Ceritasilat Novel Online

Geger Di Kayangan 2


Pendekar Romantis Geger Di Kayangan Bagian 2



"Jalan...!"

   Mereka berbalik arah dan saling meninggalkan tempat. Tapi di kejauhan mata sang Ratu sempat berteriak dari sana sambil berpaling ke belakang.

   "Sirih Dewi! Kalau kau tak mau tinggalkan tempat ini, kau tidak akan dapatkan Kitab Jayabadramu lagi selamanya! Tapi jika kau mau ting-galkan tempat ini, suruh anak muda itu mengambil kitab pusakamu ke tempatku!"

   "Jahanaaam...!"

   Geram Nyai Sirih Dewi dengan bergegas ingin mengejar. Tangan Yuda segera mencekal lengan sang Nyai, menahan gerakan murkanya.

   "Jangan sekarang, Nyai!"

   "Dia harus kuhajar habis, karena ternyata orangnya itulah yang mencuri Kitab Jayabadra sebagai sanderanya!"

   Kutilang Manja dan Peluh Selayang juga tampak gusar. Yuda Lelana menenangkan mereka dengan berkata.

   "Jangan terpancing emosi. Kalem saja. Kalem...!"

   "Bagaimana bisa kalem kalau Kitab Pusaka itu ternyata ada di tangannya?!"

   Sentak Kutilang Manja. Nyai Sirih Dewi berkata dalam geram.

   "Aku harus bisa mengambil kitab itu lagi tanpa harus pergi dari Bukit Bara!"

   "Biar aku yang mengambilnya ke sana, Nyai!"

   Kata Yuda Lelana.

   "Jangan! Kau tak boleh ke sana!"

   Tukas Kutilang Manja.

   "Dia pandai menjerat hati lelaki."

   "Tenang saja, Kutilang Manja,"

   Kata Yuda.

   "Dia tak akan menjeratku karena hatinya tadi sudah terjerat sendiri olehku."

   "Uuh...! Dasar buaya!"

   Geram Kutilang Manja, lalu bergegas masuk.

   LIMA YUDA Lelana tak mau didampingi oleh siapa pun.

   Masa' jagoan mau melabrak musuh kok harus didampingi seseorang, malu kan? Makanya Yuda tetap ngotot ketika Nyai Sirih Dewi memerintahkan Kutilang Manja untuk mendampinginya ke Geladak Hitam.

   "Kalau ada yang nekat mendampingiku, aku tidak mau pergi ke sana!"

   Ancam Yuda Lelana. Akhirnya sang Nyai memutuskan untuk menuruti kemauan Yuda. Ia percayakan kitab itu kepada si tampan kumal dengan catatan.

   "Jika kau terpikat oleh kecantikannya, pulangkan dulu kitab itu selebihnya kau boleh pulang kembali melanjutkan percintaanmu dengan Dardanila!"

   "Ah, pikiranmu yang nggak-nggak aja, Nyai. Kalem sajalah!"

   Sebenarnya hati Yuda Lelana merasa kikuk, karena sang Nyai bagaikan mengetahui jalan pikirannya.

   Diam diam Yuda Lelana memang ingin bertemu lebih dekat lagi dengan Ratu Geladak Hitam.

   Pertemuan empat mata sangat diharapkan.

   Karena sifatnya sangat pribadi, maka Yuda menolak keras didampingi oleh siapa pun.

   Bahkan seekor kuda pun tak mau dibawanya, takut mengganggu acara tatap muka empat mata itu.

   Yuda hanya diantar oleh sang Nyai sampai di tebing, setelah itu dilepas sendirian menuju benteng Geladak Hitam yang tampak dari tebing.

   Sampai di benteng Geladak Hitam, Yuda Lelana dibuat kelinci percobaan oleh anak buah Ratu Geladak Hitam.

   Ia diserang empat orang berkekuatan tenaga dalam tinggi.

   Kala itu ia masih berada di depan gerbang.

   Tetapi empat orang tersebut dapat ditumbangkan dalam satu jurus saja.

   Hentakan kaki ke bumi membuat keempat orang itu mental ke atas, ada yang kepalanya membentur dahan pohon, ada yang nyangsang di atas pohon, ada yang jatuh kepala duluan, ada pula yang tertancap patahan dahan runcing.

   Jurus 'Sentak Bumi'-nya terpaksa digunakan lagi ketika empat orang muncul lagi dari dalam benteng membantu temannya yang sudah tak berdaya.

   Dengan sekali hentakkan kaki ke bumi, keempat orang itu terpental lagi ke atas dan jatuh dengan kehilangan keseimbangan badan.

   Kali ini ada yang meluncur kepala duluan dan masuk ke sebuah kubangan berlumpur.

   Jruub...! Kepala terbenam sampai dada, kakinya masih bergerak-gerak di atas.

   Yuda tidak pedulikan keadaan mereka yang menderita akibat jurus 'Sentak Bumi'-nya.

   Ia langsung masuk ke dalam benteng berbatu hitam.

   Di sana ia disambut dengan lemparan enam tombak dari arah depan dan samping kanan-kiri.

   Yuda Lelana tak perlu merasa kaget, karena hal-hal seperti itu sudah diduga sebelumnya.

   Zraaab...! Enam tombak yang melayang cepat ke arahnya itu hanya dihindari dengan melompat ke atas dan bersalto di udara satu kali.

   Tombak-tombak itu saling berbenturan sendiri ketika tak mendapatkan tempat untuk menancap.

   Trak, trak, praak...! Yuda Lelana melayang turun dengan kakinya menghentak ke kumpulan tombak-tombak tersebut.

   Dengan kekuatan tenaga dalam terkendali, tombak-tombak yang ditendang itu berbalik ke arah pelemparnya.

   Zraaab...! Mereka kebi-ngungan melihat tombaknya berbalik menyerangnya.

   Mereka lari tunggang langgang, ada yang tersungkur karena tersandung batu, ada yang nungging karena menghindari kelebatan tombak, ada pula yang menabrak pohon dan akhirnya tombak itu menancap di paha.

   Jruuub...! "Waooow...!"

   "Keren!"

   Ada yang menambahkan teriakan itu, entah dari sisi mana, karena pada saat itu Yuda Lelana sibuk menghadapi tujuh orang penyerang bersenjata golok.

   Mereka berbadan kekar dan besar.

   Tapi dengan sekali sentakkan kedua tangan ke samping, cahaya putih menyebar dari tubuh Yuda Lelana ke berbagai arah.

   Cahaya putih itulah yang membuat tubuh mereka terpental terbang bagaikan dihempas badai super kuat.

   Ada yang kepalanya bocor karena membentur dinding, ada yang punggungnya patah karena menabrak tiang jati, ada pula yang saling mencaci karena kepalanya beradu dengan kepala teman sendiri.

   "Hentikan...!"

   Seru sebuah suara yang mampu membuat semua gerakan terhenti seketika.

   Suara itu tak lain adalah suara Ratu Geladak Hitam.

   Mata Yuda saling beradu pandang dengan mata sang Ratu.

   Tiga helaan napas kemudian, barulah sang Ratu yang bagai orang terkesima itu mampu perdengarkan suaranya.

   "Setelah lima hari aku menunggu, akhirnya kau datang juga!"

   Yuda Lelana membalas ucapan tersebut.

   "Apakah yang kau tunggu adalah sang ajal yang datang bersama El Maut?"

   Ratu Geladak Hitam tersenyum meremehkan.

   "Apakah kau datang untuk membunuhku, Anak Muda?"

   "Jika terpaksa, mungkin memang begitu. Tapi aku datang dengan maksud baik dan punya tujuan tertentu."

   "Apa tujuanmu?"

   "Bicara empat mata denganmu, Ratu!"

   "Bagaimana kalau aku tidak mau bicara empat mata denganmu?"

   "Terpaksa mata kirimu kucolok biar kita bicara tiga mata!"

   Jawab Yuda Lelana seenaknya saja, seakan tak punya rasa takut atau niat hormat sama sekali.

   Hal itu membuat pengawal Ratu menjadi tersinggung.

   Adu Polo yang ada di samping kanan sang Ratu segera lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke arah Yuda Lelana.

   Wuuut...! Tapi dengan mudah Yuda Lelana menahannya.

   Tangan kanan dibentangkan di depan dada, pukulan bergelombang panas itu tertangkis dan bagaikan dikembalikan ke arah pemiliknya.

   Adu Polo melompat karena hawa panas terasa sedang menyerangnya.

   Wuuusss...! Sang Ratu mengibaskan tangannya bagai membuang bunga, ternyata yang keluar asap putih penahan gelombang hawa panas itu.

   Blaaar...! Ledakan itu timbul karena dua gelombang beradu dan membuat Adu Polo tersentak ke belakang, jatuh terduduk.

   Bruuk...! "Anak ini memang bangsaaat...!"

   Teriak Kebo Tumang yang baru saja muncul dan mengetahui tindakan itu. Ia segera mencabut kapak dua mata berukuran besar yang menjadi senjata andalannya. Tapi baru saja ia ingin bergerak, sang Ratu rentangkan tangannya dan berseru.

   "Hentikan, Kebo Tumang!"

   "Gggrr...!"

   Kebo Tumang menggeram jengkel.

   "Dia memotong telingaku, Gusti!"

   "Toh kamu masih punya telinga yang kanan? Kenapa harus marah? Kalau mau marah, urusannya sama aku!"

   Kata sang Ratu sambil tolak pinggang.

   "Wah... kalau... kalau begitu ya sudahlah, saya ke dapur saja jadi juru masak,"

   Ujar Kebo Tumang dengan bersungut-sungut menahan kejengkelan. Ia pun ngeloyor pergi dan dibiarkan oleh Ratu Geladak Hitam. Sang Ratu kembali berkata kepada si tampan kumal itu.

   "Apakah kau benar-benar ingin bicara empat mata denganku?"

   "Tak perlu kau sangsikan lagi keinginanku, Ratu,"

   Jawabnya dengan lembut, diiringi senyum tipis menggetarkan hati.

   "Baik. Aku bersedia, tapi tidak di sini. Aku punya tempat sendiri untuk bicara empat mata. Tentunya pembicaraan kita nanti bersifat rahasia, bukan?"

   "Ya, tepat sekali dugaanmu."

   "Ikutlah aku!"

   Katanya tegas sekali, lalu sang Ratu melangkah melalui samping ruang paseban.

   Yuda Lelana mengikutinya dengan memandang sinis ke sana-sini karena ia pun dipandangi dengan sinis oleh orang-orang sang Ratu.

   Ratu Geladak Hitam dan Yuda sampai di taman belakang bangunan utama.

   Taman itu tertata rapi dan indah.

   Ada serumpun bambu kuning di pojokan.

   Bentuk bambu itu menyerupai lorong karena kelebatannya.

   Ternyata Yuda dibawa masuk ke lorong bambu yang mempunyai jalan setapak itu.

   "Mau ke mana kita, Ratu?"

   "Ke mana saja itu urusanku. Kau ikuti saja langkahku,"

   Jawabnya tanpa menengok ke belakang.

   Oh, ternyata di balik kerimbunan bambu itu ada tangga batu menuju ke bawah tanah.

   Ratu menuruni tangga batu itu, demikian pula Yuda Lelana.

   Di ujung bawa tangga batu yang terdiri dari sepuluh baris itu ada lorong gua yang lebarnya sekitar dua tombak.

   Dinding lorong itu mempunyai obor-obor penerang jalan.

   Yuda menyusuri lorong itu, kali ini berdampingan dengan sang Ratu karena jalannya cukup untuk melangkah dua orang berjajar.

   "Tempat apa ini sebenarnya?"

   Tanya Yuda sambil memandang sana-sini.

   "Tempat rahasia,"

   Jawab Ratu Geladak Hitam.

   "Di sinilah segala rahasia dibicarakan atau dilakukan."

   "Pasti tempat ini kau gunakan untuk bersembunyi dari serangan lawan yang tak mampu kau hadapi."

   Ratu Geladak Hitam hanya tersenyum, ia tak memberikan komentar apa-apa.

   Langkah kakinya tetap tegap, agak cepat, wewangian yang disemprotkan ke pakaian dan tubuhnya tercium jelas oleh hidung Yuda Lelana.

   Tapi Yuda tetap tidak mau lontarkan pujian atas keharuman yang lembut dan enak dihirup itu.

   Matanya masih memandangi tiap dinding penuh waspada, karena ia tak ingin termakan jebakan yang mungkin dipasang pada dinding lorong yang kini telah membelok ke kiri itu.

   "Kenapa tidak ke kanan?"

   Tanyanya.

   "Lorong yang ke kanan menuju ke sarang ular piton. Aku punya delapan ular piton di sana. Tapi mereka tak akan bisa menyeberang ke lorong kiri ini, karena sudah kubatasi dengan racun yang ditakuti setiap ular."

   "Jadi lorong kanan adalah lorong jebakan?"

   "Begitulah,"

   Jawab sang latu dengan singkat.

   Lorong yang sedang dilalui Yuda makin lama tampak semakin terang.

   Di depan sana cahayanya lebih terang lagi.

   Yuda memandang dengan mata sedikit mengecil untuk melihat ruangan terang yang ada di depannya.

   Agaknya ruangan terang itulah yang sedang dituju oleh Ratu Geladak Hitam.

   Dugaan Yuda ternyata benar juga, ia dibawa ke ruangan terang yang berbentuk lingkaran itu.

   Cahaya terang datang dari jumlah obor yang semakin banyak.

   Ruangan itu cukup lebar, karena di tengahnya terdapat kolam berair mancur pendek tapi jernih.

   Ruangan itu juga mempunyai tanaman hias pada tepiannya.

   Berkesan bersih dan punya nilai seni tinggi.

   Ada lempengan batu di tepi kolam yang menjadi tempat duduk cukup nyaman, karena di atas lempengan batu marmer putih itu terdapat bantalan pelapis yang cukup empuk.

   Aroma wangi menyebur kian tajam, karena tanaman bunga yang ada di ruangan tersebut sedang bermekaran.

   Warnanya bunga dan bentuknya sungguh indah dipandang mata.

   Pasti tempat itu punya tenaga perawat sendiri yang selalu merapikan keadaan di situ.

   Ada meja dari batuan marmer hitam.

   Di atas meja itu ada tempat anggur dari logam emas, cangkirnya pun dari emas murni berbatu-batu indah.

   Di samping meja minuman terdapat tempat buah.

   Keranjang rotan diletakkan di atas meja rendah itu penuh dengan buah-buahan segar.

   Tak jauh dari situ ada tempat tidur dari batuan marmer juga yang dilapisi kain empuk serta nyaman.

   Seprai dan sarung bantalnya dari kain sutera biru muda.

   Sedangkan di samping ranjang itu terdapat meja rias, lengkap dengan cermin ovalnya dan tempat pedupaan yang terpisah dari meja rias.

   "Tempat ini berudara sejuk. Kurasa tempat ini menjadi tempat peristirahatanmu, Ratu!"

   "Memang. Tapi juga kugunakan sebagai tempat bertapa atau melakukan suatu kegiatan yang bersifat ritual,"

   Jawab Dardanila sambil mendekati meja minuman. Ia menuang anggur dari teko tinggi langsing bermulut kecil. Ia mengambil cangkir berisi anggur merah, satu untuknya, satu lagi diberikan kepada Yuda Lelana.

   "Minumlah sebagai suguhan awal dariku,"

   Kata sang Ratu.

   "Aku tak biasa minum anggur,"

   Kata Yuda Lelana sambil tersenyum indah.

   "Coba sedikit, kau akan ketagihan."

   "Begitukah nantinya?"

   Dardanila mengangguk. Ia mengawali minum anggur itu. Yuda Lelana ikut-ikutan meminumnya pula. Sruup...! Sedikit, tapi benar-benar dirasakan kenikmatannya, dikecap-kecapnya sebentar, lalu berkata pelan.

   "Lumayan juga rasanya. Kurasa anggur ini baru dua tahun kau simpan, jadi belum terlalu tajam menyentuh ujung lidah."

   "Kau bilang tak biasa minum anggur, tapi nyatanya kau bisa menilai mutu anggurku dan tebakanmu memang tepat, baru dua tahun kusimpan di tempatnya."

   Yuda Lelana tersenyum malu, terjebak omongannya sendiri.

   Ia tinggalkan sang Ratu, berjalan mengelilingi tempat itu dengan mata memandang penuh perasaan salut terhadap nilai seni yang dibangun di bawah tanah itu.

   Sang Ratu ikut mendampinginya karena ia segera mengajukan tanya.

   "Apakah menurutmu tempat ini benar-benar nyaman?"

   "Bukan hanya nyaman, namun cukup romantis,"

   Jawab Yuda.

   "Ruangan ini menimbulkan sejuta khayalan indah. Pasti kau menyebarkan kekuatan gaib di tempat ini yang dapat menimbulkan hasrat manusia untuk berandai-andai dalam khayalan indahnya."

   "Kau cukup peka terhadap hal-hal seperti itu rupanya. Siapa gurumu, Yuda? Boleh aku tahu?"

   "Aku tak punya guru,"

   Jawabnya.

   "Tak mungkin. Karena kau punya gerakan dan jurus-jurus yang aneh bagiku. Hampir mendekati kesempurnaan dalam gerak. Aku kagum sekali."

   Sengaja kata-kata itu tak dikomentari oleh Yuda kecuali hanya senyum tipis menjerat kalbu.

   Yuda Lelana duduk di bangku dari batu marmer yang dilapisi kain empuk itu.

   Cangkir emas diletakkan.

   Sang Ratu ikut-ikutan duduk pula sambil meletakkan cangkir emas di samping cangkirnya Yuda.

   "Aku ke sini untuk mengambil Kitab Jayabadra!"

   Kata Yuda dengan tegas.

   "Apakah Sirih Dewi sudah berniat pergi dari Bukit Bara?"

   "Tidak akan pergi selamanya!"

   "Bukankah tempo hari aku berjanji akan memberikan kitab itu jika ia mau pergi dari Bukit Bara?"

   "Aku tidak mendengar perjanjianmu dan kalau toh mendengarnya aku tidak mau ikuti perjanjian itu. Boleh atau tidak, Kitab Jayabadra harus kubawa pulang ke Bukit Bara!"

   Ketegasan pemuda tampan yang kumal itu justru ditertawakan oleh Dardanila.

   Tawanya lirih, berkesan mengikik geli.

   Yuda Lelana tetap tenang dan senyumnya tetap menghiasi rupa tampannya.

   Jarak duduknya yang kurang dari satu jangkauan itu membuat matanya dapat memandang jelas sampai ke pori-pori kulit putih mulus itu.

   "Kalau aku tidak mau memberikan kitab itu bagaimana?"

   "Aku akan merebutnya!"

   Jawab Yuda Lelana kalem tapi berkesan pasti.

   "Kalau aku mempertahankan bagaimana?"

   "Aku akan menyerangmu."

   "Seranglah sekarang kalau kau berani,"

   Ujarnya sambil menyodorkan wajah, seakan menyuruh menampar wajah itu, tapi mulutnya sedikit merekah sehingga artinya menjadi beda lagi.

   Bibirnya yang menggemaskan itu dijilati sesaat, hati Yuda Lelana tergelitik melihat lidah itu berkelebat membasahi bibir.

   "Jangan begitulah...,"

   Katanya dengan lemah, membuat sang Ratu kian menggoda.

   "Seranglah kalau kau berani...,"

   Wajah itu makin didekatkan lagi. Matanya sedikit terpejam. Bibir merekah menantang gairah. Yuda Lelana memandanginya dengan jantung berdetak-detak. Ia ditantang, tapi ia bingung menyerang.

   "Dardanila, kau musuhku. Kau tak boleh begitu."

   "Iya. Kau dan aku bermusuhan. Makanya kalau kau mau menyerang silakan! Nih, serang nih...!"

   Bibir itu makin disodorkan. Dengus napasnya terasa menghangat di wajah Yuda Lelana yang salah tingkah.

   "Aku... aku harus menyerangmu bagaimana?"

   "Ya, bagaimana sajalah. Terserah! Mau pakai tangan boleh, mau pakai kaki boleh, mau pakai bibir juga boleh."

   "Pa... pakai... pakai bibir saja, ya?"

   "He'eh...,"

   Jawab Ratu Geladak Hitam dalam desah.

   Yuda Lelana tak kuat ditantang begitu.

   Maka pelanpelan ia menempelkan bibirnya ke bibir Dardanila.

   Hangat.

   Nikmat.

   Dan Yuda segera mengecup bibir itu pelan-pelan.

   Gerakannya sangat pelan, sehingga setiap sentuhan bagaikan mengalirkan gelombang keindahan ke sekujur tubuh.

   Yang disentuh lembut bibir tapi yang dirasakan sampai ke telapak kaki.

   "Oh, Yuda...,"

   Bisik sang Ratu ketika kecupan lembut itu dilepaskan.

   Yuda Lelana tak bisa menolak permintaan itu, maka dilumatnya lagi bibir yang menggemaskan itu.

   Celakanya, sang Ratu membalas memberi-kan lumatan yang tak kalah ganas.

   Bahkan tangan sang Ratu mulai menari-nari di atas tubuh Yuda Lelana.

   Jearinya begitu lincah memainkan irama mesra.

   "Yuda, ooh... mati aku kalau begini,"

   Bisik sang Ratu bernada rintih.

   Ia jatuh dalam pelukan Yuda Lelana.

   Ia menggigit dada Yuda dengan lembut, menahan ledakan dahsyat dalam jiwanya.

   Kolam di tengah ruangan luas itu mempunyai air mancur.

   Air kolam boleh mancur tapi Yuda tak boleh mancur.

   Jika Yuda menuruti tuntutan batin sang Ratu, ia akan mempunyai risiko yang lebih kusut lagi dalam hidupnya.

   Tapi sang Ratu tetap merengek, bahkan berkata.

   "Beri aku setengguk anggur, maka akan kuserahkan kitab itu padamu sekarang juga. Oh, aku tak tahan. Beri aku seteguk anggur, Yuda!"

   Maka Yuda menyodorkan minuman anggur dari cangkirnya. Sang Ratu merengek.

   "Iiih...! Bukan anggur yang itu!"

   Sambil tangannya mencubit lengan Yuda. Anak muda yang mulai tampak menua itu berlagak bego.

   "Habis anggur yang mana?"

   "Anggur kemesraanmu. Oooh... Yuda, peluklah aku erat-erat, Sayang...!"

   "Akan kupeluk kau, akan kuberikan anggur yang kau pinta, tapi serahkan dulu kitab itu padaku. Aku tak mau tertipu olehmu, Ratu."

   "Tidak, aku tidak akan menipumu. Berikanlah, Yuda. Kita akan bertukar pemberian. Kitab itu benar-benar akan kuberikan padamu jika kau telah menuruti dahaga batinku ini!"

   Ratu Geladak Hitam mengacungkan dua jarinya sebagai tanda sumpah dalam janjinya. Tapi Yuda Lelana tetap tidak mau memberikan apa yang diinginkan sang Ratu.

   "Aku tak bisa melakukan tugasku sebagai seorang lelaki jika Kitab Jayabadra belum kau berikan padaku. Kitab itu mempunyai mantera yang dapat membangkitkan semangat kejantananku. Jika semangatku sudah tergugah, kau bisa menikmatinya sampai esok pagi."

   "Sungguh...?!"

   "Sangat sungguh."

   "Janji?"

   "Janji."

   "Kalau nanti kau bohong diapain"

   "Dicium tujuh tahun juga nggak apa-apa!"

   Jawab Yuda Lelana makin membuat sang Ratu gemas sekali. Ia memeluk dan meremas tubuh Yuda kuat-kuat sambil menenggelamkan wajahnya ke leher Yuda. Kejap berikut ia berkata dengan mendusal-dusalkan ciumannya ke leher dan belakang telinga Yuda.

   "Baiklah! Kita ambil dulu kitab itu di ruang tidurku, di atas sana. Tapi... tapi sebaiknya kau tetap di sini saja. Biar aku yang mengambilnya. Secepatnya aku kembali membawa kitab itu dan gelora cinta yang lebih berkobar-kobar lagi."

   "Baiklah. Aku menunggu di sini. Lekas ambil kitab itu!"

   Pancingan Yuda Lelana kena pada sasaran.

   Siasat romantisnya melumpuhkan kekerasan hati sang Ratu yang ingin menahan kitab tersebut.

   Sang Ratu pergi mengambil kitab, keluar dari ruang bawah tanah ter-sebut, sedangkan Yuda Lelana masih tinggal sendirian di situ, ia bahkan berbaring dengan santai di atas ranjang berseprai biru lembut itu.

   Tak peduli pakaiannya kumal, ia merebah dengan cueknya.

   Bayangan indah tubuh sang Ratu tanpa busana menari-nari di benak Yuda Lelana.

   "Jika memang kitab itu diberikan dan ia mau mengurungkan niatnya untuk tidak mengganggu Nyai Sirih Dewi lagi, tak keberatan aku memberi kehangatan padanya asal saja jangan sampai seperti kolam itu,"

   Katanya dalam hati sambil matanya melirik ke kolam bening berair mancur. Namun beberapa saat kemudian, Yuda Lelana dikejutkan dengan suara gemuruh yang datang dari arah lorong jalan menuju keluar. Yuda melompat dan bersiap siaga.

   "Suara ular pitonkah itu? Tapi kenapa bergedebuk? Apakah ular piton bisa lari secara bersama-sama?"

   Yuda Lelana mendekati lorong, ternyata segera muncul wajah cantik Dardanila yang tampak tegang dan memucat.

   "Ratu?! Ada apa?!"

   Yuda segera menyambut dengan keheranan tinggi.

   "Orang-orang Pulau Iblis menyerangku...!"

   Ia terengah-engah.

   "Apa persoalannya?"

   Ratu Geladak Hitam meredakan napasnya. Setelah itu baru bisa bercerita.

   "Baru saja aku mau menaiki tangga, seorang anak buahku menyusul. Ia jatuh berlumur darah. Sebelum menghembuskan napas terakhir, ia sempat memberitahukan bahwa orang-orang Pulau Iblis menyerang kami. Kitab Jayabadra berhasil diambil dan dibawa lari ke Pulau Iblis."

   "Hahhh...?!"

   Yuda terkejut.

   "Kalau tak percaya, cepatlah keluar dari sini! Mereka membakar sebagian bangunan utama, membantai beberapa anak buahku!"

   Yuda Lelana penasaran.

   Ia segera keluar dari ruangan bawah tanah itu.

   Ternyata apa yang diceritakan sang Ratu memang benar.

   Mayat bergelim-pangan di sana-sini.

   Bangunan utama masih mengepulkan asap, tapi apinya sudah padam.

   Adu Polo menemui sang Ratu dalam keadaan tangannya buntung sebelah.

   "Kitab itu... di... dibawanya, Gusti...!"

   Bruuuk...! Adu Polo jatuh pingsan karena terlalu banyak mengeluarkan darah.

   ENAM TIGA orang utusan dari Pulau Iblis nyaris menghancurkan benteng Geladak Hitam.

   Hebat juga? Hanya tiga orang saja bisa bikln Geladak Hitam morat-marit, apalagi kalau enam orang? Mungkin benteng Geladak Hitam bisa didongkel dan diusung ke lautan sana! "Satu orang Pulau Iblis sama dengan delapan orang Geladak Hitam,"

   Kata Dardanila mengakui kehebatan lawannya. Yuda geleng-geleng kepala.

   "Padahal satu orang Geladak Hitam sama dengan dua orang Perguruan Sekar Bumi, ya? Berarti satu orang Pulau Iblis sama dengan enam belas orang Perguruan Sekar Bumi? Wow... luar biasa kuatnya perbandingan itu."

   "Itulah sebabnya aku tak berani mengejar mereka ke Pulau Iblis. Ilmuku sama dengan sesendok garam di lautan bagi Raja Kala Bopak. Tiga orang seperti aku baru bisa menandingi anak buah Raja Kala Bopak yang kelas rendah. Bisa kau bayangkan alangkah saktinya Raja Kala Bopak itu."

   "Tunggu, tunggu... kubayangkan dulu!"

   Tiga hari lamanya Yuda Lelana tinggal di benteng Geladak Hitam.

   Ia banyak membicarakan tentang Pulau Iblis dan Raja Kala Bopak, dan Ratu Geladak Hitam tak segan-segan menceritakan kekuatan yang ada di sana.

   Pengalaman Dardanila diserang orang-orangnya Raja Kala Bopak membuat perempuan tua yang awet muda itu menjadi jera jika mendengar nama Raja Kala Bopak.

   Baginya sesuatu yang sangat beruntung jika ia bisa terdampar dan mendirikan benteng di muara itu ketimbang harus menjadi buronan Raja Kala Bopak.

   Teropong batin Raja Kala Bopak sangat kuat, khususnya jika ia ingin mengenali pusaka-pusaka dan kitab-kitab penting yang dimiliki seseorang.

   Salah-salah orang yang berhadapan dengannya dapat buta mendadak jika kekuatan saktinya meluncur lewat pandangan mata,"

   Tutur Ratu Geladak Hitam. Yuda Lelana hanya manggut-manggut tanpa ada rasa kagum dan takut sedikit pun. Pada akhir percakapan, Yuda Lelana mengatakan.

   "Bagaimanapun kau harus tanggung jawab atas kitab itu. Kau yang mencurinya dari tangan Nyai Sirih Dewi, kau pula yang harus mengambil kembali kitab tersebut dari tangan Raja Kala Bopak."

   "Wah, mendlngan aku tarung sama Nyai Sirih Dewi sampai mati deh, daripada harus mengambil kitab itu dari tangan Raja Kala Bopak!"

   "Mengapa begitu?"

   "Sudah kubilang berulang kali, Raja Kala Bopak itu sangat sakti. Aku tak mungkin bisa mengalahkannya. Kalau aku datang ke sana, sama saja aku menggali liang kuburku sendiri!"

   "Kalau aku yang mendampingimu ke sana, bagaimana?"

   "Ah, percuma!"

   Keluh Ratu Geladak Hitam.

   "Sama saja buang-buang nyawa tampan. Daripada nyawamu kau buang di sana dengan percuma, mendingan kita manfaatkan untuk merajut keindahan dalam pelukan."

   Yuda Lelana hanya tarik napas tak pedulikan senyuman nakal Dardanila.

   Seorang penjaga gerbang menemui Ratu Geladak Hitam dengan membungkuk-bungkuk penuh rasa takut.

   Sang Ratu menatap dengan pandangan tak suka, karena merasa terganggu oleh kehadiran orang itu.

   Hatinya sedikit dongkol, karena baru saja sang Ratu mau mencium pipi Yuda, tahu-tahu penjaga gerbang datang dengan terbatuk-batuk dipaksakan.

   "Ada perlu apa kau kemari, hah?"

   Gerutu sang Ratu dengan bersungut-sungut.

   "Hanya menyampaikan pesan seorang tamu, Gusti Ratu."

   "Katakan, aku lagi nggak mau terima tamu!"

   "Tamu itu mendesak ingin bertemu, Gusti."

   "Ngotot amat sih tamu itu? Siapa orangnya?"

   "Nyai Sirih Dewi dan dua murid gadisnya, Gusti!"

   "Hah...?l"

   Sang Ratu agak terperanjat, langsung beradu pandang dengan Yuda Lelana. Apa persoalannya sudah dapat ditebak oleh sang Ratu dan Yuda. Pasti berkaitan dengan Kitab Jayabadra.

   "Kau harus menemuinya dan mengatakan yang sebenarnya,"

   Kata Yuda.

   Perintah itu bagaikan mempunyai kekuatan magis.

   Sang Ratu tidak dapat menolaknya.

   Maka ia pun segera menemui Nyai Sirih Dewi yang datang bersama Kutilang Manja dan Peluh Selayang.

   Mereka diterima di ruang paseban yang belum selesai diperbaiki.

   Sisi kiri atapnya masih keropos dan tampak hangus bekas terbakar.

   "Ada dua hal yang harus kuminta darimu, Dardanila; kitab dan Yuda!"

   Kata Nyai Sirih Dewi dengan tegas.

   Wajahnya menampakkan amarah yang dipendam, demikian pula Peluh Selayang dan Kutilang Manja.

   Mulut manis Kutilang Manja jadi seperti tunggir ayam, bersungut-sungut cemberut sambii sesekali melirik Yuda Lelana.

   Yang dilirik hanya senyum-senyum saja, tapi segera merenggang jarak dengan Dardanila, karena posisinya yang berdekatan dengan Dardanila tidak disukai oleh Kutilang Manja dan gurunya.

   "Soal Yuda, itu terserah anaknya. Apakah dia mau kau bawa pulang ke perguruanmu atau tidak, atau dia kerasan tinggal di sini dalam pelukanku atau tidak, itu terserah yang bersangkutan!"

   Bibir Kutilang Manja makin runcing kayak pensil habis diserut. Bahkan terdengar suara gerutunya yang samar-samar.

   "Pantas betah, dikeremin terus sih! Dasar buaya cap putu bumbung!"

   "Ssst...! Kamu ini ngapain sih, pakai menggerutu kayak gitu segala. Tenang sajalah, tenang...!"

   Bisik Peluh Selayang.

   "Gue aja tenang kok, cuma dada mau meledak juga dengar dia sering dipeluk sama perempuan itu!"

   "Gue nggak kuat menderita begini!."

   "Gue juga nggak kuat. Ntar kita keroyok aja perempuan itu. Kita bikin rujak bebek biar kapok!"

   Sang Guru menyergah.

   "Ini apa-apaan slh kok pada kasak-kusuk sendiri?! Kasih kesempatan padaku untuk bicara baik-baik dulu dengannya. Kalau memang dia nggak bisa diajak bicara baik-baik, baru kita hajar bareng-bareng!"

   Suara kasak-kusuk itu hilang.

   Yuda Lelana hanya tersenyum karena telinganya menangkap suara kasak-kusuk itu.

   Ia malahan melangkah mendekati Kutilang Manja, tapi Kutilang Manja bergeser plndah ke samping gurunya, seakan ogah dideketin cowok kumal yang bikin hati panas-dingin itu.

   Dardanila dan Yuda segera menceritakan peristiwa kedatangan tiga utusan dari Pulau Iblis.

   Nyai Sirih Dewi semula mau tidak percaya.

   Tapi dengan melihat atap yang masih hangus dan beberapa bangunan yang belum selesai diperbaiki, akhirnya ia percaya juga bahwa kitab itu dibawa lari oleh tiga utusan dari Pulau Iblis.

   "Kau harus bertanggung jawab merebut kembali kitabku itu, Dardanila! Jika tidak, aku akan bikin perhitungan denganmu secara pribadi!"

   Kata Nyai Sirih Dewi dengan hati gundah.

   "Aku bersedia bikin perhitungan denganmu sekarang juga, daripada kau paksa aku menemui Raja Kala Bopak! Sekarang apa maumu akan kulayani!"

   "Sabar, sabar...!"

   Seia Yuda Lelana. Dengan kalem ia berkata.

   "Soal bikin perhitungan itu soal gampang. Sekarang juga, di sini pun, bisa kalian lakukan dengan hasil yang jelas. Tapi soal merebut kitab itu dari tangan Raja Kala Bopak itu yang perlu dipikirkan. Kalian mati di sini, salah satu atau dua-duanya, percuma saja jika kitab itu masih ada di Pulau iblis. Toh kematian kalian di sini tidak membuat kitab itu pulang sendiri?"

   "Lalu apa maksudmu?"

   Tanya Nyai Sirih Dewi kepada Yuda yang dicurigai memihak Ratu Geladak Hitam.

   "Aku perlu tahu dulu, kira-kira apa yang membuat Raja Kala Bopak menginginkan kitab itu? Coba katakan perkiraanmu, Nyai."

   "Kurasa... kurasa dia punya maksud yang sama dengan Dardanila."

   Yuda Lelana memandang Dardanila. Ratu cantik yang selera cintanya belum terpenuhi sejak kemarin-kemarin itu segera berkata.

   "Kalau aku sih... cuma ingin menjadi kitab itu sebagai sandera supaya Perguruan Sekar Bumi pindah dari Bukit Bara. Karena... jujur saja kukatakan kepada kalian, di bawah tanah yang dipakai berdirinya Perguruan Sekar Bumi itu tersimpan tambang emas yang mungkin belum banyak diketahui orang."

   Nyai Sirih Dewi dan dua murid gadisnya tidak terkejut, karena sebelumnya mereka sudah mendengar dari mulut Yuda Lelana. Justru sang Ratu yang merasa heran melihat mereka tidak terkejut dan tidak merasa heran.

   "Rupanya kalian sudah tahu, ya?"

   Katanya.

   "Mungkin jauh-jauh hari sebelum kau mendarat karena terdampar di sini kami sudah mengetahuinya tentang tambang emas itu. Cuma kami tak punya tenaga untuk menggalinya!"

   Kata sang Nyai sedikit sombongkan diri, padahal ia baru tahu beberapa hari yang lalu. Yuda Lelana berkata.

   "Apakah menurutmu tujuan Raja Kala Bopak juga mengarah pada tambang emas itu, Nyai?"

   Napas tua yang masih tegar itu dihela panjang-panjang. Setelah memandang ke arah kedua muridnya tanpa reaksi, sang Nyai berkata kepada Yuda.

   "Di dalam kitab itu ada satu ilmu yang sukar dipelajari. Aku pernah mencobanya berulang kali tapi justru hampir mati karena tak kuat menahan kekuatan ilmu tersebut."

   "Ilmu apa itu?"

   Tanya Ratu Geladak Hitam. Rasa ingin tahunya membuat ia memandang sang Nyai dengan kepala menyamping.

   "Namanya ilmu 'Pintu Tiga Iblis'. Seseorang yang bisa menguasai jurus-jurus 'Pintu Tiga Ibiis' dapat masuk ke dunia gaib; ke alam kematian, ke alam siluman, dan ke alam kayangan, mendekati Sang Hyang Guru Dewa. Jika seseorang bisa mendekati Sang Hyang Guru Dewa, berarti dia mempunyai tempat khusus di kayangan, mempunyai hubungan dekat dengan para dewa, dan mampu menimba ilmu maha sakti dari Sang Hyang Guru Dewa."

   Yuda Lelana hanya manggut-manggut sambil menahan senyum dalam hati.

   Sebab dunia yang dibicarakan sang Nyai itu adalah dunia yang menjadi tempat tinggalnya sebenarnya.

   Sekalipun begitu, toh Yuda tetap tenang dan berlagak tidak tahu menahu soal alam kekayangan itu.

   Sang Nyai teruskan kata.

   "Barangkali Raja Kala Bopak ingin pelajari ilmu 'Pintu Tiga Iblis' untuk dapat menembus tiga alam tersebut. Mungkin dia ingin bisa mencapai ke alam kayangan. Tapi mempelajari ilmu 'Pintu Tiga Iblis', adalah hal yang sulit sekali. Baru sampai pintu pertama kita sudah mental dan terluka parah jika tak kuat-kuat tenaga saktinya."

   "Pada waktu itu kau ingin menembus sampai ke alam kayangan?"

   Tanya Dardanila dengan antusias se-kali.

   "Ya. Aku Ingin masuk ke alam para dewa, selain ingin bertemu dengan Sang Hyang Guru Dewa, juga ingin bertemu dengan salah satu dewa yang menurut nenekku adalah dewa tertampan di antara para dewa. Konon ketampanannya melebihi tokoh pewayangan yang bernama Arjuna. Nama dewa itu adalah Batara Kama!"

   Sang Ratu manggut-manggut, dua murid sang Nyai menyimak secara sungguh-sungguh karena baru sekarang ia mendengar cerita tentang isi kitab itu.

   Sedang kan Yuda Lelana sedikit salah tingkah ketika namanya disebutkan sebagai dewa tertampan melebihi Arjuna.

   Ia jadi malu sendiri, karenanya ia segera melengos dan lempar pandangan ke tempat orang yang sedang memperbaiki kerusakan sebuah bangunan itu.

   "Jika begitu, berarti Raja Kala Bopak memang ingin menembus tiga lapisan gaib itu dengan mempelajari ilmu yang ada dalam kitab kita, Guru!"

   Kata Peluh Selayang.

   "Kita harus bisa merebutnya sebelum ia menguasai ilmu 'Pintu Tiga Iblis'. Karena jika ia berhasil kuasai ilmu itu, maka tindakannya akan menjadi lebih semena-mena lagi dan...."

   "Tapi tunggu dulu,"

   Potong Dardanila.

   "Apakah mungkin Raja Kala Bopak ingin pelajari ilmu itu untuk menembus tiga lapisan alam gaib, sedangkan Kala Bopak sendiri sebenarnya adalah raja jin?"

   Weet...! Kepala Yuda Lelana cepat berpallng memandang Dardanila begitu mendengar kata 'raja jin' disebutkan. Matanya memandang tajam dengan dahi mulai berkerut. Lalu terdengarlah suaranya bertanya dalam nada ragu.

   "Benarkah... benarkah Kala Bopak itu sebenarnya adalah raja jin?"

   "Ya. Dia menjelma menjadi manusia karena dia kawin dengan manusia perempuan. Tapi istrinya sekarang sudah mati. Tinggal anak gadisnya yang bernama Murti Kumala. Anak gadisnya itu tak mau ikut bapaknya, sedangkan sang bapak sangat sayang kepada anaknya. Murti Kumala mau hidup bersama bapaknya jika mereka hidup di alam manusia. Maka Raja Jin itu pun menjelma sebagai manusia dengan nama tetap Kala Bopak. Karena ia menjelma menjadi manusia, maka ia membutuhkan tempat. Tempat yang dipilih adalah Pulau Iblis. Dan dia datang bersama pasukannya menggempurku, mengusir kami, lalu mendiami Pulau Iblis. Itulah sebabnya kukatakan padamu, Yuda, bahwa satu orang anak buah Raja Bopak sama dengan delapan orang benteng Geladak Hitam ini. Karena kekuatan yang mereka pakai adalah kekuatan jin!"

   Yuda Lelana manggut-manggut dalam renungannya. Ada percakapan yang terjadi antara Nyai Sirih Dewi dengan Ratu Geladak Hitam, tapi Yuda tak mendengar percakapan itu. Konsentrasinya tertuju pada sebaris kalimat yang pernah dlucapkan oleh Dewa Hakim.

   "Batara Kama boleh kemball ke kayangan dan menjadi dewa lagi apabila ia sudah kawin dengan putri raja jin dan mampu menghasilkan keturunan...."

   Setelah merenungi kata-kata itu berulang kali, maka Yuda Lelana pun segera berkata kepada Nyai Sirih Dewi.

   "Nyai, kau tak perlu cemas. Aku akan merebut kitab itu dari tangan Raja Kala Bopak!"

   "Tidak!"

   Sentak Kutilang Manja.

   "Kau tidak boleh ke sana! Itu bukan tanggung jawabmu, Yuda!"

   "Aku harus ke sana dan berjanji membawa pulang kitab itu asal kalian berdamai. Antara orang Perguruan Sekar Bumi jangan bermusuhan dengan orang benteng Geladak Hitam!"

   "Aku tetap tidak setuju!"

   Kutilang Manja ngotot keras.

   "Kau hanya akan menyumbangkan nyawa bagi raja jin itu jika nekat datang ke Pulau Iblis!"

   "Tidak, Kutilang! Percayalah padaku, tidak akan terjadi hal yang kau bayangkan itu. Jangan menyerah dulu, Anak Manis,"

   Bujuk Yuda Lelana yang membuat Kutilang Manja akhirnya luluh, tundukkan kepala setelah ditatap tajam oleh Yuda.

   Tatapan mata Yuda itu mengandung kekuatan mistlk yang mampu meredakan amarah seseorang dan kekerasan hati siapa pun.

   itulah jurus 'Mata Dewata' yang selalu mengalir dalam diri Yuda Lelana.

   "Ratu,"

   Katanya kepada Dardanila.

   "Kuambil alih tanggung jawabmu merebut kembali kitab itu, tapi kau harus berjanji untuk tidak mengganggu orang Perguruan Sekar Bumi lagi. Jika kau masih ingin mengganggu mereka, kau akan berurusan denganku lebih parah. Dalam sekejap tempat ini bisa kuratakan dengan tanah. Jika kau mau berdamai, itu lebih baik, dan aku akan membantu kalian untuk menggali tambang emas. Hasilnya bisa kalian manfaatkan bersama tanpa keserakahan."

   Sang Ratu diam tak berkata karena terpaku mendengar kata-kata itu dan terpukau menerima tatapan mata Yuda. Nyai Sirih Dewi juga ditatapnya, dan saat itu Yuda bertanya.

   "Apakah kau keberatan untuk berdamai, Nyai?"

   Setelah diam beberapa saat, barulah sang Nyai menjawab.

   "Tidak!"

   "Bagaimana dengan kau, Ratu?"

   "Hmmm... hmmm... ya, baiklah. Aku akan turuti kata-katamu!"

   "Nah, jika begitu... aku akan berangkat ke Pulau Iblis sekarang juga."

   "Tunggu, kuperintahkan anak buahku untuk mempersiapkan kapal dan pengawalnya,"

   Kata Dardanila.

   "Tak perlu serepot itu, Ratu. Aku akan berangkat sendiri."

   Yuda Lelana tempelkan kedua telapak tangannya di dada.

   Berdirinya lurus dan tegak.

   Tiba-tiba, claaap...! Ia berubah menjadi sinar terang yang menyilaukan, membuat mereka tersentak mundur sambil menyilangkan lengan di atas kepala, menahan silaunya sinar putih itu.

   Dan ketka sinar putih itu lenyap, sosok Yuda Lelana yang kumal pun lenyap tak berbekas.

   "Dia hilang...?!"

   Sentak Kutilang Manja.

   Mereka terbelalak dan terbengong.

   Lebih terbengong lagi setelah melihat atap ruang paseban yang rusak hangus itu ternyata telah berubah menjadi seperti semula.

   Bangunan yang sedang dlperbaiki itu tiba-tiba utuh kembali tanpa cacat sedikit pun.

   Keadaan yang porak poranda, bekas sisa kebakaran, menjadi mulus bagaikan tak pernah terjadi peristiwa maut di situ.

   "Siapa sebenarnya bocah kumal itu?!"

   Gumam Ratu Geladak Hitam.

   Rasa kagum, heran, takjub, takut, sungkan, semua bergumul menjadi satu di dalam hati setlap manusia yang ada di situ.

   Hal yang mengejutkan sekali adalah munculnya para korban yang telah dimakamkan akibat pertarungan dengan tiga orang utusan Pulau Iblis itu.

   Sang Ratu tidak bicara sedikit pun melihat mereka datang dalam keadaan segar bugar tanpa luka sedikit pun.

   Bahkan tangan Adu Polo yang buntung itu menjadi pulih seperti sediakala.

   Utuh tanpa luka, kecuali tiga panu yang di lengannya dari dulu itu.

   Telinga Kebo Tumang sendiri menjadi seperti semula, seperti tak pernah terpotong oleh kekuatan dahsyat tangan Yuda Lelana.

   "Gusti, Gusti... telinga saya tumbuh lagi! Lihat... telinga saya tumbuh lagi,"

   Teriak Kebo Tumang yang berlari mendekati ratunya dengan gemblra. Ia tak sadar memamerkan kegembiraannya itu kepada Kutilang Manja.

   "Telingaku tumbuh lagi. Lihatlah...! Tumbuh lagi, kan?"

   Kutilang Manja bersungut-sungut.

   "Tumbuh lagi, tumbuh lagi..., memangnya batang singkong?"

   Lalu terdengar suara Nyai Sirih Dewi yang telah sadar dari rasa shocknya.

   "Firasatku mengatakan, Yuda Lelana itu sebenarnya adalah dewa...."

   "Dewa...?!"

   Ucap mereka dengan kompak, seperti paduan suara.

   Ratu Geladak Hitam segera berlutut di tempat Yuda berdiri tadi.

   Bekasnya dicium penuh hormat dan rasa takut.

   Peluh Selayang ikut-ikutan berlutut, mencium lantai tempat berdiri Yuda tadi.

   Kutilang Manja bahkan sempat menangis dengan tubuh gemetar dan berucap lirih.

   "Ampunilah saya yang telah berani menaruh hati padamu, Sang Hyang Dewa Yuda...."

   Hal itu dilakukan Kutilang Manja karena gurunya sendiri berlutut dan bersujud di depan bekas tempat Yuda berdiri dan menghilang.

   Kebo Tumang dan Adu Polo serta anak buah Dardanila lainnya juga ikut bersujud seperti ratunya tadi.

   Tiba-tiba kejadian aneh dialami oleh mereka.

   Seluruh ruangan paseban bercahaya putih menyilaukan, tapi tidak sakit dipandang mata.

   Tiang-tiangnya, dinding-dindingnya, atapnya, semua bercahaya berbinar-binar.

   Cahaya itu menghadirkan hawa sejuk yang enak dirasakan di hati.

   Hawa sejuk itu bagaikan menyapu seluruh kebencian, kecemburuan, kedongkolan bahkan dendam pun enyap bagai tak berbekas sama sekali di hati mereka.

   Yang mereka rasakan hanyalah kedamaian, kete-nangan, dan perasaan bahagia tak jelas maknanya.

   Perasaan bahagia itu mengharukan sekali, hingga mereka saling menltlkkan air mata, tak peduli pria maupun wanita yang ada di ruangan tersebut.

   Tak lama kemudian, terdengar suara Yuda Lelana yang amat dikenali oleh mereka.

   Suara itu berkata.

   "Aku sudah sampai di Pulau Iblis, tapi... entah nyasar atau tidak nih? Kok keadaannya sepi-sepi saja? Apakah karena aku masih berada di pantainya? Ratu, apa ciri-clri Pulau Iblis?"

   Tiba-tiba mulut sang Ratu menjawab sendiri.

   "Tiga pohon kelapa kipas."

   Suara menggema itu terdengar lagi.

   "Oh, kalau begitu aku tak salah alamat. Aku melihat tiga pohon kelapa kipas. Buahnya berjejer-jejer. Baiklah, aku akan pergi ke pedalaman mencari istana si Bopak. Damailah kalian bersama!"

   Setelah suara itu hilang, cahaya pendar-pendar menyilaukan itu pun lenyap. Tapi mereka terkejut ketika melihat beberapa anak buah mengurung tempat itu dengan mata terbelalak. Kebo Tumang berseru kepada mereka.

   "Hei, mengapa kalian mengurung kami dengan senjata lengkap?"

   "Tuan Kebo... tempat ini tadi kosong, kami mencarinya dengan siaga perang! Tapi tahu-tahu ruang paseban ini muncul kembali. Padahal tadi kami lihat ruang paseban hilang tak berbekas!"

   Orang yang ada di dalam ruang paseban tak bisa bicara sepatah kata pun. Mereka saling tertegun hingga Kebo Tumang membubarkan anak buahnya. Lalu terdengar suara Nyai Sirih Dewi berkata kepada Dardanila.

   "Peristiwa ajaib ini tak mungkin kulupakan sepanjang hidupku! Kita telah dibawa ke dalam suasana kedamaian yang sejati. Dan ini merupakan keberuntungan kita bersama yang belum tentu bisa dialami oleh orang lain."

   "Memang,"

   Kata sang Ratu.

   "Sekarang yang ada dalam pikiranku adalah, bagaimana dengan nasib Raja Kala Bopak Itu? Dapatkah Dewa Yuda Lelana mengalahkan kekuatan jin yang ada pada Raja Kala Bopak?"

   "Dia berjanji akan datang lagi membawakan kitab itu. Kita tunggu saja hasilnya,"

   Kata Nyai Sirih Dewi dengan suara rendah, tanpa nada permusuhan.

   TUJUH SINAR putih perak melayang-layang dl sekeliling taman keputren, artinya taman untuk putri raja.

   Cahaya itu besarnya seukuran bola bekel, mem-punyai ekor sinar panjang sekitar dua jengkal.

   Cahaya itu bergerak terbang ke sana-sini sampai akhirnya berubah menjadi seekor kupu-kupu warna putih perak.

   Kupu-kupu itu hinggap di atas daun, padahal di sampingnya ada bunga bermadu, tapi kupu-kupu itu memilih hinggap di daun.

   Jelas itu kupu-kupu bego namanya.

   Tapi biarlah, itu urusan si kupu-kupu.

   Yang jelas dari sudut istana muncul seorang gadis cantik berjalan bersama seorang lelaki bertubuh tinggi besar, gemuk, hitam, keling, mukanya lebar, hidungnya besar, matanya juga besar, mulutnya lebar, wah...

   pokoknya jelek sekali deh.

   Tapi orang itu mengenakan mahkota dan jubah mengkilap berwarna hitam.

   Jubahnya itu tampak keren, disulam dengan benang emas gambar kepala iblis bertanduk satu.

   Kepala wajah iblis itu sedang julurkan lidah.

   Di atas sulaman gambar kepala iblis di bagian dada kirinya itu ada tulisan sulam juga dari bahan benang putih berbunyi.

   JAGALAH KEBERSIHAN.

   Dari jauh memang terbaca begitu, tapi begitu didekati tulisan itu ternyata berbunyi.

   'Sang Pelebur Nyawa'.

   Serem juga makna tulisan itu.

   Sesuai dengan wajah angker si pemakai jubah hitam mengkilap itu.

   Lebih menyeramkan lagi jika mahkotanya dibuka, maka tampaklah kepala gundulnya yang mengkilap dengan sisa rambut berkuncir di bagian agak belakang.

   Orang bermahkota dan berkalung rantai emas batuan merah berbentuk kepala manusia kecil itu tak lain adalah penguasa Pulau Iblis yang disebut-sebut sebagai Raja Kala Bopak.

   Jin yang berubah wujud menjadi manusia ltu ternyata tetap saja kelihatan jelek dan menyeramkan.

   Tapi anehnya anak gadisnya yang didampinginya kala itu tampak cantik sekali! Putri raja jin itu bernama Murti Kumala.

   Sangat sesuai dengan keelokan wajahnya.

   Tak sia-sia nama itu tersemat di hati dan jiwa si gadis.

   Usianya sekitar dua puluh tahun.

   Masih bertingkah centil dan manja.

   Rambutnya digulung menjadi dua bagian, melingkar di kanan-kiri kepala.

   Rambut itu diikat dengan tali pita warna ungu, sebab ia mengenakan pakalan serba ungu.

   Pakaiannya tipis sekali, transparan, sehingga bentuk keelokan pinggulnya tampak nyata, bentuk dadanya yang tanpa pelapis lagi tampak menantang jantung untuk berdetak lebih cepat lagi.

   Ia mengenakan perhiasan lengkap.

   Dua cincin indah melingkar di jari-jarinya yang lentik.

   Perhiasan itu menambah kecantikan wajahnya.

   Hidungnya mancung, bibirnya mirip kuncup mawar yang siap dicaplok, sesuai dengan wajah imut-imutnya.

   Matanya bundar indah, bulunya lentik, (maksudnya bulu mata), alisnya lebat dan berbentuk indah.

   Sungguh wajah itu mirip wajah boneka yang menggemaskan, enak diremas-remas.

   Kulit tubuhnya kuning langsat, tapi mulus tanpa cacat tanpa goresan apa pun.

   Jubahnya yang tanpa lengan menampakkan kulit tangannya yang lembut seperti kulit bayi, tanpa ada bekas suntikan cacar di ujung lengannya.

   Tinggi gadis itu lumayan, tidak terlalu jangkung, tidak terlalu pendek.

   Pokoknya serasi dengan bentuk tubuhnya yang sekal, padat, dan kencang.

   Sangat kontras dengan wujud sang ayah yang angker mirip kuburan para zombi.

   "Kamu nggak perlu murung lagi, Murti Kumala. Sekarang kita sudah punya kunci menuju keinginanmu. Kitab Jayabadra sudah kita peroleh. Tinggal bagaimana ketekunanmu mempelajari Ilmu 'Pintu Tiga Ibiis' itu. Nanti Ayah akan membantumu dalam mempelajari ilmu tersebut."

   Sang putri berkata.

   "Terima kasih, Ayah. Ayah selalu menuruti keinginanku."

   "Karena sejak kematian Ibumu, kaulah satu-satunya buah hatiku, Murti Kumala. Anak semata sapi harus disayang setulus hati,"

   Kata Raja Kala Bopak dengan suaranya yang besar. Mereka duduk di bangku taman yang terbuat dari batu bening tembus cahaya itu. Letaknya berdekatan dengan tanaman bunga kuning yang daunnya dipakai hinggap seekor kupu-kupu perak.

   "Tapi sebenarnya Ayah merasa heran sekali, mengapa kamu ingin sekali pelajari ilmu 'Pintu Tiga Iblis', apakah itu tidak menyindir ayahmu, Nak?"

   "Ayah jangan tersinggung,"

   Kata Murti Kumala dengan lagak manjanya.

   "Murti hanya ingin pelajari ilmu saja itu kok. Sebab Murti kepingin bisa menembus tiga lapisan alam."

   "Lho, kamu kan anak jin, kamu sudah bisa keluar masuk alam siluman."

   "Iya, tapi kan nggak bisa masuk ke alam kayangan, Ayah."

   "Ooo... jadi kau ingin masuk ke alam para dewa?"

   "Iya dong. Murti kan kepingin ketemu dewa yang bernama Batara Kama. Katanya dia itu dewa terganteng di seluruh kayangan."

   "Katanya sih memang begitu, tapi Ayah sendiri belum pernah melihatnya. Habis Ayah selalu diusir kalau mau masuk ke kayangan. Ayah tak bisa mengalahkan penjaga kayangan."

   "Makanya biar Murti saja deh yang ke sana. Murti cuma ingin buktikan cerita almarhumah Ibu yang bilang bahwa dewa terganteng itu adalah Batara Kama. Kata mendiang Ibu sih, ketampanan Batara Kama tidak ada yang mengalahkan. Makanya Murti jadi penasaran banget deh sama yang namanya Batara Kama itu, Ayah!"

   "Ya, sudah. Nanti Ayah bantu kamu pelajari kitab itu. Sekarang Ayah ingin kembali ke istana, ada yang harus Ayah bicarakan dengan Panglima Marong!"

   "Baiklah. Silakan Ayah ke istana, Murti mau duduk di sini mengkhayalkan pertemuan dengan Batara Kama nanti."

   "Hah, hah, hah, hah, hah... !"

   Raja Kala Bopak tertawa sambil mengusap punggung putrinya. Saat itu tanaman-tanaman bergetar karena bumi pun bergetar mendapat sentakan gelombang suara tawa Sang Pelebur Nyawa itu. Putrinya memejamkan mata, menahan rasa sakit di telinganya.

   "Ayah kalau tertawa jangan di dekat Murti! Kuping Murti bisa budek nih!"

   "Iya, iya... maafin Ayah deh!"

   Sang Ayah bersikap sabar, penuh curahan kasih sayang kepada anaknya.

   Setelah sang Ayah pergi, Putri Murti Kumala duduk sendirian dengan kaki kiri ditumpangkan ke kaki kanan, jubahnya menyingkap, sehingga betis yang mulus indah terlihat jelas sampai ke paha.

   Seekor kupu-kupu perak menjadi gelisah, lalu terbang dan hingga di paha yang tersingkap itu.

   Sang putri tertawa geli dan cekikikan.

   "Aduh, lucunya... kupu-kupu bersayap perak. Iiih... bagus sekali! Akan kurawat di kamar tidurku, ah!"

   Sang kupu-kupu ditangkap, lalu dibawa lari masuk ke kamar tidurnya. Kamar tidur Murti Kumala berkesan mewah. Ada tanaman pot yang mempunyai bunga merah jambu bening seperti kaca. Kupu-kupu perak itu diletakkan di tanaman bunga itu dengan hati-hati.

   "Kupu-kupu, kamu di sini saja ya? Jangan terbang ke mana-mana. Aku suka melihat kecantikan rupamu. Jangan nakal, ya?"

   Ujarnya dengan manja.

   Sang kupu-kupu diam saja.

   Ruang tidur itu cukup sejuk karena Raja Kala Bopak menyalurkan hawa salju yang mengembang di atas langit-langit kamar tersebut.

   Hawa salju itu tak bisa hilang jika tidak diambil oleh si pemiliknya.

   Hawa sejuk itu membuat sang putri betah tlnggal di kamar, apalagi sekarang ada kupu-kupu lucu, pasti akan lebih betah lagi.

   Bahkan ketika ayahnya menyarankan agar segera mempelajari ilmu 'Pintu Tiga Iblis', Murti Kumala menangguhkan niatnya itu, sebab ia masih senang bermain dengan kupu-kupu perak.

   Tentu saja keadaan di kamar membuat sang kupu-kupu juga menjadi betah.

   Tapi ia sering dibuat gelisah manakala Murti Kumala masuk ke dalam kamar, selesai mandi sore dan melepas pakaiannya untuk ganti dengan pakaian yang bersih, juga berwarna ungu.

   Agaknya cewek itu memang suka warna ungu sebagai warna favoritnya.

   Buktinya ranjang tidurnya berlapis seprai warna ungu juga.

   Selimut tebalnya juga berwarna ungu.

   Ketika Murti Kumala salin busana tanpa canggung-canggung, sayap kupu-kupu itu bergetar menandakan hatinya sedang gundah dicekam kegelisahan.

   Eh, ternyata kupu-kupu perak itu nekat terbang berkeliling sebentar dipandangi Murti Kumala yang berhenti mengenakan busananya kupu-kupu itu lalu hinggap di ujung dada Murti Kumala.

   Sang putri cekikikan geli, lalu mengangkat kupu-kupu perak.

   "Ih, nakal kamu ya? Nggak boleh begitu, ah! Kamu istirahat di sini saja, ya?"

   Sambil meletakkan kupu-kupu ke daun tanaman pot itu.

   "Kalau kau ingin mimik, mimiklah madu di bunga itu. Kamu kan kupu-kupu, mimiknya ya madu. Nggak boleh mimik lainnya."

   Murti Kumala tertawa cekikikan sendiri.

   Pada malam hari, menjelang Murti Kumala tidur, kupu-kupu perak dlambilnya dari tanaman bunga.

   Kupu-kupu itu diletakkan di atas bantal dan sayapnya dibuat mainan dengan jari lentik sang putri.

   Sungutnya juga dibuat mainan seraya diajak bicara macam-macam.

   Murti Kumala tampak senang sekali bermainkan kupu-kupu itu, sampai tak terasa malam semakin larut dan akhirnya rasa kantuk pun tiba.

   "Nah, sekarang aku mau tidur. Kamu tidur di bantal sampingku saja, ya? Besok pagi kita main kembali. Kamu juga harus tidur lho, jangan begadang. Kalau kamu begadang, nanti masuk angin. Kalau kamu masuk angin, aku susah ngerokinnya. Habis tubuhmu kecil sih. Hi, hi, hi, hi...!"

   Sang putri pun tidur.

   Cantik sekali dalam keadaan tidur begitu.

   Bibirnya sedikit merenggang bak delima merekah.

   Tanpa disadarinya, kupu-kupu perak itu memancarkan cahaya putih menyilaukan.

   Semakin lama cahayanya semakin terang dan bertambah besar.

   Akhirnya, blaaab...! Cahaya itu padam, wujud kupu-kupu berubah menjadi Yuda Lelana.

   Pemuda itu cengar-cengir, duduk di atas ranjang di samping sang putri.

   Tangannya memainkan ujung hidung sang putri.

   Bibirnya disentuh-sentuh oleh jari telunjuk Yuda.

   Dagunya juga dimainkan, dan akhirnya merayap sampai ke dada.

   Sang putri kaget lalu terbangun.

   "Hahh...?!"

   Ia terpekik tertahan den lompat dari tempat tidur. Matanya membelalak tegang melihat sesosok pemuda berpakaian kumal ada di atas ranjangnya. Tentu saja sang putri berdebar-debar ketakutan dan merasa dongkol.

   "Siii... siapa kau?"

   "Namaku Yuda Lelana,"

   Jawab Yuda dengan kalem. Ia turun dari ranjang, Murti Kumala mundur ketakutan.

   "Keluar, atau kupanggilkan pengawal biar kau ditangkap?!"

   "Jangan dong. Aku suka di sini kok."

   "Nggak bisa! Nggak bisa! Keluar sana! Kalau ayahku tahu kau ada di sini, kau akan dipancung, tahu?!"

   "Iya. Tahu. Bapakmu sadis sih!"

   Jawab Yuda Lelana seenaknya saja.

   "Dari mana kau masuk? Bagaimana kau bisa sampai di sini? Penjagaan sangat ketat. Jangankan menuju ke kamarku, masuk ke istana saja sulitnya bukan main. Tapi... tapi kau bisa berada di sini dengan tanpa luka apa pun? Aneh sekali. Siapa kau sebenarnya?!"

   "Aku adalah kupu-kupu yang kau bawa dari taman itu."

   "Ah...!"

   Murti Kumala tak percaya. Tapi matanya segera pandangi sekeliling mencari kupu-kupu itu. Ternyata memang tak ada. Barulah Murti Kumala tertegun dan mengurangi ketegangannya.

   "Kalau begitu... kalau begitu kau bukan pemuda sembarangan!"

   "Memang bukan. Aku adalah pemuda idola,"

   Kata Yuda Lelana.

   Ia mendekati Murti Kumala yang telah bersandar di dinding.

   Matanya memandangi Yuda tak berkedip, lalu sadarlah sang putri bahwa pemuda yang ada di depannya itu ternyata berparas rupawan.

   Hanya karena pakaiannya kumal dan tubuhnya kurang terawat saja sehingga tampak kurang menawan.

   "Oh, hatiku kenapa jadi berdebar-debar indah?"

   Pikir Murti Kumala.

   "Pandangan matanya begitu lembut membelai kalbuku. Aduh, mati aku, Mak...! Kenapa tiba-tiba aku merasa ingin dipeluknya? Celaka. Tubuhku menggigil penuh harapan mesra. Oh, haruskah kubiarkan dia mendekatiku terus? Haruskah? Ya, harus."

   Yuda Lelana nekat mepet gadis itu. Sang gadis yang merasa terpepet tak bisa berbuat apa-apa. Kepalanya rapat dengan dinding, matanya masih menatap nanar pada seraut wajah tampan di depannya.

   "Gagah sekali dia,"

   Pikir Murti Kumala dengan masih diam tak berkutik. Ketika jarak wajah tinggal dua jengkal, Yuda Lelana ucapkan kata lembut yang lirih sekali, membuat telinga penasaran ingin menyimak lebih jelas.

   "Cantik sekali kau, Murti Kumala. Baru sekarang kutemukan kecantikan yang sempurna pada seraut wajah seorang gadis sepertimu. Oh, rasa-rasanya aku tak ingin malam cepat berlalu, biar kupuas memandangi wajahmu yang membekas lengket di hatiku."

   Sebaris rayuan mulai diluncurkan lewat ucapan lirih.

   Rayuan itu membuat Murti Kumala makin tak berkutik.

   Kini Yuda Lelana sunggingkan senyum lebar.

   Dada Murti Kumala terguncang hebat karena senyuman itu.

   Setangkai bunga merah jambu bertangkai hijau dipetiknya.

   Yuda Lelana menyematkan setangkai bunga itu di rambut Murti Kumala, di atas telinga.

   "Bunga ini sebagai lambang kebahagiaanku bisa bertemu denganmu, Murti Kumala. Kebahagiaan ini melebihi segala kebahagiaan yang pernah kujumpa. Ingin rasanya aku membawamu terbang dan duduk di gumpalan mega putih menikmati malam terang bulan purnama."

   "Ba... bawalah... bawalah aku pergi, Yuda,"

   Ucap Murti Kumala sambil sesekali menelan napas untuk menenangkan kegundahan hatinya yang diterkam seribu kemesraan asmara. Yuda Lelana hanya sunggingkan senyum. Lalu pelan-pelan didekatinya wajah itu, dibisikkan kata lirih.

   "Aku... kagum padamu, Murti Kumala. Bolehkah kusentuh ujung bibirmu?"

   "He'eh...,"

   Gadis itu hanya bisa menjawab dengan napas mendesah.

   Kepalanya mengangguk samar.

   Kemudian karena takut jantungnya meledak saat didekati wajah tampan, Murti Kumala pejamkan mata dengan tangan menggenggam gemetar.

   Mulutnya sedikit ternganga, seakan pasrah.

   Dan Yuda Lelana segera tempelkan bibirnya ke bibir sang gadis.

   Plek...! Nyuuuut...! Nyawa Murti Kumala bagaikan melayang tinggi, nyantel di awang-awang.

   Karena saat itu bibirnya dikecup pelan dan lembut sekali.

   Tak bisa dilukiskan lagi kelembutannya, sehingga roh Murti Kumala bagaikan diterbangkan tinggi-tinggi.

   "Dun Gusti... indah nian pagutan bibirnya. Nasib apa yang akan kutemui selanjutnya sehingga aku menerima kebahagiaan yang begitu tinggi dan tak tertandingi lagi?"

   Pikir Murti Kumala sambil tetap biarkan bibirnya menerima kelembut Yuda Lelana.

   Malam itu, jatuhlah hati sang putri kepada pemuda kumal yang menjelma menjadi kupu-kupu di siang harinya.

   Murti Kumala tak bisa lari dari kenyataan, bahwa hatinya terpaku di tempat sang pemuda memeluknya.

   Kemesraan itu membuat Murti Kumala terlena di alam mimpi.

   Sekalipun Yuda Lelana hanya memangku kepala sang putri hingga sang putri tertidur dalam usapan lembut tangan Yuda, tapi mimpi yang hadir adalah mimpi pembawa sejuta kenikmatan.

   Murti Kumala menerima kehangatan cinta, terpenuhi hasrat wanitanya di alam mimpi.

   Dan pemuda yang hadir di alam mimpinya itu tak lain adalah Yuda Lelana.

   Raja Kala Bopak heran melihat perubahan anak gadisnya.

   Setiap siang hanya bermain kupu-kupu, sedangkan kalau malam lebih sering mengeram diri di dalam kamar.

   Kitab Jayabadra menjadi bahan cuekan.

   Sama sekali tak dibaca dan tak disentuh oleh Murti Kumala.

   "Kau ini bagaimana? Berbulan-bulan murung hanya ingin dapatkan Kitab Jayabadra, giliran sudah dapat nggak mau dipelajari? Apa sih maumu sebenarnya, Anakku?"

   Tanya sang ayah dengan nada jengkel.

   "Seleraku sedang turun, Ayah,"

   Hanya itu jawab sang anak.

   Karena memang dimanja, maka sang ayah tidak mau memaksa putrinya untuk pelajari isi Kitab Jayabadra.

   Pikirnya, nanti-nanti pasti kitab itu akan dipelajarinya.

   Buat Raja Kala Bopak, yang penting wajah sang anak selalu ceria dan tidak murung seperti bulan-bulan kemarin.

   Tiga malam berturut-turut Yuda Lelana tinggal sekamar dengan Murti Kumala.

   Tiga malam berturut-turut tidur sang putri amat nyenyak.

   Terang saja, sebab sang kekasih selalu menenggelamkan buaian indah dalam pelukan.

   Bahkan kalau perlu satu hari itu tanpa ada siang.

   Malam terus.

   Biar kebahagiaan batin selalu terpenuhi.

   Sebab sekalipun mereka tidak lakukan percumbuan yang paling dalam, tapi jika berada dalam pelukan Yuda mimpi sang putri selalu indah, selalu mimpi mendapat kehangatan yang memuaskan batin.

   Sampai pada malam keempat, akhirnya sang putri berkata dengan sangat terpaksa, sebab didesak oleh kebutuhan batiniahnya.

   "Aku tak mau hanya dalam mimpi. Aku ingin mimpi itu menjadi kenyataan."

   "Berarti kita harus menikah."

   "Aku bersedia. Sangat bersedia!"

   Jawabnya menggebu-gebu, sudah tak memikirkan malu-maluin lagi.

   "Kapan kau akan melamarku?"

   "Esok siang aku akan menghadap ayahmu,"

   Jawab Yuda Lelana.

   "Apakah kau berani? Ayahku raja preman!"

   "Demi mendapatkan dirimu, tak ada yang membuatku takut sedikit pun! Biar ayahmu raja jin, malaikat sekalipun, aku tak gentar melamarmu."

   "Oh, Yuda...,"

   Murti Kumala jatuhkan kepala ke dada Yuda.

   "Kau memang pria idaman yang mampu membangkitkan semangat cintaku. Lamarlah aku secepatnya! Jika ayahku tak izinkan kita kawin, kita lari dari Pulau Iblis!"

   Maka Yuda Lelana memberanikan diri menghadap Raja Kala Bopak.

   Ia muncul bukan dari kamar sang putri, melainkan berubah menjadi kupu-kupu dulu, kemudian terbang keluar benteng istana, lalu menjelma menjadi manusia dan datang ke istana dalam keadaan pakaian tetap kumal.

   Penjaga gerbang berkumis lebat dan berwajah seram menahannya.

   "Siapa kau, dan mau apa datang kemari?"

   "Namaku Yuda Lelana. Aku mau menghadap Raja Kala Bopak."

   "Apa perlumu?"

   "Melamar Putri Murti Kumala."

   "Hah...?! Lancang betul mulutmu?! Putri raja kami mau dilamar pemuda kumal sepertimu? Wah, ini sih sudah kurang ajar namanya! Perlu dibobok dulu mulut dan gigimu itu! Heaaah...!"

   Wuuus...! Sekelebat tangan besar menghantam wajah Yuda Lelana.

   Tapi karena Yuda Lelana sebenarnya adalah dewa, dan penjaga gerbang itu hanya prajurit jin kelas kambing, maka pukulan itu hanya ditahan dengan satu jari.

   Pukulan itu menghantam ujung jari telunjuk Yuda yang mengeras.

   Dess...! "Aaaauh...!"

   Penjaga gerbang memekik kesakitan.

   Tubuhnya berasap.

   Matanya terpejam kuat-kuat, giginya meringis.

   Sekujur tubuhnya yang berasap menjadi gemetaran.

   Tangan yang memukul mau ditarik susahnya setengah mati.

   Badan besar itu bagaikan dibakar api dari dalam tubuh.

   Panasnya bagaikan panas lahar gunung berapi.

   "Ampuuun...!"

   Ratapnya sambil menggeliat-geliat.

   Lalu, Yuda Lelana menarik jari telunjuknya.

   Seet...! Orang itu pun roboh dengan terkulai lemas, seperti karung beras basah.

   Brruk...! Tetapi teriakannya yang keras tadi telah mengundang perhatian anak buah Raja Kala Bopak.

   Mereka segera menyerang Yuda Lelana dengan kesaktian masing-masing.

   Mereka dapat menghilang silih berganti, membuat raganya bagai bayangan yang tak bisa disentuh.

   Tetapi ilmu kedewaan Yuda Lelana mampu mengimbangi ilmu jin mereka.

   Yuda Lelana juga mampu menghilang dalam sekejap dan bertarung dengan mereka di alam gaib.

   Tahu-tahu mereka terlempar ke alam nyata dalam keadaan babak belur.

   Ada yang hidungnya somplak, ada yang tangannya patah, ada pula yang giginya rontok bagian depan, dan yang jelas hal itu menimbulkan kehebohan yang memancing perhatian Raja Kala Bopak.

   "Ada apa itu di luar?!"

   Tanyanya kepada pengawal istana.

   "Seorang tamu mengamuk, Paduka!"

   "Apa maksudnya datang-datang mengamuk?"

   "Ingin menghadap Paduka tapi kami cegah."

   "Hmmm! Biarkan dia menghadapku, aku ingin jajal ilmunya yang sok-sokan itu! Suruh dia masuk!"

   Tiga belas prajurit jin bonyok semua melawan Yuda Lelana.

   Akhirnya pertarungan itu dihentikan.

   Yuda Lelana dibawa masuk ke istana dan menghadap Raja Kala Bopak yang kupingnya sudah naik, wajahnya semburat merah karena menahan marah.

   Sebentar-sebentar terdengar suara gemeretak menggema, itulah saatnya ra-ja jin menggeletukkan giginya.

   Krak, krrrruk, kraak, kriuuuk...! "Gila! Menggeletukkan gigi apa makan tulang kambing tuh?"

   Pikir Yuda Lelana dengan santai sekali. Seakan ketegangan yang menyeramkan di sekelilingnya dicuekin begitu saja. Ia tetap berdiri di depan Raja Kala Bopak yang matanya melotot lebar nyaris lompat keluar.

   "Apa maksudmu bikin keributan di wilayahku, hah?!"

   Bentak Raja Kala Bopak.

   "Aku ingin melamar anakmu; Murti Kumala."

   "Apa...?! Edan!"

   Sentak Raja Kala Bopak. Sentakan itu membuat pilar bergetar dan salah satu sisi dinding retak.

   "Hei, manusia kumal!"

   Katanya penuh geram kemarahan.

   "Tidak tahukah kau bahwa Murti Kumala adalah anak semata sapi bagi diriku?! Biar jelek-jelek aku ini raja! Raja Jin!"

   Sambii menepuk dada sendiri. Buuhg, buhg, bung...! "Kalau anak raja jin apa tak boleh dilamar?"

   Kata Yuda Lelana tetap kalem."Apa yang kau andalkan sih, sehingga kau berani melamar anakku?! Apa?!"

   "Yang kuandalkan hanya cinta dan kesetiaan yang kumiliki. Semuanya akan kuberikan kepada anakmu, Raja!"

   "Gombal!"

   Bentaknya, kembali menggetarkan pilar-pilar besar.

   "Anakku tidak butuh cinta semata. Keberanianmu melamar anakku sama saja keberanianmu menantangku! Kusarankan pulanglah dan jangan mencoba melamar anakku untuk yang kedua kalinya!"

   "Aku tidak mau pulang sebelum memboyong anakmu!"

   "Dasar wedus kurap! Panglima Morang...! Remukkan tulangnya!"

   Teriak Raja Kaia Bopak, dan sang Panglima pun datang, langsung menendang pemuda yang tingginya hanya sebatas ulu hati si panglima itu.

   Wuukkk...! Weees...! Yuda Lelana terpental jauh.

   Padahal tidak terkena tendangan itu.

   Baru terkena anginnya.

   Dia sampai terguling-guling keluar istana.

   Wajahnya bercampur dengan tanah berdebu.

   Tapi Yuda tak merasa jera.

   Ia segera bangkit dengan tarik napas dalam-dalam.

   Hatinya sempat membatin.

   "Gila! Anginnya saja sudah membuat tubuhku terpentai, apalagi jika terkena tendangannya. Itu pun baru panglimanya, belum rajanya sendiri!"

   Sebuah suara tak terlihat wujud orangnya terdengar bagaikan berbisik di telinga Yuda Lelana. Suara itu dikenal sebagai suara Begawan Dewa Gesang.

   "Jangan mundur! Maju terus, Anakku! Hajar dia dalam satu gebrakan saja! Jangan lama-lama, supaya kau cepat kembaii ke kayangan. Aku membantumu, Nak!"

   Panglima Morang yang rambutnya panjang, berwajah seram dan bertaring, segera lompat keluar dari istana dan menerjang Yuda Lelana.

   "Heeeeaaaahhhh...!"

   Suara teriakannya memekakkan telinga karena keras sekali.

   Tapi Yuda tidak merasa gentar sedikit pun.

   Ia segera merapatkan telapak tangannya.

   Kedua telapak tangan yang merapat di dada itu segera disentakkan ke arah Pangiima Morang.

   Wuuut...! Dari telapak tangan itu keluar selarik sinar warna putlh perak.

   Bentuknya panjang, lurus, kaku.

   Zlaaab...! Sinar itu menghantam tubuh besar Panglima Morang yang sedang melompat di udara.

   Cepat sekali gerakan sinar, sehingga Pangiima Morang tak sempat menghindar.

   Tapi dadanya segera bersinar merah membara.

   Dada itulah yang dihantam sinar putihnya Yuda Lelana.

   Blegaarrr...! Suara ledakan dahsyat sekali menggelegar bagai memenuhi seluruh bumi.

   Tanah bergetar keras, bangunan istana ada yang retak terutama bagian atap.

   Bangunan lainnya sempat roboh.

   Tembok benteng istana jebol sebelah timur.

   Pintu gerbang yang kokoh pun pecah akibat gelombang ledakan dahsyat tadi.

   Semua masyarakat jin kaget dan menjadi tegang.

   Pilar istana roboh satu, yang sebelah kanan dekat dapur.

   Tangga teras istana retak nyaris terbelah.

   Panglima Morang terkapar di atas pohon besar, tersangkut di sana tak bergerak.

   Tapi suara erangannya terdengar samar-samar.

   Tubuhnya yang hitam menjadi putih karena kulitnya terkelupas saat terkena hantaman sinar putih perak tadi.

   Sinar itulah yang dinamakan sinar pukulan 'Inti Dewa'.

   Kalau orang biasa kena sinar itu, habis sudah.

   Bukan hanya mati, tapi malah sulit dikubur karena menjadi serpihan-serpihan kecil seperti serat abon.

   Raja Kala Bopak merinding melihat panglimanya tersangkut di atas pohon besar tanpa daya lagi.

   Ia segera dekati Yuda Lelana dan memandang dengan mata menjadi merah.

   "Kurang ajar! Kau mampu membuat panglimaku tumbang begitu, ya?! Sekarang kau berhadapan denganku! Kalau kau bisa kalahkan aku, kau boleh kawini putriku itu! Tapi kalau kau kalah, kau harus rela mati di tanganku!"

   Murti Kumala yang muncul dari istana mendengar ucapan itu.

   Wajahnya tampak cemas, karena ia tahu persis kesaktian ayahnya sangat besar.

   Selama ini tak pernah ada manusia yang bisa menandingi kesaktian ayahnya.

   Diam-diam Murti Kumala berharap agar ayahnya kalah tapi jangan sampai mati.

   Sorot mata sendunya yang memandang ke arah Yuda diterima pemuda itu sebagai sorot mata mohon pengertian akan sifat ayahnya yang buas itu.

   Yuda Lelana paham dengan bahasa mata itu.

   "Yuda Lelana...! Terimalah jurus 'Pelebur Nyawa' ini!"

   Teriak Raja Kala Bopak.

   Claaap...! Tiba-tiba dari kedua mata Raja Kala Bopak keluar sinar terang warna merah.

   Sinar itu berbentuk bulat sebesar genggaman tangan bayi.

   Melesat cepat sepasang berjajar, menghantam tubuh Yuda Lelana.

   Jurus 'Pelebur Nyawa' adalah jurus andalan Raja Kala Bopak yang mampu membuat raga manusia menjadi bubur seketika jika terkena salah satu dari sepasang sinar merah itu.

   Tetapi Yuda Lelana juga mempunyai jurus tandingan yang dimiliki oleh setiap dewa di kayangan.

   Jurus itu bernama jurus 'Surya Pamungkas'.

   Bentuknya sinar ungu sebesar lidi, panjangnya tiga jengkal.

   Melesat dari kedua mata Yuda Lelana.

   Sinar ungu itu begitu melesat langsung berputar cepat, makin lama semakin besar, memercikkan bunga api warna merah.

   Woos, wooos, woos, woos...! Sinar-sinar itu akhirnya bertabrakan di pertengahan jarak.

   Buuumm...! Glegaaarrr...! Hampir semua yang ada di sekitar situ terjungkal jatuh karena ledakan maha dahsyat itu.

   Tanah bagaikan dijungkir balikkan.

   Istana ambruk.

   Pilar-pilarnya pecah.

   Untung Murti Kumala cepat melompat keluar dari serambi istana sehingga selamat.

   Tapi ikut terpelanting sampai ke pintu gerbang.

   Ledakan maha dahsyat itu membuat langit merah membara.

   Kilatan petir menyambar-nyambar.

   Seolah-olah langit ingin retak menjadi beberapa bagian.

   Matahari langsung surutkan sinarnya.

   Awan hitam tebal menutup permukaan matahari.

   Air laut muncrat dalam pergolakannya, tingginya melebihi pohon kelapa, nyaris menelan Pulau Iblis.

   Pohon-pohon tumbang, lebih dari sepuluh pohon.

   Bangunan-bangunan rusak berat.

   Pulau itu sendiri bagaikan hendak dijungkir balikkan oleh suatu kekuatan dahsyat dari dasar laut.

   Gema ledakan maha dahsyat cukup lama, seakan menyebar seluruh permukaan bumi.

   Padahal gelombang hentakan dahsyat itu mencapai lapisan alam ketiga, mengguncangkan kayangan, sehingga para dewa dibuat tunggang langgang.

   Para bidadari jejeritan, membuat suasana gempar dan heboh di kayangan.

   Tapi mereka segera maklum, karena mereka tahu sang mantan dewa sedang adu kesaktian dengan raja jin yang seiama ini sukar dikalahkan oleh manusia sesakti apa pun.

   Hutan di sekitar tempat itu terbakar.

   Apinya membubung tinggi.

   Pulau Ibiis bagaikan dilanda kiamat.

   Pulau-pulau lainnya pun demikian.

   Gelombang getaran maha dahsyat itu terbawa angin sehingga mencipta bencana di mana-mana.

   Tanggul sungai jebol, lereng pegunungan longsor.

   Hewan-hewan menjadi liar, berlarian tak punya tujuan.

   Pokoknya mengerikan sekali akibat adu kesaktian jin dengan dewa itu.

   Raja Kala Bopak terkapar dalam keadaan pakaian rusak total.

   Tercabik-cabik bagai dirajang puluhan cakar singa ganas.

   Tubuhnya telentang di pantai, jauh dari istana.

   Yang menemukan prajurit penjaga pantai, yang kala itu hampir saja tersapu ombak besar.

   Keadaan Raja Kala Bopak tak sadarkan diri selama tiga hari.

   Itu masih untung.

   Jika dia bukan berilmu tinggi, pasti tubuhnya akan menyebar menjadi serpihan-serpihan yang sulit dikumpulkan kembali.

   Yuda Lelana sendiri juga terpental keluar dari benteng istana, sempat menabrak sisa tembok benteng dan tembok itu akhirnya jebol juga.

   Yuda dalam keadaan terkulai lemas.

   Wajahnya memar membiru.

   Mulutnya berdarah.

   Matanya bengkak.

   Pakaiannya semakin compang-camping.

   Maklum, pertarungan tenaga maha sakti yang terjadi kontak langsung kepada pelakunya lebih memberatkan beban si pelaku itu sendiri.

   Yang terkena angin hentakannya saja bisa parah, apalagi yang melakukan kontak langsung adu kesaktian.

   Tapi itu masih untung.

   Biasanya lawan yang terkena jurus 'Pelebur Nyawa' milik Raja Kala Bopak langsung menjadi cair, kental, seperti bubur.

   Raja Kala Bopak sempat pingsan tiga hari, tapi Yuda Lelana hari itu juga bisa bangkit dan berjalan sempoyongan mencari kekasihnya; Murti Kumala.

   Sang putri sendiri keadaannya juga menderita.

   Dadanya terasa panas, tulang-tulangnya bagaikan remuk.

   Untung Yuda Lelana segera dapat salurkan hawa murni untuk sembuhkan luka beratnya sendiri, setelah itu baru menyembuhkan Murti Kumala dengan jurus 'Hawa Bering' yang ajaib itu Ketika Raja Kala Bopak sadar dari pingsannya, langsung disembuhkan oleh Yuda Lelana.

   Tapi anak muda bengal itu mencoba menantangnya lagi.

   Raja Kala Bopak hanya bilang.

   "Aku tak sanggup! Lebih baik kalian menikah secepatnya, lalu pergi dari Pulau iblis dan jangan kelihatan aku lagi, supaya di antara kita tidak ada yang saling membunuh!"

   "Ayah merestui perkawinanku dengan Yuda Lelana?!"

   "Mau nggak mau merestui juga!"

   Jawab Raja Kala Bopak dengan pasrah.

   "Tapi aku tidak suka dengan calon suamimu itu! Dia telah mengalahkan aku. Aku tidak suka! Makanya, habis kawin nanti, kalian langsung minggat dan cari tempat sendiri untuk berbulan madu. Jangan temui aku lagi. Kalau kau rindu, kau saja yang datang temui aku. Suamimu jangan diajak!"

   Perkawinan Yuda Lelana dengan Murti Kumala berlangsung cukup meriah.

   Kebanyakan yang datang menghadiri perkawinan itu para jin dengan berbagai macam rupa dan bentuknya.

   Perkawinan itu dilakukan setelah Yuda berhasil meminta kembali Kitab Jayabadra dan diserahkan kepada Nyai Sirih Dewi.

   Kutilang Manja tak berani lagi menampakkan cintanya karena ia takut dikutuk sang dewa yang menjelma manusia.

   Yuda Lelana mendapat tempat untuk berbulan madu.

   Ia membangun gubuk sederhana di Puncak Gunung Ismaya.

   Pengertian gubuk di sini sebenarnya adalah sebuah bangunan menyerupai candi yang terbuat dari susunan batu tanpa perekat.

   Orang awam akan merasa heran, bagaimana mungkin seseorang membangun candi atau bangunan rumah menyerupai candi di puncak gunung, sedangkan batu-batunya cukup besar, puncak itu pun cukup tinggi.

   Bagaimana para kuli mengangkat batu-batuan besar itu? Masyarakat jin dikerahkan oleh Raja Kala Bopak.

   Rakyat jin dan warga siluman itulah yang membangun candi tersebut dalam tempo hanya satu malam.

   Fantastis sekali, tapi memang begitulah jika raja jin bekerja.

   Kepindahan mereka dari Pulau Iblis ke Puncak Ismaya juga tidak melalui jalan darat atau laut, melalui jalan udara.

   Menembus lapisan dimensi dengan kekuatan gaib, sepasang mempelai itu mampu pindah tempat dalam satu kedipan mata.

   Sembilan bulan kemudian, Murti Kumala melahirkan seorang bayi.

   Proses kelahiran bayi itu tidak keluar begitu saja.

   Sejak tujuh hari tujuh malam sudah diawali dengan datangnya hujan tanpa henti.

   Tanah longsor terjadi di sekitar lereng gunung itu.

   Pada saat sang jabang bayi hendak nongol dari rahim sang ibu, hujan deras disertai dengan amukan badai cukup dahsyat.

   Lebih dari tiga puluh pohon tumbang, puluhan batu menggelinding dari ketinggian, kilatan cahaya petir ikut menghujani gunung itu.

   Badai mengamuk hanya di puncak gunung, sedangkan di kaki Gunung Ismaya hanya terjadi angin kencang biasa-biasa saja.

   Bahkan hujannya tak terlalu lebat.

   Kabut pun hadir membungkus puncak Gunung Ismaya.

   Tebal sekali, seperti selimut domba.

   Yuda Lelana sudah memanggil seorang dukun bayi untuk menolong kelahiran sang jabang bayi.

   Tapi dukun bayi itu tersesat di perjalanan.

   Terpaksa ia kembali lagi ke rumahnya menunggu hujan badai reda.

   Tapi sang hujan tiada kunjung reda juga, bahkan semakin deras.

   Puncak Gunung Ismaya bagai lenyap ditelan langit.

   Kilatan cahaya biru menggelegar menyambar-nyambar puncak gunung itu.

   Akhirnya, suara tangis bayi itu pun terdengar melengking tinggi.

   Seakan ingin mengalahkan deru badai dan ledakan guntur di sana-sini.

   Tangis sang bayi menggetarkan dinding-dinding batu, seolah-olah bangunan candi itu akan runtuh karena getaran suara si jabang bayi.

   Bahkan dari puncak hingga kaki gunung terjadi getaran hebat, sepertinya gunung itu akan meletus atau tumbang entah ke mana.

   Rumah-rumah penduduk di kaki gunung ikut bergetar, gentengnya melorot dan pada pecah.

   Hewan-hewan ternak saling menjerit ketakutan, ada yang sampai lepas dari kandangnya dan mengamuk di sana-sini.

   Bayi itu adalah bayi lelaki.

   Tali pusarnya digunting oleh dua jari sang ayah, tanpa senjata apa pun.

   Yuda Lelana tampak gembira sekali ketika berhasil menolong kelahiran anaknya sendiri.

   Tapi beberapa saat kemudian ia menjadi lemas, terpuruk sambil memeluk bayi itu.

   Murti Kumala terpaksa mengambil alih sang jabang bayi dan memeriksanya.

   Murti Kumala agak terkejut, karena bayi itu ternyata tidak mempunyai garis tangan sedikit pun.

   Lebih terkejut lagi setelah mengetahui dada sang bayi mempunyai noda tato bergambar setangkai bunga mawar merah kuncup.

   "Suamiku, apakah tato di dada anak kita ini yang membuatmu lemas?"

   Yuda Lelana menjawab dengan gelengan kepala, setelah bangkit merayap dan duduk di tepi pembaringan baru berkata.

   "Kekuatanku telah hilang! Semua ilmuku telah menitis ke kayangan atau... entahlah. Aku tak tahu apa yang akan terjadi berikutnya."

   Yuda Lelana terengah-engah. Sang bayi masih menjerit dalam tangisnya. Baru berhenti setelah disusui oleh sang ibu. Bayi itu tampak riang, ceria, mulutnya lahap sekali menikmati air susu sang ibu.

   "Ilmuku sudah menitis ke dalam ragamu, Nak! Jaga dan pelihara baik-baik. Kau harus menjadi pemandu kebenaran dan keadilan. Karena itu kunamakan dirimu. Pandu Puber. Artinya 'Puber'. Punya Keberanian! Kalau mau menjadi pemandu kebenaran dan keadilan harus punya keberanian! Keberanian menentang si angkara murka, keberanian melawan tindakan sesat, juga keberanian mengakui kesalahan diri sendiri."

   "Kau ngomong sama siapa? Bocah baru lahir kok diajak ngomong,"

   Kata Murti Kumala.

   Tiba-tiba sang jabang bayi melepas nenennya.

   Mata bayi itu bisa terbuka jelas-jelas.

   Ini suatu keanehan, karena biasanya bayi baru lahir tak bisa membuka mata.

   Mata itu memandangi ibunya, ada senyum tipis di bibir mungil sang bayi yang sewajarnya tak bisa tersenyum.

   Sang ibu mulai tegang dan terheran-heran.

   Tangan sang bayi bergerak-gerak menepuk-nepuk air minumnya yang ada di dada sang ibu.

   Ia bagaikan bermain 'tempat minuman' tersebut.

   Ia tampak girang, sehingga sang ibu yang memandangi dadanya ditepuk-tepuk sang anak menjadi sedikit cemas.

   Ia berkata kepada suaminya.

   "Gawat anakmu ini! Masih kecil sudah senang bermain 'tempat minumnya', bagaimana kalau sudah besar nanti?"

   "Mudah-mudahan gerakan itu hanya suatu kebetulan saja. Jangan terbawa menjadi kebiasaan sampai dewasa. Kasihan para gadis yang kasmaran padanya,"

   Ujar Yuda Lelana sambil tersenyum-senyum.

   "Jangan-jangan kebiasaanmu menurun pada anak ini?"

   "Kebiasaan yang mana?"

   "Kebiasaan romantismu!"

   Jawab Murti Kumala agak ketus. Yuda menjadi tertawa pelan. Tapi dalam hatinya bertanya-tanya.

   "Jika seluruh ilmuku menitis kepadanya, apakah anak ini kelak juga akan ikut-ikutan suka merayu wanita? Wah, kacau juga kalau dia begitu...."

   Hujan pun berhenti, badai reda, petir sembunyikan diri, kabut sirna dan alam menjadi terang.

   Seakan mereka takut dengan kemunculan sang jabang bayi yang kelak akan melanglang buana, menembus belantara persilatan dan cinta.

   SELESAI Scan/E-Book.

   Abu Keisel Juru Edit.

   Fujidenkikagawa
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/

   

   

   

Pendekar Mabuk Darah Asmara Gila Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung/Tjan Id Pendekar Cambuk Naga Gerhana Tebing Neraka

Cari Blog Ini