Ceritasilat Novel Online

Lembah Kutukan 2


Pendekar Slebor Lembah Kutukan Bagian 2



"Nah! Ningrum sudah datang.... Ayo, antarkan dia!"

   Kilah Ki Sanca untuk menghindar dari pertanyaan Andika. ' "Tapi, Guru...."

   "Ayo! Jangan membantah gurumu, Anak Brengsek. Ki Sanca memperlihatkan senyum pada Andika, tahu kelihatan kalau dipaksakan. Tidak lagi lepas seperti sebelumnya. Dan mau tidak mau, Andika pergi juga ketika Ningrum sampai di tempat mereka berdiri. Kakinya kelihatan berat dalam melangkah mengiringi Ningrum keluar dari perguruan. *** Api membumbung ke angkasa menyebarkan asap hitam pekat menyemarakkan langit. Si jago merah yang tak kenal kata ampun itu kelihatan menggila, melalap apa Scja yang di dekatnya. Asal kebakaran itu, tepat berada di bukit yang menjadi letak Perguruan Trisula Kembar. Perguruan yang tenang bagai perkampungan kecil di atas bukit itu perlahan-lahan mulai musnah. Padahal, perguruan itu tak pernah membuat persoalan dengan urusan dunia luar. Bahkan perguruan itu tempat orang yang lari dari kebrutalan rimba persilatan. Di sana-sini bangkai manusia tercampak mengenas-kan. Sebuah pembantaian besar-besaran telah terjadi. Seluruh laki-laki tak tersisa. Juga, tak terhitung wanita yang menemui ajal. Mereka dihabisi seperti binatang dengan luka terkuak lebar di tubuh. Beberapa wanita yang beruntung masih memilik nyawa pun keadaannya sungguh menyedihkan. Dengan luka tak ringan, mereka merangkak keluar dari kepungan api. Tangisan anak kecil yang kehilangan orangtuanya terdengar di beberapa tempat.

   "Guru...! Guru...!"

   Andika yang baru saja tiba mengantar Ningrum jadi terkesiap tak percaya.

   Tanpa mempedulikan Ningrum, dia berlari sambil berteriak-teriak.

   Dilabraknya kepungan api dengan satu kecepatan yang kini dimilikinya.

   Tubuhnya bagai mengejang dironta kekuatan sakti yang tidak pernah dimengerti.

   Beberapa balok kayu yang runtuh hendak menimpa anak-anak dan perempuan yang masih hidup, terpental seperti sebatang lidi terhajar lengan kurus Andika.

   Lalu dengan kecepatan yang hanya dimiliki tokoh persilatan golongan atas, diraihnya mereka satu demi satu, dan dikeluarkannya dari kepungan api.

   "Guru...! Kang Soma! Di mana kalian?!"

   Setelah tidak ada lagi yang bisa diselamatkan, Andika mulai memeriksa seluruh mayat yang bergelimpangan.

   Bagai kerasukan setan, dia mencari-cari Soma dan gurunya di antara mayat-mayat yang sudah hangus menghitam.

   Sebentar saja Soma ditemukan Andika dalam keadaan benar-benar mengenaskan.

   Tubuhnya tercabik-cabik di sana-sini.

   Tak jauh dari mayat Soma, Andika menemukan tubuh Ki Sanca dalam keadaan sekarat.

   Tangannya menggapai-gapai lemah ke arahnya.

   Tak beda dengan keadaan Soma, orang tua itu pun tercabik menggidikkan.

   Andika cepat menghampiri, dan menubruknya.

   Lalu, diambilnya kepala Ki Sanca, dan disandarkan di bahunya.

   "An... dika,"

   Panggil Ki Sanca, lirih.

   "Guru.... Tenang, Guru.... Aku menyelamatkanmu, Guru... kau harus selamat, Guru...,"

   Ucap Andika terbata. Ki Sanca menggeleng perlahan sekali di pangkuan Andika.

   "Aku tak tahan.... Aku tak akan hidup lebih lama, Andika...."

   "Jangan bicara seperti itu, Guru...."

   Dari balik jubahnya, Ki Sanca mengeluarkan satu kitab berukuran kecil, sebesar telapak tangan Orang dewasa. Tangannya bergetar memberikan kitab itu pada Andika.

   "Bacalah kitab ini...,"

   Ujar orang tua itu, lirih.

   "Kitab itu menceritakan tentang keluarga Pendekar Lembah Kutukan.... Aku pernah dititipkan kitab ini oleh salah seorang pendekar dari keluarga itu. Tampaknya, dia begitu yakin kalau aku dapat menyampaikan suatu saat pa...."

   "Sudahlah, Guru. Jangan terlalu banyak bicara,"

   Sergah Andika.

   "Aku tidak peduli dengan kitab ini. Itu tidak ada hubungannya denganku. Yang penting, kau harus selamat, Guru...."

   Ki Sanca hanya menggelengkan kepala. Bibirnya mengembangkan senyum bersama darah di sisi-sisinya.

   "Bacalah... itu milikmu, aaakh!"

   Begitu selesai mengucapkan kata-katanya, Ki Sanca meregang nyawa. Tubuhnya mengejang, lalu diam tidak bergerak lagi. Mati.

   "Guru, Guru..., jangan mati! Siapa yang berbuat sebiadab ini?! Guru...,"

   Teriak Andika, seakan kehilangan orangtua sendiri.

   Pemuda itu hanya bisa terduduk lunglai.

   Pipinya basah oleh air yang mengalir dari sepasang matanya.

   Sang Penguasa Jagat menurunkan cahaya.

   Untuk tiga purnama tapa.

   Pada hamba.

   Lalu hamba berdiri untuk berjanji Angkara murka di wajah bumi Mesti mati Ketika hamba terbujur mati Cahaya itu hamba warisi Pada setiap babak keturunan keluarga hamba.

   Satu menjadi pewaris cahaya.

   Alis mata Andika bertaut saat membaca bait syair pada kitab yang hanya memiliki dua halaman terbuat dari kayu setebal jarinya.

   "Apa maknanya ini?"

   Tanya Andika, bergumam sendiri.

   Lalu dibacanya halaman kedua.

   Sang Pewaris datangi Lembah Kutukan.

   Jalani penyempurnaan.

   Alam selaku guru.

   Untuk satu ilmi.

   baru.

   Sementara tanpa para 'Penjaga Pintu' berkipas naga.

   Sang Pewaris tak pernah tahu ke mana.

   "Apa pula makna bait satu ini?"

   Andika bingung. Kepalanya digaruk-garuk, seakan dengan begitu bisa membuka pikirannya sehingga dapat memecahkan maksud syair yang baru saja dibaca.

   "Apa mungkin Ki Sanca salah alamat dengan memberikan kitab kayu itu padaku?"

   Setelah peristiwa pembumi hangusan Perguruan Trisula Kembar, Andika bersama Ningrum berjalan tanpa tujuan pasti.

   Dan akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi ke kotapraja.

   Di sana, mungkin mereka bisa hekerja sebagai pelayan kedai makan, atau menjadi buruh harian.

   Pokoknya, asal bisa makan untuk menyam-bung hidup.

   Penampilan Andika sengaja dibuat berbeda dari sebelumnya.

   Secara sadar, dia dapat mencium maksud pembantaian Perguruan Trisula Kembar yang dilakukan orang biadab.

   Meski belum tahu siapa yang telah melakukannya, namun diyakini kalau orang-orang biadab itu sebenarnya mengincar dirinya.

   Barangkali, ada hubungannya dengan peristiwa di kotapraja lalu.

   Makanya, dia kini mengenakan caping agar wajahnya tidak mudah dikenali.

   Pakaiannya pun diganti.

   Baju-baju milik Ki Sanca yang tersisa dalam kebakaran, dibuntal dalam kain putih agar bisa dikenakan.

   Kini, penampilannya bagai seorang pendekar.

   Jubahnya hitam-hitam dengan trisula kembar milik Ki Sanca terselip di pinggang.

   Di sebuah kandang kuda tak terpakai di sudut kotapraja, Andika membaca berkali-kali kitab kayu itu.

   Diperhatikannya baris demi baris syair di dalamnya.

   Dan tiba-tiba, tersembul di benaknya pertanyaan yang mula-mula harus dijawab.

   "Kenapa Ki Sanca beranggapan kalau diriku adalah orang yang berhak menerima kitab tua itu?"

   Sesaat dia berpikir. Otakny ayang memang tajam, cepat menemukan jawabannya.

   "Mimpi itu!"

   Pekik Andika, bagai bocah kecil yang mendapat mainan.

   Bukankah beberapa saat sebelum peristiwa pembantaian itu, Andika menceritakan tentang mimpinya kepada Ki Sanca? Maka dengan terburu-buru dibukanya halaman kayu pertama, dan dibacanya dengan seksama.

   Pada syair itu, disebutkan tentang 'cahaya'.

   Maka ingatan Andika langsung menerawang pada mimpi yang dialami.

   Namun mimpinya pun kelihatan seperti ada cahaya.

   Lalu, diperhatikannya satu baris lain.

   "Cahaya itu hamba warisi!"

   Gumam Andika, membaca syair itu. Lagi-lagi pemuda tanggung itu membayangkan mimpinya, tentang seorang tua yang memberinya cahaya berkilau.

   "Apakah pemberian cahaya berkilau keperakan itu bermakna mewariskan?"

   "Kalau begitu, aku adalah salah seorang pewaris 'cahaya"?! Dan itu, berarti aku adalah salah satu ke turunan dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan..., desah Andika. Andika menyipitkan mata. Rasanya sulit hal itu di percayainya. Tapi bagaimana dengan kejadian aneh yang dialami Andika? Tentang kekuatan dahsyat itu? Tentang kecepatan kilat larinya? Sedangkan pada syair jelas-jelas disebutkan kalau para tokoh sakti keluarga Pendekar Lembah Kutukan mendapatkan 'cahaya' melalui tapa untuk membasmi keangkara murkaan. Itu berarti 'cahaya* yang disebutkan dalam syairnya adalah sebuah kesaktian yang luar biasa. Persis seperti kesaktian yang tiba-tiba saja dimilikinya! "Jadi, aku adalah keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan yang kehebatannya sudah seperti do-ngeng? Apa ini bukan mimpi?"

   Desah Andika.

   "Andika...."

   Dari luar kandang kuda, Ningrum datang tergopoh raengejutkan Andika. Cepat-cepat Andika menyembunyikan kitab kayu di tangannya ke balik pakaian. Dia merasa, kerahasiaan kitab kayu itu harus dijaga. Bahkan kepada Ningrum sekalipun.

   "Ada apa, Nini?"

   Tanya Andika, seraya menatap gadis cantik itu. Gadis ayu yang baru pulang dari kedai makan tem patnya kini bekerja sebagai pelayan, cepat menghampiri Andika.

   "Di kedai tadi, kudengar tiga orang berwajah seram raenyebut-nyebut soal Perguruan Trisula Kembar...,"

   Bisik Ningrum. Andika segera berdiri, ingin memperhatikan sungguh-sungguh berita yang dibawa Ningrum selanjutnya.

   "Apa kata mereka?"

   Tanya Andika, amat penasaran.

   Api kemarahan dalam dada Andika atas peristiwa pembantaian perguruan yang sudah seperti keluarganya sendiri, berkobar kembali.

   Lebih-lebih, ketika ingatannya kembali pada gambaran tubuh Soma dan Ki Sanca yang mengenaskan.

   Andika telah bersumpah untuk mencari orang-orang biadab yang melakukannya.

   Bahkan menuntut pembayaran atas perbuatan keji mereka "Kudengar, merekalah yang melakukan pembantaian itu.

   Dan kalau tidak salah dengar, pembantaian itu dilakukan sebenarnya dengan maksud mencari seorang anak muda tanggung.

   Apa mungkin kau yang dicari?"

   "Jahanam! Mereka mungkin kawan-kawan si Jari Iblis yang ingin menuntut balas padaku...,"

   Desis Andika. disertai gejolak kegeraman.

   "Apa katamu, Andika?"

   Tanya Ningrum ingin tahu, Andika menggelengkan kepala menyadari kelan cangan mulutnya, dengan mengungkap kejadian yang mestinya tetap dirahasiakan.

   "Tidak..., tidak apa-apa, Nini...,"

   Kilah Andika. Sementara, Ningrum menatap cemas pada pemuda tanggung ini. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya, tapi tak ingin diungkapkannya.

   "Apa mereka masih di sana?"

   Tanya Andika kembali.

   "Sewaktu aku ke sini, mereka pergi menuju timur...,"

   Jelas Ningrum.

   "Apa Nini kenal mereka?"

   Ningrum menggeleng.

   "Ciri-cirinya?"

   Ningrum pun menguraikan ciri-ciri ketiga orang bertampang bengis itu.

   Mereka memang Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa dan dua orang Tiongkok yang membantunya.

   Siapa lagi kalau bukan si Kembar dari Tiongkok! *** Ketika malam telah merayap.

   Dan ketika Andika terlelap.

   Orang tua berikat kepala merah itu datang lagi dalam mimpi Andika malam ini.

   Kalau saja anak muda tanggung ini pernah mengenal atau pernah melihat Ki Panji Agung yang kesohor itu, sudah tentu akan langsung mengenali gambaran seseorangyang muncul dalam mimpinya.

   Dengan senyum berwibawa, Ki Panji Agung dalam mimpi itu membelai-belai rambut Andika.

   "Pergilah kau ke Lembah Pandam. Temui wanita Penjaga Pintu' di sana, pada malam purnama..."

   Ujar Ki Panji Agung, lembut.

   Begitu kata-kata itu selesai, Andika terjaga dengan peluh membasahi sekujur wajah.

   Tidak ada yang menakutkan dalam mimpi itu.

   Tapi entah kenapa, jantungnya berdetak keras dan napasnya memburu kencang.

   Barangkali mimpi itu semacam satu kekuatan gaib yang menelusup dalam rongga jiwanya.

   Sambil menyapu keringat di kening, Andika mengingat kembali pesan orang tua dalam mimpinya.

   Lembah Pandam? 'Penjaga Pintu'! Begitu cepat ingatannya kembali pada syair di halaman kedua kitab kayu pemberian Ki Sanca.

   Sepertinya ada kesamaan antara pesan itu dengan salah satu baris syairnya.

   Cepat diambilnya kitab dalam buntalan yang tadi dijadikan bantal.

   Sebelum kitab itu benar-benar dikeluarkannya, diliriknya Ningrum yang tertidur tak jauh di sebelahnya.

   Wanita itu masih terpulas, jadi cukup aman untuk membukanya tanpa terusik kerahasiaannya.

   Dibukanya kitab itu hati-hati tanpa menimbulkan bunyi.

   Di ringi beberapa tarikan napas, ditelitinya bari demi baris sampai akhirnya menemukan baris yang dicari.

   Benar saja! Ada kata-kata 'Penjaga Pintu'di sana, Dan ini berarti sama dengan ucapan orang tua dalam mimpinya tadi.

   "Lalu, untuk apa menemuinya?"

   Hati Andika bertanya-tanya.

   Sebelum Andika bisa berpikir, kantuk menyergapnya kembali.

   Segera tubuhnya direbahkan, dan sebentar saja terdengar tarikan napasnya yang halus.

   Matahari beranjak sepenggalan.

   Sinarnya menyapu wajah tirus Andika, sehingga membuatnya terbangun.

   "Pagi, Andika,"

   Sapa Ningrum.

   Rupanya gadis itu telah bangun lebih awal.

   Di luar kandang kuda tua yang kini jadi tempat berteduh sementara mereka, Ningrum membuat perapian untuk me-masak air.

   Andika buru-buru bangkit.

   Hatinya agak malu juga bangun lebih siang dari pada Ningrum.

   Dengan meng garuk-garuk rambutnya yang sebahu tak teratur, Andika berusaha tersenyum.

   "Pagi, Nini. Maafkan, aku bangun terlambat. Mestinya aku yang mencari kayu-kayu kering untuk perapian itu,"

   Sahut Andika.

   "Hm... kalau begitu, biarlah aku yang mengambil air saja."

   Ningrum hanya tersenyum. Andika siap akan melangkah, setelah mengambil ember kayu yang tak jauh dari situ.

   "O, ya Andika...,"

   Sahut Ningrum, menahan langkah Andika menuju mata air yang tak jauh dari sana.

   "Tolong jangan panggil aku dengan sebutan nini. Cukup Ningrum saja. Kalau terus-terusan begitu, aku jadi jengah."

   Andika mengangkat alis dan bahunya berbarengan. Rasanya, dia memang tak perlu membantah permintaan Ningrum. Masalahnya, pemuda tanggung itu sendiri sudah lama ingin memanggil gadis ayu yang selalu me-buatnya berdebar-debar ini.

   "Ningrum...,"

   Ucap Andika, tanpa maksud apa-apa. Bisa jadi dia sedang melatih lidahnya agar nanti tak keluar lagi sebutan nini.

   "Kau mau diam di situ terus, apa mau ke mata air?"

   Usik Ningrum mendapatkan Andika masih saja menatapnya terpaku ke arahnya.

   "Oh, iya...."

   Andika menepuk keningnya keras-keras menyadari upa yang barusan dilakukannya tanpa sadar.

   Dan Ningrum hanya menggelengkan kepala.

   Bibirnya memperlihatkan senyum yang demikian mempesona, secerah pagi ini Tak begitu lama Andika mengambil air.

   Karena, selain tempatnya tidak terlalu jauh, Andika juga sedang menjajal ilmu lari cepatnya yang didapat tanpa diketahuinya.

   Tak heran kalau dia sudah kembali lagi di hadapan Ningrum.

   Andika kini duduk bersila di pinggir perapian bersama Ningrum.

   Teh hangat dalam mangkuk tempurung kelapa di tangannya sesekali diseruput.

   "Ng..., Ningrum. Apa kau tahu letak Lembah Pandam?"

   Tanya Andika.

   "Lembah Pandam?"

   Ulang Ningrum ingin meyakinkan apa yang didengarnya dari mulut Andika.

   "Iya, Lembah Pandam. Kenapa, Ningrum?"

   Tanya Andika, nggak berani melihat perubahan pada wajah gadis itu. Ningrum segera menyembunyikan raut heran di wajahnya.

   "Tidak apa-apa,"

   Kilah Ningrum, menghindar.

   Di aduknya teh yang mendidih di kuali yang biasa digunakan untuk menggodok ramuan, sekadar mengalihkan perhatian pemuda tanggung itu.

   Andika yang sudah telanjur melihat perubahan sekilas pada wajah Ningrum, jadi bertanya-tanya.

   "Ada apa dengan lembah itu, sehingga Ningrum bersikap seakan menyembunyikan sesuatu?"

   "Ada apa dengan lembah itu, Ningrum? Apa tempat itu amat berbahaya?"

   Selidik Andika.

   "Tidak apa-aja. Aku hanya biasa ke lembah itu untuk mencari damar sebagai campuran ramuanku...,"

   Desah Ningrum, berkilah.

   "Ooo."

   Andika mengangguk-angguk.

   "Kau sendiri ada kepentingan apa menanyakan tempat itu?"

   Ningrum balik bertanya tanpa diduga Andika sama sekali.

   "Anu...."

   Anak muda tanggung itu gelagapan.

   "Ng.... Aku hanya..., ya hanya ingin melihat bulan purnama."

   Ningrum menatapnya heran. Hatinya seperti tidak puas dengan jawaban Andika yang tampak main-main.

   "Sungguh! Apa kau tak tahu kalau di sana bulan purnama bersinar begitu jelas dan sangat indah,"

   Ujar Andika memberi alasan.

   "Bagaimana kau tahu kalau di sana bulan purnama tampak lebih indah, sedangkan letak lembah itu kau masih tanya padaku?"

   Desak Ningrum. Andika jadi mati kutu. Kalaupun diteruskannya menjawab pertanyaan Ningrum, bisa-bisa akhirnya rahasia miliknya terbuka.

   "Sialan! Aku kira hanya otakku saja yang encer!"

   Gerutu pemuda tanggung itu dalam hati. Andika jadi tersipu malu, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya, untuk mengangkat wajahnya berat sekali.

   "Oh, ya. Hari tampaknya sudah cukup siang. Apa kau nanti tidak terlambat masuk kerja di kedai itu?"

   Kata Andika, mengalihkan pembicaraan. Matanya langsung disipitkan, melihat ke arah matahariyang semakin naik.

   "Astaga.... Kenapa aku jadi keenakan bicara denganmu...,"

   Tukas Ningrum seraya bergegas bangkit.

   "Selamat..., selamat...,"

   Kata Andika dalam hati.

   Tak lama kemudian Ningrum keluar dari kandang kuda itu, lalu berangkat ke kedai tempat kerjanya.

   *** Letak Lembah Pandam berjarak satu hari berjalan kakidari kotapraja.

   Dan tepat pada saat bulan beranjak perlahan di cakrawala tak berawan, Andika dan Ningrum tiba di sana.

   Andika sebetulnya berharap sekali dapat pergi sendiri ke tempat ini dengan arah petunjuk yang diberikan Ningrum.

   Namun, dia tak sampai hati meninggalkan sendirian perempuan seayu Ningrum.

   Apalagi, di kota praja yang segala kejahatan bisa saja terjadi.

   Dan setahu Andika, Ningrum selama di Perguruan Trisula Kembar hanya seorang tabib muda yang kebetulan menetap di perguruan itu.

   Bagaimana Andika dapat menemui wanita 'Penjaga Pintu' seperti yang dikatakan orang tua dalam mimpinya, itu urusan nanti.

   Yang penting, akan dicarinya alasan tepat, jika nanti Ningrum bertanya.

   Kalau perlu, dia akan mengarang cerita yang bisa dipercaya Ningru agar rahasia tentang dirinya tidak bocor.

   Ini bukan berarti Andika tidak mempercayai Ningrum.

   Yang jelas, dia hanya sekadar menjaga agar dirirry sebagai keturunan Pendekar Lembah Kutukan dapat tetap terjaga kerahasiaannya, sampai semua pesan yang terkandung dalam syair di kitab kayu itu dapat dilaksanakan.

   Lembah Pandam begitu sunyi, hanya di si paduan nyanyian jangkrik.

   Tempat ini hanya berupa dataran berumput luas yang diapit kaki gunung, sehingga bulan purnama nampak berada dalam mangkuk raksasa bila dilihat dari lembah itu.

   Sungguh menawan! Berarti, tak salah dugaan Andika.

   Di belakang segerombol semak lebat yang banyak tumbuh di sana, Andika dan Ningrum duduk dalam temaram sinar bulan.

   Angin malam menyapu wajah-wajah mereka.

   Bagi Andika, itu berarti pengintaian ter-sembunyi.

   Bagaimana bagi Ningrum? "Jadi kau ke sini jauh-jauh hanya untuk duduk perti ini?"

   Tanya Ningrum, kebingungan.

   "Apa aku tidak boleh menikmati keindahan purnama bersamamu seperti sekarang?"

   Balas Andika dengan mata tetap mengawasi dataran di depannya.

   "Kenapa harus di semak-semak seperti ini? Kita kan bisa duduk di dataran rumput itu, dan membuat api unggun...,"

   Ujar Ningrum. Wajah mempesonanya tampak bersemu merah tanpa diketahui Andika.

   "Tapi aku kan tidak bermaksud yang bukan-bukan. Jangan berpikiran ngaco!"

   Sergah Andika sambil melirik Ningrum di sampingnya.

   "Kau mau percaya atau tidak, aku ini pemuda baik-baik."

   Ningrum tertawa kecil mendengar itu.

   "Ssst... ssst!"

   Cegah Andika.

   "Kenapa jadi tertawa? Apa tadi ada yang lucu?"

   "Bagaimana tidak lucu. Kau tadi mengatakan, ingin menikmati purnama. Tapi, kenapa malah duduk melingkar di semak dengan wajah tegang seperti itu...,"

   Kata Ningrum, sambil tersenyum manis. Andika melirik Ningrum dengan alis tertaut.

   "Jadi, maumu apa? Apa aku harus merangkulmu agar suasana lebih nikmat?"

   Seloroh Andika, ceplas-ceplos. Mata Ningrum kontan membesar, mangkel campur malu.

   "Kau mulai kurang ajar padaku? Aku kan lebih tua darimu!"

   Sindir Ningrum.

   "Biar kau lebih tua, tapi aku toh tetap laki-laki,"

   Kata Andika lagi, makin membuat wajah wanita muda itu memerah tak karuan.

   "Kau makin ngaco!"

   Hardik gadis itu seraya bangkit. Andika diam saja dan tetap tidak bergeming memandang ke depan. Ketika Ningrum berjalan keluar dari semak, baru anak muda tanggung itu menoleh.

   "Mau ke mana kau?"

   Tanya Andika setengah ber-bisik.

   "Aku akan mencari damar!"

   Jawab Ningrum ketus, Baru kali inilah wanita muda yang anggun itu bersikap agak judes.

   "Persediaan damarku habis!"

   "Jangan! Nanti ada apa-apa! Tetap di sini saja! "Menunggumu yang tegang memperhatikan dataran rumput? Ooo..., terima kasih banyak, Tuan Muda...,' ledek Ningrum, lalu melangkah.

   "Lagi pula kau tidak perlu khawatir. Aku cukup kenal baik dengan daerah ini Jauh lebih baik ketimbang dirimu...."

   "Huh, perempuan!"

   Maki Andika, menggerutu. Lama Andika meringkuk dalam semak seperti setan bodoh kesasar. Bahkan ketika malam makin tua pun, belum tampak ada tanda-tanda seorang perempuan yang lewat di padang rumput yang terhampar di depannya.

   "Sialan...,"

   Gerutu pemuda tanggung itu sambi menggaruk kepala.

   "Apa aku sudah dikibuli mimpi sendiri?"

   Hati Andika makin resah, ketika Ningrum belum juga kembali.

   Dia memang sudah terlalu lama pergi, tapi belum juga kembali.

   Biarpun gadis itu sempat membuatnya kesal tadi, toh Andika tidak akan mampu menguasai perasaan yang dirasanya sebagai cinta itu.

   Dan perasaan khawatir saat itu pula menguasainya.

   "Ke mana dia? Jangan-jangan...,"

   Gumam Andika. Kekhawatiran Andika jadi benar-benar beralasan, ketika....

   "Hiaaat!"

   Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita yang memecah malam sepi.

   Teriakan itu seperti dekat saja.

   Tapi dari sebelah mana? Suara itu memantul kian kemari, sehingga sulit ditentukan asalnya.

   Tubuh Andika menegang menyadari keadaan yang genting itu.

   Pendengarannya segera dipusatkan agar dapat cepat menentukan asal suara tadi.

   "Haaap!"

   Terdengar lagi teriakan seorang wanita.

   Setelah memperhatikan dengan seksama, Andika merasa tidak mengenali suara itu.

   Itu bukan suara Ningrum.

   Lantas, siapa? Yakin kalau suara itu berasal dari sebelah timur, barulah Andika bergerak.

   Sekali lagi, dijajalnya kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya secara aneh itu.

   Nyatanya, ilmu itu tetap ada dalam tubuhnya.

   Maka tubuhnya pun melesat bagai tak memiliki berat.

   Dia melenting-lenting di antara bebatuan gunung seringan kumbang.

   Begitu tiba di tempat kejadian, Andika melihat dua orang perempuan tengah bertempur sengit.

   Salah seorang menggenggam pedang besar melebihi ukuran tangannya.

   Namun kemampuan tenaga dalamnya tampak tangguh.

   Kelihatan ringan saja dia menggerak-gerakkan pedang besar itu kian kemari.

   Rambut wanita berusia sekitar dua puluh sembilan tahun itu berkepang kuda.

   Dalam gerakannya yang cepat, Andika masih sempat melihat kecantikannya yang disinari bulan.

   Dan rasanya, wajah wanita itu cukup dikenalnya.

   Di ngat-ingatnya di mana pernah bertemu.

   Tak salah lagi! Di kota Praja, saat ada panggung pertandingan beberapa waktu lalu! Dan yang seorang lagi....

   Andika mengerjap-ngerjap mata, tak mempercayai apa yang dilihatnya.

   Tampak Ningrum dengan gerakan luar biasa menandingi serangan-serangan wanita.

   Padahal, Ningrum hanya menggunakan sebatang ranting pohon.

   Namun begitu, terlihat kekuatan tenaga dalamnya, ranting sebesar kelingking itu mampu dibuatnya menjadi senjata ampuh menandingi pedang milik lawannya.

   Andika yang masih di atas sebuah batu besar menggeleng-gelengkan kepala.

   Hatinya kesal bercampur kagum.

   Kesal karena merasa telah dikibuli Ningrum selama ini.

   Kagum karena ternyata perempuan selembut itu memiliki ilmu kedigdayaan yang tidak main-main.

   "Berhenti!"

   Teriak Andika dengan pengerahan tenaga dalam yang keluar begitu saja.

   Dua wanita yang sedang menjajal jurus masing-masing terhentak.

   Dan seketika mereka menghentikan gerakan, dan sama-sama menoleh ke arah Andika.

   Pada kesempatan itulah, Andika yang tak berada jauh dari mereka bergerak mengagumkan.

   Luncuran tubuhnya demikian cepat, dan sulit di kuti mata biasa ke arah mereka.

   Dan sebelum ada yang menyadari, Andika cepat menggerakkan tangannya.

   Lalu....

   Tep tep teppp...! Pedang dan ranting kayu di tangan kedua wanita itu kini sudah berpindah tangan, setelah tersambar tangan Andika.

   "Ada apa ini? Kenapa kalian berkelahi seperti perempuan binal yang memperebutkan lelaki?"

   Kata Andika terdengar kurang ajar di telinga kedua wanita itu.

   Kedua wanita itu sama-sama memelototi Andika.

   Perempuan berkepang itu memelototi, karena dirinya merasa terhina oleh perkataan Andika barusan.

   Sementara Ningrum melotot, karena tidak mempercayai kalau yang baru saja bergerak seperti angin itu adalah Andika, pemuda tanggung menawan namun bodoh dalam ilmu kedigdayaan.

   "Andika?"

   Sebut gadis itu, tak percaya. Andika memperlihatkan senyumnya yang memikat, namun juga seringkali menjengkelkan.

   "Kau kira siapa, Sayang?"

   Sambut Andika, nakal menggoda.

   "Sekarang, ceritakan kenapa kalian berkelahi?"

   "Kembalikan dulu pedangku!"

   Bentak wanita berambut berkepang dengan wajah berang.

   "Kita buat perjanjian saja. Kau ceritakan masalahmu dengan ng..., kekasihku ini...,"

   Ujar Andika tenang seraya menunjuk Ningrum. Lagi-lagi Ningrum mendelik, mendengar perkataan Andika yang seenak dengkul.

   "Setelah kau menceritakan itu, barulah pedang ini akan kuberikan,"

   Sambung Andika.

   "Kau pikir, kau siapa, hah?!"

   "Kupikir aku bukan siapa-siapa. Tapi yang jelas, aku sekarang sedang memegang pedangmu."

   Diperhatikannya pedang besar berkepala naga pada gagangnya.

   "Nampaknya, ini sangat berarti bagimu. Bukan begitu.' Kalau tak cerita, tak kau dapat benda kunomu ini..."

   "Kenapa tak kau tanya kekasihmu?"

   "Ya, kenapa? Karena aku menanyakanmu", jawab Andika benar-benar menyebalkan.

   "Anak keparat! Kau tidak mengenal aku adalah Naga Wanita, orang kepercanyaan prabu!"

   Maki wanita itu penuh amarah.

   "Ampunkan hamba jika tidak tahu siapa dirimu,"

   Seloroh Andika lagi amat meremehkan.

   Wanita cantik berambut kepang dua itu memperlihatkan sinar keheranan di wajah halusnnya.

   Hampir semua tokoh rimba persilatan mengenalnya.

   Dan sebagian malah yang ada langsung ciut nyalinya mendengar julukannya.

   Tapi anak ingusan yaflg baru besar itu? "Andika.

   Biar aku saja yang menjelaskanya...."

   Sela Ningrum. Dia tidak mau hal itu menjadi terlalu berlarut larut.

   "Kalau begitu, ya terserahmu...."

   Dengan acuh tak acuh, Andika melemparkan pedang wanita berambut kepang dua yang mengaku berjuluk Naga Wanita itu. Dan pedang itu jatuh tepat di dekat kakinya. Sementara, Ningrum mulai menjelaskan duduk per-masalahannya.

   "Ketika aku sedang mencari damar, melintas seseorang. Timbul keinginanku untuk mengetahui maksudnya. Karena, aku pikir ada hubungannya dengan Andika. Tapi, usahaku dalam membuntuti ternyata diketahui. Dan aku malah dituduh sebagai mata-mata. karena telah menguntit wanita yang ternyata seorang pendekar kepercayaan prabu untuk menyelidiki pemberontakan-pemberontakan yang belakangan ini kerap terjadi,"

   Tutur Ningrum. Sebentar Ningrum menghentikan ceritanya, untuk mengambil napas. Sedangkan Andika dan Naga Wanita hanya diam saja.

   "Aku tentu saja menyanggah tuduhan itu. Sementara, dia tidak mau menerima begitu saja. Lalu, dia menyerangku. Maka, pertarungan pun berlangsung,"

   Ningrum menghentikan ceritanya. Andika mengangguk-angguk paham.

   "Lalu, siapa kalian sebenarnya? Dan, apa tujuan kalian ke tempat ini?"

   Selidik Naga Wanita.

   Saat bertanya, wajahnya penuh sinar kecurigaan.

   Mendengar pertanyaan yang diajukan Naga Wanita, Andika jadi menyadari sesuatu yang sempat dilu-pakannya sesaat tadi.

   Dan dia jadi mengumpat diri sen-diri, seraya menghentakkan tangan menyapu udara.

   Kenapa tujuannya semula jadi terlupakan? Lebih bodoh lagi, kenapa tadi bersikap kurang ajar pada perempuan yang kini berdiri beberapa tombak di depannya? Bisa saja, dialah orang yang dimaksud kakek dalam mimpinya.

   Andika segera menjura, mencoba memperbaiki kesalahan yang tadi dibuatnya pada Naga Wanita.

   "Maafkan sikapku tadi, Nyai,"

   Ucap Andika. Wanita cantik itu menyambutnya dengan senyum meledek.

   "Sebenarnya, hanya aku saja yang mempunyai tujuan khusus datang ke tempat ini. Sedangkan dia kebetulan hanya ikut aku...,"

   Urai Andika. Tangannya menunjuk sopan pada Ningrum.

   "Lantas apa tujuanmu?"

   Ulang Naga Wanita. Andika segera menghampiri perempuan cantik itu "Bisakah aku mengatakan tujuanku itu agak jauh dari tempat ini?"

   Naga Wanita beberapa saat hanya menatap Andika.

   Kecurigaan masih tampak di wajah itu.

   Namun, akhirnya dituruti juga permintaan Andika.

   Mereka berjalan be berapa puluh langkah dari tempat itu, meninggalkan Ningrum yang memandang dengan hati bertanya-tanya.

   "Apakah Nyai memiliki Kipas Naga?"

   Tanya Andika setelah mereka cukup jauh dari tempat Ningrum berdiri.

   Kipas Naga sebenarnya ciri-ciri 'Penjaga Pintu' yang disebutkan dalam syair kitab kayu yang kini ada dalam jubah hitam Andika.

   Belum lagi Naga Wanita menjawab pertanyaan yang diajukan Andika, wajah cantik itu berubah mendadak Kesannya seperti orang yang baru ingat sesuatu.

   "Tunggu dulu.... Bukankah kau yang dulu menghabisi si Jari Iblis di panggung pertandingan kotapraja?"

   Tanya Naga Wanita.

   Sejak tadi, tampaknya Naga Wanita pangling dengan penampilan Andika yang lain.

   Dulu, dia hanya berpakaian seperti layaknya rakyat biasa.

   Namun sekarang, dengan jubah hitam milik Ki Sanca serta dua trisula diselipkan di kedua belah pinggang.

   Penampilan nya pun jadi lain.

   Tidak lagi terlihat begitu kurus.

   Juga, berkesan lebih tua.

   "Benar, Nyai. Tapi Nyai belum menjawab pertanyaan tadi,"

   Mulai Andika kembali.

   "Oh, ya maaf. Kau menanyakan apa tadi?"

   "Apa Nyai memiliki Kipas Naga?"

   Ulang Andika.

   "Kipas Naga? Aku memang berjuluk Naga Wanita. Tapi mengenai itu, aku sama sekali tidak pernah memilikinya. Hanya pedang ini saja senjataku,"

   Ungkap Naga Wanita.

   "Jadi, Nyai ini bukan 'Penjaga Pintu'! "Ah! 'Penjaga Pintu' apa? Aku sama sekali tidak mengerti pertanyaanmu...."

   "Aneh!"

   Pikir Andika.

   Malam sudah berubah menjadi dini hari.

   Berarti sudah melampaui waktu yang dikatakan kakek dalam mimpinya.

   Sedangkan wanita yang ditemuinya kini mengaku kalau bukan 'Penjaga Pintu'.

   Lalu, wanita yang mana lagi? Mendadak sontak mata Andika tertuju pada Ningrum yang masih berdiri di tempatnya.

   Hanya dia satu-satunya wanita selain Naga Wanita yang ada di sekitar lembah malam ini.

   Kedigdayaannya saat bertarung dengan Naga Wanita pun, nampaknya dapat dijadikan penguat prasangka Andika.

   Kalau begitu....

   Pantas saja, selama ini Ningrum seperti menyembunyikan sesuatu saat Andika menanyakan tentang Lembah Pandam.

   Bisa jadi juga, alasannya untuk mencari damar di sekitar situ, sengaja dibuat untuk menutupi tujuan yang sesungguhnya.

   Kini, Andika melangkah kembali ke tempat semula.

   Sedang Naga Wanita mengikutinya.

   Ketidaksabarannya untuk segera menanyakan Ningrum, membuatnya bagai tidak mempedulikan Naga Wanita.

   "Hei, Anak Muda! Tunggu dulu! Aku masih harus bicara tentang sesuatu padamu,"

   Cegah Naga Wanita.

   "Maaf, Nyai.... Tunda dulu pembicaraan itu. Aku ada sedikit keperluan."

   Masih dengan langkah cepat dan lebar, Andika menyahuti tanpa menoleh. Dalam hati Naga Wanita menggerutu panjang pendek.

   "Kalau saja tidak punya kepentingan dengan anak muda ini, dia tak akan sudi lama-lama di sini". Memang, sejak menyaksikan bagaimana Andika menghabisi nyawa Jari Iblis dulu, Naga Wanita jadi tertarik untuk mengajaknya gabung dalam memberantas para pemberontak! Begitu sampai di depan Ningrum, Andika menatap dalam-dalam wajah ayu ini.

   "Katakan yang sebenarnya tentang dirimu, Ningrum? Kau tidak hanya sekadar tabib wanita yang tak memiliki kesaktian apa pun, bukan? Kau hanya menyamar, agar dapat melaksanakan tujuanmu tanpa dicurigai...,"

   Kata Andika di depan hidung Ningrum yang mungil melancip.

   "Apa-apaan kau ini, Andika? Mestinya aku yang curiga padamu! Buktinya tanpa kusangka, di balik sikapmu yang terkadang kekanak-kanakan itu terdapat kedigdayaan yang dimiliki tokoh atas dunia persilatan,"

   Serang Ningrum tak mau kalah. Mata setajam sembilu milik Andika, masih menatap tepat di kedua bola mata berbulu lentik Ningrum.

   "Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan. Katakan saja kalau kau adalah 'Penjaga Pintu' tegas Andika.

   "'Penjaga Pintu' apa?!"

   Tanya Ningrum tidak mau kalah.

   "Mana buntalan milikmu!"

   "Kenapa dengan buntalan itu?"

   Tak perlu Ningrum menjawab di mana buntalan ini diletakkan karena Andika ingat benda itu masih di dalam semak tempatnya mengintai tadi.

   Dan sebelum habis kalimat terakhir Ningrum tadi, Andika sudah melesat seakan menghilang dari tempatnya berpijak.

   Tampaknya, ilmu meringankan tubuhnya sudah demikian tinggi.

   Hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat demikian cepat.

   Bahkan tak lama kemudian, Andika sudah kembali dengan wajah menegang kaku.

   'Tidak ada benda itu dalam buntalanmu.

   Di mana kau sembunyikan?!"

   Dengus Andika.

   "Benda apa?!"

   Tanya Ningrum lagi, masih saja tetap bersikeras.

   "Baik...,"

   Kata Andika geram, oleh rasa penasaran yang menggelegak sampai ke ubun-ubun.

   "Kalau memang begitu maumu."

   Sekali lagi Andika berkelebat. Dalam kecepatan dahsyat, dia menyergap tubuh Ningrum yang sintal. Gadis yang tidak siap menerima sergapan itu hanya terkejut, tidak sempat berbuat apa-apa.

   "Dapat!"

   Sorak Andika sambil mengacungkan kipas lipat yang didapat dari balik pakaian Ningrum. Itu tadi merupakan gabungan ilmu mencopet dengan meringankan tubuh! "Kembalikan padaku!"

   Teriak Ningrum, karena menyadari rahasianya akan segera terbongkar.

   "Jangan marah-marah seperti itu. Aku tadi tidak sempat menyentuh apa-apa di balik bajumu. Kecuali kipas ini. He he he...."

   Maka dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, Ningrum balik menyergap Andika untuk merebut kipasnya.

   Namun dia kalah cepat, sehingga kipas itu tidak berhasil kembali ke tangannya.

   Malah, kini Andika sudah membuka lipatan kipas itu.

   Dan....

   Tampaklah gambar seekor naga merah menyala diterpa sinar bulan....

   "Jadi, kau 'Penjaga Pintu' itu, Ningrum!"

   Pekik Andika girang. Dengan serta-merta, diraihnya tangan Ningrum yang masih jengkel setengah mati diperlakukan barusan. Lalu, gadis ayu itu digandengnya.

   "Kau mau bukan, mengantarku ke Lembah Kutukan?"

   Rayu Andika amat halus, saat Ningrum baru saja hendak mengangkat tangan untuk menamparnya.

   *** Matahari hampir turun di ujung barat.

   Biar begitu, kegarangan sinarnya masih cukup menyengat kulit.

   Angin mengangkat ke udara debu-debu jalan.

   Tanah memang amat kering.

   Malah, hujan sudah begitu lama tidak membasahinya.

   Kota Kabupaten Banyugerabak lengang ketika Andika, Ningrum, dan Purwasih alias Naga Wanita tiba.

   Tak sesuai dengan nama kabupaten itu yang berarti air bercucuran, daerah itu tampak begitu kerontang.

   Pepohonan yang bertahan hidup di sisi-sisi jalan hanya tinggal batang-batang meliuk tanpa daun.

   Kemarau panjang rupanya tengah menggasak habis-habisan daerah ini.

   Sudah tiga hari mereka berkuda.

   Itu pun atas jasa Purwasih yang membeli tiga ekor kuda gagah di kotapraja.

   Menurutnya perjalanan ke Lembah Kutukan akan memakan waktu yang terlalu lama bila berjalan kaki.

   Apalagi, dalam kemarau yang melanda seperti sekarang ini.

   Jelas, akan teramat menyiksa.

   Andika dan Ningrum sebenarnya tidak setuju kalau Purwasih bersama mereka.

   Bagi Andika maupun Ningrum, perjalanan yang harus dilakukan mengandung kerahasiaan.

   Tentu saja Andika tidak mau terang-terangan kalau dirinya adalah salah seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan sebelum benar-benar siap untuk itu Bagi Ningrum sendiri, tugas yang dijalaninya dari guru nya juga hal yang tabu untuk dicampuri orang lain termasuk Purwasih.

   Namun karena Purwasih sudah telanjur terlibat ketika berada di Lembah Pandam, mereka berdua akhir nya hanya bisa memberi satu syarat agar Purwasih dapat mengunci mulut tentang diri Andika dan Ningrum.

   Da ternyata, Purwasih tidak keberatan.

   Dia sendiri sebenar nya amat memiliki kepentingan dengan keluarga Pendekar Lembah Kutukan.

   Dalam hal ini, Andika.

   Lalu, siapakah Ningrum sebenarnya? Tepat seperti dugaan Andika, Ningrum meman 'Penjaga Pintu' seperti yang tertulis dalam kitab kayi Lembah Kutukan adalah suatu tempat rahasia.

   M mang, di lembah itulah keturunan keluarga Pendeka Lembah Kutukan menjalani penyempurnaan.

   Khusus-nya, bagi salah seorang keturunan yang mewarisi kesaktian para pendekar yang hidup beberapa abad lalu itu Orang-orang di dunia persilatan hanya tahu kalau lembah itu berada di salah satu kabupaten wilayah barat, di sebuah deretan pegunungan yang sulit dijarah.

   Penjaga Pintu' adalah sebutan untuk orang-orang perguruan wanita Naga Merah yang mendapat tugas dari gurunya untuk mencari seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang mendapat warisan kesaktian, lalu mengantarnya ke Lembah Kutukan untu menjalani penyempurnaan.

   Dan perguruan itu sendi berada tepat di gerbang masuk Lembah Kutukan.

   Untuk menjalani tugas tanpa dicurigai, Ningrum memang menyamar sebagai seorang tabib muda yang tampak hanya sedikit memiliki ilmu olah kanuragan.

   Hingga sampai saat ini, Ningrum belum sekalipun menjelaskan penyempurnaan macam apa yang harus dijalani Andika.

   Sewaktu di Lembah Pandam, dia hanya meminta bukti pada Andika kalau dirinya memang benar salah seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan.

   Dan Andika menceritakan semua kejadian yang dialami, termasuk menunjukkan pada Ningrum kitab kayu pemberian Ki Sanca.

   Baru setelah itu, Ningrum lebih banyak diam.

   Meski, Andika kerap kali menggoda dan merayunya.

   Sewaktu di perjalanan tiga hari berkuda, Andika mau tak mau jadi lebih banyak bertanya pada Purwasih.

   Dan selaku seorang pendekar kerajaan yang berkepentingan dengan keturunan Pendekar Lembah Kutukan, nyatanya Purwasih lebih banyak tahu mengenai kisah-kisah kewiraan keluarga itu, ketimbang Andika sendiri yang merupakan keturunan Iangsung.

   Lucu memang.

   Tapi biar bagaimanapun, hal itu wajar saja bagi Andika.

   Jangankan untuk mengetahui asal-usulnya, sedang orang tuanya saja hingga kini tidak pernah dikenalnya.

   Kata Purwasih, seluruh keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang menjadi pewaris kesaktian pendekar itu selalu muncul dengan jurus-jurus berbeda.

   Termasuk, Ki Panji Agung yang baru diketahui Andika kalau dialah orang tua yang datang dalam mimpinya, saat Purwasih menggambarkan sosok orangnya.

   Cerita Purwasih itu amat membuat penasaran Andika.

   Kenapa mereka memiliki jurus-jurus berbeda? Yang diketahuinya selama ini, seorang yang mewarisi kedigdayaan keluarganyabiasanya tetap memiliki jurus-jurus sama.

   Dan Andika belum bisa menjawab rasa penasarannya.

   Agak jauh memasuki kota kabupaten, mereka berhenti di sebuah kedai untuk beristirahat.

   Kedai itu tak begitu luas dan agak kotor.

   Namun, mereka tetap turun dari kuda masing-masing, dan menambatkannya di depan kedai.

   Dengan agak terpaksa.

   mereka masuk juga karena memang hanya kedai itu satu-satunya yang ada di kota Kabupaten Banyugerabak.

   Lima orang berwajah tak ramah tampak duduk terpencar di beberapa meja kayu bundar.

   Hampir semuanya memegang gelas bambu berisi tuak.

   Rupanya hari yang kelewat panas membuat mereka hanya berselera untuk minum.

   Andika, Ningrum, dan Purwasih lalu menuju sebuah meja kosong yang terletak di sudut.

   Sebentar kemudian mereka sudah duduk melingkari meja itu.

   "Pelayan, berikan kami makanan!"

   Seru Andika tanpa membuka caping yang dikenakan. Tak lama menunggu, makanan dengan lauk sederhana disediakan seorang pelayan tua dengan sikap sopan.

   "Terima kasih, Ki...,"

   Ucap Andika ramah.

   Dan belum lagi pelayan di sampingnya beranjak, Andika sudah mengangkat kaki di atas kursi.

   Lalu, disantapnya makanan tanpa niat mencuci tangannya yang berdaki.

   Padahal, Purwasih yang bersedia membayar seluruh makanan pun belum sempat mempersilakan.

   Dan sesaat kemudian, terdengarlah alunan mulut Andika yang sibuk mengunyah makanan penuh nafsu.

   Seakan, dia baru menemukannya selama seminggu.

   "Memalukan kau, Andika! Apa kau tidak bisa makan dengan tata cara yang baik?"

   Gerutu Ningrum. Andika tetap tidak peduli.

   "Apa salahnya kau menghormati Purwasih...,"

   Lanjut Ningrum. Wajahnya tertekuk kesal.

   "Aku bukan dari kalangan istana yang bisa menghormat dengan cara mereka. Aku rasa, Nyai Purwasih bisa maklum,"

   Sahut Andika yakin.

   "Huh, tapi...."

   "Pak Pelayan!"

   Panggil Andika, memotong gerutuan Ningrum lebih lanjut. Pelayan tua yang baru saja hendak beranjak, menghentikan langkah.

   "Ada apa, Tuan?"

   Tanya pelayan berusia tujuh puluh tiga tahun itu.

   "Apa Aki punya persediaan ayam?"

   Tanya Andika.

   "O, tentu.... Kedai kami ini sebenarnya menyediakan Iauk-pauk yang cukup lengkap, Tuan. Ada belut, kambing bakar, lele, dan ikan-ikanan. Apalagi, hanya ayam...,"

   Jawab pelayan itu dengan wajah bangga.

   "Kalau begitu, biar ayamnya diadu dengan ayam betina cerewet ini,"

   Tukas Andika seraya mencibir kearah Ningrum.

   Pelayan itu jadi tertawa geli setelah mengerti guyonan Andika.

   Sedangkan Ningrum tambah mangkel.

   Wajahnya merah padam seperti dilanda kebakaran.

   Purwasih hanya tersenyum kecil.

   Setelah cukup mengenal, hatinya harus mengakui kalau pemuda tanggung itu menyenangkan.

   Terkadang dia bisa amat berwibawa, tapi terkadang bisa menjengkelkan.

   Kekaguman lain yang mesti diakuinya adalah, pesona diri pemuda tanggung itu.

   Kalau saja Andika bukan seorang pemuda belasan tahun, tentu Purwasih akan cepat jatuh hati.

   "Hhem...,"

   Ningrum mendehem ketika mendapatkan mata Purwasih sedang menatap lekat pada wajah Andika yang sebagian tertutup caping. Menyadari dirinya tertangkap basah, Purwasih cepat-cepat mengalihkan perhatian.

   "K i, aku minta tuaknya...,"

   Ujar Purwasih pada pelayan yang kebetulan belum beranjak.

   "Baik, Nini.... Beruntung sekali, karena ini persediaan tuak kami yang tersisa."

   Pelayan tadi segera melangkah ke belakang.

   Dan, tak lama dia kembali lagi membawa satu kendi kecil tuak.

   Kini mereka menyantap makanan yang tersuguh di atas meja.

   Saat itu, terdengar ringkik kuda yang dihentikan mendadak bersama kepulan debu yang sebagian sempat singgah ke dalam kedai.

   Sebentar kemudian, terdengar langkah orang menuju kedai.

   Kini di pintu kedai, berdiri angkuh tiga orang berwajah bengis tanpa sedikit pun garis keramahan.

   Dua orang di antaranya yang berkepala gundul serta bermata sipit, menerabas dengan pandangan langsung ke dalam kedai Seorang lagi nampak tetap rapih, meski tampak habis melakukan perjalanan jauh.

   Berpakaian hitam-hitam seperti halnya Andika, namun pinggangnya dihiasi cemeti kasar.

   Wajahnya cukup kasar dan amat dingjn.

   Purwasih yang duduk menghadap pintu jadi terperangah.

   Amat dikenalinya ketiga orang itu.

   Begal Ireng, pemberontak besar yang sedang diselidikinya, bersama dua orang kaki tangannya, si Kembar dari Tiongkok.

   Maka cepat-cepat Purwasih memalingkan wajah, me-nyembunyikannya dari tatapan Begal Ireng.

   "Keparat itu ada di sini...,"

   Bisik Purwasih amat hati-hati. Andika dan Ningrum yang membelakangi pintu se-rentak menatap mata Purwasih.

   "Siapa?"

   Tanya Andika dengan suara wajar.

   "Ssst..., Begal Ireng dan dua orang Tiongkok jahanam itu,"

   Bisik Purwasih lagi.

   Andika mengernyitkan wajah.

   Dia memang merasa asing dengan nama-nama itu.

   Begitu juga Ningrum, meski termasuk orang dunia persilatan, dia sedikit pun tidak tahu-menahu mengenai Begal Ireng.

   Yang diketahuinya hanya tugas untuk mencari pendekar pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan.

   Itu saja! "Kau tidak tahu siapa dia?"

   Tanya Purwasih tetap berbisik.

   "Dialah dalang semua kekacauan di dunia persilatan belakangan ini. Tokoh nomor satu dari golongan hitam. Dan, dialah yang membunuh Ki Panji Agung. Bahkan belum lama ini, kudengar dia membantai habis satu perguruan kecil di suatu bukit. Kalau tidak salah, Perguruan Trisula Kembar...."

   Andika kontan terperangah.

   Tanpa terasa, ingatannya dibawa kembali .kepada peristiwa beberapa waktu lalu.

   Tentang api yang berkobar ganas, tentang tubuh Soma yang sudah seperti kakaknya sendiri dalam keadaan tercabik di sana-sini.

   Juga, tentang tubuh tua Ki Sanca yang menyedihkan.

   Mayat lelaki dan perempuan yang berserakan bagai tak berarti apa-apa, teriakan anak-anak kecil dan wanita yang masih hidup, semuanya amat menyesakkan dadanya.

   Mereka telah dihancurkan pada saat Andika merasa telah menemukan keluarga yang selama ini dirindukan.

   Napas Andika jadi kembang-kempis akibat sesak dari dendam dan rasa kehilangan yang saat itu menyerang sekujur dadanya.

   Otot-otot di tangannya yang kurus mengejang dalam satu kepalan geram.

   "Ningrum! Apakah orang-orang itu yang kau lihat waktu bekerja di kedai kotapraja?"

   Tanya Andika ber-getar.

   Hati-hati wanita muda itu menoleh pada tiga orang yang baru masuk.

   Mereka kini sudah menempati satu meja tepat di sisi pintu keluar.

   Tak lama, Ningrum mengangguk.

   Dan gadis itu dapat melihat, bagaimana terbakarnya mata Andika dengan warna merah.

   "Aku harus menuntut balas,"

   Geram Andika.

   Menyadari hal itu, Ningrum cepat meraih tangan Andika.

   Digenggamnya tangan itu erat-erat, berusaha menenangkan kerusuhan dalam dada pemuda tanggung di sebelahnya.."Jangan bertindak sebodoh itu, selama belum menjalani penyempurnaanmu, Andika...,"

   Bisik Ningrum mencoba meyakinkan pemuda yang sudah naik darah itu. Namun bayangan-bayangan menyakitkan itu lebih kuat menguasainya.

   "Mereka tidak bisa seenaknya membunuh orang-orang yang aku sayangi, seperti membunuh anjing gelandangan. Mereka tidak bisa membunuh mereka kalau hanya aku yang dicari...,"

   Gumam Andika saat itu juga terdengar giginya yang bergemeletuk.

   "Andika, benar kata Ningrum.... Mereka bukan tokoh golongan hitam yang sembarangan. Untuk menghadapi Begal Ireng saja, kita bertiga pun belum tentu mampu. Kau harus siap dulu Andika...,"

   Sergah Purwasih menenangkan Andika yang semakin kalap. Dia menye-sal, kenapa sudah selancang itu mengatakan tentang mereka pada Andika.

   "Mereka tentu datang kesini untukmencari aku dan untuk membunuhku, seperti mereka membunuh Ki Panji Agung.... Keparat-keparat itu rupanya mendapat hari bagus menemukanku di sini!"

   Sehabis berkata demikian, Andika bangkit. Sehingga menimbulkan bunyi tak beraturan akibat meja yang terdorong.

   "Andika!"

   Tahan Ningrum dengan wajah demikian khawatir.

   "Demi aku, tolonglah tunda kemarahanmu sampai sudah menjalani penyempurnaan...,"

   Pinta Ningrum, memelas sekali. Sia-sia. Andika malah sudah bertolak pinggang, menghadap ke arah tiga tokoh hitam itu.

   "Begal Ireng keparat!"

   Tubuh Andika berputar langsung melenting dan berputaran di udara, lalu hinggap dua meja di dekat meja ketiga orang itu duduk. Kemudian, langsung ditatap ketiga orang itu satu persatu dengan sinar mata jalang tak terkendali.

   "Kau mencari keturunan Pendekar Lembah Kutukan, bukan?! Hari ini kau beruntung...." *** Sementara itu, lima orang yang sedari tadi asyik menikmati tuaknya seketika keluar kedai dengan wajah pucat, begitu mendengar nama Begal Ireng diteriakkan Andika. Sementara ketiga manusia busuk itu bagai tak merasa terusik oleh kehadiran Andika.

   "Pelayan, sediakan kami tuak!"

   Ujar Begal Ireng. Bibir Begal Ireng tersenyum amat sinis, kemudian kembali tidak mempedulikan pemuda berang itu.

   "Ayo, tunggu apa lagi bajingan?!"

   Hardik Andika makin mata gelap.

   Dan Andika sudah membuka caping yang masih menutup kepalanya.

   Dibantingnya benda itu persis di meja mereka.

   Sengaja Andika melakukan itu, dengan harapan kemarahan mereka akan terpancing.

   Prakkk! Caping yang dibanting tanpa sedikit pun pengerahan tenaga dalam, langsung menghantam permukaan meja, lantas terpantul ke arah wajah Begal Ireng.

   Amat mudah bagi Begal Ireng untuk menggelengkan kepalanya sedikit, sehingga terhindar dari benda nyasar itu.

   Namun, Begal Ireng kembali seperti biasa.

   Sementara pelayan tua itu sudah datang ke hadapan tiga tokoh hitam ini bagai seekor kera menghampiri harimau.

   Badannya menciut demikian rupa, sebagai pertanda kalau demikian ketakutan.

   "Ma..., maaf Tuan. Kami kehabisan persediaan tuak,"

   Ucap pelayan itu tergagap.

   "Kalau begitu, kau bisa ambil kendi tuak di meja dua perempuan itu,"

   Ujar Begal Ireng.

   "Tapi, Tuan.... Tapi, mereka sudah memesannya lebih dahulu."

   "Kau mau ambilkan atau tidak?!"

   Ancam Begal Ireng. Matanya menatap dingin pada pelayan itu, menusukkan sinar kengerian.

   "Keterlaluan! Apa kau pikir dunia ini milikmu!"

   Geram Andika. Kemarahannya kini benar-benar sampai pada batas yang tidak bisa lagi ditahan.

   "Hiaaat...!"

   Tiba-tiba teriakan mengguntur keluar dari mulut Andika.

   Kekuatan tenaga dalam yang kini berada di tubuhnya, tanpa disadari terikut dalam teriakan.

   Akibatnya, kendi-kendi tuak kosong itu pecah berkeping.

   Bahkan pelayan tua yang nampaknya tak memiliki kepandaian apa-apa menutup telinganya dengan wajah kesakitan.

   Sedang Ningrum dan Purwasih pun sempat merasakan tusukan nyeri pada telinga, tapi mampu diatasi dengan menyalurkan hawa murni pada telinga masing-masing.

   Kedua tangan Andika sudah menggenggam keras sepasang trisula yang dicabut dari pinggangnya.

   Dengan satu terkaman harimau, diserangnya ubun-ubun Begal Ireng! Singngng! Namun dengan egosan ke belakang yang manis sekali, tusukan sepasang trisula itu hanya menyambar angin di depan Begal Ireng.

   Sedangkan tubuh Andika meluncur deras, melabrak dinding kayu kedai, hingga membuat lubang besar.

   Dan begitu mendaratkan kakinya di luar, Andika sudah siap dengan kuda-kuda tempurnya.

   "Keluarlah kau, Begal Ireng! Apakah kau sejenis anjing buduk pengecut?!"

   Teriak Andika.

   Tak ada lagi yang dipikirkan anak muda tanggung itu, kecuali segera menghabisi nyawa manusia-manusia yang telah merusak kebahagiaan yang baru saja dikenyamnya saat berada di Perguruan Trisula Kembar.

   Manusia-manusia yang tidak hanya membunuh harapannya untuk memiliki keluarga besar seperti saat itu, tapi juga membunuh orang-orang yang sudah menjadi keluarga sendiri secara keji.

   Untuk sedikit memikirkan keselamatannya sendiri saja, sudah tidak ada di benaknya saat ini.

   Dan kalaupun harus mati, Andika sudah siap.

   Dengan langkah tenang teratur, Begal Ireng melangkah keluar, diikuti dua orang botak kaki tangannya.

   "Hiaaat!"

   Andika langsung menyerang kembali.

   Ujung runcing trisula di tangan kanannya menyabet ke arah leher Begal Ireng.

   Namun dengan kecepatan mengagumkan, Begal Ireng melenting dan berputaran beberapa kali ke belakang.

   Lalu dengan amat ringan kakinya menjejak tanah kembali.

   Sikapnya masih tetap menganggap enteng Andika, dengan kedua tangan terlipat di dada.

   Andika bagai tak mau memberi kesempatan.

   Diserbunya kembali Begal Ireng.

   Jurus-jurus 'Trisula Kembar'nya menyabet ke sana kemari tanpa aturan.

   Memang, pengalamannya yang terlalu hijau dalam dunia persilatan, membuat Andika tidak tahu kalau kekalapan pada saat bertempur bisa berarti kelemahan.

   Begitu Andika menyabetkan trisulanya ke dada, Begal Ireng cepat menangkis dengan punggung tangan.

   Plakkk! Dua kekuatan tenaga dalam luar biasa beradu pada satu titik, menghasilkan benturan yang amat keras.

   Dan ternyata, hal ini mengakibatkan Begal Ireng terseret dalam keadaan berdiri lima depa ke belakang! Tampak kepulan debu menyebar di sekitar kakinya.

   Begal Ireng terperangah.

   Tak pernah diduga kalau kekuatan tenaga tusukan tangan Andika yang bau kencur itu setingkat dengan tokoh kelas atas.

   "Gila!"

   Umpat Begal Ireng dalam hati sambil memegangi punggung tangannya yang terasa nyeri bukan main.

   Memang, keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan sering kali sulit dipahami.

   Dia sendiri tidak dapat menebak, kenapa jenazah Ki Panji Agung yang dihabisinya dulu mengeluarkan cahaya kemilau.

   Dan belum tuntas kebingungan itu terjawab, kini pemuda yang diburunya belakangan ini memperlihatkan tingkat tenaga dalam yang tidak mungkin bisa didapat secara mudah oleh anak ingusan macam Andika.

   Begal Ireng memang tahu kalau kecepatan gerak Andika benar-benar menakjubkan.

   Itu diketahuinya saat melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Andika menamatkan riwayat Jari Iblis di kota Praja.

   Sebenarnya, itu pun sudah membuatnya terheran-heran, di samping kagum dan benci.

   Makanya, Begal Ireng langsung dapat menduga kalau Andika adalah salah seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan, dan langsung menguntit untuk membunuhnya.

   Sementara, Andika sendiri terpelanting ke belakang, karena kehilangan keseimbangan.

   Tubuhnya bergulingan bermandikan debu di jalan panas.

   Tak beda dengan Begal Ireng, dia pun merasakan nyeri yang bukan kepalang di bagian tangannya.

   Namun tak lama kemudian, pemuda tanggung itu sudah bangkit kembali.

   Serangan berikut dari Andika kembali datang ke Begal Ireng dengan lebih menggila.

   Jurus-jurus 'Trisula Kembar' tergabung menjadi satu, membuat tubuh Andika terlihat hanya kelebatan yang meluncur ngawur.

   Kali ini, Begal Ireng tidak ingin lagi menganggapnya enteng.

   Dia tahu, serangan kalap itu akan banyak memberi keuntungan adanya.

   Namun, kecepatan dan kekuatan tenaga dalam Andika bukan berarti tidak membahayakan! "Hiaaat!"

   Beberapa saat, serangan membabi buta Andika cukup merepotkan Begal Ireng.

   Namun dibanding Andika, jelas Begal Ireng jauh berpengalaman.

   Malang melintang di dunia persilatan membuatnya benar-benar matang sebagai tokoh kelas atas golongan hitam.

   Ditambah, kekalapan Andika yang banyak memberi keuntungan baginya.

   Tak heran ketika suatu saat, Andika harus menelan pil pahit! Saat itu Andika melesat cepat sambil menyabetkan 'Trisula Kembar'-nya.

   Namun dengan hanya melenting ke atas, sebentar trisula itu berhasil dihindari Begal Ireng.

   Dan baru saja kakinya mendarat, kembali datang serangan kalap dari Andika.

   Maka cepat Begal Ireng merunduk.

   Seketika di luar dugaan, Begal Ireng cepat melepaskan satu gedoran telapak tangan berisi tenaga dalam tinggi.

   Begitu cepatnya, sehingga Andika tak mampu berkelit.

   Sehingga....

   Desss! "Aaakh!"

   Trisulanya terpencar jauh dari tubuhnya. Begitu jatuh di tanah, Andika meringis kesakitan. Tangannya memegangi dada yang telak terhajar telapak tangan Begal Ireng. Sedangkan dari mulutnya, darah kehitam-hitaman menciprati tanah berdebu.

   "Andika...!"

   Jerit Ningrum tatkala matanya melihat, bagaimana tubuh kurus Andika melayang tak beda selembar daun kering diterpa angin.

   Maka dari dalam kedai dia berlari mendekati Andika yang tersuruk mencoba bangkit kembali.

   Dua orang botak dan sipit kaki tangan Begal Ireng yang berdiri tak jauh dari pintu kedai, sama sekali tidak mencegahnya.

   Dengan amat dingin dan kaku, mereka hanya melirik tubuh Ningrum yang sintal.

   "Keparat kau, Begal Ireng!"

   Jerit Ningrum menyayat, setelah merangkul tubuh Andika yang limbung.

   Bagi Ningrum, Andika adalah segalanya.

   Andika berarti satu tugas amat berat yang diembannya dari Perguruan Naga Merah.

   Andika berarti seorang sahabat yang amat menyenangkan.

   Dan Andika juga berarti cinta pertamanya yang tumbuh subur, semenjak pertama kali turun dalam dunia persilatann.

   Cinta yang kini tak lagi bisa dianggapnya sebagai rasa kasihan belaka.

   Cinta yang mekar semerbak di kedalaman hati gadis ini.

   Sambil memapah tubuh Andika, mata Ningrum yang legam indah menjadi beringas.

   Dari bagian bawah bulu mata lentiknya, garis-garis bening mengambang berbaur murka yang tak terbendung.

   Dan setelah merebahkan kembali tubuh Andika yang tak berdaya, Ningrum bangkit.

   Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah Begal Ireng.

   "Kubunuh kau, Begal Ireng!"

   Bersama lengking kemarahan, Ningrum mencabut senjata kipasnya yang selama ini selalu disembunyikan.

   Kini kembali Begal Ireng melayani seorang yang kalap.

   Maka pertarungan sengit tak dapat dihindari lagi.

   Jurus-jurus mereka bertemu, menerbangkan angin dan menimbulkan bunyi-bunyian mendebarkan.

   Mata Andika yang berkunang-kuang memperhatikan pertarungan dengan perasaan kekhawatiran yang sangat.

   Ingin dia berteriak pada Ningrum agar tidak berurusan dengan Begal Ireng.

   Tapi rasa sesak yang demikian mendera dada, membuatnya tak bisa menggetarkan pita suara sedikit pun.

   Hal yang amat tak diharapkan pun terjadi juga.

   Sebentar saja Ningrum sudah terdesak.

   Bahkan tiba-tiba saja satu hantaman tangan Begal Ireng mendarat tepat di dagunya, sehingga membuatnya terpental.

   Bunyi rahang yang remuk terdengar keras.

   Tidak hanya menyayat telinga, tapi juga hati Andika! Pemuda tanggung itu tergagap, berusaha meneriak-kan nama Ningrum.

   Namun dari mulutnya hanya keluar suara serak tak berarti.

   Ketika Andika melihat bagaimana Ningrum jatuh keras dan tak berkutik lagi di sisi jalan, rasa sesak di dadanya tidak lagi dihiraukan.

   Kerongkongan yang semula bagai terkunci, tiba-tiba meledak menciptakan teriakan yang terdengar seperti lolongan menyayat.

   "Aaa...!"

   Andika berusaha bangkit, tapi lantas tubuhnya limbung.

   Perlahan-lahan dia mencoba tegak.

   Mata tajam Andika menyambar langsung ke mata Begal Ireng, bagai seekor rajawali terluka.

   Sebelum Andika sempat menggerakkan otot-ototnya yang mengejang untuk menyerang Begal Ireng, suatu benda keras mendadak menembus dada kiri bagian belakang.

   Dan bumi tiba-tiba terayun di mata Andika.

   Lalu, gelap...

   gelap.

   * ** "Disorgakah aku?"

   Pertanyaan pertama di hati Andika muncul, ketika matanya membuka.

   Pandangannya sedikit kabur.

   Tampak ruangan di sekitarnya berwarna merah menyala.

   Sebuah meja kayu jati berukir indah, berada tak jauh dari tempatnya tergeletak.

   Dari jendela besar di ruang itu, Andika dapat melihat taman indah, di latar belakangi deretan pegunungan.

   Pemuda tanggung itu mencoba bangkit.

   Tapi......

   "Uuuh...,"

   Keluh Andika. Memang masih terasa sakit di beberapa bagian di tubuhnya. Ketika merasa bagian dadanya, didapati kain putih membalut rapat. Berarti aku masih hidup. Tapi, di mana aku?"

   Tanya Andika dalam hati.

   "Kau sudah siuman, rupanya...."

   Tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. Ketika Andika menoleh agak susah, tampaklah seseorang yang amat dikenalnya, baru saja masuk dari satu pintu.

   "Ningrum?"

   Bisik Andika ragu. Perempuan itu tersenyum ramah. Sambil berjalan mendekati Andika.

   "Bukan. Aku bukan Ningrum. Aku Ningsih, saudara kembarnya...,"

   Kata gadis yang baru datang. Ternyata dia memang bukan Ningrum.

   "Lalu...."

   "Dia kutemukan tewas di depan sebuah kedai. Ter geletak tak jauh dari tubuhmu,"

   Jelas gadis yang mengaku bernama Ningsih, sebelum Andika tuntas dengan pertanyaannya.

   Dada Andika mendadak jadi bertambah sakit mendengar penjelasan itu.

   Rasanya seperti sayatan beribu sembilu.

   Napasnya sesak, tatkala membayangkan bagaimana Ningrum dihabisi Begal Ireng saat itu.

   Semua tentang diri gadis muda itu pun satu persatu tergambar jelas di benaknya.

   Keayunannya, pandangan matanya, kelembutannya....

   "Ah! Mengapa dia harus mati? Ini semua salahku,"

   Desah Andika, menyalahkan diri sendiri.

   "Aku tak mau mendengar pertimbangannya waktu itu. Kalau saja aku mendengarnya, tentu dia tidak mati. Bodoh! Aku memang teramat bodoh!"

   "Jangan salahkan dirimu. Kalau memang maut datang pada waktunya, tak ada seorang pun yang dapat menghindar,"

   Ucap Ningsih lembut. Andika menatap gadis yang semula dikiranya Ningrum itu. Amat lekat.

   "Kau mirip sekali dengan Ningrum."

   "Kalau kau merasa lebih senang untuk mengang-gapku Ningrum, silakan saja,"

   Kata gadis itu seperti paham apa yang ada dalam pikii an Andika.

   "Tapi kau tetap bukan Ningrum...,"

   Keluh Andika penuh rasa kehilangan. Beberapa saat, setelah Andika mampu menguasai diri, barulah pikiran jernihnya mulai terbuka.

   "Sekarang, di mana aku?"

   Tanya Andika.

   "Perguruan Naga Merah."

   "'Penjaga Pintu"? "Ya."

   "Bagaimana kau bisa menemukan kami waktu itu?"

   "Waktu itu, aku sedang memulai tugas dari guruku untuk menyusul Ningrum. Dia sudah begitu lama meninggalkan tempat ini, namun belum ada kabar sedikit pun. Ketika melewati kota kabupaten, aku temukanmu dan Ningrum,"

   Jelas Ningsih. Andika mendapatkan suatu keganjilan dari penuturan Ningsih.

   "

   "Hanya aku dan Ningrum? Lalu, bagaimana nasib Purwasih, si Naga Wanita itu?"

   Andika bertanya-tanya sendiri dalam hati. Sesaat kening pemuda tanggung itu berkerut, memikirkan kejadianyang menimpanya. Dia berusaha meyakinkan diri, kalau saat itu ada gadis lain yang bersamanya.

   "Kau yakin tidak melihat wanita lain, selain saudara kembarmu itu?"

   Tanya Andika lagi. Gadis seayu dan seanggun Ningrum di hadapannya menggelengkan kepala.

   "Aneh!"

   Gumam Andika.

   "Apakah dia ditahan Begal Ireng? Kalau melarikan diri, rasanya tak mungkin untuk pendekar wanita macam dia."

   "Boleh aku tanya sesuatu...."

   "Andika,"

   Potong Andika, memperkenalkan diri agar Ningsih tidak begitu canggung memanggilnya.

   "Boleh aku tanya sesuatu, Andika?"

   Ulang Ningsih. Andika mengangguk.

   "Ada urusan apa sebenarnya kau dengan Naga Wanita?"

   Tanya Ningsih, sehingga membuat Andika heran.

   "Dari mana kau tahu?"

   Ningsih lalu mengeluarkan sesuatu dari balik pa-kaian berwarna putih bersulam naga merah miliknya. Tampak sebuah belati berukir naga tanpa gagang. Pang-kalnya hanya diberi semacam pita berwarna keemasan.

   "Senjata rahasia Naga Wanita ini kutemukan menembus punggungmu...."

   "Apa?!"

   Andika membelalakkan matanya.

   "Sedikit saja benda ini menembus lebih ke bawah, maka jantungmu berhenti bekerja. Untung hal itu tak terjadi,"

   Lanjut Ningsih. Andika jadi bingung. Timbul ah pertanyaan dalam hatinya.

   "Kenapa Purwasih ingin membunuhnya? Benarkah dia sungguh-sungguh orang kepercayaan prabu? Atau, dia adalah salah seorang kaki tangan Begal Ireng yang telah berusaha menggiring dirinya dan Ningrum ke kedai itu, agar dapat dihabisi?"

   Dada Andika jadi sesak kembali.

   Pukulan telak Begal Ireng rupanya membuat luka dalam yang cukup parah di dadanya.

   Dan seketika mulutnya memperdengarkan erangan tertahan.

   Sedangkan tangannya meraba dadanya yang sakit.

   Tstirahatlah dulu, Andika.

   Luka dalammu mungkin baru akan sembuh lima hari ini dengan obat-obatan kami,"

   Saran Ningsih seraya memberi seulas senyum bening pada Andika.

   Mirip sekali dengan senyum Ningrum yang amat dikagumi Andika.

   *** Lembah Kutukan memang tempat yang mengerikan.

   Dari namanya saja, orang bisa saja memperkirakan kalau tempat itu menyeramkan.

   Kenyataannya, bahkan lebih menyeramkan dari bayangan orang.

   Dan di tempat itulah Andika akan menjalani penyempurnaan ilmu ke saktiannya.

   Dari bangunan Perguruan Naga Merah yang diapit dua bukit terjal yang membentuk gerbang masuk ke Lembah Kutukan.

   Andika dilepas oleh guru Perguruan Naga Merah.

   Dia adalah seorang wanita tua berwibawa.

   Dan keluarga wanita tua berjuluk Naga Biru itu adalah sahabat turun-temurun keluarga Pendekar Lembah Kutukan.

   Tugasnya adalah menjaga pintu masuk Lembah Kutukan, sekaligus mengantar setiap keturunan pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan untuk menjalani penyempurnaan.

   "Ikuti terus celah yang diapit bukit yang memanjang ini,"

   Pesan Naga Biru.

   "Setelah kau sampai pada suatu lembah yang dikelilingi gunung, bersiaplah untuk melewatinya. Itulah Lembah Kutukan yang tak pernah ada satu manusia pun berhasil melaluinya, kecuali para pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan."

   Sejenak wanita itu menatap Andika, lalu kembali menatap ke arah Lembah Kutukan.

   Tersiapkan seluruh kesaktian yang telah diwarisi padamu untuk melewatinya hingga mencapai satu goa.

   Dan setelah berhasil melewatinya, kau akan mendapatkan jurus-jurus sakti yang akan menjadi milikmu,"

   Jelas Nyi Nagageni.

   Maka dengan dilepas saudara kembar Ningrum, Andika melangkah masuk pada celah yang dibentuk oleh apitan dua bukit.

   Sebenarnya, Andika sudah tidak lagi berkeinginan untuk menjalani hal itu.

   Semangat hidupnya pun bahkan telah pupus, sejak kehilangan orang terakhir yang dicintainya.

   Ningrum! Kalau dulu Soma dan Ki Sanca yang sudah dirasakan sebagai keluarganya, disingkirkan secara keji oleh Begal Ireng, kini menyusul orang yang sudah dianggap sebagai kekasihnya! Andika merasa kematian mereka disebabkan semata-mata oleh dirinya.

   Itulah yang membuatnya menjadi enggan untuk terus hidup.

   Rasa kehilangan yang berbaur dendam dan perasaan bersalah, menghantui dirinya.Kalau saja Nyi Naga geni yang tak hanya berwibawa namun juga bijak itu tidak mencegahnya dan memberikan wejangan yang meresap sampai ke akar hatinya, tentu Andika akan pergi lagi untuk mencari dan mengadu jiwa dengan Begal Ireng tanpa berharap suatu kemenangan pun, kecuali menyusul orang-orang yang dicintainya.

   Kini mulailah Andika melangkahkan kaki selangkah demi selangkah.

   Dadanya yang kini sudah pulih, berdetak keras.

   Otot-otot di tubuh kurusnya menegang, menyadari dirinya harus menjalani ujian antara hidup dan mati.

   Meski masih ada keinginannya untuk mati saja, namun itu sama sekali tidak membuatnya sembarangan.

   Belum berapa jauh Andika melangkah, peluh sudah bersimbah membanjiri wajah dan tubuhnya.

   Raut wajah tampan yang tirus itu bagai seorang yang melihat malaikat maut tepat di depan mata.

   Setelah sekian jauh melangkah menyusuri celah sempit selebar rentangan tangan dan berliku, barulah Andika tiba pada ujung celah.

   Dari ujung celah itu, tampak suatu pemandangan yang tampak sebagai suatu alam lain.

   Sementara langit di atas lembah ini sama sekali dikepung gumpalan-gumpalan awan hitam raksasa yang bergerak berputar di tempat itu juga.

   Setiap kali segumpal besar menabrak gumpalan lain, lidah petir langsung menukik ke dataran lembah.

   Dalam satu kedipan mata saja, beberapa petir menyalak sahut-menyahut.

   Tak kalah mengerikan sekaligus menakjubkan, petir itu satu demi satu menyambar batu-batu sebesar telapak kaki yang tersusun dalam jarak teratur di selur uh dataran lembah.

   Pantas, belum ada seorang manusia pun selamat melewati lembah itu untuk tiba di dalam goa.

   Mereka harus memiliki ketajaman mata dan kecepatan gerak, yang mampu menandingi sambaran-sambaran lidah petir.

   Tampaknya, kecepatan dari kesaktian yang telah diwariskan pada Andika, mampu menandingi sambaran lidah petir itu.

   Dan Andika benar-benar mengaguminya.

   Pantas pula kalau hanya para pewaris kesaktian itu yang mampu melewati lembah ini, termasuk Ki Panji Agung.

   Namun, itu bukan berarti menjamin Andika secara pasti untuk bisa melewati lembah mengerikan itu.

   Segalanya harus dipersiapkan, dan perhatiannya dipusatkan habis-habisan, jika tidak ingin dipanggang lidah petir.

   Sebenarnya, Andika jadi bergidik juga.

   Tapi kebulatan tekadnya untuk dapat menjalani penyempurnaan ilmu kesaktian agar dapat mengenyahkan iblis jahanam Begal Ireng, membuatnya tidak begitu peduli terhadap kengerian yang sebentar-sebentar memberon-tak.

   Mulailah Andika menenangkan dirinya.

   Seluruh perhatian dipusatkan pada matanya.

   Pada taraf puncak pemusatan pikirannya, hingga merasa dirinya benar-benar kosong, barulah ia mulai menggerakkan kakinya kembali.

   Perlahan-lahan tubuhnya keluar dari celah, dan mulai menjejakkan kaki di permukaan lembah yang dipenuhi batu-batu tersusun rata dan teratur.

   Pada celah antara dua batu itu, Andika menjejakkan kaki untuk melangkah.

   Pada langkah ketiga, satu sambaran berkelebat dari arah depan.

   "Uts!"

   Namun dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh, Andika bisa menghindari, meski harus mundur dua langkah ke belakang.

   Kembali Andika mulai melangkah.

   Kali ini, dia tidak mau tanggung-tanggung.

   Dilangkahinya beberapa deret batu untuk tiba pada satu sela batu.

   Baru saja kakinya menjejak, satu lidah petir melesat dari arah samping, mengarah kehagian kepalanya.

   Srattt! Andika tidak mau lagi melangkah mundur, karena berarti harus mengulangi melewati beberapa deret balu yang kini sudah terlampaui.

   Maka....

   "Hiaaat...!"

   Andika langsung melenting, seraya meliukkan tubuhnya.

   Lalu, manis sekali kakinya menjejak tidak beru bah pada deret batu itu.

   Setombak demi setombak, Andika maju.

   Semakin maju menuju goa di kejauhan sana, semakin gencar pula sambaran-sambaran lidah petir ke arahnya.

   Sehingga, dia harus begerak meliuk-liuk dalam satu gerakan aneh Namun tiba-tiba datang sambaran kilat lagi, sebelum Andika bersiap.

   Srat! Glarrr! Satu sambaran ternyata tidak bisa dihindarinya lagi.

   Tangannya yang terpentang seketika tersambar kilat.

   Tangannya seketika terasa bagai ditempeli baja membara, menghanguskan sebagian kulitnya.

   Bukan hanya itu, seluruh bagian tubuhnya bagai disengat kekuatan yang membuatnya merasa dipereteli sebagian demi sebagian.

   Andika menjerit sejadi-jadinya, bersahutan dengan petir yang terus saja menyalak di sekeliling lembah.

   Tanpa menunggu lebih lama, kakinya dihentakkan penuh kekuatan.

   Maka tubuhnya seketika berputaran beberapa kali di udara dalam kesakitan yang masih mendera di sekujur tubuhnya.

   Andika melenting mundur beberapa langkah.

   Itu berarti dia gagal lagi.

   Anehnya, dalam keadaan mundur seperti itu tak ada satu lidah petir pun yang mengarah ke tubuhnya.

   Masih dengan tubuh limbung, Andika berhasil menjejakkan kaki di ujung celah yang tadi ditinggalkan.

   Diperiksa segera tangannya.

   Ada bagian yang terpanggang hangus.

   Kulit itu tersobek tanpa darah sedikit pun.

   Wajah Andika meringis menahan pedih.

   Mulutnya sendiri mengumpat kesal.

   "Sompret! Baru saja beberapa tombak, aku sudah seperti ini. Bagaimana lagi kalau sudah hampir tiba di goa itu? Bisa-bisa aku sudah jadi kambing guling!"

   Dengus Andika.

   Tak lama kemudian, pemuda tanggung itu sudah mencoba kembali.

   Untunglah, dia termasuk anak keras kepala.

   Jadi, kata kapok tidak pernah mampir di benaknya.

   Usahanya kali ini makin membuat Andika lebih berhati-hati dan lebih memusatkan perhatian.

   Itu tak sia-sia.

   Andika telah tiba di tengah-tengah lembah.

   Di sana, makin menggila saja serangan dari kekuatan alam itu.

   Semakin disambar bertubi-tubi, Andika semakin gesit menggerakkan tubuhnya, membentuk gerakan demi gerakan yang sudah tidak disadarinya lagi.

   Dan dia makin terbiasa.

   "Hiaaat...!"

   Gerakan pemuda itu makin mantap untuk berkelit dari sambaran lidah petir.

   Bahkan gerakannya sampai terlihat seperti menghilang karena begitu cepatnya.

   Dan ketika goa yang ditujunya hampir dijangkau, tubuhnya jadi tidak terlihat lagi, kecuali bersit-bersit lidah petir yang tak putus-putus di kuti gelegarnya yang angkuh.

   Teppp! "Fhuuuh...."

   Andika membuang napas lega.

   Akhimya tiba juga dia di muka goa tanpa harus jadi kambing guling.

   Diperhatikannya rongga goa itu.

   Tampak remang di dalamnya, dan hanya diterangi pelita-pelita kecil yang kelihatannya dihidupi oleh gas alam.

   Goa itu nampak tidak terlalu dalam.

   "Hm.... Ada kejutan apa lagi di dalamnya?!"

   Tanya hati Andika.

   Sejenak dia hanya mengusap-usap tangan yang tersambar petir tadi.

   Masih terasa pedih.

   Andika kembali melangkah.

   Kewaspadaan tetap dijaga seperti saat melewati lembah di belakangnya.

   Matanya bergerak ke sana kemari, menjaga setiap kemungkinan yang bisa mencelakakan dirinya.

   "Aku yakin, di sinilah Pendekar Lembah Kutukan yang kesohor hingga sekarang ini menyembunyikan kitab jurus-jurus saktinya,"

   Duga Andika yakin. Tapi, belum ada sesuatu pun yang mencurigakan meski dia sudah hampir tiba di ujung goa.

   "Hm.... Kenapa goa ini tampaknya tidak menampakkan tanda-tanda kalau tempat ini berbahaya?"

   Tanya Andika lagi, dalam hati.

   Keadaan itu tak berubah sampai Andika tiba di ujung goa.

   Matanya lurus memandang sekeliling goa yang kini melebar.

   Luasnya kira-kira seluas padepokan.

   Pelita-pelita kecil menyala di pinggir-pinggirnya, membentuk lingkaran.

   Tepat di tengah ruang goa, tampak ada mata air yang luar biasa jernihnya.

   Begitu jernihnya, hingga dasarnya jelas terlihat.

   Di tepi mata air itu, tum-buh-tumbuhan menjalar yang menyelimuti batuan di sekitarnya.

   Buahnya amat mengundang selera.

   Merah ranum, mirip tomat.

   "Pohon apa ini? Kalau tomat, aku jelas tahu...,"

   Gumam Andika lagi. Mulut Andika berdecak-decak seperti kagum. Padahal, dia tidak peduli pada sebentuk keindahan yang terpampang di depan hidungnya. Dan mulutnya berdecak karena kecewa. Tidak ada satu kitab pun yang terlihat di tempat itu.

   "Huh! Mana jurus-jurus sakti seperti yang dikatakan guru besar Naga Merah?"

   Cibir Andika dengan wajah kecut. Tubuhnya yang lemas, segera diletakkan di sebuah batu yang menjorok keluar.

   "Tapi, tak mungkin guru Naga Merah itu berbohong padaku!"

   Gumam pemuda itu setelah cukup lama duduk merenung. Andika terus bertanya-tanya sendiri dalam hati.

   "Kalaupun ada kitab jurus-jurus sakti itu, tak mungkin para pendekar keturunan Pendekar Lembah Kutukan memiliki jurus-jurus yang berbeda satu dengan yang lain,"

   Pikir Andika lagi, ketika ingat penjelasan Purwasih dulu, mengenai tokoh-tokoh keturunan Pendekar Lembah Kutukan.

   Termasuk, Ki Panji Agung, orang tua yang datahg dalam mimpinya.

   Dan mendadak saja Andika terlonjak.

   Wajahnya memancarkan kesan kegembiraan teramat sangat.

   "Kenapa aku jadi bodoh!"

   Maki Andika dengan bibi tersungging lebar.

   Memang tidak ada kitab jurus-jurus sakti itu.

   Sampai goa ini runtuh pun, kitab itu tak akan didapat! Jurus-jurus sakti itu justru lahir dari setiap gerakan menghindar dari serangan sambaran lidah petir! Dengan kata lain, setiap pendekar keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang mengalami penyempurnaan, dituntun oleh alam untuk menciptakan jurus-jurus baru.

   Makanya, mereka memiliki jurus-jurus yang berbeda satu dengan lain.

   Dari duduknya yang tadi tak bergairah, Andika langsung melompat-lompat tak beda dengan tingkah orang kesetanan.

   "Yaaa...! Aku dapat! Aku dapat!"

   Teriak Andika, menggema ke seluruh ruangan goa.

   Dua goa ini memang bukan tempat jurus-jurus itu tersimpan.

   Di sini, bukan tempat penyempurnaan itu.

   Di sini hanya tempat untuk beristirahat dan makan! *** Enam purnama berlalu.

   Selama itu, di Lembah Kutukan yang merupakan tempat bunuh diri selain bagi pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan, seseorang berkelebat dalam gencamya tukikan-tukikan lidah petir.

   Di tempat itu, tidak bisa dibedakan antara siang dan malam.

   Gelap dengan kerjap-kerjap petir yang datang bertubi-tubi.

   Dari sanalah akan lahir seorang pendekar belia yang akan menggemparkan seluruh napas dunia persilatan.

   Anak muda tanggung yang akan muncul didahului oleh cemoohan dan anggapan enteng.

   Kemudian, dia terus membuat goncangan di dunia persilatan, lewat jurus-jurus aneh yang telah berhasil diciptakannya sendiri dengan tuntunan alam dan ketajaman otaknya.

   Berkat keganjilan jurus-jurusnya, serta kesleboran tingkahnya yang seringkali memaksa kawan tertawa atau lawan menggeram jengkel, dia akan dikenal sebagai Pendekar Slebor! Pendekar yang malang melintang dengan seribu satu akal bulus! *** Lalu, bagaimanakah rencana jahat Begal Ireng untuk menggulingkan prabu? Apakah Andika akan benar-benar mampu menandingi kesaktian tokoh nomor satu golongan hitam itu? Bagaimana dengan Purwasih alias Naga Merah? Mengapa dia mencoba membunuh Andika? Lalu, kenapa hal yang sebenarnya tentang perbedaan jurus-jurus tokoh keturunan Pendekar Lembah Kutukan diceritakannya pada Andika? Sehingga, anak muda tanggung itu mampu memecahkan teka-teki di Lembah Kutukan? Benarkah dia adalah orang kepercayaan prabu yang ditugaskan untuk menyelidiki pemberontakan Begal Ireng? Bagaimana nasib Ningrum? Benarkah dia telah mati seperti yang dikatakan saudara kembarnya, Ningsih! Dan bagaimana dengan kitab kayu milik Andika? Siapa yang mencurinya? Apakah kerahasiaan tempat Perguruan Naga Merah dan Lembah Kutukan akan terbongkar oleh Begal Ireng yang bertekad akan menghabisi seluruh keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan? Lalu, siapakah orangtua Andika sesungguhnya? Silakan simak kelanjutan pada episode.

   'Dendam dan Asmara SELESAI

   

   

   

Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo

Cari Blog Ini