Ceritasilat Novel Online

Hantu Lereng Lawu 2


Pendekar Perisai Naga Hantu Lereng Lawu Bagian 2



Dahi Joko Sungsang berkerut-kerut. Lalu ka-tanya.

   "Apakah ada hubungannya antara Adipati So-rengdriyo dengan Hantu Lereng Lawu?"

   "Betul, Anakmas. Semenjak Adipati Sorengdriyo dikalahkan Hantu Lereng Lawu, semenjak itulah hasil panen kami harus kami serahkan sebagian besar ke kadipaten.

   "

   "Padahal dulu kabarnya Adipati Sorengdriyo orang baik-baik dan dicintai rakyat.

   "

   Sahut pemuda yang lain lagi.

   "Artinya, Adipati Sorengdriyo diperalat oleh Hantu Lereng Lawu,"

   Sahut Joko Sungsang.

   "Tepatnya memang begitu!"

   Hampir bersamaan mereka menjawab.

   "Saya akan bicara dengan Hantu Lereng Lawu!"

   "Apa?"

   Mata mereka membelalak.

   "Tidak berarti saya ini teman Hantu Lereng La-wu. Tetapi, kebetulan saja saya memang ingin mene-muinya. Saya ada urusan tersendiri dengan orang se-sat dari Lereng Lawu itu."

   "Barangkali Kisanak mau membalas dendam?"

   Tanya pemuda yang punya semangat melawan kejaha-tan itu. 'Ayah saya tewas di tangan anak buah Hantu Lereng Lawu!"

   Jawab Joko Sungsang dengan geraham mengeras.

   "Oooh,"

   Desah mereka bersamaan.

   Kemudian mereka bubar dan pulang ke rumah masing-masing atas saran dari Joko Sungsang.

   Sebe-lum mereka bubaran, sekali lagi Joko Sungsang berpe-san agar tidak seorang pun penduduk keluar dari ru-mah mereka sewaktu rombongan dari Kadipaten Banyu Asin itu datang.

   Joko Sungsang terpaksa menunda perjalanan-nya hingga siang hari.

   Ia merasa terpanggil untuk membantu mengamankan desa itu.

   Ia tidak ingin desa itu bernasib sama dengan Desa Sanareja, desa kelahi-rannya.

   Kalau benar bahwa Hantu Lereng Lawu dan anak buahnya mencari-cari Pendekar Perisai Naga se-perti yang diceritakan Wiku Jaladri, maka urusan dengan Desa Cemara Pitu akan dilupakannya! Lagi pula, Joko Sungsang merasa pasti bahwa Adipati Sorengdriyo berbuat demikian karena terpaksa.

   Mungkin ia merasa putus asa sebab merasa tidak ada orang yang berpihak kepadanya.

   Matahari persis berada di atas pohon cemara sewaktu rombongan yang dipimpin Mahesa Lawung kembali memasuki mulut Desa Cemara Pitu.

   Mereka datang dengan kereta kuda yang bakal dipakai untuk mengangkut hasil jarahan.

   Rupanya mereka begitu ya-kin bahwa penduduk Desa Cemara Pitu pasti menye-diakan hasil bumi yang mereka inginkan.

   Tiba-tiba saja derap kaki kuda mereka terhenti.

   Mata mereka menengadah ke atas, mengikuti gerak tubuh Mahesa Lawung yang tiba tiba saja melayang ke atas dan bertengger di sebuah dahan cemara.

   Kuda yang tadi ditungganginya kini melesat tanpa terkendalikan.

   Mahesa Lawung tidak gegabah melayang turun dari dahan pohon itu.

   Bukan berarti ia takut turun, la pun memiliki ilmu meringankan tubuh seperti layaknya orang orang dari dunia persilatan.

   Tak akan ia merasa ngeri kalau hanya turun dari ketinggian sepuluh tombak.

   Namun, ia sadar bahwa kini ia sedang berhadapan dengan lawan yang berilmu tinggi.

   Entah den-gan ilmu setan mana, anak muda itu membawanya terbang dengan lilitan cambuk di leher.

   Dan, cambuk itu kini masih melilit lehernya.

   Dengan sekali hentak, Mahesa Lawung bisa membayangkan apa yang bakal menimpa dirinya.

   Cambuk milik Joko Sungsang melilit di leher Mahesa Lawung! Dia tidak berani gegabah terhadap pemuda itu.

   Karena dengan sekali hentak, Mahesa La-wung bisa membayangkan apa yang bakal menimpa dirinya! 'Anak muda, aku merasa tidak punya urusan denganmu.

   Kenapa kau membuat persoalan dengan-ku?"

   Kata Mahesa Lawung hati-hati.

   "Mulai detik ini, kau dan anak buahmu harus berurusan denganku!"

   Jawab Joko Sungsang. Lalu, dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata, tiba-tiba saja cambuk yang tadi melilit leher Mahesa La-wung telah melingkar di telapak tangan anak muda itu.

   "Apakah tidak lebih baik kita bicara di bawah agar anak buahku bisa ikut mendengarkan apa yang kau. bicarakan?"

   "Memang sebaiknya begitu,"

   Sahut Joko Sung-sang lalu mendahului melayang turun.

   Semua anak buah Mahesa Lawung memundur-kan kuda mereka ketika anak muda yang berpakaian serba putih itu mendarat di tanah.

   Mereka sadar bah-wa anak muda ini bukan sembarang anak ingusan seusianya.

   Apalagi tadi mereka melihat pimpinan me-reka pun tidak berani gegabah menghadapi anak ingu-san ini.

   'Kisanak, katakan apa maumu dan apa uru-sanmu sehingga berani menghentikan perjalanan ka-mi!"

   Kata Mahesa Lawung begitu berhadapan dengan Joko Sungsang di tanah.

   "Bukankah kalian mau mengambil hasil panen penduduk desa ini?"

   "Kalaupun iya, aku kira tidak ada urusan den-ganmu, Kisanak"

   "Justru harus berurusan denganku!"

   Sahut Jo-ko Sungsang.

   "Lihatlah, betapa sepi desa ini. Kalian tak akan menemukan seorang pun penduduk desa ini. Mereka semua sudah aku usir dari desa ini Nah, su-dah jelas, bukan? Desa ini sekarang ada dalam kekua-saanku'"

   Meski memiliki rasa cemas berhadapan dengan Joko Sungsang, di depan anak buahnya yang begitu memujanya Mahesa Lawung tetap harus menunjuk kan keberaniannya.

   Toh kalau memang terjadi perke-lahian, ia tidak seorang diri menghadapi pendekar ingusan ini..

   "Kau pikir aku mempercayai bualan mu? Jan-gan coba-coba kau menakut-nakuti kami dengan bua-lan mu itu!"

   Kata Mahesa Lawung seraya meraba ga-gang pedangnya.

   "Kau bilang aku membual?"

   Berkata begini Jo-ko Sungsang lalu melecutkan Perisai Naga ke arah tali pedang yang melintang di dada Mahesa Lawung.

   Tak pelak lagi, sarung pedang Mahesa Lawung terjatuh se-bab tali yang menahannya terputus Kalau saja gagang pedang itu tidak tergenggam tangan Mahesa Lawung, tentulah nasib pedang itu akan sama dengan nasib sa-rungnya "Bedebah! Berani kau menghinaku!"Mata Ma-hesa Lawung mendelik Akan tetapi, untuk langsung menyerang lawannya, ia masih harus berpikir dua kali.

   "Serahkan anak tikus ini kepadaku, Kakang"

   Kata lelaki yang menyandang dua bilah pedang di pinggulnya. Dengan gesit lelaki itu meloncat dari punggung kuda dan berdiri gagah di depan Joko Sung-sang "Lompati dulu mayatku sebelum kau hinakan Kakang Mahesa Lawung, Anak Tikus!"

   "Kita lihat saja siapa yang pantas jadi anak ti-kus!"

   Sahut Joko Sungsang setelah melingkarkan Peri-sai Naga di pinggangnya.

   "Bosan hidup!"

   Seru lelaki itu sambil men-gayunkan dua bilah pedangnya dengan gerakan meng-gunting.

   Joko Sungsang melipat lutut kanannya dan membuang kaki kirinya lurus ke belakang sehingga dua bilah pedang itu berdesing di atas kepalanya.

   Sebelum lawan menarik kembali pedang-pedangnya, se-cepat kilat Joko Sungsang menggebrak kedua siku la-wan.

   "Augh!"

   Lelaki itu melompat ke belakang dan kedua pedangnya tergeletak di tanah.

   Tak kuasa lagi kedua tangan itu menggenggam pedang.

   Melihat orang andalannya patah siku dalam se-kali gebrak, Mahesa Lawung semakin berhati-hati menghadapi Joko Sungsang.

   Namun begitu, tetap saja ia merasa malu untuk merendahkan diri di depan anak buah-nya.

   Maka katanya sambil menimang-nimang pedang.

   "Sebelum aku mencincang tubuhmu, ada baiknya aku mengetahui siapa namamu, Kisanak"

   "Tak perlu kau mencincangku, Mahesa Lawung. Hantu Lereng Lawu akan marah kepadamu jika kau lancang membunuh musuh besarnya!"

   "Dasar mulut besar!"

   Seru salah seorang anak buah Mahesa Lawung seraya menusukkan tombak ke arah dada Joko Sungsang.

   Hanya dengan mengegoskan sedikit.

   badannya, Joko Sungsang berhasil meloloskan diri dari tusukan tombak itu.

   Kemudian, punggung telapak kaki kirinya bergerak cepat ke arah perut si penyerang.

   "Hukkk!"

   Lelaki bertombak itu tersungkur.

   "Kau tetap ingin tahu namaku, Mahesa La-wung?"

   Tanya Joko Sungsang tanpa mempedulikan la-wan yang tengkurap di samping kaki kirinya.

   "Atau, kau sendiri juga ingin menyerangku seperti kedua anak buahmu yang bodoh itu?"

   "Kau sudah tahu namaku, sudah selayaknya jika aku pun tahu namamu!"

   "Aku akan berterima kasih sekali jika kau mau menyampaikan pesanku kepada Hantu Lereng Lawu. Katakan kepadanya bahwa Pendekar Perisai Naga me-nunggunya di sini pada malam purnama bulan ini!"

   "Pendekar Perisai Naga?"

   Desis salah seorang anak buah Mahesa Lawung.

   "Tunggu!"

   Katanya seraya maju beberapa lang-kah.

   "Senjata yang kau miliki memang mengingatkan-ku pada cerita tentang Pendekar Perisai Naga. Tetapi, jangan kau pikir kami akan begitu saja mempercayai ucapanmu!"

   "Aku tidak akan memaksa kalian untuk per-caya. Hanya saja, jika kalian tetap ingin membunuhku, sama halnya kalian menghina Hantu Lereng Lawu. Sudah kukatakan bahwa Hantu Lereng Lawu meng-hendaki nyawaku, bukan?"

   "Pendekar Perisai Naga sudah mampus di Ju-rang Jero puluhan tahun yang lalu! Bagaimana mung-kin kau mengaku ngaku sebagai Pendekar Perisai Na-ga?"

   Kata Mahesa Lawung. Serta-merta ia ingat penje-lasan dari Adipati Sorengdriyo tentang Pendekar Perisai Naga.

   "Apa kalian dan orang orang yang menyebar ce-rita itu menemukan mayatnya?"

   Balik Joko Sungsang.

   "Ya. Tetapi, pendekar itu umurnya sudah lebih dari empat puluh tahun sewaktu menghilang dari du-nia persilatan! Kau? Aku kira tak lebih dari usia anakku!"

   "Apa salahnya jika aku mewarisi namanya? Toh aku mewarisi ilmu silatnya. Juga mewarisi Perisai Na-ga! Menurutku, hanya orang yang memegang Perisai Naga yang berhak mengaku sebagai Pendekar Perisai Naga!-Hening sejenak. Mahesa Lawung dan anak buah-nya mulai dilanda keraguan. Kalau benar yang mereka hadapi ini Pendekar Perisai Naga, memang me-reka harus menyampaikan berita ini kepada Hantu Le-reng Lawu. Tetapi, kalau anak muda ini hanya mem-bual? "Nah, aku tidak punya banyak waktu untuk berbicara dengan kalian. Kalau memang kalian hendak nekat mengeroyokku keroyoklah! Tetapi, jangan me-nyesal jika kalian dicincang Hantu Lereng Lawu. Itu pun kalau kalian selamat dari cambukku!"

   Gertak Joko Sungsang.

   "Bukan aku takut menghadapimu, Kisanak. Aku akan tetap mencarimu jika ternyata kau hanya membual! Aku anggap bahwa sebenarnya kau tidak berani menghadapiku maka lalu kau karang cerita ten-tang Pendekar Perisai Naga tadi!"

   Kata Mahesa Lawung seraya memberikan isyarat kepada anak buahnya agar bergerak pergi.

   * * * Joko Sungsang tersenyum-senyum memandan-gi kepergian mereka.

   Kemudian ia meledakkan Perisai Naga tiga kali sebagai isyarat agar para penduduk desa keluar dari persembunyian masing-masing Setelah mereka berkumpul dengan wajah terkagum kagum, Joko Sungsang berkata.

   "Sekarang desa ini tidak akan mereka ganggu lagi. Hanya saja, saya mohon izin menemui mereka lagi di sini pada malam purnama bulan ini. Maaf, saya harus secepatnya melanjutkan perjalanan.

   "Anakmas, apakah tidak sebaiknya Anakmas istirahat dulu barang semalam di desa ini agar kami bisa menjamu Anakmas?"

   Kata lelaki tertua itu mewa-kili penduduk desa.

   "Terima kasih, Ki Mungkin lain waktu saya bisa mampir lagi untuk menikmati keindahan pemandan-gan di sini "

   "Kami sungguh berhutang budi kepada Anak-mas" 'Saya pun sangat senang menerima keper-cayaan dari penduduk desa ini, Ki. Maaf jika saya terpaksa mengecewakan penduduk desa ini dengan me-nolak jamuan makan". Joko Sungsang tak lagi me-nunggu reaksi mereka. Sekali berkelebat, ia telah menghilang dari pandang mata penduduk desa itu "Sejak Pendekar Perisai Naga menghilang, baru kali ini muncul pendekar budiman lagi,"

   Kata lelaki tertua itu seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

   "Atau, siapa tahu dia tadi murid Pendekar Peri-sai Naga?"

   Sahut yang lain.

   "Kalau memang benar dia murid Pendekar Peri-sai Naga, artinya tidak benar berita yang aku terima ti-ga puluh tahun yang lalu "

   "Berita apa yang kau dengar, Ki?"

   Tanya pemu-da yang memiliki semangat juang itu.

   "Menurut kabar, Pendekar Perisai Naga tewas di tangan Hantu Lereng Lawu...."

   "Gusti Allah! Lagi-lagi Hantu Lereng Lawu!"

   De-sah pemuda itu sambil mengepalkan tinjunya.

   "Mudah-mudahan saja anak muda tadi bisa membuktikan bahwa Pendekar Perisai Naga masih hi-dup sampai detik ini. Dan, kalau saja Adipati So-rengdriyo tahu, ia akan memiliki keberanian untuk melawan orang sesat dari Lereng Lawu itu." * * * Adipati Sorengdriyo memicingkan mata men-dengarkan penjelasan dari Mahesa Lawung tentang munculnya Pendekar Perisai Naga. Ia tidak begitu saja mempercayai laporan itu. Namun, untuk membantah, ia pun tidak berani. Dalam hatinya timbul harapan, ji-ka benar Pendekar Perisai Naga masih hidup, artinya ia akan terlepas dari cengkeraman Hantu Lereng Lawu. Sudah bisa dipastikan bahwa kemunculan Pendekar Perisai Naga berarti kematian bagi Hantu Lereng Lawu.

   "Sekarang, coba kau ceritakan bagaimana ciri-ciri anak muda itu,"

   Kata Adipati Sorengdriyo penasaran.

   "ia berpakaian serba putih, rambut digelung kecil di atas kepala, memakai ikat kepala kulit ular, dan bercambuk kulit ular juga, Kakang Adipati,"jawab Mahesa Lawung.

   "Ciri-cirinya memang mirip dengan ciri-ciri Wi-ku Jaladri"

   Adipati Sorengdriyo manggut-manggut "Te-tapi, bisa saja setiap orang meniru pakaian orang lain. Tetapi, tunggu! Kau perhatikan bagaimana ujud cam-buk kulit ular yang dibawanya?"

   "Bagaimana tidak aku perhatikan, Kakang Adi-pati? Cambuk itu sempat melilit leherku dan bola berduri di ujungnya seperti menggigit-gigit urat leher-ku...." 'Bola berduri itu berwarna hijau-kebiru-biruan?"tukas Adipati Sorengdriyo "Benar, Kakang Adipati. Dan, bola itu juga yang memutuskan tali pengikat pedangku. Anehnya, bola berduri Itu seperti tidak menyentuh dadaku."

   "Kalau begitu, sudah pasti dia murid Wiku Ja-ladri! Ya, tidak akan ada lagi manusia yang bersenjatakan Perisai Naga kalau bukan orang yang berhubun-gan erat dengan Wiku Jaladri alias Pendekar Perisai Naga!"

   Akhirnya Adipati Sorengdriyo berani mengambil kesimpulan.

   "Lalu, menurut Kakang Adipati, langkah apa yang harus kita ambil? Maksudku, apa kita harus me-nyampaikan pesan itu kepada Hantu Lereng Lawu, atau...?"

   "Atau kau pilih dicekik Hantu Lereng Lawu!"

   Tukas Adipati Sorengdriyo kesal "Tentu saja harus secepatnya kita sampaikan berita ini kepada orang sesat itu! Dengan begitu, secepatnya pula kita akan terbebas dari cengkeramannya Lawung.

   "Kakang Adipati yakin anak muda itu akan mampu menghadapi Hantu Lereng Lawu?"

   "Akan kita atur siasat agar dia menang dalam pertarungan mereka di Desa Cemara Pitu nanti1"

   "Siasat?"

   Mahesa Lawung melongo. Benar be-nar ia tidak mengerti jalan pikiran Adipati Sorengdriyo ini.

   "Aku percaya, Kebo Dungkul tidak akan ber-diam diri melihat Hantu Lereng Lawu bertarung mela-wan anak muda itu. Untuk itu, kita harus membuat siasat agar Kebo Dungkul tidak bisa membantu Hantu Lereng Lawu." 'Bagaimana jika Empu Wadas Gempal ikut tu-run tangan, Kakang Adipati?"

   Adipati Sorengdriyo seperti tersadar dari mimpi.

   Ia menghela napas berat.

   Angan-angannya untuk bisa lepas dari cengkeraman orang-orang sesat dari Lereng Lawu itu pun buyarlah.

   Bagaimanapun tingginya ilmu anak muda yang mengaku sebagai murid Wiku Jaladri itu, tak akan mampu ia menghadapi ilmu iblis Empu Wadas Gempal.

   "Kalaupun kita kerahkan seluruh orang di Ka-dipaten Banyu Asin, belum tentu bisa membantu mu-rid Wiku Jaladri itu,"

   Jawab Adipati Sorengdriyo lesu.

   "Jadi, lebih baik tidak kita sampaikan pesan murid Pendekar Perisai Naga itu, Kang Adipati?"

   "Kalau kau bisa menyediakan padi selumbung, tak perlu kau sampaikan pesan anak muda itu!"

   "Ta-pi...?" 'Setidaknya, kita bebas upeti bulan ini jika kita laporkan kejadian di Desa Cemara Pitu tadi kepada Hantu Lereng Lawu!"

   Sahut Adipati Sorengdriyo menu-kas. 'Baiklah. Sekarang juga, aku akan pergi ke Le-reng Lawu, Kakang Adipati,"

   Ujar Mahesa Lawung se-belum mundur dari hadapan penguasa Kadipaten Banyu Asin itu.

   * * * Menjelang matahari tenggelam, Joko Sungsang tiba di Desa Sanareja, desa kelahirannya.

   Ia tidak kaget melihat perubahan suasana desa itu.

   Wiku Jaladri telah menceritakan apa saja yang terjadi di desa itu selama Joko Sungsang berada di Jurang Jero.

   Dan, un-tuk terakhir kalinya ia mendengar cerita tentang desa itu, yakni sewaktu Sekar Arum hampir saja terbunuh oleh Kebo Dungkul.

   Langkah Joko Sungsang terhenti, la melihat so-sok seorang lelaki berjalan menuju luar desa.

   Bergegas Joko Sungsang menyelinap ke balik semak-semak.

   la ingin tahu lebih dulu siapa lelaki itu.

   Kalau memang lelaki itu anak buah Kebo Dungkul, ia merasa perlu untuk menghindar, la tidak ingin kehadirannya di desa itu tercium oleh orang-orang dari Lereng Lawu.

   Dalam jarak lima tombak, Joko Sungsang bisa mengenali wajah lelaki itu.

   la heran, kenapa Kebo Dungkul membiarkan lelaki ini tetap hidup? Padahal, menurut kabar yang diterimanya, semua lelaki pendu-duk asli Desa Sanareja harus mati sebagai tebusan atas kematian orang orang dari Lereng Lawu yang te-was di desa itu.

   Rasa heran ini membuat Joko Sung-sang muncul dari persembunyiannya dan menghadang lelaki itu.

   Lelaki itu ketakutan begitu melihat seseorang yang tidak dikenalnya menghalang halangi langkah-nya.

   Secepatnya ia membalik langkah dan berlari.

   Akan tetapi, dengan mudah Joko Sungsang membuat lelaki itu menghentikan langkah seribunya.

   Dengan sa-tu loncatan, Joko Sungsang menotok jalan darah di punggung lelaki itu sehingga tubuh lelaki itu kejang.

   Joko Sungsang memanggul tubuh lelaki itu dan dibawanya ke tempat sepi, di pinggiran sebuah kubu-ran tua.

   Di tempat ini pula Joko Sungsang sering bermain dengan anak-anak seusianya tujuh tahun yang lalu.

   Ia masih ingat, di tempat ini ada rumah kosong yang bisa dipergunakan untuk berbicara rahasia dengan lelaki yang dipanggulnya itu.

   Joko Sungsang mengumpulkan ranting kering dan membuat perapian sebelum membebaskan toto-kan di punggung lelaki itu.

   Begitu merasakan tubuh-nya kembali normal, lelaki itu hendak berlari lagi.

   Namun, dengan Perisai Naganya, Joko Sungsang mena-han tubuh lelaki itu.

   "Kang Dipo tak usah takut. Aku Joko Sungsang yang hilang dari desa ini tujuh tahun yang lalu,"

   Kata Joko Sungsang sambil membebaskan lilitan cambuk di pinggang lelaki itu.

   "Joko Sungsang? Eh, Den Joko?"

   Mulut Dipo menganga. Matanya melebar seolah ia melihat hantu kuburan tua itu.

   "Ya, aku Joko, anak Ki Linggar. Tidak takut kan sekarang?"

   "Oh, syukurlah Den Joko selamat!"

   Dipo mene-puk-nepuk dadanya sendiri.

   "Bagaimana kabar Kang Dipo? Maksudku, ke-napa Kang Dipo bebas keluar-masuk desa ini?"

   "Ceritanya memalukan sekali, Den. Tetapi, le-bih baik saya dipermalukan daripada saya mati dan tidak bisa membesarkan anak saya "

   "Jadi, Kang Dipo sudah punya anak7"

   "Begitulah, Den. Tetapi, istri saya sekarang ja-di..."

   Dipo tidak meneruskan kalimatnya. la menunduk menekuri ranting-ranting kering yang mulai membara "Jadi apa, Kang?"

   Desak Joko Sungsang.

   "Jadi orangnya Kebo Dungkul, Den."

   "Maksud Kang Dipo, ia jadi anak buah Kebo Dungkul?"

   "Bukan, Den. Maksud saya, jadi... jadi perem-puan nakal yang bekerja untuk Kebo Dungkul."

   "Oh, aku mengerti,"

   Sahut Joko Sungsang.

   "Desa ini sekarang sudah jadi desa maksiat, Den.

   "

   "Aku juga sudah mendengar, Kang. Semua yang terjadi di desa ini, aku sudah tahu." 'Tetapi, mungkin ada yang belum Den Joko ke-tahui. Soal Kerpa."

   "Kenapa Kang Kerpa?"

   "Saya benar-benar tidak mengira dia tega membuat bencana di desanya sendiri, Den."

   "Apa yang diperbuatnya, Kang?"

   "Lho, Ki Demang, ayah Den Joko terbunuh tu-juh tahun yang lalu, itu karena ulah Kerpa.

   "

   "Ayahku dibunuh Kebo Dungkul, Kang. Dan, malam itu Kang Kerpa tidak ada di kademangan,"

   Ban-tah Joko Sungsang.

   "Memang, Den. Mungkin semua orang di desa ini menganggap bahwa Kerpa sudah mati. Paling tidak, dia pasti juga sudah minggat dari desa ini. Mungkin hanya saya dan istri saya yang tahu bahwa Kerpa yang menyebabkan bencana di desa ini. Karena ulah Kerpa maka Hantu Lereng Lawu menyuruh Kebo Dungkul membunuh Ki Demang...."

   "Maksud Kang Dipo, Kang Kerpa yang menaruh mayat anak buah Hantu Lereng Lawu malam itu?"

   Tu-kas Joko Sungsang menebak.

   "Betul sekali, Den. Sebenarnya anak buah Han-tu Lereng Lawu itu terbunuh di luar desa. Tetap, Kerpa membawa mayat itu ke mulut desa agar desa ini di-timpa bencana kemarahan Hantu Lereng Lawu."

   "Sekarang, di mana Kang Kerpa tinggal, Kang?"

   "Dialah sekarang yang dipercaya Kebo Dungkul untuk menjaga perempuan perempuan nakal di kade-mangan, bekas rumah Den Joko."

   "Jangan kau bilang rumah kotor itu kademan-gan lagi, Kang,"

   Sahut Joko Sungsang. la tidak rela nama kademangan dihubung-hubungkan dengan per-buatan maksiat.

   "Oh, maafkan saya, Den. Maksud saya hanya ingin menjelaskan bahwa rumah Den Joko sekarang..."

   "Aku mengerti."

   Joko Sungsang menepuk bahu Dipo. 'Saya senang jika Den Joko bisa membalaskan sakit hati orang-orang sedesa ini kepada Kerpa."

   "Maksud Kang Dipo, aku harus membunuh Kang Kerpa?"

   "Begitulah, Den. Saya kira semua penduduk desa ini mengharapkan kematian Kerpa."

   "Dia berbuat seperti itu karena dia ingin hidup, Kang. Aku tahu, dulu dia sakit hati kepada ayahku sebab ayahku lebih mempercayai Paman Perdopo. Pa-dahal Paman Perdopo ilmu silatnya masih kalah se-tingkat dengan Kang Kerpa."

   "Tetapi, menurut pendapat saya, Ki Demang sudah berbuat adil, Den. Ki Demang memilih Perdopo sebab Perdopo memang orangnya jujur dan setia."

   "Jadi, sekarang dia sudah hidup enak, bu-kan?"

   "Hidup enak, tapi di atas kesengsaraan orang sedesa!"

   Kata Dipo dengan perasaan penuh amarah dan dendam.

   "Sekarang yang penting aku harus menolong is-tri Kang Dipo keluar dari rumah laknat itu. Siapa na-ma istri Kang Dipo?"

   "Oh, terima kasih, Den. Maaf, saya tadi mau la-ri. Soalnya saya tidak mengenali Den Joko lagi. Untung Den Joko...."

   "Aku tanya, siapa nama istri Kang Dipo?"

   Tukas Joko Sungsang.

   "Oh, anu, Den... Trinil! Dia dari Desa Cemara Pitu, Den."

   "Kang Dipo tunggu saja di sini. Nanti aku bawa Yu Trinil ke sini."

   "Hati-hati ya, Den?"

   Akan tetapi, bayangan Joko Sungsang telah hi-lang dari pandang mata lelaki itu.

   Terkagum kagum Dipo memikirkan ilmu silat Joko Sungsang.

   Maka dia merasa pasti, Joko Sungsang akan dengan mudah membawa Trinil kepadanya.

   * * * Tak sulit bagi Joko Sungsang memasuki hala-man rumah bekas kademangan itu tanpa diketahui seorang pun.

   Ia hafal betul keadaan di sekeliling rumahnya itu.

   Di regol, tampak orang-orang dari Lereng Lawu berjaga-jaga.

   Dua buah obor besar menerangi tempat itu.

   Joko Sungsang menyelinap masuk pekarangan le-wat tembok pagar samping rumah.

   Kemudian ia me-layang dan hinggap di bubungan atap rumah.

   Untuk sejenak ia menajamkan telinga.

   Ia mendengarkan sua-ra-suara yang datang dari pendopo.

   Memang ada suara Kerpa di situ.

   Tetapi, bagaimana ia bisa mengenali suara Trinil? Joko Sungsang membuka genting tanpa me-nimbulkan suara.

   Lalu tampak di matanya pemandan-gan yang menjijikkan di pendopo itu.

   Beberapa lelaki minum arak sambil meraba-raba dada perempuan yang berada di pangkuan mereka masing-masing.

   'Terkutuklah mereka!"

   Rutuk Joko Sungsang dalam hati.

   Kemudian ia bergeser, mencari-cari genting yang berada tepat di atas kamar belakang rumah itu.

   Tentulah pemandangan di dalam kamar ini lebih men-jijikkan lagi, pikirnya sebelum membuka sebuah gent-ing.

   Di bawah sana, di tempat tidur yang dulu diti-duri Joko Sungsang dan Nyai Demang, seorang lelaki sedang menggumuli seorang perempuan nakal.

   Tak in-gin lama-lama Joko Sungsang memandang dua manu-sia penuh dosa itu.

   Maka ia melayang turun dan lang-sung menotok jalan darah di leher lelaki itu.

   Lelaki itu menghentikan gumulannya.

   Ia mera-sa lehernya kaku sekali dan suara di tenggorokannya hilang entah ke mana.

   Perempuan yang tadi meme-jamkan mata, langsung terbelalak ketika melihat Joko Sungsang berdiri di samping pembaringan.

   "Kenakan pakaianmu dan jangan coba-coba te-riak!"

   Ancam Joko Sungsang seraya memalingkan wa-jahnya. Setelah perempuan itu berpakaian, Joko Sung-sang meraih golok yang tergeletak di meja kecil di sudut kamar itu dan menempelkannya ke leher perem-puan itu.

   "Siapa namamu?"

   Tanyanya.

   "Min... Min... Minten...."

   Tergagap-gagap pe-rempuan itu menjawab.

   "Aku penggal lehermu dan leher kerbau ini jika kau mencoba melawan perintahku!"

   Kata Joko Sung-sang sambil menuding lelaki yang terduduk di pojok kamar dengan leher dan mulut kejang itu. Perempuan itu mengangguk berulang-ulang sambil menggigit bibirnya.

   "Panggil ke sini temanmu yang bernama Trinil, dan jangan coba-coba memberitahu seorang pun ten-tang kedatanganku di kamar ini. Mengerti?"

   Mengangguk lagi perempuan itu.

   Setelah Joko Sungsang menunjuk pintu kamar dengan golok di tan-gannya, perempuan itu setengah berlari keluar menuju pendopo rumah.

   Tak lama kemudian ia kembali masuk kamar dengan menggandeng perempuan yang dimak-sudkan Joko Sungsang.

   Dengan sigap Joko Sungsang menekap mulut Trinil yang hampir saja berteriak ka-rena ketakutan.

   Dengan gerakan yang sulit diikuti mata, Joko Sungsang membuat ketiganya pingsan, dan kemudian melayang kembali ke atas genting sambil memanggul tubuh Trinil.

   Berseri-seri wajah Dipo memandang kedatan-gan Joko Sungsang yang memanggul tubuh Trinil.

   Tak bisa dibayangkannya bagaimana cara anak muda itu masuk rumah maksiat itu dan kembali dengan tanpa menimbulkan keributan.

   "Setelah Yu Trinil siuman, bawa secepatnya pergi dari desa ini, Kang. Dan, untuk beberapa hari ini, sebaiknya kalian jangan dulu kembali ke rumah ka-lian. Percayalah bahwa suatu hari nanti desa ini akan terbebas dari bencana,"

   Kata Joko Sungsang.

   "Den Joko mau ke mana?"

   "Aku harus menemui Nyai Demang, Kang."

   "Di mana sekarang Nyai Demang, Den?"

   "Tak usah Kang Dipo tahu. Yang pasti, Nyai Demang dalam keadaan sehat. Nah, cepat tinggalkan tempat ini sebelum mereka tahu apa yang terjadi di kamar belakang itu."

   "Baik, Den. Terima kasih, Den. Semoga Gusti Allah selalu melindungi Den Joko." * * * Mahesa Lawung memutar otaknya setelah mendengar pernyataan Adipati Sorengdriyo. Ia tidak setuju jika kemunculan Pendekar Perisai Naga diper-gunakan sebagai alasan untuk mengkhianati Hantu Lereng Lawu. Bagaimanapun tingginya ilmu silat Pen-dekar Perisai Naga, tetap saja ia bocah ingusan. Tidak akan ia mampu mengalahkan Hantu Lereng Lawu yang telah malang-melintang di dunia persilatan selama puluhan tahun. Kalaupun Wiku Jaladri turun tangan membela muridnya, belumlah jaminan bahwa Hantu Lereng La-wu bisa mereka robohkan. Lagi pula, Empu Wadas Gempal tidak mungkin akan berpangku tangan meli-hat murid tunggalnya terancam bahaya! Lebih dari itu, Mahesa Lawung pun sudah te-lanjur merasakan kenikmatan yang didapatkannya da-ri hasil kerja sama antara punggawa Kadipaten Banyu Asin dengan orang-orang Lereng Lawu. Dan, kenikma-tan itu tak boleh berakhir begitu saja hanya karena munculnya Pendekar Perisai Naga! Maka setiba di hadapan Hantu Lereng Lawu, tangan kanan Adipati Sorengdriyo ini sudah membu-latkan tekad untuk tetap bekerja sama dengan orang-orang sesat itu. Apalagi kedatangannya kali ini bersamaan dengan kedatangan Empu Wadas Gempal. Semakin ia menemukan alasan untuk mengkhianati Adipati Sorengdriyo.

   "Kedatanganmu di Lereng Lawu tidak disertai kereta pengangkut barang, Mahesa Lawung? Apakah ini berarti Adipati Sorengdriyo sudah berani menen-tangku?"

   Tanya Hantu Lereng Lawu sebelum Mahesa Lawung selesai mengatur napas.

   "Begini, Ki Lurah.

   "

   Mahesa Lawung berusaha meredakan nafasnya yang memburu.

   "Bukan kami berniat menentang Ki Lurah. Kali ini kami memang gagal memungut hasil bumi di Desa Cemara Pitu, Ki Lurah."

   "Kalau memang kau menemukan kesulitan, kenapa kau tidak minta bantuan ke sini? Ingat, jangan coba-coba membodohiku, Sapi Tolol!"

   Sergah Hantu Lereng Lawu.

   "Harap Ki Lurah bersabar. Saya belum menje-laskan kenapa kali ini kami gagal mengeruk hasil bumi Desa Cemara Pitu, Ki Lurah...."

   "Katakan cepat! Kau tahu aku sedang ada tamu agung? Jangan buang-buang waktuku hanya karena aku harus mengubur mayatmu!"

   Tukas Hantu Lereng Lawu semakin gusar.

   "Ki Lurah, sebenarnya kami hendak membunuh manusia yang menjadi penghalang di Desa Cemara Pi-tu itu. Tetapi, kami juga takut berbuat lancang. Karena itulah kami memutuskan untuk melapor lebih dulu kepada Ki Lurah."

   "Kau memang bosan hidup!"

   Bentak Hantu Le-reng Lawu seraya mengangkat tangannya hendak menghancurkan kepala Mahesa Lawung. Namun, den-gan sigap tangan Empu Wadas Gempal mencekal tan-gan muridnya ini.

   "Sabar, Pragosa! Sabar. Beri dia kesempatan untuk bicara lebih panjang lagi,"

   Kata Empu Wadas Gempal menengahi.

   "Ki Lurah, manusia yang menjadi penghalang kami kali ini tidak lain adalah Pendekar Perisai Naga,"

   Lanjut Mahesa Lawung dengan badan gemetaran.

   "Pendekar Perisai Naga?"

   Hantu Lereng Lawu menoleh ke arah gurunya.

   "Lalu, kenapa tidak kau coba menghadapinya? Kau takut mendengar nama besarnya? Ha-ha-ha, da-sar sapi!"

   Ujar Empu Wadas Gempal sambil memegangi perutnya yang diguncang tawa.

   "Bukan begitu, Ki Lurah Sepuh. Kami sengaja tidak meladeninya sebab ada pesan dari Pendekar Pe-risai Naga yang harus kami sampaikan kepada Ki Lu-rah." 'Pesan? Pesan apa?"

   Sahut Hantu Lereng Lawu.

   "Pendekar Perisai Naga menantang Ki Lurah pada malam purnama bulan ini di mulut Desa Cemara Pitu!"

   "Ha-ha-ha, ho-ho ho, he-he-he, dasar tolol!"

   La-gi-lagi Empu Wadas Gempal memegangi perutnya yang turun-naik.

   "Gembala kambing itu mengira kita takut menghadapi Perisai Naganya yang kesohor itu, Guru.

   "

   Hantu Lereng Lawu pun tertawa tergelak-gelak "Kesohor bagi anak-anak kemarin sore macam orang dari Kadipaten Banyu Asin ini, bukan? Ha-ha-ha!"

   Mahesa Lawung mengumpat-umpat dalam hati dianggap sebagai anak kemarin sore.

   Namun, ia hanya berani menggerakkan bola matanya, melirik Empu Wadas Gempal yang masih saja tertawa.

   Baru kali ini ia bertemu muka dengan orang sakti dari Hutan Keta-pang itu.

   Selama ini ia hanya mendengar cerita dari Adipati Sorengdriyo.

   Memang, selama Hantu Lereng Lawu merajale-la, belum pernah gurunya ini turun tangan memban-tunya.

   Karena memang Hantu Lereng Lawu belum pernah menjumpai kesulitan.

   Pendekar-pendekar dari golongan putih merasa jerih berhadapan dengan orang-orang sesat dari Lereng Lawu ini, yang menye-barkan maut dari desa ke desa.

   Baru sekarang ini muncul Pendekar Cambuk Naga di dunia ramai.

   * * * Sosok Empu Wadas Gempal tak jauh berbeda dengan sosok muridnya.

   Mereka sama-sama berperut buncit, berkepala botak, dan berambut merah serta jarang.

   Bahkan keduanya sama-sama suka bicara kasar sambil tertawa.

   Yang membedakan mereka berdua, se-lain usia juga pakaian yang mereka kenakan.

   Empu Wadas Gempal memakai jubah merah dan celana pangsi merah pula, sedangkan Hantu Lereng Lawu berpakaian serba hitam dan serba kedodoran.

   Hantu Lereng Lawu menghentakkan kakinya ke lantai.

   Hampir saja Mahesa Lawung terjengkang sebab ia merasakan lantai itu bergetar hebat.

   "Ada lagi pesan dari gembala kambing itu?"

   Tanya Hantu Lereng Lawu.

   "Ya, ya, ya, Ki Lurah!"

   Mahesa Lawung men-gangguk dalam-dalam.

   "Katanya, Ki Lurah jangan sampai datang seorang diri!"

   Sengaja Mahesa Lawung memancing agar Hantu Lereng Lawu melibatkan gu-runya dalam pertempuran antara hidup dan mati me-lawan Pendekar Perisai Naga nanti.

   "Maksudmu, dia ingin aku dan Guru menge-royoknya?"

   "Begitulah pesannya, Ki Lurah. Dia memang ke-lihatan pongah sekali. Padahal, kalau saja saya tidak harus menyampaikan pesan ini kepada Ki Lurah, pasti sudah saya kirim ke neraka dia!"

   "Apa kau pikir kau lebih hebat dari aku? Apa perlu kubelah tubuhmu agar bacotmu tidak bisa see-naknya bicara?"

   Mata Hantu Lereng Lawu semakin memerah.

   "Bukan, bukan begitu, Ki Lurah. Maksud saya...."

   "Ha-ha-ha, he-he-he, ho-ho-ho!"

   Tawa Empu Wadas Gempal menghapus ketegangan yang terjadi.

   "Cacing tanah berangan-angan bisa menelan ular be-ludak! Kau pikir Pendekar Perisai Naga bisa kau usir dengan pedang curian milikmu itu? Kau lebih pantas menyandang golok pemotong daging, Balung Sapi!"

   "

   Setan alas! Mahesa Lawung kembali men-gumpat dalam hati. Dianggapnya dia tak pantas me-nyandang pedang yang kebetulan memang mirip den-gan pedang milik Hantu Lereng Lawu.

   "Mahesa Lawung!"

   "Ya, Ki Lurah?"

   "Suruh Adipati Sorengdriyo mengajak orang-orang Banyu Asin melihat bagaimana aku mencincang Pendekar Perisai Naga!"

   "Baik, Ki Lurah." * * * Kedatangan Kebo Dungkul sehari setelah keda-tangan Mahesa Lawung di Lereng Lawu membuat ke-marahan Hantu Lereng Lawu semakin menjadi-jadi. Kebo Dungkul pun melapor bahwa Pendekar Perisai Naga telah datang ke Desa Sanareja dan menculik Tri-nil.

   "Jadi, kenapa kau biarkan saja dia pergi, Kebo Dungu?"

   Sergah Hantu Lereng Lawu menyahut "Aku sendiri kebetulan tidak di sana, Kakang. Kalaupun aku di sana, belum tentu juga aku melihat-nya.

   "

   "Matamu yang sebelah masih bisa melihat atau tidak, Kebo Dungkul!"

   "Maksudku, dia datang langsung ke kamar dan membawa pergi Trinil...."

   "Bedebah! Bosan hidup! Apa dia pikir aku takut menghadapi Perisai Naga? Tiga puluh tahun yang lalu memang Perisai Naga membuatku hampir mampus. Sekarang? Ah, kenapa bulan purnama tak kunjung da-tang!"

   Omel Hantu Lereng Lawu berkepanjangan.

   "Tak perlu Kakang Pragosa maju. Serahkan ke-padaku jika memang dia berani muncul lagi ke Desa Sanareja."

   "Otak kerbau! Enak saja kau bicara! Jangan la-gi menghadapi Pendekar Perisai Naga, sedangkan menghadapi murid Ki Sempani saja kau hampir mod-ar!"

   Sergah Hantu Lereng Lawu.

   "Yang datang bukan si Tua Bangka itu, Kakang. Hanya muridnya, anak ingusan yang bernama Joko Sungsang itu."

   "Apa? Jadi, bukan Wiku Jaladri?"

   "Menurut cerita yang aku dengar, dia memang bersenjatakan cambuk, tetapi usianya tidak lebih dari dua puluh tahun." 'Ya, tetapi sama saja! Wiku Jaladri akan menu-runkan semua ilmu yang dimilikinya kepada murid tunggalnya. Kalau tidak, tidak akan dia berani menan-tangku bertarung hidup dan mati malam purnama nanti!" 'Jadi, Kakang Pragosa sudah bertemu dengan anak ingusan itu?"

   "Sekarang dia yang menguasai Desa Cemara Pi-tu. Baru kemarin Mahesa Lawung datang ke sini mem-berikan laporan. Sekaligus ia menyampaikan pesan bahwa Pendekar Perisai Naga yang ingin bertarung denganku di Desa Cemara Pitu purnama nanti."

   Kebo Dungkul mengusap-usap mata kapaknya. Lalu katanya.

   "Kalau saja Kakang Pragosa mengizin-kan, biarlah aku yang menghadapi anak demang itu. Dan, seharusnya akulah yang ditantang sebab aku yang menghabisi nyawa Ki Demang Sanareja."

   "Sudah kubilang, dia bukan lawanmu. Kalau saja aku tidak memperdalam Jurus Bidadari Mengurai Benang Kusut, belum tentu aku bisa mengalahkannya. Tetapi, lihat saja nanti. Kalau memang kau lebih pantas bertanding dengannya, biarlah aku jadi penonton. Sekarang, lebih baik kau pergi ke Banyu Asin. Pasti-kan bahwa Adipati Sorengdriyo tidak akan mengkhia-nati kita."

   "Mengkhianati kita? Kenapa Kakang Pragosa ti-ba-tiba berpikiran begitu?" 'Tak perlu banyak pertanyaan! Berangkatlah ke Banyu Asin, dan katakan kepada Adipati Sorengdriyo bahwa aku menghendaki kehadirannya purnama nanti di Desa Cemara Pitu!" * * * Dalam pada itu, perjalanan Joko Sungsang me-nuju Desa Dadapsari kembali terhalang. Kali ini ia harus turun tangan memberantas ketidakadilan. Bukan-kah tidak adil jika ada seorang gadis belia dikeroyok puluhan lelaki? Dan, Joko Sungsang semakin ingin secepatnya turun tangan begitu mengenali siapa sesung-guhnya gadis berpakaian serba putih dan bersenjata-kan tombak pendek bermata dua itu! Akan tetapi, serta-merta ia menjadi bimbang. Ia khawatir, jangan-jangan gadis itu justru tersinggung menanggapi pertolongannya. Toh dia masih kelihatan perkasa menghadapi lawan lawannya. Sepintas kilas tadi, Joko Sungsang mendengar teriakan lelaki yang memakai ikat kepala berwarna merah itu. Lelaki ber-senjatakan trisula itu menyebut-nyebut nama Adipati Sorengdriyo. Berarti, mereka jelas ada hubungannya dengan Mahesa Lawung. Mereka termasuk punggawa Kadipaten Banyu Asin yang bertugas memungut upeti dari desa ke desa. Tetapi, bagaimana bisa bentrok dengan murid Ki Sempani? Joko Sungsang memang tidak tahu apa yang terjadi sebelum Sekar Arum bertarung melawan anak buah Mahesa Lawung ini. Sewaktu ia tiba, pertarun-gan sudah lewat beberapa jurus. Bahkan Sekar Arum telah mengeluarkan tombak pendeknya. Ini berarti il-mu silat tangan kosong gadis itu tak mungkin diperta-hankan lagi. Siapa sebenarnya orang-orang yang menge-royok Sekar Arum ini? Mereka tak lain adalah anak buah Kebo Dungkul yang telah bergabung dengan anak buah Mahesa Lawung. Mereka memang ditu-gaskan merampas hasil bumi Desa Pilangsari. Akan te-tapi, kali ini mereka tidak hanya ingin mengambil upe-ti, melainkan juga ingin menodai anak gadis Ki Wase-so, demang desa itu. Sewaktu mereka menyeret gadis malang itulah Sekar Arum lewat dan menghadang me-reka, 'Anjing anjing keparat! Mau kalian apakan ga-dis itu?"

   Tegur Sekar Arum mengejutkan mereka.

   Untuk sejenak mereka membeliakkan mata.

   Mereka seolah tidak percaya pada pandang mata me-reka sendiri.

   Seorang gadis cantik, berpakaian celana pangsi putih, baju putih, dan pinggulnya terbungkus kain parang rusak begitu tenang menghadang puluhan lelaki seorang diri.

   Tanpa senjata pula.

   "Ha-ha ha, ada yang lebih cantik dan menggi-urkan datang tanpa kita undang!"

   Kata lelaki berikat kepala merah, pimpinan rombongan itu.

   "Ya, aku datang memang untuk menggantikan gadis itu,"

   Kata Sekar Arum.

   "Lepaskan gadis itu, dan keroyoklah aku!"

   "Oh, bidadariku yang cantik, tak perlu kami mengeroyokmu. Aku akan memiliki mu untuk kujadi-kan istri. Mereka tidak akan mungkin berani meng-ganggumu, Cah Ayu,"

   Sahut lelaki berikat kepala me-rah itu. 'Sebelum kau memperistri aku, sebutkan na-mamu supaya aku bisa mempertimbangkan lamaran-mu,"

   Kata Sekar Arum sembari maju mendekati lelaki itu.

   "Namaku? Oh, seluruh desa di tlatah Banyu Asin ini tahu siapa Carang Gupita, Cah Manis. Dan, namamu?"

   "Aku akan menyebutkan namaku jika kau bisa menyentuh tubuhku!"

   "Apa? Ha-ha-ha! Gampang sekali persyaratan-nya, Cah Denok? Nah, diamlah biar aku gendong kau pulang ke Banyu Asin!"

   Carang Gupita maju selangkah dan merentangkan kedua belah lengannya. Akan teta-pi, sebelum tangan itu menyentuh tubuh Sekar Arum, sebuah tendangan membuat lelaki itu terpelanting.

   "Peri busuk! Rasakan trisulaku!"

   Carang Gupita bangkit dan langsung menyerang dengan senjatanya yang tadi diselipkan di pinggang.

   Namun, untuk kedua kalinya lelaki itu merasakan derasnya tendangan tumit mungil gadis itu.

   Kalau saja ia tidak memiliki sedikit ilmu kekebalan, sudah pasti tubuhnya luluh-lantak dibuatnya.

   Melihat Carang Gupita kewalahan menghadapi lawan, mereka yang tadinya menjadi penonton seren-tak mengurung Sekar Arum.

   Lebih dari dua puluh le-laki bersenjatakan golok dan tombak mengeroyok gadis keluaran Padepokan Karang Bolong itu.

   * * * Sekar Arum tak mungkin terus-menerus meng-hindari serangan.

   Untuk itu, ia meloloskan tombak pendeknya yang tersembunyi di balik kain parang ru-sak yang membalut pinggulnya.

   Beberapa golok ter-pental begitu beradu dengan tombak pendek bermata dua yang berputar mirip baling baling itu.

   Dan, para pengeroyok yang kehilangan golok itu semuanya merasakan nyeri yang menyerang bahu kanan mereka.

   Meskipun lebih dari lima orang telah meloncat mundur menjauhi arena pertarungan, tetap saja Sekar Arum kerepotan menghadapi para pengeroyoknya.

   Apalagi mereka yang masih tinggal kini mulai menggunakan jurus-jurus andalan mereka.

   Dua orang pengeroyoknya roboh bermandikan darah sewaktu gadis itu mengeluarkan Jurus Mengail Mangsa Keluar Sarang.

   Tengkuk mereka terhujam tombak pendek gadis itu.

   Inilah jurus yang hampir saja menamatkan ri-wayat Kebo Dungkul, kalau saja waktu itu tidak da-tang Hantu Lereng Lawu menolongnya, pikir Joko Sungsang dari tempat persembunyiannya.

   Matahari tinggal separuh bulatan.

   Sebentar lagi gelap akan menyelimuti arena pertarungan itu.

   Maka gadis itu akan merugi sebab para pengeroyoknya rata-rata berpakaian hitam.

   Sementara itu, para penge-royoknya akan merasa beruntung sebab gadis itu ber-pakaian serba putih.

   Kalau saja mereka bertarung di bawah panas terik, gadis itulah yang beruntung.

   War-na putih pakaiannya akan menyilaukan mata lawan-lawannya.

   Tetapi, sekarang yang terjadi sebaliknya.

   Warna putih itu akan memudahkan lawan-lawannya untuk mengirimkan serangan menuju sasaran! Joko Sungsang melihat gadis itu mulai terde-sak.

   Putaran tombak pendek gadis itu tak lagi secepat tadi.

   Patukan-patukan tombak bermata ganda itu pun tak lagi mematikan.

   Napas gadis itu mulai memburu.

   Sementara itu, lawan-lawannya punya kesempatan un-tuk mengatur napas sebab sekarang mereka menye-rang bergantian.

   Joko Sungsang tak lagi mempertimbangkan ke-tersinggungan gadis murid Ki Sempani itu Maka, se-waktu mata trisula Carang Gupita hampir menyeruduk pinggang Sekar Arum secepat kilat ia melayang turun dari pohon tempat persembunyiannya dan mengirim-kan tendangan ke bahu kanan Carang Gupita.

   Tak mengira bakal menerima serangan dari arah lain, Ca-rang Gupita tak sempat lagi menghindari.

   Tak pelak lagi, tendangan Joko Sungsang membuat tubuh lelaki itu terpelanting beberapa tombak di sebelah kanan Sekar Arum.

   Melihat Carang Gupita terbanting dan tak ban-gun lagi, para pengeroyok yang lain berlompatan mun-dur, Mereka menyadari kehadiran lawan baru yang il-munya lebih tinggi dibandingkan ilmu silat gadis itu.

   Akan halnya Sekar Arum? Hampir saja ia me-nyerang lelaki lancang yang kini berdiri di sampingnya itu kalau saja ia tidak mengenali Perisai Naga yang melingkar di pinggang lelaki muda itu.

   "Maaf, saya terpaksa lancang membantumu. Sebentar lagi hari gelap. Warna pakaianmu akan men-guntungkan mereka,"

   Kata Joko Sungsang sebelum Sekar Arum membuka mulut.

   "Terima kasih. Kalau tidak salah, saya sedang berhadapan dengan Pendekar Perisai Naga."

   "Panggil saja aku Joko Sungsang. Terlalu berat bagiku menyandang gelar itu,"

   Sahut Joko Sungsang merendah.

   "Mari kita bereskan dulu tikus-tikus bau ini, baru kita teruskan obrolan kita!"

   Kata Sekar Arum seraya kembali memasang kuda-kuda.

   Tanpa dikomando, lawan mereka terbagi men-jadi dua kelompok.

   Sekelompok mengurung Joko Sungsang, dan sekelompok lagi tetap mengurung Se-kar Arum.

   Kali ini pertarungan tidak lagi seimbang.

   Selain mereka telah kehilangan Carang Gupita, tentu sa-ja kehadiran Joko Sungsang membuat mereka sema-kin sia-sia memeras tenaga.

   Apalagi mereka menyadari bahwa anak muda yang telah menjatuhkan Carang Gupita ini tak mau melukai lawan.

   Anak muda yang juga berpakaian serba putih ini hanya berjumpalitan ke udara untuk menghindari serangan.

   Kalaupun membalas menyerang, hanyalah dengan totokan-totokan yang membuat lengan-lengan mereka kejang dan tak mampu lagi menggenggam senjata.

   "Katakan kepada Mahesa Lawung bahwa kalian bertemu dengan Pendekar Perisai Naga! Maka kalian akan mendapatkan ampunan jika kalian kembali ke Banyu Asin tanpa membawa hasil rampasan!"

   Seru Jo-ko Sungsang seraya meledakkan Perisai Naga tiga kali.

   Sinar hijau-kebiru-biruan menyilaukan mata.

   Tak perlu lagi mereka menyangsikan ucapan anak muda itu.

   Ya, inilah Pendekar Perisai Naga yang di-jumpai Mahesa Lawung di Desa Cemara Pitu, pikir me-reka seraya berlompatan mundur.

   Dalam sekejap ma-ta, mereka telah menghilang dari pandang mata Joko Sungsang dan Sekar Arum.

   "Sebaiknya segera kita tinggalkan desa ini sebe-lum penduduk desa kebingungan menjamu kita,"

   Kata Sekar Arum.

   "Aku pun berpikiran begitu,"

   Sahut Joko Sung-sang.

   Dua bayangan putih berloncatan meninggalkan Desa Pilangsari.

   Di pinggiran hutan jati yang membentang tak jauh dari Desa Pilangsari, barulah Joko Sungsang dan Sekar Arum menghentikan langkah mereka.

   Sekar Arum duduk menyandar pohon seraya memijit-mijit bahu kanannya yang terasa nyeri lagi.

   Baru dis-adarinya bahwa bahu itu sesungguhnya belum sem-buh benar.

   Tenaga Hantu Lereng Lawu memang luar biasa.

   Hanya berbenturan senjata saja cukup mem-buat bahu kanan gadis itu seperti terlepas dari badan.

   "Kau sempat terkena pukulan mereka?"

   Tanya Joko Sungsang.

   "Ah, tidak. Dan, aku yakin kau pun tahu pe-nyebab bahu ku sakit hingga sekarang ini,"

   Kata gadis itu mengira bahwa Pendekar Perisai Naga ini sedang berpura-pura tidak tahu.

   "Bagaimana mungkin? Kita baru bertemu seka-rang...."

   "Dan, baru sekarang aku bisa mengucapkan terima kasihku atas pertolonganmu tempo hari,"

   Tukas Sekar Arum.

   "Oh, ingat aku sekarang! Kau salah mengerti. Waktu itu bukan aku yang menolongmu...." 'Tak ada duanya Pendekar Perisai Naga di du-nia ini, bukan?" 'Ya. Memang hanya guruku yang pantas me-nyandang gelar itu."

   "Oh, maaf! Bukan itu maksudku. Maksudku, siapa lagi kalau bukan kau?"

   Gadis itu tersipu-sipu, merasa telah menyinggung perasaan lelaki muda yang baru saja dikenalnya itu.

   "Aku baru saja hendak menjelaskan bahwa Kiai Wiku Jaladri yang telah menolongmu waktu itu."

   Sekar Arum semakin malu dibuatnya. Karena itulah ia hanya bisa menekap mukanya untuk menutupi wajahnya yang kian memerah lantaran malu.

   "Aku pun membawa salam dari guruku terun-tuk Ki Sempani di Padepokan Karang Bolong,"

   Lanjut Joko Sungsang. Kini wajah gadis itu berseri-seri, la merasa bangga nama gurunya dikenang oleh Pendekar besar macam Pendekar Perisai Naga dari Jurang Jero.

   "Dengan senang hati aku akan menyampaikan-nya kepada guru jika aku kembali ke Karang Bolong nanti,"

   Kata Sekar Arum.

   "Apakah ini berarti aku tidak kau izinkan ikut ke Karang Bolong?"

   Sindir Joko Sungsang.

   "Maksudmu, kau juga ingin bertemu dengan Ki Sempani?"

   Semakin berseri wajah gadis itu. Oh, betapa bahagianya berjalan berdua dengan lelaki ini menuju Pantai Laut Selatan, pikir gadis itu.

   "Kalau memang kau tidak keberatan berjalan berdua denganku,"

   Kata Joko Sungsang.

   "Guruku akan senang sekali mendengar kabar tentang Kiai Wiku Jaladri. Apalagi jika kabar itu diden-garnya langsung dari mulut murid Pendekar Perisai Naga sendiri,"

   Kata gadis itu sebelum berdiri dan melangkah.

   "Kalau begitu, kita bisa bertemu lagi purnama nanti di Desa Cemara Pitu. Atau, mungkin aku boleh menemuimu? Di mana?"

   Gadis itu berhenti melangkah dan membalik-kan badannya.

   "Kenapa mesti bertemu di Desa Cemara Pitu?"

   Tanya gadis itu sembari mengerutkan dahi.

   "Karena aku ada urusan dengan Hantu Lereng Lawu di desa itu pada malam purnama nanti. Setidak-nya, setelah malam itulah aku baru bisa pergi meng-hadap Ki Sempani."

   "Ada urusan apa dengan orang sesat dari Le-reng Lawu itu?"

   Semakin dalam kerutan di dahi gadis itu.

   "Atas perintahnya, Kebo Dungkul telah mem-bunuh ayahku."

   Sekar Arum manggut-manggut paham.

   Ia me-mang tidak meragukan kehebatan ilmu silat anak mu-da ini.

   Tetapi, bagaimana seandainya Empu Wadas Gempal ikut campur dalam pertempuran di Desa Ce-mara Pitu nanti? "Baiklah.

   Kita bisa bertemu di mana saja sete-lah malam purnama nanti.

   Tetapi, tentu saja kau yang harus menentukan tempat pertemuan kita,"

   Kata Joko Sungsang. Betapa pun ia ingin sekali untuk dapat ber-duaan bersama gadis itu lebih lama lagi, namun kerin-duannya untuk bertemu dengan ibu yang melahirkan-nya tak bisa dibendungnya lagi.

   "Aku akan menemuimu di Desa Cemara Pitu. Aku kira, aku harus melihat pertarungan pendekar sakti macam kau dan Hantu Lereng Lawu."

   "Jangan terlalu merendahkan diri. Aku sudah tahu kehebatan ilmu silat Padepokan Karang Bolong,"

   Sahut Joko Sungsang merasa risih menerima pujian yang berlebihan.

   Kemudian mereka berpisah meski dengan hati yang berat.

   Joko Sungsang sendiri mengakui bahwa hatinya berdesir-desir begitu melihat gadis dari Padepokan Karang Bolong ini.

   Namun, ia berusaha men-campakkan perasaannya terhadap gadis itu.

   Ia ingat, masih banyak tugas yang dipikulnya.

   Seperti yang di-pesankan Wiku Jaladri kepadanya.

   "Kalau memang kau harus membunuh Hantu Lereng Lawu dan Kebo Dungkul, jangan karena didasari oleh dendam. Sebab, tanpa ayahmu terbunuh pun orang-orang macam Han-tu Lereng Lawu dan Kebo Dungkul memang harus dis-ingkirkan dari muka bumi. Tunjukkan bahwa kau membasmi kejahatan bukan karena tuntutan kepen-tingan pribadimu, melainkan karena memang sudah menjadi kewajibanmu "

   Joko Sungsang mempercepat langkahnya.

   Kini tubuhnya seperti bangau yang terbang rendah.

   Hanya sesekali saja kedua telapak kakinya menyentuh tanah.

   Inilah ilmu meringankan tubuh yang dilatihnya selama hampir lima tahun dalam kubangan di dasar jurang itu.

   Hampir tengah malam sewaktu Joko Sungsang memasuki Desa Dadapsari.

   la melihat beberapa orang peronda malam berjaga-jaga di mulut desa.

   Tak sulit baginya untuk menghindarkan diri dari pandang mata para peronda itu.

   la toh bisa melintas lewat dahan yang satu ke dahan yang lain.

   Setelah melewati gardu peronda itu, barulah ia melayang turun dan berjalan sambil merapatkan tubuh ke pagar.

   Rumah tempat Nyai Demang mengungsi selama tujuh tahun itu telah ditemukannya.

   Inilah tempat ke-diaman Wasi Ekacakra, teman sejati Wiku Jaladri.

   Se-perti halnya yang dilakukan Wiku Jaladri, yang dila-kukan Wasi Ekacakra juga mengasingkan diri dari du-nia persilatan, la menyamar menjadi petani di Desa Dadapsari sebab ia tak ingin lagi terlibat urusan saling bunuh dan saling mendendam.

   Sebagai pendekar yang ilmunya setingkat den-gan Wiku Jaladri maupun Ki Sempani, Wasi Ekacakra tentu saja mendengar langkah seseorang memasuki halaman rumahnya.

   Sekalipun Joko Sungsang telah memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna, te-tap saja getar telapak kakinya dirasakan oleh Wasi Ekacakra.

   Namun, mata tajam bekas pertapa itu segera mengenali Perisai Naga yang melilit di pinggang anak muda yang berpakaian serba putih ini.

   Maka Wasi Ekacakra menarik napas lega sebelum membuka pintu dan menyapa.

   "Selamat datang di pondok saya, Anak-mas.

   "

   Joko Sungsang membatalkan niatnya menyeli-nap ke balik pohon. Rasa malu karena tertangkap ba-sah secepatnya ia campakkan. Ia sadar bahwa yang di hadapinya kali ini bukan sembarang orang yang se-nang menertawakan orang lain.

   "Selamat malam, Kiai. Maafkan saya, Kiai. Te-tapi, bukan maksud saya...."

   "

   "Saya mengerti, Anakmas. Kakang Wiku Jaladri sudah berpesan kepada saya tentang kedatangan Anakmas. Hanya saja saya tidak mengira akan secepat ini,"

   Tukas Wasi Ekacakra.

   "Silakan masuk, Anakmas." 'Terima kasih, Kiai. Tetapi, malam sudah mulai larut. Sebenarnya, kedatangan saya malam ini hanya ingin memastikan bahwa keadaan Nyai Demang baik-baik saja."

   "Berkat lindungan-Nya, Nyai Demang sehat-sehat saja, Anakmas. Nyai Demang tentu kaget jika melihat Anakmas datang menengoknya."

   "Tentunya juga atas kemurahan hati Kiai maka Nyai Demang sehat hingga sekarang ini. Untuk itu, saya hanya bisa berdoa semoga Gusti Yang Maha Agung yang akan membalas kemurahan hati Kiai."

   "Sudah menjadi kewajiban saya, Anakmas. Apa pun yang bisa saya lakukan untuk menolong, pasti akan saya lakukan. Tetapi, kenapa Anakmas seper-tinya tidak ada waktu untuk bertemu dengan Nyai Demang walau hanya sebentar?"

   "Kiai, maafkan saya. Saya kira, akan lebih ba-hagia hati Nyai Demang jika saya menemuinya setelah saya selesai menunaikan tugas-tugas saya. Dan, saya pun akan merasa lebih lega menemui Nyai Demang setelah tidak ada lagi sesuatu yang mengganggu pikiran saya.

   "

   "Saya bisa memakluminya, Anakmas. Kalau begitu, dalam beberapa hari ini saya akan menunggu kedatangan Anakmas kembali. Tetapi, percayalah bahwa kedatangan Anakmas malam ini tetap akan saya rahasiakan di depan Nyai Demang.

   "

   "Terima kasih, Kiai. Sekaligus saya minta doa restu Kiai agar saya tetap bisa kembali menemui Kiai."

   Joko Sungsang membungkuk hormat sebelum me-ninggalkan halaman rumah itu.

   * * * Rasa rindu terhadap perempuan yang telah me-lahirkannya ke dunia ini terpaksa ditahan tahannya.

   Entah kenapa, begitu berhadapan dengan Wasi Ekaca-kra, pikiran Joko Sungsang serta-merta berubah.

   Tiba-tiba ia sadar bahwa tugas utamanya bukan menemui Nyai Demang, melainkan memberantas kejahatan.

   Lagi pula, betapa hati perempuan tua itu akan lebih tenteram setelah ia mendengar bahwa Kebo Dungkul dan Hantu Lereng Lawu tak mungkin lagi mengganggu ke-tenangannya.

   Malam purnama yang dijanjikannya kepada Hantu Lereng Lawu masih beberapa malam lagi baru tiba.

   Joko Sungsang masih memiliki hari-hari untuk lebih memperdalam ilmu silatnya.

   Untuk itu ia mencari tempat yang tak mungkin terjamah kaki manusia.

   Sengaja ia memasuki hutan dan mencari tempat ter-lindung untuk bersemedi.

   Selain itu ia juga sengaja melatih kembali jurus-jurus silat maupun jurus jurus Perisai Naga hingga tak selangkah pun gerak yang ter-lupakannya.

   Pemusatan pikiran, latihan pernapasan, serta pengendalian perasaan membuat Joko Sungsang terle-na pada urusan duniawinya.

   la tak lagi merasa harus menunggu-nunggu hingga purnama tiba.

   Sewaktu tanpa sengaja pandangan matanya menangkap warna merah bulan penuh di ufuk Timur, seketika itulah ia ingat janjinya kepada Hantu Lereng Lawu.

   Desa Cemara Pitu seperti desa mati yang tak berpenghuni Penduduk desa itu telah menutup pintu rumah masing-masing semenjak matahari tenggelam sore tadi Seperti yang dipesankan oleh Joko Sungsang kepada mereka, tak seorang pun diperbolehkan keluar dari pintu rumah sebelum terdengar ledakan Perisai Naga sebanyak tujuh kali berturut-turut Keadaan di bawah tujuh pohon cemara di mu-lut desa itu seolah-olah mengisyaratkan bahwa tempat itu hanya boleh didatangi oleh orang-orang yang berilmu silat tinggi.

   Barang siapa gegabah melintasi tempat itu maka tak sampai tujuh langkah nyawa mereka akan melayang.

   Hanya mereka yang berilmu silat tinggi yang bi-sa merasakan bahwa tempat itu menyembunyikan le-bih dari sepuluh sosok tubuh manusia.

   Kebo Dungkul menempati semak semak di bagian pojok Barat semen-tara Mahesa Lawung menempati semak-semak yang berseberangan jalan.

   Beberapa langkah dari mulut de-sa itu telah berjejer anak buah Mahesa Lawung mau-pun anak buah Kebo Dungkul dan Hantu Lereng Lawu Mereka semuanya siap dengan senjata tergenggam erat di telapak tangan.

   Joko Sungsang sendiri tidak mengi-ra bahwa kedatangannya bakal disambut oleh baris pendem ini.

   Namun, bukan Pendekar Perisai Naga jika me-rasa was-was menyadari jumlah orang yang bersem-bunyi di kanan-kiri jalan di bawah tujuh pohon cemara itu.

   Dari dengus napas yang tertangkap oleh telinganya, Joko Sungsang bisa memastikan jumlah mere-ka yang sedang melakukan baris pendem ini.

   Bulan purnama berada dua tombak di atas ca-krawala.

   Warna pakaian yang dikenakan Joko Sung-sang seakan bercahaya tertimpa sinar bulan.

   Maka amat mudah bagi Kebo Dungkul dan orang-orangnya untuk mengawasi bayangan putih di bawah pohon ce-mara itu Dan, sesungguhnyalah sejak Joko Sungsang memasuki mulut desa itu mereka sudah tak sabar un-tuk menyergapnya.

   Akan tetapi, mereka tetap ingat pesan Hantu Lereng Lawu sebelum mereka berangkat.

   "Tak kuizinkan siapa pun menampakkan diri di hadapan Pendekar Perisai Naga sebelum aku tiba di tempat itu!"

   Pesan wanti-wanti Hantu Lereng Lawu kembali mengiang di telinga mereka.

   Kebo Dungkul yang sejak tadi sudah meni-mang-nimang rantai berkapaknya terpaksa harus me-nahan diri agar tidak melanggar pesan orang pertama dari Lereng Lawu itu.

   Suasana tetap senyap meski Joko Sungsang sudah berusaha memancing mereka keluar dari per-sembunyian.

   Pendekar Perisai Naga ini sengaja me-langkah mondar-mandir di dekat semak-semak agar mereka terpancing untuk membokong.

   Akan tetapi, hanya desah angin di rerimbunan daun cemara yang terdengar mengisi kesenyapan malam di tempat itu.

   Kesabaran Joko Sungsang lambat-laun terkikis habis.

   Untuk apa ia datang ke tempat itu jika hanya untuk menjadi tontonan mereka yang berada di tempat persembunyian? Maka, bersamaan dengan hilangnya kesabaran di dalam dada, tubuh Joko Sungsang mele-sat ke udara dan kemudian hinggap di salah sebuah dahan cemara yang berdaun paling rimbun.

   "Sekarang kalian tidak bisa lagi menontonku! Sebaliknya, akulah yang sekarang jadi penonton!"

   Te-riaknya dari rimbun daun cemara.

   "Bocah sombong! Turunlah sebelum kau jatuh terhempas pohon cemara ini!"

   Sambut Kebo Dungkul seraya siap menerbangkan kapaknya ke pohon yang menyangga tubuh Joko Sungsang "Begitulah seharusnya kau menyambut tamu agung, Kebo Dungkul! Kenapa mesti sembunyi-sembunyi?"

   Joko Sungsang melayang turun dan men-darat persis di depan Kebo Dungkul.

   "Kau jangan lancang, Kebo Dungu!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan dari arah lain. Dan, dalam sekejap Hantu Lereng Lawu telah berdiri di belakang Kebo Dungkul. * * * "Oh, inikah Hantu Lereng Lawu yang kesohor itu?"

   Sapa Joko Sungsang sambil meneliti sosok Hantu Lereng Lawu dari ujung rambut hingga jari-jari kaki.

   "Ha-ha-ha, dasar bocah ingusan! Nah, amatilah supaya kau tidak menyesal di alam kuburmu nanti, Bocah Gembala Kambing!"

   Hantu Lereng Lawu sengaja menghindari bayangan daun cemara agar terlihat jelas oleh mata Pendekar Perisai Naga.

   "Kita lihat saja nanti, siapa di antara kita yang lebih pantas mendahului masuk liang kubur atau ke-layapan menjadi hantu sepertimu, Hantu Lereng La-wu." 'Gembel busuk! Langkahi dulu mayatku, baru kau pantas berhadapan dengan Hantu Lereng Lawu!"

   Sahut Kebo Dungkul sambil maju selangkah. Akan te-tapi, tubuhnya terdorong mundur lagi sebab tangan Hantu Lereng Lawu sigap menarik bahunya.

   "Maafkan kelancangan anak buahku yang be-lum pernah mendengar kebesaran nama Pendekar Pe-risai Naga,"

   Ujar Hantu Lereng Lawu.

   "Namun begitu, terlalu pongah jika kau hanya datang kemari seorang diri, Anak Demang!"

   "Sejak lima puluh tahun yang lalu, Pendekar Perisai Naga memang tak pernah berkomplot dengan siapa pun. Apalagi hanya untuk menghadapi orang se-sat macam kau, Hantu Lereng Lawu."

   "Bersiaplah, Bocah Pongah. Tetapi, ingatlah bahwa aku bukan cecurut macam Mahesa Lawung yang kau jumpai di sini beberapa hari yang lalu!"

   Berkata begini Hantu Lereng Lawu sambil membuka sepu-luh jari tangannya dan menerjang dada Joko Sung-sang.

   Joko Sungsang merasakan sambaran angin yang begitu kuat lewat di samping telinga kanannya sewaktu ia merunduk ke kiri menghindari jari-jari maut Hantu Lereng Lawu itu.

   Dan, sebelum ia mengi-rimkan serangan balasan, dengan cepat jari-jari tangan itu berputar setengah lingkaran ke arah bawah dan hampir saja menerjang mukanya.

   Murid Wiku Jaladri memang belum berpenga-laman dalam dunia persilatan.

   Akan tetapi, setidaknya ia pernah mendengar dari cerita gurunya bahwa jari-jari tangan Hantu Lereng Lawu ini bukan sembarang jari.

   Selain jari-jari itu memang besar dan kuat, masih juga dialiri tenaga dalam yang sempurna.

   Dalam arena pertarungan, jari-jari itu seakan berubah menjadi gar-pu baja yang dilumuri racun.

   Jangan lagi sampai jari-jari itu tertanam dalam daging, sedangkan sedikit goresan pada kulit pun sudah cukup membahayakan.

   Oleh sebab itu, Joko Sungsang menjatuhkan tubuhnya sambil menerjang kaki kanan Hantu Lereng Lawu.

   Merasa kaki kanannya terancam, orang sesat dari Lereng Lawu itu menarik kaki kanannya ke bela-kang sehingga terpaksa ia menggagalkan serangan be-rikutnya.

   "Lumayan juga ilmu silatmu, Bocah Sanareja!"

   Ujar Hantu Lereng Lawu.

   "Sayang, aku tak banyak waktu untuk mela-deni bocah ingusan! Nah, bersiaplah menghadapi pe-dangku!"

   Melihat lawan sudah menghunus senjata, Joko Sungsang pun mengurai Perisai Naga dari pinggang-nya.

   Tiga puluh tahun yang lalu, Hantu Lereng Lawu memang merasa cemas menghadapi kehebatan Perisai Naga.

   Akan tetapi, sekarang ia malah tertawa-tawa seraya berkata.

   "Ayo, seranglah aku dengan cambuk kambingmu itu, Pendekar Perisai Naga!"

   Sungguh, baru kali ini Joko Sungsang men-jumpai lawan yang berani menertawakan Perisai Na-ganya.

   Malahan mengejek sebagai cambuk kambing! Menggelegak darah muda Joko Sungsang.

   Maka tanpa menunggu lawan menyerang, ia mendahului mengi-rimkan serangan.

   Dan, inilah Jurus Naga Melilit Gu-nung.

   Dengan sekali lecut, Perisai Naga berhasil melilit pinggang Hantu Lereng Lawu.

   Sekejap saja cambuk itu melingkar di pinggang Hantu Lereng Lawu.

   Sebab, se-belum Joko Sungsang sempat menghentakkan Perisai Naganya, tubuh Hantu Lereng Lawu mendahului ber-putar dan pudarlah lilitan cambuk itu.

   Joko Sungsang terpana.

   Tak disangkanya la-wan bisa menangkal Jurus Naga Melilit Gunung.

   Tentu saja ia tidak mengira bahwa Hantu Lereng Lawu telah mempelajari Jurus Bidadari Mengurai Benang Kusut Tak pernah sekelumit pun Wiku Jaladri mengin-gatkannya bahwa orang sesat dari Lereng Lawu itu memiliki jurus penangkal Perisai Naga.

   "Ha-ha-ha! Jangan besar kepala karena kau memiliki Perisai Naga, Bocah Goblok! Nah, sekarang gi-liranku memamerkan kehebatan pedangku!"

   Hantu Le-reng Lawu memutar pedangnya di atas kepala. Pedang yang berwarna keemasan itu kini berubah bentuk menjadi payung berwarna kuning menyilaukan. Dan, putaran pedang itu tiba tiba menerjang leher Joko Sungsang. 'Tring!"

   Bunga api berpijaran akibat benturan dua sen-jata.

   Sewaktu Joko Sungsang berjumpalitan ke udara dan mengirimkan balasan ke arah kepala lawan, ketika itulah pedang Hantu Lereng Lawu memayungi kepalanya.

   Maka bola berduri Perisai Naga yang hampir mematuk kepala Hantu Lereng Lawu pun terpental.

   "Kau pikir aku begitu bodoh membiarkan batu akikmu itu menyentuh kepalaku? Ha-ha-ha! Dasar Bo-cah Tolol!"

   Ujar Hantu Lereng Lawu.

   Dalam pada itu, Kebo Dungkul, Mahesa La-wung, dan para anak buah mereka begitu terpaku me-nyaksikan pertarungan yang sedang berlangsung.

   Se-makin lama mereka memperhatikan, semakin mereka terkagum-kagum.

   Mereka tidak lagi melihat sosok Hantu Lereng Lawu maupun Joko Sungsang.

   Mereka hanya melihat bayangan putih dan bayangan hitam saling menyerang dengan senjata-senjata yang berwar-na kuning dan hijau-kebiru-biruan.

   Puluhan jurus telah terlewati.

   Namun, belum seorang pun di antara mereka berdua kelihatan terde-sak Joko Sungsang sendiri baru sekarang mengakui nama besar Hantu Lereng Lawu.

   Bukan mustahil jika banyak orang yang tidak berdosa menjadi korban ke-ganasan orang sesat dari Lereng Lawu ini.

   Berkali-kali Joko Sungsang berhasil melilitkan Perisai Naga ke tubuh lawan, tetapi berkali-kali pula lilitan itu pudar sebelum ia sempat menghentakkan Perisai Naganya.

   'Tong!"

   Untuk kedua kalinya bola berduri di ujung Pe-risai Naga membentur payung pedang yang memben-tengi tubuh Hantu Lereng Lawu.

   Namun, kali ini tubuh mereka sama-sama surut beberapa langkah ke belakang.

   Dua tenaga dalam yang teralirkan lewat senjata-senjata mereka beradu.

   Kalau saja Joko Sungsang ti-dak tekun melatih pernapasan, sudah barang pasti ia akan terjengkang dan tidak bangun lagi.

   Akan halnya Hantu Lereng lawu? Orang sesat yang telah puluhan tahun malang-melintang di dunia persilatan ini diam-diam memuji kehebatan ilmu silat anak muda dari Sanareja ini.

   Diam-diam ia bersyukur tidak membiarkan Kebo Dungkul coba-coba mengha-dapi anak muda ini.

   Maka ia pun mengakui bahwa anak muda dari Padepokan Jurang Jero ini memang pantas bergelar Pendekar Perisai Naga! Setelah berhasil mengatasi rasa nyeri yang me-nyerang pangkal lengannya, kembali Hantu Lereng La-wu menerjang dengan pedangnya.

   Kali ini pedang itu tidak lagi berputar.

   Pedang itu bergerak separuh lingkaran ke kanan-kiri dengan gerakan menyilang.

   Tak ada jalan lain bagi Joko Sungsang kecuali melenting ke udara sambil melindungi tubuhnya den-gan putaran cambuknya.

   Ia yakin, pedang itu bakal memburunya ke udara.

   Namun, tanpa diduga-duga, tangan kiri Hantu Lereng Lawu mengirimkan pukulan sewaktu Joko Sungsang hampir menjejakkan kakinya ke tanah.

   "Desss!"

   Tumit Joko Sungsang beradu dengan kepalan tinju orang sesat dari Lereng Lawu itu. Tubuh Joko Sungsang berguncangan sementara tubuh Hantu Le-reng Lawu terlempar beberapa tombak ke belakang.

   "Cincang anak ingusan itu!"

   Perintah Hantu Le-reng Lawu kepada anak buahnya setelah ia berhasil berdiri lagi di atas kuda-kudanya.

   Kebo Dungkul, Mahesa Lawung, dan sepuluh orang anak buah mereka langsung mengurung tubuh Joko Sungsang.

   Bahkan sebelum Joko Sungsang bangkit, mereka telah menyerang bersamaan Terpaksa murid Wiku Jaladri ini bergulingan kembali untuk menghindari pedang Mahesa Lawung dan rantai ber-kapaknya Kebo Dungkul yang mengancam tubuhnya.

   Keadaan seperti ini memang sudah diramalkan oleh Joko Sungsang.

   Tidak akan Hantu Lereng Lawu berani bertarung satu lawan satu sampai titik darah penghabisan.

   Masih untung Empu Wadas Gempal ti-dak ikut mengeroyoknya.

   "Tar! Tar! Tar!"

   Perisai Naga meledak tiga kali, dan tiga orang anak buah Hantu Lereng Lawu terpental dengan ken-ing menyemburkan darah.

   Dalam sekejap saja bola berduri di ujung cambuk itu melibas tiga kening lelaki malang itu.

   Melihat tiga anak buahnya tewas, Hantu Lereng Lawu mulai menerjang Joko Sungsang lagi.

   Kini Joko Sungsang merasa kewalahan menghadapi keroyokan mereka.

   Untuk menghadapi Hantu Lereng Lawu seo-rang diri pun ia merasa harus berjuang mati-matian, apalagi sekarang ditambahi dengan serangan Mahesa Lawung dan kebo Dungkul.

   Bolehlah ujung-ujung tombak anak buah mereka itu diabaikan.

   Tetapi, ha-ruskah Joko Sungsang mengabaikan tiga orang yang kini telah bergabung itu? Perisai Naga menyambar-nyambar, tetapi pe-dang Hantu Lereng Lawu selalu berhasil memagari me-reka bertiga.

   Rupa-rupanya Hantu Lereng Lawu hanya bertugas menangkis serangan, sementara ia menu-gaskan Mahesa Lawung dan Kebo Dungkul untuk membalas serangan.

   Empat orang anak buah Hantu Lereng Lawu ja-tuh lagi.

   Tetapi, hanya itulah yang bisa diperbuat Joko Sungsang.

   la menyingkirkan orang-orang bertombak ini supaya ia lebih bisa konsentrasi menghadapi tiga orang tangguh yang mengurungnya.

   Namun, meskipun akhirnya anak buah Hantu Lereng Lawu maupun anak buah Mahesa Lawung terkapar semuanya, tetap saja Joko Sungsang terdesak.

   Hampir-hampir tiga orang lawannya ini tak memberinya kesempatan untuk membalas.

   Mereka terus menerjang dengan jurus-jurus yang mematikan.

   Joko Sungsang merasakan tenaganya mulai terkuras.

   Ke mana pun ia menghindar, salah satu sen-jata lawan selalu membuatnya.

   Mereka bertiga seakan sudah terlatih untuk bersatu mengeroyok.

   Satu-satunya kemungkinan adalah menjatuhkan salah satu dari mereka bertiga terlebih dulu.

   Dan, tentu saja Mahesa Lawung yang paling mungkin untuk segera dija-tuhkan.

   Mulailah Joko Sungsang mengarahkan seran-gan cambuknya ke tubuh Mahesa Lawung.

   Namun, di luar dugaannya, Hantu Lereng Lawu selalu melindungi orang kepercayaan Adipati Sorengdriyo itu.

   Setiap Perisai Naga bergerak melilit, setiap itu pula tubuh Hantu Lereng Lawu yang terlilit.

   Sudah pasti tubuh orang sesat dari Lereng Lawu ini maju dengan Jurus Bidadari Mengurai Benang Kusut.

   Joko Sungsang benar-benar merasakan tena-ganya terkuras habis.

   Kalaupun ia masih lincah menghindari serangan mereka, gerakan menghindar ini pun semakin menguras tenaganya.

   Dan, selama Hantu Lereng Lawu masih ada di antara mereka, maka Joko Sungsang merasa percuma menyerang.

   Dalam keputusasaannya, Joko Sungsang tiba-tiba melihat bayangan putih menyerang Kebo Dungkul.

   Sebelum ia bisa menebak siapa yang muncul memban-tunya ini, bayangan putih itu berteriak.

   "Biarkan aku membalas rasa sakit hatiku, Jo-ko!"

   "Arum? Sekar Arum!"

   Desah Joko Sungsang merasa lega. Bagaimanapun juga kehadiran gadis itu akan memisahkan Kebo Dungkul dari Hantu Lereng Lawu dan Mahesa Lawung.

   "Rupanya kau melepaskan gadis itu, Kebo Dungu?"

   Ujar Hantu Lereng Lawu. Ia masih ingat se-waktu ia berhasil membuat gadis itu tak berdaya beberapa hari yang lalu di depan kedai itu.

   "Kau menyesal melepaskan aku waktu itu, Hantu Keparat?"

   Sahut Sekar Arum.

   Kesempatan yang hanya beberapa detik ini tak disia-siakan oleh Joko Sungsang.

   Begitu Kebo Dungkul mulai sibuk menghadapi serangan tombak pendek di tangan Sekar Arum, dan perhatian Hantu Lereng Lawu terpecah, saat itulah Perisai Naga melecut dan melilit leher Mahesa Lawung.

   Dan, dengan sekali hentak, Ma-hesa Lawung tersungkur dengan leher menyemburkan darah.

   Bola berduri ujung Perisai Naga membabat urat-urat leher orang dari Kadipaten Banyu Asin ini.

   "Dia memang pantas mati, Bocah Tolol! Tetapi, ingatlah kau masih harus menghadapiku! Dan, jangan berangan-angan kau bisa melilitkan cambuk kam-bingmu ke tubuhku!"

   Teriak Hantu Lereng Lawu seraya memutar tubuhnya seperti gasing.

   Kembali menghadapi Hantu Lereng Lawu seo-rang diri, kekacauan pikiran Joko Sungsang mulai bisa teratasi.

   Dan, melihat lawannya hanya berbentuk gu-lungan sinar kuning, ia serta-merta ingat latihan-latihannya di pusaran air kali.

   Maka ia pun ingat Jurus Mematuk Elang dalam Mega yang bisa menerobos pusaran air kali sederas apa pun.

   "Berputarlah sepuasmu, Hantu Gasing!"

   Kata Joko Sungsang sebelum melenting ke udara dan me-matukkan bola berduri di ujung cambuknya dengan Jurus Mematuk Elang dalam Mega.

   Hampir saja bola berduri itu berhasil menem-bus putaran tubuh Hantu Lereng Lawu ketika tiba-tiba ada angin kuat melabrak tubuh Joko Sungsang.

   Tubuh murid Wiku Jaladri ini terpental dan bola berduri itu tertarik menjauh dari kepala Hantu Lereng Lawu.

   "Ho-ho-ho, he-he-he, hi-hi-hi! Rupanya tua bangka penggembala kambing itu masih punya jurus simpanan!"

   Empu Wadas Gempal memegangi perutnya sambil menarik-narik kumisnya.

   "Selamat datang, Guru,"

   Sambut Hantu Lereng Lawu sambil membungkuk hormat ke arah gurunya.

   "Kalau saja aku tidak kebetulan lewat di sini, kau sudah dikirim ke neraka oleh penggembala muda itu, Pragosa!"

   Sahut Empu Wadas Gempal.

   "Kebetulan lewat? Bilang saja kalian memang sudah berjanji main keroyokan di sini! Tua bangka tidak tahu diri!"

   Sembur Sekar Arum setelah berhasil mengirimkan tumitnya yang mungil ke perut Kebo Dungkul.

   Terhuyung-huyung Kebo Dungkul sambil me-megangi perutnya yang melilit-lilit.

   Tadi ia memang lengah sehingga tumit gadis itu berhasil menerjang perutnya.

   Kehadiran Empu Wadas Gempal membuyar-kan konsentrasi Kebo Dungkul.

   "Ha-ha-ha! Sesukamulah kau menuduh, Cah Ayu! Yang pasti, aku datang memang untuk membu-nuh kalian berdua! Nah, tinggalkan Kebo Dungkul, dan bantulah Pendekar Perisai Naga menghadapiku!"

   Empu Wadas Gempal mendorongkan kedua telapak tangannya, dan angin yang keluar dari telapak tangan itu menjauhkan tubuh Kebo Dungkul dari hadapan Sekar Arum.

   "Kalaupun kami harus mati, kami memilih mati secara ksatria! Pantang bagi kami main keroyokan se-perti orang-orangmu!"

   Sergah Sekar Arum.

   "Kalau begitu, hadapilah aku, Gadis Bengal!"

   Berkata begini, Hantu Lereng Lawu langsung mengha-dang di depan murid Ki Sempani.

   "Kau merasa pernah mengalahkanku, Hantu Keparat? Tetapi, kali ini, jangan harap pedangmu itu bisa menyentuh pakaianku! Bersiaplah sebelum tom-bakku memburaikan ususmu!"

   Sekar Arum memutar tombak pendeknya. Dua mata tombak itu berkilauan tertimpa sinar bulan.

   "Tunggu apa lagi, Bocah Bagus? Kawanmu su-dah mulai menyerang, kenapa kau masih juga beku?"

   Ujar Empu Wadas Gempal sambil mengirimkan angin telapak tangannya ke arah Joko Sungsang.

   Meski sudah berusaha berkelit, tetap saja Joko Sungsang merasakan sambaran angin dari telapak tangan tokoh hitam dari Hutan Ketapang ini.

   Bahkan hembusan angin itu sempat membuat ikat kepalanya terbang.

   "Nah, kalau saja aku mengeluarkan seluruh te-nagaku, kepalamulah yang terbang, Anak Demang!"

   Joko Sungsang merasa tidak mungkin meng-hadapi kakek sakti ini hanya dengan tangan kosong. Maka ia bersiap-siap dengan Perisai Naga tergenggam erat di tangannya.

   "Cobalah kau serang aku dengan jurus baru ciptaan gurumu itu! Aku memang belum tahu nama jurus itu, tetapi aku bukan Hantu Dungu yang tak kenal semedi itu, Bocah Ingusan!"

   "Ya! Dan, tidak seharusnya kau mencampuri urusan bocah-bocah ingusan, Wadas Gempal!"

   Tiba-tiba terdengar jawaban seseorang dari kerimbunan daun cemara.

   Empu Wadas Gempal membatalkan serangan-nya, ia menoleh ke arah datangnya suara seraya men-girimkan serangan jarak jauh.

   Terdengar suara dahan berderak patah, dan nampaklah sesosok tubuh me-layang turun dan mendarat di depan Joko Sungsang.

   "Maaf, Anakmas. Orang tua dari Hutan Keta-pang ini memang bukan lawan kalian berdua,"

   Kata Wasi Ekacakra sambil menoleh ke belakang.

   "Ho-ho-ho! Kau rupanya! Aku memang sudah lama menunggumu, Ekacakra! Hanya sayangnya, di sini ada anak-anak ingusan yang tidak tahu urusan ki-ta berdua! Baik, ini memang bukan urusan tua bangka seperti kita! Urusan kita bisa kita selesaikan lain waktu!"

   Empu Wadas Gempal berjumpalitan ke belakang dan menghilang di kerimbunan semak-semak.

   "Nah, Anakmas Joko Sungsang, saya harus te-tap mengawasi kepergian kakek dari Hutan Ketapang itu. Selesaikanlah urusan kalian berdua!"

   "Terima kasih, Kiai,"

   Ucap Joko Sungsang sam-bil membungkuk hormat.

   Dan, sewaktu ia menenga-dahkan mukanya, petani tua dari Desa Dadapsari itu telah menghilang dari pandang matanya.

   Melihat gurunya kabur, Hantu Lereng Lawu memberikan isyarat kepada Kebo Dungkul agar cepat-cepat meninggalkan gadis murid Ki Sempani itu.

   akan tetapi, Joko Sungsang telah menghadang dengan puta-ran Perisai Naganya.

   "Urusan kita belum selesai, Hantu Lereng La-wu!"

   Kata Joko Sungsang kembali bersiap-siap dengan Jurus Mematuk Elang dalam Mega yang tadi digagal-kan oleh Empu Wadas Gempal.

   "Jangan besar kepala, Anak Demang! Kau kira cambukmu masih bisa melecutku tanpa kehadiran gu-ruku?" 'Cobalah kau berputar lagi, dan aku memang tidak akan melilitkan cambukku ke tubuhmu! Tetapi, bola di ujung cambuk inilah yang pasti memecahkan tengkorak kepalamu!"

   "Pergilah ke neraka menyusul kedua orang tua-mu!"

   Hantu Lereng Lawu memutar tubuhnya dengan pedang menyilang di dada.

   Karena tak mau lagi menguras tenaga, Joko Sungsang pun langsung menerapkan Jurus Mematuk Elang dalam Mega.

   Bersamaan dengan itu, Sekar Arum melenting ke atas kepala Kebo Dungkul dan ketika tu-run...

   crasss! Tombak pendek bermata dua itu menan-cap di tengkuk Kebo Dungkul.

   Kebo Dungkul tersungkur dengan leher bolong tertusuk tombak pendek murid Ki Sempani.

   Dan, di hadapan Joko Sungsang pun, Hantu Lereng Lawu ter-jerembab setelah tubuhnya limbung dan kepalanya pe-cah terpatuk batu cincin berduri di ujung Perisai Naga.

   Sekar Arum dan Joko Sungsang tersenyum le-ga.

   Serentak mereka menyimpan senjata masing-masing ke pinggang.

   Lalu, Joko Sungsang mendahului membuka suara.

   "Sekarang kita ke Padepokan Karang Bolong?"

   "Nanti, setelah kau berhasil mengalahkanku!"

   Jawab Sekar Arum seraya mendahului melompat me-ninggalkan tempat berbau amis darah itu.

   Bukan Pendekar Perisai Naga jika dalam seke-jap mata tidak bisa menyusul langkah gadis itu! Itu pun dilakukannya setelah terlebih dulu ia memungut ikat kepalanya yang tadi tercampakkan oleh sambaran angin telapak tangan Empu Wadas Gempal.

   "Kau belum cerita kenapa kau pergi dari Ka-rang Bolong, Arum,"

   Kata Joko sungsang sambil berlari di samping gadis murid Ki Sempani itu. Gadis itu melirik, dan kemudian jawabnya.

   "Ka-lau saja aku tidak bertemu dengan Pendekar Perisai Naga, mungkin aku tetap tidak menyadari bahwa ilmu silatku masih memalukan di dunia persilatan!"

   "Ah, aku tidak melihat kelemahan ilmu silatmu. Jangan terlalu merendahkan diri, Arum. Aku yakin, Ki Sempani tidak mungkin mau membawa seluruh ilmunya ke liang kubur."

   "Akulah yang keras kepala. Guru belum menu-runkan semua ilmunya kepadaku, tetapi aku berkeras pergi dari padepokan.

   "

   Wajah gadis itu kini tertunduk.

   Pandang matanya yang semula galak menjadi sayu.

   Joko Sungsang menghela napas lega.

   Ia merasa tega sebab gadis ini menyadari kekeliruannya.

   Lalu dia pun melihat penduduk Desa Cemara Pitu mulai berke-luaran dari rumah mereka masing-masing.

   Sebelum para penduduk desa tersebut sempat mengucapkan te-rima kasih, Joko Sungsang dan Sekar Arum telah ber-kelebat meninggalkan mereka.

   "Kalian kubur mayat-mayat itu dengan baik! Dan sekarang kalian bisa menikmati hasil panen sen-diri tanpa diganggu lagi!"

   Joko Sungsang mengirimkan suaranya dari jarak jauh pada penduduk desa yang sedang bergembira itu. SELESAI
https.//www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978 Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. Avicke

   

   

   

Pertarungan Dikota Chang An Karya Wen Rui Ai Dendam Kesumat Karya Tabib Gila Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen

Cari Blog Ini