Ceritasilat Novel Online

Selendang Sutera Emas 1


Pendekar Rajawali Sakti Selendang Sutera Emas Bagian 1


SELENDANG SUTERA EMAS Oleh Teguh Suprianto Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Penyunting.

   Puji S.

   Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Teguh Suprianto Serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode.

   Selendang Sutera Emas "Yeaaah...!"

   Glarrr! Teriakan-teriakan keras terdengar saling sambut, disusul ledakan dahsyat menggelegar yang memecah kesunyian pagi ini. Tampak gumpalan asap membum-bung tinggi ke angkasa dari balik sebuah bukit batu yang gersang. Tak lama kemudian....

   "Aaa...!"

   Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begi-tu menyayat, menggema karena dipantulkan batu-batuan yang memenuhi bukit itu.

   Tampak sesosok tu-buh tak berdaya melayang deras ke dalam jurang.

   Ke-ras sekali tubuhnya menghantam bebatuan, hingga kepalanya hancur.

   Darah seketika berhamburan, membasahi batu-batu di dasar jurang kering itu.

   Sementara seorang laki-laki bertubuh kekar hanya memandangi sambil bertolak pinggang dari atas sebongkah batu yang cukup besar.

   "Ha ha ha...."

   Laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berkulit hi-tam bagai arang itu tertawa terbahak-bahak sambil memandangi orang yang sudah tewas di dasar Jurang.

   Tawanya berhenti ketika telinganya mendengar lang-kah menghampiri dari belakang.

   Perlahan tubuhnya berputar berbalik, dan langsung membungkuk.

   Kemu-dian dia melompat turun dari atas batu, begitu seorang wanita muda berwajah cantik datang menghampiri.

   Bajunya yang ketat berwarna merah, membentuk tu-buhnya yang ramping dan indah dipandang mata.

   Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal enam langkah lagi.

   Tampak empat orang gadis cantik berba-ju kuning mendampingi di belakangnya.

   "Mana Selendang Sutera Emas itu, Gajah Ireng?"

   Tanya wanita cantik berbaju warna merah ketat itu.

   Suaranya terdengar datar dan dingin sekali.

   Se-dikit pun tak terdengar ada tekanan pada nada sua-ranya.

   Malah tatapan matanya begitu tajam, seakan-akan hendak menembus langsung ke bola mata laki-laki berkulit hitam yang dipanggil Gajah Ireng.

   Bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu pun tidak mengukir senyum sedikit pun.

   "Maaf, Nyai. Selendang itu mungkin jatuh bersa-manya ke jurang,"

   Sahut Gajah Ireng.

   "Bodoh! Cepat ambil...!"

   Bentak wanita cantik berbaju merah itu lantang.

   "Baik, Nyai."

   Bergegas Gajah Ireng membungkukkan tubuh-nya, dan segera berputar.

   Kemudian, kakinya melang-kah menuruni tebing jurang yang cukup terjal dan berbatu ini.

   Begitu ringan gerakannya, pertanda ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.

   Sebentar saja Gajah Ireng sudah sampai di dasar jurang.

   Langsung dihampirinya sosok tubuh yang su-dah tidak bernyawa lagi dengan kepala hancur.

   Ter-nyata, sosok tubuh itu adalah seorang wanita tua.

   Begitu Gajah Ireng membalikkan tubuh wanita tua itu, kedua bola matanya jadi mendelik tiba-tiba.

   "Keparat,!"

   Sambil menggeram, Gajah Ireng mengambil se-buah, kotak kayu yang tutupnya sudah terbuka.

   Tadi, kotak itu tertindih tubuh perempuan tua itu.

   Dan kini, tampaknya kotak itu tidak ada isinya sama sekali.

   Bergegas Gajah Ireng kembali naik ke atas jurang, langsung menghampiri wanita cantik berbaju merah yang masih menunggu didampingi empat orang gadis cantik dengan sebilah pedang di punggung.

   "Mana...?"

   Wanita itu langsung saja bertanya sambil menyodorkan tangannya.

   "Maaf, Nyai. Kotak itu sudah tidak ada lagi isinya,"

   Sahut Gajah Ireng sambil membungkukkan tubuh sedikit.

   Dengan tangan agak bergetar, Gajah Ireng me-nyerahkan kotak kayu yang diambilnya dari dasar ju-rang.

   Wanita cantik berbaju merah itu segera men-gambilnya dengan kasar.

   Dan begitu tutup kotak kayu itu dibuka, wajahnya seketika berubah merah.

   Kedua matanya terbeliak lebar, menatap ke dalam kotak kecil yang kosong sama sekali.

   "Setan...!"

   Sambil mendengus geram, wanita itu membant-ing kotak kayu berukuran kecil itu ke atas bebatuan hingga hancur berkeping-keping.

   Tatapannya langsung tertuju pada Gajah Ireng yang masih berdiri dengan kepala tertunduk dan tubuh sedikit membungkuk "Maafkan aku, Nyai Selasih.

   Aku...."

   "Sudah!"

   Sentak wanita cantik berbaju merah yang ternyata bernama Nyai Selasih.

   Nyai Selasih mengayunkan kakinya sambil men-dengus mendekati bibir jurang yang berbatu.

   Sedikit kepalanya dijulurkan, melongok ke dasar jurang.

   Ke-mudian tubuhnya berputar berbalik, dan kembali me-langkah melewati Gajah Ireng.

   Wajahnya masih keliha-tan merah, seperti menahan marah.

   Sedangkan kepala Gajah Ireng sama sekali tidak terangkat, dan tetap tertunduk.

   *** "Dengar, Gajah Ireng! Aku tidak sudi lagi men-dengar alasan apa pun juga.

   Cari Selendang Sutera Emas sampai dapat.

   Dan, jangan kembali sebelum da-pat.

   Mengerti...?!"

   Tegas Nyai Selasih dengan suara lantang menggetarkan jantung.

   "Mengerti, Nyai,"

   Sahut Gajah Ireng seraya sedikit membungkukkan tubuhnya.

   "Ingat! Kalau dalam waktu satu pekan selendang itu belum juga didapat, tahu sendiri akibatnya!"

   Sambung Nyai Selasih bernada mengancam.

   Gajah Ireng hanya diam saja sambil menunduk-kan kepala.

   Sementara, Nyai Selasih sudah memutar tubuhnya berbalik, lalu melangkah lebar-lebar me-ninggalkan puncak bukit batu itu diiringi empat orang gadis pengawalnya.

   Gajah Ireng baru menegakkan tubuhnya kembali setelah Nyai Selasih dan empat orang gadis pengawalnya tidak terlihat lagi.

   "Hhh...! Apa yang harus kulakukan sekarang? Ke mana lagi Selendang Sutera Emas harus kucari...?"

   Desah Gajah Ireng.

   Suaranya terdengar lesu.

   Sambil menghembuskan napas panjang, laki-laki berkulit hi-tam itu menghempaskan tubuhnya, duduk di atas ba-tu di tepi jurang.

   Pandangannya langsung saja tertuju pada perempuan tua yang masih tergeletak tak bernyawa lagi di dasar jurang.

   "Hanya tiga orang murid Nyai Langis. Hm..., apa mungkin Selendang Sutera Emas sudah diserahkan-nya pada salah seorang muridnya...? Tapi, dia juga punya tiga saudara. Hhh...! Rasanya tidak mungkin dalam waktu satu pekan harus mencari mereka se-mua. Sedangkan tempat tinggal mereka sangat berjau-han,"

   Gumam Gajah Ireng berbicara pada diri sendiri.

   Beberapa kali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat.

   Cukup lama juga Gajah Ireng duduk mematung di pinggiran jurang berbatu itu.

   Dan saat matahari sudah naik cukup tinggi, baru laki-laki berkulit hitam itu bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang dan terasa berat.

   Pandangannya masih terus tertuju ke dasar jurang, tempat tergoleknya mayat perempuan tua yang kepa-lanya hancur berlumur darah.

   "Baiklah. Aku akan menemui mereka satu persa-tu. Dan kuharap, tidak ada seorang pun yang memak-saku untuk mengotori tangan dengan darah lagi. Ta-pi..., ah! Masa bodoh! Apa pun akan kulakukan asal-kan Selendang Sutera Emas bisa kuperoleh...,"

   Desah Gajah Ireng mengambil keputusan.

   Sebentar laki-laki berkulit hitam itu mendongak menatap matahari.

   Kemudian, tubuhnya berputar dan berjalan.

   Ayunan kakinya tampak cepat dan panjang-panjang, meninggalkan bibir jurang di atas bukit batu ini.

   Dihampirinya seekor kuda yang sejak tadi terlihat seperti menunggu.

   "Hup!"

   Dengan gerakan ringan sekali, Gajah Ireng me-lompat naik ke atas punggung kuda berwarna coklat belang putih. Dan sekali sentak saja, kuda itu lang-sung berlari cepat menuruni lereng bukit batu ini.

   "Hiya! Hiya! Hiya...!"

   Gajah Ireng memacu cepat kudanya.

   Padahal ja-lan yang dilalui adalah lereng bukit batu yang cukup terjal.

   Berkat kemahirannya dalam mengendarai kuda, jalan seperti itu seperti tidak ada apa-apanya bagi Gajah Ireng.

   Laki-laki berkulit hitam itu baru berbelok ke arah Timur, setelah mencapai kaki bukit yang sudah mulai ditumbuhi pepohonan.

   Kuda coklat belang putih itu terus dipacu cepat bagaikan dikejar setan.

   Sementara, matahari terus merayap naik semakin tinggi, mengiku-ti kepergian laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berotot tanpa mengenakan baju.

   *** Menjelang senja, Gajah Ireng baru menghentikan lari kudanya.

   Dengan gerakan ringan sekali, dia me-lompat turun.

   Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga sedikit pun tidak menim-bulkan suara saat kakinya menjejak tanah berumput di samping kanan kudanya.

   "Hm...,"

   Sedikit Gajah Ireng menggumam.

   Pandangan mata laki-laki berkulit hitam itu sedi-kit pun tak berkedip ke arah sebuah bangunan di ten-gah-tengah hutan yang dikelilingi pagar tinggi dari kayu gelondongan.

   Pada bagian atasnya berbentuk runcing, seakan-akan mencegah orang luar masuk ke dalam lingkungan bangunan yang menyerupai sebuah benteng pertahanan itu.

   Sebentar Gajah Ireng mengedarkan pandangan-nya berkeliling, kemudian mengayunkan kakinya me-langkah menghampiri bangunan bagai benteng perta-hanan itu.

   Ayunan kakinya begitu mantap.

   Dan kedua matanya sedikit pun tidak berkedip memandang ke arah pintu gerbang yang dijaga dua orang bersenjata tombak dan golok terselip di pinggang.

   "Berhenti...!"

   Gajah Ireng sama sekali tidak menghentikan ayunan langkahnya, walaupun salah seorang penjaga yang masih berusia sekitar delapan belas tahun sudah memerintahkan berhenti.

   Kedua penjaga yang masih berusia muda itu saling berpandangan sejenak, kemu-dian melangkah ke depan bersamaan.

   Dan mereka berhenti setelah berjarak tinggal beberapa langkah la-gi.

   Langsung tombak mereka disilangkan, dengan si-kap menghadang langkah Gajah Ireng.

   "Berhenti!"

   Bentak salah seorang penjaga lagi. Gajah Ireng baru menghentikan langkah, setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi. Sorot matanya begitu tajam menatap wajah kedua penjaga itu bergantian. Sedikit mulutnya menggumam, dan tiba-tiba saja....

   "Yeaaah...!"

   Bet! Wuk! "Aaakh!"

   "Aaa...!"

   Dua kali jeritan panjang menyayat seketika ter-dengar begitu Gajah Ireng mengebutkan tangan sambil mencabut goloknya dengan kecepatan sukar diikuti pandangan mata biasa.

   Kedua penjaga itu langsung ambruk dengan dada terbelah tersabet golok.

   Darah kontan berhamburan keluar dengan deras sekali.

   Hanya sebentar saja kedua penjaga itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.

   Mati! "Maaf! Aku akan membabat habis siapa saja yang mencoba menghalangi niatku,"

   Desis Gajah Ireng sambil mengayunkan kakinya, mendekati pintu gerbang.

   Tapi belum juga sampai, pintu yang terbuat dari gelondongan kayu berukuran cukup besar dan tinggi itu sudah terbuka.

   Dan dari dalamnya, bermunculan sekitar sepuluh orang pemuda yang semuanya meme-gang tombak, dan golok terselip di pinggang masing-masing.

   Mereka tampak sangat terkejut melihat dua orang temannya sudah tergeletak tak bernyawa dengan dada terbelah lebar mengeluarkan darah.

   "Ada apa ini?! Siapa kau...?!"

   Bentak salah seorang yang berada paling depan.

   "Aku Gajah Ireng, ingin bertemu Ki Wirasaba,"

   Sahut Gajah Ireng lantang.

   "Dan kuharap, kalian tidak membuat kesulitan sendiri."

   "Keparat...! Kau yang membunuh dua orang te-man kami, heh...?!"

   Bentak pemuda itu lagi.

   Wajah pemuda itu kelihatan memerah menahan marah.

   Sedangkan Gajah Ireng hanya menatap tajam.

   Sementara, sembilan orang lainnya sudah menerobos keluar.

   Mereka langsung berpencar, mengurung laki-laki separuh baya bertubuh kekar berotot tanpa men-genakan baju itu.

   Hanya dengan sudut ekor matanya, Gajah Ireng memperhatikan sepuluh orang pemuda yang sudah mengepung rapat.

   "Huh...!"

   Sedikit Gajah Ireng mendengus, lalu mendadak saja....

   "Hiyaaa...!"

   Bagaikan kilat, Gajah Ireng tiba-tiba melompat ke depan sambil mengebutkan goloknya yang sudah ber-lumuran darah.

   Luar biasa! Kecepatannya sangat sulit diikuti pandangan mata biasa.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga dua orang yang berada di depannya ti-dak sempat lagi mengambil tindakan menghindar.

   Dan....

   Bret! Crak! "Aaa...!"

   "Aaakh...! Dua kali jeritan panjang melengking kembali ter-dengar, disusul ambruknya dua orang pemuda. Mereka memang tidak sempat lagi menghindari serangan Gajah Ireng yang begitu cepat bagai kilat. Dan hal ini membuat delapan orang pemuda lainnya jadi terperangah. Dan sebelum mereka bisa berbuat sesuatu, Gajah Ireng sudah kembali bergerak cepat sambil mengebutkan goloknya beberapa kali.

   "Hiyaaa...!"

   Bet! Wuk! Begitu golok berkelebat, kembali terdengar jeri-tan-jeritan panjang melengking menyebarkan hawa kematian.

   Dan seketika tubuh-tubuh bersimbah darah bertumbangan, menggelepar meregang nyawa.

   Hanya dalam beberapa gebrakan saja, sepuluh orang pemuda sudah tidak ada lagi yang bisa bangkit berdiri.

   "Hm...,"

   Gajah Ireng menggumam perlahan.

   Sebentar laki-laki berkulit hitam itu memandangi tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak bernyawa lagi di sekitarnya.

   Kemudian, kakinya terayun mantap mendekati pintu gerbang yang sudah terbuka cukup lebar.

   Sebentar dia berhenti melangkah, setelah sam-pai di ambang pintu.

   Sorot matanya yang tajam, beredar merayapi ba-gian dalam bangunan bagai benteng pertahanan ini.

   Kemudian, perlahan-lahan kakinya kembali terayun memasuki pagar berbentuk benteng itu.

   Tap! baru saja melewati pintu beberapa langkah, tiba-tiba saja puluhan batang tombak sudah berham-buran ke arahnya.

   "Hup! Hiyaaa...!"

   Gajah Ireng tidak ingin lagi membuang-buang waktu. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tubuhnya melent-ing ke udara sambil cepat memutar goloknya.

   "Yeaaah...!"

   Tring! Trak! Tombak-tombak yang berhamburan di sekitar tubuh Gajah Ireng seketika berpatahan terkena sam-baran goloknya. Begitu cepat dan ringan gerakannya sehingga tak satu tombak pun yang bisa menyentuh tubuhnya.

   "Hap!"

   Gajah Ireng baru bisa menjejakkan kakinya kem-bali setelah tidak ada lagi tombak yang datang meng-hampiri.

   Namun dia jadi mendengus, karena di sekeli-lingnya sudah mengepung sekitar tiga puluh orang pemuda dengan golok terhunus di tangan.

   Begitu rapat kepungan ini, sehingga tidak ada sedikit pun celah untuk bisa meloloskan diri.

   "Menghadapi keroyokan seperti ini, tidak mung-kin aku menggunakan jurus-Jurus biasa,"

   Gumam Gajah Ireng dalam hati.

   Cring! Manis sekali Gajah Ireng memasukkan kembali goloknya yang sudah berlumuran darah ke dalam wa-rangka di pinggang.

   Kemudian kakinya ditarik perla-han-lahan hingga terpentang ke samping.

   Perlahan pu-la tubuhnya direndahkan sampai kedua lututnya ter-tekuk ke depan.

   Lalu....

   "Hap!"

   Bersamaan merapatnya kedua telapak tangan di depan dada, Gajah Ireng melompat kecil sambil mera-patkan kedua kakinya kembali.

   Dan semua orang yang mengepungnya jadi terbeliak.

   Ternyata kedua telapak kaki Gajah Ireng tidak lagi menyentuh tanah! Dia mengambang, seperti kapas dipermainkan angin.

   Dan belum juga ada yang menyadari, Gajah Ireng sudah merentangkan kedua tangannya ke samping.

   Dan....

   "Yeaaah...!"

   Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja tubuh Gajah Ireng berputar cepat Bahkan bentuk tu-buhnya tidak terlihat lagi.

   Dan pada saat itu, dari ling-karan bayangan tubuh laki-laki separuh baya ini men-geluarkan percikan-percikan api yang menyebar ke se-gala arah.

   "Awas...!"

   Begitu cepatnya percikan-percikan api itu melun-cur, sehingga tidak sedikit pemuda yang mengepung Gajah Ireng menjadi sasaran.

   Seketika Itu, jeritan-jeritan panjang melengking dan menyayat kembali ter-dengar saling sambut.

   Sebentar kemudian, tampak tu-buh-tubuh yang sudah hangus terbakar mulai ambruk satu persatu.

   Percikan-percikan api itu juga membakar bebera-pa bangunan kecil yang ada di dalam lingkungan pagar berbentuk benteng pertahanan ini.

   Sebentar saja, api sudah berkobar cukup besar, melahap beberapa bangunan yang tidak jauh dari Gajah Ireng.

   Sedangkan pemuda-pemuda yang memiliki kepandaian lebih, ha-rus berjumpalitan.

   Mereka memang harus menghindari percikan-percikan bunga api yang terus keluar dari lingkaran bayangan tubuh Gajah Ireng yang terus ber-putar cepat.

   "Cukup...!" *** Gajah Ireng langsung berhenti, begitu terdengar bentakan keras menggelegar. Akibatnya, tanah di ten-gah hutan ini seakan-akan bagai diguncang gempa. Tampak di ujung undakan tangga rumah yang paling besar berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Jubah putih panjang yang dikenakannya berki-bar-kibar tertiup angin, memperlihatkan sebilah pe-dang berwarna kuning keemasan di pinggangnya. Se-mentara, Gajah Ireng berdiri tegak dengan tangan ka-nan sudah menggenggam gagang goloknya. Walaupun, belum dicabut dari warangkanya. Sementara di seki-tarnya, tidak kurang dari dua puluh orang tergeletak dengan tubuh menghitam hangus bagai arang. Dari ti-ga puluh orang lebih yang mengepungnya, kini tinggal sekitar sepuluh orang saja yang masih hidup.

   "Hm.... Kau yang bernama Ki Wirasaba?"

   Tanya Gajah Ireng langsung sambil mengayunkan kakinya. Dihampirinya orang tua berjubah putih yang berdiri di ujung atas beranda depan bangunan berukuran cukup besar itu.

   "Benar! Dan kau siapa?! Kenapa mengacau di padepokanku?"

   Sahut orang tua berjubah putih yang ternyata Ki Wirasaba.

   "Kedatanganku memang hendak bertemu den-ganmu, Ki Wirasaba. Tapi, murid-muridmu mencoba menghalangiku. Maaf, kalau aku terpaksa harus mem-bungkam mereka,"

   Kata Gajah Ireng, agak datar nada suaranya.

   "Rasanya, aku belum pernah bertemu denganmu, Kisanak. Apa keperluanmu hendak bertemu dengan-ku?"

   Agak menggumam pelan suara Ki Wirasaba.

   "Kedatanganku bukan bermaksud berdebat mu-lut, atau membahas ilmu kedigdayaan denganmu. Tapi kedatanganku untuk mengambil Selendang Sutera Emas. Dan kuharap, kau tidak bertindak yang bisa membuatmu menyesal sampai keliang kubur,"

   Tegas Gajah Ireng dengan suara cukup lantang.

   "Heh...?! Apa katamu...?!"

   Ki Wirasaba tampak terkejut.

   Begitu terkejutnya, sampai-sampai Ki Wirasaba terlompat hingga turun dari undakan beranda.

   Namun begitu, sedikit pun tak ada suara yang ditimbulkan saat kakinya menjejak tanah di ujung bawah undakan.

   Dan kini, jaraknya dengan Gajah Ireng hanya sekitar tujuh langkah lagi.

   "Aku hanya bicara sekali saja, Ki Wirasaba. Aku juga terpaksa membunuh saudara perempuanmu, tapi tidak menemukan Selendang Sutera Emas padanya. Sedangkan yang kutahu, kau adalah adik kandung Nyai Langis. Nah! Sekarang, serahkan Selendang Sute-ra Emas itu padaku. Dan, jangan coba-coba memak-saku bertindak lebih keras lagi. Lihat murid-muridmu ini. Aku tidak ingin kau bernasib sama dengan mereka,"

   Tegas Gajah Ireng, bernada mengancam.

   "Keparat..,! Setan neraka mana yang mengirim-mu, heh...?! Berani benar kau umbar mulut di depan-ku?!"

   Desis Ki Wirasaba menggeram marah.

   Wajah laki-laki tua berjubah putih itu terlihat memerah menahan geram.

   Bahkan kedua tangannya sudah terkepal erat, sampai otot-ototnya bersembulan.

   Namun, tampaknya Ki Wirasaba masih mencoba me-nahan din.

   Dia seperti kurang percaya kalau kakak kandungnya sudah tewas di tangan tamu tak diun-dang ini.

   Tapi melihat lebih dari separuh muridnya tewas dengan mudah, Ki Wirasaba tidak berani semba-rangan.

   Terlebih lagi, memandang enteng pada laki-laki kekar yang memperkenalkan diri sebagai Gajah Ireng ini.

   "Aku tidak punya banyak waktu untuk menung-gu, Ki. Sebaiknya cepat katakan, di mana Selendang Sutera Emas disimpan,"

   Desak Gajah Ireng tidak sabar lagi.

   "Selendang itu tidak ada padaku. Kalau kau menginginkannya, minta saja pada pemiliknya,"

   Sahut Ki Wirasaba, agak mendengus berang.

   "Jangan coba-coba membohongiku, Ki Wirasaba. Nyai Langis sudah mati, dan Selendang Sutera Emas tidak ada padanya. Pasti kau yang menyimpannya, Ki. Serahkan saja padaku, dan jangan memaksaku untuk bertindak lebih kasar lagi,"

   Sambut Gajah Ireng tegas, bernada mengancam.

   "Edan,..! Lancang benar mulutmu, Kisanak,"

   Geram Ki Wirasaba.

   "Kesabaranku sudah habis, Ki,"

   Gajah Ireng memperingatkan.

   "Sudah kukatakan, Selendang Sutera Emas tidak ada padaku! Sebaiknya, cepat angkat kaki dari sini. Jangan sampai aku menjatuhkan tangan pada orang edan sepertimu!"

   Bentak Ki Wirasaba berang.

   "Kau sudah memaksaku, Ki."

   "Phuih! Muak rasanya melayani sesumbarmu!"

   Dengus Ki Wirasaba sambil menyemburkan ludahnya.

   "Yeaaah...!"

   Tiba-tiba saja Gajah Ireng menghentakkan tan-gan kanannya ke samping.

   Maka seketika itu juga, dari telapak tangannya meluncur sebuah bola api yang langsung menghantam sebuah bangunan di samping rumah besar di depannya.

   Glarrr...!! Ledakan keras seketika terdengar menggelegar.

   Bola api yang meluncur keluar dari telapak tangan Gajah Ireng, seketika menghancurkan rumah berukuran tidak seberapa besar itu.

   Api langsung saja berkobar, melahap kepingan bangunan rumah itu.

   "Keparat...!"

   Geram Ki Wirasaba, langsung me-muncak amarahnya.

   "Kalau kau sayang padepokanmu, sebaiknya se-rahkan saja Selendang Sutera Emas padaku,"

   Desis Gajah Ireng dingin.

   "Keparat busuk! Mampuslah kau, hiyaaat..'."

   Ki Wirasaba tidak dapat lagi menahan kemara-hannya. Bagaikan kilat, dia melompat menerjang sam-bil melepaskan satu pukulan dahsyat menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

   "Hait!!"

   Namun hanya mengegoskan tubuh sedikit saja ke samping, Gajah Ireng berhasil menghindari serangan kilat Ki Wirasaba.

   Lalu dia cepat-cepat melompat ke kanan, begitu merasakan hembusan angin pukulan mengandung hawa panas menyengat bagai hendak membakar seluruh tubuhnya.

   "Hih!"

   Gajah Ireng langsung melakukan beberapa gera-kan dengan kedua tangannya.

   Dan pada saat itu, Ki Wirasaba sudah cepat memutar tubuhnya.

   Dan sece-pat kilat pula ditepaskannya satu tendangan sambil memutar tubuhnya, mengarah langsung ke dada Ga-jah Ireng.

   "Hap!"

   Tapi Gajah Ireng kali ini tidak berusaha meng-hindari serangan itu.

   Bahkan malah mengangkat tan-gan kanannya, dan menangkis tendangan keras meng-geledek yang mengandung pengerahan tenaga sangat tinggi itu.

   Hingga tak pelak lagi, kaki kiri Ki Wirasaba beradu keras dengan tangan kanan Gajah Ireng.

   Dua kekuatan mengandung tenaga dalam tingkat tinggi be-radu keras sekali.

   "Hup!"

   "Hap!"

   Mereka sama-sama berlompatan mundur untuk membuat jarak. Beradunya dua kekuatan tenaga da-lam, membuat mereka sama-sama tidak mau gegabah. Saat itu juga, mereka sudah saling mengetahui tingkat kekuatan tenaga dalam yang dimiliki. *** "Hiyaaat..!"

   "Hup! Yeaaah...!"

   Hampir bersamaan, Gajah Ireng dan Ki Wirasaba melompat ke atas.

   Dan secara bersamaan pula, kedua tangan mereka saling menghentak ke depan.

   Hingga tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan yang sama-sama mengandung kekuatan tenaga dalam beradu ke-ras di udara.

   Begitu kerasnya, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar bagaikan ledakan gu-nung berapi.

   Tampak mereka sama-sama terpental ke bela-kang, dan berputaran di udara beberapa kali.

   Namun begitu menjejakkan kaki, Gajah Ireng langsung saja melesat cepat bagai kilat menyerang laki-laki tua berjubah putih itu.

   Sedangkan saat itu Ki Wirasaba baru saja menjejakkan kakinya di tanah.

   Sesaat hatinya terkesiap menerima serangan yang begitu cepat.

   "Uts...!"

   Cepat-cepat Ki Wirasaba menarik tubuhnya ke kiri, menghindari pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dari Gajah Ireng.

   Dan begitu tangan kanan Gajah Ireng lewat di samping tubuhnya, ce-pat-cepat Ki Wirasaba menghentakkan tangannya.

   Langsung diberikannya sodokan keras bertenaga da-lam ke arah lambung.

   "Hait..!"

   Namun dengan gerakan manis sekali, Gajah Ireng meliukkan tubuhnya.

   Sehingga, sodokan yang diberi-kan Ki Wirasaba tidak sampai mengenai sasaran.

   Dan pada saat itu juga, tubuhnya melenting berputar ke belakang satu kali.

   Tepat di saat itu pula kedua kakinya dihentakkan, tepat mengarah ke dada Ki Wira-saba yang kosong.

   Begitu cepat tindakannya sehingga Ki Wirasaba tidak sempat lagi menghindar.

   Terlebih la-gi, tangannya masih menjulur ke depan dan belum sempat ditarik pulang.

   Sehingga....

   Diegkh! "Akh...!"

   Ki Wirasaba terpekik keras agak tertahan.

   Begitu kerasnya tendangan yang dilepaskan Gajah Ireng, se-hingga membuatnya terpental sampai sejauh tiga ba-tang tombak.

   Melihat gurunya terpental, sepuluh orang murid Ki Wirasaba yang masih tersisa langsung saja berlom-patan sambil mencabut golok masing-masing.

   Tanpa diperintah lagi, mereka menyerang Gajah Ireng dari segala penjuru.

   Sebentar saja, Gajah Ireng sudah dipak-sa berjumpalitan menghindari serangan-serangan go-lok yang begitu cepat dari segala penjuru.

   "Hap! Yeaaah...!"

   Srett! Bet! Cepat sekali Gajah Ireng mencabut goloknya, dan langsung dibabatkan pada salah seorang penyerang-nya yang terdekat. Begitu cepat sabetan goloknya, sehingga sulit sekali dihindari. Cras! "Aaa...!"

   "Hiyaaa..."

   Gajah Ireng tidak menghiraukan satu korbannya yang menjerit keras, begitu dadanya terbelah oleh sabetan goloknya yang berukuran cukup besar.

   Bagaikan kilat, Gajah Ireng berlompatan sambil membabatkan goloknya cepat sekali.

   Seketika itu juga jeritan panjang melengking dan menyayat terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah terkena sabetan golok Gajah Ireng.

   Sementara itu, Ki Wirasaba sudah bangkit berdiri lagi.

   Namun pada saat bisa berdiri tegak....

   "Aaa...!"

   "Heh...?!"

   Wirasaba jadi terperanjat bukan main begitu mendengar jeritan melengking tinggi yang terakhir.

   Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, manakala melihat semua muridnya sudah tidak ada lagi yang berdiri tegak.

   Hanya dalam waktu sebentar saja, Gajah Ireng sudah menghabisi sepuluh orang murid, hingga tak seorang pun yang masih bisa bernapas lagi.

   Semuanya tewas dengan luka-luka yang menganga lebar, mem-buat darah deras sekali berhamburan keluar.

   "Keparat..! Kubunuh kau, Iblis! Hiyaaat..!"

   Wirasaba benar-benar tidak dapat lagi menahan kemarahannya.

   Sambil melompat, langsung saja pe-dangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang dica-but.

   Secepat kilat pula pedangnya yang berwarna kun-ing keemasan disabetkan ke arah leher Gajah Ireng "Hait..!"

   Namun hanya sedikit saja Gajah Ireng menge-goskan kepalanya, tebasan pedang Ki Wirasaba manis sekali berhasil dielakkan.

   Tapi belum juga Gajah Ireng bisa menarik kepalanya tegak kembali, Ki Wirasaba sudah melancarkan serangan cepat dan dahsyat kem-bali.

   Pedangnya berkelebat sangat cepat, berputar mengancam dada.

   "Hup!"

   Gajah Ireng tidak punya kesempatan menghindar lagi. Cepat-cepat goloknya diangkat, untuk menangkis tebasan pedang yang berwarna kuning keemasan. Tring! "Hup!"

   "Hap!"

   Mereka sama-sama berlompatan mundur sambil memegangi pergelangan tangan masing-masing.

   Tam-pak mulut Ki Wirasaba meringis merasakan nyeri pada pergelangan tangannya yang memegang pedang.

   Se-mentara, Gajah Ireng langsung bisa menguasai kea-daan, walaupun seluruh tangannya yang memegang golok terasa cukup nyeri dan bergetar.

   "Phuih! Hiyaaa...!"

   Sambil menyemburkan ludahnya, Gajah Ireng kembali melompat secepat kilat melakukan serangan.

   Goloknya yang berukuran cukup besar dan masih berlumuran darah, dikibaskan cepat sekali ke arah dada Ki Wira-saba.

   Namun dengan gerakan manis sekali, laki-laki tua berjubah putih itu berhasil menghindarinya.

   Dan sambil melompat ke belakang, pedangnya dikibaskan ke depan.

   Tapi pada saat itu juga, Gajah Ireng sudah memutar goloknya.

   Hingga tak pelak lagi, satu benturan keras dari dua senjata terjadi lagi.

   Trang! "ikh..."

   Ki Wirasaba jadi terpekik kaget.

   Hampir saja pe-dangnya terpental, untung segera dipindahkan ke tan-gan kiri.

   Namun pada saat yang tepat, Gajah Ireng sudah melepaskan satu tendangan kilat sambil memi-ringkan tubuhnya sedikit ke kin.

   Begitu cepatnya se-rangan susulan Gajah Ireng, sehingga Ki Wirasaba ti-dak sempat lagi menghindar.

   Dan....

   Plak! "Akh...!"

   Ki Wirasaba benar-benar terperanjat setengah mati.

   Tendangan Gajah Ireng ternyata tidak diarahkan ke tubuhnya, tapi ke pergelangan tangan kiri yang masih menggenggam pedang.

   Begitu keras tendangan itu sehingga Ki Wirasaba tidak dapat lagi mempertahan-kan senjatanya.

   Pedang berwarna kuning keemasan itu langsung terpental, melambung tinggi ke udara.

   Sementara, Ki Wirasaba cepat-cepat melompat ke belakang.

   Dan laki-laki tua itu jadi terlongong, seperti tidak percaya dengan apa yang tengah terjadi pada dirinya sekarang ini.

   Pergelangan tangan kirinya kini seperti remuk, terkena tendangan keras menggeledek ta-di.

   Namun belum juga Ki Wirasaba bisa berbuat lebih banyak lagi, Gajah Ireng sudah melesat menyerang kembali.

   Goloknya yang berlumuran darah langsung dikibaskan ke arah dada.

   "Hait..!"

   Hampir saja golok itu membelah dada, kalau saja Ki Wirasaba tidak segera menarik tubuhnya ke bela-kang.

   Hanya beberapa rambut saja ujung golok berlu-muran darah itu lewat di depan dada.

   Namun tanpa diduga sama sekali, Gajah Ireng melompat tanpa men-jejak tanah lagi.

   Begitu cepat lesatannya, sehingga sulit disaksikan mata biasa.

   "Hiyaaa...!" *** Sambil berteriak keras menggelegar, Gajah Ireng melepaskan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri ke perut. Tapi, pukulan itu masih juga berhasil dihindari Ki Wirasaba dengan merundukkan tubuhnya sedikit ke depan. Dan pada saat tubuh laki-laki tua berjubah putih itu terbungkuk, Gajah Ireng cepat-cepat melepaskan satu tendangan keras, disertai pen-gerahan tenaga dalam tinggi.

   "Yeaaah...!"

   Begitu cepat tendangan yang dilakukan Gajah Ireng, sehingga Ki Wirasaba tidak sempat lagi meng-hindar.

   Telapak kaki Gajah Ireng telak sekali meng-hantam wajah Ki Wirasaba.

   Akibatnya, orang tua itu meraung keras sambil memegangi wajahnya.

   Tampak darah merembes dari sela-sela jari tangannya.

   Dan saat itu juga, Gajah Ireng tidak menyia-nyiakan ke-sempatan.

   Di saat Ki Wirasaba tengah merasakan sakit pada wajahnya, Gajah Ireng sudah melompat sambil membabatkan golok.

   "Hiyaaat...!"

   Bet! Ki Wirasaba yang tidak mungkin bisa menghin-dar lagi, benar-benar menjadi sasaran empuk golok berlumuran darah milik Gajah Ireng. Dan.... Bres! "Aaa...!"

   Jeritan panjang melengking tinggi seketika ter-dengar menyayat, tepat di saat mata golok Gajah Ireng membelah dada Ki Wirasaba.

   Darah seketika muncrat dengan deras, membasahi bumi.

   Dan tampaknya, Ga-jah Ireng belum merasa puas juga.

   Maka sekali lagi, goloknya dikibaskan, dan kali ini diarahkan ke leher.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga sulit dilihat.

   Tahu-tahu saja tebasan golok itu sudah mencapai sasaran.

   Bruk! Belum juga Gajah Ireng bisa berbuat sesuatu la-gi, tahu-tahu Ki Wirasaba sudah ambruk ke tanah dengan kepala menggelinding.

   Darah langsung saja berhamburan dari leher yang sudah tidak berkepala lagi.

   Cring! Gajah Ireng segera memasukkan goloknya kem-bali ke dalam warangka di pinggang, kemudian me-lompat masuk ke dalam rumah berukuran cukup be-sar.

   Sama sekali tidak dihiraukannya tubuh Ki Wira-saba yang sudah terbujur kaku tanpa kepala lagi.

   Da-rah terus mengucur keluar dari lehernya yang bun-tung.

   Sementara di sekitarnya bergelimpangan mayat murid-muridnya yang tewas di tangan Gajah Ireng.

   Cukup lama juga Gajah Ireng berada di dalam.

   Dan begitu keluar, terdengar umpatan dan makiannya yang bernada kesal.

   Tampak wajahnya memerah, dan tubuhnya agak menggeletar.

   Dia berdiri tegak di ujung bawah tangga beranda.

   Sorot matanya begitu tajam merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan di depan-nya.

   "Phuuuf Selendang itu benar-benar tidak ada di sini! Huh....'"

   Dengus Gajah Ireng sambil menendang satu tubuh yang berada di dekatnya. Tubuh tak bernyawa itu kontan melambung dan terpental cukup jauh. Kemudian perlahan Gajah Ireng memutar tubuh-nya, dan perlahan pula melangkah mundur. Dan tiba-tiba saja....

   "Hiyaaa....'"

   Gajah Ireng berteriak keras menggelegar.

   Tepat pada saat itu kedua tangannya dihentakkan ke depan.

   Dua buah bola api langsung saja meluncur cepat ke arah rumah berukuran besar itu.

   Glarrr...

   Ledakan keras terdengar menggetarkan tanah, begitu dua bola api menghantam bangunan rumah pa-depokan itu.

   Sementara, Gajah Ireng seperti tidak ada puasnya.

   Semua bangunan yang berdiri diledakkan.

   Bahkan pagar gelondong kayu yang mengelilingi pade-pokan ini pun dihancurkan, hingga sedikit pun tidak ada yang tersisa.

   Sebentar saja padepokan yang didirikan Ki Wirasaba itu hancur tanpa tersisa lagi.

   "Phuih! Tidak ada seorang pun yang boleh meng-halangiku! Mereka yang coba-coba, harus mampus!"

   Dengus Gajah Ireng sambil berkacak pinggang meman-dangi kobaran api yang melahap seluruh bangunan padepokan ini.

   Sementara, api terus berkobar semakin besar.

   Sedangkan Gajah Ireng sudah melangkah meninggal-kan tempat itu.

   Kembali dihampiri kudanya yang ma-sih tetap setia menunggu.

   Dengan gerakan sangat in-dah dan ringan, Gajah Ireng melompat naik ke pung-gung kudanya.

   Sebentar dipandanginya kehancuran padepokan yang didirikan Ki Wirasaba.

   Kemudian....

   "Hiya! Yeaaah...!"

   Gajah Ireng langsung saja menggebah kudanya hingga berlari cepat bagai dikejar setan.

   Kuda coklat belang putih itu terus saja berlari kencang menuju Selatan.

   Entah ke mana lagi tujuan Gajah Ireng untuk mencari Selendang Sutera Emas.

   *** Matahari belum lagi bergulir ke arah Barat, keti-ka tiga orang penunggang kuda terlihat merambah le-barnya hutan.

   Arah tujuan mereka jelas menuju pade-pokan Ki Wirasaba.

   Kuda-kuda itu dikendalikan perla-han-lahan dan tampaknya mereka tidak tergesa-gesa.

   Tapi mendadak saja, mereka sama-sama menghenti-kan langkah kudanya.

   Bahkan satu sama lain saling melemparkan pandangan, setelah menatap ke arah kepulan asap hitam yang kelihatannya tidak jauh lagi di depan.

   "Paman Wirasaba...,"

   Desis salah seorang, agak bergetar suaranya.

   "Hiyaaa...!"

   "Yeaaah...!"

   "Yaaa...!"

   Mereka langsung saja menggebah kencang ku-danya.

   Seketika debu dan daun-daun kering berham-buran terbang tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat bagai dikejar setan.

   Ketiga penunggang kuda itu terus memacu kudanya semakin cepat saja, tidak peduli dengan pepohonan yang semakin rapat saja.

   "Hooop...!"

   Hampir bersamaan, ketiga penunggang kuda itu menghentikan lari kudanya.

   Dan secara bersamaan pula, mereka berlompatan setelah tiba di depan se-buah bangunan berbentuk seperti benteng yang sudah hancur terbakar.

   Satu pun tak terlihat bangunan yang masih berdiri.

   Semuanya sudah hangus jadi arang.

   Asap hitam masih tertihat mengepul ke angkasa.

   Dan api juga masih terlihat di beberapa tempat.

   Ketiga penunggang kuda yang semuanya masih berusia muda itu berdiri terpaku di depan tunggan-gannya masing-masing, memandang puing-puing hi-tam bekas padepokan Ki Wirasaba.

   Salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala, mengayun-kan kakinya perlahan.

   Dilewatinya sesosok mayat yang dadanya terbelah lebar mengeluarkan darah.

   Dua orang lainnya segera mengikuti.

   "Apa yang telah terjadi di sini...?"

   Desis salah seorang yang ternyata gadis berwajah cantik.

   Bajunya berwarna kuning gading dan agak ketat.

   Dia seperti bertanya pada diri sendiri.

   Sebilah pedang tergantung di pinggang ramping gadis itu.

   Sedangkan dua orang lagi yang ternyata pemuda-pemuda tampan, hanya diam saja sambil men-gedarkan pandangan ke sekeliiing.

   Sepanjang mata memandang, hanya puing-puing kehancuran dan mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih.

   Satu pun tak ada yang masih bernapas.

   Semu-anya sudah tewas dengan luka-luka mengerikan, ber-lumur darah segar.

   "Kakang, ke sini...!"

   Seru gadis berbaju kuning gading itu.

   Dua orang pemuda yang terpisah dari gadis cantik itu langsung berpaling.

   Bergegas gadis cantik berbaju kuning gading itu dihampiri.

   Mereka langsung terpaku begitu melihat tubuh Ki Wirasaba terbujur kaku, terhimpit sebuah balok kayu yang sudah menghitam jadi arang.

   Asap masih mengepul dari balok kayu yang ter-bakar hangus.

   "Paman...,"

   Desis pemuda yang mengenakan baju warna merah menyala.

   Ketiga anak muda itu langsung berlutut dengan wajah tertunduk, diselimuti mendung kedukaan.

   Tak ada seorang pun yang membuka suara, apa lagi ber-buat sesuatu.

   Seluruh tulang persendian mereka sea-kan-akan lumpuh seketika, seperti tak bisa digerakkan lagi.

   Kesunyian begitu terasa mencekam di reruntuhan padepokan Ki Wirasaba itu.

   Begitu sunyinya, hingga suara langkah kaki yang mendekati reruntuhan pade-pokan jelas sekali terdengar.

   Dan mungkin karena terlalu larut dalam kedukaan, hingga tidak seorang pun menyadari kalau ada orang datang menghampiri.

   "Tidak perlu ditangisi. Yang sudah pergi, biarkan-lah pergi dengan tenang...,"

   "Heh...?!"

   Ketiga anak muda itu terkejut sekali, begitu tiba-tiba terdengar suara yang sangat berat dari arah belakang.

   Cepat mereka bangkit berdiri dan berbalik.

   Namun begitu melihat seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih, dengan sebilah pedang ter-sembul di balik punggung, mereka langsung saja ber-lutut sambil merapatkan kedua tangan di depan hi-dung.

   Di samping pemuda tampan berbaju rompi putih itu, berdiri seorang gadis cantik.

   Bajunya warna biru muda dan sangat ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah menggiurkan.

   Di ping-gangnya terselip sebuah kipas dari baja putih berwar-na keperakan.

   Sedangkan di punggungnya menyembul sebuah gagang pedang berbentuk kepala naga berwar-na hitam mengkilat.

   "Bangunlah kalian. Tidak pantas bersikap begitu padaku,"

   Ujar pemuda tampan berbaju rompi putih itu.

   Nada suaranya terdengar sangat lembut.

   Perlahan ke-tiga anak muda yang masih berusia sekitar dua puluh tahun itu bangkit berdiri.

   Sekali lagi, mereka memberi hormat dengan membungkukkan tubuh sedikit, dan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

   Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih itu hanya tersenyum saja, lalu perlahan melangkah lebih mendekat.

   "Apa yang terjadi di sini? "

   Tanya pemuda tampan berbaju rompi putih itu sambil mengedarkan pan-dangannya ke sekeliling.

   "Entahlah. Kami sendiri tidak tahu, apa yang terjadi. Kami juga baru sampai di sini, dan keadaannya sudah seperti ini,"

   Sahut pemuda yang berbaju merah ketat, dengan sebilah pedang tersandang di punggung.

   "Sebaiknya kita kuburkan saja dulu semuanya,"

   Kata pemuda berbaju rompi putih itu mengajak.

   Tidak ada seorang pun yang membantah.

   Mereka segera saja mengumpulkan mayat-mayat yang berse-rakan.

   Kemudian, mereka membuat lubang-lubang dan menguburkan mayat-mayat itu satu persatu.

   Tak ada seorang pun yang membuka suara saat mengu-burkan.

   Dan terakhir, mereka baru menguburkan ja-sad Ki Wirasaba.

   *** Sampai hari menjadi gelap, mereka baru selesai menguburkan jasad Ki Wirasaba dan semua muridnya.

   Kelelahan begitu terlihat di wajah-wajah mereka yang terselimut duka.

   Hanya seorang saja yang kelihatan tenang, yakni pemuda berbaju rompi putih itu.

   Dia kelihatannya tidak ingin ikut larut dalam selimut duka.

   Pemuda itu berdiri di dekat gadis cantik yang mengenakan baju agak ketat berwarna biru muda.

   Dan gadis itu juga kelihatan tenang, walaupun dari sorot ma-tanya memancarkan kedukaan, meskipun tidak seda-lam yang dialami dua orang pemuda dan seorang gadis yang datang lebih dulu ke padepokan ini.

   "Kalau saja kita tidak singgah dulu di Desa Welasih, mungkin peristiwa ini tidak akan terjadi Pandan,"

   Kata pemuda berbaju rompi putih itu pelan.

   "Tapi, Kakang. Tidak mungkin mereka yang se-dang dilanda kesusahan ditinggalkan begitu saja. Hhh...! Mungkin semua ini sudah menjadi suratan takdir, Kakang. Tidak mungkin kita bisa melawan tak-dir yang sudah ditentukan Sang Hyang Widi,"

   Sergah gadis cantik berbaju biru muda yang dipanggil Pandan.

   Gadis itu memang Pandan Wangi.

   Dan di kalan-gan rimba persilatan, dia lebih dikenal sebagai si Kipas Maut.

   Sedangkan pemuda yang mengenakan baju rompi putih tak lain adalah Rangga, dan juga dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

   Mereka memang sepasang pendekar muda yang telah menggemparkan rimba persilatan.

   Dan sampai saat ini, tidak ada seorang tokoh persilatan pun yang bisa menandingi ke-digdayaan Pendekar Rajawali Sakti.

   "Yaaah.... Semua memang sudah menjadi sura-tan takdir. Dan tak ada seorang pun yang bisa menen-tang kehendak Sang Hyang Widi,"

   Desah Rangga perlahan. Mereka kembali terdiam. Sedangkan ketiga anak muda yang duduk melingkari api unggun, tidak berbi-cara sedikit pun juga. Kepala mereka terlihat tertunduk, menekuri tanah berumput yang sudah mulai ba-sah tersiram embun.

   "Bisa kau duga, siapa kira-kira pelaku pemban-taian ini, Kakang?"

   Tanya Pandan Wangi sambil berpaling menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.

   "Sulit,"

   Sahut Rangga agak mendesah.

   "Masalah-nya, luka-luka yang ada pada mereka hanya luka bi-asa. Seperti terkena senjata tajam biasa. Tapi, memang cukup dalam. Dan yang pasti dilakukan oleh orang yang memiliki tenaga dalam tinggi"

   "Tapi kukira, itu bukan luka karena sabetan pe-dang, Kakang,"

   Kata Pandan Wangi lagi.

   "Memang..."

   "Golok...?"

   "Kelihatannya begitu"

   "Hm...,"

   Pandan Wangi menggumam perlahan.

   "Kau bisa mengenalinya?"

   Tanya Rangga sambil menatap dalam-dalam kedua bola mata si Kipas Maut.

   "Terlalu banyak yang menggunakan senjata go-lok, Kakang. Sulit untuk menentukan, siapa orangnya. Tapi aku yakin, orang itu pasti memiliki kepandaian tinggi. Buktinya murid-murid Ki Wirasaba bisa diban-tai habis. Bahkan bisa membunuh Ki Wirasaba. Pasti ilmunya lebih tinggi daripada Ki Wirasaba,"

   Kata Pandan Wangi lagi.

   "Kau berbicara, sepertinya yang melakukan ini hanya satu orang, Pandan,"

   Desis Rangga terus menatap dalam bola mata si Kipas Maut "Semua luka yang ada sama bentuknya, Kakang. Dan aku yakin, hanya satu senjata saja yang diguna-kan. Dan itu berarti hanya satu orang saja yang melakukannya,"

   Jelas Pandan Wangi.

   "Hm..., pengamatanmu sangat tajam, Pandan,"

   Puji Rangga tulus.

   Pandan Wangi hanya tersenyum saja menerima pujian tulus itu.

   Pandangannya dilayangkan jauh ke depan, seakan-akan ingin menyembunyikan rona me-rah yang tiba-tiba saja menyemburat membakar kedua pipinya yang berkulit halus.

   Pendekar Rajawali Sakti sudah melihat perubahan warna pada pipi itu, namun tak menginginkan Pandan Wangi terus begitu.

   Sambil menghembuskan napas panjang, Pende-kar Rajawali Sakti melangkah menghampiri ketiga anak muda yang masih tetap duduk melingkari api unggun.

   Gadis berwajah cukup cantik yang mengena-kan baju kuning gading, segera menggeser duduknya begitu melihat Rangga menghampiri.

   Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung saja duduk di samping gadis ini.

   Sedangkan dua orang pemuda yang lain sudah du-duk berdampingan, hanya memandang saja.

   Sementa-ra, Pandan Wangi juga melangkah menghampiri, lalu duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti.

   "Apa rencana kalian besok?"

   Tanya Rangga memecah kesunyian yang terjadi beberapa saat.

   "Entahlah, Gusti Pra...."

   "Ssst..!"

   Rangga cepat-cepat memutuskan ucapan pemu-da berbaju merah menyala itu. Jari telunjuknya ber-goyang-goyang di depan bibirnya yang memperdengar-kan suara mendesis seperti ular.

   "Kuminta, kalian tidak lagi memanggilku dengan sebutan seperti itu. Panggil saja seperti Pandan Wangi memanggilku,"

   Pinta Rangga.

   "Tapi...."

   "Tidak ada tapi-tapi,"

   Selak Rangga cepat.

   Kedua pemuda yang masih berusia sekitar dua puluh satu tahun itu hanya saling melempar pandan-gan saja.

   Sedangkan gadis yang duduk di samping Rangga, hanya menundukkan kepala, seakan-akan ti-dak berani membalas pandangan kedua pemuda yang berada di depannya.

   "Kalian harus tahu. Kakang Rangga bila di luar kerajaan, bukanlah Prabu Rangga Pati Permadi, atau Raja Karang Setra. Tapi, Rangga yang bergelar Pende-kar Rajawali Sakti. Dan sudah tentu kalian tidak perlu lagi memanggilnya Gusti Prabu. Cukup panggil saja Kakang Rangga,"

   Selak Pandan Wangi memberi tahu.

   "Dan itu lebih bagus lagi,"

   Sambung Rangga sambil melemparkan senyum manis. Tidak ada seorang pun yang membuka suara.

   "Bagaimana, Anggita...?"

   Rangga berpaling, langsung menatap gadis cantik berusia sekitar delapan belas tahun yang duduk di sebelahnya.

   "Terserah yang lain saja,"

   Sahut gadis cantik berbaju kuning gading yang dipanggil Anggita.

   "Rahtama...? Suryadanta...?"

   Rangga menatap dua orang pemuda di depannya.

   "Baiklah, kalau memang itu yang diinginkan. Ta-pi maaf, jangan dianggap kalau kami tidak tahu sopan dan tata krama,"

   Sahut pemuda berbaju merah menyala yang bernama Rahtama.

   "Bagus! Aku senang mendengarnya,"

   Sambut Rangga seraya tersenyum lebar.

   "Nah..., apa kalian besok akan melanjutkan perjalanan untuk menemui guru kalian?"

   "Ya! Kami harus segera ke Bukit Batu. Nyai Lan-gis pasti sudah lama menunggu,"

   Sahut Rahtama.

   "Kalau begitu, sebaiknya kalian istirahat saja. Malam masih terlalu panjang. Dan perjalanan ke Bukit Batu perlu waktu seharian penuh dari sini,"

   Jelas Rangga.

   "Lalu, kau sendiri...?"

   Tanya Rahtama, terdengar agak kaku nada suaranya.

   "Aku dan Pandan Wangi akan terus mendampingi kalian sampai ke Bukit Batu,"

   Sahut Rangga.

   "Terima kasih,"

   Ucap Rahtama.

   "Tapi, seharusnya Kakang Rangga tidak perlu bersusah-susah begitu. Kami sanggup jaga diri mas-ing-masing,"

   Kata Anggita.

   "Jangan bersikap sungkan begitu, Anggita. Apa yang kulakukan sekarang ini, tidak sebanding dengan yang telah dilakukan guru kalian,"

   Balas Rangga.

   "Tapi...

   "

   Anggita masih tetap akan menolak.

   "Sudahlah....Sebaiknya, kau tidur saja. Kau keli-hatan yang paling lelah sekali,"

   Selak Rangga memutuskan ucapan gadis itu.

   "Ayo, Anggita. Kita cari tempat yang nyaman buat tidur,"

   Ajak Pandan Wangi, setelah pinggangnya kena sikut Pendekar Rajawali Sakti.

   Anggita tidak bisa menolak.

   Gadis itu bangkit berdiri begitu Pandan Wangi berdiri.

   Dan mereka me-langkah pergi, mencari tempat yang lebih nyaman un-tuk beristirahat.

   Sementara Rangga, Rahtama dan Su-ryadanta masih tetap duduk menghadapi api unggun yang mulai mengecil nyala apinya.

   "Kalian tidurlah. Biar aku yang menjaga malam ini,"

   Kata Rangga menyuruh kedua pemuda itu beristirahat "Biar aku saja, Kakang,"

   Tolak Rahtama.

   "Baiklah...,"

   Desah Rangga seraya mengangkat pundaknya sedikit.

   Rangga memang tidak ingin memaksa.

   Dan tu-buhnya segera direbahkan, tak jauh dari api unggun yang nyala apinya semakin meredup.

   Sedangkan Rah-tama tetap duduk sambil menambahkan beberapa ranting kering ke dalam api.

   Sementara Suryadanta sudah melingkar di bawah pohon.

   Dan malam pun te-rus merayap semakin bertambah larut.

   Tak terdengar lagi suara percakapan.

   Yang ada hanya suara desiran angin menggesek dedaunan.

   Dan sesekali terdengar lo-longan anjing hutan di kejauhan.

   "Hhh...!"

   Rahtama menggeliatkan tubuhnya yang terasa begitu penat.

   Sebentar pandangannya beredar ke seke-liling, kemudian bangkit berdiri.

   Lalu, tubuhnya digerak-gerakkan sebentar, mencoba mengurangi rasa pe-nat.

   Pandangan matanya kemudian tertuju pada Pan-dan Wangi dan Anggita yang tidur berdampingan sam-bil memeluk lutut.

   Udara malam ini memang terasa begitu dingin, hingga Rahtama harus sering menambahkan ranting-ranting kering ke dalam api, agar terasa sedikit lebih hangat.

   Pemuda itu kembali duduk dekat api unggun yang mulai menyala besar kembali.

   Tangannya menju-lur hendak mengambil daging ayam hutan panggang.

   Tapi belum juga berhasil meraih, tiba-tiba saja....

   Wusssh!! "Heh...?!" *** Cepat-cepat Rahtama menarik tangannya, begitu merasakan adanya angin mendesir mengarah ke tan-gannya.

   Dan saat itu, terlihat sebuah benda sepanjang tiga jengkal tengah meluncur hampir menyambar tangannya.

   Tapi pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat sekali, sehingga Rahtama tidak sempat lagi melihat.

   Dan tahu-tahu, di samping pemuda itu sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti.

   Di tangan kanannya sudah tergenggam sebatang anak panah bermata dari perak putih yang berkilat "Bangunkan yang lain, Rahtama,"

   Perintah Rangga dengan suara agak berbisik.

   "Baik,"

   Sahut Rahtama.

   Tanpa diperintah dua kali, Rahtama segera mem-bangunkan Suryadanta, Pandan Wangi, dan Anggita.

   Mereka langsung saja menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan berdiri di belakangnya.

   Tak ada seorang pun yang berbicara.

   Sedangkan Rangga memusatkan per-hatiannya ke arah datangnya anak panah bermata pe-rak putih di tangan kanannya.

   "Kisanak! Jika kau bermaksud baik, keluarlah...!"

   Seru Rangga, terdengar lantang suaranya. Suara yang disertai pengerahan tenaga dalam itu terdengar keras dan menggema. Bahkan sempat meng-getarkan pepohonan yang tumbuh cukup rapat di seki-tarnya, sehingga membuat daun-daun sampai bergu-guran.

   "He he he...!"

   Tiba-tiba saja terdengar tawa terkekeh kering.

   Sulit untuk menemukan sumber arah suara itu, kare-na terdengar menggema seperti datang dari segala penjuru mata angin.

   Hanya Rangga saja yang tetap men-gerahkan pandangannya ke satu arah.

   Sedangkan me-reka yang berada di belakangnya malah mengedarkan pandangan ke sekeliling, seperti berusaha mencari arah tawa terkekeh yang terdengar menggema dan sangat kering.

   Belum lagi hilang suara tawa terkekeh kering itu, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan begitu ce-pat, ke arah Rahtama yang berada agak ke samping ki-ri Pendekar Rajawali Sakti.

   Begitu cepatnya berkelebat, sehingga membuat Rahtama jadi terlongong seperti melihat bayangan setan saja.

   Tapi belum juga bayan-gan itu bisa menyambar tubuh Rahtama, dengan ke-cepatan kilat Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat memapak.

   Buk! Seketika itu juga, terdengar benturan keras seka-li.

   Lalu, terlihat bayangan hitam itu terpental balik ke belakang.

   Sedangkan Rangga tampak melesat ke udara, dan berputaran beberapa kali.

   Dan dengan ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti kembali menjejakkan kakinya di tanah.

   Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah yang penuh dedaunan kering.

   "Mundur kalian semua,"

   Desis Rangga, agak datar nada suaranya.

   Pandan Wangi segera menarik tangan Anggita dan Suryadanta ke belakang, Rahtama juga bergegas menggeser kakinya ke belakang, menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.

   Sementara sekitar dua batang tombak di depan pemuda berbaju rompi putih itu terlihat seorang laki-laki tua berjubah hitam yang tubuhnya su-dah terlihat membungkuk.

   Di tangan kanannya ter-genggam sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya.

   Tampak seuntai kalung berbentuk kepala tengkorak melingkar di lehernya.

   Cukup sulit untuk mengenali wajahnya, karena hampir seluruhnya tertutup rambut yang sudah me-mutih dan panjang.

   Namun dari balik rambut yang pu-tih itu terlihat sorotan sepasang mata merah yang begitu tajam, menatap Pendekar Rajawali Sakti.

   Sorotannya bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda itu.

   "Aku tidak berurusan denganmu, Pendekar Ra-jawali Sakti! Minggir kau...!"

   Bentak laki-laki tua berjubah hitam itu kasar.

   "Siapa kau, Kisanak? Kenapa kau ingin menye-rang sahabatku?"

   Tanya Rangga tidak menghiraukan bentakan laki-laki tua itu.

   "Aku Setan Tengkorak Hitam. Apa pun yang ku-lakukan, bukan urusanmu!"

   Sahut laki-laki tua itu bernada mendengus kasar.

   "Setan Tengkorak Hitam. Hm..., namamu sudah pernah kudengar. Tapi, apa urusanmu dengan saha-batku ini...?"

   Suara Rangga terdengar agak menggumam.

   "Sudah kukatakan, itu bukan urusanmu!"

   "Apa pun yang menjadi urusan sahabatku, juga menjadi urusanku, Kisanak."

   "Ghrrr...!"

   Setan Tengkorak Hitam menggeram dingin.

   Sorot mata orang yang berjuluk Setan Tengkorak Hitam itu tampak merah.

   Bahkan terlihat semakin ta-jam saja.

   Seakan-akan hendak menembus langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti.

   Perlahan kakinya bergeser ke kanan.

   Sekilas matanya melirik Rahtama dan kedua adik seperguruannya yang kini sudah bera-da agak jauh.

   Lalu, kembali ditatapnya Rangga yang masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali.

   "Kenapa kau membela bocah-bocah keparat itu, Pendekar Rajawali Sakti?"

   Tanya Setan Tengkorak Hitam. Suaranya masih terdengar mendesis kering.

   "Semua sahabatku selalu kubela, Kisanak,"

   Sahut Rangga kalem."

   "Walaupun mereka pencuri busuk...?"

   "Pencuri...?"

   Entah kenapa, tiba-tiba saja Setan Tengkorak Hi-tam tertawa terbahak-bahak.

   Begitu keras tawanya, sehingga membuat telinga siapa saja yang mendengar-nya jadi terasa sakit.

   Dan suara tawa itu semakin terdengar keras menggelegar.

   Rangga yang sudah ma-lang-melintang dalam rimba persilatan, langsung bisa merasakan kalau tawa itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Sedikit Pendekar Rajawali Sakti melirik ke bela-kang.

   Tampak Rahtama, Suryadanta, dan Anggita mu-lai menggeletar tubuhnya sambil menutup telinga den-gan kedua telapak tangan.

   Sementara, Pandan Wangi sudah merapatkan kedua tangannya di depan dada.

   "Hentikan tawamu, Kisanak!"

   Desis Rangga dingin menggetarkan.

   "Ha ha ha...!"

   Tapi, Setan Tengkorak Hitam terus saja tertawa terbahak-bahak.

   Bahkan tawanya yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu semakin terdengar dahsyat dan menggelegar.

   Saat itu, bumi mulai terasa berguncang.

   Dan pepohonan pun sudah mulai bergu-guran daun-daunnya.

   Sementara, Rangga sudah membuat beberapa gerakan dengan kedua tangannya, lalu dirapatkan di depan dada.

   "Hap! Yeaaah...!"

   Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tan-gannya ke depan.

   Seketika itu juga, terdengar suara mendesir yang cukup keras.

   Sehingga, Setan Tengko-rak Hitam jadi tersentak kaget.

   Dan begitu merasakan adanya kekuatan dorongan yang begitu dahsyat, cepat-cepat tubuhnya melenting ke udara.

   Maka, seketika itu juga suara tawanya lenyap, begitu tubuh laki-laki tua itu melesat ke angkasa.

   *** "Hap!"

   Begitu ringan Setan Tengkorak Hitam menjejak-kan kakinya di tanah yang ditutupi dedaunan.

   Sedikit pun tak ada suara saat kakinya menjejak tanah.

   Dari sini bisa dinilai kalau Setan Tengkorak Hitam itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak bisa dipan-dang rendah.

   Dan itu berarti juga tingkat kepandaiannya sudah demikian tinggi.

   "Aku akui, kau memang tangguh, Pendekar Ra-jawali Sakti. Tapi aku benar-benar tidak ingin urusan-ku dicampuri orang lain. Ini persoalan pribadiku, antara bocah-bocah keparat itu denganku,"

   Kata Setan Tengkorak Hitam dingin.

   "Persoalan pribadi...? Tapi kenapa kau sepertinya ingin membunuh mereka?"

   Tanya Rangga ingin tahu.

   "Memang sudah sepantasnya mereka mampus!"

   Dengus Setan Tengkorak Hitam.

   "Hm...."

   Sekilas Rangga melirik Rahtama, kemudian ber-pindah pada Suryadanta dan Anggita.

   Dengan ujung jari tangannya, Pendekar Rajawali Sakti memanggil Rahtama.

   Dan tanpa diucapkan lagi, pemuda itu sege-ra menghampiri Rangga.

   Lalu diambilnya tempat di se-belah kanan Pendekar Rajawali Sakti.

   "Kau mengenalnya, Rahtama?"

   Tanya Rangga seraya menatap Setan Tengkorak Hitam.

   "Ya,"

   Sahut Rahtama, singkat.

   "Hm.... Kau punya urusan apa dengannya, sam-pai ingin membunuhmu?"

   Tanya Rangga lagi.

   Tapi, kali ini Rahtama tidak langsung menjawab.

   Malah, ditatapnya orang tua bertubuh bungkuk itu dengan sorot mata yang begitu dingin.

   Sosok orang tua berbaju jubah hitam panjang dan mengaku berjuluk Setan Tengkorak Hitam itu juga malah membalas tata-pan Rahtama dengan sorot mata merah dan tidak ka-lah tajamnya.

   "Katakan saja terus terang padaku, Rahtama. Apa urusanmu dengannya?"

   Tanya Rangga lagi.

   Kali ini, pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti ter-dengar mendesak.

   Sementara, Suryadanta dan Anggita sudah melangkah menghampiri.

   Dan mereka kini ber-diri sekitar tiga langkah lagi di belakang Rahtama.

   Sedangkan Pandan Wangi masih tetap di tempatnya, tapi terus saja memperhatikan sambil memasang telinga tajam-tajam.

   "Bukan aku atau adik-adik seperguruanku yang memulai, Kakang. Tapi dia yang mencari perkara lebih dulu,"

   Tuding Rahtama.

   "Bocah setan...!"

   Desis Setan Tengkorak Hitam ge-ram, mendapat tudingan tajam dari Rahtama.

   "Kubunuh kau, hih...!"

   "Tunggu...!"

   Sentak Rangga mencegah.

   Tapi belum juga cegahan Rangga menghilang dari pandangan, Setan Tengkorak Hitam sudah menghentakkan tangan kanannya ke belakang.

   Lalu begitu cepat sekali tangan kanannya dikebutkan ke depan.

   Saat itu juga terlihat sebatang anak panah meluncur deras ke arah Rahtama.

   Tapi belum juga anak panah berkepala perak pu-tih itu bisa menembus kulit tubuh Rahtama, Rangga sudah cepat sekali mengebutkan tangannya.

   "Hap!"

   Tak! Anak panah itu langsung terpental jauh begitu terkena kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti.

   "Masih banyak cara untuk menyelesaikan persoa-lan, Kisanak. Dan kuharap, kau bisa menahan diri se-dikit,"

   Sentak Rangga tegas.

   "Aku tidak perlu nasihatmu, Pendekar Rajawali Sakti. Minggir kau! Atau kau juga ingin mampus, heh,..?!"

   Dengus Setan Tengkorak Hitam menggeram kasar.

   "Aku hanya ingin membantu menyelesaikan per-soalanmu dengan mereka, Kisanak,"

   Kata Rangga masih mencoba bersabar, walaupun sikap si Setan Teng-korak Hitam jelas-jelas sangat kasar.

   "Aku tidak perlu bantuanmu! Minggir...!"

   Bentak Setan Tengkorak Hitam kasar. Baru saja Rangga hendak membuka mulutnya, Rahtama sudah menyentuh pundaknya.

   "Biarkan kami bertiga yang menghadapinya, Ka-kang. Dia tidak akan puas sebelum melampiaskan ke-marahannya,"

   Pinta Rahtama.

   "Diam sajalah, Rahtama. Biar saja kuselesaikan sendiri,"

   Tolak Rangga halus, tapi bernada tegas.

   "Bagus! Biar kalian semua maju bersama-sama!"

   Dengus Setan Tengkorak Hitam dingin.

   "Hm...,"

   Rangga hanya menggumam perlahan sa-ja.

   "Ayo, maju kalian semua! Biar tubuh kalian ku-jadikan makanan cacing-cacing tanah!"

   Bentak Setan Tengkorak Hitam menantang kasar.

   "Kenapa harus menggunakan kekerasan, Kisa-nak?"

   Rangga masih saja mencoba bersabar, dan tidak ingin terjadi pertarungan.

   "Tutup mulutmu, Bocah! Ayo lawan aku...!"

   Bentak Setan Tengkorak Hitam kasar.

   "Hm...!"

   "Yeaaah...." *** "Mundur kalian! Hup...!"

   Setelah menyuruh Rahtama dan kedua adik se-perguruannya mundur, Rangga cepat melompat ke de-pan.

   Langsung dihadangnya terjangan Setan Tengko-rak Hitam.

   Tepat begitu Setan Tengkorak Hitam menghentakkan kedua tangannya ke depan, saat itu juga Rangga menghentakkan kedua tangannya ke depan pula.

   Hingga tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi tepat beradu pada titik tengah.

   Plak! "Hup!"

   "Yeaaah...!"

   Tampak mereka saling berlompatan mundur sambil berputaran beberapa kali di udara.

   Dan secara bersamaan, mereka menjejakkan kaki di tanah ber-daun kering ini.

   Namun belum juga Rangga bisa men-guasai keseimbangannya, Setan Tengkorak Hitam su-dah kembali melompat melancarkan serangan.

   "Hiyaaat..!"

   "Hap! Yeaaah.;.!"

   Tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti.

   Serangan-serangan si Setan Tengkorak Hitam harus dihadapinya.

   Terlebih lagi, kekuatan tenaga dalam laki-laki tua itu dahsyat sekali.

   Dan Rangga sudah bisa mengukur kalau Rahtama dan kedua adiknya tidak akan mungkin mampu menandinginya.

   Maka pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi.

   Serangan-serangan Setan Tengkorak Hitam memang dahsyat luar biasa.

   Setiap pukulannya mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi Begitu tingginya, se-hingga setiap pukulannya menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat, di samping mengandung hawa panas sangat menyengat.

   Bukti kedahsyatan pukulan-pukulan yang dilepaskan Setan Tengkorak Hitam ada-lah hancurnya beberapa pohon.

   Dan tampaknya, laki-laki tua berjubah hitam itu tidak ingin memberi ke-sempatan pada Pendekar Rajawali Sakti untuk balas menyerang.

   Serangan-serangan dahsyat dan gencar te-rus dilancarkan, sehingga membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya.

   Dan dari gera-kan-gerakan menghindar yang dilakukan Rangga, su-dah bisa dipastikan kalau yang digunakannya saat ini adalah jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

   "Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

   Setan Tengkorak Hitam semakin meningkatkan serangannya lebih dahsyat la-gi.

   Bahkan sudah mulai menggunakan tongkatnya un-tuk menyerang.

   Ujung runcing tongkat kayu berbentuk tak beraturan itu seringkali hampir membuat kulit tu-buh Pendekar Rajawali Sakti tergores.

   Tapi memang Rangga bukanlah pendekar sembarangan.

   Walaupun terdesak terus, tapi tetap saja terasa sulit bagi si Setan Tengkorak Hitam untuk mendaratkan tongkatnya.

   "Hup!"

   Tiba-tiba saja Setan Tengkorak Hitam melompat ke belakang sejauh lima langkah.

   Sementara, Rangga berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

   Saat itu, Rahtama dan kedua adik seperguruan-nya sudah kembali berada di dekat Pandan Wangi.

   Dan mereka benar-benar merasa berada di tempat yang cukup aman.

   "Kau tinggal pilih, Pendekar Rajawali Sakti. Aku atau kau yang lebih dulu masuk ke lubang kubur,"

   Desis Setan Tengkorak Hitam, dingin dan menggetarkan.

   "Hm..."

   Tapi Rangga hanya menggumam saja perlahan. Dan....

   "Hiyaaa...!"

   "Hait..!"

   Bagaikan kilat, Setan Tengkorak Hitam melompat sambil mengebutkan tongkat kayunya yang berujung runcing.

   Namun hanya mengegos sedikit saja, Rangga berhasil menghindarinya.

   Dan kakinya segera bergeser ke samping, begitu Setan Tengkorak Hitam melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

   "Yeaaah...!"

   "Haps!"

   Hanya sedikit saja tendangan Setan Tengkorak Hitam lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti.

   Dan cepat bagai kilat, Rangga melepaskan satu puku-lan turus sambil memiringkan tubuhnya.

   Begitu cepat pukulannya, sehingga tidak ada ke-sempatan bagi Setan Tengkorak Hitam untuk meng-hindar.

   Karena tidak ada pilihan lain, maka Setan Tengkorak Hitam cepat-cepat mengebutkan tongkat-nya.

   Langsung ditangkisnya pukulan Pendekar Raja-wali Sakti.

   Plak! Trak! "Heh...?!"

   Kedua bola mata Setan Tengkorak Hitam jadi ter-beliak lebar, Ternyata tongkatnya patah jadi dua bag-jan, setelah membentur kepalan tangan Pendekar Ra-jawali Sakti.

   Maka, bergegas dia melompat ke bela-kang.

   Tapi belum juga kakinya bisa menjejak tanah, Rangga sudah melesat cepat bagai kilat.

   Sebuah ten-dangan keras menggeledek langsung dilepaskan begitu cepat, hingga sukar diikuti pandangan mata biasa.

   "Uts...!"

   Setan Tengkorak Hitam buru-buru meliukkan tubuhnya, menghindari tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

   Tapi be-lum juga bisa meluruskan tubuhnya kembali, Rangga sudah melepaskan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

   "Hiyaaa...!"

   Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Pen-dekar Rajawali Sakti, sehingga Setan Tengkorak Hitam tidak sempat lagi menghindar. Dan.... Desss..! "Akh...!"

   Pukulan yang dilepaskan Rangga tepat menghan-tam dada laki-laki tua berjubah hitam itu.

   Begitu kerasnya pukulan tadi, sehingga Setan Tengkorak Hitam terpental jauh ke belakang.

   Dan lontarannya baru berhenti setelah menghantam sebatang pohon yang lang-sung hancur terlanda tubuh laki-laki tua agak bung-kuk ini.

   "Ugkh! Hoeeek...!"

   Segumpal darah kental agak kehitaman langsung menyembur dari mulut si Setan Tengkorak Hitam.

   Sambil memegangi dadanya, laki-laki tua berjubah hi-tam itu berusaha bangkit berdiri.

   Tapi belum juga bisa berdiri sempurna, Rangga sudah kembali melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam-nya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

   "Hiyaaa...!"

   Namun belum juga pukulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di tubuh si Setan Tengkorak Hitam, mendadak saja....

   "Kakang, jangan...!"

   "Upfs...!"

   Cepat-cepat Rangga melenting ke belakang, dan berputaran dua kali sambil menarik kembali seran-gannya.

   Wajahnya langsung berpaling, begitu kakinya menjejak tanah.

   Sementara Tengkorak Hitam hanya bisa berdiri lemas sambil berusaha mengatur pernapa-sannya yang tersengal.

   Rasanya, dadanya bagai ter-himpit sebongkah batu yang sangat besar.

   Memang keras sekali pukulan yang diterimanya tadi.

   Kalau saja tidak memiliki kepandaian tinggi, pasti sekarang ini si Setan Tengkorak Hitam sudah menggeletak dengan dada hancur remuk.

   *** Saat itu Anggita terlihat melangkah cepat, seten-gah berlari menghampiri Rangga yang tengah berpaling menatapnya.

   Gadis itu berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

   Sebentar ditatapnya wajah tam-pan Pendekar Rajawali Sakti, kemudian beralih pada Setan Tengkorak Hitam.

   Sementara, Rahtama dan Su-ryadanta juga sudah menghampiri, diikuti Pandan Wangi dari belakang.

   Mereka berdiri mengapit Rangga.

   Sedangkan Setan Tengkorak Hitam hanya berdiri saja dengan napas tersengal sambil memegangi dadanya yang terkena pukulan keras bertenaga dalam sempur-na dari Pendekar Rajawali Sakti tadi.

   "Sudah, Kakang. Jangan diteruskan,"

   Kata Anggita memohon.

   "Hm...,"

   Rangga hanya menggumam saja dengan kening berkerut.

   Dipandanginya gadis berwajah cukup cantik ini.

   Sementara, Anggita melangkah menghampi-ri Setan Tengkorak Hitam yang kini sudah duduk ber-sila.

   Laki-laki berjubah hitam itu masih mencoba mengatur pernapasannya yang masih terasa begitu sesak.

   Gadis itu langsung saja duduk di depannya.

   Saat itu pula, Rahtama dan Suryadanta menghampiri.

   Kedua pemuda itu juga duduk di depan laki-laki tua ini.

   Secara bersamaan, mereka merapatkan kedua telapak tangan, dan meletakkannya di depan hidung.

   "Hen...?! Apa-apaan ini...?"

   Rangga jadi tersentak kaget melihat sikap ketiga anak muda itu.

   Memang sulit dimengerti, karena tiba-tiba saja sikap Rahtama dan kedua adik seperguruannya jadi berubah.

   Padahal, tadi si Setan Tengkorak Hitam begi-tu marah dan hendak membunuh ketiga anak muda itu Tapi sekarang, setelah si Setan Tengkorak Hitam sudah terluka dalam, ketiga anak muda itu malah me-nunjukkan sikap seperti seorang murid pada gurunya.

   Inilah yang membuat Rangga jadi tidak mengerti.

   "Ada apa dengan mereka, Kakang? Kenapa mere-ka...?"

   Rangga merentangkan tangannya sedikit, mem-buat pertanyaan Pandan Wangi jadi terputus.

   Perlahan kedua pendekar muda itu melangkah lebih mendekat Sementara, Setan Tengkorak Hitam sudah mulai ber-semadi untuk menyembuhkan luka dalam yang dideri-ta, akibat pertarungannya melawan Pendekar Rajawali Sakti.

   Sedangkan, Rahtama, Suryadanta, dan Anggita masih tetap duduk bersimpuh di depan laki-laki tua berjubah hitam ini.

   Perlahan Rahtama berpaling ke belakang.

   Pan-dangannya langsung tertuju pada wajah Pendekar Ra-jawali Sakti.

   Kemudian, dia bangkit berdiri dan menghampiri pemuda berbaju rompi putih itu.

   Sedangkan kedua adiknya masih tetap duduk bersimpuh me-nunggui Setan Tengkorak Hitam yang sedang berse-madi.

   "Maafkan kami, Kakang. Sebenarnya....!"

   "Tidak perlu kau yang menjelaskan, Rahtama...!"

   Ucapan Rahtama seketika terputus, ketika tiba-riba saja Setan Tengkorak Hitam bangun dari sema-dinya.

   Laki-laki tua itu langsung saja berdiri dan melangkah menghampiri Rahtama yang berpaling ke arahnya.

   Sementara, Suryadanta dan Anggita juga bangkit berdiri.

   Mereka ikut melangkah, lalu mengam-bil tempat di belakang laki-laki tua berjubah hitam yang tampaknya sudah pulih kembali.

   "Sebenarnya, namaku bukan Setan Tengkorak Hitam. Tapi Randaka. Dan aku bukan orang lain bagi mereka bertiga. Nyai Langis, guru mereka, adalah ka-kakku. Jadi, aku termasuk guru mereka juga,"

   Jelas Setan Tengkorak Hitam yang sebenarnya bernama Randaka.

   "Benar, Kakang. Paman Randaka tadi hanya mengujimu saja. Tidak lebih,"

   Sambung Rahtama.

   "Menguji..? Untuk apa?!"

   Tanya Rangga meminta penjelasan.

   "Paman Randaka hanya ingin memastikan kalau kami bertiga tidak salah menemuimu jauh-jauh ke Ka-rang Setra,"

   Jelas Rahtama.

   "Sebentar...,"

   Selak Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam saja. Mereka semua langsung mengarahkan pandan-gan pada gadis cantik berbaju biru yang dikenal berjuluk si Kipas Maut. Sementara, Pandan Wangi meng-geser kakinya semakin mendekati Rangga.

   "Kuharap, salah satu dari kalian menjelaskan semuanya. Dan aku tidak ingin ada lagi permainan yang berbahaya seperti tadi. Kalian tahu, Kakang Rangga tadi bisa saja membunuh Paman Randaka,"

   Tegas Pandan Wangi, meminta penjelasan.

   "Maaf, Nini. Hanya dengan jalan itu aku baru bi-sa percaya, kalau pilihan murid-murid kakakku me-mang tidak salah,"

   Sahut Paman Randaka.

   "Maksudmu memilih Kakang Rangga itu untuk apa, Rahtama?"

   Tanya Pandan Wangi lagi.

   Rahtama tidak langsung menjawab.

   Matanya me-lirik sedikit pada Paman Randaka, kemudian beralih pada kedua adik seperguruannya yang terdiam saja se-jak tadi.

   Dan kini malah menatap Pandan Wangi, dan terakhir pada Rangga yang sejak tadi memang tengah memandang.

   "Ceritakan semuanya, Rahtama. Jangan sampai ada yang terlewat,"

   Ujar Paman Randaka.

   "Baiklah...,"

   Desah Rahtama sambil menghembuskan napas panjang-panjang.

   "Tapi, sebelumnya kukabarkan pada Paman, ka-lau Paman Wirasaba telah tewas."

   "Apa...?!"

   Paman Randaka tersentak, bagai mendengar petir di siang bolong.

   Kemudian, Rahtama menceritakan apa yang dili-hatnya bersama adik-adik seperguruannya, Pendekar Rajawali Sakti, dan Pandan Wangi.

   Sementara, laki-laki separuh baya itu tampak tabah.

   Walaupun tidak menangis, tapi jelas terlihat kalau wajahnya terselimut mendung kedukaan.

   Setelah Rangga menghibur dengan kata-kata lembut, barulah Paman Randaka bisa mengangkat wa-jahnya.

   Benar-benar tabah laki-laki ini.

   Rangga kemudian mengajak semuanya duduk di dekat api yang sudah mengecil nyalanya.

   Ditambah-kannya beberapa ranting kering, agar api kembali me-nyala besar untuk mengusir udara dingin yang menu-suk sampai ke tulang.

   Mereka semua duduk melingka-ri api unggun yang kini sudah menyala cukup besar, menghangatkan udara malam yang sangat dingin ini.

   Dan kini, Rahtama benar-benar bersiap memulai ceritanya.

   *** "Seperti yang ku utarakan di istana, kami me-mang sengaja datang menemuimu di istana Karang Se-tra, Kakang Rangga.

   Dan memang, tujuan ke sana ka-rena diutus guru kami yang bernama Nyai Langis.

   Ka-mi datang memang untuk meminta bantuan padamu, untuk mencari Selendang Sutera Emas milik guru ka-mi yang hilang,"

   Rahtama memulai menceritakan semua tujuannya menemui Pendekar Rajawali Sakti di Istana Kerajaan Karang Setra.

   "Ya! Kau sudah mengatakannya di istana,"

   Selak Pandan Wangi.

   "Tapi, kenapa kalian membutuhkan bantuan Kakang Rangga? Sedangkan kalian memiliki kepandaian tinggi. Terutama, Paman Randaka."

   "Sebenarnya, kami juga tidak ingin merepotkan orang lain, Nini. Tapi, yaaah.... Semua ini kami lakukan karena terpaksa. Orang yang mencuri Selendang Sutera Emas berkepandaian sangat tinggi. Dan kami semua tidak sanggup menandingi kepandaiannya. Ja-di, terpaksa harus mencari pendekar tangguh yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi lagi,"

   Paman Randaka yang menjelaskan pertanyaan Pandan Wangi.

   "Sebentar...,"

   Selak Rangga.

   "Bisa kalian jelaskan, seperti apa Selendang Sutera Emas itu? Apakah selendang itu sangat penting artinya bagi kalian?"

   "Bukan untuk kami, Pendekar Rajawali Sakti,"

   Sahut Rahtama.

   "Memang bukan untuk kami. Tapi, selendang itu merupakan benda pusaka yang sangat penting artinya bagi guru kami,"

   Sambung Anggita.

   "Nyai Langis...?"

   "Benar. Tanpa Selendang Sutera Emas, semua kepandaian yang dimiliki Nyai Langis tidak ada ar-tinya. Dan dengan mudah sekali guru kami bisa dika-lahkan musuh, karena sebagian jiwanya sudah dipin-dahkan ke dalam selendang itu,"


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong

Cari Blog Ini