Ceritasilat Novel Online

Perawan Dalam Pasungan 1


Pendekar Rajawali Sakti Perawan Dalam Pasungan Bagian 1


PERAWAN DALAM PASUNGAN Oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting; Puji S.

   Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh Suprianto Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.

   Perawan dalam Pasungan 136 hal.; 12 x 18 cm
http.//duniaabukeisel.blogspot.com Pagi yang seharusnya hening, dipecahkan te-riakan-teriakan keras seorang wanita.

   Setiap hari, semua orang di Desa Tampuk mendengar teriakan-teriakan itu.

   Dan mereka sudah terbiasa menden-garnya, walaupun merasa terganggu juga.

   Bukan hanya di pagi hari, tapi hampir setiap saat teriakan-teriakan itu selalu terdengar.

   Teriakan itu datang dari sebuah gubuk kecil yang sudah rapuh.

   Dinding-dindingnya sudah pe-nuh lubang, dan atapnya sudah banyak yang berja-tuhan.

   Hampir semua orang yang melintas di depan gubuk kecil itu selalu menyemburkan ludah, diser-tai sumpah serapah.

   Dan teriakan-teriakan pagi ini, membuat orang-orang yang melintas di depan gubuk kecil itu jadi menggerutu.

   Mereka menyumpah serapah sambil menyemburkan ludahnya.

   "Huh, mengganggu! Seharusnya dibuang saja ke tengah hutan, biar dimakan binatang buas!"

   Dengus seorang laki-laki tua menggerutu, sambil menyemburkan ludahnya tepat di depan pintu gu-buk kecil yang terbuka sedikit "Sudah, Ki. Biar saja,"

   Timpal perempuan tua yang berjalan di sampingnya.

   Teriakan-teriakan dari dalam gubuk reyot itu berhenti.

   Dan kini, berganti tangisan yang terisak, begitu memilukan.

   Tapi, sebentar kemudian tangisan itu sudah berganti lagi dengan gumaman-gumaman kecil, menendangkan lagu yang tidak je-las iramanya.

   Kembali, sebentar kemudian sudah berganti tangisan terisak yang memilukan.

   Kalau sudah begitu, tak ada seorang pun yang menyemburkan ludahnya lagi di depan gubuk kecil ini.

   Dan kebencian mereka oleh gangguan teriakan-teriakan tadi pun langsung berganti, kepiluan.

   Isak tangis itu memang membuat hati mereka yang mendengarnya jadi trenyuh.

   "Kasihan...,"

   Desah seorang gadis muda yang melintas di depan gubuk kecil dan reyot itu.

   "Iya. Tidak bisa kubayangkan, seandainya aku yang jadi dia,"

   Sambut seorang gadis lain yang berjalan bersamanya.

   "Seharusnya dia dibiarkan saja hidup bebas,"

   Kata gadis itu lagi.

   "Sembarangan saja kalau bicara. Dia bisa membunuh orang lagi, kalau dibiarkan bebas,"

   Cele-tuk seorang gadis lagi yang bertubuh gemuk.

   "Ah, sudahlah. Ayo terus saja ke sungai,"

   Selak seorang gadis lainnya.

   Gadis-gadis itu tidak lagi berbicara, dan terus berjalan menuju sungai.

   Sementara, isak tangis yang memilukan dari dalam gubuk itu pun sudah tidak lagi terdengar.

   Kini suasana begitu sunyi, sedikit pun tak terdengar suara dari dalam gubuk di pinggir jalan Desa Tampuk ini.

   Sementara, matahari semakin menggelincir naik ke langit yang bening.

   Sedikit pun tak terlihat awan berarak.

   Semua penduduk Desa Tampuk sudah sejak tadi sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

   Jalan tanah yang tadi masih kelihatan sepi, kini sudah ramai dipenuhi orang yang hendak berangkat menuju ke pekerjaannya masing-masing.

   Hampir semua orang yang melintasi gubuk kecil itu selalu berhenti sebentar.

   Bermacam-macam pembicaraan terlontar dari mulut mereka, dengan pendapat yang berbeda.

   Tapi, suara-suara dari dalam gubuk kecil itu sudah tidak lagi terdengar.

   Saat itu terlihat seorang perempuan tua renta yang tubuhnya begitu kurus, berjalan tertatih-tatih menghampiri gubuk kecil ini.

   Tak ada seorang pun yang menghiraukan.

   Bahkan tak ada seorang pun yang meliriknya, saat perempuan tua kurus dan bungkuk itu masuk ke dalam gubuk ini.

   Bau debu langsung menyengat hidungnya, saat perempuan tua itu berada di dalam.

   Tampak seorang wanita yang masih muda usianya, tengah duduk lemah di atas tumpukan jerami kering.

   Ke-dua kakinya terpasung balok kayu yang cukup be-sar dan terikat rantai besi yang sangat kuat Wanita muda yang kotor berdebu Ini hanya melirik sedikit saja pada perempuan tua kurus itu.

   "Ku bawakan makanan kesukaan mu, Angki,"

   Kata perempuan tua kurus itu.

   Suara perempuan tua itu terdengar serak dan kering sekali, namun nadanya terdengar ditahan.

   Dia melangkah tertatih menghampiri wanita yang kedua kakinya terpasung itu.

   Sebuah bungkusan daun waru diletakkan di depannya.

   Tapi, wanita muda bertubuh kotor dan berbaju lusuh penuh so-bekan itu hanya melirik sedikit saja.

   Kemudian, matanya menatap tajam pada perempuan tua bertu-buh kurus kering yang kini sudah duduk di depan-nya.

   "Kenapa kau selalu mengirim makanan un-tuk ku, Nyai Suti?"

   Terdengar datar suara wanita terpasung yang dipanggil Angki itu.

   Sementara wanita yang dipanggil Nyai Suti hanya tersenyum saja.

   Di-bukanya bungkusan daun waru itu ternyata berisi makanan dengan ikan bakar yang kelihatannya be-gitu sedap.

   Nini Angki sempat menelan air liur-nya saat melihat makanan yang memang sangat dis-ukainya.

   Tapi makanan itu tidak disentuh sedikit pun juga, dan hanya dipandangi saja beberapa saat.

   Kemudian kembali matanya menatap dengan sinar yang begitu tajam pada wajah tua penuh keriput di depannya.

   "Makanlah, Nini. Semua ini aku buatkan hanya untukmu,"

   Kata Nyai Suti diringi senyum manis tersungging di bibirnya yang kering keriput "Seharusnya kau tidak perlu datang ke sini, Nyai. Mereka pasti akan membenci mu,"

   Kata Nini Angki.

   "Aku tidak peduli!"

   Dengus Nyai Suti.

   "Mereka semua kejam. Aku tidak suka cara mereka memasung mu sampai bertahun-tahun begini. Kau ma-nusia, Nini. Kau bukan binatang. Tidak sepatutnya diperlakukan begini."

   Nini Angki terus memandangi perempuan tua kurus ini, namun sinar matanya tidak lagi tajam seperti tadi Terlihat titik-titik air mengambang di pelupuk matanya.

   Perlahan tangannya bergerak menjulur, meraih bungkusan daun waru itu.

   Ke-mudian makanan yang dibawakan perempuan tua kurus ini mulai dinikmatinya.

   Nyai Suti tersenyum melihat gadis dalam pa-sungan ini menikmati makanannya.

   Di tuangkan-nya air bening dari dalam kendi tanah liat ke dalam gelas bambu yang dibawa, lalu disodorkannya pada Nini Angki Dengan sikap sedikit ragu-ragu, Nini Angki menerima gelas bambu yang kasar buatannya ini.

   Kemudian, isinya diteguk hingga tandas tak bersisa.

   "Habiskan, Nini. Aku senang kalau kau meng-habiskan semua makanan yang kubawa,"

   Ujar Nyai Suti senang.

   "Terima kasih, Nyai,"

   Ucap Nini Angki.

   Sampai matahari berada di atas kepala, Nyai Suti baru keluar dari dalam gubuk kecil yang reyot di pinggir jalan itu.

   Tapi baru beberapa langkah gubuk Itu ditinggalkan, tiba-tiba saja hatinya jadi ter-sedak.

   Bahkan ayunan kakinya langsung terhenti, begitu melihat seorang laki-laki setengah baya berjalan dari arah yang berlawanan.

   Di belakangnya, mengikuti empat orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot.

   Di pinggang mereka masing-masing terselip sebilah golok.

   Sedangkan laki-laki setengah baya yang mengenakan baju warna biru muda, menggenggam tongkat berwarna hitam di tangan kanan.

   "Ki Rampak...,"

   Desis Nyai Suti perlahan.

   Seluruh tubuh Nyai Suti bergetar menggigil, seperti terserang demam.

   Dia tahu, laki-laki setengah baya yang berjalan ke arahnya dan diiringi empat orang bertubuh tinggi tegap berotot itu adalah Kepala De-sa Tampuk ini.

   Dan dialah yang memerintahkan un-tuk memasung Nini Angki.

   Mereka berhenti berjalan setelah dekat dengan Nyai Suti.

   Sedangkan perem-puan tua bertubuh kurus kering itu hanya menun-dukkan kepala saja.

   Tubuhnya yang sudah bung-kuk, semakin terlihat terbungkuk.

   "Apa yang kau lakukan di sana, Nyai?"

   Tanya Ki Rampak sambil menunjuk gubuk kecil, tempat Nini Angki dipasung.

   "Aku..., aku hanya memberi makanan saja,"

   Sahut Nyai Suti tergagap.

   "Sudah berapa kati kuperingatkan, Nyai. Jan-gan lagi memberi makanan padanya!"

   Bentak Ki Rampak kasar.

   "Tapi...."

   "Diam...!"

   Bentak Ki Rampak lantang.

   Nyai Suti seketika terdiam.

   Sementara tubuh-nya jadi semakin keras menggigil ketakutan.

   Me-mang sudah berulang kali kepala desa itu memer-goki Nyai Suti yang datang mengunjungi Nini Angki.

   Terlebih lagi memberi makanan pada gadis pasun-gan itu.

   Padahal, hal itu adalah larangan.

   Tapi entah kenapa, Nyai Suti tidak pernah mengindahkan larangan itu.

   Dan setiap hari, perempuan tua ini selalu datang memberi makanan pada gadis pasungan itu.

   "Dengar, Nyai Ini peringatanku yang terakhir. Kalau kau masih saja suka memberi makanan pa-danya, aku tidak segan-segan memberi hukuman yang berat padamu,"

   Ancam Ki Rampak.

   Nyai Suti hanya bisa diam membisu saja, tidak berani lagi membuka suara.

   Sementara, Ki Rampak sudah melangkah pergi diikuti empat orang penga-walnya.

   Nyai Suti masih tetap diam memandangi kepergian kepala desa itu.

   Dan dia baru melangkah pergi setelah Ki Rampak tidak terlihat lagi.

   Ayunan kakinya begitu perlahan dan tertatih.

   Kepalanya ju-ga terus tertunduk, mengikuti ayunan langkah ka-kinya yang perlahan.

   Langkah perempuan tua itu baru terhenti se-telah tiba di depan rumahnya yang kecil dan ku-muh.

   Perlahan kepalanya terangkat naik.

   Dan pan-dangannya langsung tertumbuk pada seorang laki-laki tua renta yang tengah menggosok-gosok mata cangkul.

   Di adalah Ki Sampar, suami Nyai Suti.

   La-ki-laki tua renta yang sudah berusia delapan puluh tahun itu menghentikan pekerjaannya.

   Langsung dipandangnya Nyai Suti yang berdiri saja mematung memandanginya.

   "Tadi kulihat Ki Rampak lewat sini. Kau ber-temu dengannya, Nyai?"

   Ujar Ki Sampar dengan suara bergetar, karena termakan usia.

   Nyai Suti tidak menyahut, tapi melangkah menghampiri.

   Tubuhnya segera dihenyakkan di samping suaminya.

   Wajahnya masih kelihatan mu-rung.

   Pandangannya begitu kosong, menatap lurus ke depan, bagai tidak lagi memiliki gairah hidup.

   Sedangkan Ki Sampar memandanginya dengan ke-ning semakin banyak berkerut Dia tahu, apa yang telah terjadi pada istrinya.

   "Aku sudah katakan padamu, Nyai. Tidak ada gunanya berbelas kasih pada Nini Angki. Semua orang jadi membenci dia. Bahkan anak-anak kita sendiri tidak ada lagi yang sudi datang. Sudahlah, Nyai.... Tidak perlu lagi ke sana, walau hanya mengantarkan makanan saja,"

   Kata Ki Sampar lembut.

   "Aku kasihan melihatnya, Ki. Dia sudah hidup sebatang kara, bahkan sekarang harus menjalani pasungan,"

   Ujar Nyai Suti lirih.

   "Aku tahu, Nyai. Kita boleh saja kasihan pada orang lain. Tapi, rasa kasihan itu jangan sampai membuat kita sendiri jadi sengsara. Sudah hidup kita susah, malah sekarang dibenci orang. Semua itu hanya karena kau sering datang memberi maka-nan pada Nini Angki,"

   Kata Ki Sampar, bernada me-nyesali perbuatan istrinya.

   Nyai Suti hanya diam saja.

   Memang sulit ber-buat baik pada seseorang.

   Dan terkadang, orang lain tidak mau mengerti terhadap perbuatan baik yang dilakukan.

   Orang biasanya hanya melihat dari luar saja, tidak mau melihat jauh ke dalam.

   Dan Ki Sampar sudah tidak kuat lagi menghadapi sikap semua orang di Desa Tampuk ini.

   "Sudah kau masuk sana, Nyai. Sudah siang, apa kau tidak mau lagi menyediakan makan buat ku..,?"

   Kata Ki Sampar lagi.

   Nyai Suti bangkit berdiri tanpa berkata apa-apa lagi.

   Dia melangkah masuk ke dalam rumahnya kecil dan sudah hampir rubuh ini.

   Sementara, Ki Sampar meneruskan pekerjaannya, menajamkan mata cangkul.

   Sekilas matanya masih melirik is-trinya sebelum menghilang ke dalam rumah.

   Dia hanya bisa menghembuskan napas panjang, sambil menggeleng-gelengkan kepala perlahan.

   *** Waktu terus bergulir, tetap sejalan dengan pe-redaran matahari yang mengelilingi bumi.

   Siang yang begitu terik pun berganti malam.

   Seluruh Desa Tampuk sudah terselimut kegelapan malam yang begitu pekat.

   Tak terlihat satu pun bintang di langit yang menghitam kelam.

   Dan suasana malam ini terasa begitu lain dari biasanya.

   Angin pun seakan-akan enggan berhembus, membuat udara malam ini terasa begitu panas! Tepat tengah malam, terlihat sesosok tubuh berkelebat cepat dari satu rumah ke rumah Iain.

   Gerakannya begitu cepat dan ringan, hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun juga.

   Sosok tubuh itu berhenti bergerak.

   Bahkan langsung cepat me-nyelinap ke balik sebatang pohon yang sangat besar di pinggir jalan, ketika terlihat dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap berjalan sambil berbicara dari arah depan.

   Mereka adalah dua orang pengawal Ki Rampak "Panas sekali malam ini, Kakang Tarik,"

   Ujar salah seorang.

   "Benar! Tidak seperti biasanya,"

   Sahut orang yang bernama Tarik.

   "Sebaiknya kita istirahat saja dulu di bawah pohon itu, Adi Carwa."

   Orang yang dipanggil Carwa melirik ke arah pohon di pinggir jalan yang ditunjuk Tarik.

   Kemu-dian, kepalanya terangguk.

   Tampaknya dia menye-tujui ajakan itu.

   Mereka terus melangkah mendeka-ti pohon yang cukup besar, berdaun lebat dan rim-bun sekali.

   Tapi, sedikit pun tak terlihat adanya gerakan pada daun-daun pohon itu.

   Memang, keliha-tannya tidak terasa ada angin berhembus.

   "Uh...!"

   Carwa mengeluh pendek begitu duduk di atas akar yang menyembul keluar dari dalam tanah.

   "Kenapa kau mengeluh, Carwa?"

   Tegur Tarik.

   "Aku merasa tidak enak malam ini, Kakang,"

   Sahut Carwa seraya mendesah pendek.

   "Ada yang kau pikirkan, Carwa?"

   Tanya Tarik ingin tahu.

   "Entahlah...,"

   Desah Carwa.

   Kening Tarik jadi berkerut melihat Carwa tam-pak begitu gelisah.

   Dan duduknya juga tidak te-nang, seperti berada di atas bara api yang setiap saat bisa saja membakar sampai jadi arang.

   Mereka terdiam dan tidak bicara lagi sedikit pun juga.

   Perlahan Carwa bangkit berdiri sambil menghem-buskan napas panjang.

   Tarik jadi ikut berdiri, dan terus memandanginya dengan kelopak mata agak menyipit.

   "Ayo kita pulang saja, Kakang. Perasaan ku semakin tidak enak saja,"

   Ajak Carwa.

   "Baiklah,"

   Sahut Tarik, sedikit mendesah. Tapi baru saja mereka akan melangkah meninggalkan pohon di pinggir jalan itu, mendadak.... Slap! "Heh...?!"

   "Hah...?!"

   Kedua orang pengawal kepala desa itu jadi ter-sentak kaget, ketika tiba-tiba saja berkelebat se-buah bayangan dari balik pohon.

   Begitu cepatnya berkelebat, tahu-tahu di depan mereka sudah berdi-ri seseorang yang membuat kedua bola mata jadi terbeliak lebar.

   "Kau...?!"

   Tersekat suara Carwa.

   Tapi belum juga mereka bisa berbuat sesuatu, tiba-tiba saja orang itu sudah bergerak begitu cepat.

   Tapi kedua pengawal kepala desa itu cepat menya-dari.

   Maka, mereka langsung berlompatan menye-bar menghindari serangan cepat itu.

   "Hiyaaa...!"

   Baru saja Carwa menjejakkan kakinya di ta-nah, orang aneh itu sudah kembali bergerak begitu cepat bagai kilat Pada saat itu, terlihat kilatan cahaya keperakan berkelebatan begitu cepat ke arah leher laki-laki bertubuh tegap berotot ini.

   Begitu cepatnya, hingga Carwa tidak sempat lagi menghin-dar.

   Terlebih lagi rasa terkejut dan keseimbangan tubuhnya belum bisa dikuasainya.

   Sehingga....

   Crasss! "Aaakh...!"

   Carwa menjerit melengking.

   Carwa langsung jatuh menggelepar dengan leher terbabat hampir buntung.

   Darah langsung menyembur deras sekali dari lehernya yang men-ganga lebar hampir buntung.

   Hanya sebentar saja Carwa mampu bergerak menggelepar seperti ayam disembelih, sesaat kemudian sudah mengejang ka-ku.

   Lalu, dia diam tak bergerak-gerak lagi.

   Mati.

   "Carwa...,"

   Desis Tarik tertahan. Namun pada saat yang sama, orang aneh itu sudah bergerak cepat memutar tubuhnya. Dan kembali, kilatan cahaya keperakan terlihat berkelebat begitu cepat, bersamaan dengan gerakan tangan kanannya.

   "Heh...?! Utts!"

   Cepat-cepat Tarik melompat ke belakang, menghindari serangan yang begitu cepat bagai kilat.

   Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejak tanah.

   Hanya sedikit saja suara yang ditimbulkannya.

   Tapi baru saja bisa mengua-sai keseimbangan tubuhnya, satu serangan cepat bagai kilat sudah kembali meluruk ke arahnya.

   "Hup! Hiyaaa...!"

   Cepat-cepat Tarik melenting ke udara, dan kembali berputaran beberapa kali.

   Tapi tanpa didu-ga sama sekali, orang aneh itu melesat cepat men-gejarnya.

   Dan pada saat yang sama, tangan kanan-nya kembali dikibaskan, yang kemudian disusul cahaya kilat keperakan yang berkelebat begitu cepat mengarah ke dada laki-laki bertubuh tinggi tegap itu.

   Begitu cepatnya serangan orang aneh ini, se-hingga membuat Tarik yang berada di udara tidak dapat lagi menghindar.

   Dan....

   Bret "Akh...!"

   Begkh! Satu tendangan yang begitu keras, membuat tubuh Tarik terbanting ke tanah.

   Darah terlihat muncrat keluar dari dadanya yang terbelah, seperti tersabet pedang.

   Namun, Tarik masih bisa bangkit berdiri, meskipun terhuyung.

   Darah semakin ba-nyak mengucur dari dadanya yang terbelah cukup lebar itu.

   "Yeaaah...!"

   Belum juga Tarik bisa menguasai keseimban-gan tubuhnya, orang aneh itu sudah meluruk lagi dengan kecepatan begitu luar biasa. Sementara, Ta-rik hanya bisa terbeliak lebar, dengan mulut tern-ganga. Bet! Cras! "Aaa...!"

   Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi.

   Tampak Tarik terpaku diam, kemudian lim-bung beberapa saat.

   Dan tanpa dapat dicegah lagi, dia jatuh terguling dengan kepala terpisah dari leher.

   Seketika itu juga, darah menyembur deras se-kali dari lehernya yang buntung tak berkepala lagi.

   Sementara, orang aneh itu berdiri tegak meman-dangi.

   Sebentar kemudian, tubuhnya melesat cepat bagai kilat.

   Begitu cepatnya, hingga hanya sekeja-pan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi bayangannya.

   Dan pada saat itu juga, tampak rumah-ru-mah di sekitar jalan itu menyalakan lampunya.

   Dan tak lama, terlihat penduduk Desa Tampuk bermun-culan dari dalam rumah masing-masing.

   Suara per-tarungan yang hanya sebentar itu, sudah membuat semua penduduk yang tengah tertidur lelap jadi terbangun.

   Dan mereka bermunculan hendak men-getahui keributan yang terjadi hanya beberapa saat itu.

   Tapi begitu mengetahui ada dua orang yang tergeletak di tengah jalan, tidak ada seorang pun yang menghampiri.

   Terlebih lagi setelah tahu, siapa yang tergeletak di tengah jalan dengan darah berhamburan.

   Sementara tidak jauh dari jalan itu, terlihat Nyai Suti dan suaminya juga keluar dari dalam rumahnya.

   Terlebih lagi, pertarungan itu memang ti-dak jauh di depan rumah mereka.

   Maka tentu saja mereka berdua yang lebih jelas melihat dua orang pengawal kepala desa itu tergeletak tak bernyawa dengan keadaan begitu mengerikan.

   "Malapetaka apa lagi ini...?"

   Desah Ki Sampar, bernada seperti bertanya pada diri sendiri.

   "Rupanya Sang Hyang Widi sudah memper-lihatkan kebesarannya,"

   Gumam Nyai Suti perlahan, seakan bicara untuk diri sendiri.

   Suami istri berusia lanjut itu kembali masuk ke dalam rumahnya.

   Sementara, tak ada seorang pun yang berani mendekati dua pengawal kepala desa yang sudah tidak bernyawa lagi.

   Mereka juga satu persatu kembali masuk ke dalam rumah, dan hanya memperhatikan saja dari balik jendela.

   Entah kenapa, mereka jadi begitu takut untuk mendekat.

   *** Kematian dua orang pengawal Ki Rampak, membuat Desa Tampuk jadi gempar.

   Tapi, tak ada seorang pun yang berani membicarakannya.

   Dan kalaupun membicarakan, selalu dengan sikap hati-hati sekali, seakan-akan takut ada orang lain yang mendengar.

   Tapi, di antara penduduk desa itu hanya Nyai Suti yang kelihatan gembira atas kema-tian dua orang pengawal Kepala Desa Tampuk.

   "Biar manusia-manusia durjana itu mampus semua!"

   Dengus Nyai Suti.

   "Jangan sembarangan kalau bicara, Nyai,"

   Tegur Ki Sampar.

   "Sudah lama aku berharap agar ada orang yang membunuh orang-orang durhaka itu,"

   Cetus Nyai Suti lagi.

   "Sudah, Nyai. Bisa celaka kalau ada orang yang mendengar."

   "Biar saja. Mereka semua pengecut! Sudah ta-hu hidup tertindas, tapi tidak juga bertindak apa-apa. Huh! Kalau saja aku masih muda, sudah ku obrak-abrik manusia-manusia iblis itu,"

   Dengus Nyai Suti, meluapkan semua ganjalan yang selama ini tertekan dalam hatinya.

   Sedangkan Ki Sampar hanya menggeleng-ge-leng saja.

   Bisa dimaklumi tumpahan isi hati is-trinya.

   Dan memang di dalam hatinya sendiri dia juga senang kalau ada orang yang bisa mengikis habis kezaliman yang ada di Desa Tampuk.

   Kepala desa ini memang hidup seperti raja kecil saja.

   Sega-la perkataannya merupakan sebuah peraturan yang tidak bisa dibantah sedikit pun juga.

   Bukan hanya pasangan suami istri berusia lanjut ini saja yang pernah merasakan kezaliman Ki Rampak.

   Bahkan, semua penduduk Desa Tampuk ini sudah merasakannya.

   Tapi memang, tak ada seorang pun yang berani menentangnya.

   Apalagi, Ki Rampak selalu dikelilingi empat orang pengawalnya yang tidak segan-segan menurunkan tangan kejam.

   Buktinya sekarang, sudah dua orang yang tewas dalam semalam.

   Tapi, Itu bukan berarti kekuatan Ki Rampak sudah berkurang banyak.

   Memang masih ada pengawal-pengawal lain yang tidak kalah di-nginnya daripada empat orang pengawal utamanya itu.

   Apalagi, telah bertahun-tahun Ki Rampak di-tumpangi hidup oleh adiknya yang sudah malang melintang dalam rimba persilatan.

   Dan semua orang di Desa Tampuk sudah mengenalnya.

   Bukan hanya kepandaiannya saja yang tinggi, tapi juga ke-kejamannya tidak kalah dibanding Ki Rampak.

   Adik kepala desa itu biasa dipanggil dengan nama Ki Ga-gak Bulang.

   "Aku akan ke ladang dulu, Nyai,"

   Kata Ki Sampar memutuskan lamunannya.

   Laki-laki tua itu bergegas melangkah keluar dari rumahnya.

   Dia tidak ingin istrinya terus men-goceh, menumpahkan ganjalan dalam dadanya yang sudah lama ditahannya.

   Perasaan itu paling tidak sudah ditahan selama Ki Rampak menguasai desa ini dan mengangkat dirinya sendiri menjadi kepala desa.

   Tanpa menunggu jawaban istrinya lagi, Ki Sampar terus saja melangkah meninggalkan ru-mahnya.

   Sementara, Nyai Suti juga bergegas mem-bungkus makanan.

   Dan tak lama kemudian laki-laki tua itu sudah keluar dari rumahnya.

   Langkah-nya tampak tertatih, dengan tubuh terbungkuk.

   Walaupun sudah begitu renta, tapi jalannya tanpa bantuan tongkat sebatang pun juga.

   Nyai Suti terus berjalan tertatih-tatih menuju gubuk kecil yang tidak jauh dari rumahnya.

   Letak-nya di pinggir jalan membelah Desa Tampuk ini.

   Beberapa orang yang melihatnya kelihatan tidak ambil peduli.

   Dan bahkan mereka seperti tidak sudi melihat perempuan tua renta yang sudah memasuki gubuk kecil itu.

   "Kau sudah dengar apa yang terjadi semalam, Angki...?"

   Tanya Nyai Suti begitu duduk di depan gadis muda yang terpasung kedua kakinya.

   Sedangkan Nini Angki hanya diam saja sambil memandangi.

   Diambilnya bungkusan daun waru yang dibawa Nyai Suti, lalu dibukanya perlahan-lahan.

   Tanpa disuruh lagi, dilahapnya makanan yang dibungkus daun waru itu.

   Nyai Suti terse-nyum, dan menuangkan air dari kendi tanah liat ke dalam gelas bambu yang kasar buatannya.

   Lalu di-letakkannya gelas bambu itu ke atas balok yang membelenggu kedua kaki Nini Angki.

   "Dua orang pengawal Ki Rampak dibunuh orang semalam,"

   Kata Nyai Suti melanjutkan.

   Nini Angki menghentikan makannya.

   Di tatap-nya perempuan tua itu dalam-dalam.

   Tapi, sorot matanya terlihat begitu kosong.

   Tak berapa lama, kembali, dinikmati makan tanpa berbicara sedikit pun juga.

   Sedangkan Nyai Suti tidak bicara lagi, dan terus memperhatikan perempuan terpasung yang tengah menikmati makanan.

   "Kalau mereka sudah habis, kau pasti akan bebas, Nini,"

   Kata Nyai Suti lagi.

   "Tidak ada seorang pun yang akan mem-bebaskan aku, Nyai. Kecuali diriku sendiri,"

   Ujar Nini Angki datar.

   "Ah! Jangan dihiraukan orang lain. Aku yakin, tidak lama lagi kau pasti akan bebas,"

   Hibur Nyai Suti membesarkan hati gadis ini.

   Tapi, Nini Angki hanya tersenyum kecil.

   Di-lemparkannya daun waru bekas bungkusan maka-nannya begitu saja.

   Kemudian diambilnya gelas bambu dan isinya diteguk sampai tandas tak bersi-sa lagi.

   Nyai Suti menambahkan lagi air bening ke dalam gelas yang sudah kosong itu.

   Sementara bi-birnya yang keriput tetap menyunggingkan senyum.

   Entah kenapa, sejak tadi perempuan tua itu selalu tersenyum.

   Mungkin hatinya gembira melihat dua orang pengawal Ki Rampak mati terbunuh se-malam.

   Bahkan peringatan Ki Rampak tidak dipe-dulikannya lagi.

   Dia benar-benar sudah nekat.

   "Nyai! Sebaiknya kau tidak perlu lagi datang ke sini. Aku tidak ingin kau mendapat kesulitan. Lagi pula, semua orang di desa ini jadi membenci mu,"

   Kata Nini Angki pelan.

   "Biarkan mereka membenci ku, Nini. Mereka pasti akan mendapat ganjarannya, karena telah memasung mu,"

   Sahut Nyai Suti tegas.

   "Aku tetap akan mengunjungimu."

   "Nyai.... Apa kau tidak ingat, kenapa aku sampai dipasung begini...?"

   "Aku tahu. Tapi aku yakin, kau tidak bersalah. Dan bukan kau yang melakukannya, Nini. Dan kau Juga tidak gila. Hanya mereka saja yang mengang-gapmu gila, Nini""

   Sahut Nyai Suti tetap tegas nada suaranya.

   Nini Angki tersenyum tipis.

   Begitu hambar se-nyumannya.

   Kepalanya yang ditumbuhi rambut panjang teriap tak teratur, bergerak menggeleng beberapa kali.

   Nyai Suti melihat adanya kesenduan dalam bola mata yang lesu tanpa gairah hidup lagi itu.

   Beberapa saat mereka terdiam tak berbicara sedikit pun juga.

   Dan beberapa kali pula sorot mata mereka bertemu.

   Sementara, matahari terus beranjak naik semakin tinggi.

   Sinarnya yang terik, menerobos masuk melalui lubang yang begitu banyak terdapat di dinding dan atap gubuk ini.

   Nyai Suti beranjak bangkit berdiri Didekatkannya kendi tanah liat ke samping sebelah kiri Nini Angki "Aku pulang dulu, Nini,"

   Pamit Nyai Suti.

   "Terima kasih, Nyai,"

   Ucap Nini Angki perlahan.

   "Tidak lama lagi, kau pasti bebas Nini, per-cayalah padaku,"

   Kata Nyai Suti mantap.

   Nini Angki hanya tersenyum saja.

   Masih terli-hat hambar sekali senyumannya.

   Sementara, Nyai Suti sudah melangkah keluar dari dalam gubuk pa-sungan ini.

   Tapi baru saja mencapai pintu, Nini Angki su-dah memanggilnya.

   Nyai Suti segera memutar tu-buhnya berbalik.

   "Ada apa, Nini?"

   Tanya Nyai Suti lembut, seperti seorang ibu pada anak gadisnya yang manja.

   "Nyai, boleh aku minta sesuatu pada mu...?"

   "Katakan saja. Apa yang kau minta, mudah-mudahan bisa ku turuti."

   "Tolong Bawakan selembar kain hitam, Nyai?"

   Pinta Nini Angki.

   "Kain hitam...? Untuk apa, Nini?"

   "Udara di sini terlalu dingin. Barangkali saja bisa sedikit menghangatkan tubuhku, Nyai."

   "Bagaimana kalau ku buatkan baju saja, Nini? Biar kau bisa memakainya,"

   Usul Nyai Suti.

   "Itu juga boleh. Tapi aku minta yang berwarna hitam. Kalau kau tidak keberatan, Nyai."

   "Nanti sore akan ku bawakan. Kebetulan siang ini ada pasaran, jadi aku bisa membelikan baju buatmu,"

   Kata Nyai Suti "Terima kasih, Nyai."

   Nyai Suti tersenyum, kemudian mengangguk-kan kepalanya.

   Kini dia terus berjalan tertatih-tatih, tidak mempedulikan pandangan orang padanya.

   Sedangkan dari dalam, Nini Angki terus meman-dangi punggung perempuan renta itu sampai tak terlihat lagi.

   *** Kematian dua orang pengawalnya, membuat Ki Rampak jadi berang setengah mati.

   Di perintah-kannya semua orang-orangnya yang berjumlah pu-luhan untuk mencari pembunuh dua orang pen-gawal kebanggaannya.

   Dan ini membuat kesengsa-raan penduduk Desa Tampuk semakin bertambah.

   Orang-orang Ki Rampak sudah langsung bertindak kasar dalam mencari pembunuh dua orang pen-gawal kepala desa itu.

   Mereka tidak segan-segan menjatuhkan tangan, hanya untuk mencari kete-rangan saja.

   Tapi, memang tidak ada seorang pen-duduk pun yang tahu siapa orangnya.

   Hingga sampai malam, tidak ada suatu ke-terangan pun yang diperoleh.

   Dan ini membuat Ki Rampak semakin bertambah berang.

   Sementara, adiknya yang baru datang kemarin dari pengemba-raannya, sudah berulangkali mencoba menyabar-kan.

   Malam ini juga, Ki Rampak memerintahkan semua orang-orangnya untuk meronda, kalau-kalau pembunuh aneh itu muncul lagi.

   "Kau tidak bisa mencari dengan cara seperti ini, Kakang,"

   Sergah Ki Gagak Bulang, mengin-gatkan.

   "Huh! Aku ingin kepala si keparat itu!"

   Dengus Ki Rampak. Ki Rampak bangkit berdiri dari kursi rotan di beranda depan rumahnya yang besar ini. Tapi baru saja bisa menegakkan tubuhnya, mendadak saja terlihat secercah cahaya keperakan meluruk deras ke arahnya.

   "Utfs!"

   Cepat-cepat Ki Rampak memiringkan tubuh-nya, menghindari terjangan benda bercahaya kepe-rakan itu. Maka, benda itu lewat sedikit saja di samping dadanya yang miring dan langsung meng-hantam dinding kayu rumahnya.

   "Hup!"

   Cepat-cepat Ki Rampak melompat keluar dari depan rumahnya.

   Begitu cepat dan ringan gerakan-nya, tahu-tahu dia sudah berada di tengah-tengah halaman depan rumahnya yang luas.

   Tapi, tak ada seorang pun berjaga malam.

   Sementara, Ki Gagak Bulang melompat cepat dari kursinya, menghampiri benda berwarna keperakan yang menancap cukup dalam di dinding papan rumahnya.

   "Hih!"

   Ki Gagak Bulang terpaksa harus mengerah-kan tenaga dalam untuk bisa mencabut sebuah benda berbentuk bintang dari bahan perak.

   Seben-tar diperhatikan, kemudian bergegas dihampirinya Ki Rampak yang berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan berkeliling, di tengah-tengah halaman rumahnya.

   Ki Gagak Bulang langsung menunjuk-kan bintang perak yang dicabutnya dari dinding.

   Tapi, Ki Rampak hanya melirik saja sedikit pada benda yang berada di telapak tangan adiknya.

   "Kau kenal benda ini, Kakang?"

   Tanya Ki Gagak Bulang.

   "Tidak,"

   Sahut Ki Rampak.

   "Benda ini jelas ditujukan padamu, Kakang,"

   Terdengar agak menggumam suara Ki Gagak Bu-lang, seakan-akan bicara untuk diri sendiri.

   "Hhh! Rupanya dia sudah ingin main-main denganku!"

   Dengus Ki Rampak kesal.

   "Kau harus hati-hati, Kakang. Aku yakin, dia mengirimkannya sebagai peringatan untukmu,"

   Dug Ki Gagak Bulang.

   "Huh. Dia harus mampus di tanganku!"

   Dengus Ki Rampak.

   Sambil menghentakkan kakinya, Ki Rampak kembali masuk ke dalam beranda depan rumah-nya.

   Sementara, Ki Gagak Bulang memperhatikan sebentar, kemudian melangkah mengikuti.

   Begitu sampai, tubuhnya dihempaskan di kursi yang tadi didudukinya.

   Sedangkan Ki Rampak sudah sejak tadi duduk di kursinya kembali.

   Raut wajah kepala desa itu kelihatan menegang dan merah bagai kepi-ting rebus dalam kuali.

   Ki Rampak merebut bintang perak dari ta-ngan adiknya.

   Kemudian diperhatikannya benda itu dengan seksama.

   Setelah puas membolak-balik bin-tang perak itu, lalu diletakkan ke atas meja di depannya.

   Hanya sebuah benda biasa yang berbentuk bintang.

   Sedikit pun tak terasa adanya racun atau sesuatu yang bisa berbahaya.

   Ki Rampak meng-hembuskan napas yang panjang dan terasa berat Namun baru saja dia bisa merasa sedikit tenang, ti-ba-tiba saja....

   "Aaa...!"

   "Heh...?! Apa lagi itu...?"

   Sentak Ki Rampak terkejut.

   "Hup?"

   Sedangkan Ki Gagak Bulang sudah melompat cepat meninggalkan beranda.

   Ki Rampak bergegas mengikuti ke arah sumber jeritan melengking yang terdengar begitu mengejutkan tadi.

   Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, sehingga bisa melesat begitu cepat.

   Hingga dalam sekejapan mata saja, mereka sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuhnya, lenyap tertelan kegelapan malam yang begitu pekat.

   Sedikit pun tidak diterangi bintang maupun bulan.

   "Hup!"

   "Hiyaaa...!"

   Kakak beradik itu terus berlompatan beberapa kali.

   Hingga akhirnya, mereka berhenti setelah tiba di dekat pagar tembok yang mengelilingi rumah ini di bagian belakang.

   Kedua bola mata mereka jadi terbeliak lebar, begitu melihat empat orang yang menjaga bagian belakang rumah ini sudah ter-geletak tak bernyawa dengan leher terbabat hampir buntung.

   Darah masih terlihat mengalir keluar dari luka menganga di leher.

   "Keparat..!"

   Desis Ki Rampak geram.

   *** Hari terus berjalan terasa lambat Satu pekan sudah Desa Tampuk dihantui orang penuh teka-teki yang membantai orang-orang Ki Rampak.

   Satu per-satu para pengawal kepala desa itu dibunuh secara gelap.

   Dan tentu saja hal ini membuat mereka jadi dicekam rasa takut, karena pembunuh itu selalu muncul secara diam-diam.

   Dan setiap hari dalam kemunculannya, selalu saja ada yang tewas.

   Kejadian ini tentu saja membuat penduduk Desa Tampuk merasa senang, tapi juga khawatir oleh keadaan yang semakin memanas.

   Mereka se-nang, karena rasa sakit hati bisa terbalas, walau-pun dengan tangan orang lain.

   Tapi mereka juga khawatir kalau-kalau Ki Rampak jadi membabi bu-ta, karena telah kehilangan banyak anak buahnya.

   Dan kegembiraan ini hanya tersimpan di dalam ha-ti.

   Tak ada seorang pun yang berani mengung-kapkannya, kecuali Nyai Suti.

   Perempuan tua itu seperti tidak peduli.

   Bah-kan terang-terangan menyatakan kegembiraannya atas munculnya pembunuh gelap itu.

   Dan tentu sa-ja hal ini membuat Ki Rampak merasa curiga.

   Maka diutuslah orang-orangnya untuk menangkap Nyai Suti.

   "Lepaskan! Kenapa kalian menangkapku, heh...?"

   Bentak Nyai Suti terus memberontak, tidak senang diperlakukan kasar begini.

   Tapi, orang-orang suruhan Ki Rampak tidak ambil peduli.

   Mereka terus saja menyeret perem-puan tua itu dengan tambang yang diikatkan di ke-dua tangannya.

   Nyai Suti terus berteriak-teriak sambil berusaha memberontak, mencoba mele-paskan diri dari belenggu tambang yang mengikat kedua tangannya.

   Tapi, ikatan tambang itu demi-kian kuat Maka, tentu saja tenaga tuanya sama se-kali tidak mampu melepaskannya.

   Sedangkan Ki Sampar tidak bisa berbuat apa-apa.

   Laki-laki tua itu hanya bisa mengelus dadanya yang kerempeng, sambil meratapi kemalangan istrinya.

   Dengan mata berkaca-kaca, dia memandangi istrinya yang terus diseret tanpa ampun oleh orang-orang suruhan Ki Rampak.

   Sementara penduduk desa yang menyaksikan juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk menolong.

   Mereka hanya bisa me-mandangi dengan hati trenyuh.

   Tampak Nyai Suti jatuh bangun, terseret di tengah jalan yang berdebu membelah Desa Tampuk ini.

   Tapi belum juga jauh Nyai Suti diseret dari rumahnya, tiba-tiba saja....

   Wus! Bet! Tas...! "Heh...?!"

   "Hah...?!"

   Semua orang yang melihat, seketika jadi ter-pana bengong.

   Begitu cepat sekali, tahu-tahu se-buah bayangan hitam berkelebat dan langsung memutuskan tambang yang mengikat kedua tangan Nyai Suti.

   Dan sebelum ada yang bisa menyadari lebih jauh lagi, mendadak bayangan hitam itu kem-bali berkelebat begitu cepat, disertai kilatan cahaya keperakan yang melesat cepat bagai kilat.

   Dan....

   "Aaa...l"

   "Akh...!"

   Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, se-ketika terdengar begitu menyayat saling sambut.

   Tampak enam orang yang menyeret Nyai Suti, seke-tika bertumbangan ambruk dengan leher terbabat hampir buntung.

   Darah langsung berhamburan membasahi Jalan tanah yang berdebu.

   Sementara, Nyai Suti sudah tergeletak tak sadarkan diri.

   Dan belum Juga ada yang sempat menyadari, sosok tubuh hitam itu bergerak cepat menyambar Nyai Suti, lalu bagaikan kilat melesat pergi.

   Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi.

   Tinggallah kini enam orang suruhan Ki Rampak yang bergelimpangan berlumuran darah dari lehernya.

   Mati.

   Begitu cepatnya kejadian itu, hingga tak ada seorang pun yang sempat memperhatikan, siapa orang berpakaian serba hitam yang gerakannya be-gitu cepat bagai kilat.

   Bahkan enam orang suruhan Ki Rampak yang rata-rata berkepandaian lumayan tidak mampu berbuat apa pun Juga.

   Dan mereka langsung tewas dengan leher terbabat hampir bun-tung.

   Saat itu juga, semua orang yang tadi berada di sepanjang pinggir Jalan langsung berhamburan bubar.

   Dan sebentar saja, Jalan Desa Tampuk itu Jadi sunyi lengang, tak terlihat seorang pun di sana lagi.

   "Nyai...,"

   Desis Ki Sampar tanpa sadar. Laki-laki tua itu masih tetap berdiri terpaku, memandang kosong ke depan seperti tengah ber-mimpi. Istrinya yang tadi diseret kasar, kini sudah lenyap disambar sosok tubuh serba hitam yang muncul begitu tiba-tiba.

   "Oh...! Aku harus cepat pergi dari desa ini,"

   Desah Ki Sampar begitu tersadar.

   Bergegas laki-laki tua itu memutar tubuhnya berbalik, dan setengah berlari masuk ke dalam ru-mah.

   Sementara, keadaan di desa itu jadi sepi le-ngang, tak terlihat seorang pun di luar.

   Enam orang suruhan Ki Rampak masih terlihat bergelimpangan di tengah Jalan.

   Darah masih terlihat mengucur da-ri leher-leher yang terbabat hampir buntung.

   Saat itu, Ki Sampar terlihat keluar dari dalam rumahnya.

   Dengan langkah tergesa-gesa, ditinggalkannya ru-mah gubuk reyotnya.

   Sedikit pun kepalanya tidak berpaling ke belakang, dan terus berjalan secepat kemampuan untuk meninggalkan Desa Tampuk ini.

   *** "Keparat! Cari orang tua itu! Bawa kepalanya padaku....'"

   Geram Ki Rampak Wajah Ki Rampak memerah, dan bola matanya terlihat berapi-api.

   Dia begitu marah mendengar enam orang suruhannya tewas, dan Nyai Suti menghilang tanpa jejak.

   Sedangkan Ki Sampar juga hilang melarikan diri.

   Kemarahannya begitu me-muncak, hingga semua orangnya diperintahkan un-tuk mencari suami istri lanjut usia itu.

   Bahkan di-peritahkannya pula untuk membunuh mereka di tempat.

   "Kumpulkan semua orang ke sini!"

   Perintah Ki Rampak lantang menggelegar.

   "Untuk apa Kakang?"

   Selak Ki Gagak Bulang bertanya.

   "Huh! Mereka semua harus bertanggung ja-wab. Mereka pasti sekongkol ingin menjatuhkan ke-dudukanku!"

   Dengus Ki Rampak masih diliputi ke-geraman yang memuncak.

   "Kau tidak bisa menimpakan kemarahan mu pada penduduk desa ini, Kakang. Dan lagi, belum tentu mereka terlibat langsung. Sebaiknya, pu-satkan saja perhatianmu pada dua orang itu. Teru-tama, si pembunuh aneh itu,"

   Kata ki Gagak Bulang, mencoba meredakan amarah Ki Rampak yang meluap-luap, dan sudah mencapai titik kepalanya.

   "Huh!"

   Ki Rampak hanya mendengus saja sambil me-nyemburkan ludahnya.

   Sementara, semua orang yang diperintah langsung mengerjakan perintahnya.

   Mereka menggeledah semua rumah yang ada di De-sa Tampuk ini, dan mengumpulkan semua pendu-duk secara paksa di depan halaman rumah kepala desa itu.

   Sementara, Ki Rampak dengan angkernya berdiri tegak di tangga atas beranda rumahnya.

   Ma-tanya yang memerah terlihat begitu tajam mengeri-kan, merayapi orang yang semakin banyak berkum-pul di halaman yang luas ini.

   Tak ada seorang pun penduduk Desa Tampuk pun yang berani mengangkat kepalanya.

   Terlebih lagi, menentang sorot mata Ki Rampak yang begitu tajam berwarna merah bagai sepasang biji saga.

   Meskipun banyak orang, tapi suasananya begitu sunyi mencekam.

   Seorang pun tak ada yang mem-buka suara.

   Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat bagai kilat.

   Tahu-tahu, di atas atap rumah kepala desa itu sudah berdiri seseorang bertubuh ramping, dengan seluruh tubuh terselubung pakaian berwarna hitam pekat.

   Seluruh kepalanya juga tertutup kain hitam, kecuali bagian matanya yang terlihat.

   Seketika, suasana yang sunyi senyap jadi gaduh oleh gumaman-gumaman orang-orang yang memadati halaman depan rumah kepala desa itu.

   "Pengecut! Bukan begitu seharusnya cara seorang ksatria!"

   Terasa begitu dingin nada suara orang berbaju serba hitam itu.

   Tapi dari nada suaranya, jelas bisa di ketahui kalau dia seorang wanita.

   Hanya saja, sulit diketahui orangnya, karena seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain berwarna hitam pekat.

   Hanya ma-tanya saja yang terlihat dari dua lubang pada kain hitam selubung kepala itu.

   "Setan keparat..!"

   Desis Ki Rampak geram.

   "Tangkap dia...!"

   "Hiyaaa...!"

   "Yeaaah...!"

   Belum lagi lenyap teriakan perintah Ki Ram-pak, dua orang pemuda langsung melompat naik ke atas atap sambil mencabut goloknya.

   Ringan sekali gerakan mereka, pertanda memiliki kepandaian cu-kup tinggi.

   Tapi belum juga kedua pemuda tadi sampai di atas atap, wanita berbaju hitam itu sudah mengebutkan tangan kanannya dua kali dengan kecepatan yang begitu tinggi.

   "Hiya! Hiyaaa...!"

   Seketika itu juga, terlihat dua benda berca-haya keperakan melesat cepat bagai kilat ke arah dua orang pemuda tadi.

   Begitu cepatnya melesat, sehingga kedua pemuda yang tengah meluncur ke atas atap tidak sempat menghindar.

   Dan....

   Crab! Bres! "Akh...!"

   "Aaa...!"

   Tak pelak lagi, mereka jatuh begitu dadanya tertembus benda-benda berbentuk bintang berwar-na keperakan.

   Keras sekali mereka jatuh menghan-tam tanah, dan langsung tewas seketika itu juga.

   Pada saat itu, semua penduduk yang berkumpul di halaman depan rumah ki Rampak langsung ber-hamburan menyelamatkan diri masing-masing.

   Kegaduhan langsung terjadi saat itu juga.

   Tak ada seorang pun dari penduduk yang mau ikut campur dalam urusan ini.

   Dan mereka lebih baik cepat pergi menyelamatkan diri, daripada harus menjadi korban.

   Maka sebentar saja, sudah tidak terlihat seo-rang penduduk pun di halaman depan rumah kepa-la desa itu.

   Tinggal Ki Rampak dan adiknya, serta pulu-han orang pengikutnya yang masih berada di hala-man luas bagai sebuah padang rumput di tengah desa ini.

   "Hup!"

   Slap...! Tiba-tiba saja wanita berbaju serba hitam itu melesat cepat bagai kilat. Hingga dalam sekejap ma-ta saja, sudah lenyap tak terlihat lagi. Tapi, Ki Rampak masih sempat melihat arah kepergian wanita aneh itu.

   "Kejar dia ke Selatan...!"

   Seru Ki Rampak lantang menggelegar.

   Tanpa menunggu perintah dua kali, semua pengikut Ki Rampak yang berjumlah puluhan itu langsung berlarian menuju ke arah Selatan.

   Semen-tara, Ki Rampak sendiri bergegas melangkah meng-hampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon.

   Ki Gagak Bulang segera mengikuti kepala desa yang juga kakaknya itu.

   Sebentar kemudian, mereka su-dah memacu kudanya dengan cepat menuju arah Selatan.

   "Hiya...!"

   "Yeaaah...!" *** Ki Rampak dan para pengikutnya menghenti-kan pengejarannya, setelah tiba di tepi sebuah hu-tan yang berbatasan langsung dengan Desa Tampuk sebelah Selatan. Ki Rampak langsung memerintah-kan orang-orang agar menyebar, memeriksa setiap jengkal hutan ini. Sedangkan dia sendiri menunggu di tepi hutan bersama dua orang pengawal kebang-gaannya. Sementara, Ki Gagak Bulang ikut mencari wanita aneh berbaju serba hitam itu bersama yang lainnya. Bersama enam orang, Ki Gagak Bulang terus menerobos lebih jauh masuk ke dalam hutan. Ke-adaan hutan yang tidak begitu lebat, membuat ge-rakan mereka lebih leluasa.

   "Berhenti dulu,"

   Perintah Ki Gagak Bulang.

   Enam orang pemuda yang mengikuti segera menghentikan langkahnya.

   Sementara Ki Gagak Bulang memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan.

   Pendengarannya yang setajam mata pisau, saat itu mendengar tarikan napas yang halus dan membu-ru, tidak jauh di sebelah kanan.

   "Hup...!"

   Cepat sekali Ki Gagak Bulang melompat ma-suk ke dalam sebuah semak belukar.

   Dan tak lama kemudian, dia sudah kembali melesat sambil me-manggul seseorang di pundaknya.

   Begitu kakinya menjejak tanah, orang itu segera dijatuhkan dengan keras, hingga terguling beberapa kali.

   Terdengar pe-kikan tertahan, disertai keluhan merintih panjang.

   "Ki Sampar...,"

   Desis Ki Gagak Bulang, begitu mengetahui orang yang ditemukannya di balik semak belukar.

   Sementara, laki-laki tua renta yang ternyata memang Ki Sampar tampak gemetar ketakutan.

   Wa-jahnya terlihat pucat pasi, dan tubuhnya menggigil seperti terserang demam.

   Saat itu, enam orang pemuda yang mengikuti Ki Gagak Bulang sudah men-gepung laki-laki tua yang meninggalkan Desa Tam-puk, setelah Istrinya dilarikan seseorang ketika sedang diseret paksa oleh para pengikut Ki Rampak.

   "Phuih! Cari bawal yang didapat malah teri!"

   Sungut Ki Gagak Bulang kesal, mengetahui yang di-dapatkan malah Ki Sampar.

   "Oh..., ampun..., ampun, Ki. Aku tidak ber-buat apa-apa. Aku sedang mencari kayu bakar,"

   Rintih Ki Sampar memelas.

   "Diam! Aku tidak tanya!"

   Bentak Ki Gagak Bulang kesal.

   Ki Sampar langsung terdiam.

   Kepalanya ter-tunduk, tidak berani menatap sorot mata yang mendelik tajam.

   Sementara, Ki Gagak Bulang sudah melangkah lebih mendekat lagi.

   Terdengar gemele-tuk gerahamnya karena menahan geram.

   Dia me-mang sudah tidak bisa lagi menahan kesabarannya, atas semua yang telah terjadi terhadap kakaknya yang telah dibuat malu di depan orang banyak.

   "Bangun,"

   Terasa dingin sekali suara Ki Gagak Bulang.

   "Oh, Ki...."

   "Bangun kataku, cepat..!"

   Bentak Ki Gagak Bulang kasar. Dengan tubuh menggeletar ketakutan, Ki Sampar beranjak bangun perlahan-lahan. Tapi be-lum juga bisa berdiri dengan sempurna, mendadak saja....

   "Hih!"

   Bek! "Aduh...!"

   Ki Sampar mengeluh, begitu tiba-tiba satu pu-kulan keras mendarat telak di dadanya.

   Seketika itu juga, tubuh yang kurus kering itu terpental jatuh ke tanah.

   Nafasnya yang sejak tadi sudah tersendat, semakin tersengal setelah menerima pukulan keras tadi.

   Meskipun, tidak disertai pengerahan tenaga dalam.

   "Bangun...!"

   Desis Ki Gagak Bulang dingin.

   "Ugkh...!"

   Ki Sampar melenguh, merasakan sakit yang amat sangat pada dadanya.

   Tapi, dia tetap berusaha bangkit berdiri Kembali Ki Gagak Bulang memberi satu pukulan keras ke perut laki-laki tua renta itu, sehingga tubuhnya jadi terbungkuk.

   Pada saat itu, satu pukulan lagi mendarat di wajahnya.

   Akibatnya, Ki Sampar terdongak seketika.

   Tampak darah muncrat keluar dari mulutnya.

   Dan begitu satu pukulan lagi mendarat di dada, dia tidak dapat bertahan berdiri lagi.

   Tubuhnya langsung terpental ke bela-kang, dan jatuh bergelimpang keras sekali di atas tanah yang penuh ranting dan dedaunan kering.

   "Katakan, Orang Tua.... Di mana perempuan setan itu tinggal?"

   Desis Ki Gagak Bulang bertanya, dengan suara dingin menggetarkan.

   Tentu saja dengan mulut dipenuhi darah, su-kar bagi ki Sampar menjawab pertanyaan itu.

   Terle-bih lagi, nafasnya semakin tersengal.

   Bahkan da-danya juga terasa begitu nyeri.

   Ki Sampar hanya bi-sa menggeletak diam merasakan sakit yang amat sangat di sekujur tubuhnya.

   Seakan-akan seluruh tulang-tulang tuanya terasakan sudah berpatahan.

   "Jawab pertanyaanku. Setan!"

   Bentak Ki Gagak Bulang.

   Namun Ki Sampar tetap diam.

   Bibirnya ber-gerak-gerak menggeletar, seakan ingin mengatakan sesuatu.

   Tapi, yang terdengar hanya gumaman-gumaman tidak jelas.

   Darah yang memenuhi rongga mulutnya, membuatnya sulit bicara.

   Sedangkan Ki Gagak Bulang tampaknya sudah tidak sabaran lagi.

   Perlahan, dihampiri orang tua renta itu.

   "Jangan menunggu kesabaranku habis. Kepa-rat!"

   Desis Ki Gagak Bulang mengancam. Namun, tetap gumaman-gumaman kecil yang keluar dari mulut Ki Sampar.

   "Keparat..,! Rupanya kau ingin mampus, heh? Hih...!"

   Begkh! "Ugkh...!"

   Ki Sampar hanya bisa terlenguh sedikit, begitu kaki Ki Gagak Bulang mendarat tepat di lambung-nya.

   Kembali orang tua renta itu terguling beberapa kali dan baru berhenti setelah tubuhnya menabrak akar pohon yang menyembul keluar dari dalam ta-nah.

   Ki Gagak Bulang melangkah perlahan meng-hampiri.

   Gemeretak gerahamnya terdengar begitu je-las.

   Sementara, enam orang pemuda yang menyer-tainya hanya bisa menyaksikan saja, tanpa dapat berbuat sesuatu.

   "Katakan! Di mana perempuan keparat itu, Tua Bangka...?!"

   Desis Ki Gagak Bulang menggeram.

   Kaki Ki Gagak Bulang terus terayun, semakin mendekati Ki Sampar.

   Sementara, orang tua itu ti-dak mampu lagi menggerakkan tubuhnya.

   Seluruh tulang-tulang tuanya seakan sudah hancur terkena pukulan dan tendangan Ki Gagak Bulang yang begi-tu keras, meskipun tidak disertai pengerahan tena-ga dalam sedikit pun juga.

   Tapi, Ki Sampar memang orang biasa yang sama sekali tidak mengerti ilmu-ilmu olah kanuragan.

   Sehingga, siksaan ini mem-buat seluruh tulangnya jadi seperti remuk, dan membuat tubuhnya sulit digerakkan lagi.

   Laki-laki tua itu sudah pasrah.

   Apa yang akan terjadi pada dirinya akan direlakan saja.

   "Katakan, di mana perempuan keparat itu..?! Atau ingin kupercepat ke neraka, heh...?!"

   Bentak Ki Gagak Bulang lagi. Tapi, Ki Sampar tetap saja diam. Darah terus mengucur dari mulutnya. Sementara, Ki Gagak Bu-lang sudah begitu dekat. Dan tiba-tiba saja..,.

   "Keparat..! Hih!"

   Diegkh! "Akh...!"

   Satu tendangan lagi mendarat tepat di dada Ki Sampar. Akibatnya, orang tua itu terpental sejauh satu batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam pohon, membuatnya kembali terpekik, me-rasakan sakit yang amat sangat.

   "Mampus kau, Orang Tua Keparat! Hiyaaa...!"

   Gagak Bulang tidak dapat lagi menahan kemara-hannya.

   Bagaikan kilat dia melompat sambil menga-rahkan pukulan disertai tenaga dalam ke tubuh Ki Sampar.

   Sementara, orang tua itu sudah memejam-kan mata, pasrah menerima kematian di tangan adik kandung Kepala Desa Tampuk ini.

   Tapi begitu pukulan Ki Gagak Bulang hampir menjebol dada Ki Sampar, mendadak....

   Plak! "Ikh...!"

   Ki Gagak Bulang jadi terpekik kaget.

   Cepat-cepat tubuhnya melenting kembali ke belakang be-berapa kali.

   Dia sempat melihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat Juga dirasakan puku-lannya tadi seperti membentur suatu kekuatan yang melebihi kekuatan tenaga dalamnya.

   "Hap!"

   Namun, cepat Ki Gagak Bulang bisa mengua-sai keseimbangan dirinya.

   Dan dengan satu gerakan indah, kakinya mendarat manis sekali di tanah.

   Se-dikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah berumput yang banyak ditaburi daun-daun kering.

   "Setan...!"

   Ki Gagak Bulang begitu geram setengah mati Sorot matanya terlihat tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan yang tahu-tahu sudah berdiri di depan Ki sampar.

   Pemuda itu berbaju rompi putih, dengan sebilah pedang bergagang ke-pala burung bertengger di punggung.

   Dia berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada.

   Srek! Saat itu, terdengar suara gemerisik dari dalam sebuah semak tak jauh dari sebelah kanan pemuda tampan berbaju rompi putih itu.

   Kemudian muncul-lah seorang gadis cantik yang mengenakan baju bi-ru muda agak ketat, sehingga membentuk tubuh-nya yang indah dan ramping.

   Gadis itu melangkah tenang menghampiri Ki Sampar.

   Sedangkan pemu-da tampan berbaju rompi putih itu hanya melirik saja sedikit, memperhatikan gadis cantik berbaju biru muda yang memeriksa luka di tubuh laki-laki tua renta ini.

   "Hanya luka luar,"

   Kata gadis itu memberi ta-hu.

   "Hm...."

   Pemuda tampan berbaju rompi putih itu kem-bali mengarahkan pandangannya pada Ki Gagak Bulang.

   Sementara enam orang pemuda yang ikut ber-sama adik kandung Kepala Desa Tampuk itu kini sudah berdiri berjajar di belakangnya.

   Mereka se-mua sudah menghunus golok masing-masing.

   "Anak muda, menyingkir kau! Ini bukan uru-sanmu...."

   Bentak Ki Gagak Bulang kasar.

   "Hmm. Kalau urusanmu menyiksa orang tua lemah ini, tentu aku tidak akan tinggal diam begitu saja,"

   Sahut pemuda berbaju rompi putih itu dingin.

   "Keparat..! Mau cari mampus rupanya, heh...?!"

   Desis Ki Gagak Bulang menggeram.

   "Mati dan hidupku bukan di tanganmu, Ki-sanak,"

   Kata pemuda itu lagi, terdengar tenang nada suaranya.

   "Phuih!"

   Ki Gagak Bulang menyemburkan ludahnya, sengit. Sementara, pemuda tampan berbaju rompi putih itu kembali melirik sedikit pada gadis cantik yang tengah mengobati Ki Sampar, dengan beberapa totokan dan pijatannya.

   "Kau bawa dulu, Pandan. Nanti aku menyu-sul,"

   Kata pemuda itu perlahan.

   Gadis cantik berbaju biru muda yang di-panggil Pandan hanya mengangguk saja.

   Kemudian ringan sekali tubuh kurus itu dipondongnya.

   Begitu ringannya, bagaikan mengangkat sekantung kapas saja.

   Dan tanpa berbicara sedikit pun juga, tubuh-nya melesat pergi begitu cepat.

   Hingga dalam seke-japan mata saja, sudah lenyap dari pandangan.

   "Phuih!"

   Ki Gagak Bulang semakin geram saja melihat gadis cantik itu melarikan Ki Sampar.

   Sementara, pemuda tampan berbaju rompi putih ini sudah menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah.

   Ta-tapan matanya masih terlihat tajam, memperhati-kan Ki Gagak Bulang yang menyemburkan ludah-nya dengan kesal beberapa kali.

   "Cincang bocah keparat itu...!"

   Perintah Ki Gagak Bulang lantang.

   "Hiyaaa...!"

   "Yeaaah...!"

   Tanpa menunggu perintah dua kali, enam orang pemuda yang ada di belakang Ki Gagak Bu-lang langsung berlompatan menyerang pemuda tampan berbaju rompi putih ini.

   Tapi belum juga mereka sampai, tiba-tiba saja pemuda tampan itu sudah melesat cepat ke atas.

   Lalu....

   Slap! "Heh,..?!"

   Ki Gagak Bulang jadi tersentak kaget se-tengah mati.

   Demikian pula keenam orang pemuda yang menyertainya.

   Mereka jadi kebingungan, kare-na tiba-tiba saja pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih itu lenyap seperti asap.

   Entah ke mana arah kepergiannya, tak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya.

   "Phuih! Keparat..!"

   Geram Ki Gagak Bulang.

   Ki Gagak Bulang benar-benar geram oleh ke-jadian ini.

   Belum pernah dia dipermainkan seperti ini.

   Kemarahannya benar-benar tidak bisa lagi dita-kar.

   Sambil mengumpat memaki-maki, Ki Gagak Bulang memerintahkan enam orang pemuda yang menyertainya untuk mencari pemuda tampan yang telah mempermainkannya begitu rupa.

   "Cari sampai dapat!"

   Bentak Ki Gagak Bulang.

   Enam orang pemuda itu tidak bisa lagi meno-lak.

   Mereka langsung berpencar, mencari pemuda berbaju rompi putih yang telah mempermainkan Ki Gagak Bulang.

   Sementara, laki-laki setengah baya ini terus memaki-maki sambil melangkah pergi me-ninggalkan tempat ini.

   Hentakan kakinya begitu ke-ras, menandakan hatinya kalau sedang kesal.

   "Kupecahkan kepalanya kalau bertemu, huh!"

   Dengus Ki Gagak Bulang.

   Sementara, matahari terus bergerak meng-gelincir semakin tinggi.

   Tapi, mereka tidak juga bisa menemukan pemuda tampan berbaju rompi putih itu.

   Apalagi, untuk bisa menemukan gadis cantik yang membawa lari Ki Sampar.

   Dan ini membuat Ki Gagak Bulang jadi semakin gusar.

   Hatinya benar-benar geram, karena merasa telah dipermainkan seorang pemuda yang tidak dikenalnya sama sekali.

   "Ayo, kita kembali saja ke Desa Tampuk,"

   Ajak Ki Gagak Bulang, setelah enam orang yang menyertainya sudah berkumpul lagi.

   "Tidak diteruskan mencarinya, Ki?"

   Tanya sa-lah seorang.

   "Tidak,"

   Sahut Ki Gagak Bulang mendengus.

   Keenam pemuda itu tidak membantah lagi, la-lu segera melangkah mengikuti laki-laki setengah baya ini.

   Mereka berjalan cepat menerobos hutan yang begitu lebat ini, kembali menuju Desa Tam-puk.

   Sementara, Ki Gagak Bulang yang berjalan di depan tidak henti-hentinya menggerutu.

   Sesekali ludahnya disemburkan dengan kesal.

   Sampai di tepi hutan, mereka bertemu Ki Rampak.

   Tapi Ki Gagak Bulang tidak berbicara se-dikit pun juga.

   Dia hanya memandang sedikit saja pada Ki Rampak dan terus mengayunkan kakinya kembali ke Desa Tampuk.

   Sementara, matahari te-rus menggelincir ke arah Barat.

   Sinarnya pun su-dah tidak lagi terasa begitu terik seperti tadi.

   Dan cahayanya mulai memudar, tertutup awan yang semakin menebal.

   Angin pun kini bertiup begitu kencang, pertanda hari sebentar lagi akan berganti senja.

   "Ayo kembali...!"

   Seru Ki Rampak, setelah semua orang-orangnya kembali dari dalam hutan tan-pa hasil.

   *** Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh Desa Tampuk.

   Kesunyian begitu terasa di desa ini.

   Tak ada seorang pun yang terlihat di luar.

   Dan rumah-rumah yang ada pun tampak tertutup rapat pintu dan jendelanya.

   Hanya cahaya redup dari pelita ke-cil saja yang terlihat dari kisi-kisi pintu dan jendela setiap rumah.

   Tapi, keadaan terang-benderang terlihat di rumah Ki Rampak.

   Bahkan beberapa obor terpancang di setiap sudut halaman rumahnya.

   Keadaannya seperti tengah mengadakan pesta, na-mun hanya para penjaga saja yang terlihat.

   Sementara di dalam salah satu kamar, ter-lihat Ki Rampak belum juga bisa merebahkan tu-buhnya.

   Hatinya tampak gelisah, berjalan mondar-mandir di dalam kamar ini.

   Beberapa kali terdengar tarikan nafasnya yang panjang, disertai hembusan napas yang terasa begitu berat.

   Bruk! "Heh...?!"

   Tiba-tiba saja Ki Rampak tersentak kaget, ke-tika mendengar suara seperti orang terjatuh.

   Cepat-cepat dia melompat ke jendela.

   Tapi belum juga sampai, mendadak sebuah bayangan hitam berke-lebat begitu cepat memasuki kamar ini melalui jen-dela yang terbuka lebar.

   "Utfs...!"

   Hampir saja Ki Rampak terlanda bayangan hi-tam itu, kalau saja tidak cepat-cepat melenting ke belakang.

   Dua kali dia berputaran di udara.

   Lalu manis sekali mendarat di lantai yang keras dan li-cin.

   Saat itu, seorang bertubuh ramping sudah ber-diri membelakangi jendela.

   Seluruh tubuhnya ter-tutup baju ketat berwarna hitam.

   Sementara selu-ruh kepalanya juga terselubung kain hitam pekat.

   Hanya dua lubang kecil pada matanya saja yang terlihat.

   "Siapa kau...?.'"

   Bentak Ki Rampak.

   Tangan kanan Ki Rampak cepat menyambar pedang yang tergeletak di atas meja, tidak jauh di sebelah kanan.

   Begitu dapat, cepat-cepat dipindah-kannya ke tangan kiri.

   Sedangkan orang bertubuh ramping yang mengenakan pakaian serba hitam te-tap berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun juga.

   Dari dua lubang di bagian mata, terlihat sorot ma-tanya yang begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Kepala Desa Tampuk ini.

   Dari bentuk tubuh-nya, sudah dapat dipastikan kalau dia seorang wa-nita.

   "Hiyaaa....'"

   Tiba-tiba saja wanita berbaju serba hitam itu melompat cepat bagai kilat, menerjang Ki Rampak.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Ki Rampak terhenyak sesaat Namun dengan cepat pu-la dia melompat ke samping, sambil meliukkan tu-buhnya.

   Langsung dihindarinya satu pukulan yang melayang deras ke arahnya.

   "Hup! Yeaaah...!"

   Begitu lepas dari serangan, Ki Rampak cepat melepaskan satu tendangan keras menggeledek, dengan tubuh agak miring ke kiri. Tendangannya yang begitu cepat, mengarah langsung ke dada wa-nita ini "Hap!"

   Tapi tanpa diduga sama sekali, wanita berbaju serba hitam itu malah menghentakkan tangan ki-rinya.

   Langsung disambutnya tendangan kaki ka-nan Kepala Desa Tampuk ini.

   Hingga tak pelak lagi, tangan dan kaki itu beradu keras tak terelakan lagi.

   Plak! "Ikh...!"

   "Hup!"

   Ki Rampak terpekik kecil. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Se-dangkan wanita berbaju serba hitam itu juga cepat melenting ke belakang beberapa kali. Dan mereka kini kembali berdiri berhadapan, berjarak beberapa langkah.

   "Hiyaaa...!"

   Namun wanita berbaju serba hitam itu kem-bali melompat menyerang dengan kecepatan luar biasa.

   Beberapa pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, langsung dile-paskan secara beruntun.

   Akibatnya Ki Rampak ter-paksa berjumpalitan menghindarinya.

   Maka perta-rungan di dalam kamar yang cukup luas ini pun ti-dak dapat terelakkan lagi.

   "Hup! Hiyaaa...!"

   Begitu memiliki kesempatan, Ki Rampak ce-pat melenting ke udara.

   Lalu, cepat sekali tangannya mengibas ke arah kepala wanita yang berselu-bung kain hitam ini.

   Namun dengan gerakan kepala yang begitu manis, sambaran tangan Ki Rampak berhasil dihindarinya.

   "Yeaaah...!"

   Tapi tanpa diduga sama sekali, Ki Rampak memutar tubuhnya.

   Dan secepat itu pula, dile-paskannya satu tendangan keras menggeledek den-gan tubuh berputar cepat.

   Begitu cepatnya seran-gan yang dilakukan kepala desa ini, sehingga wani-ta berbaju serba hitam itu tidak dapat lagi meng-hindari.

   Dan....

   Bek! "Akh...!"

   Wanita itu terpekik keras agak tertahan.

   Ten-dangan yang mendarat tepat di dadanya begitu ke-ras, membuatnya terpental deras ke belakang.

   Lon-tarannya baru berhenti setelah menghantam din-ding kamar ini hingga bergetar hendak rubuh.

   Na-mun, dia cepat bisa menguasai diri, dan kembali berdiri tegak.

   Sambil memegangi dadanya yang ter-kena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi tadi, matanya menyorot tajam ke arah Ki Rampak.

   *** "Hiyaaa...!"

   Ki Rampak langsung melompat menyerang, sambil mencabut pedangnya yang tergenggam di tangan kiri. Dan secepat itu pula pedangnya dike-butkan ke arah kepala wanita aneh berbaju serba hitam itu.

   "Hih! Yeaaah...!"

   Wanita berbaju serba hitam itu cepat men-cabut sebatang tongkat kayu sepanjang tiga jengkal dari balik ikat pingggangnya. Kemudian langsung cepat dikebutkannya untuk menangkis sabetan pe-dang kepala desa itu. Trang! "Heh...?!"

   Ki Rampak jadi tersentak kaget setengah mati.

   Cepat-cepat pedangnya ditarik pulang, lalu melom-pat ke belakang beberapa langkah.

   Hampir dia tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan.

   Tongkat yang kelihatannya terbuat dari kayu biasa itu ter-nyata bagaikan sebatang tongkat besi baja yang be-gitu kuat.

   Bahkan tangannya tadi sampai bergetar saat pedangnya beradu dengan tongkat kayu yang ujungnya runcing.

   "Hap!"

   Ki Rampak cepat melintangkan pedangnya di depan dada.

   Perlahan kakinya bergeser ke samping beberapa langkah.

   Kemudian cepat sekali tangan kirinya bergerak mengebut ke depan.

   Saat itu juga, terlihat beberapa buah benda bulat berwarna merah melesat cepat dari tangan kiri kepala desa itu.

   "Hup!"

   "Hiyaaa...!"

   Bersamaan dengan melompatnya wanita aneh berbaju serba hitam itu dalam menghindari senjata-senjata rahasia itu, Ki Rampak sudah lebih cepat lagi melesat ke udara.

   Dan secepat kilat pula pe-dangnya.

   dibabatkan ke arah lambung.

   Tapi, wanita itu lebih cepat lagi menarik tubuhnya ke belakang.

   Sehingga, tubuhnya jadi agak terbungkuk.

   Dan pa-da saat itu, Ki Rampak mengibaskan tangan kirinya ke arah ujung kepala.

   Bret! "Ikh...!"

   Wanita itu jadi terpekik begitu kain hitam yang menyelubungi kepalanya terampas tangan kiri Ki Rampak.

   Cepat-cepat tubuhnya meluruk ke ba-wah sambil berputaran beberapa kali.

   Tampak di batik selubung kain hitam, tergerai rambut hitam yang panjang tak teratur.

   Tepat pada saat kaki wa-nita itu menjejak lantai, Ki Rampak juga mendarat manis sekali.

   Namun saat itu juga matanya jadi terbeliak.

   "Kau...?!"

   "Ya aku...! Hik hik hik...!"

   Bet! Begitu cepat dan tiba-tiba sekali wanita itu mengebutkan tongkat kayunya yang berujung runc-ing ke leher Ki Rampak.

   Sementara laki-laki sete-ngah baya itu masih terpana seperti bermimpi.

   Se-hingga, dia tidak sempat menyadari lebih cepat lagi terhadap serangan ini.

   Dan....

   Cras! "Aaakh...!"

   Darah langsung muncrat begitu ujung tong-kat wanita itu membabat leher Ki Rampak, hingga hampir buntung.

   Hanya sebentar Kepala Desa Tam-puk itu masih bisa berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan ambruk menggelepar di lantai kamar-nya.

   Darah berhamburan deras sekali dari lehernya yang menganga terbabat tongkat kayu berujung runcing.

   Sebentar kemudian, seluruh tubuh Ki Rampak mengejang, terdiam kaku tak bergerak-gerak lagi.

   "Hik hik hik...!"

   Slap! Sambil memperdengarkan suara tawa yang terkikik kering mengerikan, wanita berbaju serba hitam itu melesat cepat keluar dari kamar ini melalui jendela yang masih terbuka lebar.

   Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi.

   Sementara itu, Ki Rampak sudah tergeletak tak bernyawa lagi, dengan leher terbabat hampir buntung dan mengucurkan darah segar.

   *** Sementara itu, terlihat api membumbung ting-gi ke angkasa.

   Sehingga, membuat Desa Tampuk yang gelap ini jadi terang benderang.

   Dan udara yang semula, dingin pun jadi panas oleh kobaran api yang semakin terlihat membesar itu.

   Beberapa orang yang menjaga di rumah Ki Rampak, jadi ter-kejut melihat api yang tiba-tiba saja berkobar begitu besar.

   Bahkan beberapa penduduk mulai terlihat keluar.

   Mereka serentak berlarian menuju ke arah api yang berkobar itu.

   Tapi begitu sampai, tak ada seorang pun yang berani mendekat.

   Karena, api yang berkobar besar itu telah membakar habis gubuk reyot, tempat Nini Angki dipasung.

   Sementara, Ki Gagak Bulang yang juga melihat kobaran api itu bergegas berlari menu-ju ke kamar Ki Rampak "Kakang...! Kakang...!"

   Panggil Ki Gagak Bulang sambil menggedor pintu kamar kakaknya.

   Tapi, tak ada sahutan sedikit pun dari dalam.

   Kening Ki Gagak Bulang jadi berkerut.

   Dicobanya untuk membuka pintu.

   Dan dengan mudah sekali pintu itu terdorong terbuka.

   Keheranannya semakin bertambah, karena Ki Gagak Bulang tahu kalau ka-kaknya tidak pernah lupa mengunci pintu kalau sudah berada di dalam kamarnya.

   Dan begitu pintu terbuka lebar....

   "Kakang...!"

   Sentak Ki Gagak Bulang terperanjat.

   Cepat Ki Gagak Bulang melompat masuk ke dalam, begitu melihat Ki Rampak tergeletak di lantai berlumuran darah.

   Hampir dia tidak percaya melihatnya.

   Leher Ki Rampak terbabat Hampir buntung, persis seperti korban-korban pembunuhan yang lainnya.

   Beberapa saat Ki Gagak Bulang tertegun seperti tengah bermimpi, kemudian berteriak me-manggil para penjaga.

   Sebentar saja beberapa orang berdatangan masuk ke dalam kamar ini.

   Dan mereka jadi terpe-ranjat setengah mati begitu melihat Ki Kampak ter-geletak di lantai tak bernyawa lagi, dengan leher terbabat hampir buntung.

   Darah menggenang dari leher yang menganga lebar itu.

   Pada saat itu, terdengar suara mengerang lirih dari luar jendela.

   "Hap!"

   Ki Gagak Bulang cepat melompat keluar me-lalui jendela. Dan begitu kakinya menjejak tanah, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Tampak lima orang yang bertugas menjaga kamar kepala de-sa ini bergelimpangan dengan leher terkoyak hampir buntung.

   "Ohhh...!"

   "Heh...?!"

   Ki Gagak Bulang kembali tersentak, begitu mendengar rintihan dari balik semak pohon perdu.

   Bergegas dihampirinya semak yang bergerak-gerak itu.

   Dan begitu disibakkan, ternyata seorang pemu-da terbaring dl dalam semak.

   Pemuda itu merintih lirih.

   Darah masih terlihat dari lehernya yang robek cukup lebar.

   Cepat-cepat Ki Gagak Bulang me-ngeluarkannya dari semak perdu ini.

   Sementara, puluhan orang pengikut Ki Rampak sudah berda-tangan.

   Dan beberapa orang terlihat di jendela ka-mar Kepala Desa Tampuk ini.

   "Apa yang terjadi...?! Siapa yang melakukan ini?!"

   Tanya Ki Gagak Bulang, sambil mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu.

   "Ni..., Nini Angki...!"

   "Siapa...?!"

   Rasanya seperti tersambar guntur, begitu mendengar nama Nini Angki disebut dengan suara parau dan lemah sekali.

   Tapi Ki Gagak Bulang tidak bisa lagi terus bertanya, karena pemuda itu sudah terkulai tak bernyawa lagi.

   Dan hanya satu nama saja yang sempat disebutkan, tapi cukup membuat semua yang mendengarnya jadi tersentak, seperti tersengat ribuan lebah berbisa.

   "Mustahil...!"

   Desis Ki Gagak Bulang seraya bangkit berdiri. Pada saat itu, terlihat berlari-lari dua orang pemuda. Mereka langsung menghampiri Ki Gagak Bulang. Napas mereka tersengal, dan keringat men-gucur deras membasahi sekujur tubuhnya.

   "Ada apa lagi ini...?"

   Sentak Ki Gagak Bulang. Kedua bola matanya mendelik lebar menatap dua pemuda yang terengah-engah di depannya.

   "Nini Angki.... Gubuk Nini Angki terbakar. Dan dia..., dia membunuh sepuluh orang di Selatan, Ki,"

   Lapor salah seorang pemuda itu dengan suara ter-sendat dan napas tersengal.

   "Apa...?!"

   "Tinggal kami berdua saja yang berhasil lolos, Ki. Nini Angki mengamuk, membunuh sepuluh orang di Selatan,"

   Ulang pemuda satunya lagi "Keparat...!"

   Desis ki Gagak Bulang geram.

   Seluruh wajah Ki Gagak Bulang memerah.

   Se-dangkan kedua bola matanya memancar tajam be-rapi-api.

   Nafasnya jadi memburu seperti kuda yang seharian penuh dipacu cepat.

   Sementara, tak ada seorang pun yang membuka suara.

   Mereka semua memandang pada adik kandung Kepala Desa Tam-puk ini "Sebagian urus jasad Kakang Rampak.

   Se-bagian lagi ikut aku,"

   Perintah Ki Gagak Bulang.

   Bergegas Ki Gagak Bulang melangkah menuju kandang kuda yang berada di bagian halaman bela-kang rumah ini.

   Sedangkan sekitar dua puluh orang bergegas mengikuti, dan sebagian lagi segera mengurus mayat Ki Rampak.

   Tak berapa lama ber-selang, Ki Gagak Bulang sudah memacu kudanya diikuti dua puluh orang yang juga menunggang ku-da.

   Mereka bergerak cepat menuju ke arah Selatan.

   Sementara, api masih terlihat berkobar besar, membakar gubuk tempat Nini Angki dipasung.

   Hampir semua penduduk sudah keluar dari rumahnya.

   Dan mereka hanya bisa memandangi gubuk pasungan Nini Angki yang semakin habis dimakan api.

   Tak ada seorang pun yang berani mendekati.

   Dan mereka juga hanya bisa meman-dangi kepergian Ki Gagak Bulang bersama dua pu-luh orang menuju Selatan.

   Mereka hanya bisa ber-tanya-tanya saja di dalam hati, tanpa ada seorang pun yang berani mengucapkannya.

   "Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

   Sementara, Ki Gagak Bulang terus memacu cepat kudanya, diiringi dua puluh orang pengikut-nya dari belakang.

   Mereka terus bergerak cepat me-nuju ke arah Selatan.

   *** Sementara itu jauh dari Desa Tampuk, tam-pak sebuah api unggun menyala kecil di bawah ke-rindangan sebatang pohon yang batangnya sangat besar.

   Tidak jauh dari api unggun itu, terlihat Ki Sampar duduk bersila di dampingi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dan seorang gadis can-tik mengenakan baju biru muda yang agak ketat.

   "Bagaimana sekarang, Ki? Sudah enakan...?"

   Tanya pemuda tampan berbaju rompi putih itu. Ki Sampar tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

   "Untung hanya luka luar saja. Jadi, tidak terlalu sulit menyembuhkannya,"

   Desah gadis berbaju biru yang duduk di sebelah kiri Ki Sampar.

   "Terima kasih, atas usaha kalian yang telah bersusah payah menolongku,"

   Ucap Ki Sampar.

   "Apa yang kami lakukan sudah biasa, Ki. Kami tidak bisa melihat penganiayaan terjadi di depan mata,"

   Kata gadis cantik itu, tanpa bermaksud me-nyombongkan diri.

   "Kalian tentu para pendekar muda,"

   Kata Ki Sampar lagi.

   "Siapa kalian ini, dan dari mana kalian datang...?"

   "Aku Rangga,"

   Pemuda berbaju rompi putih itu memperkenalkan diri lebih dulu.

   "Aku Pandan Wangi, Ki. Tapi panggil saja aku Pandan,"

   Sambung gadis cantik berbaju biru muda.

   Mereka memang Rangga dan Pandan Wangi yang tengah mengembara, setelah beberapa hari lamanya berada di Kerajaan Karang Setra.

   Dan mereka lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.

   Sepasang pendekar muda yang tidak a-sing lagi di kalangan rimba persilatan.

   Tapi bagi Ki Sampar, nama mereka baru kali ini terdengar di telinganya.

   Karena memang, dia bukanlah orang per-silatan.

   Jadi tidak tahu perkembangan dunia persi-latan sekarang ini.

   "Kenapa kau sampai teraniaya tadi, Ki?"

   Tanya Pandan Wangi ingin tahu.

   "Entahlah..., aku sendiri tidak tahu,"

   Sahut Ki Sampar mendesah perlahan.

   "Tentu ada sebabnya, Ki,"

   Desak Pandan Wangi.

   Ki Sampar tertunduk.

   Wajahnya kelihatan murung terselimut mendung.

   Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi saling melempar pandang, Mere-ka merasa kalau ada sesuatu yang disembunyikan orang tua ini.

   Dan mereka juga yakin ada suatu persoalan, sampai orang tua renta ini teraniaya.

   Bahkan hampir saja mati terbunuh kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak cepat menolongnya.

   "Semua ini berawal dari munculnya pembu-nuh gelap itu...,"

   Ujar Ki Sampar perlahan, seperti bicara pada diri sendiri.

   "Pembunuh gelap...?"

   Selak Pandan Wangi, langsung menatap dalam-dalam ke bola mata orang tua renta itu.

   "Ya! Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku dan istriku dilibatkan. Sampai-sampai, aku tidak tahu lagi, di mana istriku berada. Dan aku sendiri..., hampir saja mati di tangan Ki Gagak Bulang,"

   Sahut Ki Sampar masih terdengar pelan suaranya.

   "Kau berasal dari Desa Tampuk, Ki?"

   Selak Rangga.

   "Benar,"

   Sahut Ki Sampar.

   "Ceritakan, Ki. Apa yang telah terjadi,"

   Pinta Pandan Wangi jadi ingin tahu.

   "Semua terjadi begitu saja, Nini. Orang itu ti-ba-tiba saja muncul, dan membunuhi pengikut-pengikut Ki Rampak,"

   Kata Ki Sampar.

   "Siapa itu Ki Rampak?"

   Tanya Rangga ingin tahu.

   "Kepala Desa Tampuk. Tapi, semua orang tidak menyukainya. Dia kejam dan memeras pendu-duk dengan kekuatannya. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya. Bahkan ketika mema-sung anak gadis kepala desa yang dulu pun, tidak ada seorang pun yang berani menentang. Bahkan semua penduduk diharuskan membenci gadis ma-lang itu. Hanya istriku saja yang tidak sudi menu-ruti perintahnya. Setiap hari istriku mengirimkan makanan untuk Nini Angki,"


Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai Pendekar Mabuk Pusaka Tuak Setan

Cari Blog Ini