Ceritasilat Novel Online

Geger Rimba Persilatan 2


Pendekar Pulau Neraka Geger Rimba Persilatan Bagian 2



Kata Eyang Gardika menjelaskan.

   Bayu tidak bisa berkata-kata lagi.

   Dia kini mengerti, kenapa Eyang Gardika tiba-tiba jadi berubah.

   Rupanya gelang berwarna perak dan senjata Cakra ini merupakan satu kesatuan dari nyawanya.

   Dan sekarang gelang keramat ini sudah berada di tangannya.

   Bayu sadar, kalau nyawanya sekarang tergantung pada gelang keramat ini.

   Rasanya sulit untuk mempercayai, tapi bukti dan kenyataannya sudah terjawab di depan mata.

   Eyang Gardika segera merasa ajalnya sudah tiba begitu gelang keramat dicopotnya.

   "Bayu...,"

   Panggil Eyang Gardika pelan.

   "Ya, Eyang!"

   Sahut Bayu.

   "Bawa aku ke dalam goa dibelakang pondok. Biarkan kusempurnakan atmaku di sana. Ingat! Kau harus menutup mulut goa, dan jangan kembali lagi ke pulau ini,"

   Pesan Eyang Gardika.

   "Baik, Eyang."

   Suasana sebuah desa di Pesisir Pantai Selatan tidak seperti biasanya.

   Dermaga dipenuhi kapal besar.

   Para kuli angkut sibuk menurunkan barang-barang dari kapal.

   Anak-anak kecil berlarian bersuka ria di sepanjang pantai.

   Burung-burung camar pun seakan-akan ikut merasakan suasana ceria itu dengan melayang-layang di atas permukaan laut sambil memperdengarkan suaranya yang nyaring.

   Kesibukan dan keceriaan itu tampaknya terpusat pada sebuah kapal besar dan mewah yang bersandar pada dermaga.

   Di sekitar dermaga juga berjajar kereta yang ditarik kuda-kuda gagah dan tegap.

   Sepertinya pemilik kereta-kereta mewah itu adalah para saudagar kaya.

   Atau paling tidak pembesar kerajaan.

   Hal ini dapat dilihat dari banyaknya prajurit berpakaian seragam kerajaan yang mondar-mandir di sekitar situ.

   Di atas kapal besar dan mewah itu sepertinya sedang berlangsung pesta.

   Suara gamelan terdengar mengalun merdu, ditimpali gelak, tawa beberapa laki-laki dan cekikikan beberapa wanita.

   Di atas geladak, tampak berdiri seorang wanita cantik didampingi tiga orang laki-laki bertubuh tegap dan kekar.

   Wanita itu sudah berusia sekitar empat puluh tahun.

   Tapi, wajah dan tubuhnya masih mampu membuat mata lelaki tidak berkedip memandangnya.

   "Tampaknya mereka menikmati pesta ini, Nyai,"

   Kata salah seorang laki-laki tegap yang menyandang pedang di pinggang.

   "Ya. Aku memang sengaja mengadakan pesta di kapal ini untuk memperingati dua puluh lima tahun hancurnya Padepokan Teratai Putih,"

   Sahut wanita itu.

   "Terus terang, Nyai. Aku heran, kenapa Nyai masih juga mengingat padepokan itu. Dan lagi, kenapa harus mengadakan pesta setiap tahun kalau hanya untuk mengenang saja?"

   Kata seorang lagi yang membawa kapak.

   "Bagaimanapun juga, Padepokan Teratai Putih milik mendiang suamiku. Entahlah! Aku sendiri tidak tahu, kenapa rasanya sulit untuk melupakannya. Dewa Pedang begitu baik...,"

   Ungkap wanita itu yang ternyata adalah Rengganis. Sedangkan para lelaki di dekatnya adalah tiga saudara pengikut setianya.

   "Nyai merasa bersalah?"

   Tebak Gamar yang membawa kapak.

   "Mungkin...,"

   Desah Rengganis.

   "Kenapa harus merasa bersalah, Nyai? Bukankah Nyai telah membalaskan kematian seluruh keluarga Nyai? Ingat, Nyai Dewa Pedang yang membantai seluruh keluargamu!"

   Kata Gamar lagi.

   "Kalian ingat kata-kata Dewa Pedang yang terakhir?"

   Rengganis seperti bertanya pada dirinya sendiri.

   "Ya, ingat,"

   Jawab tiga saudara itu serempak.

   "Tapi itu kan hanya akal liciknya saja untuk mencuci tangan. Nyai,"

   Sambung Ganis.

   "Tidak, Ganis. Dewa Pedang benar. Dia memang ditugaskan untuk menangkap keluargaku yang telah berkhianat pada kerajaan. Tapi tidak untuk menbunuh! Dia benar!"

   Ungkap Rengganis.

   Ganis, Gamar, dan Ganang saling berpandangan.

   Mereka tidak mengerti, kenapa Rengganis jadi berubah pikiran setelah Padepokan Teratai Putih hancur.

   Bukankah hal itu memang telah direncanakan? Apalagi gerakan mereka juga didukung oleh tokoh-tokoh rimba persilatan yang merasa terganggu dengan adanya Padepokan Teratai Putih.

   Sementara itu, sebagian dari tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut mengobrak-abrik Padepokan Teratai Putih waktu itu, kini sedang berpesta-pora.

   Beberapa di antaranya malah sudah ada yang mabuk karena terlalu banyak minum tuak.

   Mereka kebanyakan telah menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.

   "Aku sudah menanyakan hal ini pada Gusti Prabu. Pada kenyataannya, beliau membenarkan kalau Dewa Pedang mendapat tugas begitu. Gusti Prabu juga tahu kalau keluargaku bukan dibantai oleh Dewa Pedang. Pamanku sendirilah yang membantai seluruh keluargaku! Dia memang selalu menginginkan kedudukan Panglima Perang Kerajaan dengan memfitnah Dewa Pedang sebagai pembunuh keluargaku! Itulah yang kusesalkan sampai sekarang. Sayang, pamanku yang licik itu telah tewas di tiang gantungan."

   "Semuanya telah terjadi, Nyai. Tidak perlu disesalkan,"

   Kata Gamar mendesah.

   "Ya. Pesta ini kuadakan sebagai penebus rasa sesal dan dosaku Aku tidak punya cara lain lagi. Hanya ini yang dapat kulakukan,"

   Rengganis juga mendesah pelan.

   Sementara pesta di atas kapal terus berlangsung.

   Tidak ada yang mengerti, kenapa Rengganis memilih Pantai Selatan sebagai tempat pesta.

   Padahal, peristiwa yang dilakukannya terjadi di Gunung Tangkup, tempat Padepokan Teratai Putih dulu berdiri.

   Semua itu hanya tersimpan di dalam hati wanita berusia empat puluh tahun ini.

   Hanya dialah yang tahu.

   "Heh!"

   Tiba-tiba Rengganis terkejut. Matanya menatap lurus ke tengah laut. Pandangannya tak berkedip pada sebuah pulau berwarna merah menyala bagai terbakar.

   "Ada apa, Nyai?"

   Tanya tiga saudara itu serempak.

   Mereka langsung memandang ke arah yang sama.

   Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, seakan-akan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

   Di tengah laut itu dia melihat sesuatu yang meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka.

   Begitu cepatnya, sehingga sulit untuk diikuti oleh mata biasa.

   "Ada apa, Nyai?"

   Tanya Gamar yang tidak melihat apa pun di tengah laut itu.

   "Ah, tidak..., tidak apa-apa,"

   Jawab Rengganis segera mengalihkan pandangannya.

   Namun raut wajahnya kelihatan berubah.

   Sementara ketiga bersaudara itu tetap memandang ke arah laut Pulau Neraka memang terlihat jelas dari situ.

   Mereka memang tidak akan dapat menemukan apa-apa, karena yang dilihat Rengganis begitu cepat dan menghilang sebelum sempat disadari.

   "Aneh...,"

   Desis Rengganis tanpa sadar.

   "Apakah.... Ah! Tidak! Mustahil...!"

   Rengganis bergumam sendiri.

   "Apa yang Nyai lihat?"

   Tanya Ganis.

   "Tidak! Mungkin hanya burung camar!"

   Jawab Rengganis berusaha menenangkan diri.

   Namun demikian, hati Rengganis tetap tak menentu.

   Rengganis terus menebak-nebak yang dilihatnya sekilas tadi.

   Dia begitu yakin ada sesuatu yang meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka.

   Tapi sulit untuk memastikan apa yang dilihatnya tadi.

   Sementara siang terus merayap.

   Matahari bergulir semakin tinggi.

   Namun pesta di kapal itu akan tetap berlangsung hingga keesokan harinya.

   *** Suasana desa di pesisir pantai itu tetap ramai meskipun hari telah malam.

   Lampu-lampu menyala terang di setiap rumah.

   Obor-obor tetap menyala di sepanjang jalan.

   Kedai-kedai minum masih tetap buka dan tidak sepi pengunjung.

   Hari itu memang banyak kapal yang berlabuh membongkar muatan, sehingga menambah semaraknya pesta yang diadakan Rengganis.

   Namun lain halnya dengan sebuah kedai yang tidak jauh dari dermaga.

   Suasana di situ tidak begitu ramai, karena tidak banyak orang yang berkunjung disitu.

   Kedai itu begitu kecil dan terpencil sehingga tidak menarik perhatian orang banyak.

   Di sudut dekat jendela kedai itu, duduk seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau.

   Rambutnya dibiarkan terurai, dengan ikat kepala juga dari kulit harimau.

   Dia sepertinya sengaja menyendiri dengan mata memandang ke arah dermaga.

   "Tambah lagi minumnya, Tuan?"

   Pemuda berbaju kulit harimau itu hanya menoleh sedikit.

   Seorang,wanita muda dengan rias wajah tebal, tahu-tahu telah berdiri di dekatnya.

   Wangi tubuhnya begitu menusuk.

   Sedangkan baju yang dikenakannya terlalu rendah pada bagian dada, sehingga dua bukit kembarnya mengintip malu-malu.

   Kainnya juga terbelah sampai ke pangkal paha.

   Sikapnya begitu menggoda.

   Sungguh menarik perhatian kaum lelaki.

   "Terima kasih,"

   Jawab pemuda berbaju kulit harimau itu tanpa senyum sedikit pun. Dialihkan pandangannya kembali ke arah dermaga yang masih tetap ramai.

   "Boleh aku duduk di sini?"

   Mohon wanita itu. Suaranya dibuat-buat dan terdengar manja.

   "Silakan,"

   Sahut pemuda itu datar.

   "Namaku Karti. Tuan, siapa?"

   Kata wanita itu seraya matanya merayapi wajah pemuda di sampingnya. Tangannya kemudian menuangkan arak dari pundi kecangkir perak.

   "Hm..."

   Pemuda itu hanya menggumam tidak jelas.

   "Kuperhatikan sejak tadi, kau selalu memandang ke arah dermaga. Ada yang menarik di sana?"

   "Mungkin,"

   Jawab pemuda itu malas.

   "Memang menarik. Setiap tahun memang selalu begitu. Kau lihat kapal besar dan indah di ujung kanan dermaga? Kapal itu milik seorang saudagar wanita yang kaya raya. Dermaga itu memang selalu dijadikan tempat bersandar jika saudagar itu akan mengadakan pesta di atas kapalnya setiap tahun,"

   Jelas wanita yang mengaku bernama Karti tanpa diminta.

   "Hm..."

   Lagi-lagi pemuda berbaju kulit harimau bergumam tidak jelas.

   "Dia sangat kaya dan berpengaruh. Kenalannya juga orang-orang penting dan para pembesar kerajaan. Hanya sayangnya, dia tidak punya suami. Tapi kata orang, dia punya pengawal yang selalu setia mengikuti ke mana saja,"

   Sambung Karti lagi.

   "Siapa dia?"

   Tanya pemuda itu bernada iseng.

   "Kalau tidak salah, namanya Rengganis. Ya... Nyai Rengganis,"

   Jawab Karti yakin.

   Pemuda itu langsung berpaling dan menatap tajam pada wanita di dekatnya itu.

   Wajahnya berubah tegang dan memerah.

   Cuping hidungnya kembang-kempis.

   Napasnya memburu bagai habis berlari jauh.

   Pemuda itu langsung bangkit berdiri dan meletakkan lima keping uang perak ke mejanya.

   Tanpa berkata apa-apa lagi dia melangkah ke luar dari kedai itu.

   "Tuan..., kembalinya!"

   Seru wanita itu yang juga bergegas bangkit "Untukmu!"

   Sahut pemuda itu terus melangkah cepat tanpa menoleh lagi.

   "Untukku...!?"

   Wanita yang bernama Karti seperti tidak percaya.

   Dipandanginya lima keping uang perak di tangannya.

   Wanita itu merasa seperti mimpi saja.

   Hanya seguci arak murah dibayar dengan lima keping uang perak.

   Satu keping saja bisa dapat sepuluh guci arak manis yang lezat.

   Apalagi lima keping uang perak...? Malam ini dia seperti kejatuhan bulan saja.

   Bergegas dihampirinya pemilik kedai untuk membayar minuman pemuda itu.

   "Karti! Mau ke mana?"

   Seru pemilik kedai ketika melihat Karti bergegas pergi.

   "Pulang!"

   Jawab Karti.

   "Pulang...?! Tapi...."

   "Ya! Malam ini aku sudah cukup memperoleh penghasilan!"

   "He...!"

   Pemilik kedai itu memang tidak tahu apa yang telah didapat wanita pelayan dan penghibur di kedainya ini.

   Lima keping uang perak sangat berarti dan besar nilainya bagi penduduk desa di Pesisir Pantai Selatan ini.

   Harga arak memang mahal.

   Tapi, untuk kebutuhan sehari-hari lima keping uang perak sudah lebih dari cukup.

   Karti bergegas berlari pulang dengan wajah berseri-seri.

   Sementara pemilik kedai itu hanya melongo saja, tanpa mampu berbuat apa-apa lagi.

   Memang liukan Karti saja yang menjadi pelayan dan penghibur di kedai itu.

   Masih ada wanita lain.

   Pemilik kedai itu pun tidak peduli lagi.

   *** Pesta di atas kapal masih terus berlangsung seperti tidak akan pernah berhenti.

   Bau arak dan asap tembakau berbaur menjadi satu, membuat napas sesak dan mata perih.

   Namun hal itu tidak mengurangi suasana gembira.

   Tidak sedikit yang sudah kelihatan mabuk.

   Semakin larut malam, suasana pesta semakin bertambah hangat.

   Tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata berjaga-jaga di sekitar kapal.

   Ditambah lagi, para prajurit kerajaan yang juga masih setia menunggu para pembesar kerajaan yang diundang ke pesta itu.

   Mereka semua tetap menjalankan tugas agar pesta berlangsung tanpa gangguan.

   Tapi suasana seperti itu kadang-kadang juga bisa membuat mereka lengah.

   Seorang pun tidak menyadari kalau mereka tengah diawasi oleh seseorang yang memakai baju kulit harimau.

   Dia berdiri tidak jauh dari situ.

   Tubuhnya agak tersembunyi di balik keremangan cahaya bulan dan obor.

   Matanya tidak berkedip menatap ke arah kapal itu.

   Wajahnya kaku dan bibirnya terkatup rapat.

   Pelahan-lahan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu bergerak merogoh saku bajunya, lalu dengan cepat dihentakkan tangannya ke depan.

   Secercah sinar keperakan pun meluncur ke arah tiang utama kapal itu.

   Krak! Suasana pesta yang penuh kegembiraan itu mendadak berubah kacau.

   Jerit dan teriakan kengerian berbaur menjadi satu bersamaan dengan ambruknya tiang utama utama, kapal itu.

   Para penjaga secara serentak berlarian dan berdiri berjajar di tepian geladak kapal dengan senjata terhunus.

   Seluruh hadirin menjadi panik kalang-kabut.

   Beberapa tubuh menggeletak tertimpa tiang utama yang besar dan kuat.

   Di tengah kepanikan itu, kembali terlihat cahaya keperakan meluncur deras dan menancap pada salah satu tiang kapal.

   Seorang wanita berbaju hijau langsung melompat ke arah tiang kapal itu.

   Sejenak dia tertegun pada sebuah bintang bersegi enam berwarna keperakan yang menancap di situ.

   Benda itu besarnya tidak lebih dari telapak tangan orang dewasa.

   Wanita berbaju hijau yang ternyata adalah Rengganis, mencabut bintang perak bersegi enam yang menancap dalam di tiang tadi.

   Sebentar benda itu di pandanginya.

   Sementara tiga pengiring setianya, Ganis, Ganang, dan Gamar sudah menghampiri.

   Mereka juga ikut memperhatikan bintang perak itu.

   Beberapa orang yang di antaranya seorang laki-laki tua berjubah merah, juga menghampiri.

   Laki-laki tua itu segera merebut bintang perak dari tangan Rengganis.

   "Mustahil...!"

   Gumamnya mendesah.

   "Kau kenal dengan benda itu, Paman Jantara?"

   Tanya Rengganis.

   "Ya! Aku tahu betul pemiliknya. Tapi.... Ah! Rasanya tidak mungkin...,"

   Ujar laki-laki berjubah merah yang bernama Jantara dan berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu. Kepalanya menggeleng-geleng menyatakan keheranannya.

   "Adik Branta! Lihatlah benda ini!"

   Kata si Tongkat Samber Nyawa lagi.

   Seorang laki-laki tua lainnya yang mengenakan baju indah segera mendekat.

   Dia selalu dikawal dua orang berpakaian prajurit kerajaan.

   Sepertinya laki-laki tua berpakaian indah itu adalah pembesar kerajaan Setelah mengambil bintang bersegi enam dari tangan si Tongkat Samber Nyawa, benda itu pun diperhatikannya sebentar.

   Kepalanya juga menggeleng-geleng keheranan.

   "Rasanya tidak mungkin dia masih hidup,"

   Gumam laki-laki yang dipanggil Branta itu.

   "Apa mungkin dia punya nyawa rangkap?"

   Celetuk salah seorang yang juga sudah tua.

   "Tidak! Tidak mungkin ada orang bisa hidup dengan kedua kaki buntung dan mata buta!"

   Bantah Jantara.

   "Kalau bukan dia, lalu siapa?"

   Branta seperti bertanya pada dirinya sendiri.

   Jantara tidak langsung menjawab, tapi hanya memandangi semua orang yang berada di sekelilingnya.

   Mereka adalah tokoh rimba persilatan dan para pembesar kerajaan yang memiliki kepandaian cukup tinggi.

   Rata-rata mereka semua kenal akan benda berbentuk bintang segi enam yang terbuat dari perak itu! Hanya mereka yang masih muda-muda saja yang kurang paham terhadap benda itu.

   Rengganis sendiri masih bingung dengan pembicaraan orang-orang tua di sekitarnya.

   Teka-teki itu masih belum terjawab, tapi telah disusul deh suara siulan nyaring yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam berkekuatan tinggi.

   Beberapa orang yang hanya memiliki kepandaian pas-pasan mulai terpengaruh deh suara siulan itu.

   Gendang telinga mereka terasa sakit meskipun telah menutup telinga rapat-rapat dengan kedua tangan.

   Sedangkan mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi segera mengerahkan tenaga dalam untuk menghalau suara siulan itu.

   "Awas...!"

   Tiba-tiba Jantara berteriak nyaring.

   Pada saat itu meluncur seberkas cahaya keperak-perakan ke arah mereka.

   Dengan cepat Jantara mematahkan tiang kapal dan menyampok sinar itu.

   Saat cahaya keperakan itu membentur tiang sebesar tangan yang dipegangnya, Jantara tersentak dan mundur selangkah.

   Tangannya terasa bergetar.

   Jantara bergegas melihat tiang yang digunakan untuk menyampok serangan gelap tadi.

   Tampak secarik kain merah muda menempel di situ bersama tancapan bintang perak bersegi enam.

   Jantara segera mencabut bintang perak, dan mengambil kain merah muda itu.

   Kain itu segera diserahkannya pada Rengganis.

   "Edan! Apa maksudnya ini?!"

   Dengus Rengganis. Wajahnya sedikit menegang.

   "Jelas dia mencarimu, Rengganis. Kain itu bertuliskan namamu,"

   Kata Jantara pelan.

   "Tapi, apa maksudnya? Kalian kenal dengan benda ini. Sedangkan aku..., sama sekali tidak tahu!"

   Nada suara Rengganis terdengar kebingungan.

   Semua yang ada di situ tak ada yang menjawab sedikit pun.

   Sementara suara siulan telah berhenti sejak tadi.

   Beberapa penjaga dan prajurit tergeletak pingsan akibat siulan bertenaga dalam yang cukup tinggi tadi.

   Dari lubang hidung dan telinga mereka mengalir darah segar.

   Sedangkan yang bertahan dengan siulan tadi segera menolong mereka.

   Rengganis, Jantara, Branta, dan yang lainnya hanya terdiam.

   Kepala mereka berputar mencari-cari ke sekeliling.

   Siapakah orang yang mengirimkan kain berwarna merah muda bersama senjata bintang perak bersegi enam itu? Pertanyaan inilah yang membebani benak mereka semua.

   *** Malam terus merayap semakin pekat.

   Pesta tidak dilanjutkan lagi sehingga suasana di atas kapal mewah itu menjadi sunyi seketika.

   Yang terlihat di situ hanyalah orang-orang yang berjaga-jaga.

   Mereka adalah para penjaga dan prajurit kerajaan yang merasa bertanggung jawab atas junjungan mereka di atas kapal.

   Selain itu, ada juga para pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh rimba persilatan yang ikut berjaga-jaga.

   Saat itu Rengganis terus didampingi oleh Jantara dan tiga bersaudara pengawal setianya.

   Wanita itu masih belum mengerti dengan kejadian yang sungguh menggemparkan itu.

   Walaupun hanya sesaat, tapi cukup membuat hati jadi bertanya-tanya.

   Di atas kap ini, hampir seluruh tokoh rimba persilatan hadir di situ.

   Mereka datang dari segala penjuru.

   Walaupun setiap harinya bergelimang darah dan tantangan, namun kejadian yang hanya sesaat itu mampu menggetarkan hati mereka juga.

   "Aku tidak yakin kalau orang itu adalah Gardika, Paman Jantara,"

   Kata Rengganis setengah berguma "Hanya dia satu-satunya yang memiliki senjata semacam itu, Rengganis,"

   Sahut Jantara. Dia memang telah menceritakan tentang pertarungannya bersama tokoh-tokoh rimba persilatan yang mengeroyok Gardika.

   "Tapi sebelumnya kau katakan bahwa dia telah tewas. Rasanya mustahil kalau orang yang sudah dibuntungi kedua kakinya dan dibutakan kedua matanya, ternyata masih hidup,"

   Sergah Rengganis.

   "Lagi pula, apa urusannya denganku? Aku tidak kenal dia! Bahkan mungkin pada saat itu aku belum lahir. Bisa juga waktu itu aku masih kecil."

   Jantara tidak mampu menjawab.

   Memang sulit diterka, siapa orangnya yang melakukan serangan gelap itu.

   Tapi dari senjata yang berbentuk bintang bersegi enam, jelas kalau orang itu adalah Gardika.

   Jantara jadi berkerenyut juga keningnya.

   Sepengetahuannya, Gardika telah tak berdaya di Pulau Neraka.

   "Pasti ada orang lain yang menggunakan senjata yang sama!"

   Sentak Jantara.

   "Maksud, Paman...?"

   Tanya Rengganis tidak mengerti.

   "Rengganis! Dalam dunia ini, kita memang selalu dikelilingi musuh. Bahkan kawan yang sekarang, tidak mustahil nantinya akan jadi musuh juga. Ingat-ingatlah. Siapa di antara kawan dan lawanmu yang mengunakan senjata berbentuk bintang,"

   Kata Jantara.

   "Rasanya tidak ada, Paman,"

   Jawab Rengganis setelah berpikir sejenak.

   "Ingat-ingat dulu, Rengganis,"

   Desak Jantara.

   Rengganis menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Dia berusaha mengingat-ingat Tapi selama berkecimpung dalam dunia persilatan dan hingga memutuskan untuk jadi saudagar, rasanya tidak pernah punya lawan ataupun kawan yang menggunakan senjata berbentuk bintang perak bersegi enam.

   Dan tiba-tiba saja Rengganis teringat dengan yang dilihatnya siang tadi.

   Sesuatu yang dilihatnya sendiri saja.

   Sangat jelas terlihat, tapi begitu cepat sehingga sulit untuk menentukan, apakah itu manusia atau hanya berupa kilatan cahaya saja.

   Bisa juga itu hanya fatamorgana.

   Sulit untuk menghubungkan, antara yang dilihatnya siang tadi dengan kejadian di kapal barusan.

   Tulisan pada secarik kain, jelas ditujukan untuknya.

   Tulisan itu hanya berupa sebuah nama.

   Namanya sendiri tanpa ada tulisan atau nama lain.

   Jelas, maksudnya adalah peringatan atau bisa juga ancaman.

   "Apakah mungkin kalau orang itu adalah putra Dewa Pedang...?"

   Gumam Rengganis seperti bertanya pada dirinya sendiri.

   "Kau bicara apa, Rengganis?"

   Tanya Jantara tidak percaya.

   "Paman! Siang tadi aku melihat sesuatu meluncur cepat bagai kilat dari Pulau Neraka. Aku tak tahu pasti, benda apa yang bergerak itu. Apakah itu hanya sebuah benda, ataukah manusia? Aku tak tahu. Tapi aku yakin, itu pasti ada hubungannya dengan kejadian di kapal ini, Paman,"

   Ungkap Rengganis pelan.

   "Hm..., selama ini tak ada seorang pun yang bisa selamat jika telah masuk ke Pulau Neraka. Gardika juga pergi ke pulau itu, dan sampai kini tak terdengar kabar beritanya lagi. Rasanya tidak mungkin kalau Badar dan putra Dewa Pedang masih hidup...,"

   Bantah Jantara.

   Tapi dari nada suaranya terdengar ragu-ragu.

   Hening.

   Tak ada lagi yang bersuara.

   Kejadian yang menggemparkan tadi membuat semua orang yang ada di atas kapal ini terdiam.

   Mereka sibuk dengan pikiran yang terus berkecamuk.

   Sementara para pembesar yang bernyali kecil telah mulai meninggalkan kapal.

   Bahkan beberapa tokoh yang merasa tidak ada hubungannya dengan kejadian itu juga telah pergi.

   Mereka seperti tidak ingin ikut campur.

   Semakin larut malam, keadaan kapal semakin sunyi.

   Kesunyian itu menambah suasana menjadi semakin mencekam.

   "Rengganis, sebaiknya kau beristirahat saja. Biar aku dan anak buahku yang berjaga-jaga,"

   Kata Jantara setelah cukup lama berdiam diri.

   "Terima kasih, Paman. Dalam keadaan seperti ini, aku tidak mungkin dapat tidur,"

   Tolak Rengganis halus.

   "Kalau begitu, aku pergi dulu untuk melihat keadaan,"

   Pamit Jantara.

   "Silakan, Paman."

   Laki-laki tua berjubah merah itu segera berlalu.

   Sementara Rengganis masih duduk di kursi, di atas geladak didampingi tiga bersaudara pengikut setianya.

   Ketiga bersaudara itu pun hanya bisa membisu.

   Mereka juga telah mendengar apa yang dibicarakan junjungannya dengan Jantara, atau yang berjuluk si Tongkat Samber Nyawa tadi.

   Jantara berjalan pelan-pelan menyusuri geladak kapal besar dan mewah itu.

   Hanya tinggal beberapa tokoh saja yang masih ada di kapal ini.

   Seluruh pembesar kerajaan telah meninggalkan kapal.

   Kini, tidak terlihat lagi para prajurit yang berjaga-jaga di situ.

   Jantara terus melangkah menuruni tangga kapal menuju dermaga.

   Beberapa anak buahnya terlihat berjaga-jaga di sekitar dermaga itu.

   Dengan dikawal enam orang anak buahnya, Jantara memeriksa keadaan dermaga.

   Tak lama kemudian dia meninggalkan tempat itu, dan menuju desa yang tidak jauh dari situ.

   Suasana desa masih tetap ramai meskipun hari telah jauh malam.

   Namun keramaiannya telah sedikit berkurang jika dibandingkan dengan siang tadi.

   Sepanjang jalan, yang ditemukan hanya orang-orang mabuk dari wanita-wanita penjaja cinta.

   Jantara terus melangkah diikuti oleh enam orang anak buahnya.

   "Sebaiknya kita kembali saja, Tuan. Sudah terlalu malam. Barangkali orang itu sudah pergi dari sini,"

   Kata salah seorang yang ikut dengan Jantara.

   "Baiklah. Besok kita teruskan,"

   Jawab Jantara.

   Mereka kemudian kembali menuju dermaga di Pesisir Pantai Selatan.

   Mereka berjalan tanpa banyak bicara.

   Memang sulit mencari satu di antara sekian banyak orang yang tidak dikenal.

   Apalagi sekarang ini banyak pendatang yang singgah di desa di sekitar Pesisir Pantai Selatan itu.

   Baru saja beberapa tindak mereka berjalan, tiba-tiba sebuah bayangan melintas di depan mereka.

   Jantara terperanjat, dan langsung memerintahkan anak buahnya berhenti.

   Seorang pemuda gagah dan tegap tahu-tahu telah berdiri di depan Jantara dan enam orang anak buahnya.

   Rambutnya yang panjang dipermainkan angin malam.

   Tubuhnya berotot dan tertutup baju dari kulit harimau.

   Hanya bagian dada yang terbuka, memamerkan dadanya yang bidang dan kekar.

   Wajahnya cukup tampan, namun memiliki sorot mata yang tajam.

   Rahangnya yang menonjol kekar, terkatup rapat.

   Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.

   "Kau laki-laki tua, berjubah merah dan bersenjata tongkat kembar pendek. Apakah kau bernama Jantara, si Tongkat Samber Nyawa?"

   Tanya pemuda itu.

   Dari perawakan dan pakaian yang dikenakan, jelas kalau dia adalah Bayu Hanggara.

   Selama Bayu meninggalkan Pulau Neraka, keterangan tentang pembunuh orang tuanya dan pengeroyok Eyang Gardika terus dicarinya.

   Sampai dia akhirnya tahu kalau Rengganis adalah ibu tirinya sendiri.

   Tapi dia tidak mau peduli.

   Yang ada di benaknya adalah membalas dendam atas kematian orang tuanya dan atas kesengsaraan Eyang Gardika di Pulau Neraka.

   "Benar! Dan kau siapa? Kenapa kau hadang langkahku?"

   Sahut Jantara seraya memasang wajah angker.

   "Mungkin kau mengenal benda ini,"

   Sahut pemuda itu sambil mengangkat tangan kanannya ke depan.

   Jantara melangkah mundur dua tindak melihat cakra bersegi enam yang bergigi-gigi bengkok menempel pada pergelangan tangan pemuda itu.

   Bola matanya berputar, seolah-olah tidak percaya dengan penglihatannya sendiri.

   "Jagalah kepalamu, Jantara!"

   Bentak pemuda itu tiba-tiba seraya mengebutkan tangan kanannya.

   Laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu terperangah sesaat, namun dengan cepat merundukkan kepalanya.

   Cakra berwarna keperakan yang menempel di tangan pemuda itu meluncur deras kearahnya.

   Begitu cepat cakra itu, sehingga dua orang yang berada di belakang Jantara tidak sempat lagi menghindar.

   Kedua orang itu menjerit keras.

   Tubuh mereka berputar sebentar sebelum ambruk dengan kepala terpisah.

   Pemuda itu mengangkat tangan kanannya.

   Dengan putaran manis, senjata cakra itu berbalik dan langsung menempel kembali di pergelangan tangannya.

   "Anak muda! Apa hubunganmu dengan Gardika si Cakra Maut?!"

   Tanya Jantara membentak.

   "Kau tidak perlu tahu, Jantara. Berdoalah agar dosamu diampuni,"

   Sahut pemuda itu dingin.

   "Kurang ajar! Apa yang kau andalkan hingga berani umbar bacot di hadapanku, heh?!"

   Geram Jantara sengit.

   "Bersiaplah untuk mati, Jantara!"

   Rupanya pemuda itu tak kenal kompromi lagi.

   Langsung dibukanya jurus-jurus maut.

   Jantara mengerutkan keningnya melihat kembangan jurus-jurus yang diperagakan pemuda itu.

   Dia kenal betul dengan jurus itu.

   Jurus 'Kelelawar Maut'.

   Jantara langsung bersiap-siap dengan jurus andalannya juga.

   Tapi, sebenarnya Jantara sendiri belum yakin apakah bisa menandingi jurus 'Kelelawar Maut', meskipun dikerahkan oleh orang lain.

   "Tahan seranganku, Jantara!"

   Seru Bayu keras.

   Secepat kilat pemuda itu melompat sambil mengembangkan kedua tangannya.

   Gerakannya begitu cepat bagai kilat.

   Jantara bergegas membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali, sebelum melompat bangkit.

   Namun baru saja dapat berdiri, satu kibasan tangan yang cepat dan tak terduga menyampok ke arah kepalanya.

   "Uts!"

   Jantara menarik kepalanya sedikit sambil menyodokkan tangan kanannya ke arah dada.

   Tapi kembali Jantara terperangah karena lawan mampu berkelit dengan cepat sambil melancarkan serangan susulan.

   Satu tendangan keras melayang menghantam perut laki-laki tua itu.

   Jantara terbungkuk mengeluh tertahan.

   Perutnya seketika terasa mual.

   Belum sempat menyadari apa yang terjadi, satu pukulan telak kembali bersarang di wajahnya.

   "Akh!"

   Jantara memekik tertahan.

   Timpa ampun lagi tubuh laki-laki tua berjuluk si Tongkat Samber Nyawa itu terjengkang ke belakang.

   Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu tetap berdiri tegak dengan tangan melipat di bagian dada.

   Matanya yang tajam menatap langsung ke wajah Jantara.

   Sedangkan bibirnya agak melebar, menyunggingkan senyuman bernada sinis dan kejam.

   Jantara melangkah mundur dua tindak.

   Disemburkan ludahnya yang bercampur darah.

   "Setan belang! Siapa kau sebenarnya, Bocah?!"

   Bentak Jantara menggeram hebat.

   "Kau tidak perlu tahu siapa aku, Jantara. Karena kau berperan juga dalam membunuh Dewa Pedang, maka berlutut dan mohon ampunlah pada Dewa Pedang!"

   Sahut Pemuda itu.

   "Kau.... Kau tahu Dewa Pedang...?!"

   Jantara jadi kebingungan.

   "Mampus kau, Jantara! Hiyaaa...!"

   "Hup!" *** Jantara cepat melentingkan tubuhnya ke udara sambil mencabut senjata andalannya berupa sepasang tongkat kecil dengan ujung-ujungnya berbentuk bulan sabit. Dua kali dia bersalto di udara seraya tangannya bergerak cepat mengibas. Bersamaan dengan itu, pemuda gagah berbaju kulit harimau juga telah berada di udara. Satu ledakan keras terdengar ketika senjata Jantara membentur pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau itu. Tampak tubuh mereka terpental kebelakang, lalu jatuh ke tanah secara bersamaan. Jantara segera limbung begitu kakinya menjejak tanah. Sedangkan lawannya mendarat dengan manis. Tangannya kembali melipat di depan dada! Sepertinya tidak merasakan apa-apa! "Phuih!"

   Jantara membuang satu tongkatnya yang patah! menjadi dua bagian.

   Matanya merah menahan geram yang amat sangat.

   Selama berkecimpung dalam dunia persilatan, baru kali ini dia mendapat lawan tangguh dan sanggup memperdayai di depan anak buahnya.

   Harus diakui kalau hatinya sedikit gentar melihat ketangguhan lawannya.

   Memang sulit diukur tingkat kepandaian pemuda berbaju kulit harimau itu.

   Jantara mundur dua tindak.

   Kembali disemburkan ludahnya yang telah bercampur dengan darah kental kehitaman.

   Dengan punggung tangan, diseka mulutnya yang berlumuran darah.

   Matanya agak membeliak melihat darahnya yang berwarna kehitaman.

   "Kau.... Kau memakai ilmu 'Pukulan Racun Hitam'! Siapa kau sebenarnya?"

   Keras suara Jantara, namun agak tersendat. Dia juga memeriksa bagian dadanya yang terkena pukulan ketika bentrok di udara tadi. Tampak di dadanya terdapat gambar berbentuk telapak tangan berwarna hitam.

   "Rupanya kau masih penasaran juga, Jantara. Baiklah. Agar kau tidak mati penasaran, dengarkanlah baik-baik. Namaku, Bayu! Putra tunggal Dewa Pedang. Aku datang dari Pulau Neraka!"

   Tegas kata-kata Bayu, pemuda gagah berbaju kulit harimau itu.

   Jantara tidak dapat berkata-kata lagi.

   Sama sekali tidak disangka kalau pemuda yang berdiri di depannya adalah putra tunggal Dewa Pedang, ketua Padepokan Teratai Putih yang dihancurkan oleh dirinya bersama tokoh-tokoh rimba persilatan lainnya.

   "Dan semua ilmu yang kumiliki berasal dari Eyang Gardika, yang telah kau buntungi kedua kakinya dan kau butakan kedua matanya. Nah, Jantara. Apakah kau sudah puas?"

   "Jadi..., Gardika masih hidup?"

   Jantara hampir tidak percaya mendengarnya.

   "Sekarang dia telah mati setelah, menurunkan semua ilmunya kepadaku. Dan sekarang aku muncul untuk membalas sakit hatinya mencari orang-orang sepertimu! Juga, orang-orang yang menghancurkan keluargaku!"

   Dingin suara Bayu.

   Setelah berkata demikian, pemuda berbaju kulit harimau itu langsung menyerang Jantara.

   Pertarungan sengit tak dapat dihindarkan lagi.

   Bayu benar-benar menurunkan tangan besi kepada orang tua yang bernama Jantara itu.

   Serangan-serangan yang dilancarkannya sangat berbahaya dan luar biasa dahsyatnya.

   Jantara dibuat jatuh bangun tanpa mampu memberi serangan balasan.

   Dalam beberapa jurus saja, kelihatan sekali Jantara telah terdesak.

   Melihat pemimpinnya kewalahan, empat orang anak buahnya yang masih tersisa langsung berlompatan menyerang Bayu.

   Mereka memang sudah biasa dengan pertarungan licik dan main keroyok.

   Hal ini tentu saja membuat Bayu geram.

   "Bagus! Kalian memang anak buahku yang mengerti,"

   Gumam Jantara dalam hati.

   "Inilah kesempatan buatku...."

   DI saat Bayu sibuk menghadapi keroyokan itu, tanpa menunggu waktu lagi Jantara segera melesat kabur. Namun perhatian Bayu tidak seluruhnya terpecah. Tindakan pengecut laki-laki tua itu langsung dapat dilihatnya.

   "Jantara! Jangan lari kau, pengecut!"

   Geram Bayu.

   Secepat kilat pemuda itu mengibaskan tangan kanannya sambil merunduk menghindari tebasan pedang lawan.

   Benda yang bernama cakra itu melesat bagai kilat menuju ke arah larinya Jantara.

   Begitu cepatnya sehingga yang terlihat hanyalah secercah sinar keperakan bagai bintang jatuh dari langit.

   "Sial! Hup!"

   Jantara segera menjatuhkan tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali.

   Namun tak urung dia juga memekik sedikit.

   Punggungnya sempat tergores senjata cakra yang dilepaskan Bayu.

   Jantara masih bergulingan ketika senjata berbentuk lingkaran pipih dan bergigi bengkok berjumlah enam itu berputar kembali ke arah pemiliknya Tap! Dengan manis Bayu melompat dan menangkap senjata maut andalannya itu.

   Sambil berputar dengan kedua tangan merentang, empat orang pengeroyoknya segera dibabatnya habis.

   Gerakan Bayu memang sulit untuk diikuti dengan mata.

   Akibatnya, empat orang pengeroyoknya jungkir-balik tak tertahan lagi.

   Jerit melengking saling susul terdengar, bersamaan dengan ambruknya empat tubuh dengan dada sobek mengucurkan darah.

   Kesempatan yang sedikit itu, dimanfaatkan Jantara untuk melarikan diri.

   Dengan cepat dia bangkit dan berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

   Bayu yang melihat lawannya kabur dengan cara licik, jadi berhenti.

   Jantara berlari menuju dermaga tempat kapal besar dan mewah itu bersandar.

   Kapal itu kini sudah tidak memiliki tiang utama lagi.

   Bayu berdiri tegak.

   Matanya memandang tajam ke arah Jantara yang terus berlari cepat menuju kapal itu.

   "Huh! Pengecut..!"

   Dengus Bayu, tidak melanjutkan pengejarannya.

   Jantara langsung ambruk ketika sampai di atas geladak kapal.

   Tokoh-tokoh sakti yang masih berada di atas kapal itu terkejut dan segera menghampiri.

   Demikian pula dengan Rengganis dan tiga orang pengawal setianya yang memang masih berada di geladak.

   Mereka semua terperanjat melihat keadaan Jantara yang babak-belur bersimbah darah.

   "Paman Jantara! Apa yang terjadi?!"

   Tanya Rengganis yang diliputi rasa kaget.

   "Dia.... Dia dari Pulau Neraka...,"

   Sahut Jantara terputus-putus.

   "Pulau Neraka...?!"

   Semua bergumam keheranan setengah tidak per caya. Mereka semua tahu kalau Pulau Neraka tidak berpenghuni, dan tidak ada seorang pun yang pernah keluar dari sana! "Siapa dia, Jantara?"

   Tanya salah seorang yang bertubuh gemuk pendek dan berperut gendut.

   "Bayu.... Dia bernama Bayu, putra Dewa Pedang,"

   Sahut Jantara terengah dan terputus-putus suaranya.

   Tidak ada lagi yang bersuara.

   Mereka semua tidak percaya begitu saja.

   Rasanya tidak mungkin seorang bayi yang baru berumur beberapa hari, bisa hidup di pulau angker itu.

   Bahkan sekarang muncul dan bisa membuat Jantara, seorang tokoh sakti, babak-belur! Mereka memang tidak akan percaya kalau Jantara tidak melanjutkan....

   "Di pulau itu Gardika masih hidup. Setelah ilmu-ilmunya diturunkan pada Bayu, baru dia mati. Hhh... sungguh dahsyat dan sadis! Enam orang anak buahku tewas...."

   Kata-kata Jantara terputus ketika terdengar suara siulan nyaring bernada aneh.

   Siulan itu seolah-olah datang dari segala penjuru, dan mengandung kekuatan tenaga dalam yang amat luar biasa.

   Mereka yang memiliki tingkat kepandaian rendah, langsung menutup telinga.

   Sedangkan tokoh-tokoh sakti yang berjumlah tidak kurang dari lima belas orang, segera mengimbangi dengan mengerahkan tenaga dalam.

   "Siapa pun kau adanya, keluar!"

   Bentak Rengganis keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi pula.

   Suara bentakan Rengganis langsung menghentikan siulan itu.

   Sesaat suasana jadi sunyi menegangkan.

   Semua kepala menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sumber siulan tadi.

   Sementara Jantara sudah bisa bangkit dibantu beberapa orang.

   Tidak ada seorang pun yang berbicara.

   Semua diliputi suasana penuh ketegangan.

   Rengganis melangkah keluar dari kerumunan tokoh rimba persilatan lainnya.

   Dia berdiri tegak di tengah-tengah geladak kapal.

   Matanya tajam memandang ke sekelilingnya.

   Sementara Ganis, Ganang dan Gamar sudah bersiap-siap dengan senjata masing-masing, tidak jauh di belakang wanita itu.

   "Bayu! Kalau kau ingin balas dendam, hadapilah aku! Aku yang bertanggung jawab. Keluarlah Bayu!"

   Seru Rengganis keras bergema.

   Tidak ada sahutan sedikit pun.

   Kata-kata Rengganis hanya terbawa angin malam, dan hilang begitu saja bersama deburan ombak.

   Wanita itu tetap melayangkan pandangannya ke seluruh arah dengan tajam.

   Namun yang dilihat hanyalah kepekatan malam.

   "Rengganis! Awas...!"

   Tiba-tiba terdengar sebuah seruan keras mengejutkan.

   Tanpa berpikir panjang, Rengganis mencabut senjatanya berupa kipas baja putih yang terselip di pinggang begitu matanya melihat secercah cahaya keperakan meluncur deras ke arahnya.

   Tring! Rengganis tersentak ke belakang dua tindak.

   Wajahnya iangsung memerah.

   Tangan kirinya memegangi pergelangan tangan kanannya yang seperti tersentuh ribuan lebah berbisa Kipasnya terpental beberapa depa.

   Semua orang yang berada di atas geladak kapal terperangah melihat kipas baja putih kebanggaan Rengganis tergeletak di lantai geladak, tertancap sebuah bintang keperakan.

   "Nyai! Ada suratnya!"

   Kata Gamar yang telah mengambil kipas dari lantai geladak.

   Rengganis buru-buru menerima senjatanya dari tangan Gamar, dan langsung diselipkannya ke balik pinggang.

   Dia juga merebut secarik kain berwarna merah darah dengan tulisan dari tinta emas.

   Wajahnya langsung menegang dan merah sampai ke telinga setelah membaca tulisan di kain merah itu.

   "Apa isinya, Rengganis?"

   Tanya Jantara yang sudah menghampiri. Rengganis tidak menjawab. Diserahkannya kain dengan tulisan dari tinta emas itu pada Jantara.

   "Kutunggu kau di Pantai Selatan! Aku dari Pulau Neraka,"

   Jantara membacakan tulisan yang tertera pada secarik kain merah itu.

   Jantara mengangkat kepalanya memandang Rengganis.

   Sinar matanya penuh dengan sejuta kata-kata, namun sulit untuk diucapkan.

   Jelas kalau tantangan itu ditujukan buat Rengganis.

   Tapi bukannya tidak mustahil.

   Mereka semua juga akan mendapatkan hal yang sama.

   Kini hanya tinggal waktu saja yang menentukan.

   Sementara Jantara yang sudah berhadapan dengan pemuda bernama Bayu itu jadi mencemaskan Rengganis.

   Memang diakui kalau ilmu silat Rengganis lebih tinggi setingkat darinya.

   Tapi itu belum menjamin dapat menandingi orang yang mengaku dari Pulau Neraka itu.

   Jurus-jurus Gardika jadi lebih mantap dan sempurna di tangan Bayu.

   Hal ini sudah dapat dirasakan Jantara saat bertarung dengan pemuda itu.

   "Aku akan menemuinya! Sebaiknya kalian semua meninggalkan kapal ini secepat mungkin,"

   Kata Rengganis mantap.

   "Rengganis...,"

   Jantara berusaha mencegah, namun tidak melanjutkan ucapannya.

   "Paman. Dia mungkin hanya menginginkan aku saja. Aku memang harus bertanggung jawab. Semua ini memang kesalahan dan kecerobohanku,"

   Kata Rengganis memotong.

   "Hati-hatilah,"

   Hanya itu yang bisa diucapkan Jantara.

   Rengganis hanya tersenyum, dan melangkah meninggalkan kapal besar dan mewah itu.

   Tiga orang pengikut setianya menyertai dari belakang.

   Tidak ada seorang pun yang bisa mencegah.

   Mereka hanya memandangi saja dengan perasaan yang sulit diungkapkan.

   "Aku yakin, ini akan berbuntut panjang,"

   Gumam Jantara.

   *** Rengganis semakin jauh meninggalkan dermaga Pesisir Pantai Selatan.

   Dia terus berjalan diiringi tiga orang pengawalnya menuju tempat yang telah ditentukan dalam surat tantangan itu.

   Sementara orang orang yang masih berada di kapal, mulai meninggalkan tempat itu satu persatu.

   Dalam sekilas saja mereka sudah bisa mengerti, persoalan yang kini tengah dihadapi.

   Sementara Jantara masih berada di atas kapal.

   Matanya tidak lepas memandangi kepergian Rengganis.

   Bagaimanapun juga hatinya cemas, karena orang yang akan dihadapi wanita itu menyimpan dendam dan memiliki tingkat kepandaian yang sukar diukur! "Kau Kelihatan gelisah sekali, Jantara."

   "Oh!"

   Jantara tersentak kaget Buru-buru dia menoleh.

   Seketika jantungnya seperti berhenti berdetak Di tengah-tengah geladak kapal ini tiba-tiba sudah berdiri seorang pemuda gagah mengenakan baju dari kulit harimau.

   Rambutnya yang panjang meriap melambai-lambai dipermainkan angin.

   Jantara mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

   Sungguh tidak disangka kalau semua orang sudah meninggalkan kapal ini tanpa disadurinya.

   Jantara membeliak kaget begitu matanya melihat mayat-mayat bergelimpangan Mayat-mayat itu adalah anak buahnya yang ditugaskan untuk menjaga kapal ini.

   Benar-benar sulit dipercaya, bagaimana pemuda itu melakukan tanpa diketahuinya? Kenyataan ini membuat Jantara gentar hatinya.

   Jelas, itu menandakan kalau pemuda berbaju kulit harimau itu memiliki tingkat kepandaian yang sungguh sulit dinilai.

   "Dia memang cantik, Jantara. Tapi sayang, hatinya tidak secantik wajahnya,"

   Kata pemuda berbaju kulit harimau itu.

   Suaranya terdengar lirih tanpa nada.

   Jantara tidak membuka suara sedikit pun.

   Dia melangkah mundur dengan bola mata berputar mencari celah untuk bisa lari dari maut.

   Di depan matanya, pemuda berbaju harimau itu bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawanya Jantara langsung berbalik begitu kakinya menyentuh tangga.

   Dengan sisa-sisa keberaniannya, dia segera berlari cepat menuruni tangga menuju dermaga.

   Tapi begitu kakinya menginjak lantai dermaga, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu sudah berada di depannya.

   Pemuda itu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.

   "Kesempatanmu hanya sekali, Jantara."

   Setelah berkata demikian, pemuda berbaju kulit harimau tersebut mengebutkan kedua tangannya ke depan.

   Secercah sinar merah melesat cepat bagai kilat memburu ke arah Jantara.

   Laki-laki tua itu buru buru menarik tubuhnya ke samping sambil menggeser kakinya sedikit.

   Cahaya merah itu meluncur di depan dadanya, dan langsung menghantam kapal besar mewah di belakangnya.

   Ledakan dahsyat terdengar menggelegar bersama an dengan hancurnya kapal itu.

   Sehingga terjadi getaran bagai ada gempa.

   Akibatnya Jantara terpental jatuh bergulingan.

   Namun dia buru-buru bangkit berdiri.

   Harinya terkesiap melihat kapal besar dan mewah milik Rengganis hancur berkeping-keping bersama beberapa mayat di dalamnya.

   "Uhg...!"

   Mendadak saja Jantara terbatuk dan memuntahkan darah kehitaman.

   Dia langsung jatuh berlutut.

   Tangan kanannya menekan dada yang terasa sesak dan nyeri bagaikan tertusuk ribuan jarum.

   Jantara baru sadar kalau telah terkena pukulan beracun dalam pertarungannya tadi melawan pemuda itu.

   Kini racun di dalam tubuhnya mulai bekerja.

   "Apa yang kau inginkan dariku, Bayu?"

   Tanya Jantara bernada pasrah.

   "Nyawamu,"

   Sahut pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah Bayu Hanggara.

   Jantara bangkit pelahan-lahan.

   Kepalanya mulai pening, dan pandangannya berkunang-kunang.

   Tapi sebagai tokoh rimba persilatan yang sudah punya nama, dia tidak akan menyerah begitu saja, meskipun keadaannya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertarung.

   Racun dari jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang merasuk di tubuhnya sudah bekerja.

   "Lakukanlah kalau kau mampu, Bayu!"

   Dengus Jantara menantang. Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya. Cepat atau lambat dia akan mati. Tidak ada seorang pun yang selamat kalau sudah terkena racun dari 'Pukulan Racun Hitam'.

   "Bagus! Rupanya kau seorang yang ksatria juga, Jantara,"

   Bayu tersenyum sinis.

   "Hih!"

   Jantara langsung mencabut senjatanya yang tinggal sebelah.

   "Bersiaplah untuk mati, Jantara! Hiyaaa...!"

   "Hup! Hiyaaa...!" *** Pertarungan antara Jantara dan Bayu, si Pendekar dari Pulau Neraka tidak dapat dielakkan lagi. Meskipun Jantara dalam keadaan terluka. Namun masih mampu melayani sampai sepuluh jurus. Dan setelah lewat sepuluh jurus, baru kelihatan kalau Jantara tidak dapat lagi menandingi pemuda berbaju kulit harimau itu. Racun yang mengendap di dalam tubuhnya akibat 'Pukulan Racun Hitam', semakin meluas dan membuat tenaganya berkurang jauh. Pada suatu serangan yang cepat, Jantara tidak lagi mampu menghindar. Dia terjungkal sangat keras begitu tendangan geledek Bayu menghantam dadanya. Belum lagi Jantara mampu berdiri, kaki Bayu sudah menekan dadanya.

   "Kau yang membuntungi kaki guruku, bukan? Kau tahu, bagaimana penderitaannya mempertahankan hidup dengan kedua kaki buntung?"

   Dingin dan datar suara Bayu.

   "Bunuh aku, Bayu!"

   Sentak Jantara putus asa.

   "Terlalu nikmat kalau kau mati cepat, Jantara,"

   Sambut Bayu tersenyum sinis. Bayu memungut tongkat lawan yang tergeletak tidak jauh dari kakinya. Ditimang-timangnya tongkat pendek dengan ujung ujungnya berbentuk bulan sabit.

   "Kau akan menyesali perbuatanmu, Jantara. Telah kau hilangkan kedua kaki guruku. Sekarang, rasakanlah bagaimana kehilangan kedua kaki!"

   Kata Bayu tetap dingin suaranya. Jiwa dan sifatnya jadi terbentuk sangat sadis. Ini akibat didikan dari gurunya, dan dendam kesumat yang selalu membakar semangatnya selama mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari Eyang Gardika! "Tidak...!"

   Sentak Jantara bergetar. Tanpa banyak bicara lagi, Bayu menggerakkan tangannya yang memegang tongkat lawannya, dan.... Cras! Cras! "Aaakh...!"

   Jantara menjerit keras.

   Darah langsung muncrat begitu kedua kaki laki-laki tua berjubah merah itu terpotong buntung sampai ke paha.

   Jantara meringis menggelepar-gelepar merasakan sakit yang amat sangat pada kedua kakinya.

   'Bunuh-aku, Bayu! Bunuh aku...! Jangan kau siksa aku seperti ini..,"

   Keluh Jantara.

   "Kau merasa tersiksa, Jantara? Apa kau tidak berpikir ketika membuntungi kaki Eyang Gardika? Apa kau tidak merasa malu mengeroyok orang tanpa senjata?"

   "Bayu! Aku memang ikut mengeroyok Gardika! Tapi bukan aku yang membuntungi kakinya!"

   "Sama saja! Kau atau siapa saja yang berbuat, dimataku sama saja!"

   "Ohhh..."

   Jantara mengeluh lirih. Bibirnya meringis merasakan perih dan sakit pada kedua kakinya yang buntung.

   "Camkan baik-baik, Jantara. Aku tahu siapa teman-temanmu yang berbuat keji pada guruku. Aku juga tahu siapa orang-orangnya yang telah berlaku licik dan kejam pada keluargaku. Ingat kata-kataku, Jantara! Sampai ke ujung dunia sekalipun, mereka tidak akan aman selama aku masih hidup!"

   "Jangan kau lakukan itu. Bayu. Cukup aku saja yang menanggung. Bunuh saja aku, Bayu. Bunuh aku...,"

   Keluh Jantara putus asa.

   "Sayang sekali, kata-kataku tidak dapat dirubah. Dan kau terlalu enak kalau langsung mati, Jantara."

   Jantara hanya bisa mengeluh lirih.

   "Nah! Sekarang giliran matamu!"

   Dengus Bayu dingin.

   "Oh, tidak...!"

   Sentak Jantara berusaha menggeliat Namun dalam keadaan tubuh yang lemah dan kekurangan banyak darah, Jantara benar-benar tidak punya daya sama sekali. Tanpa berkedip sedikit pun. Bayu menusuk kedua mata Jantara dengan tongkat ditangannya.

   "Aaakh...!"

   Kembali Jantara memekik keras.

   Ditutupi mukanya dengan tangan.

   Darah merembes keluar dari sela-sela jarinya.

   Bayu melangkah mundur dan membuang tongkat yang sudah berlumuran darah pemiliknya sendiri.

   Bibirnya menyunggingkan senyum tipis melihat laki-laki tua berjubah merah itu menggelepar-gelepar sambil meraung kesakitan.

   Bayu benar-benar terbentuk menjadi seorang pendekar yang sadis! Dia sungguh ingin melampiaskan dendam kesumat atas hancurnya keluarganya dan sakit hati guru tunggalnya! Terlebih lagi ilmu yang dimilikinya sangat sadis dan mengerikan.

   Lengkap sudah penderitaan Jantara.

   Racun dan jurus 'Pukulan Racun Hitam' yang bersarang di tubuhnya sudah bekerja, dan lambat laun akan merenggut nyawanya.

   Penderitaan itu semakin bertambah dengan kehilangan kedua kaki dan sepasang matanya.

   Dalam ingatannya, kembali terbayang saat mengeroyok Gardika yang dianggap sebagai tokoh jahat yang sangat kejam dan tidak kenal ampun.

   Padahal dia sendiri bukanlah orang yang berjalan lurus.

   Saat itu dia hanya mencari muka agar dapat nama di rimba persilatan dengan ikut serta dalam rencana melenyapkan Gardika Dunia memang aneh.

   Dalam tokoh aliran hitam, orang-orang yang berjalan di jalan lurus dianggap sebagai ancaman jahat yang harus dimusnahkan.

   Begitu pula sebaliknya.

   Sampai pada hari ini, seluruh orang rimba persilatan belum mengetahui, Gardika berdiri di dalam golongan yang mana.

   Tindakannya sangat membingungkan.

   Kadang membantu yang lemah dan menumpas kejahatan, kadang pula di lain waktu malah memusuhi tokoh-tokoh rimba persilatan beraliran putih.

   Dalam keadaan begitu, kedudukan seorang tokoh yang berada di tengah-tengah memang memiliki musuh berlipat ganda.

   Semua orang bisa menjadi kawan, juga bisa menjadi lawan.

   "Kau punya waktu tiga hari untuk hidup, Jantara Katakan pada semua teman-temanmu kalau aku akan datang membuat perhitungan pada mereka,"

   Kata Bayu tetap dingin suaranya.

   Jantara tidak dapat berkata-kata lagi.

   Suara Bayu juga seperti antara terdengar dan tidak.

   Rasa sakit yang begitu kuat membuatnya jatuh pingsan.

   Jantara tidak ingat apa-apa lagi.

   Bahkan ketika Bayu pergi meninggalkannya, dia juga tidak tahu lagi.

   Saat itu yang dirasakan dan diinginkan hanyalah satu, mati...! *** Lama juga Jantara tidak sadarkan diri.

   Sebelum matahari terbit, laki-laki tua berjubah merah yang kedua kakinya sudah buntung itu mulai bergerak-gerak.

   Suara erangan terdengar lirih dari mulutnya.

   Darah mulai membeku.

   Tangannya menggapai-gapai sambil menyeret tubuhnya yang lemah.

   "Oh, Tuhan... kenapa kau tidak cabut saja nyawaku? Kenapa kau beri aku siksaan begitu berat...?"

   Rintih Jantara lirih.

   Sambil menahan sakit dan perih, Jantara terus merayap menggapai-gapai.

   Dia berhenti merayap ketika tangannya menyentuh sebatang tongkat pendek berujung bulan sabit.

   Jantara meraih senjata tongkatnya itu.

   Digenggamnya erat-erat tongkat itu dengan tangan gemetaran.

   "Hidupku memang penuh berlumur dosa. Tapi, aku tidak ingin hidup menderita dan terhina. Tuhan..., akhirilah hidupku...,"

   Kembali Jantara merintih lirih.

   Pelahan-lahan tangannya terangkat tinggi.

   Ujung tongkat berbentuk bulan sabit diarahkan ke dadanya.

   Sambil mengatupkan rahang rapat-rapat, Jantata menikam dadanya sendiri dengan senjatanya.

   Keluhan kecil terdengar, lalu tubuhnya terkulai lemah dengan dada tertembus tongkat pendek senjata andalannya sendiri.

   Darah kembali mengucur dengan deras dari dada yang tertembus tongkat pendek.

   Pada saat itu tampak empat orang berlari-lari kecil menuju ke arah tubuh Jantara yang sudah tidak bernyawa lagi.

   Mereka adalah Rengganis dan tiga orang pengawal setianya.

   Wanita berbaju hijau yang masih kelihatan cantik itu langsung memburu dan menubruk tubuh jantara.

   "Paman...! Apa yang terjadi...?"

   Sentak Rengganis seraya mengangkat tubuh Jantara ke atas pangkuannya.

   Rengganis hampir tidak percaya melihat keadaan tubuh laki-laki tua berjubah merah itu.

   Keadaannya sungguh mengenaskan! Tanpa disadari, setitik air bening menggulir di pipi yang putih kemerahan.

   Ya...

   Rengganis, wanita yang tegar dan berilmu tinggi itu menangisi kepergian laki-laki tua yang dipanggil paman itu.

   "Siapa yang melakukan ini padamu, Paman? Katakan! Siapa...?"

   Tanya Rengganis dengan suara tersendat.

   Rengganis mengangkat kepalanya.

   Pandangannya langsung menembus tiga orang laki-laki bersaudara yang berdiri saja di depannya dengan wajah tertunduk.

   Mata wanita itu beralih menatap kapal besar dan mewah yang sudah hancur berkeping-keping.

   Api masih terlihat dari puing-puing yang berserakan dipermainkan ombak.

   Tidak tahu lagi, perasaan apa yang berkecamuk di dalam dadanya.

   Pelahanlahan ia berdiri mengangkat tubuh Jantara yang sudah kaku itu.

   Sebentar Rengganis berdiri tegak membopong tubuh yang sudah tidak utuh lagi itu.

   Pandangannya lurus menatap ke tengah laut lepas Air bening masih menitik turun di pipinya yang kemerahan.

   Pelahanlahan dia berbalik dan melangkah meninggalkan dermaga itu.

   "Nyai, pasti ini perbuatan Pendekar Pulau Neraka itu,"

   Kata Gamar. Rengganis hanya diam saja. Kakinya terus melangkah pelan-pelan dengan pandangan ke depan. Dia seperti tidak mendengar kata-kata Gamar.

   "Benar-benar licik! Dia sengaja memancing kita menjauhi dermaga!"

   Kata Ganang agak menggeram.

   "Nyai, akan kau bawa ke mana mayat Itu!"

   Tanya Ganis. Rengganis berhenti melangkah. Dia berbalik dan menatap tajam pada Ganis. Kata-kata lelaki itu seperti menyentakkan hatinya. Yang ditatap hanya menundukkan kepala saja.

   "Kalian siapkan kereta. Aku akan membawa jenazahnya ke makam keluarga!"

   Perintah Rengganis tegas.

   "Nyai...,"

   Ganis ingin membantah.

   "Kalian tahu, Paman Jantara adalah adik sepupu ibuku. Dia harus dimakamkan dekat keluarganya,"

   Kata Rengganis datar.

   Ganis, Gamar dan Ganang hanya bisa diam.

   Mereka baru tahu kalau Jantara atau si Tongkat Samber Nyawa adalah benar-benar paman sedarah junjungannya ini.

   Pantas saja laki-laki berjubah merah itu selalu mengkhawatirkan Rengganis.

   Dan tampaknya Rengganis juga begitu menghormatinya.

   Padahal mereka semua tahu kalau tingkat kepandaian Rengganis satu tingkat di atas si Tongkat Samber Nyawa.

   Rupanya mereka masih ada kaitan darah keturunan.

   Ganis tidak membantah lagi.

   Segera dijak kedua adiknya mempersiapkan kereta kuda yang terpancang di samping sebuah kedai tidak jauh dari dermaga.

   Sedangkan Rengganis kembali melanjutkan langkahnya pelan-pelan.

   Sedikit pun ia tidak mengetahui kalau dari tempat tersembunyi sepasang mata tajam mengawasi gerak-geriknya sejak tadi.

   *** Hampir satu harian Rengganis berdiri mematung di depan makam Jantara.

   Pandangan matanya kosong menatap lurus kepada gundukan tanah merah di ujung kakinya.

   Sementara tiga saudara yang mengawalnya, berdiri agak jauh memperhatikan.

   Rengganis mendesah panjang sambil mengangkat kepalanya.

   Dia menoleh dan menatap pada tiga orang laki-laki yang menanti dengan setia di bawah pohon rindang.

   "Apa yang harus kami kerjakan, Nyai?"

   Tanya Ganis seraya mendekat diikuti kedua adiknya.

   Rengganis tidak menyahut, tetapi hanya berbalik dan mengayunkan langkahnya meninggalkan pusara Jantara.

   Dirinya sendiri tidak tahu lagi, apa yang harus dikerjakan.

   Mereka semua belum pernah bertemu dengan pemuda yang bernama Bayu, putra tunggal Dewa Pedang yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka.

   Yang membuat Rengganis sulit menentukan langkah selanjutnya adalah ketidaktahuannya tentang pemuda yang muncul ingin membalas dendam itu.

   Kemunculannya yang pertama sudah membawa korban tidak sedikit.

   Dia dapat mengalahkan Jantara dengan mudah.

   Jelas tingkat kepandaiannya tinggi sekali! "Apa tidak sebaiknya kita mendahului daripada didahului, Nyai,"

   Kata Ganis mengusulkan.

   "Maksudmu?"

   Tanya Rengganis tetap melangkah tanpa menoleh sedikit pun.

   "Kita harus mencari dan menemuinya lebih dahulu,"

   Ganis menjelaskan.

   "Aku rasa kita berempat mampu menandinginya."

   "Tidak semudah itu, Ganis. Sampai saat ini belum ada seorang pun yang tahu, siapa dan bagaimana rupanya,"

   Sahut Rengganis pelan.

   "Rasanya tidak begitu sulit, Nyai,"

   Celetuk Gamar. Rengganis berhenti melangkah dan memandang Gamar.

   "Bukankah Paman Jantara pernah mengatakan kalau pemuda itu membawa senjata aneh berbentuk cakra? Dan dia juga mengenakan baju dari kulit harimau. Tidak sulit mencari orang dengan cin-ciri seperti itu, Nyai,"

   Lanjut Gamar.

   "Dunia ini luas, Kakang Gamar,"

   Selak Ganang.

   "Ciri-cirinya memang menyolok dan mudah dikenali. Tapi di mana kita harus mencarinya?"

   Tidak ada yang menjawab.

   Semua terdiam dengan pikiran masing-masing.

   Posisi mereka saat ini tidak lebih dari binatang buruan.

   Maut setiap saat datang menjemput.

   Sekeliling mereka sudah terselimut hawa maut.

   Setiap saat Pendekar Pulau Neraka yang menyeramkan itu bisa muncul mencabut nyawa mereka.

   Satu posisi yang benar-benar tidak menguntungkan sama sekali.

   "Sudahlah! Tidak perlu kalian ikut sibuk memikirkan orang itu. Kita tunggu saja. Kalau dia muncul, kita sambut. Kalau dia menginginkan main kucing-kucingan, usahakan jangan jadi tikus,"

   Kata Rengganis.

   "Kalian memang sudah jadi tikus!"

   Rengganis dan tiga orang pengikut setianya terkejut mendengar suara yang menggema.

   Katakata itu demikian jelas terdengar, seolah-olah datang dari segala penjuru.

   Belum lagi hilang gema suara itu, muncul lagi suara siulan panjang bernada tinggi melengking.

   Siulan yang mengandung tenaga dalam, dan mampu membuat gendang telinga pecah! Rengganis buru-buru mengerahkan hawa murni dan menutup telinganya dengan menyalurkan tenaga dalam.

   Sementara ketiga bersaudara itu sudah kelihatan sibuk menutup telinga dengan tangan.

   Suara siulan itu semakin terdengar menyakitkan.

   "Salurkan hawa mumi kalian. Tutup dengan tenaga dalam,"

   Perintah Rengganis.

   Ketiga bersaudara itu segera mengikuti kata-kata junjungannya.

   Namun ilmu tenaga dalam mereka memang masih kalah jauh, sehingga usaha mereka sia-sia saja.

   Bahkan kini keadaan jadi bertambah buruk lagi.

   Ganang yang lebih muda sudah menggelepar di tanah.

   Dari mulut, hidung, dan telinganya mengucur darah.

   Keadaan kedua kakaknya tidak kalah parahnya.

   Mereka seperti kehabisan napas karena memaksakan diri mengerahkan tenaga dalam dengan menutup gendang telinga.

   "Hiyaaa...!"

   Tiba-tiba saja Rengganis berteriak nyaring seraya mencabut kipas kembarnya.

   Dengan cepat dikebut-kebutkan kipas itu ke depan dan ke atas.

   Saat itu juga di sekitar mereka bertiup angin keras menderu-deru.

   Dan bersamaan dengan menghilangnya suara siulan melengking tinggi, meluncur sebuah benda berwarna keperakan ke arah wanita cantik berbaju hijau itu.

   Benda pipih bagai piring itu mendesing ke arah Rengganis.

   "Hait...!"

   Rengganis melentingkan tubuhnya ke udara sambil mengipaskan kipas baja putihnya menyampok benda pipih seperti piring itu.

   Namun tanpa diduga sama sekali, benda itu bisa berputar menghindar dan berbalik arah.

   Buru-buru Rengganis meluruk jatuh ke tanah dan bergulingan beberapa kaH sebelum bangkit berdiri.

   "Hehhh...!"

   Hembusan napas panjang terdengar.

   Rengganis berdiri tegak dengan sepasang kipas baja menyilang terbuka di depan dada.

   Matanya tajam menatap seorang laki-laki muda dan gagah berbaju kulit harimau.

   Di tangan kanannya menggenggam sebuah benda bulat pipih dengan sekelilingnya bergerigi bengkok berjumlah enam buah.

   Sementara tiga saudara yang tergeletak di tanah sudah mulai bangkit berdiri.

   Mereka langsung bergerak seperti melindungi junjungannya.

   Sepertinya mereka tidak peduli dengan kondisi tubuh yang sudah tidak prima lagi.

   Siulan panjang melengking tadi benar-benar menguras tenaga dalam dan kekuatan.

   Darah masih tampak mengucur dari hidung, mulut, dan telinga.

   "Kau yang bernama Bayu, Pendekar Pulau Neraka itu?"

   Tanya Rengganis ketus.

   "Benar! Aku datang untuk menagih hutang padamu,"

   Sahut pemuda berbaju kulit harimau itu.

   "Hm... rasanya kita belum pernah bertemu sebelumnya. Hutang apa yang harus kubayar?"

   "Nyawa!"

   Rengganis mengerutkan keningnya.

   Dia memang sudah mendengarnya dari Paman Jantara.

   Tapi dia belum yakin kalau bayi yang baru berumur beberapa hari bisa hidup di pulau angker yang tidak pernah terjamah manusia itu! Rengganis ingat.

   Ketika bayi itu diberi nama, di dada sebelah kiri digambar sekuntum bunga teratai sebagai keturunan Dewa Pedang, ahli waris Padepokan Teratai Putih.

   Kening wanita itu kembali berkerut melihat gambar bunga teratai tertera pada dada sebelah kiri pemuda berbaju kulit harimau di depannya.

   Tidak dapat disangka! lagi, pemuda itu memang benar putra Dewa Pedang yang berhasil dibawa lari ke Pulau Neraka oleh salah seorang murid setia Padepokan Teratai Putih.

   Kini pemuda itu sudah menjelma menjadi seorang pemuda gagah dan tampan dengan membawa sejuta dendam di hatinya.

   Tatapannya saja sangat sadis dan kejam! "Baiklah, kalau kau ingin membalas kematian Ayah dan Ibumu, aku tidak akan lari menghindar.

   Semua memang tanggung jawabku.

   Tapi perlu kau ketahui, Bayu.

   Sejak peristiwa itu aku selalu dihantui perasaan bersalah.

   Oleh sebab itu aku setiap tahun selalu memperingatinya.

   Sudah banyak orang yang aku perintahkan mencarimu ke Pulau Neraka dengan hadiah tinggi.

   Tapi tidak ada seorang pun yang menyanggupi.

   Aku khilaf waktu itu, Bayu.

   Aku terlalu dipengaruhi hawa nafsu dan dendam.

   Nah, sekarang kalau kau ingin menagih hutang, aku akan membayarnya,"

   Kata Rengganis.

   "Sungguh manis kata-katamu, Rengganis. Sayang sekali, ucapanku tidak mungkin dicabut kembali. Hutang nyawa harus dibayar nyawa,"

   Sahut Bayu dingin.

   "Aku tidak akan melawan, Bayu. Aku memang harus menebusnya dengan nyawa,"

   Kata Rengganis yang memang menyesali tindakannya setelah tahu kalau yang membantai keluarganya bukan Dewa Pedang, tapi malah pamannya sendiri.

   "Bedebah! Kau pikir aku akan mengampunimu, Perempuan Setan! Jangan harap! Kau harus bertarung sampai di antara kita ada yang tewas!"

   Geram Bayu.

   "Kau yang meminta, Bayu. Dan aku tidak bisa menolak "

   "Jangan banyak omong! Ayo, kita bertarung sampai mati!"

   "Aku terima tantanganmu." *** Bayu mencabut senjatanya yang berbentuk cakra bersegi enam dari pergelangan tangan kanan. Digenggamnya senjata itu dengan tangan kiri pada salah satu ujungnya. Sepasang matanya menatap tajam, lurus kebola mata wanita cantik berbaju hijau di depannya. Sedikit pun tidak dipedulikannya tiga laki-laki yang sudah menghunus senjata masing-masing.

   "Kenapa diam? Hayo serang aku, Putra Dewa Pedang!"

   Seru Rengganis memanaskan.

   Bayu masih tetap diam, berdiri tegak.

   Sepertinya dia ragu-ragu untuk menyerang lebih dulu.

   Matanya tetap menatap tajam, namun sinarnya tidak lagi menyala seperti semula.

   Entah kenapa, tiba-tiba saja hatinya diliputi kebimbangan.

   Dari keterangan yang telah diperolehnya, pembunuh kedua orang tuanya bukan Rengganis.

   Tidak ada yang tahu siapa orangnya, namun otaknya jelas wanita itu.

   Wanita yang seharusnya dihormati.

   Karena bagaimanapun juga Rengganis adalah istri ayahnya.

   Itu berarti ibu titinya juga.

   Pelahan-lahan Bayu menempelkan kembali senjatanya ke pergelangan tangannya yang terbalut kulit harimau dan sebentuk gelang berwarna perak.

   Dia sendiri tidak mengerti, kenapa rasa dendam dan ke benciannya mendadak saja pudar.

   Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju kulit harimau itu berbalik dan melangkah pergi.

   Sementara tiga orang bersaudara saling pandang.

   Dan tanpa menunggu perintah lagi, mereka berlompatan sambil mengebutkan senjata masing-masing.

   Desiran angin yang halus membuat Bayu kembali berbalik, lalu secepat kilat tangan kanannya mengibas ke depan.

   Wut! Senjata cakra di pergelangan tangan langsung melesat bagai kilat.

   Hal ini membuat Ganis yang berada paling dekat jadi terpengaruh.

   Buru-buru dikibaskan senjatanya, tapi gerakannya kalah cepat.

   Senjata cakra yang telah meluncur itu lebih cepat lagi menghujam dadanya.

   "Aaakh...!"

   Ganis memekik nyaring. Bersamaan dengan terjengkangnya tubuh Ganis, senjata cakra itu kembali melesat pada pemiliknya. Dan dengan cepat pula Bayu mengibaskan tangan kanannya.

   "Hiya,..!"

   Secepat senjata cakra itu melesat kembali, secepat itu pula Pendekar Pulau Neraka melenting sambil menghantamkan tangannya ke dada Ganang dan Gamar.

   Serangan pemuda berbaju kulit harimau itu demikian cepat dan sulit diikuti oleh mata biasa.

   Mereka tidak sempat berkelit lagi.

   Dua jeritan panjang terdengar saling susul.

   Tidak lama kemudian, Ganang dan Gamar terjembab tak bernyawa lagi.

   Bayu berdiri tegak di antara tiga tubuh yang tergeletak tak bernyawa.

   Tatapan matanya tajam menusuk ke bola mata Rengganis yang tetap berdiri menyaksikan.

   Namun dari sinar mata wanita itu tersirat suatu perasaan kaget bercampur kagum.

   Betapa tidak? Hanya dua kali gerakan saja, tiga orang pengawal setianya roboh tanpa mampu memberi perlawanan sedikit pun.

   Mereka memang dalam keadaan terluka dalam akibat tidak mampu menahan serangan suara tenaga dalam melalui siulan yang dikeluarkan Bayu tadi.

   Tapi, rasanya sulit dipercaya kalau mereka dapat ditewaskan dalam waktu yang begitu cepat.

   "Kau benar-benar licik, Rengganis!"

   Ketus suara Bayu.

   "Mereka pengikut setiaku. Perbuatan mereka hanya untuk melindungiku,"

   Kata Rengganis kalem.

   "Dengan cara membokong? Ck..., ck..., ck...,"

   Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya.

   Rengganis diam saja.

   Memang diakui, perbuatan ketiga pengawal setianya adalah licik dan tidak ksatria.

   Tapi dia tidak mungkin menyalahkan tiga bersaudara itu.

   Dia tahu, perbuatan itu dilakukan karena rasa tanggung jawab dan pengabdian mereka.

   Kejadian itu membuat mata Rengganis terbuka.

   Dia seperti baru menyadari arti kesetiaan dan pengabdian.

   Dan yang dilakukan Dewa Pedang memburu keluarganya ketika menjadi panglima perang, adalah semata-mata karena tugas dan pengabdiannya.

   Namun semua itu telah dikotori oleh hati busuk yang hanya mementingkan pribadi.

   Kedudukan, kemuliaan, dan harta dunia memang bisa membuat mata hari tertutup.

   Begitu pula dengan dendam yang juga dapat membutakan mata hati.

   Rengganis merasa dirinya baru saja terbangun dari mimpi panjang.

   Dia seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi, namun tidak pernah digunakan untuk kebaikan selama puluhan tahun.

   Semua yang dimilikinya hanya digunakan untuk membunuh dan memberantas orang-orang tidak bersalah.

   Kini semua perbuatannya harus ditanggungnya sendiri.

   Bahkan mereka yang hanya ikut-ikutan saja, juga harus menanggung akibatnya.

   Kemunculan Pendekar Pulau Neraka merupakan awal dari kesadaran pribadinya.

   "Cabut senjatamu, Rengganis!"

   Bentak Bayu. Rengganis kembali mencabut senjata andalannya berupa sepasang kipas baja putih yang telah diselipkan di balik ikat pinggangnya. Dia memang tidak punya pilihan lain, dan mau tidak mau harus bertarung melawan anak tirinya sendiri.

   "Tadinya aku akan melupakanmu, Rengganis. Kau adalah istri ayahku juga. Tapi...,"

   Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melihat tiga mayat yang terbujur tak tentu arah di dekatnya.

   "Aku akan lebih merasa berdosa jika kau ampuni, Bayu,"

   Sahut Rengganis kalem dan tegas.

   "O..., tidak kusangka! Wanita sepertimu kenal dosa juga,"

   Suara Bayu terdengar sinis.

   "Cukup, Bayu! Aku tidak perlu ejekanmu. Ayo, kita bertarung sampai mati!"

   Sentak Rengganis.

   Rupanya dia tidak tahan juga mendengar ejekan bayu.

   Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir menyunggingkan senyuman sinis.

   Terlihat adanya kepasrahan dan sikap mengalah dari sinar mata wanita itu, meskipun ditutupi dengan kata-kata ketus dan tegas.

   "Ayo, Bayu! Kenapa diam?!"

   Rengganis jadi kesal juga melihat sikap Bayu.

   "Kau akan mati, Rengganis. Tapi aku ingin melihat penderitaanmu dulu,"

   Jawab Bayu dingin.

   "Mati pun tidak akan kusesali. Bayu."

   "Ya, karena kau sudah pasrah."

   "Tidak! Hiyaaa...!" *** Kata-kata Bayu yang membuat panas telinga membuat Rengganis semakin tersinggung dan marah, semua perbuatannya memang telah disesali dan diakui. Tapi dia pantang dihina dan direndahkan begitu saja. Telinganya terasa panas mendengar kata-kata penuh sindiran dan ejekan pemuda berbaju kulit harimau itu. Pertarungan tidak bisa dielakkan lagi. Tapi Bayu malah tersenyum sinis. Dalam beberapa jurus saja, sudah dapat ditebak kalau Rengganis sengaja membuka pertahanannya. Rengganis memang menyerang dengan ganas dan dahsyat, tapi tidak menghiraukan pertahanan. Bahkan sengaja membuka pertahanannya lebar-lebar.

   "Kau hanya bunuh diri saja, Rengganis,"

   Kata Bayu sambi! berkelit menghindari serangan wanita itu.

   "Jangan banyak omong! Serang aku!"

   Dengus Rengganis kesal melihat lawannya hanya menghindar saja tanpa ada keinginan untuk balas menyerang.

   "Tidak! Sebelum kau sungguh sungguh bertarung, Rengganis."

   Merah padam muka Rengganis.

   Dia sungguh malu luar biasa.

   Ternyata lawan telah mengetahui kalau dia bertarung tidak sungguh-sungguh.

   Bahkan sengaja memberi peluang besar dengan membuka pertahanan nya.

   Tidak ada yang dapat dilakukan Rengganis saat ini.

   Dia harus bertarung secara sungguh-sungguh.

   Dalam hari dikaguminya sikap satria Bayu yang ingin bertarung dengan lawan yang benar-benar siap.

   "Hup!"

   Bayu menggeser kakinya ke kanan ketika satu kibasan kipas di tangan kanan Rengganis hampir membelah dadanya.

   Bayu mencoba menyodok iga wanita itu dengan tangan kirinya.

   Namun tanpa diduga sama sekali kipas baja putih di tangan kiri Rengganis bergerak cepat menyampok.

   "Uts!"

   Buru-buru Bayu menarik kembali tangannya, lalu melentingkan tubuh sambil berputar ke belakang begitu sebuah kipas lainnya mengibas ke arah leher.

   Bayu belum sempat mengambil posisi, datang lagi serangan beruntun dari dua penjuru.

   Buru-buru ditarik mundur kepalanya sambil mengangkat tangan kanannya memapak serangan dahsyat kipas baja putih itu.

   Tring! Rengganis buru-buru menarik tangannya saat ujung senjata kipasnya membentur pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.

   Seluruh tangannya bergetar bagai tersengat ribuan lebah.

   Sedangkan Bayu sedikit pun tidak merasakan apa-apa, bahkan langsung memberikan serangan balasan dengan cepat "Bagus! Hup, hiyaaa...!!!"

   Rengganis gembira melihat lawannya sudah mulai memberikan serangan balasan.

   Kini pertarungan berjalan sungguh-sungguh dan dahsyat.

   Masing-masing memberikan serangan yang mematikan.

   Tidak terasa mereka sudah menghabiskan puluhan jurus, namun belum ada tanda-tanda yang terdesak.

   Rengganis sadar kalau tenaga dalamnya masih berada di bawah lawannya.

   Hal ini terbukti ketika senjatanya beradu dengan senjata Pendekar Pulau Neraka yang menempel di pergelangan tangan kanan.

   Namun dia tidak jera juga, bahkan terus membenturkan senjatanya ke pergelangan tangan kanan lawannya.

   Akibatnya, dia selalu membuka pertahanan, dan itu sangat membahayakan jiwanya sendiri.

   Meskipun demikian, nampaknya Bayu tidak mau memanfaatkan kelengahan lawan.

   Hal ini membuat Rengganis semakin berang.

   Dia merasa seolah-olah Bayu sengaja mempermainkannya.

   Selama hidupnya, belum pernah dia dipermainkan seseorang sedemikian rupa.

   Keberangan harinya membuat Rengganis semakin memperhebat serangan.

   Tidak disadarinya kalau hal ini justru yang diharapkan Bayu.

   *** Keadaan sekitar pertarungan telah porak-poranda.

   Batu-batu hancur berkeping-keping Pepohonan tumbang tak tentu arah.

   Sementara pertarungan berjalan semakin sengit.

   Berpuluh-puluh jurus sudah dilalui, belum ada tanda-tanda akan berakhir.

   Matahari pun semakin tinggi.

   Sinarnya yang terik tidak dihiraukan lagi.

   "Huh! Anak ini benar-benar alot!"

   Dengus Rengganis dalam hati.

   "Tidak kusangka! Wanita ini tangguh juga,"

   Gumam Bayu dalam hati.

   Mereka memang sama-sama tangguh.

   Bayu melompat keluar dari arena pertarungan.

   Keringat mengucur deras dari seluruh tubuhnya.

   Sebentar ditariknya nafas panjang, lalu dengan cepat tangan kanannya menghentak ke depan.

   Saat itu juga senjata cakra yang ada di pergelangan tangan kanannya melesat cepat bagai kilat.

   Rengganis mengangkat tangan dan membuka kipas sambil memiringkan tubuh ke kiri.

   Dengan senjata kipas baja putihnya ditangkis senjata cakra itu.

   Tring! Rengganis terkejut dan langsung melompat mundur.

   Kipas di tangannya terpental saat membentur cakra yang melesat cepat itu.

   Belum lagi hilang rasa kagetnya, cakra itu berbalik berputar dan kembali menyerangnya dengan cepat.

   Mau tidak mau, wanita itu membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali sebelum melesat bangun.

   Pada saat yang tepat, Bayu melompat cepat dan menangkap senjatanya di udara.

   Sebelum Rengganis benar-benar siap, Pendekar Pulau Neraka itu sudah meluruk ke arahnya sambil mengibaskan tangannya.

   "Ah...!"

   Rengganis memekik terkejut. Buru-buru diegoskan tubuhnya ke samping menghindari terjangan bagai kilat itu. Namun yang terjadi adalah ....

   "Akh!"

   Pekikan tertahan terlontar dari mulut wanita itu.

   Rengganis menekan bahu kirinya yang tergores ujung cakra di tangan Bayu.

   Dan di saat tubuhnya limbung, satu pukulan keras menghantam dadanya.

   Tak pelak lagi, tubuh ramping berbalut baju hijau itu terlontar ke belakang beberapa depa.

   "Saatmu sudah tiba, Rengganis!"

   Seru Bayu keras.

   Seketika itu juga Bayu menghentakkan tangannya, dan senjata di tangan kembali terlontar cepat dengan suaranya yang mendesing membelah udara.

   Rengganis terperangah sesaat, lalu cepat-cepat dilentingkannya tubuhnya ke atas.

   Namun tanpa diduga sama sekali, Pendekar Pulau Neraka itu melesat, sambil mendorong tangan kanannya dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Racun Hitam' Rengganis yang sedang menghindari serangan cakra, tidak dapat lagi berkelit.

   Dengan telak dadanya kembali terhantam pukulan telapak tangan lawannya.

   Akibatnya deras sekali tubuh Rengganis meluncur menghunjam ke tanah.

   Bayu meluruk turun setelah senjatanya menempel kembali dipergelangan tangan kanan.

   Dia berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.

   Sementar Rengganis berusaha bangun.

   Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental kehitaman.

   Pada bagian dadanya tergambar telapak tangan berwarna hitam menghanguskan bajunya.

   Dua kali dia terbatuk dan memuntahkan darah kental kehitaman.

   Dengan terhuyung-huyung, wanita cantik berbaju hijau itu berdiri.

   "Kau hebat. Bayu. Ayahmu pasti bangga kepadamu,"

   Kata Rengganis memaksakan untuk berdiri tegap.

   "Terima kasih atas pujianmu, Rengganis. Tapi sayang, ajalmu sudah dekat,"

   Sahut Bayu sinis.

   "Aku akan mati tersenyum. Bayu."

   Bayu hanya tersenyum sinis.

   Dan tanpa memicingkan mata sedikit pun, dihentakkan tangan kanannya.

   Rengganis tetap berdiri tegak tak bergeming.

   Dia hanya menatap saja senjata bulat pipih yang mendesing cepat ke arahnya.

   Tentu saja hal ini membuat Bayu terperangah.

   Tidak disangka kalau wanita itu menjadi pasrah, dan tidak melakukan perlawanan lagi.

   Kelihatannya nekat sekali! Tanpa pikir panjang lagi, Pendekar Pulau Neraka itu mengempos tubuhnya.

   Dia melesat cepat mengejar senjatanya yang sudah melayang bagaikan kilat kearah Rengganis.

   Tapi tindakannya terlambat.....

   "Aaakh!"

   Rengganis menjerit menyayat.

   Sebentar tubuhnya masih berdiri tegak, lalu limbung, tak lama kemudian tubuhnya ambruk ke tanah dengan cakra tertanam dalam di dadanya.

   Bayu langsung menubruk dan mencabut senjatanya dari dada wanita itu.

   Diangkatnya tubuh Rengganis dan diletakkan di pangkuannya.

   "Oh..., Bayu.. ,"

   Lemah dan lirih suara Rengganis.

   "Tidak...! Aku..., aku tidak bermaksud membunuhmu. Kau... Kau ibuku...,"

   Suara Bayu tersendat.

   "Aku bukan ibumu. Bayu. Aku pembunuh ibu dan ayahmu. Aku memang pantas mati di tanganmu."

   Bayu meletakkan tubuh Rengganis di atas rerumputan, kemudian berdiri dan melangkah mundur beberapa tindak. Kepalanya menggeleng-geleng. Pandangannya seperti orang yang tidak percaya dengan perbuatannya sendiri.

   "Kau..., kau.... Tidak! Katakan padaku! Kau bukan pembunuh orang tuaku! Katakan! Siapa yang membunuh orang tuaku?!"

   Sentak Bayu seolah olah kehilangan akal.

   "Aku yang membunuh mereka, Bayu. Aku yang merencanakan semuanya. Aku tidak tahu. Aku khilaf. Mata hatiku tertutup mendengar cerita mereka yang..., ah!"

   "Katakan! Siapa mereka?!"

   Desak Bayu "Mereka.... Ugh, ugh!"

   Bayu kembali mendekat, dan berlutut di samping wanita yang tengah sekarat itu.

   Dia memang telah memiliki banyak keterangan tentang wanita ini.

   Bayu memang tidak yakin kalau perbuatan Rengganis dalam keadaan sadar.

   Pasti akibat hasutan dari orang lain.

   Hati pemuda itu jadi berperang sendiri.

   Bagaimanapun juga, Rengganis adalah istri ayahnya, yang berarti juga ibu tirinya.

   "Katakan padaku, Bibi. Siapa mereka?"

   Desak Bayu.

   "Kau..., kau memanggilku Bibi, Bayu?"

   Wajah Rengganis langsung berubah cerah. Namun pandangan matanya seperti tidak percaya dengan pendengarannya.

   "Katakan padaku, Bibi. Siapa yang menghasutmu? Katakan, Bibi!"

   Desak Bayu.

   "Bayu...,"

   Desah Rengganis bahagia mendengar dirinya dipanggil bibi oleh pemuda ini.

   Bayu membiarkan saja tangannya digenggam.

   Juga dibiarkan saja tangannya diciumi wanita itu.

   Mereka memang bennusuhan.

   Tapi, mereka juga tidak bisa memungkiri tali ikatan yang ada pada diri mereka.

   Rasa dendam, sakit hati, dan kebencian, seketika luntur diterjang perasaan haru yang begitu kuat mendesak.

   "Bibi..!"

   Sentak Bayu saat wanita itu mengejang.

   "Bayu, maafkan aku...,"

   Lirih dan tersendat suara Rengganis. Bayu menggigit-gigit bibirnya sendiri menahan sesuatu yang hampir meledak dari dalam dadanya. Kedua bola matanya berkaca-kaca memandangi wajah Rengganis yang semakin pucat membiru.

   "Bayu..., setelah kuketahui ayahmu tidak bersalah, aku selalu dihantui perasaan berdosa yang tidak terampuni. Mereka memang jahat dengan memanfaatkan aku untuk membalas sakit hati dan dendam pribadi mereka, jumlah mereka banyak, Bayu. Aku memang bodoh, aku tidak tahu kalau aku hanya dijadikan alat dan boneka pancingan. Aku menyesal Bayu. Maafkan aku...,"

   Semakin lemah dan lirih suara Rengganis.

   "Bibi..,"

   Ujar Bayu tersentak.

   "Mereka semua sangat tangguh. Aku tidak berdaya. Aku tidak mampu menandinginya. Bayu. Maukah kau membalaskan sakit hatiku? Maukah kau menghancurkan mereka?"

   Bayu mengangguk.

   "Terima kasih, Bayu...."

   "Bibi...!"

   Rengganis tersenyum dan pelahan-lahan matanya terpejam.

   "Bibi..., katakan! Siapa mereka?! Aku nanti pasti akan membalas sakit hatimu. Katakan, siapa mereka. .?"

   Bayu menggoyang-goyang tubuh Rengganis.

   Tapi wanita itu sudah tidak bergerak lagi.

   Rengganis telah menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan bibir tersenyum.

   Bayu tidak mampu lagi menguasai diri dan perasaannya.

   Dipeluknya tubuh wanita itu.

   Dan tanpa dapat dibendung lagi, air matanya menitik pelahan.

   Kebencian dan kesadisannya hilang sejenak.

   Tatapan nya pun lesu.

   *** Seharian penuh Bayu duduk mencangkung di atas batu hitam.

   Tidak jauh di depannya tampak gundukan tanah merah yang masih bani.

   Hanya sebuah batu sebesar kepala yang menandakan kalau gundukan tanah merah itu adalah sebuah makam yang masih baru.

   Kesanalah pandangan mata pemuda berbaju kulit harimau itu menatap.

   Desahan napas panjang terdengar Dari balik saku ikat pinggangnya dikeluarkannya secarik kain merah muda penuh dengan tulisan darah yang telah kering.

   Tatapannya beralih pada secarik kain itu! "Aku harus mencari mereka.

   Ya..., harus!"

   Desahnya bergumam.

   Pelahan-lahan pemuda berbaju kulit harimau itu bangkit berdiri.

   Sebentar matanya menatap ke arah makam baru di depannya, kemudian dimasukkan kain merah muda ke dalam ikat pinggangnya.

   Kembali dia mendesah panjang dan terdengar berat.

   Pelahan-lahan kakinya terayun ke arah matahari terbenam.

   "Sayang, Bibi Rengganis tidak memberi banyak keterangan. Biarpun jumlah mereka banyak, aku harus mencari mereka dan membuat perhitungan yang setimpal. Mereka pasti orang-orang yang kejam. Hmmm..., aku juga tidak akan bermurah hati. Siapapun orang yang berbuat kejam didepanku, harus mati! Ya..., mati!"

   Gumam Bayu mendesis.

   Pada saat itu di atas kepalanya melintas seekor burung.

   Sejenak Bayu menatap burung itu, lalu tangan kanannya menghentak ke atas.

   Cakra, di pergelangan tangannya langsung melesat cepat bagai kilat.

   Tak ampun lagi, burung yang tengah terbang bebas itu meluruk jatuh begitu lehernya terpenggal.

   Bayu mengangkat tangan kanannya, maka cakra itu kembali menempel di pergelangan tangannya.

   Dia membungkuk dan memungut bangkai burung yang masih mengeluarkan darah segar dan hangat.

   Dipandanginya leher binatang malang itu.

   Leher yang sudah tidak memiliki kepala lagi.

   "Tunggulah kalian! Akan kubuat kalian seperti ini!"

   Seru Bayu sambil mengangkat bangkai burung tinggi-tinggi.

   Tatapannya sangat sadis dan penuh dendam! Bangkai burung itu kembali melayang tinggi keudara, dilemparkan dengan mengerahkan tenaga dalam penuh.

   Bayu memandanginya sampai bangkai burung malang itu lenyap di balik lebatnya pepohonan.

   Sesaat kemudian kakinya kembali terayun menuju kearah matahari terbenam.

   Pada saat itu sang surya memang sedang meluncur untuk bersembunyi di balik belahan bumi Barat.

   Sinarnya yang merah jingga seperti menyongsong kehadiran seorang pendekar muda yang penuh bara dendam.

   Pendekar Pulau Neraka yang akan menggegerkan rimba persilatan! Silakan Anda tunggu kisah petualangan berikutnya.

   dari Pendekar Pulau Neraka yang sadis ini! SELESAI Pembuat Ebook .

   Scan buku ke djvu .

   Abu Keisel Convert .

   Abu Keisel Editor .

   ABU KEISEL Ebook oleh .

   Dewi KZ
http.//kangzusi.com/
http.//dewikz.byethost22.com/
http.//kangzusi.info/

   
http.//ebook-dewikz.com/

   

   

   

Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP

Cari Blog Ini