Ceritasilat Novel Online

Iblis Penggali Kubur 1


Pendekar Rajawali Sakti Iblis Penggali Kubur Bagian 1


IBLIS PENGGALI KUBUR Oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting.

   Puji S.

   Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-gian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh Suprianto Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.

   Iblis Penggali Kubur 136 hal.

   ; 12 x 18 cm
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/ Matahari baru saja tergelincir di ufuk Barat, ketika penduduk Desa Kranggan meninggalkan tanah pekuburan yang terletak cukup jauh dari desa itu.

   Hanya seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang tertinggal, dan kini berdiri mematung sambil memandangi gundukan tanah merah yang masih baru.

   Sedikit pun tubuh-nya tidak bergeming.

   Bahkan tanpa mempeduli-kan orang-orang yang meninggalkannya semakin jauh, dia masih terpaku di situ.

   Pemuda itu terus berdiri tegak memandangi tanah kuburan yang masih baru di depannya.

   Tampak kedua bola matanya berkaca-kaca.

   Sese-kali terlihat bahunya berguncang, disertai dengan suara isak tertahan.

   Kemudian perlahan dia berlutut.

   Tangannya tampak bergetar meraba gundu-kan tanah merah di depannya.

   Tidak ada lagi seo-rang pun yang terlihat di sekitarnya.

   Tanpa dis-adari, setitik air bening menggulir dari sudut matanya.

   "Sudah sore. Kenapa kau belum pulang, Anak Muda...?"

   "Oh..?!"

   Pemuda itu tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara serak dan kering dari arah belakang.

   Cepat-cepat dia menghapus air matanya, la-lu bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya.

   En-tah dari mana datangnya, tahu-tahu didepan pe-muda itu sudah berdiri seorang laki-laki tua ber-tubuh agak bungkuk, berjubah hitam panjang dan longgar.

   "Semua orang sudah pulang. Kenapa kau ma-sih tetap di sini, Anak Muda?"

   Tanya laki-laki tua berjubah hitam itu.

   "Siapa Kakek ini?"

   Pemuda berwajah cukup tampan itu malah balik bertanya.

   "Orang-orang biasa memanggilku Ki Jungut. Aku pengurus tanah kuburan ini,"

   Sahut laki-laki tua itu memperkenalkan diri.

   Walaupun suaranya terdengar kering dan se-rak, tapi nadanya terasa begitu hangat dan ramah.

   Beberapa saat pemuda yang berbaju biru tua itu mengamati dari ujung kepala hingga ke ujung kaki laki-laki tua yang berdiri sekitar tiga langkah di depannya ini.

   "Siapa namamu?"

   Tanya Ki Jungut.

   "Kadik,"

   Sahut pemuda itu singkat.

   "Yang dikuburkan tadi keluargamu?"

   Tanya Ki Jungut sambil menunjuk kuburan di belakang pemuda ini.

   "Adikku,"

   Sahut Kadik, terdengar datar nada suaranya.

   "Perempuan?"

   Tanya Ki Jungut lagi. Kadik hanya mengangguk.

   "Sudah bersuami?"

   "Belum."

   "Lalu, kenapa dia sampai meninggal? Sa-kit...?"

   Kadik menggeleng.

   "Kenapa...?"

   Desak Ki Jungut lagi.

   Tapi Kadik tidak menjawab.

   Matanya terlihat kembali merembang berkaca-kaca.

   Sementara Ki Jungut memandangi dengan sinar mata yang begi-tu tajam, menusuk dalam ke bola mata pemuda berwajah cukup tampan di depannya.

   Perlahan Kadik menggeser kakinya ke kanan beberapa tin-dak.

   Kemudian dia melangkah mundur menjauhi laki-laki tua yang tidak dikenalnya ini.

   Dari bola matanya yang berkaca-kaca, dia memandangi laki-laki tua berjubah hitam itu dalam-dalam.

   "Kau tidak perlu takut atau curiga padaku, Anak Muda. Justru kalau kau punya persoalan, aku bersedia membantumu,"

   Jelas Ki Jungut, se akan tahu isi hati pemuda itu.

   "Aku tidak kenal denganmu, Ki. Kenapa kau ingin membantuku?"

   Tanya Kadik curiga.

   Ki Jungut hanya tersenyum saja.

   Dia me-langkah mendekati pemuda itu, dan menepuk pundaknya dengan lembut.

   Sedangkan Kadik hanya diam saja, dan terus memandangi laki-laki tua itu tanpa berkedip sedikit pun.

   Saat itu dia merasakan adanya hawa sejuk mengalir dari tangan keriput yang menempel di pundaknya.

   Saat itu juga Kadik merasa lebih tenang.

   Dan dia tidak ingat lagi dengan kekasihnya yang baru saja dikuburkan.

   Kesedihan yang tadi melanda dirinya kini benar-benar lenyap tak berbekas.

   "Ayo ikut aku,"

   Ajak Ki Jungut.

   Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Kadik mengikuti ayunan langkah laki-laki tua berjubah hitam yang baru dikenalnya ini.

   Sedikit pun dia tidak berpaling pada kuburan adiknya.

   Dia terus melangkah mengikuti Ki Jungut.

   *** Matahari terus tergelincir semakin jauh ke ka-ki langit sebelah Barat.

   Sinarnya yang semula terasa terik, kini begitu lembut dan indah dipan-dang.

   Sedikit pun sang mentari tidak menghirau-kan semua yang ada di muka bumi.

   Dia terus ber-gerak menggelincir semakin tenggelam.

   Hingga akhirnya hanya rona merah saja yang membias di kaki langit.

   Gerit serangga mulai terdengar mengiringi ke-pergian sang mentari ke peraduannya.

   Angin pun mulai terasa menebarkan hawa dingin.

   Burung-burung kembali ke sarangnya masing-masing.

   Be-gitu riuh sekali senja ini.

   Namun hanya sebentar saja kesibukan itu berlangsung.

   Dan keadaan pun berubah menjadi sunyi senyap, hingga hanya gerit serangga malam saja yang ter-dengar menyayat.

   Kegelapan langsung menyelimuti seluruh belahan permukaan bumi ini.

   Dan tugas sang mentari pun diganti-kan dewi bulan yang cantik dengan sinar-nya yang keperakan, begitu lembut menyirami bumi.

   Malam terus merayap semakin larut, berge-rak sejalan dengan sang waktu.

   Sementara di tanah pekuburan Desa Krang-gan, tak lagi terlihat seorang pun di sana.

   Begitu sunyi keadaannya.

   Bahkan tak terdengar sedikit pun gerit binatang malam.

   Satu-satunya cahaya yang menerangi hanya sang dewi malam yang menggantung di langit hitam.

   Namun, tiba-tiba sa-ja terlihat sesosok bayangan hitam berkelebat cepat di antara lebatnya pepohonan di sekitar tanah pekuburan itu.

   Hanya sebentar saja bayangan hitam itu menghilang.

   Kemudian dari balik sebatang pohon beringin yang besar, muncul seseorang mengena-kan baju hitam panjang dan longgar.

   Sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya tertutup kain hitam seperti kerudung.

   Dia melangkah perlahan-lahan melewati beberapa gundukan tanah berbatu nisan.

   Ayunan kaki-nya baru berhenti setelah sampai di dekat sebuah gundukan tanah yang masih baru.

   "Hm...."

   Terdengar gumaman kecil dari mulutnya.

   Ke-palanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan ti-dak ingin kehadirannya di tengah kuburan ma-lam-malam begini diketahui orang lain.

   Saat itu terdengar suara lolongan anjing hutan di kejau-han.

   Begitu memilukan sekali suara lolongan anj-ing hutan itu.

   Sementara orang berjubah hitam longgar itu mengangkat tangannya ke atas perla-han-lahan.

   Dan perlahan pula kepalanya terdongak ke atas, mengikuti gerakan kedua tangannya.

   Dari bayang-bayang kerudung hitam, terlihat bibirnya yang merah bergerak-gerak perlahan.

   Beberapa saat dia menengadahkan kepalanya dengan kedua tangan terangkat ke atas.

   Tampak asap tipis men-gepul dari bawah telapak kakinya.

   Lalu, mendadak saja....

   "Hiyaaa...!"

   Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja cepat sekali dia melompat tinggi ke udara.

   La-lu dengan deras pula dia meluruk turun dengan kaki tetap merapat lurus ke bawah.

   Tepat di atas kuburan yang tampaknya masih baru dia menghentakkan tangannya hingga merapat dengan tu-buhnya.

   Dan seketika itu juga....

   Bresss! Tiba-tiba tubuhnya menembus kuburan yang masih baru! Begitu cepat sekali gerakan-nya, hingga sulit untuk diikuti dengan pandangan mata biasa.

   Tahu-tahu orang itu sudah lenyap, tenggelam ke dalam kuburan.

   Namun tak berapa lama kemudian...

   Brulll! "Yeaaah...!"

   Kembali terdengar teriakan keras menggelegar dari dalam lubang kuburan yang sudah menganga cukup lebar. Tampak asap tebal mengepul tinggi ke udara dari dalam kuburan itu. Bergulung-gulung bagaikan sebuah tiang penyangga langit.

   "Ha ha ha...!"

   Malam yang begitu sunyi, seketika pecah oleh suara tawa kering menggelegar.

   Bersamaan den-gan suara tawanya, orang aneh berbaju serba hi-tam itu muncul dari dalam lubang kuburan.

   Cepat sekali dia melompat keluar, sambil memondong sesosok tubuh yang terbungkus, kain putih ber-noda tanah merah.

   Perlahan dia menurunkan mayat itu dari pon-dongannya.

   Seperti memperlakukan sebuah ba-rang yang mudah pecah, diletakkannya mayat itu dengan hati-hati sekali di tanah yang berumput basah tersapu embun.

   Diamatinya sejenak mayat itu.

   Kemudian mulai dibukanya ikatan kain putih yang membungkus.

   Hati-hati sekali dia melaku-kannya.

   Seakan tidak ingin merusak mayat itu.

   Hanya bagian kepalanya saja yang dibuka.

   Tampak seraut wajah cantik yang pucat terlihat begitu kain putih bernoda tanah sudah terbuka.

   "Ha ha ha...!"

   Tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak. Beberapa saat diamatinya wajah cantik memu-cat kaku itu. Jari-jari tangannya yang kurus, sedikit bergetar saat meraba wajah wanita itu.

   "Cantik.... Sungguh cantik sekali,"

   Gumamnya perlahan.

   "Sayang sekali kalau gadis secantikmu harus terbaring sendiri di dalam sana. Aku percaya, kau pasti akan berterima kasih padaku. Dan tak ada seorang pun yang akan menyakitimu lagi. Hhh...!"

   Kemudian dibungkusnya kembali kepala mayat wanita itu, dan mengikatnya dengan rapi.

   Lalu, dia pun memondong mayat wanita itu.

   Kepa-lanya terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan-akan takut ada orang lain yang melihatnya.

   Dan suara tawanya yang tergelak kembali terden-gar memecah kesunyian malam di kuburan ini.

   "Ha ha ha...!"

   Sambil tertawa terbahak-bahak, orang aneh itu melangkah cepat membawa sosok mayat yang di-ambilnya dari dalam kuburan.

   Begitu cepat dan ringan sekali ayunan kakinya, hingga dalam se-bentar saja sudah jauh meninggalkan tanah kubu-ran.

   Suara tawanya yang lepas, masih terus berde-rai memecah kesunyian malam.

   "Ha ha ha...!"

   Tak ada seorang pun yang menyaksikan.

   Hanya rembulan di langit yang menyaksikan keja-dian aneh dan mengerikan itu.

   Sementara suara tawa itu menghilang, bersamaan dengan tak terli-hatnya lagi orang aneh yang masuk ke dalam ku-buran, dan mengeluarkan mayat dari kuburan itu.

   *** "Tidaaak...!"

   Jerit Kadik histeris.

   "Kadik...!"

   "Oh...?!"

   Kadik terlonjak dengan napas tersengal mem-buru. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Ke-dua bola matanya terbuka nyalang. Sementara seorang perempuan setengah baya memperhatikan dengan wajah diliputi kecemasan.

   "Hhhh...!"

   Kadik menghembuskan napas panjang beberapa kali.

   "Kau bermimpi, Kadik?"

   Tanya perempuan setengah baya itu.

   Jelas sekali suaranya mengandung kecemasan melihat pemuda ini seperti baru saja bermimpi sesuatu yang sangat mengerikan.

   Sementara Kadik masih berusaha mencoba menenangkan dirinya.

   Kembali dihembuskannya napas panjang beberapa kali.

   Kemudian tangannya menyambar kendi yang terletak di atas meja, di samping pembaringannya.

   Air bening di dalam kendi dari tanah liat itu langsung berpindah ke tenggorokan pemuda ini.

   Se-mentara, perempuan setengah baya yang duduk di tepi pembaringan itu terus memperhatikan dengan sinar matanya diliputi kecemasan.

   "Kau baru saja bermimpi, Kadik?"

   Tanya perempuan itu lagi.

   "Iya, Mak,"

   Sahut Kadik pelan.

   "Mimpi apa?"

   Tanya perempuan setengah baya yang ternyata ibu pemuda ini.

   Dan semua orang di Desa Kranggan biasa memanggilnya dengan sebu-tan Mak Itik.

   Entah karena bentuk tubuhnya yang kecil dan gemuk, hingga dia mirip dengan seekor itik.

   Terlebih lagi kalau sedang berjalan.

   Hingga semua orang selalu memanggilnya Mak Itik.

   "Entahlah, Mak,"

   Sahut Kadik lesu.

   "Tapi kenapa kau berteriak begitu?"

   Tanya Mak Itik. Kadik hanya diam saja.

   "Apa yang ada dalam mimpimu, Kadik?"

   Mak Itik terus mendesak ingin tahu.

   "Hanya mimpi saja, Mak,"

   Sahut Kadik mengelak, tidak ingin membicarakan mimpinya.

   Mak Itik mengangkat bahunya sedikit.

   Dia ta-hu kalau anaknya ini tidak mau membicarakan mimpinya barusan.

   Sedangkan Kadik hanya diam saja dengan pandangan menerawang jauh ke de-pan.

   Mungkin dia sedang mengingat-ingat kembali mimpinya.

   Mimpi yang begitu menakutkan, mem-buatnya berteriak di tengah malam buta begini.

   Dia tidak tahu, ada pertanda apa dengan mimpi-nya barusan.

   Membuat perasaannya jadi tidak enak.

   "Tidurlah lagi, Kadik,"

   Kata Mak Itik lembut.

   Kadik menurut.

   Dia kembali merebahkan tu-buhnya di pembaringan dari bambu ini.

   Sementa-ra ibunya menyelimuti dengan kain yang sudah lusuh dan hampir memudar warnanya.

   Sebentar perempuan gemuk dan kecil itu memperhatikan wajah anaknya ini, kemudian ia melangkah pergi meninggalkannya seorang diri.

   Kadik hanya meli-rik sedikit saja, pada ibunya yang menutup pintu kamar ini perlahan-lahan.

   "Hhh...!"

   Sambil menghembuskan napas panjang, Kadik bangkit dari pembaringannya.

   Dia duduk di tepi pembaringan itu.

   Perlahan kemudian dia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja kayu yang terletak di sudut kamar berukuran tidak besar ini.

   Dia berdiri disana dengan tangan terkepal, ber-tumpu pada pinggiran meja.

   Jelas sekali terbayang di pelupuk matanya.

   Mimpi yang sangat menakutkan.

   Dia bertemu dengan kekasihnya yang baru siang tadi dikubur-kan.

   Kekasihnya bangkit, dan hendak membu-nuhnya.

   Begitu mengerikan sekali.

   Sedangkan dia dalam keadaan seluruh tubuh terikat akar-akar pohon.

   "Uh...!"

   Kadik menggeleng-gelengkan kepalanya, men-coba mengusir bayang-bayang mimpi yang menge-rikan itu dari pelupuk matanya.

   Tapi wajah keka-sihnya masih terus melekat, dengan wajah yang pucat dan kaku.

   Sorot matanya begitu tajam me-merah, memancarkan api kebencian dan nafsu membunuh.

   Kadik sendiri tidak mengerti, menga-pa dia mendapatkan mimpi seperti itu.

   Padahal dia tahu kalau kekasihnya itu begitu mencin-tainya.

   Dan mereka memang sudah merencanakan untuk ke jenjang yang lebih jauh lagi.

   Tapi sebelum rencananya terlaksana, musibah itu sudah datang menimpa.

   Kekasihnya ditemu-kan mati gantung diri di dalam kamar.

   Tidak ada yang tahu, kenapa gadis itu sampai mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri.

   Tidak seorang pun menduga akan demikian.

   Gadis itu terkenal ramah pada siapa saja.

   Dan semua orang di Desa Kranggan ini tahu, kalau tidak lama lagi Kadik akan mempersunting gadis itu.

   "Kadik...!"

   "Oh...?!"

   Kadik tersentak kaget setengah mati, begitu ti-ba-tiba terdengar suara kering dari belakangnya.

   Cepat diputar tubuhnya berbalik.

   Kedua bola ma-tanya langsung terbeliak lebar, begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah hitam, tahu-tahu su-dah berada di dalam kamarnya! "Ki Jungut...,"

   Desis Kadik langsung mengenali.

   "Bagaimana kau bisa masuk ke sini...?"

   Ki Jungut hanya tersenyum saja.

   Dia me-langkah beberapa tindak mendekat.

   Seulas se-nyum terukir di bibirnya yang hampir tertutup kumis putih dan panjang, hingga menyatu dengan jenggotnya yang sudah memutih juga.

   Dia berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar empat langkah lagi didepan Kadik.

   "Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan pada-mu,"

   Kata Ki Jungut.

   "Apa?"

   Tanya Kadik.

   "Sebaiknya kau jangan banyak tanya. Ikut saja denganku,"

   Sahut Ki Jungut.

   "Tapi...,"

   "Kau akan tahu nanti, Kadik,"

   Selak Ki Jungut cepat, memutuskan ucapan anak muda ini.

   Kadik ingin menolak, tapi belum juga dia bisa membuka suara, Ki Jungut sudah memegang pundaknya dengan tangan kanan.

   Seketika itu ju-ga Kadik merasakan hawa sejuk menyelimuti selu-ruh tubuhnya.

   Kesadarannya pun langsung menghilang.

   Dia tidak mendengar suara apa pun juga.

   Hanya suara Ki Jungut saja yang terdengar telinganya.

   "Ayo, ikut aku,"

   Ajak Ki Jungut.

   "Baik, Ki."

   Seperti ketika berada di kuburan, Kadik men-gikuti laki-laki tua itu keluar dari kamarnya.

   Dia melangkah perlahan-lahan di belakang.

   Pintu-pintu yang mereka lewati terbuka sendiri tanpa disentuh sedikit pun.

   Tapi kesadaran Kadik me-mang sudah hilang, dan dia tidak memperhatikan sama sekali, ke mana laki-laki tua aneh itu men-gajaknya pergi.

   Sementara malam terus merayap semakin la-rut.

   Udara dingin di luar tidak lagi dirasakan.

   Kadik terus berjalan mengikuti laki-laki tua berjubah hitam itu tanpa sadar.

   Dan dia benar-benar tidak mampu menolak.

   *** Kadik tidak tahu lagi, apa yang akan di-katakan begitu melihat kuburan kekasihnya su-dah terbongkar.

   Bahkan jasad kekasihnya tidak ada lagi di dalam sana.

   Dia hanya bisa berdiri mematung, memandangi lubang kuburan itu.

   Se-mentara, angin yang berhembus kencang menye-barkan hawa dingin pun tidak bisa lagi dirasakan.

   Dia juga seperti lupa kalau di sampingnya ada seorang laki-laki tua yang justru membawanya ke kuburan ini.

   "Keparat...! Siapa yang melakukan perbuatan biadab ini...?!"

   Desis Kadik geram.

   "Si Iblis Penggali Kubur,"

   Sahut Ki Jungut datar.

   Kadik langsung berpaling menatap laki-laki tua di sebelahnya.

   Sedangkan yang ditatap hanya mengarahkan pandangnya ke dalam kuburan yang berlubang.

   Perlahan wajahnya dipalingkan dan langsung bertemu sorot mata Kadik yang begitu tajam menusuk.

   Seakan-akan sorot mata itu hen-dak menembus relung hati laki-laki tua berjubah hitam ini.

   "Akan kubunuh iblis keparat itu!"

   Geram Kadik mendesis bagai ular.

   "Kau tidak akan mampu menghadapinya sen-diri, Kadik. Dia bukan manusia sembarangan,"

   Sergah Ki Jungut tetap datar dan tenang nada su-aranya.

   "Aku tidak peduli. Tunjukkan di mana tempat tinggal iblis keparat itu,"

   Dengus Kadik.

   "Untuk apa?"

   "Akan kubunuh dia!"

   Ki Jungut tersenyum seraya menggelengkan kepala beberapa kali.

   Ditepuk-tepuknya pundak pemuda itu dengan lembut sekali.

   Kemudian tu-buhnya berputar berbalik, dan langsung melang-kah perlahan.

   Sementara, Kadik hanya meman-dangi saja beberapa saat.

   Kemudian kakinya pun diayunkan mengikuti laki-laki tua berjubah hitam itu.

   Sebentar saja Kadik sudah mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kanan Ki Jungut.

   "Kau sudah tahu, siapa yang melakukan per-buatan biadab itu, Ki. Kenapa tidak kau cegah...?"

   Tanya Kadik, menyesalkan.

   "Tidak mudah menghentikan Iblis Penggali Kubur, Kadik. Tingkat kepandaiannya sukar di-ukur. Bahkan kesaktiannya melebihi iblis-iblis dasar neraka,"

   Sahut Ki Jungut tetap datar dan tenang suaranya.

   "Kau orang yang berilmu tinggi, Ki."

   "Siapa bilang...? Aku bukan tandingannya."

   "Tapi, kenapa kau memberitahu ku sebelum-nya? Bahkan setelah kejadian ini pun, kau malah mengajakku ke sini. Apa sebenarnya tujuanmu, Ki?"

   Tanya Kadik jadi curiga.

   Tapi Ki Jungut hanya tersenyum saja menden-gar pertanyaan pemuda itu.

   Sedikit pun tidak di-jawabnya.

   Seakan-akan, pertanyaan Kadik tadi memang tidak memerlukan jawaban yang tepat darinya.

   Dan Kadik juga tidak mendesak agar per-tanyaannya terjawab.

   "Kalau kau mau mendengar kata-kataku siang tadi, hal seperti ini tidak akan mungkin terjadi,"

   Kata Ki Jungut, setelah beberapa saat lamanya terdiam.

   Kadik jadi terdiam.

   Laki-laki tua ini, memang sudah memperingatkannya siang tadi.

   Tapi Kadik memang tidak mempercayainya.

   Kadik disarankan oleh Ki Jungut untuk me-nyerahkan Batu Mustika Biru kepada Iblis Pengga-li Kubur.

   Tapi, Kadik dengan tegas mengatakan kalau sama sekali tidak tahu batu itu.

   Padahal kalau batu itu tidak diserahkan mayat kekasihnya akan hilang dari kuburnya.

   Dan sekarang, semuanya sudah terbukti nyata.

   Mayat kekasihnya hi-lang dari kuburan nya sendiri.

   Kadik tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukannya.

   Dia juga tidak kenal siapa orang yang melakukan perbuatan biadab itu, meskipun tadi Ki Junggut sudah menye-butkannya.

   "Ki...,"

   Pelan sekali suara Kadik.

   "Apa...?"

   Gumam Ki Jungut perlahan.

   "Bagaimana aku bisa mendapatkan mayat ke-kasihku lagi, Ki?"

   Tanya Kadik.

   "Kau tidak akan bisa mendapatkannya kemba-li, Kadik,"

   Sahut Ki Jungut.

   "Apa maksudmu, Ki?"

   Agak tinggi nada suara Kadik.

   "Nanti juga kau akan tahu,"

   Sahut Ki Jungut kalem.

   Kadik ingin bertanya lagi, tapi Ki Jungut sudah melangkah cepat meninggalkannya.

   Terpaksa Ka-dik harus berlari kecil mengejar laki-laki tua ini, tapi tetap saja tidak terkejar.

   Kadik mempercepat larinya, namun laki-laki tua berjubah hitam itu tetap tidak terkejar.

   Dan ini membuat Kadik jadi ke-heranan.

   Larinya semakin dipercepat, bahkan sampai napas-nya mendengus bagai kuda dipacu.

   Sementara itu, Ki Jungut tetap berjalan biasa.

   Namun sulit untuk dikejar.

   Begitu ringan ayunan langkah kakinya, sehingga telapak kakinya bagai tidak menyentuh tanah sama sekali.

   Kadik baru tersentak menyadari, dan cepat menghentikan la-rinya.

   Keringat mengucur begitu deras, dan nafasnya tersengal memburu cepat.

   Matanya tidak ber-kedip memandangi Ki Jungut yang semakin jauh berjalan meninggalkannya.

   "Ki...!"

   Panggil Kadik, berteriak. Tapi, Ki Jungut terus mengayunkan kakinya meninggalkan pemuda itu. Sedikit pun kepalanya tidak berpaling. Ayunan kakinya kelihatan begitu ringan dan perlahan, tapi cepat sekali sudah jauh meninggalkan pemuda ini.

   "Ki, tunggu...!"

   Teriak Kadik sekuat-kuatnya.

   Namun, suara pemuda itu hilang ditelan hem-busan angin malam yang dingin.

   Kadik hanya bisa berdiri mematung memandangi, hingga laki-laki tua berjubah hitam itu menghilang dari pandan-gan mata.

   Pemuda itu baru melangkah setelah menyadari hanya seorang diri di tempat yang begi-tu sunyi, tanpa seorang pun terlihat.

   Terlebih lagi, tidak jauh di belakangnya adalah kuburan, dan sekitarnya hanya pepohonan saja.

   "Huh...!"

   Sambil mendengus kesal, Kadik terus berjalan cepat kembali ke Desa Kranggan.

   Tidak dipeduli-kan lagi laki-laki tua aneh berjubah hitam yang memperkenalkan dirinya sebagai Ki Jungut.

   Namun tetap saja benaknya terus bertanya-tanya, siapa se-benarnya Ki Jungut itu...? Lalu, apa maksudnya dengan mendatanginya? Begitu ba-nyak pertanyaan mengalir di benaknya, tapi tak satu pun yang bisa terjawab.

   Kadik terus men-gayunkan kakinya dengan kepala berputar, dikeli-lingi segudang pertanyaan yang tidak terjawab.

   *** Matahari sudah mulai menampakkan diri di ufuk Timur.

   Cahaya yang begitu lembut menero-bos masuk ke dalam kamar Kadik, melalui jendela yang terbuka lebar.

   Tampak pemuda desa yang berwajah cukup tampan itu berdiri tegak didepan jendela kamarnya.

   Sejak semalam Kadik berdiri di sana, memandang keluar.

   Entah, apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.

   "Aneh..,"

   Tiba-tiba saja Kadik mendesah perlahan.

   Dan terlihat kepalanya bergerak menggeleng pelan beberapa kali.

   Tarikan nafasnya begitu panjang dan terasa amat berat.

   Beberapa kali mulut-nya mendesah sambil menghembuskan napas panjang, tapi tanpa beranjak dari jendela itu.

   Dan pandangannya terus tertuju ke satu arah, tempat kuburan kekasihnya semalam terbongkar.

   Dan itu semua terjadi setelah mendapat peringatan dari orang tua yang aneh.

   Dari laki-laki tua itulah dia tahu kalau kuburan kekasihnya sudah terbongkar semalam.

   "Biadab...! Aku harus mencari Iblis Penggali Kubur keparat itu!"

   Desis Kadik geram.

   Suaranya masih tetap terdengar perlahan, dan hampir tidak terdengar telinganya sendiri.

   Kedua tangan Kadik terkepal erat, membuat urat-uratnya bersembulan.

   Wajahnya terlihat me-merah, menandakan kemarahannya sudah men-capai titik puncak.

   Dan tiba-tiba saja, pemuda itu melompat keluar dari dalam kamarnya, melalui jendela yang terbuka lebar.

   Dan dia langsung berlari sekuat tenaga menuju ke arah kuburan yang berada agak jauh dari pinggiran Desa Kranggan ini.

   Kadik terus berlari cepat, tidak mempedulikan nafasnya yang sudah tersengal memburu.

   Dia juga tidak peduli pada orang-orang yang memandan-ginya, dan beberapa orang yang menegurnya.

   Ka-dik terus berlari secepat-cepatnya menuju ke kuburan.

   Kadik baru menghentikan larinya setelah sam-pai di dekat kuburan kekasihnya.

   Saat itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar.

   Hampir-hampir pandangan matanya sendiri tidak diper-cayainya.

   "Oh...."

   Kadik hanya mampu mendesah perlahan.

   Se-dangkan tubuhnya terasa jadi begitu lemas, bagai tak memiliki tenaga dan tulang.

   Pemuda itu jatuh berlutut, tepat di samping kuburan kekasihnya.

   Kedua bola matanya berputaran, memancarkan sesuatu yang sulit diterka.

   Kuburan yang semalam dilihatnya terbongkar, kini seperti saat kekasihnya dikuburkan di sini.

   Sedikit pun tidak ada yang berubah.

   Apalagi ter-bongkar.

   Kuburan ini benar-benar masih utuh, tanpa cacat sedikit pun.

   Dan inilah yang membuat Kadik jadi terlenguh, dengan tubuh terasa begitu lemas.

   Kadik jadi benar-benar tidak mengerti dengan semua yang telah terjadi.

   Seakan-akan, semuanya seperti sebuah mimpi yang teramat buruk dalam hidupnya.

   Sulit baginya untuk membedakan, apa-kah ini hanya sebuah mimpi atau benar-benar se-buah kenyataan yang sangat aneh dan sulit dite-rima akal pikiran manusia biasa.

   "Aneh...? Kenapa kuburan ini tidak ter-bongkar...?"

   Desah Kadik bertanya sendiri dalam hati.

   Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di da-lam kepalanya, tapi tak ada satu pun yang terjawab.

   Dan rasa aneh pun terus menyelimuti ha-tinya.

   Dia benar-benar tidak mengerti terhadap semua yang telah terjadi.

   Dan dia begitu yakin kalau ini bukan hanya sekadar mimpi belaka, dan benar-benar suatu kenyataan.

   Tapi, Kenyataan yang begitu aneh dan sulit diterima akal manusia biasa.

   "Oh...?!"

   Tiba-tiba Kadik tersentak, ketika tanpa sengaja tangannya menyentuh nisan yang terbuat dari be-lahan papan.

   Nisan itu bergoyang, dan langsung roboh seketika.

   Dan pada saat itu, gundukan ta-nah merah langsung melesak masuk ke dalam.

   Seketika Kadik langsung terlompat kaget setengah mati.

   Wusss...! "Hah...?!"

   Kedua bola mata Kadik jadi terbeliak lebar, be-gitu tiba-tiba dari dalam kuburan yang kini berlubang mengepul asap putih yang begitu tebal ber-gulung-gulung ke atas.

   Dan pada saat itu juga, bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa.

   Kembali Kadik terlompat ke belakang beberapa langkah.

   Kedua bola matanya masih terbeliak le-bar, memandangi asap putih yang semakin lama semakin banyak menggumpal bagai awan di langit.

   Tampak tanah kuburan yang melesak masuk ke dalam itu perlahan-lahan bergerak merapat kembali, seperti tidak pernah digali.

   Dan asap putih yang menggumpal tebal itu pun perlahan-lahan mulai menyebar, tertiup angin.

   Hingga akhirnya asap itu sirna sama sekali, menyatu dengan hem-busan angin.

   Saat itu juga, Kadik jadi terlongong bengong seperti kerbau kehabisan rumput.

   "Dewata Yang Agung.... Rengganis...,"

   Desis Kadik mendesah tanpa sadar.

   Di atas tanah kuburan yang sudah rata kem-bali, kini terlihat seorang gadis yang begitu cantik berdiri tegak di sana.

   Namun, garis-garis wajahnya begitu kaku dan pucat sekali.

   Dan sorot matanya sangat datar, tanpa sedikit pun terlihat cahaya kehidupan.

   Dan bibirnya yang pucat membiru ter-katup rapat.

   Sementara Kadik semakin terpaku diam, den-gan mulut ternganga dan mata terbuka lebar me-mandangi gadis yang begitu dikenal dan dicin-tainya selama ini.

   Sungguh tidak bisa dipercaya penglihatannya sendiri.

   Kali ini gadis yang begitu dicintai dan sudah meninggal kemarin, kini berdiri tegak di depannya.

   "Rengganis...,"

   Desis Kadik hampir tidak terdengar suaranya.

   "Hesss...."

   Tiba-tiba saja gadis yang dikenali Kadik seba-gai Rengganis, mendesis bagai ular.

   Dan ini mem-buat Kadik jadi terkesiap kaget setengah mati.

   Tanpa sadar, kakinya melangkah ke belakang be-berapa tindak.

   Sementara itu, Rengganis sudah bergerak melangkah kaku menghampiri.

   Sorot ma-tanya yang kosong, tertuju lurus ke bola mata pemuda itu.

   Suara mendesis bagai ular terus terdengar dari bibirnya yang pucat membiru dan terka-tup rapat.

   "Hrsss...!"

   Saat bibirnya bergerak menyeringai, terlihat baris-baris giginya yang runcing dan bertaring tajam.

   Seketika, wajah Kadik jadi memucat, dan tu-buhnya menggeletar bagai terserang demam yang begitu tinggi.

   Seketika, kakinya terasa berat dan sulit untuk digerakkan lagi.

   Sementara Rengganis terus bergerak melangkah, semakin mendekati pemuda itu.

   Perlahan-lahan kedua tangan gadis itu terang-kat, dan menjulur lurus ke depan.

   Tampak ujung-ujung jari tangannya yang berkuku tajam dan hi-tam terkembang lebar, siap mencekik leher Kadik.

   Suara mendesis terus terdengar dari bibirnya yang menyeringai mengerikan.

   "Akh...!"

   Kadik hanya mampu terpekik, begitu ujung-ujung kuku yang runcing terasa mulai menyentuh batang lehernya.

   Seluruh rubuh pemuda itu se-makin keras menggeletar dan bersimbah keringat.

   Dan dia tidak mampu lagi berbuat sesuatu.

   Kuku-kuku yang runcing hitam itu terus bergerak, me-nembus kulit leher pemuda ini.

   Namun belum juga kuku-kuku yang hitam runcing itu menembus le-bih dalam lagi, ke leher Kadik, mendadak saja....

   Slap! Sebuah bayangan hitam tiba-tiba berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat.

   Dan....

   Plak! "Argkh...!"

   Rengganis terpekik agak tertahan, dan tubuh-nya seketika terpental ke belakang.

   Akibatnya, cengkeramannya pada leher Kadik terlepas.

   Saat itu juga, Kadik terjatuh duduk dengan seluruh tubuh lemas bersimbah keringat.

   Pandangannya su-dah nanar, namun masih bisa melihat kalau di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan baju jubah panjang berwarna hitam.

   "Ki Jungut...,"

   Desah Kadik langsung mengenali.

   "Menyingkirlah, Kadik,"

   Datar dan tegas suara Ki Jungut.

   Sementara itu Rengganis sudah bisa bangkit berdiri setelah jatuh terguling beberapa kali, akibat terkena terjangan Ki Jungut yang begitu cepat bagai kilat tadi.

   Dia menggereng sedikit seperti seekor harimau yang kelaparan melihat anak domba.

   Kadik berusaha bergerak menggeser tubuh-nya menjauhi tempat itu.

   Sedikit demi sedikit, pemuda itu mulai menjauh, dan baru berhenti sete-lah sampai di bawah pohon yang cukup rindang.

   Sementara, Ki Jungut melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati gadis cantik berwajah pucat dan kaku itu.

   Bau amis dan suara mendesis terus terasa, setiap kali Ki Jungut mendekati gadis itu.

   *** Bagaikan kilat, Rengganis melompat begitu ce-pat menerjang Ki Jungut.

   Namun dengan gerakan manis sekali, laki-laki tua berjubah hitam itu ber-hasil mengelak-kan terjangan gadis yang sebenar-nya sudah mati ini.

   "Yeaaah...!"

   Dengan tubuh setengah berputar, Ki Jungut melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Ki Jungut, se-hingga Rengganis tidak dapat lagi berkelit.

   Akibatnya, tendangan itu tepat menghantam dadanya yang membusung indah dengan keras sekali.

   "Aaargkh...!"

   Rengganis meraung dahsyat seperti seekor bi-natang buas terluka.

   Tubuhnya terpental jauh ke belakang.

   Bahkan beberapa batang pohon yang terlanda tubuhnya langsung hancur berkeping-keping.

   Setelah menghancurkan beberapa pohon, gadis itu baru berhenti, meluncur.

   Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah.

   Namun begitu, cepat sekali dia bisa bangkit berdiri.

   "Ghrrr...!"

   Sambil menggerung dahsyat, gadis itu me-langkah menghampiri Ki Jungut yang sudah siap bertarung.

   Tampak kedua bola matanya memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh laki-laki tua berjubah hi-tam itu.

   Sementara, Kadik yang berada jauh dari tempat pertarungan itu terus memperhatikan den-gan mata tidak berkedip.

   Sinar matanya masih memancarkan ketidakpercayaan kalau gadis itu adalah Rengganis.

   Gadis yang sangat dicintai, tapi sudah meninggal sejak kemarin.

   Bahkan kuburannya pun masih ada, walaupun kini sudah rata tak berbentuk lagi.

   "Ghraaagkh...!"

   Sambil meraung dahsyat yang menggetarkan jantung, Rengganis kembali melompat begitu cepat menyerang Ki Jungut.

   Kedua tangannya cepat di-kibaskan, membuat Ki Jungut terpaksa harus me-liuk-liukkan tubuhnya.

   Kebutan-kebutan tangan yang begitu cepat bagai sepasang cakar elang yang hendak mengoyak tubuhnya, bisa dihindarinya.

   "Hup! Yeaaah...!"

   Begitu memiliki kesempatan, Ki Jungut cepat melenting ke udara.

   Dan secepat itu pula, dile-paskannya satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Namun, tendangan yang mengarah ke kepala itu dapat di-hindari Rengganis dengan hanya mengegos sedikit saja.

   "Ghraaagkh...!"

   Tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja Reng-ganis melepaskan satu pukulan cepat menggele-dek ke arah lambung Ki Jungut, sambil melompat ke udara mengejar.

   Begitu cepat serangannya, hingga Ki Jungut tidak sempat lagi menghindar.

   Dan....

   Begkh! "Akh...!"

   Ki Jungut terpental jauh ke belakang disertai pekikan keras tertahan.

   Pukulan yang dilepaskan Rengganis tepat menghantam lambungnya, se-hingga membuatnya terbanting ke tanah dan ber-gulingan beberapa kali.

   Saat itu juga, Rengganis meluruk deras ke arahnya, dengan kedua tangan terentang lurus dan jari-jari terbuka lebar seperti sepasang cakar elang hendak menerkam mangsa.

   "Ikh...!"

   Ki Jungut cepat-cepat melenting. Tapi belum juga bisa menghindar jauh, mendadak saja Reng-ganis sudah mengebutkan tangan kanannya den-gan kecepatan tinggi sekali. Bret! "Akh...!"

   Untuk kedua kalinya, Ki Jungut terpekik.

   Tampak darah muncrat keluar dengan deras dari bahu kirinya yang tercabik kuku-kuku jari tangan kanan Rengganis yang begitu runcing dan hitam bagai mata pisau.

   Ki Jungut terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah sambil mendekap ba-hunya yang berlumuran darah.

   Dan sebelum laki-laki tua itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Rengganis sudah kem-bali menyerang cepat bagai kilat.

   Satu pukulan keras menggeledek yang begitu dahsyat langsung di-lepaskan.

   Sementara, Ki Jungut masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya.

   Hingga....

   "Ghraaagkh...!"

   "Oh!"

   Prak! "Aaakh...!"

   Jeritan panjang melengking tinggi seketika ter-dengar begitu menyayat.

   Tampak Ki Jungut ter-huyung-huyung limbung sambil memegangi kepa-la dengan kedua tangannya.

   Darah berhamburan deras keluar dari kepala yang retak terkena pukulan dahsyat menggeledek tadi.

   "Ghraaagkh...!"

   Saat itu, Rengganis sudah kembali melompat sambil menggerung dahsyat bagai binatang buas.

   Dan begitu cepat tangan kanannya menyodok ke depan tepat mengarah ke bagian tengah dada Ki Jungut.

   Saat itu, Ki Jungut benar-benar tidak dapat lagi menghindar.

   Bresss! "Aaa...!"

   Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang begitu menyayat.

   Tampak tangan ka-nan Rengganis tenggelam masuk ke dalam dada laki-laki tua berjubah hitam itu, hingga sampai ke sikunya.

   Bahkan jari-jari tangannya menembus hingga ke punggung.

   Sambil melompat, Rengganis tahu-tahu melepaskan satu tendangan keras ke tubuh Ki Jungut.

   Begkh! Bersamaan terpentalnya laki-laki tua berjubah hitam itu ke belakang, tangan Rengganis pun ter-cabut dari dalam dada.

   Begitu keras tendangan-nya, sehingga sebongkah batu yang terlanda tu-buh Ki Jungut hancur berkeping-keping seketika.

   Hanya sebentar saja Ki Jungut masih mampu menggeliat, kemudian tubuh tua itu diam tak ber-gerak-gerak lagi sedikit pun juga.

   Mati! "Hik hik hik...!" *** Kadik yang menyaksikan kekejaman itu kon-tan terhenyak.

   Dia hanya mampu berdiri terpaku seperti patung, memandangi tubuh Ki Jungut yang menggeletak dengan kepala hancur, serta dada dan punggung berlubang berlumuran darah.

   Sementara, Rengganis tertawa terkikik melihat la-wannya dapat dikalahkan dengan mudah.

   Namun, sebentar kemudian suara tawanya terhenti.

   Dan kini, sorot matanya langsung tertuju pada Kadik yang berada agak jauh darinya.

   Saat itu juga, seluruh tubuh Kadik jadi bergidik menggigil seperti kedinginan.

   Rasa cintanya pada gadis itu kontan pudar, dan berubah menjadi ketakutan begitu melihat kekejaman kekasihnya.

   "Tolooong...!"

   Tiba-tiba saja Kadik menjerit keras sambil ber-lari sekencang-kencangnya.

   Sementara, dari arah belakang terdengar suara tawa mengikik yang be-gitu mengerikan.

   Kadik terus berlari kencang sambil berteriak-teriak meminta tolong.

   Dan suara tawa itu terus terdengar, seakan-akan mengikutinya dari belakang.

   "Tolooong...!"

   Tapi belum juga Kadik berlari jauh dari kubu-ran itu, mendadak saja berkelebat sebuah bayan-gan hitam memotong arah larinya.

   Dan tahu-tahu, didepan pemuda itu sudah berdiri seseorang ber-baju jubah panjang berwarna hitam yang kotor berlumur tanah lumpur.

   "Okh...?!"

   Kadik jadi terhenyak, dan cepat menghen-tikan larinya.

   Seluruh wajah dan tubuhnya sudah basah bersimbah keringat.

   Kedua matanya terbe-liak lebar, memandangi orang yang tahu-tahu su-dah ada di depannya.

   Hanya saja wajahnya, sulit dilihat, karena tertutup kain kerudung lusuh berwarna hitam, yang bagian atas kepalanya berben-tuk runcing.

   "Hik hik hik...!"

   "Okh...?!"

   Kembali Kadik tersedak, begitu mendengar su-ara tawa terkikik dari belakangnya.

   Dan begitu berpaling, jantungnya seakan-akan langsung co-pot seketika.

   Dekat di belakangnya, sudah ada Rengganis yang tertawa mengikik memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam.

   Lemas seluruh tubuh Kadik.

   Dan tiba-tiba saja, dia terkulai dan terjatuh menggeletak di tanah.

   "Ohhh...."

   Pandangan pemuda itu pun langsung menga-bur berkunang-kunang.

   Kepalanya terasa berat.

   Dan tak lama kemudian, pemuda itu tak sadarkan diri.

   Bahkan sudah tidak mendengar suara sedikit pun juga.

   Entah apa yang terjadi, Kadik tidak tahu lagi.

   Tapi telinganya sempat mendengar dua suara tawa terkikik saling sambut di sekitarnya, sebelum kesadarannya benar-benar lenyap.

   *** "Oh...?!"

   Kadik tersentak bangun, begitu kesadarannya kembali pulih.

   Tapi belum juga bisa mengangkat tubuhnya, terasa sebuah tangan lembut telah me-nekan dadanya.

   Dan hal ini membuatnya harus kembali merebahkan tubuh.

   Sebentar matanya di-pejamkan, kemudian perlahan-lahan dibuka kem-bali.

   Hanya sebentar saja pandangannya menga-bur, dan perlahan-lahan kembali bisa melihat je-las.

   Tampak seraut wajah yang cantik berada de-kat dengannya.

   "Jangan bergerak dulu. Kau masih lemah,"

   Terdengar lembut sekali suara wanita cantik yang mengenakan baju biru muda itu.

   Kadik kembali memejamkan matanya beberapa saat.

   Kembali terbayang peristiwa mengerikan yang dialaminya, hingga jatuh pingsan.

   Entah su-dah berapa lama dia tidak sadarkan diri.

   tapi yang jelas, sekarang ini hari sudah malam.

   Dan tubuhnya terasa hangat oleh jilatan cahaya api yang mengusir udara dingin angin malam.

   Kadik kem-bali membuka matanya.

   Dan seraut wajah cantik masih berada dekat di sebelah kanan.

   Namun, se-karang dia melihat wajah tampan di samping wa-jah cantik itu.

   "Di mana ini?"

   Tanya Kadik dengan suara lemah.

   "Di hutan, tidak jauh dari Desa Kranggan,"

   Sa-hut gadis cantik berbaju biru muda itu lembut.

   "Siapa kalian?"

   Tanya Kadik lagi. Masih dengan suara lemah.

   "Aku Pandan Wangi, dan ini Kakang Rangga,"

   Sahut Gadis cantik itu memperkenalkan diri.

   "Ahhh...,"

   Kadik mendesah perlahan.

   Begitu panjang desahannya.

   Perlahan Kadik menggerakkan tubuhnya, mencoba duduk.

   Kali ini tidak ada yang mence-gah.

   Dan dia bisa duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup besar.

   Sementara, tidak jauh di sebelah kirinya api menyala cukup besar meng-hangatkan sekitarnya.

   Di depannya duduk gadis cantik dan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang tadi mengenalkan diri bernama Pandan Wangi dan Rangga.

   Dan memang, mereka adalah Pandan Wangi dan Rangga, dua orang pendekar muda yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.

   Mere-ka juga dikenal sebagai pendekar muda dari Ka-rang Setra.

   "Kami menemukanmu tergeletak di pinggiran hutan. Sepertinya, kau baru saja mengalami peristiwa yang begitu berat, hingga tidak sadarkan di-ri,"

   Kata Rangga dengan nada suara lembut.

   Kadik terdiam tidak menjawab kata-kata Pen-dekar Rajawali Sakti.

   Kembali ingatannya ter-bayang peristiwa mengerikan yang telah dialami siang tadi.

   Begitu mengerikan, hingga jatuh pingsan.

   Sulit bagi Kadik untuk bisa membayangkan peristiwa itu.

   Tubuhnya jadi bergidik menggigil setiap kali teringat kekasihnya bangkit kembali dari kubur, lalu membunuh Ki Jungut dengan sangat keji! "Boleh tahu, siapa namamu, Kisanak...?"

   Pinta Rangga sopan.

   "Kadik,"

   Sahut Kadik menyebutkan namanya.

   Suara pemuda itu terdengar begitu pelan, hingga hampir saja tidak terdengar telinga Rangga dan Pandan Wangi.

   Perlahan Kadik mengangkat kepa-lanya, dan langsung menatap kedua pendekar muda di depannya.

   Tampak wajahnya masih terli-hat pucat.

   Memang berat peristiwa, yang baru di-alaminya.

   Dan itu merupakan peristiwa pertama di dalam hidupnya.

   Ia benar-benar belum pernah melihat pembunuh yang begitu keji dengan mata kepalanya sendiri.

   Terlebih lagi, pembunuhan itu dilakukan kekasihnya yang bangkit dari kuburnya.

   "Kau pingsan cukup lama juga tadi,"

   Jelas Rangga.

   "Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak,"

   Ucap Kadik. Rangga Hanya tersenyum saja.

   "Kau berasal dari Desa Kranggan?"

   Tanya Pandan Wangi menyelak. Kadik mengangguk.

   "Kenapa bisa tidak sadarkan diri tadi?"

   Tanya Pandan Wangi lagi.

   Kadik terdiam, tidak langsung menjawab per-tanyaan gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu.

   Dipandanginya Pandan Wangi beberapa saat, kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila di samping gadis cantik berba-ju biru muda ini.

   Terdengar tarikan nafasnya yang begitu panjang dan terasa berat.

   "Mengerikan sekali...,"

   Desah Kadik disertai hembusan napas panjang.

   "Mengerikan...? Apa yang terjadi, Kisanak?"

   Tanya Pandan Wangi jadi ingin tahu.

   Kadik menggeleng-gelengkan kepalanya perla-han.

   Kembali ditariknya napas panjang-panjang dan dihembuskannya kuat-kuat.

   Seakan-akan, dia ingin melonggarkan rongga dadanya yang tiba-tiba saja jadi terasa begitu sesak, bagai dihimpit sebongkah batu teramat besar dan berat.

   Kemudian, Kadik mulai menceritakan semua peristiwa aneh dan mengerikan yang dialaminya.

   Semua diceritakannya dengan jelas dan perlahan-lahan.

   Suaranya pun terdengar begitu pelan, hing-ga Rangga dan Pandan Wangi terpaksa menajam-kan pendengarannya.

   Kedua Pendekar muda dari Karang Setra itu jadi terdiam membisu setelah mendengar cerita yang dialami Kadik, hingga sampai pingsan cukup lama begitu.

   Mereka saling berpandangan bebera-pa saat, kemudian kembali memandang Kadik yang sudah menyelesaikan cerita pengalaman mengerikannya.

   Dan untuk beberapa lama, mere-ka semua terdiam tak seorang pun yang berbicara.

   Begitu sunyi, hingga desir angin yang menyebar-kan hawa dingin begitu terasa mengusik gendang telinga.

   Suara gerit serangga malam pun terdengar bagai nyanyian alam yang memberi peringatan akan bahaya yang bisa saja muncul setiap saat "Kau ingin pulang ke desamu?"

   Rangga mena-warkan dengan sikap ramah.

   "Entahlah...,"

   Sahut Kadik mendesah panjang.

   "Kalau begitu, beristirahatlah di sini. Besok pagi kau bisa kembali ke desamu,"

   Kata Rangga lagi.

   "Terima kasih,"

   Ucap Kadik lagi.

   Rangga hanya tersenyum saja, kemudian me-nepuk pundak pemuda desa itu dengan penuh ra-sa persahabatan.

   Kemudian Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan melangkah mendekati api unggun, dan duduk dekat api yang masih me-nyala cukup besar.

   Sementara Pandan Wangi ma-sih tetap duduk didepan Kadik yang juga tetap duduk bersandar pada sebatang pohon.

   Dan Rangga tampak sudah asyik dengan kelinci pang-gangannya.

   Tidak dipedulikan lagi, apa yang dibicarakan Pandan Wangi dan Kadik.

   Pendekar Ra-jawali Sakti terus menikmati daging kelinci pang-gangannya.

   *** Pagi-pagi sekali, Kadik baru kembali ke Desa Kranggan.

   Rangga dan Pandan Wangi yang dimin-ta mengantar, tidak menolak sedikit pun.

   Mereka ke Desa Kranggan mengikuti jalan yang ditunjuk-kan Kadik.

   Namun, mereka tidak melalui jalan yang biasa ditempuh orang, melainkan menerobos melewati tepian hutan dan perkebunan.

   Hingga akhirnya, mereka tiba di rumah Kadik.

   Tapi, kea-daan di rumah itu tampak sepi sekali seperti su-dah tidak lagi ditempati.

   "Kau tinggal sendiri di sini, Kadik?"

   Tanya Rangga, melihat keadaan rumah ini begitu sunyi.

   "Ada emak ku,"

   Sahut Kadik.

   Kadik membawa kedua pendekar muda itu me-lalui jalan samping, dan terus ke belakang.

   Dibukanya pintu belakang yang tidak terkunci, lalu dimintanya agar Rangga dan Pandan Wangi men-gikuti.

   Mereka kemudian masuk ke dalam rumah ini dari belakang, dan terus menuju ke depan.

   Kadik baru membuka pintu depan setelah mempersi-lakan Rangga dan Pandan Wangi duduk di ruan-gan depan yang tidak begitu besar ukurannya.

   "Maaak...!"

   Teriak Kadik memanggil ibunya.

   Tapi, tak ada seorang pun yang menyahuti.

   Kadik terus berteriak-teriak sambil mencari ke se-tiap kamar yang ada di rumah ini.

   Namun, tetap saja dia tidak menjumpai ibunya.

   Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling melempar pan-dang.

   Mereka bersamaan bangkit berdiri begitu Kadik muncul dari dalam sebuah kamar yang ber-hubungan langsung dengan ruangan depan ini.

   "Tidak biasanya Emak ku pergi,"

   Kata Kadik, tidak dapat lagi menyembunyikan kecemasannya.

   "Mungkin ke rumah tetangga,"

   Kata Pandan Wangi.

   "Tidak. Emak tidak pernah pergi, kecuali ke ladang di belakang rumah,"

   Bantah Kadik.

   Kembali Pandan Wangi dan Rangga saling ber-pandangan.

   Sedangkan Kadik terlihat begitu ce-mas, karena tidak menjumpai ibunya.

   Pemuda itu menghempaskan lemas tubuhnya ke kursi, sambil menghembuskan napas cukup panjang.

   Pandan Wangi men-dekati.

   Diseretnya kursi kayu ke dekat pemuda itu, lalu duduk disana.

   Di saat mereka semua tengah kebingungan, ti-ba-tiba saja...

   Wusss! "Awas...!"

   Seru Rangga.

   Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti me-lompat sambil mengebutkan tangan kanannya, ke-tika tiba-tiba melihat secercah cahaya kilat melesat masuk dari jendela.

   Dua kali Pendekar Rajawa-li Sakti berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya tepat di samping Pandan Wangi lagi.

   "Apa itu, Kakang?"

   Tanya Pandan Wangi sambil menunjuk kepalan tangan Rangga.

   "Panah,"

   Sahut Rangga sambil menunjukkan benda yang berhasil ditangkapnya. Di dalam genggaman tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti memang terdapat sebatang anak panah berwarna keperakan.

   "Ada suratnya, Kakang,"

   Kata Pandan Wangi.

   Saat itu, Rangga memang sedang membuka ikatan selembar daun lontar pada bagian tengah batang anak panah.

   Hanya selembar daun lontar kering yang terdapat sebaris kalimat, dan ditulis dengan darah yang sudah mengering.

   Rangga langsung menyerahkan lembaran daun lontar itu pada Kadik.

   "Oh...."

   Kadik terkulai lemas setelah membaca sebaris kalimat pada daun lontar itu.

   Seluruh tubuhnya seperti tidak lagi memiliki tulang.

   Begitu lemas dan tak bertenaga, sehingga langsung terjatuh duduk di kursinya lagi.

   Sedangkan lembaran daun lontar itu tergenggam erat di tangannya.

   "Apa isinya, Kakang?"

   Tanya Pandan Wangi ingin tahu.

   "Ancaman,"

   Sahut Rangga singkat.

   "Ancaman...?"

   "Kadik harus menyerahkan Cupu yang berisi Batu Mustika Biru, kalau ibunya ingin kembali dengan selamat,"

   Sahut Rangga menjelaskan dengan singkat.

   Pandang Wangi langsung terdiam.

   Mereka memandang Kadik yang masih terduduk lemas di kursi kayu.

   Pandangan pemuda itu terlihat ko-song, dan lurus ke depan.

   Seakan-akan tidak lagi memiliki gairah hidup.

   Lembaran daun lontar berisi ancaman itu kini tergeletak di samping ka-kinya.

   "Aku tidak tahu, apa yang diinginkannya. Kenapa dia menyangka aku menyimpan benda terku-tuk itu...?"

   Desah Kadik lirih.

   "Kelihatannya kau punya persoalan yang tidak kecil, Kadik. Kalau boleh tahu, persoalan apa yang sedang kau hadapi,"

   Ujar Rangga ingin membantu.

   "Aku tidak tahu...,"

   Sahut Kadik lesu.

   "Siapa orang yang mengirim ancaman itu, Ka-dik?"

   Tanya Pandan Wangi.

   Kadik hanya menggelengkan kepalanya.

   Me-mang, di dalam lembaran surat ancaman daun lontar itu tidak disebutkan pengirimnya.

   Di situ hanya tertulis kalau Kadik harus menyerahkan Cupu yang berisi Batu Mustika Biru kalau ibunya ingin kembali dengan selamat.

   Tidak ada penjela-san lain.

   Dan inilah yang membuat Kadik jadi ti-dak mengerti.

   Terlebih lagi, Rangga dan Pandan Wangi yang memang tidak mengetahui persoalan yang sedang dihadapi pemuda Desa Kranggan itu.

   "Apa ini ada hubungannya dengan si Iblis Penggali Kubur yang membangkitkan kekasihmu dari kuburnya, Kadik?"

   Tanya Pandan Wangi lagi.

   Lagi-lagi Kadik hanya menggelengkan kepala saja, kemudian mendesah perlahan.

   Dia sama se-kali tidak tahu semua peristiwa yang dialaminya.

   Apalagi untuk bisa menghubungkan Iblis Penggali Kubur dengan surat ancaman dan Cupu Batu Mustika Biru.

   Sedangkan dia sendiri memang me-rasa tidak memiliki benda yang dianggapnya seba-gai biang keonaran itu.

   Entah apa, sehingga benda yang belum pernah dilihatnya itu selalu menimbulkan bencana bagi semua orang.

   "Aku benar-benar tidak tahu. Bahkan aku sendiri belum pernah melihat Cupu Batu Mustika Biru,"

   Tegas Kadik perlahan, seakan-akan bicara untuk diri sendiri;

   "Tapi kau sudah tahu benda itu, bukan?"

   Desak Pandan Wangi.

   "Ya,"

   Sahut Kadik pelan, seraya menganggukkan kepala.

   Rangga dan Pandan Wangi saling berpanda-ngan.

   Memang aneh kalau Kadik mengatakan ti-dak tahu apa-apa tentang Cupu Batu Mustika Bi-ru, padahal juga mengetahuinya.

   Bahkan menga-takan kalau itu adalah benda keparat yang selalu menimbulkan malapetaka.

   Apa yang dikatakan Kadik membuat kedua pendekar muda dari Ka-rang Setra itu jadi bingung setengah mati.

   "Kadik! Kau mengatakan belum pernah meli-hatnya. Dan tidak tahu apa-apa tentang benda itu. Tapi, kau mengatakan kalau benda itu membuat keonaran. Bagaimana ini, Kadik...?"

   Rangga meminta penjelasan.

   "Aku memang belum pernah melihatnya, tapi pernah mendengar tentang Cupu Batu Mustika Bi-ru itu,"

   Sahut Kadik mencoba menjelaskan.

   "Kau hanya mendengar...?"

   Selak Pandan Wangi tidak percaya.

   Kadik hanya diam saja.

   Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya.

   Sementara, Rangga dan Pandan Wangi terus memandangi.

   Mereka merasa yakin kalau pemuda Desa Kranggan ini menyembunyikan sesuatu yang terasa berat untuk diungkapkan.

   Dan mereka jadi terdiam untuk waktu yang cukup lama.

   Rangga kemudian melangkah men-dekati jendela yang terbuka lebar.

   Matanya me-mandang keluar, merayapi keadaan jalan yang ke-lihatan sunyi.

   Hanya beberapa orang saja yang terlihat melintasi jalan itu.

   Terasa begitu sunyi desa ini.

   Padahal, Desa Kranggan termasuk sebuah de-sa besar.

   Tapi, keadaannya yang begitu sunyi membuat Rangga menduga kalau telah terjadi se-suatu di desa ini.

   "Coba jelaskan, apa saja yang kau ketahui tentang Cupu Batu Mustika Biru itu,"

   Ujar Rangga meminta, seraya membalikkan tubuhnya membe-lakangi jendela.

   "Dulu aku pernah mendengar, memang ada ri-but-ribut tentang Cupu Batu Mustika Biru. Tapi, itu sudah lama. Tepatnya ketika aku masih beru-sia sekitar lima tahun. Dan yang kudengar, cupu itu ada pada ayahku. Entah benar, atau tidak. Ta-pi setelah ayahku terbunuh, cupu itu juga meng-hilang entah ke mana. Malah, tidak ada lagi orang yang membicarakan atau memperebutkannya. Semua orang sudah melupakannya,"

   Kata Kadik mencoba menjelaskan dengan singkat.

   "Ayahmu seorang pendekar?"

   Selak Pandan Wangi.

   "Panglima pertama kerajaan,"

   Sahut Kadik dengan suara bernada bangga.

   Rangga dan Pandan Wangi mengangguk-ang-gukkan kepala.

   Pantas saja Kadik tidak seperti pemuda desa lainnya.

   Ternyata, dia seorang putra bekas panglima pertama kerajaan.

   Dan itu, berarti dalam tubuhnya mengalir darah kebangsawanan.

   Tapi anehnya, Kadik tidak memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan sedikit pun juga.

   "Sayang, ibuku tidak mengizinkan aku mempe-lajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Dan aku sendiri sebenarnya memang tidak pernah ter-tarik untuk mempelajarinya. Aku lebih tertarik mempelajari ilmu-ilmu sastra dan sejarah,"

   Kata Kadik, seperti mengetahui isi kepala kedua pendekar muda itu.

   Rangga dan Pandan Wangi masih tetap diam dengan kepala terangguk-angguk.

   Memang, mere-ka melihat kalau pemuda ini tidak memiliki ke-pandaian sedikit pun juga.

   Bahkan bisa dikatakan sebagai pemuda lemah.

   Dan itu memang sudah menjadi kebiasaan para pemuda bangsawan, yang biasanya selalu mengandalkan para pengawal.

   Ta-pi, tidak sedikit pun terlihat adanya keangkuhan pada diri Kadik.

   Atau mungkin, pemuda ini sudah terbiasa hidup di desa, sehingga tidak lagi terlihat kalau keturunan bangsawan.

   "Aku hanya mempelajari sedikit pengerahan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Hanya itu saja. Itu pun hanya sedikit sekali,"

   Sambung Kadik.

   "Baiklah, Kadik. Kami akan mencoba memban-tumu. Mudah mudahan ibumu masih bisa disela-matkan,"

   Hibur Rangga sambil menepuk pundak pemuda itu dengan lembut dan penuh rasa persahabatan.

   "Terima kasih,"

   Ucap Kadik perlahan. Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menghempaskan tubuhnya perlahan di kursi kayu sambil menghembuskan napas panjang.

   "Akan ku siapkan makan untuk kalian,"

   Kata Pandan Wangi.

   "Semua ada di belakang. Kalau butuh sayuran, ambil saja di kebun belakang,"

   Jelas Kadik.

   "Kau bisa membantuku, Kadik?"

   Pinta Pandan Wangi.

   "Tentu saja,"

   Sahut Kadik cepat.

   "Buatkan masakan yang enak. Aku ingin isti-rahat sebentar,"

   Selak Rangga.

   "Huuu...!"

   Pandan Wangi mencibir.

   Rangga hanya tersenyum saja.

   Sementara, Ka-dik sudah menghilang lebih dulu ke bagian bela-kang rumahnya yang cukup besar ini.

   Pandan Wangi bergegas menyusul pemuda itu.

   Sedangkan Rangga sudah memejamkan matanya sambil men-gatur jalan pernapasan.

   Bagi seorang pendekar seperti Rangga, waktu yang sedikit sangat berguna untuk mengatur pernapasan dan meningkatkan kemampuan pengerahan tenaga dalam.

   *** Malam ini udara di sekitar Desa Kranggan be-gitu dingin.

   Angin bertiup kencang, membuat daun-daun berguguran dan terhempas di tanah.

   Langit tampak menghitam kelam, tertutup awan hitam yang menggumpal bergulung-gulung menu-tupi cahaya rembulan dan bintang.

   Sesekali terlihat kilatan cahaya di langit yang disusul terdengarnya ledakan guntur bagai hendak memecahkan seluruh alam raya ini.

   Tak ada seorang pun terlihat di luar.

   Jalan-jalan di seluruh Desa Kranggan satu pun tidak terlihat manusia berjalan.

   Begitu sunyi keadaannya, hingga deru angin yang begitu kencang terdengar bagai hendak menghancurkan desa ini.

   Dari ke-jauhan terdengar lolongan anjing hutan yang begi-tu panjang memilukan, membuat bulu kuduk sia-pa saja yang mendengarnya jadi meremang.

   Saat itu, terlihat sesosok tubuh berbaju serba hitam yang panjang dan longgar tengah bergerak cepat menuju ke arah Timur Desa Kranggan.

   Ge-rakannya begitu cepat dan ringan, seakan-akan melayang di atas tanah.

   Sedikit pun tak terdengar suara dari ayunan kakinya yang begitu ringan bagai tidak menapak permukaan tanah.

   Sosok tubuh hitam itu baru berhenti bergerak setelah sampai di tanah pekuburan yang letaknya tidak seberapa jauh di sebelah Timur Desa Kranggan.

   "He he he...!"

   Terdengar tawanya yang terkekeh kering men-gerikan.

   Dia berdiri tegak didepan sebuah gundu-kan tanah kuburan yang tampaknya masih baru dan terawat apik.

   Perlahan kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, seakan tidak ingin ada orang lain yang melihatnya.

   Kemudian, matanya mena-tap tajam pada kuburan di depannya dari balik kain kerudung berbentuk kerucut yang menutupi seluruh kepala dan sebagian wajahnya.

   Memang sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena hampir tertutup kain kerudung hitam.

   Terlebih la-gi, malam ini begitu gelap.

   Sedikit pun tak ada cahaya bulan dan bintang menghias angkasa raya.

   Sebentar orang itu berdiri mematung me-mandangi kuburan yang kelihatan masih baru, kemudian kedua tangannya perlahan terangkat ke atas.

   Kepalanya pun bergerak menengadah ke atas, mengikuti gerakan, kedua tangannya.

   Tam-pak bibirnya yang pucat bergerak-gerak seperti menggeletar.

   Kemudian....

   "Hup!"

   Begitu kedua tangannya merapat di samping pinggang, dia melompat tinggi ke udara.

   Lalu, tubuhnya menukik deras dengan kaki merapat ter-tuju lurus ke tengah kuburan itu.

   Dan....

   Brus! Cepat sekali orang aneh berbaju hitam pekat itu melesak masuk ke dalam kuburan.

   Tanah di sekitar kuburan jadi bergetar, bagai diguncang gempa kecil.

   Tampak asap putih mengepul ke uda-ra bergulung-gulung dari kuburan yang berlubang cukup besar.

   Dan tak berapa lama kemudian, ter-lihat orang aneh itu menyembul perlahan-lahan sambil memondong sesosok tubuh yang ter-bungkus kain putih bernoda tanah merah.

   Orang itu bergerak melayang ke atas, lalu pelan-pelan sekali kakinya menjejak tanah di pinggir kuburan yang sudah berlubang.

   Asap putih yang menggumpal dari dalam ku-buran itu pun menyebar tertiup angin.

   Tampak orang aneh berbaju serba hitam itu berdiri tegak memondong sesosok tubuh yang terbungkus kain putih bernoda tanah merah berlumpur.

   Perlahan diletakkannya mayat itu, kemudian dipandanginya beberapa saat.

   Hati-hati sekali ikatan kain putih di kepala mayat itu dibukanya.

   "He he he...!"

   Suara tawa terkekeh kembali terdengar saat terlihat seraut wajah wanita yang cukup cantik di balik kain putih yang membungkusnya. Dengan sikap hati-hati, kembali diikatnya ujung kain di kepala mayat wanita, dan dibungkusnya lagi dengan rapi.

   "He he he...!"

   Sambil tertawa terkekeh, orang aneh itu me-mondong lagi mayat perempuan yang diambilnya dari dalam kuburan itu.

   Kemudian tubuhnya ber-balik da melangkah ringan meninggalkan kubu-ran.

   Ayunan langkah kakinya begitu ringan, sea-kan-akan telapak kakinya tidak menyentuh tanah sedikit pun juga.

   Sebentar saja, dia sudah tidak terlihat lagi ditelan gelapnya malam.

   Secercah cahaya kilat menyambar membelah langit yang ke-lam.

   "He he he...!"

   Suara tawa terkekeh masih terdengar, dan se-makin menjauh.

   Kemudian suara itu menghilang terbawa hembusan angin kencang di malam pekat ini.

   Tidak ada seorang pun yang melihat kejadian itu.

   Dan malam terus merayap semakin bertambah larut.

   Titik-titik air hujan mulai merembes jatuh menyirami bumi.

   Tak berapa lama kemudian, hujan pun turun dengan deras sekali, bagaikan di-tumpahkan dari langit.

   Kilat semakin sering me-nyambar disertai guntur yang menggelegar meme-cah angkasa.

   *** Kegemparan terjadi di Desa Kranggan, ketika salah seorang anak gembala melihat sebuah ku-buran terbongkar pagi ini.

   Itu adalah kuburan seorang gadis yang baru meninggal kemarin.

   Dan ini, berarti sudah dua kuburan terbongkar.

   Rang-ga dan Pandan Wangi yang berada di rumah Ka-dik, juga mendengar berita itu.

   Mereka bergegas ke tanah kuburan yang berada di sebelah Timur di luar Desa Kranggan.

   "Pasti dia akan menciptakan pasukan dari mayat yang dibangkitkan dari kuburnya,"

   Desis Kadik menggumam perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.

   Rangga yang mendengar gumaman kecil itu langsung memandanginya tajam-tajam.

   Sementa-ra, Pandan Wangi yang tidak mendengar terus mengamati kuburan yang menganga cukup besar.

   Tidak ada lagi orang lain di sekitar tanah kuburan ini, selain mereka bertiga.

   "Siapa dia, Kadik?"

   Tanya Rangga ingin tahu.

   Kadik tidak langsung menjawab.

   Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat.

   Lalu, kepalanya bergerak berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tepat di sebelah kanannya.

   sedangkan Rangga sendiri terus memandangi tanpa berkedip.

   "Iblis Penggali Kubur,"

   Terdengar pelan sekali suara Kadik.

   "Siapa dia?"

   Tanya Rangga lagi.

   "Aku tidak tahu. Aku juga hanya mendengar namanya saja dari Ki Jungut. Tapi, dia sudah te-was oleh...,"

   Kadik tidak meneruskan.

   Rangga juga tidak mendesak lagi.

   Dia tahu, siapa Ki Jungut itu.

   Kadik sudah menceritakannya ketika sadar dari pingsannya dan ditolong Pendekar Rajawali Sakti.

   Tapi dari cerita Kadik, belum ditemukan cahaya terang setitik pun.

   Rangga juga belum bisa menduga maksud si Iblis Penggali Kubur yang mengambil mayat-mayat dari dalam ku-bur.

   Entah, untuk apa mayat-mayat itu dikum-pulkan.

   Tapi ada satu keanehan yang menjadi be-ban pikiran Rangga saat ini.

   Si Iblis Penggali Kubur hanya mengambil mayat-mayat gadis yang ba-ru satu hari meninggal dan dikuburkan.

   Untuk apa mayat-mayat gadis yang baru me-ninggal itu...? Pertanyaan ini yang terus meng-ganggu benak Pendekar Rajawali Sakti.

   Sementa-ra, Pandan Wangi sudah selesai memeriksa sekitar kuburan yang berlubang menganga cukup besar itu.

   Gadis berbaju biru muda yang berjuluk si Kipas Maut itu menghampiri Rangga yang berada di sebelah kanan Kadik, pemuda dari Desa Kranggan yang ternyata putra bekas seorang panglima pe-rang kerajaan.

   "Bagaimana...? Ada yang kau temukan, Pan-dan?"

   Tanya Rangga langsung.

   Pandan Wangi menggelengkan kepala per-lahan.

   Sedikit nafasnya ditarik, kemudian dihembuskannya pelan sekali.

   Pandangannya langsung tertuju pada Kadik yang juga tengah memandan-ginya, kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti.

   "Dia bukan penggali kubur biasa, Kakang,"

   Duga Pandan Wangi perlahan.

   "Maksudmu...?"

   Rangga tidak mengerti.

   "Kau lihat saja sendiri. Sedikit pun tidak ada bekas galiannya. Tanah di sekitar lubang seperti hangus terbakar,"

   Sahut Pandan Wangi menje-laskan pengamatannya.

   Rangga bergegas mendekati lubang kuburan itu.

   Pendekar Rajawali Sakti berjongkok sebentar mengamati, kemudian kembali mendekati Pandan Wangi dan Kadik.

   Saat itu, tiba-tiba saja bertiup angin kencang disertai suara menggemuruh bagai terjadi badai.

   Dan saat itu juga, langit jadi gelap tersapu awan hitam yang berrgulung-gulung menutupi seluruh angkasa.

   Rangga cepat melompat ke depan Kadik.

   Pandan Wangi juga segera meng-geser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

   Mendadak....

   Crlark! Glarrr...! Secercah cahaya kilat membersit terang di angkasa, disertai ledakan guntur yang menggele-gar dahsyat menggetarkan jantung.

   Bahkan, sam-pai-sampai mengejutkan tiga orang yang ada di tengah-tengah tanah pekuburan ini.

   Dan belum lagi keterkejutan itu lenyap, kembali mereka dike-jutkan oleh bergetarnya bumi yang dipijak.

   Saat itu, terlihat asap tebal berwarna kemerahan men-gepul bergulung-gulung dari dalam kuburan yang terbongkar.

   Tak berapa lama kemudian, tanah kuburan itu bergerak merapat.

   Dan asap kemerahan yang mengepul pun menghilang tersapu angin.

   Menda-dak, langit kembali cerah.

   Angin pun tidak lagi berhembus kencang.

   Kemurkaan alam hanya ter-jadi sesaat, namun sudah membuat Rangga dan Pandan Wangi sempat berjaga-jaga untuk melin-dungi Kadik.

   "Pertanda apa ini, Kakang?"

   Tanya Pandan Wangi setengah bergumam, seperti untuk diri sendiri.

   "Hmmm...,"

   Namun Rangga hanya menggu-mam perlahan saja.

   Sedangkan wajah Kadik sudah terlihat me-mucat.

   Dia teringat peristiwa yang pernah dialaminya kuburan ini, sebelum jatuh pingsan dan di-tolong kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.

   Kejadian yang hampir sama, tapi kali ini lebih dahsyat lagi.

   Hanya saja, sekarang tidak muncul mayat wanita seperti yang terjadi pada jasad kekasihnya.

   Namun demikian, Kadik jadi cemas juga.

   Ma-tanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan wajah pucat pasi dan tubuh gemetar.

   Tapi setelah beberapa saat keadaan tenang, ternyata tidak seorang pun yang terlihat muncul di kuburan ini.

   Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak dengan kepala bergerak-gerak perlahan seperti tengah mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.

   Namun juga Pendekar Rajawali Sakti belum mendapatkan se-suatu.

   Sekitar kuburan ini begitu sunyi.

   Hanya desir angin lembut saja yang terdengar mengusik gendang telinga.

   Namun tiba-tiba saja....

   "Kau merasakan sesuatu, Pandan...?"

   Pelan sekali suara Rangga.

   Pandan Wangi terdiam.

   Kepalanya dimiringkan sedikit, mempertajam pendengarannya.

   Sebentar kemudian wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang masih diam dengan sikap se-perti hendak menghadapi musuh tangguh dan berbahaya.

   "Aku tidak mendengar apa-apa,"

   Kata Pandan Wangi perlahan setengah berbisik.

   "Pusatkan seluruh perasaanmu pada telapak kaki,"

   Ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun ju-ga. Tapi belum juga Pandan Wangi mengikuti ka-ta-kata Pendekar Rajawali Sakti, mendadak.... Brul! Blar...! "Heh...?!"

   "Ohhh...!"

   Pandan Wangi dan Kadik langsung berlom-patan mundur dengan terkejut, begitu tiba-tiba sa-ja didepan mereka menyembul dua sosok tubuh dari dalam tanah. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak pada kedua kakinya.

   "Oh, makhluk apa ini...?!"

   Desis Pandan Wangi mendesah.

   * * * Hampir Pandan Wangi tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

   Ternyata dari dalam tanah muncul dua sosok makhluk yang sulit untuk bisa dikenali lagi.

   Dua sosok makhluk berbentuk mayat yang seluruh wajah dan tubuhnya sudah rusak.

   Kedua mayat hidup itu bergerak lamban, mende-kati Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun.

   Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti begitu ta-jam tak berkedip sedikit pun saat mengamati dua sosok makhluk mayat hidup yang sudah rusak keadaannya.

   Bau busuk yang memualkan lang-sung menyebar menyengat hidung.

   Ulat-ulat kecil memenuhi hampir seluruh tubuh kedua makhluk itu yang sudah mengelupas daging-daging-nya.

   "Hmm.... Sekali pun datang dari dasar neraka, tidak pantas kau ada di atas permukaan bumi ini,"

   Desis Rangga dingin menggetarkan. Tiba-tiba saja, salah satu dari makhluk mayat hidup itu melompat menerjang Rangga begitu ce-pat. Kedua tangannya terulur ke depan, mengarah langsung ke leher Pendekar Rajawali Sakti.

   "Hap!"

   Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya menghindari terjangan makhluk mayat hidup yang menyebarkan bau busuk memualkan perut itu.

   Tapi belum juga tubuhnya sempat ditarik tegak kembali, satu makhluk mayat hidup lainnya su-dah memberikan serangan dengan kibasan tangan kanan yang berkuku runcing mengarah ke lam-bung kanan.

   "Uts!"

   Rangga segera mengegoskan tubuhnya meng-hindari sambaran tangan rusak berkuku runcing dan hitam itu.

   Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah.

   Dan pada saat itu, tiba-tiba saja dari dalam tanah menyembul sebuah tangan rusak dan kotor berlumpur.

   Langsung di-cengkeramnya pergelangan kaki Pendekar Raja-wali Sakti.

   Dan pada saat yang bersamaan, men-dadak Kadik menjerit keras.

   "Heh...?!"

   Pandan Wangi yang berada dekat dengan pe-muda desa itu jadi terkejut.

   Cepat Kipas Mautnya ditarik keluar, dan langsung dikebutkan ke tangan rusak yang menyembul dari dalam tanah yang mencengkeram pergelangan kaki Kadik.

   Cras! Tangan yang hampir tidak berdaging itu lang-sung buntung terbabat kipas baja putih yang ter-kenal maut Itu.

   Pada saat yang bersamaan, Rang-ga sudah berhasil melepaskan cengkeraman tan-gan rusak dan pergelangan kakinya.

   Cepat-cepat tubuhnya melenting, dan langsung mendarat de-kat di samping Pandan Wangi.

   Begitu ringan gera-kannya, hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun saat menjejak tanah yang berumput agak ba-sah ini.

   "Tinggalkan tempat ini, cepat...!"

   Seru Rangga.

   "Kau sendiri...?"

   Pandan Wangi ingin protes.

   "Jauhkan Kadik dari sini. Nanti aku menyu-sul,"

   Potong Rangga cepat.

   Pandan Wangi tidak membantah lagi.

   Cepat-cepat disambarnya tangan Kadik, dan diajaknya berlari meninggalkan tanah kuburan itu.

   Semen-tara, Rangga sudah kembali sibuk menghadapi dua makhluk maya hidup yang menyerangnya dengan cepat dan bergantian.

   Saat itu, tangan-tangan rusak dan kotor berlumpur semakin ba-nyak bersembulan dari tanah, seakan-akan siap menerima Pendekar Rajawali Sakti.

   Akibat-nya, pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpali-tan di udara.

   "Hup! Yeaaah...!"

   Begitu memiliki kesempatan, Rangga cepat-cepat melenting ke udara, lalu manis sekali hinggap di atas dahan pohon.

   Lalu tubuhnya kembali melenting ke pohon lainnya.

   Beberapa kali Pende-kar Rajawali Sakti berlompatan dari satu pohon ke pohon lain.

   Dan dengan gerakan indah kakinya mendarat di tanah, agak jauh dari tanah kuburan itu.

   "Phuihhh...!"

   Rangga menghembuskan napas panjang.

   Tampak mayat-mayat hidup dan tangan-tangan rusak yang bersembulan dari dalam tanah itu tidak berusaha mengejar.

   Bahkan kembali me-lesak masuk ke dalam tanah.

   Sementara itu Rang-ga berdiri tegak memperhatikan.

   Pendekar Rajawa-li Sakti belum juga beranjak pergi, meskipun tidak ada lagi makhluk mayat hidup dan tangan-tangan rusak di sekitar tanah pekuburan itu.

   Beberapa saat lamanya, Rangga masih berdiri mematung memandangi tanah pekuburan.

   Kemu-dian tubuhnya berputar berbalik, dan melangkah pergi.

   Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam memotong di depannya.

   "Hup!"

   Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti me-lompat ke belakang sambil berputaran di udara dua kali. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah kembali.

   "Hmmm...."

   Pendekar Rajawali Sakti bergumam kecil saat melihat di depannya sudah berdiri sesosok berbaju Jubah panjang warna hitam pekat. Sulit untuk bi-sa melihat wajahnya, karena tertutup kerudung hitam berbentuk kerucut yang menyelubungi selu-ruh kepala.

   "Hmmm...,"

   Kembali Rangga menggumam perlahan.

   "Tinggalkan desa ini. Pendekar Rajawali Sakti. Jangan coba-coba mencampuri urusanku,"

   Terasa dingin sekali nada suara orang itu.

   "Heh...?! Kau tahu namaku?! Siapa kau?!"

   Rangga jadi terperanjat.

   "Aku biasa dipanggil Iblis Penggali Kubur. Dan kuharap, kau cepat tinggalkan desa ini. Jangan coba-coba mencampuri urusanku di sini. Dan ka-lau kau keras kepala, kau akan menghadapi pa-sukan mayatku,"

   Desis orang aneh berbaju jubah hitam yang mengenalkan diri sebagai si Iblis Penggali Kubur.

   Dari nada suaranya, jelas kalau orang itu laki-laki.

   Dan Rangga tahu kalau ancaman itu tidak bisa dianggap main-main.

   Tapi, apakah Pendekar Rajawali Sakti akan mengikuti begitu saja hanya karena ancaman? Rangga kini malah melangkah beberapa tindak, mendekati.

   Sikapnya begitu te-nang.

   Bahkan senyuman tipis terukir di bibirnya.

   Dan kini, jarak mereka tinggal sekitar tujuh langkah lagi.

   "Kau yang mencuri mayat-mayat di sini?"

   Tanya Rangga agak datar nada suaranya.

   "Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sak-ti!"

   Sahut si Iblis Penggali Kubur ketus.

   "Untuk apa kau mencuri mayat?"

   Tanya Rangga lagi, tidak mempedulikan jawaban yang begitu ketus dan tidak bersahabat.

   "Sudah kukatakan, itu bukan urusanmu!"

   Bentak Iblis Penggali Kubur lagi.

   "Kau tinggalkan desa ini secepatnya, atau mati di sini oleh pasu-kanku, Pendekar Rajawali Sakti!"

   "Hmmm. Kau mengancamku, Kisanak,"

   Desis Rangga agak menggumam.

   "Semua penduduk Desa Kranggan akan kuja-dikan mayat kalau kau masih terlihat besok pagi, Pendekar Rajawali Sakti. Dan, ingat! Aku tidak pernah main-main. Kalau kau tetap keras kepala, aku tidak segan-segan menghancurkan kerajaan mu dengan pasukan mayatku!"

   Semakin dingin sa-ja nada suara si Iblis Penggali Kubur.

   Belum juga Rangga bisa membuka suara, si Ib-lis Penggali Kubur sudah melesat pergi cepat seka-li.

   Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah tidak terlihat lagi bayangannya.

   Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak me-mandang ke arah kepergian laki-laki aneh yang mengaku berjuluk Iblis Penggali Kubur.

   "Hmmm, siapa dia? Dan, dari mana dia tahu diriku...?' gumam Rangga perlahan, bertanya-tanya pada diri sendiri. Memang sulit menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti sekarang ini. Dan bukan hanya itu saja pertanyaan yang muncul di kepala Rangga. Begitu banyak pertanyaan yang bermunculan, tapi tak satu pun yang bisa terjawab. Dan Rangga sen-diri belum bisa menduga apa-apa, karena semua-nya masih belum jelas. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, untuk apa si Iblis Pengali Kubur itu membentuk pasukan dari mayat-mayat yang dicurinya dari dalam kubur.

   "Apa pun ancamannya, aku tidak bisa tinggal diam begitu saja. Perbuatannya sudah menyalahi kodrat alam. Bagaimanapun caranya, semua ini harus bisa kuhentikan,"

   Desis Rangga bertekad.

   Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah pergi dengan ayunan kaki yang begitu ringan.

   Seakan-akan, telapak kakinya tidak menyentuh tanah.

   Dan sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan kuburan itu.

   Bahkan kini sudah kembali bertemu Pandan Wangi dan Kadik di perbatasan sebelah Timur Desa Kranggan.

   "Ayo kita ke rumahmu, Kadik,"

   Ajak Rangga langsung, sebelum Pandan Wangi melontarkan Pertanyaan.

   Dan memang, mulut Pandan Wangi sudah ter-buka ingin bertanya.

   Tapi, pertanyaan itu hanya tertinggal di tenggorokan saja, karena Rangga sudah melangkah mendahului.

   Sedangkan Kadik mengikuti dari belakang.

   Maka Pandan Wangi pun bergegas melangkah mengikuti kalau tidak ingin tertinggal.

   Sebentar saja mereka sudah berjalan berdampingan, memasuki Desa Kranggan yang tampak masih tetap sunyi.

   *** Satu pekan sudah berlalu, setelah kejadian yang mengerikan yang dialami Kadik, Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti.

   Dan kini se-tiap hari selalu saja ada yang meninggal di Desa Kranggan.

   Mereka yang meninggal adalah gadis-gadis muda, di bawah usia sembilan belas tahun.

   Dan setiap kali ada penguburan, esok harinya ku-buran itu selalu ditemukan sudah terbongkar.

   Bahkan mayat yang dikuburkan lenyap entah ke mana.


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP

Cari Blog Ini