Ceritasilat Novel Online

Dendam Dan Asmara 1


Pendekar Slebor Dendam Dan Asmara Bagian 1


Waktu datang dan pergi.

   Sejarah hadir dan berganti.

   Manusia lahir dan mati.

   Roda kehidupan terus berjalan tanpa ada yang dapat menghentikannya.

   Dan selama itu pula dunia persilatan selalu diwarnai berjuta kisah.

   Tentang darah dan nyawa, tentang cinta, tentang perjuangan, dan tentang pengorbanan.

   Sejak Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa berani unjuk taring kembali dalam dunia persilatan, hari-hari makin tersaput warna merah karena terlalu banyak darah tertumpah.

   Tidak hanya pemberontakan pada Prabu Bratasena yang dilakukannya.

   Tapi, juga keangkaramurkaan yang membumi-hanguskan orang-orang tak berdaya.

   Pembantaian yang terjadi di mana-mana, kini bukan lagi kisah luar biasa.

   Di setiap tempat dan di setiap waktu, bisa saja terjadi secara tiba-tiba.

   Lengking kematian kerap terdengar, seiring isak tangis pilu para korban yang teraniaya.

   Saat ini, dunia persilatan memang tengah mem-butuhkan 'Sang Penyelamat'! Karena hukum kerajaan yang diberlakukan Prabu Bratasena pun ternyata tidak memiliki kekuatan dalam menghadapi kebuasan Begal Ireng dan kawanannya.

   Sementara itu, di Lembah Kutukan yang jauh dari hingar-bingar dunia persilatan, seorang pemuda tampan bermuka tirus tampak tengah menjalani perjuangan antara hidup dan mati.

   Dan orang itu adalah Andika.

   Setelah beberapa tahun menekuni ilmu olah kanuragan di lembah itu, dia sudah menjadi pemuda berbadan tegap berotot.

   Rambutnya sebatas bahu tak teratur.

   Wajahnya yang tampan dihiasi oleh mata tajam menusuk.

   Sedangkan alis mata yang menukik bagai sayap elang, memperlihatkan ketajaman muka-nya.

   Kini, dalam masa penyempurnaannya sebagai seorang pendekar keturunan keluarga Lembah Kutukan.

   Dan dia harus menerima sesuatu yang tak terduga.

   Saat itu, Andika baru menyelesaikan jurus ketiga puluh yang bernama 'Petir Selaksa' hasil ciptaannya.

   Di antara gencarnya juluran lidah petir, tubuhnya tampak berkelebat kian kemari dalam satu rangkaian gerakan ganjil.

   Seluruh tubuhnya sudah dibanjiri keringat yang tak henti-hentinya mengalir dari lubang pori-porinya.

   Kini tampak, juluran lidah petir yang amat menyilaukan mata menghujam ke arah Andika dari arah samping kanan.

   Dan pemuda itu dapat merasakan kalau sambaran petir kali ini memiliki kekuatan beberapa kali lipat lebih dahsyat, beda dari biasanya.

   Tentu saja anak muda itu tidak sudi tubuhnya ter-panggang, karena keganjilan yang baru kali ini ditemui.

   Dengan sigap, tubuhnya berkelebat ke samping dengan kecepatan melebihi suara.

   Kekuatan lidah api yang hendak mengganyangnya memang luput sejengkal dari tubuhnya.

   Namun ketika kaki kirinya menjejak salah satu dari susunan batu yang teratur rapi, mendadak tanah di sekitar batu itu amblas! Belum sempat Andika menyadari apa yang terjadi, tubuhnya tersedot ke lubang besar yang kini tercipta.

   Srrr! Anak muda bertubuh gagah itu benar-benar tidak bisa lagi menguasai keseimbangannya.

   Tubuhnya terus meluncur dalam lubang menurun yang panjang berliku.

   Bunyi kerikil dan pasir yang ikut terseret tubuhnya, terdengar seperti desis ribuan ular berbisa.

   Sampai suatu ketika....

   Buk! Tubuh kekar Andika terbanting keras di tanah dasar lubang itu.

   Karena pantatnya yang jatuh lebih dulu, maka bagian itu pula yang mengalami rasa sakit paling parah.

   Wajahnya langsung meringis-ringis seperti orang telat buang air.

   Dengan terduduk menahan sakit, tangannya meraba bagian pantatnya yang berdenyut-denyut bukan kepalang.

   "Huh! Daripada pantatku terbentur seperti ini, lebih baik tersambar petir...,"

   Keluh pemuda itu, jengkel.

   "Kalau tahu jadi pendekar sakti harus sesengsara ini, rasanya lebih baik jadi tukang sayur saja."

   Selesai menggerutu panjang pendek, Andika mulai mengawasi keadaan sekitarnya.

   Rupanya, di sekelilingnya merupakan sebuah ruangan yang sama sekali asing.

   Ruangan ini cukup luas, berdinding batu cadas yang melingkar hingga ke bagian atas.

   Pada beberapa bagian dinding tertancap obor-obor yang tampaknya dihidupi oleh gas alam.

   Hawa di dalam ruangan itu sangat sejuk, seolah-olah ada saluran udara khusus yang tersembunyi.

   Namun, bukan hal itu yang menarik perhatian Andika.

   Rupanya ada sesuatu yang membuat keningnya berkernyit dalam.

   Di salah satu sudut ruangan ini, ternyata ada seorang lelaki tua bertubuh kurus.

   Dia tengah duduk tenang dengan mata terpejam di atas sebuah batu yang permukaannya pipih.

   Seluruh pakaian yang dikenakannya berwarna putih.

   Amat pantas dengan keadaannya yang begitu menggambarkan ketenangan.

   Dari caranya duduk dengan tangan terlipat di dada, Andika yakin kalau laki-laki tua itu sedang bersemadi.

   Dan ada satu lagi yang membuat Andika terheran-heran.

   Ternyata di depan lelaki tua itu terdapat meja beralaskan kain kotak-kotak hitam dan putih seperti papan catur.

   Bahkan di atasnya tampak pula beberapa buah catur.

   Andika jadi terheran-heran sendiri seraya mendekati lelaki tua itu dengan langkah hati-hati.

   Ber-macam-macam dugaan berkecamuk dalam benaknya saat ini.

   Tapi, tak satu pun yang terjawab, sehingga makin membangkitkan rasa ingin tahunya yang terkadang liar.

   Andika melangkah makin dekat.

   Hatinya semakin tegang, hingga tanpa disadari, napasnya diatur sedemikian rupa, agar tidak terdengar oleh lelaki tua yang kini dihampirinya.

   "Ki...,"

   Tegur Andika setengah berbisik ketika telah berada di sisi orang tua berbaju putih itu. Andika diam sebentar, sambil terus mengamati tindakan orang tua itu.

   "Ki...! Hey, Kisanak,"

   Ulang Andika lebih keras.

   Tapi orang yang ditegur tetap saja mematung tanpa gerak sedikit pun.

   Andika mencoba memanggil lagi.

   Bahkan tangannya pun sudah bergerak-gerak nakal di depan wajah orang tua itu.

   Hasilnya, tetap nihil.

   Orang tua itu belum juga memberi tanggapannya.

   Sekali lagi di-cobanya untuk menegur dengan suara lebih keras, sampai akhirnya, dia jadi menggerutu sendiri.

   "Huh!"

   Andika mulai jengkel, karena orang yang di-tegurnya seakan menganggapnya sekadar nyamuk buduk.

   "Apa kau memang tuli, Ki? Apa aku harus berteriak tepat di telingamu? Ya..., baiklah!"

   Gumam pemuda bermuka tirus ini, seperti orang kehilangan akal. Lalu....

   "Kisanak...! Oooi, Kisanak!"

   Jerit Andika tak tanggung-tanggung, tepat di telinga lelaki tua yang mulai menjengkelkannya.

   Tanpa disadarinya, kekuatan sakti dalam tubuh Andika mengalir bersama jeritannya.

   Hal itu meng-akibatkan dinding batu cadas di sekelilingnya bergetar, lalu runtuh sebagian.

   "Uf, maaf tak sengaja. He he he...,"

   Ucap Andika cepat, saat menyadari akibat teriakan gilanya.

   Dan lagi-lagi, pemuda ini harus jengkel.

   Bagaimana mungkin laki-laki jompo itu tidak mendengar teriakannya? Kalau dinding cadas saja dapat berantakan seperti kerupuk, kenapa gendang telinga laki-laki itu tidak pecah? Andika makin diseret kedongkolan, karena rasa herannya.

   "Kau sudah mati ya, Kisanak? Ya...! Pasti kau sudah mati!"

   Kini Andika mendekatkan telinganya ke dada kurus lelaki tua.

   Beberapa saat diperhatikannya denyut jantung laki-laki tua yang terus diam seperti patung.

   Cukup lama juga, sampai dia benar-benar yakin kalau telinganya tidak menangkap detak jantung orang tua itu sedikit pun.

   "Kasihan kau, Kisanak. Rupanya kau memikirkan langkah-langkah catur ini, sampai mati karenanya,"

   Oceh Andika seraya melirik ke buah catur di hadapannya. Sebentar kening Andika berkerut, melihat langkah-langkah buah catur di hadapannya. Otaknya terus bekerja, seperti mengotak-atik biji-biji catur berwarna putih, agar dapat mematikan raja hitam.

   "Padahal langkah biji catur hitam amat mudah untuk menghindari kematian. Kalau saja dari dulu kau katakan hal ini padaku, tentu tak akan mati pusing seperti ini,"

   Celoteh Andika sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan-akan, dialah orang terhebat dalam permainan catur. Tiba-tiba....

   "Siapa yang mengatakan aku sudah mati?!"

   Andika terlonjak bukan main, begitu tiba-tiba terdengar suara berat mendengus.

   Bahkan tubuhnya sampai terlempar tiga tindak ke belakang.

   Wajahnya tampak pucat-pasi karena terkejut.

   Alis matanya yang hitam terangkat tinggi-tinggi.

   Ditatapnya lelaki tua tadi dengan sinar mata ngeri.

   "Arwah gentayangan, ini pasti hantunya!"

   Bisiknya dengan bahu menciut.

   "Hiy...!"

   "Siapa yang kau katakan hantu?!"

   Hardik lelaki tua yang matanya kini telah terbuka.

   "K... kau, Kisanak! Kau pasti arwah gentayangan. Kau..., kau sudah mati. Kau har... rus kembali ke alammu. Ayo, sssana! Husss!"

   Ujar Andika tergagap. Tangannya mengibas-ngibas, seperti mengusir.

   "Bocah goblok! Baru pertama kali ini aku bertemu seorang yang ingin jadi pendekar, tapi bernyali kodok!"

   Bentak orang tua itu lagi. Kali ini matanya menatap Andika.

   "Aku bukannya takut, Hanya...."

   "Hanya apa?!"

   Andika menelan ludah.

   "Cuma seram...,"

   Tambah Andika setelah menelan ludah, dengan mata masih terbelalak seperti hendak keluar.

   "Apa kau kira aku ini arwah gentayangan?"

   Andika tidak menjawab. Dia sendiri sudah begitu yakin kalau orang tua di depannya sudah mati dan arwahnya kini kembali karena dia telah mengusiknya.

   "Aku bukan setan, Tolol! Kenapa kau masih melotot seperti orang cacingan?!"

   Bentak orang tua itu lagi. Jenggot putihnya tampak tergetar saat mem-bentak.

   "Jadi kau bukan arwah gentayangan? Ah, bohong! Kau pasti setan yang suka berbohong!"

   Tukas Andika. Lelaki tua itu malah tertawa.

   "Ke sini kau!"

   Perintah laki-laki tua itu tiba-tiba.

   "Tidak mau...,"

   Tolak Andika, seraya menggelengkan kepala kuat-kuat.

   "Kesini!"

   "Tidak mauuu...!"

   "Kalau tidak ke sini, kau akan kucekik sampai mati. Ingat, aku adalah arwah gentayangan yang paling suka mencekik orang!"

   Ancam lelaki tua ber-jenggot putih. Lagi-lagi Andika menelan ludah. Dia berpikir.

   "Daripada dicekik, lebih baik menuruti kemauannya saja". Kakinya mulai beringsut, mendekati orang tua itu.

   "Sekarang duduk!"

   Perintah orang tua itu kembali, sewaktu anak muda itu sudah selangkah di depannya. Andika meringis ngeri, mendengar permintaan orang tua itu.

   "Setelah aku duduk, mau diapakan lagi?"

   "Duduklah. Jangan takut, aku tak akan men-cekikmu!"

   Ujar orang tua itu, seperti dapat membaca pikiran Andika. Akhirnya, Andika menurut. Sambil tetap menatap orang tua itu, dia duduk takut-takut.

   "Dengarkan baik-baik,"

   Ujar orang tua itu, saat Andika sudah duduk menciut.

   "Namaku, Ki Saptacakra. Aku tahu, kau belum kenal padaku. Maka itu, akan kuperkenalkan diriku kalau aku adalah buyutmu, Pendekar Lembah Kutukan...."

   Wajah Andika langsung menengadah, bagai baru saja mendapat mimpi.

   Bagaimana hatinya tidak tersentak seperti sedang bermimpi, kalau orang tua di depannya mengaku sebagai Pendekar Lembah Kutukan yang tinggal menjadi cerita rakyat selama lebih dari seabad.

   Namun Andika juga berpikir.

   "Kalau orang tua yang mengaku bernama Ki Saptacakra, pasti arwah gentayangan yang sinting! Masalahnya, dia mengaku sebagai buyutku."

   "Jangan sembarangan mengaku-ngaku sebagai buyutku, Kisanak!"

   Bentak Andika kesal.

   Tiba-tiba saja harga diri Andika sebagai keturunan langsung pendekar tersohor itu terusik.

   Dia berpikir, Ki Saptacakra sedang mengejek keluarganya.

   Padahal, Andika sendiri belum pernah mengenal satu pun dari anggota keluarga Pendekar Lembah Kutukan."

   Sementara, Ki Saptacakra terkekeh.

   "Rupanya kau tidak terlalu pengecut, ya?"

   Sindir orang tua itu.

   "Pengecut? Hei, bagaimana mungkin keturunan Pendekar Lembah Kutukan bisa pengecut?"

   Sergah Andika seraya membusungkan dada, biarpun sebenarnya masih gemetar juga.

   "Dan aku tidak terima kalau kau mengaku-ngaku seenaknya!"

   "Kalau kau tidak percaya, terserah,"

   Kata Ki Saptacakra amat tenang. Setenang bias wajahnya yang ditumbuhi jenggot putih panjang.

   "Tapi kau mesti tahu, aku akan mewariskan sesuatu yang belum kau miliki...."

   "Terima kasih, aku sudah hebat,"

   Sela Andika, seenak dengkul.

   "Bagiku. kau hanya anak bawang. Anak pengecut yang pongah dan keras kepala,"

   Kata Ki Saptacakra kembali sambil terkekeh. Andika langsung bangkit, lalu berkacak pinggang. Hatinya benar-benar mangkel.

   "Ngomong-ngomong soal pengecut, sebenarnya tadi aku hanya agak kaget..., itu pun hanya sedikit sekali. Ingat itu,"

   Ujar Andika membela diri.

   "Dan soal anak bawang itu. Bisa kubuktikan kalau aku ini biangnya bawang! Eh..., maksudku aku memang hebat. Bagaimana aku harus membuktikannya? Apa mesti menggigit telingamu sampai mengejang mati?"

   "Kau bisa main catur?"

   Tanya Ki Saptacakra.

   "Main catur? Apa hubungannya dengan kesaktian-ku? Percuma saja selama enam purnama, aku pontang-panting di Lembah Kutukan kalau hanya ditantang main catur,"

   Remeh Andika.

   "Itulah sikap keras kepalamu!"

   Ejek Ki Saptacakra.

   "Aku tidak keras kepala!"

   Teriak Andika. Ke-dongkolannya sudah naik sampai ke ubun-ubun.

   "Baik, baik. Tantangan konyolmu kuterima...."

   Akhirnya Andika menerima tantangan itu. Dia tidak mau disebut keras kepala, meski memang begitu.

   "Kau bereskan dulu buah caturnya!"

   Perintah Ki Saptacakra.

   Mata Andika jadi menyipit.

   Alisnya bertaut amat erat.

   Masalahnya, Ki Saptacakra seenaknya menyuruh Andika membereskan buah catur.

   Andika jadi menggerutu.

   Tapi karena tidak mau disebut keras kepala lagi, akhirnya menyerah.

   Dengan malas-malasan, tangan anak muda itu menjulur ke buah catur yang masih tersusun pada tempatnya masing-masing.

   Begitu hendak mengangkat satu buah catur, keningnya langsung berkernyit.

   Ternyata buah catur itu sulit diangkat.

   Digenggamnya buah catur itu kuat-kuat, lalu di-hentakkan.

   Ajaib! Buah catur kayu itu tetap saja tidak bergeming.

   Apalagi terangkat.

   Andika baru sadar.

   Tentu buah catur itu telah disalurkan tenaga dalam oleh Ki Saptacakra.

   Dengan bibir menyeringai kesal, tenaga saktinya segera dikerahkan.

   "Hiaaat!"

   Usaha pertama tidak berhasil.

   "Hiaaat!"

   Kembali tenaga saktinya. Dan ternyata usaha kedua pun nihil.

   "Hiaaat!"

   Usaha ketiga pun sia-sia. Dut... bret... bret... bruuut! Nah, itu usaha selanjutnya. Andika sampai terkentut-kentut.

   "Sialan!"

   Maki Andika putus asa.

   "Terang saja, ini di tempatmu sendiri, Ki. Kalau tidak...."

   Walaupun tidak berhasil, Andika masih berkilah mencari-cari alasan. Sementara Ki Saptacakra hanya tersenyum-senyum mengejek. Andika segera melepaskan genggaman tangannya pada buah catur tadi dengan wajah tertekuk.

   "Aku tak sudi melanjutkan permainan konyol ini,"

   Gerutu pemuda itu.

   "Itu artinya kau menyerah,"

   Cemooh Ki Saptacakra.

   "Suka-sukamulah, Ki. Toh, tak ada seorang pun yang menyaksikan kekalahanku...,"

   Kata Andika, lesu.

   "Jadi kau mau menerima warisanku, kan?"

   Ki Saptacakra tersenyum geli. Sedangkan Andika makin menekuk wajah.

   "Tapi sebelum menerimanya, kau harus berusaha mencari jalan keluar dari tempat ini,"

   Kata Ki Saptacakra kembali. Wajahnya yang semula cerah karena tersenyum, kini mulai memutih lagi.

   "Permainan macam apa lagi yang kau berikan padaku, Ki?"

   Tanya Andika.

   "Kalau begitu caranya, aku lebih suka tidak menerima warisanmu."

   Sementara, Andika terus mondar-mandir di depan Ki Saptacakra yang masih duduk tenang.

   "Itu sama artinya kau tidak ingin keluar dari tempat ini."

   "Apa maksudmu?"

   Andika menghentikan langkahnya.

   "Ya! Karena hanya dengan menerima per-syaratanku tadi, kau bisa keluar dari tempat ini. Sekaligus, menerima warisanku,"

   Jelas Ki Saptacakra datar.

   "Ini benar-benar menyebalkan! Menjengkelkan! Mendongkolkan!"

   Umpat Andika seraya melanjutkan langkah. Kembali pemuda itu mondar-mandir. Sementara, tangannya mengacak-ngacak rambut sendiri, seakan mulai dirasuki setan kudis.

   "Aku tidak mau tinggal di tempat ini sepanjang hidup. Aku masih ingin makan tempe. Dan, aku juga mau kawin!"

   Teriak Andika.

   "Kalau begitu, cari jalan keluarnya. Aku akan melanjutkan semadiku,"

   Ujar Ki Saptacakra. Laki-laki tua itu seperti tidak mengindahkan kesewotan Andika yang memuncak. Matanya kembali terpejam, lalu perlahan napasnya tak terdengar.

   "Hei, Ki. Kau harus memberitahuku jalan keluar dari tempat ini."

   Tapi, Ki Saptacakra sudah larut kembali dalam kekhusyukan semadinya.

   "Aku tak ingin kurang ajar dengan orang tua sepertimu, Ki. Tapi kau mempermainkanku, maaf kalau aku sampai memakimu.... Setan Belang! Kentut Tuyul! Tua bangka brengsek, kau!" *** Telah dua hari dua malam Andika terkurung di dalam goa, tempat Ki Saptacakra bersemadi. Selama itu, tak ada sepotong makanan pun yang dapat dimakan, kecuali menelan air yang merembas di antara dinding cadas. Selama itu pula, dia telah berusaha mencari jalan keluar. Tentu saja hasilnya sia-sia. Kini Andika terduduk lesu di salah satu sudut ruangan. Dipandangnya Ki Saptacakra dengan tatapan kesal. Kalau saja masih punya tenaga, akan dimakinya orang tua yang tetap tenang dalam semadi itu. Sekarang, jangankan untuk berteriak-teriak mengumpat. Untuk berdiri saja, dia sudah begitu lemah. Perutnya yang kosong jelas membuatnya demikian. Berkali-kali Andika menarik napas, melepas rasa putus asa yang mulai menelusup dalam rongga hatinya. Untunglah dia anak muda keras kepala. Meski tubuhnya sudah lemas, namun otaknya masih tetap bekerja.

   "Kalau aku mencoba keluar dari lubang yang membawa tubuhku ke tempat ini, belum tentu masih terbuka. Bisa saja lubang itu telah tertimbun reruntuhan tanah kembali. Apa mungkin tidak ada jalan keluar lagi? Ah, mustahil! Udara yang tetap sejuk dan tak pengap di ruangan ini jelas membuktikan kalau ada bagian terbuka yang menjadi tempat keluar masuk-nya udara. Itu pasti pintu keluar yang dimaksud orang tua brengsek ini. Tapi di mana?"

   Gumam Andika, bicara pada diri sendiri. Lama pemuda itu memutar otak, mencari kemungkinan letak pintu keluar. Sampai suatu saat, matanya terantuk pada meja catur di depan Ki Saptacakra.

   "Catur itu!"

   Pekik pemuda itu girang.

   "Langkah-langkah catur itu pasti petunjuk menuju jalan keluar!"

   Bergegas Andika menghampiri meja catur kembali. Diperhatikannya buah catur di atasnya. Tampak buah catur hitam milik Ki Saptacakra dalam keadaan terdesak. Rajanya terancam dalam beberapa jurus. Otaknya yang memang cerdas mulai berjalan lagi.

   "Dengan membebaskan buah raja, pasti aku akan mendapat arah menuju pintu keluar,"

   Gumam pemuda itu yakin. Mulailah pemuda itu mereka-reka buah catur yang mana yang harus digerakkan untuk menyelamatkan buah raja. Beberapa waktu kemudian....

   "Dapat!"

   Segera tangan pemuda itu bergerak menuju buah catur. Kali ini tak ada kesulitan dalam mengangkat buah catur itu. Setelah memindahkan beberapa buah catur, Andika dapat membebaskan buah raja yang terancam.

   "Kuda makan prajurit. Prajurit maju satu langkah, perdana menteri selangkah ke kanan, dan raja maju selangkah ke depan,"

   Bisik Andika, mengingat-ingat. Tak lama, Andika bangkit berdiri. Dan dia mulai melangkah sesuai langkah catur yang telah dijalan-kannya. Sampai akhirnya, berdiri tepat di belakang tubuh Ki Saptacakra.

   "Sekarang bagaimana lagi?"

   Gumam pemuda itu. Andika terdiam dengan otak mereka-reka kembali. Matanya menyipit. Sementara telunjuk tangan kanannya menempel di pelipis.

   "Tanah yang kupijak ini pasti merupakan kunci pembuka jalan keluar."

   Andika memperhatikan tanah tempat yang dipijaknya.

   Semakin diperhatikan, semakin tampak jelas kalau ada bagian yang menjorok ke dalam di tanah itu.

   Dan bagian itu segera diinjaknya.

   Kemudian....

   Grrr! Dinding di sisi kiri Andika perlahan terkuak, memperdengarkan deram bagai geraman naga.

   "Yah! Aku berhasil, Ki! Aku berhasil! Aku bisa kawin!"

   Teriak Andika seperti orang gila. Kakinya cepat melangkah mendekati Ki Saptacakra. Andika menjulurkan kedua tangannya, memegang bahu Ki Saptacakra.

   "Ki...! Hei, Ki! Aku berhasil!"

   Seru Andika seraya menggoyang-goyangkan tubuh Ki Saptacakra. Namun, tubuh Ki Saptacakra tetap terdiam seperti patung.

   "Aaah! Kau jangan berpura-pura mati lagi, Ki! Aku sudah tahu...."

   Ketika tangan Andika melepaskan tubuh orang tua itu, Ki Saptacakra terjatuh dari duduknya dalam keadaan kaku.

   "Ki...." *** Andika berhasil keluar dari tempat Ki Saptacakra, dan segera memasuki sebuah ruang lain dengan melewati pintu batu yang terbuka, setelah menginjak bagian yang menjorok ke bawah. Di ruangan yang baru dimasukinya itu, Andika melihat sebuah kolam alam kecil seperti dalam Goa Lembah Kutukan. Kalau tepian kolam di Goa Lembah Kutukan dipenuhi tumbuhan berbuah seperti tomat, maka di ruang ini tepian kolam itu dipenuhi peti-peti berukir. Pemuda itu segera melangkah mendekati tepi kolam. Tubuhnya segera membungkuk, mengambil sebuah peti. Begitu seterusnya. Dan setiap kali satu peti dibuka, mata pemuda itu terbelalak lebar. Andika benar-benar terperangah, karena peti-peti itu ternyata berisi tumpukan emas permata. Dan pada peti terakhir yang dibukanya, ternyata ada satu peti yang isinya berbeda. Di dalamnya hanya ada buah ranum berwarna hijau pekat, sebesar kepalan tangan. Saat itu Andika benar-benar dibuat bingung. Apa maksud Ki Saptacakra dengan mengatakan kalau mau memberi warisan? Kalau emas permata yang bertumpuk dalam peti, Andika benar-benar tak berminat. Sebab disadari banyak manusia yang menjadi bejat karena harta. Otak Andika sudah demikian lelah diperas terus-menerus untuk memecahkan teka-teki agar dapat keluar dari ruang semadi Ki Saptacakra. Sehingga, dia tidak peduli lagi dengan warisan yang dikatakan orang tua itu. Yang jelas, dia ingin secepatnya pergi dari tempat itu. Apalagi, perutnya terasa sangat lapar, maka tanpa pikir panjang, tangannya langsung mengambil buah dari peti itu. Sebentar kemudian, mulutnya telah mengunyah dengan nikmat. Tanpa disadari, Andika sebenarnya telah memakan buah langka bernama Inti Petir. Buah itu tumbuh di Lembah Kutukan dalam waktu seratus tahun sekali. Seseorang yang memakan buah berwarna merah yang tumbuh di Goa Lembah Kutukan, sekaligus memakan buah hijau dari dalam peti itu, tubuhnya akan mampu menyerap kekuatan petir! Sesungguhnya, itulah yang hendak diwariskan Ki Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan yang telah menjadi cerita rakyat. Ketika menemukan buah Inti Petir, Ki Saptacakra sudah mulai menyingkir dari hingar-bingar dunia persilatan. Dia kemudian bersemadi berpuluh tahun. Tujuannya adalah memohon pada Tuhan, agar diberi kesempatan untuk bertemu salah seorang keturunan-nya yang akan diwarisi buah langka itu. Sebagai salah seorang keturunan Ki Saptacakra, Andika beruntung. Hanya dia yang rupanya dapat bertemu langsung dengan buyutnya yang sudah menjadi dongeng kepahlawanan itu. Sekaligus menerima warisan ter-akhirnya yang amat dahsyat! Maka ketika Andika telah berhasil membuka pintu batu dalam ruang semadinya, Ki Saptacakra pun menyerahkan jiwanya ke hadirat Tuhan. Dia wafat bersama senyum puas di bibir keriputnya. Setelah perutnya tidak lapar lagi, Andika harus menemui jalan keluar kembali. Sebentar matanya beredar ke sekeliling ruang yang hanya diterangi nyala obor yang terpancar di dinding. Sebenarnya, pemuda itu heran juga, karena obor itu seperti tak kunjung padam. Pemuda itu jadi tertarik, kemudian mendekati obor. Lalu, diraihnya tangkai obor. Dan begitu tangannya mencabut obor, tiba-tiba.... Derrr! Mendadak, dinding batu cadas di hadapan Andika bergeser ke kiri bersama obor yang baru saja ditarik. Perlahan-lahan dinding itu bergerak, hingga akhirnya membentuk lubang yang menembus langsung ke dunia luar.

   "He?!"

   Andika terhenyak kaget.

   Buru-buru kakinya melangkah, mendekati lubang itu.

   Tubuhnya lalu membungkuk, karena lubang itu hanya setinggi anak kecil berusia tujuh tahun, dengan lebar tak lebih dari setengah tombak.

   Dan begitu diterobos, ternyata Andika telah berada di puncak bukit, di atas Lembah Kutukan! *** Di kaki langit sebelah timur, matahari tersembul memantulkan sinar rona jingga.

   Ayam jantan liar mengumandangkan kokoknya yang gagah, menyapa hari di ambang pagi.

   Gumpalan awan berarak di cakrawala.

   Sementara, tiupan angin sejuk melengkapi lahirnya hari ini.

   Dalam terpaan lembut hawa pagi, Andika mematung di puncak bukit yang memagari Lembah Kutukan.

   Tubuhnya terlihat bagai tonggak kayu tak bernyawa saja.

   Di bawah sana, di Lembah Kutukan, dia telah menyelesaikan masa penyempurnaannya sebagai seorang pendekar dari Lembah Kutukan.

   Ya! Penyempurnaan dirinya memang telah selesai.

   Tapi hatinya tak pernah berhenti bertanya.

   "Benarkah aku telah benar-benar sempurna?"

   Andika takut kalau telah melalaikan sesuatu saat di Lembah Kutukan, hingga tidak mampu mengemban amanat yang di-serahkan padanya.

   Sementara amanat tersebut bukanlah sesuatu yang ringan.

   Panji-panji keadilan dan kebenaran harus ditegakkan.

   Betapa takut Andika jika ternyata gagal dalam tugas suci itu, hanya karena kelalaiannya dalam menjalani penyempurnaan.

   "Telah sempurnakah aku?!"

   Bisik hati pemuda itu.

   Namun sisi hatinya yang lain berbisik, kalau penyempurnaan kedigdayaan yang telah dilakukannya di Lembah Kutukan memang tidak menjamin.

   Bukankah di dunia ini tak ada manusia yang sempurna? "Ya! Aku tak perlu mengkhawatirkan kegagalan dalam setiap langkah perjuanganku.

   Yang penting aku mesti melaksanakan yang terbaik sebatas kemampuan,"

   Tekad batin Andika dalam bisik samar yang tersapu angin lalu.

   Kakinya mulai melangkah menuruni pegunungan berbatu.

   *** Siang di Desa Sariadi.

   Pasar di tengah desa itu masih ramai oleh kesibukan.

   Para pedagang tetap gigih menjajakan barang, meski sinar matahari terus menusuk di atas kepala.

   Sama halnya para pembeli yang datang kesiangan.

   Mereka menyatu dalam satu irama bising.

   Di antara orang-orang yang lalu-lalang, tampak seorang pemuda berjubah putih yang sudah sangat lusuh.

   Dan orang itu ternyata Andika yang baru saja tiba di desa ini.

   Penampilannya amat tak sedap dipandang.

   Jubah peninggalan Ki Saptacakra yang dikenakannya sudah.

   seperti kain lusuh.

   Di samping karena sering dibakar sambaran petir ketika di Lembah Kutukan, juga karena selama dia menciptakan jurus-jurus silat.

   Gerakannya yang dahsyat, berkali-kali mengoyak pakaiannya.

   Langkah pemuda itu tampak gontai ketika memasuki bagian pasar yang agak ramai.

   Di kanan kirinya, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing tanpa mempedulikan kehadirannya.

   Barangkali mereka sudah terlalu sering menemukan pengemis yang berpakaian compang-camping seperti Andika di pasar ini.

   Andika tidak tahu, apa tujuannya ke pasar yang memusingkan ini.

   Bahkan tidak tahu ke mana tujuannya yang pasti.

   Dia hanya ingin berjalan sampai benaknya menemukan rencana untuk memulai tugas yang diemban.

   Lebih jauh memasuki pasar, beberapa pedagang yang tak mendapat pembeli memperhatikan Andika.

   Mereka berbisik satu sama lain, lalu memperdengarkan tawa tertahan sampai ke telinga Andika.

   Makin memasuki pasar, makin banyak orang yang memperhatikannya.

   Seakan-akan, dirinya adalah tontonan menarik.

   Sialnya lagi, ada beberapa orang yang tak sungkan-sungkan tertawa terbahak-bahak persis di depan hidung Andika.

   Jelas saja Andika kebingungan.

   Alis legamnya terangkat tinggi.

   Sementara, tangannya terangkat ke depan dada dengan telapak terbuka, seperti hendak bertanya.

   "Hua ha ha...! Pengemis sinting!"

   Ledek seorang pedagang sayur.

   "Pengemis? Sinting pula? Sialan! Mimpi apa semalam, sampai orang menganggap aku pengemis sinting...,"

   Gumam Andika dongkol.

   Kedongkolan Andika makin memuncak tatkala banyak gadis cantik yang terkikik menahan tawa, saat melihat dirinya.

   Wajahnya yang tirus dan agak pucat, mendadak merah matang.

   Hidungnya pun sudah kembang-kempis seperti hidung kelinci.

   Rasanya, saat itu dia ingin mendengus berkali-kali agar panas dalam dirinya bisa terbuang.

   "Apa salahku?!"

   Bentak Andika tiba-tiba. Dua gadis desa yang menggendong bakul sayur langsung terlonjak kaget. Wajah mereka meringis ngeri, saat menemukan mata Andika membelalak sejadi-jadinya.

   "Kalau kalian naksir aku, kenapa tidak bicara langsung saja?! Atau kalian tidak pernah menemukan lelaki setampan aku?"

   Omel Andika seraya mencak-mencak. Dua gadis desa itu menatap Andika takut-takut, dengan wajah pucat.

   "Maaf, Kang. Anu...,"

   Kata salah seorang gadis, mencoba menjawab.

   "Anunya siapa?! Eh, anu apa?!"

   Potong Andika, galak.

   Gadis itu tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi, karena mulutnya sibuk menelan ludah.

   Hanya jari tangannya saja yang bergerak, menunjuk bagian belakang tubuh Andika.

   Setelah itu, tubuhnya langsung berbalik dan kabur bersama kawannya yang menjerit-jerit minta ditunggu.

   "Hei! Tunggu!"

   Seru Andika. Namun, mereka makin tunggang-langgang. Sementara, puluhan pasang mata lain memandang Andika dengan takut. Sedangkan Andika hanya ter-bengong-bengong. Lalu, tangan kirinya mencoba meraba pantatnya.

   "Kutu koreng! Rupanya ini penyakitnya,"

   Gerutu Andika.

   "Tentu kain ini tersangkut di ikat pinggangku sewaktu membopong tubuh Ki Saptacakra untuk dikuburkan."

   Pantas saja mereka menganggap Andika sebagai orang sinting.

   Bagaimana tidak? Ternyata persis di pantatnya menjulur kain bercorak papan catur yang terlihat seperti ekor.

   Kain itulah yang dimaksud gadis tadi.

   Andika menggoyang-goyangkan pantatnya, membuat kain itu bergerak-gerak gemulai.

   "Ah! Ekor kuda pun tak sebagus ekorku,"

   Gumam pemuda itu, menghibur diri di sela kejengkelan.

   Setelah kain alas catur milik Ki Saptacakra dipindahkan ke bahu, Andika melanjutkan langkahnya.

   Tidak dipedulikannya lagi beberapa orang yang masih menertawakan di sepanjang jalan.

   Perutnya sudah berontak minta diisi.

   Menurutnya, perut inilah yang lebih baik diurus.

   Belum sempat menemukan kedai nasi, Andika dikejutkan oleh kegaduhan yang mendadak tercipta beberapa puluh tombak di belakangnya.

   Semula pemuda berpenampilan mengharukan ini tidak peduli.

   Karena dipikirnya, orang-orang di pasar mulai meledek lagi.

   Tapi ketika keramaian itu diwarnai jeritan-jeritan ngeri, tubuhnya lantas berbalik.

   Saat itu mata tajam Andika dapat menangkap kepulan asap hitam mulai menodai angkasa.

   Lalu, para pengunjung pasar berhamburan kian kemari tanpa terkendali.

   Suasana sudah seperti dilabrak gempa! Andika tidak yakin kalau kejadian itu hanya kebakaran biasa.

   Pasti ada sesuatu yang tidak beres di balik kebakaran itu! Jiwa kependekaran Andika kontan tergetar.

   Pijar keksatriaannya meletup di dadanya.

   Bisikan dari relung hati terdalamnya menyemangati, kalau tugas telah menanti.

   Tanpa menunggu teriakan menyayat melabrak telinganya lagi, tubuh Andika melesat cepat menuju asal kericuhan.

   Di antara puluhan orang yang berlari simpang-siur, tubuh Andika berkelebat lincah disertai ilmu meringankan tubuh seperti walet di antara batu-batu karang.

   Tak heran dalam sekejap saja, Andika sudah tiba di tempat kejadian.

   Dan tubuhnya langsung melenting ke udara.

   Lalu, sepasang kakinya menjejak mantap di atas sebuah kedai, dekat bangunan yang dilahap api.

   Beberapa tombak di bawah, tampak lima lelaki kasar sedang menghajar seorang pemuda.

   Mereka memukul, menendang, menginjak, dan menyeret secara bergantian.

   Bagi kelima lelaki itu, pemuda yang dihajar habis-habisan tidak lebih dari anjing geladak.

   "Aaakh!"

   Rintih pemuda yang dikeroyok itu. Wajah pemuda yang usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun itu sudah habis dihiasi memar dan darah. Bajunya yang berwarna kuning cerah, harus dinodai darah yang tersembur dari mulutnya.

   "Kau harus memohon ampun pada kami! Lalu akui kesalahanmu. Maka, nyawamu akan terbebas dari maut!"

   Perintah salah satu dari lima lelaki.

   Wajah orang itu nampak bersih.

   Namun sinar matanya mencorong kejam.

   Hidungnya yang melancip terlihat seperti paruh burung pemakan bangkai.

   Sedangkan bibirnya tebal.

   Menilik pakaian yang dikenakannya yang sama dengan keempat lelaki temannya, tentu dia berasal dari perkumpulan yang sama.

   "Aku tak akan sudi memohon ampun padamu! Kau bisa membunuhku. Tapi tak akan bisa membuat aku memohon belas kasihan padamu!"

   Jawab si pemuda itu bersama erangan.

   "Rupanya kau lebih suka mati, ya?! Kau lebih menghargai harga dirimu ketimbang nyawamu?"

   Cemooh lelaki berwajah bersih itu.

   "Aku bukan menghargai harga diriku. Tapi aku menjunjung tinggi nilai kebenaran!"

   Sahut pemuda itu, tak mempedulikan rasa sakitnya.

   "Hei..., hei! Kau minta aku mempercepat kematianmu? Baik, jika itu yang kau minta."

   Sring! Lelaki berhidung lancip itu mengeluarkan pisau kecil dari balik bajunya. Ketika sinar matahari menerabas, terbersitlah pantulan sinar menyilaukan dari mata pisau yang setajam taring harimau itu.

   "Pisau ini akan menyayatmu sedikit demi sedikit, sampai mau mengakui kesalahanmu,"

   Ancam lelaki berhidung lancip dengan mata berbinar-binar mengerikan.

   "Atau menyayat burungmu yang belum disunat itu, ya?!"

   Selak seseorang di belakangnya. Laki-laki berhidung lancip ini kontan tersentak. Jelas, suara itu bukan suara temannya. Matanya segera mencari sumber suara. Berbareng dengan dengusan keras, tubuhnya berbalik ke arah suara di belakangnya.

   "Apa kabar?"

   Sapa Andika seraya melambaikan tangan kirinya. Memang, Andikalah yang tadi menyelak keasyikan lima lelaki yang kini tepat di hadapannya dalam jarak lima tombak.

   "Siapa kau?!"

   Bentak lelaki berhidung lancip.

   "Aku? O, aku tukang daging yang pisaunya tadi kau pinjam. Masa' lupa?"

   Jawab Andika asal bunyi.

   "Keparat!"

   "Iya, babat. Aku akan memotong daging babat. Jadi, aku mau minta pisauku kembali...."

   "Jangan melawak di sini, Gembel! Lebih baik pergi sebelum nasibmu seperti pemuda itu!"

   Seru lelaki yang lain. Andika menarik napas dalam-dalam. Satu alisnya terangkat. Setelah itu, dia malah melepas kain bercorak catur yang tersampir di pundaknya. Digelarnya kain itu di tanah berdebu.

   "Kalau pisauku belum juga dikembalikan, aku akan tunggu di sini,"

   Kata Andika seraya duduk di atasnya sambil memeluk lutut. Habis sudah kesabaran lelaki berhidung lancip itu. Lewat lambaian tangan, diperintahkannya empat lelaki lain untuk menghajar Andika.

   "Langsung dihabisi saja, ya Kang? Gembel ini hanya mengganggu acara kita,"

   Ujar seorang lelaki yang bertubuh paling kurus, yang disambut anggukan berat dari laki-laki berhidung lancip di sampingnya.

   Keempatnya kemudian melangkah makin dekat pada Andika.

   Mereka benar-benar menganggap Andika kecoak yang mudah diinjak begitu saja, lalu mati.

   Hal itu terlihat dari bibir mereka yang berlekuk meremehkan.

   "Lho... lho, tunggu dulu!"

   Seru Andika sambil bangkit tergesa. Empat lelaki itu menduga anak muda di hadapan mereka hendak lari. Dan mereka memang lebih suka begitu. Dengan demikian urusan lebih cepat selesai. Maka seketika itu juga mereka menghentikan langkah.

   "Nanti kalau menyerang, kalian bergerak sekaligus, ya? Jangan satu-satu! Aku biasa kerja borongan, kok...,"

   Oceh Andika seraya bangkit berdiri. Langsung dikebutkannya kain yang tadi dihampar-kan. Maka debu seketika berhamburan dari kain itu. Akibatnya, empat lelaki yang sudah tidak jauh dari Andika langsung terbatuk-batuk diserbu gulungan debu.

   "Ukh! Ukh!"

   "Ukh..., brengsek!"

   Mereka kini bisa menikmati akal bulus Andika.

   "Hua ha ha...!"

   Di lain pihak, anak muda itu terpingkal-pingkal diberondong tawanya yang membludak. Badannya yang tegap bergelinjang kian kemari, seakan dikelitiki sekawanan tuyul.

   "Hiaaat!"

   Sebelum Andika puas tertawa, keempat lelaki itu melabraknya penuh nafsu.

   Dibenak masing-masing hanya berkobar keinginan untuk mencincang menjadi potongan-potongan kecil tubuh pemuda yang telah mempermainkan mereka.

   Dua lelaki serempak membabat.

   Satu ke bagian kepala dan yang lain ke bagian dada Andika.

   "Eit!"

   Andika hanya menggeser tubuhnya ke belakang, maka sabetan ganas itu hanya memakan angin.

   Sedangkan tangan kanannya yang masih memegang kain catur bergerak sekejap, menyabet ke bawah.

   Ctat! Ctat! Begitu cepat gerakan Andika, sehingga tak seorang pun yang mampu menghindari.

   Kedua lelaki yang ingin merencah tubuh Andika lebih dulu, mendapat rejeki lumayan.

   Kantung menyan di selangkangan masing-masing kontan terasa pedih berdenyut-denyut, terkena sabetan kain Andika.

   Bahkan ngilunya sampai ke ulu hati.

   Dan keduanya langsung melompat-lompat belingsatan sambil memegangi bagian rahasia yang terkena itu.

   Sementara itu, dua lelaki lain mencoba membokong.

   Golok mereka berdesing deras di belakang Andika.

   Namun belum sempat senjata mereka merejam punggung, pemuda itu sudah berjumpalitan ke depan.

   Lagi-lagi, dilepaskannya serangan balasan yang nakal.

   Sambil berguling ke depan, jari tangannya menjentik selangkangan kedua lawannya yang masih meluncur.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga....

   Tuk! Tuk! Dua buah sentilan keras mendarat telak di bagian rahasia milik kedua laki-laki yang akan membokong Andika.

   Kini mereka melompat-lompat seperti anak kodok terinjak.

   "Hap! Hap! Hap!"

   Seru Andika.

   Begitu bangkit, Andika mengikuti gerakan melompat mereka.

   Setelah puas meledek, tubuhnya bergerak lagi.

   Kali ini, gerakannya amat santai.

   Dihampiri lawannya satu persatu, lalu ditotoknya aliran darah mereka.

   Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! Tubuh keempat laki-laki itu langsung ambruk, begitu mendapat totokan di punggung masing-masing.

   Bruk! "Kalian istirahat dulu ya, Manis.

   Aku akan mengurus kawan kalian yang belum kebagian jatah...,"

   Ucap Andika seraya mengelus jenggot seorang lawannya.

   Mendengar perkataan Andika barusan, tentu saja lelaki berhidung lancip yang tidak ikut menyerang jadi tergagap.

   Matanya mendelik seperti hendak melompat keluar, membayangkan ketakutan yang amat sangat.

   Dia membayangkan, benda-benda rahasia kawannya sudah pecah semua.

   Padahal, Andika hanya menyalurkan sedikit tenaga dalamnya saat itu.

   Meski begitu, mereka tetap mengerang-erang dengan mata melotot.

   Dan ini dikira laki-laki berhidung lancip itu, keempat temannya sedang mengalami sekarat.

   Pikir punya pikir, akhirnya lelaki itu memutuskan untuk lari.

   Dengan wajah bertekuk-tekuk ketakutan, kakinya bergerak lebar-lebar.

   Dia berusaha kabur, namun....

   "Kena!"

   Teriak Andika.

   Tuk! Andika memang telah melesat cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, melewati orang yang kabur itu.

   Lalu, langsung dilepaskannya sebuah totokan di punggung.

   Akibatnya, orang itu kontan ambruk.

   *** Setelah kelima bajingan tengik itu dibereskan, orang-orang di pasar mulai berani berkumpul.

   Satu demi satu mereka menghampiri tempat kejadian.

   Dari kejauhan tadi, sebenarnya mereka menyaksikan ulah Andika terhadap kelima lawannya.

   Kalaupun orang-orang itu menghampiri tempat kejadian, karena memang ingin menegaskan wajah Andika.

   Wajah anak muda tampan yang membereskan kericuhan dengan amat mudah.

   Lucu, tapi juga konyol.

   Maka kasak-kusuk kemudian menyebar ketika mereka sudah membentuk kerumunan.

   "Siapa dia, ya? Kalau dia pendekar, kenapa tingkahnya slebor? Apa ada Pendekar Slebor?"

   Kata salah seorang dari mereka.

   "Hus! Nanti dia dengar, lho! Kamu mau 'perkutut' kamu disentil!"

   "Hiiiy!"

   Mendapati orang-orang yang berkumpul seperti itu, Andika jadi geleng-geleng kepala.

   "Hey! Kenapa kalian jadi senang nonton sejak aku sampai di sini? Kalau kalian ingin terus nonton, silakan. Tapi aku tidak mau disalahkan bila pasar milik kalian habis terbakar!"seru Andika, seraya menunjuk api besar yang melalap sebuah kedai kelontong. Seperti baru disadarkan dari mimpi, orang-orang itu langsung serabutan kian kemari, mereka langsung mencari ember dan air untuk memadamkan api yang sudah berhasil menghanguskan satu bangunan.

   "Air! Air! Ambil air!"

   "Ember, ember! Ambil ember!"

   Teriak mereka kalang kabut.

   "Goblok.... Goblok! Kalian goblok!"

   Rutuk Andika setengah mangkel. Kemudian, dihampirinya pemuda yang menjadi bulan-bulanan tadi.

   "Ada apa sebenarnya, Kisanak?"

   Tanya Andika sopan, setelah tiba di depan pemuda yang umurnya lebih tua darinya.

   "Aku juga tidak tahu,"

   Jawab pemuda itu seraya menyapu sudut bibirnya yang masih mengalirkan darah.

   "Hm..., boleh aku panggil Kakang?"

   Tanya Andika.

   "Boleh. Tapi, aku lebih suka kalau dipanggil Jaka,"

   Sahut pemuda yang ternyata bernama Jaka, diiringi anggukan.

   "O, iya. Aku Andika,"

   Sambut Andika. Tangannya langsung disodorkan. Mereka berjabat tangan. Dan Andika segera membantu Jaka untuk bangkit.

   "Bisa kau ceritakan, kenapa mereka memukulimu?"

   Tanya Andika. Mulailah Jaka menceritakan kejadian naas yang menimpanya.

   "Tadi aku melihat seorang gadis cantik di pasar ini. Sebagai pemuda yang ingin disebut laki-laki, aku langsung tertarik oleh keayuannya. Namun sebelum-nya, aku agak ragu, karena wanita itu menyandang pedang bergagang kepala naga di punggung. Dan kupikir, hanya wanita-wanita pendekar saja yang menyandang senjata seperti itu. Tapi aku berusaha nekat. Akhirnya kuikuti juga wanita itu. Pada suatu kesempatan, aku berhasil mendekatinya. Wanita itu kutegur dengan sikap ramah,"

   Tutur Jaka, seraya menghentikan ceritanya sebentar. Sementara, Andika masih menatap wajah Jaka. Ada sesuatu yang mengganjal dadanya. Tapi dia berusaha menahan, sampai Jaka memutuskan ceritanya.

   "Sikap ramahku ternyata mendapat sambutan yang baik dari wanita itu. Dan dia memintaku untuk mengantarkan ke kedai kelontong yang menyediakan pakaian wanita. Tentu saja membuat hatiku mekar,"

   Lanjut Jaka.

   "Maka aku mengantarkannya ke kelontong terdekat. Sesampainya di tempat itu, dia membeli beberapa keperluan. Usai urusannya, dia memberiku uang. Benar-benar sial nasibku hari itu. Rupanya wanita yang kutaksir menyangka kalau aku adalah pesuruh pasar. Tapi, lebih sial lagi ketika datang lima orang bertampang seram yang menuduhku mata-mata."

   "Mata-mata siapa?"

   Tanya Andika, memotong cerita Jaka.

   "Aku juga tidak tahu. Mereka lalu menanyakan tujuanku bersama wanita itu. Bahkan mereka, membakar begitu saja kedai kelontong tempat belanja wanita yang kudekati. Ah! Aku jadi tidak mengerti...,"

   Keluh Jaka. Tiba-tiba Andika ingat tentang ganjalan hatinya, dari cerita Jaka tadi.

   "Tadi kau katakan, wanita itu menyandang pedang bergagang kepala naga?"

   Tanya Andika. Jaka mengangguk pertanyaan Andika.

   "Pedang bergagang kepala naga? Siapa lagi pendekar wanita yang memiliki pedang seperti itu, kalau bukan Purwasih yang berjuluk si Naga Wanita! Hm..., rupanya kita akan bertemu di sekitar daerah ini, Naga Wanita keparat!"

   Desis Andika tak sabar (untuk lebih jelasnya, silakan baca episode. 'Lembah Kutukan').

   "Kenapa, Andika?"

   Tanya Jaka, terheran-heran.

   *** Senja merayap.

   Sinar matahari telah meredup merata.

   Hamparan langit terlihat kian sayu.

   Bersama jangkrik yang mulai berderik, hari akhirnya rebah dalam singgasana malam.

   Dan Andika sekarang sudah mempunyai rencana untuk memulai tugas sucinya.

   Setelah kejadian siang tadi, dia memutuskan untuk mencari Purwasih yang lebih terkenal berjuluk Naga Wanita.

   Sejak sepanjang siang tadi, dijelajahinya daerah sekitar itu.

   Tapi, wanita yang dicarinya belum juga ditemukan.

   Badan Andika mulai menuntut istirahat.

   Pegal dan linu melantakkan seluruh persendiannya.

   Yang terbaik baginya saat itu hanya istirahat.

   Kalaupun pencarian terus dilakukan, akan sia-sia saja karena kegelapan malam akan mempersulitnya.

   Dan saat ini, dia tengah berada di bawah sebuah pohon besar.

   Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu bibirnya tersenyum.

   Kemudian....

   Hup! Andika langsung melesat ke atas, disertai ilmu meringankan tubuhnya yang telah tinggi tingkatannya.

   Dan manis sekali kakinya menjejak salah satu cabang pohon yang sangat kuat menahan tubuhnya.

   "Huaaah...!"

   Di atas sebuah batang pohon randu yang besar, Andika menguap.

   Tubuhnya langsung direbahkan di cabang pohon itu.

   Dia memang tidak punya uang untuk menyewa penginapan.

   Makan tadi siang saja harus dibayarnya dengan mencuci piring di kedai.

   Malah tadi sempat dibentak oleh pemilik kedai yang piringnya mau sebersih cermin.

   Tapi bagi Andika itu tidak apa-apa, yang penting bisa mengisi perut.

   Mata pemuda itu seolah demikian berat.

   Kerdipannya mulai lambat.

   Sebentar saja Andika terpulas dalam selimut alam.

   "Aaakh...!"

   Namun belum beberapa lama terbang ke alam mimpi, Andika dikejutkan oleh teriakan seseorang.

   Maka sontak matanya terbuka lebar-lebar.

   Sesaat matanya mengerjap-ngerjap, mengusir rasa pening akibat bangun mendadak.

   Kemudian telinganya dipasang tajam-tajam, berharap dapat mendengar teriakan berikutnya, dan dapat menentukan asalnya.

   Beberapa saat Andika terdiam.

   Suara yang ditunggu-tunggunya ternyata tidak kunjung terdengar.

   Dan dia mulai ragu dengan telinganya.

   "Ah! Pasti hanya mimpi,"

   Gumam Andika. Mata pemuda itu mulai terpejam lagi.

   "Aaakh...!"

   Dan pada saat itu juga, kembali terdengar teriakan membahana, menguak udara malam yang dingin.

   "Dari sebelah utara,"

   Desis Andika.

   Bergegas Andika menggenjot tubuhnya dan melenting turun.

   Lalu seketika tubuhnya melesat cepat ke arah utara.

   Tak lama dia sudah menembus hutan randu yang cukup lebat.

   Dan sebentar saja, matanya sudah menangkap cahaya api unggun sebelas tombak di depannya.

   Andika mengendap hati-hati, mendekati api unggun.

   Kakinya baru berhenti melangkah, ketika melihat seorang wanita sedang berdiri di depan api unggun.

   Beberapa tombak di hadapannya, tampak seorang lelaki tengah tergantung di atas pohon dengan kepala di bawah.

   Di balik semak-semak, Andika menyembunyikan tubuhnya sambil terus memperhatikan.

   Melihat penampilan wanita itu, Andika seperti pernah mengenalnya.

   Tubuhnya yang agak mungil terbungkus baju hijau lumut.

   Rambutnya yang panjang dikepang ekor kuda.

   Karena Andika berdiri di belakangnya, anak muda itu tidak bisa jelas melihat wajahnya.

   Tapi dia tetap yakin pernah bertemu dengannya.

   Pedang berkepala naga di punggung, membuat Andika memastikan kalau gadis yang diintainya dari sepanjang siang tadi dicarinya, pasti Purwasih.

   Andika memutuskan untuk bertahan dulu beberapa saat di tempat persembunyiannya.

   Dia ingin tahu, apa yang dikerjakan Purwasih terhadap lelaki yang digantungnya di atas pohon.

   "Kau masih bertahan untuk tidak bicara?"

   Kata Purwasih di antara gemeretak kayu yang terbakar.

   "Kau pikir aku akan mudah bersuara untukmu, Naga Merah?"

   Jawab lelaki yang digantung. Tubuhnya dipenuhi koyak akibat sayatan pedang. Masih dengan meringis menahan pedih, dia menatap berbalik pada Purwasih.

   "Tanyakan saja pada iblis hutan randu ini!"

   "Ooo, kau ingin diberi sedikit paksaan lagi?"

   Tukas Purwasih, dingin.

   "Baik...."

   Kemudian Purwasih bangkit. Dihampirinya lelaki itu. Lalu.... Sret! Purwasih mencabut pedangnya di punggung. Langsung dibabatkan pedangnya ke arah paha laki-laki yang digantung.

   "Aaakh!"

   Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak darah meleleh dari paha yang tersayat itu.

   "Bagaimana, apa kau masih tidak ingin bicara?"

   Desak Purwasih.

   Orang yang dipaksa bicara hanya menatap dengan sinar mata dendam.

   Sementara di tempat persembunyian, Andika mengutuk perbuatan Purwasih yang telengas itu.

   Ternyata dugaannya dulu bahwa Naga Wanita adalah bajingan perempuan yang mengaku-ngaku sebagai utusan adipati, kini terbukti.

   Darah Andika menggelegak hingga ke ujung kepala.

   Dadanya berderu keras dilanda kemarahan yang tiba-tiba membakar.

   Terlebih, saat benaknya dibawa kembali pada peristiwa pembokongan dirinya oleh Purwasih ketika bertempur melawan Begal Ireng dulu.

   Seketika saja, tangannya meraba sesuatu di tanah.

   Lalu....

   Singngng! Tes! Tali pengikat lelaki yang digantung terputus, begitu Andika mengebutkan tangannya.

   Rupanya, kerikil yang dijentikkan bersama tenaga dalam membuat tali terputus, sehingga orang yang digantung meluncur ke tanah.

   Brukkk! Lelaki tadi jatuh menghantam tanah.

   Sementara Purwasih terkesiap.

   Sinar matanya terlihat garang saat mencari orang yang hendak ikut campur urusannya.

   "Siapa setan busuk yang berani lancang?! Keluar!"

   Bentak gadis berbaju hijau lumut penuh amarah.

   Jawaban yang muncul justru kelebatan sesosok tubuh yang datang dari samping.

   Dan, Purwasih langsung membabatkan pedangnya yang masih tergenggam di tangan, untuk memapak serangan itu.

   Tapi hatinya jadi terkejut, karena tebasannya seperti mengenai angin.

   Padahal dia sudah yakin kalau penyerangnya akan segera menggelepar terbabat.

   Ternyata orang yang berkelebat tiba-tiba melenting ke atas, seraya mengebutkan tangannya.

   Dan....

   Tuk! Keterkejutan Purwasih bertambah dua kali lipat, ketika menyadari tubuhnya terasa tak memiliki tulang lagi.

   Rupanya si penyerang telah menotok jalan darahnya! Sebentar saja, tubuh Purwasih telah ambruk ke tanah.

   "Apa kabar, Naga Wanita? Masih ingat padaku yang tampan ini?"

   Sapa Andika, begitu menjejakkan kakinya di depan Purwasih.

   Mulanya, gadis itu hanya menatap Andika dengan alis merapat dan mata yang menyipit geram.

   Penampilan Andika yang sudah seperti gembel itu sudah tidak dikenalinya.

   Baju pemuda itu koyak-koyak dan mengenakan kain bercorak catur yang menutupi bagian belakang tubuhnya.

   Tapi ketika matanya tertumbuk pada wajah pemuda itu....

   "Kau... Andika?"

   Desis Purwasih, ingin memastikan.

   "Ya! Aku Andika, anak muda yang pernah kau bokong dulu...,"

   Kata Andika penuh getaran pada setiap kata-katanya.

   "Ah! Kau masih saja slebor seperti dulu, Andika. Kalau ingin mengucapkan salam pertemuan, kenapa harus menotok? Dasar slebor...,"

   Kata Purwasih, tanpa bisa bergerak sedikit pun di tanah.

   "Diam!"

   Hardik Andika mengguntur. Purwasih langsung tercekat.

   "Apa-apaan kau ini?!"

   Dengus Purwasih, makin tercekat bercampur heran.

   "Jangan berpura-pura, Perempuan Tengik! Kukira kau benar-benar utusan Prabu Bratasena yang sedang menyelidiki pemberontakan Begal Ireng. Tapi, ternyata kau tak lebih dari penipu!"

   Desis Andika.

   "Apa?! Gila! Gila kau, Andika! Tak pantas kau menuduhku seperti itu!"

   Balas Purwasih, tak kalah sengit. Mata Andika melotot. Sambil berjalan mengelilingi Purwasih yang tergeletak tanpa gerak, matanya terus terpaku pada gadis itu.

   "Tak pantas? Setelah kau berusaha membunuhku saat bertempur melawan Begal Ireng dulu? Setelah aku tahu, kalau kau ternyata dicari-cari lima lelaki dari kerajaan, karena kau adalah mata-mata? Setelah kau menyiksa secara keji lelaki tadi?"

   Kata Andika lagi, sinis.

   "Hi hi hi...!"

   Mendadak Purwasih tertawa tertahan.

   "Kenapa tertawa?! Aku tidak sedang melucu!"

   Dibentak Andika seperti itu, wajah Purwasih kembali mengejang.

   "Tolol! Tak kukira, ternyata pikiranmu masih tolol...,"

   Dengus Purwasih.

   "Diaaam!"

   Potong Andika.

   "Kau yang diam! Dengarkan aku!"

   Balas Purwasih, tak kalah sengit.

   "Aku memang utusan Prabu Bratasena. Dan aku pula yang dulu membokongmu. Tapi...."

   "Tapi kau hanya bajingan perempuan!"

   Potong Andika sekali lagi. Mata Purwasih meredup. Sakit hatinya dikatakan bajingan.

   "Andika.... Bukalah totokanmu. Akan kujelaskan semuanya,"

   Ratap gadis itu agak perlahan. Dia berusaha menguasai kejengkelan yang mem-berontaki dirinya.

   "Setelah kau kubebaskan, lalu akan buron? Huh! Nanti dulu...."

   "Apa kau pikir aku bisa menandingi kehebatanmu? Apa kau lupa, kalau kau adalah keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang diwarisi kecepatan gerak yang sulit tertandingi?"

   Andika menggaruk-garuk kepala seperti orang bodoh.

   "Memang benar apa yang dikatakan perempuan brengsek ini. Ilmu meringankan tubuhku sudah demikian sempurna."

   Kepala pemuda itu jadi mengangguk-angguk.

   "Kenapa hanya mengangguk-angguk seperti burung kakaktua? Bebaskan aku!"

   Seru Purwasih.

   "Baik... baik. Kenapa jadi begitu sewot? Aku tak akan menciummu atau berbuat yang macam-macam padamu,"

   Ucap Andika, mulai timbul lagi sifat ugal-ugalan seorang anak gelandangan yang sudah tertanam dalam dirinya.

   Pemuda itu segera merunduk.

   Seketika tangannya bergerak cepat ke arah punggung gadis itu.

   Dan....

   Tuk! Purwasih seketika terbebas dari totokan itu.

   Gadis itu segera bangkit seraya menepuk-nepuk baju hijaunya yang dipenuhi kotoran.

   Dan ini membuat Andika jadi tidak sabar.

   "Cepat buktikan ucapanmu! Kenapa kau jadi lambat kayak pesinden?!"

   Rutuk Andika.

   "Iya..., iya!"

   Omel Purwasih. Tangan gadis itu segera bergerak mengeluarkan pisau-pisau kecil dari balik bajunya.

   "Hey! Kau mau main api padaku, ya?!"

   "Ah, dasar anak tolol! Apa kau tak mau kubuktikan kalau aku tidak bermaksud membunuhmu waktu itu?"

   Tukas wanita itu seraya mengacungkan pisau tanpa gagang, namun terdapat rumbai-rumbai di ujung belakangnya. Pisau seperti itulah yang dulu menancap di badan Andika dulu.

   "Baik..., buktikanlah! Tapi kalau main curang, kau akan kucium sampai mati!"

   Di antara sinar api unggun yang menerpa wajah cantik Purwasih, seketika rona merah dadu merayapinya. Ucapan terakhir Andika yang sedikit nakal, membuatnya mati kutu. Mulutnya terkunci rapat, tak dapat lagi berkata apa-apa.

   "Ayo, tunggu apa lagi?!"

   Sentak Andika.

   Tiba-tiba tangan Purwasih bergerak.

   Zing...! Zing...! Zing...! Tiga pisau kecil langsung meluncur pada sisa tali yang dipakai untuk menggantung lelaki yang kini telah lenyap entah lari ke mana.

   Tes! Tes! Tes! Tali itu langsung terpotong tiga bagian dengan ukuran sama.

   Namun Andika mengernyitkan kening, tidak mengerti maksud Purwasih.

   "Apa maksudmu sebenarnya? Kalau hanya jengkel dengan ucapanku tadi, aku akan menariknya kembali. Aku tak akan mengancam dengan menciummu sampai mati. Tapi...."

   "Diam, Andika!"

   Selak Purwasih. Gadis itu tidak ingin wajahnya bertambah merah, lalu diketahui pemuda tampan ini.

   "Kau sudah lihat, aku dapat memutuskan tali itu dengan senjata rahasia, bukan? lanjut Purwasih. Andika mengangguk-angguk dengan tangan memegangi dagu. Sementara Purwasih mengira Andika sudah mengerti maksudnya. Makanya ditariknya napas lega beberapa saat.

   "Jadi apa maksudmu?"

   Tanya Andika sambil menggaruk kepala. Purwasih menarik napas lagi. Tapi kali ini karena jengkel.

   "Kalau aku ingin membunuhmu waktu itu, akan mudah kulaksanakan. Sengaja aku membokongmu, agar Begal Ireng menyangka kau mati sehingga selamat dari tangannya,"

   Urai Purwasih menjelaskan.

   "O, jadi kau tidak mengarahkan pisau itu ke jantungku?"

   "Ya! Aku hanya mengarahkan pada titik yang menghentikan gerakan jantung sesaat. Sehingga, Begal Ireng menyangka kau mati."

   Andika mengangguk-angguk kembali.

   Dia mulai percaya penjelasan wanita cantik yang kini kembali duduk di dekat api unggun.

   Karena dia sendiri pernah bertemu seseorang yang mampu menghentikan denyut jantungnya.

   Siapa lagi kalau bukan Ki Saptacakra.

   Dihampirinya Purwasih yang terduduk kesal.

   Bagaimana wanita itu tidak kesal, kalau lelaki yang sedang dipaksa bicara tadi akhirnya kabur karena perbuatan yang dilakukan Andika.

   Dan sementara Andika sudah duduk di sisinya.

   "Lalu siapa lima lelaki yang kutemui siang tadi? Apa mereka dari kerajaan?"

   Tanyanya, mulai lembut. Saat bertanya, mata Andika yang setajam mata naga memperhatikan wajah Purwasih di dalam selimut cahaya merah api unggun. Dan tentu saja gadis itu jadi salah tingkah. Dia bangkit, seraya melangkah perlahan.

   "Mereka memang orang-orang kerajaan, anak buah seorang perwira yang berkhianat. Makanya aku memaksa lelaki tadi berbicara tentang perwira itu. Karena sampai saat ini, dia tetap menjadi musuh dalam selimut...,"

   Jelas Purwasih, sambil terus melangkah memutari api unggun. Andika ikut bangkit.

   "Aduh! Jadi, lelaki tadi antek-anteknya Begal Ireng? Ck ck ck.... Tolol sekali aku, ya?"

   Tutur Andika kebodoh-bodohan.

   "Lelaki itu pantas mendapat perlakuan yang tadi kuperbuat padanya. Karena, dia sendiri kerapkali berlaku keji pada orang-orang lemah dan tak berdosa,"

   Lanjut Purwasih, seperti tidak mendengar ucapan Andika. Sesaat gadis cantik berusia sekitar dua puluh sembilan tahun itu mematung dalam diam. Sedangkan Andika mendekatinya.

   "Gara-garamu, aku gagal mencari tahu siapa perwira yang berkhianat di kerajaan!"

   Bentak gadis itu tiba-tiba saat Andika baru saja berdiri di sampingnya. Andika tersentak. Cepat-cepat dadanya diusap.

   "Bangun-bangun... makan nasi sama racun.... *** Pagi bangkit kembali bersama senyum mentari di sudut timur. Hawa dingin mengepung hutan randu tempat Andika dan Purwasih bermalam. Kabut tipis bergerak lamban, seperti iring-iringan peri hutan.

   "Huaaah...."

   Andika menguap panjang. Bersama satu geliat tubuhnya, dia terjaga.

   "Pagi, Andika,"

   Salam seseorang di sampingnya. Rupanya. Purwasih bangun lebih dahulu, dan sedang meletakkan kayu bakar yang baru saja dicari di sekitar hutan randu itu.

   "Pagi...,"

   Sahut Andika agak malu, karena tidur seperti orang mati sehingga bangun kesiangan.

   "Apa rencanamu hari ini, Andika?"

   Tanya Purwasih, sementara tangannya memutar kayu sebesar jari yang berujung lancip di atas kayu lain untuk menyalakan api unggun. Dan begitu api telah tercipta, maka semakin berkobar membakar kayu bakar. Jadilah api unggun.

   "Aku tidak tahu,"

   Sahut Andika singkat.

   "Bukankah kau akan mencari Begal Ireng?"

   "Memang."

   "Kau hendak mencarinya ke mana?"

   "Kau sendiri bagaimana?"

   Andika malah balik bertanya.

   "Aku sendiri sudah kebingungan mencarinya. Dia sulit sekali ditemukan. Lebih-lebih karena markasnya tidak tetap. Gerombolannya selalu berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain, dari satu kampung ke kampung lain,"

   Jawab Purwasih. Tubuh gadis itu agak menjauh dari api unggun yang mulai menjilat-jilat. Rasa hangat perlahan menebar, sedikit mengusir dingin yang dirasakan.

   "Kalau kau telah menemukan, apa yang akan kau lakukan?"

   Tanya Andika. Purwasih menggeleng.

   "Tak tahu,"

   Jawab gadis itu singkat.

   "Untuk melawan Begal Ireng dan gerombolannya, paling tidak seluruh prajurit beserta perwira kerajaan harus dikerahkan. Itu pun tidak menjamin akan menang."

   "Aneh,"

   Desah Andika, setelah mendengar penjelasan Purwasih. Telinga wanita itu sempat menangkap desahan Andika.

   "Aneh bagaimana?"

   Tanya Purwasih ingin tahu pikiran Andika saat itu. Andika lalu mendekati api unggun, dan duduk di depan Purwasih.

   "Apa kau tak heran? Mengapa Begal Ireng tidak menyerbu kerajaan, sementara kekuatan gerombolan yang dimiliki bisa saja menghancurkan kerajaan?"

   Andika mengajukan pertanyaan. Purwasih menatap Andika dengan mata menyipit. Diakui perkataan pemuda di depannya memang benar.

   "Begal Ireng ingin merebut kekuasaan Prabu Bratasena, kan?"

   Purwasih mengangguk.

   "Nah! Tunggu apa lagi kalau kekuatannya sudah sanggup merebut kekuasaan prabu?"

   Purwasih mengangguk-angguk.

   Hatinya diam-diam memuji kecerdasan Andika dalam mencium hal itu.

   Dia sendiri tak pernah berpikir sampai sejauh itu, meski menyelidiki setiap gerakan pasukan Begal Ireng dari waktu ke waktu.

   Ditatapnya kembali mata pemuda tampan itu dengan sinar kekaguman.

   "Kenapa kau menatapku seperti itu?"

   Tanya Andika, tanpa diduga Purwasih. Wanita mana yang tidak menjadi merah padam kalau tertangkap basah seperti itu? Purwasih juga demikian. Buru-buru wajahnya disembunyikan dengan menunduk.

   "Anak muda brengsek!"

   Umpatnya dalam hati.

   "Eit... eit.... Kenapa wajahmu jadi kebakaran?"

   Goda Andika.

   "Kau naksir aku, ya? Kalau naksir, kenapa tidak bilang dari dulu?"

   Purwasih menatap saja. Dan seketika tangannya bergerak. Maka.... Tak! "Aduh!"

   Andika mengusap-usap jidatnya yang dicium gagang pedang Purwasih. Memang ledekannya sudah kelewatan.

   "Itu bukan cara orang naksir, Purwasih. Mestinya kau cium aku di kening, di pipi, atau di dengkul juga boleh,"

   Lanjut Andika belum kapok. Mata Purwasih membelalak, memelototi Andika. Dia tidak peduli lagi pada warna wajahnya yang semakin matang.

   "Kau ingin kupukul lagi, ya?!"

   Bentak gadis itu sewot.

   "Ampun... ampun!"

   Dan Andika menyingkir ngeri.

   Pagi terus berlanjut tanpa peduli pada dua insan yang sedang bercanda.

   Sepenggalan demi sepenggalan, matahari merangkak menuju puncak tahtanya.

   Mestinya, setiap manusia bisa berbagi suka seperti mereka.

   Bercanda, saling memperhatikan dan saling membagi kebahagiaan satu sama lain.

   Kalau saja manusia memiliki berjuta benih kasih yang dapat ditebarkan di dunia ini....

   *** Andika dan Purwasih sepakat untuk mengunjungi Kerajaan Alengka.

   Rencananya, Purwasih akan memperkenalkan Andika pada Prabu Bratasena.

   Mulanya Andika menolak tawaran Purwasih.

   Alasan-nya, dia tidak mau masuk istana, sehingga terpaksa harus mengikuti tata cara dalam hal menghadap prabu.

   Apalagi, Andika benci penghormatan yang berlebihan terhadap seorang raja.

   Tapi karena Purwasih terus mendesak, akhirnya pemuda itu menyerah.

   "Tapi sebelum kita berangkat ke kerajaan, kau harus ganti baju dulu,"

   Ujar Purwasih pada Andika.

   "Ganti baju?"

   Tanya Andika. Ditatapnya pakaian yang compang-camping. Memang, selama menjalani penyempurnaan, pakaiannya sering tersambar petir atau terkoyak akibat gerakan-gerakan silatnya yang terlalu cepat luar biasa.

   "Ini masih lumayan kok, ketimbang telanjang seperti kambing."

   "Tapi kambing tidak akan menghadap prabu,"

   Tukas Purwasih cepat.

   "Jangan khawatir, kita akan singgah dulu di Desa Sariadi. Lalu akan kubelikan kau pakaian yang pantas."

   "Sebenarnya aku enggan melepas pakaianku. Benda ini adalah warisan dari Ki Sanca, lelaki tua yang sudah seperti ayahku sendiri,"

   Desah Andika dengan mata menerawang, mengenang gurunya tatkala berada di Perguruan Trisula Kembar (baca episode pertama. 'Lembah Kutukan').

   "Gimana kau akan bertemu prabu kalau pakaian-mu seperti ini?"

   Purwasih memperhatikan pakaian Andika.

   "Kau lebih semrawut dari keranjang sampah!"

   "Kau yang malu, apa karena malu sama Prabu Bratasena?"

   Sindir Andika.

   "Dua-duanya, lah!"

   Jawab Purwasih, kesal.

   "Tapi kau berjanji?"

   Tawar Andika.

   "Janji? Janji apa?"

   "Kalau aku sudah ganti pakaian, kau harus memperkenalkan diriku sebagai tunanganmu pada Prabu ratasena...."

   "Apa?!" *** Akhirnya anak muda keras kepala itu bisa juga digiring Purwasih ke Desa Sariadi. Mereka kini memasuki pasar di desa ini untuk membeli beberapa keperluan di perjalanan nanti, sekaligus membeli pakaian untuk Andika. Seperti biasa, pasar pagi itu ramai oleh pedagang dan pengunjung. Kedai kelontong yang terbakar kemarin siang, tampak mulai dibersihkan oleh beberapa orang. Ketika tubuh Purwasih dan Andika sudah menyatu dalam arus manusia di pasar, beberapa orang di pinggir jalan terdengar berbisik-bisik. Sementara, mata mereka menatap Andika lekat-lekat. Andika yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian di pasar itu. tentu saja mengusik keingintahuan Purwasih. Tapi sebelum bertanya langsung pada anak muda di sampingnya, kasak-kusuk yang ditangkap telinganya sudah cukup menjelaskan, kenapa Andika diperhatikan mereka begitu rupa.

   "Itu kan, pendekar yang kemarin mengusir lima pengacau, ya?"

   Tunjuk salah seorang.

   "O, iya... si Pendekar Slebor, kan?"

   Timpal yang lain.

   "Hus!"

   Kasak-kusuk makin seru. Mendengar semua itu, Purwasih jadi tersenyum sendiri.

   "Rupanya kau sudah terkenal sekali, ya? Kau pun mendapat gelar kehormatan Pendekar Slebor! Hm, gelar yang bagus,"

   Ledek Purwasih sambil menahan tawa yang hendak meledak saat itu juga.

   Andika pura-pura tidak dengar.

   Dia melangkah terus tanpa menoleh.

   Sampai akhirnya, mereka tiba di salah satu kedai kelontong.

   Setelah menyelesaikan urusan di kedai kelontong, mereka singgah di kedai makan untuk memenuhi tuntutan perut mereka yang mulai bernyanyi.

   Kebetulan, kedai itu bersebelahan dengan kedai kelontong.

   Andika sudah berganti baju dan celana baru, hadiah dari Purwasih.

   Wanita itu pula yang memilihkannya untuk Andika.

   Menurut Purwasih, Andika cocok mengenakan pakaian warna hijau pupus.

   Dan Andika menerimanya.

   Sedangkan pada punggung Andika tersampir kain bercorak seperti papan catur, sehingga kain itu terlihat seperti jubah.

   Sebelum makanan pesanan tiba, Purwasih terus menatap anak muda itu lekat-lekat.

   Hatinya tak habis-habisnya memuji kegagahan pemuda di hadapannya dalam pakaian baru.

   Biarpun usia antara dirinya dengan Andika bertaut cukup jauh, tetap saja Purwasih tidak bisa mendustai perasaan kagumnya pada Andika.

   Sementara, orang yang sedang diperhatikan malah sibuk melirik kian kemari.

   Terutama pada beberapa wanita yang berada dalam kedai.

   "Bagaimana, Andika?"

   Tanya Purwasih, mengusik keasyikan Andika.

   "Wah, cantik-cantik...,"

   Jawab Andika cepat.

   "Aku tidak menanyakan gadis-gadis itu! Aku tanya, apa kau merasa lebih nyaman dengan pakaian itu?"

   Tukas Purwasih.

   "Ooo, itu. Pakaian hadiahmu ini boleh jugalah,"

   Ucap Andika jujur.

   "Paling tidak, aku bisa dilirik beberapa gadis di tempat ini...."

   Purwasih geleng-geleng kepala.

   Dia jadi menggerutu dalam hati.

   Masalahnya, kenapa pemuda ini sulit sekali sungguh-sungguh.

   Pantas saja penduduk desa di pasar tadi menyebutnya Pendekar Slebor....

   Beberapa saat kemudian, makanan pesanan tiba.

   Lalu mereka mulai menyantap, setelah hidangan diletakkan di meja oleh pelayan.

   Sebagai orang kerajaan, ternyata selera makan Purwasih tidak berlebihan.

   Yang dipesannya hanya makanan sederhana yang murah meriah.

   Padahal kalau mau, dia bisa makan lebih mewah dari yang tersedia sekarang ini.

   "Oya, Andika...,"

   Kata Purwasih saat mereka hampir menyelesaikan makan.

   "Aku turut prihatin atas nasib Ningrum waktu itu."

   Andika menarik napas dalam-dalam. Setiap kali ingat akan gadis yang disebutkan Purwasih, hatinya langsung terasa dijepit gunung karang. Sesak seketika melanda dadanya.

   "Maaf, Andika. Aku tak bermaksud mengganggu selera makanmu,"

   Sesal Purwasih ketika menemukan wajah Andika dikurung mendung.

   "Tidak apa-apa,"

   Sahut Andika perlahan.

   "Kenapa waktu itu kau hendak menyelamatkan aku dengan melempar senjata rahasiamu ke diriku?"

   Andika seperti sengaja mengalihkan pembicaraan tentang diri Ningrum yang terlalu menyakitkan baginya.

   "Karena kerajaan perlu dirimu. Begitu juga rakyat. Begal Ireng sudah terlalu membawa petaka bagi negeri ini. Sementara untuk menyingkirkannya, pihak kerajaan tak bisa berbuat banyak. Banyak pendekar golongan lurus yang menjadi marah, lalu mencoba melenyapkannya. Tapi, usaha mereka hanya membuang nyawa. Kau sebagai seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang diwarisi ilmu kedigdayaan tinggi, tentu menjadi satu-satunya harapan rakyat untuk membebaskan mereka dari cengkeraman kuku-kuku kekuasaan Begal Ireng,"

   Urai Purwasih panjang. Andika mengangguk-angguk. Bukan karena bangga terhadap keberadaan dirinya yang begitu dibutuhkan. Tapi, karena memahami betapa berat tugas yang dibebankan ke pundaknya, mengemban suara hati rakyat yang menderita.

   "Kenapa kau tanyakan itu?"

   Tanya Purwasih ingin tahu.

   "Tadinya kukira kau menyelamatkan aku karena naksir...,"

   Jawab Andika, sambil mengangkat bahu.

   "Kau mulai slebor lagi, Andika!"

   Hardik Purwasih tertahan.

   Kemudian jemari lentik gadis itu mencubit gemas perut Andika.

   Dia sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba ingin berbuat seperti itu.

   Apa mungkin mulai dirasuki keinginan bermanja-manja dengan pemuda tampan itu? Sementara di meja lain yang tak jauh dari meja mereka, seseorang duduk memperhatikan tanpa geming.

   Dari balik caping yang menyembunyikan wajahnya, mata orang itu terus mengawasi Purwasih dan Andika.

   Sinar matanya berkobar-kobar tajam.

   Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, dan tidak pula terlalu tegap, terbungkus pakaian berwarna merah darah.

   Memang tanpa diketahui Purwasih maupun Andika, orang itu telah mengikuti mereka berdua selama beberapa hari.

   Siapa dia? *** Perjalanan menuju Kerajaan Alengka memakan waktu sehari perjalanan.

   Setelah melewati beberapa kampung, mereka harus melewati hutan cemara di bukit yang membelah wilayah utara dengan kotapraja.

   Ketika mulai berjalan mendaki, hari sudah menjelang petang.

   Matahari mulai tersungkur lebih di kaki langit sebelah barat.

   Lembayung pun melukis langit dengan warna jingga.

   Dan sinarnya menerabas di antara pucuk-pucuk cemara yang bersusun tak teratur.

   "Kita terpaksa bermalam di tempat ini dulu, Andika,"

   Ujar Purwasih.

   "Kalau kita teruskan perjalanan, tidak mustahil kita akan tersesat dalam kegelapan hutan cemara."

   "Aku setuju saja apa katamu,"

   Sambut Andika.

   "Kita masih punya waktu untuk mencari tempat yang cukup nyaman agar...."

   Belum lagi tuntas ucapan Purwasih, dari arah selatan terdengar ringkik kuda, seiring derap sayup-sayup tertangkap di telinga.

   "Rupanya ada orang lain di tempat ini,"

   Bisik Andika kepada Purwasih.

   "Ah! Mungkin hanya penduduk yang hendak pergi ke kotapraja,"

   Duga Purwasih. Andika menggeleng.

   "Kau salah,"

   Kata Andika.

   "Berapa ekor kuda yang terdengar olehmu?"

   Purwasih menajamkan pendengarannya sesaat.

   "Tampaknya dua ekor,"

   Jawab Purwasih.

   "Apa mungkin dua orang penduduk biasa berani melintasi hutan ini menjelang malam seperti sekarang? Bukankah kau pernah mengatakan kalau gerombolan Begal Ireng sering menjelajah hutan-hutan seperti ini?"

   "Jadi, menurutmu siapa mereka?"

   "Apa kau dengar langkah lain, selain langkah kuda?"

   Tanya Andika lagi. Purwasih menggeleng.

   "Itu artinya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup bagus. Bukankah di jalan mendaki yang cukup curam ini para pengendara kuda hanya menuntun kuda mereka?"

   Lanjut Andika, membuat Purwasih harus mengakui kecerdasannya.

   "Jadi mereka orang persilatan?"

   Tebak Purwasih.

   "Tepat!"

   Sambut Andika, tetap berbisik.

   "Hanya kita belum tahu apakah mereka dari golongan hitam atau putih. Untuk itu, kita harus mengintai. Siapa tahu mereka adalah salah seorang pengikut Begal Ireng keparat itu...."

   Selesai berkata demikian, Andika memberi isyarat pada Purwasih untuk bersembunyi di semak-semak lebat.

   Sementara langkah kuda semakin jelas terdengar.

   Langkah itu kian dekat, sampai akhirnya terlihatlah dua orang lelaki yang sedang menuntun kuda, tepat seperti dugaan Andika.

   Salah seorang tampak mengenakan pakaian Iurik ketat, membungkus tubuhnya yang demikian gempal berotot.

   Wajahnya terlihat angker dengan rahang berbentuk persegi.

   Hidungnya yang agak pendek, mata yang berkelopak besar serta bibir yang tebal, menggambarkan kekerasan kehidupan yang dijalani.

   Terlebih ditambah kulitnya yang legam.

   Orang itu berbeda dengan lelaki yang berjalan di sebelahnya.

   Wajah orang itu terlihat berwibawa dan bersih.

   Dapat diduga, kalau dia termasuk orang kalangan atas.

   Apalagi, pakaiannya sepertinya hanya dimiliki pembesar.

   Kumisnya melengkung rapih di atas bibir.

   Walau usia sekitar lima puluh tahun, tapi wajahnya masih tampak muda serta tampan.

   "Patih Ranggapati...,"

   Bisik Purwasih di tempat persembunyian ketika melihat lelaki yang berbaju pembesar itu. Segera Purwasih mengajak Andika keluar dari persembunyiannya. Gadis itu memang kenal lelaki tadi, sebagai perwira kerajaan yang memimpin pasukan khusus berkuda.

   "Jadi kau mengenal orang itu, Purwasih?"

   Tanya Andika seraya mengikuti Purwasih yang telah menggenjot tubuh, keluar dari semak-semak.

   "Ratih Ranggapati!"

   Panggil Purwasih. Lelaki yang ditegur, seketika menoleh. Wajahnya tampak agak terkejut ketika mendengar seruan Purwasih. Namun ketika matanya sudah menangkap sosok orang yang memanggilnya, malah diper-lihatkannya senyum.

   "Ah, Purwasih.... Kebetulan,"

   Desah orang berwibawa itu, menyambut Purwasih.

   "Kenapa Patih ke tempat ini?"

   Tanya Purwasih saat sudah berdiri di depan lelaki setengah baya itu.

   "Aku memang hendak mencarimu,"

   Jawab Patih Ranggapati pada Purwasih.

   "Mencariku? Ada apa?"

   Tanya Purwasih, agak heran.

   "Bukankah selama sebulan ini kau belum memberi laporan tentang penyelidikanmu terhadap Mahapatih Guntur Slaksa?"

   "Astaga! Kenapa aku jadi lupa? O, iya. Ini Andika,"

   Kata Purwasih memperkenalkan pemuda yang kini berdiri di sampingnya.

   "Dialah pendekar muda yang kita tunggu-tunggu selama ini. Pendekar dari keturunan keluarga...."

   "Ah! Senang sekali berjumpa denganmu, Patih Ranggapati,"

   Potong Andika, tidak ingin mendengar sanjungan Purwasih.

   "Sama-sama aku pun demikian. Hm..., dan ini Bayureksa,"

   Kata Patih Ranggapati memperkenalkan lelaki bersamanya.

   "Dia seorang prajurit khusus kerajaan yang menjadi tangan kananku."

   Orang yang bernama Bayureksa itu merundukkan kepala sebagai tanda hormat, meski wajahnya tak memperlihatkan senyum.

   Mau tak mau, Andika turut menundukkan kepala seperti nenek-nenek latah.

   Bukan apa-apa.

   Bagi Andika, seorang yang sudah memberi penghormatan, mestinya memang dihormati pula.

   Padahal ketika menyapa Patih Ranggapati, tak ada acara demikian.

   Kecuali, senyumnya yang lebih mirip cengengesan orang tolol.

   Sementara Bayureksa juga menjura pada Purwasih, yang dibalas dengan menjura juga.

   Seperti saat menjura pada Andika, Bayureksa pun tak memperlihatkan senyumnya.

   Bahkan sekadar sepatah kata pun tidak.

   Dia memang termasuk prajurit yang jarang berbicara.

   Sifatnya pun agak kaku.

   Tapi dalam hal pengabdian pada negara, patut mendapat acungan jempol beratus kali.

   "Kebetulan sekali, kami juga hendak ke istana. Karena hari mulai gelap, kami terpaksa hendak bermalam dulu di hutan ini,"

   Tutur Purwasih kembali.

   "Apa tak sebaiknya kita lanjutkan saja?"

   Usul Patih Ranggapati.

   "Bayureksa adalah prajurit khusus yang memiliki keahlian merambah hutan, meski di malam buta sekalipun."

   "Kalau memang begitu, baiklah,"

   Jawab Purwasih. Mereka mulai melanjutkan perjalanan. Sekarang, Purwasih tidak perlu terlalu khawatir akan tersesat di hutan cemara ini. Lain halnya Andika. Belum lama mereka beriringan, dia kelihatan bersungut-sungut saja.

   "Kenapa kau menyetujui tawaran Patih Ranggapati, sih? Kita kan bisa jalan berdua saja. Itu lebih indah. Kita bisa berjalan bergandengan tangan di bawah sinar bintang gemerlap dan di antara gigitan nyamuk-nyamuk hutan. Indahkan?"

   Oceh Andika setengah berbisik, agar tak sampai di telinga dua lelaki yang berjalan beberapa tombak di depan mereka.

   Purwasih langsung menyikut perut Andika.

   Duk! "Ukh....

   Ssst, Purwasih.

   Bayureksa itu orang benar, apa hanya orang-orangan, sih? Kenapa kaku sekali."

   Belum lagi sakit di perutnya hilang, mulut Andika sudah cuap-cuap kembali. Terpaksa Purwasih meng-gerakkan tangannya kembali ke perut Andika. Duk! "Ukh!"

   Dalam sinar bulan sabit yang temaram mereka terus menyusuri jalan mendaki dalam hutan cemara lebat.

   Jangkrik terus bersenandung memainkan lagu alam bersama binatang malam lain.

   Sampai suatu saat....

   Kresk! Terdengar ranting kering yang patah terpijak.

   Maka serempak keempat orang itu langsung menoleh ke asal suara.

   Mata masing-masing bergerak-gerak waspada, berusaha menemukan sesuatu yang mencurigakan.

   Dalam keadaan seperti saat itu, seringkali mereka dikecoh oleh binatang hutan yang menginjak ranting.

   Namun, bukan berarti lengah terhadap bunyi-bunyi mencurigakan seperti tadi.

   Bisa juga bunyi itu disebabkan injakan kaki manusia yang bermaksud tidak baik.

   "Siapa itu?!"

   Bentak Bayureksa keras.

   Tak ada jawaban.

   Hanya terdengar derik jangkrik di sana-sini.

   Sesaat kemudian....

   Zing! Zing! Dua berkas sinar di bawah siraman cahaya bulan tampak melesat menuju Patih Ranggapati.

   Mata Andika yang amat terlatih dalam menangkap gerakan kilat, tentu saja dapat mengenali benda itu.

   Rupanya, dua bilah pisau kecil meluncur deras ke arah Patih Ranggapati.

   Meski begitu, Andika memang tidak mungkin lagi bisa mendahului kecepatan pisau terbang ini.

   Di samping karena jaraknya dengan Patih Ranggapati cukup jauh, juga karena lesatan pisau terbang itu lebih dekat ke tubuh Patih Ranggapati, sehingga....

   "Haaakh!"

   Untung saja Patih Ranggapati juga waspada. Dia berkelit dengan membuang tubuh ke sisi kiri. Hanya itu cara menghindari pisau terbang yang hendak memangsa tubuhnya. Tapi untuk itu, bahunya langsung membentur sebuah batang pohon cemara amat keras.

   "Aaakh!"

   Sementara itu, Andika dengan sigap menyerbu ke arah si pelempar pisau. Sekali genjot saja, tubuhnya sudah melenting ringan di antara rerimbunan daun cemara.

   "Hei, jangan lari! Kujadikan makanan tikus, kau!"

   Seru Andika ketika matanya menangkap kelebatan seseorang berbaju merah darah, bercaping di kepala.

   Dan orang itu akhirnya menghilang di balik tebing curam.

   *** Kerajaan Alengka mempunyai wilayah kekuasaan cukup luas.

   Sebelum Begal Ireng muncul kembali, rakyat di bawah kekuasaan Prabu Bratasena yang memerintah merasa sangat aman, tentram, dan berkecukupan.

   Namun sejak Begal Ireng kembali dengan kesaktian yang dimiliki, semuanya jadi kacau.

   Rakyat menderita dalam tekanan yang menyengsarakan.

   Kerusuhan demi kerusuhan, pembunuhan demi pembunuhan.

   berlangsung di bawah tindak-tanduk Begal Ireng dan gerombolannya.

   Hukum yang selama ini dijalankan jadi limbung.

   Sedangkan kekuatan gerombolan Begal Ireng rupanya tidak mudah dilumpuhkan.

   Apalagi, tatkala pemimpin kerusuhan itu merangkul tokoh-tokoh golongan hitam.

   Maka gelombang petaka pun terus berlanjut.

   Sementara itu, di bawah siraman cahaya matahari pagi.

   Andika, Purwasih, Patih Ranggapati, dan Bayureksa tiba di kotapraja.

   Dari gerbang masuk, mereka hanya perlu berjalan sekitar dua jam untuk tiba di Kerajaan Alengka.

   Karena peristiwa semalam, Patih Ranggapati terluka kembali.

   Dan sebenarnya, luka di bahunya yang banyak mengeluarkan darah, bukan karena tertumbuk batang cemara.

   Purwasih sendiri agak heran ketika memeriksa luka yang diderita Patih Ranggapati.

   Karena, luka itu tampak seperti luka sayatan benda tajam! Menurut Patih Ranggapati, luka itu memang akibat sabetan golok ketika harus ber-hadapan dengan orang-orang Begal Ireng.

   Sebenarnya, lukanya sudah mengering andai saja tidak terbentur batang pohon cemara semalam.

   Kini keempat orang itu tiba di pintu gerbang Kerajaan Alengka, yang dijaga ketat oleh enam prajurit dengan sikap siaga.

   Ketika melihat kedatangan empat orang itu, mereka segera menjura dalam-dalam.

   Memasuki lingkungan istana, puluhan prajurit yang sedang berlatih perang-perangan langsung menghormat.

   Andika mengira, karena para prajurit menghormati Patih Ranggapati sebagai seorang perwira tinggi kerajaan.

   Tapi ketika lelaki setengah baya itu dibawa Bayureksa dan beberapa prajurit untuk dirawat, prajurit lain yang bertemu Purwasih dan Andika tetap menjura khidmat.

   Andika yakin, Purwasih memang memiliki pengaruh yang cukup besar di kerajaan itu.

   Dan Andika tak bisa menghindar dari keterpanaan ketika....

   "Selamat datang Tuan Putri, Paduka Bratasena telah menunggu kedatangan Paduka...,"

   Sambut seorang kepala prajurit, ketika mereka menuju ruang kehormatan Prabu Bratasena. Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu membungkuk dalam-dalam.

   "Jadi, kau putri Prabu Bratasena sendiri?"

   Cetus Andika seraya menatap Purwasih lekat-lekat. Matanya tampak membesar tanpa berkedip.

   "Ah! Jangan terlalu dipersoalkan,"

   Tukas Purwasih tenang, sambil terus melangkah.

   "Tapi kau telah membohongi aku selama ini,"

   Sungut Andika, agak kesal.

   "Memangnya sikapmu akan berbeda kalau tahu aku ini anak raja?"

   Sergah Purwasih tanpa menoleh.

   "Tentu saja tidak. Buat apa aku memperlakukan-mu berlebihan. Biar kau anak raja sekalipun, kau tetap makan seperti yang aku makan juga,"

   Jawab Andika, lebih mirip menggerutu.

   *** Desa Karangwesi terletak di wilayah selatan, masih kekuasaan Kerajaan Alengka.

   Hamparan sawah luas mengelilingi desa itu.

   Padi yang menguning dan bergerak tertunduk-tunduk ditiup angin, adalah harapan penduduk desa yang memeras keringat demi melanjutkan hidup keluarga.

   Setiap orang yang singgah di Desa Karangwesi harus mengakui keindahannya.

   Sungai berarus deras yang membelah desa, bagai ular raksasa yang meliuk-liuk.

   Rumah-rumah tersusun dalam jarak teratur.

   Dan pepohonan hijau tumbuh di pekarangan setiap rumah.

   Suasana damai desa itu tiba-tiba dipecahkan oleh gemuruh derap puluhan pengendara kuda yang memasuki gerbang perbatasan bersama kepulan asap yang merambah udara.

   Wajah para penunggang kuda itu menyimpan kebengisan.

   Sinar mata mereka pun berkilat garang.

   Terlebih, saat berteriak untuk menghela kuda yang ditunggangi.

   Pada pinggang masing-masing penunggang kuda, terselip senjata berlainan jenis yang membersit saat sinar matahari menimpa.

   Dari cara memasuki desa terlihat jelas kalau niat mereka tidak baik.

   Dan itu makin jelas saja, ketika beberapa orang di antaranya turun di depan rumah pertama yang ditemui.

   Tanpa banyak cakap.

   mereka langsung mendobrak pintu rumah secara paksa.

   "Jangan, tolong...! Tolong...!"

   "Aaakh...!"

   Beberapa saat kemudian, terdengar jerit mengenaskan seorang wanita tua.

   Kemudian disusul erangan seorang lelaki.

   Tak lama setelah itu, keempat lelaki tadi keluar dengan membopong barang-barang berharga.

   Sudah dapat diduga, apa yang dilakukan oleh para penunggang kuda itu.

   "Perampoook!"

   Jerit wanita tua pemilik rumah.

   Jeritan itu merambah ke seluruh desa, mengusik telinga penduduknya.

   Dari sawah, puluhan lelaki desa yang kebetulan sedang istirahat siang, segera memburu ke asal jeritan.

   Namun belum lagi mereka sempat menyadari apa yang terjadi, para penunggang kuda sudah menyambut dengan sabetan-sabetan senjata haus darah.

   Wet! Sing! Bret! "Aaakh!"

   Teriakan mengerikan kembali melengking ke angkasa.

   Kali ini tidak hanya sekali atau dua kali.

   Tapi, puluhan jeritan susul-menyusul terdengar dari orang-orang tak berdosa yang dijagal.

   Bau anyir darah membasahi tanah.

   Warna merah mulai menodai bumi, sebagai tanda keangkaramurkaan manusia.

   Tak cukup hanya membantai jiwa-jiwa manusia.

   Para penunggang kuda berjiwa iblis itu juga menjarah harta penduduk.

   Selesai menguras harta, rumah pun dibakar.

   Maka seketika api membumbung ke langit, memberi warna merah jelaga bercampur hitam di cakrawala.

   Suasana makin hingar-bingar.

   Gemeletak kayu termakan api, jeritan ngeri para wanita, tangisan meninggi anak-anak kecil, ringkik derap kaki kuda, serta teriakan penunggangnya.

   telah membaur dalam sebuah untai kekacauan.

   Apakah jiwa manusia sudah terlalu tak berarti bagi sementara pihak? Atau nilai manusia sudah lebih hina daripada seekor anjing? Dalam setiap peperangan dan kezaliman pertanyaan itu selalu pantas dilontarkan.

   Tapi bagi mereka yang telah menyatu dengan sifat durjana iblis, pertanyaan seperti tadi tak pernah hadir dalam hati.

   Mereka terus membantai.

   Dan liur haus darah mereka yang lebih menjijikkan daripada liur anjing kudis, terus menetes mengiringi.

   Pada saat pesta pora gila tersebut makin menjadi....

   "Berhenti!"

   Tiba-tiba terdengar lantang seseorang lewat penyaluran tenaga dalam tingkat sempurna.

   Akibatnya, para penunggang kuda kontan menghentikan semua kegilaan itu.

   Di ujung jalan dekat gerbang desa, tampaklah seseorang berpakaian merah darah.

   Sulit ditentukan, siapa orang itu karena wajahnya tertutup caping pelepah kelapa lebar.

   Dia berdiri jumawa menghadap para begal, dengan sikap menantang! "Manusia mana yang mencari mati ini?"

   Geram pemimpin pasukan berkuda itu.

   Dia seorang lelaki bertampang buruk, lebih buruk daripada seekor tikus buduk.

   Matanya yang besar terlihat seperti mata barong.

   Hidungnya melebar, seperti bibirnya.

   Sementara, garis matanya menampakkan kekejian dalam dirinya.

   Pakaian yang dikenakannya perlente, tapi tetap tak dapat menutupi kebusukan hatinya.

   "Aku tak sekadar menyuruh kalian meninggalkan desa ini secepatnya. Aku juga akan memaksa kalian meninggalkan dunia ini sesegera mungkin,"

   Kata orang yang baru datang penuh nada ancaman.

   "Hua ha ha...!"

   Laki-laki bertampang buruk yang merupakan pemimpin pasukan berkuda itu tertawa riuh.

   "Apakah kau sudah merasa menjadi malaikat maut yang mampu mencabut nyawa kami?"

   "Membunuh kalian sama mudahnya, seperti tikus-tikus sawah!"

   "Bangsat!"

   "Ya! Makilah aku, selama masih sempat memaki!"

   Dua lelaki penunggang kuda diperintahkan pemimpinnya untuk segera menghabisi orang yang baru datang itu.

   Keduanya segera menghentakkan kekang, sehingga kuda mereka meluncur bergemuruh seiring teriakan murka.

   Tapi sebelum keduanya mencapai lima tombak, pisau-pisau kecil sudah terlepas dari tangan lelaki bercaping yang berkelebat cepat ini.

   Zing! Jep! Begitu cepat kebutan tangan orang bercaping itu, sehingga....

   "Huaaa!"

   Kuda mereka kontan terlonjak diiringi satu ringkikan panjang, melemparkan tubuh penunggangnya yang tertikam pisau-pisau yang melesat cepat. Tubuh keduanya pun mencium tanah tanpa nyawa, dengan darah mengucur dari bagian dada yang tertembus pisau.

   "Kalian lihat! Aku telah menepati janjiku terhadap dua kawan kalian?"

   Cemooh orang bercaping, dingin.

   Menyadari kalau orang bercaping tak bisa diremehkan, pemimpin pasukan berkuda ini memberi perintah agar anak buahnya menyerbu orang bercaping itu.

   Maka lima belas ekor kuda yang membawa penunggangnya seketika menyerbu serempak.

   Sehingga, gemuruh dahsyat dari derap kaki kuda langsung tercipta.

   Dengan senjata terhunus, mereka berteriak liar dalam satu serangan maut.

   "Hiaaat!"

   "Hiaaat!"

   Meski serbuan kelima belas lelaki itu makin dekat, tapi orang bercaping itu tampak masih berdiri tenang.

   Sedikit pun tak terlihat tubuhnya bergerak.

   Tapi ketika para penyerangnya tinggal tiga tombak dari tempatnya berdiri, tubuhnya melenting cepat, lalu berputar ke depan beberapa kali.

   Pada saat melayang di udara itulah, tangannya kembali bergerak.

   Dan....

   Zing! Zing! Enam orang penyerang seketika rontok seperti daun kering, terhujam senjata rahasia orang bercaping ini.

   Tepat di dada masing-masing tampak menancap pisau kecil yang langsung menghentikan kerja jantung mereka.

   Kuda-kuda mereka menjadi panik, ketika enam tubuh berdebum menimpa tanah.


Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pendekar Naga Putih Tiga Iblis Gunung Tandur

Cari Blog Ini