Hancurnya Samurai Cabul 1
Pendekar Romantis Hancurnya Samurai Cabul Bagian 1
------------------------------------------------------------------------------SATU ------------------------------------------------------------------------------OMBAK laut bergulung-gulung menuju pantai.
Terlihat sesosok tubuh tua berdiri sendirian di tepi pantai.
Matanya memandang ke arah laut.
Mungkin juga ia sedang terheran-heran melihat air sebanyak itu, sebab biasanya yang dilihat hanya air sebatas di ember.
Tak seorangpun tahu apa sebabnya tokoh tua itu berdiri di pantai sendirian.
Yang jelas ia diam tak bergerak sejak tadi.
Tongkatnya menancap di pasir pantai.
Jubah birunya melambai-lambai bagaikan robekan layar perahu.
Rambutnya yang putih rata seperti jambul kuda itu diikat dengan ikat kepala warna hitam.
Jenggotnya tipis, kira-kira hanya dua puluh empat lembar.
Kumisnya ikut-ikutan tipis, entah berapa banyak tak sempat ada yang menghitungnya.
Tubuhnya kurus, mungkin sering puasa atau memang nggak pernah punya beras, entahlah! Matanya agak kecil, tapi tajam memandang.
Setajam-tajamnya tak setajam ujung bambu runcing.
Kakek jubah biru bertongkat hitam itu hanya menarik napas, karena memang menarik napas mudah dilakukan daripada menarik perahu.
Hatinya sempat berdecak heran.
Rupanya ia melihat bocah kecil berusia delapan tahun bermain selancar di atas gulungan ombak besar.
Papan selancar yang digunakan adalah pelepah daun pisang muda.
Bocah bercelana ungu dan berompi pendek ungu pula itu tampak gembira sekali.
Tubuhnya melayang-layang mengiukti irama ombak sambil berdiri di atas pelepah daun pisang.
Rupanya sang kakek merasa lebih tertarik dengan tontonan itu ketimbang harus nonton atraksi lumba-lumba.
"Bocah gendeng!"
Belum-belum sudah memaki.
"Anak setan mana dia sehingga mampu bermain ombak di atas selembar daun pisang?!"
Bocah berusia delapan tahun dengan rambut lebat agak panjang berteriak kegiangan. Ombak melambungkan dirinya.
"Yihuuuu.....! Hiaaaah.....! Asyiiikkk....!"
Kakek jubah biru hanya geleng-geleng kepala sebentar. Tapi ia masih diam memandang bocah itu dengan segepok kata di dalam hatinya.
"Daun pisang itu tidak robek sedikitpun, tidak tenggelam walau dipakai berdiri. Apakah bocah itu punya ilmu peringan tubuh? Jika benar begitu, alangkah hebatnya dia? Masih kecil sudah bisa berdiri di atas daun pisang, apalagi kalau sudah besar nanti, mungkin bisa berdiri di atas daun jendela!"
Tokoh tua itu manggut-manggut sebagai pernyataan kagumnya.
sebentar kemudian matanya terkesiap agak kaget.
Ombak datang lebih besar dan lebih kencang lagi.
Bocah itu masih berdiri di atas gulungan ombak beralaskan daun pisang.
tapi kini sang ombak melemparkan bocah itu hingga sang bocah melayang terpisah dari daun pisang.
Mungkin sang ombak jengkel sejak tadi diinjak-injak seorang bocah, dianggap sang bocah tak tahu sopan santun.
Maka terbuanglah bocah itu dan jatuh di pantai berpasir putih.
"Waaaaoooow.....!"
Buuuhg....! Tubuh kecil itu terbanting dalam keadaan terlentang. Sang kakek merasa cemas. Hatinya membatin.
"Wah, mati tuh anak! Setidaknya gegar otak! Jatuhnya dari keadaan yang cukup tinggi. terbantingnya keras sekali. Celaka. Dia tidak bergerak-gerak. Aku harus segera menolongnya!"
Kakek bertongkat hitam segera mendekat.
jaraknya cukup jauh dari tempatnya berdiri.
Ia menggunakan gerak bertenaga peringan tubuh, sehingga dalam sekelebatan sang kakek sudah tiba di samping bocah bandel itu.
Ternyata bocah itu dalam keadaan matanya terbuka.
Melotot tak berkedip.
Sang kakek tampak cemas memperhatikannya.
Bocah itu bicara bagai orang kesurupan.
Pelan dan datar.
"Aku terbang.....terbang tinggi....! Apakah aku mimpi? Oh, ya.... aku mimpi. Mimpi bertemu kodok laut. Hiii.... menyeramkan. Besar sekali! Rupanya kodok laut itu punya jenggot dan kumis putih.....?"
Sang kakek menepuk-nepuk pipi bocah itu. Pluk, pluk, pluk.....
"Hei, hei.....sadar. Yang kau lihat ini aku, manusia. Bukan kodok laut!"
Bocah itu sadar dan segera bangkit terluruk. Matanya mempertegas penglihatannya ke arah sang kakek.
"O, iya.....manusia,"
Gumamnya serius sekali. Sang kakek menggerutu.
"Sialan! Aku disangkanya kodok laut. Konyol juga bocah ini?! Kalau tak ingat masih kecil, sudah kutampar dia!"
Bocah itu bergegas bangkit, lalu berlari mendekati perairan laut. Sang kakek segera berseru.
"Hoi, mau ke mana kau?"
"Main ombak luncur lagi!"
Serunya.
Ia tak menoleh sedikitpun.
Seakan cuek saja terhadap sang kakek.
Sementara sang kakek penuh kecemasan melihat bocah itu mendekati pelepah daun pisang yang terdampar di pantai juga.
Ia tak ingin bocah itu main selancar lagi, sebab menurut perhitungannya permainan itu cukup berbahaya untuk bocah seusia anak itu.
maka daun pisang tersebut segera dihantam dengan pukulan jarak jauhnya bersinar merah sebesar lidi.
Claap....! Braass....! Daun pisang itu robek.
Karena robeknya kecil-kecil maka dikatakan daun pisang itu hancur.
Bocah berompi ungu kaget dan kecewa.
Ia memandang ke arah sang kakek yang sedang bergerak mendekati sambil bawa-bawa tongkat seperti seorang penggembala.
Mungkin saja dia memang seorang penggembala ikan di laut.
"Kenapa daun pisangku kau hancurkan, Pak Tua!"
Protes sang bocah dengan cemberut.
"Dasar orang tua sirik!"
Gerutunya tambah bersungut-sungut.
"Apakah kau tak jera dilemparkan ombak sekeras itu?! Kepalamu bisa pecah kalau tadi terbentur karang!"
"Pecah ya beli lagi!"
Jawab sang bocah bersungut-sungut juga.
"Nak, kalau orang mengalami pecah kepala, tidak akan bisa diganti dengan yang baru. Orang itu pasti akan mati, sebab kepalanya pecah."
"Ah, masa'.....?! Coba kau beri contohnya kalau pecah kepala, Aku ingin lihat apakah kau mati atau tidak!"
"Oooo....bocah gendeng!"
Gerutu sang kakek. Dengan suara direndahkan sang kakek bertanya lagi.
"Siapa namamu, Nak?"
"Namamu sendiri siapa, Pak Tua?"
Kakek berambut putih pendek itu tarik napas melihat kebandelan sang bocah. Ia menahan rasa jengkel dengan menatap ke arah lain sebentar. Setelah dirasakan memperoleh kesabaran, iapun kembali memandangi bocah itu.
"Kau bisa memanggilku Ki Panut Palipuh."
"Siapa? Ki Parut Melepuh?"
"Ki Panut Pelipuh! Budek!"
Sentaknya jengkel.
"Ooo... namamu Ki Panut Palipuh Budek? Aneh sekali nama itu?"
"Budeknya nggak dipakai!"
Sentak sang kakek makin kesal hatinya. Sang bocah tertawa cekikikan. Sang kakek cemberut dan buang muka.
"Tapi namamu lebih indah Ki Parut Melepuh kok, Pak Tua. Mudah diingat."
"Terserah kaulah!"
Geramnya sambil cemberut.
"Sebutkan namamu!"
Sentaknya.
"Namaku Pandu,"
Jawab sang bocah.
"Pandu Puber!"
Ki Panut Palipuh menatap ke arah dada sang bocah.
Baru sadar ia bahwa di dada bocah itu ada tato gambar bunga mawar merah dengan tangkai dan daun dua helai warna biru tinta.
Tentunya karena waktu itu belum ada tinta, maka warna biru itu pasti terbuat dari getah singkong racun.
Bagitu menurut perkiraan Ki Panut Palipuh.
Ia membatin kata,"Kecil-kecil sudah bertato.....!"
Gambar bunga mawar itu dulu waktu bayi masih menguncup, sekarang sedikit mekar, namun belum melebar semuanya.
Ki Panut Palipuh tidak tahu kalau bocah itu adalah anak Yuda Lelana dengan Murti Kumala, putri raja jin yang bermukim di Pulau Iblis, (Baca serial Pendekar Romantis dalam episode .
"Geger di Kayangan"
Seru deh!) "Pandu Puber,"
Kata Ki Panut Palipuh.
"Kuperhatikan sejak tadi kau sudah sangat lama bermain. Apakah kau tidak takut dimarahi orangtuamu? Sebaiknya kau lekas pulang, pasti ayah dan ibumu mencarimu, Nak!"
"Kau sendiri kenapa tidak pulang, Ki Parut Melepuh? Kuperhatikan sejak tadi kau memandangiku bermain ombak luncur. Apakah kau tidak takut dimarahi oleh istrimu, Pak Tua?"
"Kecil-kecil pandai ngomong juga kau ini?"
"Habis, Ki Parut Melepuh tua-tua juga masih pintar ngomong sih."
"Wah, wah, wah.....!"
Ki Panut Palipuh geleng-geleng kepala, merasa kewalahan menasehati bocah itu. sang bocah juga geleng-geleng kepala dan ikut berkata.
"Wah, wah, wah....!"
Dari arah barat muncul dua orang menunggang kuda. Mereka menuju ke arah Pandu Puber dan Ki Panut Palipuh. derap suara kaki kuda memancing perhatian mereka berdua. Ki Panut Palipuh terkesiap sesaat.
"Gawat! Mereka akhirnya menemukanku juga di sini!"
Pikir Ki Panut Palipuh. Maka ia segera berkata pada Pandu Puber.
"Cepat pergi! Cari tempat sembunyi yang aman. Cepat......cepat.....!"
Sambil mendorong-dorong Pandu Puber.
"Ngapain pergi?! Aku mau lihat kuda kok! Di tempatku tak ada kuda."
"Tapi.....tapi mereka orang jahat. Mereka mau menyerangku. Nanti kau ikut-ikutan diserangnya! Lekas pergi sana."
"Nggak mau!"
Bocah itu ngotot.
"Aku mau lihat kuda!"
Di puncak Gunung Isamaya si bocah tinggal bersama kedua orang tuanya.
Tentu saja di sana tidak ada kuda.
Seekor kuda malas mendaki sampai ke puncak gunung yang tinggi itu.
Risiko patah tulang dan masuk jurang membuat para kuda enggan bercita-cita ingin ke puncak gunung itu.
Makanya bocah bandel itu kegirangan melihat kuda datang.
Seumur hidupnya baru tiga kali itu ia melihat binatang yang bernama kuda.
Ki Panut Palipuh segera tinggalkan bocah itu, menyongsong kehadiran dua orang berpakaian serba hitam.
Pikirnya, seandainya terjadi apa-apa biar jauh dari sang bocah, jadi sang bocah luput dari salah sasaran.
Tapi ternyata Pandu Puber justru mengikuti Ki Panut Palipuh dengan rasa ingin tahu tentang kuda.
Ki Panut Palipuh tak sempat mengusir, karena jaraknya dengan dua penunggang kuda itu sudah cukup dekat.
Konsentrasi Ki Panut Palipuh lebih dititik beratkan kepada mereka berdua.
"Akhirnya kita bertemu juga, Ki Panut Palipuh!"
Ujar salah seorang penunggang kuda yang berambut abu-abu panjang sebatas punggung.
Rambutnya itu diikat dengan tali putih, dikuncir ke balakang.
Wajah orang itu cukup angker, karena punya alis naik, kumis melengkung ke bawah, jengot gersang alias tak ada.
Wajahnya lonjong seperti timun suri.
Matanya kecil berkesan bengis.
Senjatanya golok di pinggang kiri.
"Rupanya kau masih penasaran padaku, Jabang Demit!"
Orang yang di sampingnya menyahut.
"Sebelum kepalamu terpenggal kami tetap memburumu, Panut Palipuh!"
Orang yang bicara agak kasar itu berpakaian htiam-hitam juga.
Usianya agak muda dari Jabang Demit.
Tanpa kumis, tanpa jenggot, tanpa alis, sehingga wajahnya seram tapi lucu.
Rambutnya pendek berwarna hitam, jidatnya lebar sehingga seperti batok depan.
Matanya bulat sehingga seperti kacang atom raksasa.
Tubuhnya lebih gemuk dari Jabang Demit.
Ia bersenjata kapak lebar bergagang panjang.
Kapak itu putih berkilauan terkena pantulan sinar matahari.
Tentu saja tajamnya bukan hanya bisa untuk mencukur jengot tapi juga bisa untuk mencukur kepala manusia.
Ujung kapak itu runcing seperti mata tombak.
orang itu berjuluk si Mayat Melambai, karena wajahnya lebar tanpa kumis, jenggot dan alis itu mirip wajah mayat.
"Mayat Melambai, kau mendesakku untuk menghabisi nyawamu! Jangan salahkan tongkatku kalau sampai membuat kepalamu remuk seketika!"
Wuuut...! Wuuut...! Jleg, jleg...! Kedua orang itu melompat turun dari punggung kuda.
Jabang Demit yang beusia sekitar enam puluh tahun dan berbadan lebih kurus dari Mayat Melambai itu mendekati Ki Panut Palipuh, berhenti dalam jarak lima langkah.
Tangannya mulai memegang gagang goloknya, tapi belum mencabut sang golok.
"Panut Palipuh, sekali lagi kuingatkan, lebih baik kau menyerah dan kuserahkan kepada sang Adipati, daripada kepalamu saja yang kuserahkan!"
"Kali ini kami tidak main-main, Panut Palipuh!"
Timpal si Mayat Melambai.
Ki Panut Palipuh hanya sunggingkan senyum sinis.
Matanya sempat melirik ke arah Pandu Puber.
Bocah itu mendekati kuda dan mengamati-amati dengan tersenyum-senyum girang.
Sejenak kemudian ia berlari menemui si Mayat Melambai dan mengguncang-guncang lengan orang itu sambil berkata.
"Paman, Paman.... kudamu itu jantan apa betina?"
"Diam kau!"
Bentak si Mayat Melambai.
"Yaaa.... gitu aja marah,"
Ujar Pandu Puber.
"Akukan cuma ingin tahu, kudamu jantan atau betina. Sebab sejak tadi melirikku terus!"
Plakk.....! Mayat Melambai mengibaskan tangannya, menampar wajah Pandu Puber. Tamparan itu kena di wajah dan membuat Pandu Puber terpental jatuh. Tapi bocah itu tidak mengaduh atau meringis kesakitan. Ia hanya menggigit bibir dan segera berdiri lagi.
"Apakah itu cucumu, Panut Palipuh?!"
Hardik Mayat Melambai.
"Bukan!"
Jawab Ki Panut Palipuh tegas.
"Jangan libatkan anak itu!"
Jabang Demit menyeringai kegirangan bagaikan men-dapat ide baru. Ia berkata kepada Mayat Melambai.
"Tangkap bocah itu, biar si tua peot mau dipenggal atau diserahkan kepada sang Adipati!"
Mayat Melambai ragu dan mendesah.
"Ah, dia cuma anak-anak!"
"Hei, biar dia anak-anak tapi bisa buat pemancing kelemahan si Panut Palipuh! Kau mau hadiah besar nggak sih?!"
"Kuingatkan sekali lagi, jangna libatkan anak itu!"
Sentak Ki Panut Palipuh.
Tetapi rupanya Mayat Melambai segera tertarik dengan ide barunya Jabang Demit.
maka ia segera bergerak menyambar Pandu Puber.
Wuuuttt...! Pandu Puber lari ke arah Ki Panut Palipuh.
saat itu tangan kiri lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar.
Wuuukk...! Beehg! "Uuhg...!"
Mayat Melambai tersentak mundur dengan badan melengkung dan wajah menahan sakit. Kalau tidak ditangkap Jabang Demit ia sudah jatuh terkapar. Ki Panut Palipuh mendorong kepala Pandu Puber dengan sentakkan kegemasan.
"Kubilang lari kok malah mendekati mereka! Goblok! Uuuh...!"
Bocah yang disodok kepalanya dengan telunjuk itu tersentak hampir jatuh. tapi bocah itu hanya menyingkir pelan-pelan sambil bersungut-sungut dan melirik dongkol.
"Keparat betul kau, Panut Palipuh! Hiaaah...!"
Mayat Melambai menyerang dengan kapaknya.
Satu lompatan mengarah kepada kakek berjubah bitu itu.
Kapaknya berkrelebat menebas kepala sang kakek.
Wuungg...! Traakk....! Kapak itu terhenti sebelum melintasi kepala karena dihadang oleh tongkat hitam.
Tongkat berujung cabang itu menahan gerakan kapak yang ditekan dengan disaluri tenaga dalam.
Ternyata tongkat itupun beraliran tenaga dalam tinggi.
Mereka saling kerahkan tenaga dalam hingga tubuh mereka bergetar dan pertemuan tongkat dengan kapak itu mengepulkan asap putih samar-samar.
Pada waktu itu, Jabang Demit segera berkelebat menangkap Pandu Puber.
Bocah itu menjerit.
"Nggak mau.....! Nggak mau...! Jijik...!"
Wuuut...! Jabang Demit berhasil menyambar tubuh bocah kecil itu, langsung diraih dalam gendongannya. Pandu Puber meronta-ronta sambil berteriak.
"Jijik...! Jijik...! Nggak mau...!"
Tangannya bergerak-gerak menghantam wajah Jabang Demit beberapa kali. Plak, plok, plak, plok, plak, plok....! "Lepaskan! Lepaskan aku! Geli....geli....!"
Teriaknya meronta-ronta. Jabang Demit segera melepaskan dengan cara mem-buang bocah itu. Weerrr...! Pandu Puber jatuh terduduk di pasir. Buuuhg....! Sedangkan Jabang Demit langsung duduk di gundukan batu setinggi pantatnya.
"Hiaaah...!"
Mayat Melambai menyentakkan kakinya untuk menendang pinggang Ki Panut Palipuh.
Tapi kaki Ki Panut Palipuh menyongsongnya sehingga mereka beradu tendangan berkekuatan tenaga dalam tinggi.
Duaarr...! Mereka terpental karena telapak kaki mereka yang beradu itu memrcikkan nyala sinar merah dan menimbulkan gelombang hentakan cukup kuat.
Mayat Melambai jatuh terduduk dan segera bangkit lagi, sedangkan Ki Panut Palipuh hanya terhuyung-huyung ke belakang, lalu tegak kembali denan tongkatnya.
"Jabang Demit...?!"
Mayat Melambai terkejut, matanya melebar hampir lompat keluar seperti kelereng mau lepas daru mulut bocah.
"Jabang Demit?! Kenapa kau?! Hei...? Kenapa bisa jadi begini?!"
Ki Panut Palipuh ikut-ikutan terbengong seperti kerbau ompong.
Rasa heran tubuh dengan subur di hati kakek berjubah biru itu.
Bagaimana tak heran jika melihat wajah lonjong seperti timun suri itu tiba-tiba berubah bengkak seperti labu siam? Jabang Demit tak bisa bicara karena menahan sakit.
Tulang pipinya bengkak dan membiru, seprti habis dihantam dengan palu besi.
Jidatnya juga membengkak besar sebelah kanan.
Biru matang, bahkan tampak empuk seperti mangga golek mau busuk.
Mulutnya juga bengkak membiru, bibirnya melepuh besar.
bahkan bibir bawahnya pecah.
Giginya ada yang rontok dua, sehingga saat menyeringai ia tampak ompong.
Pelipis kanannya seperti habis dibenturkan ke pilar beton beberapa kali.
Bukan hanya bengkak namun juga lecet-lecet.
Matanya yang kecil menjadi lebih kecil lagi karena tulang matanya ikut membengkak besar.
Praktis wajah Jabang Demit menjadi dua kali lebih besar dari bentuk aslinya.
Pembengkakan itu terjadi tidak merata, sehingga wajah itu berkesan pletat-pletot.
"Jabang Demit, katakan apa sebabnya wajahmu jadi bonyok dan simpang siur begini, hah?! Siapa yang me-lakukannya?! Siapa?!"
Jabang Demit tak bisa bicara karena kebesaran bibir.Tapi tangannya menuding ke arah Pandu Puber yang berdiri di samping gugusan batu karang dengan menundukkan kepala, antara takut dan benci.
"Bocah cilik itu?! Hanya bocah sekecil itu kau bisa dibuatnya seperti ubi raksasa begini?! Ah, yang benar aja, Bang....!"
Ujar Mayat Melambai tak percaya.
Ia tak melihat kala Jabang Demit menggendong Pandu Puber dan anak itu meronta sambil memukul-mukul wajah Jabang Demit.
Rupanya pukulan itu punya kekuatan hebat tersendiri yang mampu membuat wajah Jabang Demit menjadi seperti kentang rebus.
Ki Panut Palipuh sendiri tak percaya kalau Jabang Demit rusak parah gara-gara bocah sekecil Pandu Puber.
Ki Panut Palipuh hanya pandangi bocah itu, dan sengaja membiarkan Mayat Melambai menghampiri si bocah.
"Benar kau yang mengacak-acak wajah temanku itu, hah?!"
Bentak Mayat Melambai kepada Pandu. Karena bocah itu diam saja dan menunduk, Mayat Melambai terpaksa jongkok di depan Pandu Puber.
"Hei, dengar! Jawab pertanyaanku! Benar kau yang membuat wajah temanku jadi bonyok begitu, hah?!"
"Benar!"
Jawabnya menyentak dengan wajah tampak memendam kebencian.
"Anak setan kau, ya! Hihh....!"
Wuutt...! Tangan Mayat Melambai berkelebat me-nampar wajah Pandu Puber.
Ploook...! Wajah cilik itu telak sekali terkena tamparan.
Tapi tubuh sang bocah hanya guncang ke kiri, lalu tagak lagi.
Bocah itu tidak menangis, tapi malahan memandang dengan berani.
Ki Panut Palipuh sengaja membiarkan karena menjadi semakin kagum melihat keberanian bocah itu.
"Kenapa kau rusak wajah temanku itu, hah?! kenapa?!"
Bentak Mayat Melambai.
Wajahnya yang tepat ada di depan Pandu Puber itu segera ditabok dengan seenaknya.
Plook...! Lalu bocah itu lari ke tempat lain dengan ketakutan.
Ia bersembunyi di balik gundukan batu lainnya.
Mayat Melambai diam mematung begitu terkena tabokan tangan si bocah.
Tubuhnya gemetar karena menahan rasa sakit.
Ki Panut Palipuh terbelalak.
Rupanya tabokan tangan bocah itu membekas hitam di wajah lebar Mayat Melambai.
Dari mulut sampai batang hidung dan matak kanan kiri tampak hitam hangus.
bahkan kini semakin berasap.
Kulit wajah yang hangus bergerak-gerak melepuh.
Barulah rasa sakit itu tak bisa ditahan, sehingga Mayat Melambai berteriak kesakitan sambil berusaha pegangi wajahnya.
"Aaaoowww...! Panasss...! Panasss...!"
Ia berlari ke tepi pantai dan menghamburkan diri, menceburkan wajah ke permukaan air laut. Jooosss...! "Uuuaaowww...!"
Ia menjerit semakin keras karena rasa perih tidak tertahankan lagi.
Luka bakar terkena air garam, ya tentu saja perihnya setinggi langit.
Dasar goblok! Akibatnya wajah itu kian memborok dan menjijikkan.
Mayat Melambai kebingungan, salah tingkah sendiri, tak tahu harus mengatasi rasa sakit dengan apa.
"Uuuh...! Uuuh...! Aauuhh...! Jabang Demit, cepat pergi dari sini! Ada anak setan! Cepat pergi....! Aaauuh...!"
Jabang Demit tak bisa bilang apa-apa, ternyata kepalanya makin membengkak.
Lebih besar lagi dari tadi.
Bahkan jalannya meraba-raba karena matanya tertutup tulang dan kulit kelopak yang membengkak.
Dua ekor kuda berlari meninggalkan pantai.
Ki Panut Palipuh diam terpaku memandangi kepergian orang-orang yang mengincar kepalanya itu.
Kakek tua tersebut masih terheran-heran dan nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Maka, sesaat kemudian ia mendekati Pandu Puber yang sudah muncul dari tempat persembunyiannya di balik sebongkah batu besar.
Pandu Puber masih cemberut, seakan takut disalahkan oleh Ki Panut Palipuh.
"Bagaimana mungkin kau bisa membuat mereka lari terbirit-birit? Mereka orang-orang bayaran sang Adipati yang ilmunya tidak rendah. Mereka kebal dengan pukulan bertenaga dalam. Kalau toh luka tidak sampai begitu. Tapi kau.....? Kau hanya sekali tabok saja bisa bikin wajah si Mayat Melambai menjadi memborok bagitu? Siapa kau sebenarnya, Nak!"
Pandu Puber diam menunduk, mulutnya runcing karena cemberut.
Sikapnya seakan mewakili batinnya yang tak mau disalahkan.
Ki Panut Palipuh segera meraih kedua tangan Pandu Puber.
Telapak tangan itu diperiksanya.
Ki Panut Palipuh terbelalak.
Ternyata telapak tangan bocah itu tidak mempunyai garis sedikitpun, kecuali hanya pada bagian ruas-ruas jari saja.
Telapak tangan itu mulus tanpa lipatan apapun, seperti permukaan paha perawan.
Putih dan lembut.
Selembut kulit bayi.
Telapak tangan Ki Panut Palipuh juga lembut seperti kulit bayi, tapi bayi gorila.
"Tangannya tak bergaris?! Kehebatan inikah yang membuat wajah Mayat Melambai sekali tabok langsung bonyok?!"
Pikir Ki Panut Palipuh. Tiba-tiba dari arah hutan pantai terdengar suara seruan memanggil.
"Guru.....! Guru....!"
Ki Panut Palipuh berpaling, Pandu Puber segera angkat wajah dan memandang ke arah orang yang berseru. Ternyata seorang gadis berpakaian kuning dengan ikat pinggang merah, rambutnya dikepang dua. Cantik dan mungil. Usianya sekitar dua puluh tahun.
"Mirah Duri....? Ada apa kau kemari?!"
Ki Panut Palipuh agak tegang karena gadis itu berlari-lari dengan wajah tegang.
"Guru, orang-orang Rampok Tulang menyerang ke perguruan! Mereka mencari guru. Katanya mereka akan penggal kepala Guru untuk mendapatkan hadiah dari sang Adipati Sihombreng!"
"Bagaimana dengan yang lain?"
"Yang lain lari entah pada ke mana, tak mau pada kasih alamat, Guru! Yang jelas, perguruan kita sudah diobrak-abrik oleh orang-orang Rampok Tulang!"
Pandu Puber yang tertarik dengan kehadiran gadis cantik itu ikut bertanya.
"Yang dirampok tulangnya siapa, Yu?"
"Tulangnya mbahmu!"
Sentak Mirah Duri.
"Kok mbahku dibawa-bawa...."
Gumam Pandu tak berani bertanya lagi.
"Guru, aduuh.... Bagaimana sih? Mereka mengamuk dengan brutal! Mereka mencari Guru. Mereka memperkirakan Guru ada di pantai. Aku takut kalau mereka datang ke mari dan bertemu dengan Guru....!"
Mirah Duri menghentak-hentakkan kaki menandakan kemanjaannya terhadap sang Guru.
"Aku memang sedang diburu oleh sang Adipati. Dia sangat benci padaku dan menyimpan dendam kesumat tak ada habisnya."
"Kenapa bisa begitu sih?"
Cemas Mirah Duri.
"Aku membunuh ayahnya dalam suatu pertarungan antar perguruan. Sihombreng waktu itu masih kecil, dan belum tahu bahwa pertarungan itu semata-mata menjaga citra dan martabat perguruan. Setelah dia berhasil menjabat sebagai adipati, dendamnya itu tercurahkan kepadaku. Diperintahkanlah beberapa pembunuh bayaran untuk menangkapku atau memengaal kepalaku. Barang siapa bisa membawa pulang kepalaku akan mendapat hadiah sejumlah emas permata dan uang yang tidak sedikit jumlahnya."
"Kalau begitu, Guru harus sembunyi! Jangan kembali ke perguruan karena pasti akan banyak orang mencari Guru untuk memenggal kepala Guru!"
"Aku harus menghadapi kenyataan ini, Mirah Duri!"
"Tidak. Tidak! Guru tidak boleh ke sana. Guru harus sembunyi! Tentunya yang mencari Guru bukan orang berilmu rendah saja. Guru harus bersembunyi!"
"Sembunyi ke mana?!"
Pandu Puber menyahut.
"Ke rumahku saja, Ki!"
"Memangnya kau punya rumah?"
Ejek Mirah Duri.
"Punya dong! Apa dikiranya aku anak celeng, kok nggak punya rumah?!"
"Rumahmu di mana?"
"Di puncak gunung!"
Jawab Pandu Puber dengan nada bangga.
"Gunung apa? Di sini banyak gunung!"
Pandu Puber melengos.
"Yang jelas bukan gunungmu. Itu gunung ayahku!"
"Memangnya ayahmu punya gunung!"
"Punya! Sebelum aku lahir, Ayah sudah membeli gunung dua."
"Bohong!"
Sentak Mirah Duri yang masih kekanan-kanakan.
"Nggak percaya ya sudah. Tanyakan saja pada ibuku."
Pandu bersungut-sungut. Ki Panut Palipuh bertanya.
"Pandu Puber, di puncak gunung apa kau tinggal bersama kedua orangtuamu itu?"
"Di Gunung Ismaya!"
"Hahh...?!"
Ki Panut Palipuh terkejut, matanya memandang murid perempuannya yang manja dan centil itu. Mirah Duri juga terperanjat mendengar jawaban Pandu Puber. Tapi ia segera tak percaya.
"Jangan hiraukan jawaban bocah gendeng itu, Guru! Kusarankan Guru minta perlindungan kepada Nyai Kandagi Suri, bekas istri Guru dulu itu!"
"Gengsi, ah..."
Gumam Ki Panut Palipuh.
"Demi keselamatan Guru, lupakan dulu soal gengsi! Kalau Guru nekat hadapi mereka, ya kalau Guru menang, kalau ternyata Guru kalah dan mati, bagaimana?"
"Kamu kok malah nyumpahin aku mati?"
"Maksudku kalau Guru kalah, lalu tewas, maka Guru tak bisa mewariskan seluruh ilmu kepada para murid. Lalu siapa nanti yang akan meneruskan dan mengembangkan aliran silat "Cakar Mega" ?"
Ki Panut Palipuh diam termenung. Hatinya membatin.
"Benar juga.... Kalau aku mati, aliran "Cakar Mega"
Tak ada yang meneruskan.
Tapi, haruskan aku bersembunyi di balik jubah bekas istriku Kandagi Suri itu? Gengsi nggak ya?" *** ------------------------------------------------------------------------------DUA ------------------------------------------------------------------------------OCAH bertato dihajar ibunya.
Pantatnya dipukul berkali-kali.
Plak, plok, plak, plok.....! Masih kurang B puas sang Ibu mengambil sandal, plok! "Ampun, Ibu! Ampun.....!"
"Kapok nggak kau, hah? Kapok nggak?! Kalau main nggak ingat waktu, nggak ingat pulang!"
Plook...! "Ampun, Bu. Aku kapok, Bu!"
Plaak...! "Main ke mana saja kau, hah? Dua minggu baru pulang?! Bocah apaan kau ini?! Bandel amat sih? Berapa kali Ibu harus menghajarmu supaya kalau main ingat pulang?!"
Tangan sang Ibu meraih telinga dan dipelintirnya telinga itu. Cuiit! Sang bocah meringis kesakitan berjinjit-jinjit.
"Ke mana saja kau, hah? Ke mana saja?!"
"Ber....ber....berkelana, Bu!"
Plaak....! Punggungnya ditabok sang Ibu.
"Mau jadi apa kau ini, hah? Kecil-kecil sudah berlagak berkelana?! Mau jadi apa kau, hah?!"
"Ja....jadi.... jadi pendekar, Bu!"
Plaak...! Punggung ditabok lagi.
"Pendekar itu tidak bandel! Pendekar itu menurut dengan nasihat orang tua! Ampun nggak kau! Ampun nggak?!"
"Ampun, Bu! Ampun sekali!"
Kata sang bocah dengan perasaan takut.
Telingapun dilepas kembali.
Sang bocah menundukkan kepala dengan cemberut.
Rasa hormat dan takut kepada sang Ibu tetap ada.
Ia tak membantah ketika sang Ibu ngomel panjang-lebar.
Sang Ayah, Yuda Lelana, muncul dari depan rumah samping.
Tangannya dikebelakangkan.
Tampil dengan tenang dan kalem walau rambutnya sudah putih beruban rata karena termakan proses ketuaan yang cepat itu.
Saat itu sang Ibu mengomel dari sumur, sang anak ada di depan pintu samping.
"Anak kok bandelnya kayak bapaknya! Kalau main nggak ingat pulang! Kalau sampai ketukar ayam bagaimana kau, hah? Kalau ada apa-apa siapa yang rugi? Ibu membesarkan kamu bukan untuk menjadi anak yang bandel, tapi supaya kamu menjadi anak yang patuh kepada orang tua! Dasar anak dewa, kalau ngelayap lupa pulang!"
Dan sebaris omelan lagi yang sulit dimengerti orang lain. Sang Ayah dekati Pandu dan tersenyum, geleng-geleng kepala. Anak itu melirik ayahnya, cemberut. Sang Ayah malah geli, tertawa tanpa suara.
"Makanya, lain kali kalau pergi bermain jangan sampai seminggu baru pulang. Kalau bisa setahun baru pulang!"
"Uuuh...! Ayah!"
Anak itu bersungut-sungut.
"Nggak apa-apa. Dipukul Ibu anggap saja latihan kekebalan tubuh! Nah, sekarang bikin hati ibumu reda amarahnya!"
"Takut, ah!"
"Ibumu suka kalau mendengar kau menyanyi. Ayo menyanyilah, biar ibumu terhibur dan tidak marah lagi."
Pandu Puber akhirnya pergi ke sumur, ia naik di atas batu penggilasan tempat mencuci pakaian. Di sana ia bernyanyi dengan suara lantang dan melenggak-lenggok. Lagunya mirip lagu "Aku Anak Sehat".
"Aku anak dewa, tubuhku segar. Karena ibuku rajin menghajar. Sewaktu aku pulang, Ibu langsung mengemplang. Tanpa perut kenyang, tapi penuh kasih sayang. Bentuk badanku selalu dipandang, teringat masa ditimang-timang. Bila aku tak pulang, tangan Ibu melayang. Tujuh kali di pipi, lima kali di pantat....!"
Sang Ibu tersenyum. Bangkit dan hampiri Pandu. Suara anak itu ingin mengulangi lagu tadi.
"Aku anak dewa, tubuhku....."
"Cukup!"
Bentak sang Ibu.
Suara itupun putus seketika.
Wajah ceria surut karena takut.
Suara tawa mengikik terdengar di belakang Murti Kumala.
Ternyata sang Ayah yang merasa geli melihat perubahan wajah Pandu dalam seketika, hanya satu kali mendengar bentakkan sang ibu, wajah itu langsung berubah seperti kembang kol.
"Dengar, Pandu....! Kalau kau masih bandel lagi, Ibu akan jewer kupingmu sampai putus! Ngerti?!"
"Ngerti, Bu...."
Jawab Pandu pelan.
Wuuusss...! Seketika itu angin berhembus terasa aneh.
Yuda Lelana dan Murti Kumala segera tanggap dengan hembusan angin aneh itu.
Aroma rempah-rempah mengabar bercampur bau kemenyan.
Mereka berdua segera bergegas ke depan rumah batunya.
Ternyata dugaan mereka benar, ada tamu yang datang.
Tamu itu tak asing lagi bagi mereka.
Tubuhnya tinggi, besar, hitam, berwajah angker, namun cukup akrab dan dekat dengan mereka.
Sang Ibu langsung berseru.
"Panduuu...! Kemarilah, tuh kakekmu datang!"
Pandu Puber girang dan berlari ke depan sambil berseru.
"Kakeeekk...!"
"Hoi, ho, ho, ho, ho...!"
Raja Kala Bopak, raja jin yang menjadi ayah Murti Kumala, tertawa terhoho-hoho menyambut larinya sang cucu tersayang.
Kedua tangannya direntangkan, dan sang cucu segera melompat.
Wuuutt...! Langsung menclok di dada besar raja jin itu.
Plook...! "Hoh, hoh, hoh, hoh...
sedang apa kau cucuku sayang, hah?"
"Sedang ditimang-timang Ibu, Kek!"
"Bagus. Ibumu memang penuh kasih sayang dalam mendidikmu. Dulu kakek juga sering menimang-nimang ibumu sewaktu ibumu seusia kau!"
"Tapi, Kek.... Kenapa sih kakek betah pakai topeng. Copot dong!"
"Ho, ho, ho, ho....! Ini bukan topeng, Nak. Ini wajah kakek yang asli. Yang memang begini wajah dari sononya. Jangan heran lagi!"
"Amit-amit.....? Apa nggak ada yang lebih jelek lagi, Kek?"
"Hoh, hoh, hoh, hoh... untung kau cucuku, kalau bukan kupelintir kepalamu, Nak!"
Raja jin itu walau wajahnya buruk dan menyeramkan, tapi sangat sayang kepada cucunya.
Pandu Puber bagai buah hati yang amat dibanggakan oleh si Raja Kala Bopak.
Kadang-kadang bocah itu dicolong, dibawa terbang ke Pulau Iblis dan diajak bermain di sana.
Sikap Raja Kala Bopak yang dulu muak sama Yuda Lelana karena merasa pernah dikalahkan, kini menjadi baik setelah Murti Kumala melahirkan bayi lelaki itu.
Entah mengapa sampai bayi itu sekrang berusia delapan tahu, Murti Kumala belum hamil lagi.
Mungkin memang jatahnya hanya dikaruniai satu orang anak saja.
Yang jelas, Pandu Puber menjadi buah hati bagi Ayah, Ibu, dan kakeknya.
Sang kakek sering berkunjung ke puncak Gunung Ismaya hanya sekedar kangen kepada cucunya.
Kadang jika ia datang oleh-olehnya satu-dua jurus yang segera diajarkan kepada bocah itu.
"Asal datang oleh-olehnya jurus! Sekali-sekali kek datang dengan oleh-oleh jeruk, atau rambutan, mangga atau yang lainnya. Jangan juruuus.... Terus! Mau kau jadikan apa anakku nanti, Ayah?"
Kata Murti Kumala.
"Jeruk atau makanan lainnya, dalam sekejap bisa habis. Tapi ilmu, sampai masuk ke liang kuburpun tak akan hilang! Bekal yang baik untuk anak adalah ilmu,"
Kata Kala Bopak yang bersuara gema.
"Ilmu tidak akan habis di-makan rayap. Semakin tua malah semakin hebat. Dan aku ingin anak ini menjadi anak yang hebat!"
"Ah, nanti kerjanya berantem melulu! Pusing aku ngurusin anak yang suka berantem terus!"
"Berantem demi membela kebenaran kan nggak apa-apa,"
Sahut Yuda Lelana, bersifat mendukung gagasan mertuanya.
"Kau sendiri sering mengajarkan jurus "Tembang Keramat"
Apa nggak punya tujuan untuk berantem?"
"Lho, itukan sekadar untuk membela diri saja!"
Debat Murti Kumala. Jurus "Tembang Keramat"
Sering diajarkan oleh Murti Kumala kepada Pandu. Jurus itu dulu diperoleh dari ibunya, yang juga seroang pendekar wanita tapi sudah meninggal ketika Murti Kumala berusia tujuh belas tahun. Jurus "Tembang Keramat"
Dikembangkan oleh Kala Bopak sehingga menjadi banyak jenisnya.
Pada dasarnya, Murti Kumala cukup bangga mem-punyai anak pemberani seperti Pandu Puber.
Tapi ia tak ingin Pandu Puber menjadi hanyut dengan kehebatannya dan menyepelekan orang tua.
Karenanya Murti Kumala selalu bersikap seolah-olah tak suka jika Pandu Puber nakal dan konyol.
Padahal Murti Kumala tak pernah cemas bila anaknya pergi ke manapun, karena ia tahu seluruh ilmu suaminya yang aslinya adalah dewa itu telah menitis masuk ke dalam raga anaknya.
Tetapi sikap mendidik ibu tetap diterapkan oleh Murti Kumala, supaya sang anak tidak menjadi anak salah asuhan.
Itulah sebabnya, walaupun Pandu Puber punya kekuatan tersendiri dalam tubuhnya, tapi ia tetap takut dan hormat kepada orang tua.
Anak itu sangat sayang kepada ayah dan ibunya.
Sebenarnya ia bisa saja melawan pukulan ibunya pada saat dihajar seperti tadi.
Tapi ia tidak mau, dan bocah itu bisa merasakan bahwa dirinya memang patut dihajar, layak dimarahi dan tak perlu membalas dengan gerakan apapun.
Sekalipun ilmu Yuda Lelana menitis kepada Pandu Puber, jurus "Tembang Keramat"
Diajarkan oleh Murti Kumala kepada anaknya, jurus-jurus maut lainnya sering diberikan Kala Bopak sebagai oleh-oleh buat sang cucu, tapi mereka bertiga merasa bukan sebagai guru Pandu Puber. Malahan sang Ayah pernah berkata.
"Kelak, kalau kau sudah dewasa, carilah seorang guru yang dapat mengajarkan padamu bagaimana menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini. Seorang guru itu perlu kau miliki, karena dialah yang akan menjadi tempatmu bertanya ini-itu. Karenanya kau harus mencari guru yang benar-benar serba tahu, yang ilmunya lebih tinggi darimu."
"Mengapa bukan Ayah saja yang menjadi tempatku bertanya?"
"Ayah akan kembali ke kayangan bersama-sama ibumu jika waktunya telah tiba. Tapi kaupun kelak akan menyusul kami pula di kayangan kalau kau bisa memenuhi syarat-syaratnya!"
Pikiran bocah yang polos itu akhirnya dilontarkan kepada sang kakek ketika hari itu sang kakek datang.
"Kek, benarkah Ayah dan Ibu akan pergi ke kayangan?"
"Benar. Karena ayahmu tu sebenarnya seroang dewa yang bernama Batara Kama. Dulu ayahmu diusir dari kayangan, karena melakukan kesalahan. Dulu kakek juga nggak tahu kalau ayahku itu dewa. Kakek pikir tukang jual kangkung! Eh, bagitu tarung sama kakek, ternyata kakek kalah. Pantesan kakek kalah, wong dia itu dewa kok dilawan!"
"Hi, hi, hi...!"
Anak itu tertawa bangga.
"Tapi kakekkan raja jin? Masa' kalah sama dewa sih?"
"Raja jin kalau raja jin sesat ya tetap kalah dengan dewa. Tapi sejak ayahmu kawin dengan ibumu, kakek sudah nggak mau jadi jin sesat lagi. Kakek takut kalau dihajar oleh ayahmu."
"Kek, kalau Ayah dan Ibu naik ke kayangan, lalu aku sama siapa?"
"Jangan takut. Kakek akan mendampingimu sampai kapanpun. Kakek akan merubah diri menjadi sebuah pusaka yang bernama "Pedang Siluman"
Dan tempatnya ada di dalam tubuhmu. Kau bisa pergunakan kekuatan kakek kalau kau dalam bahaya yang mendesak."
"Jadi sekarang kakek ke sini karena mau berubah jadi pedang?"
"Hoh, hoh, hoh, hoh....! Nggak sekarang, Nak. Itu nanti kalau kau sudah dewasa. Sekarang kakek ada urusan dengan ayahmu. Kau bermainlah dulu dengan Ibu, ya? Awas, jangan nakal sama Ibu. Dia anakku lho!"
Urusan penting itu memang segera dibicarakan kepada Yuda Lelana.
Tapi tak jauh dari mereka ada Murti Kumala yang sedang menyiapkan makan siang untuk mereka bersama.
Pandu Puber membantu menyiapkan makan siang.
Murti Kumala mendengar percakapan ayahnya dengan suaminya.
"Ada sedikit madalah yang ingin kutanyakan kepada-mu, Yuda Lelana."
"Soal apa itu, Mertua?"
"Masalahnya begini,"
Kata Kala Bopak yang tetap berdiri karena tak ada tempat duduk yang muat untuk tubuhnya yang besar itu.
"Sahabatku seorang manusia, sedang diburu oleh orang banyak. Seorang adipati yang bernama Adipati Sihombreng membuka sayembara, barang siapa bisa menangkap hidup-hidup atau memenggal kepala Ki Panut Palipuh, ia akan diberi hadiah sekotak perhiasan dan sejumlah uang."
"Atas dasar apa sang Adipati ingin memenggal kepala Ki Panut Palipuh?"
"Dendam turunan. Ayahnya dibunuh oleh Panut Palipuh dalam suatu pertarungan membela perguruan. Jadi, masalahnya adalah masalah antar perguruan. Tidak antar pribadi. Tapi masalah itu diangkat menjadi masalah pribadi oleh Adipati Sihombreng, sehingga ia belum merasa puas dan tenang hidupnya jika belum bisa memenggal kepala Panut Palipuh. Hadiah besar yang dijanjikan itu membuat para tokoh sakti yang haus harta segera tampil memburu Panut Palipuh. Lalu, ia datang ke Pulau Iblis dan meminta bantuanku. Untuk sementara ini aku hanya memberikan suaka padanya. Ia kubiarkan tinggal di Pulau Iblis. Siapa pun yang masuk ke Pulau Iblis dengan alasan mau memenggal kepala Panut Palipuh, tetap akan kutuduh melanggar wilayah kekuasaanku. Aku bisa bertindak."
"Itu baik, Pak Mertua."
"Tapi Panut Palipuh minta bantuanku untuk membunuh sang Adipati! Aku bingung memberi jawaban pasti kepadanya. Menurutmu aku harus bagaimana?"
"Jangan menyerang ke kadipaten, Pak Mertua!"
Kata Yuda Lelana dengan tegas.
"Pancing saja supaya orang kadipaten atau siapapun datang ke Pulau Iblis. Dengan begitu Pak Mertua bisa bertindak apa saja terhadap orang yang melanggar batas wilayah kekuasaan Pak Mertua. Kalau perlu pancing si Adipati itu supaya datang ke Pulau Iblis dengan sendirinya. Pak Mertua bisa sadarkan dia, kalau tak mau disadarkan ya apa boleh buat, terserah mau diapakan itu tergantung kemauan Pak Mertua."
"Tapi masalahnya sekarang adalah, murid Panut Palipuh yang bernama Mirah Duri ditawan oleh pihak kadipaten, dijadikan sandera untuk memancing kehadiran Panut Palipuh. Gadis itu akan dilepaskan kalau Panut Palipuh menyerahkan diri. Pada dasarnya Panut Palipuh mau pasrah demi keselamatan muridnya itu. Tapi aku melarang, sebab kulihat sifat Adipati Sihombreng itu licik. Panut Palipuh bisa ditangkap dan dibunuh, tapi Mirah Duri belum tentu segera dibebaskan. Bisa-bisa dijadikan bulan-bulanan oleh pihak kadipaten. Yuda Lelana diam berpikir. Rupanya Pandu Puber mendengar percakapan itu, dan segera mendekati sang Ayah, lalu berkata.
"Ayah, aku minta izin untuk bebaskan Yu Mirah Duri!"
"Husy! Kamu ini apa-apaan sih, kok ikut campur urusan orang tua saja!"
Hardik ibunya.
"Soalnya aku kenal dengan Yu Mirah Duri, Ibu. Aku juga kenal dengan Ki Parut Melepuh itu."
"Panut Palipuh!"
Kala Bopak membenarkan.
"Ya. Tapi aku lebih senang memanggilnya Parut Melepuh, Kek!"
"Terserah deh!"
Kala Bopak tak mau berdebat dengan cucunya.
"Ayah, aku minta izin sekali ini saja untuk menolong Yu Mirah Duri."
"Atas dasar apa kau menolong?"
"Yu Mirah Duri tidak bersalah, Ayah. Dia malah dikejar-kejar orang yang disebut Rampok Tulang."
"Hei, kau tahu nama gerombolan Rampok Tulang segala, Nak?"
Sahut Kala Bopak agak heran.
"Yu Mirah Duri yang ceritakan tentang orang-orang Rampok Tulang, Kek."
Lalu, bocah itu mendesak ayahnya lagi.
"Izinkan aku ke kadipaten ya, Ayah?"
Sang Ayah diam berpikir. Tapi sang anak berbisik agak keras, didengar oleh ibunya yang ada di belakangnya.
"Ayah, Yu Mirah Duri itu cantik lho...."
"Nah, nah, nah..... mulai ganjen lu ya? Masih anak-anak sudah berpikir soal kecantikan seorang gadis! Dasar anaknya Yuda ganjen!"
"Tapi sama Ibu masih cantik Ibuuu....!"
Katanya meng-alihkan anggapan. Sang Ayah tertawa tanpa suara. Sang kakek juga tertawa dengan mulut dibekap. Ibunya hanya bersungut-sungut tapi tak jadi marah.
"Pandu,"
Kata Yuda Lelana.
"Kau masih kecil. Belum pantas tampi menjadi sang pembela kebenaran. Walaupun kau punya ilmu titisan dari Ayah, tapi kodratmu belum memungkinkan untuk lakukan cita-citamu itu."
"Apakah anak kecil tak boleh membela kebenaran?"
Katanya tengil sekali. Sang Ayah diam sebentar, memandang mertuanya. Sang mertua hanya angkat bahu. Artinya, tidak melarang keinginan si bocah, juga tidak menyuruh si bocah lakukan keinginannya. Semua diserahkan kepada sang Ayah.
"Pandu, pada dasarnya memang kebenaran harus di-bela. Membela kebenaran perlu ditanamkan sejak usia muda. Tapi.....soal ini Ayah tak bisa tentukan jawabannya. Mintalah izin kepada ibumu saja. Ayah tak mau disalahkan Ibu."
Pandu Puber segera mendekati ibunya, tapi belum-belum sang Ibu sudah berkata.
"Tidak! Kau tak boleh pergi ke kadipaten!"
Sang Ibu menuju tempat makan. Anaknya mengikuti.
"Ibu, aku ingin menjadi anak kebanggaan Ibu. Kalau aku bisa bebaskan Yu Mirah Duri, pasti orang akan bertanya. 'anak siapa itu, kok pintar sekali?'. Dan aku akan menajawab. 'aku anak Ibu. Ibuku bernama Murti Kumala. Dia cantik dan bijaksana. Tidak ada perempuan lain yang bisa kalahkan kecantikan Ibuku. Kalau masak pasti enak. Ibuku orang yang rajin. Bangun pagi langsung gosok gigi. Kalau marahpun masih kelihatan cantik'. Nah, kalau sudah begitukan yang dapat nama harum adalah Ibu sendiri....."
"Hei, kau masih kecil!"
Tegas Ibunya.
"Kecil-kecil sudah pintar merayu! Dasar anak dewa ganjen lu!"
"Yaaah....sekali ini saja deh, Bu,"
Bujuk Pandu Puber.
"Tidak! Sekali Ibu bilang tidak, ya tidak! Titik!"
Sang anak yang dipandangi Ayah dan kakeknya segera melapor kepada sang Ayah.
"Ayah.....sudah titik tuh!"
"Ya sudah. Itu keputusan Ibumu!"
Pandu Puber akhirnya murung.
Tak ada keceriaan lagi di wajahnya.
Sang Ibu bagaikan tidak perduli.
Bahkan ketika makan malam bersama, sang anak tampak tidak berselera.
Diajak bercanda oleh kakeknya pun diam saja.
Sang kakek sempat bicara kepada Murti Kumala dan Yuda Lelana secara diam-diam.
"Anakmu itu penuh keberanian. Kalau tak dipupuk terus, keberaniannya akan hilang dan ia akan menjadi anak banci atau pengecut!"
"Keberaniannya tidak harus berkembang sejak sekarang!"
Kata Murti Kumala.
"Anak itu masih perlu bimbingan supaya kelak bisa memanfaatkan keberaniannya dengan baik, tidak menjadi liar dan ganas!"
Darah pendekar mengusik jiwa Pandu. Bergolak terus membuatnya susah tidur. Bayangan wajah Ki Panut Palipuh dan Mirah Duri bermunculan dalam ingatannya. Pandu juga bisa mengeluh.
"Kasihan mereka...."
Lewat tengah malam, pergolakan batin bocah itu luar biasa hebatnya.
Ia tak tahan lagi memendam keinginannya.
Maka dengan hati-hati iapun keluar lewat jendela.
Gelap malam di luar rumah tak dihiraukan.
Udara dingin yang menggigilkan badan tak dipikirkan.
Pandu Puber akhirnya melarikan diri dari rumah menuju kedipaten.
Tekadnya hanya satu, membebaskan Mirah Duri dari tawanan sang Adipati Sihombreng.
Bagaimana caranya? Ia sendiri belum tahu.
Yang penting ia harus segera ke kadipaten dan melihat suasana di sana.
"Ibu pasti marah padaku. Tapi biarlah aku dihajar Ibu, toh tidak akan sampai mati. Kalau aku bernyanyi kemarahan Ibu reda kembali,"
Pikir si bocah bandel itu.
"Dari pada aku bebas dari hajaran Ibu tapi Yu Mirah Duri celaka di tangan orang jahat, lebih baik aku dihajar Ibu tapi Yu Mirah Duri selamat. Setelah dia selamat, terserah mau ngapain aku tak perduli lagi. Tapi.....berani menungging mendadak deh, Yu Mirah itu cantik sekali kok. Sumpah! Memang kalau dibandingkan dengan Ibu masih cantik Ibu. Tapi aku lebih suka memandang wajah Yu Mirahm sebab dia bukan ibuku. Mau dipandangi apanya saja bebas. Hi, hi, hi, hi....! Kalau aku bisa membebaskan Yu Mirah, aku mau minta hadiah di-sun sama dia, ah!"
Gawat tuh anak.
Kecil-kecil pikirannya sudah ke arah sun-sunan.
Cerdas memang cerdas, tapi kalau sudah sampai memikirkan kecantikan dan sun-sunan itu namanya kelewat cerdas.
Barangkali memang begitulah kodratnya sebagai bocah yang kelak menjadi seorang pendekar; Pendekar Romantis.
Toh dari kecilpun ia sudah terbiasa merayu ibunya untuk minta ini-itu.
Berarti dia punya kelihaian merayu wanita juga.
Buat para gadis kayaknya perlu hati-hati juga kalau berhadapan dengan Pendekar Romantis.
*** ------------------------------------------------------------------------------TIGA ------------------------------------------------------------------------------OCAH nekad itu sampai di kadipaten.
Pada mulanya anak itu clingak clinguk penuh keheranan dan B kekaguman melihat bangunan-bangunan indah di kawasan kadipaten.
Maklum, selama hidup di puncak gunung yang dilihat hanya pohon.
Ia memandangi tiang bendera yang ada di tengah alun-alun itu sambil hatinya membatin.
"Pohon apa ini namanya, ya? Kok nggak ada daunnya? Kalau berbuah, buahnya kayak apa ya?"
Kebetulan tiang bendera itu sedang tidak dipakai untuk mengibarkan bendera. Di pinggiran alun-alun terpasang panji-panji kadipaten berkeliling. Terbuat dari kain panjang digantungkan pada tiang bambu. Bocah nekat itu membatin.
"Orang kadipaten ini gila-gila, ya? Jemur angkin saja sampai segini banyak-nya? Apa tak punya jemuran di belakang rumah mereka?"
Akhirnya Pandu Puber dekati pintu gerbang istana kadipaten.
Ia diam sesaat mencari akal bagaimana caranya bisa masuk ke sana.
Apa alasannya jika harus menjawab pertanyaan penjaga gerbang? Pandu Puber urungkan niat mendekati pintu gerbang kadipaten.
Ia diam di bawah pohon terduh beberapa saat.
Mencoba berpikir mencari cara untuk masuk ke benteng istana.
Pada saat itu dari gerbang benteng tampak dua lelaki tua keluar dari dalam benteng.
Dua lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu berjalan menuju ke arah selatan, melewati jalanan depan Pandu Puber.
bocah usia delapan tahun itu memperhatikan orang tersebut tanpa mengerti apa sebabnya memperhatikan orang itu.
Rasa tertarik untuk memperhatikan mungkin disebabkan karena kedua orang itu berpakaian mewah dan indah.
Hiasan benang emas dan kerlip-kerlip di pakaian itulah yang mengundang minta Pandu untuk mengaguminya.
Tanpa disengaja Pandu ternyata mendengar percakapan mereka.
"Lha iya, sakit kayak gitu kok dianggap enteng! Sang Adipati salah juga. Kalau tahu permaisuri sudah sering berkeringat dingin dan muntah-muntah, mestinya beliau segera tanggap dong. Itu tandanya sang permaisuri sedang hamil."
"Lho, mulanya kan dianggap masuk angin biasa?"
"Tapi masuk angin kok terus-terusan? Apa anginnya bandel nggak mau keluar-keluar? Kalau sudah sampai pingsan-pingsan begini baru kelabakan. Tak urung yang repot kita juga, disuruh mencari tabib dalam waktu sehari!"
"Tapi menurutku sang permaisuri belum tentu hamil muda. Mungkin memang benar-benar menderita sakit. Cuma sakitnya apa itukan belum jelas?"
"Sudahlah, nggak perlu diperdebatkan. Yang penting tugas kita mencari tabib. Yang kita pikirkan tabib mana yang mujarab? Sebab kalau tabib yang kita bawa nggak mujarab, Kanjeng Adipati bisa marah sama kita-kita orang!"
Percakapan itu menjauh sebab kedua orang tersebut segera membelok di tikungan jalan. Bocah nekat itu berpikir sesaat.
"Tabib....? Permaisuri sakit? Hmm..... enaknya aku pura-pura jadi tabib. Ah, tapi aku masih kecil sih. Pasti nggak dipercaya jadi tabib. Hmm..... o, ya....begini saja! Aku punya akal."
Pandu Puber pergi sebentar. Ia mencari beberapa lembar daun. Kebetulan yang didapt daun pare yang tumbuh di samping rumah penduduk. Delapan daun pare itu dibawanya. Nekat betul anak itu. Ia dekati penjaga pintu gerbang dan berkata dengan wajah polos.
"Kang, aku mau menghadap Kenjeng Adipati."
"Husy! Sembarangan saja. Anak kecil sepertimu tak diizinkan menghadap Kanjeng Adipati!"
Kata penjaga sebelah kiri. Penjaga yang sebelah kanan segera berkata pula.
"Badan kumal dan kotor begitu mau menghadap Kanjeng Adipati? Bisa dicambuk dua belas kali kau, Jang!"
"Namaku bukan Ujang, namaku Pandu Puber, Kang!"
Protes bocah itu.
"Mau Pandu Puber apa Pandu Puser, terserah! Yang penting kau tidak kami izinkan untuk masuk!"
"Aku diutus kok, Kang."
"Diutus oleh siapa?"
"Oleh seorang tabib sakti bernama..... bernama....."
Pandu Puber mengarang-ngarang nama.
"O, ya....namanya Tabib Teh Kolak."
"Siapa....?"
Penjaga sebelah kanan tertawa kecil.
"Teh Kolak? Kok namanya aneh sekali?"
"Aku nggak tahu, Kang. Pokoknya dia ngakunya bernama Tabib Teh Kolak, asalnya dari Laut Merah."
"Laut Merah di negeri Cina sana?"
"Iya, kali! Aku sendiri nggak tahu Laut Merah itu di mana,"
Kata Pandu asal sebut nama laut dan ternyata diartikan nama laut di negeri Cina. Padahal di negeri Cina belum tentu ada laut yang bernama Laut Merah.
"Eyang Tabib itu menemuiku ketika aku menggembala kambing, Kang. Dia minta tolong padaku. Katanya dia merasakan sakit sekujur badannya. Setelah dia bertapa, ternyata rasa sakit itu datang dari Permaisuri di kadipaten ini. Lalu karena dia ada keperluan di tempat lain, dia minta tolong padaku untuk menyerahkan obat kepada Kanjeng Adipati. Obat ini harus diminum oleh Gusti Permaisuri."
"Mana obatnya?"
"Lha ini.... yang kupegang ini!"
"Cuma daun saja?"
"Iya. Pokoknya dia cuma kasih aku daun ini dan disuruh serahkan Kanjeng Adipati!"
Penjaga sebelah kanan berkata kepada penjaga sebelah kiri.
"Berarti tabib itu cukup sakti, dia bisa tahu kalau Gusti Permaisuri kita sedang sakit. Hebat juga ilmu si tabib itu, ya?"
"Iya! Tapi bagaimana dengan anak ini? Apa diizinkan masuk?"
Penjaga yang satunya berkata kepada Pandu.
"Kalau begitu begini saja, Dik..... Berikan daun itu kepadaku nanti akan kusampaikan kepada Kanjeng Adipati. Pasti akan segera diborehkan ke tubuh Gusti Permaisuri Kadarwati!"
"Wah, nggak bisa begitu, Kang. Pesan Eyang Tabib, daun ini harus kuserahkan sendiri kepada Kanjeng Adipati, lalu aku harus memberitahukan bagaimana cara mengobati Gusti Permaisuri memakai daun ini."
"Daun apa sih itu?"
Tanya penjaga yang satunya.
"Kata Eyang Tabib... daun ini namanya daun Tapak Peri."
"Ah, kayaknya daun pare deh?"
"Memang daun Tapak Peri mirip sekali daun pare,"
Kata bocah itu pintar saja menghindari kecurigaan.
"Kamu jangan bohong lho! Kalau bohong kamu bisa diserahkan kepada Dokoh Darah lho!"
"Dokoh Darah itu siapa?"
"Algojo yang bertugas menghajar tiap penjahat yang masuk kadipaten!"
"Yaaah.... Kalau kalian nggak percaya, ya sudah. Aku pulang saja!"
Pandu berlagak ingin pergi, penjaga berseru.
"Tunggu, tunggu....!"
Langkah Pandu Puber sengaja dihentikan tapi berlagak cuek, hanya menengok saja dan berkata.
"Aku harus mengurus kambing-kambingku, Kang! Nggak punya waktu untuk ngobrol sama kamu. Kalau kamu nggak percaya padaku, daun ini kubuang saja, walau konon carinya sampai ke puncak Gunung Krakatau!"
"Eeeh, eh....tunggu dulu! Hmm.... iya deh, kamu boleh masuk. Mari kuantarkan, Dik!"
Kata penjaga sebelah kiri.
Lalu, Pandu Puber diantar menghadap Adipati Sihombreng.
Adipati itu ternyata masih muda.
Usianya sekitar tiga puluh lima tahun.
Andaikata lewat ya lewat sedikit.
Mungkin karena makannya terjamin dan kehidupannya makmur, ditunjang dengan pakaian serba mewah, makanya wajahnya tampak masih muda, berkumis tipis.
Sorot matanya menandakan dirinya orang egois, tapi tidak cukup cerdas.
Ia sedikir angkuh, terlihat dari cara memandangnya yang selalu mengangkat dagu sedikit.
Sebetulnya menghadap sang Adipati tidak sembarangan orang bisa.
Dan tidak setiap tamu berkenan ditemui oleh sang Adipati.
Apalagi hanya seorang bocah sekumal Pandu Puber.
tetapi karena kabar yang diterima sang Adipati adalah tentang bocah yang diutus seorang tabib sakti untuk bawakan obat buat Permaisuri, maka mau tak mau sang Adipati menerima Pandu di serambi paseban.
"Eyang Tabib wanti-wanti agar saya diharuskan bicara berdua saja dengan Kanjeng Adipati,"
Kata Pandu Puber. Setelah dipertimbangkan sesaat, Adipati menyuruh orang-orangnya meninggalkan tempat itu. Tapi para pengawal tetap menjaga dari kejauhan.
"Jelaskan maksudmu!"
Kata sang Adipati.
"Eyang Tabib Teh Kolak menangis saat menemui saya, Kanjeng."
"Kenapa?"
"Karena dia bisa merasakan sakit yang amat berat dan tahu bahwa sakit itu akan membuatnya mati. Tapi ternyata rasa sakit itu bukan tertuju pada dirinya, melainkan tertuju pada Permaisuri di sini."
"Tabib Teh Kolak bilang begitu?!"
"Benar, Kanjeng. Makanya dia mengutus saya menyampaikan obat yang terbuat dari daun Tapak Peri ini. Kalau saya terlambat memberikan daun itu, katanya Gusti Permaisuri akan menemui ajalnya. Jadi saya diwanti-wanti agar cepat sampai sini!"
Diam-diam sang Adipati masih punya kecurigaan yang meragukan pendapatnya. Lalu ia berkata "Apakah kau yakin kalau orang itu seorang tabib?"
"Entah tabib entah orang sakti, pokoknya dia mengaku bernama Tabib Teh Kolak, Kanjeng. Malahan dia tanya pada saya, apakah istri Raja di sini bernama Kadarwati? Saya bilang bahwa saya tidak tahu, sebab saya belum pernah kenalan sama Gusti Permaisuri."
"Ya, ya.... Memang benar!"
Jawab sang Adipati mulai heran dan terpengaruh. Padahal Pandu tahu nama istri Adipati dari percakapannya dengan penjaga gerbang tadi. Ia mencatat di otaknya nama Kadarwati yang disebutkan penjaga tadi.
"Terus, dia bilang apa lagi?"
"Hmm...anu... Eyang Tabib bilang juga, daun ini jangan sampai disentuh oleh tangan seseorang yang bernama Dokoh Darah, khasiat daun bisa hilang sebab orang yang berama Dokoh Darah adalah orang yang tidak jujur. Saya bilang, di kadipaten tidak ada yang bernama Dokoh Darah. Orang kadipaten terutama para petugas istana, pasti namanya bagus-bagus. Tapi Eyang Tabib tetap ngotot, katanya di istana ada yang bernama Dokoh Darah."
"Iya. Benar itu! Memang ada! Dia penjaga penjara!"
"Oooo..."
Pandu Puber manggut-manggut dengan wajah poloSikat Nerakaya. Dalam hati ia ingin tertawa melihat sang Adipati percaya betul dengan ucapannya. Padahal nama Dokoh Darah itu juga dikenal Pandu dari mulut si penjaga pintu gerbang tadi.
"Saya nggak tahu kalau di sini ada yang bernama Dokoh Darah. Maafkan saya, Kanjeng."
"Ya, ya...tak apa. Aku maklum karena kau memang tak pernah masuk kemari. Tapi aku kagum dengan orang itu. jelas dia bukan sekedar seorang tabib saja, pasti dia seorang petapa sakti juga. Kalau bukan orang sakti, tak mungkin dia bisa sebutkan nama istriku dan nama kepala penjara di sini."
"Ngakunya sih dia pernah bertapa di puncak Gunung Krakatau, Kanjeng."
"Ooo...pantas!"
Sang Adipati manggut-manggut.
"Terus bagaimana lagi?"
"Daun ini harus segera diminum Murti Kumalaan untuk Gusti Permaisuri. Caranya dengan direbus, airnya jangan banyak-banyak, begitu mendidih langsung dituang ke dalam mangkok. Setelah dingin diminumkan."
Pandu Puber menyerahkan daun itu. Adipati tampak gembira, yakin betul daun itu berkhasiat tinggi untuk pemyembuhan.
"Cuman delapan lembar, ya?"
"Betul, Kanjeng. Katanya delapan lembar itu melambangkan delapan penjuru angin. Ah, saya nggak ngerti maksudnya. Pokoknya cuma itu yang saya dapat dari Tabib The Kolak. O, ya... dalam merebus daun ini, katanya harus dibubuhi merica lembut dua jimpit, dan garam tiga jimpit. Airnya dua mangkok. Cara merebusnya tidak boleh dilakukan oleh orang lain, harus kanjeng sendiri. Sebab kata Tabib Teh Kolak, jamu itu akan mujarab kalau direbus oleh suami orang yang sakit."
"Ya, ya, ya....akan kulakukan sendiri supaya lebih cespleng!"
Katanya.
"Lalu apa lagi pesennya?"
"O,ya.... Tabib Teh Kolak berpesan, kalau sekiranya di sini ada orang yang namanya pakai Duri, harus segera diusir. Entah pelayan, entah perajurit, atau pegawai tinggi istana, kalau namanya pakai Duri, harus diusir dan tidak boleh tinggal di kadipaten. Sebab katanya orang yang pakain nama Duri itulah penyebab datangnya penyakit. Nantinya akan menyebar menjadi wabah penyakit. Kalau orangnya dibunuh, malah bisa menyebarkan penyakit lebih ganas lagi. Jadi, Eyang Tabib hanya berpesan orang yang namanya pakai Duri harus diusir dari kadipaten dan tidak boleh tinggal di kadipaten lagi, itu kalau Kanjeng ingin warganya selamat dari penyakit berbahaya."
Kelebihan bicara Pandu Puber dalam batas usia sekedil itu membuat sang Adipati semakin yakin. Bahkan sang Adipati beranggapan.
"Anak ini sepertinya bukan bicara dalam kesadarannya. Pasti ada roh gaib yang memakai raganya untuk bicara sendiri. Mungkin roh sakti sang tabib sendiri."
Pandu segera berkata.
"Saya rasa sudah cukup keperluan saya, Kanjeng. Semua pesan Eyang Tabib Teh Kolak sudah saya sampaikan. Saya mohon pamit."
"Tunggu, tunggu...!"
Sang Adipati menahan langkah Pandu.
"Kalau yang pakai nama Duri harus diusir, ya?"
"Betul, Kanjeng. Tak perduli itu pejabat istana atau perajurit biasa, harus cepat-cepat diusir sejauh-jauhnya."
"Di sini yang pakai nama Duri ada dua, Dewi Widuri keponakanku sendiri. Lalu..... Wirya Kenduri, juru tamanku."
"Lho....kata Eyang Tabib ada tiga? Kok cuma dua?"
"O, ya...yang satu lagi tawananku, namanya Mirah Duri. Tapi..."
Adipati sempat bimbang sebentar. Pandu Puber berdebar-debar, lalu berkata.
"Pokoknya kalau Kanjeng mau selamat seluruh rakyatnya ya harus mengusir nama-nama itu!"
"Ya deh! Dari pada rakyatku diserang wabah penyakit yang diawali dari istriku, lebih baik aku melakukan pesan Eyang Tabib Teh Kolak itu!"
"Kalau begitu, saya permisi, Kanjeng!"
"Tunggu sebentar!"
Adipati mengambil uang dalam kantong kain kecil.
"Ini kuberi uang untuk jajan di jalan."
"Wah, terima kasih, Kanjeng. Eyang Tabib melarang saya menerima upah dalam tugas ini. Kalau saya terima upah, saya sendiri bisa jadi sakit seperti Gusti Permaisuri."
"Ooo...begitu, ya sudah kalau memang begitu pesan Eyang Tabib!"
Sang Adipati tambah yakin lagi.
Maka tiga nama yang memakai Duri tadi diusir dari istana.
Bahkan diarak beberapa perajurit agar keluar dari batas wilayah kadipaten.
Tentu saja hal itu sempat mendapat gugatan dari dua nama yang tidak bersalah itu, Wirya Kenduri dan Dewi Widuri.
Mereka protes mengecan keputusan sang Adipati.
Tapi bagi Mirah Duri hal itu sangat menguntungkan.
Mirah Duri sendiri heran, siapa anak kecil yang membawa kabar seperti itu.
Ia hanya mendengar cerita selintas tentang sang bocah yang datang membawa pesan seorang tabib.
Tetapi ketika ia bergegas melarikan diri dari batas wilayah kadipaten, tiba-tiba langkahnya terhenti karena kemunculan Pandu Puber dari balik pohon.
Bocah itu langsung nyengir dan berkata.
"Naah... sudah beres kan?"
"Hei, kau... kau bocah yang bersama guruku itu, kan?"
"Betul. Aku yang bernama Pandu Puber, Yu! Aku mendengar kau ditawan di kadipaten dari kakekku. Sekarang gurumu ada di rumah kakekku. Lalu aku berusaha membebaskanmu biar tidak ditukar nyawa Ki Parut Melepuh!"
"Ja...jadi kau yang datang ke kadipaten dan menyampaikan kabar dari seorang tabib sakti itu?"
"Betul. Habis kau tidak punya cara lain untuk melepaskan dirimu, Yu! Kalau melawan orang sekadipaten ya belum tentu menang."
"Ya jelas, nggak bakalan menang!"
"Makanya aku pakai cara seperti itu. Tapi...kasihan juga ya, dua orang yang pakai nama Duri itu jadi ikut-ikutan diusir. Kupikir cuma kamu yang bernama Duri sih. Nggak tahunya ada dua orang lagi."
Mirah Duri geleng-geleng kepala.
"Wah, wah, wah... kau ini akalnya ada-ada saja, Pandu!"
"Yang penting bisa membebaskan kamu, Yu! Aku nggak suka kalau kamu sijadikan sandera dan ditukar dengan nyawa gurumu. Kamukan nggak salah."
"Memang. Dan...aku patut berterima kasih padamu, Pandu."
"Kasih hadiah dong!"
"Baik. Akan kuberi hadiah. Kau minta hadiah apa?"
"Sun...!"
Sambil sodorkan pipinya.
"Hahh...?!"
Mirah Duri kaget dan tertegun bengong.
*** -----------------------------------------------------------------------------EMPAT ------------------------------------------------------------------------------ALAU saja Pandu Puber tahu, dia akan terbengong-bengong.
Kalau saja orangtuanya tahu, mereka K akan terheran-heran.
Suatu yang di luar dugaan terjadi gara-gara ulah sang bocah nekat yang ingin membebaskan Mirah Duri.
Daun pare pemberian Pandu Puber ternyata benar-benar sembuhkan penyakit sang Permaisuri.
Siang minum air rebusan daun pare sesuai petunjuk Pandu, sorenya sang Permaisuri sehat dan badannya merasa segar bugar.
Tidak lemas lagi, tidak muntah-muntah lagi, bahkan makannya banyak.
Sampai-sampai suaminya sendiri bergidik melihat makannya sang Permaisuri.
Tentu saja sang Adipati Sihombreng memuji-muji Pandu Puber di depan siapa saja.
"Bocah itu benar-benar membawa keberuntungan! Kalau tak ada dia, istriku tak akan sesehat ini dalam waktu singkat. Dia dan Tabib Teh Kolak memang pantas kuberi perhargaan tinggi. Sayang di mana mereka berada, aku tak tahu!"
Dewi Widuri juga menemui keberuntungan besar setelah diusir dari istana kadipaten.
Di perjalanan ia bertemu dengan rombongan Raja Muda Purwanegara yang sedang berburu.
Sang raja yang masih single itu terpikat oleh Dewi Widuri.
Tanpa banyak basa-basi lagi, Dewi Widuri dibawa ke istana Kerajaan SIngosani.
Selanjutnya Dewi Widuri dipersunting oleh Raja Muda Purwanegara, dan jadilah ia seorang Permaisuri yang bahagia hidupnya.
Proses perkawinan itu sangat cepat, sampai-sampai Dewi Widuri sendiri merasa seperti mimpi tanpa konsep.
Lalu bagaimana dengan Wirya Kenduri? Oh, ia juga punya nasib yang sama dengan Dewi Widuri.
Juru taman itu pulang ke rumahnya, di kaki Bukit Lumas.
Anaknya ternyata sedang hendak dilamar oleh Pangeran Tambala dari Negeri Tanah Manca.
Pangeran Tumbala adalah pewaris penguasa Negeri Tanah Manca yang kaya raya dan subur makmur itu.
Perkawinan tersebut membuat Wirya Kenduri diangkat menjadi kepala rumah tangga negeri tersebut, sejajar dengan para pejabat istana lainnya.
Praktis Wirya Kenduri menjadi OKB alias Orang Kaya Baru yang hidupnya serba mewah dan glamour.
Ia sangat beruntung dan merasa kehadiran bicah nekat itu telah merubah jalan hidupnya.
Seandainya bocah nekat itu tidak menghadap Adipati Sihombreng, mungkin Ki Wirya Kenduri tidak akan menjadi OKB tapi tetap menjadi BKO alias Baru Kaya Orang.
Lalu tentang Mirah Duri sendiri? Wah, tuh cewek punya keberuntungan ganda.
Pertama bebas dari penjara kadipaten.
Kedua, setelah memberikan ciuman di pipi bocah nekat itu, ia langsung diserang musuh lamanya yang bernama Cukilakila.
Tapi orang yang bernama Cukilakila menjadi gemetar ketika mengetahui Mirah Duri dibantu oleh Pandu Puber.
"Ternyata kau ada di pihaknya, Nak?"
Kata Cukilakila yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
"Ya, aku ada di pihak Mirah Duri, Paman!"
Tegas Pandu Puber.
"Maafkan Paman, Nak. Paman tidak tahu dan belum mengerti dengan pasti siapa Mirah Duri sebenarnya. Setahu Paman dulu dia menyerang Paman dan membuat Paman jatuh ke jurang. Untung tak mengalami cidera berat. Tapi Paman masih penasaran, ingin membalas kekalahan Paman pada Mirah Duri."
"Paman harus melawanku kalau mau melawan Yu Mirah!"
"Tidak. Paman tidak berani. Maafkan Paman sekali lagi, Nak!"
Melihat Cukilakila ketakutan, Mirah Duri merasa heran, lalu bertanya kepada Pandu Puber.
"Ada hubungan apa sebenarnya antara kau dan dia?"
"Paman Cukilakila adalah perajurit kakekku yang bertugas menjadi mata-mata bagi siapa saja yang ingin menyerang Pulau Iblis! Sudah tiga kali ia ditugaskan menjemputku dari Gunung Ismaya untuk dibawa ke Pulau Iblis saar kakek rindu padaku."
Keberuntungan ketiga bagi Mirah Duri, ia segera dibawa ke Pulau Iblis dan bertemu dengan gurunya Ki Panut Palipuh.
Alangkah senang hati Mirah Duri melihat gurunya masih selamat.
Sang Gurupun sangat gembira melihat muridnya bebas dari ancaman maut Adipati Sihombreng.
Keuntungan keempat bagi Mirah Duri Raja Jin Kala Bopak, kakek Pandu itu, berkenan mengangkat Mirah Duri untuk menjadi pegawai istananya yang bertugas mengatur para pelayan, sekaligus menjadi petugas penerima tamu yang akan menghadap Raja Kala Bopak.
Penghasilannya menjadi berganda.
Pokoknya bahagia sekali masa depan Mirah Duri semasa Pulau Iblis belum ditenggelamkan para dewa.
Sedangkan Pandu Puber sendiri begitu pulang ke rumah dihajar habis oleh ibunya.
Bahkan distrap tidak diberi makan selama sehari penuh.
Bocah itu menderita, tapi punya rasa bangga bisa menolong Mirah Duri.
Pahanya memang menjadi biru-biru karena dicubiti ibunya.
Namun rasa sakit itu tidak dirasakan karena bayangan indah dicium Mirah Duri masih membekas di hatinya.
Bocah itupun tidak merasa sakit hati oleh hajaran ibunya, karena memang ia sudah siap untuk dihajar sehingga berani lompat jendela malam hari.
Hal-hal seperti itu banyak dilakukan Pandu Puber sampai ibunya kewalahan memikirkan bagaimana cara mengurangi kenakalan sang anak supaya tidak sebegitu bandelnya.
Sampai usia sepuluh tahun, Pandu Puber masih sering bertindak yang mencemaskan hati ibunya.
Sang Ayah tidak pernah merasa cemas, karena sang Ayah tahu betul kapasitas kemampuan anaknya dalam melakukan sesuatu yang dianggap bahaya bagi anak seusia itu.
"Dihajar bolak-balik nggak pernah kapoknya tuh anak,"
Gerutu sang Ibu kepada sang Ayah menjelang tidur malam.
"Aku bisa tertekan kalau begini caranya! Cobalah kau bertindak menghajarnya, Yud! Jangan hanya cengar-cengir saja kalau lihat anakmu kuhajar! Aku capek menghajarnya!"
"Lha apa kita perlu menyewa orang khusus untuk menghajarnya?"
Kata Yuda Lelana dengan kalem. Masih tanpa emosi, selayaknya seorang yang punya kesabaran tinggi.
"Ya nggak gitu maksudku!"
Murti Kumala cemebrut.
"Sekali-kali kau turun tangan dong, biar anakmu ngak sebandel itu. Kalau tahu itu anak bakal jadi anak bandel aku ngak mau kawin sama kamu!"
Yuda Lelana tertawa dalam gumam.
"Apa anak itu perlu dimasukkan lagi ke dalam perutmu lewat jalur semula?!"
Goda Yuda Lelana.
"Uuh...! Ngaco!"
Dengus Murti Kumala sambil buang muka.
Tidurnya memunggungi sang suami.
Yuda Lelana tertawa kecil, lalu memeluk istrinya dari belakang sambil mencium tengkuk sang istri yang cantik itu.
Yuda Lelana berkata setelah sang istri mengibaskan ciuman itu, tapi tetap diam ketika dipeluk dari belakang.
"Namanya saja anak, bandel itu wajar. Toh bandelnya tidak kepada kita. Kebandelannya akibat darah kependekaran yang tumbuh dalam jiwanya. Nanti kalau anakmu nggak bandel, diam saja nggak ada suaranya, kau jadi kebingungan. Dikira tuh anak kena sawan celeng? Giliran anaknya bandel, mengeluh dan uring-uringan terus. Kalau sudah begitu yang rugi siapa? Kan diri sendiri juga. Dan lagi....."
Yuda Lelana tak jadi lanjutkan ucapannya. Susah payah ia menyusun kata untuk memberi pengertian kepada istrinya, ternyata sang istri sudah tertidur dengan dengkuran halus. Yuda Lelana menggerutu dalam hati sambil menghela napas dalam-dalam.
"Yaaah...libur lagi deh malam ini?!"
Iapun hanya bisa garuk-garuk ekpala sambil menekan rasa kesal di hatinya.
Yuda Lelana segera terbayang tingkah laku anak tunggalnya itu.
Jiwa kependekaran begitu besar tertanam dan berkembang dalam diri anak itu.
Pada usia tiga belas tahun saja sang anak sudah berani melawan Ketua Perampok Tulang yang bernama si Cacah Rusuk.
Konon orang ganas itu dibuat lari tunggang langgang oleh Pandu Puber dan tak berani muncul di rimba persilatan sampai beberapa waktu lamanya.
Adipati Sihombreng sendiri sejak tahu siapa Pandu Puber tak berani mengejar-ngejar Ki Panut Palipuh lagi.
Sebutan Pandu sebagai 'cucu raja jin' membuat Adipati Sihombreng ngeper mendekati Ki Panut Palipuh karena ia tahu orang itu bersahabat akrab dengan Pandu Puber.
Selain merasa berhutang budi kepada Pandu Puber, Adipati Sihombreng sendiri juga tak berani ambil resiko lebih berbahaya lagi jika ia nekat mengejar Ki Panut Palipuh.
Mendengar sepak terjang anaknya, Yuda Lelana hanya geleng-geleng kepala.
"Anak itu benar-benar nggak punya rasa takut kepada siapapun? Aku sendiri nggak sangka lho kalau bakalan punya anak yang memiliki keberanian senekat itu?"
Pikir Yuda Lelana.
Bagaimana tidak dikatakan nekat keberanian Pandu Puber itu, jika dalam usia lima belas tahun berani melawan tokoh tua yang bergelar Sikat Neraka.
Yuda Lelana dam Murti Kumala hanya mendengar cerita pertarungan tersebut dari mulut Cukilakila yang saat itu juga mendapat cerita dari salah satu anak buah Sikat Neraka.
Orang yang bernama Sikat Neraka adalah tokoh tua aliran hitam yang berdarah dingin.
Bahkan di rimba persilatan ia dikenal sebagai salah satu dari sekian banyak orang sakti yang menjadi guru untuk aliran hitam.
Bagi Sikat Neraka, membunuh itu sudah merupakan kegemaran setiap harinya.
Sama seperti orang yang sudah kecanduan olah raga jogging setiap paginya.
Sehari saja tidak jogging, badan terasa pegal-pegal.
Demikian juga Sikat Neraka, sehari saja tidak membunuh orang, tulang-tulangnya jadi ngilu dan urat-uratnya pegal.
Sikat Neraka tak pernah pandang bulu dalam membantai lawannya.
Bayipun kalau perlu disikatnya habis.
Seorang nenek tua renta pun tak segan-segan ditebas dengan golok lebarnya jika macam-macam kepadanya.
Sikat Neraka mempunyai kawanan perampok sendiri yang beroperasi di wilayah utara.
Biasanya ia tampil sebagai Ketua Kapal Bajak Laut.
Sebuah kapal yang sedang berlayar di wilayah lau utara, jika melihat kapal hitam berlayar marah gambar tengkorak berjambul, pasti para awak kapal titu akan gemetaran semua.
Sebab mereka tahu kapal berlayar merah dengan gambar hitam membentuk wajah tengkorak berjambul itu adalah Kapal Bajak Laut Sikat Neraka.
Kapal apapun yang berpapasan dengan Kapal Bajak Sikat Neraka tak pernah ada yang selamat.
Jika awak kapalnya ada yang hidup itu suatu keberuntungan besar bagi kapal tersebut.
Karena Sikat Neraka dalam membajak kapal tak pernah menyisakan nyawa para penumpang kapal yang dibajak.
Di laut dia berjaya, di daratpun Sikat Neraka terkenal sebagai perampok berdarah beku.
Siapa saja yang dirampoknya tak pernah ada yang selamat.
Bukan harta saja yang dirampasnya, tapi nyawa pun ikut dirampas.
Karena itu, tak heran jika nama Sikat Neraka menjadi nama yang ditakuti orang.
Seandainya kala itu Murti Kumala mendengar Pandu Puber akan bertarung dengan Sikat Neraka, pasti dia akan lari lebih dulu mencari anaknya dan membawanya pulang lalu dihajar habis-habisan.
Tapi cerita yang dituturkan Cukilakila itu didengar oleh Yuda Lelana dan Murti Kumala setelah peristiwa pertarungan tersebut selesai dilakukan Pandu Puber yang baru berusia lima belas tahun.
Yuda Lelana dan Murti Kumala hanya bisa geleng-geleng kepala saja sambil menunggu anaknya pulang untuk dimarahi.
Kisahnya diawali dari perkenalan Pandu Puber dengan seorang gadis putri saudagar kaya yang bernama Lila Anggraeni.
Gadis ini usianya sedikit lebih tua dari Pandu, sekitar tujuh belas tahun.
Cantik sekali dan sexi-nya bukan main.
Lila Anggraeni mempunya bodi yang penuh tantangan bercumbu bagi setiap laki-laki.
Yang membuat gadis itu kian tambah manis adalah tahi lalat di atas bibir, sebelah kiri.
Kecil sih, tapi manfaatnya sangat besar sekali bagi daya tarik kecantikannya.
Ditambah lagi rambutnya lurus lemas sebatas pundak dan diponi depannya.
Hidungnya mancung miri hidung cewek bule.
Matanya indah, bibirnya sendual dan dada sendiri sangat wow.
Dada itu bisa bikin mata lelaki terbelalak seketika dan bingung mengedipkannya kembali.
Apalagi pakaian yang dikenakan Lila Anggraeni sangat seronok.
Baju atasnya kain tipis warna cokla ttua mengkilap, seperti dari bahan satin.
Potongan bajunya itu tanpa lengan, bagian depannya dikancingkan dengan satu tali pengikat yang sekali tarik akan terbuka byaak...! Sedangkan bagian dalam baju itu tidak ada lapisan kain apa-apa lagi.
Padahal belahan kain baju itu cukup lebar, sehingga nyaris separo bukitnya tampak menantang dengan mulusnya.
Baju itu diikat dengan angkin sederhana warna putih.
Celananya ketat, dari bahan kain sejenis beludru.
Warnanya coklat muda, tinggi sebatas betis.
Sebagian betisnya tampak mulus.
Putih tanpa cacat.
Ia gadis yang tergolong tinggi, tapi sesuai dengan kesekalan tubuhnya.
Awal perjumpaan dengan Pandu Puber ditandai dengan gemuruh suara kaki kuda berlari kencang dan sang kuda meringkik-ringkik.
Di sela ringkikkan itu, terdengar pula suara jeritan yang memanjang.
"Tolooooong...! Toloooong...!"
Pandu Puber yang sedang menuruni bukit mendengar suara itu.
Ia paling getol jika mendengar suara perempuan menjerit.
Tanpa menunggu pertimbangan ini itu, Pandu Puber langsung saja lari ke arah datangnya suara tersebut.
Tak perduli bajunya yang ungu itu tersangkut duri dan robek sedikit, Pandu Puber segera hadi ke sisi tebing berjurang curam.
Ia berdiri di ketinggian tempat.
Matanya memandang ke arah timur, melihat dengan jelas munculnya seekor kuda yang berlari dengan binal.
Di atas kuda ada cewek kece.
Cewek itu ketakutan.
Rupanya ia tak bisa hentikan lari sang kuda.
Ia ketakutan.
Apalagi sang kuda sesekali mengangkat kedua kaki depannya sambil meringkik liar.
Sang gadis nyaris jatuh terlempar dari punggung kuda.
Pada saat kuda berlari lagi dengan gerakan liar, Pandu Puber segera melompat dari ketinggian dan menghadang langkah sang kuda.
Sang gadis semakin ketakutan melihat anak muda belasan tahun berdiri di depannya sementara sang kuda tak bisa dihentikan dari larinya.
"Awaaas...! Minggir...! Minggiiir...!"
Teriak gadis itu.
tapi Pandu Puber tak mau minggir, malah bersikap menghadang laju sang kuda.
Sang gadis takut kalau kudanya menabrak pemuda remaja itu, sehingga ia berteriak makin keras.
Pandu Puber segera menggerakkan tangannya ke atas.
Satu tangan kanan yang diangkat ke atas itu ditarik turun pelan-pelan dengan jari-jari megar.
Tangan kirinya ada di dada dalam keadaan telapak tangan terbuka ke samping dan tegak ke atas.
Setelah tangan kanan yang diturunkan itu mendekati dada, kedua tangannya segera didorong ke depan dengan pelan-pelan penuh tenaga.
Sang kuda yang berjarak tujuh langkah darinya itu segera mengangkat kedua kaki depannya dan meringkik keras.
"Iieeehhhk...!"
Gelombang tenaga dalam berhawa sejuk tersalur lepas dari kedua tangan Pandu Puber.
Gelombang itu tak bisa dilihat kecuali dirasakan oleh sang kuda.
Sang kuda mengibaskan kepalanya, dan hentikan langkahnya.
Pandu Puber masih luruskan dua tangan ke depan.
Gelombang hawa salju masih menyembur dari kedua telapak tangannya.
Jurus itu bernama jurus 'Hati Damai'.
Tapi Pandu Puber tidak tahu nama jurus itu karena jurus itu titisan dari ayahnya.
Hanya saja ia mampu bergerak bagai dituntun oleh nalurinya sendiri.
"Iiieeehhhkk...!"
Sang kuda meringkik tapi tak melonjak.
"Minggir kau! Minggir....!"
Seru gadis itu dengan tegang.
"Kau yang minggir!"
Sentak Pandu Puber.
"Cepat turun dan tinggalkan kuda itu! Dia akan menjadi liar lagi jika masih ditunggangi. Ayo, turun!"
"Tur....turun....turun ke aman?!"
Gadis itu panik.
"Ya turun ke bawah tolol! Masa' turun ke atas?!"
"Maksudku.....o, iya! Aku harus segera turun!"
Gadis panik itu akhirnya melompat turun dan berlari ke arah belakang kuda, menjauhi kuda itu, diam di bawah sebuah pohon berdahan besar dan berdaun rindang.
Sang kuda tampak tenang.
Pandu Puber mendekatinya sambil berseru kepada sang gadis yang masih memandang dengan tegang dan ngos-ngosan.
"Kuda ini punya penyakit kejiwaan! Rada-rada gila!"
"Mungkin!"
Jawab sang gadis dari kejauhan.
"Makanya lain kali kalau mau naik kuda hati-hati dan pilih dengan teliti. Jangan naik kuda gila!"
Sambil Pandu mengusap-usap leher kuda yang tampaknya mulai jinak. Lalu ia memeriksa kuda itu, sampai akhirnya ditemukan sebuah jarum menancap di bawah pelana kuda.
"Ooo... ada orang jahil ingin celakakan kamu, Nona! Ada yang memasang jarum di bawah pelana ini, jadi kalau kau duduk di atas pelana maka kuda ini merasa kesakitan ditusuk jarum."
Pandu Puber mencabut jarum itu dan menunjukkan dari tempatnya. Sang gadis terbengong heran. Pandu Puber berkata lagi sambil mengusap-usap punggung kuda.
"Kuda seperti ini tidak boleh mendengar suara teriakan. Semakin kita panik, semakin panik juga dirinya. Jadi harus diusap dengan lembut dan mesra, supaya tidak nakal....!"
Begitu selesai bicara, tiba-tiba Pandu terkejut dan tak sempat menghindar. Kuda itu melonjak dengan dua kaki belakang terangkat, lalu ia menyepak dengan kuat tepat pada saat Pandu ada di bagian belakang kuda. Wuuutt...! Buueehg...! "Heeegh...!"
"Iiiiieeehhkk...!"
Kuda meringkik bagai kegirangan lalu lari dengan liar lagi.
Sedangkan Pandu Puber terpental dan terguling-guling karena sepakan kaki kuda terkena telak pada bagian dadanya.
Tubuh Pandu melayang dan jatuh tepat di depan gadis itu, dua langkah dari tempat sang gadis berdiri.
Gadis itu tak hiraukan Pandu yang meringis menahan sakit, sesak napasnya.
Gadis itu berlari sambil berseru.
"Kudaku...?! Kudaku...?! Oh...!"
Gadis itu makin gugup, lalu kembali menemui Pandu Puber yang sudah berdiri dengan sedikit membungkuk dan memegangi dadanya.
"Kudaku...! Kudaku lari...! Oh, larilah kudaku, eh... anu....kudaku lari!"
Gadis itu mendorong-dorong punggung Pandu.
"Kejar....! Cepat kudaku mengejar! Eh...anu....kudaku dikejar. Cepat dikejar! Kudakuuu...!"
Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Welas Asih Tak Terkalahkan Karya M mep TWL Pendekar Cacad Karya Gu Long