Ceritasilat Novel Online

Lambang Kematian 2


Pendekar Pulau Neraka Lambang Kematian Bagian 2



Meskipun -sudah jelas bahwa adiknya yang bersalah! Adipati Rakondah sendiri kini sudah mengosongkan istananya.

   Semua pelayan dan abdi setianya sudah disuruh meninggalkan istana.

   Bahkan para pejabat kadipaten tidak diperbolehkan datang lagi.

   Tidak ada seorang pun yang berani membantah, mereka seperti sudah mengerti dengan semua persoalan yang sedang dihadapi junjungannya itu.

   Sekarang yang masih tinggal di lingkungan Istana Kadipaten, hanya Adipati Rakondah sendiri dengan Panglima Bantaraji dan dua puluh orang prajurit pilihan dari kerajaan.

   Suasana di istana kadipaten benar benar sudah sunyi.

   Suatu kesunyian yang mencekam dan berselimut maut! Sejak sore, Adipati Rakondah duduk merenung di beranda depan istananya.

   Di sampingnya duduk pula Panglima Bantaraji.

   Sementara empat orang prajurit yang bersenjata pedang di pinggang berdiri di belakang mereka.

   Tak ada yang bicara sedikit pun sejak senja tadi.

   Masing masing sibuk -dengan pikirannya.

   Sedangkan di bagian halaman depan, tampak enam belas prajurit berjaga jaga dengan senjata yang sudah terhunus di tangan.

   -"Huh! Seperti sedang menunggu mati saja!"

   Dengus Panglima Bantaraji mengeluh. Sejenak Adipati Rakondah menoleh dan memandang sayu pada kakaknya.

   "Sudah dua malam kita duduk di sini. Mau sampai kapan lagi begini terus...?"

   Lagi lagi Panglima Bantaraji mengeluh. -"Jangan mengeluh terus, Kakang. Aku sudah memintamu untuk meninggalkan Kadipaten Jati Anom,"

   Rungut Adipati Rakondah "Meninggalkanmu sendirian dicincang"

   "Kalaupun aku harus mati, ini adalah kesempatanku untuk mati secara ksatria, Kakang."

   Kini Panglima Bantaraji menatap tajam pada adiknya.

   Selama ini dia belum pernah mendengar kata kata seperti itu ke luar dari mulut -adiknya itu.

   Dia seperti tidak percaya, bahwa adiknya yang selama ini berada di jalan hitam sudah benar benar berubah.

   Apakah Adipati Rakondah sudah putus asa? -Atau memang dia sudah bertobat dan ingin menebus segala dosa dosanya di masa -lalu? Tidak ada seorang pun yang tahu! Sementara malam terus merayap semakin larut.

   Kedua.

   bersaudara itu terus berbincang bincang -mengenang kembali masa masa lalu.

   Di mana mereka terkenal sebagai tokoh yang sangat disegani di rimba persilatan, dengan julukan Sepasang Gagak Hitam dari Utara.

   Dan meskipun mereka selalu bersama sama mengarungi keganasan rimba -persilatan, namun watak dan tindakan mereka selalu bertentangan.

   Yang satu selalu mementingkan orang lain dan membela kebenaran, sedangkan satunya lagi selalu bertindak sangat bertentangan, namun anehnya mereka bisa ber-satu seiring sejalan.

   Hal itu tentu saja membuat tokoh-tokoh sakti rimba persilatan jadi bingung menentukan mereka berada dalam golongan mana.

   Satu hari mereka memberantas kejahatan bersama-sama, tapi pada hari berikutnya mereka bisa bentrok dengan pendekar golongan putih.

   Mereka berdua memang bisa saling bantu dan mendukung satu sama lainnya, tapi untuk kepentingan pribadi tidak mau saling mencampuri.

   "Kakang, awas...!"

   Tiba tiba Adipati Rakondah berseru nyaring sambil melompat -dan menubruk kakaknya.

   Dan pada saat yang bersamaan, secercah cahaya keperakan meluncur deras bagai kilat.

   Kakak beradik itu jatuh bergulingan, dan sinar keperakan itu langsung menghantam seorang prajurit yang tengah berdiri tepat di belakang Panglima Bantaraji.

   Jeritan melengking terdengar disusul dengan ambruknya prajurit itu.

   Panglima Bantaraji bergegas melompat dan menghampiri prajurit yang malang itu.

   Dan kemudian dia segera mencabut benda berbentuk bintang berwarna keperakan dari dada prajurit itu.

   Wut, wut, wut...! Belum lagi rasa terkejut mereka hilang, tiba tiba tiga buah benda bercahaya -keperakan kembali meluncur dan menancap berjajar pada daun pintu.

   Seketika Adipati Rakondah dan Paglima Bantaraji melompat begitu mereka melihat berkelebatnya sebuah bayangan melompati tembok.

   "Hey! Berhenti...!"

   Seru Adipati Rakondah lantang.

   Namun begitu kakinya hinggap di atas tembok benteng yang tinggi dan tebal, bayangan itu sudah lenyap tak berbekas.

   Sejenak Adipati Rakondah mengedarkan pandangannya berkeliling, menembus kegelapan malam.

   Sedangkan Panglima Bantaraji tetap menunggu di bawah.

   "Huh! Sial...!"

   Rutuk Adipati Rakondah menggeram seraya meluncur ke bawah.

   Dan dengan manis sekali kakinya segera hinggap di tanah, tepat di depan Panglima Bantaraji.

   Tampak di beranda depan, dua orang prajurit tengah menggotong seorang prajurit yang tewas tertembus bintang perak bersegi enam.

   Sesaat Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji saling berpandangan.

   "Apa maksudnya dia mengirimkan senjata itu, Kakang?"

   Tanya Adipati Rakondah tetap memandang ke bola mata kakaknya.

   "Hari penentuan,"

   Sahut Panglima Bantaraji setengah mendesah.

   "Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang?"

   "Berapa yang dia lemparkan?"

   Panglima Bantaraji malah balik bertanya.

   "Empat, dan satu berhasil menewaskan seorang prajuritmu,"

   Sahut Adipati Rakondah.

   "Berarti tiga buah, dan itu tandanya tiga hari lagi dia akan datang menantangmu. Satu lontaran yang pertama tadi merupakan peringatan,"

   Panglima Bantaraji menjelaskan.

   Adipati Rakondah segera terdiam mendengar penjelasan itu.

   Dan dengan kepala tertunduk lesu, dia melangkah kembali ke beranda depan istananya.

   Sementara Panglima Bantaraji segera mengatur sisa para prajuritnya untuk tetap berjaga jaga dari segala mungkinan yang ada.

   -*** Tanpa seorang pun yang mengetahui, sesosok tubuh berada di kerimbunan pepohonan yang tidak jauh dari benteng bagian Barat Istana Kadipaten Jati Anom.

   Sepasang matanya yang bening bercahaya, menatap tajam mengawasi sekitar bangunan besar dan megah itu.

   Dan tatapannya langsung terpaku pada seorang laki-laki setengah baya yang mengenakan pakaian indah seorang panglima.

   Sosok tubuh itu terus mengamati setiap gerak gerik Panglima Bantaraji.

   Tampak -Panglima Bantaraji melangkah menuju ke bagian belakang bangunan megah itu.

   Tak ada seorang prajurit pun yang terlihat di sana.

   Semua prajurit dikhususkan untuk menjaga bagian depan.

   Beberapa saat kemudian, sosok tubuh itu melenting ringan ke bawah tanpa menimbulkan suara sedikit pun.

   Lalu kembali dia melentingkan tubuhnya, dan hinggap di atas atap.

   Dan hanya dengan menginjakkan sedikit ujung jari kakinya, sosok tubuh itu meluruk turun dan langsung mendarat di depan Panglima Bantaraji! "Heh!"

   Panglima Bantaraji terkejut, langsung melompat mundur dua tindak.

   Sosok tubuh itu ternyata seorang pemuda gagah berwajah tampan.

   Badannya yang tegap berisi, teringkus baju dari kulit harimau.

   Tangannya tampak melipat di depan dada.

   Tampak di pergelangan tangan kanannya menempel sebuah lempengan logam yang berwarna keperakan.

   Benda itu berkilauan tertimpa oleh cahaya bulan yang mengintip dari balik awan hitam.

   Tatapan matanya tajam menembus langsung ke bola mata Panglima Bantaraji.

   "Pendekar Pulau Neraka ,"

   Desis Panglima Bantaraji.

   "Kau pasti Panglima Bantaraji,"

   Dingin dan datar suara pemuda gagah itu yang ternyata adalah Bayu si Pendekar Pulau Neraka.

   "Benar! Akulah Panglima Bantaraji!"

   Sahut Panglima Bantaraji sudah bisa mengendalikan dirinya dengan tenang.

   "Di antara kita tidak pernah punya persoalan. Maka aku minta padamu, agar jangan mencampuri urusanku, Panglima Bantaraji,"

   Tegas kata kata Bayu. -"Aku sudah tahu persoalan yang kau bawa ke sini, tapi kau juga harus tahu, bahwa antara aku dan Adipati Rakondah tidak dapat dipisahkan. Kami adalah dua bersaudara yang berjuluk Sepasang Gagak Hitam dari Utara!"

   Tegas juga jawaban Panglima Bantaraji.

   "Hm..., mereka memang benar. Aku tidak mungkin bisa memberi peringatan padamu,"

   Gumam Bayu.

   "Apa yang kau katakan, Pendekar Pulau Neraka?"

   "Ketahuilah, Panglima Bantaraji. Sebagian prajurit Kadipaten Jati Anom ini masih sayang pada nyawanya. Dan mereka mau menuruti kehendakmu. Tapi prajurit-prajurit yang kau bawa itu sikapnya tidak jauh berbeda denganmu. Keras kepala! Maaf aku harus menyingkirkan semua yang menjadi penghalangku!"

   "Jadi...?!"

   Panglima Bantaraji terperangah.

   "Tidak satu pun penduduk maupun prajurit kadipaten yang berpihak lagi pada Adipati Rakondah. Mereka semua sudah tahu, siapa sebenarnya manusia iblis yang berkedok adipati itu!"

   "Pengecut! Kau hasut mereka untuk memberontak, heh!"

   Geram Panglima Bantaraji.

   "Mereka manusia manusia yang masih mempunyai pikiran wajar, Panglima. Mereka -tidak akan memberontak, mereka telah menyerahkan segalanya padaku. Dan mereka menyesal telah mengabdi pada manusia iblis itu. Nah, Panglima Bantaraji. Kalau kau masih punya otak waras, ikuti jejak mereka. Sedangkan anaknya sendiri tidak mau lagi bertemu dia!"

   "Keparat...! Tidak kusangka, nama Pendekar Pulau Neraka yang begitu terkenal ternyata seorang manusia pengecut dan licik!"

   "Tidak jauh berbeda dengan cara kalian memperoleh jabatan, Panglima. Kau dan adikmu juga menggunakan akal licik dan pengecut. Menjilat Gusti Prabu, dan menyingkirkan orang orang yang tidak menyukai kalian dengan cara kotor dan -keji!"

   "Heh...!"

   Panglima Bantaraji tersentak kaget.

   Benar-benar di luar dugaan, kalau pemuda gagah yang kondang namanya ini mengetahui seluruhnya tentang kehidupan masa lalu diri mereka.

   Kini Panglima Bantaraji benar benar dibuat tidak berkutik lagi.

   -Kedoknya sudah terbuka lebar di hadapan pemuda ini.

   "Panglima, sekali lagi aku memintamu untuk tidak ikut campur, karena aku sudah tahu siapa kau. Jika kau mau menuruti kata kataku, hidupmu akan bisa lebih -panjang lagi, dan kau bisa tenang berada di keraton memimpin ribuan prajurit,"

   Kata Bayu lagi.

   "Phuih! Kau bocah kemarin sore berani mengatur-ku!"

   Dengus Panglima Bantaraji.

   Bagi Panglima Bantaraji, memang tidak ada pilihan lagi.

   Dia sudah kepalang basah, dan tidak akan mundur setapak pun juga, meskipun nyawa sebagai taruhannya.

   Lagi pula, dia memang tidak mungkin meninggalkan adiknya menantang maut seorang diri.

   Mereka sudah dikenal sebagai sepasang tokoh yang tangguh, dan sudah kenyang mengenyam pahit getirnya kehidupan rimba persilatan selama puluhan tahun.

   "Hm..., rupanya benar kata mereka, kau benar benar seorang yang keras kepala! -Sebenarnya aku enggan berhadapan denganmu, Panglima. Tapi karena kau memaksaku juga, apa boleh buat, kita terpaksa bertemu dalam arena pertarungan nanti."

   Setelah berkata begitu, Bayu langsung melentingkan tubuhnya bagai kilat meninggalkan tampat itu.

   "Hey, tunggu ..!"

   Sentak Panglima Bantaraji.

   Namun begitu Panglima Bantaraji menggenjot tubuhnya, bayangan Pendekar Pulau Neraka itu sudah tidak terlihat lagi.

   Pendekar itu bagaikan hilang ditelan kepekatan malam.

   Sementara Panglima Bantaraji hanya bisa mengeluh pendek, dan tidak jadi mengejar.

   Malam terus merayap semakin larut, suasana di Kadipaten Jati Anom benar benar sepi.

   Tak ada seorang penduduk -pun yang terlihat berada di luar rumah.

   Mereka semua sudah mengetahui persoalan yang kini sedang dihadapi oleh Adipati Rakondah, dan mereka juga sudah mengetahui, siapa sebenarnya adipati itu.

   Hal ini semua karena pekerjaan Pendekar Pula Neraka.

   Meskipun segala tindakannya dapat dikatakan kejam, namun kekejaman itu hanya ditujukan pada orang orang yang memang harus -diberi tindakan begitu.

   Pendekar Pulau Neraka tidak akan pernah melukai atau menyakiti orang yang tidak mempunyai urusan dengannya, kecuali mereka yang benar benar keras kepala dan menghalangi tindakannya.

   -"Benar benar hebat dia.

   Aku jadi sangsi, apakah mampu untuk menandinginya...?" -desah Panglima Bantaraji bimbang.

   Panglima Bantaraji kemudian melangkah pelan memasuki bangunan istana Kadipatan Jati Anom itu.

   Di benaknya terus berputar dan dipenuhi oleh kata kata Pendekar Pulau Neraka barusan.

   Dalam hati kecilnya, dia -tidak membantah kalau kata kata pemuda itu memang benar.

   Selama hidupnya, dia -memang berada di jalur yang tidak bisa ditentukan.

   Dia sendiri sebenarnya tidak pernah menyetujui dan membenarkan tindakan adiknya, tapi mengingat Adipati Rakondah adalah adik kandung satu satunya, dia tidak bisa meninggalkannya begitu -saja! Dan sekarang mereka sedang menghadapi suatu persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan.

   Lawan mereka kali, ini bukan lawan sembarangan.

   Dia ialah seorang pendekar yang selalu bertindak kejam! Mengingat semua itu, Panglima Bantaraji jadi bergidik.

   Dia jadi ingat akan nasib yang telah dialami Jantara, si Tongkat Samber Nyawa.

   Kedua kakinya dibuntungi dan matanya dibutakan, persis seperti ketika Jantara nembuntungi dan membutakan Gardika.

   "Hhh..., apakah Adik Rakondah juga akan dicincang seperti dia mencincang Dewa Pedang...?"

   Kembali Panglima Bantaraji mendesah lirih.

   *** Pagi hari itu di Lereng Gunung Panjaran, Intan Delima tengah duduk merenung di atas akar sebuah pohon besar yang menyembul dari dalam tanah.

   Jari jari -tangannya yang lentik dan halus menyentil nyentilkan batu kerikil ke sungai -kecil di depannya.

   Wajahnya kelihatan murung, dan sinar matanya redup menatap lurus ke arah sungai kecil yang berair jernih depannya.

   Gadis itu sama sekali tidak menyadari kalau sejak tadi ada sepasang mata yang memperhatikannya.

   Sepasang mata yang bening itu memancarkan cahaya penuh ketegasan dan kekerasan hati.

   Pelahan lahan pemilik sepasang mata itu menghampirinya.

   Mendadak gadis itu -tersentak begitu mendengar suara batuk keluar dari belakangnya.

   Dia langsung menoleh, dan menggeser duduknya begitu melihat pemuda gagah suda berdiri di belakangnya.

   Pemuda itu kemudian mengambil tempat, dan duduk di rerumputan di depan Inta Delima.

   "Sudah tiga hari ini kau kelihatan murung. Ada apa, Adik Intan?"

   Tanya pemuda gagah itu. Suaranya lembut, dan sinar matanya juga lembut menata langsung ke bola mata gadis itu.

   "Entahlah, Kakang Bayu. Aku sendiri tidak tahu,"

   Sahut Intan Delima mendesah lirih.

   "Kau rindu dengan ayahmu?"

   Tebak Bayu.

   Intan Delima tidak langsung menjawab.

   Dia hanya menatap pemuda itu dengan sinar mata yang sulit untuk diartikan.

   Sebenarnya dia memang rindu dengan ayahnya, tapi mengingat kekecewaan hatinya yang sudah demikian mendalam, kerinduannya itu pupus.

   Dan Intan Delima membiarkan saja ketika tangan Bayu mulai menggenggam tangannya.

   Dia juga tak bergeming saat pemuda itu pindah duduk di sampingnya.

   "Maafkan aku, Intan Seharusnya kita tidak bertemu dalam suasana seperti ini,"

   Lembut suara Bayu.

   "Kakang...,"

   Suara Intan Delima terputus. Kepalanya tampak menggeleng geleng -lemah. Sedangkan tatapan matanya mengandung sejuta kata kata yang sulit untuk -diucapkan.

   "Kau ingin mengatakan sesuatu, Intan? Katakanlah, apa pun yang akan kau katakan, aku akan mendengarkan,"

   Kata Bayu tetap lembut.

   "Kau tidak akan marah?"

   Bayu menggeleng dan tersenyum manis.

   "Juga tidak akan membenciku?"

   Tidak ada alasan untuk membencimu, Intan."

   "Kakang, aku. , aku...,"

   Intan Delima sepertinya sulit untuk berkata.

   Pelahan-lahan dia kemudian menundukkan kepalanya.

   Sementara Bayu terus memperhatikan wajah gadis itu.

   Dan dengan pelahan lahan dia -lalu mengangkat kepala Intan Delima dengan ujung jarinya.

   Sesaat mereka saling bertatapan.

   Tanpa kata, tanpa suara! Mereka terus bertatapan dengan sejuta kata yang terpancar dari sinar mata.

   Pelahan lahan sekali Bayu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.

   Napasnya yang -hangat menerpa langsung membuat paras wajah Intan Delima bersemu merah dadu.

   Namun belum sempat gadis itu menyadari apa yang akan dilakukan Bayu, mendadak tubuhnya menggeletar bagi tersengat ribuan lebah.

   Intan Delima merasakan tubuhnya seperti melayang, jauh menembus mega.

   Napasnya pun jadi terasa sesak, sedangkan dadanya berdebar keras bagai genderang yang dipukul bertalu-talu.

   Bibirnya bergetar hebat dalam kuluman bibir Bayu Hanggara.

   Intan Delima langsung menundukkan kepalanya begitu Bayu melepaskan pagutannya.

   Merah sudah seluruh wajahnya.

   Berbagai perasaan kini berkecamuk di dalam dadanya.

   Entah dia menyukai semua itu, atau malah membencinya.

   Belum pernah sekali pun dia melakukan hal itu.

   Namun Intan Delima seolah ingin merasakannya lagi, dan lagi! Pagutan Pendekar Pulau Neraka itu benar benar menghanyutkan.

   Indah, dan...

   -Ah! "Kau cantik sekali, Intan...,"

   Bisik Bayu lembut dan lirih di telinga Intan Delima.

   "Kakang...,"

   Desah Intan Delima tidak mampu lagi untuk mengatakan sesuatu.

   Kembali Intan Delima tidak mampu menolak saat tangan yang kekar itu merengkuh dan memeluknya dengan erat.

   Gadis itu hanya mampu mendesah dan mengeluh lirih.

   Kepalanya menengadah ke atas dengan mata yang terpejam.

   Bibirnya dia gigit sekuat kuatnya menahan sesuatu yang begitu kuat mendesak dirinya.

   -Ciuman ciuman yang hangat di lehernya benar benar telah membuat gadis itu lupa --diri.

   "Oh, ahhh..., Kakang. ,"

   Desis Intan Delima lirih.

   Gadis itu menggelinjangkan tubuhnya saat jari jenari -tangan Bayu mulai menjelajahi tubuhnya.

   Kembali gadis itu tidak mampu menolak, saat Bayu membimbingnya ke bawah sebuah pphon besar dan rindang.

   Intan Delima menurut saja ketika dirinya dibaringkan di atas rerumputan di bawah pohon rindang itu.

   Sementara cahaya matahari pagi hanya mampu nengintip malu dari balik kerimbunan daun.

   Ciuman ciuman hangat, elusan lembut jari jari, dan bisikan halus dari Pendekar --Pulau Neraka membuat Intan Delima bagai terbang ke suatu tempat indah yang belum pernah dia datangi sebelumnya.

   Gadis itu hanya bisa mengeluh dan merintih lirih dalam dekapan Bayu Hanggara.

   Keangkuhan dan ketegarannya luruh hari itu juga.

   Intan Delima bagaikan seekor anak ayam yang pasrah berada di tangan serigala.

   "Kakang, akh...!"

   Pekikan tertahan terdengar. Bersamaan dengan mengejangnya tubuh di dalam dekapan Bayu.

   "Ohhh..." *** Intan Delima segera merapikan pakaiannya. Wajahnya tampak pucat, dan setirik air bening menggulir jatuh di pipinya yang putih kemerahan. Sejenak melirik pada Bayu yang rebah di sampingnya. Tampak keringat membasahi tubuh mereka. Bayu mengangkat tubuhnya dan duduk di samping Intan Delima. Dengan lembut dia kembali merengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Kini Intan Delima tidak mampu lagi menahan air matanya. Air bening langsung mengucur deras jatuh menimpa dada Bayu yang masih telanjang. Sedangkan pemuda itu hanya bisa memeluk dan mengusap usap punggung -Intan Delima yang terbuka. Pakaian gadis itu belum seluruhnya rapi. Punggungnya masih terlihat terbuka lebar, menampakkan kulit punggung yang putih mulus tanpa cacat.

   "Kau menyesal, Intan?"

   Bisik Bayu lembut.

   Intan Delima merenggangkan tubuhnya, dan bergegas merapikan pakaiannya.

   Dan dengan punggung tangannya dia menghapus air mata yang membasahi pipinya.

   Gadis itu tidak tahu lagi, apa yang harus dia katakan.

   Dia juga tidak tahu, perasaan apa yang dialaminya saat ini.

   Apakah dia bahagia? Sedih? Kehilangan? Atau....

   Entahlah.

   Yang jelas semuanya sudah terjadi tanpa ada paksaan.

   Penyesalan juga tidak ada gunanya lagi, sesuatu yang sudah hilang tidak akan bisa kembali lagi.

   Dan tanpa berkata sedikit pun, Intan Delima berdiri dan berjalan meninggalkan pemuda itu.

   Sementara Bayu juga bergegas mengenakan pakaiannya, lalu bangkit dan mengejar gadis itu.

   Dia mensejajarkan langkahnya di samping Intan Delima.

   Mereka terus berjalan pelan pelan tanpa berkata kata.--"Intan..."

   Intan Delima menghentikan langkahnya.

   Dia menoleh dan menatap langsung ke bola mata Bayu.

   Bibirnya yang selalu merah, tampak bergetar.

   Sedangkan sepasang bola matanya juga masih merembang, namun tidak setitik pun air bening yang memenuhi kelopak matanya itu jatuh.

   "Maafkan aku, Intan. Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi,"

   Kata Bayu menyesaj.

   "Kau harus menikahiku, Kakang. Kau harus menemui ayahku, dan melamarku,"

   Kata Intan Delima agak tersendat suaranya.

   "Mustahil! Tidak mungkin, Intan. Masih banyak pekerjaanku yang belum selesai. Lagi pula aku tidak mungkin menarik kembali kata kataku! Aku sudah memberikan -waktu pertarungan. Aku atau ayahmu yang harus mati!"

   Kata Bayu mantap.

   "Aku mencintaimu, Kakang. Dan aku tidak mau kehilanganmu, juga ayahku. Hentikan semua dendam-mu, Kakang."

   Intan Delima setengah merengek.

   Kini Bayu hanya bisa menggeleng gelengkan kepalanya.

   Baginya tidak mungkin untuk -mencabut kembali ucapannya.

   Dia memang menyukai gadis itu, tapi dendamnya pada ayah gadis itu tidak bisa dilupakan begitu saja.

   Seperti apa pun rintangan yang menghadang, Bayu tetap bertekad untuk melaksanakan dendam itu.

   "Aku mohon padamu, Kakang. Kita bisa hidup tenang dan bahagia, tanpa harus dibebani dengan segala macam dendam. Aku bisa meminta pada Paman Panglima Bantaraji agar kau diberi kedudukan yang tinggi di kerajaan,"

   Bujuk Intan Delima. Bayu diam saja.

   "Ayah pasti mau memaafkan dan menerimamu Kakang. Aku yakin, Ayah pasti akan menyesali perbuatannya yang telah lalu,"

   Sambung Intan Delima tetap membujuk.

   "Maaf, Intan. Aku benar benar tidak bisa menuruti permintaanmu. Hari pertarungan -sudah ditentukan dan aku sudah memberikan tanda sebagai lambang kematian baginya!""

   Kata Bayu tegas.

   "Kakang...!"

   Suara Intan Delima tercekat.

   "Jangan membujuk lagi, Intan,"

   Tegas kata ka Bayu.

   -Kini Intan Delima tidak kuasa lagi membendung air matanya.

   Dan dia hanya bisa berdiri terpaku dengan bibir bergetar.

   Sementara Bayu mulai melangkah meninggalkannya.

   Pertentangan batin melanda di gadis itu.

   Hatinya judah terpaut kuat oleh ketampanan dan kegagahan pendekar muda itu, tapi dia juga mencintai ayahnya.

   Tidak mungkin membiarkan ayahnya tewas di tangan orang yang sudah menggoreskan tinta merah di hatinya.

   "Kakang...!"

   Teriak Intan Delima memanggil.

   Namun Bayu tetap melangkah meninggalkannya.

   Sedikit pun dia tidak menoleh ke belakang.

   Buru buru Intan Delima berlari -mengejar sambil memanggil-manggil.

   Dia melewati Pendekar Pulau Neraka itu, dan langsung berdiri menghadangnya.

   Di tangannya kini sudah tergenggam sebilah pedang yang berkilat te timpa cahaya matahari.

   Tentu saja Bayu tersentak melihat Intan Delima telah menghunus pedangnya.

   "Jangan main main, Intan. Masukkan kembali pedangmu!"

   Sentak Bayu keras. -"Tidak Bayu! Sebelum kau berjanji tidak akan bertarung dengan ayahku, aku akan tetap menghadang-mu!"

   Suara Intan Delima terdengar bergetar.

   "Intan! Apa apaan kamu?"

   Sentak Bayu. -"Aku mohon padamu, Kakang. Batalkan pertarungan itu! Aku benar benar -mencintaimu...,"

   Rengek Intan Delima. Air matanya berderai tak terbendung lagi.

   "Jangan main main, Intan. Masukkan kembali -pedangmu!"

   "Tidak! Sebelum kau berjanji tidak akan bertarung dengan ayahku!"

   Suara Intan Delima agak bergetar.

   "Mengertilah, Intan. Aku...."

   "Kau tidak mencintaiku, Kakang?!"

   Potong Intan Delima cepat.

   "Intan...,"

   Bayu jadi kebingungan juga.

   "Kau kejam, Kakang. Kau hanya bermaksud mempermainkan aku!"

   Tangis Intan Delima meledak Hatinya benar benar serasa hancur begitu menyadari kalau pemuda yang -telah merenggut segala galanya itu tidak mencintainya. -"Aku..., aku menyukaimu, Intan,"

   Suara Bayu me lembut.

   "Tidak! Kau hanya menginginkan tubuhku! Kau tidak mencintaiku! Kau kejam, Kakang...! Kejam...!' Intan Delima jadi histeris.

   "Intan...!"

   Bayu tidak mampu lagi melanjutkan ucapannya.

   Intan Delima sudah keburu mengibaskan pedangnya dengan cepat.

   Untung saja Pendekar Pulau Neraka itu cepat cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga -ujung pedang Intan Delima lewat beberapa helai rambut di depan dadanya.

   Dan belum lagi Bayu sempat menyadarkan gadis itu, mendadak Intan Delima sudah kembali menyerangnya dengan ganas.

   Tampaknya gadis itu sudah tidak bisa lagi mengendalikan dirinya.

   Rasa kecewa yang bertumpuk membuat jiwanya terguncang hebat.

   Baginya lebih baik mati, atau pemuda itu tewas di tangannya daripada hidup menanggung malu dan kekecewaan.

   "Intan! Hentikan, dengarkan aku dulu..., uts!"

   Buru buru Bayu menarik kepalanya ke belakang begitu ujung pedang Intan Delima -hampir membabat !ehernya.

   Pendekar Pulau Neraka itu benar benar tidak diberi kesempatan sama -sekali.

   Jangankan untuk membalas menyerang, untuk bicara saja dia tidak punya kesempatan lagi! Serangan serangan yang dilancarkan Intan Delima benar benar --dahsyat dan mengarah pada bagian bagian tubuh yang mematikan.

   Rasa cinta, kecewa -dan marah telah menggulung dirinya menjadi satu! Hilang sudah kelembutan dan kemanisan di wajahnya yang kini memerah kaku bagai seekor singa betina yang kehilangan anaknya.

   "Huh! Gadis ini benar benar ingin membunuhku!" -keluh Bayu dalam hati. Serangan serangan Intan Delima benar benar berbahaya, dan Bayu tidak punya --pilihan lain lagi. Begitu pedang Intan Delima mejuruk deras ke arah dadanya, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu mengegoskan tubuhnya ke samping, dan bagaikan seekor ular marah, tangannya bergerak cepat menepuk punggung tangan gadis itu.

   "Akh!"

   Intan Delima memekik tertahan.

   Tepukan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu membuat pegangan pedang gadis itu terlepas.

   Dan tanpa dapat dicegah lagi, pedang bercah keperakan itu meluncur dan menancap pada sebatang pohon cemara.

   Belum lagi Intan Delima menyadari apa yang terjadi, satu totokan lembut sudah bersarang di pundak kirinya.

   Dan disusul satu totokan lagi mendarat di dada kanan.

   Maka tanpa ampun lagi gadis itu ambruk dengan tubuh lemas tertotok jalan darahnya.

   Bayu segera memburu dan berlutut di samping gadis itu.

   "Intan...."

   "Bunuhlah aku, Kakang. Ayo bunuhlah aku...!"

   Jerit Intan Delima histeris. Air matanya yang sudah kering kembali mengalir deras.

   "Maafkan aku Intan. Aku menyukaimu, tapi...."! "Kau kejam, Kakang! Kejam...!"

   Jerit Intan Delima memotong cepat.

   Kepalanya menggeleng geleng.

   -Bayu menarik napas panjang.

   Kemudian jari jari tangannya bergerak lembut ke -beberapa bagian tubuh Intan Delima.

   Setelah itu dia bangkit berdiri.

   Sejenak, dipandanginya wajah gadis itu, kemudian melangkah mundur.

   Intan Delima menatapnya tajam dengan sinar, mata yang penuh dengan perasaan cinta, benci dan kecewa yang bercampur menjadi satu.

   "Sebentar lagi pengaruh totokanku hilang. Maaf, aku harus segera pergi,"

   Kata Bayu dengan nada suara agak tertahan.

   Setelah berkata begitu, Bayu segera melompat pergi, dan langsung lenyap ditelan kerimbunan pepohonan di Lereng Gunung Panjaran ini.

   Memang benar, tidak lama kemudian Intan Delima sudah bisa bangun lagi.

   Namun dia masih terduduk lemas, dan menangis tersedu sedu.-Hancur sudah seluruh hatinya.

   Laki laki yang sangat dicintainya telah pergi -meninggalkannya dengan luka yang tergores di hati.

   "Aku mencintaimu, Kakang Bayu.... Ketahuilah, Kakang. Aku tidak ingin kau tewas di tangan Ayah, aku juga tidak ingin Ayah tewas di tanganmu. Oh, Tuhan..., kenapa Kau pertemukan kami dalam keadaan seperti ini?"

   Intan Delima merintih lirih.

   Air matanya semakin banyak berlinang.

   Seluruh Lereng Gunung Panjaran seperti mendengar rintihan gadis itu.

   Angin serasa berhenti berhembus, dan matahari pun meredupkan cahayanya.

   Rintihan Intan Delima begitu menyayat, terucap dari lubuk hatinya yang paling dalam.

   Lama Intan Delima duduk bersimpuh dan merintih lirih.

   Kemudian pelahan lahan dia bangkit berdiri.

   Kemudian dipungutnya pedang yang -tertancap di pohon cemara, lalu dimasukkan ke dalam sarungnya kembali di pinggang.

   Sebentar dia menarik napas panjang dan dalam.

   Dan dengan punggung tangannya, dia menyusut air matanya.

   Kemudian pelahan lahan kakinya terayun kembali menuruni -Lereng Gunung Panjaran yang sepi itu.

   Lesu dan gontai langkahnya terayun.

   Sesekali masih terdengar isaknya yang lirih.

   Sementara anginpun kembali berhembus, dan matahari kembali menyorotkan sinar-nya dengan terik.

   Intan Delima telah melangkah gontai dengan membawa berbagai macam perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.

   *** Hari terus berganti seiring dengan bergulirnya sang waktu.

   Matahari pun terus berputar sejalan dengan peredarannya.

   Siang berganti senja, dan senja pun kemudian lenyap digantikan malam.

   Tugas matahari sepanjang siang telah berganti dengan sang dewi malam dengan cahayanya yang lembut menyirami bumi.

   Kabut tipis sudah sejak tadi menyelimuti seluruh kawasan Kadipaten Jati Anom, yang berada Kaki Lereng Gunung Panjaran.

   Kesunyian yang tengah menyelimuti seluruh pelosok Lereng Gunung Panjaran dan Kadipaten Jati Anom, tidak menghalangi sebuah bayangan putih yang berkelebatan cepat menyelinap dari rumah rumah penduduk.

   -Bayangan putih itu jelas bergerak menuju Istana Kadipaten Jati Anom yang kini hanya dijaga oleh tidak lebih dari dua puluh orang prajurit.

   Dari gerakannya, yang ringan saat melompati tembok benteng istana itu, jelaslah kalau orang itu memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi.

   Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, sosok bayangan putih itu segera hinggap di atas genting bangunan megah itu.

   Hanya sekejap dia berada di atas atap, lalu dengan ringan tubuhnya kembali meluruk ke bawah, dan langsung mendarat di beranda depan.

   Lima orang prajurit yang tengah menjaga tempat itu, terkejut dan langsung mengepung dengan senjata terhunus.

   "Tahan!"

   Terdengar suara bentakan keras dari arah dalam.

   Tidak lama kemudian, keluarlah Adipati Rakondah yang diikuti oleh Panglima Bantaraji.

   Mereka langsung berlutut di depan orang berjubah putih dengan rambut dan janggut juga putih semua.

   Bibirnya hampir tertutup oleh kumis panjang yang menyatu dengan janggutnya.

   Sementara lima orang prajurit yang sudah mengepung, langsung menyimpan kembali senjatanya, dan segera berlutut mengikuti junjungan mereka.

   "Bangunlah, anak anakku,"

   Lembut dan berwibawa suara laki laki berjubah putih --yang usianya hampir mencapai seratus tahun itu Kemudian Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji bangkit pelahan.

   Panglima Bantaraji memberi isyarat kepada lima orang prajurit agar segera pergi.

   Setelah memberi hormat, kelima prajurit itu pun segera meninggalkan beranda.

   "Ah, kedatangan Eyang Guru benar benar mengejutkan,"

   Kata Adipati Rakondah -seraya mempersilakan laki-laki tua yang dipanggil Eyang Guru itu masuk.

   Laki laki tua itu pun segera melangkah ringan memasuki bagian dalam istana itu.

   -Mereka bertiga kemudian duduk di kursi berukir yang terbuat dari kayu jati, dan mengelilingi sebuah meja bundar yang juga berukir dengan batu puatern putih di atasnya.

   "Maaf, Eyang. Ada maksud apakah sehingga Eyang Guru Watuagung datang secara tiba tiba? tanya Adipati Rakondah hormat. -Laki laki tua berusia hampir seratus tahun itu tidak segera menjawab. Matanya -yang bening dan tajam memandangi sekitamya, kemudian satu persatu dipandanginya Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji secara bergantian.

   "Ketahuilah, anak anakku Aku datang karena mendengar bahwa kalian tengah -mendapat musibah yang cukup serius. Aku memang sudah mendengar banyak, meskipun tempat tinggalku jauh dari sini. Tapi aku ingin mendengar langsung dari kalian berdua,"

   Tetap lembut dan berwibawa nada suara Eyang Watuagung.

   Sejenak Adipati Rakondah memandang Panglima Bantaraji, lalu dia menceritakan keadaan sebenarnya dengan singkat namun jelas.

   Sedangkan laki laki tua berjubah putih itu mengangguk anggukkan kepalanya --beberapa kali.

   Sementara jari jari tangannya yang kecil dan berkeriput terus -mengelus elus janggutnya.

   -"Maafkan kami, Eyang.

   Bukannya kami tidak mau memberitahukan perihal ini padamu.

   Kami merasa, bahwa hal ini adalah tanggung jawab kami berdua, terutama aku, Eyang,"

   Kata Adipati Rakondah setelah selesai bercerita.

   "Hm..., jadi benar anakmu telah diculik oleh seorang pemuda yang mengaku bernama Pendeka Pulau Neraka itu?"

   Eyang Watuagung seperti ingin kejelasan.

   "Benar, Eyang,"

   Sahut Adipati Rakondah.

   "Maaf Eyang,"

   Panglima Bantaraji menyelak.

   "Dari mana Eyang tahu semua tentang keadaan di ini?"

   "Beberapa prajuritmu yang meninggalkan kadipaten ini telah datang ke tempatku. Bahkan para pelayan dan abdi abdimu juga datang. Mereka semua menceritakan -perihal keadaan di sini. Kemudian aku memutuskan untuk mengetahui kebenarannya secara langsung."

   "Tapi, Eyang..."

   "Kau tidak usah cemas Rakondah. Kalian adalah anak anakku, murid murid utamaku --yang sudah berhasil. Aku merasa bangga pada kalian berdua. Tapi aku juga menyesalkan setiap langkah dan tindakanmu, Rakondah. Sejak kecil watakmu memang sudah begitu, dan aku tidak bisa menyalahkanmu. Sebagai orang tua yang mengasuh dan mendidikmu, aku juga merasa ber -tanggung jawab atas segala akibat perbuatanmu, Rakondah."

   "Maafkan aku, Eyang,"

   Pelan suara Adipati Rakondah.

   "Sudahlah, semuanya telah terjadi. Aku datang justru untuk meluruskan jalan. Mudah mudahan pertumpahan darah tidak sampai terjadi. Tapi...,"

   Kata kata Eyang --Watuagung tertunda.

   "Ada apa, Eyang...?"

   Belum lagi pertanyaan Panglima Bantaraji terjawab, mendadak Eyang Watuagung melesat bagai kilat men-jebol atap.

   Dan pada saat yang sama sebuah bayangan berkelebat cepat melenting dari atas atap.

   Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat, tahu tahu sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

   Kini Eyang Watuagung -hanya bisa berdiri tegak di atas atap sambil memandang ke arah Lereng Gunung Panjaran.

   Jubahnya yang putih dan longgar berkibar kibar dipermainkan angin.

   -*** "Ada apa, Eyang?"

   Tanya Panglima Bantaraji setelah Eyang Watuagung tidak segera menjawab.

   Dia kembali duduk di kursinya dengan pandangan mata lurus ke luar jendela.

   Keningnya yang memang sudah banyak kerutannya, tampak semakin dalam berkerut.

   Sementara Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji hanya bisa saling berpandangan tidak mengerti.

   Saat itu, tiba tiba secercah sinar berwarna keperakan meluncur deras ke arah -mereka.

   Seketika Eyang Watuagung mengegoskan kepalanya sedikit, dan segera mengebutkan tangan kanannya.

   Sinar keperakan itu langsung lenyap di dalam genggaman tangannya.

   Dan begitu tangan itu terbuka, tampaklah sebuah logam yang berbentuk bintang dan berwarna keperakan bersegi enam.

   Ada secarik kain merah yang tergulung di tengah tengah benda itu.

   Eyang Watuagung segera mencopot kain -itu dan membuka lipatannya.

   Tampak beberapa baris tulisan yang tertera dengan tinta emas.

   Hanya ada satu kalimat, tapi mampu untuk membuat mata laki laki yang berusia hampir seratus -tahun itu membeliak lebar.

   Kemudian Panglima Bantaraji segera merebut kain itu dari tangan Eyang Watuagung.

   "

   Jangan campuri urusanku jika kau tidak ingin mati!"

   Desis Panglima Bantaraji membaca sebaris kalimat di kain merah itu.

   "Gila!"

   Geram Adipati Rakondah.

   "Ini benar benar, sudah keterlaluan! Berani-beraninya dia menghina Eyang Guru'" -desis Panglima Bantaraji menahan geram. Sedangkan Eyang Watuagung hanya berdiam diri dengan pandangan mata yang tetap lurus ke depan, menembus kepekatan malam melalui jendela yang terbuka lebar. Tampak Gunung Panjaran berdiri megah melatarbelakangi Kadipaten Jati Anom ini. Sebuah gunung yang selalu berselimut kabut pada puncaknya.

   "Eyang, penghinaan ini harus dibalas!"

   Kata Adipati Rakondah geram.

   Hatinya benar benar tak rela, karena laki laki tua yang menjadi gurunya dan mendidiknya --sejak kecil mendapat penghinaan seperti itu.

   Memang hanya sebuah kalimat yang tertulis pada sehelai kain merah, tapi kalimat itu benar benar menyakitkan.

   Tidak memandang -sebelah mata pun pada seorang yang paling dihormati dan diseganinya.

   Baginya, perbuatan Pendekar Pulau Neraka benar benar sudah melampaui batas.

   -Selama ini dia masih bisa menahan diri karena memang merasa bersalah.

   Tapi kalau sampai penghinaan pada guru dan orang tua angkatnya itu....

   Rasanya tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa tinggal diam memperoleh perlakuan seperti itu.

   "Benar, Eyang. Aku rela mati demi membalas penghinaan ini!"

   Sambung Panglima Bantaraji.

   "Tenangkan diri kalian!"

   Sentak Eyang Watuagung.

   "Dia benar, aku memang tidak boleh mencampuri urusan ini."

   "Tapi, Eyang,"

   Adipati Rakondah ingin membantah.

   "Aku tahu, kalian memang tidak rela dengan penghinaan pada diriku. Tapi dia tidak juga salah kalau memintaku untuk tidak ikut campur dalam urusan ini. Meskipun aku tidak menyukai caranya, tapi aku bisa memaklumi,"

   Eyang Watuagung langsung memutus ucapan Adipati Rakondah. Suasana jadi hening sesaat.

   "Dan kau, Bantaraji. Tidak sepatutnya kau mengorbankan orang orang yang tidak -bersalah dan tida tahu menahu mengenai masalah ini. Terus terang, aku tidak -setuju dengan caramu,"

   Tajam tatapan mata Eyang Watuagung kepada Panglima Rakondah.

   "Eyang, aku hanya...."

   "Aku tahu, Bantaraji. Kau memang seorang kakak yang baik. Meskipun kau tahu kalau adikmu berada di pihak yang salah, kau tetap rela berkorban untuk membela. Tapi seharusnya kau tidak perlu membawa-bawa orang lain. Besok, aku tidak mau lagi melihat prajurit -prajurit itu masih ada di sini. Kau mengerti, Bantaraji?"

   Tegas kata kata Eyang -Watuagung.

   "Ya, Eyang,"

   Tidak ada pilihan lagi buat Panglima Bantaraji. Meskipun berat, dia harus mematuhi kata-kata gurunya yang juga ayah angkatnya ini.

   "Kapan Pendekar Pulau Neraka itu akan datang menantangmu?"

   Tanya Eyang Watuagung beralih menatap pada Adipati Rakondah.

   "Besok, tengah malam,"

   Sahut Adipati Rakondah.

   "Kau harus menghadapinya secara ksatria, Rakondah. Aku akan tersenyum melihat kau mati dengan cara seorang pendekar sejati "

   Adipati Rakondah hanya diam menunduk.

   "Dan kau, Bantaraji. Aku tidak mau lagi melihatmu berlaku bodoh! Kau paham, Bantaraji?"

   "Paham, Eyang."

   "Mulai besok, pagi pagi sekali, seluruh prajuritmu harus sudah meninggalkan -Kadipaten Jadi Anom. Aku tidak mau lagi melihat darah sia sia mengalir di bumi -Jati Anom ini,"

   Sambung Kyang Watuagung lagi.

   "Aku mengerti, Eyang,"

   Sahut Panglima Bantaraji.

   Tak lama kemudian Eyang Watuagung bangkit dari duduknya, dan melangkah ke luar.

   Sedangkan Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji masih tetap duduk di kursinya.

   Di satu sisi mereka memang senang dengan kedatangan gurunya, tapi di sisi lain membuat gelisah dengan keputusan keputusannya yang benar benar di luar dugaan --itu.

   Dari dulu mereka memang telah dididik untuk menjadi seorang pendekar tangguh yang membela kebenaran dan keadilan, tapi jalan hidup manusia memang tidak bisa diduga sebelumnya.

   *** Hari masih pagi sekali.

   Matahari pun belum menampakkan diri.

   Sementara kabut yang masih menyelimuti sekitar Lereng Gunung Panjaran, menyebarkan hawa dingin serasa menusuk kulit.

   Namun keadaan yang demikian itu tidak menghalangi sesosok bayangan putih mendaki lereng gunung itu.

   Langkahnya ringan dan cepat, bagaikan berjalan di atas angin.

   Kemudian ia berhenti di sebuah sungai kecil dengan airnya yang mengalir jernih.

   Sejenak laki laki tua berjubah putih yang tidak lain adalah Eyang Watuagung itu -mengedarkan pandangannya berkeliling.

   Daun telinganya bergerak gerak pertanda -bahwa dia tengah mendengarkan suara suara yang ada di sekitar tempat itu.

   Dan -pada saat pandangannya mengarah ke sebelah kiri, tampaklah seorang pemuda tampan dan gagah sudah berdiri membelakangi sebongkah batu besar.

   "Aku tahu kalau kau ada di sekitar sini, Anak Muda,"

   Kata Eyang Watuagung.

   Suaranya terdengar tenang, namun berwibawa.

   Pemuda gagah yang berbaju dari kulit harimau itu kemudian melangkah mendekat.

   Dia berhenti setelah jaraknya dengan laki laki tua berusia hampir seratus tahun -itu tinggal dua batang tombak lagi.

   Tangannya tetap melipat di depan dada, memperlihatkan sebentuk logam pipih yang bergerigi enam buah di pergelangan tangannya.

   Pemuda itu tak lain adalah Pendekar Pulau Neraka.

   "Hebat! Kau bisa mengetahui tempatku, Orang Tua,"

   Kata Bayu memuji.

   "Aku sudah tahu sejak kau muncul di istana kadipaten.

   "

   "Dan aku juga sudah tahu kedatanganmu,"

   Balas Bayu.

   "Kau salah kalau menyangka aku akan membela muridku, Anak Muda. Aku justru datang untuk menyadarkannya, dan mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara kalian,"

   Masih tenang kata-kata Eyang Watuagung.

   "Terlambat...!"

   Kata Bayu tegas.

   "Tidak ada kata terlambat kalau kau mau memikirkan kembali. Aku tahu semua persoalan yang kau bawa, dan aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Tapi menurutku, dendam bukanlah suatu penyelesaian yang baik. Apalagi harus diakhiri dengan mengadu jiwa!"

   "Aku kagum padamu, Orang Tua. Ternyata kau adalah seorang yang bijaksana. Tapi sebagai seorang pendekar ksatria, aku pantang menarik kembali kata-kataku yang sudah terucap. Saat pertarungan sudah ditentukan, dan aku tidak mungkin lagi menarik keputusanku. Kau pasti bisa lebih paham dari aku, yang masih belum berpengalaman dalam mengarungi rimba persilatan."

   Eyang Watuagung mengangguk anggukkan kepala--nya.

   Dalam hati dia memuji dan mengagumi sikap ksatria yang dimiliki oleh anak muda ini.

   Tapi sebagai seorang guru dan orang tua angkat Adipati Rakondah, Eyang Watuagung rasanya tidak akan bisa membiarkan muridnya tewas di tangan Pendekar Pulau Neraka.

   Meskipun dia merasa senang melihat muridnya itu bisa bersikap ksatria, namun dalam hati kecilnya tidak rela jika muridnya harus kalah di depan matanya.

   Lebih-lebih oleh seorang pemuda yang baru saja terjun dalam kancah rimba persilatan.

   Nama besarnya sebagai tokoh tua yang banyak melahirkan pendekar tangguh bisa tercemar.

   "Baiklah, Anak Muda. Aku tidak akan mencampuri urusanmu dengan Rakondah. Tapi aku minta agar kau kembalikan cucuku, Intan Delima. Jangan kau peralat dia jadi sanderamu hanya untuk melemahkan jiwa lawan,"

   Kata Eyang Watuagung memohon.

   "Aku tidak pernah menculik dan menyandera Intan Delima. Aku tidak tahu di mana kini dia berada. Dia pergi karena malu mempunyai orang tua yang berhati busuk dan kerdil!"

   "Kata katamu benar benar menyakitkan, Anak Muda!"

   Desis Eyang Watuagung merasa --tersinggung muridnya dikatakan berhati busuk. Kalau muridnya berhati busuk, tentu gurunya lebih busuk lagi Eyang Watuagung bisa menangkap arti dari kata -kata itu.

   "Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggungmu. Tapi semua yang kukatakan itu adalah kenyataan. Aku tidak keberatan jika kau membelanya, tapi kau harus berhadapan denganku!"

   Kata Bayu tegas.

   "Hm..., kau menantangku, Pendekar Pulau Neraka?"

   "Terserah apa tanggapanmu. Yang jelas, tujuanku hanya satu. Dan aku tidak peduli siapa saja yang ada di belakangnya. Bagiku, penghalang tetap penghalang, dan harus aku hadapi!"

   Tegas kata kata Bayu.

   -Eyang Watuagung berdecak.

   Rasa kagumnya semakin bertambah, namun dia juga tidak menyukai sifat yang congkak, angkuh dan menganggap dirinya lebih dari orang lain.

   Di matanya, Pendekar Pulau Neraka adalah seorang pendekar angkuh yang tidak pernah memandang sebelah mata pun pada siapa saja.

   Kata katanya selalu tegas, dan meluncur deras bagai tak pernah dipikirkan -sebelumnya.

   Eyang Watuagung yang sudah kenyang makan asam garamnya dunia persilatan, tidak terkejut lagi menghadapi orang seperti Bayu Hanggara ini.

   Sehingga dia tetap bisa bersikap tenang.

   "Maaf, aku tidak punya banyak waktu lagi,"

   Kata Bayu.

   "Tunggu!"

   Buru buru Eyang Watuagung mencegah.

   "Ada apa lagi?"

   Bayu mengurungkan niatnya.

   "Kau belum menjawab satu pertanyaanku, Anak Muda."

   "Pertanyaan yang mana?"

   "Di mana kau sembunyikan Intan Delima?"

   "Sudah kukatakan, aku tidak tahu! Dia pergi sendiri karena malu dengan kelakuan ayahnya. Apa itu tidak cukup jelas?"

   Agak kasar kata kata Bayu.

   "Nada suaramu menyembunyikan sesuatu, Anak Muda...,"

   Gumam Eyang Watuagung tidak percaya.

   "Terserah!"

   Sahut Bayu agak terkejut juga.

   Sebelum dia lebih jauh didesak, dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu melesat meninggalkan orang tua itu.

   Sedangkan Eyang Watuagung tidak mau mengejar lagi.

   Dia hanya berdiri memandang ke arah kepergian Bayu.

   Sebentar dia mendesah pendek, kemudian berbalik dan melangkah menuruni lereng kembali.

   Namun baru beberapa langkah dia berjalan, mendadak tubuhnya berbalik dengan cepat.

   Dan tangan kanannya berkelebat bersamaan dengan berbaliknya tubuhnya.

   "Jangan...!"

   "Heh...!" *** Eyang Watuagung buru buru merentangkan tangannya ke samping, dan dari balik -lengan jubahnya yang longgar, meluncurlah tiga buah benda kecil bagai jarum. Benda yang berwarna kuning keemasan itu, meluncur bagai kilat dan menghantam pohon tua yang tidak jauh di samping kanannya. Dan tiga buah benda kecil itu langsung menembus pohon itu. Aneh! Pohon itu, langsung kering dan tumbang bagai terhempas satu kekuatan yang amat dahsyat.

   "Intan...!"

   Seru Eyang Watuagung tersentak kaget.

   "Eyang...!"

   Intan Delima yang muncul dari gerumbul semak, langsung berlari dan memeluk kaki laki laki tua itu.-Sedangkan Eyang Watuagung segera memegang bahu gadis itu dan membawanya berdiri.

   Sejenak dia memandangi wajah cucunya yang tampak murung itu.

   Tampak setitik air bening menggulir di pipinya yang halus kemerahan.

   "Apa yang telah terjadi padamu, Cucuku?"

   Tanya Eyang Watuagung sambil menuntun Intan Delima dan membawanya duduk pada sebatang pohon yang telah tumbang.

   Intan Delima tidak langsung menjawab.

   Dia malah menangis di pangkuan laki laki -tua itu.

   Sulit baginya untuk mengatakan yang sebenarnya.

   Dia sangat mencintai pemuda itu, tapi sekaligus juga membencinya, karena laki laki yang dicintainya -itu ternyata hanya menginginkan tubuhnya saja.

   Untuk beberapa saat lamanya, Eyang Watuagung membiarkan saja gadis itu menumpahkan tangisnya.

   Dia hanya membelai belai rambut yang hitam pekat dengan lembut.

   Agak lama juga Intan Delima menumpahkan perasaan dalam tangisnya.

   Kini setelah isaknya agak reda, dia kembali mengangkat kepalanya.

   Sisa sisa air -matanya segera dihapusnya dengan ujung baju.

   Sejenak gadis itu mencoba menenangkan diri.

   "Apa yang telah terjadi padamu, Intan?"

   Tanya Eyang Watuagung lagi. .

   "Eyang..., dia..., dia telah...,"

   Intan Delima serasa tidak sanggup lagi meneruskan.

   Tiba tiba saja perasaan malu menghinggapi dirinya.

   -Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya.

   Dia memang telah menyerahkan tubuhnya tanpa paksaan.

   Dia merelakan semuanya dengan rasa cinta, karena menganggap Bayu Hanggara juga mencintainya dan mau melupakan semua dendamnya.

   Tapi semua itu ternyata malah terbalik, dan membuatnya kecewa serta sakit hati.

   Kini kekecewaan yang dalam di hatinya tak mungkin bisa dihapuskan begitu saja.

   Luka di hatinya sudah begitu parah, tidak mungkin lagi bisa terobati.

   Namun Intan juga tidak bisa membohongi dirinya.

   Bagaimanapun juga dia masih mencintai dan meng-harapkan Bayu Hanggara.

   "Apa yang telah dia lakukan padamu?"

   Agak dikit ditekan suara Eyang Watuagung.

   "Eyang... Aku..., aku malu. Aku tidak kuasa untuk menolaknya, Eyang Aku malu...,"

   Kembali Intan Delima menangis.

   Kembali Eyang Watuagung menarik napas panjang dan dalam.

   Meskipun Intan Delima belum mengatakan-nya dengan terus terang, namun dia sudah bisa menangkap maksudnya.

   Entah apa yang ada dalam hatinya saat ini, dan jelas wajahnya jadi memerah, dam gerahamnya bergemeletuk hebat.

   "Tolong aku, Eyang...,"

   Rintih Intan Delima setelah reda tangisnya.

   "Katakan, apa yang bisa aku lakukan?"

   "Jangan katakan hal ini pada Ayah. Tolong Eyang. Aku..., aku tidak sanggup lagi bertemu dengan Ayah. Aku malu...."

   "Kenapa kau harus malu? Itu semua bukan karena salahmu. Kau hanya jadi korban dari kebiadaban manusia yang berhati iblis!"

   Agak menggeram suara yang Watuagung.

   "Tapi...,"

   Intan Delima menggigit bibirnya. Hampir aja dia keterlepasan bicara. Hatinya tetap tidak rela kalau Bayu dikatakan demikian.

   "Aku mengerti perasaanmu. Intan. Sekarang pulang-lah, dan tenangkan dirimu Aku akan mencari setan keparat itu. Dia harus bertanggung jawab dengan perbuatannya,"

   Kata Eyang Watuagung.

   "Aku tidak mau pulang, Eyang,"

   Tolak Intan Delima.

   "Lalu, kau mau ke mana?"

   Intan Delima tidak segera menjawab.

   Dia sendiri juga bingung mau pergi ke mana lagi.

   Untuk kembali kepada ayahnya, rasanya tidak mungkin.

   Hatinya sudah telanjur kecewa dengan kelakuan ayahnya, dan dia juga malu untuk bertemu lagi, mengingat dirinya kini sudah bukan seorang gadis suci lagi.

   "Baiklah, sebaiknya kau kembali saja ke Gunung Rangkas. Katakan pada pamanmu di sana, bahwa aku akan segera datang menjemputmu. Kau akan menjadi murid terakhirku,"

   Kata Eyang Watuagung.

   "Oh, Eyang...,"

   Intan Delima tidak bisa lagi mengucapkan sesuatu.

   Sudah lama dia ingin memperoleh ilmu ilmu yang dimiliki kakeknya ini.

   Kini Intan-Delima berlutut dan memeluk kaki laki laki tua itu.

   Kemudian pelahan lahan dia --bangkit dan menjura hormat.

   Sedangkan Eyang Watuagung hanya tersenyum, namun senyumnya itu terasa getir.

   "Eyang, apakah Eyang akan membunuh Pendekar Pulau Neraka?"

   Tanya Intan Delima ragu ragu. -"Kalau dia mau berjanji dan bertanggung jawab atas perbuatannya, mungkin tidak. Tergantung nanti saja, Intan,"

   Sahut Eyang Watuagung berusaha bersikap bijaksana.

   "Terima kasih, Eyang."

   "Kenapa kau tanyakan itu, Intan?"

   Tanya Eyang Watuagung dengan tatapan curiga.

   "Ah, tidak..., tidak Aku hanya ingin dia mati di tanganku,"

   Sahut Intan Delima tergagap.

   "Hhh..., dendam. Rupanya bumi belum berhenti ter-siram oleh darah,"

   Desah Eyang Watuagung berat.

   Beberapa saat kemudian, Eyang Watuagung meminta agar Intan Delima segera meninggalkan Kadipaten Jati Anom.

   Dia tidak lagi mendesak agar gadis itu mau menemui ayahnya dulu.

   Sedangkan Intan Delima sendiri sebenarnya rindu, tapi kerinduannya dia tekan dalam dalam.

   Gadis itu -terus melangkah menuruni Lereng Gunung Panjaran dengan hati membawa cinta, dendam, benci dan rasa kecewa yang bertumpuk menjadi satu.

   Sementara Eyang Watuagung masih saja berdiri sambil memandangi kepergian Intan Delima.

   Dan setelah bayangan gadis itu tidak teriihat lagi, barulah laki laki -tua berjubah putih itu mengayunkan kakinya.

   Arahnya menuju tempat di mana Pendekar Pulau Neraka tadi pergi.

   Jelas kalau dia bermaksud mencari pendekar muda itu.

   *** Bayu Hanggara tampak berdiri tegak sambil memandang ke arah Kadipaten Jati Anom yang tampak sepi.

   Dari tempat ketinggian seperti itu, dia bisa memandang luas ke arah kadipaten itu.

   Tampak pintu gerbang bentengnya tertutup mpat tanpa satu orang pun prajurit yang menjaganya.

   Sejenak Bayu tersenyum melihat keadaan Kadipaten Jati Anom yang sudah terpengaruhi oleh kedatangannya.

   "Tidak lama lagi, Rakondah. Bersiap siaplah menjemput ajalmu,"

   Desah Bayu. -"Kau juga harus bersiap siap, Pendekar Pulau Neraka!"

   Bayu langsung tersentak kaget begitu mendengar suara dari arah belakangnya. Buru buru dia membalikkan tubuhnya, dan tampaklah -di depannya, seorang laki laki tua mengenakan jubah putih yang longgar. -"Kau lagi, Orang Tua. Mau apa kau mengikutiku?"

   Nada suara Bayu terdengar ketus.

   "Kali ini aku datang untuk meminta tanggung jawab-mu, Anak Muda!"

   Tegas kata -kata yang terucap dari bibir Eyang Watuagung.

   "Hm...,"

   Bayu mengerutkan keningnya.

   "Apa yang telah kau lakukan pada cucuku Intan Delima?"

   Agak bergetar suara Eyang Watuagung.

   "O..., rupanya kau telah bertemu dengan gadis itu?"

   Bayu langsung menebak.

   "Semula aku bisa memahamimu, Anak Muda. Tapi perbuatanmu pada Intan Delima..., rasanya aku tidak bisa lagi memaafkanmu, kecuali kau mau tanggung jawab!"

   Dingin suara Eyang Watuagung.

   "Pasti dia mengadu yang bukan bukan,"

   Desis Bayu.-"Asal kau tahu saja, Orang Tua. Intan Delima datang sendiri padaku dengan sukarela. Aku tidak memaksa-nya, dia sendiri yang menginginkannya."

   "Biadab! Pandai sekali kau memutarbalikkan lidah!"

   Geram Eyang Watuagung membentak.

   "Seharusnya aku memang tahu, bahwa kau tidak mungkin mau bertanggung jawab. Kau memang laki laki iblis. Tidak ada gunanya aku -bersilat lidah padamu!"

   "Ah..., tidak kusangka. Ternyata aku juga harus berhadapan dengan manusia -manusia yang culas licik,"

   Kata kata Bayu masih terdengar tenang. -"Kurang ajar! Kelakuanmu sudah kelewat batas. Anak Muda! Aku tidak pernah marah seperti ini, tapi kau telah memaksaku untuk menurunkan tangan,"

   Eyang Watuagung benar benar tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. -"Sudah kuduga, kau pasti akan mencari cari alasan untuk menjadi penghalangku," -kata Bayu kalem.

   "Bersiaplah, Anak Muda! Intan Delima akan senang melihat kepalamu tanpa leher!"

   Ancam Eyang Watuagung.

   "Sadis...!"

   Eyang Watuagung menggeram hebat, lalu dengan cepat dia mengebutkan tangan kanannya ke depan. Seketika itu juga tampaklah tiga buah benda kecil bagai jarum yang berwarna keperakan, meluncur deras ke luar dari lengan bajunya yang longgar.

   "Hup!"

   Bayu segera memutar tangan kanannya ke depan, lan menyambut senjata senjata -kecil itu tanpa menggeser kakinya sedikit pun.

   Tring! Tiga buah jarum keemasan itu rontok begitu mem-bentur pergelangan tangan kanan Bayu yang menempel sebuah cakra bersegi enam berwarna keperakan.

   Pendekar Pulau Neraka itu berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada.

   Bibirnya menyunggingkan senyum bagai mengejek.

   "Jangan besar kepala dulu, Anak Muda! Tahan seranganku!"

   Bentak Eyang Watuagung.

   Laki laki tua berjubah putih itu langsung melompat, dan memberikan beberapa -pukulan bertenaga dalam tinggi.

   Belum juga pukulannya sampai, namun anginnya sudah terasa menyengat.

   Bayu bergegas menggeser kakinya ke samping, dan memiringkan tubuhnya sedikit sambil mengibaskan tangannya dan nemapak serangan itu.

   "Ikh!"

   Eyang Watuagung tersentak kaget.

   Buru buru dia menarik kembali tangannya yang -mendadak jadi kesemutan begitu beradu dengan tangan Pendekar Pulau Neraka.

   Bersamaan dengan itu Bayu juga melompat mundur dua tindak.

   Dia juga merasakan tangannya seperti remuk begitu berbenturan dengan tangan laki laki tua itu.

   -"Huh! Tenaga dalamnya benar benar luar biasa!" -dengus Eyang Watuagung mengeluh.

   Kini Eyang Watuagung tidak mau lagi gegabah.

   Dia kembali menyerang dengan penuh perhitungan dan hati hati.

   Sedangkan Bayu sendiri segera melayaninya dengan -sikap waspada.

   Dia sudah merasakan kalau tenaga dalam lawannya kali ini sangat dahsyat.

   Dan sebentar saja pertempuran di Kaki Lereng Gunung Panjaran itu sudah berlangsung dengan sengit.

   Masing-masing mengeluarkan jurus jurus andalannya! -*** Pertarungan antara Bayu Hanggara dengan Eyang Watuagung terus berlangsung dengan sengit.

   Bagi Bayu, pertarungan dengan jarak dekat seperti ini, tidak memungkinkan untuk melontarkan senjata andalan nya, yaitu cakra bersegi enam dan berwarna keperakan.

   Sedangkan Eyang Watuagung sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa pedang pendek bercabang tiga.

   Menghadapi senjata genggam itu, Bayu terpaksa memegang Cakra Maut nya di tangan kanan.

   Sudah berpuluh puluh jurus yang telah mereka keluarkan namun belum ada -tanda tanda mana yang bakal terdesak.

   Sedangkan tempat di sekitar pertarungan -sudah porak poranda.

   Bahkan meluas sampai ke daerah yang berjurang serta -berbatu batu cadas yang besar dan tajam.

   -Tring! Mendadak satu benturan senjata keras terjadi udara.

   Tampak percikan bunga api memijar.

   Dua orang yang tengah bertarung itu saling terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan di tanah.

   Namun dengan cepat mereka segera bangkit, dan kembali berlompatan saling menyerang.

   "Hup! Hiaaa...!"

   Tiba tiba dengan satu teriakan nyaring melengking, Bayu melontarkan senjata -Cakra Maut nya sambil melompat dan mengirimkan dua buah pukulan dahsyat yang -bertenaga dalam sangat tinggi.

   "Ikh!"

   Buru buru Eyang Watuagung memiringkan tubuhnya -menghindari serangan yang bertubi tubi itu.

   Dan dia berhasil mengelakkan senjata -yang meluncur deras bagai memiliki mata itu.

   Namun satu gebrakan dari pukulan yang bertenaga dalam, tidak bisa dihindarkan.

   Seketika Eyang Watuagung terlontar sejauh tiga batang tombak.

   Namun dia masih sempat mengibaskan pedangnya yang bercabang tiga.

   "Hugh!"

   "Akh...!"

   Bayu Hanggara terhuyung tiga langkah ke belakang.

   Darah mengucur deras dari bahu kirinya yang sobek tersambar ujung pedang Eyang Watuagung.

   Namun dengan cepat dia mengangkat tangan kanannya, dan menangkap senjata Cakra Maut nya yang kembali berbalik-"Hiya...!"

   Dan bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan kembali senjata mautnya di saat tubuh Eyang Watuagung sedang limbung.

   Tak pelak lagi, lontaran yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna, tidak dapat dihindarkan lagi.

   Perut orang tua itu sobek tergores ujung cakra yang melayang bagaikan kilat itu.

   "Akh...!"

   Eyang Watuagung menjerit keras.

   Tubuh tua itu terhuyung huyung beberapa langkah ke belakang.

   Untunglah dengan -cepat dia mampu menguasai tubuhnya kembali.

   Dan tanpa mempedulikan darah yang mengucur dari perutnya, Eyang Watuagung segera menghentakkan kedua tangannya ke depan.

   Seketika itu juga satu desiran angin yang amat dahsyat meluncur bagai topan, dan menghajar tubuh Pendekar Pulau Neraka yang baru saja menangkap senjatanya kembali "Hiya...! Hiyaaa!"

   Buru buru Bayu Hanggara melentingkan tubuhnya sambil membalas dengan dua kali -pukulan jarak jauh bertenaga dahsyat.

   Namun deburan angin topan yang menggemuruh dahsyat sudah keburu menghantam tubuhnya.

   Kini tubuh Pendekar Pulau Neraka ter-pelanting deras ke udara, lalu dengan cepat meluruk ke bawah dan langsung masuk ke dalam jurang yang menganga lebar.

   "Aaakh...!"

   Jeritan melengking terdengar menyayat bersamaan dengan meluncumya tubuh Bayu ke dalam jurang yang besar dan dalam itu.

   Eyang Watuagung bergegas memburu, dan berdiri di tepi jurang.

   Tangan kirinya terus menekap perutnya yang sobek dan mengucurkan darah segar.

   "Hhh...! Luar biasa anak itu. Entah apa yang akan terjadi pada dunia persilatan kalau dia masih hidup,"

   Eyang Watuagung mengeluh dalam hari. Sejenak laki laki berjubah putih itu menjulurkan kepalanya ke dalam jurang. Tak -tampak apa pun di dalam sana. Seluruh permukaan jurang itu tertutup kabut tebal yarig menghalangi pandangan mata.

   "Ugh! Hoaaak...!"

   Eyang Watuagung memuntahkan darah kental kehitaman. Buru buru dia merobek baju bagian dalamnya. Mendadak kedua matanya -membeliak lebar begitu melihat gambar tapak tangan hitam tertera di dadanya. '"Pukulan Racun Hitam... !"

   Desisnya terkejut.

   "Ugh! Ada hubungan apa dia dengan Gardika. .?"

   Eyang Watuagung buru buru duduk bersila.

   Sebentar kemudian matanya terpejam.

   -Tampak keringat sebesar-besar butiran jagung menitik di keningnya.

   Lalu dia membuka matanya kembali.

   Lagi lagi dia memuntahkan darah kental kehitaman.

   -"Aku harus segera kembali ke Pesanggrahan.

   Racun hitam ini bisa membunuhku secara pelahan lahan.

   Gila! -Kenapa aku tidak menyadari kalau jurus jurusnya sama dengan Gardika si Cakra -Maut! Dan lagi..., senjata itu....

   Huh! Untung saja aku berhasil membunuhnya, kalau dia sampai masih hidup beberapa tahun lagi..., aku tidak tahu lagi, bagaimana keadaan dunia persilatan.

   Sulit mencari tandingan jurus jurus si Cakra Maut.

   Ugh ...

   -Ugh!"

   Eyang Watuagung segera bangkit dari duduknya, kemudian melangkah cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

   Beberapa kali dia masih menyemburkan darah kental kehitaman dari mulutnya.

   Namun semua itu tidak dihiraukan lagi.

   Hanya satu yang kini ada dalam pikirannya, dia harus segera sampai ke pesanggrahan-nya, dan mengurangi pengaruh racun hitam.

   Paling tidak, hidupnya bisa diperpanjang lagi sampai dia bisa mewariskan seluruh ilmunya pada Intan Delima.

   *** Tapi, benarkah Bayu Hanggara atau Pendekar Pulau Neraka tewas di dasar jurang yang dalam itu? Yang Kuasa rupanya belum menginginkan Pendekar Pulau Neraka meninggalkan dunia.

   Tubuhnya tidak langsung jatuh ke dasar jurang.

   Sebatang akar pohon besar yang menyembul dari dalam tanah di bibir jurang, menyanggah tubuhnya.

   Beberapa saat lamanya Bayu tidak sadarkan diri.

   Dan begitu dia siuman, seluruh tubuhnya terasa nyeri dan tulang tulangnya seperti mau rontok semua.

   -Bayu tampak terkejut begitu menyadari tubuhnya tersangkut pada sebatang akar yang cukup besar dan kuat.

   Dan sambil menahan nyeri pada seluruh tubuhnya, dia kemudian merayap dan berusaha mencapai tepi tebing jurang ini.

   Sejenak kepalanya menengadah ke atas.

   Tak terlihat apa pun, hanya kabut tebal yan menghalangi pandangan matanya.

   "Huh...!"

   Bayu mendengus sambil menghembuskan napasnya.

   Lalu dia duduk pada pangkal pohon yang berongga besar.

   Kembali matanya memandang berkeliling.

   Sepanjang matanya memandang, yang tampak hanya kabut dengan bayang bayang pohon menyemaki tebing jurang.

   Pemuda itu kemudian mengatur duduknya untuk bersemadi menyalurkan hawa murni ke seluruh aliran darahnya.

   Dia berusaha membuka jalan darahnya agar sempurna.

   Kini rasa hangat mulai menjalari tubuhnya, dan rasa nyeri serta pegal pegal berangsur hilang.

   Namun bibirnya menyeringai dan -mendesis.

   Bayu segera menyobek kain merah yang membelit pinggangnya.

   Dan dengan kain itu dia kemudian membalut luka di bahunya.

   Jari jari tangannya bergerak lincah di sekitar luka, -menghentikan aliran darahnya.

   Sejenak dia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya lagi dengan kuat.

   "Hhh! Orang tua itu benar benar hebat. Apakah muridnya juga setangguh dia?"

   Bayu -bergumam sendiri.

   "Aku harus segera ke luar dari jurang ini. Tengah malam nanti adalah saatnya pertarungan. Uh! Luka ini...!"

   Pelahan lahan Bayu ke luar dari rongga pohon itu.

   -Kemudian mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

   Pendekar Pulau Neraka itu mulai merayap mendaki tebing jurang.

   Kabut tebal masih menghalangi pandangannya, ditambah dengan hembusan angin kencang yang membuat usahanya itu agak terhambat.

   Sedikit demi sedikit dia mulai merayap mendaki, hingga akhirnya sampailah dia di bibir jurang.

   Saat itu hari sudah menjelang senja.

   Di ufuk Barat matahari hampir tenggelam, berganti dengan kegelapan.

   Sementara udara di sekitar Lereng Gunung Panjaran itu juga sudah terasa dingin.

   Bayu meng-gelimpangkan tubuhnya ke atas rerumputan yang sudah basah oleh embun.

   Penat dan letih melanda tubuhnya.

   Sejenak dia memejamkan matanya sebelum bangkit berdiri.

   "Seandainya aku harus bentrok lagi dengan orang tua itu, aku pasti akan bisa mengalahkannya. Racun hitam yang kulepaskan sudah pasti merasuk ke dalam darahnya. Hhh..., 'Pukulan Angin Badai'nya benar benar luar biasa,"

   Lagi lagi -Bayu bergumam sendiri. Perlahan lahan-Pendekar Pulau Neraka itu melangkah menuruni Lereng Gunung Panjaran.

   "Masih ada sedikit waktu, aku harus bersemadi dulu untuk memulihkan kekuatan,"

   Gumam Bayu.

   Kemudian Pendekar Pulau Neraka itu memilih tempat di antara dua buah batu besar yang agak tersembunyi.

   Kemudian dia duduk bersila dengan sikap bersemadi.

   Kakinya terlipat dengan kedua telapak tangan menempel pada lutut.

   Pelahan lahan napasnya mulai diatur bersamaan dengan -menutupnya kedua kedua kelopak matanya.

   Bagi dunia kependekaran, cara memulihkan kondisi tubuh dengan bersemadi bukanlah hal yang aneh lagi.

   Dan inilah yang tengah dilakukan oleh Bayu Hanggara.

   *** Malam terus merayap semakin larut.

   Suasana di Istana Kadipaten Jati Anom tampak sunyi senyap.

   Hanya ada dua orang yang teriihat duduk di bagian depan bangunan istana itu.

   Mereka adalah Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji Sejak matahari tenggelam tadi mereka sudah berada di sana.

   Sejak tadi mereka hanya diam.

   Masing masing sibuk dengan pikirannya.

   Semakin -larut malam, kesunyian semakin terasa mencekam.

   Detak jantung mereka semakin jelas terdengar berdegup kencang.

   "Apa kau tidak salah lihat siang tadi, Kakang?"

   Tanya Adipati Rakondah memecah kesunyian "Maksudmu?"

   Panglima Bantaraji balik bertanya.

   "Yang kau lihat di Lereng Gunung Panjaran."

   "Tidak! Jelas sekali aku lihat Pendekar Pulau Neraka jatuh ke dalam jurang setelah kena 'Pukulan Angin Badai' Eyang Guru,"

   Kata Panglima Bantaraji yakin.

   "Hm..., malam sudah larut. Kalau dia tidak datang, berarti tamat sudah riwayatnya,"

   Gumam Adipati Rakondah.

   "Ya, mudah mudahan dia tewas di dasar jurang,"-sambut Panglima Bantaraji.

   "Sebenarnya aku tidak tega melepas Eyang Guru pulang sendirian, Kakang. Beliau dalam keadaan terluka cukup parah. Aku benar benar menyesali semua ini," -nada suara Adipati Rakondah seolah mengeluh.

   "Sudahlah, Adik Rakondah. Saat ini kita hanya bisa berharap, semoga ..."

   Kata kata Panglima Bantaraji terputus.

   Saat itu terdengar suara siulan nyaring -melengking menyakitkan telinga.

   Siulan itu menggema seolah olah datang dari -segala peniuru mata angin.

   Jelas kalau suara itu dikeluarkan dengan disertai penyaluran tenaga dalam yang sangat sempurna.

   Adipati Rakondah dan Panglima Bantaraji langsung melompat ke luar.

   Dan hanya dengan sekali lentingan tubuh saja, mereka sudah berada di tengah tengah halaman -depan yang luas dan sunyi.

   Sementara suara siulan itu semakin jelas dan menyakitkan telinga.

   Kedua laki laki bersaudara itu segera mengerahkan hawa -murni, dan menyalurkannya ke seluruh aliran jalan darah.

   Terutama menutup gendang telinga mereka.

   "Dia datang...,"

   Desis Panglima Bantaraji. Adipati Rakondah menatap kakaknya dengan tajam. Dan belum lagi mereka sempat melakukan sesuatu, tiba tiba sebuah bayangan -berkelebat cepat bagai kilat melewati tembok benteng Istana Kadipaten Jati Anom.

   "Pendekar Pulau Neraka...!"

   Sentak kedua laki laki itu hampir berbarengan.

   -Kini di depan mereka telah berdiri seorang laki laki muda, gagah dan tampan.

   -Laki laki yang ternyata adalah Bayu itu berdiri tegak dengan tangan melipat di -depan dada.

   Tatapan matanya tajam, langsung menusuk ke bola mata Adipati Rakondah.

   Sekejap saja ketegangan menyelimuti mereka semua.

   "Engkau pasti sudah memahami tanda dariku, Adipati Rakondah. Tanda itu boleh kau anggap sebagai lambang kematian bagimu. Kini saatnya sudah tiba, bersiaplah menuju ke neraka!"

   Dingin dan datar suara Bayu Hanggara.

   "Kakang, menyingkirlah,"

   Kata Adipati Rakondah tanpa menoleh sedikit pun.

   "Hati hati, Adik Rakondah,"

   Kata Panglima Bantaraji seraya melangkah mundur -beberapa tindak.

   "Pendekar Pulau Neraka! Mari kita mulai. Hait...!"

   "Hup!" *** Sret! Adipati Rakondah mencabut pedangnya seraya melompat menerjang. Gerakannya sangat cepat dan ringan, sedangkan kibasan pedangnya menimbulkan suara angin yang amat dahsyat. Sejenak Bayu menunggu, lalu dengan cepat dia menghentakkan tangannya ke depan. Seketika secercah cahaya keperakan melesat dari pergelangan tangan kanannya. Begitu cepatnya, sehingga Adipati Rakondah tidak sempat lagi untuk menarik pedangnya. Dan.... Tring! "Ah!"

   Adipati Rakondah terkejut bukan main.

   Satu benturan keras langsung terjadi antara dua logam, sampai menimbulkan percikan api.

   Tampak pedang di tangan Adipati Rakondah bergetar hebat.

   Untung dia cepat cepat menekan ujung pedangnya ke tanah, sehinga pegangannya -tidak terlepas.

   Kini Bayu kembali melompat sambil menjulurkan tangan kanannya ke atas.

   Dan benda pipih bergerigi enam yang berwarna keperakan itu menempel kembali di pergelangan tangan kanannya.

   Dengan manis sekali kakinya kembali menjejak tanah.

   Tapi tiba -tiba dia mengebutkan tangannya lagi ke depan.

   "Awas...!"

   Panglima Bantaraji berteriak nyaring.

   Dan secepat kilat dia merogoh ke balik bajunya, dan melontarkan sebilah pisau kecil ke arah cakra itu.

   Sedangkan Adipati Rakondah yang belum hilang rasa terkejutnya, jadi terperangah! Satu jengkal lagi cakra itu pasti menembus dadanya.

   Namun beruntung pisau yang dilemparkan oleh Panglima Bantaraji mematahkan serangan Pendekar Pulau Neraka itu.

   Dan cakra keperakan bergerigi enam itu kembali berputar balik pada pemiliknya.

   "Huh!"

   Dengus Bayu kesal.

   Panglima Bantaraji melompat ke samping adiknya.

   Tampak di tangan kirinya sudah tergenggam seutas rantai baja hitam dengan ujungnya terpaut lima buah pisau kecil.

   Dia juga sudah melepaskan baju luarnya.

   Tampak di seputar pinggang dan dadanya dipenuhi oleh pisau pisau kecil yang -menempel pada kulit binatang.

   "Kau tidak akan mampu menghadapinya sendiri, Adik Rakondah. Senjatanya sangat berbahaya,"

   Kata Panglima Bantaraji berbisik.

   "Bagus! Aku bisa mengirim kalian ke neraka sekaligus!"

   Dengus Bayu.

   Adipati Rakondah melemparkan pedangnya.

   Kemudian dia membuka baju luarnya.

   Bayu agak terkejut juga melihat kedua lawannya memiliki senjata yang sama persis.

   Tubuh mereka penuh tertempel pisau-pisau kecil.

   Dan di tangan mereka juga tergenggam senjata rantai baja dengan lima pisau di ujungnya.

   Sebuah rantai hitam yang panjangnya hanya satu hasta.

   "'Seribu Pisau Terbang'...!"

   Seru Panglima Bantaraji.

   Secepat dia berteriak, secepat itu pula tubuhnya melenting ke udara, dan tahu -tahu sudah berada di belakang Pendekar Pulau Neraka.

   Dan belum lagi Bayu sempat menyadari, kedua laki laki itu sudah mengibaskan tangannya dengan cepat.

   Tampak -puluhan pisau-pisau kecil bertebaran mengarah ke tubuhnya.

   "Hup! Hiyaaa...!"

   Teriak Bayu nyaring.

   Seketika Pendekar Pulau Neraka itu memutar tubuhnya dengan cepat.

   Dan senjata Cakra Maut andalannya yang sudah tergenggam di tangan kanan, dia lepaskan untuk menghalau pisau pisau yang meluncur deras ke -arah tubuhnya.

   Tampak kedua kakinya juga bergerak lincah, berlompatan, dan tubuhnya meliuk liuk bagai belut menghindari hujan pisau dari dua jurusan itu.

   -Bayu sempat menggeram begitu melihat lawannya bergerak memutari tubuhnya.

   Dan anehnya lagi, mereka bisa saling bertukar senjata yang terlontar hanya dengan menjentikkan ujung jarinya saja.

   Pisau-pisau itu benar benar bagaikan berjumlah ribuan, -bertebaran di sekitar tubuh Pendekar Pulau Neraka itu.

   "Hhh! Serangan mereka hanya satu arah. Aku harus bisa membuatnya pincang,"

   Dengus Bayu dalam hati.

   Matanya yang tajam dan sudah terlatih, langsung dapat melihat kelemahan lawannya.

   Dan tanpa membuang buang waktu lagi, tubuhnya segera melenting ke -udara.

   Lalu dengan cepat tangan kanannya mengibas ke arah Adipati Rakondah.

   Seketika itu juga senjata cakra bergerigi enam meluruk deras.

   Adipati Rakondah terkesiap sesaat, dan serangannya jadi tidak beraturan.

   Bayu tidak menyia nyiakan kesempatan itu, dengan cepat dia meluruk turun ke arah -Panglima Bantaraji.

   Kedua tangannya bergerak cepat dan melontarkan 'Pukulan Rancun Hitam'.

   Tentu saja hal itu membuat Panglima Bantaraji jadi terkejut setengah mati.

   Buru-buru dia menjatuhkan dirinya dan bergulingan di tanah.

   Sementara itu Adipati Rakondah tengah sibuk menghalau Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka yang bergerak sendiri seperti memiliki mata.

   Dan Bayu kini terus mencecar Panglima Bantaraji dengan serangan-serangan mautnya.

   Mendadak tangan kanannya terangkat ke atas, menerima senjatanya yang berbalik, kembali, lalu dengan cepat dia segera menghentak-kannya ke arah Adipati Rakondah.

   "Awas kepala!"

   Tiba tiba Bayu berteriak nyaring.-"Uts!"

   Buru buru -Panglima Bantaraji merundukkan kepalanya sedikit begitu melihat tangan kanan Bayu meluruk ke arah kepalanya.

   Namun tanpa diduga sama sekali, kaki kiri Pendekar Pulau Neraka sudah terangkat naik, dan dengan kecepatan penuh menghentak ke arah perut.

   "Hugh!"

   Panglima Bantaraji mengeluh pendek.

   Tubuhnya membungkuk menahan mual pada perutnya.

   Dan pada saat itu senjata cakra yang menyerang Adipati Rakondah segera berbalik dan berputar pada pemiliknya.

   Dengan cepat Bayu menangkap senjata itu, dan secepat itu pula dia melontarkannya kembali ke arah Panglima Bantaraji.

   "Aaakh...!"

   Panglima Bantaraji menjerit melengking.

   Ujung ujung Cakra Maut itu langsung menggorok lehernya hingga hampir buntung.

   -Dan hanya dengan satu kali tendangan keras, tubuh Panglima Bantaraji terjungkal dengan leher berlumuran darah seperti ayam yang disembelih! "Kakang...!"

   Pekik Adipati Rakondah terkesiap.

   "Sekarang giliranmu, Adipati Rakondah!"

   Dengus Bayu.

   "Setan! Kau harus bayar mahal nyawa Kakang Bantaraji!"

   Geram Adipati Rakondah.

   "Hiyaaa...!"

   "'Pukulan Racun Hitam'! Hup, yeaaah...!" *** "Akh!"

   Adipati Rakondah memekik tertahan, tubuhnya limbung dengan tangan menekan dada.

   Sementara itu Bayu juga langsung melompat mundur dua tindak ke belakang.

   Tangan kirinya menekan lambung.

   Dan darah mengucur deras dari lambungnya.

   Ternyata ujung senjata Adipati Rakondah berhasil merobek lambung Pendekar Pulau Neraka itu, tapi 'Pukulan Racun Hitam' juga bersarang di dada Adipati Rakondah.

   "Hugh. Hoaaak...!"

   Adipati Rakondah memuntahkan darah kental kehitaman.

   "Ah...!"

   Bayu mengeluh sedikit.

   Mendadak Pendekar Pulau Neraka itu merasakan tubuhnya jadi panas bagai terpanggang.

   Sedangkan matanya agak menyipit begitu melihat darah yang mengucur dari lambungnya berwarna kehitaman.

   Dia sadar kalau senjata Adipati Rakondah mengandung racun yang sangat berbahaya.

   Sejenak dia memandang lawannya yang sedang berusaha menguasai diri dari pengaruh 'Pukulan Racun Hitam'.

   "Mampus kau, Adipati Rakondah!"

   Bentak Bayu lantang.

   Dan bagaikan seekor singa yang terluka, secepat kilat Bayu berlari sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya pada telapak tangan.

   Sesaat Adipati Rakondah terkesiap namun dengan cepat dia melentingkan tubuhnya ke atas.

   Tapi sungguh di luar dugaan, tubuh Bayu juga langsung melenting.

   Dan secepat kilat tangan kanannya mengibas ke depan.

   Secercah cahaya keperakan meluncar deras ke arah tubuh Adipati Rakondah.

   Tring! Adipati Rakondah berhasil menghalau senjata cakra itu, namun dia tidak sempat berkelit dari pukulan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka.

   Dan sambil meraung keras, tubuh adipati itu meluruk jatuh ke tanah.

   Tepat pada saat itu Bayu menangkap senjatanya yang balik lagi, dan dengan cepat dia melontarkannya kembali ke arah lawan.

   "Hiyaaa...!"

   "Aaakh...!"

   Kembali jeritan melengking tinggi terdengar menyayat. Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka itu tertanam dalam di dada Adipati Rakondah. Dan bersamaan dengan mendaratnya Bayu di tanah, tubuh Adipati Rakondah tampak mengejang kaku tanpa nyawa lagi.

   "Ayah, Ibu..., satu lagi musuhmu telah terbalaskan,"

   Desah Bayu seraya mencabut senjatanya dari dada Adipati Rakondah.

   Kemudian Bayu memasang kembali senjatanya di pergelangan tangan kanan, setelah membersihkannya, dari noda noda darah.

   Untuk beberapa saat, pemuda itu masih -berdiri sambil memandangi Adipati Rakondah yang terbujur kaku tanpa nyawa lagi.

   Bayu tidak menyadari kalau ada sepasang mata bening memperhatikannya sejak tadi.

   Pendekar Pulau Neraka itu terus berjalan pelan pelan menuju ke arah Timur.-"Eyang Watuagung harus tahu...,"

   Terdengar gumaman pelan setelah bayangan tubuh Bayu lenyap dari pandangan.

   Nah, bagaimana sikap Eyang Watuagung setelah mengetahui muridnya tewas? Percayakah dia kalau Pendekar Pulau Neraka masih hidup? Lalu bagaimana pula sikap Intan Delima pada pemuda yang telah membunuh orang tuanya dan sekaligus telah merenggut kegadisannya? Untuk lebih jelas, ikutilah kisah Pendekar Pulau Neraka dalam episode CINTA BERLUMUR DARAH.

   SELESAI Created ebook by Scan & Convert to pdf (syauqy_arr) Edit Teks (jandoy Weblog,
http.//hanaoki.wordpress.com Thread Kaskus.
http.//www.kaskus.us/showthread.php?t=B97228

   

   

   

Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung Pendekar Pedang Matahari Kelabang Ireng

Cari Blog Ini