Ceritasilat Novel Online

Misteri Batu Mustika 1


Pendekar Pedang Matahari Misteri Batu Mustika Bagian 1


PENDEKAR PEDANG MATAHARI Dalam Episode 2 .

   MISTERI BATU MUSTIKA By .

   chimilly Edit .

   Gilang (pendekarpinilih@yahoo.com) (sebagian naskah telah mengalami pengeditan sesuai dengan EYD untuk lebih memudahkan dalam membaca naskah ini dengan tidak mengurangi isi dari naskah yang bersangkutan) Plaaakkk!!! Bunyi tamparan keras ketika seorang wanita tua berhasil menampar lawannya yaitu seorang wanita muda yang bernama Wulan Arum.

   Tampak Wulan Arum meringIs sakit sambil mengelus pipi kanannya yang terkena tamparan nenek tua yang bernama Nyai Dasima.

   Nyai Dasima di kalangan persilatan bergelar si Tangan Neraka.

   "Hik ... Hik ... Hik ... ! Sebaiknya kau serahkan saja Batu Mustika Merah itu, Cah Ayu. Daripada wajahmu yang cantik jadi cacat seumur hidup. Hik ... Hik!"

   Ucap Nyai Dasima terkekeh. Wulan Arum berdiri lalu meludah ke tanah. Tampak ludahnya bercampur dengan darah.

   "Sampai matipun tak akan aku serahkan Batu Mustika Merah padamu nenek peot. Mustika ini milikku jadi kamu tidak ada hak dengan Mustika Merah ini."

   Kata Wulan Arum tegas sambil menatap tajam Nyai Dasima.

   "Hehh, rupanya kau minta mampus, Cah Ayu. Baiklah. Akan aku kirim kau menemui raja akhirat. Hiaaat!"

   Teriak Nyai Dasima keras.

   Di dahului dengan bentakan keras Nyai Dasima menerjang dengan jurus 'Cakar Maut' ke arah wajah Wulan Arum.

   Jelas Nyai Dasima bermaksud membuat cacat wajah Wulan Arum, terbukti serangannya tidak main-main dan sangat berbahaya.

   Melihat serangan itu Wulan Arum dengan cepat mengelak ke samping tapi Wulan harus menelan ludahnya karena serangan ke wajahnya cuma tipuan belaka, dengan gerakan cepat Nyai Dasima mengubah arah serangan jurus 'Cakar Maut'-nya ke arah lambung Wulan.

   Wulan Arum dengan cepat menjatuhkan dirinya menghindari serangan yang mematikan itu.

   Tapi belum sempat bangkit Wulan Arum merasakan sambaran angin ke arahnya maka dengan gerakan lincah Wulan Arum bergulingan lalu melompat tinggi bersalto beberapa kali di udara dan mendarat dengan manis di atas tanah.

   "Punya ilmu juga rupanya kau, Bocah. Aku mau lihat apa kau bisa menghindari Ajian Pukulan 'Kipas Neraka"

   Milikku."

   Nyai Dasima merapatkan telapak tangannya di depan dada lalu memutar-mutar dengan pelan hingga telapat tangan itu berubah menjadi berwarna hitam mengerikan.

   Dengan gerakan kilat Nyai Dasima mendorong telapak tangannya ke depan.

   Maka dari telapak tangan itu melesat sinar hitam lalu di tengan jalan mengembang bagai kipas raksasa.

   Itulah Ajian Pukulan 'Kipas Neraka"

   Yang jadi andalan Nyai Dasima. Selama ini banyak pendekar yang tewas terkena Ajian Pukulan 'Kipas Neraka"

   Tersebut.

   Wulan Arum yang tahu bahaya sedang mengancamnya tidak bisa berbuat apa-apa karena dia tidak memiliki ajian tenaga dalam, dia cuma memiliki olah kanuragan saja.

   Maka tak ayal lagi tubuhnya terpental jauh ke belakang jatuh ke jurang yang ada di belakangnya.

   "Aaaaaakhh ... !"

   Jerit Wulan Arum keras menggema di dinding jurang yang curam itu, lalu teriakan Wulan lenyap tak terdengar lagi.

   Nyai Dasima coba memburu tubuh Wulan Arum sebelum terjatuh ke dalam jurang tapi terlambat.

   Tubuh Wulan Arum keburu jatuh ke dalam jurang.

   Dengan kesal Nyai Dasima menendang batu di depannya hingga hancur berantakan.

   "Setan alas. Aku gagal mendapatkan Batu Mustika Merah itu. Raden Wijaya pasti marah besar padaku ... Akh peduli setan dengan batu itu yang penting aku sudah berhasil melenyapkan gadis itu. Sebaiknya aku kembali saja ke tempat Raden Wijaya."

   Ucap Nyai Dasima kesal. Dengan gerakan ringan sekali Nyai Dasima beranjak pergi meninggalkan tempat itu. --o0o--"Hehhhmm ...

   "

   Suara orang mendesah pelan tersadar dari pingsan. Perlahan-lahan orang yang baru saja siuman itu membuka matanya. Samar-samar orang itu melihat di sekelilingnya.

   "Kamu sudah sadar, Nisanak?"

   Ucap seseorang berpakaian serba putih agak ketat dengan muka memakai topeng perak.

   Sebilah pedang bergagang matahari terlihat di balik punggung pemuda itu.

   Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Surya atau Pendekar Pedang Matahari.

   Wanita yang baru siuman itu menatap Surya sayu.

   "Ini dimana?"

   Ucapnya lirih.

   "Ini di goa Bukit Jatianom. Nisanak baru saja siuman dari pingsan. Apa yang terjadi sebenarnya padamu? Kenapa Nisanak bisa pingsan?"

   "Hehhmm ... Aku haus ...

   "

   Ucap wanita itu lirih. Surya dengan cepat memberi minum pada wanita itu. Lalu dengan tenang ia mengalirkan hawa murni pada gadis itu agar tenaga wanita itu pulih.

   "Namaku Wulan Arum. Aku berasal dari Jatianom."

   Kata wanita itu memperkenakan diri.

   "Terima kasih Kisanak telah menolongku."

   "Sudah sepantasnya manusia saling menolong. Saya hanya kebetulan lewat dan melihat Nisanak pingsan tersangkut di batu sungai."

   Kata Surya lembut.

   "Maaf Nisanak, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Nisanak bisa sampai pingsan di batu sungai?"

   Tanya Surya penasaran dengan apa yang terjadi terhadap Wulan Arum.

   "Aku di serang tiba-tiba oleh orang tua bernama Nyai Dasima. Aku berusaha melawan tapi aku tak mampu melawannya. Aku terkena Pukulan 'Kipas Neraka' yang dia lepaskan. Aku terpental dan terjatuh ke dalam jurang dan tahu-tahu aku di sini."

   Cerita Wulan Arum.

   "Kenapa Nyai Dasima menyerangmu? Sampai-sampai dia ingin membunuhmu."

   Wulan Arum menggeleng pelan.

   "Aku tidak tahu."

   "Apa ini milikmu Nisanak?"

   Kata Surya sambil menunjukkan sebuah kotak kecil berukir tulisan emas di tangan kanannya.

   "Ekh?!"

   Wulan kaget, lalu buru-buru mengambil kotak kecil dari tangan Surya.

   "Maaf, aku menyimpannya sewaktu mengobati luka dalammu. Maaf juga jika aku lancang."

   Ucap Surya kalem. Wulan Arum nampak bersemu merah pipinya.

   "Tidak apa-apa. Aku ucapkan terima kasih padamu telah menolongku. Entah apa jadinya jika tidak ada Kisanak."

   Kata Wulan Arum sambil mencoba untuk duduk. Surya dengan cepat membantu Wulan Arum untuk duduk.

   "O ya, siapa nama Kisanak?"

   "Surya."

   Ucap Surya lembut sambil tersenyum ramah.

   "Surya, terima kasih atas pertolonganmu,"

   Kata Wulan Arum. Surya mengangguk pelan.

   "Sebaiknya Nisanak istirahat saja dulu biar lebih segar."

   Kririuuukk ... ! Suara perut Wulan Arum karena merasa lapar. Surya tersenyum lebar membuat Wulan Arum jadi menunduk malu karena perutnya tidak bisa di ajak kerja sama.

   "Sebentar."

   Surya beranjak ke sudut goa laku kembali membawa sebungkus makanan.

   "Makanlah. Ini cukup sekedar mengganjal perut."

   Surya menyodorkan makanan itu ke Wulan Arum.

   Dengan malu-malu Wulan Arum menerima makanan itu lalu dengan lahap menghabiskan makanan itu karena memang perutnya sangat lapar sekali.

   Surya tertawa kecil melihat Wulan Arum begitu lahap menghabis makanan itu.

   "Hehmmm. Ini minum."

   Wulan Arum menghabiskan minuman itu.

   "Hehehe. Maaf aku lapar sekali."

   Kata Wulan Arum tertawa kecil.

   "Istirahatlah biar nanti bangun lebih segar."

   Kata Surya lembut sambil beranjak berdiri.

   "Aku mau keluar dulu sebentar."

   Wulan Arum mengangguk pelan lalu mulai merebahkan tubuhnya.

   --o0o--Desa Jatianom tampak ramai sekali siang ini ...

   Karena hari ini tepat pasaran Desa Jatianom makanya seluruh penduduk tampak tumpah ruah memenuhi jalan-jalan desa tersebut.

   Di antara kerumunan orang-orang tampak dua orang tengah berjalan ke sebuah kedai di ujung jalan yang lumayan ramai.

   Mereka adalah Surya dan Wulan Arum.

   "Kita istirahat cari makan dulu Wulan."

   Kata Surya sambil menoleh ke gadis cantik yang berjalan di sampingnya.

   Wulan Arum mengangguk cepat karena memang saat Ini perutnya terasa lapar sekali.

   Mereka masuk ke dalam kedai dan duduk di pojok karena tempat itulah yang kosong.

   Pria separuh baya mendatangi mereka yang ternyata pemilik kedai itu.

   Setelah memesan makanan pemilik kedai segera masuk menyiapkan makanan.

   "Kakang, hari ini tepat pasaran Desa Jatianom ini. Biasanya kadipaten selalu mengadakan perlombaan ketangkasan untuk mencari panglima perang baru. Kita menginap dulu atau langsung pergi?"

   Ucap Wulan Arum pelan sambil melihat keluar kedai yang ramai. Surya cuma diam saja karena saat ini pikiran sedang fokus terhadap beberapa orang yang tengah memperhatikan ke arahnya.

   "Kakang."

   Seru Wulan menepuk bahu Surya.

   "Hemmm ...

   "

   Gumam Surya pelan.

   "Terserah kamu saja Wulan."

   Ucapnya pelan.

   "Hmmm ... Bagaimana kalau kita menginap beberapa hari dulu di desa ini?"

   Surya mengangguk pelan setuju dengan usul Wulan.

   "Ini den makannya sudah siap. Silakan di nikmati."

   Kata pemilik kedai ramah setelah menyediakan pesanan Surya.

   "Terima kasih, Paman."

   Ucap Wulan pelan.

   "Paman, apakah disini ada penginapan kosong?"

   Tanya Surya cepat.

   "Oh ada den, ada. Apa aden mau menginap?"

   Surya mengangguk.

   "Tolong sediakan satu kamar buat kami."

   Kata Surya cepat. Pemilik kedai itu nampak mengerutkan keningnya sambil menatap Surya dan Wulan Arum bergantian.

   "Dia ini adikku,"

   Ucap Surya cepat mengerti kebingungan pemilik kedai itu.

   "Oh baik den. Akan saya siapkan.saya permisi dulu. Silakan di nikmati makannya."

   Kata pemilik kedai itu sambil berlalu dari hadapan Surya.

   "Kakang! Kok pesan satu kamar sih?!"

   Kata Wulan cepat agak kurang senang dengan Surya yang cuma memesan satu kamar saja.

   Wajahnya sedikit cemberut.

   Surya cuma tersenyum saja melihat Wulan Arum yang cemberut itu.

   Dengan cuek Surya melahap hidangan di depannya.

   mau tidak mau Wulan Arum juga melahap hidangannya dengan muka cemberut.

   --o0o--"Kakang.

   Kenapa cuma pesan satu saja?"

   Seru Wulan sengit setelah mereka di dalam kamar penginapan. Surya membuka jendela kamar. Sengaja Surya memilih kamar di ujung karena dapat melihat keluar langsung ke arah jalan.

   "Kita tidak tahu kapan bahaya akan datang menyerang kita. Apalagi aku yakin orang yang menyerangmu dulu ada di Desa Jatianom ini. Untuk berjaga-jaga sebaiknya menginap satu kamar saja."

   Kata Surya pelan sambil duduk di dekat jendela.

   "Alah itu paling cuma alasanmu saja Kakang agar bisa tidur satu kamar dengan aku. Nanti kalau aku terlelap tidur kamu pasti bisa leluasa kurang ajar padaku."

   Seru Wulan sengit masih jengkel. Surya tersenyum kecil mendengar kejengkelan Wulan Arum itu.

   "Nah, itu kan senyum-senyum. Awas kalau sampai berani kurang ajar padaku."

   Seru Wulan Arum sambil melotot. Surya beranjak ke arah pintu kamar.

   "Kakang mau kemana?"

   Tanya Wulan Arum cepat melihat Surya yang hendak keluar kamar.

   "Aku mau jalan-jalan keluar sebentar, dari pada tetap disini mendengar kamu uring-uringan terus."

   Kata Surya sambil melangkah keluar kamar. Surya melangkah keluar dari kamar penginapan itu.

   "Kakang tunggu."

   Seru Wulan Arum langsung menyusul Surya.

   Tampak jalanan Desa Jatianom begitu ramai di padati para penduduk yang tengah merayakan hari pasaran itu.

   Hari pasaran di rayakan setiap tiga purnama sekali yang biasanya berlangsung selama tujuh hari.

   Desa Jatianom termasuk dalam wilayah Kadipaten Jatiluhur yang menurut kabar akan dijadikan kerajaan sendiri oleh Raja Jatiluhur bila putra Adipati Jatianom kembali dan menduduki tahta Kadipaten Jatianom.

   Setiap setahun sekali biasanya selalu di adakan pertandingan ketangkasan dan kedigdayaan guna mencari panglima perang serta punggawa-punggawa kerajaan.

   Siapapun boleh mengikuti pertandingan tahunan tersebut karena bisa mengabdi di kerajaan atau Kadipaten Jatianom.

   Apalagi sekarang Adipati Jatianom tengah mencari panglima dan para punggawa pilihan guna memperkuat barisan perang Kadipaten Jatianom yang akan berubah jadi kerajaan sendiri.

   Surya dan Wulan Arum tampak menikmati suasana keramaian di Desa Jatianom itu.

   Semakin sore suasana makin ramai karena jalan-jalan di hiasi berbagai macam hiasan.

   Surya sebenarnya tahu kalau dia lagi di ikuti orang lain tapi dia pura-pura cuek saja.

   "Hmmmm ... apa tujuan mereka mengikuti kami?"

   Kata Surya lirih untuk dirinya sendiri.

   "Akan aku pancing mereka ke luar desa."

   "Kakang ada apa?"

   Tanya Wulan Arum heran dengan sikap Surya yang rada aneh.

   "Wulan, ayo cepat ikuti aku. Kita di ikuti orang. Diam dan jangan banyak tanya."

   Kata Surya sambil menggandeng tangan Wulan.

   Tanpa banyak bicara Wulan ikut kata Surya.

   Sampai di luar desa dengan gerakan kilat Surya dan Wulan Arum melompat ke sebuah pohon yang cukup rindang.

   Mereka memperhatikan ke tikungan jalan dimana tadi mereka lewat.

   Tak berapa lama muncul dua orang dengan baju warna coklat dan berhenti di bawah pohon dimana Surya dan Wulan Arum bersembunyi.

   "Kemana mereka tadi Kakang Bayan?"

   Kata orang yang memakai ikat kepala. Orang yang di panggil Bayan cuma angkat bahu sambil celingukan mencari orang yang mereka ikuti tadi.

   "Adi Darpa! Mungkin mereka mengetahui kalau kita ikuti. Kita kembali ke persembunyian saja dan melaporkan apa yang kita lihat."

   Kata Bayan Ludira kalem sekali. Sikapnya penuh wibawa dan lembut sekali.

   "Aku setuju Kakang. Ayo!"

   Adi Darpa mengangguk cepat. Mereka segera berlari pergi dari tempat itu. Tak lama Surya dan Wulan Arum turun dari pohon tempat mereka sembunyi tadi.

   "Siapa mereka Kakang?"

   Tanya Wulan Arum penasaran. Surya hanya angkat bahu saja. Mereka lalu beranjak kembali ke Desa Jatianom menuju penginapan karena hari sudah semakin gelap. --o0o--"Apa?! Paman berdua melihat Wulan Arum?"

   Seru seorang pemuda yang berpakaian rapi di hiasi pernak-pernik. Tampak mahkota kecil di atas kepalanya. Di lihat dari sikap dan pakaiannya, pemuda itu sepertinya orang besar suatu kerajaan.

   "Dimana Paman berdua melihat Dinda Wulan Arum?"

   Ucapnya cepat. Dua orang berpakaian coklat yaitu Bayan Ludira dan Adi Darpa tampak duduk hormat di hadapan pemuda itu.

   "Ampun Gusti. Kami melihat Gusti Putri Wulan Arum di Desa Jatianom. Tapi Gusti Putri tidak sendirian. Beliau bersama seorang pemuda yang memakai topeng perak."

   Ucap Bayan Ludira hormat.

   "Pemuda bertopeng perak?!"

   Ucap pemuda gagah penuh wibawa Itu bingung.

   Pemuda itu adalah Raden Arya Soma pewaris sah Kadipaten Jatiluhur yang sebentar lagi jadi kerajaan sendiri lepas dari Kerajaan Jati Negara.

   Tapi sayangnya ada orang licik dan serakah yang menggagalkan Raden Arya Soma naik tahta.

   Sehingga Raden Arya Soma beserta pengikutnya yang masih setia berhasil melarikan diri dari tangan Adipati Wijaya dan sekarang tengah menyusun kekuatan guna merebut kembali Kadipaten Jatiluhur dari tangan Wijaya.

   "Siapa pemuda bertopeng itu, Paman?"

   "Ampun Gusti. Hamba belum tahu siapa pemuda bertopeng yang bersama Gusti Putri Wulan Arum."

   Ucap Bayan Ludira.

   "Hmmm ... tapi apa yakin yang Paman lihat itu Dinda Wulan Arum. Bukankah telik sandi kita melihat Dinda Wulan Arum jatuh ke jurang setelah terkena Pukulan 'Kipas Neraka' Nyai Dasima?"

   "Benar, Gusti. Tapi hamba yakin kalau yang hamba lihat adalah Gusti Putri Wulan Arum."

   "Hmmmm ... Mudah-mudahan itu benar Paman. Terus awasi mereka dan cari tahu siapa pemuda bertopeng perak itu."

   "Akan kami laksanakan Gusti."

   Kata Bayan Ludira dan Adi Darpa mengangguk dalam-dalam penuh hormat. Mereka lalu beranjak dari duduknya dan melangkah pergi. --o0o--"Wulan."

   Panggil Surya begitu masuk ke dalam kamar.

   "Wulan."

   Panggil Surya lagi tapi di dalam kamar Wulan Arum tidak ada dan kamar kosong. Surya langsung keluar kamar.

   "Maaf den. Tadi Den Ayu pesen kalau den ayu pengen jalan-jalan keluar. Den ayu juga pesan kalau Denmas balik di suruh nunggu. Begitu, den."

   Kata pemilik penginapan ramah.

   "Terima kasih Paman tapi saya juga ada perlu di luar. Katakan pada Wulan senja saya baru kembali."

   Kata Surya langsung berlalu pergi.

   Surya menyusuri jalanan Desa Jatianom menuju ke luar desa.

   Arah tujuannya adalah Bukit Jatijajar dimana istana kadipaten berdiri dengan megahnya.

   Surya menuju ke istana karena perasaannya kurang enak dan merasa yakin kalau Wulan Arum pasti ke istana itu.

   Tapi ketika Surya sampai di kaki bukit, dia samar-samar mendengar suara pertarungan.

   Maka dia segera menuju ke arah suara pertarungan tersebut.

   Surya melihat dua orang pria tengah bertarung melawan prajurit berjumlah enam orang.

   "Dua orang itu bukankah yang kemarin mengikutiku. Lalu kenapa mereka bisa bertarung melawan prajurit-prajurit Kadipaten Jatiluhur."

   Batin Surya dalam hati.

   Surya hendak pergi dari tempat itu.

   Ia tidak mau ikut campur masalah yang berkaitan dengan prajurit kadipaten maupun kerajaan.

   Tapi Surya jadi kaget karena tak jauh dari pertarungan dia melihat seorang wanita tergeletak dengan banyak darah dari mulut dan luka-luka di tubuhnya.

   "Wulan?!"

   Seru Surya kaget.

   Maka dengan cepat Surya menghampiri tubuh Wulan Arum yang tergeletak tak bergerak.

   Dengan cepat Surya memeriksa keadaan Wulan Arum apakah masih hidup atau sudah mati.

   Surya menghela ndafas lega karena Wulan cuma pingsan saja.

   Tapi Wulan juga luka dalam yang cukup serius maka dengan cepat Surya mengalirkan hawa murni untuk mengobati luka dalam Wulan Arum.

   "Uhuk uhuk uhuk ...

   "

   Wulan Arum batuk sambil muntah darah hitam kental tanda racun dalam tubuh Wulan Arum sudah keluar. Kini Surya tinggal mengalirkan hawa murni untuk memulihkan tenaga Wulan Arum.

   "Uhuk huk ... Kakang."

   Kata Wulan begitu membuka matanya.

   "Kamu tidak apa apa Wulan?!"

   Ucap Surya cepat. Wulan Arum menggeleng pelan.

   "Apa yang terjadi?"

   Kata Surya cepat.

   "Iblis Tangan Neraka berhasil menemukanku. Dia mengambil Mustika Merah itu."

   Kata Wulan lirih sambil memegangi dadanya.

   "Mereka yang telah menolongku. Kalau tidak ada mereka mungkin aku sudah di perkosa oleh para prajurit terkutuk itu."

   "Apa?!!"

   Surya tampak geram mendengar Wulan Arum hampir di perkosa oleh para prajurit itu.

   Maka dengan cepat sekali Surya menyerbu para prajurit yang tengah bertarung dengan Bayan Ludira dan Adi Darpa.

   Kontan saja keenam prajurit itu terkejut bukan main dan dalam waktu sebentar saja keenam prajurit itu babak belur di hajar Surya.

   Mereka lari tunggang langgang tapi naas tiga prajurit berhasil di bunuh Bayan Ludira dan Adi Darpa.

   "Terima kasih Kisanak."

   Kata Bayan Ludira membungkuk. Tapi Surya cuek saja dan menghampiri Wulan Arum yang masih lemas dan terluka. Ketika Surya hendak membawa pergi Wulan Arum buru-buru Bayan Ludira mencegah mereka.

   "Tunggu dulu, Kisanak."

   Seru Bayan Ludira cepat. Surya menoleh ke arah dua orang itu.

   "Gusti Putri Wulan Arum. Apakah Gusti Putri baik-baik saja?"

   Kata Bayan Ludira hormat dan sopan sekali.

   "Paman siapa?"

   Tanya Wulan Arum heran. Orang tua di depannya itu mengenali dirinya sedang Wulan berusaha mengingat-ingat siapa orang tua itu sebenarnya.

   "Hamba Bayan Ludira dan ini Adi Darpa. Kami adalah bawahan Gusti Bayu Permana yaitu mendiang ayah Gusti Putri Wulan Arum. Apa Gusti Putri tidak ingat kami?"

   Wulan Arum mengerutkan keningnya berusaha mengingat.

   "Akh ... aku ingat. Paman Bayan Ludira dan Paman Adi Darpa. Kalian adalah para pembantu Ayahanda Bayu Permana. Ya aku ingat sekarang."

   Seru Wulan Arum senang karena sudah ingat dengan dua orang itu.

   "Syukurlah akhirnya Gusti putrI mengenali kami."

   Ucap Bayan Ludira senang sekali.

   "Kakang Bayan. Sebaiknya kita kembali ke tempat Gusti Arya Soma. Beliau pasti gembira melihat Gusti Putri Wulan Arum selamat."

   Kata Adi Darpa cepat. Bayan Ludira mengangguk cepat.

   "Gusti Putri mari kita ke tempat Gusti Arya Soma. Beliau pasti sangat gembira bisa bertemu dengan Gusti Putri."

   Wulan Arum sejenak menatap Surya seolah minta pendapat. Surya hanya angkat bahu saja.

   "Hmmmm ... baik, Paman."

   Kata Wulan Arum mengangguk.

   Akhirnya mereka beranjak pergi dari tempat itu ke arah utara Bukit Jatijajar.

   Tampak mentari mulai redup tenggelam di ufuk cakrawala.

   --o0o--"Sudahlah tidak apa apa Wulan.

   Soal Mustika Merah itu biar kita urus nanti saja.

   Sebaiknya sekarang kamu harus di obati dulu.

   Aku gembira bisa melihatmu lagi dengan selamat."

   Ucap Arya Soma lembut penuh kewibawaan.

   "Baik Kanda."

   Kata Wulan Arum kalem. Plok plok plok! Arya Soma menepuk tangannya tiga kali. Munculah dua dayang.

   "Antarkan Wulan Arum ke kamarnya. Paman Jalak Biru tolong panggil tabib untuk memeriksa keadaan Wulan Arum."

   "Hamba Gusti."

   Ucap orang yang dipanggil dengan nama Jalak Biru. Wulan Arum di antar oleh dua dayang ke kamar yang telah di siapakan untuknya.

   "Kisanak, siapa namamu?"

   Tanya Arya Soma ke Surya.

   "Nama hamba Surya Gusti."

   Ucap Surya hormat.

   "Hmmm. Surya saya mengucapkan banyak terima kasih padamu karena telah menolong Wulan Arum."

   "Sudah jadi tugas saya untuk menolong siapa saja yang membuntuhkan."

   Kata Surya lembut. Arya Soma manggut-manggut mendengar ketulusan hati Surya dalam setiap ucapan Surya.

   "Jika boleh tahu, apa gelar kependekaranmu di dunia persilatan?"

   "Hamba hanya orang biasa Gusti yang kebetulan di beri sedikit kepandaian dalam olah kanuragan. Sekedar untuk menjaga diri saja."

   Kata Surya merendah.

   "Ampun Gusti. Hamba tidak bisa berlama-lama di sini, jadi hamba mohon diri."

   "Kenapa buru-buru? Hendak kemana?"

   Tanya Arya Soma cepat.

   "Maaf Gusti. Ada sedikit urusan yang akan saya kerjakan Gusti. Jadi saya tidak bisa berlama-lama di sini."

   Arya Soma manggut-manggut pelan.

   "Baiklah jika begitu. Saya pun tidak mau menahanmu jika ada urusan penting. Silaban!"

   "Terima kasih Gusti."

   Kata Surya. Surya berlalu dari tempat itu setelah mohon diri pada Arya Soma.

   "Hmm. Sungguh pemuda yang mengesankan. Kerendahan hatinya sangat mulia. Paman, apa Paman tahu siapa dia dan apa gelarnya?"

   Kata Arya Soma pada orang-orang yang ada di Balai Pendopo Agung.

   "Ampun Gusti. Jika hamba melihat dari ciri-cirinya. Saya pernah mendengar pendekar yang saat ini tengah jadi buah bibir dimana mana."

   Kata orang yang bernama Ki Wayan Darma.

   "Siapa itu, Paman?"

   "Pendekar Pedang Matahari, Gusti."

   "Pendekar Pedang Matahari?!!"

   Seru semua yang ada di Pendopo Agung terkejut.

   "Ki Wayan! Apa Ki Wayan yakin kalau pemuda tadi adalah Pendekar Pedang Matahari?"

   Seru Bayan Ludira cepat ingin kepastian.

   "Benar itu, Ki. Di sini kita sama-sama tahu dan mendengar berita sepak terjang pendekar muda yang mampu menumpas Partai Kelabang Ireng serta membunuh tokoh sesat sakti yaitu Datuk Pulau Ular. Tapi apakah pemuda tadi Pendekar Pedang Matahari yang lagi jadi buah bibir itu."

   Seru Adi Darpa.

   "Aku sendiri tidak tahu, tapi kalau di lihat dari ciri-ciri pemuda tadi besar kemungkinan benar dia adalah Pendekar Pedang Matahari."

   Kata Ki Wayan.

   "Jika benar pemuda tadi adalah pendekar sakti itu maka kita sangat beruntung bila dia mau membantu kita."

   Ucap Arya Soma pelan.

   "Benar, Gusti. Kita akan dengan mudah menggulingkan pemerintahan Adipati Wijaya yang semena-mena."

   Seru Ki Wayan Darma. Para petinggi itu masih terus membicarakan tentang Surya. Sementara itu Surya yang sudah kembali di penginapan tengah berbaring di tempat tidurnya sambil merenung.

   "Batu Mustika Lima Warna. Kemana aku harus mencarinya. Merah, biru, kuning, hijau dan putih. Dua pedang dari Lima Unsur sudah aku ketahui keberadaannya tapi tiga pedang yang lain ada dimana. Kali ini tugasku benar-benar sulit dan lama. Belum lagi aku harus mendirikan kerajaan sendiri. Dimana tempatnya pun aku juga tidak tahu ... aaarghh ... Pusing kepalaku."

   Ucap Surya bergumam seperti orang bicara sendiri.

   "Pedang Naga Langit, Pedang Rajawali Sakti, Pedang 9 Bulan. Yang dua lagi aku tidak tahu apa namanya dan kesaktian apa yang terkandung di dalamnya. Huh, ini benar-benar buatku pusing. Siapa sebenarnya pembuat kekacauan ini?"

   Batin Surya.

   Wuuuung, tap ...

   !!! Sebuah benda menancap di lantai kayu dekat pembaringan Surya.

   Buru-buru Surya melompat berlindung di samping jendela mengantisipasi serangan susulan.

   Secepat kilat dia menggunakan Ajian 'Menembus Pandang' untuk melihat ke luar.

   Dia melihat orang bertopeng dengan pakaian hitam berlari menjauhi penginapan tempat dia berada.

   "Siapa orang itu? Apa maksudnya dia menyerangku?"

   Batin Surya dalam hati.

   Surya melihat ke arah senjata yang menancap di lantai kamar.

   Pisau kecil yang di bungkus daun lontar.

   Surya memungut pisau itu lalu membuka daun lontar di gagang pisau.

   DATANGLAH KE BUKIT BARAT DESA JATIANOM Bunyi pesan yang tertulis di daun lontar itu.

   "Apa maksud pesan ini? Apa tujuan si pengirim mengirim pesan ini?"

   Berbagai pertanyaan timbul di hati Surya mendapat pesan singkat itu.

   Dengan penuh tanda tanya di hatinya Surya keluar dari kamar lewat jendela, dengan gerakan kilat dia berlari ke arah barat Desa Jatianom, dalam tempo singkat Surya sudah berada di bukit barat Desa Jatianom.

   Dia mengedarkan Pandangannya ke sekitar tempat itu tapi tidak melihat ada orang di tempat itu.

   "Tidak ada satu manusiapun di bukit ini lalu apa maksud orang itu mengirimkan pesan untukku?"

   Batin Surya heran.

   BLAARRRR.!!! Suara petir tiba-tiba membelah langit malam yang di iringi kilat menyambar-nyambar.

   Tiba-tiba awan hitam mendung menutup langit malam yang semula cerah dengan bulan purnama kini jadi gelap gulita lalu hujan rintik-rintik mengguyur bukit barat Jatianom di iringi guntur yang menggema serta kilat yang seolah membelah langit malam.

   Di atas batu sebesar kerbau dewasa yang terletak di bawah pohon beringin tiba-tiba muncul asap putih yang lama-lama membentuk satu sosok manusia bayang-bayang.

   Sosok putih samar itu ternyata adalah sosok orang tua dengan jubah putih dan berjanggut putih.

   Orang tua itu membungkuk hormat di hadapan Surya yang terdiam karena heran melihat kemunculan orang tua itu.

   "Hormat dan sembah hamba pada Yang Mulia Pangeran Matahari."

   Kata orang tua itu lembut. Surya mengerutkan keningnya mendengar orang tua itu mengenali dirinya.

   "Orang tua. Siapa kau? Apa aku mengenalmu?"

   Kata Surya penasaran. Orang tua itu sekali lagi membungkuk hormat seolah sedang berhadapan dengan seorang raja besar.

   "Hamba Ki Ageng Tirtayasa salah satu dari Dua Puluh Lima Pelindung Raja yaitu Pita Emas."

   Kata orang tua itu yang bernama Ki Ageng Tirtayasa yang mengaku salah satu dari Dua Puluh Lima Pelindung Raja Pita Emas.

   Mendengar hal itu membuat Surya terlonjak kaget bukan main, karena Surya tahu apa itu Pelindung Raja Pita Emas.

   Itu adalah dua puluh lima orang pilihan yang Surya beri Ilmu 'Pengikat Batin' agar memiliki ilmu kesaktian dan kesetiaan pada raja Kerajaan Tapak Suci jaman dulu yang dia dirikan, tapi kerajaan itu hancur oleh perang saudara dan kini hanya tinggal dongeng belaka.

   "Dua Puluh Lima Pelindung Pita Emas?!"

   Kata Surya lirih.

   "Yang Mulia Pangeran Matahari."

   Panggil Ki Ageng Tirtayasa kalem. Surya menghela nafas pelan.

   "Ada apa kamu menemuiku di tempat ini, Tirtayasa?"

   Kata Surya cepat tanpa menaruh hormat pada orang tua di hadapannya karena dulu semasa Surya masih jadi raja di Istana Tapak Suci.

   Dua Puluh Lima Pelindung yang dia bentuk adalah orang-orang yang hampir sebaya dengan dirinya.

   Jadi tidak heran kalau Surya bersikap seperti orang sebaya.

   "Bukankah Istana Tapak Suci sudah musnah dua abad yang lalu. Kenapa kamu masih bisa hadir di masa ini?"

   Ki Ageng Tirtayasa kembali membungkuk hormat.

   "Ampun Yang Mulia Pangeran Matahari. Ampuni kelancangan hamba yang berani menemui Yang Mulia Pangeran Matahari dengan tidak sopan. Selama Ilmu 'Pengikat Batin' masih ada di diri kami, maka kami akan selalu terikat dengan Yang Mulia Pangeran Matahari."

   Kata Ki Ageng Tirtayasa menerangkan. Surya manggut-manggut mendengar itu.

   "Aku tahu itu, tapi jika aku mencabut Ilmu 'Pengikat Batin' itu maka kamu tahu kan apa akibatnya?! Semua ilmu yang kalian miliki akan hilang dan bahkan nyawa kalian bisa lenyap."

   Kata Surya tenang.

   "Kami paham Gusti."

   Ki Ageng Tirtayasa mengangguk cepat.

   "Sudahlah. Ada apa kau menemuiku di sini?!"

   Surya ingin segera tahu apa maksud Ki Ageng Tirtayasa menemuinya.

   Ki Ageng Tirtayasa mulai menyampaikan maksud dan tujuannya menemui junjungannya.

   Rupanya Ki Ageng menceritakan semua kejadian dari jaman Istana Tapak Suci bisa hancur sampai kenapa Surya bisa terpesat di jaman ini.

   "Jadi seperti itulah Yang Mulia Pangeran Matahari."

   Kata Ki Ageng Tirtayasa mengakhiri ceritanya. Surya mengangguk paham apa yang sebenarnya terjadi kenapa dia bisa sampai terpesat ke jaman ini.

   "Terima kasih Tirtayasa atas ceritamu. Nah, mulai sekarang kau aku bebaskan dari Ilmu 'Pengikat Batin' yang kusematkan padamu. Pergilah dan tenanglah di alammu."

   Kata Surya penuh kewibawaan.

   "Terima kasih atas kemurahan hati Gusti Pangeran Matahari. Jika hamba di perkenankan apakah hamba di perbolehkan minta satu permintaan. Hamba mohon dengan sangat Gusti Pangeran mau mengabulkan."

   Ki Ageng Tirtayasa membungkuk dalam-dalam.

   "Hmmm ... apa?"

   "Hamba punya murid yang bernama Panji. Bergelar Pendekar Naga Putih. Ada seorang tokoh sakti yang memberikan pusaka yaitu Pedang Naga Langit yang sebenarnya milik murid Gusti Pangeran."

   Ki Ageng Tirtayasa berhenti sejenak. Tampak Surya sedikit terkejut mendengar itu.

   "Akan sangat berbahaya sekali jika Panji memakai Pedang Naga Langit tanpa memiliki tenaga dalam yang di miliki Pedang Naga Langit."

   "Lalu apa permintaanmu?"

   Potong Surya.

   "Ampun Gusti. Hamba mohon Gusti berlapang hati menolong murid hamba Panji."

   Kata Tirtayasa sambil berlutut. Surya diam sejenak mendengar permintaan Ki Ageng Tirtayasa itu.

   "Hamba mohon Gusti."

   "Hehmm. Baik akan aku bantu muridmu itu tapi kamu harus menerima akibatnya Tirtayasa."

   "Hamba mengerti Gusti."

   "Siapa nama tokoh sakti yang memberikan Pedang Naga Langit itu pada muridmu?"

   "Namanya Ki Resi Wasesa. Dia berdiam diri di kawah Gunung Lawu."

   Surya manggut-manggut saja.

   "Ya sudah. Pergilah ke Goa Lima Warna dan semedilah di sana."

   Ki Ageng Tirtayasa membungkuk hormat kemudian sosoknya pelan-pelan menghilang.

   Keadaan bukit barat Jatianom kembali sepi dan gelap seperti sedia kala namun hujan rintik-rintik masih mengguyur bukit Jatianom, kilat masih terlihat membelah malam, perlahan Surya mulai beranjak meninggalkan bukit Jatianom tersebut.

   --o0o--Sekelebat bayangan hitam nampak melompat-lompat dengan lincahnya di antara pepohonan yang tumbuh di sekitar bangunan megah Kadipaten Jatiluhur.

   Sejenak bayangan itu berhenti di bawah pohon yang cukup rindang, kemudian melompat tinggi di atas sebuah benteng tinggi.

   Menilik dari gerakannya yang lincah nampaknya bayangan hitam itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi.

   Pelan-pelan bayangan hitam itu mengendap-endap ke sebuah bangunan dan berhenti di bawah jendela sebuah kamar.

   Setelah melihat kanan kiri, bayangan itu mengetuk daun jendela.

   Setelah beberapa kali ketukan, tak lama jendela itu di buka dari dalam.

   Dengan cepat bayangan hitam itu melompat masuk setelah jendela terbuka lebar.

   Kemudian dengan cepat jendela kembali tertutup rapat.

   "Bagaspati! Ada pesan apa dari Gusti Arya Soma?"

   Ucap seorang wanita muda yang cantik agak berbisik seolah tidak ingin ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka. Orang yang di panggil Bagaspati buka penutup wajahnya.

   "Nini Intansari! Gusti Arya Soma menugaskan Nini mencari tahu apakah Batu Mustika Merah telah jatuh ke tangan Adipati Wijaya."

   Kata Bagaspati juga setengah berbisik.

   "Batu Mustika Merah?! Aku rasa belum. Karena tadi Adipati masih menyuruh bawahannya untuk mencari Batu Mustika Merah itu."

   Bisik Intansari yakin.

   "Begitu? Oya ada kabar gembira. Gusti Putri Wulan Arum sudah kembali dan beliau sekarang ada di tempat persembunyian bersama yang lain."

   "Gusti Putri Intansari sudah kembali? Syukurlah. Terima kasih ya Tuhan."

   Ucap Intansari senang sekali.

   "Tapi ... bukankah kabarnya Gusti Putri jatuh ke jurang. Bagaimana ceritanya, Bagaspati."

   Lanjut Intansari cepat.

   "Ada yang menolong beliau. Yaitu pendekar sakti."

   Sahut Bagaspati.

   "Soal Batu Mustika Merah. Gusti Putri Wulan Arum bilang kalau batu mustika itu di curi oleh orang-orang Adipati Wijaya. Apa benar Adipati Wijaya belum memiliki Batu Mustika Merah itu?!"

   Intansari menggeleng cepat.

   "Aku yakin belum."

   Ucapnya mantap.

   "Ya sudah, terus awasi Adipati itu dan berhati-hatilah."

   Ucap Bagaspati pelan.

   "Aku harus pergi."

   Intansari mengangguk cepat.

   "Kamu juga hati-hati."

   Bagaspati kembali melompat keluar dari jendela setelah melihat keadaan aman.

   Dengan mengendap-endap, Bagaspati menuju dinding benteng.

   Tapi baru mau melompat tiba-tiba ada sebuah benda meluncur cepat kearahnya.

   Bagaspati dengan lincah menghindari benda yang meluncur ke arahnya itu.

   Jleb ...

   jleb ...

   ! Ternyata dua pisau menancap di dinding benteng.

   Dua pisau hitam tampak menancap setengah batang dengan kuat.

   "Pisau Setan?!"

   Seru Bagaspati setelah mengenali dua pisau yang menancap di dinding benteng.

   "Ha ha ha. Mau lari kemana kau penyusup!?"

   Teriak seorang pria dengan kumis melintang di atas bibir sambil kacak pinggang. Bagaspati terkejut bukan main begitu melihat orang yang muncul di hadapannya.

   "Tiga Pisau Setan?!!"

   Seru Bagaspati agak tercekat.

   "Tiga Pisau Setan? Kenapa kepala rampok Hutan Jati Wesi bisa ada di sini? Benar-benar aneh."

   Batin Bagaspati heran. Orang berpakaian hitam dengan kumis melintang maju mendekati Bagaspati. Tampak di belakang Pisau Setan berdiri sepuluh prajurit kadipaten yang sudah mulai mengepung Bagaspati.

   "Ha ha ha. Menyerah saja kau, penyusup! Kau tidak mungkin bisa lolos dari sini."

   Seru Pisau Setan lantang.

   Bagaspati memandang tajam si Pisau Setan.

   Dalam hatinya dia agak gentar juga mengetahui orang di depannya itu.

   Siapa yang tidak tahu dengan Tiga Pisau Setan.

   Dia adalah kepala rampok yang sangat sakti serta memiliki senjata yang juga unik tapi mematikan.

   Tapi Bagaspati sudah bertekad tidak akan menyerah begitu saja.

   Dia bukanlah orang yang takut mati.

   Maka dengan cepat Bagaspati mencabut pedang pendek dari pinggangnya.

   "Ha ha ha. Besar juga nyalimu. Anak-anak tangkap penyusup itu."

   Teriak si Pisau Setan cepat.

   "Hiaaaatt ... !!!"

   Dengan di iringi teriakan-teriakan para prajurit Kadipaten Jatiluhur mulai menerjang penyusup istana yaitu Bagaspati.

   Tampak Bagaspati kerepotan menghindari terjangan para prajurit yang rata-rata memiliki ilmu silat lumayan tinggi.

   Tapi Bagaspati bukan orang lemah.

   Dengan ilmu silat yang di dapatnya di Perguruan Ular Emas maka dengan gerakan lincah Bagaspati memainkan jurus-jurus 'Ular Emas'-nya.

   Dalam lima belas jurus Bagaspati berhasil membunuh dua orang prajurit.

   Ini membuat Pisau Setan jadi geram, maka dengan cepat si Pisau Setan menyerang Bagaspati.

   Terbukti ternyata ilmu silat Bagaspati masih kalah tinggi, ini terlihat Bagaspati berkali-kali terkena pukulan dan tendangan si Pisau Setan.

   Beruntung Pisau Setan tidak menggunakan tenaga dalam penuh sehingga Bagaspati hanya sedikit mengalami luka dalam.

   Akibat keributan itu maka tampak banyak orang yang mendatangi tempat itu termasuk Adipati Wijaya.

   "Paman Singo Abang, ada apa ini ribut-ribut!?"

   Seru Adipati Wijaya tegas. Begitu melihat siapa yang datang, maka semua yang ada di tempat itu membungkuk hormat.

   "Ampun Gusti Adipati. Ada penyusup yang berhasil di tangkap oleh Ki Warok Ireng."

   Ucap orang yang bernama Singo Abang.

   "Apa?!"

   Seru Adipati Wijaya kaget.

   "Siapa penyusup itu?"

   Si Pisau Setan membawa Bagaspati yang sudah dalam keadaan tak berdaya ke hadapan Adipati Wijaya.

   "Ini Gusti penyusupnya."

   Ucap si Pisau Setan yang bernama Ki Warok Ireng. Adipati Wijaya menatap orang yang terbungkus pakaian hitam dengan penutup muka.

   "Buka penutup mukanya."

   Perintah Adipati Wijaya tegas. Breettt! Terpampanglah wajah seorang muda dengan mulut dan hidung berdarah akibat di hajar si Pisau Setan.

   "Bagaspati?!"

   Seru Adipati Wijaya kaget mengenali penyusup itu.

   "Kurang ajar ... !! Pengawal ... Bawa orang ini ke penjara bawah tanah ... Siksa dia dan tanya siapa yang menyuruhnya menyusup di kadipaten ini!"

   Seru Adipati Wijaya lantang dengan wajah geram sekali. Beberapa pengawal datang dan menyeret Bagaspati ke penjara.

   "Paman Singo Abang! Besok pagi aku ingin semua petinggi kadipaten berkumpul di Pendopo Agung. Paham?!"

   Ucap Adipati Wijaya dengan mimik muka yang masih geram.

   "Baik, Gusti."

   Kata Singo Abang pelan membungkuk hormat.

   Adipati Wijaya berlalu dari tempat itu di ikuti para pengawal kadipaten.

   --o0o--Di Pendopo Agung Kadipaten Jatiluhur tampak semua petinggi kadipaten berkumpul, tapi wajah mereka di liputi ketegangan.

   Tak lama muncul pemuda gagah berwajah keras dengan sorot mata tajam, dialah Adipati Wijaya Soma, anak Adipati terdahulu dari selir ketiga.

   Jadi secara garis keturunan Wijaya Soma bukan pewaris sah Kadipaten Jatiluhur yang saat ini tengah berbenah menjadi sebuah kerajaan sendiri.

   Pewaris sah Kadipaten Jatiluhur adalah Arya Soma karena lahir dari istri sah Adipati terdahulu.

   Tapi dengan cara licik dan di bantu Pamannya yaitu Singo Abang.

   Kakak dari ibunya Wijaya Soma serta di bantu orang-orang persilatan, Wijaya Soma berhasil mengambil kadipaten sebelum jatuh di tangan Arya Soma.

   Kenapa sampai sekarang kadipaten belum juga jadi kerajaan sendiri? Itu karena sampai saat ini Wijaya Soma belum juga mendapatkan pusaka kerajaan yaitu Batu Mustika Merah dan Keris Naga Kopek.

   Batu Mustika Merah entah berada dimana sebab Batu Mustika Merah berhasil di curi orang dari tangan Wulan Arum dan malah hampir saja Wulan Arum menjadi korban kebejatan prajurit kadipaten jika tidak lekas di tolong Ki Bayan Ludira dengan Ki Adi Darpa.

   Keris Naga Kopek juga belum di ketahui keberadaannya dan konon kabarnya keris bertuah itu masih berada di tangan pembuat keris yaitu Resi Majalaga.

   Itu sebabnya Adipati Wijaya Soma gencar sekali mencari dua benda pusaka itu sebab tanpa dua benda pusaka itu maka dia tidak akan bisa jadi raja di Istana Jatiluhur untuk selamanya.

   "Kalian tahu kenapa aku kumpulkan di sini?!!"

   Seru Adipati Wijaya keras sekali sambil matanya menatap satu persatu orang-orang yang hadir di Pendopo Agung itu dengan tajam.

   "Semalam ada orang yang berhasil menyusup ke dalam kadipaten. Tapi beruntung Ki Warok Ireng memergokinya dan berhasil menangkap penyusup itu."

   Adipati Wijaya Soma tampak menahan amarah.

   "Apa yang kalian kerjakan sebenarnya di sini. Kenapa bisa ada penyusup berhasil masuk di kadipaten. Apa?!"

   Ucap Adipati Wijaya marah. Semua yang ada di dalam Pendopo Agung tertunduk tanpa ada yang berani bicara.

   "Mahardika!!"

   Seru Adipati cepat.

   "Hamba Gusti."

   Kata orang berbaju panglima.

   "Apa yang kamu temukan di bukit barat Jatianom?"

   "Ampun Gusti. Bukit barat Jatianom tidak ada apa-apa. Tidak terlihat bukit itu ada orang di sana. Hamba yakin tidak ada yang berani pergi ke bukit barat Jatianom."

   Kata Mahardika melaporkan hasil patrolinya ke bukit barat Jatianom.

   "Hmmmm. Apa kau yakin Mahardika?"

   "Hamba yakin Gusti."

   "Ya sudah. Ki Warok Ireng ... Bagusatrio!"

   Teriak Adipati Wijaya lantang. Warok ireng dan Bagusatrio maju selangkah.

   "Hamba Gusti."

   "Kalian berdua bawa prajurit secukupnya, temukan tempat persembunyian Arya Soma dengan pengikutnya."

   "Kami siap terima titah Gusti."

   Seru mereka cepat.

   "Paman Sempala. Urus penyusup itu dan paksa dia untuk bicara."

   Sempala membungkuk cepat.

   "Baik, Gusti."

   "Dan kalian! Tingkatkan penjagaan kadipaten, aku yakin pasti ada orang-orang Arya Soma yang coba menyusup lagi."

   Semua berdiri dan membungkuk cepat.

   Tanpa bicara lagi Adipati Wijaya berlalu dari Pendopo Agung itu.

   --o0o--Di keheningan malam tampak sekelebat bayangan putih melompat lompat di antara pohon-pohon.

   Sesekali bayangan putih itu mendongak ke atas menatap langit yang pekat tertutup awan tebal.

   Dengan kecepatan bagai kilat dan sulit di lihat dengan mata biasa, maka bayangan itu bergerak bagai hantu malam saja.

   Tak berapa lama bayangan putih itu berhenti di depan sebuah goa.

   Bayangan putih segera masuk ke dalam goa itu.

   "Kakang."

   Seru seorang wanita sangat cantik bagai bidadari dari khayangan.

   "Dewi. Bagaimana Pandan Wangi?"

   Tanya orang berbaju serba putih setelah sampai di hadapan gadis cantik yang ternyata Dewi Sekarwati.

   "Dia masih bersemedi, Kakang."

   Ucap Dewi Sekarwati lembut.

   Surya menatap gadis cantik di depannya itu dengan lembut.

   Dia tersenyum lembut kemudian membuka topeng peraknya.

   Terlihatlah wajah tampan Surya.

   Dewi Sekarwati bersemu merah dilihatin Surya tanpa memakai topeng peraknya karena Surya terlihat tampan sekali tanpa topeng perak itu.

   "Bagaimana dengan dirimu sendiri, Dewi?"

   Kata Surya lembut sambil tersenyum. Ini semakin membuat Dewi Sekarwati kikuk dan merah padam mukanya karena salah tingkah. Apalagi ketika Surya menyentuh dua pipinya. Maka Dewi Sekarwati semakin kikuk saja.

   "Kenapa diam?"

   Ucap Surya lembut.

   "Ti ... ti ... tidak a ... apa-apa ...

   "

   Ucap Dewi Sekarwati tergagap. Buru-buru dia palingkan mukanya dari tatapan Surya yang membuat jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Dewi Sekarwati berusaha menekan perasaannya yang bergemuruh di dalam dada.

   "Dewi, kamu kenapa? Wajahmu merah. Hehe."

   Goda Surya tersenyum lebar.

   "Malu ya sama aku. Hehehe."

   Surya mencubit pipi Dewi gemas.

   "Tidak."

   Seru Dewi cepat sambil cemberut.

   "Ekh?!!"

   Dewi Sekarwati tersentak karena tiba-tiba Surya mencium keningnya. Ada perasaan damai yang merasuk ke dalam hatinya apa lagi Surya memeluk dirinya. Perasaannya tambah semakin damai sekali.

   "Tetaplah di sisiku. Hanya kamu yang kumiliki saat ini. Aku sangat kesepian Dewi."

   Ucap Surya lirih semakin erat memeluk Dewi Sekarwati. Dewi Sekarwati juga mempererat pelukannya.

   "Kakang."

   Hanya itu yang terdengar dari mulut Dewi Sekarwati.

   Mereka masih berpelukan lama sekali seolah tak ingin lepas.

   Malam merambat semakit larut.

   Suara binatang malampun bernyanyi dengan merdu di iringi desiran angin sepoi sepoi.

   Dua insan itu masih hanyut dalam buaian kasih yang terjalin di antara mereka.

   --o0o--Blaaarrrr! Suara petir menggelegar keras memecah keheningan malam yang tenang dan damai.

   Tidak ada hujan tidak awan mendung tapi suara petir begitu memekakkan gendang telinga.

   Dari utara, muncul sinar kuning sangat terang melesat cepat ke arah bukit sebelah barat Desa Jatianom.

   Tak lama sinar kuning terang itu turun perlahan-lahan kemudian terdengar raungan melengking tinggi panjang.

   Slappp! Malam kembali tenang seperti sedia kala.

   Dari bawah pohon besar muncul seorang pemuda tampan dengan pakaian atas biru dan celana hitam.

   Di punggung terdapat sebilah pedang dan di kepala menggunakan blangkon coklat selaras dengan wajahnya yang tampan.

   Pemuda itu berjalan menyusuri kegelapan malam menuju kaki bukit Jatianom tersebut.

   Tak terasa fajarpun menyingsing.

   Kokok ayam jantan bersahutan memecah keheningan pagi yang dingin ini.

   Tak berapa lama semburat cahaya jingga terlihat di ufuk timur tanda sang raja siang akan segera menampakkan dirinya.

   Para penduduk Jatianom bangun melaksanakan tugasnya untuk pergi ke ladang maupun sawah.

   Sepagi ini Desa Jatianom sudah begitu ramai aktivitas penduduknya.

   Ini di karenakan hari pasaran masih berlangsung meriah sejak beberapa hari yang lalu.

   "Tarman! Semalam kamu dengar tidak suara petir yang begitu keras?"

   Tanya seorang penduduk yang lagi asik ngopi di warung.

   "La iya dengar to. La wong suaranya saja begitu keras."

   Sahut orang tua yang di panggil dengan nama Tarman tadi.

   "Aku rasa suaranya dari arah bukit barat desa. Ya, tidak?"

   Orang yang bertanya tadi mengangguk cepat. Orang ini bernama Parjo.

   "Betul itu. Suaranya dari bukit barat desa."

   Katanya.

   "Ada kejadian apa lagi ya dengan Kadipaten Jatiluhur ini. Setiap ada suara petir di Bukit Setan itu pasti bakal ada peristiwa besar yang terjadi di kadipaten ini."

   "Halah peristiwa apa to, Man. Gayamu kaya peramal saja."

   "La ya mbuh. Aku yakin pasti bakal terjadi peristiwa besar di Jatiluhur ini. Tapi peristiwa apa itu aku juga tidak tahu."

   Seru Tarman mantap.

   "Halah sudah sudah malah jadi ngelantur. Ya sudah aku mau pergi ke pasar dulu. Sudah hampir siang."

   Setelah membayar segelas kopinya parjo segera pergi dari warung Ki Tarman itu.

   "Paman. Minta minum dan makan satu."

   Kata pemuda berbaju biru yang baru saja masuk ke dalam warung Ki Tarman.

   "Baik den, sebentar saya siapkan."

   Kata Ki Tarman cepat. Dengan segera Ki Tarman menyediakan pesanan pemuda tadi.

   "Nah ini den. Silakan."

   Kata Ki Tarman ramah.

   "Terima kasih, Paman."

   Kata pemuda itu kalem.

   "Oya maaf Paman. Kalau saya boleh tahu apa nama desa ini?"

   Tanya pemuda itu. Sejenak Ki Tarman melihat pemuda itu dari atas ke bawah.

   "Aden pengembara ya. Ini Desa Jatianom den. Apa aden mau menjenguk sanak saudara di Desa Jatianom ini?"

   Ucap Ki Tarman kalem.

   "Jatianom?! Oh ya sudah tolong siapin makannya, Paman."

   Ucap pemuda tadi tidak menghiraukan pertanyaan pemilik warung.

   "Baik den. Sebentar saya siapkan."

   Ki Tarman segera masuk buat nyiapin pesanan tamunya. Di pojok ruangan tampak dua orang tengah memperhatikan gerak gerik si pemuda. Mereka bisik-bisik sejenak kemudian berlalu dari warung Ki Tarman itu.

   "Nah ini den makanannya. Silakan di nikmati."

   Ucap Ki Tarman ramah.

   "Terima kasih."

   Ucap pemuda itu mengangguk. Pemuda itu kemudian dengan lahap menyantap makanan yang di sajikan pemilik warung. Tak berapa lama datang seorang gadis cantik dengan pakaian serba merah. Gadis itu kemudian duduk tak jauh dari pemuda tadi.

   "Ki Tarman."

   Panggil si gadis cepat. Ki Tarman buru-buru menghampiri gadis cantik tadi.

   "Ekh, Den ayu. Ada apa den?"

   Kata Ki Tarman hormat.

   "Ki, apa Surya sudah kembali?"

   Tanya gadis itu yang ternyata Wulan Arum.

   "Maaf Den Ayu. Den Surya sudah kembali semalam tapi ...

   "

   Ki Tarman menghentikan ucapannya.

   "Tapi apa?!"

   Seru Wulan Arum penasaran.

   "Anu Den Ayu. Itu ... Anu den Surya cuma bayar penginapan terus pergi. Katanya dia tidak akan kembali lagi. Gitu den."

   Ucap Ki Tarman agak takut.

   "Apa?!!"

   Seru Wulan Arum kaget sampai berdiri. Dia menatap tajam pemilik warung itu seolah menegaskan apa yang di sampaikan pemilik warung itu adalah benar. Tanpa bicara lagi Wulan Arum segera pergi dari warung itu.

   "Den ayu ...

   "

   Panggil Ki Tarman cepat tapi Wulan Arum keburu pergi dari warungnya. Ki Tarman hanya menghela nafas pelan saja.

   "Paman. Berapa semuanya?"

   Tanya pemuda baju biru setelah menyelesaikan makannya.

   Pemuda itu segera berlalu dari warung Ki Tarman.

   Tujuan pemuda itu adalah menuju Kadipaten Jatiluhur karena dia mengemban tugas dari gurunya untuk menyerahkan sebilah keris pusaka kepada Adipati yang sah yaitu Arya Soma, tapi pemuda tidak tahu kalau Adipati Jatiluhur sekarang adalah Wijaya Soma sedang Arya Soma telah bersembunyi dari kejaran Wijaya Soma.

   Ketika pemuda itu sampai di kaki bukit utara Desa Jatianom.

   Dia mendengar ada yang tengah bertarung maka buru-buru pemuda itu belari ke tempat pertarungan.

   Melihat dari cara berlari pemuda itu maka bisa di pastikan pemuda bukan orang sembarangan karena gerakannya begitu enteng dan lincah sekali.

   Dalam waktu sekejap saja pemuda itu sampai di tempat pertarungan.

   Tampak seorang wanita tengah di keroyok oleh dua orang pria.

   "Bukankah itu gadis yang di warung tadi? Dua pria itu juga yang di warung tadi. Hmmm ... Ada apa sebenarnya kenapa mereka bertarung?"

   Ucap pemuda itu seolah untuk dirinya sendiri.

   "Hiaaaattt."

   "Hiaaatt."

   Teriakan-teriakan keras terdengar mewarnai pertarungan yang bisa di katakan cukup seimbang namun si gadis agaknya mulai kewalahan menghadapi serangan dua pria yang semakin cepat gerakannya hingga pada jurus ke lima puluh dua sebuah pukulan telak mengenai perutnya.

   Si gadis langsung tersungkur sambil muntah darah darI mulutnya.

   Perutnya terasa mual sekali, maka gadis itu memegangi perutnya yang sakit.

   Dia terduduk sambil menatap tajam dua pria lawannya.

   "Hahahaha. Hari ini kita dapat rejeki besar, Karjo. Gusti Adipati Wijaya pasti akan sangat senang melihat gadis ini. Hahahaha."

   Kata si pria muka bopeng sambil tertawa.

   "Kau benar, Bodel. Kita juga pasti dapat hadiah besar. Hahahaha."

   Seru si Karjo juga tertawa senang. Mereka sama sama tertawa senang mendapat buruan yang selama ini di cari kadipaten.

   "Bunuh saja aku! Tidak sudi aku ketemu dengan manusia iblis itu!"

   Teriak Wulan Arum dengan sorot mata tajam ke arah dua pria itu.

   Dua pria itu semakin tertawa keras mendengar ucapan Wulan Arum.

   Mereka dengan cepat meringkus Wulan Arum dan segera hendak di bawa ke kadipaten.

   Tapi ...

   Bet ...

   Bet ...

   ! Benda mengkilat bergerak cepat memotong tali yang mengikat Wulan Arum.

   Ini membuat dua pria tadi tersentak kaget karena ada seseorang berhasil membebaskan Wulan Arum dalam waktu sekejap mata saja.

   Di depan Wulan Arum tampak seorang pemuda tampan berbaju biru berdiri dengan pedang menyilang di depan dada.

   "Hai Kisanak, siapa kau?! Berani sekali menghalangi kami membawa gadis itu."

   Teriak Karjo lantang penuh tekanan. Pemuda itu mendudukkan Wulan Arum di bawah pohon. Dia kemudian memasukkan pedangnya dan coba bersikap ramah di depan dua pria tadi.

   "Maaf Paman berdua. Saya tidak bermaksud menghalangi Paman. Tapi apa kesalahan gadis itu hingga Paman-paman ini menangkapnya."

   Ucap pemuda itu dengan suara lembut.

   "Hai anak muda siapa namamu?"

   Seru Bodel keras.

   "Saya ... Bayu Sanjaya."

   Kata pemuda itu membungkuk hormat.

   "Hmmmm. Bayu Sanjaya. Tahukah kau siapa gadis yang kau tolong itu?"

   Seru Bodel. Pemuda yang bernama Bayu Sanjaya itu menggeleng pelan saja.

   "Ketahuilah anak muda. Dia adalah buronan kadipaten karena dia telah mencuri benda pusaka kadipaten. Jadi harap kau menyingkir dari sini. Serahkan gadis itu pada kami."

   Kata Bodel cepat.

   "Benar anak muda. Jika kau serahkan gadis itu maka kau sama saja telah berjasa besar pada Kadipaten Jatiluhur."

   Ucap Karjo kalem. Dua pria itu mencoba mengelabuhi pemuda di depan mereka itu. Bayu Sanjaya menatap gadis cantik yang sudah tak berdaya di bawah pohon tak jauh darinya itu kemudian menatap dua pria di depannya.

   "Jika boleh tahu benda pusaka apa yang di curinya, Paman?"

   Tanya pemuda itu coba menyelidiki.

   "Sebuah pusaka yang sangat berharga bagi kadipaten. Biarkan kami bawa gadis itu pada Adipati. Atau kamu mau ikut kami anak muda biar nanti Adipati bisa memberikan hadiah juga buat kamu."

   Ucap Karjo masih bersikap tenang. Bayu Sanjaya terdiam mendengar bujukan Karjo. Nuraninya mengatakan kalau dua orang di depannya sedang membohongi dirinya.

   "Anak muda. Lekas serahkan gadis itu pada kami. Cepat kami tidak banyak waktu!"

   Seru Bodel tidak sabaran. Agaknya si Bodel tidak menyukai Bayu Sanjaya. Dalam hati dia tidak sudi berbagi hadiah dengan orang yang tidak dia kenal.

   "Jangan percaya mereka Kisanak."

   Seru Wulan Arum tiba-tiba. Suaranya berat sekali karena menahan luka dalam yang dia derita.

   "Mereka orang-orang Adipati iblis. Mereka orang jahat."

   "Diam kau gadis sialan! Kalian para pemberontak memang harus di lenyapkan. Agar tidak mengganggu ketenangan Kadipaten Jatiluhur."

   Teriak Bodel geram.

   "Hahahaha. Kalianlah yang harusnya di lenyapkan dari muka bumi ini. Kalian pengkhianat Adipati sah Jatiluhur. Arya Soma adalah pewaris sah bukan Wijaya iblis itu."

   Seru Wulan Arum cepat.

   "Bangsat! Sebaiknya kita bunuh saja gadis itu Karjo. Hiaaaaattt ...

   "

   Seru Bodel tidak bisa menahan amarahnya.

   Dengan teriakan keras Bodel melompat cepat ke arah Wulan Arum.

   Goloknya bergerak cepat bagai ular lapar yang menerjang mangsa.

   Tringgg ...

   ! Belum sempat golok Bodel sampai ke Wulan Arum, tiba-tiba sebuah pedang sudah menangkis golok Bodel yang bergerak liar.

   Tentu saja Bodel menjadi semakin berang.

   Tanpa pikir panjang Bodel langsung menerjang Bayu Sanjaya yang menangkis serangannya tadi.

   Dengan gerakan lincah Bayu Sanjaya meladeni serangan Bodel.

   Kilatan pedang bergerak cepat seiring gerakan golok.

   Pertarungan berlangsung seru karena tingkat kepandaian mereka cukup berimbang.

   Mendekati jurus ke dua puluh lima Bayu Sanjaya mulai terdesak, apa lagi Karjo juga mulai ikut menerjang membantu Bodel maka semakin terdesaklah Bayu Sanjaya.

   Pada jurus tiga puluh tujuh sebuah tendangan mendarat di punggung Bayu Sanjaya.

   Otomatis Bayu Sanjaya tersungkur mencium tanah.

   "Karjo, Bodel!"

   Teriak seseorang yang baru saja datang.

   "Nyai Dasima?!!"

   Ucap Karjo dan Bodel kaget begitu melihat siapa yang datang. Tampak di belakang Nyai Dasima ada tiga punggawa kadipaten. Buru-buru Karjo dan Bodel memberi hormat pada mereka.

   "Bawa gadis dan pemuda itu ke kadipaten."

   Ucap Nyai Dasima cepat.

   "Baik."

   Seru Karjo dan Bodel bersamaan.

   Bayu Sanjaya dan Wulan Arum akhirnya di bawa ke kadipaten sebagai tawanan.

   --o0o--"Hahahaha.

   Akhirnya Keris Pusaka Naga Kopek berhasil kumiliki.

   Sekarang tidak akan ada yang bisa menentang aku untuk menjadi raja di Jatiluhur ini.

   Hahahaha."

   Seru Adipati Wijaya Soma lantang sambil di selingi tawanya yang keras.

   Sebuah keris yang masih terbungkus warangka emas berukirkan naga melingkar tergenggam erat di tangan kiri Adipati Wijaya Soma yang di angkat tinggi.

   Seluruh orang yang hadir di Pendopo Agung tersenyum senang melihat hal itu.

   Dengan perlahan Adipati Wijaya Soma mencabuk Keris Naga Kopek darI warangkanya.

   Srrringgg!!! Cahaya kuning kemasan keluar dari badan keris yang berlekuk tujuh itu.

   Pamor yang di keluarkan Keris Naga Kopek begitu luar biasa dan ini membuat semua yang melihat terkesiap dengan pamor keris yang begitu kuatnya.


Pedang Inti Es Karya Okt Pendekar Cambuk Naga Pedang Semerah Darah Munculnya Seorang Pendekar Karya Tjan Id

Cari Blog Ini