Ceritasilat Novel Online

Lembah Kutukan 1


Pendekar Slebor Lembah Kutukan Bagian 1


LEMBAH KUTUKAN oleh Pijar El Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta Cover oleh Henky Editor.

   Puji S.

   Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Pijar El Serial Pendekar Slebor dalam episode.

   Lembah Kutukan Bulan bulat penuh mengambang di cakrawala, hanya disemaraki gumpalan awan putih kecil.

   Sehingga, cahaya berjuta bintang pun nampak lebih nyata.

   Sinar bulan yang lembut berwarna kuning keemasan itu tak luput jatuh pada suatu halaman depan sebuah perguruan silat itu, karena teri hat jelas dari tulisan yang tertera di atas papan jati yang menggantung di atas pintu gerbangnya.

   Letaknya tepat di punggung bukit, dan dikelilingi barisan tak teratur pohon-pohon besar.

   Perguruan ini tidak begitu dikenal di dunia persilatan, karena para ketuanya tidak menganjurkan murid-muridnya membawa-bawa nama perguruan jika berada di luar lingkungan perguruan.

   Di malam yang baru saja menyelimuti sekitarnya, terdengar teriakan-teriakan berirama memberi aba-aba dari halaman Perguruan Trisula Kembar.

   Setiap kali terdengar teriakan lantang memberi aba-aba, setiap kali pula di kuti teriakan susulan yang tak kalah lantang dari bcberapa orang murid Perguruan Trisula Kembar, menyertai gerakan kompak suatu jurus.

   Yang memberi aba-aba adalah seorang pemuda cukup tampan.

   Dia nampak berwibawa dalam sorotan sinar remang bulan purnama.

   Dan semua yang sedang berlatin ini mengenakan seragam perguruan berwarna hitam-hitam.

   Hanya saja, pemuda yang memberi aba-aba itu mengenakan tutup kepala dari kain berwarna merah, bergambar sepasang trisula bersilang di bagian kening.

   Sedangkan yang dilatih tidak mengenakan tutup kepala.

   Nampaknya itu cukup sebagai bukti kalau pemuda itu memiliki tingkat kepandaian yang khusus di perguruan ini.

   Sesekali pemuda yang memakai penutup kepala itu berkeliling memperhatikan setiap gerak dari jurus-jurus yang dimainkan berbarengan oleh sekitar dua puluh pemuda.

   Bila ada kuda-kuda yang tidak kokoh dan nampak rapuh, atau gerakan yang tampak lambat, pemuda itu tak segan-segan memukulkan punggung tangannya bila salah seorang murid ada yang salah bergerak.

   Tanpa ada yang tahu, di atas sebuah pohon besar yang menjulang tinggi melampaui pagar perguruan, seseorang duduk diam sambil memperhatikan orang-orang yang berlatih silat.

   Lebatnya dedaunan pohon, membuat cahaya bulan tidak berdaya menembusnya.

   Ini jelas membawa keuntungan bagi pengintai yang tampak tenang, bagai segerombol daun jika dilihat sekilas dari kejauhan.

   Dia Andika, seorang remaja berusia belasan tahun.

   Tubuhnya agak kurus, sehingga terlihat begitu lemah.

   Matanya yang tajam dengan dua garis alis mata yang menukik bagai kepak elang, memperhatikan kegiatan berlatih di Perguruan Trisula Kembar.

   Memang, sebenarnya hampir setiap malam Andika berada di situ, untuk memperhatikan jurus demi jurus yang diajarkan di Perguruan Trisula Kembar.

   Setiap gerakan mampu dicerna otaknya yang memang cerdas.

   Bahkan sampai gerak tersulit sekalipun.

   Kalau ditelusuri asal-usulnya, sebenarnya Andika salah seorang gelandangan di kotapraja, yang kebetulan berjarak setengah hari perjalanan dari bukit tempat Perguruan Trisula Kembar berdiri.

   Untuk seorang yang tidak memiliki ilmu silat atau ilmu meringankan tubuh sedikit pun, jarak sejauh itu bisa melelahkan.

   Seperti juga halnya Andika.

   Dan karena kekerasan hatinya untuk bisa melihat latihan setiap malam, hal itu tidak dipedulikannya lagi.

   Bahkan hatinya selalu disesaki keinginan menggebu-gebu untuk dapat belajar ilmu beladiri.

   Keinginannya itu bukan tidak beralasan.

   Memang, sebagai gelandangan yang selalu disingkirkan, dia selalu diperlakukan semena-mena oleh orang yang merasa dirinya berkuasa.

   Kehidupan kotapraja memang terkadang bengis.

   Maka, dia merasa perlu memiliki sedikit kemampuan untuk mempertahankan diri.

   Sebenarnya, Andika ingin mencoba mengajukan diri untuk menjadi murid Perguruan Trisula Kembar.

   Tapi, hatinya tidak begitu yakin, mengingat dirinya hanyalah seorang gelandangan yang bakal dianggap sampah disana.

   Maka satu-satunya cara yang bisa dilakukannya adalah mencuri-curi setiap jurus dari pohon besar seperti yang sedang dilakukannya saat ini.

   *** "Hiat hiat hiaaat!"

   Teriakan-teriakan yang diiringi semangat berlatih dari Perguruan Trisula Kembar masih terus berkumandang, bagai hendak membelah bukit.

   "Satu...! Dua...! Satu...! Dua...!"

   Andika terus memperhatikan dan langsung mencerna ke dalam otaknya yang cerdas.

   Begitu seksamanya, sehingga dia tidak tahu kalau di bawah pohon telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba hitam.

   Menilik dari pakaiannya, jelas pemuda itu juga murid dari Perguruan Trisula Kembar yang kebetulan habis pergi dari kotapraja.

   "Hei, siapa itu?!"

   Bentak pemuda itu, dari bawah pohon.

   Kepala pemuda itu mendongak ke atas.

   Dan ketika Andika tidak juga bergerak, pemuda itu cepat mengebutkan tangannya.

   Maka sebilah pisau seketika meluncur deras ke arah Andika.

   Krosak! Lemparan pisau seruncing taring serigala itu luput dari sasaran, pada saat bersamaan Andika kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

   Buk! Orang yang memergoki Andika cepat memburu keasal bunyi suara, ketika tubuh Andika menghantam tanah bersemak.

   Dengan tubuh terhuyung-huyung, Andika berusaha bangkit.

   Kepalanya terasa pusing, karena terhantam satu batang pohon saat jatuh tadi.

   Dunia bagai berputar hebat.

   Belum tuntas rasa pusing di kepalanya, datang lagi satu hajaran telapak kaki yang mendarat di pelipisnya.

   Plak! "Aduh!"

   Jerit Andika tertahan, dan kontan terpental tiga langkah.

   Mendapat serangan demikian, naluri mempertahankan diri Andika timbul.

   Tanpa mempedulikan lagi rasa pusing yang membuatnya ingin muntah, dia bangkit.

   langsung kuda-kudanya dipasang dengan mata mengerlap-ngerjap.

   "Bedebah! Rupanya kau sering mencuri jurus-jurus kami, ya!"

   Geram murid Perguruan Trisula Kembar tatkala melihat kuda-kuda Andika.

   Dan itu memang kuda-kuda pembuka jurus 'Trisula Terbang' milik perguruan itu.

   Selama mendapat jurus demi jurus hasil mencuri dari Perguruan Trisula Kembar, Andika memang melatih sendiri di sebuah kandang kuda yang sudah tak terpakai di kotapraja.

   Sehingga, tampak tidak ada keanggungan sedikit pun dari gerakannya.

   "Jangan sembarangan menuduh orang! Apakah kau dan perguruanmu merasa kehilangan sesuatu?"

   Dalih Andika dengan wajah takut-takut.

   "Tidak, kan? Kalau begitu, aku bukan pencuri!"

   "Pintar ngomong kau, ya?!"

   Dengus pemuda itu.

   "Aku punya mulut...."

   "Kalau begitu, biar mulutmu akan kuhancurkan! Hiaat...!"

   Setelah itu Andika kembali dirangsek.

   Kali ini terlihat lebih ganas, karena pemuda itu sudah dipengaruhi kemarahan meluap-luap.

   Satu pukulan tangan dari murid Perguruan Trisula Kembar terlihat bagai sedang menggenggam gagang trisula, ketika melayang tajam ke arah leher Andika.

   Jelas jitu memperlihatkan kesungguhannya untuk menghabisi Andika secepat mungkin.

   Andika tahu persis, itu adalah jurus kelima 'Trisula Terbang'.

   Maka dengan sedikit bergerak ke sisi kiri, dihindarinya serangan itu.

   "Uts!"

   Dengan kecerdikannya, Andika menggabungkan tiga jurus 'Trisula Terbang' sekaligus, sehingga terlihat seperti jurus baru.

   Maka ketika murid perguruan itu hilang keseimbangan karena serangannya luput, Andika cepat menyudut.

   Seketika sikunya yang cukup runcing disodokkan ke arah ulu hati murid Perguruan Trisula Kembar itu.

   Dugh! "Ukh...!"

   Orang itu kontan terjatuh berguling, diiringi keluhan tertahan.

   Kedua tangannya memegangi ulu hati yang terasa diaduk akibat hantaman siku Andika.

   Dia mencoba bangkit berdiri, sambil menatap tajam ke arah bocah gelandangan itu.

   Andika yang bertubuh kecil sudah bersiap-siap kembali.

   Dibanding tubuh penyerangnya yang tegap dan berotot, tubuh Andika memang tidak ada apa-apanya.

   Dan memang, murid Perguruan Trisula Sakti itu membuat kesalahan dengan menganggap remeh Andika yang bertubuh kurus.

   "Untuk apa kau mencuri jurus-jurus perguruan kami?!"

   Tanya pemuda itu terdengar seperti erangan suaranya.

   "Kau pasti dari golongan hitam yang diutus untuk memata-matai kaml..!"

   Andika bukannya menjawab, tapi malah mesem-mesem menahan tawa yang mau pecah saat itu juga. Tiba-tiba, timbul pikiran-pikiran nakal yang kebanyakan dimiliki anak gelandangan di kotapraja.

   "Apa kau tidak melihat jurusku? Kalau diperhatikan, pasti kau tahu dari perguruan mana aku,"

   Kata Andika lantang, dengan wajah dibuat seangkuh mungkin. Murid Perguruan Trisula Kembar hanya menautkan alis sambil tetap memegangi ulu hatinya yang masih terasa mual.

   "Perguruan mana, ya? Kuda-kudanya memang kuda-kuda milik Perguruan Trisula Kembar. Tapi jurus yang dipakai untuk mematahkan seranganku, rasanya baru kali ini kulihat,"

   Pikir orang itu tetap meringis.

   "Dasar murid tolol!"

   Umpat Andika dalam hati.

   "Ada apa ini?!"

   Tiba-tiba terdengar teriak seseorang di belakang Andika, sekitar tiga tombak jauhnya. Dan seketika kedua orang itu kontan melihat ke arah datangnya suara.

   "Oh, Kakang Soma.... Jembel kurus bau ini kupergoki sedang memata-matai perguruan kita di atas pohon itu,"

   Lapor murid Perguruan Trisula Kembar, ketika mengenali orang yang baru datang itu.

   Dan dia lantas menjura.

   Andika tahu, orangyang baru datang ini adalah yang tadi sedang melatih beberapa murid di halaman depan perguruan Trisula Kembar.

   Rupanya, dia dipanggil dengan nama Soma.

   Melihat kehadiran pelatih silat itu, agak ngeri juga Andika! Orang yang dipanggil itu melirik Andika.

   Matanya tampak tenang dan dingin.

   "Benar begitu...?! Hm, siapa namamu?"

   Tanya Soma cukup ramah, namun belum juga tersenyum.

   "Andika,"

   Jawab gelandangan itu ragu.

   "Benar begitu Andika?"

   Ulang Soma.

   "Benar.... Eh, tidak. Maksudku...."

   "Aaah! Bertele-tele kau! Sudah, Kang Soma. Tangkap saja bajingan bau ini, lalu kita paksa bicara...."

   Sergah murid yang dipecundangi Andika tadi. Soma hanya mengangkat sebelah tangan, menyuruh orang itu diam.

   "Biarkan dia bicara baik-baik, Gopala."

   Andika berkali-kali menelan ludah, membayangkan apa yang bakal terjadi pada dirinya nanti.

   Mungkin nanti akan dipukuli ramai-ramai seperti karung pasir di pekarangan perguruan yang setiap malam dilihatnya.

   Atau barangkali pula di kat di sebatang kayu, lalu dijemur di terik sinar matahari.

   Dan bisa juga....

   "Andika...."

   Andika terperangah. Dia lupa kalau pertanyaan Soma tadi belum dijawab.

   "Maksudku tadi, tidak benar kalau aku memata-matai perguruan ini, aku hanya...."

   "Hanya apa?"

   Pancing Soma kembali. Wajahnya tak berubah sedikit pun, seakan terbuat dari batu yang dipahat.

   "Hanya sedikit mengintip agar bisa belajar satu-dua jurus...,"

   Ungkap Andika akhirnya.

   "Sudah berapa lama itu kau lakukan?"

   "Hanya baru..., dua purnama."

   "Huh! Dua purnama, kok baru...,"

   Celetuk murid vang dipanggil Gopala itu. Beberapa saat Soma hanya memainkan dagu dengan jari tangan kanannya. Dan matanya jatuh ke arah i erumputan yang berselimut sinar bulan temaram.

   "Sudikah kau memperlihatkan jurus-jurus yang telah didapat selama di perguruan kami?"

   Pinta Soma. Andika kontan terkejut mendengar tawaran itu, dan benaknya sudah membayangkan dirinya yang berdiri di pelataran perguruan, lalu memainkan beberapa jurus di bawah sinar bulan. Memang, itulah yang diidam-idamkannya selama ini.

   "Bagaimana, Andika? Anggap saja ini undangan dari kami...."

   "Oh! Baik... baik,"

   Jawab Andika cepat-cepat Seakan takut kalau undangan itu hanya berlaku hanya sekali saja.

   Andika segera menjura seperti layaknya murid Perguruan Trisula Kembar pada Soma.

   Saat itulah Andika mtlihat untuk pertama kalinya senyum Soma yang ramah dan tak dibuat-buat.

   *** Soma memperkenalkan Andika kepada laki-laki setengah baya yang juga menggunakan pakaian hitam-hitam.

   Penampilannya sederhana, tidak jauh beda dengan murid-murid yang lain.

   Dan ini memberi kesan seakan orang itu tidak memiliki pengaruh apa-apa di perguruan itu.

   Namun ketika Soma bersikap normat dan menjura kepadanya sambil memanggil guru, barulah Andika tahu kalau laki-laki bertubuh sedang itu adalah orang paling berpengaruh di situ.

   Dan Andika segera menyusul memberi hormat "Kita kedatangan tamu, Guru,"

   Papar Soma.

   "Namanya Andika. Dan dia selama dua purnama ini mencoba mempelajari jurus-jurus perguruan kita dari atas! sebuah pohon."

   "Hm...,"

   Gumam laki-laki setengah baya itu berwibawa dengan melipat tangan di depan dada.

   "Hm. Namaku Ki Sanca. Dan aku adalah Ketu; Perguruan Trisula Kembar. O, ya. Benarkah yang dikatakan muridku itu, Nak Andika?"

   Tanya laki-laki setengah baya yang memperkenalkan diri sebagai Ki Sanca "Benar, Ki,"

   Jawab Andika singkat.

   "Sampai jurus apa yang kau dapatkan?"

   "Kalau tidak salah sampai jurus...," 'Sapuan Trisu Kembar',"

   Jawab Andika lagi, tanpa ingin menyembunyikan sedikit pun.

   Begitu lugu sikapnya.

   Soma yang masih berdiri di sisi Andika terperanjat Sampai-sampai dia bergumam sendiri.

   Bahkan Ki Sanca pun sempat memperlihatkan perubahan air muka, mendengar jawaban polos Andika.

   Dari tempat duduknya, Ketua Perguruan Trisu Kembar ini bangkit.

   Matanya memperhatikan Andik dari mulai ujung kepala hingga ujung kaki.

   "Memang bukan main anak ini. Padahal untuk bisa sampai ke jurus yang barusan disebutkan, murid-muridnya yang lain paling tidak membutuhkan waktu paling cepat enam Purnama. Tapi anak ini?"

   Maukah kau perlihatkan padaku di halaman depan? Andika mengangguk cepat.

   Ki Sanca bergegas melangkah keluar dari pendopo.

   Sementara di belakangnya menyusul Andika dan Soma.

   Dan mereka langsung menuju ke halaman depan perguruan yang biasa digunakan untuk berlatih.

   Begitu sampai di luar, Ki Sanca segera memerintahkan murid-muridnya berdiri membentuk lingkaran besar.

   Sementara di tengah-tengahnya Andika sudah berdiri dengan wajah berbinar.

   Sedikit pun tak ada garis kesombongan terlintas di wajah anak berumur belasan ini.

   "Ya, silakan mulai,"

   Ki Sanca memberi aba-aba dari pinggir lingkaran.

   Andika memulai.

   Seketika tubuhnya menjura sebagaimana kebiasaan perguruan itu.

   Dan kini dia memulai dengan membuka jurus-jurus pertama.

   Jurus demi jurus dimainkannya dengan cukup memukau.

   Terlihat amat mantap.

   Setiap kali menyambung satu jurus dengan jurus lain, terlihat gerakannya yang mengagumkan.

   Biarpun di mata Ki Sanca gerakan-gerakan itu tak memiliki pertahanan kokoh, namun anak muda belasan itu tetap dikaguminya.

   Kalaupun ada kekurangan, itu disebabkan dia melatih sendiri setiap jurus yang didapat.

   "Guru. Menurutku anak ini punya bakat luar biasa,"

   Bisik Soma yang menjadi murid tertua perguruan, kepada Ki Sanca yang berdiri di sebelahnya. Ki Sanca melirik muridnya, lalu tersenyum.

   "Apa artinya itu, Soma?"

   "Apa, Guru?"

   Soma balik bertanya seraya meng angkat bahu dan ikut tersenyum.

   "Kau sepertinya mengusulkan padaku untuk mej nerima dia sebagai murid. Begitu, kan?"

   Tebak Ki Sana langsung.

   "Kira-kira begitu, Guru,"

   Kata Soma. Paras mukanya nampak seperti yang berpikir sungguh-sungguh. Ki Sanca terkekeh kecil.

   "Yah. Entah kenapa, aku juga berpikir kalau anak itu berbakat luar biasa...,"

   Desah Ki Sanca. Diliriknya Soma yang kini memperlihatkan kepuasan di wajahnya.

   "Cukup! Cukup... Andika. Guru kami hari ini ternyata mau bermurah hati,"

   Ujar Soma. Andika seketika menghentikan gerakan jurusnya. Dia kemudian menjura kepada Ki Sanca dan Soma, lal kepada seluruh murid yang melingkarinya. Sebentar k"

   Mudian kakinya melangkah ke arah Soma.

   "Jadi aku boleh pergi dari sini, tanpa dihukum? "Lebih dari itu. Guru kami mengizinkan kau menjadi murid perguruan ini...."

   Mata Andika melotot tak percaya. Mulutnya menganga, persis orang bodoh yang melihat wanita cantik "Sungguhkah itu?"

   Tanya Andika lugu. Namun tiba tiba....

   "Tunggu! Tunggu dulu, Kang Soma! Bagaimana kalau dia ternyata mata-mata yang ingin menghancurkan perguruan kita? Bagaimana kalau anak ini murid dari orang tokoh hitam?"

   Sebuah suara bernada tak senang tiba-tiba terdengar.

   Soma seketika menoleh pada sumber suara, yang ternyata berasal dari murid yang dipecundangi Andika tadi.

   Pemuda berwajah kasar yang bernama Gopala itu jelas-jelas tidak senang terhadap keputusan Soma.

   Cara memandang Andika pun amat sinis, bagai menyimpan bara dendam di kedua biji matanya.

   "Apa alasanmu?"

   Selidik Soma mewakili Ki Sanca.

   "Tidak hanya jurus-jurus kita yang dimilikinya. Tapi juga jurus-jurus lain yang kuyakini berasal dari perguruannya pun dimilikinya. Dia hanya berpura-pura supaya kita menerimanya, lalu dengan leluasa mempelajari jurus-jurus kita. Sampai pada akhirnya nanti, dia akan membawa perguruannya ke sini. Dan...,"

   Gopala tidak meneruskan.

   "Bagaimana kau yakin begitu, Gopala?"

   Sela Ki Sanca. Laki-laki setengah baya itu memang belum tahu tentang pertarungan kecil antara Andika dengan Gopala.

   "Aku sempat bertarung dengannya tadi, Guru. Dia mengeluarkan jurus-jurus aneh. Dan..., dan dia menjatuhkan saya,"

   Urai Gopala malu-malu. Ki Sanca beralih kepada Andika.

   "Benar begitu, Nak Andika?"

   Andika tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan Ki Sanca.

   Dan tubuhnya malah bergerak, memperlihatkan tiga jurus 'Trisula Terbang' yang digabungkan secara cerdik, hingga tampak sebagai jurus-jurus baru.

   Sebagai orang yang memiliki kejelian, serta banyak menelan pahit manisnya dunia persilatan, Ki Sanca mampu menebak jurus-jurus apa yang dimainkan Andika.

   Terlebih, jurus-jurus yang digabung Andika adalah ciptaannya sendiri yang sudah menyatu dengan darah dan dagingnya.

   "Trisula Terbang' jurus tujuh, delapan, dan sem-bilan,"

   Kata Ki Sanca sengaja dikeraskan, agar murid-muridnya mendengar.

   "Bukan begitu, Nak Andika?"

   "Betul, Ki.... Maaf kalau aku lancang."

   Gopala seperti tidak percaya dengan apa yang di-dengar dari Ki Sanca. Demikian juga murid-murid yang lain, termasuk Soma. Wajah-wajah mereka memancarkan keterkejutan yang amat sangat.

   "Begitulah kenyataannya,"

   Tutur Ki Sanca menjawab lirikan Soma yang menyimpan tanya.

   Lalu dengan langkah tenang, Ki Sanca kembali masuk pendopo, di ringi penghormatan seluruh murid dengan menjura bersamaan.

   Diam-diam hati Ki Sanca menyayangkan Andika menjadi muridnya.

   Bukan apa-apa, Ki Sanca amat yakin kalau bakat alam yang dimiliki Andika yang begitu luar biasa, suatu saat akan membuat diri anak muda itu men jadi pendekar digdaya yang sulit ditandingi.

   Itu pun kalau guru yang mendidiknya dari golongan putih.

   *** Pagi selalu datang ramah bulan-bulan belakangan.

   Atap Perguruan Trisula Kembar yang terbuat dari pelipah kelapa, tersentuh hangatnya mentari pagi.

   Satwa penghuni bukit sebagian memperdengarkan kidung alam yang damai.

   Sejak pagi buta tadi, seluruh penghuni perguruan telah sibuk melaksanakan tugas masing-masing.

   Sebagian murid membelah kayu bakar, sebagian lain mengisi air di pancuran sebelah selatan bukit.

   Mereka juga menggarap ladang jagung yang luas, terletak tepat di belakang padepokan.

   Hasilnya memang cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

   Bahkan sisanya bisa dijual di kotapraja untuk keperluan lain.

   Sedangkan tugas murid-murid wanita adalah memasak, mencuci, berbenah-benah, dan pekerjaan yang lain.

   Namun sebenarnya mereka lebih banyak hanya membantu jalannya kehidupan sehari-hari Perguruan Trisula Kembar.

   Memang jika diperhatikan, perguruan ini tak beda jauh dengan sebuah perkampungan kecil di atas bukit.

   Segala segi-segi kehidupan masyarakat tercermin diperguruan ini.

   Dan Andika tak luput dari tugas.

   Pemuda tanggung ini mcmbantu Soma yang kini resmi menjadi saudara perguruan.

   Atau tepatnya, kakak seperguruan.

   Bersama tiga orang murid lain, mereka tampak membel kayu bakar.

   Di tengah-tengah kesibukan mereka bekerja itulah Andika menceritakan asal-usul dirinya.

   Soma dan tiga orang murid lain mendengarkan penuh perhatian.

   Berdasarkan cerita orang yang menemukannya enam belas tahun lalu Andika ditemukan sebagai bayi merah oleh seorang pencopet tua di pinggir hutan.

   Mulanya pencopet tua itu tidak ingin peduli.

   Tapi ketika dia melihat dengan mata kepala sendiri si bayi itu demikian tenang tanpa tangis, tengah bermain bersama seekor ular berbisa besar, barulah disadari kalau bayi ini bukanlah bayi biasa.

   Dan hal ini membuat si pengemis tertegun.

   Maka dengan segera, diambilnya dahan pohon untuk mengusir ular itu.

   Begitu ular pergi, bayi itu segera dibawa ke gubuknya di pinggir hutan sebelah timur.

   Mulailah kehidupan baru bagi bayi itu.

   Di sanalah dia dibesarkan dan dididik oleh pengemis tua.

   Bahkan ilmu copet-mencopet pun diajarkannya pula.

   Menginjak usia tujuh tahun, Andika telah menjadi pencopet lihai di kotapraja.

   Bocah itu memang telah menjadi musuh bagi saudagar-saudagar kaya yang culasj kaki tangan adipati yang menarik pajak dari rakyat kecil bahkan para begal berbahaya yang biasa meminta darah dan nyawa orang kecil.

   Ternyata, sebagian besar hasil jarahan, oleh Andika bdikembalikan ke orang-orang kecil yang selama ini megap-megap didesak berbagai pihak yang merasa dirinya berkuasa.

   Dan nilai-nilai seperti itu sebenarnya tidak pernah diajari ayah angkatnya.

   Bahkan niat pengemis tua itu memelihara Andika, sebenarnya bertujuan tidak baik.

   Dia ingin bila sudah terlalu tua dan tidak bisa lagi bekerja, Andika dapat menggantikannya.

   Dan dia tinggal menerima hasilnya saja.

   Ternyata, cita-cita licik itu jauh dari kenyataan.

   Buktinya, ada suatu cahaya kemuliaan di garba jiwa anak itu yang sulit ditembus oleh didikannya yang keras sekalipun.

   Dan pencopet itu memang tak mungkin merubahnya.

   Maka, setiap kali Andika pulang menjarah di kotapraja tanpa hasil banyak, karena sudah mengalir pada tangan-tangan kurus rakyat menderita, pengemis tua itu mendampratnya habis-habisan dan memukulinya.

   Bahkan mengikatnya di sebuah batang pohon tinggi dalam keadaan menggantung, dengan kaki di atas selama seharian.

   Berkali-kali hal itu terjadi, namun cahaya di garba jiwa Andika tetap tidak memudar sedikit pun.

   Sampai suatu hari, pengemis tua itu sudah demikian murka.

   Anak itu hendak dibunuhnya dengan sebilah balok besar.

   Andika terpaksa lari menyelamatkan diri, karena dikejar pengemis yang kalap dan menyumpahinya.

   "Anak sundal! Berhenti kau! Biar kubunuh kau, Seperti orang tuamu yang membuangmuke hutan! Kalau tahu kau seperti ini, biar setan hutan mengutukmu!"

   Dengus pengemis tua kala itu.

   "Jadi kau tak pernah tahu siapa orangtuamu?"

   Tanya Soma, ketika Andika selesai bercerita, tanpa menghentikan ayunan kampak besarnya ke arah kayu yang hendak dibelah. Andika menggeleng. Disapunya peluh di kening dengan punggung tangan.

   "Barangkali, itulah yang dinamakan takdir. Aku rasa tidak ada gunanya memikirkan apa-apa yang sudah terjadi, Kang,"

   Kata bocah tanggung itu, tenang. Soma meninju bahu kurus Andika, untuk sekadar menghibur.

   "Sangat betul, Andika,"

   Ucap Soma kemudian.

   "Lantas, kalau sekarang sudah menjadi seorang murid perguruan ini, apa pekerjaanmu yang dulu itu akan terus dijalani?"

   "Menurut Kang Soma sendiri?"

   Andika malah balik bertanya.

   "Kalau aku jadi dirimu.... Hm..., maksudku memiliki ilmu mencopet selihaimu, aku tidak akan berhenti...."

   "Kenapa begitu, Kang?" 'Hei, Copet Kecil Budiman! Siapa lagi nanti yang bakal mengembalikan uang rakyat jelata yang dirampas paksa orang-orang terkutuk itu?"

   Kata Soma, yang dibarengi tawanya.

   Mereka semua yang ada di situ ikut tertawa.

   Sedangkan Andika hanya mesem-mesem, menahan malu.

   'Terus terang, kalau kau hendak mencari ilmu kedigdayaan, di sini bukanlah tempat yang tepat.

   Kau lihat sendiri, kehidupan di sini lebih mirip sebuah desa dibanding sebuah perguruan silat,"

   Papar Soma.

   "Kami hanya ingin hidup tenang di tempat terpencil ini. Kalaupun Ki Sanca mengajarkan kami ilmu silat, semata-mata hanya untuk dapat mempertahankan diri jika sewaktu-waktu diperlukan. Kami hanya ingin lari dari huru-hara dunia persilatan yang bengis. Banyak di antara kami yang sudah berkeluarga dan hidup damai di sini. Rasanya itu pun sudah cukup tanpa perlu menyabung uyawa, agar bisa diakui menjadi yang terhebat di dunia persilatan."

   "Tapi, kebenaran toh, harus tetap ditegakkan,"

   Sergah Andika, tidak begitu setuju dengan ucapan Soma.

   "Memang..., namun harus disadari kemampuan kita. Ilmu milik perguruan ini tidak ada seujung kuku dibanding ilmu tokoh golongan hitam yang kini meraja lela di dunia persilatan. Lalu, haruskah kami membuang nyawa tanpa hasil yang bisa diharapkan?"

   Sahut Soma.

   Soma langsung menghentikan kerjanya, menatap Andika.

   Seakan dia meminta jawaban anak belasan tahun itu dengan kedua bola matanya.

   Dan Andika hanya menggeleng.

   Sedangkan Soma kembali menggerakkan tangannya, untuk menancapkan kapak pada potongan batang kayu besar.

   "Andai aku memiliki kedigdayaan seperti Ki Panji Agung.. Hm..., tentu aku tak akan tinggal diam di tempat ini...,"

   Gumam Soma, diiringi keluhan yang begitu jadi beban dalam dadanya.."Ki Panji Agung?"

   Andika seperti bertanya pada diri sendiri "Beliau tokoh golongan putih dari keluarga Pendekar LembahKutukan.Ilmunya sulit ditandingi tokoh-tokoh golongan hitam puluhan tahun silam,"

   Jelas Soma "Ke mana sekarang beliau?"

   Tanya Andika lagi, ingin tahu.

   "Entah, beliau menghilang begitu saja seperti angin Malah kini sudah menjadi dongeng ksatriaan yang dibicarakan rakyat jelata dari mulut ke mulut. Seperti halnya keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan lain yang juga hanya jadi dongeng untuk mengiringi tidur anak-anak rakyat jelata setiap malam. Mereka memang selalu berharap, keluarga pembela kebenaran itu akan hadir lagi untuk membela yang lemah,"

   Desah Soma.

   "Sayang..., padahal Ki Panji Agung amat dibutuhkan sekarang ini,"

   Keluh Andika.

   "Ya! Kita hanya dapat berharap seperti rakyat jelata, agar lahir kembali pendekar-pendekar, seperti keluarga Pendekar Lembah Kutukan...,"

   Kata Soma, sambil mengacak-acak rambut sebatas bahu Andika. Dan pemuda tanggung itu hanya diam saja, membayangkan kehebatan keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Dalam hati, Andika memang berharap bisa menjadi seperti mereka.

   "Siapa tahu kau nanti bisa seperti beliau, An... tutur Soma menambahkan.

   "Omong kosong...! Mana mungkin pepesan teri seperti saya bisa jadi pendekar,"

   Potong Andika dengan mata membelalak.

   Keduanya tertawa berbareng.

   Malam telah rebah di kaki Gunung Menjangan.

   Gelap merambat perlahan menyelimuti sekitarnya.

   Di sebelah timur kaki gunung yang berhadapan dengan jurang terjal mengerikan, tampak tiga sosok tubuh berdiri tegang.

   Dalam gelap yang tak terjangkau cahaya satu benda langit pun, sosok mereka seperti bayangan saja.

   "Panji Agung! Panji Agung...! Keluarlah kau, Tua Bangka Keparat! Apa tulang-tulang rapuh dan daging peotmu membuat cepat ngantuk?!"

   Teriakan menggelegar yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi terdengar dari salah seorang diantara mereka.

   Gemanya menelusup ke sela-sela pohon, dan memantul pada lekuk pegunungan sebelah barat.

   Bahkan sampai menggugurkan daun-daun pepohonan di sekitar mereka! "Cepatlah keluar, Pendekar Tua! Apa kau takut menghadapi kematian?!"

   Kembali terdengar teriakan menggema, namun tidak ada tanda-tanda sahutan dari orang yang diteriaki. Hanya gema suara teriakan itu yang terdengar di antara desir angin malam yang dingin menusuk.

   "Panji Agung!"

   Teriak orang yang mengenakan pakaian serba hitam terbuat dari beberapa lapis sutera.

   Wajah orang itu tampan dan kelimis.

   Namun, berkesan amat dingin.

   Matanya yang tajam mengedari seluruh kaki gunung.

   Tak beda dengan mata seekor ular liar di kegelapan yang menanti mangsa.

   "Panji Agung, aku Begal Ireng! Aku kembali untuk kematianmu, Tua Keparat!"

   Teriak orang yang mengaku sebagai Begal Ireng kembali.

   Suaranya terdengar menggelegar bagai halilintar.

   Sementara itu, dua orang lain tetap mematung.

   Hanya jubah putihnya yang sedikit menggelepar diusik angin.

   Keduanya bagai tidak bisa dibedakan, karen sama-sama berkepala gundul dan bermata sipit.

   Ditambah kulit yang pucat, mudah diduga kalau mereka berasal dari daratan Tiongkok.

   Di kalangan persilatan, mereka dikenal sebagai si Kembar dari Tiongkok.

   Du tokoh golongan hitam amat dingin dalam menghabii lawan-lawannya.

   Kekejaman mereka seperti tergambar dari bibirnya yang terlalu tipis dan melekuk sinis.

   "Aku tahu, kau ada di dalam pondok di atas sana Panji Agung! Jangan sampai aku menyebutmu sebaga pendekar pengecut!"

   Lagi-lagi Begal Ireng berteriak lantang. Kali in suaranya diwarnai tekanan-tekanan marah memuncak Dan tak lama kemudian....

   "Ada apa, Tua Bangka Begal Ireng?"

   Tiba-tiba terdengar sahutan berwibawa yang amat dekat dengan mereka.

   Namun, sesungguhnya asal suara itu sendiri amat jauh dari atas pegunungan.

   Sungguh suatu pengiriman suara dengan tingkat tenaga dalam mempesona.

   Bahkan hanya bisa dilakukan oleh segelintir tokoh persilatan bertenaga dalam sangat tinggi.

   Dan salah satunya adala Ki Panji Agung! "Jangan coba menyebutku tua bangka lagi! Da jangan main sembunyi-sembunyi seperti ini, Peot!"

   Dengus Begal Ireng.

   "Ha ha ha..! Apa dipikir kau masih muda, Bega Ireng? Jangan lupa, kau adalah salah satu orang tua yang tak tahu diri di dunia ini. Lantas, kenapa tidak mau menerima kenyataan? Takut tidak bisa 'menggarap' perawan lagi, sehingga merasa perlu menuntut ilmu awet muda?"

   Ejek Ki Panji Agung, masih belum menampakkan diri.

   "Diam!"

   Murka Begal Ireng. Tangannya langsung berkelebat, melepaskan pukulan jarak jauh! Sebatang pohon cemara besar saat itu juga tumbang berderak menjadi sasaran kekesalan lewat pukulan jarak jauhnya.

   "Ha ha ha...."

   Tahu-tahu Ki Panji Agung telah berada di pucuk sebuah pohon cemara di hadapan mereka.

   Dia memakai ikat kepala merah, berjenggot putih, dan berambut menjuntai sepinggang berwarna putih pula.

   Tubuhnya yang kurus tidak membuatnya kelihatan loyo.

   Wajahnya tampak menyimpan kerutan, namun memperlihatkan kewibawaan.

   "Apa keperluanmu hingga sudi bertandang ke tempat menyepiku ini, Begal Ireng?"

   Sambut Ki Panji Agung. Bibirnya terus saja tersenyum ringan.

   "Hanya ada satu keperluanku. Mengirim kau ke Neraka!"

   Tegas Begal Ireng.

   "Ah! Kau pasti tahu, itu bukan tempatku, Begal Ireng"

   Tubuh Ki Panji Agung langsung melenting, dan berputaran beberapa kali di udara. Lalu, kakinya ringan bagai sehelai bulu. Dan kini, pada jarak sekitar lima tombak, dia berhadapan dengan Begal Ireng dan si kembar dari Tiongkok.

   "Kalau aku tak salah duga, ini pasti urusan lama yang menghangat kembali. Begitu?"

   Tanya Ki Panji Agung, pura-pura bodoh. Mata Begal Ireng yang nyalang menusuk, langsungj bertemu dua bola mata kelabu Ki Panji Agung. Dan mulutnya masih dengan mimik sinis.

   "Kau belum begitu pikun untuk mengingat peristiwa empat puluh tiga tahun lalu, bukan?"

   Kata Begal Ireng, dengan wajah meremehkan.

   Mendapat pertanyaan ini, Ki Panji Agung hanya tertawa.

   Dan ini membuat beberapa kerutan di wajah nya meregang.

   Dia ingat betul kejadian itu.

   Jadi, benar ini memang urusan lama yang rupanya hendak diperuncing setan belang si Begal Ireng.

   "Tentu saja aku ingat. Waktu itu, ada seorang pecundang berjuluk si Pencabut Nyawa yang gagal melaksanakan niat busuknya, untuk menggulingkan Sang Prabu. Pecundang itu adalah kau sendiri, Begal Ireng..., kata Ki Panji Agung, lantang. Seketika terdengar gemeletuk gigi-gigi beradu milik Begal Ireng, begitu Ki Panji Agung selesai mengucap kan kata-katanya.

   "Bagus kalau masih ingat, Keparat! Dengan begitu aku bisa menjelaskan tekadku yang mungkin belum kau dengar selama memencilkan diri di lubang tikus. Pertama, aku Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa tidak akan berhenti melaksanakan keinginannya sampai ajal menjemput! Yang jelas, sang Prabu harus menyerahkan kursi istananya kepadaku! Kedua, kau masi punya waktu untuk mengejekku sebagai pecundang sebelum niatku terlaksana..., untuk membunuhmu!"

   Kata Begal Ireng, lantang.

   "O, o.... Kau takut aku akan menghalangimu lagi untuk merebut kekuasaan kerajaan, hingga merasa perlu menghabisiku?! Kalau itu maumu, silakan,"

   Timpal Ki Panji Agung, tenang.

   Dan kini tidak ada suara terlontar dari mulut mereka.

   Suasana jadi hening mencekam.

   Hanya terdengar bisikan angin yang melaju di sela kaki gunung.

   Bahkan Binatang malam yang mestinya telah memperdengarkan nyanyiannya, kali ini seperti enggan bersuara.

   Sepertinya, mereka tahu kalau saat ini ada kekuatan besar yang akan meledak dalam suatu pertempuran maut.

   "Hiaaat!"

   Keheningan kontan pecah oleh teriakan menusuk angkasa.

   Begal Ireng segera memulai pertempuran dengan satu serangan mengerikan.

   Tangannya yang telah terisi tenaga dalam, menebas bagian leher Ki Panji Agung.

   Suatu serangan menggeledek, sehingga menimbulkan bunyi yang mendirikan bulu roma.

   Singngng...! Ki Panji Agung yang telah waspada sejak tadi, sedikit menggeser tubuhnya ke kiri, menghindari tebasan tangan Begal Ireng.

   Sehingga serangan tangan yang terbuka milik Begal Ireng hanya lewat sejengkal dari lehernya Namun tak urung, Ki Panji Agung bisa merasakan pedih akibat angin pukulan tadi.

   Serangan berikutnya menderu lebih ganas.

   Sebelah kaki Begal Ireng bagai memiliki mata, mengejar ke mana saja Ki Panji Agung bergerak.

   Bahkan serangan-serangannya selalu mengarah pada bagian-bagian yang mematikan! Ki Panji Agung sama sekali belum balas menyerang Dengan agak kewalahan, dia berusaha mengelak dan menangkis.

   Sungguh, Ki Panji Agung tidak menyangka kalau kepandaian Begal Ireng maju demikian pesat Sehingga untuk beberapa saat tadi, dia sempat terkesiap.

   Dibanding empat puluh tiga tahun yang lalu, meski Begal Ireng masuk dalam jajaran tokoh atas golongan hitam, namun kemampuannya masih beberapa tingkat di bawah Ki Panji Agung.

   Pada saat dia hendak berbuat makar terhadap Prabu Mahesa, Ki Panji Agung yang saat itu menjadi tokoh golongan putih, muncul mematahkan rencana jahatnya.

   Sengaja nyawa Begal Ireng dan komplotannya tidak dihabisi, karena diharapkan di lain waktu dapat bertobat.

   Namun kenyataannya sekarang? Biarpun serangan-serangan Begal Ireng sangat merepotkan, namun belum ada satu hantaman pun yang menyentuh tokoh tua digdaya ini.

   Memang, kecepatan dan tenaga dalam yang dimiliki beberapa keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan, sulit dicari tandingannya.

   Seperti juga Ki Panji Agung, sebagai salah satu keturunan keluarga itu.

   Dunia persilatan menyebut kecepatan dan kekuat an tenaga dalam yang dimiliki keluarga Pendekar Lem bah Kutukan sebagai ilmu 'Siluman' karena apabila di gunakan, hasilnya memang menakjubkan.

   Tampaknya, untuk dua hal itu Begal Ireng masih belum mampu menandingi Ki Panji Agung.

   Sehingga ketikaKi Panji Agung mulai melancarkan serangan balasan, tokoh bengis itu jadi berada di bawah angin.

   Sampai suatu saat, Ki Panji Agung melancarkan serangan pukulan ke dada kiri Begal Ireng.

   Dengan agak terkesiap, tokoh hitam ini mengebutkan tangan kirinya dengan gerakan menyilang.

   Namun sungguh di luar dugaan, Ki Panji Agung memutar tangan kanannya, dan langsung bergerak menggedor dada Begal Ireng.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga....

   Desss! "Aaakh!"

   Tubuh Begal Ireng kontan melayang lurus, begitu dadanya terkena hantaman yang disertai tenaga dalam dari tangan kanan Ki Panji Agung.

   Diiringi keluhan tertahan, tubuhnya terus melayang dan kontan menghantam sebuah pohon besar di belakangnya hingga Iangsung hancur.

   Sepuluh tombak di depan Ki Panji Agung, kini Begal Ireng tergeletak memegangi bagian dadanya sambil meringis, dia bangkit.

   Lagi-lagi Ki Panji Agung terkesiap.

   Betapa tidak? Pukulannya tadi amat dikenalnya, karena memang milik Keluarga Pendekar Lembah Kutukan.

   Bahkan pukulan itu dapat menyerpihkan batu karang besar sekalipun.

   Tapi, nampaknya tidak ada pengaruh besar yang terjadi pada diri Begal Ireng.

   Ilmu apa yang kini dikuasainya? "'Pukulan Geledek' tingkat lima milikmu tidak berarti apa-apa buatku, Panji Agung,"

   Ledek Begal Ireng dengan wajah amat sinis.

   "Kau bahkan tidak akan mampu membinasakanku meski pukulan kotoran kucing itu dikerahkan hingga puncaknya! Ha ha ha...!"

   Sehabis berkata demikian, Begal Ireng kembali menyerang.

   Kali ini, tangannya sudah menggenggam cemeti yang dilepas dari bagian pinggangnya, setelah sejak tadi hanya dililitkan.

   Cletarrr! Bunyi cemeti yang bisa memecahkan gendang telinga seseorang yang berilmu cetek seketika terdenga menggelegar.

   Tidak itu saja.

   Gesekan cemeti dengan udara pun menimbulkan percik-percik api yang membuat nyali setiap orang yang melihat menjadi ciut.

   Tapi tidak untuk Ki Panji Agung.

   Asam garam yanj ditelannya dalam mengarungi rimba persilatan selama ini, membuatnya tetap tenang menanti serangan.

   Meski dia tahu, kali ini bisa saja nyawanya benar-benar terancam....

   Cletarrr! Cemeti yang terbuat dari satu akar tumbuhan beracun itu melesat menuju wajah Ki Panji Agung.

   Dengan sigap Ki Panji Agung melenting ke udara.

   Memang menghadapi senjata seperti itu, dia tidak boleh bertempur dalam jarak jauh.

   Karena itu sambil berkelit, tubuhnya berjumpalitan memperkecil jarak dengan Bega Ireng.

   Tapi Begal Ireng rupanya juga tidak bodoh.

   Dengan membarengi gerakan salto Ki Panji Agung, tubuhnya pun melenting menjaga jarak.

   Bagai dua buah bola mereka berputaran di udara, di antara batang-batang pohon cemara.

   Dan saat itulah Begal Ireng menjalankan rencana licik yang sebelumnya telah direncanakan matang dengan dua orang botak yang selama pertarungan terjadi hanya diam mematung.

   Dengan tubuh masih melayang di udara, Begal ireng melecutkan cemetinya, sebagai isyarat kalau rencana segera dilaksanakan! Maka seketika tubuh si Kembar dari Tiongkok yang tadinya mematung, dalam waktu singkat telah membentuk sebuah gerakan bersama.

   Sekejap satu tangan mereka mengerahkan dua kekuatan yang tergabung pada masing-masing telapak.

   Tiba-tiba, telapak tangan yang bersatu itu memerah.

   Dan dalam sekejap pula, satu tangan yang lain diarahkan pada tubuh Ki Panji Agung yang masih melayang di udara! Sehingga....

   Whush...! Bunyi angin pukulan jarak jauh yang digabung dua orang botak itu melesat memburu tubuh tua Ki Panji Agung.

   Maka....

   Desss! Memang begitu cepat pukulan jarak jauh itu, sehingga KiPanji Agung tak mampu menghindari.

   Apalagi tubuhnya saat itu tengah berada di udara.

   Maka tak beda dengan sebuah durian, tubuh Ki Panji Agung kontan nuluncur jatuh terhantam pukulan jarak jauh licik itu.

   Suara berdebum terdengar saat tubuh kurus Ki Panji Agung menghujam tanah.

   "Ha ha ha...."

   Megitu mendarat di tanah, Begal Ireng tertawa terbahak-bahak puas, dengan dada membusung. Sementara tangannya sudah menggenggam cemetinya kembali.

   "Bagaimana, Ki Panji Agung? Lumayan kan, pukulan jarak jauh dua sobatku itu?"

   Ejek tokoh sesat itu kepada Ki Panji Agung yang mulai bangkit dengan mulut meneteskan darah. Tokoh tua aliran putih itu menatap tajam, lurus lurus ke arah Begal Ireng. Kemarahan pendekar tua ini kini menggejolak sampai ke ubun-ubun.

   "Tikus busuk macam kau, memang tidak pernah malu bertindak curang...,"

   Dengus Ki Panji Agung sambi menahan sakit yang mendera di bagian belakang tubuh nya.

   'Apa kau merasa aneh melihat perbuatanku? Mestinya lebih berhati-hatilah kalau sudah tahu begitu..., kembali Begal Ireng meledek.

   Begal Ireng tawanya yang terbahak, mengusik pelosok kaki gunung.

   "Sekarang, bersiaplah menerima kematianmu, Tua Bangka...,"

   Lanjut Begal Ireng penuh ancaman.

   Ki Panji Agung yang menyadari kalau keadaannya tidak menguntungkan, segera saja mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya.

   Sebelumnya, dia telah menotok beberapa jalan darah di bagian tubuhnya, tatkala mengetahui kalau pukulan si Kembar dari Tiongkok ternyata beracun.

   "Hiaaat...."

   Begal Ireng mulai merangsek kembali.

   Serangannya sekarang tidak tanggung-tanggung lagi.

   Cemetinya menggeletar di udara, menimbulkan bunyi menggelegar! dan percikan api.

   Bahkan sekarang dua orang botak itu ikut andil pula dalam serangan puncak.

   Dengan ganas mereka mengeroyok pendekar tua beraliran putih in Maka pertarungan sengit tak dapat dielakkan lagi.

   Jurus demi jurus berlalu cepat.

   Pendekar tua berkesaktian tinggi itu rupanya tetap tidak mudah diruntuhkan, meski telah terluka dalam yang parah.

   Pukulan-pukulan geledeknya yang telah dikerahkan hingga puncaknya, beberapa kali membuat kekompakan tiga orang pcngeroyoknya menjadi sedikit kacau.

   Hingga menjelang fajar, pertarungan alot ini terus l-crlangsung.

   Sementara tubuh Ki Panji Agung sudah terkoyak disana-sini, terkena sabetan cemeti Begal Ireng yang setajam mata pedang iblis.

   Darah makin banyak mengucur dari tubuhnya.

   Dan ini membuat Ki Panji Agung semakin lemah dan tersuruk-suruk di antara serangan bertubi-tubi tiga tokoh golongan hitam itu.

   Hingga matahari mulai mengintip di ujung timur cakrawala, sebuah sabetan cemeti Begal Ireng melecut ke bagian mata Ki Panji Agung.

   Ctarrr! "Aaakh!"

   Belum juga Ki Panji Agung menguasai diri, dua pukulan berisi tenaga pamungkas dari si Kembar dari Tiongkok seketika menghantam dada kiri dan kanan Ki Panji Agung.

   "Ugh!"

   Ki Panji Agung memang sudah tak kuasa menghindar dari dua serangan itu.

   Tubuhnya kontan terpental amat jauh diiringi pekikan tertahan.

   Dan tubuhnya lurus meluncur seperti batu yang dilontarkan.

   Kemudian, dia jatuh di muka bumi dan langsung terguling-guling mengenaskan.

   Tubuh Ki Panji Agung hanya sempat bergeming sedikit.

   Kepalanya bergerak dengan mata menatap sayu ke arah tiga pengeroyoknya.

   Anehnya, bibirnya justru tersenyum.

   Dan ini membuat Begal Ireng menautkan alis tak mengerti.

   Sesaat kemudian, Ki Panji Agung tak berkutik lagi.

   Pendekar tua yang sakti itu telah tiada.

   Dengan sebuah senyum manis menyertai kepergiannya.

   Begal Ireng yang mengetahui musuh utamanya telah benar-benar mampus, langsung tertawa terbahak-bahak.

   Dianggapnya, itu merupakan kemenangan yang amat besar dalam hidupnya.

   Selama ini, tidak ada satu tokoh golongan hitam pun yang mampu menandingi KI Panji.

   Agung.

   Apalagi, membunuhnya.

   Sedangkan dua orang botak yang membantunya hanya menatap dingin tubuh Ki Panji Agung.

   Tatapan nya berkesan memuakkan, seperti sedang melihat sepotong bangkai tikus menjijikkan.

   Begal Ireng belum puas juga tertawa, sampai akhir nya tercekat oleh sesuatu yang amat ganjil.

   Dari jasad Ki Panji Agung, tiba-tiba keluar cahaya keperakan yang masih dapat tertangkap mata, karena matahari belum begitu muncul benar.

   Sinar itu melayang cepat ke angkasa, lantas meluncur ke arah barat seperti hendak menjauhi matahari Dan sinar itu lurus meluncur, mirip bintang jatuh...

   menuju Perguruan Trisula Kembar.

   Sinar itu terus menembus atap padepokan, lalu menyelusup ke dalam tubuh salah seorang murid yang masih terpulas, karena lelah akibat latihan semalam.

   Murid itu adalah..., Andika.

   Dan itu tanpa disadari Andika sendiri.

   *** Seorang gadis tinggal di padepokan Perguruan Trisula Kembar.

   Rambutnya panjang disanggul kecil.

   Tampak anak rambutnya menjuntai di depan telinga.

   Kulitnya kuning langsat, tubuhnya langsing, dan wajah ayu.

   Dan itu membuatnya semakin mempesona.

   Bibir nya yang kerap tersenyum, sering kali menggetarkan kalbu laki-laki.

   Namanya, Ningrum.

   Kira-kira empat purnama yang lalu, Ningrum datang ke perguruan ini dengan mengaku sebagai tabib wanita yang tersesat di hutan sebelah selatan, ketika mencari rempah-rempah dan dedaunan untuk bahan obat-obatan.

   Sejak saat itulah, dia tinggal di sana.

   karena kebetulan perguruan waktu itu belum memiliki tabib, maka Ki Sanca memutuskan untuk menerima Ningrum.

   Dan pagi ini, Ningrum tampak tengah sibuk di dapur perguruan.

   Tangannya dengan lincah mencari-cari daunan yang digunakan untuk obat, kemudian di tumbuknya.

   Setelah itu racikannya dimasukkan ke dalam kuali, dan mulai mengaduk perlahan-lahan.

   Gadis memang tengah membuat jamu godokan untuk murid-murid Perguruan Trisula Kembar.

   "Pagi, Nini...,"

   Sapa Andika pada Ningrum yang usia nya lebih tua sekitar lima tahun.

   "Pagi...,"

   Sahut Ningrum seraya tersenyum teduh.

   "Sedang menggodok ramuan apa, Nini?"

   Lanjut Andika.

   Padahal, sebenarnya Andika harus membantu Soma membelah kayu bakar seperti biasanya.

   Tadi, waktu pergi ke dapur untuk mengambil kapak, tanpa sengaja Andika melihat Ningrum.

   Ada yang menyejukkan hati pemuda tanggung itu, tatkala matanya bertemu tatapan lembut Ningrum.

   Mata yang berbulu lentik dan memancar indah itu telah menggetarkan sendi-sendi kelaki-lakian Andika Dan pemuda tanggung itu sendiri tidak mcngerti, perasaan apa yang menjalar hatinya.

   'Ini ramuan beras kencur...,"

   Sahut Ningrum, singkat.

   "Beras kencur?"

   Tanya Andika dalam hati. Mendadak terlintas pikiran nakal yang selalu saja muncul di benak anak gelandangan kotapraja seperti Andika.

   "Benar,"

   Jawab Ningrum, tanpa menghentikan gerakan tangannya yang halus dalam mengaduk kuali tanah liat.

   "Untuk pegal kena pukulan bisa?"

   "Tentu saja, bisa...."

   "He he he...,"

   Batin Andika terkekeh. Sekejap kemudian wajah Andika dibuat memelas. Mulutnya meringis-ringis di depan Ningrum.

   "Kalau begitu, Nini bisa menolongku, bukan? Tanganku ini semalam kena gagang trisula waktu latihan"

   Ujar Andika seraya menjulurkan tangannya pada ningrum.

   "Yang mana?"

   Tanya Ningrum heran, karena tidak melihat ada bekas terpukul sedikit pun pada tangan pemuda tanggung itu.

   "Ini..., yang ini,"

   Tunjuk Andika pada bagian tangan yang dianggap kaku. Ningrum memegang tangan kurus itu, dan memperhatikan daerah yang ditunjuk Andika.

   "Kok, tidak ada memar?"

   Tanya Ningrum, heran.

   "Memang... memang,"

   Sergah Andika.

   "Tapi kalau dipegang, terasa nyeri. Kalau Nini tidak percaya, pegang saja!"

   Walaupun agak sedikit mengerutkan kening kareru bingung, Ningrum memijit juga bagian tangan yang ditunjuk Andika.

   Setiap kali ditekan, anak badung iti langsung menjerit-jerit seperti amat menderita dengan wajah meringis-ringis sedemikian rupa.

   Andika tidak peduli, bila wajahnya di mata Ningrum terlihat sepert orang kesakitan.

   Atau, lebih mirip orang yang sedang buang hajat besar.

   Pokoknya, meringis.

   Biar sandiwara nya kelihatan benar-benar bagus! "Adouuuw!"

   Teriak Andika.

   "Sakit sekali, ya?"

   Tanya Ningrum kebingungan.

   "Iya! Kau tahu rasa sakit terkena tusukan seribu sembilu?"

   Kata Andika, menggambarkan rasa sakit yang dibuat-buat. Dalam hati, Andika sendiri mau tertawa sekeras kerasnya melihat mata Ningrum yang bergerak bingung ketika dia menjerit-jerit.

   "Adouuuw!"

   Sekali lagi mulut Andika memperde ngarkan teriakan.

   "Lho?! Aku lean belum memijit tanganmu lagi?"

   Sela Ningrum dengan alis mata terangkat.

   "Belum, ya? Ng..., makanya pijit lagi, biar aku teriak lagi...,"

   Kata Andika, ketolol-tololan. Sebelum tangan halus Ningrum memegang kembali lungan kurus Andika, tiba-tiba....

   "Lagi apa kau di sini?"

   Terdengar suara Soma, menegur Andika. Seketika Andika menarik tangannya. Memang kakak seperguruannya itu sudah berada di belakangnya sambil berkacak pinggang, begitu Andika menoleh. Dan pemuda tanggung itu jadi cengar-cengir.

   "Minta beras kencur...,"

   Jawab Andika asal jadi. Soma memelototi anak itu. Dia tahu, apa maksud Andika sebenarnya. Seketika dijewernya telinga Andika sekeras-kerasnya.

   "Ayo, ikut aku membelah kayu! Orang lain sudah sungsang sumbel, kau masih enak-enak minta beras kencur!"

   "Ampuuun. Ampuuun, Kang Soma!"

   Soma terus berjalan sambil menarik Andika, keluar dari dapur. Setelah agak jauh dari tempat Ningrum, barulah jeweran pada Andika dilepasnya.

   "Kau memang tidak boleh melihat 'ayam' mulus!"

   Maki Soma, jengkel. Andika tidak menjawab. Sementara tangannya sibuk mengusap-usap telinganya yang merah matang. Wajah nya masih meringis seperti sewaktu di depan Ningrum. Tapi, kali ini bukan pura-pura lagi.

   "Hey! Aku bicara denganmu!"

   "Alaaah, Kakang Soma ini.... Kenapa jadi begitu mangkel? Kalau memang Kang Soma juga suka dengan nini tadi itu, saya bersedia mengalah...,"

   Canda Andika seenak perut. Soma hanya menggeleng-geleng kepala.

   "Monyet kecil brengsek!"

   Hardik Soma, setengah tertawa. Ditamparnya kening Andika, seraya berjalan ke tempat dia tadi membelah kayu. Bergegas Andika memikul kapak yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya yang kurus. Segera disusulnya Soma.

   "Kang! Tunggu, Kang! Nama nini tadi itu siapa, ya tanya Andika ingin tahu. *** Siang memanggang bulat-bulat kotapraja, membuat debu jalan menjadi amat ringan. Hingga tatkala angin bertiup, debu-debu itu beterbangan menjengkelkan Matahari memang bersinar terik. Tapi biarpun begitu kotapraja tetap ramai. Terlebih lagi, siang itu ada acara yang banyak mengundang minat orang di sekitarnya. Soma yang kebetulan pergi ke kotapraja bersa Andika untuk menjual kelebihan jagung dan belanja beberapa keperluan, tidak luput dari rasa ingin tahu. Mereka bergegas mempercepat lari kuda yang menarik pedati.

   "Ada apa ya, Kang?"

   Tanya Andika ketika pedati yang dikendarai kini sudah kosong, melewati sebuah kerumunan yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah panggung.

   "Nampaknya ada pertandingan silat,"

   Jawab Soma menduga-duga. Setahu Soma, jika ada panggung besar di kotapraja seperti itu, biasanya akan ada pertunjukan kesenian takyat, atau pertandingan silat.

   "Kita nonton dulu ya, Kang...,"

   Ajak Andika, sambil menatap kakak seperguruannya.

   "Bagaimana, ya...,"

   Soma ragu-ragu. Dia agak khawatir Ki Sanca nanti menegurnya kalau pulang terlambat.

   "Jangan terlalu lama berpikir seperti itu, Kang!"

   Usik Andika pada pemuda kekar yang saat itu mengenakan pakaian lurik, sehingga nampak seperti rakyat biasa. Kna toh, perlu juga melihat perkembangan dunia per-.ilntan."

   Gaya Andika yang selalu tampak sok tahu itu, se-i mgkali membuat Soma geleng-geleng kepala. Apalagi til nt keras kepalanya.

   "Kalau Ki Sanca nanti mengomeli kita, biar aku yang itnggung jawab,"

   Desak Andika kemudian.

   "Baik... baik."

   Soma menyerah.

   Kalau Soma tidak menuruti keinginannya, bisa-bisa di panjang perjalanan pulang kunyuk itu terus saja nyerocos.

   Mereka pun menjalankan pedati ke sudut dekat kedai makan, tidak jauh dari panggung itu.

   Sebentar kemudian, pedati itu ditambatkan di situ.

   Dalam hati Soma, setelah mereka cukup puas melihat keramaian itu, barulah akan mencari bahan keperluan sehari-hari.

   "Ingat, jangan coba macam-macam!"

   Pesan Soma tatkala mereka turun dari pedati.

   Andika hanya mengacungkan satu ibu jarinya seraya mencibir.

   Seakan-akan, dia meyakinkan Soma agar tak perlu khawatir dengan dirinya.

   Kerumunan orang makin padat saat mereka telah bergabung.

   Banyak dari mereka yang hadir berpakaian seperti layaknya orang persilatan.

   Beberapa orang menyandang pedang, sebagian lain ada yang membawa tombak, golok, keris, dan toya.

   Tampaknya dugaan Soma ada benarnya.

   Mereka pasti berkumpul untuk ikut dalam pertandingan silat di atas panggung besar di depan sana.

   Tiba-tiba Andika menunjuk seorang pendekar wa nita dengan rambut berkepang kuda.

   Pedang besar yan tidak sesuai dengan tubuhnya, tampak tersandang punggung.

   Cantik, namun terlihat judes.

   "Lebih cantik mana dia dengan Nini Ningrum? tanya Andika, usil. Lantas saja Soma menepak jari tangan Andika. Dan seketika pemuda tanggung itu menekuk wajahnya yang menukik itu, makin menukik.

   "Kenapa Kang Soma selalu saja gusar kalau aku bicara soal Nini Ningrum?"

   "Hus! Bukan begitu! Jarimu yang menunjuk-nunjuk seenaknya itu bisa bikin perkara...."

   "O, jadi bukan...."

   "Sudah, diam! Apa mulutmu bisa kaku kalau tida bicara agak lama?"

   "He he he...!"

   Andika menggerak-gerakkan kedua alisnya, menggoda Soma.

   "Jadi, apa maumu?"

   Tanya Soma.

   "Kakang belum jawab pertanyaanku tadi."

   "Apa?"

   "Kakang cemburu, bukan?"

   "Astaga! Jadi, kau masih meributkan masalah kemarin pagi itu?"

   Andika tersenyum nakal, seraya mengangguk mantap.

   "Kemarin aku melarangmu mengganggu Nini Ningrum, karena dia lebih tua darimu, Tolol! Kau harus hormat kepadanya...,"

   Dengus Soma.

   "Ah, syukurlah kalau begitu."

   "Apa maksudmu?" 'Tidak apa-apa...."

   Kembali mereka mengarahkan pandangan ke atas panggung. Tampak seseorang naik ke atasnya, membacakan sebuah pariwara.

   "Saudara-saudara... kisanak dan nisanak! Tuan Cokro Adi sebagai seorang saudagar kaya, membutuhkan seorang pendekar yang mampu melindungi dirinya, sekaligus keluarga dan hartanya. Maka untuk itulah, panggung ini disediakan, agar para pendekar yang berminat menjadi pengawal bayaran Tuan Cokro Adi,dapat memperlihatkan ketangguhan ilmu kedigdayaannya. Dua orang yang tak terkalahkan akan berhak dipilih Tuan Cokro Adi...,"

   Kata orang itu, lantang.

   Begitu orang itu selesai membacakan pariwara, menyusul seorang bertampang kasar dan membawa sebilah kapak, naik ke atas panggung.

   Dia orang pertama yang berminat.

   Untuk beberapa saat, dia berdiri angkuh, seakan-akan menunggu orang yang ingin menantangnya.

   Tak lama kemudian, seorang laki-laki bertubuh kurus kering naik ke atas panggung.

   Tubuhnya amat berlawanan dengan orang yang membawa kapak.

   Dengan pakaian merah-merah yang agak kebesaran, kakinya melangkah menuju panggung.

   Dari sorot matanya orang akan segera tahu kalau ilmu kesaktiannya tidak bisa dipandang remeh.

   "Bayuganda...,"

   Kata laki-laki kurus itu segera memperkenalkan diri, seraya membungkuk hormat pada laki-Iaki yang membawa kapak.

   "Orang-orang menjuluk aku si Jari Iblis...."

   Mendadak saja terdengar riuh kecil di sana-sinj Memang, julukan Jari Iblis untuk kalangan persilatan tidak asing lagi.

   Dia pendekar aneh, karena sikaprra amat santun kepada orang lain.

   Namun dalam urusan bunuh-membunuh , tak pernah ada satu lawan pun yang disisakan.

   Dia bekerja untuk siapa saja yang bisa membayarnya mahal.

   "Ha ha ha...! Jadi, ini orangnya yang berjuluk Jari Iblis itu,"

   Seloroh orang bertampang kasar di hadapannya.

   "Rupanya hari ini, si Kapak Setan beruntung dapat menjajal kebolehanmu, Ki Bayuganda...."

   "Hm... silakan, Kisanak. Mari kita mulai,"

   Ujar Jari Iblis.

   Kini, pertandingan siap dimulai.

   Masing-masing memasang kuda-kudanya dengan mantap.

   Gaungan Kapak besar yang diputar-putar orang bertampang kasar yang mengaku berjuluk Kapak Setan sesekali terdengar.

   Selangkah demi selangkah, mereka menjejaki panggung, mencari peluang yang tepat untuk memulai serangan.

   "Hiaaat!"

   Si Kapak Setan mulai menyerang dengan kapaknya yang berdesing membelah udara, menuju dua kaki kurus Jari Iblis.

   Namun serangan itu dielakkan dengan mudah oleh Jari Iblis, dengan sedikit bergeser ke belakang.

   lantas, sebelah kakinya secepat angin topan membabat kepala Kapak Setan yang merendah.

   Jebbb! Mau tak mau si Kapak Setan terpaksa menjatuhkan diri kepermukaan panggung, dan secepatnya berguling menjauh.

   Kini dia bangkit kembali.

   Tapi sebelum kuda-kudanya mantap benar, Jari Iblis melepaskan serangan bertubi-tubi dengan dua jari menegang bagai mata pedang ke arah bagian-bagian tubuh yang mematikan.

   Namun sampai sejauh itu Kapak Setan masih mampu menghindarinya.

   Belum sampai lima belas jurus berlalu, satu kelebatan tangan Jari Iblis bergerak cepat ke arah ulu hati.

   Tapi dengan cepat pula Kapak Setan memapaknya dengan punggung tangan.

   Plakkk! Sungguh di luar dugaan! Justru tenaga dorongan yang kuat ketika memapak itu dimanfaatkan Jari Iblis untuk memutar tubuhnya sambil mengelebatkan jari tangannya.

   Begitu cepatnya, sehingga tak bisa dihindari lagi oleh si Kapak Setan.

   Maka....

   Clap! "Aaakh...!"

   Si Kapak Setan kontan menjerit memilukan ketika jari tangan lawan menembus lehernya seperti menembus pelepah pisang.

   Matanya kontan mendelik ngeri.

   Dan begitu Jari Iblis mencabut jarinya dari leher, darah memuncrat memerciki panggung.

   Penonton seketika berseru ngeri.

   Dalam perlu dingan semacam itu, mestinya tidak perlu sampai mati.

   Karena, pertandingan ini semata-mata hanya untuk menentukan orang yang bakal menjadi pengawal Tuan Cokro Adi.

   Namun rupanya, Jari Iblis memang tidak pernah berniat memberi keringanan kepada siapa pun yang berurusan dengannya.

   Jari Iblis segera menjura, memberi hormat kepada hadirin.

   Wajahnya dingin, sedikit pun tidak memperlihatkan penyesalan.

   "Aku benci ini,"

   Geram Soma. Lalu, diajaknya Andika untuk pergi dari situ.

   "Ke mana, Kang? Pertandingan belum selesai, kata Andika enggan.

   "Aku muak melihat pembunuhan yang hanya karena uang seperti tadi...,"

   Jelas Soma.

   "Kalau begitu, Kang Soma harus naik ke panggung untuk menghentikan si kurus jelek itu agar tidak membunuh penantang yang lain,"

   Ujar Andika tanpa tedeng aling-aling. Andika sepertinya tidak takut kalau perkataan sampai ke telinga Jari Iblis.

   "Apa kau sudah gila?! Aku jelas bukan tandingan orang itu. Bahkan kemampuannya mungkin beberapa tingkat di atas guru kita sendiri...,"

   Sentak Soma.

   Belum lagi Soma sempat menarik keluar Andika dari kerumunan, kembali terdengar jeritan menggiriskan dari atas panggung.

   Rupanya seorang lagi menemui kematian di tangan Jari Iblis.

   Dan Soma makin tidak betah untuk tetap di sana.

   Agak kasar dan tergesa, ditariknya tangan Andika.

   "Hei! Berhenti!"

   Bentak seseorang di antara kerumunan. Soma menoleh bingung. Rasanya, dia tidak berbuat suatu kesalahan? Lalu, kenapa orang itu menyuruh berhenti dengan nada kasar seperti itu? Astaga! Mendadak Soma menyadari kebrengsekan Andika.

   "Copeeet!"

   Teriak orang yang membentak tadi.

   Tak salah lagi, ini pasti akal Andika.

   Dengan membuat kericuhan di tengah-tengah kerumunan, maka perhatian pengunjung akan beralih dari panggung.

   Hasilnya, kekejaman yang dilakukan Jari Iblis akan terhenti.

   Entah untuk berapa lama....

   "Lari, Andika! Lari...!!' seru Soma seraya menarik kuat kuat pergelangan tangan yang dipegangnya. Sekali lagi. Soma terkejut bukan main! Ternyata yang ditariknya bukan lagi tangan Andika, melainkan tangan seorang laki-laki tua. Soma hanya bisa mendengus kesal. Rupanya pada saat dia terpana barusan, anak kunyuk itu sempat menukar tangannya dengan tangan seorang aki yang kebetulan berada di dekatnya. Tentu orang tua keriput itu mengamuk sejadi-jadinya. Bibirnya yang sudah berlipat keriput seperti kain lusuh,menyemburkan makian pedas, tepat di depan hidung Soma. Bahkan makian orang tua di depannya juga disertai gerimis kecil yang terlontar dari mulutnya. Dengan bibir tersenyum kecut, Soma mengusap wajahnya yang hampir basah oleh air ludah. Naas sekali nasibnya hari ini. Setelah itu Soma tersadar pada keadaan Andika.

   "Ke mana bocah brengsek itu sekarang?"

   "Andika...!"

   Teriak Soma kelimpungan.

   Sungguh mati, Soma begitu khawatir terhadap pemuda tanggung itu.

   Entah kenapa, selama anak itu dikenalnya, dia seperti memiliki seorang adik yang patut mendapatkan perhatian.

   Namun orang yang diteriaki tidak terlihat batang hidungnya.

   Kerumunan orang begitu banyak, bagaimana mungkin mudah untuk mencari? "Andika! Di mana kau?!"

   Sementara di satu kerumunan lain, terjadi kekacauan. Beberapa orang berlari ke sana kemari di antara keramaian, mengejar seorang pemuda tanggung yang menjarah kantung-kantung uang milik mereka. Jelas anak itu adalah Andika.

   "Hei! Berhenti kau, Pencopet Keparat!"

   "Kuremukkan batok kepalamu, Bocah Jahanam!"

   "Tangkap! Tangkap!"

   Terdengar teriakan-teriakan korban jarahan tangan Andika yang melengking geram.

   "Jangan hanya teriak-teriak! Kejar aku kalau kali bisa, manusia kentut yang bermuka kentut, berjidat kentut, berdengkul kentut.... Pokoknya, kentut!"

   Balas, Andika tanpa rasa takut sedikit pun sambil berlari terbirit-birit.

   Selincah kera hutan, Andika menelusup di antara kerumunan orang.

   Berkali-kali orang-orang yang mengejarnya nyaris dapat menjambret bajunya, tapi selalu luput.

   Sampai akhirnya, Andika terkurung dengan tubuh merapat di pinggir panggung.

   Orang-orang yang mengejarnya makin dekat, dengan wajah disarati kekalapan.

   Mata mereka terlihat nyalang bagai ingin menelan Andika hidup-hidup.

   Selangkah demi selangkah, mereka mendekat dengan tangan terentang, takut kalau buruannya lolos lagi.

   Andika yakin, kalau sudah tidak bisa lagi meloloskan diri.

   Kecuali, dengan satu cara....

   Naik ke panggung pertandingan! Tubuhnya yang kurus itu pun cepat meIompat ke atas panggung setinggi bahu.

   Jleg! Manis sekali Andika mendaratkan kakinya di atas panggung.

   "Phuih!"

   Keluh Andika membuang napas.

   Memang sampai di situ orang-orang yang mengejar nya tidak lagi berani mendekati.

   Tentu saja mereka takut disangka menjadi penantang Jari Iblis yang kejam menggiriskan.

   Dan tujuh orang berpakaian perlente itu hanya menatapnya kebodoh-bodohan.

   Siapa yang sudi jadi makanan empuk jari-jari tangan si Jari Iblis? .

   Sementara Andika hanya merayapi mereka dengan iii |iiian mata.

   Senyum mengejeknya yang khas tersembul.

   Bukan itu saja.

   Dia malah melambaikan tangan, sehingga menimbulkan kejengkelan di hati pengejarnya.

   "Kau penantang berikutnya?"

   Tiba-tiba terdengar suara berat di belakang.

   Andika terkesiap.

   Darahnya serasa berhenti mengalir.

   Wajahnya kontan pucat.

   Gila! Sungguh tidak pernah disangka akan sejauh ini! Maka sambil menelan ludah susah payah, Andika berbalik.

   Tampaklah seraut wajah seraut yang menyeringai buas.

   Andika ingin menjelaskan segera pada Ki Bayuganda alias si Jari Iblis, kalau dia bukan penantang.

   Bahkan niat saja pun tidak.

   Sementara, pengunjung mulai berseru kaget.

   Suara-suara gumaman mulai terdengar seperti sekumpulan lebah.

   Mereka memandang Andika dengan mata yang sulit dijelaskan.

   Mungkin merasa heran, mungkin merasa terpana.

   Atau mungkin, merasa salah lihat.

   "Apa anak itu sudah sinting?"

   Kata salah seorang.

   "Apa itu anak sudah bosan makan nasi?"

   Seloroh yang lain.

   "Astaga! Semuda itu sudah menjadi pendekar dan berani pula menantang Jari Iblis. Ck ck ck...."

   "Itu anak konyol yang berlagak sakti, atau anak sakti yang berlagak konyol, ya?"

   Sementara itu, Andika berusaha mengucapkan kata-kata yang terasa terganjal di tenggorokan. Lidahnya pun jadi kelu. Dicobanya menggerakkan bibir, namun hanya sepotong-sepotong yang terucap.

   "Ba... bu... anu. aduh Mak...,"

   Gagap Andika.

   Jari Iblis sudah menjura hormat.

   Sebagai isyarat kalau sudah siap untuk memulai pertandingan.

   Sementara di kejauhan sana.

   Soma nyaris seperti orang gila.

   Dia ingin menerobos masuk menghampiri panggung dan menjelaskan duduk persoalannya kepada Jari Iblis, tapi orang-orang yang begitu kepingin tahu kejadian di atas panggung, membuat kerumunan jadi padat dan sulit ditembus.

   "Andika! Turun...!"

   Teriak Soma, kalang kabut.

   Sedangkan Ki Bayuganda pun mulai menyusun langkah perlahan....

   *** Andika sebenarnya bukan tergolong anak pengecut.

   Sebagai orang yang pernah terbenam dalam dunia gelandangan, dia sering berhadapan dengan maut.

   Sewaktu masih menjalani kegiatannya menjarah kantung-kantung uang milik orang-orang kaya berhati busuk, pernah suatu kali bahu kirinya tertembus sebilah belati yang dilemparkan oleh korban jarahannya.

   Kalau saja saat itu belati yang menancapnya mengenai tubuh nya lebih ke bawah, mungkin dia sudah di alam lain dengan perantara belati yang menembus jantungnya Kalau kali ini jantungnya memburu keras dengan wajah memucat, sebenarnya wajar saja.

   Dirinya kini hadapkan pada dua pilihan yang sama-sama berat, dan sama-sama bisa melemparnya ke neraka.

   Andai dia memilih turun, maka orang-orang yang memburunya tentu akan menghajarnya.

   Kalau memilih diam, dia harus berhadapan deng jari maut milik Ki Bayuganda.

   Kini mata dingin Ki Bayuganda menembuskan kengerian ke seluruh persendian Andika.

   Nyali pemuda tanggung itu benar-benar bagai dihimpit habis-habisan.

   Kaki kurus Ki Bayuganda yang tertutup jubah batas betis melangkah satu-satu di permukaan panggung, dari kayu.

   Langkah-langkahnya yang berbau maut, begitu menghentak jantung Andika.

   Jurus-jurus pembuka pun mulai dimainkannya.

   Dua jari dari masing-masing tangan yang masih memerah oleh darah, mengejang Tanpa memperdengarkan teriakan, jari Ki Bayuganda melesat ke arah dada Andika dengan kecepatan dahsyat.

   Bagi pemuda tanggung yang tidak pernah mempelajari ilmu tenaga dalam dan kecepatan, tusukan jari Ki Bayuganda mustahil untuk dihindari.

   Pada saat jari berkecepatan kilat itu hanya tinggal dua jengkal lagi dari dada Andika, tiba-tiba....

   "Uts!"

   Tubuh Andika seketika melenting bagai selembar bulu di udara. Sebentar dia berputaran, lalu hinggap tanpa sedikit pun suara di belakang Ki Bayuganda.

   "Kurang ajar!"

   Dengus Jari Iblis.

   Sementara Andika hanya terkesiap.

   Tangannya mendekap dada yang sebelumnya akan menjadi sasaran jari-jari menyeramkan Ki Bayuganda.

   Matanya belum berani melirik ke dada, sebab di kepalanya sudah terbayang darah yang mengalir deras dari bagian tubuh yang dikiranya terkena.

   Tapi ketika matanya mencoba melirik, ternyata dadanya masih utuh.

   "Apa yang baru saja kulakukan? Mungkinkah aku bermimpi?"

   Pada saat gawat tadi, Andika memang hanya mengikuti naluri untuk menyelamatkan diri.

   Dia hanya sekadar mencoba berkelit dengan melenting semampunya.

   Namun, yang terjadi justru di luar dugaan sama sekali.

   Dia mampu melewati kepala Jari Iblis dan mendarat ringan di belakangnya.

   Demikian juga Soma di kejauhan.

   Mulutnya tanpa sadar terbuka karena demikian terpana.

   Rasanya sulit dipercayai apa yang baru dilihatnya.

   "Aneh..., aneh!"

   Bisik batin Andika berkali-kali.

   Sebelum sempat Andika terpesona lebih jauh oleh apa yang dilakukannya barusan, Ki Bayuganda sudah melancarkan serangan susulan yang lebih beringas! Kemarahannya mencuat begitu saja, karena merasa telah dipermainkan oleh anak tanggungyang tak pernah dikenalnya dalam dunia persilatan.

   Beberapa jurus yang diruntunkan untuk menghabisi Andika.

   Namun, pemuda tanggung itu lincah sekali berlompatan menghindarinya.

   Seberapa cepat pun Bayuganda mengerahkan jurus-jurusnya, tetap belum menggores kulit Andika sedikit pun.

   Para pengunjung memang terpesona melihat adegan seru itu.

   Tapi bukan oleh kehebatan gerakan kedua orang itu, melainkan justru pertarungan yang sulit diikuti mata biasa.

   Gerakan mereka bagai kilasan-kilasa bayangan saja.

   Padahal jika mereka bisa melihat, gerakan Andika sama sekali tidak menunjukkan sedang bertempur, melainkan gerakan ngawur yang begitu cepat! Sekali lagi tubuh Andika melenting ke udara dan mendarat di bibir panggung, tepat di belakang si Jari Iblis.

   Wukkk! Deb deb deb...! Andika pun mulai menyusun kuda-kuda.

   Setiap kaki atau tangannya bergerak dengan pemusatan penuh terdengar deru yang sampai di tempat Soma berdiri "Hiaaat...!"

   Sementara Ki Bayuganda kembali merangsek dengan teriakan kemarahan membakar dahsyat.

   Dan tubuh mereka berdua lantas seperti menyatu dalam pusaran gerakan-gerakan luar biasa.

   Sebentar saling pisah, sebentar kemudian menyatu kembali.

   Sementara para penonton seperti terkena tenung saja.

   Mereka benar-benar menjadi patung hidup, menyaksikan pertarungan luar biasa itu.

   Bagi yang mempunyai penglihatan jeli, mereka akan melihat kalau si Jari Iblis begitu bernafsu untuk cepat menjatuhkan Andika.

   Jari-jarinya yang setajam mata pisau berkelebatan cepat sekali.

   Namun sampai sejauh ilu, Andika masih mampu menghindari dengan kelitan-kelitannya yang lincah.

   Namun tak urung, beberapa bagian tubuh Andika sempat tersayat jari-jari bagai baja ilu.

   Pada suatu kesempatan, Ki Bayuganda yang berjuluk Jari Iblis mencoba membabatkan jarinya ke arah leher Andika.

   Namun di luar dugaan, serangan itu sama sekali tidak dihiraukan oleh pemuda tanggung itu.

   Baru ketika serangan itu hampir menyentuh Ieher, Andika cepat menarik kepalanya ke belakang.

   "Uts!"

   Begitu serangan itu bisa dihindari, Andika cepat memutar tubuhnya seraya melepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga Jari Iblis tak bisa lagi menghindari. Degh...! "Aaakh...!"

   Satu pukulan dengan punggung tangan telak sekali mendarat di leher Jari Iblis.

   Di ringi jerit kesakitan tubuh Ki Bayuganda terpental keras, melayang bagai tanpa bobot.

   Dari mulutnya, tersembur percikan merah yang menciprati sebagian penonton.

   Ketika jatuh berdebum di tanah, barulah or~ orang tahu kalau Ki Bayuganda atau si Jari Iblis-lah y melayang.

   Dan ketika menyentuh tanah, dia sudah k hilangan nyawa.

   Matilah tokoh kejam itu di tangan orang anak tanggung yang tak pernah sedikit pun dj sebut-sebut dalam rimba persilatan.

   Di panggung, tampak Andika berdiri kuyu dengan pakaian tercabik di sana-sini.

   Di beberapa bagian tubuh nya, darah mengalir akibat besetan jari tangan Ki Bayuganda.

   *** Senja mulai meremang di Perguruan Trisula Kembar.

   Di depan padepokan, tampak Andika tengah termenung.

   Memang, setelah menamatkan riwayat Jari Iblis, pikirannya mulai dirasuki keinginan untuk menjajal keanehan yang terjadi tiba-tiba dalam dirinya.

   Tatkala Cokro Adi, saudagar yang mengadakan pertandingan itu mendekatinya untuk memberi ucapan selamat, tanpa banyak bicara lagi Andika berusaha melompat sekuat tenaga dari atas panggung.

   Nyatanya, keajaiban itu tetap tinggal dalam dirinya.

   Tubuhnya tiba-tiba terasa begitu ringan, hingga lompatannya mencapai jarak dua puluh tombak.

   Masih dengan terheran, kakinya lalu menjejak ringan di atas beberapa kepala para pengunjung, berlari di atas mereka.

   Padahal, itu hanya dapat dilakukan oleh tokoh golongan atas! Andika terus berlari dalam keheranan tak habis-habisnya menuju Perguruan Trisula Kembar.

   Bahkan tanpa sadar, Soma yang tertinggal di kotapraja sampai dilupakannya.

   "Astaga...! Apa yang terjadi, Andika?!"

   Sebuah suara bernada terkejut membuyarkan lamunannya.

   Menyadari ada orang yang menegurnya, Andika menoleh.

   Tampak Ningrum sedang memperhatikannya dengan wajah terkejut.

   Gadis itu benar-benar kaget melihat keadaan Andika dengan pakaian terkoyak-koyak bernoda darah dan luka-luka yang masih meneteskan darah meski tidak terbilang parah.

   "Ng.... Jatuh dari pedati tadi, Nini...,"

   Elak Andika, herbohong. Ningrum mendekatinya. Dipegangnya bahu Andika yang terluka.

   "Tapi, kenapa lukamu ini seperti terkena benda tajam?"

   Tanya Ningrum, agak heran.

   "Ah! Barangkali hanya terkena batu tajam...."

   "Tunggu di sini sebentar! Akan kuambilkan ramuan untuk membalut luka-lukamu supaya cepat mengering,"

   Ujar Ningrum seraya berdiri, lantas pergi mengambil ramuan.

   Sebenarnya setiap kali pemuda tanggung itu bertumbukan mata dengan gadis yang lebih tua lima tahun tadi, hatinya akan merasa senang bukan kepalang.

   Namun untuk saat ini, benaknya masih tetap disibuki oleh kejadian seperti mimpi yang dialami kemarin malam.

   "Apa yang terjadi sebenarnya? Apa arti semua ini?"

   Andika kembali merenung. Matanya kosong memandang lurus.

   "Mukjizatkah? Atau, barangkali aku sudah gila dan membayangkan hal yang bukan-bukan?"

   Tiba-tiba sepasang tangan halus menyadarkannya kembali. Ternyata tangan Ningrum. Dengan bibir tersenyum, gadis itu mulai membalut luka-luka Andika dengan ramuan dan akar tumbuhan.

   "Terima kasih sekali, Nini...,"

   Ucap Andika dengan menatap sejurus pada mata bulat Ningrum. Ditatap seperti itu, Ningrum jadi tersipu. Bergegas matanya dilepaskannya dari tatapan lekat Andika. Dia sendiri heran.

   "Kenapa berlaku seperti itu. Tatapan tajam mata anak tanggung itu seperti memiliki pesona tersendiri. Sinarnya langsung menerabas langsung ke hatinya yang paling dalam. Padahal, Ningrum sendiri lahu kalau usia Andika lebih muda darinya. Aneh!"

   "Sudahlah.... Lain kali, kau harus hati-hati jika sedang di atas pedati...,"

   Kata gadis itu lembut.

   Andika mengangguk.

   Matanya tetap memperhatikan wajah ayu Ningrum yang kini mulai bersemu merah.

   Ningrum beranjak pergi.

   Begitu ringan kakinya melangkah.

   Dan begitu gadis itu hilang dari pandangan, Soma muncul.

   Dia langsung menghampiri Andika yang masih menatap ke arah kepergian Ningrum.

   "Siapa kau sebenarnya Andika?"

   Tanya Soma, begitu tiba di depan Andika. Andika mengangkat wajah dengan keningberkerul "Ada apa, Kang Soma? Mengapa kau berkata seperti itu?"

   "Sewaktu pertama kali ke sini, kau mengatakan kalau kau seorang anak gelandangan yang ingin belajar sedikit ilmu bela diri. Di kotapraja tadi, nyatanya kau dapat membinasakan tokoh kejam yang banyak ditakuti orang...,"

   Papar Soma. Barulah Andika mengerti maksud pertanyaan tadi Kepalanya hanya menggelengkan perlahan, sebagai jawaban.

   "Apa maksudmu?"

   Desak Soma. Andika menarik napas dalam-dalam dan mengheml buskannya kuat-kuat.

   "Semua yang kukatakan dulu memang benar, Kang. Aku memang gelandangan kotapraja. Aku tidak berbohong, termasuk cerita hidupku yang dibesarkan oleh pencopet tua licik itu. Kalau di kotapraja tadi aku mampu mengalahkan Ki Bayuganda, aku sendiri tidak tahu kenapa...,"

   Kata Andika. Soma berbalik membelakangi Andika.

   "Entah kenapa, aku belum bisa mempercayai itu,' tegas Soma.

   "Sungguh, Kang.... Aku berani sumpah!"

   Tidak ada tanggapan dari Soma. Dia tetap diam sambil melipat tangan di dada. Sikapnya persis saat pertama kali Andika bertemu dengannya.

   "Mungkin benar juga kata adik seperguruanku dulu kau memang mata-mata dari perguruan lain yang hendak berniat jahat terhadap kami,"

   Kata Soma perlahan namun menusuk. Selesai mengucapkan itu, Soma meninggalkan Andika begitu saja. Kakinya melangkah lebar-lebar, dengan hentakan kuat.

   "Kang..., Kakang harus percaya padaku!"

   Tanpa ada yang tahu, di salah satu ranting dahan yang tidak besar, di luar pagar perguruan seseorang tengah berdiri tanpa menimbulkan bunyi.

   Dari caranya berdiri, jelas ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat tinggi.

   Dan kalau melihat ciri-cirinya, orang itu adalah Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa.

   Memang, sejak dari kotapraja, tepatnya sejak Andika memperlihatkan kemampuan ajaibnya yang mampu menghabisi Ki Bayuganda, Begal Ireng terus mengawasi Andika dengan sinar mata menerkam.

   Sebagai orang yang pernah bertarung melawan Ki Panji Agung, Begal Ireng melihat adanya kesamaan pada jurus-jurus yang diuraikan Andika.

   Jelas, jurus-jurus itu milik Ki Panji Agung.

   Sebetulnya, Begal Ireng tidak akan menemukan letak Perguruan Trisula Kembar.

   Buktinya saat membuntuti Andika yang berlari dengan kecepatan angin menuju perguruan, tokoh golongan hitam itu terteter.

   Bahkan akhirnya kehilangan jejak.

   Kemarahan besarnya ditumpahkan pada pepohonan hutan.

   Bagaimana dia tidak murka, jika ilmu meringankan tubuhnya ternyata mampu dipecundangi anak ingusan? Soma yang pulang menggunakan pedati, kebetulan melewati tempat Begal Ireng kehilangan jejak.

   Kembali Begal Ireng menaruh harapan dapat menemukan Andika, dengan mengikuti Soma.

   Akhirnya.

   dia memang berhasil.

   Tampak bibirnya kini menyeringai puas.

   Tanpa bersuara dia turun dari pohon.

   "Tunggulah kau, Anak Keparat! Tidak akan pernah ada keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan selama aku masih ada...."

   Dengus Begal Ireng.

   Begitu banyak hal yang tidak dimengerti dalam hidup Andika.

   Hal seperti itu yang terus bergeliat dalam benaknya hari-hari belakangan ini.

   Setiap kali Ki Sanca menemukannya, pasti sedang merenung dengan pandangan kosong.

   Ki Sanca menyangka, perubahan yang terjadi pada diri Andika akhir-akhir ini hanya masalah akil baliknya yang mulai meraba arti cinta.

   Sebab, memang ada desas-desus dari beberapa muridnya, mengenai sikap Andika terhadap Ningrum.

   Makanya, dia hanya tersenyum setiap kali memergoki anak tanggung itu berdiam diri berlama-Iama.

   Padahal, pertanyaan-pertanyaan tentang diri sendirilah yang lebih menguasai pikiran Andika.

   "Siapa dirinya sebenarnya? Siapa orangtuanya? Kenapa dia harus dibuang di pinggir hutan saat bayi? Lalu belakangan ini, apa pula yang terjadi pada dirinya?"

   Beberapa hari lalu Andika memang telah bermimpi aneh.

   Mimpi yang mengusik tidurnya, sebelum peristiwa di kotapraja terjadi.

   Dalam mimpinya, dia didatangi seorang kakek berjenggot dan berambut putih.

   Keningnya mengenakan ikat merah.

   Kewibawaan tampak terpancar dalam wajah orang tua yang datang dalam mimpi itu.

   Orang tua itu tersenyum pada Andika tanpa sepatah kata.

   Tangannya mengangsurkan sesuatu yang bercahaya menyilaukan.

   Dan tanpa sepatah kata pula, Andika menerimanya.

   Setelah itu, Andika terbangun pada saat matahari sudah naik sepenggalan.

   Tanpa pernah diketahui Andika sendiri, bertepatan dengan mimpinya, cahaya keperakan yang keluar dari jasad Ki Panji Agung yang mati dibunuh Begal Ireng masuk dalam tubuhnya.

   "Andika..."

   Tiba-tiba sebuah panggilan terdengar. Maka anak muda yang termenung dengan wajah tanpa sinar gairah itu tersentak. Begitu menoleh, ternyata Ki Sanca sudah ada di depannya.

   "Ah, Guru.... Aku sampai kaget,"

   Kata Andika berusaha bersikap wajar pada Ki Sanca. Dia segera bangkit.

   "Sore ini kau tidak ada kerjaan, bukan?"

   Andika mengangguk sopan.

   "Bagus! Kalau begitu, kau harus menolongku?"

   "Pasti, Guru. Apa yang bisa aku bantu, Ki?"

   Ki Sanca tak langsung menjawab, tapi malah mengangguk-angguk. Bibirnya menyembulkan senyum kecil.

   "Tolong antarkan Ningrum ke pinggir hutan. Dia ingin mencari beberapa jenis dedaunan dan akar-akaran. Persediaannya hampir habis,"

   Ujar Ki Sanca.

   "Apa Guru percaya padaku, kalau aku mampu menjaga Nini Ningrum? Bukankah ada yang lebih mampu menjaganya, seperti Kang...,"

   Sergah Andika merasa dirinya dicomblangi.

   "Sttt! Katanya kau mau menolongku. Kok, tiba-tiba seperti menolak?"

   Kata Ki Sanca. Andika garuk-garuk kepala, meski tidak gatal. Rasanya dia sudah terjebak.

   "Baiklah, Guru...."

   Kembali Ki Sanca tersenyum kecil.

   "Ng.... Tunggu, Guru!"

   Cegah Andika ketika Ki Sanca hendak beranjak pergl "Ada apa lagi?"

   "Apa Kang Soma bercerita sesuatu pada Guru? tanya Andika ragu-ragu. 'Bercerita tentang apa?"

   Andika cepat-cepat menggelengkan kepala.

   "Tidak apa-apa."."

   Ki Sanca jadi ikut geleng-geleng kepala melihat tingkah anak muda ini yang serba salah. Dia hendak meneruskan langkah, namun....

   "Guru...,"

   Lagi-lagi Andika mencegahnya.

   "Ada apa lagi?"

   Tanya Ki Sanca dengan alis mata terangkat karena bingung.

   "Boleh menanyakan sesuatu?"

   "Pasti! Masa' aku tidak membolehkan muridku bertanya,"

   Seloroh Ki Sanca.

   "Guru tahu mengenai tafsir mimpi?"

   "Sedikit-sedikit. Kenapa?"

   Ki Sanca mendekati kembali Andika yang masih berdiri.

   Sesaat orang tua itu menunggu, Andika belum juga mengatakan sesuatu.

   Pemuda tanggung itu agak ragu untuk menceritakan tentang mimpinya.

   Hatinya hanya bimbang kalau-kalau mimpi itu tidak berhubungan sama sekali dengan kejadian aneh pada dirinya.

   Atau paling tidak mimpi itu sekadar kembang tidur.

   "Ayo! Apa yang ingin kau tanyakan?"

   Desak Ki Sanca. Akhirnya Andika memutuskan untuk bercerita juga.

   "Anu, Ki.... Aku bermimpi didatangi seorang tua berjenggot putih, kepalanya mengenakan ikat kepala merah. Wajahnya amat berwibawa dan teduh. Dia memberiku sesuatu, tapi aku tidak tahu apa. Yang jelas, sesuatu itu bercahaya kemilau keperakan. Apa artinya itu, Guru?"

   Begitu selesai mendengarkan cerita Andika, wajah tua Ki Sanca tiba-tiba saja seperti diselubungi sesuatu yang sulit dijelaskan.

   Sepasang alis putihnya bertaut sedemikian rupa, menunjukkan kalau pikirannya tengah diusik oleh hal yang nampaknya sungguh-sungguh.

   Dan itu membuat Andika jadi penasaran.

   "Apa artinya itu, Guru?"

   Ulang Andika dengan tekanan pada kata-katanya. Dan Andika melihat adanya keanehan ketika Ki Sanca berusaha menghindar dari pertanyaan itu.


Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long

Cari Blog Ini