Perawan Dalam Pasungan 2
Pendekar Rajawali Sakti Perawan Dalam Pasungan Bagian 2
Ki Sampar memulai ceritanya.
"Hm...,"
Rangga menggumam perlahan.
"Teruskan, Ki,"
Pinta Pandan Wangi.
"Bertahun-tahun, Desa Tampuk berada dalam genggaman Ki Rampak. Dan belakangan ini, mun-cul seseorang yang membunuh para pengikut Ki Rampak. Dan itu adalah awal malapetaka. Aku sen-diri tidak tahu, kenapa aku dan istriku sampai di libatkan. Padahal, aku tidak tahu-menahu terhadap semua itu,"
Sambung Ki Sampar tetap pelan suaranya.
"Lalu, di mana istrimu, Ki?"
Tanya Pandan Wangi.
"Dibawa orang aneh itu,"
Sahut Ki Sampar.
"Maksudmu...?"
Pandan Wangi meminta pen-jelasan.
Ki Sampar pun langsung menceritakan semua kejadian yang menimpa istrinya, sampai dia memu-tuskan untuk meninggalkan Desa Tampuk.
Tapi, Ki Gagak Bulang berhasil menemukannya.
Bahkan hampir saja mati kalau saja tidak segera tertolong Pendekar Rajawali Sakti.
Ki Sampar jelas sekali menceritakannya, sementara Rangga dan Pandan Wangi mendengarkan penuh perhatian.
Beberapa kali pendekar-pendekar muda itu saling melempar-kan pandang.
Dan mereka tidak berbicara lagi, wa-laupun Ki Sampar sudah menyelesaikan ceritanya.
*** Rangga menghentikan langkah kudanya tepat di depan sebuah kedai kecil yang berada di ujung jalan Desa Tampuk.
Sunyi sekali keadaan kedai itu.
Dan tak ada seorang pun terlihat di dalam sana.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti turun dari pung-gung kuda hitamnya yang bernama Dewa Bayu.
Se-telah menambatkan kuda hitam itu di bawah pohon kenanga, Rangga melangkah memasuki kedai itu.
Kedatangan Pendekar Rajawali Sakti lang-sung disambut pemilik kedai yang rupanya seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Tubuhnya terbungkuk-bungkuk, berusaha bersikap ramah.
Kemudian pengunjung tunggalnya ini diba-wa ke tempat yang paling nyaman.
Rangga hanya tersenyum saja melihat sikap pemilik kedai, yang seperti sudah berhari-hari tidak kedatangan pen-gunjung.
"Sepi sekali kedaimu ini, Ki,"
Ujar Rangga setelah menempatkan tubuhnya di kursi kayu, tidak jauh dari jendela yang terbuka lebar, langsung menghadap ke jalan.
"Yaaah.... Beginilah keadaannya, Den. Sudah beberapa hari ini selalu sepi. Paling-paling, hanya satu dua orang saja yang mampir ke sini. Itu juga tidak lama,"
Sahut pemilik kedai itu lesu.
"Tapi kelihatannya desa ini cukup ramai, Ki,"
Kata Rangga lagi.
"Kelihatannya saja, Den,"
Sahut pemilik kedai itu.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala.
Sebentar pandangannya dilayangkan keluar, melalui jendela yang terbuka lebar, Kemudian dipesannya beberapa macam makanan, serta seguci arak ma-nis.
Laki-laki tua pemilik kedai itu bergegas me-layani pesanan tamunya ini dengan sikap ramah.
Saat Pendekar Rajawali Sakti menikmati ma-kanannya, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat, menyelinap ke bagian belakang kedai ini.
Matanya sempat melirik pada pemilik ke-dai yang duduk di sudut.
Laki-laki tua pemilik kedai itu bangkit berdiri, dan melangkah ke belakang tanpa berkata-kata sedikit pun juga.
Rangga terus mengawasi dari sudut ekor matanya.
"Hm...."
Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Sebuah aji kesak-tian yang bisa mendengarkan suara dari jarak jauh dan sekecil apa pun juga, Bahkan bisa memilih-milih suara menurut keinginannya.
Dengan ajian itu, segala macam pembicaraan yang diinginkan bi-sa didengarkannya.
Rangga mengarahkan suara da-ri belakang kedai ini, dari tempatnya melihat sebuah bayangan berkelebat cepat ke belakang kedai.
Sedangkan pemilik kedai ini juga langsung ke bela-kang, walaupun sikapnya seperti tidak mengetahui adanya bayangan tadi.
"Hm..."
Rangga menggumam kecil begitu mendengar percakapan dari belakang kedai.
Dan satu suara sudah dikenalnya.
Tampaknya suara pemilik kedai ini.
Sedangkan satu suara lain, diyakini kalau itu suara seorang perempuan.
Dan tampaknya, seorang wanita yang masih muda usianya.
Dengan aji 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sak-ti bisa mendengar jelas sekali.
Sepertinya, kedua orang itu berbicara dekat di depannya.
"Siapa dia, Ki?"
Terdengar jelas di telinga Rangga, suara seorang wanita bertanya pada pemilik kedai ini.
"Kelihatannya dia pendatang, Nini,"
Sahut pemilik kedai.
"Sudah kau tanyakan, apa tujuannya datang ke sini?"
Tanya wanita itu lagi.
"Belum."
"Kenapa belum..,?"
"Aku belum sempat bertanya, Nini."
"Kau tahu, Ki. Saat-saat seperti ini, aku tidak suka ada orang asing datang ke Desa Tampuk ini. Aku tidak mau ada orang luar ikut campur dalam persoalan ini. Semuanya masih bisa ku atasi dengan tanganku sendiri. Kau percaya padaku, Ki...?"
Tegas sekali nada suara wanita itu.
"Aku percaya, Nini,"
Sahut si pemilik kedai.
"Desa ini harus kembali seperti semula, Ki. Seperti waktu ayahku dulu masih menjadi kepala desa. Aku bertekad mengembalikan desa ini seperti semula. Tidak di bawah cengkeraman manusia-manusia iblis seperti Ki Rampak!"
"Pelan-pelan, Nini. Nanti pemuda itu dengar,"
Kata laki-laki tua pemilik kedai memperingatkan. Beberapa saat tidak terdengar suara apa pun juga.
"Aku pergi dulu, Ki,"
Pamit wanita itu setelah cukup lama terdiam.
"Baik. Tapi, bagaimana keadaan Nyai Suti?"
"Dia baik-baik saja. Hanya, masih meng-khawatirkan suaminya. Sayang, aku belum bisa menemukan...,"
Kata wanita itu dengan suara terpu-tus.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada Ki Sampar. Kasihan dia...."
"Aku harap begitu, Ki. Aku juga tidak ingin ada korban seorang pun dari penduduk. Aku pergi dulu, Ki. Tanyai orang asing itu, untuk apa datang ke desa ini."
"Iya, Nini. Aku pasti akan tanyakan padanya."
"Aku pergi, Ki."
Tidak lagi terdengar suara percakapan itu.
Sementara, Rangga langsung mencabut kembali aji 'Pembeda Gerak dan Suara'.
Saat itu sempat terlihat bayangan hitam berkelebat begitu cepat, dan langsung menghilang dalam sekejapan mata saja.
Tak berapa lama kemudian, laki-laki tua pemilik kedai ini sudah muncul kembali dalam kedainya.
Kepalanya terangguk ramah pada Rangga, sambil men-gembangkan senyum.
Rangga ramah membalasnya, walaupun kini sudah tahu kalau keramahan pemi-lik kedai itu dibuat-buat "Ingin tambah lagi minumannya, Den?"
Pemilik kedai itu menawarkan ramah.
"Boleh,"
Sahut Rangga.
Sebenarnya, minumannya saja belum habis.
Tapi, Rangga memang sengaja.
Dia ingin memberi kesempatan pada pemilik kedai yang sempat mem-perkenalkan diri bernama Ki Taluk.
Dan Rangga ju-ga malah menawarkan untuk minum bersama.
Dengan sikap yang ramah sekali, Ki Taluk meneri-ma tawaran itu.
"Sepertinya, kau bukan penduduk desa ini, Anak Muda,"
Kata Ki Taluk setelah meneguk habis arak dalam gelasnya yang terbuat dari bambu.
"Benar, Ki. Aku hanya seorang pengembara,"
Sahut Rangga kalem.
"Boleh aku tahu ke mana tujuanmu, Anak Muda...?"
Pancing Ki Taluk mulai menyelidik.
"Sebenarnya tidak ada, Ki. Tapi dalam perjalanan, aku bertemu orang tua yang menceritakan keadaan di desa ini. Semula, aku tidak begitu tertarik. Tapi setelah dia mengatakan kalau di desa ini muncul seorang pembunuh gelap yang sudah mengambil banyak korban, aku jadi tertarik juga untuk mengetahuinya. Makanya, aku datang ke sini,"
Kata Rangga sengaja bicara demikian.
"Oh! Siapa orang tua itu, Anak Muda?"
Tanya Ki Taluk tidak bisa menahan keterkejutannya.
"Ki Sampar. Dia dalam keadaan terluka, tapi sekarang berada dalam perawatan teman ku,"
Sahut Rangga.
Ki Taluk mengangguk-anggukkan kepala.
Se-dangkan Rangga hanya diam saja memandangi.
Dia tahu, Ki Taluk ingin menyelidikinya.
Dan Pendekar Rajawali Sakti memang sengaja membuka, karena ingin sekali bertemu orang aneh yang telah menca-but banyak nyawa di Desa Tampuk ini.
Meskipun dari keterangan yang diberikan Ki Sampar, orang-orang yang dibunuh hanyalah orang-orang Ki Ram-pak, Kepala Desa Tampuk yang selalu bertindak dingin dan tangan besi.
"Malang sekali nasib Ki Sampar. Entah kena-pa, dia dan istrinya dituduh mata-mata dari si pembunuh gelap itu,"
Kata Ki Taluk dengan suara menggumam perlahan, seakan bicara pada diri sen-diri.
"Ku dengar, katanya pembunuh gelap itu na-manya Nini Angki, gadis yang selama ini di pasung. Benar begitu, Ki?"
Tanya Rangga juga menyelidik.
"Hanya orang-orang Ki Rampak saja yang mengetahui begitu, Den. Padahal, gubuk tempat pa-sungan Nini Angki sudah habis terbakar. Yaaah..., kasihan nasibnya. Sudah orang tuanya dikurung dalam tanah, dia malah dituduh gila dan dipasung. Bahkan kami semua disuruh membencinya. Pada hal, kami begitu kasihan melihat penderitaannya,"
Terdengar pelan sekali suara Ki Taluk.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Entah, apa yang ada dalam kepalanya sekarang ini.
Sedangkan Ki Taluk terdiam, mempermain-mainkan pinggiran gelas bambu dengan ujung jemari tan-gannya yang sudah keriput.
Beberapa saat Pende-kar Rajawali Sakti memperhatikan raut wajah tua yang duduk di depannya.
Kemendungan di wajah itu, sama sekali tidak dibuat-buat.
Dan Rangga ta-hu, penderitaan yang dialami Ki Taluk merupakan penderitaan seluruh penduduk Desa Tampuk ini.
Penderitaan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun.
"Seharusnya kami semua bisa senang, karena Ki Rampak sudah tewas. Tapi itu tidak mungkin, Anak Muda,"
Kata Ki Taluk lagi.
"Kenapa, Ki?"
"Ki Gagak Bulang..., adik kandung Ki Rampak ternyata lebih kejam lagi. Malah, sekarang dia yang menguasai seluruh desa ini. Dia belum puas kalau belum membalas kematian kakaknya pada si pem-bunuh gelap itu,"
Kata Ki Taluk lagi.
"Maksudmu, pada Nini Angki..?"
Ki Taluk tampak terperanjat mendengar per-tanyaan yang begitu langsung dari Pendekar Raja-wali Sakti.
Maka cepat-cepat keterkejutannya dihi-langkan.
Hanya saja, Rangga sudah sempat melihat jelas.
Dan Pendekar Rajawali Sakti jadi yakin, kalau orang aneh itu adalah Nini Angki.
Hanya saja dia masih berpikir, bagaimana mungkin seorang gadis yang terpasung bertahun-tahun bisa melepaskan diri.
Bahkan sekarang muncul dengan satu kepan-daian yang begitu tinggi tingkatannya.
Bahkan, penguasa desa ini juga kerepotan dibuatnya.
"Aku pergi dulu, Ki. Mungkin aku kembali lagi ke sini nanti,"
Pamit Rangga.
Setelah membayar semua makanan dan mi-numannya, Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke-luar.
Ki Taluk mengantarkan sampai di depan pintu kedainya itu.
Dia masih tetap berdiri disana me-mandangi kepergian pemuda tampan berbaju rompi putih itu, dengan kuda hitamnya.
Saat itu, terlihat sebuah bayangan hitam ber-kelebat cepat, tepat ketika Rangga berbelok ke ka-nan di ujung jalan.
Ki Taluk terperanjat dan cepat-cepat masuk ke dalam kedainya.
Di dalam kedai, sudah ada seorang gadis berwajah cantik berbaju hitam pekat yang cukup ketat.
Sehingga, memben-tuk tubuhnya yang ramping dan indah.
Dia duduk di kursi tempat Rangga duduk disana tadi.
Ber-gegas Ki Taluk menghampiri, dan duduk di depan-nya.
"Bagaimana, Ki?"
Tanya gadis cantik itu langsung.
"Dia ingin bertemu denganmu, Nini. Dan tam-paknya, dia sudah tahu kalau orang aneh itu ada-lah kau,"
Sahut Ki Taluk.
"Dia juga tahu namaku, Ki?"
Ki Taluk mengangguk.
"Ahhh.... Siapa dia, ya...?"
Desah gadis itu bernada seperti bertanya pada diri sendiri.
Sedangkan Ki Taluk hanya diam saja meman-dangi wajah yang cantik ini.
Dan gadis itu memang Nini Angki, yang selama ini selalu disebut sebagai Perawan Pasungan oleh seluruh penduduk Desa Tampuk.
Tapi, keadaannya sekarang tidak kotor dan lusuh, seperti ketika masih berada dalam pa-sungan.
Kini kecantikannya begitu jelas memancar di wajahnya.
Namun, di balik kecantikan wajahnya terpancar suatu tekad yang kukuh.
"Sejauh mana dia sudah tahu, Ki?"
Tanya Nini Angki.
Ki Taluk langsung saja menceritakan semua pembicaraannya dengan pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
Dan begitu Ki Taluk mengatakan tentang keadaan Ki Sampar, tiba-tiba saja gadis cantik berbaju hitam yang selama ini dikenal seba-gai Perawan Pasungan melesat begitu cepat bagai kilat.
Hingga membuat Ki Taluk jadi terlongong bengong.
Sekejap mata saja bayangannya sudah le-nyap tak berbekas lagi.
"Ck ck ck...!"
Ki Taluk berdecak kagum.
*** Saat itu, Rangga memacu kudanya dengan ke-cepatan sedang.
Pendekar Rajawali Sakti tidak kelihatan terburu-buru.
Sesekali kepalanya terlihat menoleh ke belakang, seperti ada sesuatu yang ten-gah ditunggu.
Tapi, tak ada seorang pun yang terlihat mengikuti.
Rangga segera memperlambat lari kudanya.
"Hieeegkh...!"
Tiba-tiba saja kuda hitam bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Rangga jadi tersentak kaget.
Cepat-cepat tali kendali kudanya dikuasai.
Dan be-gitu kuda hitam itu bisa tenang, cepat Pendekar Ra-ja-wali Sakti melompat turun dengan gerakan yang begitu indah dan ringan.
"Hm...,"
Rangga menggumam perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti memiringkan kepa-lanya sedikit, dan memasang pendengarannya ta-jam-tajam.
Angin yang bertiup agak keras, mem-buat rambutnya yang gondrong melambai-lambai.
Dua langkah Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke depan.
Begitu ringan sekali ayunan kakinya, hingga sedikit pun tidak menimbulkan suara.
Kembali mulutnya menggumam perlahan.
Kemudian, matanya melirik sedikit pada Dewa Bayu yang mendengus-dengus kecil sambil mengangguk-anggukkan kepa-la.
"Rupanya sudah ada yang menunggu, Dewa Bayu. Kau menyingkirlah,"
Kata Rangga perlahan.
Kuda Hitam Dewa Bayu meringkik kecil, ke-mudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti.
Dia baru berhenti setelah jaraknya cukup jauh.
Sementara, Rangga tetap berdiri tegak, seperti menanti sesuatu.
Pendengaran-nya masih tetap terpasang tajam.
Wus! Slap! "Hait..!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memi-ringkan tubuhnya ke kiri, begitu tiba-tiba terlihat sebatang tombak panjang meluncur deras ke arahnya dari depan.
Tombak itu lewat sedikit di samping tubuh pemuda berbaju rompi putih ini dan menancap di samping kakinya.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Pada saat itu, terlihat berlompatan sekitar se-puluh orang bersenjata golok dari balik semak be-lukar dan dari atas pepohonan yang banyak tum-buh di sekitar tempat ini.
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melompat ke belakang, se-jauh beberapa langkah. Tahu-tahu, di depannya sudah berdiri sepuluh orang pemuda yang semua-nya menggenggam senjata golok.
"Hm...,"
Rangga mengumam kecil.
Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti begitu ta-jam merayapi sepuluh pemuda yang berdiri meng-hadang, bersikap siap menyerang.
Golok-golok me-reka tampak melintang di depan dada.
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Sorot matanya masih terlihat begitu tajam.
"Mau apa kalian menghadang jalanku?"
Tanya Rangga agak dingin suaranya.
"He he he...!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkekeh.
Rangga cepat berpaling ke arah datangnya suara tawa itu.
Tampak di atas sebongkah batu yang Cu-kup besar berdiri Seorang laki-laki setengah baya.
Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut menyipit.
Dia pernah melihat laki-laki setengah baya yang telah menganiaya Ki Sampar.
Dan me-mang, dia adalah Ki Gagak Bulang yang sekarang menggantikan kakaknya menguasai Desa Tampuk.
"Hup!"
Ringan sekali gerakan Ki Gagak Bulang saat melompat turun dari atas batu.
Dan tanpa menim-bulkan suara sedikit pun juga, kakinya mendarat, tepat sekitar satu batang tombak lagi di depan Rangga.
Suara tawanya yang terkekeh kembali ter-dengar.
Kemudian di ujung jari tangan kanannya dijentikkan, Saat itu juga, terlihat puluhan kepala menyembul dari balik semak belukar, dan kelebatan daun, pepohonan di sekeliling Pendekar Rajawali Sakti.
Sekitar dua puluh orang sudah siap dengan panah terpasang di busur dan mengarah langsung ke Pendekar Rajawali Sakti.
Pemuda tampan berba-ju rompi putih itu menggumam kecil, dengan mata beredar berkeliling.
Langsung disadari kalau kea-daannya sangat tidak menguntungkan.
Meskipun memiliki kepandaian yang begitu tinggi, tapi me-mang tidak mudah untuk bisa keluar dari kepun-gan yang rapat begini.
"Sebaiknya kau menyerahkan Ki Sampar, dari pada tubuhmu tercincang, Anak Muda,"
Ancam Ki Gagak Bulang.
"Kenapa kau menginginkan orang tua itu, Ki-sanak?"
Tanya Rangga.
"Dia harus bertanggung jawab atas kematian kakakku!"
Sahut Ki Gagak Bulang membentak.
"Hm, Ki Sampar terluka cukup parah. Jadi, ti-dak mungkin bisa membunuh orang,"
Kata Rangga setengah menggumam.
"Memang bukan dia. Tapi, orang suruhan-nya!"
Dengus Ki Gagak Bulang.
"Tidak ada seorang pun yang menjadi su-ruhannya, Kisanak. Aku tahu Ki Sampar tidak terli-bat dalam persoalanmu. Dia hanya orang tua biasa yang tidak punya pikiran macam-macam. Kau salah besar kalau menuduhkan kesalahan padanya,"
Sergah Rangga meluruskan nama Ki Sampar.
"Keparat! Aku tidak butuh ocehanmu, Anak Muda! Aku minta kau jangan banyak bicara. Serah-kan saja si tua bangka keparat itu padaku!"
Bentak Ki Gagak Bulang kasar.
"Dia tidak ada lagi. Dia sudah pergi bersama istrinya,"
Kata Rangga kalem.
"Setan...! Jangan coba-coba mempermainkan aku, Bocah!"
Bentak Ki Gagak Bulang tidak percaya.
"Siapa bilang aku mempermainkan mu...? Ki Sampar memang sudah pergi bersama istrinya. Dan tidak akan kembali lagi ke desa ini,"
Kata Rangga kalem.
"Phuih!"
Ki Gagak Bulang menyemburkan ludahnya, sengit.
Ki Gagak Bulang mengayunkan kakinya ke depan tiga langkah.
Sorot matanya begitu tajam dan berapi-api, menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Terdengar gerahamnya bergeme-letuk menahan kemarahan yang meluap-luap.
Se-mentara, Rangga masih kelihatan tenang, walaupun sesekali matanya beredar berkeliling.
Dia memper-hitungkan segala kemungkinan dalam menghadapi kepungan rapat begini.
"Kau akan mampus di sini, Bocah!"
Desis Ki Gagak Bulang.
Begitu Ki Gagak Bulang menjentikkan ujung jemari tangannya, seketika itu juga....
Sing! Wusss! "Hup!" *** Cepat-cepat Rangga melenting ke udara, begi-tu tiba-tiba saja puluhan batang anak panah ber-hamburan menghujaninya.
Terpaksa Pendekar Ra-jawali Sakti berjumpalitan di udara, sambil menge-rahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'! Ke-dua tangannya terkembang lebar, dan bergerak be-gitu cepat mengibas anak-anak panah yang meng-hujaninya.
"Hiyaaa...!"
Beberapa batang panah yang berhasil di-rampas langsung cepat dilemparkan, disertai penge-rahan tenaga dalam tinggi.
Anak-anak panah itu meluruk deras, kembali pada pemiliknya.
Tindakan Rangga yang begitu cepat dan tidak terduga, mem-buat orang-orang yang melepaskan panah jadi ter-henyak kaget setengah mati.
"Hiya!"
Yeaaah...!"
Mereka yang masih sempat menghindar, se-gera berlompatan.
Tapi yang terlambat, harus me-nerima nasib terpanggang panahnya sendiri.
Jeri-tan-jeritan melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat dan saling sambut.
Tampak beberapa orang terjungkal roboh tertembus panah.
Sementa-ra itu, Rangga meluruk turun manis sekali, setelah tidak ada lagi panah yang menghujaninya.
Beberapa batang panah berada di dalam geng-gaman kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sambil menghembuskan napas berat, dilemparkan-nya panah-panah itu ke tanah.
Sementara Ki Gagak Bulang jadi terbeliak, melihat serangan orang-orangnya dapat dipatahkan begitu mudah, hanya lewat satu jurus saja.
"Seraaang...!"
Teriak Ki Gagak Bulang lantang, memberi perintah.
"Hiyaaa. !"
"Yeaaah...!"
"Yaaa...!"
Seketika itu juga, sekitar dua puluh orang bersenjata golok berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka langsung menyerang dari berbagai jurus, dengan cepat sekali.
Sehingga, membuat pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan.
Tubuhnya meliuk-liuk menghindari serangan-serangan yang datang secara cepat berun-tun dari segala arah.
Tapi belum juga lama pertarungan itu ber-jalan, tiba-tiba saja terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi saling susul.
Kemudian, terlihat orang-orang yang mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti berpentalan.
Mereka langsung jatuh mengge-lepar dengan dada tertembus benda keperakan ber-bentuk bintang.
"Hup!"
Cepat-cepat Rangga melenting ke belakang.
Hanya dalam waktu sebentaran saja, sudah lima belas orang yang tergeletak tak bernyawa lagi.
Dan mereka langsung berlumuran darah, tertembus senjata berbentuk bintang keperakan.
Bukan hanya Ki Gagak Bulang saja yang terkejut.
Bahkan Rangga juga jadi kebingungan sendiri, karena tidak pernah menggunakan senjata rahasia dalam menghadapi lawan-lawannya.
Dan ia juga tidak tahu, dari mana senjata-senjata rahasia itu datang.
Karena, tadi begitu sibuk menghindari serangan-serangan yang da-tang beruntun dari segala arah.
"Keparat..!"
Geram Ki Gagak Bulang.
Wajah Ki Gagak Bulang semakin kelihatan memerah.
Sedangkan kedua bola matanya berapi-api, merayapi orang-orangnya yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Sudah begitu banyak dia kehi-langan pengikut.
Bahkan kakak kandungnya juga sudah tewas di tangan orang aneh yang belum dike-tahui orangnya.
Sorot matanya begitu tajam, menembus lang-sung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
Gera-hamnya bergemeletuk, menahan kemarahan yang begitu menggelegak dalam dada.
"Ayo, tinggalkan tempat ini!"
Seru Ki Gagak Bulang.
Bagaikan kilat, Ki Gagak Bulang melompat ce-pat meninggalkan tempat itu.
Semua pengikutnya bergegas berlompatan pergi.
Sementara, Rangga sama sekali tidak ber-maksud mencegah.
Hanya dipandanginya saja ke-pergian mereka semua.
Kemudian perlahan tubuh-nya diputar dan melangkah menghampiri kudanya.
Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat di depannya.
Dan tahu-tahu, sudah ber-diri seorang gadis cantik berbaju serba hitam.
Rangga langsung menghentikan ayunan kakinya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak,"
Ucap Rangga langsung bisa menebak kalau gadis i-nilah yang menolongnya tadi dari keroyokan orang-orang Ki Gagak Bulang.
"Hm...,"
Gadis itu hanya menggumam sedikit saja.
Rangga mengayunkan kakinya beberapa langkah ke depan, dan baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi dari gadis cantik berbaju serba hitam ini, Beberapa saat Rangga memandangi, kemudian bibirnya tersenyum.
"Kau yang bernama Nini Angki?"
Tanya Rang-ga memastikan.
"Dari mana kau tahu namaku?"
Dengus gadis cantik berbaju hitam yang memang Nini Angki si Perawan Pasungan.
"Aku hanya menduga saja,"
Sahut Rangga kalem.
"Kau siapa, Kisanak?"
Balas Nini Angki bertanya.
Suara wanita itu masih terdengar bernada dingin dan datar.
Tatapan matanya juga begitu ta-jam, seakan-akan tengah menyelidik tingkat kepan-daian pemuda tampan di depannya.
Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja, membiarkan dirinya dipandangi dengan sinar mata penuh selidik.
"Namaku Rangga,"
Sahut Rangga memperke-nalkan diri.
"Kenapa kau mencariku?"
Tanya Nini Angki masih dengan nada suara terdengar dingin dan agak ketus.
"Tidak,"
Sahut Rangga seraya menggelengkan kepala.
"Lalu, untuk apa kau datang ke Desa Tam-puk?"
Kejar Nini Angki lagi.
Rangga tidak menjawab, dan hanya mengang-kat bahunya saja sedikit Kemudian, kakinya me-langkah ringan menghampiri kudanya.
Diambil tali kekang kudanya, dan kembali m-langkah meng-hampiri gadis cantik yang selama ini selalu disebut sebagai Perempuan Pasungan, karena memang sudah beberapa tahun hidup dalam pasungan.
Pende-kar Rajawali Sakti kembali berdiri di depan Nini Angki dengan jarak sekitar lima langkah.
Sedangkan Nini Angki terus memandanginya dengan sorot mata begitu tajam, tertuju lurus ke bola mata pemuda tampan di depannya.
Untuk be-berapa saat lamanya, tidak ada seorang pun yang berbicara, *** "Kuharap kau tidak perlu lagi berpura-pura, Kisanak.
Aku sudah tahu tujuanmu datang ke Desa Tampuk ini.
Dan kuminta Segera tinggalkan desa ini.
Jangan coba-coba mencampuri urusanku den-gan iblis-iblis keparat itu!"
Terasa begitu dingin suara Nini Angki.
Dan Rangga hanya tersenyum saja, meskipun dari nada suara wanita itu sudah bisa tertangkap adanya ancaman yang tidak bisa di-pandang main-main.
Dan Nini Angki memang bersungguh-sungguh, tidak ingin urusannya dicampuri orang lain.
Semua penghinaan pada diri dan keluarganya harus dibalas dengan tangannya sendiri.
Walaupun dia tahu, terlalu berat untuk menghadapi Ki Gagak Bulang seorang diri.
Terlebih lagi, Ki Gagak Bulang sudah begitu berpengalaman dalam rimba persilatan yang ter-kenal ganas dan keras.
Namun, sudah menjadi te-kadnya untuk menyelesaikan dendamnya seorang diri saja.
Dan selama bertahun-tahun berada di da-lam pasungan, sudah berlatih tekun untuk mem-perdalam jurus-jurus yang pernah dipelajari dari ayahnya.
Cerdiknya, dengan modal tenaga dalam yang pernah didapat, Nini Angki mampu membuka dan mengunci gembok pasungannya.
Dan bila su-dah terbebas, dia berlatih penuh ketekunan.
Hingga akhirnya semua ilmu yang didapat dulu berhasil disempurnakannya.
Dan selama ini, Nini Angki harus berpura-pura jadi orang gila, untuk keselamatan diri sendiri.
Begitu sempurnanya peranan yang dimainkan, se-hingga semua orang di Desa Tampuk benar-benar sudah menganggapnya gila.
Hanya Nyai Suti dan beberapa orang desa yang masih memandangnya sebagai anak kepala desa, dan tidak menganggap-nya gila.
"Sayang sekali, aku sudah berjanji pada Ki Sampar untuk membebaskan Desa Tampuk dari penindasan Ki Rampak dan orang-orangnya,"
Kata Rangga kalem.
"Hhh! Di mana kau sembunyikan Ki Sampar?"
Desis Nini Angki sambil mendengus berat Belum juga Rangga sempat menjawab, tiba-tiba saja....
"Aku di sini, Nini Angki."
"Hah...?!"
Bukan hanya Nini Angki yang terkejut, tapi ju-ga Pendekar Rajawali Sakti, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tua yang sudah bergetar.
Bersa-maan mereka, berpaling ke arah datangnya suara.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh dari mereka sudah ada Ki Sampar yang didampingi Pandan Wangi.
Mungkin karena seluruh perhatian mereka begitu tertumpah, sehingga tidak men-dengar suara langkah Ki Sampar dan Pandan Wan-gi.
Hingga, tahu-tahu mereka ada di tempat ini.
Ki Sampar melangkah tertatih-tatih, di-bimbing Pandan Wangi menghampiri Nini Angki yang berdiri sekitar lima langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Dia berhenti tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Nini Angki.
Sedangkan Rangga menggeser kakinya mendekati Pandan Wangi yang memapah laki-laki tua itu.
Mereka semua jadi terdiam, tak ada seorang pun yang membuka suara lebih dahulu.
Sementara, Rangga menarik tangan Pandan Wangi menjauhi Ki Sampar dan Nini Angki.
Dia memberi kesempatan pada mereka untuk berbicara berdua saja.
Rangga mengajak Pandan Wangi menghampiri kuda Dewa Bayu, yang kini sudah ditemani si Putih, kuda tunggangan Pandan Wangi.
*** "Aku senang melihatmu lagi, Nini,"
Kata Ki Sampar dengan mata berkaca-kaca.
"Aku begitu mengkhawatirkan mu, Ki,"
Kata Nini Angki.
"Bagaimana keadaan Nyai Suti?"
Tanya Ki Sampar.
"Baik,"
Sahut Nini Angki.
"Kau sendiri, Ki,,.?"
"Hampir saja aku mati. Untung segera di-tolong mereka,"
Sahut Ki Sampar sambil melirik Rangga dan Pandan Wangi.
Nini Angki juga melirik sedikit pada kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.
Kembali me-reka terdiam, dan hanya saling berpandangan saja.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah du-duk di bawah pohon, tidak jauh dari kuda-kuda mereka.
Sepasang pendekar muda itu juga, tengah berbicara.
Entah, apa yang dibicarakan.
"Aku tahu, kau sudah berhasil membunuh Ki Rampak. Tapi itu bukan berarti kemenangan ada di tanganmu sekarang ini, Nini. Masih lebih berat lagi rintangan yang harus kau hadapi untuk membebaskan Desa Tampuk. Terutama sekali, membe-baskan ayahmu dari tahanan mereka,"
Kata Ki Sampar dengan suara bergetar karena sudah ter-makan usia.
"Ya! Memang, tidak mudah mengusir Ki Gagak Bulang dari desa ini, Ki,"
Desah Nini Angki menga-kui.
"Kau harus mencari teman Nini. Paling tidak, yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Ki Gagak Bulang,"
Kata Ki Sampar lagi.
"Maksudmu, Ki...?"
Tanya Nini Angki tidak mengerti.
Ki Sampar tidak langsung menjawab.
Kemu-dian kepalanya berpaling, dan langsung meman-dang Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
Nini Angki langsung bisa mengerti, meskipun Ki Sampar belum menjelaskan maksudnya.
Dan memang diakui, kepandaian yang dimiliki pemuda tampan berbaju rompi putih itu sangat tinggi.
Jurus-jurus Pendekar Rajawali Sakti sudah dilihatnya.
Memang, tadi dia membantunya.
Tapi, sebenarnya juga tidak diperlukan Rangga dalam menghadapi keroyokan dua puluh orang anak buah Ki Rampak, yang kini diambil alih adik kandung-nya.
Nini Angki juga sudah merasa kalau bantuan Pendekar Rajawali Sakti sangat diperlukan untuk menghadapi Ki Gagak Bulang.
Tapi entah kenapa, dia jadi merasa angkuh.
Bahkan tidak ingin mengu-tarakannya.
"Aku dan semua penduduk Desa Tampuk ada di belakangmu, Nini!"
Kata Ki Sampar lagi.
"Tapi, Ki...."
"Aku tahu tekadmu, Nini Nyai Suti sudah ba-nyak cerita padaku. Dia memang wanita yang kuat dan berani. Aku benar-benar mengaguminya. Meskipun berulang kali diancam, tapi tetap saja tidak peduli. Dan sebenarnya pula, aku dan istriku sudah tahu kalau di dalam pasungan kau selalu melatih ilmu-ilmu kedigdayaan. Itu sebabnya, kenapa istriku tidak mempedulikan keselamatan di-rinya, dan terus datang membawakan makanan un-tukmu,"
Selak Ki Sampar cepat membuat Nini Angki tidak bisa lagi berkata-kata.
Memang selama bertahun-tahun ini, jasa Ki Sampar begitu besar padanya.
Terutama sekali is-trinya.
Nyai Suti selalu berani menantang bahaya, walaupun sudah berulang kali diancam agar tidak lagi mengirim makanan, selama Nini Angki berada dalam pasungan.
Dan ini tidak mungkin bisa dilu-pakan begitu saja.
Bahkan kitab-kitab yang diba-canya selama bertahun-tahun ini juga berkat jasa Ki Sampar.
Laki-laki tua itu begitu berani menyelinap masuk ke dalam rumah Ki Sampar, hanya un-tuk mengambil kitab ayah gadis ini, kemudian di serahkan padanya.
Dengan kitab itu, Nini Angki bi-sa bertahan dalam pasungan.
Bahkan kini menjadi seorang wanita yang berilmu tinggi.
Nini Angki terdiam cukup lama.
Sementara, Ki Sampar tidak berbicara lagi, seakan-akan memberi kesempatan pada gadis itu untuk berpikir.
Paling tidak, untuk mempertimbangkan sarannya, agar meminta bantuan pada kedua pendekar muda yang digdaya itu.
Beberapa kali Nini Angki melirik Rang-ga.
Dan setiap kali lirikannya bertemu sorot mata pendekar muda yang tampan itu, cepat-cepat di-alihkan ke arah lain.
Entah kenapa, dadanya selalu bergetar bila mendapat sorot mata pemuda tampan itu.
"Mereka tentu bersedia membantu kita, Nini,"
Kata Ki Sampar mendesak, setelah cukup lama Nini Angki hanya diam saja membisu.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin, Ki?"
Tanya Nini Angki.
"Mereka adalah para pendekar, Nini. Mereka bersedia membantu. Apalagi, tujuanmu begitu mu-lia. Aku tahu itu, karena mereka sudah mengata-kannya padaku untuk membantu membebaskan penduduk Desa Tampuk dari cengkeraman mere-ka,"
Jelas Ki Sampar.
"Tapi jumlah mereka begins banyak, Ki. Dan aku masih terus mencoba mengurangi kekuatan mereka,"
Kata Nini Angki.
"Bagi pendekar, tidak menjadi persoalan de-ngan jumlah yang banyak, Nini,"
Selak Ki Sampar.
Nini Angki kembali terdiam.
Memang, dia su-dah melihat sedikit sepak terjang pemuda tampan berbaju rompi putih itu.
Meskipun dikeroyok dua puluh orang bersenjata golok, tapi sedikit pun tidak merasa kewalahan.
Bahkan tak ada seorang pun dari pengeroyoknya yang berhasil menyentuh tu-buhnya.
Juga, ketika diserang puluhan anak pa-nah.
Pendekar Rajawali Sakti bahkan bisa memba-las dan merobohkan sebagian dari pemanah-pemanah itu.
Dari situ saja, sebenarnya Nini Angki sudah merasa yakin kalau tingkat kepandaian yang dimiliki pemuda tampan itu memang sangat tinggi.
Rangga hanya mengangkat pundaknya saja, ketika Nini Angki mengutarakan keinginannya un-tuk meminta bantuan menghadapi Ki Gagak Bu-lang.
Pendekar Rajawali Sakti melirik Pandan Wan-gi.
Sedangkan si Kipas Maut itu hanya mengangkat pundaknya sedikit.
Seakan-akan, mereka tengah mempermainkan si Perawan Pasungan ini, karena tadi sikapnya begitu angkuh.
Dan Nini Angki sendiri menyadari hal itu.
Tapi wanita itu hanya diam saja, karena memang memerlukan bantuan kedua pendekar digdaya ini.
Terlebih lagi setelah tahu, siapa pemuda tampan berbaju rompi ini dari Ki Sampar.
"Apa yang harus kami lakukan?"
Tanya Pandan Wangi, karena Rangga hanya diam saja.
"Terus terang, aku sendiri tidak sanggup menghadapi Ki Gagak Bulang. Dan aku percaya, ka-lian mampu menghadapinya,"
Kata Nini Angki.
"Terutama kau, Kisanak."
"Rangga,"
Selak Rangga meminta gadis itu memanggil namanya saja.
"Tidak pantas aku memanggil namamu saja, Kisanak,"
Tolak Nini Angki.
"Panggil saja seperti Pandan Wangi bila me-manggil ku,"
Kata Rangga seraya melirik Pandan Wangi.
"Dia lebih senang kalau dianggap tua, Angki,"
Selak Pandan Wangi berseloroh.
"Panggil saja ka-kang. Dia sudah suka kalau dipanggil begitu."
Nini Angki tersenyum mendengar gurauan Pandan Wangi.
Dan memang, Rangga lebih tua be-berapa tahun darinya.
Jadi, sudah sepantasnya ka-lau memanggilnya dengan sebutan Kakang Rangga.
Sedangkan Ki Sampar hanya tersenyum-senyum sa-ja melihat keakraban yang langsung terjadi di anta-ra ketiga anak muda ini.
Terlebih lagi, Pandan Wan-gi memang pintar mengakrabkan suasana.
"Kau sudah pernah bertarung dengannya, Angki?"
Tanya Pandan Wangi "Dengan Ki Gagak Bulang...?"
Nini Angki balik bertanya. Pandan Wangi mengangguk.
"Belum,"
Sahut Nini Angki.
"Tapi dialah yang mengalahkan ayahku, dan menjebloskannya ke penjara bawah tanah yang dibuatnya sendiri."
"Jadi, ayahmu masih hidup?"
Selak Rangga, bertanya.
"Aku tidak tahu. Sudah beberapa tahun ini aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Dan se-lama itu, aku berada dalam pasungan. Kalian pasti sudah tahu dari Ki Sampar,"
Kata Nini Angki seraya melirik Ki Sampar yang duduk bersila di sampingnya.
"Ya! Ki Sampar sudah bercerita banyak. Bahkan tentang hubungan kalian yang masih ada da-rah keturunan,"
Kata Rangga.
"Memang, Ki Sampar saudara sepupu ayah-ku,"
Kata Nini Angki membenarkan.
"Angki, kenapa kau begitu yakin tidak bisa menghadapi Ki Gagak Bulang?"
Tanya Pandan Wangi lagi menyelak.
"Semua ilmu yang kumiliki berasal dari ayah-ku. Sedangkan ayahku kalah olehnya. Jadi, tidak mungkin aku bisa menandinginya, Kak Pandan."
"Tapi kau berhasil menewaskan kakaknya,"
Kata Pandan Wangi lagi.
"Kepandaian yang dimiliki ki Rampak me-mang tidak terlalu tinggi. Dan kekuatannya hanya mengandalkan jumlah pengikutnya saja. Tidak sulit sebenarnya mengalahkannya. Tapi yang menjadi pi-kiranku adalah menghadapi Ki Gagak Bulang ini. Tingkat kepandaiannya masih jauh berada di atasku,"
Kata Nini Angki berterus terang lagi.
Pandan Wangi melirik sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk dekat di sebelah kanan-nya.
Sedangkan yang dilirik hanya diam saja, lalu menghembuskan napas kuat-kuat "Baiklah.
Aku akan menghadapinya.
Sedang-kan kau dan Pandan Wangi membereskan pengikut-pengikutnya,"
Kata Rangga.
"Tapi yang terpenting, kita pertemukan dulu Ki Sampar dengan istrinya, Kakang,"
Selak Pandan Wangi.
"He he he...,"
Ki Sampar jadi terkekeh.
"Ayo, kita berangkat sekarang,"
Ajak Rangga seraya bangkit berdiri. Mereka semua berdiri.
"Jauh tempatnya, Angki?"
Tanya Pandan Wangi.
"Tidak,"
Sahut Nini Angki.
*** Malam sudah cukup larut menyelimuti se-luruh Desa Tampuk.
Kesunyian terasa begitu men-cekam.
Langit tampak menghitam kelam, terselimut awan yang menggumpal tebal.
Sedikit pun tak terli-hat cahaya bintang maupun bulan.
Dan tak ada seorang pun yang terlihat berada di luar rumahnya.
Begitu sunyinya malam ini, hingga detak langkah kaki Nini Angki yang begitu perlahan sampai ter-dengar di telinganya sendiri.
Gadis itu berjalan perlahan-lahan di dalam kegelapan malam.
Pandangannya tertuju lurus ke arah sebuah rumah yang paling besar di Desa Tam-puk ini.
Rumah yang dulu di tempati bersama ayahnya, tapi sekarang di kuasai Ki Gagak Bulang, setelah kakaknya tewas di tangan si Perawan Pa-sungan ini.
Ayunan langkah kakinya baru berhenti se-telah sampai di depan pintu gerbang rumah yang paling besar di Desa Tampuk ini.
Sorot matanya be-gitu tajam mengamati keadaan sekitar rumah besar itu.
Tak ada seorang pun terlihat, walaupun kea-daannya cukup terang oleh nyala api pelita dan ob-or yang terpancang di setiap sudut.
Begitu sunyi-nya, hingga desir angin terasa jelas mengusik telin-ga.
"Hup!"
Rlngan sekali Nini Angki melompat naik ke atas tembok batu yang mengelilingi bekas rumah-nya ini.
Sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak bagian atas tembok itu.
Tubuhnya langsung merunduk, berlindung dari bayang-bayang pohon.
Sebentar matanya yang tajam men-gawasi keadaan di dalam tembok pagar dari batu ini.
Tak terlihat seorang pun.
Begitu sepi, seakan-akan rumah ini sudah ditinggalkan begitu saja.
"Hm...,"
Nini Angki menggumam perlahan.
"Hup!"
Kembali Nini Angki melompat turun dari atas tembok itu.
Begitu ringan gerakannya, hingga sedi-kit pun tidak menimbulkan suara.
Manis sekali ga-dis itu menjejakkan kakinya di tanah, kemudian kembali melesat ringan sambil memutar tubuhnya beberapa kali di udara.
Hanya tiga kali lompatan sa-ja, dia sudah mencapai bagian samping rumah yang berukuran sangat besar ini.
Segera tubuhnya dira-patkan di dinding batu yang dingin dan sedikit ber-lumut ini.
Seperti seekor kucing, Nini Angki kembali me-lompat dan hinggap di atas atap.
Sambil mengerah-kan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat cukup tinggi, gadis yang selama ini selalu disebut si Perawan Pasungan itu berlari-lari di atas atap.
Tujuannya langsung ke bagian belakang.
Dan begitu sampai di bagian belakang, cepat dia melompat turun.
Gerakannya begitu ringan dan indah.
Tapi begitu kakinya menjejak tanah, menda-dak saja....
Wusss! "Utfs! Cepat-cepat Nini Angki memiringkan tubuh-nya, begitu matanya menangkap sebatang anak pa-nah meluruk deras ke arahnya.
Panah itu lewat se-dikit di samping tubuhnya dan langsung menancap di tiang yang terbuat dari kayu.
"He he he...!"
"Oh...?!"
Nini Angki jadi terbeliak, ketika tiba-tiba saja terdengar suara tawa terkekeh.
Dan lebih terkejut lagi, saat bermunculan orang-orang yang menghu-nus senjata golok, kemudian disusul munculnya Ki Gagak Bulang.
Sebentar saja Nini Angki sudah ter-kepung tidak kurang dari empat puluh orang, yang semuanya menggenggam golok terhunus.
"He he he...! Sudah kuduga, kau pasti datang untuk membebaskan ayahmu, Angki,"
Terasa dingin suara Ki Gagak Bulang, disertai tawanya yang terkekeh kering.
"Hm...,"
Nini Angki hanya menggumam kecil.
"Tapi tidak kukira kau akan datang sendiri, Angki Ke mana teman-temanmu..,? Atau mereka sudah meninggalkan mu?"
Sinis sekali nada suara Ki Gagak Bulang.
"Jangan banyak mulut."
Bentak Nini Angki lantang.
"Bebaskan ayahku. Dan kau..., enyah dari sini!"
"Ha ha ha...!"
Ki Gagak Bulang tertawa terge-lak.
Sedangkan Nini Angki hanya mendengus ge-ram.
Begitu Ki Gagak Bulang menjejakkan ujung ja-rinya, seketika itu juga enam orang pemuda bersen-jata golok langsung berlompatan menyerang Nini Angki.
Golok-golok mereka berkelebat cepat, men-gincar tubuh gadis cantik berbaju serba hitam ini.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sret.
Wuk! Sambil melentingkan tubuhnya, Nini Angki langsung mencabut senjatanya berupa tongkat kayu pendek yang ujungnya runcing tajam.
Secepat kilat tongkatnya dikebutkan menyampok sebilah golok yang melayang deras mengarah dadanya.
Trak! Begitu golok bisa terhalau, cepat sekali Nini Angki memutar tongkatnya.
Langsung tongkatnya dibabatkan dengan kecepatan bagai kilat di leher pemuda itu.
Begitu cepatnya serangannya, sehingga pemuda itu tidak sempat lagi berkelit.
Dan....
Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar. Ujung tongkat kayu berukuran pen-dek telah merobek leher pemuda itu hingga hampir buntung. Darah langsung muncrat berhamburan, bersamaan dengan ambruknya tubuh pemuda itu.
"Hyyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Nini Ang-ki cepat melentingkan tubuhnya.
Dan secepat itu pula dilepaskannya satu tendangan keras mengge-ledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah salah seorang pengeroyoknya.
Begitu cepat tendangannya, sehingga lawannya tidak sempat lagi menghindar.
Begkh! "Akh...!"
"Hiyaaa...!"
Wuk! Bret! Bret! Kembali ujung tongkat Nini Angki yang ber-bentuk runcing, merobek tenggorokan lawannya.
Kembali darah menyembur keluar deras sekali dari leher yang terkoyak lebar.
Hanya dalam beberapa gebrakan saja, sudah dua orang tergeletak tak ber-nyawa lagi, dengan leher terkoyak hampir buntung.
Dan ini membuat Ki Gagak Bulang jadi geram se-tengah mati.
"Minggir...!"
Seru Ki Gagak Bulang lantang menggelegar.
"Hlyaaa...!"
Begitu empat orang yang tersisa berlompatan mundur, bagaikan kilat laki-laki setengah baya berwajah kasar itu melompat langsung menyerang Nini Angki.
Begitu cepatnya serangan yang dilan-carkan KI Gagak Bulang, sehingga membuat Nini Angki jadi kelabakan menghindarinya.
"Heaaat..!"
Nini Angki terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan kilat yang dilan-carkan laki-laki setengah baya ini.
Memang sung-guh dahsyat serangan-serangan yang dilancarkan Ki Gagak Bulang.
Setiap kali pukulannya terlontar, menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat, disertai pancaran hawa panas yang sangat menyen-gat.
Nini Angki cepat menyadari kalau pukulan-pukulan itu mengandung pengerahan tenaga dalam yang begitu tinggi.
Dan wanita itu tidak ingin bertindak ayal-ayalan untuk memapak serangan itu, Tapi, tampaknya Ki Gagak Bulang tidak memberi kesempatan sedikit pun pada gadis ini untuk bisa membalas menyerang.
Saat itu, jurus-jurusnya yang begitu dahsyat dan berbahaya langsung dike-rahkan.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Jurus demi jurus berlalu cepat.
Dan pertarun-gan itu berlangsung semakin dahsyat saja.
Begitu tinggi tingkatan ilmu yang dimiliki Ki Gagak Bulang, sehingga gerakan-gerakannya begitu sukar diikuti mata biasa.
Dan kini, Nini Angki sudah kelihatan kewalahan menghadapinya.
Dia hanya mampu ber-kelit dan menghindar, tanpa dapat lagi mem-balas serangan-serangan laki-laki setengah baya ini.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang melepaskan satu pukulan ke-ras menggeledek yang begitu cepat ke arah dada gadis cantik berbaju serba hitam ini.
"Haiit..!"
Cepat-cepat Nini Angki berkelit menghindar dengan mengegoskan tubuhnya. Tapi belum juga bisa menyempurnakan kedudukan tubuhnya, tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang sudah melepaskan satu tendangannya keras menggeledek, sambil memutar tubuhnya.
"Yeaaah...!"
Begitu cepatnya, tendangan itu, membuat Nini Angki jadi terbeliak.
Dan wanita itu tidak mampu lagi menghindar, dalam keadaan tubuh yang tidak sempurna.
Apalagi, dia baru saja menghindari satu pukulan keras menggeledek yang dilepaskan laki-laki setengah baya berwajah kasar ini.
Hingga....
Des! "Akh...!"
Bruk! Keras sekali tendangan itu mendarat di dada, membuat Nini Angki terbanting keras ke tanah. Be-berapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, namun cepat bisa bangkit berdiri lagi. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, mendadak...
"Hryaaa...!"
Begkh! "Aaakh...!"
Kembali Nini Angki terpental dan terbanting keras begitu satu pukulan keras mengandung pen-gerahan tenaga dalam tinggi mendarat telak di da-danya.
Tampaknya gadis itu seperti tidak mampu bangkit lagi dengan cepat Dia menggeliat sambil mengerang lirih.
Tampak darah mengalir keluar dari mulut dan hidungnya.
Memang keras sekali pukulan yang dilepaskan Ki Gagak Bulang yang menda-rat telak di dada.
Sehingga Nini Angki merasakan nafasnya jadi sesak.
"Tangkap dia!"
Seru Ki Gagak Bulang memberi perintah.
Nini Angki yang kelihatannya sudah tidak lagi berdaya, tiba-tiba saja melesat bangkit ketika dua orang pemuda hendak meringkusnya dengan kasar.
Dan tanpa diduga sama sekali, dilepaskannya dua pukulan beruntun yang begitu cepat disertai penge-rahan tenaga dalam tinggi.
"Akh!"
"Ugkh!"
Kedua pemuda itu hanya mampu memekik dan melenguh begitu pukulan Nini Angki mendarat telak di tubuhnya.
Dan sebelum ada yang sempat menyadari, Nini Angki sudah cepat sekali menge-butkan tongkat kayunya yang sepanjang tiga jeng-kal.
Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling sambut.
Kemu-dian disusul oleh ambruknya dua orang pemuda yang tadi hendak meringkusnya dengan kasar.
Da-rah langsung muncrat dari leher yang terpenggal hampir buntung.
"Setan...!"
Desis Ki Gagak Bulang menggeram berang.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Ki Gagak Bulang melesat sam-bil melepaskan beberapa pukulan beruntun ke arah gadis yang selama ini dikenal sebagai Perawan Pa-sungan.
Tapi tanpa diduga s-ma sekali, Nini Angki ternyata masih memiliki sisa-sisa kekuatan yang tidak bisa dipandang enteng.
Dengan gerakan-gerakan tubuh begitu manis dan lincah, serangan-serangan Ki Gagak Bulang berhasil dihindari.
"Hup! Hiyaaa...!"
Hingga pada satu kesempatan, Nini Angki me-lenting ke udara.
Tapi baru saja melesat, tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang sudah melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
Begitu cepatnya pukulan itu terlontar, sehingga Nini Angki tidak sempat lagi menghindar.
Terlebih lagi, dia sedang berada di udara saat ini.
Hingga....
Des! "Aaakh...!"
Kembali Nini Angki memekik keras, begitu pu-kulan Ki Gagak Bulang mendarat di tubuhnya.
Dan begitu Nini Angki jatuh terguling, cepat sekali Ki Gagak Bulang memberi satu tendangan keras menggeledek.
Dan akibatnya gadis itu terpental jauh.
Keras sekali tubuhnya menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping.
Nini Angki hanya mampu merintih lirih sambil menggeliat.
Saat itu juga, Ki Gagak Bulang melompat menghampiri.
Dan....
Tukk! "Ukh...!"
Nini Angki hanya bisa melenguh kecil, begitu satu totokan mendarat di lehernya.
Dan seketika, tubuhnya jadi lemas tak berdaya lagi.
Dia hanya mampu meringis menahan sakit dan sesak pada dadanya, saat merasakan satu tendangan keras kembali menghantam tubuhnya.
"Ringkus dia!"
Perintah Ki Gagak Bulang. Dua orang pemuda bergegas menghampiri, dan langsung meringkus Nini Angki. Dengan kasar sekali Nini Angki dipaksa berdiri. Sementara itu, Ki Gagak Bulang melangkah menghampiri. Dan tiba-tiba saja.... Plak! "Akh!"
Nini Angki kembali terpekik, begitu satu tam-paran keras mendarat di pipinya.
Gadis itu lang-sung terkulai lemas.
Begitu kerasnya tamparan itu, membuat Nini Angki merasa pening dan berkunang-kunang.
Perlahan kemudian, pandangannya mulai mengabur, dan pendengarannya pun semakin ber-kurang.
Lalu begitu satu pukulan bersarang di tengkuknya, gadis cantik itu langsung ambruk kem-bali ke tanah.
Hanya sedikit saja dia mengerang dan menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
"Masukkan dia ke penjara bersama ayahnya,"
Perintah Ki Gagak Bulang.
Dua orang pemuda langsung menyeret kasar gadis itu.
Sementara Nini Angki benar-benar sudah tidak lagi bertenaga.
Bahkan kesadarannya pun su-dah lenyap.
Dunia baginya saat ini begitu gelap.
Ni-ni Angki merasakan dirinya kini sudah mati dan se-dang menuju ke Swargaloka.
Dan tidak tahu lagi, apa yang terjadi pada dirinya.
Dia juga tidak tahu, kalau dua orang pemuda telah membawanya masuk ke dalam penjara bawah tanah.
*** Sementara itu, di tengah hutan yang letaknya agak jauh dari Desa Tampuk, Rangga dan Pandan Wangi tengah kelabakan mencari Nini Angki yang menghilang begitu saja.
Ki Sampar dan istrinya juga ikut mencari.
Tapi, Nini Angki benar-benar tidak ada lagi.
Entah pergi ke mana, tak ada seorang pun yang tahu.
"Apa dia tidak bilang apa-apa, Ki?"
Tanya Rangga.
"Tidak,"
Sahut Ki Sampar.
"Tadi, katanya hanya ingin mencari angin se-bentar. Tapi sampai sekarang belum juga kembali,"
Ujar Nyai Suti.
"Kakang, apa mungkin dia pergi ke Desa Tam-puk...?"
Selak Pandan Wangi, seperti bertanya pada diri sendiri.
"Edan...! Untuk apa dia ke sana sendiri...?"
Dengus Rangga.
"Anak itu memang keras wataknya, Den,"
Ujar Nyai Suti.
"Dia pasti memang pergi ke sana untuk membebaskan ayahnya."
"Iya. Tapi kenapa harus sendiri...? Bukankah dia sudah setuju untuk mengadakan serangan be-sok siang...?"
Desis Rangga jadi kesal.
"Mungkin dia sudah tidak sabar lagi, Den,"
Ka-ta Nyai masih membela Nini Angki.
"Hhh!"
Rangga mendengus berat.
Kemudian Pendekar Rajawali Sakti bergegas melangkah menghampiri kudanya.
Pandan Wangi, Ki Sampar, dan istrinya bergegas mengikuti.
Semen-tara, Rangga sudah melompat naik ke punggung kudanya.
Gerakannya begitu cepat dan ringan.
Se-dangkan Pandan Wangi baru saja sampai di sam-ping kudanya.
Gadis itu memegang tali kekang ku-da putih ini.
Sementara, Ki Sampar dan istrinya hanya berdiri saja di depan Rangga yang berada di punggung kuda hitam Dewa Bayu.
"Mau ke mana, Den?"
Tanya Nyai Suti.
"Cari Nini Angki,"
Sahut Rangga singkat.
"Ke mana?"
Tanya Nyai Suti lagi.
"Mungkin ke Desa Tampuk,"
Sahut Rangga la-gi. Rangga melirik sedikit pada Pandan Wangi yang sudah duduk di punggung kudanya yang ber-bulu putih dan tegak. Sedangkan Ki Sampar dan is-trinya hanya memandangi saja kedua pendekar muda itu bergantian.
"Pandan, kau pakai kudaku. Biar Ki Sampar dan Nyai Suti pakai kudamu,"
Kata Rangga langsung melompat turun dari punggung kuda. Pandan Wangi juga segera melompat turun dari punggung kuda putihnya.
"Kau bisa naik kuda, Ki?"
Tanya Rangga.
"Dulu waktu masih muda, aku sering naik ku-da,"
Sahut Ki Sampar.
"Pakailah kuda Pandan Wangi. Pelan-pelan sa-ja."
Kata Rangga.
"Kau sendiri.?"
Rangga hanya tersenyum saja.
Sebentar Pen-dekar Rajawali sakti berbicara pada Pandan Wangi, kemudian menepuk pundak gadis yang berjuluk si Kipas Maut.
Setelah mengatakan beberapa pesan pada Ki Sampar dan Nyai Suti, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melesat cepat bagai kilat.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan.
Sementara Pandan Wangi membantu Ki Sam-par dan istrinya naik ke kuda putih miliknya.
Se-dangkan dia sendiri kemudian melompat naik ke punggung Dewa Bayu.
"Hrs...! Cek, cek...!"
Pandan Wangi sengaja menjalankan kuda pe-lan-pelan, mendampingi kuda yang ditunggangi Ki Sampar dan istrinya.
Mereka jelas menuju Desa Tampuk, karena begitu yakin kalau Nini Angki pergi kesana untuk membebaskan ayahnya.
Juga, untuk membalas dendam pada Ki Gagak Bulang.
Dan ini yang dikhawatirkan.
*** Malam masih menyelimuti permukaan bumi Desa Tampuk.
Kesunyian masih terasa begitu men-cekam.
Tidak ada seorang pun terlihat berkeliaran di luar.
Tapi di sekitar rumah besar yang hanya sa-tu-satunya di desa itu, tampak dijaga ketat puluhan pemuda yang semuanya bersenjata golok terselip di pinggang.
Saat itu, Rangga yang datang ke desa ini mempergunakan ilmu lari cepat yang dipadu ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan, sudah sampai di depan rumah be-sar yang kini ditempati Ki Gagak Bulang.
Hanya se-bentar saja Rangga mengamati keadaan sekitarnya, kemudian dengan gerakan ringan sekali melesat langsung ke atas rumah.
Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat mendaratkan kakinya di alas atap rumah ini.
Seperti seekor kucing, Rangga berlari-lari ringan menuju langsung ke ba-gian belakang.
Dia tahu, penjara bawah tanah yang mengurung ayah Nini Angki adanya di bagian bela-kang.
Dan hal itu diketahuinya dari Ki Sampar.
"Hm...,"
Rangga menggumam perlahan saat melihat sekitar enam orang menjaga bangunan kecil dari batu.
Pendekar Rajawali Sakti tahu, bangunan kecil dari batu itu merupakan pintu masuk ke dalam penjara.
Beberapa saat diamatinya keadaan sekeli-lingnya.
Begitu ketat penjagaannya.
Kalau dia melakukan gerakan, pasti cepat bisa diketahui.
Rangga terpaksa harus memutar otaknya, mencari jalan terbaik untuk membebaskan ayah Nini Angki dari dalam penjara bawah tanah.
Tapi Rangga juga jadi heran, karena sejak tadi tidak melihat Nini Angki di sini.
Rangga jadi ber-tanya-tanya sendiri.
Entah kenapa, terselip rasa ke-cemasan yang tiba-tiba terhadap diri gadis itu.
Dia khawatir, terjadi sesuatu pada Nini Angki.
Karena dia tahu, gadis itu tidak akan mungkin bisa menandingi kepandaian Ki Gagak Bulang.
Walaupun kepandaian yang dimiliki Nini Angki sudah cukup tinggi, tapi masih kalah beberapa tingkat bila dibanding Ki Gagak Bulang.
"Turunlah kau. Tidak baik menyelinap begitu di tengah malam...."
"Heh...?!"
Rangga terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja terdengar suara menggema di telinganya.
Dan belum lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat bagai kilat.
Dan tahu-tahu, di atas atap ini sudah berdiri seorang laki-laki setengah baya.
Dialah Ki Gagak Bulang, adik kandung Ki Rampak.
Saat itu, Rangga cepat berdiri.
"Sudah kuduga, kau pasti datang ke desa ini bukan hanya sekadar singgah, Anak Muda,"
Ujar Ki Gagak Bulang dingin.
"Mau apa kau menyelinap di rumahku?"
"Aku mencari seseorang,"
Sahut Rangga kalem.
"Tidak ada yang bisa kau temukan di sini, Anak Muda."
"Tapi, aku yakin dia ada sini,"
Tegas Rangga.
"Phuih!"
Ki Gagak Bulang menyemburkan ludahnya.
Sementara Rangga mengedarkan pandangan-nya ke bawah.
Pendekar Rajawali Sakti agak ter-kejut juga, begitu melihat sekeliling rumah ini sudah terkepung puluhan orang bersenjata golok.
Dan rata-rata mereka masih berusia muda.
Langsung disadari kalau kedatangannya memang sudah di-tunggu.
Dan dia juga yakin, Nini Angki pasti ada di sini.
Diduga, gadis itu pasti sudah tertangkap.
Rangga hanya bisa berharap tidak terjadi sesuatu pada Nini Angki.
"Anak muda! Kalau kau mencari Nini Angki, dia sudah mampus. Dan sebaiknya, jangan ikut campur dalam persoalan ini."
Dingin sekali nada suara Ki Gagak Bulang.
"Boleh aku melihat jasadnya...?"
Pinta Rangga tidak percaya.
"Kalau kau ingin lihat, pergi saja ke hutan sa-na. Dia sudah habis dimakan binatang liar!"
Dengus Ki Gagak Bulang.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja.
Begitu ti-pis senyumnya.
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak percaya kalau Nini Angki sudah tewas.
Dia tahu, kepandaian yang dimiliki gadis itu cukup tinggi, dan tidak mungkin bisa dikalahkan begitu saja.
"Sebelum pikiranku berubah, sebaiknya cepat tinggalkan desa ini, Anak Muda. Aku tidak sudi lagi melihat mukamu di sini!"
Bentak Ki Gagak Bulang.
"Aku akan pergi bersama Nini Angki,"
Sahut Rangga kalem. Namun terdengar tegas nada suaranya.
"Di mana dia...?"
"Keparat...! Kau mencari penyakit, Bocah!"
Geram Ki Gagak Bulang mulai gusar.
"Di mana Nini Angki, Kisanak?"
Desak Rangga.
"Dia sudah mampus!"
"Aku ingin jasadnya,"
Rangga terus men-desak.
"Setan....! Kau ingin mampus juga, heh...?"
Lagi-lagi Rangga hanya tersenyum saja. Begitu tipis senyumannya. Dan ini membuat Ki Gagak Bu-lang tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Sikap Rangga yang begitu tenang, dianggap mere-mehkan dirinya.
"Pisah kepalamu, Bocah! Hiyaaa,..!"
Tiba-tiba saja Ki Gagak Bulang berseru nyaring. Lalu, bagaikan kilat dia melompat cepat sam-bil mencabut goloknya yang berwarna hitam pekat. Begitu cepat serangan yang dilakukannya, mem-buat Rangga jadi terhenyak sesaat "Haiiit..!"
Namun dengan gerakan manis sekali Pende-kar Rajawali sakti berhasil mengelakkan tebasan golok hitam itu di lehernya. Dan cepat-cepat tubuhnya dimiringkan ke kiri, lalu secepat kilat pula tangan kanannya bergerak menyodok ke arah lam-bung.
"Utfs...!"
Ki Gagak Bulang jadi tersentak kaget. Cepat-cepat laki-laki setengah baya itu melompat mundur beberapa langkah, menghindari sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu menjejak atap rumah ini, secepat kilat Ki Gagak Bulang melesat menerjang Pendekar Ra-jawali Sakti.
Goloknya yang berwarna hitam pekat langsung dikibaskan beberapa kali dan cepat sekali.
Akibatnya, Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.
Dan begitu satu tendangan keras mengge-ledek di lepaskan laki-laki setengah baya itu, Rang-ga tidak dapat lagi berkelit menghindar.
Cepat tangannya dihentakkan, menangkis tendangan sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang su-dah mencapai tingkat kesempurnaan.
Hingga tak pelak lagi, tangan dan kaki yang mengandung ke-kuatan tenaga dalam itu beradu keras.
Plak.
"Ikh! Hiyaaa...."
"Hup!"
Mereka sama-sama terpental ke belakang se-jauh beberapa langkah.
Rangga yang berada di tepi tidak dapat lagi menguasai keseimbangan.
Tubuh-nya langsung meluncur turun dengan deras sekali.
Tapi sebelum mencapai tanah, Pendekar Rajawali Sakti sudah bisa menguasai keseimbangan tubuh-nya.
Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah....'"
Saat itu juga, dua orang pemuda bersenjata golok sudah berlompatan cepat sambil memba-batkan goloknya ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Hap! Yeaaah....'" *** Rangga langsung mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Begitu cepat sekali gera-kan kedua tangannya mengibas, sehingga dua orang pemuda yang menyerangnya tidak dapat lagi menghindari. Dan mereka jadi terpekik begitu kiba-san tangan Rangga menghantam kepalanya, hingga pecah berantakan. Kedua pemuda itu langsung am-bruk menggelepar tak bernyawa lagi. Darah ber-hamburan dari kepala yang pecah terkena kibasan tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya, begitu melihat Ki Gagak Bulang sudah meluruk de-ras dari atas atap. Golok yang berwarna hitam itu langsung dibabatkan ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
"Utfs!"
Hanya sedikit saja golok hitam itu lewat di atas kepala Rangga.
Lalu, cepat-cepat Pendekar Ra-jawali Sakti menarik kakinya ke belakang beberapa langkah.
Dan pada saat itu, dari arah belakang su-dah melompat dua orang sambil membabatkan go-loknya cepat sekali.
"Haittt..!"
Rangga cepat-cepat merunduk ke depan, dan secepat kilat menghentakkan kakinya ke belakang.
Langsung ditendangnya dada salah seorang pembo-kongnya.
Kemudian tubuhnya langsung diputar sambil melepaskan satu pukulan keras menggele-dek ke arah seorang lagi.
Jeritan-jeritan panjang terdengar saling sambut, disusul ambruknya dua orang pemuda yang membokong Pendekar Rajawali Sakti.
Mereka langsung tewas seketika begitu tu-buhnya menghantam tanah.
"Keparat..! Hiyaaat..!"
Sambil mendesis geram, Ki Gagak Bulang kembali melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu juga, beberapa orang pemuda ikut berlompatan mengeroyok pemuda berbaju rompi putih ini "Hap! Hiyaaat..!"
Begitu cepat sekali gerakan-gerakan yang di-lakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga seran-gan-serangan yang datang dari segala penjuru itu tidak ada yang berhasil menyentuh tubuhnya.
Bah-kan pukulan-pukulan yang dilepaskan membuat para penyerangnya menjerit keras, dan berpentalan dengan nyawa melayang dari tubuh.
"Phuih...!"
Rangga benar-benar geram setengah mati, menghadapi keroyokan yang begitu banyak. Bahkan ruang geraknya semakin menyempit saja. Dan dia juga sudah mulai sulit menghindari serangan-serangan yang datang cepat dan beruntun dari se-gala arah itu.
"Hup! Hiyaaa...!"
Dan begitu memiliki kesempatan, cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke udara.
Tapi beberapa orang pengeroyoknya sudah berlompatan cepat mengejar.
Tak ada lagi pilihan buat Rangga.
Cepat-cepat pedang pusakanya yang tersimpan dalam warangka di punggung dicabut.
Cring! Seketika itu juga, cahaya biru yang berkilau menyilaukan mata menyemburat terang dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.
Beberapa orang yang men-coba mengejar Rangga di udara, langsung menutupi matanya dengan tangan.
Mereka tidak sanggup me-nentang cahaya biru yang memancar dari pedang itu.
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat membabatkan pedangnya beberapa kali. Se-ketika itu juga jeritan-jeritan melengking dan menyayat terdengar saling sambut Tampak tubuh-tubuh yang terpenggal buntung berjatuhan ke ta-nah.
"Hap!"
Manis sekali Rangga kembali mendarat, dan menjejakkan kakinya di tanah.
Kali ini, tak ada seorang pun yang berani mendekat.
Pendekar Rajawali Sakti melintangkan pedangnya di depan dada.
De-ngan pedang pusaka yang memancarkan cahaya bi-ru berkilauan, membuat Pendekar Rajawali Sakti bagaikan dewa maut yang siap mencabut nyawa.
*** "Seraaang...!"
Seru Ki Gagak Bulang keras menggelegar.
"Hiyaaa.,.!"
"Yeaaah...!"
Kembali Rangga diserang dari segala jurusan.
Namun dengan pedang pusaka berada di tangan, Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi mengalami kesu-litan.
Cahaya biru terang yang memancar dari pe-dang pusaka Rajawali Sakti berkelebatan begitu ce-pat, hingga bentuknya lenyap tak terlihat.
Dan hanya kilatan-kilatan cahaya biru saja yang ter-lihat berkelebatan menyambar orang-orang yang menyerangnya.
Jeritan-jeritan menyayat terdengar saling su-sul.
Setiap kali pedang itu bergerak berkelebat, satu dua orang langsung ambruk menggelepar tak bernyawa lagi.
Dan pada saat itu, terdengar suara ringkikan kuda yang begitu keras.
"Hiyaaat..!"
"Pandan Wangi...,"
Desis Rangga begitu meli-hat seorang gadis berbaju biru melompat cepat dari punggung kuda hitam.
Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu lang-sung mengamuk dengan kipas bajanya di tangan kanan.
Hanya beberapa gebrakan saja, Pandan Wangi sudah menewaskan beberapa orang.
Jeritan-jeritan yang melengking dan menyayat semakin se-ring terdengar dengan datangnya Pandan Wangi.
Dan gempuran anak buah Ki Gagak Bulang jadi ti-dak terarah lagi.
Saat itu juga, terdengar teriakan-teriakan ke-ras dari bagian depan rumah besar ini.
Dan tak be-rapa lama kemudian, terlihat orang-orang berlarian sambil mengacungkan senjata dari berbagai macam bentuk.
Rangga jadi terhenyak kaget, tidak me-nyangka kalau para penduduk Desa Tampuk begitu cepat berdatangan.
Bahkan mereka langsung terjun ke dalam kancah pertarungan ini.
Keadaan pun se-makin tidak karuan saja.
Jeritan-jeritan melengking dan menyayat mengantar kematian semakin sering terdengar, bercampur baur suara denting senjata beradu.
"Hup!"
Rangga cepat melompat begitu melihat ki Ga-gak Bulang melesat hendak meninggalkan kancah pertarungan.
Begitu sempurnanya ilmu meringan-kan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga hanya sekali lesatan saja sudah berhasil menyusul Ki Gagak Bulang.
Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti mendarat menghadang di depan laki-laki setengah baya ini "Kau tidak bisa pergi dariku, Ki Gagak Bu-lang,"
Desis Rangga dingin.
"Keparat..! Phuth!"
Dengus Ki Gagak Bulang sambil menyemburkan ludahnya dengan geram.
Cepat laka-laki setengah baya itu melin-tangkan goloknya yang berwarna hitam ke depan dada.
Sementara, Rangga menjulurkan pedangnya lurus ke depan.
Cahaya biru yang memancar dari pedang itu membuat pandangan Ki Gagak Bulang jadi terganggu.
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Ki Gagak Bulang melompat sambil, membabatkan goloknya, disertai pe-ngerahan tenaga dalam tinggi.
Namun, Rangga tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga.
Dan begitu golok hitam itu sudah dekat cepat sekali pedangnya dikebutkan untuk menyampok golok hitam itu.
"Yeaaah...!"
Tring! Trak! "Heh...?!"
Ki Gagak Bulang jadi tersentak kaget se-tengah mati. Dia tidak dapat lagi menarik pulang senjatanya, hingga beradu keras dengan pedang pusaka Rajawali Sakti. Dan lebih terkejut lagi, begitu melihat goloknya ternyata terpotong menjadi dua bagian.
"Yeaaah...!"
Belum Juga hilang rasa terkejutnya, Pen-dekar Rajawali Sakti sudah melompat cepat sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek. Begitu cepat serangannya, sehingga Ki Gagak Bu-lang tidak dapat lagi menghindar. Dan.... Begkh! "Akh...!"
Begitu kerasnya tendangan yang dilepaskan Rangga, membuat tubuh Ki Gagak Bulang ter-banting keras ke tanah.
Beberapa kali tubuhnya bergulingan.
Darah langsung menyembur keluar dari mulutnya, begitu mencoba bangkit berdiri.
Se-mentara, Rangga sudah kembali bergerak mendeka-ti.
Tiba-tiba saja ki Gagak Bulang mengibaskan cepat tangan kanannya.
Seketika itu juga, terlihat beberapa benda berwarna keperakan melesat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
Namun begitu cepat pula Rangga memutar pedangnya.
Hingga, senjata-senjata rahasia itu rontok sebelum mencapai tu-buhnya.
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat begitu melihat Ki Gagak Bulang mencoba melarikan diri.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke leher laki-laki setengah baya ini.
Hing-ga..,.
Cras! "Aaa...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat.
Tampak Ki Gagak Bu-lang berdiri tegak mematung, tapi tak berapa lama kemudian tubuhnya jadi limbung.
Dan tepat pada saat Rangga memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka, terlihat Ki Gagak Bulang ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher.
Darah langsung menyemburat keluar deras sekali dari leher yang sudah tidak berkepala lagi.
"Hhh!"
Rangga menghempaskan napas pan-jang.
Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya perlahan, begitu mendengar suara langkah kaki menghampiri.
Tampak Pandan Wangi melangkah cepat menghampiri.
Sementara, pertarungan antara orang-orang Ki Gagak Bulang melawan penduduk desa Tampuk pun sudah berakhir.
Di bawah pimpi-nan Ki Sampar, mereka beramai-ramai mencoba menghancurkan pintu penjara bawah tanah untuk membebaskan Nini Angki dan ayahnya, yang diku-rung di sana.
"Mereka tahu, Nini Angki berada di sana ber-sama ayahnya, Kakang,"
Kata Pandan Wangi mem-beri tahu, sebelum Rangga bertanya.
Tampak Ki Sampar dan beberapa orang me-nerobos masuk begitu pintu berhasil dibongkar paksa.
Tak berapa lama kemudian, mereka keluar lagi bersama Nini Angki dan seorang laki-laki tua bertubuh kurus yang keadaannya begitu lemah.
"Ayo kita pergi,"
Ajak Rangga.
"Tidak tunggu mereka dulu, Kakang?"
Tanya Pandan Wangi.
Rangga hanya menggelengkan kepala saja, kemudian melangkah menghampiri kudanya.
Pan-dan Wangi mengikuti dari belakang.
Tak berapa la-ma kemudian, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah melesat pergi, sebelum ada seorang pun yang tahu.
SELESAI Scan/E-Book.
Abu Keisel Juru Edit.
Dedig
Pertarungan Dikota Chang An Karya Wen Rui Ai Pendekar Rajawali Sakti Darah Dan Asmara Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung