoh sakti yang selalu menunggang seekor rajawali raksasa.

   Rajawali itu kini bersama Rangga.

   Lalu, di manakah tokoh sakti itu? Dunia persilatan saat ini goncang.

   Gerombolan yang dipimpin Iblis Lembah Tengkorak makin merajalela.

   Banyak tokoh sakti golongan putih yang mencoba mengakhiri sepak terjang gerombolan itu, tewas di ujung tongkat berkepala tengkorak milik iblis itu.

   Banyak pula tokoh sakti aliran hitam yan9 ber gabung dengan Iblis Lembah Tengkorak.

   Tentu saja hal ini membuat cemas tokoh-tokoh aliran putih.

   Karena tak mustahil kekuatan Iblis Lembah Tengkorak akan menguasai dunia persilatan.

   Lembah Tengkorak merupakan tempat Iblis Lembah Tengkorak yang sebenarnya bernama Geti Ireng, tinggal.

   Di sanalah markas Geti Ireng dengan gerom-bolannya yang bernama Panji Tengkorak.

   Tak seperti biasanya, hari ini Lembah Tengkorak tampak ramai, Atas undangan Geti Ireng, banyak tokoh sakti aliran hitam yang hadir di kediamannya.

   Mereka hadir untuk turut menyaksikan takluknya seorang tokoh sakti aliran hitam bernama Kala Srenggi.

   Dia dikenal sebagai Si Samber Nyawa.

   Kala Srenggi cukup memiliki ilmu yang tinggi, tapi jika dibandingkan dengan Geti Ireng tak berarti apa-apa.

   Kulitnya putih dengan tubuh yang tegap berisi.

   Wajahnya muda dan tampan namun menyimpan garis-garis kekejaman.

   Senjata andalannya adalah pedang kembar yang bertengger menyilang di punggungnya.

   Ajiannya yang bernama 'Tapak Beracun' dapat membuat orang hanya bertahan hidup selama sepuluh hari.

   Bersama dengan murid-muridnya, Kala Srenggi menyatakan takluk karena seminggu yang lalu Geti Ireng berhasil mengalahkannya.

   Dengan demikian Lembah Tengkorak makin ramai dengan bergabungnya Kala Srenggi bersama murid-muridnya yang berjumlah separuh dari jumlah anggota Panji Tengkorak.

   "Saya datang memenuhi janji,"

   Kata Kala Srenggi setelah berhadapan dengan Geti Ireng di ruang pertemuan markas itu.

   Ruangan itu adalah sebuah pendopo yang terletak di tengah-tengah lembah.

   Pendopo itu biasa digunakan Geti Ireng untuk menerima tamu yang sealiran dengannya.

   Di samping Geti Ireng, seorang gadis cantik berusia sekitar tujuh belas tahun duduk sambil menatap sinis Kala Srenggi.

   Dia bernama Saka Lintang.

   Saat mata Kala Srenggi beradu pandang dengannya, harj Kala Srenggi bergetar.

   Geti Ireng paham jika Kala Srenggi terpesona dengan kecantikan putrinya itu.

   Untuk tidak merusak suasana, Geti Ireng tak menegur tamunya itu.

   Dan lagi, toh Saka Lintang tak mengacuhkan pandangan Kala Srenggi.

   "Kiranya yang mulia Geti Ireng sudi menerima seluruh murid-murid saya bernaung di bawah Panji Tengkorak,"

   Lanjut Kala Srenggi.

   "Bagus, bagus!"

   Geti Ireng tersenyum senang.

   "Dan saya sendiri siap mengabdi pada yang mulia,"

   Ujar Kala Srenggi lagi sambil melirik Saka Lintang.

   "Apakah pengabdianmu tidak ada maksud lain?"

   Pancing Geti Ireng.

   Kala Srenggi terdongak.

   Geti Ireng memang bermaksud menyindir.

   Kala Srenggi menangkap maksud itu.

   Dia pun menundukkan kepalanya.

   Kecantikan gadis itu telah membuatnya jadi dungu.

   Dia lupa kalau yang dihadapinya kini adalah Geti Ireng.

   "Ayah, beri dia ujian untuk pengabdiannya!"

   Suara Saka Lintang terdengar lembut dan halus, namun nadanya menyimpan kebengisan dan kekejaman.

   "Kau dengar permintaan putriku, Kala Srenggi?"

   Geti Ireng menatap tajam pada Kala Srenggi. Kala Srenggi mengangkat kepalanya. Kembali harinya bergetar saat menatap kecantikan Saka Lintang. Harinya tak dapat dibohongi lagi kalau dia jatuh hati kepada Saka Lintang.

   "Apa keinginan Nini Dewi yang cantik?"

   Kala Srenggi menantang. Matanya tak berkedip mengakui kecantikan gadis itu, Kepalang basah Dengus Kala Srenggi dalam hati.

   "Kalahkan aku!"

   Saka Lintang tegas.

   "Ha ha ha...!"

   Geti Ireng terbahak-bahak. Kala Srenggi makin tajam menatap wajah Saka Lintang. Agak sungkan Kala Srenggi menerima tantangan itu. Biar bagaimana pun, tak sampai hati rasanya melepaskan pukulan pada gadis yang telah menghanyutkan harinya.

   "Bukan saya menolak, tapi saya tak pernah melepaskan pukulan pada kaum wanita,"

   Suara Kala Srenggi halus.

   "Kau meremehkan anakku, Kala Srenggi!"

   Bentak Geti Ireng. Dia merasa tersinggung sekali dengan penolakan itu meski diucapkan dengan halus.

   "Saya tak bermaksud merendahkan Nini Dewi. Tapi, rasanya saya tak dapat beriaku kasar terhadap wanita,"

   Lanjut Kala Srenggi masih dengan nada halus.

   "Jika demikian, kau tak pantas bernaung di bawah Panji Tengkorak!"

   Dengus Saka Lintang sengit.

   Kala Srenggi terkejut Tak disangkanya kalau gadis cantik ini dapat sekasar itu.

   Hatinya makin terkejut saat melihat Geti Ireng mengangguk tanda setuju.

   Jantungnya terasa copot.

   Geti Ireng tahu benar kemampuan Kala Srenggi.

   Meski Saka Lintang sedikit di bawah Kala Srenggi, namun tak mudah bagi Kala Srenggi untuk menjatuhkannya walau dalam tiga puluh jurus sekalipun.

   Bahkan tidak mungkin Kala Srenggi tewas jika Saka Lintang telah mengeluarkan ilmu andalannya,'Ular Berbisa Menyebar Racun' atau mungkin dengan jurus 'Tarian Bidadari' digabungkan, maka seorang tokoh sakti sekalipun tak mampu menandinginya dalam waktu lama.

   "Hanya ada dua pilihan, Kala Srenggi,"

   Kata Geti Ireng datar dan dingin suaranya.

   "Memenuhi permintaan putriku, atau kau tak akan melihat matahari lagi!"

   Kala Srenggi terdiam. Sulit menerima pilihan itu. Dia bukan gentar tapi sungkan menandingi gadis remaja yang belum diketahui di mana kehebatannya. Untuk mati sia-sia dia pun tak mau.

   "Bagaimana, Kala Srenggi?"

   Desak Geti Ireng. Kala Srenggi melirik Saka Lintang yang mencibir mengejek.

   "Baiklah, aku terima tantanganmu!" *** Saka Lintang segera menggenjot tubuhnya, dan meluruk cepat ke pelataran. Gerakannya gesit dan ringan. Ilmu ringan tubuhnya sangat sempurna. Jejakan ke tanah bagai seekor burung. Baru saja Saka Lintang mendarat, tiba-tiba saja Kala Srenggi telah dihadapannya. Jarak di antara mereka hanya sekitar satu tombak. Mereka berhadapan dengan mata tajam saling menilai kemampuan. Saka Lintang bergeser ke kiri satu langkah.

   "Bersiaplah, Kala Srenggi!"

   Bentak Saka Lintang keras.

   Tiba-tiba tubuh Saka Lintang telah melesat menyerang Kala Srenggi dengan pukulan yang dialiri tenaga dalam.

   Begitu dahsyat pukulan itu, sehingga angin yang dihasilkannya telah terasa sebelum pukulan itu sampai.

   Kala Srenggi yang telah siap sejak tadi, hanya berkelit sedikit menghindari pukulan itu.

   Sejenak dia terkejut ketika sambaran angin lewat di samping kepalanya.

   Hawa pukulan itu panas sekali.

   Dengan cepat Kala Srenggi melompat ke samping ketika tangan kiri Saka Lintang bergerak ke arah dadanya.

   Pukulan yang pertama itu memang sebuah tipuan.

   "Bagus! Kau berhasil elakan pukulan geledekku!"

   Dengus Saka Lintang seraya bersiap kembali untuk menyerang dengan jurus lain.

   "Jurus tangan kosongmu sangat hebat, Saka Lintang,"

   Puji Kala Srenggi tulus.

   "Bersiaplah, Kala Srenggi!"

   Segera Saka Lintang meliuk liukkan tubuhnya dengan indah dan gemulai.

   Seperti sedang menari.

   Kala Srenggi terpesona dibuatnya, hingga lupa kalau Saka Lintang tengah mengeluarkan jurus maut,'Tarian Bidadari' Kala Srenggi kian terpesona, dan tanpa diduga sama sekali gerakan Saka Lintang berubah cepat.

   Dalam sekejap saja tangannya telah mengarah ke leher Kala Srenggi.

   "Akh...!"

   Kala Srenggi terkejut sekali tak sempat menghlndar.

   Terpaksa Kala Srenggi menyambutnya dengan mengangkat tangan melindungi lehernya yang terancam.

   Benturan keras terjadi.

   Tubuh Kala Srenggi terhuyung mundur dua tindak.

   Dirasakan pergelangan tangannya seperti terbakar.

   Panas dan nyeri.

   Dia meringis sambil memegangi pergelangan tangan kanannya yang menghitam.

   Belum sempat Kala Srenggi menyadari yang baru saja terjadi, Saka Lintang telah mulai dengan jurus maut lainnya.

   Jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun' yang sangat berbahaya dan sulit dihindari Lebih-lebih pada saat lawannya telah terkena hajaran jurus 'Tarian Bidadari'.

   Keadaan Kala Srenggi memang tidak menguntungkan.

   "Cukup!"

   Suara bentakan keras disertai tenaga dalam yang tinggi, membuat Saka Lintang mengurungkan niatnya mengeluarkan jurus maut itu. Tiba-tiba Geti Ireng telah berada di tengah-tengah arena. Memang dialah yang mengeluarkan suara itu.

   "Cukup, Saka Lintang. Kau tak perlu menurunkan maut pada Kala Srenggi,"

   Sambung Geti Ireng.

   "Huh!"

   Saka Lintang mendengus. Dia tak mungkin menentang kehendak ayahnya.

   "Kala Srenggi, bagaimana tanganmu?"

   Tanya Geti Ireng.

   "Tidak apa-apa,"

   Sahut Kala Srenggi namun sambil meringis.

   "Pukulan Tarian Bidadari' sangat berbahaya, Kala Srenggi. Kau tak akan bertahan lebih dari sepuluh hari,"

   Kata Geti Ireng datar.

   Kala Srenggi terperanjat mendengar hal itu.

   Dia tak menyangka sama sekali kalau Saka Lintang telah mengeluarkan jurus Tarian Bidadari'.

   Kala Srenggi memang pemah mendengar nama jurus itu namun baru kali inilah dia merasakan.

   Begitu cepat dan tak terduga sama sekali.

   Racun 'Tarian Bidadari' memang bekerja lambat Tapi cukup mematikan karena langsung menusuk jalan darah.

   Betapa berbahayanya, sehingga orang yang terkena tak akan sanggup bertahan lebih dari sepuluh hari.

   "Saka Lintang, berikan obat penawar racunmu!"

   Kata Geti Ireng.

   "Dia harus mengakui kekalahannya terlebih dulu, Ayah!"

   Jawab Saka Lintang pongah.

   "Kau dengar, Kala Srenggi?"

   Geti Ireng menatap Kala Srenggi yang masih meringis memegangi pergelangan tangan kanan yang makin meluas warna hitamnya.

   Tak ada jalan lain bagi Kala Srenggi kecuali mengangguk.

   Dalam dunia hitam, martabat dan nama besar bukan halangan untuk menyelamatkan nyawanya sendiri.

   Tanpa malu-malu, Kala Srenggi mengakui kekalahannya.

   "Saya mengaku kalah, dan berjanji akan mengabdi sepenuhnya demi Panji Tengkorak!"

   Saka Lintang tertawa senang.

   "Berikan penawar racunmu, Saka Lintang,"

   Kata Geti Ireng sekali lagi.

   Saka Lintang merogoh saku bajunya dan menyentil sebutir pil berwarna merah.

   Dengan cepat Geti Ireng menangkapnya dan menyodorkan kepada Kala Srenggi.

   Tanpa sungkan lagi, Kala Srenggi segera menelan pil merah itu.

   Seketika tubuhnya terasa terbakar.

   Keringat deras mengucur membasahi sekujur tubuhnya.

   Wajah tampan dan bengis itu berubah memerah tegang.

   Segera dirapatkan kedua teiapak tangannya ke depan dada.

   "Jangan berlaku bodoh!"

   Bentak Saka Lintang. Hawa murni akan mempercepat kemarjanmu!"

   Kala Srenggi tersentak. Cepat-cepat dilepaskan kedua telapak tangannya. Dibiarkan hawa panas itu menjalari tubuhnya. Sungguh tak tertahankan. Ingin rasanya mengerahkan tenaga dalamnya, tapi peringatan tadi mengurungkan niat itu.

   "Hoek!"

   Tiba-tiba saja cairan hitam meluncur dari mulut Kala Srenggi. Kental sekali. Kala Srenggi terkulai lemas. Hawa panas di tubuhnya, berangsur-angsur lenyap. Warna hitam di tangan kanannya sedikit demi sedikit memudar.

   "Pulihkan kekuatanmu dengan bersemedi selama tiga hari,"

   Kata Saka Lintang.

   Setelah berkata demikian, Saka Lintang melompat meninggalkan arena pertarungan tadi.

   Dalam sekejap mata tubuh Saka Lintang telah hilang, masuk ke dalam rumah yang besar.

   Sungguh di luar dugaan jika Samber Nyawa atau Kala Srenggi dapat dikalahkan hanya dalam tiga jurus saja.

   Terlebih bagi Geti Ireng.

   Semula dia menduga Kala Srenggi akan melayani Saka Lintang dengan alot.

   Nyatanya, hanya sekejap saja.

   Benar-benar kemajuan yang luar biasa bagi Saka Lintang.

   Tak percuma Geti Ireng mendidik dan menurunkan ilmunya kepada anak gadisnya itu.

   Saka Lintang tidak saja menguasai ilmu-ilmu maut itu.

   Bahkan telah disempurnakannya.

   Bukan tak mungkin melebihi kepandaian ayahnya sendiri.

   Hal ini membuat Geti Ireng bangga dan gembira.

   Saka Lintang sudah dapat mewakilinya di dunia persilatan.

   *** Kekuatan Panji Tengkorak kian bertambah saja.

   Tiap hari banyak tokoh persilatan dari aliran hitam berdatangan untuk menyatakan takluk.

   Saka Lintang lah yang selalu menjajal kemampuan tokoh-tokoh itu.

   Dari sekian banyak tokoh, hanya dua orang saja yang mampu menandingi jurus 'Tarian Bidadari' dan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.

   Tapi harus diakui, jurus ketiga yang merupakan gabungan dari jurus 'Tarian Bidadari' dengan jurus 'Ular Berbisa Menyebar Racun' memang tak tertandingi.

   Kedua orang itu sudah terkenal di rimba persilatan.

   Yang pertama biasa dijuluki Kakek Merah Bermata Elang.

   Jubahnya yang merah dan matanya yang bulat seperti elang itu memungkinkan kakek itu bergelar demikian.

   Kehebatan kakek ini terletak pada kesepuluh jari-jari tangannya yang menyerupai cakar seekor elang.

   Sebongkah batu cadas besar yang keras pun dapat ditembus oleh jari-jarinya.

   Seorang lagi bertubuh pendek, berkepala gundul mengenakan jubah kuning.

   Dia seorang pendeta dengan julukan, Pendeta Murtad dari Selatan.

   Senjatanya tasbih yang terbuat dari untaian mutiara.

   Kedua tokoh itu akhirnya mengakui kehebatan Saka Lintang, terbukfi mereka tak sanggup menandingi.

   Dalam hati para tokoh itu berkata 'Putrinya saja tak bisa dikalahkan, apalagi ayahnya!"

   Sungguh sulit diukur setinggi apa ilmu silat Iblis Lembah Tengkorak.

   Pada akhirnya, seluruh tokoh-tokoh silat yang tergabung dalam Panji Tengkorak sepakat untuk menjuluki Saka Lintang dengan Kembang Lembah Tengkorak! "Aku tak menyangka, perkumpulan Panji Tengkorak yang baru seumur jagung mampu mengumpulkan begitu banyak tokoh aliran hitam,"-gumam Pendeta Murtad dari Selatan sesaat setelah dia dikalahkan oleh Saka Lintang.

   Pendeta itu sebenarnya bernama Pradya Dagma.

   'Tak mengherankan kalau Iblis Lembah Tengkorak akan membuat Panji Tengkorak menjadi yang terbesar di kalangan rimba persilatan,"

   Sahut Kakek Merah Bermata Elang. Nama aslinya adalah Kalingga.

   "Ya, anak gadisnya saja sudah sehebat itu."

   "Dua hari yang lalu aku juga merasakan hal yang sama,"

   Jelas Kalingga. Pradya Dagma atau Pendeta Murtad dari Selatan menatap tajam pada kakek berjubah merah itu. Dia tak menyangka kalau Saka Lintang dapat mempecundangi Kalingga.

   "Seluruh ilmu yang kumiliki dan kuperdalam bertahun-tahun, tak berarti apa-apa di depan gadis cantik itu,"

   Ada kemurungan pada suara Kakek berjubah merah itu.

   "Kau menyesal, Kakek tua?"

   Tanya Rradya Dagma.

   "Sedikit,"

   Desah Kalingga pelan.

   "Penasaran?"

   "He he he...,"

   Kalingga hanya tertawa.

   Pradya Dagma melihat sorot mata yang lain.

   Mata bulat merah itu tidak lagi menyala seperti semula.

   Ada keredupan di situ.

   Meski tak diucapkan, tapi Pradya Dagma tahu kalau Kakek tua itu merasa genfar jika berhadapan dengan Saka Lintang sekali lagi.

   Lawan yang mereka hadapi memang tangguh.

   Pradya Dagma sendiri berpikir seribu kali jika harus berhadapan lagi dengan Saka Lintang.

   Jurusnya yang dipadu dengan gerakan lembut disertai penyaluran tenaga dalam, dikenal sebagai jurus 'Bidadari Penyebar Maut'.

   Setiap gerakannya mengandung hawa panas dan racun yang mematikan.

   Itulah jurus gabungan dari jurus 'Tarian Bidadari' dengan 'Ular Berbisa Menyebar Racun'.

   Kehebatan jurus itu telah dirasakan oleh kedua tokoh sakti itu.

   Dengan menghirup hawa racunnya saja, kepala mereka menjadi pening.

   Tak berlebihan jika gelar Kembang Lembah Tengkorak kini disandang Saka Lintang.

   Memang, hanya gadis inilah yang tercantik dan terkejam di Lembah Tengkorak.

   *** Lima belas tahun sudah Rangga tinggal di dasar Lembah Bangkai.

   Selama itu pula tanpa sadar Rangga telah digembleng dengan jurus-jurus Rajawali Sakti.

   Di usianya yang kini menginjak dua puluh itulah Rangga mulai sadar kalau gerakan burung rajawali raksasa itu merupakan gerakan-gerakan silat tingkat tinggi.

   'Tak kuduga, kau bukan rajawali biasa,"

   Gumam Rangga setelah menyelesaikan jurus ketiga dari rangkaian jurus andalan Rajawali Sakti.

   Burung raksasa itu mengangguk-anggukkan kepala sambil merentangkan kedua sayapnya.

   Rangga paham kalau burung itu tengah menyatakan kegembiraannya.

   Diraihnya leher rajawali itu seraya dipeluknya dengan penuh kasih sayang.

   Dalam usia dua puluh tahun itu, Rangga telah menjadi pemuda yang gagah dan tampan.

   Tubuhnya tegap berisi Otot-otot menonjol di seluruh tubuhnya yang terbalut kulit putih bersih.

   Selama lima belas tahun itu, Rangga telah menguasai tiga jurus andalan dari rangkaian jurus Rajawali Sakti.

   Jurus yang pertama adalah 'Cakar Rajawali'.

   Jurus ini mengandalkan kekuatan jari-jari tangan yang dapat berubah menjadi keras dan tajam, setajam mata pedang.

   Jurus yang kedua adalah 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

   Dengan jurus ini Rangga dapat bertarung di udara tanpa sedikit pun menyentuh bumi.

   Jurus ini mengandalkan kecepatan gerak kedua tangan yang dibarengi kekuatan tenaga dalam yang baik.

   Jurus yang ketiga yakni, 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

   Dan kini Rangga tengah mempelajari jurus keempat, 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

   Jurus ini sangat berbahaya karena penuh tipuan.

   Sasarannya adalah jalan darah lawan.

   Sebenarnya jurus keempat ini hanya bisa didapat oleh orang yang memiliki tenaga dalam yang sempurna.

   Tetapi berkat selama lima belas tahun Rangga telah menyantap jamur ajaib, maka dia tak perlu lagi melatih tenaga dalamnya.

   Jamur-jamur yang telah menyebar di seluruh jaringan syaraf-syarafnya dapat membangkitkan hawa murni yang secara alami ada dalam tubuh manusia.

   "Hey! Mau kemana?"

   Teriak Rangga ketika rajawali putih itu mengepakkan sayapnya, terbang.

   Rangga segera mengerahkan ilmu 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dan dengan seketika tubuhnya menjadi ringan, Salu mengangkasa.

   Sedemikian cepatnya, hingga dalam sekejap saja dia telah berada di atas punggung rajawali.

   "Khraagh...!"

   Rajawali putih terus mengepakkan sayapnya. Kecepatan terbangnya melebihi lesatan anak panah. Sebentar saja mereka telah sampai di suatu tempat yang masih di sekitar Lembah Bangkai. Rangga belum pernah ke tempat ini.

   "Tempat apa ini?"

   Tanya Rangga setelah melompat dari punggung burung raksasa itu.

   "Kraghk!"

   Rajawali menjulurkan kepalanya ke depan.

   Pandangan Rangga mengikuri juluran kepala rajawali.

   Matanya agak menyipit mendapatkan sebuah goa di depannya.

   Tidak jauh di sisi mulut goa sebelah kanan, terdapat semacam gubuk terbuat dari ranting-ranting kayu.

   Goa itu sangat kecil, sehingga rajawali tak mungkin dapat masuk kecuali kepalanya saja.

   Tapi, gubuk siapakah itu? Rajawali putih mendorong punggung Rangga dengan sayapnya.

   Agak ragu-ragu Rangga melangkah menghampiri gubuk rusak itu.

   Dia tersentak ketika melihat di bawah atap rumbia gubuk terdapat makam.

   Sungguh aneh, keadaan makam itu terawat rapi meski gubuk yang menaunginya telah reyot.

   Walaupun Rangga tidak tahu itu makam siapa, namun tetap berlutut hormat.

   Seketika dia teringat kedua orang tuanya yang terbunuh lima belas tahun silam.

   Rangga sendiri tak tahu di mana makam kedua orang tuanya sendiri.

   Agak lama dia berlutut dan tepekur di samping makam.

   "Krhaghk!"

   Rangga menoieh ke belakang.

   Rajawali yang masih di belakangnya tertunduk mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Sepertinya ikut sedih melihat makam ini.

   Rangga menghampiri dan memeluk leher burung raksasa itu.

   Seakan ingin berbagi perasaan dengan rajawali itu.

   "Makam siapa itu?"

   Rangga berbisik.

   Rajawali putih menggoyang-goyangkan kepala lalu menjulurkan ke arah goa.

   Rangga paham kalau dia dimohon masuk dalam goa itu.

   Tanpa ragu-ragu kaki Rangga melangkah ke dalam goa.

   Dia tertegun sejenak saat berada dalam goa.

   Keadaan ruangan tak begitu besar namun banyak menyimpan barang-barang keperluan seperti layaknya tempat tinggal.

   Pada salah satu dinding, terdapat rak yang penuh dengan buku-buku.

   Di samping kirinya terdapat bermacam-macam senjata.

   Ada pedang, golok, tombak, hingga senjata yang aneh-aneh bentuknya.

   Goa ini ternyata juga sebagai tempat penyimpanan jamur-jamur yang biasa dimakan Rangga.

   Anehnya, jamur berwarna putih sebesar kepalan tangan itu hanya tumbuh pada satu dinding dekat tempayan air.

   Tepatnya dinding sebelah kanan menuju lobang ke luar goa.

   "Kau juga ingin melihat?"

   Rangga menggeser tubuhnya memberi kesempatan pada kepala rajawali untuk menyelinap masuk.

   "Khraghk!"

   "Ada apa dengan buku-buku itu?"

   Tanya Rangga. Rajawali putih itu mematuk-matuk paruhnya ke lantai goa yang berpasir. Rangga cerdik. Dia dapat menangkap maksud burung rajawali ini. Bergegas didekatinya rak buku, dan diambilnya salah satu buku yang berada paling ujung sebelah kiri.

   "Khraghk!"

   Rangga menoleh.

   Dilihatnya kepala burung rajawali itu menggeleng-geleng beberapa kali.

   Diletakkan kembali buku itu di tempatnya.

   Dia berpindah mengambil buku paling ujung sebelah kanan.

   Kepala burung itu mengangguk-angguk, dan mematuk-matuk lantai goa lagi.

   Rangga tahu kalau dia harus membaca buku itu.

   Dan memang benar, buku itu temyata berisi gambar-gambar jurus silat.

   Beberapa di antaranya telah di kuasai.

   Namun kecerdikannya menangkap kalau dia harus memperdalam lagi melalui buku itu.

   "Punya siapa buku-buku ini?"

   Tanya Rangga. Kepala rajawali putih menengok ke belakang.

   "Jadi pemilik buku dan semua yang ada di sini, telah meninggal? Siapa dia sebenarnya?"

   Paruh rajawali putih mematuk-matuk dinding goa."Sebelah mana?"

   Dengan paruhnya rajawali itu menunjuk ke arah kanan. Rangga mengikuti arah yang ditunjukkan. Dia hanya mendapatkan sebuah dinding batu tebal dan berlumut "Khraghk"

   Rajawali putih memutar-mutar kepalanya beberapa kali.

   Rangga menoleh.

   Dia melihat rajawali masih terus memutar-mutar kepalanya.

   Rangga berpikir sejenak dengan dahi sedikit berkerut serta mata agak menyipit, lalu mengangguk.

   Dengan langkah mantap didekatinya dinding itu.

   Tangan kanannya mendorong, tapi dinding batu itu tak bergeser sedikit pun.

   "Krhaghk!"

   "Baiklah, aku sekarang mengerti,"

   Sahut Rangga.

   Rangga mundur dua tindak.

   Dipusatkan perhatiannya pada dinding batu itu.

   Dengan cepat kedua teiapak tangannya yang terbuka mendorong ke depan.

   Seketika itu juga terdengar suara ledakan yang dahsyat, disusiil getaran seluruh dinding goa.

   Dengan mata terbelalak, Rangga menyaksikan dinding batu di depannya itu bergeser ke samping.

   Suara geseran batu itu menimbulkan gemuruh, seakan-akan seluruh dinding goa akan runtuh.

   Matanya makin terbelalak setelah dinding batu itu terbuka lebar.

   Sebuah ruangan yang agak lebar nampak, bersamaan dengan berhenrinya suara gemuruh itu, Seberkas cahaya terang memancar dari api yang berasal dari tengah lubang sebuah batu.

   Tidak ada apa-apa di ruangan itu kecuali sebuah batu yang menyerupai altar.

   Benda itu terletak di tengah-tengah ruangan.

   Sebuah buku kumal tergeletak di atasnya.

   Rangga melangkah masuk.

   Didekatinya batu altar yang hitam pekat.

   Tangannya meraih buku kumal dan membuka halaman pertama buku itu.

   Berkerut kening Rangga ketika membaca halaman pertamanya....

   *** Rangga kini tahu siapa yang sebenamya menempati goa ini sebelumnya.

   Dia adalah seorang tokoh yang tak tertandingi selama kurun waktu seratus tahun lalu.

   Seorang tokoh yang bergelar Rajawali Sakti yang bertahun-tahun malang melintang di rimba persilatan.

   Sampai akhirnya tokoh itu mengasingkan diri di dasar Lembah Bangkai.

   Buku kumal yang diambil Rangga dari atas altar itu memang dapat bercerita banyak.

   Hingga pada akhirnya dia tahu bahwa goa besar yang telah jadi tempat tinggalnya selama lima belas tahun adalah tempat tinggal burung rajawali raksasa tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

   Bahkan buku itu juga menceritakan tentang sepak terjang pendekar itu selama berkelana di dunia persilatan.

   Selama dalam pengasingan diri itu, temyata Pendekar Rajawali Sakti telah menuliskan seluruh ilmunya ke dalam buku.

   Hal inilah yang membuat Rangga kian gembira karena juga ditemuinya buku yang berisi jurus-jurus silat Pendekar Rajawali Sakti.

   Belum lagi puas rasa kagumnya, Rangga kembali terkagum dengan sebuah peninggalan Pendekar Rajawali Sakti.

   Sebuah pedang pusaka yang sangat ampuh.

   Pedang itu memancarkan sinar biru kemilauan, dengan gagang berbentuk kepala rajawali yang terbuat dari emas murni.

   Pengaruh pedang itu memang dahsyat Seluruh aliran darah Rangga terasa bergetar ketika mencabut pedang itu dari sarungnya.

   Kekaguman Rangga tak terhenti sampai di situ.

   Dicobanya pedang telanjang itu pada sebuah batu sebesar kerbau.

   Dan hanya sekali tebas saja, batu hancur berkeping-keping! "Khraaaghk...!"

   Rangga menoleh ke arah Rajawali yang sejak tadi mengawasi dari mulut goa.

   Dia segera memasukkan pedang itu ke dalam sarungnya.

   Kepala burung raksasa terangguk-angguk sambil mengeluarkan suara yang memekakkan telinga.

   Rangga tersenyum.

   Dia tahu kalau burung itu menyatakan kegembiraannya.

   Rajawali putih gembira karena Rangga tidak mendapat pengaruh yang berarti sewaktu memegang dan menebaskan pedang pusaka itu.

   Sebab tak sembarang orang dapat meiakukannya.

   Kalau bukan jodohnya dapat ambruk muntah darah meski belum mencabut dari sarungnya.

   "Ya, ya...! Mudah-mudahan aku bisa mengikuti jejak Pendekar Rajawali Sakti,"

   Kata Rangga menya-huti gerak-gerak kepala burung itu.

   "Khraaaghk..!"

   Burung rajawali seakan-akan menyambut gembira ucapan Rangga itu. Dilampiaskan kegembiraannya itu dengan mengepak-ngepakkan sayap dan terbang berputar-putar. Suaranya memekakkan telinga.

   "Rajawali, sudah! Aku juga gembira!"

   Teriak Rangga yang sudah berada di luar goa.

   Burung itu segera menukik turun di depan Rangga.

   Kepalanya mendesak-desak wajah Rangga.

   Rangga memeluk penuh kasih sayang.

   Dia berjanji dalam hati akan menuntaskan seluruh ilmu-ilmu Pendekar Rajawali Sakti sekaligus menyempurnakannya.

   Tiba-tiba Rangga teringat akan ayah ibunya yang telah terbunuh.

   Hatinya mendadak panas terbakar dendam.

   Dia bertekad akan mencari pembunuh orang tuanya setelah menguasai seluruh ilmu Pendekar Rajawali Sakti.

   Kemurungan yang tergambar di wajah Rangga terlihat oleh burung rajawali.

   Mata bulat merah menatap lurus ke wajah Rangga.

   Sepertinya ikut merasakan kepedihan yang melanda hati anak muda ini.

   "Maaf, seharusnya aku tidak boleh sedih,"

   Ucap Rangga pelan. Kepala burung rajawali menggeleng-geleng pelan. Sinar matanya redup. Seolah ingin mengatakan agar Rangga mengeluarkan seluruh isi hati kepadanya.

   "Aku harus membalas kematian ayah dan ibu,"

   Ucap Rangga sedikit geram.

   "Khraghk!"

   Burung rajawali putih mengangguk-angguk seperti menyetujui ucapan Rangga.

   "Ya..., ya. Aku juga harus membasmi segala bentuk kejahatan di atas bumi ini. Rajawali berseru nyaring. Kata-kata Rangga membuat hatinya senang. Dulu majikannya juga seorang pendekar yang selalu membasmi kejahatan dan membantu yang lemah. Kini Rangga yang diasuhnya sejak kecil juga memiliki jiwa tuhur dan berhati bersih. Rajawali gembira karena telah mendapatkan pengganti Pendekar Rajawali Sakti yang telah lama meninggal dunia. *** Rangga kini menyempurnakan jurus-jurusnya berdasarkan buku petunjuk peninggalan Pendekar Rajawali Sakti. Setiap Rangga berlatih, maka burung rajawali putih selalu menemani dan memberi petunjuk dengan bahasa isyarat. Satu persatu jurus-jurus sakti yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti disempumakannya. Waktu terus berjaian hingga tak terasa lima tahun telah berlalu. Rangga kini telah mencapai tingkat terakhir jurus Rajawali Sakti. Bahkan kini Rangga berhasil menggabungkan empat jurus andalannya yang memang sebelumnya sangat dahsyat. Gabungan empat jurus andalan itu dinamakan jurus 'Seribu Rajawati'. Kedahsyatan ilmu itu, Rangga bagaikan menjelma menjadi burung rajawali. Kecepatan geraknya sangat luar biasa. Gerakan itu membuat Rangga seperti menjadi seribu jumlahnya. Dengan jurus ini dia dapat bertarung di darat dan di udara tanpa kesulitan apa-apa.

   "Khraaaghk...!"

   Rajawali raksasa berseru nyaring ketika Rangga menyelesaikan jurus terakhirnya.

   Rangga menoleh dan tersenyum.

   Tubuhnya yang, tegap dan kekar tampak bercahaya.

   Keringat membasahi seluruh tubuhnya bagai butir-butir permata tertimpa sinar matahari.

   Rangga tersenyum puas melihat kehebatan jurus terakhirnya.

   "Bagaimana, rajawali?"

   Tanya Rangga.

   "Khraaaghk!"

   Rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ada yang kurang?"

   Rajawali menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Aku merasa sudah waktunya meninggalkan lembah ini,"

   Agak pelan suara Rangga menyampaikan maksud itu.

   Rajawali raksasa menatap lurus ke bola mata Rangga.

   Seperti berat untuk berpisah dengan aark muda ini.

   Dua puluh tahun mereka bersama dan kini saatnya berpisah.

   Rangga harus mencari pembunuh orang tuanya.

   "Setiap saat kita bisa berternu,"

   Kata Rangga seperti mengerti perasaan rajawali itu. Sebenarnya dia juga berat untuk meninggalkan lembah ini. Tapi dia harus membalas kematian orang tuanya. Mata rajawali masih menatap ke bola mata Rangga.

   "Aku sudah menguasai ilmu 'Siulan Sakti' jadi kau dapat kupanggil dalam jarak jauh sekalipun,"

   Kata Rangga lagi.

   Burung rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya.

   Sepertinya dia telah merasa lega mendengar Rangga berhasil menguasai ilmu 'Siulan Sakti*.

   Dengan ilmu itu mereka bisa bertemu setiap saat.

   Dengan demikian ikatan batin makin terjalin erat.

   "Kau tidak keberatan kalau aku memakai nama Pendekar Rajawali Sakti?"

   Rangga meminta persetujuan.

   "Khraghk!"

   Rajawali raksasa itu mengangguk-angguk tanda setuju.

   "Mudah-mudahan mendiang Pendekar Rajawali Sakti juga menyetujui,"

   Gumam Rangga pelan.

   Bersamaan dengan itu, tiba-tiba kilat menyambar beberapa kali disertai suara gemuruh.

   Padahal iangit saat itu cerah sekali.

   Bahkan kabut tebal yang biasanya menyelimuti lembah tak nampak sejak tadi pagi.

   Rangga mendongakkan kepalanya.

   Gumamnya seolah terdengar oleh Yang Maha Kuasa.

   Kilat yang menyambar disertai suara gemuruh seperti pertanda Pendekar Rajawali Sakti telah menitis ke dalam tubuh Rangga.

   Ini berarti pemuda tampan dan gagah itu berhak memakai julukan Pendekar Rajawali Sakti.

   Rasa terkejut dan gembira belum lagi hilang, tiba-tiba dasar Lembah Bangkai bergetar hebat bagai gempa.

   Bersamaan dengan itu burung rajawali raksasa mengeluarkan suara nyaring sambil mengepak-ngepakkan sayapnya, namun tak terbang.

   Rangga tidak mengerti dengan kejadian yang tiba-tiba ini.

   Dia heran kenapa burung itu juga mendadak seperti gila.

   Belum terjawab apa yang jadi tanda tanya di dalam benaknya itu, mendadak tanah kuburan yang berada di depan Rangga terbongkar disertai suara ledakan dahsyat.

   Rangga melompat mundur satu tombak.

   Dia tercenung melihat rajawali putih menekuk kedua kakinya.

   Kepalanya tertunduk dalam.

   Kedua sayapnya terbentang lebar menutupi rerumputan di sekitarnya.

   Tiba-tiba Rangga terkejut.

   Dari dalam kuburan yang terbongkar, keluar asap biru bergulung-gulung.

   Semakin lama semakin tinggi ke angkasa, kemudian lenyap bersamaan dengan munculnya seorang lalu-laki berwajah tampan dan gagah berdiri di atas tanah kuburan yang berlubang besar.

   Rajawali putih menoleh kepada Rangga lalu memberi isyarat agar Rangga berlutut.

   Walaupun benaknya masih bertanya-tanya, Rangga berlutut.

   Dia tidak mengenal laki-laki tampan itu.

   "Maaf, siapakah Kisanak sebenarnya?"

   Sopan dan lembut suara Rangga.

   "Aku Pendekar Rajawali Sakti,"

   Sahut laki-laki tampan itu.

   "Oh!"

   Rangga tersentak kaget. Segera dia memberi hormat.

   "Bangunlah, anak muda,"

   Kata Pendekar Rajawali Sakti pelan berwibawa. Rangga berdiri agak ragu-ragu. Sekali lagi dia menghormat.

   "Bertahun-tahun aku menginginkan seorang murid yang bisa mewarisi seluruh ilmu-ilmuku. Akhimya, harapanku terkabul. Meskipun tak langsung kau peroleh dariku, namun aku bangga kau dapat menguasai seluruh ilmu 'Rajawali Sakti'. Bahkan kau mungkin lebih sempurna daripada diriku,"

   Ujar Pendekar Rajawali Sakti.

   "Mohon ampun jika hamba yang hina ini berlaku lancang,"

   Ucap Rangga dengan tutur bahasa indah. Semua kata-kata itu didapatkannya dari salah satu buku yang terdapat dalam goa.

   "Tidak ada yang salah pada dirimu, Rangga. Aku merasa bangga. Kau memang pantas menyandang gelar Pendekar Rajawali Sakti. Tutur kata dan budi pekertimu tak kusangsikan lagi. Hanya satu yang masih mengganjal hatiku."

   "Hamba mohon petunjuk guru."

   "Kau belum bisa menghilangkan rasa dendam dalam hatimu!"

   Rangga tertunduk saja. Dia memang ingin balas dendam atas kematian orang tuanya. Batinnya belum tenang kalau dia tidak melaksanakan niat itu. Rangga ingat betul saat kedua orang tuanya dibunuh di depan matanya sendiri.

   "Aku dapat merasakan kegundahanmu, Rangga,"

   Kata Pendekar Rajawali Sakti lembut.

   "Hamba mohon ampun, Guru,"

   Ucap Rangga pelan.

   "Kau tak bersalah, Rangga. Memang sudah menjadi kewajiban seorang anak membela martabat orang tuanya. Kau boleh saja membalas kematian orang tuamu. Hanya, ada satu permintaanku."

   "Apa itu, Gum?"

   "Sebelum kau tinggalkan tempat ini, sebaiknya bersemedilah selama tujuh hari. Bersihkan dulu jiwa dan ragamu dari nafsu duniawi yang dapat menjeratmu ke lembah nista."

   "Baik, Gurum. Akan hamba laksanakan semua titah Guru."

   "Bagus! Rajawali putih akan menemanimu bersemedi. Dia juga akan menunjukkan tempat yang baik untuk bersemedi."

   "Terima kasih, Guru." .

   "Nah! Mulai sekarang kau berhak menyandang gelar Pendekar Rajawali Sakti yang kau inginkan itu!"Bersamaan dengan itu, tiba-tiba jelmaan Pendekar Rajawali Sakti menghilang. Seketika itu pula kuburan yang berlubang terrutup kembali, disusul oleh suara guruh disertai kilat yang menyambar-nyambar. dengan sekejap, langit kembali cerah seperti semula. Rangga menghormat sekali lagi, lalu berpaling menatap rajawali yang berdiri kokoh. Sesaat mereka saling pandang. Kepala burung itu menggeleng lalu menoleh ke belakang. Rangga mengerti maksudnya. Dengan tangkas dan ringan dia melompat, hinggap di punggung rajawali putih.

   "Khraagk...!"

   Bagai anak panah lepas dari busurnya, rajawali putih melesat mengangkasa.

   Dalam sekejap saja mereka telah berada di udara meninggalkan Lembah Bangkai di kaki bukit Cubung.

   Rangga menoleh ke bawah.

   Lembah Bangkai bagaikan sebuah garis hitam di antara permadani hijau yang luas.

   "Kau bawa ke mana aku?"

   Tanya Rangga.

   "Khraaaghk!"

   Sahut rajawali terns terbang menuju Utara.

   "Di sanakah aku harus bersemedi?"

   Tanya Rangga lagi."Khraghk!"

   Kepala rajawali terangguk-angguk.

   *** Rangga mengedarkan pandangan ke sekeliling.

   Tempat inilah yang pertama diinjaknya setelah keluar dari Lembah Bangkai.

   Sebuah daerah berbukit batu cadas.

   Gersang dan tanpa sebatang pohon pun tumbuh di situ.

   Di sekelilingnya hanya batu-batuan yang membukit.

   Dengan ujung paruhnya, rajawali putih mematuk-matuk sebuah batu besar yang pipih.

   Rangga memandang batu itu, lalu kembali mengedarkan pandangannya.

   Matanya menatap ke bola mata rajawali.

   "Di sini tempatnya?"

   Tanya Rangga belum yakin.

   Bagaimana mungkin bersemadi di daerah gersang seperti ini.

   Tempatnya di sebuah batu di tengah-tengah bukit, yang panas menyengat pada siang hari, dan dingin menusuk pada malam hari.

   Rangga menjadi yakin.

   Di mana pun tempatnya, harus dilaksanakan titah Pendekar Rajawali Sakti.

   Tepat purnama Rangga hams memulai semadinya.

   Rangga mendongakkan kepalanya.

   Matahari sudah condong ke Barat.

   Sebentar lagi malam tiba, dan purnama tepat jatuh pada malam ini.

   Rangga harus menyiapkan diri dari sekarang untuk bersemadi.

   Proses terakhir yang sangat berat dalam latihan kesempurnaan seorang pendekar.

   Apapun beratnya, Rangga tak perduli.

   Hatinya mantap.

   Tak ada artinya gemblengan berat di Lembah Bangkai jika harus ciut hatinya menjalani tahap akhir dari rangkaian ilmu Rajawali Sakti.

   Satu tahapan yang paling berat.

   Bersemadi dan berpuasa selama tujuh hari tujuh malam.

   Matahari telah tenggelam.

   Rangga telah bersila dan kedua telapak tangannya merapat di depan dada.

   Kepalanya tertunduk, perhatiannya terpusat pada mata hatinya.

   Pikirannya kosong.

   Seluruh indranya tertutup.

   Sementara itu rajawali putih mendekam tidak jauh dari Rangga.

   Malam teruss merambat.

   Dingin mulai menusuk.

   Namun Rangga telah menutup indra yang berhubungan dengan dunia luar.

   Dia merasa seperti hidup di alam lain.

   *** Di lereng bukit Cubung, siang itu mendung.

   Awan hitam bergulung-gulung di angkasa menutupi cahaya matahari.

   Angin berhembus keras merontokkan dedaunan.

   Tampaknya sebentar lagi akan turun hujan lebat.

   Keadaan alam yang tak menguntungkan itu, tidak menghalangi seorang penunggang kuda untuk memacu dengan cepat melintasi lereng bukit Cubung.

   Penungggang kuda itu laki-laki tampan dan gagah.

   Dilihat dari dua buah pedang kembar di punggungnya, penunggang kuda itu tak lain dari Kala Srenggi.

   "Berhenti...!"

   Kala Srenggi terkejut mendengar bentakan yang keras.

   Seketika dia menarik tali kekang kudanya.

   Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat dua kaki depannya, lalu berhenti.

   Kala Srenggi mengedarkan pandangannya.

   Tak ada seorang pun terlihat di sekitar situ.

   Kala Srenggi yakin pasti orang yang membentak itu mempunyai kepandaian yang tinggi.

   Segera dia waspada.

   "Siapa pun adanya, keluar! Jangan seperti tikus busuk bersembunyi dalam got!"

   Teriak Kala Srenggi dibarengi penyaluran tenaga dalam yang besar sehingga menggema ke selumh bukit. Begitu hebatnya tenaga dalam yang dimiliki Kala Srenggi, sehingga hembusan angin berhenti seketika. Matanya kembali beredar ke sekelilingnya.

   "He he he..., ternyata Si Samber Nyawa hanya mengandalkan bacot!"

   Terdengar suara ejekan menggema.

   "Monyet buntung! Kalau punya nyali, keluar!"

   Kala Srenggi panas.

   "Sejak tadi aku di sini, Kala Srenggi."

   Rasa terkejut Kala Srenggi bagai disengat ribuan tawon.

   Dia cepat melompat dari punggung kudanya.

   Entah dari mana datangnya, tiba-tiba telah berdiri seorang kakek di atas batu besar.

   Kala Srenggi tahu kalau kakek itu seorang tokoh sakti yang bernama Empu Danuraga, atau biasa dijuluki Si Gila Pembuat Pedang.

   Empu Danuraga seorang tokoh tua yang sangat disegani.

   Meskipun sikap dan tingkat lakunya ugal-ugalan, tetapi dia termasuk tokoh aliran putih.

   Banyak tokoh hitam yang tunduk dan tewas di tangannya.

   Caranya berdiri di atas batu itu juga seperti bocah.

   Dia bertumpu pada sebatang pedang hitam jengat dan sebelah kakinya ditekuk bersilang.

   "Ada urusan apa kau menghalangi jalanku, Kakek tua"

   Tanya Kala Srenggi dingin.

   "He he he..., aku hanya minta ditemani,"

   Sahut Empu Danuraga. Tangannya menimang-nimang pedang hitam, bagai menimang boneka.

   "Aku tak sempat menemanimu. Ada urusan yang lebih penting!"

   Kala Srenggi melompat ke punggung kudanya.

   Namun belum sempat duduk, tiba-tiba sepotong ranting kering meluncur cepat ke arahnya.

   Kala Srenggi dengan cepat berkelit.

   Dengan ujung jari, disentilnya ranting itu.

   Tubuh Kala Srenggi lalu bersalto di udara, kembali turun dengan manis.

   "He he he..., Samber Nyawa ternyata bukan hanya nama kosohg,"

   Lagi-lagi Empu Danuraga mengejek.

   "Empu gila!"

   Bentak Kala Srenggi gusar.

   "Aku tidak ada urusan denganmu. Mengapa kau halangi jalanku?" 'Tidak ada urusan katamu? He he he.... Rupanya kau sudah pikun, Kala Srenggi. Aku sengaja meninggalkan gubukku untuk mencarimu. Kau berhutang nyawa pada cucuku!"

   "Jangan mencari-cari perkara, Empu Danuraga.' Aku tidak kenal dengan cucumu!"

   Empu Danuraga mendengus sambil menghentak-kan pedang hitam nya ke atas batu.

   Dengan cepat dia melompat ke arah Kala Srenggi.

   Batu yang terkena hantaman pedang hitam tadi berderak, lalu hancur luluh seperti tepung.

   Kala Srenggi terperanjat melihat kehebatan kakek tua itu.

   Kala Srenggi melihat jelas kalau pedang tadi hanya dihentakkan satu kali.

   Hentakannya pun biasa saja, namun hasilnya sangat mengejutkan.

   Batu sebesar kerbau hancur jadi serpihan! Sungguh luar biasa tenaga dalam dan pedang hitam Empu Danuraga.

   Tidak mustahil pedang hitam itu merupakan senjata pusaka ampuh dan dahsyat.

   "Tiga tahun bukan waktu yang lama, Kala Srenggi"

   Dengus Empu Danuraga geram.

   "Apa kau sudah lupa dengan peristiwa tiga tahun yang lalu di Padepokan Banyu Larang?"

   Tentu saja Kala Srenggi tidak lupa.

   Padepokan Banyu Larang adalah tempat pertama dia menunaikan tugas yang diberikan oleh Geti Ireng.

   Seluruh murid-murid di Padepokan itu dibabatnya, karena tidak bersedia mengakui Panji Tengkorak sebagai partai terbesar dan induk seluruh partai.

   Ada seorang anak muda yang menjadi tamu di Padepokan Banyu Larang, terbunuh oleh Kala Srenggi.

   Apakah pemuda yang mencoba membunuhnya itu cucu Empu Danuraga? Dilihat dari jurus dan kesaktiannya, memang mirip dengan jurus silat Empu Danu raga.

   "Kau membunuh seorang utusan pribadiku! Kau tahu, siapa tamu yang kau bunuh di Padepokan Banyu Larang?"

   Geram Empu Danuraga. Matanya tajam menatap Kala Srenggi.

   "Aku tidak perduli siapa dia!"

   Sahut Kala Srenggi getir.

   "Dia cucuku!"

   Kala Srenggi tak terkejut lagi. Sudah diduganya sejak semula kalau anak muda itu adalah cucu Empu Danuraga.

   "Hutang pati bayar pati, hutang nyawa bayar nyawa!"

   Lanjut Empu Danuraga lalu bersiap-siap menyerang Kala Srenggi.

   Kala Srenggi segera bersiap-siap pula.

   Dia sudah mendengar tentang kehebatan tokoh tua ini, maka dengan segera dicabut pedang kembarnya.

   Mata pedang yang keperakan itu bersinar menyilaukan tertimpa cahaya matahari yang telah kembali bersinar.

   Disilangkan kedua pedang di depan dada.

   Kaki kanannya ditekuk ke depan sedikit.

   Itulah pembukaan jurus 'Pedang Kembar' Jurus dahsyat yang jadi salah satu andalan Kala Srenggi.

   "He he he...!"

   Empu Danuraga terkekeh melihat pembukaan jums 'Pedang Kembar'.

   "Mainan bocah ingusan jangan kau pamerkan di hadapanku."

   "Rasakan pedang kembarku, kakek sinting!"

   Kala Srenggi segera menerjang dengan jurus-jurus ampuh-nya.

   Empu Danuraga terkekeh sambil berkelit sedikit ke kiri dan ke kanan, menghindari sabetan dan tusukan pedang kembar.

   Jurus 'Pedang Kembar' yang dimainkan Kala Srenggi memang hebat.

   Gerakannya cepat sehingga bentuk pedangnya tidak nampak lagi.

   Yang terlihat hanya seberkas sinar kembar berkelebatan mengurung Empu Danuraga.

   Namun begitu, Empu Danuraga tenang saja.

   Bahkan kedua kakinya tidak bergeser sedikit pun.

   Suara tawanya terus terdengar.

   "Setan tua!"

   Jangan katakan aku kejam jika kau mampus di ujung pedangku!"

   Dengus Kala Srenggi melihat lawannya hanya berkelit saja.

   "Sudah kukatakan, pedangmu hanya mainan bocah ingusan!"

   Ejek Empu Danuraga.

   Wut! Kala Srenggi merobah serangannya.

   Kali ini digunakannya jurus 'Dua Mata Pedang Maut'.

   Jurus ini lebih hebat lagi.

   Kala Srenggi bahkan hanya terlihat bayangannya saja.

   Melompat ke segala penjuru dengan kedua pedang menyambar-nyambar.

   Trang! Kali ini Empu Danuraga terpaksa menggunakan pedang hitamnya untuk menangkis serangan lawan.

   Dalam hati dia mengagumi jurus-jurus yang dimainkan Kala Srenggi.

   Pijaran api memercik ketika pedang mereka berbenturan.

   Di pihak Kala Srenggi, dia juga mengakui kehebatan kakek ini.

   Tangannya selalu terasa kesemutan jika salah satu pedangnya membentur pedang Empu Danuraga.

   Tapi berkat ketrampilannya memainkan dua pedang yang dibarengi pengerahan tenaga dalam, Kala Srenggi masih mampu melakukan serangan-serangan berbahaya.

   Lima belas jurus telah berlalu.

   Belum ada seorang pun kelihatan terdesak.

   Empu Danuraga sendiri sudah membuka serangan berbahaya dengan jurus-jurus andalannya.

   Kini dua puluh jurus berlalu, namun belum juga ada yang terdesak.

   Merasa tidak mungkin mengalahkan Empu Danuraga dengan ilmu pedang, Kala Srenggi melompat ke luar pertarungan sejauh dua tombak.

   Segera kaki-nya melebar.

   Kedua tangannya menjulur ke atas.

   Kedua tangan itu pelan-pelan turun menekuk sejajar ketiak.

   Kala Srenggi membuka 'Ajian Tapak Beracun'.

   *** "Tunggu!"

   Sentak Empu Danuraga tiba-tiba.

   "Kau takut dengan 'Ajian Tapak Beracun' ku!"

   Ejek Kala Srenggi "Meski kau gunakan nama lain untuk ajianmu itu, aku bisa kenali kalau ajian itu adalah gerakan 'Aji Racun Merah'! Ada hubungan apa kau dengan Setan Racun Merah?"

   "Apa pedulimu dengan tua bangka tolol itu?"

   Dengus Kala Srenggi.

   "Apa hubunganmu dengan Setan Racun Merah?"

   Desak Empu Danuraga.

   "Ha ha ha...!"

   Kala Srenggi hanya tertawa.

   Empu Danuraga mengkeretkan gerahamnya.

   Sinar matanya tajam menatap Kala Srenggi.

   Hampir sepuluh tahun dia tidak pernah mendengar kabar Setan Racun Merah.

   Dan sekarang, tiba-tiba saja jums ampuh itu diperagakan Kala Srenggi.

   Walau dengan nama lain, tetapi Empu Danuraga masih bisa mengenali dengan baik.

   Lebih-lebih ketika melihat kedua telapak tangan Kala Srenggi memerah seperti terbakar.

   "Kau memiliki 'Aji Racun Merah', tentunya kau kenal baik dengan Setan Racun Merah. Katakan, di mana dia sekarang?"

   Dingin suara Empu Danuraga.

   "Dia sudah mati!"

   Kala Srenggi datar.

   "Edan! Jangan main-main, Kala Srenggi!"

   Empu Danuraga gusar merasa dipermainkan.

   "Siapa yang main-main? Dia sudah mati setelah menurunkan 'Aji Racun Merah' padaku!"

   "Jadi... kau muridnya?"

   "Kalau benar, kau mau apa?"

   "Setan busuk!"

   Dengus Empu Danuraga geram.

   "Sepuluh tahun aku menunggu, ternyata dia sudah mati! Huh, sia-sia semua yang kulakukan selama sepuluh tahun!"

   Kala Srenggi mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti kenapa Empu Danuraga seperti menyesali kematian Setan Racun Merah. Adakah hubungan istimewa antara dua orang itu? "Di mana dia dikuburkan?"

   Tanya Empu Danuraga lagi.

   "Untuk apa kau ketahui?"

   Balas Kala Srenggi.

   "Aku harus tahu kuburnya!"

   "Tidak seorang pun boleh tahu!"

   "Setan alas!"

   Geram Empu Danuraga.

   Kala Srenggi terkejut setengah mati melihat perubahan paras Empu Danuraga.

   Seluruh wajah kakek itu mendadak menjadi hitam legam bagai arang.

   Tanpa disadari, Empu Danuraga mengerahkan 'Aji Klabang Geni'.

   Satu ajian yang sangat dahsyat dan sulit dicari tandingannya.

   Tiba-liba saja Kala Srenggi teringat pesan Setan Merah sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir.

   Dia harus menghindari bentrokan dengan Empu Danuraga.

   Lebih-lebih jika kakek ini sudah mengerahkan 'Aji Klabang Geni'.

   Tidak mungkin Kala Srenggi dapat menandingi meski menggunakan 'Aji Racun Merah' sekalipup.

   "Baiklah!"

   Gumam Kala Srenggi sambil menarik kembali ajiannya itu.

   "Kuburan Setan Racun Merah ada di puncak Gunung Cupul"

   Empu Danuraga hanya mendengus pendek, lalu membalikkan tubuhnya. Wajahnya kembali seperti biasa. Sinar matanya mulai redup. Namun tidak mengurangj ketajamannya.

   "Setan Racun Merah sudah mati, untuk apa kau menanyakan kuburannya?"

   Tanya Kala Srenggi ingin tahu.

   "Aku ingin membuktikan ucapanmu!"

   Sahut Empu Danuraga datar.

   "Lalu apa hubunganmu dengan Setan Racun Merah?"

   "He he he...!"

   Empu Danuraga terkekeh.

   "Apakah kau akan membela gurumu?"

   "Tanpa Setan Racun Merah, antara kita sudah punya urusan."

   "Kau akan tahu nanti, Kala Srenggi!"

   "Hey...!"

   Empu Danuraga mencelat bagai kilat. Sekejap saja tubuh Empu Danuraga lenyap dari pandangan mata. Kala Srenggi tidak mungkin mengejar meski dia tahu ke arah mana kakek itu pergi.

   "Kelak aku akan mencarimu, Kala Srenggi. Persoalan kita belum selesai!"

   Tiba-tiba suara Empu Danuraga bergema.

   Kala Srenggi terkejut.

   Dia tahu itu suara Empu Danuraga.

   Suara yang dihembuskan dengan jelas tanpa diketahui ujudnya.

   Sungguh suatu ilmu yang hebat.

   Lama juga Kala Srenggi mematung.

   Kata-kata Empu Danuraga tidak bisa dianggap main-main.

   Entah kapan, pasti dia akan mencari dan menuntut balas atas kematian cucunya.

   "Hhhh...!"

   Kala Srenggi menarik napas panjang.

   Terselip rasa sesal membiarkan seorang murid Padepokan Banyu Larang lolos.

   Sebenarnya bisa saja dikejar, tapi Kala Srenggi terlalu sibuk menghadapi ketua Padepokan itu.

   Tentu orang yang lolos itulah yang memberitahu Empu Danuraga tentang peristiwa di Banyu Larang.

   Kala Srenggi rnenghembuskan napasnya dalam dalam.

   Sudah kepalang basah, pesan Setan Racun Merah terpaksa dilanggarnya.

   Toh ini bukan kesengajaan.

   Jika pada akhirnya harus bentrok dengan Empu Danuraga, dengan terpaksa harus dihadapinya walau Setan Racun Merah sendiri tak mampu mengalahkan Empu Danuraga.

   Apalagi dirinya? Kala Srenggi dengan sigap melompat ke punggung kudanya.

   Segera kuda itu melesat setelah Kala Srenggi menggepraknya.

   Debu-debu beterbangan diterjang kaki-kaki kuda yang bagaikan terbang itu.

   *** Di depan sebuah kedai satu-satunya di dukuh Giring, Kala Srenggi menghentikan kudanya.

   Seperti ingin memamerkan ilmu ringan tubuhnya, dia melompat dengan indah dari punggung kuda.

   Dengan langkah tegap dan pandangan Jurus ke depan, dia memasuki kedai itu.

   Matanya langsung tertuju pada Saka Lintang dan tiga orang laki-laki berwajah kasar.

   Mereka duduk menghadapi meja yang penuh dengan makanan.

   Kala Srenggi segera menghampiri dan duduk di antara mereka.

   Ketiga laki-laki yang bersama Saka Lintang adalah pengawal pribadi gadis ini.

   Julukan mereka Tiga Serangkai Rantai Baja.

   "Kau terlambat, Kala Srenggi,"

   Kata Saka Lintang, Kembang Lembah Tengkorak. Suaranya datar tanpa tekanan sedikit pun. Bicaranya pun tanpa menoleh karena sibuk dengan makanannya.

   "Ada hambatan kecil,"

   Sahut Kala Srenggi sambil menuang arak ke dalam gelas bambu.

   "Aku tidak peduli dengan alasanmu, aku perlu laporanmu!"

   Masih datar suara Saka Lintang.

   "Gagal,"

   Pelan suara Kala Srenggi.

   Brak! Gebrakan Saka Lintang membuat meja bergetar yang digebraknya bergetar dan pecah jadi dua.

   Seluruh makanan dan minuman yang ada di atasnya, beran-takan bersamaan dengan tergulingnya meja itu.

   Tiga laki-laki yang duduk di depan Saka Lintang melompat.

   Beberapa pengunjung kedai segera lari ke luar ketakutan.

   Bagi pengunjung yang bernyali besar, tetap duduk tenang di meja masing-masing.

   "Semua bukan salah ku, tapi ini!"

   Kala Srenggi sengit.

   Dijambretnya kalung berkepala tengkorak yang melilit lehernya.

   Melihat kalung yang menjuntai di tangan Kala Srenggi, pengunjung kedai yang masih bertahan, segera ambil langkah seribu.

   Mereka tidak ingin berurusan dengan kelompok Panji Tengkorak.

   Kalung itu merupakan tanda keanggotaan Panji Tengkorak.

   "Geti Ireng menginginkan Kadipaten Karang Setra. Dan kau menugaskan aku menyelusup ke benteng Kadipaten. Pekerjaan itu memang mudah, tapi dengan benda ini apa jadi gampang? Mereka semua kenal tanda ini, Lintang!"

   Kala Srenggi mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

   "Lihat! Semua orang lari ketakutan melihat kalung ini!"

   Saka Lintang juga mengedarkan pandangannya keseluruh ruangan yang kini sepi.

   Matanya tertumbuk pada salah satu meja di sudut.

   Ternyata masih ada beberapa orang yang masih bertahan di kedai ini.

   Ada lima orang yang masih duduk melingkari meja.

   Mereka seperti tak peduli dengan keadaan kedai.

   "Simpan kalung itu, dan segera temui ayah!"

   Kata Saka Lintang Matanya masih menatap ke arah sudut ruangan.

   "Di mana Geti Ireng?"

   Tanya Kala Srenggi.

   "Di penginapan Mawar Jingga."

   Kala Srenggi memakai kembali kalungnya, kemudian melangkah ke luar kedai.

   Penginapan Mawar Jingga berada di perbatasan antara dukuh Giring dengan dukuh Merang.

   Geti Ireng selalu menggunakan penginapan itu jika ke luar dari Lembah Tengkorak.

   Baru saja Kala Srenggi ke luar, dia kembali lagi dan berdiri di depan pintu.

   Mukanya merah padam seperti menahan marah.

   "Ada apa?"

   Tanya Saka Lintang.

   Kala Srenggi tak menyahut.

   Dilemparkannya sebuah ruyung ke arah Saka Lintang.

   Dengan tangkas gadis itu menangkapnya.

   Ruyung itu terbungkus selembar daun lontar yang diikat dengan pita merah.

   Saka Lintang mendelik setelah mengetahui isinya.

   Daun lontar itu bertuliskan sebaris kalimat.

   "Kalian anggota Panji Tengkorak, hams mampus di tangan kami!"

   Saka Lintang segera menatap kelima orang yang masih acuh di sudut.

   "Kurang ajar!"

   Desis Saka Lintang seraya meremas daun lontar hingga remuk.

   Tiga serangkai Rantai Baja segera mengarahkan pandangannya ke sudut.

   Kala Srenggi juga menatap ke arah yang sama.

   Tiba-tiba tatapannya terganggu oleh suara desis kuda yang ada di luar.

   Betapa terkejutnya Kala Srenggi ketika melihat kudanya telah mati.

   Dan yang paling membuatnya geram adalah kematian kudanya yang disebabkan oleh ruyung yang menancap di leher.

   Ruyung itu kecil, tapi sanggup membunuh kuda tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

   "Kala Srenggi, cepat temui ayah! Biar aku yang membereskan tikus-tikus ini!"

   Sem Saka Lintang. 'Tidak!"

   Dengus Kala Srenggi gusar.

   "Nyawa kudaku harus ditebus dengan seribu nyawa!"

   Kala Srenggi menatap Saka Lintang.

   Gadis itu memperhatikan myung pembunuh kuda yang masih di genggaman tangannya.

   Dia tadi tak melihat bercak darah yang masih baru pada ruyung itu.

   Tak disangka benda sekecil Ini bisa menewaskan seekor kuda.

   Kelima orang yang berada di sudut kedai berdiri.

   Mereka segera menuju ke pintu keluar tanpa mempedulikan empat orang yang dilanda geram.

   Langkah kelima orang-itu terhenti ketika Tiga Serangkai Rantai Baja melompat menghadang.

   "Maaf, kami mau keluar,"

   Kata salah seorang dengan sopan.

   "Sebelum kuijinkan keluar, sebutkan dulu nama dan dari mana asal kalian!"

   Dengus salah seorang dari Tiga Serangkai Rantai Baja yang bernama Matsyabaja. Yang dua orang lagi bernama Bayubaja dan Wratbaja.

   "Aku yang tertua bernama Langlang Pari, dan keempat adikku bernama, Baga Pari, Tatra Pari, Kanta Pari, dan Dadap Pari,"

   Sahut Langlang Pari memperkenalkan yang lainnya.

   Mereka lima bersaudara.

   Kala Srenggi segera melompat ke depan.

   Wajahnya makin merah membara.

   Matanya menyala-nyala tajam dengan geraham gemerutuk menahan amarah.

   Tidak salah lagi, lima orang yang berada di depannya kini adalah Lima Pari Emas.

   Andalan mereka adalah senjata rahasia berupa ruyung yang sangat kecil.

   Biasanya ruyung itu mengandung racun yang mematikan.

   Pantas saja kalau kudanya mati seketika tanpa menimbulkan suara.

   Sebenarnya bukan ruyung kecil itu saja yang menjadi andalan mereka berlima.

   Mereka juga ahli ilmu pedang, di samping aji-aji kesaktian lainnya yang tidak bisa dianggap remeh.

   "Kalian harus bayar nyawa kudaku!"


Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini