Ceritasilat Novel Online

Hancurnya Samurai Cabul 2


Pendekar Romantis Hancurnya Samurai Cabul Bagian 2



"Kudaku, kudaku!"

   Bentak Pandu dengan jengkel.

   "Dadaku ini bagaimana?"

   Gadis itu mau lari mengejar, tapi tak jadi dan kembali lagi. Duduk di batu setinggi pinggulnya dan berwajah murung sedih. Sementara itu Pandu Puber menggerutu dengan suara jelas.

   "Dada mau jebol disuruh ngejar kuda! Yang benar aja. Hilang kuda sih masih bisa beli lagi, tapi kalau hilang dada mau beli di mana? Mau diganti dada ayam juga nggak pantas!"

   "Tapi...tapi aku tak bisa pulang tanpa kuda. Rumahku jauh...."

   Gadis itu mau menangis. Pandu menjadi tegang dan mulai panik.

   "Ja...jangan....jangan menangis. Jangan menangis, ya?"

   "Rumahku jauh...oooh...aku tak bisa pulang,"

   Gadis itu mulai menangis. Pandu terbayang wajah ibunya jika sedang meanngis. Pandu paling tidak bisa melihat ibunya menangis. Maka ketika gadis itu menangis, Pandu menjadi gemetar. Tubuhnya terasa lemas sekali.

   "Jang...jangan menangis...jangan....!"

   Ucapnya pelan sekali.

   Lama-lama berdirinya menjadi limbung.

   Gadis itu menangis dengan bersuara.

   Pandu jatuh terkulai lemas.

   Matanya menerawang sayu, terbayang wajah ibunya jika sedang menangis.

   Napas Pandu selalu terengah-engah jika melihat sang Ibu menangis, karena ia sangan sayang kepada sang Ibu dan tak mau melihat sang Ibu menitikkan air mata.

   Pandu lebih suka melihat ibunya marah dan menghajarnya daripada menangis di depannya.

   "Ibuuu..."

   Pandu lirih, badannya bagai tak bertenaga lagi. Semakin mendengar rintih tangis gadis itu, semakin terpuruk raga bocah tampan itu.

   "Ibuuu...jangan menangis..."

   Ucapan itu nyaris tak terdengar siapapun.

   Kian lama sang gadis menyadari, bahwa dengan menangis saja ia tak akan sampai di rumah secara gaib.

   Ia harus mencari cara bagaimana supaya bisa pulang ke rumahnya.

   Maka satu-satunya sarana yang akan di-manfaatkan adalah anak muda tampan itu.

   Setidaknya bisa dimintai bantuan untuk menuntunnya ke arah jalan menuju pulang, sebab sang gadis sudah lupa lewat mana saja kudanya tadi membawa lari.

   Tangis itu dihentikan, Pandu yang terengah-engah dengan duduk bersandar pohon segera didekati.

   Wajah sedih sang gadis cantik masih tampak jelas.

   "Maukah kau mengatarku pulang?"

   "Yaah..."

   Jawab Pandu lemas.

   "Tapi...tapi jangan menangis lagi."

   Sang gadis menyusutkan air matanya.

   "Tidak. Aku tidak menangis lagi. Tapi... menangis sedikit nggak apa-apa kan?"

   "Jangan...aku...aku tak bisa melihat gadis menangis,"

   Jawab Pandu sambil napasnya terhela berat sehingga bicaranya terpotong-potong.

   "Anak ini gila,"

   Pikir gadis itu sambil berusaha mengeringkan air mata.

   "Yang nangis aku kok yang lemas dia? Tapi...ah, ternyata dia anak yang tampan. Hmm...benar. Mataku tak rusak karena tangis. Mataku masih jelas menilai ketampanan soerang pemuda. Sayang usianya kayaknya masih muda. Tapi...nggak apa-apa deh. Biar muda usianya tua pengalamannya, boleh juga!"

   Gadis itu lalu jongkok di samping Pandu Puber yang pucat pasi itu, Pandu memandang dengan mata sayu dan berkata.

   "Aku...hampir pingsan. Aku lemas."

   "Karena melihat tangisku?"

   Pandu mengangguk. Gadis itu mencoba untuk tersenyum. Lalu berkata.

   "Aku tidak menangis lagi. Lihatlah....aku sudah bisa tersenyum kan?"

   "Ya, tapi...tapi aku masih tetap lemas. Kakiku seperti tak bertulang lagi."

   "Lho, ke mana tulangnya?"

   "Hanya seperti, bego!"

   Ucapnya dngan pelan tapi mengandung kejengkelan.

   "Sepertinya tak bertulang. Tapi kalau diraba sih ya masih ada tulangnya."

   "Jadi...jadi kau tidak bisa mengantarku pulang dong?"

   "Entahlah. Aku tak bisa berjalan."

   "Kok jadi begitu sih? Lalu bagaimana caranya memulihkan kekuatanmu?"

   Pandu diam memandang tak mau berkedip.

   Gadis itu makin lama makin tertarik.

   Tatapan matanya tak mau berkedip.

   Pandangan Pandu tanpa sadar telah memancarkan suatu kekuatan magis.

   Jurus 'Mata Dewata' milik ayahnya yang menitis padanya bekerja dengan sendirinya.

   Jurus itu mampu membuat hati seorang gadis menjadi luluh, trenyuh, iba dan akhirnya menjadi sayang kepadanya.

   Hal itu dirasakan betul oleh gadis tersebut.

   Hati sang gadis bergetar, makin lama getarannya makin kuat, makin tak bisa dibendung lagi.

   Bunga-bunga indah muncul menggoda hatinya.

   Pandu Puber segera pejamkan mata pelan-pelan dalam keadaan wajah terdongak sedikit.

   Gadis itu semakin dicekam perasaan yang tak dimengerti apa artinya, hanya bisa dirasakan begitu indah dan bahagianya.

   Urat-urat tengkuk mengeras, kepalanya bagaikan didorong oleh debaran indah di hati.

   Kepala itu mendekat.

   Hati kecil menolak, tapi hati besar memaksa untuk lebih dekat.

   Dan akhirnya bibi gadis itu mencium kening Pandu Puber.

   Cuup...! Ceeesss...! Tubuh Pandu bagaikan disiram air surgawi.

   Air segar yang bagaikan menyiram sekujur tubuh itu membuatnya menjadi begolak.

   Darah menghangat, urat mengejang pelan.

   Kekuatannya mulai tumbuh kembali.

   Detak jantungnya normal.

   Tensi darahnya pun normal.

   Napas terhela lega.

   Plong rasanya.

   Lalu ia bangkit menegakkau duduknya.

   Tersenyum penuh keceriaan.

   Wajah pucat hilang, yang ada tinggal kecerahan yang kian menawan hati.

   Sedangkan sang gadis cepat menjauh dan buang muka karena malu.

   Hatinya membatin.

   "Kok aku jadi menciumnya sih? Aih... gila amat aku ini! Malu-maluin aja! Aduh, gimana ya kalau udah begini?"

   Dari situlah awal perkenalan mereka.

   Sang gadis yang mengaku bernama Lila Anggraeni segera diantarkan pulang oleh Pandu Puber.

   tentu saja sepanjang perjalanan pulang, Pandu Puber banyak bicara tentang keindahan yang ada pada diri Lila Anggraeni.

   Pandu Puber banyak memuji kecantikan Lila Anggraeni yang nada pujiannya seperti pujian lelaki dewasa.

   Sang gadispun hanyut dalam pujian itu, sehingga tak segan-segan menggandeng tangan Pandu Puber walau dalam hatinya membatin "Sayang dia masih berusia lima belas tahun.

   Tapi, ya...lumayanlah!"

   Lila Anggraeni kelihatan sebagai anak orang kaya. Perhiasan yang dikenakan sanagn menyolok dan berharga mahal. Pandu Puber langsung saja menebak.

   "Ayahmu seorang Adipati?"

   "Bukan. Ayahku seorang saudagar. Pemilik kapal dagang dan..."

   "Dan kau pasti putri tunggalnya. Iya, kan?"

   "Aku putri sulungnya. Adikku masih ada dua lagi."

   Pandu Puber hanya nyengir karena tebakannya selalu salah. Ia garuk-garuk kepala sambil berkata.

   "

   Sebenarnya aku mau bilang begitu. Tapi aku tak tega kalau tebakanku benar semua. Kau nanti akan kaget dan kalau kau pingsan aku kebingungan membawamu pulang."

   "Ah, kau bisa aja!"

   Lila Anggraeni mencubit lengan Pandu Puber. hati Pandu Puber berdesir indah, tapi kulitnya terasa panas karena cubitan itu. Jadi Pandu hanya bisa nyengir, antara girang dan sakit.

   "Kalau aku pingsan,"

   Kata Lila Anggraeni.

   "Apa yang akan kau lakukan?"

   "Hmm...yah, paling-paling membawamu ke kotaraja lalu meletakkan kau ke tengah kotaraja. Nanti kalau ada orang yang mengenalimu pasti kau akan dibawanya puang."

   "Hanya begitu?"

   Pancing Lila Anggraeni.

   "Habis, mau diapakan lagi?"

   Pandu Puber tersenyum geli.

   Sang gadis hanya bisa tersenyum.

   Tapi kepalanya disandarkan di pundak Pandu dan kakinya melangkah sedikit bergelayut.

   Mesra sekali.

   Romantis sekali perjalanan itu.

   Pandu Puber sengaja menegakkan badannya membusungkan Dian Ayu Dayena dalam melangkah biar tampak gagah.

   Tiba-tiba dari atas pohon bermunculan manusia-manusia berpakaian hitam.

   Mereka saling berlompatan menghadang Pandu Puber dan Lila Anggraeni.

   Jumlah orang-orang berbaju hitam itu ada lima.

   Mereka rata-rata bertampang bengis.

   Senjata mereka golok.

   Sepertinya golok pembagian jatah, sehingga bentuk dan rupanya sama persis.

   Dari arah gerumbulan semak depan melompat seorang berpakaian merah.

   Wuuusss...! Jleeg...! Lila Anggraeni makin ketakutan, makin merapatkan tubuh ke badan Pandu Puber, setengah memeluk erat-erat.

   Pandu Puber sedikit tegang, tapi sempat berbisik.

   "Jangan takut! Ada aku!"

   "Kau berani melawan mereka?"

   "Untung-untungan,"

   Jawabnya dengan suara pelan sekali.

   Orang berpakaian serba merah itu berambut panjang, tapi putih warnanya.

   Sudah tua, tapi masih tampak tegar dan gagah.

   Tubuhnya memang kurus, tapi sorot matanya tajam penuh tantangan dan keberanian.

   Orang itu berkuku panjang, tanpa senjata apapun.

   Usianya yang sudah sekitar delapan puluh tahun itu menimbulkan kesan bahwa ia tokoh tua yang beilmu tinggi.

   Buktinya ketika ia melompat dari semak-semak, ketik akakinya mendarat ke bumi, terasa jelas getaran yang ditimbulkan karena kaki itu.

   tanah bergetar tipis, walau tak sampai menumbangkan pohon sekecil apapun.

   "Mau apa kau, Pak Tua?!"

   Sapa Pandu Puber lebih dulu, menunjukkan bahwa ia tak kalah mental dengan tokoh tua itu.

   "Apakah kau belum mengenalku?"

   "Kalau sudah kenal aku tidak kaget melihatmu, Pak Tua."

   Senyum sinis itu dingin sekali. Pak tua berpakaian serba merah segera berkata dengan melangkah lebih dekat lagi.

   "Akulah yan berjuluk Sikat Neraka!"

   "Apakah aku harus takut dengan julukanmu?"

   Tanya Pandu Puber sepertinya terucap dengan polos itu. Sikat Neraka menggeram jengkel. Hasrat membunuhnya mulai berkobar. Ia berkata dengan mata sedingin salju.

   "Sebenarnya aku hanya ingin merampas perhiasan Nona itu! Tapi karena bicaramu lancang, sok berani, maka aku terpaksa harus membunuhmu, Bocah!"

   "Aku akan melawan!"

   Kata Pandu bagai tanpa dipikir dulu.

   Sikat Neraka rentangkan tangannya ketika lima anak buahnya ingin bergerak menyerang Pandu.

   Rentangan tangan itu sebuah isyarat bahwa mereka tak boleh bergerak menyerang.

   Ia ingin menangani bocah muda itu sendiri.

   Maka ia pun maju dua tindak lagi.

   Matanya tetap tajam memandang Pandu, seakan ingin menembus batok kepala bocah itu.

   "Mundurlah sedikit,"

   Kata Pandu pelan kepada Lila Anggraeni.

   Gadis itu cemas, namun akhirnya mundur juga.

   Tapi tak berani jauh dari Pandu.

   Sebab hanya Pandu-lah satu-satunya harapan keselamatan bagi jiwanya, walaupun akhirnya ia sangsi, apakah Pandu bisa diharapkan sebagai pelindungnya? "Cukup satu jurus kau akan kubuat tak bernapas selamanya, Bocah Tolol!"

   "Mudah-mudahan aku masih punya napas cadangan, Sikat Neraka!"

   "Bangsat!"

   Geramnya penuh kemarahan.

   "Hiaaah...!"

   Kedua tangan menyentak ke depan.

   Dari kedua telapak tangan melesar tenaga dalam besar tanpa sinar dan tak dapat dilihat.

   Pandu Puber sempat terpaku sejenak.

   Dan saaat itulah tenaga dalam besar menghantam tubuhnya.

   Buuhg! Weess...! Buuurrk...! Pandu Puber terlempar jauh dan jatuh karena membentur pohon.

   Lila Anggraeni menjerit.

   "Pandduuu...!"

   Ia berlari menghampiri Pandu dengan penuh kecemasan.

   Tapi sebelum ia tiba di tempat Pandu, pemuda itu bangkit dengan satu hentakan kaki dan berdiri tegak lagi.

   Wajahnya memang memucat, pertanda terkena pukulah tenaga dalam.

   Tapi agaknya luka itu tidak dihiraukan.

   Ia tetap maju menuju tempat semula."Aku tidak apa-apa.

   Tenang saja.

   Menepilah, biar kuhadapi orang itu!"

   Sikat Neraka terperanjat melihat Pandu masih bisa berdiri dan berjalan. Hatinya membatin.

   "Biasanya orang yang terkena pukulanku itu langsung remuk seluruh tulangnya, tak mampu berdiri dan tak mampu bernapas lagi. Tapi bocah ini agaknya punya ilmu awer muda. Atau mungkin ia memang punya napas cadangan? Hmm... agaknya aku harus gunakan jurus yang lebih hebat lagi. Malu sama anak buah, kalau aku tak bisa membunuhnya dalam satu-dua jurus!"

   Pandu Puber berdiri dengan kaki sedikit merenggang. Sikat Neraka menggeram dengan kedua tangan mengepal kuat-kuat hingga tulang-tulangnya terdegnar gemeretak.

   "Sudah kubilang aku akan melawanmu, Pak Tua!"

   "Jahanam, hiaaah...!"

   Sikat Neraka keluarkan jurus lebih tinggi dari yang tadi.

   Seberkas sinar kuning dari tengah dahinya setelah ia hentakan kaki ke bumi.

   Slaapp...! Sinar itu memandang lurus tanpa putus.

   Sasarannya ke dada Pandu.

   Tapi pada saat itu, Pandupun mengeluarkan jurus penangkis sinar kuning.

   Jurus 'Cakram Biru' melesat dari pergelangan tangannya.

   Sinat itu berwarna biru berbentuk piringan cakram.

   Sinar biru itu menghantam ujung sinar kuning yang akan mengarah kepadanya.

   Blegaaarr...! Dentuman dahsyat terjadi hingga mengguncangkan alam sekeliling.

   Asap tebal mengepul dari benturan dua sinar tadi.

   Dua anak buah Sikat Neraka jatuh tunggang-langgang akibat gelombang sentakan yang menggelegar itu.

   Tiga lainnya terhuyung-huyung mundur nyaris jatuh.

   Pandu Puber sendiri terpental ke belakang, tapi tak sampai jatuh.

   Sedangkan Lila Anggraeni terpelanting jatuh dan memekik.

   Pandu segera menolongnya.

   Lila Anggraeni segera memeluk penuh perasaan takut.

   "Tenang, tenang...! Sudah tak meledak lagi kok. Tenang, Lila....!"

   Bujuk Pandu dengan rasa takut kalau-kalau gadis itu tahu-tahu menangis.

   Dalam keadaan seperti itu sangant berbahaya jika Lila Anggraeni menangis.

   Kekuatan Pandu Puber bisa lenyap seketika.

   Tapi ketika asap tebal tadi lenyap, mereka sama-sama memandang keadaan Sikat Neraka yang mirip orang dicabik-cabik seratus singa lapar.

   Pakaiannya tak ada yang utuh.

   Tambutnya yang putih terbakar sebagian.

   Wajahnya penuh dengan sayatan.

   Berdirinyapun gemetar.

   Anak buahnya terbengong melompong karena baru kali itu mereka melihat Sikat Neraka dibuat separah itu.

   "Tunggulah saatnya! Kukenali wajah dan namamu! Kita akan jumpa lagi!"

   Ucapnya, lalu segera memberi isyarat kepada anak buahnya agar pergi, dan ia sendiri melesat meninggalkan tempat dengan gerakan tak selincah semula.

   *** ------------------------------------------------------------------------------LIMA ------------------------------------------------------------------------------NAK buah Sikat Neraka sendiri yang menyebarkan cerita pertarugnan singkat ketuanya dengan bocah A kemarin sore bernama Pandu.

   Mereka menceritakan hal itu di kedai tanpa sadar telah menjatuhkan nama besar si tokoh sesat itu dan membuat nama Pandu mulai direnungkan orang banyak.

   Cerita pertarungan itulah yang pada akhirnya sampai ke telinga Yuda Lelana dan Murti Kumala.

   "Awas kalau anak itu pulang nanti!"

   Geram Murti Kumala sebagai ibu yang sebenarnya amat sayang pada anaknya.

   Gara-gara selalu dicekam kecemasan dan kekawatiran akan keselamatan sang anak, akibatnya rasa jengkelnya timbul dalam hati dan membuatnya sering menghajar sang anak.

   Yuda Lelana membujuk isterinya dengan sabar.

   "Anak itu jangan terlalu sering kau marahi hanya gara-gara seperti itu."

   "Kalau sampai kenapa-kenapa bagaimana? Kalau sampai dia cedera siapa yang repot, siapa yang rugi? Apa musuhnya itu yang rugi?"

   "Beri semangat pada anakmu untuk menjadi seorang penegak kebenaran dan keadilan. Kau tak perlu cemaskan dirinya, karena sebenarnya kekuatanku dan kekuatanmu-lah yang menyatu dalam dirinya dan menjadi sang penantang kejahatan! Mestinya kau bangga punya anak berani menentang kejahatan!"

   "Ah, kau dan dia memang sama saja. Setali tiga uang!"

   "Apa maksudmu?"

   "Ya uang-uang juga!"

   Sambil Murti Kumala ngeloyor pergi ke belakang. Tapi dalam hatinya segera membatin.

   "Benarkah yang ada pada anak itu adalah kekuatanku juga? Benarkah anak itu mampu tundukkan segala bentuk kejahatan? Oh, tak kusangka anakku bisa jadi pahlawan kebenaran. Biar itu anak nakalnya melebihi anak setan, tapi ternyata dalam jiwanya tersimpan sifat satria!"

   Kesadaran Murti Kumala akan sifat satria sang anak membuatnya tak begitu nyap-nyap ketika sang anak pulang. Memang suaranya menegur lantang, tapi tak sampai turun tangan.

   "Ngeluyur terus, Pandu! Tak perlu ingat pulang deh! Pergi terus sana!"

   Pandu Puber mendekati ibunya dengan cengar cengir takut.

   "Dari mana saja kau?!"

   "Dari kotaraja, Bu."

   "Ngapain ke sana? Kotaraja kan jauh?"

   "Kalau dekat saya tiap hari datang ke sana, Bu."

   "Perlu apa kau sampai ke kotaraja?"

   "Nganterin cewek, Bu!"

   "Cewek lagi, cewek lagi...! Kau ini playboy cap semprong apa pendekar?!"

   Pandu Puber malah tertawa. Dasar bocah konyol, kata-kata ibunya sampai membuatnya terpingkal-pingkal geli.

   "Kenapa tertawa?!"

   Bentak ibunya saat sang ayah muncul di belakangnya. Pandu menjawab.

   "Ibu ini ada-ada saja. Masa' anaknya sendiri dikatakan playboy cap semprong? Ah, Ibu....semprong kan tipis, Bu. Kalau kena api bisa hitam kayak wajahnya Kakek Kala Bopak! Ibu ini ngatain anaknya apa ngatai bapaknya sendiri?"

   "Dasar bandel kau ini!"

   Pandu disabet pakai baju basah yang sedang mau dijemur, tapi sengaja tidak dikenakan, karena sang Ibu sendiri menahan geli. Melihat sang suami ada di situ, Murti Kumala segera berkata kepada Pandu.

   "Tuh lihat bapakmu! Kalau mau jadi playboy kayak dia tuh. Cukup satu wanita dan nggak pernah ganti-ganti."

   Lalu berkata pelan.

   "Nggak tahu juga kalau di belakangku. Mungkin ganti seratus kali."

   "Huuuh...!"

   Yuda mencibir sewot sambil menahan geli. Anaknya berkata.

   "Kalau aku playboy cap semprong, berarti Ayah playboy cap kerupuk bantat!"

   "Kok bisa begitu?"

   Protes sang Ibu.

   "Habis kawinnya sama penggorengan sih!"

   "Eee, eeehh... kurang ajar kau, ya? Ngatain Ibu seperti penggorengan?!"

   Murti Kumala mengejar anaknya ang berlari sambil tertawa keliling rumah. Yuda Lelana hanya geleng-geleng kepala di tempat. Menggerutu pelan sendirian.

   "Wah, wah, wah... baru sekarang ada penggorengan mengejar semprong teplok! Untung kerupuk bantat tidak ikut-ikut lari..."

   Lalu ia tertawa geli tanpa suara.

   Hatinya merasa damai dan bahagia melihat rumah tangganya tampak harmonis, walau sering terjadi hal-hal yang membuat Murti Kumala ngomel.

   Tapi Yuda Lelana menyadari bahwa ngomel adalah sebagian dari iman wanita.

   Wanita yang tidak ngomel menurutnya adalah wanita sariawan.

   Menjelang sore sang Ayah terlibat pembicaraan dengan sang anak di samping rumah.

   Murti Kumala sedang mengangkat jemurannya.

   "Tiba-tiba tanganku bergerak sendiri, Ayah"

   Tutur sang anak.

   "Lalu dari pergelangan tanganku keluar sinat biru berbetuk piringan, dan sinar itulah yang menghantam sinar kuningnya Sikat Neraka, Ayah!"

   "Itu namanya jurus 'Cakra Biru'"

   Kata Yuda Lelana menjelaskan.

   "Benda apapun jika terkena jurus 'Cakra Biru' akan hancur."

   "Tapi tubuh Sikat Neraka tidak hancur, Ayah. Dia hanya luka tercabik-cabik seperti disambar tiga belas petir."

   "Tiga belas atau empat belas? Kamu salah hitung, kali...?!"

   "Tiga belas petir kok, Ayah. Yang satu petir lagi sedang ngangkatin jemuran,"

   Sambil Pandu melirik ibunya. Ibunya melirik sewot. Sang Ayah berkata pelan tapi didengar oleh sang Ibu.

   "Kalau yang itu sih bukan petir, tapi gledek!"

   "Terus aja ngomongin Ibu, nanti lama-lama Ibu pelintir kepalamu, Pandu!"

   "Alaaah... gitu aja marah?!"

   Pandu merayu mendekati ibunya dari belakang.

   "Gitu aja cemberut. Jangan cemberut dong, Bu. Nanti kawat jemuran bisa putus kesodok bibir Ibu!"

   "Bodo...!"

   Sentaknya melengos. Pandu tertawa, lalu memeluk ibunya dari belakang dan menciumnya dengan penuh kasih sayang. Ayahnya mendekat dari belakang dan menepak kepala anaknya. Plok...! "Jangan cium dia. Dia istriku!"

   Kata sang Ayah membuat anak dan ibu tertawa geli.

   Yuda Lelana berlagak bersungut-sungut cemburu.

   Tapi begitulah sebenarnya canda Yuda Lelana dalam mengakrabkan hubungan batin antara suami, istri dan anak.

   Suasana ceria itulah yang membuat Pandu kadang tak tega jika harus pergi tanpa pamit ayah dan ibunya.

   Pertumbuhan anak dalam lingkungan keluarga bahagia penuh tawa dan keakraban membuat Pandu Puber seperti masih anak-anak jika dalam lingkungan keluarga.

   Sekarang usianya sudah tujuh belas tahun.

   Sudah perjaka dan tampak ganteng.

   Badannya kelihatan kekar.

   Tato mawar merah di Dian Ayu Dayenanya tampak mekar.

   Sesuai dengan Dian Ayu Dayenanya yang membusung keras dan berkesan gagah.

   Tapi dia masih seperti anak kecil.

   Masih sering manja kepada ibunya.

   Masih sering tiduran di pangkuan sang Ibu.

   Masih sering menciumi ibunya.

   Masih sering juga menggoda ayah dan ibunya jika sedang bicara dari hati ke hati.

   Bahkan tidurnya masih campur dengan ayah dan ibunya.

   Kadang jika ayahnya memeluk sang Ibu, Pandu Puber iri dan ia mendusal di tengah, sehingga menjadi dipeluk sang Ibu dan Ayah.

   Sikap itu segera disadari oleh pasangan suami istri Yuda Lelana dan Murti Kumala.

   Mereka menjadi cemas, takut kalau anaknya menjadi cengeng, manja dan tak bisa mandiri.

   Mereka kawatir kalau-kalau Pandu Puber menjadi pemuda yang selalu merengek pada orangtua dan tidak mempunyai sikap sendiri dalam menentukan langkahnya.

   Maka pada suatu senja, sang Ayah mengajak anaknya bicara jauh dari rumah.

   Sebuah pancuran sungai dipilih sebagai tempat pembicaraan mereka.

   Di sana banyak batu berbongkah-bongkah besarnya.

   Di antara batu-batu itulah mereka berada dan bicara.

   "Kuperhatikan pertumbuhanmu sekarang sudah semakin dewasa, Pandu. Ayah menjadi tua, karena memang proses ketuaan ini lebih cepat daripada manusia biasa. Ayah takut sewaktu-waktu sang Hyang Guru Dewa memanggil dan Ayah harus kembali ke kayangan."

   "Apakah Ibu tetap akan diajak ke kayangan?"

   "Ya. Dia menjadi manusia yang berhak tinggal di kayangan, di antara pada dewa, karena ibumu seorang istri yang setia, jujur dan penuh cinta kasih dalam melayani anak dan suaminya. Ibumu terpilih menjadi perempuan suci hati, walau sebenarnya ia anak jin."

   Pandu diam menunduk.

   Ia menyimak kata-kata ayahnya dengan penuh hikmat.

   Ketika ia mendongak, ternyata sang Ayah sudah tidak ada di tempat.

   Sang Ayah ada di atas batu besar.

   Pandu Puber tak memperhatikan saat sang Ayah memanjat batu itu.

   maka ia segera menyusul dengan cara menghentakkan kaki, dan tubuhnya melesat ke ats lalu hinggap di batu tersebut.

   Wuus...! Jleg! Sang Ayah langsung berkata.

   "Ilmu peringan tubuhmu masih harus kau latih terus. Mestinya kau menapak di batu ini tanpa suara dan tanpa getaran sedikitpun."

   "Aku akan melatihnya terus, Ayah!"

   "Bagus!"

   Sang Ayah tersenyum bangga sambil enepuk pundak anaknya yang gagah dan rupawan itu.

   "Anak Ayah harus bagus, kan?"

   Senyum Pandu tersungging, sama menawannya dengan senyum Yuda Lelana sebelum menikah dengan Murti Kumala.

   "Segala apa yang ada pada Ayah seolah-olah tercurah kepadamu, Pandu. Ilmu Ayah menitis kepadamu, sifat Ayah juga ada padamu, lagak-lagu Ayah juga menurun padamu. Pokoknya kau boleh dikata 'foto copy'-nya Yuda Lelana. Kalau kau ingin tahu Ayah semasa muda, bercerminlah, dan itulah Ayah semasa muda. Gagah, tegap, konyol, bandel...."

   "Tapi gantengnya nggak sama dong. Masih gantengan aku sedikit kan?"

   Yuda Lelana sambil menonjok pertu anaknya. Duug...! Sang anak tidak menggubris tonjokan itu karena memang tidak terasa. Yuda Lelana bicara serius lagi.

   "Pandu, kau harus sudah siap ditinggal Ayah dan Ibu. Kau tak boleh sedih. Karena kelak kau sendiri akan tinggal di kayangan jika kau menikah dengan seorang bidadari. Kau sendiri sebenarnya adalah dewa. Tapi nama kedewaanmu baru bisa kau pakai setelah kau tinggal di kayangan bersama istrimu."

   "Siapa nama dewa untukku sebenarnya, Ayah?"

   "Dewa Indo!"

   "Apa itu maksud nama Indo, Ayah?"

   "Artinya dewa campuran. Darah dewaku bercampur dengan darah jin dan manusia yang ada pada ibumu. Maka jadilah dirimu sebagai Dewa Indo. Tapikalau kau menikah dengan manusia, maka hak kedewaanmu hilang dan kau tak akan bisa masuk kayangan."

   "Ooo..."

   Calon Dewa Indo itu manggut-manggut. Lalu ia segera berkata.

   "Tapi, Ayah... belakangan ini aku seperti melihat bayangan seorang gadis cantik berjubah putih. Kadang dia seperti lesat di depanku, kadang seperti mengikutiku dari belakang. Tapi kalau kudekati tak ada, Ayah. Dan aku memimpikan gadis itu tadi malam. Gadis itu mengaku bernama Dian Ayu Dayen!"

   "Itulah calon istrimu! Itulah bidadari penguasa kecantikan. Aku kenal dengannya. Dia punya lesung pipit jika tersenyum, kan?"

   "Benar, Ayah! Benar sekali!"

   Jawab Pandu dengan berapi-api seperti korek api.

   "Hidungnya mancung, matanya membelalak indah, bibirnya seperti kuncup mawar basah dan...wah... pokoknya oke banget deh, Ayah!"

   Yuda Lelana manggut-manggut sambil tersenyum tipis.

   "Itulah bidadari penguasa kecantikan, Dian Ayu Dayen. Agaknya dialah calon istrimu yang harus kau kejar ke manapun dia pergi. Kau harus bisa menaklukkan hatinya, karena bidadari Dian Ayu Dayen adalah bidadari berhati beku. Tak ada yang bisa meluluhkan hatinya. Tapi menurut kodrat kedewaannya, dia akan mengikuti calon suaminya ke manapun dia pergi. Jika ada lelaki yang dibayang-bayangi Dian Ayu Dayen, maka itu pertanda kebekuan hatinya mulai akan mencair, tinggal kepandaian si lelaki untuk merayu dan menundukkan hatinya. Tentu saja ia tidak akanmudah pasrah dan menyerah kepada rayuan lelaki. Ia akan melawn dengan jurus 'Hati Beku'-nya."

   "Bagaimana cara meluluhkan hatinya itu, Ayah? Rayuan apa yang harus kugunakan? Beri aku manteranya, Ayah."

   "Kalau Ayah punya manteranya sudah Ayah taklukkan sewaktu ayah belum dibuang ke bumi!"

   Yuda Lelana.

   "Tugasmu adalah mencari cara menaklukkan hatinya. Kau boleh pacaran dengan seribu wanita, tapi pada akhir perjalanan cintamu kau harus kawin dengan Dian Ayu Dayen. Dengan begitu kau bisa berkumpul dengan Ayah dan Ibu di kayangan."

   "Akan kuingat pesan Ayah ini!"

   "Dan ingat pula, barang siapa menjadi gurumu atau pelayan setiamu, maka ia akan diangkat ke kayangan juga sebagai manusia yang berhak menikmati kehidupan di sana."

   "Apakah aku masih perlu seorang guru, Ayah?"

   "Menuntut ilmu itu tidak ada habisnya sampai manusia ke liang kubur. Jangan kau merasa paling jago walau kau mewarisi ilmu Ayah. Kau masih punya banyak kelemahan, Pandu. Kau membutuhkan seorang guru, walau bukan berarti guru ilmu kanuragan. Falsafah sebuah kehidupan masih perlu kau timba dari seseorang. Pengetahuan lainnya masih kau butuhkan. Ayah, Ibu, kakekmu, itu bukan gurumu! Mereka adalah pembimbingmu."

   Pandu manggut-manggut lagi dalam sikap berdiri yang gagah.

   "Ingat-ingat betul nama jurus-jurus yang Ayah beritahukan itu, Pandu. Kelak jika tanganmu atau tubuhmu bergerak sendiri memainkan jurus baru, berilah nama sendiri jurus itu. Dan ..... sebelum Ayah dan Ibu naik ke kayangan Ayah ingin kau mendapat gelar pendekar."

   "Bagaimana caranya?"

   "Gelar pendekar saat ini ada di tangan Shoguwara yang bergelar Pendekar Samurai Cabul. Dia adalah tokoh muda tersakti untuk saat ini. namanya ada ddalam deretan teratas dari daftar tokoh-tokoh sakti di trimba persilatan. Kau harus bisa mengalahkan Pendekar Samurai Cabul, sehingga dunia persilatan akan mengakuimu sebagai pendekar baru."

   "Di mana aku bisa menemuinya, Ayah?"

   "Di Tanah Sakura. Dia membuka perguruan di sana. Sebenarnya dia tokoh aliran hitam. Tapi kelicikannya membuat orang selalu beranggapan bahsa dia adalah tokoh aliran putih. Dan pengakuannya sebagai pendekar beraliran putih itu tidka ada yang berani membantahnya, karena barang siapa membantah pengakuannya ia akan mati di ujung samurainya."

   "Kalau begitu aku harus pergi ke Tanah Sakura untuk merebut gelar kependekaranya, Ayah!"

   "Kurasa memang harus begitu. Tapi katakan kepada ibumu hal yang baik-baik saja. Jangan bilang kalau kau mau bertarung dengan Pendekar Samurai Cabul. Sebab ibumu juga tahu ketenaran nama itu. Nama yang ngetop di kalangan para tokoh tingkat tinggi itu jika disebutkan menimbulkan bayangan ngeri bagi setiap wanita, seperti ibumu. Sebab Shoguwara satu-satunya tokoh berilmu pedang tinggi yang mampu menelanjangi wanita dengan sabetan samurainya tanpa melukai kulit wanita itu sedikitpun."

   "Di mana kelemahan Pendekar Samurai Cabul itu, Ayah!"

   Batara Kama yang bernama Yuda Lelana itu diam sebentar. Pandangannya terlempar jauh bagaikan menerawang. Sejenak kemudian barulah terdengar suaranya tanpa menoleh ke arah Pandu Puber.

   "Kelemahannya....ada di 'pusat kejantanannya'. Jangan mengincar bagian tubuh yang lainnya. Incarlah di tempat 'jimat lelaki'-nya disembunyikan. Hantam dulu bagian itu, baru bagian lainnya."

   "Akan kubayangkan terus bagian kelemahannya itu."

   "Jangan! Jangan kau bayangkan terus-terusan, nanti kau jadi lelaki yang gemar lelaki. Istilah 'homo des guario des eryana kuzodes anoma'."

   "Apa itu artinya, Ayah?"

   "Itu bahasa dewa, artinya lelaki cinta dengan lelaki. Disingkat homo!"

   Lalu dia bergidik sendiri membayangkan seandainya dirinya dipeluk dan dicium seorang lelaki.

   Bayangan itu segera dihilangkah dan bayangan pertarungan merebut gelar kependekaran yang selalu muncul dalam ingatannya.

   Kepada ibunya, Pandu Puber pamit mau ke kotaraja, menengok Lila Anggraeni.

   Memang ia mau ke sana untuk memberitahukan Lila Anggraeni tentang rencananya menantang Pendekar Samurai Cabul.

   Tapi sang ibu mempunyai pengertian lain.

   "Apakah kau sudah benar-benar jatuh cinta sama gadis itu?"

   "Aku... aku hanya berteman saja saja kok, Bu."

   "Jangan bohonglah,"

   Goda ibunya dengan tersenyum-senyum.

   "Betul, Bu. Aku hanya bersahabat saja. Nggak pakai perasaan apa-apa."

   "Benar, nggak pakai perasaan apa-apa?"

   "Benar! Nggak pakai!"

   "Ah, jangan gitulah, Ngai juga pakai!"

   Ujar ibunya menggoda terus.

   "Dulu waktu Ibu memandang Ayahmu. Ibu memakai perasaan juga kok. Kau nggak perlu malu lagi sama Ibu. Kau boleh jujur, sebab kau sudah dewasa, Pandu. Dan kalau gadis itu jatuh cinta padamu, Ibu nggak marah. Itu wajar saja terjadi, sebab kau pemuda gagah yang tampan dan menawan hati wanita."

   "Sama Ayah dulu tampan mana. Bu?"

   "Waah... kalau ayahmu sih nggak ada tampan-tampannya sedikitpun!"

   Sang Ibu membesarkan hati anaknya.

   "Dulu karena gelap saja jadi Ibu sangka ayahmu tampan. Karena waktu Ibu raba wajahnya, Ibu sangka hidungnya mancung, eeh...nggak tahunya giginya yang mancung!"

   Pandu tertawa sambil geleng-gelengkan kepala.

   "Ibu terlalu jujur....!"

   Katanya dengan tampak bangga sekali dikatakan lebih tampan dari ayahnya. Pamit ke kotaraja memang ke kotaraja. Tapi sang ayah sempat membisikkan kata yang didengar oleh sang Ibu dan membuat sang Ibu curiga.

   "Jangan kaget kalau nanti kau berubah menjadi kupu-kupu perak. Itulah naluri dewamu yang bergerak mempercepat gerak."

   "Aku paham, Ayah! Mohon doa restu darimu, Ayah!"

   "Ya. Doa restuku menyertaimu, Nak."

   "Ya, ya...kurestui kalian berdua. Semoga rukun dan bahagia selalu."

   "Jangan berdua, Bu. Aku saja yang direstui!"

   Protes Pandu.

   "O, ya. Kau saja yang kurestui,"

   Katanya ibunya menurut. Tapi setelah sang anak pergi, sang Ibu bertanya kepada sang Ayah.

   "Mau kemana dia itu sebenarnya? Kok pakai mohon doa restu segala?"

   "Mau ke kotaraja,"

   Jawab ayahnya membela sang anak.

   "Mau melamar gadis itu?"

   "Ah, nggak gitu kok. Cuma sekadar mau pacaran sja."

   Sang Ibu masih sangsi dalam keterbengongan.

   "Mau pacaran kok minta doa restu?! Aneh sekali anak itu?!"

   Yuda Lelana menuntun istrinya, dibawa masuk ke dalam rumah batu yang menyerupai bangunan candi itu, sambil berkata "Sudahlah, kita doakan saja supaya dia selamat dan pulang dalam keadaan sehat, tak kurang satu apapun."

   "Kamu lagi....bikin aku pernadaran aja?! Sebenarnya ada apa sih?"

   "Nggak ada apa-apa! Aku cuma minta kau mendoakan anakmu supaya selamat dan bisa pulang tanpa penyakit apapun."

   "Ah, nggak tahulah....! Kamu sama anak selalu kongkalikong!"

   Gerutunya dambil bersungut-sungut.

   *** ------------------------------------------------------------------------------ENAM ------------------------------------------------------------------------------ERJALANAN ke kotaraja sendiri terhalang oleh ke-munculan Sikat Neraka yang kala itu bersama kakak P seperguruannya, Hantu Congkak.

   Tujuan mereka sebenarnya tidak menghadang Pandu Puber.

   Mereka punya tujuan tersendiri, tapi begitu melihat sekelebatan anak muda yang ganteng berpakain ungu muda berbintik-bintik putih bagai tetesan embun itu, Sikat Neraka ingat akan kekalahannya dua tahun yang lalu.

   Maka iapun mengajak Hantu Congkak untuk menghadang anak muda bertato mawar.

   Hantu Congkak berpakaian abu-abu, jubahnya berlengan panjang.

   Memegang tongkat berukir kepala monyet pada bagian ataSikat Nerakaya.

   Tubuh Hantu Congkak juga kurus seperti Sikat Neraka.

   Matanya cekung ke dalam, tulang pipinya bertonjolan.

   Kulitnya keriput, rambutnya putih dan tumbuh di bagian tepian saja, bagian tengahnya botak polos.

   Tanpa tato.

   Alisnya yang lebat juga berwarna putih.

   Ia sedikit bungkuk, menandakan usianya lebih tua dari Sikat Neraka.

   Kesepuluh jarinya juga berkuku panjang dan runcing, seperti kukunya Sikat Neraka.

   Giginya sudah banyak yang ompong, sehingga sulit menyebut hurup 'P'.

   biasanya hurup 'P' diucapkan dengan nada seperti mengucapkan hurup 'F'.

   "Rufanya anak ini yang kau ceritakan fadaku dulu itu, Sikat Neraka?"

   "Betul, Hantu Congkak! Anak inilah yang pernah mencabik-cabik tubuhku dengan ilmu gilanya itu. aku masih sakit hati sampai sekarang."

   Pandu Puber diam memandang wajah Sikat Neraka yang cacat bergaris-garis akibat bekas luka pertarungannya dulu.

   Lengannya pun cacat bergaris-garis.

   Hati pemuda ganteng berambut sepanjang puncak tapi depannya pendek modal punk-rock itu merasa geli dan bangga bisa membuat tokoh sesat yang ganas mengalami luka seperti itu.

   Diharapkan dapat membuatnya jera, ternyata sekarang malah menantangnya lagi.

   "Kau masih ingat padaku, Bocah Tikus?!"

   Hardik Sikat Neraka.

   "Tentu saja, Pak Tua!"

   "Bagus. Aku juga masih ingat padamu. Tato mawar merah di dadamu itu sangat membekas dalam ingatanku. Dulu kau secara kebetulan saja bisa mengalahkan. Tapi sekarang aku punya perhitungan lebih matang! Kau tak akan bisa mengalahkanku, Bocah Tikus!"

   "Tentu saja, karena kau sekarang membawa pawang hujan!"

   Sambil menunjuk Hantu Congkak berpipi kempot. Yang ditunjuk menggeram menahan murka.

   "Aku bukan fawang hujan! Jagung busuk! Seenaknya aja kalau ngomong! Huhh... gue tiban tamyas lu!"

   Sambil Hantu Congkak menggeram ingin menggebukkan tongkatnya, tapi Pandu Puber sudah siaga menangkis, sayang gertakan atas kejengkelannya saja.

   "Hajarlah ia, Hantu Congkak. Biar dia tahu adat bagaimaan menghargai prang yang lebih tua, seperti kita ini!"

   "Soal menghajar dia itu mudah!"

   Katanya dengan congkak.

   "Sekali gebuk fasti nyawanya bablas! Cuma masalahnya, afa kau nggak bisa hajar dia sendiri?"

   "Jangan meremehkan aku. Aku hanya memberi kesempatan kepada yang tua lebih dulu. Kalau aku langsung menghajarnya, nanti disangka aku tidak hormat kepada kakak seperguruan? Jadi kutawarkan padamu dulu. Kalau kau sudah mengizinkan aku lebih dulu bertindak, ya aku akan bertindak. Cuma.... kalau kira-kira aku kepepet kau cepat-cepat bergerak, ya?"

   "Huh... lama-lama yang kugebuk kefalamu sendiri!"

   Geram Hantu Congkak kepada Sikat Neraka, gemas mau memukulkan tongkatnya.

   "Sudah sana, maju dan sikat dia! Fercuma funya nama Sikat Neraka kalau tak becus menyikat bocah sekutu beras gitu!"

   Sikat Neraka maju, Hantu Congkak menepi.

   Jalannya tertatih-tatih dan punggung bagian dekat tengkuk membungkuk bukan karena terkantuk-kantuk.

   Pemuda berbaju ungu tanpa lengan dan mengenakan anting di telinga kirinya itu segera melangkah ke samping dengan gagah mencari posisi yang enak untuk menyerang lawan.

   "Kutebus kekalahanku tempo hari, Bocah Tikus! heeaah...!"

   Sikat Neraka melompat bagaikan gerakan terbang mengelilingi Pandu Puber.

   Ia membuat pemuda tampan itu sedikit kebingungan dengan jurus terbang memutar itu.

   Mau tak mau Pandu Puber juga ikut-ikutan bergerak memutar.

   Dan tiba-tiba dari tangan kanan Sikat Neraka keluarkan kilatan cahaya petir yang menyambar tubuh Pandu Puber.

   Crelaaap...! "Hiaaah...!"

   Pandu Puber sentakkan kaki dan melenting ke atas, bersalto satu kali tepat jatuh ke atah tubuh Sikat Neraka.

   kakinya segera menjejak punggung itu.

   Buug...

   Tapi dentuman terdengar lebih dulu akibat sinar petir menghantam pohon.

   Jlegaar...! Wwwrrr...

   bruuk! Pohon itu roboh, tapi keadaannya sudah hangus dan berasap.

   Sedangkan Sikat Neraka juga roboh tersungkur menyusuri tanah dengan wajahnya dan berhenti di depan kaki Hantu Congkak.

   Srruukk...! Deb! Kepalanya ditahan oleh kaki Hantu Congkak seupaya tidak menabraknya.

   Pandu tersenyum menahan geli melihat Hantu Congkak bagai menangkap bola menggelinding dengan kakinya.

   "Goblok! jangan serang fakai jurus 'Kelelawar Sawah'. Serang dengan jurus 'Cakar Garuk Gatal'! Dia tak akan bisa menghindarinya!"

   "Iya. Tapi kakimu jangan langsung injak kepalaku dong! Malu dilihat anak muda itu!"

   Gerutu Sikat Neraka yang wajahnya menjadi kotor karena nyerosot di tanah.

   Untung bibirnya hanya somplak sedikit.

   Perih juga sih, tapi masih bisa dicuekin oleh Sikat Neraka.

   Wuuttt...! Jleg...! Sikat Neraka yang berbaju warna meah itu tahu-tahu berdiri dalam jarak tiga langkah dari Pandu Puber.

   Matanya memandang ganas.

   Tubuhnya merendah, kakinya merenggang ke belakang, tangannya diangkat dua-duanya membentuk cakar maut.

   Itulah sistem kuda-kuda dari jurus 'Cakar Garuk Gatal' yang dikatakan Hantu Congkak tadi.

   "Heeaaat...!"

   Sikat Neraka segera bergerak melompat sambil kedua tangannya mencakar-cakar dengan amat cepat.

   Nyaris tak bisa dilihat lagi oleh mata manusia biasa.

   Pandu Puber sempat bingung menangkis dan meng-hidarinya.

   Gerakan mencakar itu hampir saja kenai wajah Pandu kalau wajah itu tak segera ditarik muncur secara refleks.

   Wuuttt, wuutt...! "Kukunya pasti beracun ganas.

   Aku harus meng-hindarinya!"

   Pikir Pandu, sambil segera menjatuhkan diri, lalu kakinya menyambar kaki lawan dengan kerasnya. Wuuttt...! Prookk...! terdengar mata kaki itu berada dengan tulang kakinya Pandu Puber.

   "Aaaooww...!"

   Teriak Sikat Neraka sambil hentikan serangan dan melompat mundur. Tapi lompatannya terlalu keras sehingga menabrak Hantu Congkak. Bruss...! "Heengk...!"

   Hantu Congkak mendelik karena perutnya ketiban tubuh Sikat Neraka dalam keadaan dirinya terkapar di tanah.

   "Babi ganjen kau! Huuh...!"

   Hantu Congkak sentakkan tubuh Sikat Neraka dengan kedua tangannya. Tubuh itu melayang tinggi karena disentakkan dengan tenaga dalam. Wuuutt...! "Waaaooo...!"

   Teriak Sikat Neraka saat melayang naik dan melayang turun tanpa bisa menjaga keseimbangan badan.

   Hampir saja ia menjatuhi tubuh Hantu Congkak lagi kalau sang Hantu Congkak tidak segera berguling-guling ke kiri tiga kali.

   Dan tubuh Sikat Neraka pun jatuh terhempas dengan kuat.

   Buaakk...! "Mati akuuu...!"

   Rintih Sikat Neraka secara spontan saat terhempas.

   Tulang tubuhnya bagaikan remuk.

   Sedangkan kakinya yang kiri menjadi bengkak karena mata kakinya pecah akibat sapuan kaki Pandu Puber tadi.

   Sikat Neraka mengerang-erang bagaikan anak manja supaya ditolong kakak seperguruannya.

   Tapi sang kakak perguruan malah membentak.

   "Bangun, Tolol!"

   Buuhg...! Tongkatnya digebukkan asal-asalan. Tepat kenai lambung. Sikat Neraka makin mengerang kesakitan.

   "Kamu itu tokoh sakti afa babi dikebiri? Tarung kok ngeringkuk begitu?!"

   Omel Hantu Congkak dengan mata congkaknya.

   "Fercuma funya nama menakutkan orang kalau cuma musuh anak kencur saja keok begitu. Malu-maluin! Ayo, keluarkan jurus mautmu. Jangan merasa sayang. Fakai senjata jurus maut, kalau habis bisa beli lagi!"

   "Kakiku...uuuhh...! Kakiku...!"

   "Kenafa dengan kakimu? Minta tolong?!"

   Sang kakak perguruan agaknya tak mau memanjakan sang adik perguruan.

   "Bangun! Ayo, bangun...!"

   Punggung sang adik perguruan disodok-sodok dengan tongkat.

   "Salurkan hawa murni ke kakimu biar sakitnya berkurang. Uuh...fayah kau ini!"

   Sikat Neraka tiba-tiba Mayat Melambaiengejang, lalu sekujur tubuhnya gemetar. Pandu Puber memperhatikan dengan kedua tangan bersidekap di dada. Dia tetap tenang dan mempelajari tiap gerakan serta ucapan lawan.

   "Terus...! Terus...! Salurkan hawa murni ke betis dulu. Terus, terus...Kiri, kiri dikit. Ya cukuf!"

   Seru Hantu Congkak mirip tukang parkir. Sikat Neraka segera bangkit kembali. Masih terasa linu kakinya, tapi ia langsung melompat dengan ganas dengan kedua tangan terjulur ke depan.

   "Heaaah...!"

   Dari kedua tangan keluar sinar kuning yang menyatu dan membentuk seperti tombak memanjang menghantam tubuh Pandu Puber.

   Pemuda ganteng itu hanya melompat menghidar sinar tersebut.

   tetapi telapak kakinya mengeras dan menukik ke bawah.

   Dari ujung jempol kaki kanan keluar sinar putih perak sebesar lidi.

   Claaap...! sinar itu tepat mengenai sinar kuning mirip tombakitu.

   Craas...! Blegaarrr...! Tubuh Sikat Neraka yang sedang melayang gaya Superman itu terpental balik.

   Melayang-layang di udara dan menghantam pohon yang sedang bergetar skibat ledakan dahsyat itu.

   Braak...! Kkrrrekk...

   bruukk! Pohon itu tumbang seketika.

   Tubuh Sikat Neraka terkapar dalam keadaan memar membiru dari kepala sampai kaki.

   Rupanya gelombang ledakan tadi memancarkan hawa panas yang cukup tinggi, sehingga membuat tubuh si baju merah itu matang mendadak.

   Sementara tubuh Pandu Puber sendiri terpental ke atas dan nyangsang di dahan pohon.

   Tapi keadaannya tak parah.

   Hanya kulitnya menjadi merah sedikit karena hawa panas tadi.

   Sedangkan Hantu Congkak tetap berdiri di tempat dengan tangan kiri tegak di dada, tongkat tergenggam dan mata terpejam.

   Kejap berikutnya ia membuka mata dan menghembuskan napas pelan-pelan.

   Rupanya Hantu Congkak tadi segera salurkan kekuatan hawa dinginnya merembes keluar melalui tiap lubang pori-pori.

   Hawa dinginnya itu yang digunakan melawan gelombang hawa panas, sehingga ia tidak terbakar sedikitpun.

   Rasa panaspun tidak dirasakannya sedikitpun.

   Hanya dia yang masih tetap segar dan tidak bergeming dari tempatnya.

   Tentunya hal itu dikarenakan ia berilmu tinggi, lebih tinggi dari Sikat Neraka.

   "Wow...! Jurus apa yang tadi keluar dari ujung jempol kakiku? Hmm... sebaiknya kunamakan jurus 'Jempol Syahdu' saja. Biar mudah kuingat!"

   Pikir Pandu Puber sambil berusaha bangkit dan melompat turun dari pohon.

   Wuutt...! Tahu-tahu ia sudah berdiri di depanHantu Congkak dalam jarak lima langkah ke depan.

   Si Hantu Congkak menatap dengan angkuh.

   Tapi kemudian melirik adik perguruannya yang tak berkutik, hanya terdengar erangannya yang samar-samar.

   Hantu Congkak kembali me-mandang Pandu Puber sambil berkata menggeram.

   "Siafa gurumu sebenarnya, Jadah Goreng?!"

   "Aku tak punya guru. Mau apa?"

   Tantang Pandu Puber rada tengil.

   "Usiamu cukuf muda, tapi ilmumu tinggi juga! Kau bisa buat adik ferguruanku tumbang, itu berarti kau funya ilmu tidak sembarangan, Anak Singkong!"

   "Yang jelas aku tidak membuka perkara! Dia yang memulai!"

   "Ya, ya....!"

   Hantu Congkak manggut-manggut.

   "Tapi kau jangan bangga dulu. Aku kakak ferguruannya akan membalas kekalahannya. Hati-hati melawanku, Nak. Hantu Congkak tak fernah kalah dalam fertarungan dengan siafa fun."

   "Aku tidak funya fersoalan fadamu. jangan fancing kekurang ajranku, Kek!"

   "Jangan ikut-ikutan ngomong begitu!"

   Bentak Hantu Congkak yang merasa tersinggung gaya bicaranya ditirukan Pandu Puber.

   Anak muda itu hanya senyum-senyum kecil saja.

   Ia membiarkan Hantu Congkak maju dua langkah, lalu diam berdiri dengan tongkat disentakkan ke tanah.

   Jluug...! Ternyata sentakan tongkat ke tanah menghadirkan sinar merah melesat dari dalam tanah ke tubuh Pandu Puber.

   Claapp...! Sinar itu seperti panah.

   Cepat sekali.

   tapi Pandu Puber punya jurus 'Angin Jantan' dari ayahnya.

   Ia mampu bergerak melebihi kecepatan biasan sinar merah itu.

   Zlaap...! Dan sinar merah dari tanah akhirnya menghantam dahan pohon.

   Blaarr....! Dahan pohon itu hancur seketika.

   Serpihannya menyebar kemana-mana.

   Hantu Congkak terbengong batinnya.

   "Gila! Dia bisa menghindari jurus 'Lintah Bumi'-ku? Padahal selama ini jurus itu tak pernah ada yang bisa menghindarinya. kalau yang pernah menangkisnya memang ada, tapi biasanya jebol pula pertahanannya. Cuma, yang bisa menghindari sinar itu baru bocah songong ini! Hebat sekali dia?! Coba dengan jurus lainnya yang tak penah gagal kugunakan melumpuhkan lawan, apa dia juga bisa menghadapinya?"

   Hantu Congkak semakin penasaran.

   Tongkatnya segear berkelebat, berdiri tegak tanpa bungkuk sedikitpun.

   Tongkat itu berkelebat memutari kepala.

   Lalu tiba-tiba kakinya ditarik ke belakang merendah, tongkatnya dihantamkan ke depan, sejajar dengan lehernya.

   Wuutt...! Slaapp...! Sinar hijau menyembur dari ujung kepala tongkat berbentuk kepala monyet itu.

   sinar hijau itu menyebar bagaikan ratusan jarum kecil-kecil.

   Sifatnya menyergap lawan.

   Tetapi Pandu Puber tiba-tiba bergerak sendiri tanpa kehendak pikirannya.

   Ia rendahkan kaki, rapatkan telapak tangan, dan telapak tangan itu menyodok ke depan dalam keadaan terbuka ujungnya.

   Woosss...! Ujung telapak tangan seperti mulut naga yang menyemburkan api berkobar besar.

   Api itu membakar sinar hijau berbentuk seperti ratusan jarum.

   Zrrraaakkk...! Suara aneh terdengar saat kobaran api membakar sinar itu.

   Kejap kemudian terdengar lagi bunyi ledakan menggelegar lebih dahsyat dari yang tadi.

   Bleggaarr...! Bumi bagaika dilanda gempa dari kedalaman dasarnya.

   Pohon-pohon tumbang ke sana-sini berserakan.

   Hempasan gelombang dari daya ledak dahsyat itu membuat alam sekelilingnya menjadi porak poranda dalam waktu sekejap.

   Tubuh Pandu Puber terpental dan terguling-guling masuk ke semak belukar.

   Srook...! Tapi tubuh Hantu Congkak terlempar terbang ke belakang, kepalanya sempat membentur dahan pohon yang mau tumbang.

   Duuhg...! Dahan itu patah seketika.

   Tubuh Hantu Congkak jatuh dalam keadaan mata terbeliak-beliak bagai orang sedang sekarat.

   Bruukk...! "Setan alas! Badanku dibuat remuk olehnya!"

   Geram hati Hantu Congkak.

   Mulutnya melelehkan darah, demikian pula hidungnya.

   Darah itu kental warna hitam, itu pertanda ludahnya sudah dicampuri luka dalam yang berbahaya.

   menyadari hal itu, Hantu Congkak yang masih bisa berdiri walau tertatih-tatih itu segear memungut tongkatnya kembali.

   Pandu Puber keluar dari semak belukar.

   Kepalanya dikibaskan karena merasa sedikit pusing.

   Tapi tak ada luka luar maupun luka dalam pada dirinya.

   Ia hanya tertegun sejenak membayangkan gerakan yang dilakukan tanpa kesadarannya itu.

   Hatinya segera membatin.

   "Jurus edan apa lagi itu tadi? Aku tak tahu namanya! Hmm... tapi supaya mudah kuingat, sebaiknya kunamakan jurus 'Naga Bangkis'. Ya, itu lebih cocok!"

   Hantu Congkak masih penasaran.

   Dia ingin membalas lukanya.

   Maka jurus maut dan aneh berikutnya digunakan menyerang Pandu Puber.

   Tongkatnya kali ini dilemparkan.

   Wuuttt...! Tongkat itu melayang cepat dalam keadaan berdiri.

   Dari mulut kepala monyet di ujung tongkat keluar sinar warna warni mengarah kepada Pandu Puber.

   Sinar itu berkelok-kelok dan gerakannya sangat liar, bagaikan tak tentu arah.

   Tapi pada dasarnya tertuju ke arah Pandu.

   Pemuda tampan itu sempat bergerak bingung menghindarinya.

   Dam diluar dugaan, tiba-tiba segumpal asap turun dari atas pohon.

   Suuut...! Wuusss...! Asap putih itu bagaikan membentengi Pandu Puber dari jarak dua langkah di depannya.

   Sinar warna-warni dari mulut ukiran monyet itu masuk ke dalam asap tebal setinggi manusia, bahkan lebih.

   Tongkat tersebut juga ikut tertelan ke dalam gumpalan asap putih tebal.

   Beberapa saat kemudian terdengar suara gaduh di dalam gumpalan asap.

   Suara letupan bercampur dengan suara derak kayu patah.

   Tar, krak, tuus, krak, prak, taar....turr....krak, prak, dor, der, dur! Lalu hening.

   Kurang dari sekedipan mata, tiba-tiba sinarwarna-warni itu bergabung dengan patahan kayu yang membentuk bulatan bola, dan terlempar dari daalm gumpalan asap tersebut ke arah Hantu Congkak.

   Wuuukk...! Pandu Puber yang merasa heran tujuh turunan itu segera melompat ke samping asap.

   Ia mencoba pandangi asap itu untuk menembus kedalamannya tapi tidak berhasil melihat apa-apa.

   Sedangkan Hantu Congkak segera lompat ke atas.

   Wuuutt...! Dan bola yang terbuat dari gumpalan sinar warna-warni serta patahan tongkat hitamnya itu menghantam sebuah pohon besar yang tadi tak jadi tumbang.

   Blaapp...! Suara letusan sangat pelan.

   cahaya warna-warni terpancar lebar dan cepat hilang saat menyentuh pohon.

   Tubuh Hantu Congkak turun dari udara.

   Kaget melihat pohon yang terhantam bola aneh itu lenyap tak berbekas.

   Sisa akarnya pun tak ada.

   Yang tertinggal hanya bentuk tanah acak-acakan bagaikan pohon tadi tercabut dengan raksasa.

   "Edan lagi ilmunya?!"

   Gumam Hantu Congkak.

   "Ilmu asap apa yang dipakai anak setan itu?! Waah...tongkatku?! Celaka! Tongkatku menjadi serpihan kecil-kecil begini...?!"

   Hantu Congkak memperhatikan serpihan kayu hitam yang ada disekitar bekas pohon berdiri. Bulu kuduknya jadi merinding, tubuh tuanya pun bergidik.

   "Kalau kulayani, bisa-bisa aku lenyap tak berbekas seperti pohon itu! Sebaiknya aku kabur saja, mumpung tak ada orang yang melihat kekalahanku."

   Hantu Congkak segera hempiri tubuh Sikat Neraka.

   Ia bermaksud membawa lari tubuh adik perguruannya itu.

   Tapi setelah diperiksanya sejenak, ternyata Sikat Neraka sudah malas bernapas alias mati.

   Hantu Congkak makin panik, akhirnya cepat-cepat pergi dengan gerakannya yang mirip menghilang dari pandangan mata itu.

   Slaap...! Bras, bras, bras....! Suara tubuh Hantu Congkak berlari cepat menerjang semak belukan.

   Pandu Puber ingin mengejarnya, namun tiba-tiba terdengar suara berseru.

   "Biarkan ia lari! Ia pasti kapok berhadapan denganmu!"

   Pemuda tampan berpaling ke belakang untuk memandang si pemilik suara merdu itu.

   Dan mata pemuda itu terpana beberapa saat, karena yang dilihatnya adalah seorang wanita muda cantik jelita.

   Pakaiannya serba putih, namun mempunyai hiasan bunga mawar kecil terselip di sela gundukan dadanya.

   Bunga itu bunga sungguhan.

   Masih segar dan menyebarkan bau harum mawar yang agak berbeda dengan mawar biasanya.

   Aromanya lebih lembut dan melenakankalbu, seakan menciptakan sejuta keindahan di dalam hati.

   Wanita muda itu rambutnya disanggul rapi, tapi sebagian rambut meriap ke samping.

   Tak banyak, tapi kelihatan indah sekali.

   Bagaikan seni rias rambut yang biasa dipakai oleh para putri raja.

   Wajah wanita cantik itu tiada duanya.

   Baru sekarang Pandu Puber melihat kecantikan yang begitu agung dan berkharisma tinggi.

   Hidungnya langsing mancung, bibirnya berbentuk indah sekali, tampak basah seperti habis berenang.

   Tapi segar dan menggairahkan.

   Wanita itu sunggingkan senyum kecil.

   Ada lesung pipitnya yang menambah keindahan raut wajah berkulit putih mulus itu.

   Pandu Puber sempat gemetar ketika wanita itu melangkah pelan meninggalkan tempatnya berdiri yang tadi dipakai berdiam oleh gumpalan asap putih.

   Rupanya gadis itulah yang tadi berbentuk gumpalan asap putih itu.

   Dalam jarak empat langkah dari Pandu, gadis itu hentikan langkah.

   Pandu Puber masih belum bisa bicara karena gadis itulah yang beberapa hari ini ditemuinya di alam mimpi.

   Wajahnya, pakaiannya, bunga mawarnya, persis semua dengan yang muncul di alam mimpi Pandu.

   "Sekarang kita bertemu bukan di dalam mimpi,"

   Ucap gadis itu bersuara lembut dan merdu.

   "Dian...Ayu... Dayen...?"

   Ucap Pandu Puber terpatah-patah karena deg-degan.

   Lidahnya sukar sekali digerakkan.

   Ia segera menelan ludah, lalu segala yang di mulut menjadi lemas, kecuali giginya.

   Detak jantungnya tak sekeas sebelum menelan ludah.

   Tapi mtanya masih memandang penuh rasa kagum dan amat terpesona.

   "Kaukah.....Bidadari Dian Ayu Dayen?!"

   Tanya Pandu Puber.

   "Tak salah dugaanmu, Pandu. Akulah sang penguasa kecantikan itu! Aku hanya ingin sampaikan pesan padamu, jangan nakal seperti bapakmu! Kalau kau nakal kau tak bisa tinggal di kayangan bersamaku."

   "Aku tak akan seperti Ayah. Aku bukan pemuda mata keranjang. Memang hidupku ingin kucurahkan untuk mengabdi kepada hati seorang wanita, tapi wanita itu tak lain adalah dirimu, Dian Ayu!"

   Sambil Pandu Puber mendekat pelan-pelan. matanya memandang dalam kelembutan. Suaranya sedikit mendesah bernada romantis.

   "Tak kubiarkan kau pergi meninggalkan sukmaku, Dian Ayu! Aku tak mau mati dalam bayangan pelukanmu."

   Dian Ayu Dayen mundur dengan senyum.

   "Rayuanmu romantis sekali, Kasih. Tapi belum saatnya kita bertemu dalam satu genggaman. Carilah aku dalam kecantikan-kecantikan yang menyebar di sekelilingmu. Aku ada di antara mereka. Cabutlah bunga mawar ini dari dadaku, dan kau akan kurengut dalam pelukanku selama-lamanya."

   Setelah berkata demikian, Dian Ayu Dayen mengangkat tangan kanannya dalam keadaan telapak tangan terbuka.

   Tangan terangkat lurus, dan seberkas sinar melesat dari tengah telapak tangan.

   Sinar merah itu melesat ke langit, lalu menyebar menjadi percikan bunga api yang membentuk setangkai bunga mawar indah.

   Syaarrpp...! Pandu Puber terpesona melihat keindahan bentuk bunga mawar di langit dalam susunan tata cahaya merah.

   Matanya tak berkedip memandang ke sana.

   Namun ketika cahaya berbentuk bunga mawar itu lenyap, Pandu Puber kehilangan seraut wajah cantik.

   Dian Ayu Dayen lenyap bagai ditelan bumi.

   Sang bidadari pergi tinggalkan dirinya.

   Hanya semerbak aroma mawar lembut yang tercium dan membekas di lubang hidung Pandu Puber.

   "Dian...?! Dian Ayuuu...!"

   Panggilnya sambil memandang ke sana-sini. Yang dicari tak ada, bahkan menjawabpun tidak. Pandu Puber mengeluh kecewa. Ia duduk melemas di atas sebatang kayu pohon yang tadi tumbang itu.

   "Kemana perginya?"

   Pikir Pandu Puber.

   "Ke mana aku harus mencarinya? Oh, bunga mawar itu...ya, aku harus bisa mencabut bunga mawar di dadanya, agar aku jatuh ke dalam pelukannya. Oh, Dian Ayu.... ke mana aku harus mencarimu, Sayang....?!" *** ------------------------------------------------------------------------------TUJUH ------------------------------------------------------------------------------UCUK dicinta ulampun tiba. begitulah pepatah yang serasi untuk nasib Pandu Puber yang datang ke P koraja untuk temui Lila Anggraeni. Gadis cantik itu ada di depan rumahnya yang mewah bagai istana kecil. Maklum rumah saudagar kaya, bisnisnya ke mana-mana, kalau nggak mewah sih kebangetan. Rumah itu mempunyai pintu gerbang sendiri dari terali besi anti karat warna putih mengkilap. Waktu itu sang gadis sdang berada di luar gerbang. Bukan semata-mata ingin mejeng, tapi agaknya ia punya alasan tersendiri. Seperti ada yang ditunggu. Pandu-kah yang ditunggu? Oh, bukan. Ternyata yang ditunggu seekor kuda. Kuda putih berjambul lebat dan halus, dituntun oleh seorang pelayan pengurus kuda. Pelayan dan kuda muncul dari samping halaman rumah mewah itu. Ada bungkusan yang diikut sertakan di samping pelana kuda. Wah, kayaknya cewek itu mau kabur dari rumah. Wajahnya sendu, bicara dengan palayannya pelan sekali. Bahkan sempat salaman dengan pelayannya sebelum naik ke punggung kuda. Pandu Puber memperhatikan dari sisi tersembunyi. Ia merasa heran melihat suasana yang tak beres itu. Maka ia segera muncul dari balik warung nasi yang mirip gardu listrik itu. Pandu Puber datang dari arah depan kuda. Sang kuda mulai berjalan pelan, sang gadis lambaikan tangan kepada pelayannya. Sang pelayan buru-buru masuk ke dalam pagar tembok tinggi itu. Sang gadis bermaksud memacu kudanya agar cepat tinggalkan tempat. Tentu saja Lila Anggraeni kaget melihat Pandu Puber sedang berjalan di depannya menuju ke arahnya. Kaget itu membuat senyum ceria Lila Anggraeni mekar bak jamur di musim hujan. Sinar matanya berbinar-binar seperti petromak penuh minyak. Jantungnya berdetak-detak bagai irama beduk menjelang lebaran.

   "Ikutlah aku...! Cepat, ikutlah aku...!"

   Katanya tergesa-gesa. Pandu Puber agak gugup. Kuda melangkah cepat, Pandu Puber terpaksa berlari-lari mengikuti dari samping.

   "Ada apa? Kenapa kau tampak gugup?"

   "Ikutlah aku! Kita bicara di tempat sepi. Ayo..."

   "Iya, tapi...tapi masak aku lari terus sih?"

   "Lompatlah!"

   "Lompat ke mana? Ke jurang?"

   Sentak Pandu agak keki.

   Kudapun segera dihentikan setelah Lila Anggraeni sadar bahwa larinya sang kuda terlalu cepat.

   Pandu segera naik di belakang Lila Anggraeni, lalu mereka melesat pergi bersama dalam iringan musik sepatu kuda.

   Tuk, tik, tak, tik, tuk, tik, tak, tik, tuk...! Suara sepatu kuda.

   "Aku harus pergi! Harus minggat dari rumah!"

   Kata Lila Anggraeni dengan wajah duka dan hampir menangis. Mereka ada di lembah yang teduh. Pandu cepat-cepat mengingatkan gadis itu.

   "Awas, jangan menangis. Aku tak mau kalau kau menangis. Aku akan lemas seperti dulu lagi."

   "Tapi hatiku sedih!"

   "Sedih boleh, tapi jangan menangis!"

   Kata Pandu Puber tegas-tegas.

   Kuda ditambatkan di bawah pohon tak jauh dari mereka.

   Lila Anggraeni bersandar di pohon, satu kakinya ditekuk, menempel pohon.

   Ia menunduk dalam duka.

   Pandu Puber ada di sampingnya.

   Satu tangannya disanggakan ke pohon itu juga.

   Lalu dengan nada romantis pemuda tampan itu berkata "Kau boleh sedih, tapi harus punya alasan.

   Kau boleh pergi dari rumah, tapi juga harus punya alasan.

   Sama halnya kau mninggalkan hati seseorang, harus punya alasan yang kuat.

   Jangan pergi begitu saja, nanti sekeping hati yang kau tinggalkan akan hancur selembut tepung terigu."

   "Aku memang punya alasan kuat. Dan...ah, untunglah kau datang. Hatiku sedikit terhibur oleh kedatanganmu, Pandu."

   "Tak ada penghibur hati wanita secantik kau kecuali kehadiranku."

   Pandu Puber mulai 'menggombal' di samping telinga Lila Anggraeni.

   sang gadis terbuai, cuping hidungnya kembang kempis menikmati bunga indah di hati.

   Ia diam saja ketika dagunya dicubit Pandu.

   Ia mau tersenyum ketika Pandu pamerkan senyumannya yang menjerat hati itu.

   "Ada persoalan apa, Sayang?"

   Tanya Pandu kia romantis.

   "Ada seseorang ingin datang untuk melamarku!"

   "Oh...!"

   Pandu Puber berlagak kaget.

   "Ayahku akan menerimanya. Aku sudah menolak, tapi ayahku tetap mengharuskan aku kawin dengan orang itu. Aku benci! Benci... sakali!"

   Buk, buk, buk...! Dada Pandu dipukul-pukul gadis itu. Pemuda itu diam saja. Tapi akhirnya terbatuk-batuk karena pukulan tadi. dalam hatinya berkata "Benci sama ayahnya kok yang remuk dadaku?"

   Lila Anggraeni berkata sambil mulutnya bergerak-gerak lancip, mirip pinsil alis. Pandu memperhatikan dengan gemas. Ingin meremas mesra bibir itu.

   "Sekarang ayahku sedang menjemput tamu itu di pantai. Kupikir, daripada aku nantinya menderita tekanan batin dapat suami yang tidak kucintai, lebih baik aku pergi dari rumah. Minggat ke mana saja."

   "Kau tinggalkan alamat nggak untuk ayahmu nanti?"

   "Minggat kok pakai ninggalin alamat?! Itu namanya ngungsi! Bukan minggat!"

   Pandu Puber tertawa, sengaja memancing suasana agar tak terlalu tegang.

   "Kau pernah bertemu dengan lelaki itu?"

   "Pernah, ketika aku ikut Ayah berlayar membawa rempah-rempah."

   "Ganteng?"

   "Ahh...ya gitu deh!"

   Lila Anggraeni cemberut.

   "Sama aku ganteng mana?"

   "Mana ada lelaki yang lebih ganteng darimu?"

   Lila Anggraeni berlagak bersungut-sungut.

   "Aku bertemu dengan pria itu ketika ia disewa Ayah untuk menjadi pengawal perjalanan. Karena Ayah takut dibajak oleh orang-orangnya Sikat Neraka. Rupanya disitulah pria itu jatuh hati padaku. Ia mengirimkan utusan untuk mengantarkan surat lamaran. Lalu ayahku menerimanya tanpa persetujuan denganku lebih dulu."

   "Dia anak orang kaya?"

   "Ah, nggak seberapa kaya!"

   Jawab gadis itu meremehkan sang pria yang mau dikawinkan dengannya itu.

   "Buatku kaya atau miskin sama saja, yang penting hati saling mencinta dan mau sehidup-semati. Itu sudah cukup bagiku."

   "Kau memang gadis yang mulia, Lila. Kebeningan hatimu, serasi dengan kecantikan wajahmu. Tak ada gadis semulia hatimu di dunia ini."

   "Betulkah?"

   Lila Anggraeni menatap lembut.

   "Aku berani bertaruh potong telinga panci, tak ada gadis semulia hatimu, yang bisa memandang cinta sebagai keagunngan hidup, bukan sarana pemburu harta."

   "Pandu, kenapa baru sekarang kudengar kata-katamu itu?"

   Bisik Lila Anggraeni pelan. Tangan gadis itu merapikan baju Pandu. Jemari lentiknya menyentuh-nyentuh permukaan dada bertato mawar. Ia berkata lirih lagi, penuh ungkapan jiwa.

   "Kalau saja orang yang akan melemarku sepertimu, aku tak akan kabur dari rumah. Aku akan diam menunggu dan menyiapkan gaun secantik mungkin."

   Mata Pandu Puber begitu bening menembus kelopak cinta yang diharapkan Lila Anggraeni.

   Sang gadis sendiri tak mau berhenti menikmati keteduhan di mata si tampan beranting satu itu.

   Lalu, ia memberi isyarat dengan redupkan mata.

   Pandu mengerti maknanya.

   Bibir yang merekah itu segera dikecupnya pelan-pelan.

   Ceess...! Sekujur tubuh Lila Anggraeni terasa dialiri setrum yang menerbangkan khayalannya jauh di awang-awang.

   Ia biarkan bibirnya dilumat dengan sentuhan pelan sekali.

   Bahkan Lila Anggraeni semakin merapatkan badan dan memeluk pemuda tampan itu erat-erat.

   Seakan ia ingin menenggelamkan seluruh tubuhnya ke badan Pandu Puber.

   Sayang sekali Pandu Puber segera melepas kecupannya dengan gerakan pelan.

   Meski bibir itu telah terpisah, Lila Anggraeni masih merasa bagai dilumat dengan lembut.

   Matanya masih terpejam mesra.

   Ketika napas hangat Pandu terasa menjauh, barulah Lila Anggraeni membuka matanya pelan-pelan.

   Bibir itu bergerak-gerak mengucapkan kata berbisik.

   "Pandu, bawalah aku lari. Kemana pun kau pergi, bawalah aku serta....."

   "Itu bukan cara terbaik."

   "Lalu apa menurutmu cara yang terbaik untuk kita?"

   "Aku akan menemui ayahmu."

   "Jangan!"

   Lila Anggraeni tersentak tegang. Pelukanpun terlepaskan.

   "Mengapa takut?"

   "Ayahku akan marah besar padamu. Selain itu, kalau kau bertemu dengan orang yang melamarku, kau bisa dibunuhnya. Aku tak mau kau mati, Pandu."

   "Aku juga tak mau,"

   Balas Pandu.

   "Tapi barangkali, ayahmu perlu kuajak bicara empat mata agar terbuka pikirannya tentang cinta."

   Lila Anggraeni menghempaskan mapas lemas.

   "Kurasa itu jalan yang terburuk Pandu. Ayahku sudah telanjur silau oleh nama besar calon suamiku itu."

   Mulut sang gadis terbungkam sejenak. Ia termenung, namun sebentar kemudian terdengar suaranya lagi.

   "Atau...mungkin ayahku takut menolak lamaran orang itu. Aku sendiri juga takut kalau menolaknya secara langsung, bisa-bisa aku ditelanjangi di depan umum. Dia...licik dan jahat menurut pandanganku."

   "Bangsawankah dia?"

   "Ngakunya sih bangsawan. Entah kenyataannya, mungkin saja bangkotan! yang jelas ia orang kesohor dari Tanah Sakura."

   Pandu mulai terperanjat.

   "Siapa namanya?!"

   Sergahnya bersemangat.

   "Gelarnya saja Pendekar Samurai Cabul. Nama aslinya Shoguwara!"

   "Gila!"

   Sentak Pandu dengan mata melotot.

   "Bukan. Dia bukan orang gila. Tapi entah juga kalau Shoguwara itu artinya gila. Aku tak tahu bahasa tempatnya sih."

   "Maksudku, peristiwa ini peristiwa yang gila bagi diriku."

   "Jadi... kau sekarang punya penyakit gila?"

   Kata Lila Anggraeni dengan polosnya. Pandu Puber sempat jengkel mendengar kebodohan gadis itu.

   "Aku datang menemuimu hari ini sengaja untuk pamit padamu."

   "Pamit?"

   "Aku akan pergi ke Tahan Sakura mencari Pendekar Samurai Cabul. Tak tahunya justru orang itulah yang akan datang melamarmu. Itukan gila namanya? Gila sekali, kan?"

   "Iy...iya sih! Samurai itu memang gila. Tapi..."

   "Aku sengaja mau menemuinya di Tanah Sakura untuk menantangnya bertarung. Gelar pendekarnya akan kurebut, karena tidak sesuai dengan tingkah lakunya sebagai seorang pendekar yang gemar menelanjangi wanita memakai samurainya!"

   Lila Anggraeni menjadi tegang. Ia mulai sadar apa sebenarnya yang dimaksudkan dalam kata-kata Pandu Puber itu. Rasa takut mencekam jiwa, tercermin lewat sorot mata dan ekspresi wajahnya.

   "Kau...kau akan melawannya? Maksudmu tarung pakai senjata, gitu?"

   "Kau ini kok masih bego aja sih? Sekarang begini saja deh....kita pulang ke rumahmu! Aku akan berpura-pura menjadi kekasihmu."

   "Maksudmu.....maksudmu berpura-pura menjadi kekasihmu."

   "Ya. Kau keberatan?"

   "Aku ......hmm.....maksudku, kenapa hanya berpura-pura?"

   "Kita boleh jatuh cinta tapi jodoh bukan kita penentunya!"

   Lila Anggraeni menunduk lesu. Pandu Puber segera berkata.

   "Sudahlah, itu bisa dibicarakan nanti. Yang jelas aku akan berpura-pura jatuh cinta padamu dan memancing Pendekar Samurai Cabul untuk masuk ke arena pertarungan! Kau harus membantuku, karena aku akan mem-bantumu meleaskan dirimu dari perjodohan itu, Lila!"

   "Apakah...apakah....apakah kau sanggup mengalahkan dia?"

   "Kita lihat saja nanti!"

   Lila Anggraeni tak punya pilihan lain.

   Ia segera pulang bersama Pandu Puber.

   Ternyata di rumahnya sedang heboh.

   Semua orang ribut mencari kemana perginya Lila Anggraeni.

   Rupanya saat itu sang Ayah sudah pulang dari menjemput ramu agungnya.

   Sang Ayah malu mengetahui anak gadisnya tidak ada di rumah dan dicari-cari sampai ke kolong ranjangpun tetap tak ada.

   Namun ketika Lila Anggraeni tampak datang menunggang kuda berboncengan dengan seorang pemuda tampan berbaju ungu bintik-bintik seperti embun itu, semua orang dalam rumah keluar ke depan pintu gerbang.

   Sang tamupun ikut keluar dan segea menggeletuk giginya melihat Lila Anggraeni naik kuda dan dipeluk dari belakang oleh pemuda beranting satu.

   Pandu Puber segera lompat dari punggung kuda sebelum mereka berjarak dekat dengan rombongan tamu dan ayah Lila Anggraeni.

   Mata sang tamu tetap memandang tajam ke arah Pandu, dan Pandupun menatapnya dengan tak berkedip, namun lebih tampak tenang dari sang tamu.

   "Lila...!"

   Seru sang Ayah.

   "Apa maksudmu membawa pulang pemuda itu, hah?!"

   Pandu Puber yang menyahut.

   "Kami saling mencintai dan tak rela jika Lila dikawinkan dengan Pendekar Samurai Cabul itu!"

   Tuding Pandu.

   Sang ayah ingin bergerak maju, tapi tangan sang tamu merentang, menahan gerakan tersebut.

   Lalu, ia sendiri bergeark maju menemui Pandu.

   Sang ayah menjadi cemas dan sangat malu, karena saat itu banyak orang berkumpul di depan rumahnya karena ingin melihat seorang pendekar yang namanya kesohor dan terkenal sakti itu.

   Shoguwara, si pendekar cabul itu, berdiri tegak dengan kaki sedikit merenggang.

   Orang-orang menyingkir jauh, tak berani dekat-dekat dengan sang pendekar yang sedang marah dan terkenal kecepatan bermain samurai.

   Pandu Puber pandangi orang itu dengan dada terbusung.

   Tepat seperti gambaran yang pernah diceritakan ayah Pandu, bahwa Pendekar Samurai Cabul itu berwajah kaku, bengis, matanya menandakan kelicikan yang tersembunyi di balik kesaktiannya.

   Jidatnya lebar, karena rambutnya dikuncir ke belakang agak tinggi.

   Sebilah samurai disandang di punggungnya.

   Baju putihnya yang berlengan panjang itu dirangkapi pakaian semacam rompi panjang warna hitam, sesuai dengan kain penutup kedua kakinya yang juga hitam.

   Pendekar Samurai Cabul memang masih kelihatan muda dan sedikit punya kegantengan.

   Usianya berkisar antara tiga puluh tahun, mungkin lebih sedikit.

   Ia mempunyai mata kecil dan alis naik, berkesan jelas kelicikannya.

   "Jauh-jauh aku datang untuk melamar Lila Anggraeni, tahu-tahu kau sudah lebih dulu membawanya lari. Tak tahukah kau siapa diriku ini?"

   "Aku tahu siapa kamu, Sobat. Dan inilah yang dikatakan 'pucuk dicinta ulam tiba'. Niatku untuk datang menemuimu di Tanah Sakura tak perlu harus kutempuh dengan perjalanan melelahkan. Ternyata kita dipertemukan di sini!"

   "Jangan banyak mulut! Pergi tinggalkan Lila, atau mati di ujung samuraiku?"

   "Aku memilih mati di ujung hati Lila!"

   Jawab Pandu Puber seenaknya.

   Jawaban itu membuat Pendekar Samurai Cabul menggeram penuh luapan amarah.

   Matanya meirik sebentar ke sekeliling.

   Ternyata kabar kedatangannya mau melamar Lila Anggraeni sempat juga didengar para tokoh dunia persilatan, sehingga banyak juga dari para tokoh yang datang dan diam mengelilinginya, seakan menyaksikan pertarungannya dengan Pandu Puber.

   Sang pendekar semakin bernafsu ingin menampak-kan kehebatan ilmunya.

   "Sebutkan namamu supaya bisa kucatat dalam buku daftar para korban samuraiku!"

   Kata Pendekar Samurai Cabul.

   "Namaku Pandu Puber! Akan kukalahkan kau, dan kurebut gelar kependakaranmu hari ini juga!"

   Kata Pandu tak gentar sedikitpun.

   "Keparat! Heeeaah...!"

   Pendekar Samurai Cabul me-lompat dalam gerakan cepat dan lomptan pendek.

   Pandu Puber pun menyambut lompatan pendek itu dan kedua tangannya mengadu telapak dengan sang pendekar.

   Plak...! Mereka berdiri di tempat, saling melepaskan kekuatan teanga dalam melalui telapak tangan yang diadu-kan.

   Tapi keduanya sama-sama tak ada ang terdorong mundur.

   Bahkan kedua telapak tangan yang saling beradu itu mengepulkan asap putih samar-samar.

   Tubuh mereka sama-sama mengears hingga bergetar dari kaki sampai kepala.

   Tiba-tiba, gerakan Pendekar Samurai Cabul sangat tak diduga-duga.

   Kakinya berkelebat menendang lutut Pandu Puber.

   Wuuttt...! Dees...! "Uuhg...!"

   Pandu mengaduh tertahan, ia jatuh berlutut, kekuatannya berkurang, dan tubuhnya terpental karena dorongan tenaga dalam lawan.

   Wuuss...! Bruusss...! Pandu jatuh terpelanting dengan menyeringai.

   Jauhnya enam langkah dari tempatnya berdiri semula.

   Pendekar Samurai Cabul melangkah cepat menghampirinya.

   Tapi Pandu cepat bangkitkan badan dan siap menghadapi lawan.

   Di sisi lain, Lila Anggraeni baru saja membuka kedua tangannya yang tadi menutup wajah pada saat Pandu jatuh terpental.

   "Pandu Puber! Kuberi kesempatan sekali lagi padamu untuk segera pergi dan tinggalkan Lila Anggraeni! Kalau kesempatan ini kau sia-siakan, kau akan mati penuh penyesalan!"

   "Yang ingin kurebut darimu adalah gelar kependekaranmu! Sudah tak pantas tersandang di namamu, Shoguwara!"

   "Biadab!"

   Geramnya dengan gigi menggeletuk dan tulang-tulang mengeras.

   "Hiaaat...!"

   Samurai di punggung tahu-tahu sudah tercabut. Gerakan mencabutnya tak sempat dilihat orang. Kini samurai itu digenggam dengan dua tangan. Teracung ke depan. Ia melangkah ke kiri, memutari Pandu.

   "Hiaaahhh...!"

   Teriaknya sambil berkelebat cepat sekali.

   Samurainya ditebaskan ke sana-sini dan tak bisa dilihat gerakannya.

   Tapi Pandu Puber cepat-cepat jatuhkan diri dengan menggunakan gereakan jurus 'Angin Jantan'.

   Dalam sekejap saja ia sudah berada di tanah, sementara Shoguwara menebaskan semurainya ke tempat berdirinya Pandu tadi.

   Kaki Pandu bergerak melebihi kecepatan angin.

   Ketika tubuhnya berguling masuk ke sela-sela kedua kaki lawan.

   Pandupun segera menendang ke atas.

   Buuhg...! Tendangan itu tepat mengenai 'jimat lelaki' lawannya.

   "Oohg...!"

   Pendekar Samurai Cabul mendelik seketika, diam dalam gerakan ingin menebaskan samurai dari atas ke bawah.

   Ketika lawan terpaku karena kesakitan itulah, Pandu Puber segera mengulangi tendangannya yang mengenai tempat semula lagi.

   Buueehg...! "Uuhgg...!"

   Suara pekikan tertahan terdengar dari mulut Shoguwara.

   Ia terlempar ke belakang, jatuh terjungkal.

   Pandu Puber segera bangkit dan bergerak memutar dalam keadaan jongkok.

   Kakinya membabat pergelangan tangan lawan.

   Plaakk...! Tendangan kuat bertenaga dalam tinggi membuat senjata samurai itu terlempar lepas dari tangan lawan.

   Pandu mengeraskan dua jari di masing-masing tangannya.

   Lalu masing-masing jari ditempelkan ke pelipis kanan-kiri.

   Kejap berikutnya kedua tangan itu menyentak ke depan bagai melempar pisau secara bersamaan.

   Wuuutt...! Ternyata yang keluar dua sinar merah lurus yang menghantam samurai di tanah.

   Satu sinar kenai mata samurai, satu lagi kenai gagang samurai.

   Claaapp...! Daarr...! Ledakannya tak seberapa keras, tapi akibatnya senjata samurai panjang itu hancur menjadi kepingan-kepingan kecil.

   Pada saat itu, Shoguwara sudah bangkit dan mau menerkam samurainya.

   Tapi gerakan tersebut tak jadi karena samurai sudah hancur lebih dulu.

   Semakin murka wajah sang pendekar berkucir panjang itu.

   Tapi Pandu Puber sempat terbengong sebentar menyadari jurus yang baru saja digunakan itu.

   Lalu dalam hatinya ia menamakan jurus itu jurus 'Sepasang Sayap Cinta'.

   Entah bagaimana penjabarannya, Pandu tak perduli.

   Pendekar Samurai Cabul segera menyerang Pandu kembali dengan lebih ganas.

   Kali ini ia menggunakan jurus tangan kosongnya, namun punya kekuatan tenaga dalam.

   Dalam satu lompatan tangannya bergerak ke sana-sini dengan cepat sekali, membingungkan lawannya.

   Pandu sengaja mundur menjauh untuk hindari jurus itu.

   "Haaaiitt...!"

   Shoguwara bentangkan kedua tangan bagai seekor bangau hendak menggibas mangsa.

   Kesempatan itu dipergunakan oleh Pandu Puber untuk bergerak cepat menggunakan jurus 'Angin Jantan' lagi.

   Tapi kali ini telapak tangannya mengembang rapat, jari-jarinya mengeras, jempolnya terlipat.

   Dan tangan itu dihantamkan ke arah ulu hati lawan.

   Wuuutt...! Plaakkk...! Lawan bisa menangkisnya walau pergelangan tangan menjadi ngilu semua.

   Plak, plak, plak bleesss...! "Uuhg...!"

   Shoguwara tersentak mendelik.

   Keempat jari Pandu Puber menembus masuk ke dada kanannya yang atas, dekat dengan pundak.

   Hampir saja kena jantung.

   Tapi itupun sudah cukup berbahaya.

   Empat jari tangan menancap hampir seluruh bagian.

   Mirip sebilah pisau dihunjamkan ke tubuh itu.

   Ketika dicabut keluar, darahpun menyembur dengan kentalnya.

   "Jurus 'Jantung Hati',"

   Kata Pandu dalam benaknya menamai jurus itu. Shoguwara mulai limbung. Darah yang keluar semakin menghitam. Ia terkejut dan berucap tak sadar.

   "Racun...?!"

   Rupanya tangan Pandu yang mampu menembus dada lawan itu dapat menyebarkan racun melalui ujung-ujung jarinya. Shoguwara tegang sekali. Wajahnya pucat pasi. Tanpa berpikir panjang lagi, ia segera melesat melarikan diri sambil tinggalkan ancaman.

   "Aku akan kembali menuntut balas padamu! Akan kurebut kembali gelar kependekaranku, Bangsat!"

   Para tokoh silat yang ada di situ tertegun bengong.

   Mereka terheran-heran melihat seorang pendekar tampan mampu kalahkan Shoguwara tanpa senjata.

   Maka berita itupun cepat menyebar ke mana-mana.

   Gelar pendekar telah berhasil direbut Pandu Puber.

   Pemuda tampan itu segera berkelebat dan berniat memberitahukan kepada ayahnya bahwa ia telah berhasil menumbangkan Pendekar Samurai Cabul, dan kini ia yang akan menggunakan gelar itu sebagai.

   Pendekar Romantis.

   Rasa girangnya membuat Pandu lupa pada Lila Anggraeni yang tertegun bengong memandangi kepergiannya dengan air mata keharuan berlinang di pipi.

   SELESAI

   

   

   

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Kedele Maut Karya Khu Lung

Cari Blog Ini